203

Sulalat al-Salatin Karya Tun Sri Lanang: Kebesaran Karya Sastra Melayu yang Melampaui Zamannya

  • Upload
    uinjkt

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

i Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

ii Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA Alamat Redaksi: Gedung Pusat Jasa Lt. VB Perpusnas RI.

Jl. Salemba Raya No. 28 A Kotak Pos: 3624, Jakarta 10002

Telp : (021)-3154863 ext. 264

e-mail: [email protected]

homepage: http://www.pnri.go.id/MajalahOnline.aspx

JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara

Vol.3 No.1 Tahun 2012

Pembina : Kepala Perpustakaan Nasional RI

Pengarah : 1. Deputi Bidang Pengembangan Bahan

Pustaka dan Jasa Informasi

2. Kepala Pusat Jasa Perpustakaan dan

Informasi

Penanggung jawab : Kepala Bidang Layanan Koleksi Khusus

Pemimpin Redaksi : Drs. Nindya Noegraha

Dewan Redaksi : 1. Drs. H. Sanwani

2. Aditia Gunawan, S.Pd.

3. Agung Kriswanto, SS.

4. Drs. Nur Karim, M. Hum.

5. Yudhi Irawan, S. Hum.

6. Didik Purwanto, SS.

7. Mardiono

Mitra Bestari : 1. Prof. Dr. Achadiati

2. Dr. I. Kuntara Wiryamartana

Editor Bahasa : Dra. Dina Isyanti, M. Si.

Sekretaris Redaksi : 1. Komari

2. Dian Soni Amellia, S.Hum.

Sirkulasi : Bambang Hernawan, SS.

Tata Letak : Aditia Gunawan, S.Pd.

Jumantara adalah jurnal ilmiah dengan fokus kajian naskah (manuskrip)

nusantara yang menyajikan karangan ilmiah dalam bentuk hasil

penelitian, penilaian terhadap hasil penelitian, serta tinjauan buku.

Diterbitkan secara berkala dua kali dalam setahun oleh Perpustakaan

Nasional Republik Indonesia dengan ISSN 2087-1074.

iii Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Artikel

1

44

77

128

148

100

167

Anung Tedjowirawan

Menelusuri Jejak Cerita Rama dalam Serat Pustakaraja

Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita

Fakhriati

Perempuan dalam Manuskrip Aceh: Kajian Teks dan

Konteks

Atep Kurnia

Sinurat Ring Merega; Tinjauan atas Kolofon Naskah

Sunda Kuna

Tedi Permadi

Identifikasi Bahan Naskah (Daluang) Gulungan

Koleksi Cagar Budaya Candi Cangkuang dengan

Metode Pengamatan Langsung dan Uji Sampel di

Laboratorium

Ida Bagus Rai Putra

Lontar: Manuskrip Perekam Peradaban dari Bali

Mahrus El-mawa

Rekonstruksi Kejayaan Islam di Cirebon; Studi

Historis pada Masa Syarif Hidayatullah (1479-1568)

Oman Fathurahman

Sulalat al-Salatin Karya Tun Seri Lanang: Kebesaran

Karya Sastra Melayu yang Melampaui Zamannya

Review Buku

178 Kuntara Wiryamartana

Filologi Jawa dan Kuñjarakarṇa Prosa

iv Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

umantara telah menginjak usia ketiga, usia yang masih

sangat rawan bagi keberlangsungan hidup sebuah jurnal.

Apalagi jika melihat kenyataan bahwa penyumbang

tulisan dalam jurnal ini adalah para ahli filologi yang

jumlahnya saat ini semakin sedikit. Meski demikian, terus

terbitnya Jumantara secara rutin menandakan bahwa para pakar

dan peminat naskah tetap ada dan setia menyumbangkan hasil

penelitiannya. Jerih payah para pakar pengkaji naskah pada

gilirannya telah berperan serta melestarikan budaya Nusantara.

Naskah memiliki peran penting bagi bangsa Indonesia. Ia

dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bangsa. Sebagai contoh,

istilah pancasila yang menjadi dasar negara dan bhineka tunggal

ika yang merupakan semboyan negara diambil dari teks Kakawin

Sutasoma. Andaikata naskah lontar tersebut tidak pernah terbaca,

mungkin kita tidak pernah mendengar istilah-istilah “sakti”

tersebut.

Dalam nomor ini disajikan artikel-artikel yang menyampaikan

berbagai pengetahuan penting dan menarik. Pertama, tulisan

Anung Tedjowirawan tentang jejak cerita Rama. Dengan

gamblang penulis memaparkan perjalanan teks Ramayana, dari

India sampai Jawa, dari Ramayana Wālmīki sampai kepada teks

Serat Pustakaraja karya pujangga Ranggawarsita. Meski teks

Ramayana bukan berasal dari Nusantara, tetapi kisah ini

termashur di Nusantara. Para pujangga seperti Ranggawarsita

menyerap isi cerita kemudian disesuaikan dengan kebudayaan

lokal.

Kandungan naskah Nusantara tidak selalu hanya berkaitan

dengan kesusastraan, tetapi juga mencakup tema-tema politik,

ekonomi, sosial, budaya dan agama, obat-obatan, mitologi,

sejarah, hukum, dan lain-lain. Inilah yang coba ditunjukkan oleh

Fakhriati melalui tulisannya yang menyoroti kedudukan

perempuan sebagaimana terkandung dalam sebuah naskah Aceh.

Fakhriati mencoba menggali ajaran dan praktik tentang

J

v Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

kehidupan perempuan di Aceh pada masa lalu melalui kehidupan

Siti Islam, tokoh utama dalam teks Hikayat Siti Islam. Sebagai

bahan perbandingan, Fakhriati menggunakan teks berjudul Siti

Hasanah.

Artikel ketiga, yang ditulis oleh Atep Kurnia, merupakan

tinjauan terhadap kolofon naskah Sunda Kuna, mencakup

informasi tentang identitas penulis atau penyalin, tempat, dan

waktu penulisan naskah. Dari tulisan itu diperoleh gambaran

bahwa identitas penulis naskah tidak selalu dinyatakan dengan

jelas. Sebagian besar naskah Sunda Kuna yang ditulis di gunung

dapat dijadikan petunjuk awal yang mengungkap kedudukan

gunung sebagai skriptorium penciptaan sebuah karya intelektual

pada masa lalu.

Selain kajian teks, dalam edisi ini disajikan pula artikel yang

membahas wujud naskah itu sendiri. Kajian seperti itu termasuk

dalam ranah kodikologi. Tedi Permadi, peneliti dari UPI

Bandung, membahas secara rinci naskah daluang yang berasal

dari Candi Cangkuang. Banyak data yang sepertinya sepele, tetapi

jika dicermati ternyata dapat memberikan informasi penting

tentang sebuah naskah, misalnya: ketebalan naskah yang diukur

secara cermat dapat membuktikan apakah sebuah naskah

dikerjakan secara tradisional atau merupakan buatan pabrik.

Dalam tataran praktis, kesimpulan tersebut dapat membantu pihak

yang berkepentingan untuk menilai fisik suatu naskah.

Ida Bagus membahas lontar sebagai media menulis naskah.

Berbeda dengan Tedi Permadi, Ida Bagus Rai Putra membahas

berbagai segi penggunaan daun lontar sebagai media menulis

naskah, di antaranya dari dari segi fisik, proses pembuatan,

sampai tradisi penulisan dan pembacaan lontar yang masih hidup

di Bali. Tradisi lontar yang masih lestari di Bali saat ini dapat

memberi petunjuk bagaimana fungsi naskah lontar pada masa

lalu.

Melalui perspektif sejarah, Mahrus el-Mawa mengkaji puncak

kejayaan Islam di Cirebon pada masa Syarif Hidayatullah atau

yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Dalam artikelnya,

Mahrus el-Mawa berusaha memaparkan secara luas salah satu

vi Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

tokoh penting Walisongo ini. Walaupun ia tidak mengulas

tentang guru dan ajaran keagamaan Syarif Hidayatullah secara

mendalam, tetapi usahanya merekonstruksi kejayaan Islam di

Cirebon pada masa Syarif Hidayatullah melalui teks lama dan

bukti-bukti artefak, membuktikan bahwa Sunan Gunung Jati

bukanlah tokoh mitos, melainkan tokoh historis.

Artikel terakhir, karya Oman Fathurahman, mengkaji sejarah

penelitian salah satu teks Melayu yang, meminjam istilah C.

Hooykas, “demikian banyaknya diselidiki”, yaitu Sulalat al-

Salatin atau lebih populer disebut Sejarah Melayu. Meski banyak

sarjana yang telah meneliti teks tersebut, bukan berarti

pembahasan terhadapnya telah tuntas. Oman Fathurahman masih

melihat adanya aspek yang belum tergali yang dapat

dimanfaatkan oleh para peneliti selanjutnya, yaitu unsur Islam

yang terkandung dalam teks tersebut.

Filologi secara harafiah berarti “cinta kata”. Kecintaan itulah

yang ditunjukkan I. Kuntara Wiryamartana dalam tinjauan buku

Kritik Teks Jawa: Sebuah Pendekatan Baru terhadap

Kunjarakarna Prosa karangan Wilem van der Molen (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2011). Secara cermat I Kuntara

menunjukkan alternatif bacaan dan terjemahan (ada kalanya

perbaikan) terhadap teks Jawa Kuna Kunjarakarna. Tulisannya

mengingatkan kita akan pentingnya aspek-aspek mendasar dari

filologi, yaitu penyajian teks dan terjemahan.

Dari artikel-artikel yang kami sajikan dalam edisi kali ini,

pembaca dapat melihat betapa beragamnya persoalan yang

diangkat oleh para penulis. Ini menunjukkan bahwa naskah

“kuno” Nusantara dapat dijadikan “sumber inspirasi baru” untuk

perkembangan penelitian di Indonesia. Kami berharap Jumantara

dapat dijadikan sebagai “arena” penulisan artikel yang berkaitan

dengan pernaskahan di Indonesia sehingga isi dan kandungan

naskah dapat dibaca secara luas oleh masyarakat. Selamat

membaca!

1 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Abstrak

Jejak cerita Rama dalam Sĕrat Pustakaraja diantaranya terdapat

dalam Sĕrat Rukmawati, Sĕrat Suktinawyasa, Sĕrat Prabu

Gĕndrayana, Sĕrat Purusangkara maupun Sĕrat Mayangkara.

Dalam Sĕrat Rukmawati dikemukakan tentang peristiwa ritual

agung Aswameda yang diselenggarakan oleh Prabu Dasarata,

Raja Ayodya dalam rangka memohon kelahiran putra yang

menjadi penjelmaan Sang Hyang Wisnu. Ritual agung Aswameda

tersebut diselenggarakan di hutan Madura dekat sungai Sarayu

(Gangga), tempat keberadaan "Jamur Dipa", penjelmaan Rĕsi

Anggira (Maharsi Paspa). Ritual tersebut disaksikan oleh para

raja sekutu Prabu Dasarata serta dihadiri oleh Prabu Basurata

dari Wiratha. Dari ritual agung Aswameda tersebut kemudian

lahirlah putra-putra Prabu Dasarata antara lain: Rama,

Laksmana, Barata dan Satrugna, sedangkan putra Prabu

Basurata yang lahir bernama Raden Brahmaneka.

Dalam Sĕrat Suktinawyasa jejak cerita Rama terdapat dalam

cerita yang disampaikan Dhang Hyang Wiku Salya kepada Rĕsi

Abyasa, mengenai kisah hidup Prabu Ramawijaya ketika dicopot

dari tahta serta harus meninggalkan istana Ayodya untuk pergi

ke hutan belantara bersama Dewi Sinta, istrinya, serta adiknya

* Penulis, peneliti dan pengajar di Jurusan Sastra Nusantara FIB Universitas

Gajah Mada

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 2

Laksmana, sampai Dewi Sinta diculik dan dibawa lari oleh Prabu

Dasamuka ke Alengka. Cerita tersebut dikemukakan Dhang

Hyang Wiku Salya dalam rangka untuk menghibur agar Rĕsi

Abyasa tidak terlalu bersedih hati karena sepeninggal ayahan-

danya (Rĕsi Palasara) ia tidak ditunjuk untuk menggantikan

kedudukan ayahandanya sebagai raja melainkan hanya diangkat

sebagai raja pendeta.

Dalam Sĕrat Prabu Gĕndrayana, jejak cerita Rama

dikemukakan oleh Bagawan Danèswara kepada Prabu

Gĕndrayana, bahwa Batara Ramawijaya sewaktu muda (8 tahun)

sudah dibawa Bagawan Sutiknayogi ke Gunung Dhandhaka

untuk diadu dengan para raksasa bala tentara Rahwana

(Dasamuka), yang merusak pertapaan. Cerita tersebut

diungkapkan Bagawan Danèswara agar Prabu Gĕndrayana

merelakan putranya yaitu Raden Narayana (Jayabhaya) untuk

diminta bantuannya melenyapkan segala jenis hama tanaman

(yang dilindungi para Dewa), yang merusak segenap sawah dan

ladang penduduk di wilayah Gunung Nilandusa (Wilis).

Dalam Sĕrat Purusangkara maupun Sĕrat Mayangkara jejak

cerita Rama tampak pada penampilan Sang Maharsi

Mayangkara (Anoman, Hanūman). Dalam kedua Serat tersebut

dikisahkan peran Sang Maharsi Mayangkara yang mendapat

tugas Bathara Guru untuk menjalin kembali kerukunan di antara

keturunan Prabu Jayapurusa (Jayabhaya) dengan keturunan

Prabu Sariwahana, lewat perka-winan putra-putri mereka.

Mereka antara lain: Dèwi Pramèsthi dengan Prabu Astradarma

(Purusangkara), Dèwi Pramuni dengan Radèn Darmasarana,

dan Dèwi Sasanti dengan Radèn Darmakusuma. Dalam kedua

cerita tersebut Sang Maharsi Mayangkara akhirnya gugur dalam

pertempurannya yang dahsyat melawan Prabu Yaksadewa

(penjelmaan Sang Hyang Kala) yang bersenjatakan gada

(penjelmaan Sang Hyang Brahma).

Kata Kunci: Kakawin Rāmāyaņa, Sĕrat Pustakaraja, Sĕrat

Rukmawati, Serat Suktinawyasa, Sĕrat Prabu Gĕndrayana, Sĕrat

Purusangkara, Sĕrat Mayangkara.

3 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Pengantar

Rāmāyaņa adalah karya agung dari India, berbahasa Sanskerta,

yang oleh pujangga penciptanya diwariskan untuk seluruh umat

manusia. Keagungan dan kemasyuran kisah Rāmāyaņa ini

memang sudah diramalkan ribuan tahun sebelumnya, bahwa

selama masih ada gunung-gunung yang berdiri, sungai-sungai

mengalir di permukaan bumi selama itu juga kisah Rāmāyaņa

akan terus berlangsung di dunia (Padmapuspita, 1979: 1).

Bagaimanakah mitologi terciptanya karya agung ini?

Ada seorang putra Brahmana, yang karena senang berkumpul

dan bergaul dengan para perampok, tumbuh menjadi seorang

penjahat. Ketika merampok tujuh orang dewa – resi (Saptarşi), ia

berhasil diinsyafkan dan disuruh bertapa di hutan sambil

mengucapkan mantra: marā, marā, marā, terus-menerus dengan

tempo secepat-cepatnya, selama seribu tahun tanpa boleh

bergerak. Pada waktu Saptarşi menengoknya, si petapa tetap pada

tempatnya semula, tidak bergerak sambil mengucapkan mantra:

marā, marā, marā sedemikian cepatnya sehingga ucapannya

terbalik menjadi: Rāma, Rāma, Rāma. Seluruh badan petapa

tersebut tertimbun di bawah „onggokan sarang semut hutan‟ yang

dalam bahasa Sanskerta disebut walmīka. Maka sejak itu pemuda

petapa tersebut disebut Wālmīki (Padmapuspita, 1979: 1-2).

Pada waktu Wālmīki akan menggubah Rāmāyaņa, ia duduk

termenung di tepian sungai sambil melihat air sungai yang beriak-

riak. Saat itulah ia mendapat ilham untuk mencipta bentuk sanjak.

Dalam mitologinya, Rāmāyaņa dicipta melalui proses waktu yang

cukup panjang, yaitu 400 tahun, dari 200 tahun sebelum Masehi

sampai dengan 200 tahun sesudah Masehi. Adapun Mahābhārata

karya Mpu Vyāsa mengalami proses pertumbuhan selama 800

tahun, dari 400 tahun Sebelum Masehi sampai 400 tahun Sesudah

Masehi. Baik Rāmāyaņa maupun Mahābhārata termasuk

Itihāsa, kitab suci Weda yang kelima, melengkapi kitab suci

Catur Weda Samhita, yang terdiri dari Ŗg-Weda, Sāma-Weda,

Yayur-Weda, dan Atharwa Weda. (Padmapuspita, 1979: 1-2).

Beberapa sarjana mengemukakan bahwa hakikat inti

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 4

Rāmāyaņa adalah: (a) Berisi lambang gerakan ekspansi bangsa

Arya dari tanah India Utara ke India Selatan. Rāma

melambangkan satria Arya yang, didalangi para Brahmana (yang

ditokohkan sebagai Bharadwāja, Atri, Sarabhangga, Agastya,

Sutīkşņa), menyerang Langka hingga takluk. Dalam hal ini cerita

Rāma dianggap sebagai dokumen sejarah; (b) Dianggap sebagai

lambang perebutan kekuasaan negara yang senantiasa terjadi di

sepanjang sejarah, dengan pola cerita pengendalian Bharata oleh

Kekayi, pertentangan Subali melawan Sugriwa, dan politik tinggi

Wibisana; (c) Dianggap sebagai cerita roman cinta kasih,

kesetiaan, kesucian yang tiada taranya; (d) Dianggap sebagai

kitab suci yang keramat, lebih-lebih bagi golongan Waisnawa,

yang menganggap bahwa Rāma adalah penjelmaan Dewa Wisnu;

(e) Dasar pola cerita Rāma merupakan persoalan tindakan

dharma melawan adharma (Darusuprapta, 1963: 12-13;

Surjohudojo, 1961: 4-10).

Di India, selain Wālmīki yang berhasil menggubah Rāmāyaņa,

penyair-penyair India lain pun mencoba membuat cerita Rāma–

Sīta tersebut, misalnya: Raghuvangśa (keturunan Raghu) karya

Kalidasa, Rāvaņavadha (pembunuhan Rāvaņa) oleh Bhaţţi,

Janakīharaņa (penculikan Sīta) oleh Kumaradasa;, Uttara Rāma

oleh Bhavabhutti, Rāmācaritamanasa (telaga kisah Rāma) oleh

Tulasi Dasa (Tulsi Das), dan Rāmāyaņa Kathāsara-mānjari oleh

Ksemendra (Darusuprapta, 1963: 48; Surjohudojo, 1961: 10).

Cerita Rāmāyaņa dari India tersebut kemudian menyebar ke

berbagai penjuru dunia. Di Asia Tenggara cerita Rāma terdapat di

Vietnam, Kamboja, Laos, Birma, Filipina, Thailand, Melayu,

maupun Jawa (Manu, 1998: 136-146). Di Indonesia cerita Rāma

digubah ke dalam Kakawin Rāmāyaņa maupun terpatri pada

relief di candi Prambanan dan candi Panataran. Relief cerita

Ramayana di candi Prambanan rupanya lebih dekat dengan Sĕrat

Rama Kĕling, adapun relief di candi Panataran dekat dengan

Kakawin Rāmāyaņa. Dari berbagai penelitian para ahli teks,

Kakawin Rāmāyaņa diperkirakan digubah pada abad IX Masehi

(820-832 Ç atau 898-910 M), ketika kekuasaan rajawi masih

5 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

berpusat di Jawa Tengah. Berdasarkan penelitian Himansu

Bhusan Sarkar, Manomohan Ghosh, Camille Blucke, dan

Hooykaas, diketahui bahwa sumber penulisan Kakawin

Rāmāyaņa adalah Rāvaņavadha karya Bhaţţikâvya

(Poerbatjaraka, 1957: 2-3; Surjohudojo, 1961: 11-12;

Darusuprapta, 1963: 53-56; Padmapuspita, 1979: 3; Zoetmulder,

1983: 288-290; Manu, 1998: 137; Somvir, 1998: 19-20). Berkait-

an dengan penulisan Kakawin Rāmāyaņa, pada mulanya para

sarjana, seperti: Kern, Juynboll, Berg, dan Hooykaas, mengikuti

anggapan umum di Bali (misalnya Ktut Ginarsa) bahwa penulis

Kakawin Rāmāyaņa adalah Yogīśwara (Darusuprapta, 1963: 60).

Baris kalimat yang memuat kata yogīśwara tersebut berbunyi:

"Sang yogīśwara çişţa sang sujana çuddha manahira huwus

mace sira", yang artinya sang yogīśwara (pendeta besar) menjadi

sangat pandai dan sang sujana (orang baik) menjadi bersih

hatinya setelah membacanya (Rāmāyaņa ini) (Darusuprapta,

1963: 60). Oleh karena itu Poerbatjaraka menegaskan bahwa kata

yogīśwara harus diartikan sebagai 'pendeta besar', bukan

menunjuk pada penulis Kakawin Rāmāyaņa, sebagaimana

anggapan yang terbiasa di Bali.

Meskipun demikian Somvir (setelah 40 tahun kemudian)

mengharapkan bahwa Yogīśwara sebagai pencipta Kakawin

Rāmāyaņa menurut tradisi Bali selama ini dapat diterima

(Somvir, 1998: 20). Somvir menyatakan pula bahwa

pertimbangan utama Yogīśwara dalam memilih Bhaţţikâvya

adalah bahwa penyair Bhaţţi tergolong ke dalam sekte Shiwa.

Shiwaisme adalah sekte tertua yang dapat dibuktikan jejaknya

lewat penempatan dewa-dewa penting yang memakai atribut-

atribut Shiwa di candi Prambanan. Tradisi Shiwaisme itulah

kiranya yang mendorong Yogīśwara untuk memilih Bhaţţikâvya

sebagai sumber penggubahan Kakawin Rāmāyaņa (Somvir,

1998: 20-21).

Dalam kaitannya dengan penulis dan saat penulisan Kakawin

Rāmāyaņa menurut tradisi Bali, Padmapuspita menjelaskan

beberapa alasan mengapa di dalam tradisi Bali penulisan Kakawin

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 6

Rāmāyaņa adalah pada tahun 1016 Ç (1094 M) oleh Yogīśwara.

Rangkaian kata-kata "çişţa sujana çuddha manahira" itu

dianggap memuat sengkalan yang menunjuk tahun 1016 Ç.

Dalam hal ini kata çişţa = 6; sujana = 1; çuddha = 0; manah = 1.

Jadi 6101 atau tahun 1016 Ç (Padmapuspita, 1979: 13). Akan

tetapi dalam koreksinya, Padmapuspita lebih cenderung

menyetujui bahwa sengkalan di atas menunjuk tahun 1018 Ç

(1096 M), karena kata çişţa yang artinya 'terpelajar' atau 'pandai'

diberi arti '8', sama dengan pendeta. Padmapuspita juga

menemukan adanya kata "guna" sampai tiga kali (triguna) dari

bait penutup dalam Kakawin Rāmāyaņa tersebut. Karena itu

Padmapuspita menawarkan pandangannya bahwa kemungkinan

penulis Kakawin Rāmāyaņa adalah Mpu Triguna, semasa

pemerintahan Çri Jayawarsa Digwijaya Çastra Prabu, yang

memerintah tahun 1026 Ç (1104 M). Walaupun demikian,

Padmapuspita juga sependapat dengan Poerbatjaraka, bahwa

yogīśwara bukanlah nama orang, melainkan sebutan

penghormatan, seperti halnya kata yogīndra yang diberikan

kepada Wālmīki. Bhaţţi sendiri (pengarang Rāvaņavadha)

diperkirakan merupakan nama samaran Bhartrhari. Dalam hal ini

kata bhaţţi dapat dihubungkan dengan kata bhaţţa, sebutan untuk

sarjana besar, semacam penulisan gelar Doktor yang disingkat Dr.

(Padmapuspita, 1979: 14-15).

Dalam perkembangannya Kakawin Rāmāyaņa digubah dalam

kesastraan Jawa Baru dengan judul Sĕrat Rama oleh pujangga

R.Ng. Yasadipura I (Poerbatjaraka, 1957: 152; Darusuprapta,

1963: 43; Ricklefs, 1997: 276). Kakawin Rāmāyaņa juga

digubah oleh R.Ng. Yasadipura II menjadi Sĕrat Arjuna

Sasrabahu, baik yang berbentuk tembang macapat maupun yang

berbentuk Kawi miring, serta juga digubah oleh Sindusastra

menjadi Sĕrat Arjunasasra atau Sĕrat Lokapala (Mc. Donald

dalam Manu, 1998: 138).

Bila cerita dalam Rāmāyaņa dan Mahābhārata yang di India

seperti tidak ada hubungannya satu sama lain, maka di Jawa

kedua tradisi tersebut dicoba dihubungkan, terutama dalam

7 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

pewayangan. Misalnya tampak pada cerita Wahyu Makutharama

(Ki Siswaharsaya), Sĕrat Kandha Lampahan Jayasĕmadi, Sĕrat

Kandha Lampahan Sĕmar Boyong, Sĕrat Kandha Lampahan

Rama Nitis, Arjuna Krama, Lampahan Wahyu Tunggul Naga,

dan sebagainya.

Sĕrat Pustakaraja

Sebelum dikemukakan jejak cerita Rāma dalam Sĕrat

Pustakaraja, akan dikemukakan secara sepintas tentang karya

tersebut. Sĕrat Pustakaraja adalah karya agung dan merupakan

puncak karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita, disamping Sĕrat

Ajipamasa maupun Sĕrat Witaradya. Bedanya, kalau Sĕrat

Pustakaraja berbentuk prosa, maka Sĕrat Ajipamasa dan Sĕrat

Witaradya berbentuk puisi Jawa Baru (Macapat). Disebut

Pustakaraja karena karya ini dijadikan kitab pedoman bagi

seorang Raja (pakĕmipun panjĕnĕngan nata). Pustakaraja dapat

juga diartikan 'Rajanya Kitab', karena merupakan kitab yang

terkemuka dan menjadi induk segala kitab cerita Jawa (Sĕrat

Raja, amargi dados tĕtunggul tuwin dados baboning Sĕrat

cariyos Jawi) (Ranggawarsita, 1938: 7).

Sĕrat Pustakaraja dapat dibagi menjadi 2, yaitu Sĕrat

Pustakaraja Purwa dan Sĕrat Pustakaraja Puwara. Sĕrat

Pustakaraja Purwa dibagi menjadi beberapa kelompok besar,

yaitu:

1. Sĕrat Maha Parwa, meliputi: a. Sĕrat Purwa Pada; b. Sĕrat

Sabaloka.

2. Sĕrat Maha Déwa, meliputi: a. Sĕrat Déwa Buddha; b. Sĕrat

Dewa Raja.

3. Sĕrat Maha Rĕsi, meliputi: a. Sĕrat Rĕsi Kala; b. Sĕrat

Buddha Krĕsna.

4. Sĕrat Maha Raja, meliputi: a. Sĕrat Raja Kanwa; b. Sĕrat

Palindria; c. Sĕrat Silacala; d. Sĕrat Sumanasantaka.

5. Sĕrat Maharata, meliputi: a. Sĕrat Dyitayama; b. Sĕrat

Tritarata; c. Sĕrat Sindula; d. Sĕrat Rukmawati; e. Sĕrat Sri

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 8

Sadana.

6. Sĕrat Maha Tantra, meliputi: a. Sĕrat Sri Kala; b. Sĕrat Raja

Watara; c. Sĕrat Crita Kaprawa; d. Sĕrat Ariawanda; e.

Sĕrat Para Patra.

7. Sĕrat Maha Putra, meliputi: a. Sĕrat Mahandya Purwa; b.

Sĕrat Suktinawyasa; c. Sĕrat Hariwangsa; d. Sĕrat Darma

Sarya; e. Sĕrat Kumbayana; f. Sĕrat Wanda Laksana; g.

Sĕrat Darma Mukta; h. Sĕrat Drĕta Nĕgara.

8. Sĕrat Maha Dharma, meliputi: a. Sĕrat Kuramaka; b. Sĕrat

Smara Dahana; c. Sĕrat Ambarawaja; d. Sĕrat Krida

Krĕsna; e. Sĕrat Kunjarakarna; f. Sĕrat Kunjara Krĕsna; g.

Sĕrat Partayagnya; h. Sĕrat Manik Harya Purwaka; i. Sĕrat

Sumantri Parta; j. Sĕrat Dĕwa Ruci; k. Sĕrat Parta

Wiwaha/Mintaraga; Sĕrat Indra Naraga; m. Sĕrat Urubaya;

n. Sĕrat Domantara; o. Sĕrat Bomantaka; p. Sĕrat

Baratayuda; q. Sĕrat Kirimataya; r. Sĕrat Darmasarana; s.

Sĕrat Yudhayana.

Sĕrat Pustakaraja Puwara juga dibagi menjadi beberapa

kelompok besar, yaitu:

1. Sĕrat Maha Parma, meliputi; a. Sĕrat Budhayana; b. Sĕrat

Sariwahana; c. Sĕrat Purusangkara; d. Sĕrat Partakaraja; e.

Sĕrat Ajidharma; f. Sĕrat Ajipamasa.

2. Sĕrat Maharaka, meliputi; a. Sĕrat Witaradya; b. Sĕrat

Purwanyana; c. Sĕrat Bandawasa; d. Sĕrat Déwatacèngkar.

3. Sĕrat Maha Prana, meliputi: a. Sĕrat Widayaka; b. Sĕrat

Danèswara; c. Sĕrat Jaya Lĕngkara; d. Sĕrat Dharma

Kusuma; e. Sĕrat Catasi Panuaka.

4. Sĕrat Maha Krasma, meliputi: a. Sĕrat Surya Wisésa; b.

Sĕrat Raja Sunda; c. Sĕrat Madu Sudana; d. Sĕrat Panca

Prabanggana.

5. Sĕrat Maha Kara, meliputi: a. Sĕrat Mundingsari; b. Sĕrat

Raja Purwaka; c. Sĕrat Maha Kara.

9 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

6. Sĕrat Maha Para (Ranggawarsita 1938: 10-49; Sri

Mulyono, 1989: 191-200; Tedjowirawan, 2008: 84-86).

Dalam Kepustakaan Jawa (1957), Poerbatjaraka menilai

bahwa Kitab (Sĕrat) Pustakaraja pada pokoknya digubah

berdasarkan kitab-kitab lakon wayang, pendengaran R. Ng.

Ranggawarsita tentang cerita-cerita dari temannya, dan dongeng-

dongeng yang pada waktu itu sudah ada. Semuanya itu diubah

dan ditambah oleh R. Ng. Ranggawarsita menurut kehendak

hatinya. Lebih jauh Poerbatjaraka menyatakan bahwa:

“Walau bagaimanapun juga keadaannya, dengan pendek

Kitab Pustakaraja itu sebagian besar hanya berisi “omong

kosong” belaka daripada R.Ng. Ranggawarsita. Kitab-kitab

yang disebut di dalam Kitab Pustakaraja, itu seperti kitab-

kitab Maha Parwa, Purwa Pada, Sabaloka, Maha Déwa,

Maha Rĕsi, dan sebagainya, itu sebenarnya tidak ada dan

tak pernah ada.” (Poerbatjaraka, 1957: 186).

C.C. Berg dalam Penulisan Sejarah Jawa (Javaansche

Geschiedschrijving, dalam geschiedenis van Nederlands Indie,

1938) mengakui bahwa pihak Barat belum memberikan perhatian

yang berarti terhadap Pustakaraja, namun diakui bahwa R.Ng.

Ranggawarsita mempunyai pergaulan dengan ahli-ahli ilmu

bahasa dan kebudayaan Jawa yang berkebangsaan Barat.

Selanjutnya dikatakan bahwa R.Ng. Ranggawarsita dalam

menulis karyanya menempuh jalan baru dan untuk memperoleh

bahan-bahan ia menggali sumber-sumber baru. Akhirnya

dikatakan juga bahwa R.Ng. Ranggawarsita (ternyata)

mencurahkan amat banyak perhatian untuk menentukan tarikh

peristiwa-peristiwa yang dibukukannya. Ia selalu memberikan

dua tarikh, yang satu menurut tahun Syamsiah dan yang satu lagi

menurut tahun Komariyah. Berdasarkan kenyataan itu bukan

mustahil bila sesungguhnya R.Ng. Ranggawarsita bermaksud

untuk menulis sejarah menurut tanggapan Barat. Bahwa usahanya

tersebut tidak berhasil tidaklah penting. Apabila R.Ng.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 10

Ranggawarsita bermaksud mencari nama sebagai ahli sejarah

pertama yang beraliran modern, maka kiranya kita harus

membedakan karyanya dengan karya rekan-rekannya yang

terdahulu, karena yang disebut belakangan ini (R.Ng.

Ranggawarsita) bukanlah orang yang mempelajari ilmu sejarah,

akan tetapi pendeta-pendeta magi sastra, pujangga dalam arti

yang asli, “manusia ular”. Di sini C.C. Berg hanya dapat

mengemukakan tidak lebih dari perkiraan-perkiraannya (Berg,

1974: 87).

Pigeaud dalam Literature of Java Volume I (1967)

menyatakan:

“Rangga Warsita‟s books on mythology and ancient history,

which he called Pustaka Raja, Books of Kings, impress the

reader in a remarkable way.

The events of myth and epic history are dated consecu-tively

according to a chronology, solar and lunar years, of Rangga

Warsita‟s own invention, and so the Pustaka Raja makes an

impression of being historically reliable, which it is not.

Rangga Warsita‟s chronicles of creation, cosmogony, myth

and epics have parallels in the literatures of other peoples.

His, at first sight preposterous, idea of dating all tales is to

be considered as a consequence of his thoroughly Javanese

belief in an all pervading Order, which should also be made

visible in myth and ancient history” (Pigeaud, 1967: 170).

Menurut Sri Mulyono, Sĕrat Pustakaraja, khususnya Sĕrat

Pustakaraja Purwa, adalah hasil saduran kembali cerita dalam

Mahābharāta dengan berbagai adaptasi dan inovasi. Sĕrat

Pustakaraja Purwa seringkali dikatakan sebagai suatu penulisan

baru mengenai sumber-sumber cerita wayang (penulisan cerita

Mahābharāta versi Indonesia) (Mulyono, 1989: 202). Sĕrat

Pustakaraja isinya sudah menyimpang dan berbeda jauh dengan

Ramāyāna maupun Mahābharāta. Keanehan dalam Sĕrat

Pustakaraja tersebut justru sering dinilai “sangat menakjubkan”

11 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

sehingga para sarjana berkesimpulan bahwa kitab tersebut adalah

wishfull thinking pujangga R.Ng. Ranggawarsita sendiri. Di

samping itu salah satu maksud tujuan disusunnya Sĕrat

Pustakaraja adalah untuk mendidik anak cucu dengan

mengajarkan sejarah kepahlawanan leluhurnya. Selain itu yang

terpenting dari segala uraian karya-karya pujangga R.Ng.

Ranggawarsita (Sĕrat Pustakaraja) adalah menempatkan jatining

panembah, yaitu memberikan penerangan bahwa dewa-dewa

(para Jawata) yang diartikan sebagai nenek moyang orang Jawa

itu bukanlah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, tetapi

hanya sebagai titah biasa (Mulyono, 1989: 202; Wiryamartana,

1980: 2).

Jejak Cerita Rama dalam Serat Pustakaraja

Di dalam Sĕrat Pustakaraja jejak cerita Rāma terdapat di dalam:

1) Sĕrat Rukmawati bagian kelompok Kitab Maharata (bagian

Pustakaraja Purwa), 2) Sĕrat Suktinawyasa bagian Sĕrat

Mahapatra (bagian Pustakaraja Purwa), 3) Sĕrat Prabu

Gendrayana yang dapat disejajarkan dengan Sĕrat Budhayana

sehingga dapat dimasukkan ke dalam kelompok Sĕrat Maha

Parma (bagian Sĕrat Pustakaraja Puwara), 4) Sĕrat

Purusangkara maupun Sĕrat Mayangkara yang dapat

dimasukkan ke dalam kelompok Sĕrat Maha Parma (bagian Sĕrat

Pustakaraja Puwara).

Adapun jejak cerita Rāma dalam Serat-Serat di atas dapat

dikemukakan sebagai berikut:

Cerita Rāma dalam Sĕrat Rukmawati

Pujangga R. Ng. Ranggawarsita di dalam Sĕrat Pustakaraja

menyatakan:

Sĕrat Rukmawati, wiyosipun punika cariyos lalampahan-

ipun Dèwi Rukmawati, putranipun Sang Hyang Anantaboga

anggènipun amĕmĕca saha mitulungi sarana dha-tĕng

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 12

sadhĕngaha ingkang nĕdha tulung. Kaanggit dé-ning Mpu

Sindura ing Mamĕnang, panganggitipun anuju ing taun

Suryasangkala 853, kaétang ing taun Candra-sangkala

amarĕngi 879 (Ranggawarsita, 1938: 17).

(Sĕrat Rukmawati, inilah cerita kisah perjalanan hidup Dewi

Rukmawati, putra Sang Hyang Anantaboga ketika

meramalkan dan menolong memberikan jalan (petunjuk)

kepada siapapun yang meminta pertolongan (padanya).

Dikarang oleh Mpu Sindura di Mamenang, penggubahannya

pada tahun Suryasangkala 853, dihitung (ber-dasarkan)

tahun Candrasangkala bertepatan tahun 879).

Adapun cerita dalam Sĕrat Rukmawati dimulai dari tahun

Suryasangkala 453 (Uninga – marganing – yoga) atau terhitung

tahun Candrasangkala 467 (Rĕsi – rasaning – catur) sampai

dengan tahun Suryasangkala 456 (Karasa – marganing – dadi)

atau terhitung tahun Candrasangkala 470 (Kagunturan – sabda –

pakarti – muluk) (Kamajaya, 1994: 33).

Dikemukakan dalam Sĕrat Rukmawati bahwa pada waktu itu

pulau Jawa masih bersatu dengan Bali, Madura dan Sumatra. Di

Jawa ada empat raja: (1) Prabu Brahmanaraja (putra Sang Hyang

Brahma), kerajaannya di Gilingwĕsi tanah Prayangan (Priangan).

(2) Prabu Sri Mahapunggung, kerajaannya di Purwacarita,

termasuk tanah Kendal atau Pekalongan. (3) Prabu Basurata

kerajaannya di Wiratha yang pertama di tanah Tegal. Prabu Sri

Mahapunggung dan Prabu Basurata adalah putra Sang Hyang

Wisnu. (4) Sri Maharaja Sindhula (putra Prabu Watugunung),

kerajaannya di Medanggalungan tanah Pekalongan

(Ranggawarsita, 1939: 2-3; Kamajaya 1994: 2). Pada waktu itu

bidadari bernama Dewi Rukmawati, putra Sang Hyang

Anantaboga, turun ke dunia dan berdiam di pertapaan di Gunung

Mahendra (Gunung Lawu) di tanah Surakarta. Dewi Rukmawati

dengan ketajaman penglihatan batinnya sering meramal dan

menolong orang yang sedang bersedih sehingga ia termashur

13 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

sampai ke mancapraja (mancanegara). Pada waktu itu Prabu

Basurata mendapat ilham dalam mimpinya bahwa ia hendaknya

mencari cara agar mendapatkan putra. Ilham raja tersebut

disampaikan kepada para pertapa. Resi Wisama (putra Bathara

Laksmana) cucu Sang Hyang Resi Wismana, cicit Sang Hyang

Pancaresi, menyarankan agar Prabu Basurata meminta petunjuk

kepada Dewi Rukmawati di Gunung Mahendra. Prabu Basurata

dengan diiringi Resi Wisama kemudian pergi berkunjung ke

Gunung Mahendra. Oleh Dewi Rukmawati, Prabu Basurata

disarankan agar pergi ke hutan Madura di tanah Hindi, termasuk

dalam wilayah negara Ngayodya, sebab di sana terdapat Jamur

Dipa yang tumbuh dari abu Rĕsi Anggira atau yang juga disebut

juga Maharesi Paspa. Konon terjadinya abu tersebut bermula

ketika Rĕsi Anggira yang dari kanak-kanak sampai tua

melakukan tapa brata, sehingga didatangi Sang Hyang Jagadnata

untuk memberikan anugerah. Permintaan Rĕsi Anggira adalah

bahwa hendaknya telapak tangannya memiliki kesaktian yang

luar biasa sehingga apa yang diraba, terutama kepala seseorang,

seketika akan menjadi abu. Permintaan itu dikabulkan oleh Sang

Hyang Jagadnata, akan tetapi Rĕsi Anggira ingin mencoba

kesaktian telapak tangannya dengan meraba kepala Sang Hyang

Jagadnata. Sang Hyang Jagadnata menolak, tetapi terus dikejar

oleh Rĕsi Anggira. Sang Hyang Jagadnata kemudian lenyap dan

tidak berapa lama muncullah Sang Hyang Wisnu menyamar

sebagai seorang wanita yang sangat cantik bernama Dewi

Anggarini. Ketika Rĕsi Anggira mencoba merayu dan ingin

mencumbu Dewi Anggarini maka ia disarankan untuk mandi

keramas dahulu. Ketika membersihkan rambutnya, Rĕsi Anggira

lupa bahwa tangannya sudah memiliki kesaktian yang dahsyat,

sehingga akhirnya ia sendiri yang menjadi abu. Karena berujud

abu ia juga disebut Maharsi Paspa. Di dalam abu tersebut

kemudian tumbuhlah jamur yang terkenal sebagai Jamur Dipa

yang dapat menjadi sarana untuk mendapatkan seorang putera

yang istimewa. Karena itu Prabu Basurata disarankan untuk

mengambil/memetik Jamur Dipa ke hutan Madura di tanah India

(Ranggawarsita, 1939: 12-14; Kamajaya, 1994: 3-10). Di dalam

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 14

Sĕrat Pustakaraja kisah mengenai Rĕsi Anggira (Maharsi Paspa)

yang menjadi Jamur Dipa dapat dilihat pada kutipan berikut:

Sarĕng ing wanci bangun énjing Dèwi Rukmawati

amanggihi Prabu Basurata, aturipun Dèwi Rukmawati:

'Kakang Prabu, mĕnggah ingkang dados karsa paduka angudi

wĕkasing tumuwuh ambabarakĕn wiji punika, sampun rinilan

déning Sang Hyang Wisésa, nanging wontĕn sarananipun;

panggénanipun sarana dumunung wontĕn sabrang ing wana

Madura tanah Hindi, talatahipun nagarai Ngayodya.'

Ing ngrika wontĕn Jamur-dipa, kadadosan awunipun Rĕsi

Anggira, ugi sinĕbat nama Maharsi Paspa. Déné dados awu,

bubukanipun makatĕn: „Kala ing kina Rĕsi Anggira punika

tatapa sangkaning raré ngantos sĕpuh. Kala semantĕn nuju

dhatĕng kanugrahanipun Rĕsi Anggira katĕdhakan Sang

Hyang Jagadnata. Pangandikanipun Sang Hyang Jagad-nata:

„Heh Anggira sutaning Sakru, putuning Sakutri, ba-ngĕt tĕmĕn

ĕggonnira kapati-brata, apa kang dadi sĕdyanira ing mĕngko

sayĕkti sun-turuti‟

Aturing Rĕsi Anggira: „Dhuh Pukulun Kang Binathara Ing

Jagad, mugi kasĕmbadanana ing panuwun-amba. Èpèk-èpèk

amba kalih pisan punika kaparingan kamayan tiksna, menawi

anggĕpok utamangganing dumadi ingkang amba grayang

sirahipun wau, sagĕda lajĕng dados awu sami sanalika.‟

Sang Hyang Jagadnata angandika: „Lah iya ingsun wus

anĕmbadani.‟ Rĕsi Anggira umatur: 'Dhuh Pukulun,

sarèhning sampun kasĕmbadan ing sapanuwun amba, kawula

kamipurun anunuwun tandha, manawi amarĕngakĕn kawula

kalilana anggrayang mustaka paduka.‟

Sang Hyang Jagadnata botĕn amarĕngi, nanging Rĕsi

Anggira adrĕng badhé pari-pĕksa. Sarèhning tĕdhakipun Sang

Hyang Jagadnata botĕn wontĕn ingkang ndhèrèkakĕn, Sang

Hyang Jagadnata lumajĕng, lajĕng binujĕng. Sarĕng mèh

kacandhak, Sang Hyang Jagadnata lajĕng muksa. Botĕn

watawis dangu, rama paduka Sang Hyang Wisnu tumurun

mimindha pawèstri langkung éndah ing warni. Rĕsi Anggira

15 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

sarĕng aningali langkung kasmaran, lajĕng pitakèn nam-

anipun. Rama-paduka angakĕn nama Dèwi Anggarini. Rĕsi

Anggira botĕn darana Dèwi Anggarini lajĕng rinarurum

ingarih-arih. Dèwi Anggarini darbé panĕdha, sarèhning Rĕsi

Anggira mĕntas tapa lami, kinèn adus karamas rumiyin.

Manawi sampun suci badan, sumanggèng karsa. Rĕsi Ang-

gira langkung suka lajĕng dhatĕng ing lèpèn sumĕdya adus

karamas. Saking déné srĕnging karsa, supé bilih tanganipun

kadunungan kamayan tiskna. Sarĕng karamas tanganipun

kadamĕl anguyĕg sirah, sami sanalika wau Rĕsi Anggira la-

jĕng dados awu, Dĕwi Anggarini uninga manawi Rĕsi Ang-

gira pĕjah dados awu, lajĕng wangsul warni Sang Hyang

Wisnu malih, sarwi angandika makatĕn: „Hèh Rĕsi Anggira

ing mĕngko sira nĕmu wĕwĕlèh dadi awu dhéwé. Sira mari

aran Rĕsi Anggira, sayĕktiné ing mĕngko sira aran Maharsi

Paspa, awit sira wujud awu.' Sasampunipun ngandika

makatĕn, rama-paduka Sang Hyang Wisnu muksa. Punika

kakang Prabu, bubukanipun ing kina. Ing mangké awu wau

cukul jamuripun katĕlah sinĕbut Jamur-dipa. Kathah ing-kang

sami ngupados badhé kadamĕl sarananipun tiyang ig-kang

sumĕdya angudi wĕkasing tumuwuh ambabarakĕn wiji.

Pada waktu itu di negeri Ayodya Prabu Dasarata menjadi raja.

Di dalam Sĕrat Rukmawati sosok Prabu Dasarata dan keadaan

kerajaan Ayodya digambarkan sebagai berikut:

... gĕntos kacariyos, nagari ing Ayodya, ing nalika punika

ingkang jumĕnĕng nata ajujuluk Prabu Dhasarata,

tĕrahipun Ikswaku, ratu limpad ing Sĕrat Wéddha, akaliyan

Sĕrat Weddhangga, sidik ing paningal, bijaksana,

mandraguna sinĕkti, kinèdhĕpan samaning tumuwuh, putus

dhatĕng kawajiban suci. Ratu pinandhita, mèh anyamèni

para maharsi, kĕkah ing adilipun, kawasa amĕnggak budi

hawanipun, saking anggènipun mungkul ing katĕmĕnan

sarta anĕtĕpi agami tigang prakawis.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 16

Kautaman tuwin kaluhuranipun sang nata misuwur ing

jagad titiga, prasasat sami akaliyan para déwa. Lulus tata-

raharjaning praja. Ing kitha wau titiyangipun sami bĕgja,

botĕn wontĕn tiyang bodho, botĕn wontĕn tiyang kĕsèd,

botĕn wontĕn tiyang musakat, botĕn wontĕn tiyang awon

warninipun. Botĕn wontĕn tiyang ingkang drĕngki, botĕn

wonten tiyang ingkang tanpa aji. Botĕn wontĕn tiyang

ingkang awon griyanipun, botĕn wontĕn tiyang ingkang alit

manahipun, botĕn wontĕn tiyang cĕlak umuripun. Botĕn

wontĕn tiyang sakĕdhik anakipun, botĕn wontĕn tiyang

murtad, botĕn wontĕn tiyang ingkang botĕn nĕtĕpi wajibing

ngagĕsang. Tiyangipun èstri sami éndah-éndahing warni,

tani-tani sarta bĕkti-bĕkti ing laki, botĕn wontĕn tiyang

ingkang manganggé lungsĕd. Sawarninipun tiyang sami

busana adi-adi ingkang rinĕngga ing kancana sosotya

nawarĕtna, sarwi agaganda amrik arum. Kitha wau rinĕksa

ing prajurit éwon, anggigirisi kados latu murub, sarta botĕn

saged kawon pĕrang. Para nayakanipun sang Prabu

cacahipun wowolu, ingkang sampun misuwur ing

kautamanipun, bijaksana, sami limpad ing kawruh wéddha,

putus dhatĕng wajib pangĕrèhing praja, botĕn pĕgat

anggĕnipun ambudi wĕwahing kaluhuraning ratunipun.

( ... kemudian diceritakan, nagari di Ayodya, pada waktu

itu yang menjadi raja bergelar Prabu Dasarata, keturunan

Ikswaku, raja yang (telah) ahli dalam Sĕrat Wéddha dan

Sĕrat Wéddhangga, tajam penglihatannya, bijaksana, sangat

sakti, disegani oleh sesama makhluk, putus (mumpuni)

dalam hal kewajiban suci. Raja (yang bersifat) pendeta,

hampir menyamai para maharsi, kokoh dalam keadilan,

kuasa menahan hawa nafsunya, karena dia (baginda) (sudah)

tekun dalam kelurusan hati (kejujuran) serta menepati agama

3 macam.

Keutamaan serta keluhuran sang raja termashur di tiga

dunia, bagaikan sama dengan para dewa. Mumpuni

17 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

mengatur keselamatan dan kesejahteraan negara. Di dalam

kerajaan tersebut rakyatnya semua bahagia, tidak ada orang

yang bodoh, tidak ada orang yang malas, tidak ada orang

yang hina, tidak ada orang yang buruk wajahnya. Tidak ada

orang yang dengki, tidak ada orang yang tanpa harga diri.

Tidak ada orang yang buruk rumahnya, tidak ada orang

yang kecil hatinya, tidak ada orang yang pendek umurnya.

Tidak ada orang yang sedikit anaknya, tidak ada orang yang

murtad, tidak ada orang yang tidak menepati kewajiban

hidupnya. Para perempuannya semua cantik-cantik parasnya,

para petani (perempuan) pada berbakti pada suaminya, tidak

ada orang yang berpakaian lusuh. Semua orang pakaiannya

indah-indah yang dihiasi dengan emas intan permata, serta

berbau harum semerbak. Kota tersebut dijaga oleh ribuan

prajurit, menakutkan seperti api yang menyala serta tidak

terkalahkan dalam perang. Para pemimpin sang Prabu

berjumlah 8, (mereka) sudah termashur keutamaannya,

semua ahli dalam ilmu Wédha, putus (ahli) dalam hal tata

pemerintahan negara, tidak henti-hentinya dalam berusaha

menambah keluhuran rajanya).

Prabu Dasarata pada waktu itu juga menginginkan memiliki

putra yang termashur di dunia karena pada waktu itu baginda

belum berputra. Para pendeta menyarankan agar Prabu Dasarata

mengadakan upacara (sedekah) Aswameda di hutan Madura di

dekat sungai Sarayu. Sewaktu perlengkapan persembahan sudah

siap, Prabu Dasarata mendapat petunjuk dewa bahwa ia

hendaknya menunggu kedatangan putra Sang Hyang Wisnu.

Kedatangan Prabu Basurata di hutan Madura disambut dengan

gembira oleh Prabu Dasarata di Ayodya, bersama para raja di

kerajaan Prawa, Mantili, dan Malawa. Ketika persembahan

Aswameda tersebut dilakukan, Bathara Prayapati (Sang Hyang

Jagadnata) yang diiringi para dewa sangat berkenan. Para dewa

kemudian mengusulkan kepada Bathara Prayapati agar

memberikan putra sebagai titisan Dewa Wisnu kepada Prabu

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 18

Dasarata. Hal ini dimaksudkannya agar putra Prabu Dasarata

kelak dapat membunuh raja raksasa, Rahwana, yang sangat

termashur kesombongannya dan sebagai perusak segala yang

tumbuh (Ranggawarsita, 1938: 24-29; Kamajaya, 1994: 14-18).

Prabu Basurata dan Prabu Dasarata serta para raja lainnya

kemudian mendekati Jamur Dipa yang terlihat menyala-

nyala. Jamur Dipa tersebut kemudian berubah menjadi seperti

mustika. Bathara Wisnu kemudian memberi Payasa yang

ditempatkan di atas jamur tersebut. Payasa adalah makanan para

dewa yang sangat lezat. Kepada kedua raja tersebut Bathara

Wisnu menyatakan bahwa keduanya diperbolehkan mengambil

Payasa yang terletak di Jamur Dipa untuk dimakan bersama

istrinya, niscaya kedua raja tersebut akan memperoleh putra yang

utama. Prabu Dasarata dan Prabu Basurata kemudian mengambil

Japur Dipa dan Payasa untuk kemudian dimakan bersama

permaisuri mereka. Beberapa waktu kemudian para istri Prabu

Dasarata hamil. Di dalam Sĕrat Rukmawati prosesi ritual agung

Asmaweda tersebut diuraikan sebagai berikut:

... Sarĕng sampun rĕrĕm sawatawis dintĕn, Prabu

Dhasarata dhawuh angawiti pakurmataning sidhĕkah nĕtĕpi

ingkang kasĕbut ing sastra tuwin adat waton. Ingkang dados

pangagĕng tumandang pangruktining sidhĕkah Rĕsi

Srĕngga. Wujudipun sidhĕkah, barang pèni raja pèni,

tĕtĕdhan awarni-warni, amĕpĕki, sabarang ingkang

kinarsakakĕn wontĕn.

Kalanipun Prabu Dhasarata anggĕlarakĕn sidhĕkah,

saking katrimahing sidhĕkahipun, Sang Hyang Jagadnata

ingkang ugi sinĕbut Bathara Prayapati, anĕdhaki dhatĕng

panggènan sidhĕkah kadhèrèkaken para déwa. Sarĕng para

déwa aningali sidhĕkahipun Prabu Dhasarata ingkang

tanpa timbang, sami matur dhatĕng Bathara Prayapati,

mugi kaparĕnga amaringi putra dhatĕng Prabu Dhasarata

saha mugi andhawuhna dhatĕng Bathara Wisnu, anjanma-a

ing putranipun Prabu Dhasarata, sagĕda anyimakakĕn

19 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

ratuning danawa ingkang nama Rahwana, ingkang

sakalangkung kumalungkung dados gĕgĕlahing bumi,

angrisak samining tumuwuh. Bathara Pryapati amarĕngi

panuwun wau.

Sasampunipun sidhĕkah, Prabu Basurata akaliyan Prabu

Dhasarata tuwin para ratu sami anĕdhaki panggènanipun

Jamur-dipa. Jamur-dipa katinggal murub angkara-kara.

Sarĕng Prabu Basurata, Prabu Dhasarata anyĕlaki, urubing

Jamur-dipa sirĕp. Karsaning déwa angkĕripun Jamur-dipa

dados cabar, jamur katingal amaya-maya kados musthika.

Bathara Wisnu lajĕng amaringi "Payasa" kadunungakĕn

sanginggiling jamur. Payasa wau dhaharipun para déwa

ingkang raosipun sakalangkung éca. Bathara Wisnu

angatingal sarwi angandika: „Hé ratu sudibya, kaki Prabu

Basurata lan kaki Prabu Dhasarata, sira ingsun wĕnangaké

ngalap Payasa kang dumunung ing Jamur-dipa iku. Banjur

sira pangana lan somahira. Panganan iku kang dadi

jalarané sira padha kasinungan suta, agawé undhaking

kautaman lan kamulyan‟.

Prabu Basurata, Prabu Dhasarata, andhĕku sumĕmbah

ing Sang Hyang Wisnu, lajĕng sami mundhut Payasa

ingkang dumunung ing Jamur-dipa, pinundhi ing mastaka,

dalah Jamur-dipa ugi kapundhut. Sang Hyang Wisnu muksa.

Ratu kalih lajĕng kondur dhatĕng pasanggrahan. Payasa

ingkang kapundhut Prabu Dhasarata, tumuntĕn kadhahar

akaliyan pramèswari nata titiga. Jamur-dipa dipun dum

waradin dhatĕng para ratu. Pamukartaning sidhĕkan

kĕndĕl.

Para ratu tuwin para rĕsi, para brahmana sapanung-

gilanipun, sasampunipun anampèni pandumaning sidhĕkah,

lajĕng sami bibaran. Prabu Dhasarata dalah pramèswari

nata kondur dhatĕng praja. Prabu Basurata kaaturan tĕdhak

kampir dhatĕng Ayodya. Naréndra ing Mantili, ing Malawa,

ing Prawa, sami tumutur angurmati. Sarawuhipun ing

Ayodya langkung sinuba-suba....

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 20

Beberapa waktu kemudian Prabu Basurata, sekembalinya ke

Wiratha, memperlihatkan Jamur Dipa dan Payasa tersebut

kepada Dewi Rukmawati. Dewi Rukmawati melihat bahwa di

dalam Jamur Dipa terdapat 2 rajah, yaitu rajah Purusa dan rajah

Kani. Menurut Dewi Rukmawati bahwa Prabu Basurata kelak

akan berputra raja besar serta seorang putri yang nantinya juga

menurunkan raja besar. Jamur Dipa tersebut kemudian dipuja

Dewi Rukmawati berubah menjadi buah-buahan disebut buah

Wipula. Payasa dan buah Wipula kemudian diminta untuk

dimakan Prabu Basurata bersama permaisuri Dewi Brahmaniyuta

(Ranggawarsita, 1938: 28-32; Kamajaya, 1994: 18-21).

Pada tahun Wiya terhitung tahun 454 (Suryasangkala) dengan

sĕngkalan: Dadi-tataning-pakarti atau tahun 468 (Candra-

sengkala) dengan ditandai sĕngkalan: Sarira-angrasa-suci.

Bertepatan masa Manggakala, permaisuri Dewi Brahmaniyuta

melahirkan putra laki-laki diberi nama Raden Brahmaneka,

sementara itu di kerajaan Ngayodya permaisuri Prabu Dasarata

pun melahirkan putra. Dewi Kusalya berputra Rama, Dewi

Kekayi berputra Bharata, adapun Dewi Sumitra berputra

Laksmana dan Satrugna. Sebagai ungkapan kebahagiaan Prabu

Dasarata disertai Raja Mantili, Raja Malawa dan Raja Prawa

kemudian mengunjungi Prabu Basurata di Wiratha (Rangga-

warsita, 1938: 34; Kamajaya, 1994: 22). Di dalam Sĕrat

Rukmawati kelahiran Rāma bersaudara tersebut dikemukakan

sebagai berikut:

Kacariyos, kadi sarĕng lampahanipun, ananging

cariyosipun kadamĕl gĕntos, ing tanah Hindi pramèswari

Ngayodya, sampun ambabar putra kakung langkung rumiyin

ingkang miyos saking Dèwi Kusalya kaparingan nama Rama.

Ingkang miyos saking Dèwi Kĕkayi pinaringan nama Barata.

Ingkang miyos saking Dĕwi Sumitra kakalih pinaringan nama

Laksmana, akaliyan Satrugna.

Prabu Dhasarata andhatĕngngakĕn suka pari suka. Sarĕng

21 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

sampun dumugi anggĕnipun amangun suka, kabĕkta saking

rĕnaning panggalih déné kadumugĕn ingkang dados

karsanipun, Prabu Dhasarata karsa tĕdhak cangkrama

dhatĕng nuswa Jawi, kanthi ratu ing Mantili, ing Malawa lan

ing Prawa. Lajĕng sami bidhalan saking palabuhan Prawa

anitih baita.

Demikian jejak cerita Rama (Rāma) yang terdapat dalam Sĕrat

Rukmawati, terutama berkaitan dengan prosesi ritual agung

(Asmaweda) yang dilakukan oleh Prabu Dasarata, raja Ayodya,

dalam rangka memohon kelahiran putra yang menjadi penjelmaan

Sang Hyang Wisnu (Rāma bersaudara).

Cerita Rāma dalam Sĕrat Sutiknawyasa

Pujangga R. Ng. Ranggawarsita di dalam Sĕrat Pustakaraja

menyatakan:

Sĕrat Sutiknawyasa wiyosipun punika cariyos panjĕnĕngan

nata Prabu Krĕsna Dwipayana ing Ngastina ngantos dumugi

ambagawan nama Bagawan Byasa. Kaanggit déning Mpu

Widdhayaka ing Mamĕnang. Panganggitipun anuju ing tahun

Suryasangkala 853, kaétang ing tahun Candrasangkala

amarĕngi 879. (Ranggawarsita, 1938: 21).

(Sĕrat Sutiknawyasa, inilah cerita kisah hidup Prabu Kresna

Dwipayana di Ngastina sampai menjadi begawan bernama

Bagawan Byasa. Digubah oleh Mpu Widdhayaka di

Mamenang, penggubahannya bertepatan tahun Surya-sangkala

853, terhitung tahun Candrasangkala bertepatan tahun 879).

Jejak cerita Rama (Rāma) dalam Sĕrat Sutiknawyasa tampak

dari cerita yang disampaikan oleh Dhang Hyang Wiku Salya

kepada Bagawan Abyasa tentang kisah Rama ketika ia harus

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 22

meninggalkan kerajaan Ayodya untuk pergi ke hutan, hanya

disertai oleh istrinya (Dewi Sinta) dan adiknya Laksmana, seperti

tampak pada kutipan berikut:

"Kala Prabu Ramawijaya sinèrènan kaprabonipun ingkang

rama Prabu Dasarata jumĕnĕng nata ing Ayudya, botĕn lami

kalungsur ginantosan ingkang rayi anama Prabu Barata.

Lajĕng kinèn tĕtaki dhatĕng wana pringga kawĕwahan

kénging kadhusta ing duratmaka Prabu Dasamuka kabĕkta

dhatĕng Alĕngka. Sapintĕn kémawon sungkawaning galihira

Prabu Ramawijaya, parandosipun botĕn amĕgĕng pangandika

kajawi amung tansah amĕsu cipta salĕbĕting samadi

kémawon. Dumadakan angsal wasita sawantah, kinèn

amitulungi sungkawaning wanara raja Sugriwa. Ing wĕkasan

dados saraya sagĕdipun kapanggih kaliyan garwa Dĕwi Sinta.

Lajĕng jumĕnĕng nata malih wontĕn ing Ayudya, punika

among saking dènira tabĕri amarsudi rĕmbaging janma. Mila

bĕbasanipun tiyang kadhatĕngan sungkawa, anggĕr lajaran

asring angsal pitulungan saking tiyang ingkang sami

kasungkawan. " (Karyarujita dan Sastranaryatmo, 1981: 443-

444).

(Ketika Prabu Ramawijaya mendapatkan tahta dari

ayahandanya Prabu Dasarata untuk menjadi raja di Ayodya,

tidak berapa lama (tahta tersebut) diminta kembali untuk

digantikan oleh adiknya yang bernama Prabu Barata. (Prabu

Ramawijaya) kemudian disuruh bertapa ke hutan belantara,

ditambah (Dewi Sinta) diculik oleh pencuri Prabu Dasamuka

(untuk) dibawa ke Alengka. Betapa besar kesedihaan hati

Prabu Ramawijaya, meskipun demikian ia tidak diam

membisu, namun bahkan selalu mengasah pikirannya di dalam

bersamadi. Tiba-tiba (Prabu Ramawijaya) mendapat petunjuk

yang jelas bahwasanya ia disuruh menolong kesedihan raja

kera Sugriwa. Kelak dikemudian hari (akan) menjadi sarana ia

berjumpa kembali dengan istrinya Dewi Sinta. Kemudian

23 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

akan menjadi raja kembali di Ayodya, inilah hasil kalau

(seseorang itu) rajin berupaya menolong manusia. Karena itu

peribahasanya seseorang yang sedang sedih, apabila mau

menolong seringkali (ia) mendapat pertolongan oleh

seseorang yang juga mengalami kesusahan).

Dengan demikian peristiwa kepergian Prabu Ramawijaya dari

istana ke hutan belantara tersebut dihadirkan oleh Dhang Hyang

Wiku Salya dengan maksud agar Rĕsi Abyasa tidak merasa

terlalu bersedih hati dengan tidak diangkatnya dia menjadi raja di

Ngastina menggantikan ayahandanya Bagawan Parasara

(Palasara), karena ternyata yang menimpa Prabu Ramawijaya

lebih pahit lagi. Nasehat Dhang Hyang Wiku Salya tersebut

melengkapi nasehat dari Dhang Hyang Smarasanta kepada Rĕsi

Abyasa agar tidak terlalu bersedih. Dhang Hyang Smarasanta

mengemukakan keadaan dirinya yang telah berumur 150 tahun

tetapi tetap tampak muda karena hatinya tenang dan damai.

Dhang Hyang Smarasanta juga mengemukakan peristiwa yang

dialami Maharĕsi Manumanasa yang menjadi pertapa setelah

tidak diangkat menjadi raja menggantikan ayahandanya.

Demikian pula kisah Sang Hyang Wisnu yang juga dicopot

kedudukannya sebagai raja, ia kemudian menjadi pertapa di

Waringin Sapta (Waringin Pitu) sampai akhirnya ia ditugaskan

melenyapkan Prabu Silacala (Watugunung) sebelum diampuni

kesalahannya oleh ayahnya, Bathara Guru, serta didudukkan

kembali menjadi raja (Karyarujita dan Sastranaryatmo, 1981:

442-443).

Cerita Rāma dalam Sĕrat Prabu Gĕndrayana

Di dalam konstruksi teks-teks Pustakaraja, Sĕrat Prabu

Gĕndrayana dapat dijajarkan dengan Sĕrat Budhayana. Dengan

demikian Sĕrat Prabu Gĕndrayana termasuk dalam kelompok

Sĕrat Mahaparma Bagian Sĕrat Pustakaraja Puwara. Naskah

Sĕrat Prabu Gĕndrayana terdiri dari 2 jilid, yaitu Sĕrat Prabu

Gĕndrayana I dengan kode D 46 A yang terdiri atas 577

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 24

halaman dan pernah ditranskripsi oleh K.R.T. Soemarso Pontjo

Soetjipto. Adapun naskah Sĕrat Prabu Gĕndrayana II dengan

kode D 46 B yang terdiri atas 1.272 halaman dan sudah

ditranskripsi oleh Soepardi Hadisuparto. Jadi Sĕrat Prabu

Gĕndrayana terdiri atas 1.849 halaman. Naskah-naskah Sĕrat

Prabu Gĕndrayana di atas adalah koleksi Perpustakaan Reksa

Pustaka Pura Mangkunegaran Surakarta.

Adapun waktu yang diceritakan dalam Sĕrat Prabu

Gĕndrayana tahun 790 – 800 (Suryasangkala) atau tahun 816 –

824 (Candrasengkala). Isi ceritanya dimulai dari sewaktu Bathara

Naradha mengukuhkan Arya Prabu Bambang Sudarsana menjadi

raja di Yawastina (Ngastina Baru) bergelar Prabu Yudayaka atau

Prabu Darmayana. Cerita diakhiri sewaktu Prabu Yudayaka

bermaksud turun tahta menjadi begawan dan akan mengukuhkan

putranya yaitu Raden Kijing Wahana sebagai raja di Yawastina.

Adapun jejak cerita Rama (Rāma) dalam Sĕrat Prabu

Gĕndrayana dikemukakan oleh Bagawan Danèswara dari

Gunung Nilandusa (Wilis) menghadap Prabu Gendrayana untuk

mohon bantuan agar putra baginda, yaitu Raden Narayana, mau

membantunya untuk melenyapkan segenap hama tanaman yang

menyerang sawah dan ladang penduduk Gunung Nilandusa dan

menyebabkan mereka gagal panen. Adapun hama tanaman yang

menyerang sawah ladang mereka adalah: cèlèng, tikus, walang,

burung, ludhĕp, lĕladhoh, bĕkocok, mĕnthèk, ganggĕngan, ulat,

jamur dan lain sebagainya. Segala hama tanaman tersebut sulit

dibasmi karena mereka dilindungi para Dewa keturunan Sang

Hyang Kala. Misalnya: Bathara Kithaka merajai segala jenis

belalang, Bathara Gindhala merajai segala jenis ludhĕp, Bathara

Printanjala merajai segala jenis burung, Bathara Sungkara merajai

segala jenis cèlèng, dan Bathara Hiranyaka merajai segala jenis

tikus.

Berdasarkan petunjuk (wangsit) dewa, yang dapat

melenyapkan segala hama dan penyakit tanaman tersebut adalah

Raden Narayana, putra Prabu Gendrayana, karena beliau adalah

titisan Sang Hyang Wisnu Murti, pemelihara dunia. Apalagi pada

25 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

waktu lahir Raden Narayana sudah mendapatkan senjata dari

dewa berupa panah Pasopati dan panah Sarotama. Akan tetapi,

Prabu Gendrayana merasa ragu dan keberatan, karena bagaimana

mungkin putranya yang baru berusia 13 tahun tersebut harus

berhadapan dengan segala jenis hama tanaman yang dilindungi

oleh para dewa. Hal inilah yang membuat Prabu Gendrayana

khawatir atas keselamatan putranya. Oleh karena Prabu

Gendrayana masih merasa ragu-ragu maka Bagawan Danèswara

mengingatkan baginda atas kisah kepahlawanan Ramawijaya,

putra Prabu Dasarata raja Ngayodya dari tanah Hindu.

Menurutnya, sewaktu Ramawijaya baru berumur 8 tahun sudah

dimintai bantuan oleh Bagawan Sutiksnayogi dari Gunung

Dhandhaka agar menumpas para raksasa bala tentara Prabu

Rahwana dari Ngalengka yang merusak pertapaan para pertapa.

Adapun kisah kepahlawanan Ramawijaya dan adiknya,

Laksmana, yang dapat dijadikan tauladan tersebut tersurat pada

Sĕrat Prabu Gĕndrayana II seperti pada kutipan berikut:

"Dhuh dhuh Pukulun Kangjĕng Déwaji, manawi kados

makatĕn pamanggihipun ing karsa paduka punika Pukulun,

dados kénging sinĕbut tilar kasantosaning galih supé dhatĕng

kawasaning déwa, saèstunipun nadyan raréya ingkang taksih

mudha punggung pisan, manawi Sang Hyang Wisésa ingkang

adamĕl unggul sayĕkti botĕn sangsaya dènira hamisésa ing

ama, ingkang saupami tiyang sĕpuh ingkang sampun sura

sĕkti mandraguna, utawi ingkang luhur sugih wadya bala

sami sura sakti ing yuda, manawi Sang Hyang Jagad

Pratingkah adamel apĕsipun ing titiyang ingkang sami sura

sakti wau, yĕkti botĕn dangu lajĕng dhadhal larut sadaya,

kaliyan malih Pukulun, panjĕnĕngan paduka punika punapa

supé cariyos lampahanipun Bathara Ramawijaya putranipun

Prabu Dasarata ing Ngayodya tanah ing Indhu, yèn Bathara

Ramawijaya wau inggih panuksamaning Sang Hyang

Wisnumurti, sarĕng sawĕg yuswa wolung warsa lajĕng

kasuwun dhatĕng Bagawan Sutiksnayogi ing wukir

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 26

Dhandhaka, panuwunipun badhé kaabĕn kaliyan danawa

ingkang sami angririsak dhatĕng patapaning para wiku,

danawa wau balanipun Prabu Rawana Ngalĕngka, Bathara

Ramawijaya kalampahan kabĕkta dhatĕng Bagawan

Sutiksnayogi, lampahipun saking nagari ing Ngayodya botĕn

ambĕkta wadya bala aming kadhèrèkakĕn ingkang rayi

satunggal anama Raden Laksmana Widagda, sarĕng dumugi

ing patapan raja putra kalih wau karsaning Déwa tĕka lajĕng

sagĕd anirnakakĕn sagunging raksasa tanpa étangan tumpĕs

déning satriya kalih kémawon, botĕn antawis lami Bathara

Ramawijaya wau kaliyan ingkang rayi bidhal saking

patapaning pandhita lajĕng amĕdali sayĕmbara dhatĕng

nagari ing Mantilidirja, panjĕnĕnganipun Prabu Janaka

darbé atmaja pawèstri satunggal langkung ayu éndah

warninipun, nama Dèwi Sinta, dèntĕn sayĕmbaranipun Prabu

Janaka nguni singa ingkang sagĕd amĕnthang langkap

pusakanipun Prabu Janaka saèstu dados jatu kraminipun

putra nata Dèwi Sinta wau, kala semantĕn sagunging para

nata sèwu nagari botĕn wontĕn ingkang lĕbda karya wĕkasan

sami kawangsulakĕn, sarĕng Bathara Ramawijaya saking

karsaning Dewa sagĕd amĕnthang, malah punang langkap

pusaka lajĕng tugĕl tanpa karana, Prabu Janaka langkung

suka kalampahan kadhaupakĕn kaliyan Dèwi Sinta, sarĕng

bidhal saking Mantili kadhèrèkakĕn para punggawa langkung

kathah, dupi wontĕn ing margi kabégal déning pandhita

langkung sakti mandra guna, wasta Rĕsi Ramaparasu, inggih

punika kang angawonakĕn Prabu Harjunasasra ing

Mahèspati nguni, Sang Ramaparasu wau karsaning Déwa

lajĕng kasor déning Bathara Ramawijaya, manawi ing

yuswanipun nalika numpĕs sagunging diyu ditya rĕksasa wil

danawa murka kang wontĕn ing wukir Dhandhaka nguni

inggih sawĕg yuswa wolung warsa, saèstunipun sĕpuh putra

paduka Radèn Narayana punika (Sĕrat Prabu Gĕndrayana II,

D 46 B, hal. 848-853; Hadisuparto, 2007: 158-159;

Karyarujita dan Sastranaryatmo, 1981: 480-481).

27 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

("Dhuh dhuh Pukulun Kanjeng Dewaji, jika demikian ini

pendapat paduka Pukulun, dapat disebut meninggalkan

kesentausaan hati, lupa pada kekuasaan Dewa, sesungguhnya

meskipun masih anak-anak dan lagi masih bodoh, apabila

Sang Hyang Wisesa yang membuat menang, tentu tidaklah

sulit dalam meraih kemenangan atas hama (tanaman),

sekalipun seumpama orang sudah tua, berani lagi sangat sakti,

atau yang berkedudukan tinggi (memiliki) banyak bala tentara

yang sakti-sakti dalam peperangan, apabila Sang Hyang Jagad

Pratingkah membuat apĕs (malang) kepada orang-orang yang

sangat sakti itu, tentu tidak lama juga akan tumpas semua, dan

lagi Pukulun, apakah Paduka ini lupa pada cerita kisah hidup

Bathara Ramawijaya, putra Prabu Dasarata di Ngayodya

Tanah Hindu, bahwasanya Bathara Ramawijaya juga

penjelmaan Sang Hyang Wisnu Murti, ketika baru berumur 8

tahun, kemudian diminta oleh Bagawan Sutiksnayogi dari

Gunung Dhandhaka, permintaan (Bagawan Sutiksnayogi)

Bathara Ramawijaya akan diadu dengan raksasa yang merusak

pertapaan para wiku, raksasa tersebut adalah bala tentara

Prabu Rahwana (dari) Ngalengka, Bathara Ramawijaya

bersedia dibawa oleh Bagawan Sutiksnayogi, perjalanan

(Bathara Ramawijaya) dari negeri Ngayodya tidak membawa

bala tentara, (tapi) hanya diiringkan seorang adiknya bernama

Raden Laksmana Widagda, sesampainya di pertapaan, kedua

putra raja tersebut (karena) kehendak Dewa berhasil

melenyapkan semua raksasa yang tak terhitung banyaknya

(semua) tumpas hanya oleh kedua satria tadi. Tidak beberapa

lama Bathara Ramawijaya bersama adiknya meninggalkan

pertapaan pendeta untuk mengikuti sayembara ke negeri

Mantilidirja. Prabu Janaka memiliki seorang putri yang sangat

cantik parasnya bernama Dewi Sinta. Adapun sayembara

Prabu Janaka tersebut, bahwasannya siapa saja yang mampu

membentangkan busur panah pusaka Prabu Janaka, sungguh

akan dikawinkan dengan putri raja tersebut. Pada waktu itu

semua para raja (yang berjumlah) 1.000 negara tidak ada satu

pun yang mampu melakukannya, akhirnya mereka semua

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 28

disuruh kembali (ke kerajaannya). Bathara Ramawijaya,

karena kehendak Dewa berhasil membentangkan, bahkan

busur panah pusaka kemudian putus tanpa sebab. Prabu

Janaka sangat gembira (Bathara Ramawijaya) kemudian

dikawinkan dengan Dewi Sinta. Ketika mereka meninggalkan

Mantili diiringkan para punggawa yang sangat banyak. Pada

waktu mereka di tengah jalan, dihadang (dirampok) oleh

pendeta yang teramat sakti bernama Ramaparasu. Dialah yang

dahulu mengalahkan Prabu Arjunasasra di kerajaan

Mahespati. Sang Ramaparasu karena kehendak Dewa dapat

dikalahkan oleh Bathara Ramawijaya. Ketika Bathara

Ramawijaya menumpas para raksasa, wil dan sebangsanya

yang merusak (pertapaan) di Gunung Dhandhaka dahulu

usianya baru 8 tahun. Sesungguhnya masih lebih tua dengan

putra Paduka, Raden Narayana).

Demikianlah tampilnya cerita Rama (Rāma) dalam Sĕrat

Prabu Gĕndrayana sengaja dihadirkan oleh Bagawan Danèswara

untuk memberikan gambaran dan pandangan kepada Prabu

Gendrayana agar merelakan putranya, yaitu Raden Narayana

(yang juga penjelmaan Sang Hyang Wisnu Murti, sebagaimana

Bathara Ramawijaya), untuk menumpas segala hama tanaman

yang dilindungi para Dewa, yang menyerang sawah dan ladang

penduduk di wilayah Gunung Nilandusa. Dalam hal ini, ada

sedikit perbedaan tentang usia Bathara Ramawijaya ketika

dimintai bantuan oleh Bagawan Sutiksnayogi untuk melawan

para raksasa perusak pertapaan di Gunung Dhandhaka. Kalau di

dalam teks naskah Prabu Gĕndrayana II, kode D 46 B di halaman

849 dan halaman 853, Bathara Ramawijaya waktu itu berusia 8

tahun (wolung warsa), namun dalam Sĕrat Paramayoga (Sĕrat

Kalĕmpakaning Piwulang) yang dikumpulkan oleh R. Ng.

Karyarujita dari Sĕrat Paramayoga dan Sĕrat Pustakaraja

dikatakan bahwa usia Bathara Ramawijaya adalah 18 tahun

(wolulas warsa), sebagaimana yang terdapat pada halaman 480

dan 481. Jadi ada selisih waktu 10 tahun. Jika dikatakan bahwa

29 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Raden Narayana waktu itu lebih tua daripada Bathara

Ramawijaya, maka hal ini ada benarnya karena usia Raden

Narayana adalah 13 tahun. Beliau lahir pada tahun 801

(Suryasangkala) atau tahun 825 (Candrasangkala), seperti yang

tersurat dalam naskah Sĕrat Prabu Gĕndrayana II halaman 112 –

139 (Hadisuparto, 2007: 20-25). Adapun peristiwa Raden

Narayana dimintai pertolongan melenyapkan segala hama

tanaman tersebut terjadi pada tahun 814 (Suryasangkala) atau

tahun 839 (Candrasangkala) (Naskah halaman 816 – 1008;

Hadisuparto, 2007: 152-187).

Di sini pun terdapat kejanggalan. Jika usia Ramawijaya

sewaktu dimintai pertolongan oleh Bagawan Sutiksnayogi baru 8

tahun, maka bagaimana mungkin dalam usia semuda itu ia

mengikuti dan memenangkan sayembara di kerajaan Mantilidirja,

sehingga ia kemudian dikawinkan dengan Dewi Sinta (dalam usia

8 tahun). Dalam hal ini jika usia Bathara Ramawijaya adalah 18

tahun akan lebih logis bila ia memenangkan sayembara

memperebutkan Dewi Sinta dan dikawinkan dengannya. Hanya

tentunya tidak dapat dikatakan bahwa ia masih kecil, jauh lebih

muda usianya dari Raden Narayana (13 tahun) sewaktu ia

dimintai pertolongan menumpas para raksasa yang merusak

pertapaan para Brahmana dan Pendeta di Gunung Dhandhaka.

Cerita Rāma dalam Sĕrat Purusangkara dan Sĕrat

Mayangkara

Di dalam Sĕrat Pustakaraja, maka Sĕrat Purusangkara dan Sĕrat

Mayangkara termasuk kelompok Kitab Maha Parma (bagian

Kitab Pustakaraja Puwara). Kedua kitab tersebut adalah karya

Mpu Sindungkara di Pengging. Penciptaannya bertepatan tahun

919 (Suryasangkala) atau tahun 948 (Candrasangkala). Namun

pada halaman depan Sĕrat Mayangkara dikemukakan secara jelas

bahwa R. Ng. Ranggawarsita adalah pengarangnya (Babon

tĕmbung pangikĕtipun sang misuwuring jagad: R. Ng.

Ranggawarsita, pujangga Dalĕm ing Kraton Surakarta

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 30

Adiningrat).

Pujangga R. Ng. Ranggawarsita sendiri di dalam Sĕrat

Pustakaraja juga menyatakan bahwa:

"Sĕrat Purusangkara, wiyosipun punika cariyos

lalampahanipun Prabu Purusangkara ing Yawastina, kala

krama antuk putri ing Mamĕnang, ngantos dumuginipun

nagari ing Yawastina kĕlĕm anjĕmblong dados samodra.

Kaanggit déning Mpu Sindungkara ing Pĕngging,

panganggitipun anuju ing tahun Suryasangkala 920, kaétang

ing tahun Candrasangkala amarĕngi 948." (Ranggawarsita,

1938: 35).

(Sĕrat Purusangkara, inilah cerita kisah (perjalanan) hidup

Prabu Purusangkara di Yawastina, ketika kawin dengan putri

dari Mamenang, sampai Kerajaan Yawastina tenggelam

menjadi samodra. Digubah oleh Mpu Sindungkara di

Pengging, penggubahannya bertepatan pada tahun

Suryasangkala 920, terhitung tahun Candrasangkala

bertepatan tahun 948)

Adapun waktu yang diceritakan dalam Sĕrat Purusangkara

mulai tahun 841 Suryasangkala (Ratu – gusthika – sarira ing

boma) atau tahun Candrasangkala 866 dengan sengkalan

berbunyi Anggas – angrasa – murti sampai dengan tahun

Suryasangkala 846 atau terhitung tahun Candrasangkala tahun

871. Pada bagian permulaan, antara Sĕrat Purusangkara dan

Sĕrat Mayangkara isinya hampir sama, yaitu menceritakan

tentang Sang Maharsi Mayangkara (Anoman). Hanya saja cerita

di dalam Sĕrat Purusangkara masih cukup panjang, karena jika

waktu penceritaan di dalam Sĕrat Purusangkara berlangsung

selama 5 tahun, maka waktu penceritaan dalam Sĕrat

Mayangkara hanya selama 1 tahun, dengan titik berat

penceritaannya hanya mengenai Sang Hyang Mayangkara.

31 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Adapun penceritaan di dalam Sĕrat Purusangkara masih sangat

panjang karena menceritakan berbagai peristiwa yang terjadi di

Kerajaan Widarba (Kediri) setelah gugurnya Sang Maharsi

Mayangkara. Adapun cerita-cerita tersebut antara lain: 1)

Perkawinan Raden Jayaamijaya dengan Ken Satapi, 2)

Pertentangan antara Prabu Jayapurusa (Jayabhaya) dengan ketiga

menantunya yaitu Prabu Purusangkara bersaudara, sampai

ditenggelamkannya Kerajaan Yawastina, 3) Kisah Madrim dan

Madrika, 4) Perkawinan Madrim dengan Arya Susastra, dan 5)

Prabu Darmadewa beserta saudara-saudaranya menyerbu

kerajaan Widarba (Tedjowirawan, 1985: 33-40). Adapun garis

besar cerita di dalam Sĕrat Mayangkara dan Sĕrat Purusangkara

pada bagian awal dapat dikemukakan sebagai berikut:

Sang Hyang Girinata mengadakan persidangan dengan para

dewa di kahyangan Suralaya. Mereka memperbincangkan

turunnya Sang Hyang Kala dan Sang Hyang Brahma ke dunia.

Sang Hyang Narada menerangkan bahwa maksud Sang Hyang

Kala dan Sang Hyang Brahma mau melenyapkan semua

keturunan Sang Hyang Wisnu. Kemudian Sang Hyang Girinata

memerintahkan Sang Hyang Narada untuk melindungi keturunan

Sang Hyang Wisnu dengan sarana mengawinkan Prabu

Astradarma (raja Yawastina) dengan putri Prabu Jayapurusa

(Prabu Jayabhaya) di kerajaan Widarba.

Dalam melanjutkan perjalanannya Sang Hyang Narada

bertemu dengan roh Sang Maharsi Mayangkara (jiwa Anoman)

yang mengungkapkan keinginannya untuk segera berkumpul

dengan para dewa. Sang Hyang Narada menerangkan bahwa

Sang Maharsi Mayangkara masih mendapat tugas dewa untuk

mengawinkan para putra mendiang Prabu Sariwahana

(Yawastina) dengan para putri Prabu Jayapurusa (Widarba).

Sang Maharsi Mayangkara menyatakan kesanggupannya dan

pulang kembali ke pertapaan Kendalisada menemui raganya (Rĕsi

Anoman). Rĕsi Anoman menyatakan mau menyatu kembali

dengan jiwa (rohnya) Sang Maharsi Mayangkara asal teka-teki

yang diajukannya dapat ditebak secara tepat. Sang Maharsi

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 32

Mayangkara dapat menebak teka-teki yang diajukan padanya,

sehingga ia menyatu kembali dengan raganya. Tidak lama

kemudian datanglah Sang Hyang Narada yang memerintahkan

Sang Maharsi Mayangkara ke Yawastina. Sesampainya di

Yawastina, ia beristirahat di bawah pohon beringin kembar.

Pada waktu itu, ketika Prabu Astradarma melihat adanya

putih-putih di bawah pohon beringin, maka baginda segera

memerintahkan punggawanya untuk memeriksa Sang Maharsi

Mayangkara. Sang Maharsi Mayangkara kemudian dihadapkan

kepada Prabu Astradarma. Sang Maharsi Mayangkara

menyatakan kepada Prabu Astradarma bahwa ia ditugaskan Sang

Hyang Narada untuk mengawinkan Prabu Astradarma bersaudara

dengan ketiga putri Prabu Jayapurusa di Widarba. Hal itu

dimaksudkan guna mempererat kembali tali persaudaraan yang

telah retak akibat pertikaian yang terjadi antara Prabu Sariwahana

dan Prabu Ajidarma di Malawapati melawan Prabu Jayapurusa di

Widarba. Perselisihan dan perpecahan itu berawal dari nenek

moyang mereka dahulu.

Prabu Astradarma merasa ragu-ragu bahwa Prabu Jayapurusa

telah melupakan permusuhan ayah-ayah mereka dahulu dengan

baginda (Prabu Jayapursa), akan tetapi Sang Maharsi Mayangkara

meyakinkan bahwa dewalah yang menentukan segalanya.

Kemudian Prabu Astradarma dan saudara-saudaranya dibawa

Sang Maharsi Mayangkara pergi ke kerajaan Widarba. Sementara

itu para prajurit Yawastina di bawah pimpinan Patih Sudarma

mempersiapkan diri menyusul rajanya.

Prabu Jayapurusa di kerajaan Widarba sedang menerima

Raden Jayamijaya, Patih Suksara serta para prajurit Widarba yang

menghadap. Mereka memikirkan perkawinan Raden Jayaamijaya

dengan putri Ken Satapi, anak Ajar Subrata. Patih Suksara

mengusulkan agar Prabu Jayapurusa memikirkan pula

perkawinan ketiga putri raja terlebih dahulu untuk menghindari

dari pergunjingan rakyat Widarba, akan tetapi Prabu Jayapurusa

menyerahkan jodoh ketiga putrinya kepada dewa.

Pada waktu itu datanglah Gadaksa dan Pradaksa, utusan Prabu

33 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Yaksadewa dari kerajaan Selauma untuk melamar Dewi

Pramesthi. Surat lamaran tersebut mengandung ancaman bahwa

seandainya Dewi Pramesthi tidak diberikan maka kerajaan

Widarba akan digempur. Raden Jayaamijaya sangat marah

membaca surat lamaran tersebut. Prabu Jayapurusa mengambil

jalan tengah yaitu andaikata Dewi Pramesti telah menjadi jodoh

Prabu Yaksadewa maka perkawinan mereka akan segera

dilangsungkan.

Sepeninggal Gadaksa dan Pradaksa, maka Raden Jayaamijaya

disertai Arya Susastra bersama pasukannya mengejar kedua

utusan kerajaan Selauma tersebut. Pertempuran tak dapat

dielakkan. Raden Jayaamijaya, Arya Susastra bersama pasukan

Widarba dapat dikalahkan. Raden Jayaamijaya sangat malu dan

ia bermaksud meminta bantuan kepada saudaranya, yaitu raja di

Yawastina.

Dalam perjalanan Raden Jayaamijaya bersama Arya Susastra,

keduanya berjumpa dengan Sang Maharsi Mayangkara. Raden

Jayaamijaya meminta bantuan kepada Sang Maharsi Mayangkara,

tetapi Sang Maharsi Mayangkara meminta imbalan ketiga putri

Widarba. Setelah Raden Jayaamijaya menyanggupi permintaan

itu, maka mereka segera mengejar Gadaksa dan Pradaksa.

Terjadilah pertempuran yang sangat hebat, namun Sang Maharsi

Mayangkara dapat menghancurkan pasukan kerajaan Selauma,

dan memaksa Gadaksa dan Pradaksa untuk mengundurkan diri

kembali ke kerajaan Selauma.

Raden Jayaamijaya, Arya Susastra dan Sang Maharsi

Mayangkara kemudian kembali ke Widarba. Kepada

ayahandanya (Prabu Jayapurusa) ia menerangkan bahwa Sang

Maharsi Mayangkaralah yang berhasil memenangkan

pertempuran melawan utusan kerajaan Selauma. Dikemuka-

kannya pula bahwa ia telah terlanjur menyanggupi untuk

memenuhi permintaan Sang Maharsi Mayangkara yang

menginginkan kawin dengan ketiga putri Widarba. Prabu

Jayapurusa menjadi ragu-ragu menerima permintaan Sang

Maharsi Mayangkara tersebut, tetapi akhirnya baginda

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 34

meluluskannya. Selanjutnya Prabu Jayapurusa meminta kepada

Sang Maharsi Mayangkara untuk menceritakan kembali

pengalaman peperangannya sewaktu menjadi senapati perang

yang terpercaya Prabu Ramawijaya. Prabu Jayapurusa segera

memerintahkan kepada Empu Pulwa untuk mencatat keterangan

Sang Maharsi Mayangkara guna meluruskan kembali peristiwa

sebenarnya tentang cerita peperangan Prabu Ramawijaya

melawan Prabu Rawana, Raja Alengka. Penulisan cerita Rama

pada mulanya bersumberkan keterangan dari Brahmana Hindu

yang bernama Dhang Hyang Asuman dan Dang Hyang Ilandhi.

Di dalam Sĕrat Mayangkara permintaan Prabu Jayapurusa

agar Sang Maharsi Mayangkara menceritakan pengalamannya

sewaktu menjadi senapati perang pasukan Prabu Ramawijaya

tersebut diuraikan sebagai berikut:

Sasampunipun makatĕn Prabu Jayapurusa andangu malih

dhatĕng Sang Maharsi Mayangkara, rèhning nguni kawarti

kawijilanipun saking nagari Guwakiskĕndha tanah Hindhu,

bokmanawi èngĕt ing cariyos lalampahanipun Prabu

Ramawijaya ing Ngayudyapala, dénya ambĕdhah nagari

Ngalĕngka nguni. Sang Rĕsi Anoman matur: "Dhuh-dhuh

Pukulun Kanjĕng Déwaji, manawi lalampahanipun Bathara

Ramawijaya Ngayudyapala anggènipun ambĕdhah nagari ing

Nglĕngka nguni, saèstunipun kawula nguni èngĕt sadaya,

malah kala sĕmantĕn kawula inggih kinarya sénapatining

ayuda, kaliyan adhi kula nak-sanak sutanipun paman kawula

ingkang sĕpuh wasta Prabu Subali, ing Guwakiskĕndha, mila

kawula dados sénapati, amargi paman kawula ingkang anèm

wasta Prabu Sugriwa punika, kaambil sraya déning Bathara

Ramawijaya wau, dados sawadyanipun para ratu wanara

sadaya sami umiring Bathara Ramawijaya, dhatĕng nagari

ing Ngalĕngka. Prabu Jayapurusa langkung suka angungun,

sukanipun dèntĕn badhé angsal wĕwahing cariyos

lalampahanipun Prabu Ramawijaya nguni, ingkang dados

pangungunipun, dèntĕn Sang Maharsi Mayangkara langkung

panjang yuswanipun. Pangandikanipun Prabu Jayapurusa:

35 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Hé Sang Maharsi Mayangkara kakasihing jawata, yèn

sambada karsanipun sang wiku, mugi kagancarĕna sadaya,

ingkang dados lalampahanipun Prabu Ramawijaya dènira

ambĕdhah nagari Ngalĕngka wau, mila makatĕn awit ing

nguni kula katamuwan brahmana saking tanah Hindhu,

ngantos kaping kalih, ingkang rumiyin wasta Dhang Hyang

Asuman ingkang kantun wasta Dhang Hyang Ilandhi, punika

sami anyariyosakĕn ingkang dados lalampahanipun Prabu

Ramawijaya nguni, sakalangkung rĕmĕn kula, malah ing

mangké sampun kaanggit déning ĕmpu jangga kula kang

wasta Émpu Pulwa, ananging pangraosing manah kula kados

taksih kirang jangkĕping cariyosipun, amargi botĕn sumĕrĕp

piyambak kados Sang Maharsi wau, milanipun manawi sang

wiku karsa anyariyosakĕn lalampahanipun Prabu

Ramawijaya, saèstu badhé andadosakĕn sukaning manah

kula, awit bokmanawi wontĕn wĕwahipun malih saking

cariyosing brahmana kalih nguni, ananging panuwun kula

mugi kagancarĕna dalah lalampahanipun wontĕn ing margi

sadaya, sampun ngantos wontĕn ingkang kalangkungan

cariyosipun". Sang Maharsi Mayangkara matur sandika,

lajĕng anyariyosakĕn kawiwitan saking nagarinipun Prabu

Ramawijaya wontĕn ing Ngayudyapala, ngantos dumugi

sédanipun ingkang putra Prabu Ramawijaya ingkang nama

Prabu Batlawa ing Duryapura, kaliyan Prabu Kusia ing

Ngayudyapala, salalampahanipun sampun sami

kagancarakĕn sadaya, miwiti mĕkasi. Ing ngriku Prabu

Jayapurusa langkung suka galihipun, lajĕng dhawuh dhatĕng

Empu Pulwa kinèn amĕwahakĕn panganggitipun kaliyan

ingkang saking cariyosing brahmana kalih nguni. Émpu

Pulwa matur sandika, nulya cinathĕtan sadaya.

(Kemudian Prabu Jayapurusa bertanya lagi kepada Sang

Maharsi Mayangkara, karena dahulu konon berasal dari

Guwakiskenda tanah Indu, barangkali teringat cerita

perjalanan hidup Prabu Ramawijaya di Ngayudyapala, ketika

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 36

dahulu menyerbu kerajaan Ngalengka. Sang Resi Anoman

berkata: "Duh-duh Pukulun Kanjeng Dewaji, jika peristiwa

penyerbuan Batara Ramawijaya Ngayudyapala dahulu ke

negara Ngalengka, sesungguhnya hamba teringat semuanya,

bahkan pada waktu itu hamba juga sebagai senapati perang,

bersama adik sepupu hamba, putra paman hamba yang

bernama Prabu Subali di Guwakiskenda, makanya hamba

menjadi senapati, karena paman hamba yang bernama Prabu

Sugriwa itu diminta bantuannya oleh Batara Ramawijaya, jadi

semua bala tentara para raja kera semua mengiring Batara

Ramawijaya ke negara Ngalengka. Prabu Jayapurusa gembira

(dan) heran, gembira karena akan mendapat tambahan cerita

kehidupan Prabu Ramawijaya, (sedangkan) yang menjadi

keheranannya, bahwa usia Sang Maharsi Mayangkara

demikian panjang. Kata Prabu Jayapurusa: "Hai Sang Maharsi

Mayangkara kekasih dewata, jika sang wiku berkenan,

semoga diceritakan semua tentang perjalanan hidup Prabu

Ramawijaya dalam menyerbu negara Ngalengka dahulu, oleh

karena dahulu kala saya kedatangan Brahmana dari tanah

Hindu, sampai dua kali, yang dahulu bernama Dhang Hyang

Asuman, yang terakhir bernama Dhang Hyang Ilandhi,

keduanya menceritakan perjalanan hidup Prabu Ramawijaya

dahulu, saya sangat gembira, bahkan sekarang sudah disusun

oleh pujangga saya yang bernama Empu Pulwa, akan tetapi

menurut pendapat saya nampak masih kurang lengkap

ceritanya, sebab tidak mengetahui sendiri seperti halnya Sang

Maharsi, maka seandainya sang wiku mau menceritakan

perjalanan hidup Prabu Ramawijaya, sungguh sangat

menyenangkan hati saya, sebab barangkali ada penambahan

lagi dari cerita dua brahmana dahulu itu, akan tetapi

permintaanku hendaknya diuraikan sekaligus semua peristiwa

yang terjadi di perjalanan, jangan sampai ada cerita yang

terlewat." Sang Maharsi Mayangkara menyatakan

kesediaannya, kemudian menceritakan mulai dari negara

Prabu Ramawijaya di Ngayudyapala, sampai mangkatnya

putra Prabu Ramawijaya yang bernama Prabu Batlawa di

37 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Duryapura dan Prabu Kusia di Ngayudyapala, semua

peristiwa sudah diceritakan, mengawali mengakhiri. Prabu

Jayapurusa sangat gembira hatinya, kemudian memerin-

tahkan kepada Empu Pulwa untuk mengubah penyusunan

cerita Ramawijaya seperti yang berdasarkan cerita dua

brahmana dahulu. Empu Pulwa menyatakan kesanggupan-nya,

kemudian semua dicacat.)

Beberapa waktu kemudian, Prabu Jayapurusa mengawinkan

Sang Maharsi Mayangkara dengan Dewi Pramesthi. Pada waktu

malam pengantin tiba, Sang Maharsi Mayangkara mengeluarkan

ketiga putra Yawastina untuk mengadakan pertemuan dengan

ketiga putri Widarba. Prabu Astradarma mengadakan pertemuan

dengan Dewi Pramesthi, Raden Darmasarana dengan Dewi

Pramuni, dan Raden Darmakusuma dengan Dewi Sasanti. Akan

tetapi, pertemuan itu diketahui oleh seorang ĕmban „inang

pengasuh‟ yang kemudian melaporkannya kepada Prabu

Jayapurusa. Prabu Jayapurusa segera memerintahkan Raden

Jayaamijaya untuk menangkap perusak kesusilaan di taman sari

itu. Dalam pertempurannya melawan Prabu Astradarma maupun

dengan Raden Darmasarana dan Raden Darmakusuma, ia kalah.

Oleh karena itu, Prabu Jayapurusa bermaksud mau maju sendiri,

akan tetapi segera dicegah oleh Sang Maharsi Mayangkara.

Selanjutnya Sang Maharsi Mayangkara menjelaskan, bahwa

sebenarnya dialah yang menjadi pengatur pertemuan antara Prabu

Astradarma bersaudara dengan ketiga putri raja. Hal itu

dilakukan atas perintah dewa agar menjadi perekat kembali

persaudaraan raja dengan ketiga putra mendiang Prabu

Sariwahana. Mendengar penjelasan itu, Prabu Jayapurusa

bergembira, karena ia akan bermenantukan Prabu Astradarma

bersaudara. Kemudian dilangsungkannyalah pesta perkawinan

Dewi Pramesthi, Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti dengan Prabu

Astradarma bersaudara. Pesta perkawinan mereka sangat meriah

dan berlangsung selama setengah bulan.

Sementara itu, Gadaksa dan Pradaksa telah kembali ke

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 38

kerajaan Selauma serta melaporkan hasil lamaran raja. Prabu

Yaksadewa sangat marah dan segera memerintahkan Patih

Mohita untuk mempersiapkan pasukannya menyerbu ke Widarba.

Kedatangan pasukan Selauma disongsong oleh pasukan Widarba

yang diperkuat oleh Sang Maharsi Mayangkara serta tiga putra

Yawastina. Dalam pertempuran yang dahsyat itu banyak perwira

kerajaan Selauma gugur di tangan Sang Maharsi Mayangkara.

Patih Mohita mencoba melawannya tetapi ia pun gugur. Prabu

Yaksadewa menjadi sangat marah. Dengan gada saktinya ia

menggempur Sang Maharsi Mayangkara. Dalam pertempuran

yang dahsyat itu Sang Maharsi Mayangkara gugur di medan

laga. Prabu Astradarma, Raden Darmasarana dan Raden

Darmakusuma segera menuntut bela, maju melawan Prabu

Yaksadewa, tetapi mereka pun gugur.

Prabu Jayapurusa sendiri mau melawan Prabu Yaksadewa.

Sebelum Prabu Jayapurusa maju datanglah Sang Hyang Narada

memberitahukan bahwa Prabu Yaksadewa adalah penjelmaan

Sang Hyang Kala, sedangkan gada saktinya adalah penjelmaan

Sang Hyang Brahma. Kemudian Sang Hyang Narada menjelma

menjadi gada sakti agar dapat dipakai Prabu Jayapurusa melawan

gada sakti Prabu Yaksadewa. Dalam pertempuran yang dahsyat

maka Prabu Yaksadewa menjelma menjadi Sang Hyang Kala,

sedangkan gada saktinya menjelma menjadi Sang Hyang

Brahma. Sang Hyang Narada pun menjelma kembali. Bertepatan

dengan itu nampaklah Sang Hyang Girinata bersemayam di atas

kepala Prabu Jayapurusa. Sang Hyang Girinata menerangkan

kepada Prabu Jayapurusa bahwa gugurnya Sang Maharsi

Mayangkara memang sudah merupakan kehendak dewa. Sang

Maharsi Mayangkara telah menjalankan kewajibannya di dunia

dengan baik pada akhir hidupnya dengan mengawinkan ketiga

putra mendiang Prabu Sariwahana (Yawstina) dengan ketiga putri

Prabu Jayapurusa (Widarba). Oleh karena itu sudah sepantasnya

Sang Maharsi Mayangkara memperoleh anugerah dewa di surga.

Kemudian Sang Hyang Girinata memerintahkan Sang Hyang

Narada untuk menghidupkan kembali mereka yang tewas dalam

pertempuran itu, kecuali Sang Maharsi Mayangkara. Sang Hyang

39 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Kala dan Sang Hyang Brahma segera menghidupkan kembali

pasukan Widarba dan Selauma (Tedjowirawan, 1985: 29-32).

Dengan demikian, jejak cerita Rama (Rāma) dalam Sĕrat

Purusangkara dan Sĕrat Mayangkara dikisahkan sendiri oleh

Sang Maharsi Mayangkara (Anoman) yang pada waktu itu (jaman

Kediri) masih hidup, sampai ia sendiri kembali ke surga setelah

secara tidak langsung dijemput oleh Sang Hyang Kala (Prabu

Yaksadewa) dan Sang Hyang Brahma, yang menjelma sebagai

gada sakti senjata Sang Hyang Kala.

Simpulan

Cerita Rama (Rāma) pada mulanya digubah dalam bahasa

Sanskerta oleh yogīndra Wālmīki, setelah melewati proses ritual

(tapabrata) selama 1.000 tahun. Penyair-penyair India lain pun

kemudian mencoba membuat cerita Rāma–Sīta, misalnya:

Raghuvangśa karya Kalidasa, Rāvaņavadha oleh Bhaţţi,

Janakīharaņa oleh Kumaradasa, Uttara Rāma oleh Bhavabhutti,

Rāmācaritamanasa oleh Tulasi Dasa, Rāmāyaņakathāsara-

mānjari oleh Ksemendra.

Cerita Rāmāyaņa dari India tersebut kemudian menyebar ke

berbagai penjuru dunia. Di Asia Tenggara cerita Rāma terdapat di

Vietnam, Kamboja, Laos, Birma, Filipina, Thailand, Melayu,

maupun Jawa. Salah satu versi cerita Rāma dari India yaitu

Rāvaņavadha karya Bhaţţi, di Jawa kemudian digubah menjadi

Kakawin Rāmāyaņa oleh pujangga yang belum ditetapkan secara

pasti siapa nama sebenarnya. Kakawin Rāmāyaņa tersebut

menjadi bahan perbincangan yang sangat ramai di antara para

sarjana, terutama sarjana-sarjana barat yang pada mulanya

mengadakan penelitian atas karya-karya sastra Jawa Kuna.

Kakawin Rāmāyaņa kemudian digubah menjadi Sĕrat Rama oleh

R.Ng. Yasadipura I. R.Ng. Yasadipura II menggubahnya menjadi

Sĕrat Arjuna Sasrabahu, sedangkan Sindusastra menggubahnya

menjadi Sĕrat Arjuna Sasra dan Sĕrat Lokapala.

Cerita Rāma ternyata ditemui juga jejaknya di dalam bagian

Sĕrat Pustakaraja, terutama di dalam Sĕrat Rukmawati, Sĕrat

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 40

Suktinawyasa, Sĕrat Prabu Gĕndrayana, Sĕrat Purusangkara

maupun Sĕrat Mayangkara. Dalam Sĕrat Rukmawati jejak cerita

Rāma terutama terkait dengan prosesi ritual yang dilakukan Prabu

Dasarata untuk memohon kelahiran putra penjelmaan Sang

Hyang Wisnu (Rāma). Dalam Sĕrat Suktinawyasa jejak cerita

Rāma dikemukakan oleh Dhang Hyang Wikusalya kepada Rĕsi

Abyasa agar tidak terlalu bersedih hati karena tidak diangkat

menggantikan ayahandanya menjadi raja di Ngastina, melainkan

hanya diangkat sebagai raja pendeta. Di dalam Sĕrat Prabu

Gĕndrayana jejak cerita Rāma dikemukakan oleh Bagawan

Danĕswara agar Prabu Gendrayana merelakan putranya yang

masih sangat muda yaitu Raden Narayana (Jayabhaya) untuk

dimintai bantuannya melenyapkan segala jenis hama tanaman

yang menyerang sawah dan ladang para penduduk di wilayah

Gunung Nilandusa (Wilis). Adapun dalam Sĕrat Purusangkara

dan Sĕrat Mayangkara, jejak cerita Rāma tampak dengan

tampilnya Sang Maharsi Mayangkara (Anoman). Bahkan

gugurnya Sang Maharsi Mayangkara dijemput oleh Sang Hyang

Kala (Prabu Yaksadewa) dan Sang Hyang Brahma, yang

menjelma menjadi gada sakti Prabu Yaksadewa. Peristiwa

gugurnya Sang Maharsi Mayangkara tersebut pada masa

pemerintahan Prabu Jayapurusa (Jayabhaya) di kerajaan Widarba

(Kediri).

Daftar Pustaka

Berg, C.C. (1974). Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bharata.

Darusuprapta (1963). Merunut Pupuh-pupuh Rama Djarwa

Matjapat jang Bersumber dari Sarga II dan III Rāmāyaņa

Kakawin (Tesis). Jogjakarta: Djurusan Sastra Djawa,

Fakultas Sastra dan Kebudajaan, Universitas Gadjah

Mada.

Hadisuparto, Soepardi (Pengalih Huruf) (2007). Sĕrat Prabu

Gĕndrayana II (46 B). Surakarta: Reksapustaka, Pura

Mangkunegaran Surakarta.

Karyarujita, R.Ng. (1981). Sĕrat Paramayoga: Sĕrat

41 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Kalĕmpaking Piwulang, Alih Aksara dan Alih Bahasa

oleh Moelyono Sastronaryatmo. Jakarta: Proyek

Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah

Depdikbud.

Mangkunegara IV (1914). Lampahan Jayapurusa.

Padmapuspita, Y. (1979). “Runut Merunut Penulisan dan Penulis

Kakawin Rāmāyaņa”. Makalah Ceramah. Yogyakarta:

Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.

Pigeaud, Th. G., Th. (1967). Literature of Java Vol. I. The Hague:

Martinus Nijhoff.

Poerbatjaraka, R.M. Ng. dan Tardjan Hadidjaja (1957).

Kepustakaan Djawa. Cetakan Kedua. Djakarta: Djambatan.

Ranggawarsita, R. Ng. (1908). Witaradya. Surakarta: Albert

Rusche.

_______. (1910). Hadji Pamoso Jilid I-X. Soerakarta: Albert

Rusche.

_______. (1924). Sĕrat Mayangkara. Solo: Boekhandel M.

Tanojo.

_______. (1938). Sĕrat Pustakaraja Purwa Jilid I – III, Cetakan

Keempat. Djokdja: Boekhandel En Drukerij Kolf Buning.

_______. (1979). Sĕrat Witaradya I & II. Alih Aksara dan

Ringkasan oleh Sudibya, Z.H. Jakarta: Proyek Penerbitan

Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud.

_______. (1993). Sĕrat Ajipamasa, Disalin oleh Soetomo W.E.,

dkk. Semarang: Yayasan Studi Bahasa Jawa "Kanthil".

_______. (1994). Sĕrat Pustakaraja Purwa Jilid III, Alih Aksara

Kamajaya. Surakarta dan Yogyakarta: Yayasan

"Mangadeg" dan Yayasan "Centhini".

Ricklefs, M.C. (1997). "The Yasadipura Problem". BKI 153-II.

Soetjipto, Soemarso Pontjo, K.R.T. (Pengalih Huruf) (2007).

Sĕrat Prabu Gĕndrayana I (46 A). Surakarta:

Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta.

Somvir (1998). „Ramayana: Asal-usul, Sejarah dan Transformasi

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 42

dari India ke Indonesia‟ dalam Ramayana, Pengembangan

dan Masa Depannya. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa

dan Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa, FPBS IKIP

Yogyakarta.

Sri Mulyono (1989). Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa

Depannya, Cetakan III. Jakarta: CV. Haji Masagung.

Surjohudojo, Supomo (1961). Rama Kathā. Jogjakarta: Fakultas

Sastra dan Kebudajaan Universitas Gadjah Mada.

Tedjowirawan, Anung (1985). Analisis Struktural Serat

Purusangkara, Satu Kajian Pada Karya Sastra R. Ng.

Ranggawarsita. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan

Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).

_______ (1986). Serat Mayangkara Karya R. Ng.

Ranggawarsita: Sajian Teks-Terjemahan Pembahasan.

Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.

_______ (2008). “Dari Gendrayana ke Bambang Sudarsana

(Sebuah Suksesi Kepemimpinan di Ngastina menurut

Teks-teks Pustakaraja Madya Karya Pujangga R.Ng.

Ranggawarsita”. Procedings Seminar Internasional

Aktualisasi Teks-teks Ranggawarsitan dalam Konteks

100 Tahun Kebangkitan Nasional dalam rangka Dies ke

62 Fakultas Ilmu Budaya UGM 16 Mei 2008.

Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara, Prodi Sastra Jawa,

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Widyaseputra, Manu Jayaatmaja (1998). “Persebaran Rāmāyaņa

di Asia Tenggara”, dalam Ramayana, Pengembangan dan

Masa Depannya. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa dan

Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa, FPBS IKIP

Yogyakarta.

Zoetmulder, P.J. (1983). Kalangwan, Sastra Jawa Kuna Selayang

Pandang, terjemahan Dick Hartaka. Jakarta: Djambatan.

Naskah

Sĕrat Gĕndrayana, Naskah 157. Surakarta: Museum

43 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Radyapustaka Surakarta.

Sĕrat Prabu Gĕndrayana I, Naskah 46 A. Surakarta:

Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta.

Sĕrat Prabu Gĕndrayana II, Naskah 46 B. Surakarta:

Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta.

Sĕrat Purusangkara, Naskah 155. Surakarta: Museum

Radyapustaka Surakarta.

Sĕrat Yudayana, Naskah 153. Surakarta: Museum Radyapustaka

Surakarta.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 44

Abstrak

Penelitian ini mencoba menggali kembali ajaran dan praktik

kehidupan sehari-hari perempuan Aceh dalam keluarga dan

masyarakat yang dituangkan ke dalam tulisan pada masa

lampau, yang dewasa ini sudah menjadi manuskrip. Fokus utama

penelitian ini tertuju kepada Siti Islam, tokoh utama dalam

sebuah manuskrip Aceh sekaligus menjadi judul dari manuskrip

tersebut, yaitu Hikayat Siti Islam. Selanjutnya perbandingan teks

dilakukan dengan manuskrip lain yang mengisahkan tentang

perempuan lain bernama Siti Hazanah. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui kisah Siti Islam dan Siti Hazanah dalam

kehidupan bersama suami, keluarga, dan masyarakatnya;

menjelaskan tentang perilaku sosial lingkungan terhadap

mereka; dan mencari korelasi positif antara perilaku perempuan

dalam teks dengan perempuan Aceh pada umumnya dalam kurun

waktu masa lampau dan dewasa ini.

Kata Kunci: Perempuan, Manuskrip Aceh, Teks, Konteks.

*) Penulis adalah peneliti di Puslitbang Lektur – Balitbang Departemen Agama

RI.

45 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Pendahuluan

Perempuan merupakan lambang keberhasilan dan kekuatan

sebuah keluarga dan negara, karena di tangan merekalah terletak

kekuasaan yang terselubung, dibalik fisik dan tenaganya yang

lemah jika dibandingkan dengan kekuatan fisik laki-laki. Ibn

Arabi, sebagai tokoh sufi yang terkenal, mengakui akan

kehebatan yang dimiliki perempuan. Mereka dapat memberikan

inspirasi tertentu kepadanya. Sayyidah Nizam adalah salah

seorang perempuan yang disebutkan Ibn Arabi yang dapat

memberikan inspirasi kepadanya untuk menulis sekumpulan puisi

dan telah memberikan pengaruh spiritual yang dalam kepadanya.1

Namun, fisik perempuan yang lemah, kadang disalahgunakan

oleh lawan jenisnya. Sering perempuan mendapat perlakuan tidak

seimbang dan bahkan melecehkan derajat dan kehormatannya.

Perempuan diperlakukan seperti budak demi kepuasan kaum laki-

laki. Bahkan tidak jarang kepada kaum perempuan dibebankan

segala tumpuan dan pekerjaan keluarga, mulai dari mengurus

rumah tangga hingga mencari nafkah di luar rumah. Dengan

segala kelemahannya perempuan harus mengikuti perintah para

suami, laki-laki yang menggunakan kekuatan dan kehebatan

fisiknya untuk mencari kesenangan di bawah penderitaan

isterinya. Laki-laki dengan bangga menjadi suami atas

keberhasilan isterinya mempertahankan keluarga untuk menutupi

kebutuhan keluarganya, mengurusi anak dan suaminya sendiri.

Di luar rumah, sering perempuan dijadikan objek kesenangan

laki-laki. Sering terjadi permerkosaan dan perlakuan tidak

senonoh dari para pecundang birahi. Kasus yang muncul di media

masa dan televisi tidak jarang adalah kasus pelecehan dan

perusakan kehormatan perempuan. Karena itu, tidak berlebihan

bila agama memperjuangkan hak perempuan dan bahkan

menyamakannya dengan kaum laki-laki sesuai dengan fungsinya

masing-masing.2 Perempuan bukanlah diciptakan untuk

1 Untuk uraian lebih rinci tentang makna perempuan bagi Ibn Arabi, lihat Austin, 2003:416-419 dan Azhari Noer, 2002: 220-222. 2 Untuk penjelesan lebih rinci lihat Quraish Shihab, 2005: 1-8.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 46

melengkapi hasrat dan keinginan laki-laki, melainkan untuk

saling melengkapi. (Umar, 2000:16-17). Dalam Al-qur‟an

disebutkan bahwa Segala sesuatu Kami menciptakan berpasang-

pasangan supaya kamu mengingat keesaan Allah. (Q.S. Al-

Zariyat:49).

Dalam setiap suku yang ada di Indonesia, perlakuan terhadap

perempuan hampir boleh dikatakan sama dan serupa. Perempuan

adalah sosok manusia yang hebat dan lemah, sehingga sering

disalahgunakan karena dua faktor tersebut. Di Bali3, misalnya,

perempuan menjadi tonggak keluarga untuk keberhasilan sebuah

rumah tangga. Perempuan harus mengerjakan seluruh pekerjaan

rumah tangga, mulai dari menghadirkan dan menyiapkan

makanan sampai mengurus anak dan suami. Tidak hanya itu,

perempuan harus bersedia untuk tidak mengecap dan merasakan

manisnya pendidikan formal, demi untuk mempertahankan

saudara laki-lakinya bersekolah. Mereka harus rela melakukan

apa saja untuk memperjuangkan saudara laki-lakinya dan

suaminya sukses di luar rumah.

Di Aceh, perempuan juga menjadi tumpuan keluarga dan

negara. Mereka tidak hanya bekerja di rumah sebagai ibu rumah

tangga untuk anak dan suami mereka, melainkan juga di luar

rumah. Di kalangan petani, para perempuan menjadi pekerja

setia, mulai dari mencabut, menanam, hingga memanen padi. Di

pasar, para ibu-ibu menjadi pedagang paling dominan ketimbang

para laki-laki.

Dari sisi lain, perempuan terlihat diberikan kebebasan dalam

bergerak, tidak hanya berada di rumah melainkan juga di luar

rumah. Dalam sejarah, kebebasan mereka diberikan untuk

berjuang bersama kaum laki-laki untuk kepentingan agama dan

bangsa. Sehingga dalam sejarah muncul srikandi-srikandi Aceh

dengan berbagai istilah mereka sandang demi memperjuangkan

agama dan negara. Istilah inong balee, misalnya, dijunjung oleh

3 Hasil Observasi dan wawancara langsung dengan sebagian penduduk Bali di Denpasar pada bulan Januari sampai April 1995.

47 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Malahayati dalam menggerakan kaumnya melawan Belanda dan

mempertahankan agama.

Meskipun demikian, masih perlu dipertanyakan apa yang

dimaksud dengan kebebasan yang mereka miliki dan sejauh mana

kebebasan tersebut didapatkan. Selanjutnya tidak semua

perempuan Aceh menjadi srikandi. Nasib sebagian mereka tentu

berbeda dengan srikandi-srikandi yang sudah harum namanya.

Hal yang juga perlu dipertanyakan adalah apakah mereka

mendapatkan kebebasan dan kehebatan seperti srikandi-srikandi

yang telah harum namanya dalam sejarah. Pertanyaan-pertanyaan

tersebut menjadi pendorong saya untuk meneliti sejarah

perempuan Aceh yang tidak hanya terfokus kepada para srikandi

yang harum namanya dalam sejarah, tetapi juga terhadap

perempuan-perempuan yang menjadi masyarakat biasa dalam

kehidupan keluarga dan sosialnya.

Penelitian ini mencoba menggali kembali ajaran dan praktik

kehidupan sehari-hari perempuan Aceh dalam keluarga dan

masyarakat yang dituangkan ke dalam tulisan pada masa lampau,

yang dewasa ini sudah menjadi manuskrip. Fokus utama

penelitian ini tertuju kepada Siti Islam, tokoh utama dalam sebuah

manuskrip Aceh sekaligus menjadi judul dari manuskrip tersebut,

yaitu Hikayat Siti Islam. Selanjutnya perbandingan teks dilakukan

dengan manuskrip lain yang mengisahkan tentang perempuan lain

bernama Siti Hazanah. Karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang

dapat dirumuskan untuk penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kisah Siti Islam dan Siti Hazanah dalam

kehidupan bersama suami, keluarga, dan masyarakatnya?

2. Bagaimana tanggapan lingkungan terhadap mereka?

3. Sejauhmana korelasi positif antara perilaku perempuan Aceh

dengan isi teks naskah?

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan

kembali sejarah perempuan Aceh yang terdapat di dalam

manuskrip. Secara rinci tujuan tersebut adalah:

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 48

1. Untuk mengetahui kisah Siti Islam dan Siti Hazanah dalam

kehidupan bersama suami, keluarga, dan masyarakatnya.

2. Untuk menjelaskan tentang perilaku sosial lingkungan

terhadap mereka.

3. Untuk mencari korelasi positif antara perilaku perempuan

dalam teks dengan perempuan Aceh pada umumnya dalam

kurun waktu masa lampau dan dewasa ini.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan:

1. Dapat mengungkapkan kembali khazanah tentang

perempuan pada masa silam melalui manuskrip.

2. Dapat menjadi referensi bagi peneliti khususnya yang

bergelut dengan permasalahan gender.

Dari sisi kajian terdahulu, penelitian terkait dengan perempuan

sudah sangat banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Demikian

juga halnya dengan penelitian khusus perempuan Aceh. Sejarah

sudah banyak berbicara tentang perempuan Aceh dari berbagai

segi, mulai dari kiprah mereka dalam politik sampai kepada

kehidupan sosial. Perempuan dalam kehidupan masa sekarang

juga telah mendapat perhatian banyak peneliti untuk menelaahnya

dari berbagai segi. Di antara penelitian yang terkait dengan

perempuan Aceh adalah, karya Anthony Reid Female in

Southeast Asia. Dalam artikelnya, Reid menjelaskan bahwa

terdapat kesetaraan perempuan di wilayah Asia Tenggara

termasuk di dalamnya Aceh dengan kaum laki-laki dalam konteks

yang memungkinkan keduanya bersaing secara langsung, yaitu di

dalam ekonomi dan politik. Karena itu, perempuan mendapatkan

dua peran sekaligus, yaitu sebagai perempuan politisi dan ibu atau

sebagai pedagang dan ibu. Hal ini ditemukan dalam berbagai

peran ekonomi, sosial, dan politik yang dijalankan oleh

perempuan dalam posisi mereka di keluarga dan masyarakat yang

lebih luas. (Reid, 1998).

Sher Banu A. L. Khan dalam The Jewel Affair; The Sultana,

her Orang Kaya and the Dutch Foreign Envoys, menunjukkan

peran para sultanat sebagai perempuan dalam menjalankan

49 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

tugasnya sebagai pemimpin negara setelah Sultan Iskandar Tsani.

Mereka, khususnya Ratu Safiyatuddin dapat menjadikan barang-

barang berharga, seperti intan permata, untuk kekayaan dan

kepentingan kerajaan, bukan untuk berfoya-foya. (Khan, 2011).

Jacqueline Aquino Siapno dalam karyanya Gender, Islam,

Nationalism and the State in Aceh: The Paradox of Power, Co-

optation and Resitance dengan menggunakan metode sejarah,

etnografi, dan literatur, telah mengelaborasi dan membuka

khazanah penafsiran mengenai sejarah politik perempuan di

Aceh. Ia menggunakan manuskrip Melayu kuno dan cerita lisan

untuk menjelaskan gagasan kekuasaan perempuan dalam tradisi

kemaharajaan. Dalam manuskrip yang menceritakan Putri

Betung, ia menemukan narasi yang mengedepankan perempuan

supernatural, semacam bidadari atau peri dari antah berantah,

yang memiliki kesaktian dan kekuasaan. Namun pada akhirnya

bidadari tersebut harus menjadi agen kekuasaan para lelaki

sebagai penguasa yang nyata. Demikian juga dalam cerita tradisi

lisan, perempuan dijadikan sebagai orang yang mampu

melakukan segalanya, namun tidak pernah dihargai

keberhasilannya karena hal tersebut sudah menjadi tugasnya.

(Siapno, 2002).

Haslinda dalam bukunya Perempuan Aceh Dalam Lintas

Sejarah Abad VIII – XIX menjelaskan tentang keberhasilan

perempuan dalam membangkitkan negara dan agama sekaligus

juga menjadi tumpuan keluarganya. Ia menjelaskan tentang peran

perempuan dalam sejarah, yang melalui mereka telah muncul

kejayaan-kejayaan untuk sebuah kerajaan. Putri Mayang

Seuludang, adalah salah satu contoh perempuan yang

diutarakannya. Ia adalah putri Istana Jeumpa, menikah dengan

Pangeran Salman. Mereka dianugerahi empat orang anak Syahir

Nuwi, Syahir Dauli, Syahir Pauli, dan Syahir Tanwi. Semua

mereka berhasil dididik olehnya dan mereka kemudian menjadi

penguasa negeri (imum tuha peut). Begitu juga dengan Putri

Tansyir Dewi yang berasal dari Peureulak. Ia adalah ibu dari

Sayid Maulana Abdul Aziz, yang dikenal sebagai pendiri kerajan

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 50

Islam Perlak pada tahun 840M. (Haslinda, 2008).

Dari penelitian-penelitian di atas, dapat dilihat bahwa hanya

Siapno yang menggunakan manuskrip sebagai salah satu sumber

rujukan utamanya. Namun demikian, Siapno hanya menfokuskan

kajian tentang perempuan yang berkaitan dengan tradisi

kemaharajaan pada masa awal Islam. Karena itu, dapat

disimpulkan bahwa penelitian tentang aktivitas perempuan dalam

kehidupan sehari-hari dan ajaran yang berlaku padanya dengan

berlandaskan manuskrip belum ada yang melakukan. Penelitian

ini mencoba mengisi kekosongan tersebut, yaitu dengan fokus

kajian pada manuskrip yang diperkirakan ditulis pada abad ke-18

dan 19M.

Penelitian ini berbentuk library research dengan model

pendekatan kualitatif. Untuk menelaah dua naskah yang menjadi

sasaran penelitian ini perlu digunakan pendekatan interdisipliner;

pertama, filologi dan kodikologi yang diperuntukkan pada kajian

isi dan fisik naskah tersebut. Kedua, pendekatan intertekstual

digunakan untuk membandingkan teks naskah yang menjadi

fokus kajian ini dengan teks sejenis guna untuk mendapatkan

informasi yang berhubungan dengan topik kajian, yaitu budaya

perempuan Aceh dalam kehidupan berkeluarga dan

bermasyarakat. Ketiga, pendekatan sejarah sosial digunakan

untuk mengetahui konteks latar belakang muncul dan keberadaan

naskah yang dikaji dan tentang refleksi perempuan Aceh dalam

sejarah secara umum serta fakta yang ada dewasa ini.

Keempat, pendekatan antropologi. Untuk melihat dan

mendiskusikan perkembangan budaya pada masa sekarang dan

relevansinya dengan teks naskah, maka pendekatan antropologi

menjadi penting, sehingga direct participant ke dalam masyarakat

dalam waktu yang relatif lama dan in depth interview dapat

dilaksanakan dengan cermat dan teliti.

51 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Kiprah Perempuan dalam Manuskrip

Tentang Manuskrip Siti Islam

Deskripsi

Naskah ini dikoleksi oleh Ampon Hasballah Dayah Tanoh,

seorang masyarakat Aceh yang berdomisili di Dayah Tanoh,

Pidie, Aceh. Naskah ini kemudian didigitalkan oleh Puslitbang

Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat

Kementerian Agama RI pada tahun 2010.

Naskah ini memiliki ukuran 16X22 cm, dan blok teksnya

berukuran 10X16 cm. Alas tulis naskah ini adalah kertas Eropa

yang memiliki cap air berbentuk bulan sabit dalam bentuk wajah

manusia dilingkari pagar atau yang dalam bahasa Inggris disebut

dengan moonface in shield. Berdasarkan cap airnya, diperkirakan

naskah ini ditulis sekitar abad ke-19M.4 Tidak terdapat bagian

halaman yang kosong dalam naskah ini, sedangkan iluminasi

serta ilustrasi juga tidak diketemukan. Tinta yang digunakan

untuk menulis teks berwarna hitam. Tidak ada rubrikasi dalam

teks, kemungkinan karena teks naskah ini berbentuk cerita,

sehingga tidak ada kata-kata yang perlu ada penekanan

maknanya.

Naskah berjudul Hikayat Siti Islam ini, tidak diketahui siapa

pengarangnya, karena ada beberapa halaman akhir telah hilang,

yang mungkin saja memuat informasi tentang pengarangnya.

Naskah ditulis dalam bentuk hikayat, yaitu berbentuk sajak dan

berbait-bait atau puisi.

4 Menurut Heawood, cap air seperti ini tidak dapat diidentifikasi tahunnya,

sehingga ia menyatakan bahwa kertas yang ber-watermark seperti di atas besar

kemungkinan diproduksi pada waktu modern. Kemungkinan besar tahun

produksinya setelah abad ke-18M, karena Buku Heawood dan Churchill hanya

memuat daftar watermark dan countermark yang berkisar antara abad ke-17 dan 18M. Lihat Heawood, 1986:84; Churchill, 1935.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 52

Naskah Siti Islam

Teks naskah ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dan

Aceh, beraksara Arab dan Jawi. Naskah ini tidak memiliki

kolofon, karena lembaran akhir sudah hilang.

Ringkasan Isi

Naskah ini berisi cerita (hikayat) fiktif dengan diiringi berita

dari si pengarang terlebih dahulu. Empat halaman pertama

digunakan pengarang khusus untuk mengungkapkan bahwa cerita

yang ditulisnya sangat diharapkan oleh siapa pun di dunia ini. Ia

mengambil cerita ini dari Arab, kemudian singgah di beberapa

negara dan di beberapa tempat di Aceh, hingga sampai di

kampung halamannya. Dalam persinggahannya ia mendapat

sambutan hangat dari berbagai pihak yang mendengarkan

ceritanya. Cerita ini diberitakannya terjadi pada masa Rasulullah

masih hidup, sebagaimana disebutkan dalam teks:

Nyoe hikayat Siti Islam dara agam taphôm makna

...

Nyoe calitera nabi Muhammad soe yang ingat raya bahgia

...

na si‟at teuka si Nyak Ti

53 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Rupa jieh sa hana macam Ti Islam nan keurasoe

That taqwa uroe malam hana macam that bakti

Terjemahan:

Ini [hikayat ini diberi nama

dengan] Hikayat Siti Islam…

Agar laki-laki dan perempuan

yang masih muda dapat

memahami artinya

Ini cerita [masa] Nabi Siapa yang [mau]

Muhammad… mengingatkannya sangat besar

kesenangan

Sebentar setelah itu datanglah

Nyak Ti

Wajahnya cantik tiada banding Ti Islam namanya dipanggil

Sangat takwa [kepada Tuhan] Tiada ada tandingan sangat

siang dan malam berbakti

Cerita ini memiliki tiga tokoh utama, yaitu: pertama, Siti Islam

yang digambarkan sebagai tokoh perempuan yang taat, patuh, dan

penurut; kedua, Nabi sebagai tokoh yang dapat memecahkan dan

mengatasi segala persoalan; dan ketiga, Rajawali, suami Siti

Islam, yang melindungi dan menguasai Siti Islam dalam hidupnya

setelah berumah tangga. Cerita dalam naskah ini

menggambarkan cara hidup seorang perempuan pada masa Nabi

yang bernama Siti Islam.

Pada awalnya, diceritakan terlebih dahulu segala hal yang

terkait dengan pengajaran terhadap perempuan dalam

menghadapi suami dan rumah tangga. Pengajaran dan bimbingan

diberikan langsung oleh Nabi dan tertuju kepada Siti Islam

sebagai tokoh utama dalam cerita ini. Nabi memberitahu bahwa

perilaku wanita yang baik menurut agama adalah harus patuh,

penurut, dan melayani suami. Bila tidak demikian, maka para

perempuan akan menerima azab balasannya di hari akhirat.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 54

Nabi kemudian menjelaskan tentang perempuan yang

membangkang dan tidak menjaga hubungan baik dengan suami,

bahkan mencari orang lain sebagai tempat pelariannya. Bagi

mereka disediakan siksa yang sangat pedih di hari akhirat. Begitu

juga sebaliknya, laki-laki yang berhubungan dengan perempuan

tersebut di luar nikah akan mendapat hukuman yang sama.

Contoh dalam teks:

Ureung lakoe yang celaka azeub siksa hana lawan

Jimoe sabee ureung ineng nam plôh limeng tujôh lapan

Azeub peudeh han pue tanyeng deungen ineng man saboh kawan

Jiduek ji eh ji jak ji deng lethat ineng jimoe sajan

...

Lom jibeudeh ineng ceulaka agam jiwa nibak badan

Trôh bak bahoe jiduek ineng jitanyeng meunoe lakuan

Nibak agam meunoe jitanyeng lee ineng soe rimueng kuran

Dilee galak keu lôn sidroe lam taki-taki uroe malam

Oh han lôn tem yôh saboh uroe meudeh meunoe lôn ta padan

Terjemahan:

Suami yang celaka azab siksa tiada lawan

Menangis selalu si isteri enam puluh lima tujuh delapan

Azab pedih tidak dapat dengan isteri sebuah kelompok

dikatakan

Duduk tidur berjalan berdiri banyak sekali isteri menangis

...

Lalu bangun perempuan laki-laki dipeluk badannya

yang celaka

Lalu di bahunya duduklah ditanyakannya apakah begini

perempuan balasan

Pada laki-laki begini oleh perempuan dengan suara

ditanyakan harimau

Dulu engkau suka kepada engkau bohongi siang malam

saya seorang

Ketika saya tidak mau pada berbagai cara engkau rayu aku

55 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

satu hari

Siksa yang akan dialami oleh mereka yang tidak patuh kepada

suami dan berselingkuh dengan laki-laki lain tidak akan pernah

berhenti, kecuali pada hari Jumat dan bulan Ramadan. Disebutkan

dalam teks sebagai berikut:

hancô hutak lheuh ngen gaki tuleung ngen asoe jeut ka

karam

teumar meuwolom misei suboh lom geusipak hana macam

meunan azeub barang jan masa hana reuda uroe malam

malam Jumu‟at yang na reuda hana siksa ineng agam

la‟en nibak nyan buleun puasa yang na reuda Ti Islam

la‟en nibaknya hana reuda jih lam siksa hana macam

Terjemahan:

Hancur otak lepas kaki tulang dan daging sudah

tiada

Lalu kembali seperti semula lalu disepak lagi dengan

sangat keras

Begitulah azab sepanjang masa tiada reda siang dan malam

[Cuma] Malam Jumat yang reda tidak disiksa laki-laki dan

[tidak disiksa] perempuan

Selain itu pada bulan puasa yang tidak disiksa [hai] Ti

Islam

Selain itu tidak perlah lekang mereka dalam siksa tiada

dari siksaan tara

Setelah mendapatkan pengajaran yang demikian panjang

lebar, kepada Siti Islam kemudian diajarkan tentang bagaimana

seharusnya kehidupan seorang isteri terhadap suami dalam

berumah tangga. Nabi menjelaskan panjang lebar tentang ciri-ciri

isteri yang baik yang dapat membawa kebahagiaan dunia dan

akhirat serta akan mendapat balasan surga di akhirat. Seorang

perempuan harus tunduk dan patuh kepada suaminya serta

menjaga keharmonisan rumah tangga sesuai aturan agama, karena

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 56

surga berada di bawah telapak kaki suami.

Lam syuruga wahe Nyak Ti diyub gaki ureung agam

Diyub tapak gaki suami ta deunge hai meunoe kalam

Terjemahan:

Dalam surga wahai Nyak Ti di bawah kaki laki-laki

Di bawah telapak kaki suami dengarkanlah kalam seperti ini

Sebagai contoh, setiap kali suami pulang, si isteri harus selalu

mencium lututnya dengan wajah tersenyum. Contoh teks:

Oh woe lakoe geunap seupôt côm bak tu‟ôt barangkajan

Terjemahan:

Ketika pulang suami di waktu cium di lutut kapan saja

sore

Nabi juga menjelaskan bahwa seorang isteri harus menjadikan

suaminya sebagai guru dan tempat belajar. Kalaupun tidak bisa

seperti itu, maka isteri harus minta izin kepada suami untuk

mencari ilmu kepada ulama:

Teumar guree nibak lakoe tameureunoe kebajikan

Adat banta lakoe gata bak ulama taberjalan

Lake izin nibak lakoe suara bandum ban meunisan

Beuna izin nibak lakoe jak meureunoe iluemee Tuhan

Terjemahan:

Lalu bergurulah kepada suami belajarlah kebajikan padanya

Bila suami anda tidak bisa kepada ulama engkau pergi

Minta izin kepada suami suara dan tingkah laku semuanya

harus manis

Harus ada izin dari suami pergi menuntut ilmu Tuhan

Siti Islam dengan tekun dan penuh khidmat mengikuti ajaran

Nabi. Ia terus mendesak Nabi untuk menceritakan segala hal yang

57 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

terkait dengan kehidupan isteri dan suami serta akibat-akibatnya.

Siti Islam pada awalnya tidak berniat untuk menikah, karena takut

tidak mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam

rumah tangga. Atas petunjuk Nabi, ia akhirnya menikah dengan

seorang anak Sultan yang bernama Rajawali. Nabi

memperingatkan agar Siti Islam tidak luput memperhatikan

rambu-rambu yang perlu ditaati sebagai seorang isteri nantinya.

Dalam membangun dan mempertahankan rumah tangganya, Siti

Islam kemudian menerapkan segala ajaran dan bimbingan Nabi

saw yang telah didapatnya. Ia adalah sosok perempuan yang

patuh secara mutlak terhadap ajaran Nabi.

Dalam menjalani rumah tangga bersama suaminya, Siti Islam

menyerahkan dan mengabdikan dirinya secara penuh kepada

suaminya tanpa ada rasa penolakan sedikit pun. Ia tidak pernah

berani bertindak tanpa seizin suami, termasuk untuk keluar

rumah. Pada suatu hari, Rajawali berniat hendak pergi jauh keluar

wilayah kerajaannya karena ada urusan penting yang harus

diselesaikan. Rajawali kemudian mengatakan bahwa Siti Islam

dilarang keluar rumah sebelum ia pulang. Semua harta dan

barangnya dititipkan kepada Siti Islam.

Di tengah-tengah pejalanan suaminya keluar kota5, orang tua

Siti Islam sakit keras. Karena harus menjunjung tinggi amanah

suaminya, Siti Islam memutuskan untuk tidak pergi melihat orang

tuanya. Orang tuanya pun meninggal. Siti Islam sangat sedih

mendengar berita tersebut, namun dia tidak berani pulang ke

rumah orang tuanya. Ia kembali pergi ke tempat Nabi dan

bertanya tentang masalah yang dihadapinya. Nabi menjawab

bahwa tindakan Siti Islam adalah benar. Tidak boleh sama sekali

berjalan bila tidak dengan seizin suami. Dikatakan oleh Nabi

bahwa Siti Islam akan mendapat pahala yang besar dengan sikap

tersebut dan orang tuanya akan berada di tempat yang baik,

karena anaknya yang taat kepada suaminya.

Ketika suaminya pulang, Siti Islam menceritakan kepada

5 Dalam teks disebutkan bahwa keluar rumah menuju pasar membutuhkan waktu cukup lama. Mungkin pasarnya jauh di negeri lain.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 58

suaminya tentang peristiwa yang sudah terjadi selama suaminya

tidak ada di rumah. Suaminya kemudian menjawab bahwa, untuk

segala hal yang terkait dengan orang tua, ia sebenarnya

mengizinkan Siti Islam pulang ke rumah orang tuanya untuk

melihat mereka yang sedang sekarat. Akhirnya keduanya, Siti

Islam dan Rajawali, pulang ke tempat orang tuanya. Ternyata

ibunda Siti Islam masih hidup dan dalam keadaan sakit parah,

namun ayahnya sudah tiada. Mereka bertiga sangat sedih dan

jatuh dalam pelukan kerinduan dan keterharuan. Ibunya kemudian

mewasiatkan kepada Siti Islam agar ia tetap menjaga dan

menghormati perintah dan larangan suaminya.

Setelah ibunya meninggal, Rajawali menggerakan rakyatnya

untuk mengadakan kenduri selama tujuh hari tujuh malam.

Dengan sukarela, ia mengeluarkan hartanya untuk memberi

makan fakir miskin dan rakyat untuk mengharapkan pahala bagi

orang tua isterinya.

Setelah itu, Siti Islam dan Rajawali, kembali kepada Nabi

untuk berkonsultasi tentang balasan dari apa yang telah mereka

kerjakan dan apa yang harus mereka lakukan setelah ibunya

meninggal. Nabi menjawab bahwa tindakan mereka adalah

pekerjaan yang terpuji. Ibu dan ayah Siti Islam berbahagia di

dalam kubur dan dapat merasakan kebaikan kedua anaknya.

Mereka berdua diharapkan selalu berdoa untuk orang tuanya dan

bersedakah untuknya.

Bandingan dengan naskah Siti Hazanah

Deskripsi

Naskah ini adalah koleksi Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai

Tradisional Aceh di Banda Aceh sebelum terjadi Tsunami tahun

2004 dengan nomor invetaris 007/NK/1998. Sebelumnya naskah

ini dikoleksi oleh Sulaiman di Aceh Besar.6 Naskah ini dapat

6 Naskah ini sudah musnah akibat tsunami pada tahun 2004, termasuk

gedungnya yang juga menyimpan sejumlah naskah Aceh lainnya. Meskipun

naskah asli tidak ada lagi, tetapi kopi naskah tersedia, karena pada tahun 2003

telah dicopy dan dibuat edisinya oleh Fakhriati atas dukungan dari Program

59 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

dikatakan berasal dari Aceh Besar karena pengarangnya bernama

Teungku Lam Ba‟it berasal dari Aceh Besar.7

Naskah Siti Hazanah berukuran 26x17 cm dan ukuran teks

24x16cm dengan jumlah baris 20 dan 21 pada tiap halaman. Alas

tulisnya adalah kertas Eropa dengan ciri bergaris tebal dan halus

dengan bayang-bayang di antaranya. Namun demikian tidak

terlihat watermark dan countermark di atas garis-garis tersebut.

Dari jenis kertasnya, dapat diprediksi bahwa umur naskah ini

berkisar antara abad ke-19M.8

Naskah ini terdiri dari tiga kuras, yang masing-masing kuras

terdiri dari delapan lembar, kecuali kuras ketiga yang terdiri dari

tujuh lembar. Ada kemungkinan bahwa salah satu lembar naskah

ini telah hilang. Sedangkan halamannya berjumlah 46 halaman

dan setiap halaman terdiri dari 21 baris. Tulisan naskah berbentuk

nastaklik dengan menggunakan tinta hitam untuk penulisan

secara umum dan rubrikasi untuk penekanan pada kata-kata

tertentu. Naskah ini memiliki ilustrasi dan iluminasi dalam bentuk

bunga sulur.

Naskah Siti Hazanah ini tidak memiliki kolofon di akhir teks,

kemungkinan karena halamannya yang sudah hilang. Namun

demikian pada halaman awal terdapat tulisan dalam bentuk

pyramid -- mungkin dapat dikatakan sebagai kolofon – yang

memberikan informasi tentang nama pengarang dan judul naskah,

yaitu Hikayat Abdurrahman. Namun demikian, gaya tulisannya

terlihat agak berbeda dengan tulisan di teks utama.

Terkait dengan judul naskah, setelah dibaca isinya, ternyata

naskah ini lebih layak diberi judul Kisah Siti Hazanah, karena

teks naskah ini bercerita lebih banyak dan lebih dominan tentang

kisah Siti Hazanah dalam mengarungi kehidupannya di dunia. Di

beberapa halaman awal teks memang ditulis tentang kehidupan

penggalakan Sumber-sumber Tertulis Nusantara, FIB-UI. 7 Sebutan nama orang berdasarkan nama tempat bisa bermakna tempat ia berasal

atau kepopulerannya dalam berkarier. 8 Untuk diskusi tentang jenis-jenis kertas Eropa dan watermarknya dapat dibaca dalam makalah Fakhriati, 2011.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 60

orang tua Siti Hazanah, Abdurrahman, yang bertemu dan

kemudian menikah dengan isterinya. Mereka kemudian hidup

bersama dalam kekurangan di tempat yang jauh dari jangkauan

manusia, yaitu di dalam hutan.

Ringkasan Isi

Teks naskah ini menceritakan tentang kehidupan Siti Hazanah

yang sejak kecil berada dalam kesendirian dan kesepian setelah

ditinggal wafat kedua orang tuanya. Setelah tumbuh besar, ia

menikah dengan Teungku Ahmad Qusyasyi9 dan hidup dalam

rumah tangga yang mawaddah dan rahmah. Selanjutnya ia

menghadapi berbagai macam rintangan dan tantangan selama

ditinggalkan suaminya ke tanah suci (Mekkah).

Sejak lahir, Siti Hazanah sudah hidup sendirian dan hanya

berteman dengan binatang di dalam hutan. Ia dipelihara oleh

malaikat dengan berpakaian dedaunan. Siti Hazanah tumbuh dan

berkembang menjadi seorang gadis. Pada masa ini, ia bertemu

dengan seorang laki-laki, yaitu Teungku Ahmad Qusyasyi.

Teungku tersebut tertarik melihat tingkah laku Siti Hazanah

sehingga ia ingin menikahinya. Siti Hazanah menyetujui menikah

dengannya dan hidup bersama dalam waktu yang tidak terlalu

lama, karena Teungku berkehendak pergi ke Mekkah.

Dalam kehidupan rumah tangganya, Siti Hazanah

menyerahkan hidupnya untuk beribadah dan untuk suaminya.

Waktu luangnya hanya digunakan untuk bertafakkur, menambah

pengetahuan agama, dan melayani suaminya. Sama seperti Siti

Islam, Siti Hazanah juga menghormati suaminya dengan

9 Ahmad Qusyasyi adalah guru tarekat Syattariyah Abdurrauf al-Fansuri dari

Arab, Mekkah. Nama tokoh Ahmad Qusyasyi menjadi populer di kalangan

masyarakat Aceh sejak diketahui bahwa Tarekat Syattariyah merupakan tarekat

yang paling populer di Aceh. (lihat Fakhriati, 2008). Selain itu, nama Ahmad

Qusyasyi juga didapatkan di dalam naskah-naskah lain seperti Sarakata „surat

raja-raja di Aceh‟. (lihat misalnya Sarakata uleebalang Cut Nyak Manfarijah

yang berdomisili di Dayah Tanoh, Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam). Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa Ahmad Qusyasyi adalah tokoh yang populer bagi masyarakat Aceh.

61 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

mencium lutut suaminya ketika ia pulang dari bepergian.

Disebutkan dalam teks:

Teungku Syekh neurah gaki tuan Siti seumah lee reujang

Terjemahan:

Setelah Teungku Syekh tuan Siti langsung menyembah

mencuci kakinya di lututnya

Sama seperti Siti Islam, Siti Hazanah juga ditinggal pergi oleh

suaminya, namun suaminya tidak berpesan seperti pesan suami

Siti Islam. Ketika suami Siti Hazanah pergi ke Mekkah, ia hanya

mengatakan:

Lon keubah gata ubak Allah lon jak langkah rijang keunoe

Terjemahan:

Saya titipkan kamu pada Allah saya akan kembali dalam waktu

dekat

Pada masa ditinggalkan suami, Siti Hazanah mendapat cobaaan

yang cukup berat., Saudara dari pihak suaminya berusaha

menggangu kehormatannya. Tanpa goyah sedikit pun dalam hati,

Siti Hazanah mempertahankan dan memperjuangkan nama baik

suami dan kehormatannya semaksimal mungkin. Tidak ada celah

sedikit pun untuk orang lain bisa masuk untuk mengganggunya.

Ia harus menderita karena siksaan masyarakat sekitar akibat ulah

saudara suaminya.

Karena keteguhan dan kesufiannya, ia kemudian mendapat

pembelaan yang tidak diduga-duga. Ketika berjalan menelusuri

hutan dalam kesendirian, ia mendapat sambutan hangat dan kasih

sayang dari binatang-binatang. Ia kemudian mendapatkan balasan

yang setimpal dengan perbuatannya membela kebenaran dan

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 62

menjaga kehormatan suaminya.

Pesan-Pesan dalam Teks

Dalam kedua teks yang terdapat dalam dua naskah di atas

terdapat pesan bahwa hendaknya seorang perempuan dalam

mengarungi rumah tangga dan menghadapi masyarakat sekeliling

harus sesuai dengan ajaran Islam dan tuntunan Nabi. Pengarang

menekankan akan pentingnya seorang perempuan berperilaku

sesuai dengan tuntunan ajaran Islam agar mendapatkan

kebahagiaan ukhrawi dan disenangi oleh suami. Meskipun

demikian, dalam kehidupan praktis yang dialami kedua

perempuan tersebut, terdapat beberapa perbedaan pesan yang

dapat dipetik.

Dalam naskah Hikayat Siti Islam, pesan yang dapat dipetik

adalah:

1) Seorang perempuan harus benar-benar tunduk dan patuh

kepada suami, karena syurga berada di bawah telapak kaki

suami;

2) Tugas seorang perempuan sepenuhnya melayani suami

kapan pun dan dimana pun;

3) Seorang perempuan harus menjadikan suami sebagai guru

dan imam dalam hidupnya;

4) Seorang perempuan harus mendahulukan kepentingan

suami dari pada kepentingan orang tuanya.

5) Bila tidak berlaku atau bersikap seperti di atas, maka azab

akan menimpanya di hari kiamat tanpa henti, kecuali pada

hari Jum‟at dan bulan Ramadan.

Sementara dalam naskah Siti Hazanah, pesan yang dapat diambil

adalah:

1) Seorang makhluk Allah, khususnya perempuan, harus

melayani suami dengan baik, namun dia juga

diperkenankan untuk menyisihkan waktu untuk

kepentingan pribadinya dalam hal beribadah kepada Allah

SWT;

63 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

2) Seorang perempuan harus bisa berperilaku baik kepada

kepada suami dan kepada siapa pun makhluk Allah yang

ada di dunia;

3) Seorang perempuan harus mampu menjaga kehormatan

dirinya, meskipun berada dalam lingkungan yang tidak

mendukung kepadanya;

4) Seorang perempuan diharapkan dapat mencapai tujuan

hidupnya yang utama, yaitu mencapai tingkat yang paling

tinggi dalam kesufian berupa makrifatullah.

Perilaku Lingkungan Siti Islam dan Siti Hazanah

Lingkungan Siti Islam yang tersebut dalam naskah pertama

berbeda dengan lingkungan Siti Hazanah dalam naskah kedua.

Siti Islam berada dalam lingkungan yang menganut budaya

patrilineal, yaitu seorang isteri harus berada penuh di bawah

naungan dan pengawasan suami. Isteri tidak dibenarkan keluar

dari pantauan dan pengawasan suami sedikit pun. Siti Islam harus

mengalami kesedihan dan kehancuran hati karena tidak dapat

bertemu dengan orangtuanya yang sedang sekarat, hanya

disebabkan belum ada izin suaminya untuk pergi ke rumah orang

tuanya.

Meskipun demikian, lingkungan Siti Islam sangat mendukung

kehidupan dan perilaku Siti Islam yang telah dibentuk

sebelumnya. Siti Islam mendapatkan seorang suami yang kaya

dan berpendidikan agama yang tinggi, sehingga ia dapat

menerapkan segala bentuk pengajaran dari Nabi yang

didapatkannya sebelum menikah. Siti Islam benar-benar taat

kepada perintah suaminya. Ia menghormati dan melayani

suaminya sebagaimana diajarkan Nabi. Siti Islam selalu

menjunjung tinggi pesan-pesan suaminya, meskipun ia harus

menahan hatinya untuk tidak menjenguk orang tuanya yang sakit.

Demikian juga dengan suaminya. Ia sangat sayang kepada Siti

Islam sebagai isteri yang sangat baik baginya. Ia memberikan

peluang kepada Siti Islam untuk menjaga hartanya, dan sekaligus

berbuat baik kepada orang lain, terutama kepada orang tuanya.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 64

Hal ini dapat dilihat ketika ia mendengar keluhan Siti Islam

tentang orang tuanya yang sedang sakit, namun Siti Islam tidak

berani keluar rumah, karena belum ada izin suaminya. Suaminya

memberitahu Siti Islam bahwa untuk berkunjung kepada orang

tua, tidak menjadi larangannya. Di dalam teks disebutkan:

Meunyo tawoe saket umi selama lôn bri wahe Intan

Hana lôn tham saket umi geugrak pakri hai buleun trang

Terjemahan:

Bila engkau pulang untuk lihat selamanya saya izinkan

ibu sakit

Tidak saya larang pada pergi saja hai Bulan terang

sakit umi

Ibu Siti Islam juga memberi dukungan penuh kepadanya agar

selalu setia kepada suami, kapan dan di mana pun. Pelayanan

yang sempurna kepada suami sangat ditekankan oleh orang

tuanya, sehingga mereka pun dapat hidup dalam rumah tangga

yang mawaddah dan rahmah. Karena itu, ibunya tidak keberatan

bila Siti Islam tidak menjenguknya, dikarenakan belum adanya

izin suami.

Kondisi masyarakat luas lainnya yang berada di lingkungan

Siti Islam juga sangat mendukung kehidupan dan perilaku Siti

Islam dan suaminya. Ketika mereka berdua harus melaksanakan

ritual atas meninggalnya orang tua Siti Islam, seluruh masyarakat

dan rakyat yang ada di wilayah tempat tinggal Siti Islam dan

suaminya membantu dan saling bahu- membahu mensukseskan

acara tersebut. Hal ini terjadi karena suami Siti Islam sendiri

adalah raja yang berhasil memimpin umatnya.

Berbeda dengan lingkungan Siti Islam, Siti Hazanah

mendapat kesempatan untuk keluar rumah dan mempertahankan

dirinya sebagai perempuan suci di hadapan masyarakat luas. Ia

bahkan mampu menyendiri ke hutan untuk mencari ketenangan

hidup dan mencapai tujuan kesufian tingkat terakhir.

65 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Meskipun demikian, Siti Hazanah hidup dalam lingkungan

yang kurang menguntungkan bagi dirinya. Di satu sisi, suami Siti

Hazanah sangat sayang kepada isterinya. Ia memberikan

kebutuhan isterinya dalam berbagai sisi, termasuk kebutuhan

untuk beribadah. Di sisi lain, keluarga suaminya tidak

menghargai Siti Hazanah sebagai bagian dari keluarganya yang

perlu dilindungi dan dijaga kehormatannya. Adik suaminya

berani mengganggu Siti Hazanah yang sedang sendirian karena

ditinggal suami untuk pergi haji. Karena tidak berhasil untuk

mengotori kehormatan Siti Hazanah, ia pun dengan beraninya

menjelekkan dan memfitnah Siti Hazanah di hadapan masyarakat

luas.

Tanggapan masyarakat menjadi keliru terhadap Siti Hazanah.

Segala fitnah dan penyiksaan dari masyarakat luas ditimpakan

kepada Siti Hazanah. Siti Hazanah menerimanya dengan penuh

kesabaran dan ketabahan, namun sebagai manusia ia memiliki

keterbatasan. Siti Hazanah akhirnya memutuskan untuk keluar

dari kampung tersebut dan pergi menyendiri di hutan serta

berpisah dengan suaminya.

Lingkungan di hutan yang terdiri dari berbagai macam

binatang sangat sayang kepada Siti Hazanah. Mereka bahu

membahu memberi bantuan dan perlindungan kepada Siti

Hazanah, sehingga Siti Hazanah mendapatkan ketenangan hidup.

Ia dapat menjalankan ibadah dengan baik sampai akhirnya ia

mendapatkan derajat paling tinggi dalam kesufiannya, yaitu

makrifatullah.

Lifestyle Perempuan Aceh Dan Isi Teks

Dua naskah di atas memberikan gambaran dan pengajaran kepada

perempuan Aceh dalam menjalani kehidupan rumah tangga,

terutama suami mereka, keluarga, dan masyarakat. Naskah ini

juga menunjukkan bahwa salah satu ciri perempuan Aceh adalah

patuh kepada ajaran agama dan tangguh menghadapi segala

cobaan dan rintangan.

Isi naskah Hikayat Siti Islam diperuntukkan kepada

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 66

perempuan Aceh agar mereka dapat membaca dan mengikuti

ajaran dan perilaku serta konsep yang wajar menurut Islam, yaitu

yang sesuai dengan ajaran Nabi. Cara kehidupan sehari-hari yang

harus dipraktikkan dalam kehidupan berumah tangga, terutama

dengan suami diuraikan secara detail, agar dapat dicontoh oleh

perempuan Aceh pada umumnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, hal seperti yang diungkapkan

dalam naskah di atas sebagian besar telah diterapkan oleh

perempuan Aceh, terutama pada masyarakat tradisional yang

tinggal di desa dan dayah, yang belum terkontaminasi oleh

budaya luar. Para perempuan/isteri pada umumnya tunduk dan

patuh kepada suaminya tanpa mengharap imbalan apa pun selain

rida dari Tuhannya.

Di dayah, misalnya, pengajaran seperti yang terdapat dalam

hikayat tersebut dijumpai dalam bahan ajar untuk santri. Tidak

hanya itu, mereka juga membaca kitab-kitab lain, seperti kitab

fikih terkait dengan hal yang layak dan tidak layak dilakukan, dan

hal yang dianjurkan dan tidak dianjurkan agama dalam berumah

tangga dan bermasyarakat. Pada intinya, perempuan harus secara

total berada di bawah penguasaan suami. Bacaan-bacaan dari

berbagai kitab yang disediakan di dayah menjadi tauladan dan

pedoman mereka dalam bergerak dan bertindak di dalam

kehidupan sehari-hari.

Tradisi yang masih sangat jelas dilihat di Aceh adalah tradisi

mencium lutut ketika suami pulang dan datang dari jauh atau

pada hari-hari tertentu, seperti hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Tradisi tersebut juga diberlakukan kepada orang yang patut

dihormati, misalnya guru mereka. Karena itu, suami adalah orang

yang patut dihormati, serupa dengan seorang guru, dan salah satu

cara penghormatan adalah dengan mencium lututnya. Di dayah

Darussaadah dan Darussalam Teupin Raya, Pidie, tradisi ini

masih berlaku hingga sekarang. Setiap santri dan masyarakat

kampung lain mencium lutut gurunya ketika bertemu untuk

belajar dan ketika selesai belajar. Demikian juga, ketika

menjumpai guru pulang dari Mekkah.

67 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Di desa-desa yang dekat dengan dayah, seorang isteri

diwajibkan mencium lutut suami pertama sekali adalah ketika

berlangsungnya acara pernikahan. Setelah selesai ijab qabul,

maka hal yang pertama sekali dilakukan isteri adalah mencium

lutut suami sebagai tanda penghormatan awal kepada suami.10

Ketangguhan seorang perempuan dalam berjuang

mempertahankan agama dan kehormatan dirinya seperti yang

diceritakan dalam naskah kedua juga terlihat dalam jati diri

perempuan Aceh. Perempuan dari suku Aceh dikenal dengan sifat

dan wataknya yang agamis, berani, dan tangguh, baik dalam

memperjuangkan keluarganya maupun agama dan negara. Gerak

dan langkahnya yang tiada mengenal lelah telah mewarnai sejarah

Aceh. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan Aceh dalam sejarah

sebagiannya adalah karena campur tangan perempuan Aceh.

Sebagaimana contoh yang diuraikan dalam sejarah, tentang

seorang perempuan di Bireun yang telah berhasil mendorong

suami dan anak-anaknya untuk menjadi raja. Putroe Manyang

Seuleudong atau ada yang menyebutnya dengan Dewi Ratna

Keumala, Anak Meurah Jeumpa, yang cantik rupawan serta

cerdas dan berwibawa telah mendukung karir dan perjuangan

suaminya sehingga berhasil mengembangkan sebuah Kerajaan

Islam yang berwibawa di wilayah tersebut. Selanjutnya dikatakan

kerajaan tersebut menjadi cikal bakal lahirnya Kerajaan Islam lain

di wilayah Perlak, Pasai, Pedir dan Aceh Darussalam11

.

(Haslinda, 2008:14).

Contoh lain tokoh-tokoh perempuan Aceh yang berani berada

di garis depan dalam berjuang melawan penjajah Belanda yang

ingin meruntuhkan agama dan negara adalah Cut Nyak Dhien,

Cut Meutia, Malahayati, dan para inong balee lainnya.

Ketangguhan mereka dalam menghadapi dunia yang tidak sejalan

dengan kepribadian, agama dan negara mereka telah diabadikan

dalam sejarah, namun dalam setiap tindakan yang mereka

10 Hasil observasi di wilayah Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Besar. 11 Lihat http://www.atjehcyber.tk/2011/04/putroe-jeumpa-manyang-seuleudong-maha.html

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 68

lakukan telah mendapatkan izin sebelumnya dari suami mereka.

Kehidupan mereka tetap berada di bawah penguasaan suami. Cut

Nyak Dhien melakukan perjuangan terhadap Belanda atas izin

suaminya. Ia pergi berdampingan membantu suaminya terjun ke

dalam medan perang. Cut Meutia, atas izin suaminya, bergerak

melawan penjajah. Malahayati berjuang melawan penjajah

melanjutkan perjuangan suaminya yang telah mendahuluinya di

laut.

Teungku Fakinah dari Lam Krak, Aceh Besar (1856 - 1933M),

adalah contoh perempuan Aceh lainnya yang memiliki semangat

dan jiwa yang luhur untuk memperjuangkan agama dan

negaranya. Pada mulanya ia mendukung penuh suaminya untuk

berjuang melawan Belanda. Setelah suaminya meninggal, ia

bergerak mengumpulkan perempuan-perempuan lain untuk

berjuang melawan Belanda. Meskipun demikian, ia tidak bisa

dengan leluasa berjuang di tengah-tengah masyarakat banyak,

karena pandangan masyarakat umum menjadi tidak bagus bila ia

sendirian tanpa ada laki-laki yang mendampinginya pergi keluar,

apalagi untuk berjuang. Akhirnya ia memutuskan untuk menikah

lagi. Akan tetapi dalam berjuang, suaminya kemudian meninggal

lagi. Ia lalu berniat ingin melaksanakan ibadah haji, namun

masalah timbul lagi, yaitu tidak adanya suami sebagai muhrim

untuk pergi jauh, apalagi untuk beribadah. Akhirnya ia menikah

untuk ketiga kalinya. Kali ini suaminya meninggal di tanah suci.

Ia kembali berdiam di dayah dan mengajar mengaji para

santrinya. (Ismail, 2004:31-44).

Di dalam rumah tangga, pada masa perjuangan melawan

Belanda, perempuan Aceh mampu berperan sebagai isteri yang

sabar menanti suaminya pergi berperang dan dengan setia

menjaga anak-anaknya. Dalam lirik lagu yang disenandungkan

bagi anak-anak balita, tercermin peran mereka.

Aduhai do ku do da idi (Aduhai do ku do da idi)

Meurah Pati ateuh awan (Burung Merpati di atas awan)

Beuridjang rajeuk Banta Saidi (Cepat Besar Anakku

Sayang)

69 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Djak Prang Sabi Bela Agama (Pergi ke Medan Perang

Membela Agama)12

Karena itu dapat dikatakan bahwa setiap aktivitas perempuan

Aceh, meskipun dia berada di luar rumah untuk kepentingan umat

dan agamanya, tetap berada di bawah pengontrolan suaminya.

Siapno mengatakan bahwa kebebasan perempuan Aceh tidak

sepenuhnya berlaku. Kejayaan menguasai negara juga tidak

sepenuhnya berada di tangan perempuan. Mereka tetap berada di

bawah kekuasaan laki-laki. (Siapno, 2002).

Ajaran Islam telah mengatur hak dan kewajiban perempuan

dan laki-laki sesuai dengan fungsinya masing-masing. Perempuan

berbeda dengan laki-laki dalam hal kekuatan fisik sehingga ia

perlu mendapatkan perlindungan dari laki-laki. Selanjutnya

perempuan adalah makhluk yang dipimpin oleh laki-laki karena

adanya ayat yang mengatakan bahwa laki-laki sebagai qawwam.

(Shihab: 2005, 338-339). Meskipun ayat tersebut diperuntukkan

kepada laki-laki yang mencari nafkah. Kemudian perempuan

mendapatkan tempat lebih banyak di rumah untuk menjadi

sebagai ibu dan menjaga keluarga dan harta suaminya, karena di

luar dia harus dijaga oleh suami sebagai muhrimnya.

(Muslikhati, 2004:114-122).

Selain dari itu, setidaknya ada tiga faktor yang membentuk

gaya hidup perempuan Aceh seperti tersebut di atas. Pertama,

pengaruh didikan orang tua yang sejak kecil menanamkan

pendidikan Aagama dan cara bergaul Islami. Perempuan Aceh

sangat taat kepada agama, karena didikan orang tua untuk

menyantri. Adalah kewajiban orang tua untuk memasukkan anak

perempuannya ke pendidikan agama, yaitu pendidikan menyantri

di pesantren. Pengaruh pendidikan ini telah membuat perempuan

Aceh secara mutlak tunduk dan patuh kepada orang tua sebelum

menikah dan kepada suami setelah menikah. Tidak ada pilihan

lain. Terkadang para suami memanfaatkan kesempatan ini dengan

12 Lihat http://www.Gender Aceh/12981-Posisi-Perempuan-Dalam-Politik-Melayu-Aceh.html

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 70

memperlakukan isterinya sekehendak hati. Akhirnya para isteri

hanya bisa pasrah dan kembali kepada Tuhan yang Maha Esa.

Tempat pengaduannya hanyalah Tuhan yang Maha Esa.

Kedua, pengaruh pendidikan tradisional yang agamis yang

diperoleh dalam menyantri di dayah selama bertahun-tahun.

Melalui dayah juga, terbentuk pola pikir perempuan Aceh untuk

mempertahankan agama lebih dari segalanya. Pada masa

perjuangan melawan Belanda, tepatnya pada tahun 1919M, di

Matang Kuli, Aceh Utara, seorang santri perempuan berani

melakukan perjuangan untuk kepentingan agamanya dengan

membunuh kontroler Belanda. Dikatakan bahwa pada waktu

malam hari, ia bermimpi bertemu dengan Nabi, dan Nabi

memerintahkan untuk membunuh kafir yang mengganggu agama

dan negaranya. (Kern, 1979: 26-27).

Ketiga, lingkungan yang mendidik mereka untuk berjiwa besar

dan tangguh, karena kondisi politik dan pekerjaan-pekerjaan

rumah tangga sebagian besar tertumpu kepada mereka.

Perempuan Aceh hidup dalam sejarah perjuangan yang cukup

panjang, mulai dari perjuangan menghadapi Portugis, Belanda,

Jepang, dan kemudian setelah kemerdekaan konflik telah terjadi

berkali-kali di Aceh.

Reaksi Sosial Terhadap Perilaku Perempuan Di Aceh

Model kehidupan yang dipraktikkan oleh perempuan Aceh,

kemudian, dimanfaatkan oleh lawan jenisnya untuk mengambil

berbagai keuntungan. Perempuan sepertinya tidak kuasa untuk

melawannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, idiom untuk perempuan sebagi

isteri adalah njang po reumoh (yang memiliki rumah) (Siegel,

1969:51) di dalam rumah tangganya. Hal ini tetap berlangsung

sampai dewasa ini, dan sebutan umum untuk isteri oleh suaminya

menjadi peureumoh. Hal ini tersirat maknanya bahwa seorang

isteri tempatnya di rumah, berfungsi melayani suami dan menjadi

ibu untuk anak-anaknya sebagai hal yang mutlak. Selanjutnya,

isteri, kadang, juga mampu berperan di luar rumah, mencari

71 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

nafkah untuk kebutuhan keluarganya. Pada abad 16-17M,

perempuan Aceh telah menunjukkan kemampuan untuk

melakukan dua fungsi tersebut. (Reid, 2006). Mereka diizinkan

para suami mereka untuk keluar rumah mencari nafkah.

Penyalahgunaan kemampuan perempuan pun muncul. Tidak

jarang perempuan Aceh diperlakukan buruk oleh para lelaki,

terutama suaminya, dipaksa memeras tenaganya lahir dan batin

dalam menanggung beban keluarga, membesarkan anak-anaknya,

serta tidak luput juga melayani suami yang tinggal menunggu

yang sudah jadi dan masak. Bahkan kadang lebih tragis lagi, yaitu

bahwa seorang isteri kadang harus menyuapi atau memasukkan

makanan ke dalam mulut sang suami.

Mungkin menjadi wajar bila isteri melayani suami hanya di

rumah saja, tidak untuk mencari nafkah di luar, sebagaimana

dipaparkan dalam naskah bahwa Siti Islamdengan segala

sukarelanya melayani suaminya hingga dalam bentuk yang

sekecil-kecilnya, sampai pada tahap mencuci tangan suami bila ia

hendak makan. Di dalam teks disebutkan:

Oh neupajôh bu jirah jaroe Ketika makan suami dia [Siti

Islam] mencuci tangan suaminya

Mungkin aktivitas utama perempuan ada di sektor domestik

sesuai dengan fitrahnya sebagai perempuan yang berbeda dengan

laki-laki. Dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh Baihaqi,

Nabi memberikan jawaban kepada pertanyaan yang diajukan oleh

seorang perempuan yang mewakili perempuan lain, yaitu...

Pergilah kepada perempuan mana saja dan beritahukanlah

mereka yang ada di belakangmu, bahwa kebaikan salah seorang

di antara kalian (para perempuan) dalam memperlakukan

suaminya, mencari keridaan suaminya, dan mengikuti

keinginannya adalah mengalahkan semua itu... (HR al-

Baihaqi).13

Tekait dengan penyalahgunaan kemampuan yang dimiliki

13 Untuk isi hadis secara keseluruhan dan cerita lebih rinci lihat Muslikhati, 2004:127-129.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 72

perempuan, dewasa ini, di desa-desa masih ditemukan lelaki

beristeri yang duduk berjam-jam di kedai kopi menghabiskan

waktu untuk menunggu si isteri pulang kerja dan selesai

memasak. Bila mereka pergi ke sawah, maka para perempuan

bertugas menanam padi sementara suami duduk di atas rangkang

menonton isteri bekerja. Cerita lisan juga didapatkan dari rakyat

Aceh tentang kisah kehidupan keluarga Pak Pande. Isteri Pak

Pande adalah orang yang bertanggung jawab memenuhi

kebutuhan keluarganya, sementara Pak Pande sendiri bermalas-

malasan menunggu dari hasil yang dibawa oleh isterinya untuk

kebutuhan rumah tangganya. (Siapno, 2002:91-101).

Eksploitasi terhadap perempuan mungkin tidak hanya ditinjau

dari sisi keinginan dan kemauan para laki-laki saja, akan tetapi

juga pengaruh budaya masa lampau, yaitu masa sebelum datang

Islam, yang masih tersisa dari satu generasi ke generasi

selanjutnya. Budaya Aceh sangat mungkin masih diwarnai sisa

pengaruh budaya Hindu14

meskipun sebenarnya ajaran Islam

lebih mendominasi.

Tradisi seperti di atas, tidak hanya berlaku pada perempuan

Aceh, akan tetapi di wilayah lain juga, seperti Batak. Di Batak,

seorang isteri dikatakan baik bila ia dapat menunjukkan

keberhasilan mengurus suami, keluarga dan saudara pihak suami

dalam menyiapkan segala kebutuhan rumah tangga dan dapat

mencari nafkah di luar15

. Kemungkinan besar hal ini didasarkan

kepada tradisi pernikahan yang berlaku di Batak. Perempuan

yang baru menikah sering kali disendaguraukan oleh keluarga

pihak suami bahwa dia harus tunduk dan patuh dan melayani

suami serta keluarga karena sudah dibeli, ibarat dagangan yang

14 Pengaruh kental dari budaya Hindu di Aceh masih dapat dilihat dalam cara

pelaksaaan ritual peusijuek (tepung tawar), meskipun sudah dimodifikasikan

dengan ajaran Islam. Lihat karya Saifuddin Dzuhri, „Peusijuek; Sebuah Tradisi

Ritual Sosial Masyarakat Pasee dalam Perpektif Tradisionalis dan Reformis‟

artikel dipresentasikan pada International Conference on Aceh and Indian

Ocean Studies II Civil Conflict and Its Remedies, 23 – 24 February 2009, Banda Aceh, Indonesia. 15 Hasil observasi dan wawancara dengan perempuan-perempuan asal Batak.

73 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

sudah dibeli. Kata beli dalam bahasa Batak disebut dengan boli

atau disebut juga dengan tuhor. Boli dan tuhor ini, kemudian

setelah datang Islam, berubah maknanya menjadi mahar yang

diserahkan kepada pihak calon isteri, yang menandakan bahwa

perempuan tersebut sudah sah menjadi isteri suaminya.

(Parsadaan Marga Harahap, 1993: 270-271).

Tradisi seperti ini memiliki kemiripan dengan tradisi yang

berlaku pada masa Majapahit. Setelah diberikan tukon (mahar)

perempuan dianggap seperti barang yang sudah laku dan dia

seratus persen berada di bawah kekuasaan suami dan

keluarganya. Dalam rumah tangga, si isteri hanya berfungsi

sebagai pelayan semata untuk suami, keluarga, dan anaknya. Dia

tidak memiliki hak sama sekali untuk mengatur dan membuat

keputusan dalam rumah tangga. Anak adalah milik suami, isteri

hanya melahirkan saja. Seperti dalam hal mencari jodoh anaknya

si ibu tidak punya hak sama sekali untuk menjodohkan anaknya,

dan bila juga terjadi, maka ayahnya dapat menceraikan anaknya.

(Muljana, 2006:251-253).

Penutup

Kisah perempuan dalam dua manuskrip Aceh yang menjadi fokus

dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai refleksi gaya

hidup perempuan pada umumnya di Aceh, terutama mereka yang

tinggal di pedesaan terpencil dan jauh dari pengaruh budaya luar,

sementara perempuan yang tinggal di perkotaan, gaya hidupnya

sudah dipengaruhi oleh gaya hidup „modern‟ yang datang dari

berbagai budaya di dunia. Korelasi positif ditemukan dalam sikap

dan tingkah laku serta gaya hidup perempuan, baik dalam sejarah

maupun dalam kehidupan sekarang ini pada masyarakat

pedesaan. Kehidupan mereka diwarnai sifat patrilineal, yaitu

mereka berada pada posisi di bawah kekuasaan laki-laki. Hal ini

terjadi karena pengaruh sistem budaya lokal dan kemudian

dipadukan dengan budaya dan ajaran Islam. Karena itu, dapat

dikatakan bahwa bias gender masih sangat kentara untuk suku

Aceh, meskipun tidak separah pada suku Batak dan Bali yang

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 74

masih memperlakukan perempuan sebagai manusia kedua setelah

laki-laki dan membebani mereka dengan pekerjaan di dalam dan

di luar rumah tangga.

Selain dua manuskrip di atas, masih banyak manuskrip Aceh

lainnya yang menceritakan tentang hal yang berkaitan dengan

perempuan di Aceh, karena diketahui bahwa Aceh adalah salah

satu gudang manuskrip Nusantara. Karena itu, penelitian untuk

kajian perempuan masih harus terus dilakukan untuk

mengungkapkan budaya-budaya pada masa lampau yang menjadi

bagian hidup perempuan.

Daftar Pustaka

Austin, R. W. J. (2003). “Feminin Sofianik (Perempuan Bijak)

dalam Karya Ibn Arabi dan Rumi”, dalam Warisan Sufi,

diedit oleh Seyyed Hossein Nasr dkk., diterjemahkan oleh

Ade Alimah dkk. Jogjakarta: Pustaka Sufi.

Azhari Noer, Kautsar dan Oman Fathurrahman (2002). “Pria-

Perempuan sebagai Korespondensi Kosmis: Perempuan

dalam Literatur Tasawuf”, dalam Mutiara Terpendam:

Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, diedit oleh Ali

Munhanif. Jakarta: Gramedia.

Churchill, W.A. (1935). Watermarks in Paper in Holland,

England, France in the XVII and XVIII Centuries and their

Interconnection. Amsterdam: Enno Hertzberger & Co.

Dhuhri, Saifuddin (2009). “Peusijuek; Sebuah Tradisi Ritual

Sosial Masyarakat Pasee dalam Perpektif Tradisionalis dan

Reformis”. Makalah International Conference on Aceh and

Indian Ocean Studies II Civil Conflict and Its Remedies, 23

– 24 February 2009, Banda Aceh, Indonesia.

Fakhriati (2008). Menelusuri Tarekat Syattariyah di Aceh melalui

Naskah. Jakarta: Balitbang dan Diklat Departemen Agama

RI.

Ismail, Nurjannah (2004). “Teungku Fakinah: Profil Ulama dan

Pejuang Perempuan Aceh”, dalam Ensiklopedi Pemikiran

75 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Ulama Aceh. IAIN Ar-Raniry Press.

Heawood, Edward (1986). Watermark: Malay of the 17th and 18

th

centuries. Amsterdam: The Paper Publications Society.

Kern, R. A. (1979). Hasil Penyelidikan tentang Sebab Musabab

terjadinya Pembunuhan, Trans. By Aboe Bakar. Banda

Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

Muljana, Slamet (2006). Tafsir Sejarah Nagarakretagama.

Yogyakarta: LKiS.

Muslikhati, Siti (2004). Feminisme dan Pemberdayaan

Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta: Gema

Insani.

Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna (1993). Horja

Adat Dalihan Natolu. Bandung: Grafiti.

Reid, Anthony (1988). “Female Roles in Pre-Colonial Southeast

Asia”. Modern Asian Studies Vol. 22, No.3, Special Issue:

Asian Studies in Honour of Professor Charles Boxer. hlm.

629-645.

Reid, Anthony (eds.) (2006). Verandah of Violence: the

Background to the Aceh Problem. Singapore: Singapore

University Press.

Shihab, M. Quraish (2005). Perempuan. Jakarta: Lentera Hati.

Siapno, Jacqueline Aquino (2002). Gender, Islam, Nationalism

and the State in Aceh: The Paradox of Power, Co-optation

and Resitance. London: Routledge-Curzon.

Siegel, James T (1969). The Rope of God. Berkeley: University of

California Press.

Syahrul, Haslinda (2008). Perempuan Aceh dalam litas sejarah

Abad VIII – XXI. [s.n]: Pelita Hidup Insani.

Umar, Nasaruddin (2000). Paradigma baru Teologi Perempuan.

Jakarta: Fikahati Aneska.

---------------------- (2000). Kodrat Perempuan dalam Islam.

Jakarta: Fikihati Aneska.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 76

Situs Web:

http://www.Gender Aceh/12981-Posisi-Perempuan-Dalam-

Politik-Melayu-Aceh.html.

http://www.atjehcyber.tk/2011/04/putroe-jeumpa-manyang-

seuleudong-maha.html.

77 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Abstrak

Tulisan ini bermaksud memetakan hal-hal yang berkaitan dengan

kolofon Naskah Sunda Kuna (NSK), mencakup identitas penulis

atau penyalin, tempat, dan waktu penulisan naskah. Sebagai titik

pijak saya menggunakan penelusuran Munawwar Holil dan

Aditia Gunawan (2010) atas NSK koleksi Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia, dengan pertimbangan bahwa di

Perpustakaan Nasional tersimpan NSK dalam jumlah terbesar,

di samping yang disimpan oleh masyarakat.

Untuk menganalisis identitas penulis-penyalin, serta tempat

dan waktu penulisan NSK, pertama-tama saya menyajikan tabel

yang berisi kode, judul, nama penulis-penyalin, tempat, dan

waktu penulisan NSK. Kedua, saya melakukan analisis atas

penulis-penyalin, tempat, dan waktu penulisan.

Kata Kunci: Naskah Sunda Kuna, Kolofon.

*) Peneliti di Pusat Studi Sunda (PSS). Bergiat di Rumah Baca Buku Sunda, dan

Sanggar Sastra Kampus (Sasaka) UIN Sunan Gunung Jati. Bisa dihubungi melalui surat elektronik, [email protected]. 16 Kata-kata ini bisa ditemukan pada baris-baris akhir Kropak 408 (Sewaka

Darma), yang diterjemahkan oleh Saleh Danasmita, dkk (1987:72) sebagai “ditulis di jalan”.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 78

Pendahuluan

Menurut hasil rekatalogisasi Holil dan Gunawan (2010),

Perpustakaan Nasional mengoleksi 63 Naskah Sunda Kuna

(NSK). Di samping menerakan jumlah NSK, kedua penulis itu

juga melampirkan pemerian NSK yang ada di Perpusnas RI. Dari

lampiran tersebut dapat diketahui ada beberapa puluh NSK yang

mengandung kolofon di akhir teksnya, karena kedua penulis itu

juga menyeertakan manggala atau awal teks NSK dan kalimat-

kalimat yang ada di akhir teksnya. Oleh karena itu, untuk

keperluan tulisan ini penelusuran keduanya sangat membantu.

Saya juga menggunakan berbagai sumber bacaan untuk

menambah luas pemahaman, termasuk di dalamnya, transkripsi,

transliterasi, dan terjemahan NSK yang selama ini telah

dikerjakan para filolog dan peneliti NSK. Selain itu, bahan-bahan

bacaan mengenai perikehidupan kegiatan literasi di Jawa Tengah

dan Timur, Bali, dan India, sejauh yang saya baca, juga

digunakan sebagai perbandingan untuk membaca identitas

penulis-penyalin, tempat, dan waktu penulisan NSK.

Untuk menganalisis identitas penulis-penyalin, serta tempat

dan waktu penulisan NSK, pertama-tama saya menyajikan tabel

yang berisi kode, judul, nama penulis-penyalin, tempat, dan

waktu penulisan NSK sebagaimana yang saya baca pada tulisan

Munawwar Holil dan Aditia Gunawan serta bahan-bahan dari

bacaan lainnya, yang pada gilirannya ditambahkan pada tabel

yang telah dibuat. Kedua, saya melakukan analisis atas penulis-

penyalin, tempat, dan waktu penulisan.

Tabel Kolofon Naskah Sunda Kuna

Koleksi Perpustakaan Nasional RI

No Kode Judul Penulis Tempat Waktu

1 1**Peti 85 Sanghyang

Siksa Kandang

Karesian

Nusakrata? Bulan ke-

10, Selasa

Manis

2 408 Peti Kawih Buyut Ni Pertapaan Ni

Teja Puru

79 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

16

Panyaraman Dawit Bacana, Kuta

Wawatan, Gn.

Kumbang

3 410 Peti 15 Carita Ratu

Pakuan

Gn. Larang Sri

Manganti

4 411 Peti 15 Ratu Pakuan Gn. Larang Sri

Manganti

5 416 Peti 15

Carita

Purnawijaya

Kai Raga Gn. Larang Sri

Manganti

6 420 Peti 15

Kawih

Paningkes

Kai Raga Sutanangtung

7 423 Peti 15

Carita

Purnawijaya

Kai Raga Gn. Larang Sri

Manganti

8 424 Peti 15

Kawih

Panyaraman

Gn. Larang

Sela

9 610 Peti 15

Pitutur ning

Jalma

cucu Sang

Sida, buyut

Téjanagara

Gn. Cikuray

10 621 Peti 15

Sanghyang

Sasana Maha

Guru

Desa

Mahapawitra,

Gn. Jedang

bulan ke-4

11 622 Peti

88

Warugan

Lemah

Rabu

Manis

12 623 Peti 16

Bimaswarga/Bi

maleupas

Euncu nu

Ngahérang

Gn. Cikuray bulan ke-1

13 625 Peti

88

Sri Ajnyana Mandala

Betung

Pamaringinan,

Cisanti

Bulan ke-8

14 626 Peti Sanghyang Buyut Gn.Cikuray, bulan ke-8

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 80

69

Swawar Cinta Téjanagara Hulukumbang

Batuwangi

15 628 Peti 16

Siksa Guru Lurah

Kamulan?

16 630 Peti 16

Sanghyang

Siksa Kandang

Karesian

bulan ke-

3, 1440

Saka (1518

M)

17 632b Peti

16

Kaluputan

Sanghyang

Darma

Hulu

Kumbang Batu

Wangi

18 633 Peti 16

Siksa Guru Desa Sunya bulan ke-

10

19 634 Peti 16

Sanghyang

Hayu

Désa

Mahapwité,

Tajak Barat,

Giri Wangsa

1445 Ś (±

1523 M)

20 636 Peti 16

Sanghyang

Hayu

Sang

Bujangga

Resi Laksa

Giri Sunya

21 637 Peti 16

Sanghyang

Hayu

Désa

Mahapawita,

Tajak Barat

22 638 Peti 16

Sanghyang

Hayu

Argasela,

Talagacandana

, Gn. Cupu

dimulai

Selasa

Kliwon,

bulan ke-7,

selesai hari

pon bulan

ke-9, 1357

Ś (± 1435

M).

81 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

23 641 Peti 16

Arjunawiwāha sang

Guguron?

Sanghyang

Mandala

Katyagan di

Gugur

1256 Ś

(1334 M).

24 642 Peti

88

Siksa Guru Desa

Mahapawitra

Tahun

Saka hlaŕ

twa ya

wu?

25 1095 Peti

69

Langgeng Jati Gn. Jati Sunya,

Hulu Alas

Sunya,

Mandala

Puntang

26 1097 Peti

69

Carita Jati Mula Sagara Wisésa

27 KBG 75

Wirid Kai Raga Jum’at

Kliwon,

Bulan

Muharam

“Beunang Diajar Nulis17

Dari tabel di atas, kita berkenalan dengan tujuh nama penulis-

penyalin NSK, yakni Buyut Ni Dawit, Kai Raga, Cucu Sang

Sida/Buyut Tejanagara, Euncu nu Ngaherang, Buyut Tejanagara,

Sang Bujangga Resi Laksa, dan Sang Guguron.

Ketujuh nama di atas, dengan jelas menunjukkan jenis

kelamin berbeda. Ada penulis perempuan dan ada juga laki-laki.

Penulis perempuan diwakili Buyut Ni Dawit, sementara penulis

17 Kata-kata ini muncul pada baris-bari menjelang akhir NSK Kropak 410

(Carita Ratu Pakuan), yang diterjemahkan oleh Undang A. Darsa (2007:217) sebagai “hasil belajar menulis”.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 82

laki-laki diwakili Kai Raga dan Sang Bujangga Resi Laksa.

Sedangkan Cucu Sang Sida/buyut Téjanagara, Euncu nu

Ngahérang, Buyut Téjanagara, dan Sang Guguron belum dapat

dipastikan jenis kelaminnya. Mengenai Buyut Ni Dawit, ada

keterangan menarik mengapa ia diasumsikan sebagai perempuan.

Menurut Saleh Danasasmita, dkk18

, Buyut Ni Dawit adalah

seorang wanita. Selengkapnya Danasasmita menyatakan:

Bila kata “buyut” berarti cicit, bukan gelar kehormatan untuk

pertapa ulung, tentu penyusunnya adalah cicit Ni Dawit tanpa

diketahui siapa namanya. Ada petunjuk bahwa pengarangnya

wanita, sebab ia bertapa di Gunung Kumbang di pertapaan Ni

Teja Puru Bancana. Pada halaman 39 iapun asyik

mengisahkan sebuah gisa (lesung) dengan istilah-istilah yang

khas untuk wanita seperti “dyangiran”, “dikasayan”, dan

“dipesekkan”. Di samping itu, iapun paham benar

kelengkapan pakaian bidadari yang tentu dikhayalkannya dari

pakaian wanita bangsawan dalam zamannya.

Untuk memperluas bahasan mengenai keterlibatan perempuan

dalam kegiatan baca-tulis dalam NSK, ada baiknya dilihat sumber

lain yang terkait dengan hal tersebut. NSK Bujangga Manik,

misalnya, dapat kita jadikan salah satu rujukan. Pada baris ke-850

hingga 868 naskah itu, digambarkan Bujangga Manik “digoda”

oleh rahib perempuan. Inilah gambarannya:

850 Datang tiagi (wa)don, Datang seorang pertapa

perempuan,

na rua mamarayaeun. rupanya ingin menjalin

persaudaraan.

Téka béka mulung lanceuk, Hingga terus-terang menganggap

kakak,

carékna: „Kaka lanceuking, katanya: „Kakandaku,

18 Saleh Danasasmita, spk. (1987: 1)

83 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Rakaki Bujangga Manik, Yang mulia Bujangga Manik,

855 haup aing ebon-ebon, kemarilah, aku ini rahib

perempuan,

aing na pitiagieun, aku calon biarawati,

manan hésé ku mamanéh, daripada sulit-sulit memikirkan

diri sendiri,

rusuh ku na panga/wakan, /16r/ repot karena penampilan badan,

héman ku na karuaan.‟ sayang sekali akan

ketampananmu.‟

860 Carékna Bujan(ga) Manik: Bujangga Manik berkata:

„Ku ngaing dirarasakeun. „Biarlah kupertimbangkan

dahulu.

Bawaing apus sata(m)bi, Kubawa kitab selengkapnya,

Ngaran(n)a na Siksaguru. Yang berjudul Siksaguru.

Carék di na apus téa: Menurut kitab itu:

865 “Kadiangganing ring geni, “Bagaikan kobaran api,

lamun padeukeut deung eu(n)juk, jika berdekatan dengan ijuk,

mu(ng)ku burung éta seungeut, sudah pasti terjadi

kebakaran,

kitu lanang deungeun wadon”.‟ begitulah antara laki-laki

dengan perempuan19

.”

Di samping Bujangga Manik, tulisan H.I.R. Hinzler perihal

naskah-naskah lontar di Bali20

bisa juga dijadikan rujukan. Ketika

membahas para penulis atau penyalin naskah (scribes), Hinzler

(1993: 464) menyatakan:

There was no caste or sex restriction on learning to write.

References to males and females being able to read and write

are to be found in literary texts as well as in the colophons of

manuscripts. Literary sources show this as early as the

sixteenth century, but data in texts from the nineteenth century

are the most abundant.

19 J. Noorduyn & A. Teeuw, Tiga Pesona Sunda Kuna (2009: 298-299). 20 H. Hinzler, „Balinese Palm-Leaf Manuscripts‟ dalam BKI 149 No. 3 (1993: 438-473)

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 84

Dari uraian Hinzler, tidak ada pembatasan yang jelas [dalam hal

kasta dan jenis kelamin] penulis dan pembaca naskah ketika

tradisi itu hidup di Bali, dan agaknya hal itu dapat diparalelkan

dengan kehidupan para pembaca dan penulis yang hidup di Jawa

Timur, Tengah, dan Jawa Barat, sekiranya tradisi menulis dan

membaca naskah masih hidup di wilayah yang bersangkutan.

Sebagaimana kita ketahui, tradisi menulis manuskrip di Bali

sangat terpengaruh budaya literasi India dan Jawa Timur,

terutama setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit, di penghujung

abad ke-15. Bila diterapkan pada tradisi menulis NSK, maka hal

tersebut pun agaknya tidak akan jauh berbeda.

Selanjutnya, yang menarik adalah Kai Raga. Nama penulis-

penyalin ini agaknya bukan nama sebenarnya. Bisa jadi nama itu

adalah nama gelaran. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa

naskah yang ditulisnya. Dari keempat naskah yang diakhiri

dengan keterangan Kai Raga, terselip naskah yang berisi unsur

keislaman, yakni NSK “Wirid” (KBG 75). Menurut Holil dan

Gunawan (2010: 146), naskah kertas daluang, bersampul kertas

marmer berwarna merah dan berjumlah 12 halaman itu berisi

perihal asal-usul terciptanya alam dan manusia, ditulis Kai Raga

pada hari Jum‟at Kliwon, bulan Muharram.

Karya yang ditulis Kai Raga tersebut bisa jadi sangat kontras

dengan naskah lain yang tertulis atas namanya, misalnya NSK

Kropak 420 yang ditulis di atas lontar, beraksara dan berbahasa

Sunda Kuna dan berisi dialog yang bersifat moral-religius antara

pendeta dengan Pwah Batari Sri sebagai penguasa alam

kahyangan. Di dalamnya, diterangkan pula tentang persiapan dan

pelaksanaan kegiatan peribadatan. Demikian pula dengan NSK L

423 yang juga ditulis oleh Kai Raga, di atas daun lontar,

beraksara Sunda Kuna dan Cacarakan, berbahasa Sunda kuna,

yang isinya hampir sama dengan NSK L 420.

Hal tersebut mengindikasikan, bahwa Kai Raga melintasi

zaman yang sangat panjang. Kalau dikaitkan dengan nama satu

orang pasti mengandaikan orang yang berumur sangat panjang,

85 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

hingga beratus tahun. Oleh karena itu, saya yakin Kai Raga tidak

merujuk pada nama seseorang, melainkan kepada nama gelaran.

Mengenai hal ini, penelusuran Pleyte mengenai Kai Raga dan

tulisan Hinzler dapat digunakan untuk membaca perihal tidak

dipentingkannya nama pribadi bagi para penulis-penyalin naskah

yang masih berada di bawah bayang-bayang budaya literasi

Hindu-Budha.

C.M. Pleyte menelusuri identitas Kai Raga21

. Menurut

penemuannya, Kai Raga yang menyerahkan beberapa NSK

kepada Raden Saleh yang pada tahun 1865 ditugaskan untuk

berkeliling Priangan untuk mengumpulkan peninggalan

purbakala, termasuk NSK. Kai Raga yang dianggap menyerahkan

naskah kepada Raden Saleh adalah cucu Kai Raga yang menjadi

pemuka kelompok keagamaan, yang pertapaannya terletak di

Gunung Cikuray, Garut. Selain itu, pada 1904, Pleyte berkunjung

ke Cikuray. Saat itu, ia mendapat keterangan dari lurah Desa

Ciburuy bahwa, menurut cerita rakyat di sana, pada mulanya

nama Cikuray adalah Sri Manganti, yang didasarkan pada nama

sebuah kampung yang terletak di lereng sebelah barat gunung

tersebut. Menindaklanjuti perjalanan itu, Pleyte mengirim surat

kepada Asisten Residen Garut, C.F.K. Huls van Taxis. Dalam

jawabannya, van Taxis menerangkan bahwa Cikuray memang

mulanya biasa disebut Sri Manganti. Pada mulanya Kampung Sri

Manganti termasuk dalam wilayah Desa Cigedug, namun

kampung tersebut tidak dikenal lagi karena telah ditinggalkan

penduduknya. Van Taxis juga menyatakan bahwa orang tidak

ingat lagi mengenai keberadaan pertapa di tempat tersebut.

Mengenai ihwal cucu Kai Raga, sejak tahun 1856, tidak ada lagi

keterangan yang lebih lanjut. Pleyte meyakini orang tersebut

dipastikan telah meninggal dan tidak meninggalkan keturunan.

Uraian Kai Raga dapat pula dibandingkan dengan Kiai

Windusana yang memelihara dan menuliskan kembali sejumlah

21 Lihat „Poernawidjaja‟s Hellevaart of de Volledige Verlossing‟ dalam TBG No.

56 (1914: 365-441) dan Ratu Pakuan: Tjeritera Sunda-Kuno dari Lereng Gunung Tjikura (1970) garapan Atja.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 86

naskah Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, dan Jawa Modern di

lereng Gunung Merbabu sebagaimana yang ditelusuri I. Kuntara

Wiryamartana dan Willem van der Molen22

. Menurut kedua

filolog itu, Windusana hidup di sekitar abad ke-18. Ia dikenal

sebagai pendeta tinggi dalam agama Budha dan dilaporkan

memiliki ribuan naskah yang aneh. Namun saat Bataviaasch

Genootschap mengambil naskah-naskahnya pada tahun 1852,

jumlahnya hanya berkisar empat ratusan naskah.

Selain menyatakan para penulis naskah itu bisa laki-laki

maupun perempuan, Hinzler menyatakan dua hal lain yang

berkaitan dengan para penulis-penyalin naskah. Pertama,

berkaitan dengan kriteria dan profesi penulis-penyalin naskah.

Menurut Hinzler, di Bali:

A Scribe, usually man, was a person of distinction. This is

apparent from the colophons of eighteenth and nineteenth-

century manuscripts. The rulers of the kingdom employed

scribes (manghuri, panyarikan, panulisan) not only of high-

caste families, but also of low-caste families23

. ...

Bila pernyataan tersebut kita tarik kepada kegiatan literasi NSK,

maka sebenarnya mengindikasikan bahwa para penulisnya

cenderung menyembunyikan nama mereka sebenarnya karena

mereka justru sedang menyembunyikan diri dari dunia luar atau

cenderung mengasingkan diri, bahkan menolak dunia luar

sebagaimana yang dapat kita temukan sosoknya pada diri

Bujangga Manik. Mereka kebanyakaan berasal dari kalangan

agamawan dan ada juga yang berasal dari kalangan istana. Tidak

terbatas hanya pada laki-laki semata, melainkan perempuan pun

ikut terlibat di dalamnya, baik karena mereka menjadi anggota

kelompok agamawan maupun karena termasuk kalangan istana.

22 „The Merapi-Merbabu Manuscripts: A Neglected Collection‟ karya W. Van der Molen dan I. Wiryamartana yang dimuat dalam BKI 157 No. 1 (2001: 52). 23 Hinzler (1993: 465).

87 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Giri Sunya24

Dari tabel di atas kita juga dapat berbicara mengenai tempat NSK

ditulis. Dari tabel itu nampak bahwa gunung dan sekitarnya,

seperti bukit dan puncak gunung (hulu), menjadi pilihan para

penulis-penyalin NSK untuk menulis. Dari tabel itu kita juga

mendapatkan nama Gunung Kumbang (Kawih Panyaraman),

Gunung Larang Sri Manganti (Carita Ratu Pakuan, Ratu Pakuan,

Carita Purnawijaya, Carita Purnawijaya), Gunung Larang Sela

(Kawih Panyaraman), Gunung Cikuray (Pitutur ning Jalma,

Bimaswarga/Bimaleupas, Sanghyang Swawar Cinta, Kaluputan

Sanghyang Darma), Gunung Jedang (Sanghyang Sasana Maha

Guru, Sanghyang Hayu, Sanghyang Hayu, Siksa Guru), Giri

Sunya (Sanghyang Hayu), dan Gunung Cupu (Sanghyang Hayu).

Sebagai catatan, sebagaimana yang termaktub pada

pembahasan mengenai penulis, dapat diketemukan keterangan

bahwa Larang Sri Manganti adalah nama lama Gunung Cikuray.

Dengan demikian, kalau dihitung, maka kita mendapatkan

delapan naskah yang dalam kolofonnya diterangkan ditulis di

Gunung Cikuray.

Meski banyak yang berlatar gunung, namun ternyata ada dua

naskah yang merujuk ke daerah dekat atau di sekitar laut., seperti

Naskah Kropak 1 Peti 85 Sanghyang Siksa Kandang Karesian

ternyata ditulis di Nusakrata? Dan Carita Jati Mula ditulis di

Sagara Wisésa. Kata nusa dan sagara dengan jelas

mengindikasikan daerah yang paling tidak berdekatan dengan

lautan. Namun tetap saja dengan banyaknya nama yang berkaitan

dengan gunung mengindikasikan sentralnya tempat tersebut

sebagai tempat penulisan NSK. Oleh karena itu, dalam bagian

berikut disajikan ulasan mengenai peran gunung dalam peri

kehidupan orang Sunda atau Jawa Barat.

Menurut Agus Aris Munandar25

, gunung memang dijadikan 24 Kata ini berasal dari nama yang dijadikan tempat penulisan NSK Kropak 636

(Sanghyang Hayu), sebagaimana yang terlihat dari deskripsi Gunawan & Holil (2010).

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 88

sebagai tempat keramat bagi kalangan masyarakat yang ada di

Jawa Barat. Keyakinan ini tidak saja hidup ketika ke daerah ini

hadir pengaruh agama Hindu-Budha, melainkan telah ada

sebelumnya, yakni ketika masyarakatnya berada di masa

prasejarah. Dari masa prasejarah, terutama dari masa bercocok

tanam dan perundagian, di Jawa Barat banyak peninggalan

megalitik yang terdapat di wilayah yang bergunung-gunung.

Tradisi megalitik ini berkaitan dengan konsep kultus leluhur,

yakni pemujaan pada arwah nenek moyang. Adapun tempatnya

yang berada di daerah ketinggian, seperti gunung, menunjukkan

bahwa masyarakat prasejarah di Jawa bagian barat percaya bahwa

leluhur bersemayam di puncak-puncak gunung, bukit, dan dataran

tinggi lainnya. Situs-situsnya, misalnya, situs Gunung Padang di

Cianjur, Pangguyangan, Salak Datar, Lebak Sibedug, Arca

Domas di pusat Kanekes, Banten Selatan, Batu Lulumpang di

Garut, Cipari, Cireme, dan sebagainya.

Saat memasuki periode pengaruh Hindu-Budha (kurang lebih

abad ke-9 hingga abad ke-16), gunung juga begitu sentral

perannya. Karena dalam keyakinan kosmologis Hindu-Budha,

Gunung Mahameru yang mempunyai empat puncak lain yang

lebih rendah dan terletak di tengah benua yang bernama

Jambhudwipa dipercaya sebagai pusat alam semesta. Sementara

alam semestanya berbentuk pipih melingkar seperti cakram.

Gunung tersebut dikelilingi tujuh lautan dan tujuh pegunungan

berselang-seling. Di puncaknya terdapat tempat tinggal para

dewa, yang dikepalai Dewa Indra. Di kedelapan arah mata

anginnya dijaga dewa Astadikpalaka sebagai pelindung alam

semesta.

Demikian pula yang terjadi pada keyakinan kosmologis

Budha. Di Gunung Meru terdapat alam berlapis-lapis. Bedanya,

25 “Kegiatan Keagamaan dalam Masyarakat Kerajaan Sunda: Data Prasasti dan

Karya Sastra” (1991) yang disajikan pada Seminar Nasional Sastra dan Sejarah

Pakuan Pajajaran, Bogor, 11-13 Nopember 1991, dan “Sebaran Situs Arkeologi

di Jawa Barat: Tinjauan Terhadap Dasar Konsepsi Keagamaan” (2001) yang

disajikan pada Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) I, Bandung, 22-24 Agustus 2001, dan kemudian dimuat dalam Prosiding KIBS 1 Jilid 1 (2006).

89 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

di luar lingkaran tujuh pegunungan itu terdapat lagi samudera,

yang di tengahnya, pada keempat arah mata angin utama, terdapat

empat benua. Benua yang terletak di sebelah selatan Gunung

Meru dinamakan Jambudwipa, tempat hidup manusia dan hewan,

sementara ketiga benua yang ada di timur, utara, dan barat dihuni

oleh mahluk ajaib.

Keyakinan ini terbawa ke Pulau Jawa, dan tentu saja ke Tatar

Jawa Barat, dan kemudian diterapkan pemeluk agama Hindu-

Budha yang ada di sana ke dalam lingkungan mereka. Dalam hal

ini, Munandar, misalnya, menafsirkan Prasasti Kawali I, terutama

baris ke-5 sampai ke-7, berkaitan dengan keinginan Prabu Raja

Wastu untuk menyelaraskan purinya dengan gambaran alam

semesta menurut ajaran Hindu-Budha. Demikian pula Sri Baduga

Maharaja yang membangun gugunungan, seperti yang termaktub

dalam Prasasti Batutulis, atau dalam NSK Sewaka Darma

terdapat uraian bahwa para dewata Hindu mempunyai istana

yang indah di Gunung Kendan, Medang, dan Menir.

Oleh karena kekeramatan itulah, gunung dan tempat-tempat di

sekitarnya dijadikan tempat tinggal, pengamalan keagamaan, dan

penyebaran ilmu oleh kalangan agama Hindu dan Budha, yang

disokong serta dilindungi kekuasaan kerajaan yang ada di Tatar

Jawa Barat. Dalam beberapa hal, bagaimana penguasa

melindungi situs yang ada di gunung dan sekitarnya, yang

dijadikan tempat penyebaran ilmu keagamaan khususnya dapat

terlihat dari sepak terjang Rakeyan Darmasiksa, Prabu

Jayadewata, dan Prebu Niskala Wastukancana. Rakeyan

Darmasiksa dalam NSK Kropak 632 (Amanat Galunggung)

menegaskan pentingnya memelihara kabuyutan atau tempat yang

dikeramatkan karena menjadi pusat pengamalan serta penyebaran

ilmu keagamaan, terutama Kabuyutan Galunggung. Ia

menyatakan [Terjemahan dari pernyataannya?]:

“Waspadalah, kemungkinan direbutnya kemuliaan

(kewibawaan kekuasaan) dan pegangan kesaktian (kejayaan)

oleh Sunda, Jawa, Lampung, Baluk, para pedagang (orang

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 90

asing) yang akan merebut Kabuyutan di Galunggung26

Hal itu karena dengan dikuasainya Kabuyutan Galunggung, maka

orang yang menguasainya akan beroleh manfaat dari sana,

seperti: memperoleh kesaktian dari tapa, unggul dalam berperang,

dan lama berjaya. Kabuyutan itu akan dikuasai orang lain karena

telah ditinggalkan rama dan resi, dua dari tiga unsur “trias

politika” Sunda kuna. Dengan demikian, kabuyutan itu harus

dipertahankan sekuat tenaga, bahkan sampai titik darah

penghabisan. Nasihat Rakeyan Darmasiksa juga sekali lagi

menekankan pentingnya Kabuyutan Galunggung:

“Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di

Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah kita di

sana....Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah

daripada rajaputra (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ke tangan

orang lain27

.”

Hal ini pun diperjelas dalam NSK Kropak 406 (Carita

Parahyangan), yang menyatakan bahwa Rakeyan Darmasiksa

adalah raja Sunda yang mendirikan lembaga pendidikan bernama

Sanghyang Binayapanti, dengan kompleks pendidikannya yang

disebut kabuyutan. Selain itu, Rakeyan Darmasiksa, yang

digambarkan sebagai titisan Dewa Wisnu, menjamin

keberlangsungan kehidupan keagamaan, baik yang menganut

kepercayaan kepada leluhur (ngawakan jati Sunda) maupun yang

memeluk agama lainnya. Dan yang lebih penting, ia mendorong

berlangsungnya tradisi baca-tulis atau literasi di kalangan

agamawan, sekaligus juga di kalangan istana28

.

26 Saleh Danasasmita dkk, (1987: 12). 27 Ibid (1987: 125-6). 28 Kutipan lengkapnya: Sang Rakeyan Darmasiksa, pangupatyan Sanghyang

Wisnu, inya nu nyieun Sanghyang Binayapanti, nu ngajadikeun para kabuyutan

ti sang rama, ti sang rêsi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina Parahyangan. Ti

naha bagina? Ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuh Sanghyang

91 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Hal serupa juga dilakukan Prabu Jayadewata. Pada Prasasti

Kabantenan (E.42-43) ia mengamanatkan kepada rakyatnya untuk

menjaga dan memelihara Jayagiri, Sunda Sembawa, dan tanah

Dewa Sasana yang berada di Gunung Samaya sebagai daerah

yang tidak boleh diganggu gugat. Wilayah tersebut juga tidak

boleh dikenai pajak karena merupakan daerah larangan, tempat

tinggal para wiku. Yang mencoba mengganggu daerah-daerah

tersebut diperintahkan untuk dibunuh. Dalam Prasasti E-44

daerah larangan itu disebut dengan nama kabuyutan dan

kawikuan.

Dalam Kropak 406 (Carita Parahyangan) pun ada gambaran

penguasa Sunda yang berdedikasi tinggi pada kehidupan

keagamaan sekaligus kegiatan literasinya, yaitu Prebu Niskala

Wastukancana. Pada masa Kerajaan Sunda diperintah oleh raja

yang merupakan adik Dyah Citraresmi yang gugur di Bubat,

Kerajaan Sunda mengalami kejayaan. Salah satu bukti

kejayaannya: sang resi dapat tenteram melaksanakan tugas

kependetaannya, menjalankan kebiasaan leluhur ... dan sang wiku

tenteram melaksanakan atau menunaikan undang-undang dewa

(Sang resi enak ngaresianana, ngawakan na purbatisti purbajati

.... Sang wiku enak ngadewasasana, ngawakan sanghyang

Watangageung, enak ngadeg manurajasunyia).29

Kabuyutan-kabuyutan yang dikenal selama ini antara lain:

Kanekes (Banten), Koleang, Jasinga (Bogor), Sanghyang Tapak

(Sukabumi), Sunda Sembawa dan Jayagiri (Bekasi?), Cisanti

(Bandung), Wanareja dan Ciburuy (Garut), Galunggung

(Tasikmalaya), dan Kawali (Ciamis). Dari sekian nama

Darma, ngawakan Sanghyang Siksa (Kropak 406, lempir 36a & 20b) 29 Kutipan lengkapnya: Nya mana sang rama enak mangan. Sang rêsi enak

ngarêsianana, ngawakan na purbatisti purbajati. Sang disi enak masini,

ngawakan na manusasana, ngaduuman alas parialas. Ku beet hamo diukih, ku

gêde hamo diukih. Nya mana sang tarahan enak lalayaran, ngawakan

manurajasasasana. Sanghyang apah, teja, bayu, akasa, sang bu enak

ngalungguh di Sanghyang Jagatpalaka. Ngawakan sanghyang rajasasana,

angadêg di Sanghyang Linggawêsi, brata siya puja tanpa lum. Sang wiku enak

ngadewasasana, ngawakan sanghyang Watangageung, enak ngadêg manurajasunyia. (Kropak 406, lempir 21b, 21a, 22b, dan 22a)

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 92

kabuyutan itu yang dikenal sebagai tempat penulisan NSK,

karena secara jelas atau tertulis dalam NSK atau tempat

diperolehnya sejumlah NSK seperti yang diinventarisasi oleh

Gunawan dan Holil (2010), yakni Kabuyutan Ciburuy dan

Kabuyutan Wanareja di Garut, Kabuyutan Kawali di Ciamis,

Kabuyutan Cisanti di Bandung, dan Kabuyutan Koléang, Bogor.

Dari Kabuyutan Koleang antara lain ditemukan NSK Kropak

1095 (Langgeng Jati), 1097 (Carita Jati Mula), 1099 (Pakéeun

Raga), 1101 (Sasana Sang Pandita), 1102 (Para Putera Rama dan

Rahwana), 1103 (Serat Jati Niskala), 1104 (Primbon), jeung

Kropak 105. Ti Cisanti, Bandung, aya Kropak 620 (Tutur

Bwana), 621 (Sanghyang Sasana Maha), 622 (Warugan Lemah),

623 (Bimaswarga), 624 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian),

625 (Sri Ajnyana), dan Kropak 626 (Sanghyang Swawar Cinta).

Dari kabuyutan yang ada di Garut, antara lain ditemukan NSK

Kropak 610 (Pitutur ning Jalma), 633 (Siksa Guru), 634

(Sanghyang Hayu), 635 (Sanghyang Hayu), 636 (Sanghyang

Hayu), 637 (Sanghyang Hayu), 638 (Sanghyang Hayu), 639

(Serat Buana Pitu), 641 (Arjunawiwāha), dan Kropak 642 (Siksa

Guru). Ke sebelah timurnya, ke Ciamis, ditemukan Kropak 406

(Carita Parahyangan & Fragmen Carita Parahyangan), 407 (Carita

Raden Jayakeling), 408 (Kawih Panyaraman), 409 (Kapaliasan),

412 (Fragmen Carita Parahiyangan), 413 (Ajaran Islam), 414, 415

(Mantra Darma Pamulih), 416 (Carita Purnawijaya), 418 (Nur

Illahi), 422 (Jatiniskala), 423 (Carita Purnawijaya), Naskah

Bambu 426 B (Kaleupasan), Naskah Bambu 426 C (Sanghyang

Jati Maha Pitutur), 630 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian),

dan Kropak 631 (Candrakirana).

Pada tataran praktisnya, menurut Edi S. Ekadjati30

, ada tiga

jenis kegiatan yang dilakukan di kabuyutan. Pertama, melakukan

upacara ritual. Kedua, melaksanakan pendidikan. Ketiga,

mendalami dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan (agama).

Jenis kegiatan pertama antara lain dalam bentuk mendoakan raja

30 „Pendidikan di Tatar Sunda I‟ HU. Pikiran Rakyat, 20 November 2004.

93 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

serta pejabat negara dan rakyat pada umumnya,

menyelenggarakan dan memimpin upacara ritual, dan membaca

teks-teks keagamaan. Untuk keperluan itu pejabat negara dan

masyarakat umum sering datang ke kabuyutan dan sebaliknya

penghuni kabuyutan sering pula diundang ke wilayah negara.

Mengajarkan pengetahuan agama, mendidik anak-anak calon

pendeta, memberi nasihat orang, memberi contoh cara hidup di

mandala termasuk jenis kegiatan kedua (pendidikan).

Anak-anak dan orang muda yang memilih kegiatan

keagamaan sebagai jalan hidupnya memasuki kompleks dan

menjadi siswa (sisya) di kabuyutan untuk menerima berbagai

ilmu pengetahuan (agama) dan tata cara hidup sebagai penghuni

kabuyutan. Mendalami ilmu pengetahuan (agama), mengarang

suatu ilmu pengetahuan, dan menulis naskah (asli atau salinan)

tergolong kegiatan intelektual.

Selanjutnya Ekadjati menjelaskan mengenai bahan ajar dan

spesialisasi guru-guru yang ada di kabuyutan. Ia menjelaskan

bahwa bahan ajarnya berupa berbagai pengetahuan agama

(Hindu-Budha) dan ajaran hidup yang berasal dari intisari

pengalaman, aturan, dan renungan para leluhur (patikrama).

Berbagai pengetahuan tersebut telah dikuasai oleh para guru yang

kemudian disampaikannya secara lisan dan tertulis kepada siswa-

siswanya. Di antara guru-guru itu ada yang memiliki spesialisasi

pengetahuan, seperti: brahmana menguasai aneka macam mantra,

pendeta menguasai pustaka, janggan menguasai berbagai jenis

upacara ritual, pratanda menguasi ilmu agama dan parigama.

Sebagaimana uraian Ekadjati di atas, hasil akumulasi ilmu

pengetahuan tersebut, baik yang ada di kabuyutan sendiri maupun

yang datang dari luar, kemudian diwujudkan dalam bentuk karya

tulis. Media tulisnya terdiri atas beberapa jenis bahan (lontar,

nipah, kelapa, aren, pandan, bambu), sedangkan alat tulisnya

berupa pisau pangot, kalam, dan tinta. Penulisan itu merupakan

tugas pendeta yang menjadi penanggungjawabnya.

Di sana juga terlihat lalu-lintas naskah antar satu kabuyutan

dengan kabuyutan lainnya. Hal ini dimungkinkan oleh adanya

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 94

rahib atau pendeta pengelana yang (berkelana?) sambil belajar

dari satu kabuyutan ke kabuyutan lain, yang tidak hanya berada di

Jawa Barat saja, namun ada juga yang berada di luar Jawa Barat.

Jadi, memang terjadi penulisan, penyalinan, penerjemahan,

penyaduran naskah-naskah yang dihasilkan dari daerah lain dan

kemudian dibawa oleh para rahib pengelana tersebut ke Tatar

Jawa Barat. Contoh rahib pengelana ini adalah tokoh Bujangga

Manik atau Perebu Jaka Pakuan atau Ameng Layaran yang

berkeliling Pulau Jawa dan Bali. Dari Jawa Barat, ke Jawa

Tengah, Jawa Timur, dan melintasi Pulau Bali untuk belajar

keagaamaan. Dalam perjalanan tersebut memang Bujangga

Manik tidak terlepas dari naskah-naskah yang dibawa dan

dibacanya.

Dengan kehadiran nama-nama tempat yang berkaitan dengan

pulau dan laut dapat diduga bahwa, pada prinsipnya, yang

diutamakan adalah keberjarakan dari dunia ramai. Seperti yang

kita saksikan dari peri kehidupan Bujangga Manik yang dalam

perjalanannya senantiasa mencari tempat-tempat sepi, karena

keramaian itu akan terasa mengganggunya. Dalam beberapa

adegan, misalnya, ia memang mencari tempat-tempat sepi.

Titimangsa

Dari tabel di atas juga dapat dibahas mengenai titimangsa atau

waktu penulisan NSK, karena nampak bahwa pada NSK terdapat

keterangan hari, bulan, dan tahun.

Pada praktiknya, para penulis-penyalin NSK ada yang hanya

menyertakan hari saja, seperti yang dapat kita temukan pada NSK

sebagai berikut: Kropak 622 (Warugan Lemah), Rabu Manis.

Namun ada juga yang menyertakan hari dan bulan, yakni Kropak

1** (Sanghyang Siksa Kandang Karesian) bulan ke-10, Selasa

Manis dan Kropak KBG 75 (Wirid), Jum‟at Kliwon, bulan

Muharam. Yang menyertakan bulan saja bisa dikatakan

merupakan yang paling banyak bila dibandingkan dengan yang

menyertakan hari maupun tahun. NSK berikut memakai bulan

saja sebagai titimangsa penulisan NSK: Kropak 621 (Sanghyang

95 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Sasana Maha Guru) ditulis pada bulan ke-4; Kropak 623

(Bimaswarga/Bimaleupas), bulan ke-1; Kropak 625 (Sri

Ajnyana), bulan ke-8; Kropak 626 (Sanghyang Swawar Cinta),

bulan ke-8; dan Kropak 633 (Siksa Guru), bulan ke-10.

Sementara yang memakai keterangan tahun ada: Kropak 634

(Sanghyang Hayu), 1445 Ś (± 1523 M); Kropak 641 (Arjuna

Wiwaha), 1256 Ś (1334 M); dan Kropak 642 (Siksa Guru), Tahun

Saka hlaŕ twa ya wu? Ada pula yang hanya campuran antara

bulan dan tahun, yang terdapat pada Kropak 630 (Sanghyang

Siksa Kandang Karesian) bulan ke-3, 1440 Saka (1518 M).

Sementara Kropak 638 (Sanghyang Hayu) terbilang yang paling

lengkap menyertakan hari, bulan, dan tahun penulisannya, yaitu

dimulai Selasa Kliwon, bulan ke-7, selesai hari Pon bulan ke-9,

1357 Ś (± 1435 M);

Dari paparan di atas nampak beberapa kenyataan yang patut

dibahas secara luas dan mendalam. Pertama, nampaknya tidak

ada aturan yang ketat, dalam artian tidak ada keharusan atau

kewajiban untuk mencantumkan titimangsa pada umumnya

NSK, sehingga terkesan arbitrer alias sewenang-wenang,

tergantung pada penulis-penyalin naskahnya.

Kedua, kesewenang-wenangan itu juga terjadi pada pemilihan

unsur waktu yang dicantumkan ketika penulis-penyalin NSK

memberikan keterangan waktu penulisan. Hal itu terbukti dari

tabel di atas. Pemilihan unsur waktu penulisan NSK sangat acak,

dalam artian bahwa ada yang hanya yang memakai hari, bulan,

atau tahun saja, namun ada juga yang mencantumkan campuran

dua sampai tiga unsur waktu, dan ada yang mencantumkan

campuran hari dengan bulan, hari dengan tahun, bulan dengan

tahun. Ada juga yang bisa dikatakan lengkap menyebutkan

ketiganya.

Ketiga, penggunaan candrasangkala atau kronogram.

Penggunaan kode-kode ini memang biasa dilakukan oleh para

penulis-penyalin naskah-naskah di India. Para penulis-penyalin

naskah di India biasanya memberikan catatan penomoran dengan

menggunakan kata-kata dan huruf-huruf. Mengenai hal ini

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 96

George Buhler menyatakan31

:

In many manuals of astronomy, mathematics and metrics, as

well as in the dates of inscriptions and of MSS, the numerals

are expressed by the names of things, beings or ideas, which,

naturally or in accordance with the teaching of the Sastras,

connote numbers.

Sementara untuk penomoran yang menggunakan huruf, Buhler

menyatakan:

Two system of numeral notation, according to Burnell

originally South-Indian, which both employ the phonetically

arranged characters of the alphabet, have still to be

described, as they are not without interest for paleography.

Dalam hal ini Buhler memberikan contoh dari angka 0 hingga 49,

meskipun ada yang ia lewati. Angka 0 bisa diwakili oleh kata

Sunya, Ambara, Akasa, dan Ananta. Angka 1 diekspresikan

dengan rupa, indu, sasi, sitarasmi, bhu, mahi, adi, nayaka, dan

tanu. Angka 9 digambarkan dengan anka, nanda, cidra.

Pada penomoran menggunakan huruf, Buhler menyatakan ada

dua sistem yang dipakai. Sistem pertama dianggap hanya huruf-

huruf konsonan yang tak mempunyai huruf vokal yang penting,

seperti pada huruf k=1, kh=2, t=6, th=7, y=1, dan m=5. Sistem

kedua memakai konsonan bervokal untuk penomoran, seperti

huruf ka hingga ke la yang berarti sama dengan 1 hingga 34,

atau ka sampai kah yang sama dengan 1 hingga 12.

Baik penggunaan kata-kata maupun huruf, keduanya, selain

digunakan untuk penonoran halaman naskah, juga digunakan

untuk memberikan titimangsa penulisan naskahnya. Untuk

31 Lihat Buhler, George. Indian Paleography (1980: 103-107).

97 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

contoh penggunaan dari kata-kata, Buhler memberikan contoh

dari Pancasiddhantika, 4, 44: kha – kha- veda- samudra= 0-0-4-4-

1=14400. Sementara untuk penggunaan huruf, Buhler

memberikan contoh dari Sarvanukramani:

2 3 1 565 1

khago=ntyan=mesam=apa

Penggabungan angka-angka di atas nilainya sama dengan

1565132, yang mengandung arti penulis-penyalinnya

memaksudkan angka-angka itu pada masa-masa selepas masa

awal Kaliyuga, yang menghasilkan pada musim semi yang siang

maupun malamnya hampir sama waktunya (vernal equinox), 24

Maret 1184 Masehi, sebagai tanggal diselesaikannya.

Keterangan ini bisa menjadi jalan memahami kehadiran kata-

kata maupun huruf-huruf yang digunakan pada akhir sejumlah

NSK. Untuk Kropak 630 (Sanghyang Siksakandang Karesian),

misalnya, di akhir naskahnya terdapat kata-kata nora catur

sagara wulan yang sama dengan tahun 1440 Saka atau, bila

dikonversi ke penanggalan masehi, menjadi 1518 Masehi.

Demikian juga pada naskah NSK Kropak 634 (Sanghyang Hayu)

terdapat kata-kata panca warna catur bumi yang artinya 1445

Saka, atau 1523 Masehi. Dalam NSK ditemukan juga kata-kata

yang belum ditemukan artinya, seperti NSK Kropak 408 (Sewaka

Darma) yang mengandung kata-kata akhir nanu namas haba jaja

atau NSK Kropak 642 (Siksa Guru) yang diakhiri dengan kata-

kata hlaŕ twa ya wu?

Sugan aya sastra leuwih suda baan, kurang wuwuhan.

Cibiru, Maret-April 2012

Daftar Pustaka

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 98

Atja (1968). Tjarita Parahijangan Titilar Karuhun Urang Sunda

Abad ka-16 Masehi. Bandung: Jajasan Nusalarang.

Atja (1970). Ratu Pakuan: Tjeritera Sunda-Kuno dari Lereng

Gunung Tjikuraj. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah.

Buhler, George (1980). Indian Paleography. New Delhi: Oriental

Books Reprint Corporation

Danasasmita, Saleh dkk. (1987). Sewaka Darma (Kropak 408),

Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat

Galunggung (Kropak 632): Transkripsi dan Terjemahan”.

Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian

Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Direktorat Jendral

Kebudayaan Dep. Pendidikan Dan Kebudayaan Nasional

Darsa, Undang A. dan Edi S. Ekadjati (2003). “Fragmén Carita

Parahyangan dan Carita Parahyangan (Kropak 406)”. Séri

Sundalana 1: Tulak Bala. Bandung: Yayasan Pusat Studi

Sunda (PSS).

Darsa, Undang A. (2007). “Carita Ratu Pakuan (Kropak 410):

Suntingan dan Terjemahan Naskah Sunda”. Seri Sundalana

6: Menyelamatkan Alam Sunda. Bandung: Yayasan Pusat

Studi Sunda .

Edi S. Ekadjati (2004, 20 Nopember). “Pendidikan di Tatar Sunda

I”. HU Pikiran Rakyat.

Gunawan, Aditia & Munawwar Holil (2010). “Membuka Peti

Naskah Sunda Kuna di Perpustakaan Nasional RI: Upaya

Rekatalogisasi”. Seri Sundalana 9: Perubahan Pandangan

Aristokrat Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda

Hinzler, H. (1993). “Balinese Palm-Leaf Manuscripts”. BKI 149

No. 3.

Molen, W. Van der dan I. Wiryamartana (2001). “The Merapi-

Merbabu Manuscripts: A Neglected Collection”. BKI 157

No. 1.

Munandar, Agus Aris (1991). “Kegiatan Keagamaan dalam

Masyarakat Kerajaan Sunda: Data Prasasti dan Karya

Sastra”. Makalah pada Seminar Nasional Sastra dan

99 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Sejarah Pakuan Pajajaran, Bogor, 11-13 Nopember.

__________ (2001). “Sebaran Situs Arkeologi di Jawa Barat:

Tinjauan Terhadap Dasar Konsepsi Keagamaan”. Makalah

Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) I,

Bandung, 22-24 Agustus 2001, dan kemudian dimuat

dalam Prosiding KIBS 1 Jilid 1 (2006).

Noorduyn, J. & A. Teeuw (2009). Tiga Pesona Sunda Kuna.

Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan, teks Sunda kuna oleh

Tien Wartini dan Undang A. Darsa, dari Three Old

Sundanese Poems (2006). Jakarta: Pustaka Jaya.

Pleyte, C.M. (1914). “Poernawidjaja‟s Hellevaart of de Volledige

Verlossing”. TBG No. 56.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 100

Abstrak

Dari berbagai sumber tertulis diketahui bahwa pada masa

Syarif Hidayatullah peradaban Islam di Cirebon mencapai masa

kejayaannya. Tulisan ini merupakan upaya untuk melakukan

rekonstruksi sejarah kejayaan peradaban Islam di Cirebon pada

era Syarif Hidayatullah (1479-1568), menunjukkan bukti-bukti

sejarah peradaban tersebut sebagai bukti kejayaan peradaban

Islam di Cirebon, serta mengungkapkan pengaruh Syarif

Hidayatullah terhadap perkembangan dakwah Islam di Jawa.

Signifikansi tulisan ini untuk menunjukkan adanya pembuktian

atau lebih tepatnya penegasan akademik bahwa Syarif

Hidayatullah yang lebih populer dengan nama Sunan Gunung

Jati itu bukan sekedar tokoh legenda, mitos, atau semacamnya,

tetapi bagian dari tokoh historis dan fakta sosial melalui

rekonstruksi historis peradaban Islam Nusantara, terutama di

Cirebon pada tahun 1479-1568. Secara strategis, tulisan ini

diharapkan mampu menjadi kelengkapan khazanah sejarah Islam

Indonesia dalam konteks rekonstruksi sejarah Islam Nusantara

dan kehidupan keagamaan masyarakat, terutama di Cirebon.

Kata Kunci: Islam, Cirebon, Syarif Hidayatullah

* Kandidat Doktor Filologi di Departemen Susastra FIB UI Depok, Dekan

Fakultas Ushuluddin ISIF dan Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Terima

kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu tulisan ini sehingga dapat

hadir di hadapan pembaca, terutama kepada ISIF, dan Balai Litbang Agama

Jakarta. Beberapa nama penting juga disebutkan disini, Nurul Huda SA dan

Aan Jaelani yang telah menemani saya ketika beberapa kali turun lapangan,

Saeful dan Salman dari Balai Litbang Agama Jakarta.

101 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Kanjeng Susuhunan ing Gunung

jati ing Cirebon, amewahi donga

hakaliyan mantra, utawi parasat

miwah jajampi utawi amewahi

dadamelipun tiyang babad wana

Sunan Gunung Jati di Cirebon

mengajarkan tatacara berdoa

dan membaca matera, tata

cara pengobatan, serta tata

cara membuka hutan.32

Mengapa (masih) Mengkaji Syarif Hidayatullah?

Rekonstruksi sejarah Islam Indonesia tidak dapat dilepaskan dari

kontribusi pemikiran dan tindakan setiap tokoh di daerahnya.

Terlebih lagi, daerah-daerah di mana suatu kerajaan Islam telah

berdiri dan berjaya pada masanya. Di antara tokoh tersebut,

hampir dipastikan terdapat seorang tokoh yang mempunyai

keutamaan dan pengaruh kuat bagi masyarakatnya. Sekedar

menyebut beberapa contoh tokoh tersebut adalah Abdur Rauf as-

Sinkili di Aceh (1615-1693), Sultan Agung di Jogjakarta (dulu

Kesultanan Mataram; 1613-1645), dan Syarif Hidayatullah di

Cirebon (1479-1568).

Era Syarif Hidayatullah, atau lebih dikenal dengan gelar

Sunan Gunung Jati, dapat dikatakan sebagai era keemasan

(Golden Age) perkembangan Islam di Cirebon.33

Sebelum Syarif

Hidayatullah, Cirebon yang dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana

(1447-1479) merupakan rintisan pemerintahan berdasarkan asas

Islam, dan setelah Syarif Hidayatullah, pengaruh para penguasa

Cirebon masih berlindung di balik kebesaran nama Syarif

Hidayatullah.

Salah satu di antara kontribusi Syarif Hidayatullah adalah

bahwa ia menjadi salah seorang dewan Walisongo34

di Jawa.

32 Kutipan ini merupakan bagian dari tugas-tugas Wali Songo dalam Primbon

milik Prof. K.H.R. Moh. Adnan, seperti dikutip Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, (Jakarta: Transpustaka, 2011), hlm. 90 33Matthew Isaac Cohen, “An Inheritance from the Friends of God: The Southern

Shadow Puppet Theater of West Java, Indonesia”, Disertasi, (Yale University:

1997), hlm. 7 34Walisongo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam yang berhasil

membawa murid-muridnya untuk menjalankan dakwah Islam ke seluruh

Nusantara pada abad ke-15. Walisongo terdiri dari Sembilan wali; Maulana

Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan

Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga. Penjelasan lebih

lanjut pada Mastuki HS, dan M. Ishom El-Saha (edit.), Intelektualisme

Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di era Pertumbuhan

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 102

Syarif Hidayatullah mendapatkan tugas berdakwah di Cirebon

(Jawa Barat), Banten, dan Sunda Kelapa (Jakarta). Tugas itu

dirumuskan sebagai berikut; “Kanjeng Susuhunan ing Gunung

jati ing Cirebon, amewahi donga hakaliyan mantra, utawi

parasat miwah jajampi utawi amewahi dadamelipun tiyang

babad wana”. (Sunan Gunung Jati di Cirebon mengajarkan tata

cara berdoa dan membaca matera, tata cara pengobatan, serta tata

cara membuka hutan).35

Perbedaan lain dengan para Walisongo

ialah bahwa Syarif Hidayatullah selain sebagai ulama juga

umara, yaitu Sultan di Cirebon.36

Berbagai bukti kejayaan

kepemimpinannya antara lain Masjid Merah Panjunan (+ 1480)

dan masjid Agung Sang Cipta Rasa (1500).

Sejalan dengan bukti tersebut, pemikir Aljazair, Malik Bin

Nabi (1905-1973) dalam Syuruth al-Nahdlah, berpendapat bahwa

suatu peradaban muslim tidak dapat bangkit kecuali dengan

akidah keagamaan.37

Dalam konteks itulah Syarif Hidayatullah

membangun peradaban muslim di Cirebon. Selaras dengan itu,

peradaban Islam pada periode tersebut telah melahirkan berbagai

tokoh pemikirnya, antara lain Sadr al-Din al-Syirazi (w. 1497),

Abu al-Ma‟ali al-Maqdisi (w. 1499), Jalal al-Din al-Suyuti (w.

1505), Al-Qarafi (1533-1600),38

Abd al-Wahhab al-Sya‟rani/al-

Sya‟rawi (w. 1565), dan Abd al-Rahman Jami (w. 1492).39

Periode tersebut merupakan era renaisans bagi benua Eropa

(1495-1500). Dalam catatan sejarah, renaisans adalah periode

yang berlangsung dalam kurun waktu 25-50 tahun dan mencapai

puncaknya pada tahun 1500. Era renaisans bukan sekedar

merupakan kehidupan yang cemerlang di bidang seni, pemikiran,

maupun kesusastraan yang mengeluarkan Eropa dari kegelapan

Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), hlm. 21-34. 35Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah., hlm. 90. 36H,M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya,

dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta; Gelegar Media Indonesia, 2009), hlm.757. 37Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, penterj. Afif Muhammad dan

Abdul Adhem, (Bandung: Mizan, 1995) cet. II, hlm. 73. 38Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, penterj.

Husein Muhammad, (Yogyakarta: LKPSM, 2001). 39 Smith, Margaret. Mistikus Islam: Ujaran-ujaran dan Karyanya, penterj. Ribut Wahyudi (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), hlm. 183.

103 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

intelektual Abad Pertengahan, tetapi juga merupakan suatu

revolusi budaya. Salah satu revolusi pemikiran pada era tersebut

dikemukakan Nicolas Kopernick (Copernicus), yang menyatakan

bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, bukan sebaliknya.40

Pada tahun 1492, Christopher Columbus, nakhoda dari Italia,

telah menemukan kepulauan Amerika.41

Sekalipun peristiwa-peristiwa besar di belahan dunia tersebut

tidak berhubungan langsung dengan Cirebon ataupun Syarif

Hidayatullah, tetapi sebagai konteks sosial, budaya, ekonomi, dan

politik yang berkembang pada saat itu menarik untuk dilihat

sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga Sunan

Gunung Jati tidak hanya dibaca seperti yang selama ini dikenal

dalam legenda atau mitos.

Pada masa itu, Cirebon dikenal juga sebagai „Jalur Sutra‟.

Adanya Pelabuhan Muara Jati yang berada di lalu lintas utama

kawasan tersebut telah menjadi arena perdagangan

internasional.42

Pelabuhan yang ramai dan jalur utama

transportasi yang menghubungkannya dengan wilayah-wilayah

lain menyebabkan kota tersebut tampil dengan keterbukaan dan

menerima, atau paling tidak, menjadi tempat persinggahan bagi

setiap budaya, gerakan, dan pemikiran yang melintasi kawasan

tersebut.

Keterbukaan itu pula yang terdapat dalam diri Syarif

Hidayatullah selama memimpin di Cirebon. Meneruskan

pendahulunya, pusat Kesultanan Islam Cirebon berada di Kraton

Pakungwati.43

Di istana itulah Syarif Hidayatullah memulai

membangun dan mengembangkan Kesultanan Cirebon sampai

dengan pengunduran dirinya.

Tahun 1662, pada masa Panembahan Ratu II (Girilaya),

Pakungwati terbagi menjadi dua kesultanan, yaitu: daerah

Panembahan Sepuh (Kasepuhan) dan daerah Panembahan Anom

40 Yenne, Bill. 100 Peristiwa yang Berpengaruh di dalam Sejarah Dunia (100

Events That Shaped World History), penterj. Lili Sri Padmawati, [t.k.]: Karisma Publishing Group, 2005), hlm. 74-75 41Ibid., hlm. 72 42Diskusi tentang Cirebon sebagai jalur perdagangan dapat dibaca Susanto Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Depdikbud, 1996). 43Kraton Pakungwati merupakan tempat kedudukan utama para Raja Cirebon.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 104

(Kanoman). Kasepuhan berkedudukan di Pakungwati dan

Kanoman menempati kraton baru bekas istana Panembahan

Cakrabuana. Pembagian wilayah kesultanan tersebut didasarkan

pada kesepakatan yang difasilitasi oleh Kesultanan Jogjakarta dan

Banten, untuk Samsuddin Mertawijaya (1677-1697) dan

Badruddin Kartawijaya (1677-1703).

Bersamaan dengan kedatangan Belanda sebagai penjajah yang

menguasai Cirebon sekitar tahun 1700, Kesultanan Kanoman

terbagi lagi menjadi dua kraton, yaitu:; Kanoman dan

Keprabonan. Terakhir, Kesultanan Cirebon terbagi pada masa

Sultan IX yang bernama Sultan Anom Muhammad Kaeruddin.

Saat itu, Kasultanan Kanoman terbagi menjadi dua lagi;

Kanoman dan Kaceribonan. Pudjiastuti mencatat sisi positif dari

perpecahan Kesultanan Cirebon, yaitu telah terjadi perubahan

progresif dalam kesusteraan setiap kali muncul Kraton baru. Di

situlah kesusasteraan tumbuh maju dan berkembang.44

Artinya,

situasi pernaskahan di kraton itu sangat bergantung dengan

perkembangan dari kraton sendiri.

Menurut Siddique, Kesultanan Cirebon telah mengalami

kemerosotan karena pihak lain (asing) sejak tahun 1681-1940.

Beberapa perjanjian dengan VOC telah mendorong terjadinya

kemunduran itu, antara lain: perjanjian 7 Januari 1681 yang

menetapkan bahwa ekonomi-perdagangan, seperti perdagangan

pakaian dan opium, dimonopoli VOC; dan perjanjian 8

September 1688 yang ditandatangai Sultan Sepuh I, Sultan

Anom, dan Pangeran Tohpati, tentang pengakuan dan pembagian

cacah. Dampak internalnya, timbul perpecahan dalam Kesultanan

Cirebon.45

Sekitar tahun 1800, salah seorang Sultan Kanoman Cirebon

dibuang ke Ambon. Bersamaan dengan kedatangan Daendels

pada tahun 1808, Sultan Kanoman yang dibuang tersebut

44Titik Pudjiastuti, “Cirebon” dalam Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum,

(Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 87. Dalam sumber lain, Sultan IX yang

dimaksud barangkali Sultan Kacirebonan, bukan Kanoman. Sebab, Sultan Kanoman IX itu bernama Sultan Muhammad Nurbuat. 45 Siddique, Sharon. Relics of the Past: Sociological Study of the Sultanates of

Cirebon West Java, seperti dikutip dalam Marwati Djoened Poesponegoro,

Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 65

105 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

dibebaskan oleh Daendels yang saat itu menjabat sebagai

Gubernur Jenderal, tetapi pemberontakan di daerah perbatasan

melawan penjajah tetap belanjut. Pada tahun 1809, Daendels

membangun jalan raya melintasi pegunungan dari Batavia ke

Cirebon (Jalan Raya Pos/Groote Postweg).

Selain dikuasai Belanda, Kesultanan Cirebon juga dijajah

Inggris ketika pemerintahan Inggris menguasai (sebagian)

Indonesia sekitar tahun 1811-1816. Pada tahun 1815, Stamford

Raffles memerintah langsung atas Cirebon namun

pemerintahannya sangatlah singkat, karena Britania harus

mengembalikan Jawa dan bekas daerah kekuasaan Hindia-

Belanda lainnya kepada Belanda sesuai persetujuan akhir Perang

Napoleon.

Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia disebutkan, bahwa

kekuasaan Cirebon makin lama makin dipersempit. Pada tahun

1700 Belanda mengangkat Jacob Palm menjadi Residen pertama.

Tak ayal lagi, pemberontakan pun timbul sebagai salah satu cara

untuk menolaknya. Pemberontakan Cirebon telah dimulai sejak

tahun 1788 dan terbesar tahun 1802, tetapi semua dapat

dipadamkan Belanda. Bahkan kemudian, gelar Sultan di

lingkungan kraton sudah tidak diperbolehkan dipakai lagi.46

Kenyataan itu sejalan dengan pendapat Kern bahwa Cirebon

berakhir kejayaannya pada abad ke-17, ketika suasana damai di

Cirebon terganggu oleh kolonial.47

Penegasan serupa ditulis H.J.

De Graaf dan Th. Pigeaud dalam De Eerste Moslimse

Vorstendommen op Java, Studen Over de Staatkundige

Geschiendenis van de 15 de en 16 de Eeuw;

46Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid I A-H,

Jakarta: Djambatan, 2002, cet. II. revisi, hlm. 213. Dalam entri Cirebon ini,

terdapat informasi yang masih meragukan validitasnya, bahwa nama lain Sunan

Gunung Jati itu Fatahillah. Sebab, dalam tradisi lisan Cirebon dan beberapa

tulisan menyebutkan, Fatahillah itu bukan keturunan Cirebon, tetapi dari

Kesultanan Pasai yang diperbantukan di Cirebon, lalu ditugasi di Sunda Kelapa

dan Banten. Tentang klarifikasi Fatahillah, lihat juga pada P.A. Hoesein

Djajadiningrat, “Beberapa Catatan Mengenai “Kerajaan Jawa Cerbon pada

Abad-Abad Pertama Berdirinja”, dalam Kern, R.A. dan Husein Djajadiningrat,

Masa Awal Kerajaan Cirebon, (Jakarta: Bhratara, 1974), hlm. 33-39 47 Kern, R.A. “Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad-Abad Pertama Berdirinya”, dalam R.A. Kern dan Husein Djajadiningrat, Masa Awal., hlm. 21.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 106

“Kedaulatan atas daerah Cirebon termasuk daerah-daerah

Sunda pada 1705 diserahkan oleh susuhunan di Kartasura

kepada kompeni (VOC) di Batavia. Keraton-keraton para

keturunan Sunan Gunung Jati di kota Cirebon masing-masing

tetap dipertahankan di bawah kekuasaan dan dengan tunjangan

uang dari pemerintah Hindia Belanda hingga abad XX ini.”48

Dengan demikian, pemerintah Kolonial Belanda telah semakin

dalam ikut campur mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah

peranan kraton-kraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah

kekuasaannya. Pada tahun 1906 dan 1926, kekuasaan Kesultanan

Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan berdirinya

Kota Cirebon (Gemeente Cheirebon). Saat itu, luas wilayahnya

mencakup 1.100 hektar, dengan sekitar 20.000 jiwa penduduk

(Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota

Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.49

Sejak tahun

1965 Cirebon telah berubah menjadi kota madya dan sekarang

menjadi kota Cirebon dengan luas 37,36 km2.50

Memperhatikan latar belakang tersebut, tulisan ini menjadi

penting untuk mengungkap Kesultanan Cirebon sebelum adanya

campur tangan pihak asing, termasuk intervensi pihak kesultanan

Jogjakarta dan Banten. Dari berbagai sumber tertulis diketahui

bahwa pada masa Syarif Hidayatullah itulah peradaban Islam di

Cirebon dapat dikatakan mencapai masa kejayaannya.

“Ingsun titip tajug lan fakir miskin” adalah salah satu

pernyataan atau petatah petitih dari Syarif Hidayatullah yang

digunakan sebagai ikon oleh kalangan, baik pemerintah maupun

swasta di Cirebon. Saat ini, Cirebon tetap dijadikan sebagai nama

salah satu kota dan kabupaten di Jawa Barat. Sepanjang sejarah

kemerdekaan Indonesia dan selama Cirebon menjadi pusat

pemerintahan kota dan kabupaten, keluarga besar Kraton Cirebon

sepertinya belum pernah ada yang menjadi bupati ataupun

48 De Graaf, HJ. & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan

Sejarah Politik Abad XV dan XVI, penyunting Eko Endarmoko dan Jaap Erkelens, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003), hlm. 132. 49http://indahartgallery.webs.com/keraton.htm 50Profil kota Cirebon Jawa Barat.

107 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

walikota.51

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penting

dikemukakan pertanyaan, bagaimana kejayaan peradaban Islam

di Cirebon pada era Syarif Hidayatullah, tahun 1479-1568?

Bukti-bukti sejarah apa yang mendukung adanya kejayaan

tersebut? Dengan bukti-bukti tersebut, seberapa jauh peran Syarif

Hidayatullah pada perkembangan dakwah Islam di Jawa?

Tulisan ini merupakan upaya untuk melakukan rekonstruksi

sejarah kejayaan peradaban Islam di Cirebon pada era Syarif

Hidayatullah, tahun 1479-1568, dan untuk menunjukkan bukti-

bukti sejarah peradaban tersebut sebagai bukti kejayaan

peradaban Islam di Cirebon, serta mengungkapkan pengaruh

Syarif Hidayatullah pada perkembangan dakwah Islam di Jawa.

Signifikansi tulisan ini untuk menunjukkan adanya

pembuktian atau lebih tepatnya penegasan akademik bahwa

Syarif Hidayatullah yang lebih populer dengan nama Sunan

Gunung Jati itu bukan sekedar tokoh legenda, mitos, atau

semacamnya, tetapi bagian dari tokoh historis dan fakta sosial

melalui rekonstruksi historis peradaban Islam Nusantara,

terutama di Cirebon pada tahun 1479-1568. Secara strategis,

tulisan ini diharapkan mampu menjadi kelengkapan khazanah

sejarah Islam Indonesia dalam konteks rekonstruksi sejarah Islam

Nusantara dan kehidupan keagamaan masyarakat, terutama di

Cirebon.

Penelitian Terdahulu dan Landasan Kajian

Penelitian Kejayaan Peradaban Islam di Cirebon pada Era Syarif

Hidayatullah, tahun 1479-1568 ini tidak dapat dilepaskan dari

kajian-kajian sebelumnya, baik karena kemiripan dalam

penggunaan metode dan pendekatannya, maupun kedekatan

konteks serta cakupannya. Kajian terdahulu berguna untuk

mengetahui perbedaan kajian ini dengan kajian-kajian tersebut,

sehingga kajian ini ditemukan orisinalitasnya.

Adapun kajian secara khusus dengan nama Syarif

51Bahan awal tentang Cirebon dapat dibaca dalam Sulendraningrat, P.R.A.

Sejarah Cirebon, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985) dan Membumikan Wasiat Sunan

Gunung Djati Dalam Membangun Jawa Barat Bermartabat, (Cirebon: Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon, 2004).

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 108

Hidayatullah, sampai dengan penulisan laporan ini belum

ditemukan, kecuali kajian terhadap naskah kuno, yaitu Sajarah

Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, baik dalam

Naskah Mertasinga (2005) maupun Naskah Kuningan (2007).

Kajian naskah serupa dilakukan Atja (1972) dengan judul, Tjarita

Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Tjirebon).

Dengan pendekatan sejarah dan filologi, Atja mengungkap

sejarah awal mula Cirebon; diuraikan pula tentang Syarif

Hidayatullah melalui naskah yang ditulis Pangeran Arya Cirebon

dan transliterasinya, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari.52

Nama Sunan Gunung Jati lebih sering digunakan para peneliti

daripada nama Syarif Hidayatullah., misalnya dalam disertasi

Dadang Wildan yang telah diterbitkan dengan judul Sunan

Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta) Pembumian Islam dengan

Pendekatan Struktural dan Kultural (Bandung, 2002).53

Akbarudin Sucipto menulis Dakwah Sunan Gunung Jati dalam

Perspektif Politik: Analisis Deskriptif terhadap Proses Islamisasi

Cirebon abad ke-XV dan XVI (Skripsi: STAIN Cirebon, 2006).

Kajian tentang Sunan Gunung Jati juga dapat ditemukan dalam

ensiklopedi-ensiklopedi, seperti Ensiklopedi Islam (2002, cet.II),

Ensiklopedi Ulama Nusantara (2009), dan Intelektualisme

Pesantren (2003). Kajian mutakhir tentang Sunan Gunung Jati

dilakukan Agus Sunyoto (2011). Dalam buku yang diberi judul

Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Sunyoto

memaparkan sehistoris mungkin berdasarkan data manuskrip dan

arkeologi gugatan para penulis sejarah Islam di Jawa, di mana

Wali Songo masih diabaikan.

Kajian tentang Cirebon dalam konteks sejarah beberapa kali

telah dilakukan, termasuk bahasan khusus tentang Syarif

Hidayatullah walaupun tidak mendalam. De Graaf dan Pigeaud

(2003 cet. V) menulis Riwayat Kerajaan di Jawa Barat pada

52Untuk melengkapi penelitian ini, transliterasi Atja dilampirkan, sebagai bagian

tak terpisah dari hasil penelitian ini. Penelitian Atja tahun 1972 ini diterbitkan Ikatan Karyawan Meseum. 53Dalam kajian Wildan tersebut, dipaparkan pula 7 (tujuh) naskah yang terkait

dengan Syarif Hidayatullah dalam bentuk prosa dan tembang. Dalam bentuk

prosa yaitu Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Tanah Sunda, dan Sejarah

Cirebon. Dalam bentuk tembang, yaitu Carub Kanda, Babad Cerbon, Babad Cirebon, dan Wawacan Sunan Gunung Jati.

109 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Abad XVI: Cirebon. Kajian tentang Cirebon tersebut hanyalah

salah satu bagian dari kajiannya tentang kerajaan Islam di Jawa,

yang dimulai dari Demak, Kudus, Madura, hingga Banten. Acuan

penulisan keduanya adalah literatur lokal atau pribumi. Kajian

serupa juga dilakukan RH. Unang Sunardjo, Meninjau Sepintas

Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809

(1983). Begitu pula Uka Tjandrasasmita, yang menulis

“Kesultanan Cirebon: Tinjauan Historis dan Kultural” dalam

karya arkeologisnya, Arkeologi Islam Nusantara (2009).

Tjandrasasmita menguraikan tentang Cirebon dengan pendekatan

sejarah, mulai dari pertumbuhan, perkembangan, sampai dengan

keruntuhan kesultanan. Paparan lainnya terkait dengan beberapa

aspek penting di Cirebon, seperti keagamaan, seni sastra, seni

bangun dan ragam hias, serta wayang dan topeng.

Kajian lain tentang Cirebon secara khusus dilakukan oleh tim

peneliti dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD dengan

judul Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas (Bandung, 1991).

Kajian lain tentang Cirebon dilakukan oleh Darkum (Skripsi

Pendidikan Sejarah Fak. Ilmu Sosial UNNES, 2007) dengan judul

Peranan Pangeran Walangsungsang dalam Merintis Kesultanan

Cirebon 1445-1529.

Kajian lain yang masih berkaitan dengan Cirebon dilakukan

oleh Heriyanto (Tesis UI, 2000) dengan judul Upacara Panjang

Jimat: Suatu Kajian tentang Kraton Kasepuhan Cirebon Masa

Kini. Dalam salah satu bagian kajiannya, Heriyanto memaparkan

tentang Kraton Pakungwati dan Syarif Hidayatullah. Informasi

tersebut, sekalipun tidak berasal dari sumber primer, dapat

menjadi informasi penegasan.

Adapun kajian dengan pendekatan sastra dan filologi

dilakukan Pudjiastuti, yaitu Cirebon (2001) dan Kajian

Kodikologis atas Surat Sultan Kanoman, Cirebon [Cod. Or. 2241

ILLB 17 (N0. 80)] (2007). Studi kodeks dalam kajian Pudjiastuti

dapat mempertajam analisis untuk mengungkap konteks surat

Sultan Kanoman pada akhir abad ke-17. Isi surat itu menobatkan

putra bungsu Sultan menjadi Panembahan. Penjelasan lebih luas

tentang dinamika Kesultanan Cirebon diungkap Pudjiastuti pada

“Cirebon” sebagai salah satu entri Sastra Jawa: Suatu Tinjauan

Umum. Konteks Cirebon dalam tulisan Pudjiastuti berkaitan

dengan pernaskahan kuna di Cirebon.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 110

Penelitian dan penulisan tentang Cirebon dapat ditemukan

pula dalam hasil penelitian dan buku-buku yang berasal dari

seminar ataupun lainnya. Sulendraningrat menulis Sejarah

Cirebon (1978). Sebagai keluarga kraton Cirebon,

Sulendraningrat memaparkan tentang Cirebon sejak masa Pra

Sejarah sampai dengan masa masuknya Islam di Indonesia,

silsilah Sunan Gunung Jati dari garis ayah/ibu, silsilah 4 (empat)

kesultanan, hingga tentang peleburan kota-kota kecil, seperti

Kuningan ke Cirebon, dst. Karya orang dalam kraton tersebut

mengacu pada Babad Cirebon, Carub Kanda, Catur Kanda, dan

kitab-kitab lokal lainnya. Paparan senada diungkap Kosoh,

Suwarno, dan Syafe‟I dalam „Jawa Barat pada masa Pemasukan

dan Perkembangan Islam‟ dan „Jawa Barat dalam Abad ke-19‟

sebagai bagian dari Sejarah Daerah Jawa Barat (1979).

Dengan perspektif yang berbeda, para penulis asing juga

melakukan kajian tentang Kesultanan Islam Cirebon, mulai dari

Raffles dalam The History of Java (Terj. 2008), Ricklefs dalam

Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008 (2010 cet. III), Van Der

Kemp dalam Pemberontakan Cirebon Tahun 1818 (1979), dan

Karel Steenbrink dalam Kawan Dalam Pertikaian: Kaum

Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1941) (1995).

Dalam kajian Ahmed E. I. Wahby (2007), Architecture of the

Early Mosques and Shrines of Java: Influences of the Arab

Merchants in the 15th and 16th Centuries?, yang berasal dari

disertasinya pada Fakultät Geistes und Kulturwissenschaften

(GuK) der Otto-Friedrich-Universität Bamberg, Syarif

Hidayatullah, masjid Agung, dan Panjunan Cirebon dikupas

sekilas.

Pada kajian-kajian terdahulu di atas, sekurangnya terdapat

beberapa landasan kajian yang digunakan, yaitu sejarah,

kebudayaan, filologi, arkeologi, dan arsitektur. Adapun dalam

kajian ini, untuk mengungkap Cirebon pada masa Syarif

Hidayatullah (1479-1568) digunakan pendekatan sejarah yang

belum pernah dilakukan, karena itu menjadi penting dan

mendesak untuk dilakukan. Sejarah dalam kajian ini juga

didasarkan pada sumber naskah dan artefak budaya. Kritik

internal dan eksternal dalam pendekatan sejarah juga digunakan

dalam penelitian ini demi menjaga obyektifitas keilmuan.

Dengan demikian, kajian ini diharapkan selain dapat

111 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

memberikan sumbangsih kepada masyarakat, kajian ini dapat

pula menjadi penegas, bahwa Syarif Hidayatullah atau sering

dikenal dengan Sunan Gunung Jati itu bukanlah legenda, dan

mitos belaka, tetapi memang dapat dibuktikan melalui fakta-fakta

historis, filologis, dan arkeologis.

Silsilah Syarif Hidayatullah: Arab dan Cirebon

Menurut Ensiklopedi Ulama Nusantara, Syarif Hidayatullah

dilahirkan pada tahun 1448 dari perkawinan Raja Abdullah

(Syarif Abdullah) dengan Rara Santang, putri Prabu Siliwangi

asal Pajajaran yang bergelar Syarifah Mudaim. Dilahirkan di

Mesir, pada usia 120 tahun Syarif Hidayatullah (tahun 1568)

dipanggil sang Khalik dan dikebumikan di Gunung Sembung

Cirebon. Syarif Hidayatullah masih termasuk keturunan

Rasulullah SAW, dalam urutan ke-22, sama dengan Sunan

Bonang dan Sunan Drajat atau Sunan Giri.54

Menurut Purwaka Caruban Nagari, pada masa remajanya,

ketika umur 20 tahun, Syarif Hidayatullah telah berguru kepada

Syekh Tajudin al-Kubri selama 2 tahun dan Syekh Ataillahi

Syazally yang bermazhab Syafei.55

Guru Syarif Hidayatullah

lainnya adalah Syekh Nur Jati (Datuk Khafidz), Sunan Ampel,

Syekh Najmurini (Nujumuddin) Kubra di Mekkah, Syekh Sidiq,

Syekh Bentong, dan Syekh Quro.56

54 Syarif Hidayatullah adalah putra raja Abdullah (Syarif Abdullah) bin Ali

Nurul Alam bin Jamaluddin Husein (al-Husaini) bin Ahmad Syah Jalaluddin bin

Abdullah Khan Nurdin bin Abdul Malik bin Gazam bin Alwi bin Muhammad

bin Ubaidillah bin Ahmad Muhajir bin Isa al-Bakir (ar-Rumi) bin Muhammad

Idris an-Naqib bin Ali al-Uraidhi (Kasim al-Kamil) bin Ja‟far Shadiq bin

Muhammad al-Bakir bin Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib

(suami Fatimah az-Zahra binti Rasulullah Muhammad SAW.). Ayah Syarif

Hidayatullah, Raja Abdullah bukanlah raja di Mesir, tapi kemungkinan besar

sebagai penguasa kawasan Aceh, terutama Perlak atau Pasei, walaupun berdarah

Timur Tengah. Ini mirip dengan pendapat Hosein Jayadiningrat dengan

argumentasi yang berbeda. Lihat Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara

Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009), hlm. 755 dan 758. 55Naskah Mertasinga; dengan judul Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah

Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007), hlm. 219 56Lihat pada Naskah Mertasinga dan Kuningan, Sejarah wali Syekh Syarif

Hidayatullah Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju,

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 112

Syarif Hidayatullah pernah beberapa kali menikah; pernikahan

pertama dengan Retna Pakungwati (Putri Pangeran Cakrabuana)

dikaruniai dua anak, yaitu: Ratu Ayu (istri Fatahillah) dan

Pangeran Pesarean (Dipati Muhammad Arifin); pernikahan kedua

dengan Ong Tien (Putri Cina, berganti nama Rara Sumanding)

tidak berlangsung lama, karena Ong Tien meninggal dunia;

pernikahan ketiga dengan Nyi Mas Retna Babadan (Putri Ki

Gedeng Babadan); keempat dengan Dewi Kawunganten (Putri Ki

Gedeng Kawunganten, Banten) dikaruniai dua anak, yaitu:; Ratu

Winaon dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I);

kelima dengan Nyi Mas Rara Kerta (Putri Ki Gedeng Jatimerta)

dikaruniai dua anak: Pangeran Jaya Lelana dan Pangeran Brata

Lelana.57

Silsilah Syarif Hidayatullah dari jalur ayah sampai pada

Rasulullah SAW., secara singkat sebagai berikut:; Rasulullah

SAW. mempunyai seorang putri bernama Siti Fatimah yang

berputra Sayid Husein yang berputra Zainal Abidin yang berputra

Syekh Zainal Kabir yang berputra Syekh Jumadil Kubra dari

Quswa yang berputra Raha Umrah-Raja Odhara dari Mesir yang

berputra Sultan Bani Israil yang berputra Syarif Hidayatullah. 58

Adapun silsilah Syarif Hidayatullah dari jalur ibu sampai ke

Prabu Bunisora. adalah sebagai berikut: Sang Prabu mempunyai

anak Ki Gedeng Kasmaya (Ki Ageng Giridewata) Penguasa

Carbon Girang yang mempunyai putrid Nyi Karancang Singapuri

dari Pulo Pinang/Singapura menikah dengan Ki Gedeng Tapa (Ki

Gedeng Juman Jati, Juru Labuhan Muarajati II) mempunyai anak

Nyi Subang Larang yang menikah dengan Prabu Siliwangi. Dari

pernikahannya dengan Prabu Siliwangi mempunyai tiga anak;

Pangeran Cakrabuana, Sari Kabun (Rara Santang, Syarifah

Mudaim), dan Raja Sangara. Rara Santang menikah dengan

Sultan Bani Israil (Sultan Hud, Sultan Mahmud), dan dari

pernikahannya dengan Sultan Mahmud mempunyai dua putra;

(Bandung: Pustaka, 2007) 57Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan

Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009), hlm. 756-757 58Naskah Kuningan; Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung

Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007), hlm. lampiran

113 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. 59

Guru dan Ajaran Syarif Hidayatullah

Menurut Bruinessen, dalam babad-babad tentang Syarif

Hidayatullah diceritakan bahwa sebelum kepergiannya ke tanah

Jawa, Syarif Hidayatullah telah mendalami akidah, syari‟ah,

bahkan tasawuf dengan tarekatnya. Bruinessen juga berpendapat

bahwa Syarif Hidayatullah merupakan penganut Tarekat

Kubrawiyah, yaitu tarekat yang dihubungkan dengan nama

Najamuddin al-Kubra, yang dalam Babad Cirebon selalu disebut-

sebut. Setelah itu, Syarif Hidayatullah berguru kepada Ibnu

Atha‟illah al-Iskandari al-Syadzili selama dua puluh tahun di

Madinah dan ia mendapat bayaran karena menjadi penganut

Tarekat Syadziliyah. Syarif Hidayatullah juga belajar Tarekat

Syattariyah, Istika‟i, Qadiriyah, dan Naqsyabandiyah.60

Adapun

beberapa ajarannya melalui pesan, antara lain sebagai berikut:

Pesan Syekh Najmuddin Kubra kepada Syarif Hidayatullah61

;

“Mapam kita iki ing ngahurip. sira aja angebat-tebat ing laku

den teka patine. Yen ngucap kang satuhu, lan aja nyerang

hukuming Widhi, iku samono kang nyata den kukuh laku iku”.

(Dalam hidup ini, janganlah kamu bertindak berlebihan,

demikian hingga akhir hidup. Kalau bicara, bicaralah yang

jujur dan jangan melawan hokum dari Yang Maha Esa, itulah

hal yang nyata dan lakukanlah hal itu dengan teguh).

Pesan Syekh Athaillah di Sadili kepada Syarif Hidayatullah;

“Perkara lampah kang katiti, sira aja ngebat-tebat. Den

59Ibid. 60 Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Tradisi-

Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999) cet. III. hlm. 223-245. Bandingkan dengan Naskah Mertasinga, hlm. 23 61Naskah Mertasinga dalam Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan

Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007)

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 114

basaja sira iku, aja langguk ing wicara, sira aja ilok

anglaluwih ing padaning manusa. Iku lampah kang sampurna

jati. Pan sira aja susah tatapa ing gunung utawa guane iku

dadi takabur. Sira laku tapaha maring ingkang remening

jalma. Lan duwea muhung. Wong kang luput den ampura.

Mung semana lampah ingkang sejati”.

(Mengenai langkah yang harus dijalani, janganlah kamu

berlebihan, hiduplah dengan bersahaja, jangan sombong dalam

bicara dan jangan berlebihan terhadap sesame manusia. Itulah

langkah sempurna yang sejati. Bertapa di gunung atau di gua

itu akan menjadikanmu takabur, lakukanlah tapa di tengah

ramainya manusia. Milikilah sikap luhur dan maafkan orang

yang salah, hanya itulah langkah yang sejati).

Sunyoto (2011) dalam analisisnya tentang pendidikan dan

pengembangan keilmuan Syarif Hidayatullah, seperti di atas,

menyebutnya dengan “..diwarnai cerita-cerita absurd yang perlu

penafsiran untuk mengetahui kebernaran historisnya”.62

Memang

penelitian ini perlu dilanjutkan lagi, khusus mengenai guru dan

ajaran Syarif Hidayatullah, untuk mendalami apa yang dinyatakan

Sunyoto.

Bukti Kejayaan Pada Era Syarif Hidayatullah

Periode Syarif Hidayatullah (1479-1568) memimpin Cirebon

merupakan masa perkembangan sekaligus masa kejayaan Islam di

Cirebon. Pada masa itu, bidang politik, keagamaan, dan

perdagangan, maju sangat pesat. Pada masa itu pula berlangsung

penyebaran Islam ke Banten (sekitar 1525-1526) melalui

penempatan salah seorang putra Syarif Hidayatullah, Maulana

Hasanuddin.63

Peristiwa itu terjadi setelah keruntuhan

pemerintahan Pucuk Umum, penguasa kadipaten dari Kerajaan

Sunda Pajajaran yang berkududukan di Banten Girang.

Kemajuan Islam pada era Syarif Hidayatullah tidak berhenti

pada terbentuknya pusat pemerintahan di bawah pimpinan

62 Sunyoto, Wali Songo,. hlm. 156 63 Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka Gramdia, 2009), hlm. 164

115 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Maulana Hasanuddin yang terletak di Surosowan, dekat Muara

Cibanten, tetapi pengembangan juga dilakukan ke arah Priangan

Timur, antara lain ke Kerajaan Galuh (tahun 1528), kemudian

Talaga (tahun 1530). Jika dipetakan, wilayah perkembangan

Islam pada era itu, seperti yang tampak dalam gambar, yaitu

Indramayu, Krawang, Bekasi, Tangerang, dan Serang (Banten).

Bukti-bukti kejayaan Syarif Hidayatullah di Cirebon, selain

terlihat dari sisi keagamaannya, yaitu yang bersifat rohaniah

seperti penyebaran Islam, juga dapat dilihat pada perkembangan

bangunan fisiknya, seperti Tajug (Masjid), Kraton Pakungwati,

saat ini berada di Kasepuhan, dan pelabuhan yang saat ini tidak

seramai dahulu lagi.

- Wilayah Kekuasaan Syarif Hidayatullah 1479-1568 -

Tajug dan (atau) Masjid

Pendirian tempat ibadah, khususnya masjid, telah dilakukan sejak

Islam masuk di Cirebon. Untuk kepentingan ibadah dan

pengajaran agama Islam, Pangeran Cakrabuana mendirikan

sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (jala

artinya air; graha artinya rumah). Masjid ini merupakan masjid

pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon.

Sampai saat ini masjid tersebut masih terpelihara dan dikenal

dengan nama dalam dialek Cirebon, masjid Pejalagrahan,

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 116

bertempat di dalam Kraton Pakungwati, Kasepuhan. Masjid

tersebut dibangun sekitar tahun 1454.64

Selain itu, terdapat beberapa bangunan masjid yang dibangun

pada masa Syarif Hidayatullah, yang sampai hari ini diakui

keberadaannya, yakni masjid Merah Panjunan dan masjid Agung

Sang Cipta Rasa. Menurut salah seorang takmir masjid, masjid

Agung Sang Cipta Rasa, dibangun sesudah masjid Merah

Panjunan, yaitu sekitar tahun 1480.

Bangunan kedua masjid terbagi menjadi 2 (dua), yaitu

bangunan dalam dan luar. Bagian dalam masjid digunakan hanya

untuk waktu-waktu khusus, sedangkan bagian luar berfungsi

untuk salat maktubah. Khusus untuk Masjid Merah Panjunan,

bagian dalam hanya digunakan untuk Salat hari raya („Ied).65

Sebagaimana ciri khas masjid Cirebon lainnya, di dinding bagian

pengimaman terdapat lukisan khusus, berbentuk undukan bata,

dan dihiasi piring keramik dari Cina.

Bagian dalam Masjid Merah Panjunan, tempat pengimaman

hanya digunakan salat idul fitri dan idul adha

64 Babad Tanah Sunda, terbitan Suleman Sulendraningrat, seperti ditulis Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati, hlm. 45 65 Wawancara Agustus 2011 di Masjid Merah Panjunan Cirebon. Berbeda dari

informasi yang berkembang di masyarakat, menurutnya, para walisongo sering

mengadakan rapat di dalam masjid untuk membicarakan beberapa hal penting urusan umat, sebelum masjid Agung Sang Cipta Rasa didirikan.

117 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Mesjid Merah Panjunan

Mesjid Merah Panjunan

Kejayaan era Syarif Hidayatullah juga terlihat dari keberadaan

sebuah bangunan masjid yang bernama Masjid Agung Sang Cipta

Rasa yang saat ini berada dalam lingkungan kompleks Kraton

Kasepuhan. Masjid itu dibangun tahun 1549 atau seperti yang

tertulis dalam candrasangkala yang berbunyi Waspada

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 118

Penenbehe Yuganing Ratu, yang bermakna 1500. Simbol

bangunan masjid melambangkan filsafat Hayyun ila Ruhin (hidup

tanpa ruh).66

Bentuk bangunan dan simbol-simbol dalam masjid

semuanya sarat dengan makna filosofis.

Kraton dan Sistem Pemerintahan Cirebon

Sarip Hidayat menikah dengan Pakungwati dan mulailah

pembangunan negara (kota) Carbon, mulai dengan alun-alun dan

istana yang kemudian terkenal dengan nama Istana Pakungwati

(Pupuh 18, Dhandhanggula)67

Sejak serah terima dari Pangeran Cakrabuana, Syarif

Hidayatullah tinggal di Kraton Pakungwati. Perkembangan Islam

secara luas dan massif bermula dari tempat itu. Berbagai

perubahan sistem pemerintahan yang berdasarkan nilai-nilai

Islam mulai diterapkan. Keaktifan dakwah Islam Syarif

Hidayatullah tidak membuatnya melupakan penataan

pemerintahan di daerah sekitarnya. Hal itu pula merupakan

konskuensinya sebagai anggota penting Walisongo.

Sebagai bagian dari Walisongo, Syarif Hidayatullah di akhir

hayatnya lebih memilih untuk menjadi seorang ulama daripada

penguasa pemerintahan. Baginya, kekuasaan cukup dijalankan

oleh putranya di Banten. Mempertimbangkan hal itu, Syarif

Hidayatullah menyerahkan kekuasaan pemerintahan di Cirebon

kepada Pangeran Pesarean pada kurun waktu 1528-1552.

Pesarean merupakan putra Syarif Hidayatullah dengan Nyai

Tepasari. Syarif Hidayatullah sendiri lebih memilih

mengkhususkan diri dalam syiar Islam ke daerah pedalaman.68

66Waspada = 2, Panembehe = 2, Yuga = 4, Ratu = 1, jadi 1422 caka. Nama lain

masjid ini adalah Masjid Pakungwati. Paramita R. Abdurrachman (penyunt.),

Cerbon, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 83. Tetapi menurut Naskah

Mertasinga, Masjid Agung dibangun ketika Syarif Hidayatullah berumur 113

tahun atau sekitar 1561. Naskah Mertasinga, hlm. 123 67Babad Cirebon, alih aksara dan ringkasan S.Z. Hadisutjipto (Jakarta:

Depdikbud, 1979), hlm. xxviii 68Adeng ,dkk. Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Depdikbud, 1998), hlm. 34-35

119 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Dengan tidak aktifnya Syarif Hidayatullah dalam

pemerintahan, maka ia mendapat julukan Pandita Ratu (ulama

yang menjadi raja, tetapi lebih giat menjalankan keagamaan

daripada bergerak di bidang politik).

Kraton Kasepuhan sebagai pintu gerbang menuju Kraton Pakungwati

Kraton Cirebon setelah ditinggal Syarif Hidayatullah mengalami

Masjid Agung Sang Cipta Rasa dari berbagai sisi

Pintu Masuk Masjid Dalem Pintu Gerbang Masjid

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 120

berbagai kemunduran. Hal itu sejalan dengan perkembangan

pesat dari beberapa kerajaan Islam di Jawa dan Banten. Gelar

penguasa Cirebon pernah mengalami beberapa perubahan, yaitu

Panembahan Ratu dan Sultan. Dari berbagai sumber diketahui,

bahwa perubahan nama gelar untuk penguasa di Kraton Cirebon

juga menunjukkan adanya dinamika yang luar biasa, terlebih lagi

setelah adanya pengaruh pihak kolonial atau masuknya VOC ke

Cirebon.

Pelabuhan sebagai Pusat Perdagangan

Peninggalan Syarif Hidayatullah yang pernah menjadi bagian dari

jalur sutra perdagangan dunia internasional adalah pelabuhan.

Pelabuhan Cirebon diduga berdiri seiring dengan kelahiran

Cirebon pada 1371. Sebagai kota pantai, Cirebon merupakan

pusat perdagangan untuk daerah sekitarnya.69

Selain itu, kota

Cirebon juga menjadi kota pelabuhan alternatif terpenting di

pantai utara Jawa setelah Jakarta dan Semarang. Pelabuhan

Cirebon merupakan pelabuhan yang memiliki peran strategis

dalam hal perdagangan sejak masa Syarif Hidayatullah masih

berkuasa. Kapal-kapal asing yang mengangkut barang-barang

niaga dari dan ke luar negara pernah meramaikan pelabuhan ini.

Pemandangan itu pun masih dapat ditemui hingga saat ini. Pada

sore hari, dapat disaksikan puluhan kapal besar tengah bersandar

di dermaga. Perkembangan pelabuhan paling pesat terjadi pada

abad ke-19, bersamaan dengan berlangsungnya era

kolonialisme.70

Menurut Singgih Tri Sulistiono, penyebaran Islam ke daerah

Babadan, Kuningan (Selatan Cirebon), Indramayu, dan

Karawang, terjadi dengan damai dan tanpa kekerasan. Mungkin

fenomena ini bisa ditafsirkan sebagai upaya Cirebon untuk

memperkuat posisinya di bidang perdagangan dan pelayaran

dengan cara menguasai daerah pedalaman yang menjadi sumber

69 http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/475/jbptunikompp-gdl-midiansoem-23725-

3-bab2-mid-n.pdf 70Sigit W., “Perkembangan Pelabuhan Cirebon 1859-1930”, (Semarang: Skripsi Fak. Sastra UNDIP, 1994) dalam http://eprints.undip.ac.id/22079/

121 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

penghasil komoditas perdagangan, seperti beras dan kayu, serta

sekaligus tempat mensuplai barang-barang dari luar. Lebih-lebih

pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah (1479-1568) yang

lebih kurang berusia satu abad, kota pusat pemerintahan

Kesultanan Cirebon sudah lebih banyak penduduknya dan lebih

ramai. 71

Pelabuhan Kota Cirebon saat ini

Saat ini, pelabuhan Cirebon berstatus pelabuhan internasional,

pelabuhan samudra dan pelabuhan ekspor impor, yang berarti

bahwa pelabuhan Cirebon terbuka bagi kegiatan bongkar muat

barang dari dan ke luar negeri atau barang ekspor dan impor.

Adapun pelabuhan Cirebon dikelola oleh BUMN yang

keberadaannya dibawah manajemen PT (Persero).72

Pelabuhan Cirebon inilah salah satu sumber ekonomi terbesar

Kraton Cirebon sehingga pihak kraton dapat memenuhi

kehidupan masyarakatnya. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa

jika pelabuhan tersebut kurang dimanfaatkan, maka kejayaan

Cirebon juga sudah mulai tenggelam.

Pengaruh Syarif Hidayatullah di Jawa

Sebagaimana disebut di awal pembahasan, setiap Sunan dalam

Wali Songo mempunyai tugas masing-masing. Seperti disebutkan

71Seperti dikutip Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara, hlm. 164 72http://boykomar.multiply.com/photos/album/91/Pelabuhan_Cirebon

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 122

Sunyoto, tugas tokoh-tokoh Wali Songo dalam mengubah dan

menyesuaikan tatanan nilai dan sistem sosial budaya masyarakat,

adalah sebagai berikut:

Sunan Ampel membuat peraturan-peraturan yang Islami untuk

masyarakat Jawa. Sebagai Raja Pandita di Gresik ia merancang

pola kain batik, tenun lurik, dan perlengkapan kuda. Susuhunan

Majagung mengajarkan mengolah berbagai macam jenis

masakan, dan lauk pauk, memperbarui alat-alat pertanian, serta

membuat gerabah. Syarif Hidayatullah di Cirebon mengajarkan

tata cara berdoa dan membaca mantra, tata cara pengobatan, serta

tata cara membuka hutan. Sunan Giri membuat tatanan

pemerintahan di Jawa, mengatur perhitungan kalender siklus

perubahan hari, bulan, tahun, dan windu, menyesuaikan siklus

pawukon, juga merintis pembukaan jalan. Sunan Bonang

mengajar ilmu suluk, membuat gamelan, dan menggubah irama

gamelan. Sunan Drajat mengajarkan tata cara membangun rumah

dan membuat alat untuk memikul orang, seperti tandu dan joli.

Sunan Kudus merancang pekerjaan peleburan, membuat keris,

melengkapi peralatan pande besi, kerajinan emas, juga membuat

peraturan, undang-undang, hingga sistem peradilan yang

diperuntukkan bagi orang Jawa.73

Menurut Serat Walisana, seperti disebut Sunyoto, tokoh Syarif

Hidayatullah dikisahkan memiliki kaitan dengan ajaran sufisme

73Sunyoto., hlm. 90-91. Dalam bahasa Primbonnya, sebagai berikut: Susuhunan

ing Ngampel-denta handamel pranating agami Islam, kanggenipun ing tiyang

Jawi. Raja Pandhita ing Gresik amewahi ing polanipun ing sinjang, sinjang

batik, kaliyan sinjang lurik, saha amewahi ing wangunipun kakapaning kuda.

Susuhunan ing Majagung amewahi wangunipun ing olah-olahan, dadaharan

hutawi ulam-ulaman, kaliyan amewahi parabotanipun ing among tani, utawi

andamel garabah. Kanjeng Susuhunan ing Gunung Jati ing Cirebon, amewahi

donga hakaliyan mantra, utawi parasat miwah jajampi utawi amewahi

dadamelipun tiyang babad wana. Kanjeng Susuhunan ing Giri adamel

pranatanipun ing karaton Jawi, kaliyan amewahi bangsa pepetangan lampahing

dinten wulan tahun windu, utawi amewahi lampahing pawukon

sapanunggalipun, kaliyan malih amiwiti damel dalan tiyang Jawi. Kanjeng

Susuhunan Bonang, adamel susuluking ngelmi kaliyan amewahi ricikanipun ing

gangsa, utawi amewahi lagunipun ing gending. Kanjeng Susuhunan Drajat,

amewahi wanguning griya, utawi tiyang ingkang karembat ing tiyang, tandu joli

sapanunggalanipun. Kanjeng Susuhunan Kudus amewahi dapuripun dadamel,

waos duwung sapanunggalanipun, utawi amewahi parabotipun bekakasing

pande, kaliyan kemasan, saha adamel angger-anggeripun hingga pangadilan hokum ingkang keninging kalampahan ing titiyang Jawi.

123 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

melalui kitab-kitab Syaikh Ibrahim Arki, Syaikh Sbti, Syaikh

Muhyiddin Ibn „Arabi, Syaikh Abu Yazid Bustomi, Syaikh

Rudadi, dan Syaikh Samangun Asarani. Perkembangan Tarekat

Syattariyah dan Akmaliyah, sering pula dinisbatkan pada ajaran-

ajaran Wali Songo, khususnya Syarif Hidayatullah, Sunan Giri,

Sunan Kalijaga, dan Syekh Siti Jenar.74

Dalam Serat Kanda, seperti dikutip Muljana, terdapat berita

bahwa Sunan Cirebon ikut serta membangun masjid Demak

sebagai salah satu di antara Sembilan wali.75

Keterlibatan Syarif

Hidayatullah dengan kerajaan Islam di Demak, disebutkan pula

dalam Naskah Mertasinga. Sekurangnya terdapat beberapa

peristiwa besar di Demak, antara lain rapat Wali Songo pernah

dipindah dari Demak ke Cirebon untuk membicarakan banyak hal

di Jawa. Bukti kedekatan pengaruh juga ditunjukkan dengan pola

pernikahan putra putrinya. Begitu pula dengan keterlibatannya

dengan kerajaan Islam di Banten.76

Menurut sumber lain, Syarif

Hidayatullah juga ikut dalam perjuangan Islam di Jayakarta

melalui utusannya, Fatahillah.

Kesimpulan

Mengkaji teks Syarif Hidayatullah sungguh mengasikkan. Setiap

teks selalu menawarkan informasi yang tak jarang berbeda dan

bertentangan satu teks dengan teks lainnya tentang sosok Syarif

Hidayatullah. Sebagai sosok historis, intelektual dan muballig,

Syarif Hidayatullah yang hidup pada abad ke-15/16 di Cirebon,

sampai dengan tulisan ini dibuat, tidak ditemukan suatu kitab atau

karya akademiknya. Abad tersebut, bersamaan dengan masa

renaisans di Eropa dan kehadiran para pemikir besar muslim pada

masanya.

Sebagai tokoh yang lebih memilih dakwah syiar Islam bagi

masyarakatnya, daripada sebagai penguasa formal birokratis di

kesultanan Cirebon, Syarif Hidayatullah telah menanamkan suatu

74 Sunyoto., Ibid., hlm. 91-92 75 Slamet Muljana. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LKiS, 2007), cet. V, hlm. 100-101 76Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Naskah

Mertasinga), alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007), hlm. 72-88

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 124

peradaban moral dan teologis bagi muslim Indonesia terutama di

Cirebon. Karena itu, bukti kejayaannya dapat ditemukan melalui

bangunan tajug atau masjid dengan keragaman seni dan

filosofinya. Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Masjid Merah

Panjunan, barangkali merupakan sebagian di antara bukti

peradaban muslim klasik Indonesia dari Syarif Hidayatullah

selama kurun waktu 1479-1568 di Cirebon.

Pengaruh Syarif Hidayatullah terhadap perkembangan Islam di

Jawa sangat besar sekali. Adanya kerajaan Islam di Demak dan

Banten merupakan beberapa contohnya. Tak kalah pentingnya

lagi kontribusi Syarif Hidayatullah pada perkembangan Islam di

Jawa Barat dengan cara dakwah dengan damai, mulai dari

Kuningan, Indramayu, Majalengka, Cianjur, Garut, Ciamis,

Sumedang, bahkan Jayakarta (Betawi).

Wallahu a‟lam bis sawab

Bibliografi

Adeng, dkk. (1998). Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur

Sutra, Jakarta: Depdikbud.

Atja (1974). Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah

muladjadi Tjirebon), Jakarta: Ikatan Karyawan Meseum.

Bruinessen, Martin van (1999). Kitab Kuning: Pesantren dan

Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Cet. III.

Bandung: Mizan.

Cohen, Matthew Isaac (1997). “An Inheritance from the Friends

of God: The Southern Shadow Puppet Theater of West

Java, Indonesia”. Disertasi. Yale University.

Darkum (2007). “Peranan Walangsungsang dalam Merintis

Kesultanan Cirebon 1445-1529”. Skripsi UNES

Semarang.

Graaf, HJ. De & Th. Pigeaud (2003). Kerajaan Islam Pertama di

Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI.

Penyunting Eko Endarmoko dan Jaap Erkelens. Jakarta:

Pustaka Utama Grafiti.

125 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Djajadiningrat, P.A. Hoesein (1974). “Beberapa Catatan

Mengenai Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad-Abad

Pertama Berdirinja”, dalam R.A. Kern dan Husein

Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan Cirebon. Jakarta:

Bhratara.

Tim IAIN Syarif Hidayatullah (2002) Ensiklopedi Islam

Indonesia Jilid I A-H. Cet. II. Jakarta: Djambatan.

Iskandar, Yoseph (2008) Sejarah Jawa Barat (Yuganing

Rajakwasa). Cet. X. Bandung: Geger Sunten.

Denzin. K.N. & Lincoln S.Y. (2000) Hand Book of Qualitative

Research. United States: Sage Publications Inc.

Kern, R.A. (1974) “Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad-Abad

Pertama Berdirinya”, dalam R.A. Kern dan Husein

Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan Cirebon. Jakarta:

Bhratara.

al-Maraghi, Abdullah Mustofa (2001) Pakar-Pakar Fiqh

Sepanjang Sejarah. Penterj. Husein Muhammad.

Yogyakarta: LKPSM.

Masduqi, Zaenal (2010) “Pemerintahan Kota Cirebon (1906-

1942)”. Tesis. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Munandar, Agus Aris dan Titik Pudjiastuti (1997) “Sumber-

Sumber Tekstual tentang Sejarah Cirebon”, dalam

Susanto Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra.

Jakarta: Depdikbud.

Abdurrachman, Paramita R. (penyunt.) (1982). Cerbon. Jakarta:

Sinar Harapan.

El-Saha, Mastuki HS, dan M. Ishom (edit.) (2003).

Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala

Pemikiran di era Pertumbuhan Pesantren. Jakarta: Diva

Pustaka.

Siddique, Sharon (1992). Relics of the Past: Sociological Study of

the Sultanates of Cirebon West Java, seperti dikutip

dalam Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho

Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia: Jaman

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 126

Pertumbuhan dan Perkembangan III. Jakarta: Balai

Pustaka.

Smith, Margaret (2001). Mistikus Islam: Ujaran-ujaran dan

Karyanya. Penterj. Ribut Wahyudi. Surabaya: Risalah

Gusti.

Sulendraningrat, PRA (1985). Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai

Pustaka.

_______ (2004) Membumikan Wasiat Sunan Gunung Djati

Dalam Membangun Jawa Barat Bermartabat. Cirebon:

Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon.

Sunyoto, Agus (2011). Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang

Disingkirkan. Jakarta: Transpustaka.

Suprayogo dan Tobroni, Imam (2001). Metodologi Penelitian

Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Suprapto, Bibit (2009). Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat

Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama

Nusantara. Jakarta: Gramedia.

Tjandrasasmita, Uka (2009) Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:

Pustaka Gramedia.

Wildan, Dadan (2002). Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan

Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural

dan Kultural. Bandung: Humaniora.

Sigit W (1994) “Perkembangan Pelabuhan Cirebon 1859-1930”.

Skripsi. Fakultas Sastra UNDIP. Tulisan dapat diakses di

http://eprints.undip.ac.id/22079/

Yenne, Bill (2005). 100 Peristiwa yang Berpengaruh di dalam

Sejarah Dunia (100 Events That Shaped World History).

penterj. Lili Sri Padmawati. [t.k.]: Karisma Publishing

Group.

Suntingan/Terbitan Naskah

Babad Tanah Sunda, terbitan Suleman Sulendraningrat dalam

Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan

127 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural

dan Kultural, (Bandung: Humaniora, 2002)

Babad Tanah Sunda, terbitan Suleman Sulendraningrat dalam

Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan

Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural

dan Kultural, (Bandung: Humaniora, 2002)

Babad Cirebon, alih aksara dan ringkasan S.Z. Hadisutjipto

(Jakarta: Depdikbud, 1979)

Naskah Mertasinga, Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah

Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N.

Wahju, (Bandung: Pustaka, 2005)

Naskah Kuningan; Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan

Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju,

(Bandung: Pustaka, 2007)

Website

http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php

http://boykomar.multiply.com/photos/album/91/Pelabuhan_Cireb

on

http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/475/jbptunikompp-gdl-

midiansoem-23725-3-bab2-mid-n.pdf

http://www.nusawarta.com/2010/12/kisah-sejarah-kota-

cirebon.html

http://indahartgallery.webs.com/keraton.htm

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 128

Abstrak

Tulisan ini berupaya memaparkan hasil identifikasi naskah

berbahan daluang dengan menggunakan dua metode, yaitu

pengamatan langsung dan uji sampel di laboratorium. Dalam hal

metode pengamatan langsung, digunakan beberapa alat bantu

identifikasi agar hasilnya lebih terukur. Adapun uji sampel di

laboratorium mengacu pada Standard Nasional Indonesia (SNI)

yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional Indonesia

(BNSNI) sehingga hasilnya lebih akurat dan dapat

dipertanggungjawabkan. Dua metode tersebut digunakan untuk

identifikasi bahan naskah gulungan koleksi Cagar Budaya Candi

Cangkuang (CBCC). Karakteristik bahan naskah yang dihasilkan

berupa ketebalan bahan, warna bahan, jenis serat, panjang serat,

kadar asam dan jenis kerusakan naskah. Adanya kemungkinan

penggunaan metode dan hasil identifikasi bahan naskah daluang

tersebut diharapkan dapat memperkaya metode kajian naskah

dan mempertajam analisis filologis selanjutnya.

Kata Kunci: Identifikasi, Bahan Naskah, Daluang, Candi

Cangkuang

*) Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan

Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia

129 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Pendahuluan

Naskah dibedakan atas adanya fisik dan kandungan teks, fisik

naskah adalah medium yang mewadahi teks sebagai

kandungannya (Baried, 1985: 4-5; Sudardi, 2001: 18-20;

Sudjiman, 1994: 11). Medium dalam naskah dapat dibedakan

pula atas dua hal, yaitu bahan dan teknik. Dalam identifikasi

naskah, yang pertama kali dapat dilakukan di antaranya adalah

pendeskripsian medium. Terkait dengan bahan naskah, daluang

merupakan salah satu dari sekian banyak bahan naskah yang

digunakan dalam tradisi tulis Nusantara.

Namun patut dicatat bahwa masih terdapat beberapa

kekeliruan dalam memahami daluang, di antaranya Lubis

(1996:37) yang menyatakan bahwa “daluang adalah kertas yang

digunakan di Pulau Jawa yang terbuat dari kulit kayu sebagai

campuran”. Contoh kesalahan dalam pendeskripsian naskah yang

memakai daluang sebagai bahannya adalah pendeskripsian bahan

naskah pada koleksi Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri

Baduga Jawa Barat (BPMNSBJB), yang menyatakan bahwa dari

137 buah koleksi naskah yang ada terdaftar, 74 buah di antaranya

berbahan “daluang”, 2 buah berbahan saéh, dan 1 naskah

berbahan daluang saéh. Dalam hal ini digunakan tiga istilah

untuk satu jenis bahan naskah yang sama, yaitu daluang, saéh,

dan daluang saéh.

Di samping itu, terdapat pula kekeliruan dalam pendeskripsian

bahan naskah pada materi pameran tetap di BPMNSBJB, yaitu

naskah Babad Pajajaran yang kemungkinannya besar berbahan

daluang dideskripsikan sebagai naskah berbahan kulit binatang.

Kasus serupa terjadi pada pendeskripsian naskah gulungan CBCC

di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.

Naskah berbahan daluang dideskripsikan sebagai naskah

berbahan kulit kambing.

Terjadinya kesalahan dalam identifikasi naskah berbahan

daluang, baik dari segi peristilahan, pengenalan karakteristik

bahan, dan aspek-aspek lainnya, bisa jadi disebabkan oleh

hilangnya tradisi pembuatan daluang, yang secara otomatis

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 130

menyebabkan informasi mengenai daluang menjadi terputus.

Kini banyak orang, termasuk para petugas yang menangani

naskah, tidak mengenal wujud dan ciri-ciri daluang dengan baik.

Sehubungan dengan hal itu, daluang sebagai bahan naskah

yang dihasilkan oleh tradisi tulis Nusantara menjadi penting

untuk dikaji lebih lanjut. Dalam hal ini peran kajian kodikologi

untuk mengenali bahan, teknik, serta fungsinya diperkirakan

dapat memberi jalan bagi pendalaman kajian terhadap naskah

serta pengembangan bagi disiplin ilmu filologi.

Di antara sekian banyak naskah yang berhasil dihimpun dalam

berbagai katalog naskah Nusantara, naskah CBCC ternyata belum

banyak diteliti, bahkan dalam berbagai katalog naskah pun belum

tercantum. Adapun informasi mengenai koleksi naskah CBCC

dapat dilihat pada buku Cagar Budaya Candi Cangkuang dan

Sekitarnya yang disusun oleh Zaki Munawar (2002).

Naskah koleksi CBCC seluruhnya berjumlah tujuh belas

naskah dan seluruh bahan naskahnya diperkirakan berupa

daluang. Kemasan naskahnya terdiri dari dua bentuk, berupa

buku (binding) dan gulungan (scroll). Naskah-naskah koleksi

CBCC disimpan di tiga lemari kaca yang berbeda, lima belas

buah naskah berbentuk buku disimpan berjajar dalam dua lemari

kaca dan dua naskah disimpan terpisah dalam sebuah lemari kaca

lainnya, termasuk di dalamnya naskah berbentuk gulungan.

Kondisi fisik naskah berbentuk buku umumnya sudah mulai rusak

(dari enam belas naskah hanya tiga naskah yang kondisinya

masih cukup baik); lembar halamannya terurai dari jilidannya

sehingga halaman demi halamannya tercecer, lembab, berjamur,

dan aksaranya sudah tidak terlalu jelas, sehingga menyulitkan

ketika akan dibaca.

Buruknya kondisi naskah-naskah berbentuk buku bisa jadi

disebabkan oleh tingginya tingkat penggunaan pada masa naskah

itu digunakan atau karena kurang baiknya teknik penjilidan,

penyimpanan, dan perawatan naskah, atau karena kurang baiknya

pemeliharaan masyarakat pendukung berikutnya. Berbeda dengan

yang berbentuk buku, naskah gulungan kondisinya lebih baik;

131 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

lembarannya relatif masih utuh, tidak terlalu lembab, tidak terlalu

berjamur, dan aksaranya terlihat jelas sehingga memudahkan

pembacaan teks.

Kondisi naskah berbentuk gulungan yang lebih baik

dibandingkan dengan kondisi naskah berbentuk buku

mengundang beberapa pertanyaan, di antaranya: apakah naskah

yang dikemas dalam bentuk gulungan lebih baik daripada naskah

berbentuk buku atau apakah ada kaitan antara bahan naskah dan

bentuk kemasan naskah dengan tingkat kekuatan fisik naskah?

Gambar 1. Tampak kerusakan naskah berbentuk buku

koleksi CBCC. (dok. pribadi)

Naskah gulungan koleksi CBCC mempunyai ukuran 176 X 23

cm., kedua permukaannya ditulisi dengan teks beraksara Arab,;

tinta yang digunakan untuk menuliskan aksara berwarna hitam

dan tinta yang digunakan untuk menuliskan tanda baca berwarna

merah.

Identifikasi bahan naskah gulungan koleksi CBCC pada

dasarnya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan

pengamatan langsung di lapangan dan berdasarkan pengujian di

laboratorium. Pengamatan secara langsung di lapangan dapat

dilakukan dengan bantuan alat ukur dan peralatan lainnya yang

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 132

diperlukan. Alat ukur yang digunakan di lapangan memberikan

hasil ukur secara langsung, seperti panjang dan lebar bahan

naskah, ketebalan bahan naskah, warna bahan naskah, jenis

aksara, dan warna tinta tulis yang digunakan. Adapun pengujian

bahan di laboratorium dapat dilakukan dengan menggunakan

peralatan laboratorium dan didasarkan pada metode dan standar

yang sudah diakui secara nasional, yaitu SNI.

Pengamatan Langsung

Pengamatan terhadap bahan naskah gulungan koleksi CBCC yang

bisa dilakukan secara langsung di lapangan adalah berupa

pengukuran dimensi panjang dan lebar bahan naskah dengan

menggunakan mistar, pengukuran ketebalan bahan naskah dengan

menggunakan mikrometer digital, dan pengukuran warna dengan

menggunakan tabel warna; di samping itu dilakukan pula

pengambilan gambar dengan menggunakan kamera digital untuk

keperluan dokumentasi penelitian.

Setelah dilakukan pengukuran, hasilnya menunjukkan bahwa

ukuran bahan naskah adalah 176 X 23 cm., sama dengan

informasi yang diberikan oleh juru pelihara CBCC. Ukuran bahan

naskah seperti itu termasuk jarang digunakan dalam penulisan

naskah, hal ini dapat di antaranya dapat dilihat pada data dalam

Katalogus Naskah Sunda (1988), yang menunjukkan bahwa

naskah-naskah Sunda umumnya mempunyai ukuran di bawah

ukuran bahan naskah gulungan koleksi CBCC dan umumnya

berbentuk buku.

Kelangkaan ukuran bahan naskah tersebut juga dapat

mengindikasikan bahan baku yang digunakannya. Dalam hal ini

bisa diyakini bahwa naskah gulungan koleksi CBCC bukan

terbuat dari kulit kambing seperti yang dideskripsikan oleh

petugas juru pelihara CBCC, berangkat dari asumsi panjang kulit

kambing dari bagian leher sampai dengan bagian ekor berkisar

antara 90 sampai dengan 120 cm. Di samping itu tidak terdapat

bintik-bintik bekas pori-pori dan bekas tumbuhnya bulu seperti

pada lembaran kulit binatang pada umumnya. Serat pembentuk

133 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

lembarannya pun serat panjang seperti halnya serat pembentuk

lembaran kulit kayu. Mengenai kepastian jenis serat pembentuk

bahan, selanjutnya akan dipastikan melalui uji laboratorioum.

Gambar 2. Tampak serat pembentuk bahan naskah NGCBCC.

(dok. pribadi)

Mengenai ketebalan bahan naskah gulungan koleksi CBCC,

setelah dilakukan pengukuran ternyata bahwa ketebalan bahannya

tidak sama, paling tipis adalah 0.29 mm dan paling tebal adalah

0.48 mm. Berpijak pada adanya variasi ketebalan bahan dan

dikaitkan dengan jenis serat pembentuk lembaran yang diduga

berasal dari serat kulit kayu, maka dapat dipastikan bahwa bahan

naskah gulungan koleksi CBCC dibuat secara tradisional; bukan

dibuat secara modern dengan menggunakan mesin pembuat

kertas yang dapat menghasilkan kertas dengan ketebalan yang

sama karena dibentuk oleh sebuah mekanisme pembentuk

lembaran (sheet former) yang presisi.

Dengan adanya kenyataan serat pembentuk bahan naskah

berupa jenis serat panjang yang berasal dari kulit kayu, penentuan

bahan naskah pun bisa dirujuk pada adanya daluang sebagai

bahan naskah Nusantara.

Mengenai warna bahan naskah gulungan CBCC, agar

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 134

keterukurannya lebih akurat, maka pengukuran warna

disandarkan pada tabel warna C/M/Y/K. Setelah diukur secara

acak berdasarkan kesamaan dan perbedaan warna yang mencolok,

didapatkan hasil ukur warna dengan pola (1) 10/20/50/0, (2)

40/40/50/0, (3) 5/5/50/0, (4), 5/20/50/0 (5), 0/10/50/0, dan (6)

5/10/50/0. Jika keseluruhan pola warna tersebut dikonversikan ke

tabel warna yang dikeluarkan oleh Winsor & Newton, maka

warna bahan naskah gulungan CBCC dapat termasuk ke dalam

warna naples yellow, yellow ochre, atau raw sienna.

Gambar 3. Tampak pengukuran ketebalan kertas - 0.29 mm.

(dok. pribadi)

Gambar 4. Tampak nilai warna pola 1. 10/20/50/0 (dok. pribadi).

135 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Adanya perbedaan atau gradasi warna yang terdapat pada

naskah gulungan CBCC menunjukkan bahwa, jika pada saat

pembuatan warna bahan naskah adalah sama, maka perbedaan

warna yang dapat disaksikan saat ini adalah perbedaan warna

yang dihasilkan atau diakibatkan oleh perjalanan waktu serta

perlakuan terhadap naskah itu sendiri.

Gambar 5. Tampak hasil konversi warna bahan NGCBCC yang

menunjuk pada warna naples yellow, yellow ochre, atau raw sienna

(dok. pribadi).

Hasil Uji Laboratorium

Untuk melakukan identifikasi bahan naskah di labotatorium,

berdasarkan informasi studi lapangan yang dilakukan pada

tanggal 3 Pebruari 2011 di Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK)

yang berlokasi di Jalan Raya Dayeuhkolot 132 Bandung; Nina

Elyani, Kepala Bidang Pengujian, Sertifikasi, dan Kalibrasi,

menyatakan bahwa bahan naskah gulungan koleksi CBCC dapat

diidentifikasi berdasarkan uji atas (1) pH atau kadar asam, (2)

jenis serat, (3) panjang serat, (4) daya serap tinta atau penetrasi

minyak IGT, (5) daya serap air atau Cobb 60, dan (6) ketahanan

lipat. Seluruh pengujian tersebut metodenya didasarkan pada

standar yang telah ditetapkan BSNI, yaitu: pengujian pH

didasarkan pada SNI 14-0479.2-1998, pengujian jenis serat

didasarkan pada SNI 0441-2009, pengujian panjang serat

didasarkan pada SNI ISO 16065.2-2010, pengujian daya serap

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 136

tinta didasarkan pada SNI 14-9584-1989, pengujian daya serap

air didasarkan pada SNI 0449-2008, dan pengujian ketahanan

lipat didasarkan pada SNI 0491-2009.

Untuk melakukan uji kualitas bahan naskah diperlukan bahan

atau sampel dengan ukuran minimum 15 X 20 cm yang akan

hancur setelah proses pengujian berlangsung. Ukuran minimun

bahan untuk uji kualitas tersebut nampaknya tidak dapat dipenuhi

karena naskah gulungan CBCC merupakan benda koleksi

dilindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya. Keberadaannya

harus senantiasa dijaga dan harus tetap berada di lokasi CBCC.

Etika keilmuan filologi juga tidak memperkenankan untuk

pengambilan bahan naskah karena akan merusak naskah itu

sendiri.

Namun demikian, ternyata masih terdapat peluang untuk

melakukan uji pH atau kadar asam, penentuan jenis serat, dan

panjang serat bahan naskah karena contoh bahan naskah yang

diperlukan untuk pengujian tersebut tidak terlalu besar, yaitu

sekitar 1 X 1 cm untuk uji kadar asam dan 1 X 1 cm untuk uji

jenis serat dan panjang serat. Sampel bahan diambil dari bagian

naskah gulungan CBCC yang koyak, yang selanjutnya disebut

sampel utama.

Gambar 6. Tampak bagian ujung bahan naskah yang koyak. (dok. pribadi)

Pengujian kadar asam serta penentuan jenis dan panjang serat

bahan naskah gulungan CBCC menjadi sangat penting untuk

dilakukan karena melalui pengujian ini akan dapat diketahui

apakah bahan naskah tersebut termasuk kertas yang kuat, dengan

137 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

permanensi (kekuatan) dan durability (ketahanan) tinggi, atau

bahkan sebaliknya seperti yang dipaparkan Lukman (2009: 55).

“permanensi adalah kemampuan kertas untuk tetap stabil dan

tahan terhadap aksi kimia, baik dari dalam maupun dari

lingkungan sekitarnya. Sementara itu, ketahanan (durability)

merupakan sifat ketahanan kertas terhadap perlakuan fisik

yang dapat menyebabkan rusaknya kertas, contohnya

goresan dan lipatan. Permanensi berhubungan dengan

stabilitas kimia kertas, sedangkan ketahanan berhubungan

dengan kekuatan fisik.”

Adapun menurut Harvey, dalam Lukman (2009: 56),

dinyatakan bahwa ukuran terpenting yang menjadi penentu kertas

bersifat permanen adalah kadar pH, yaitu kadar keasaman atau

kebasaan suatu kertas dengan skala 0 – 14, di mana skala pH 0

menunjukkan derajat asam, skala pH 7 menunjukkan sifat netral,

dan skala pH 14 menunjukkan derajat basa.

Selanjutnya, mengenai unsur asam pada yang terdapat dalam

kertas (termasuk daluang), Wan Mamat (1988:62--63)

memaparkan bahwa,

“unsur asam atau lignin, pada dasarnya merupakan salah satu

bahan baku pembuatan kertas dan sudah dipergunakan sejak

kira-kira seratus tahun yang lalu, lignin juga merupakan

kandungan dari serat kayu itu sendiri. Di samping lignin,

penggunaan zat-zat kimia seperti clorine untuk pemutih kertas,

potassium alumunium sulphate untuk penghalus permukaan

kertas (bahan kimia dalam proses pembuatan kertas pabrikan)

dan penggunaan tinta tulis yang mengandung unsur iron

gallotannate (garam besi) juga merupakan faktor yang dapat

menyebabkan tingkat keasaman (acid sulfurik) bahan naskah

menjadi tinggi”.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 138

Secara kebetulan, di sekitar lokasi CBCC, tepatnya di Desa

Cangkuang Kecamatan Leles, ditemukan naskah yang bahannya

diperkirakan sejenis dengan bahan naskah gulungan koleksi

CBCC, yang oleh pemiliknya, Zaki Munawwar, diserahkan

kepada penulis agar bahannya dapat dimanfaatkan untuk uji

laboratorium. Sampel ini selanjutnya disebut sampel pembanding.

Di samping itu, diuji pula sampel daluang hasil rekonstruksi,

selanjutnya disebut sampel rekonstruksi, agar didapatkan

gambaran mengenai kualitasnya guna pemanfaatan praktis

selanjutnya.

Gambar 7. Tampak bahan naskah sampel pembanding dan daluang hasil

rekonstruksi. (dok. pribadi)

Berdasarkan laporan hasil uji atas ketiga sampel yang

dikeluarkan BBPK tertanggal 17 Pebruari 2012, dari sampel

utama didapatkan hasil uji pH sebesar 4,81 ± 0,01, hasil uji jenis

serat menunjukkan bahwa jenis serat bahan adalah jenis softwood,

dan hasil uji panjang serat sepanjang 2,725 mm; dari sampel

pembanding didapatkan hasil uji pH sebesar 5,96 ± 0,02, hasil uji

jenis serat menunjukkan bahwa jenis serat bahan adalah jenis

softwood, dan hasil uji panjang serat sepanjang 2,985 mm, daya

serap tinta permukaan atas 48,5 ± 2,9, daya serap tinta permukaan

bawah 53,3 ± 3,6, daya serap air permukaan atas 15,4 ± 2,1, dan

daya serap air permukaan bawah 17,0 ± 0,7; adapun dari sampel

rekonstruksi didapatkan hasil uji pH sebesar 6,82 ± 0,01, hasil uji

jenis serat menunjukkan bahwa jenis serat bahan adalah jenis

softwood, dan hasil uji panjang serat sepanjang 3,575 mm, daya

serap tinta permukaan atas 50,2 ± 9,1, daya serap tinta permukaan

139 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

bawah 77,5 ± 29,2, daya serap air permukaan atas 150,0 ± 3,5,

dan daya serap air permukaan bawah 193,1 ± 1,4, ketahanan lipat

arah serat sebesar 4246 ± 935, dan ketahanan lipat silang serat

496 ± 333. Seluruh hasil uji tersebut didasarkan pula pada

kondisi ruang pengujian dengan suhu 23 ± 10

C, kelembaban

ruangan pada RH 50 ± 2 %. Untuk memudahkan pembahasan,

berikut ini adalah tabel hasil uji dimaksud.

No. Parameter Satuan

Hasil Uji

Sampel

Utama

Sampel

Pembading

Sampel

Rekonstruksi

1 pH -

4,81 ±

0,01 5,96 ± 0,02 6,82 ± 0,01

2 Jenis serat - Softwood Softwood Softwood

3 Panjang serat mm 2,727 2,985 3,575

4 Penetrasi

minyak IGT

- Top side

- Bottom side

-

-

-

-

48,5 ± 2,9

53,3 ± 3,6

50,2 ± 9,1

77,5 ± 29,2

5 Cobb 60

- Top side

- Bottom side

g/m2

g/m2

-

-

15,4 ± 2,1

17,0 ± 0,7

150,0 ± 3,5

193,1 ± 1,4

6 Ketahanan

Lipat

- Arah serat

-Silang serat

-

-

-

-

-

-

4246 ± 935

496 ± 333

Tabel 1. Hasil Uji Sampel Bahan Kertas.

Tabel di atas memuat hasil uji atas tiga parameter yang dapat

dibandingkan dari sampel utama, sampel pembanding, dan

sampel rekonstruksi, yaitu pH, jenis serat, dan panjang serat.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 140

Derajat pH sampel utama 4,81 ± 0,01, derajat pH sampel

pembanding 5,96 ± 0,02, dan derajat pH sampel rekonstruksi 6,82

± 0,01; jenis serat ketiga sampel adalah softwood; dan panjang

serat sampel utama 2,727 mm, panjang serat sampel pembanding

2,985 mm, dan panjang serat sampel rekonstruksi 3,575 mm.

Hasil perbandingan atas tiga parameter di atas menunjukkan

bahwa untuk derajat pH, sampel utama memiliki derajat

keasaman paling tinggi, diikuti oleh sampel pembanding, dan

sampel rekontruksi. Tingkat derajat keasaman yang didapat dari

perbandingan hasil uji tersebut, untuk sampel utama dan sampel

pembanding, secara objektif menunjukkan tingkat derajat

keasaman pada waktu pengujian; sedangkan untuk sampel

rekonstruksi, di samping menunjukkan tingkat derajat keasaman

pada waktu pengujian, juga menunjukkan tingkat kadar asam

pada waktu selesai pembuatan. Ross Harvey, dalam Lukman

(2009: 59), menyatakan bahwa kadar pH kertas pada waktu

pembuatan tidak boleh kurang dari 6,5 agar dapat dikategorikan

sebagai kertas permanen.

Melihat kenyataan bahwa kadar pH bahan naskah gulungan

koleksi CBCC termasuk ke dalam kategori di bawah netral atau

cenderung asam, maka penanganan naskah-naskah koleksi CBCC

selanjutnya menjadi sangat penting untuk diperhatikan; karena

jika penanganannya tidak dilakukan secara baik, maka tingkat

penurunan kualitas bahan naskah akan berlangsung dengan cepat

dan mengakibatkan kerusakan naskah-naskah itu sendiri.

Selanjutnya untuk jenis serat, ketiga sampel menunjukkan

jenis serat yang sama, yaitu jenis softwood. Namun demikian,

setelah melakukan penelusuran lebih lanjut atas penggolongan

jenis serat, softwood adalah pengolongan jenis serat untuk kayu

dan bukan untuk jenis serat kulit kayu. Menurut Iswanto (2008:

1) dan Sucipto (2009: 1), secara umum kayu dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu hardwood (kayu keras atau kayu daun lebar) dan

softwood (kayu lunak atau kayu daun jarum); dan yang

membedakan keduanya adalah keberadaan sel pembuluh yang

hanya terdapat pada kayu daun lebar.

141 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Mengenai kulit kayu, Batubara (2008) menyatakan bahwa

pada dasarnya kulit kayu dan kayu adalah dua bagian yang

berbeda, kayu adalah jaringan xylem dan kulit kayu adalah

jaringan phloem; kedua jaringan ini merupakan pembentuk

struktur kayu secara utuh. Dengan demikian, untuk penentuan

jenis serat ketiga sampel di atas, karena dikategorikan sebagai

jenis yang sama, maka akan lebih baik jika digolongkan ke

dalam jenis serat kulit kayu (daluang); Teygeler (1995)

menyarankannya dengan menyatakan bahwa “ finally dluwang

can be defined as beaten treebark (tapa) of paper – mulberry tree

(Broussonetia papyrifera Vent.) from Java or Madura.”

Adapun untuk panjang serat, sampel utama memiliki panjang

serat yang paling pendek, selanjutnya diikuti oleh sampel

pembanding, dan sampel rekonstruksi. Hal ini dapat

menunjukkan bahwa ketahanan lipat sampel utama dan sampel

pembanding lebih rendah dari sampel rekonstruksi, karena

panjang serat berbanding lurus dengan ketahanan lipat dan

kekuatan kertas, seperti yang dipaparkan Budi (1995: 105).

“Secara umum panjang serat mempunyai peranan langsung

terhadap sifat-sifat kekuatan kertas, hal ini dikarenakan

panjang serat erat hubungannya dengan banyaknya kontak

perkesatuan sel. Selain itu kekuatan internal dalam serat atau

sel, lebih besar dari pada ikatan antar sel. Selain itu lembaran

kertas yang terdiri dari kumpulan sel-sel yang terpisah terikat

kembali satu sama lain secara lamai tanpa adanya tambahan

bahan perekat, sehingga kekuatan kertas lebih didasarkan atas

exobond dari luas permukaan setiap selnya. Semakin panjang

sel serat akan memberikan pengaruh yang positif terhadap

kekuatan pada kertas, artinya semakin panjang serat, maka

kekuatan kertasnya semakin baik.”

Namun demikian, panjang serat ketiga sampel di atas, masih

lebih panjang jika dibandingkan dengan panjang serat dari empat

jenis kayu yang diteliti oleh Budi (1995: 103) yaitu, kayu terap

1,413 mm, kayu meranti merah 1,345 mm, kayu kapur 1,410 mm,

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 142

dan kayu keruing 1,689 mm. Dengan demikian, kekuatan kertas

berbahan baku kulit kayu seperti yang terdapat pada ketiga

sampel yang diuji di BBPK masih lebih tinggi tingkat kekuatan

kertasnya jika dibandingkan dengan kertas berbahan baku kayu

terap, kayu meranti merah, kayu kapur, dan kayu keruing.

Penyimpanan dan Perawatan Naskah

Penyimpanan dan perawatan naskah memerlukan penanganan

yang baik, karena pada dasarnya bahan naskah mudah rusak jika

tidak ditangani dengan baik. Di beberapa tempat penyimpanan

koleksi naskah yang sudah maju, naskah disimpan di ruangan

khusus dengan suhu dan kelembaban udara tertentu. Naskah pun

ditempatkan dalam lemari, rak, dan kotak yang terbuat dari kertas

bebas asam.

Mengenai suhu ruangan untuk penyimpanan naskah, Wan

Mamat (1988:57--58) menyatakan bahwa suhu ideal berkisar

antara 550F (13

0C) sampai dengan 65

0F (18

0C) dengan kondisi

udara yang mengalir, sedangkan kelembaban berkisar 50%. Alat

untuk mengatur suhu ruangan dikenal sebagai air conditioning

(AC) dan alat untuk mengatur kelembaban dikenal sebagai

higrometer. Dengan memperhatikan hal tersebut, laju kerusakan

bahan naskah dapat diperlambat dan kondisi fisiknya dapat

dipertahankan sehingga suatu naskah dapat bertahan lebih lama.

Naskah gulungan koleksi CBCC dengan dimensi 176 X 23

cm. saat ini tampak disimpan dalam sebuah lemari kaca yang

cukup baik sehingga terbebas dari debu dan serangga yang

dikhawatirkan akan mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada

naskah. Pengemasan dan penyimpanan naskah dalam bentuk

gulungan diperkirakan ada sudah sejak lama, diperkirakan sejak

bahan naskah dibuat sampai saat ini.

Pengemasan naskah dalam bentuk gulungan sepertinya

merupakan pengemasan yang cukup baik untuk dimensi panjang

176 cm, karena dalam bentuk gulungan serat-serat pembentuk

lembaran bahan akan lebih terjaga dibandingkan jika dikemas

dalam bentuk lipatan, memungkinkan serat pembentuk lembaran

143 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

bahan akan putus sebagai akibat dari proses buka tutup lipatan

yang berulang.

Gambar 8. suhu ruangan 27 derajat celcius dan kelembaban 64 persen,

data diambil pada bulan Juni 2008. (dok. pribadi)

Walaupun saat ini penyimpanan dan perawatan naskah sudah

cukup baik, yaitu naskah disimpan dalam lemari kaca sehingga

terhindar dari kontak langsung dengan udara luar, debu, dan

terbebas dari jamahan tangan, namun secara kasat mata terlihat

bahwa pada permukaan bahan naskah masih terdapat beberapa

kerusakan yang mungkin akan mengakibatkan kerusakan lebih

lanjut.

Faktor penyebab kerusakan naskah yang nampak, di

antaranya, adalah faktor lingkungan. Hal ini tampak dari adanya

bagian naskah yang lembab karena terhidrolisis oleh udara basah.

Bagian naskah yang lembab ini kemudian menimbulkan

kerusakan lebih lanjut, yaitu mendorong tumbuhnya jamur. Di

samping itu terdapat pula kulit telur kecoa yang menempel di

permukaan bahan naskah dan beberapa lubang kecil yang

diperkirakan disebabkan serangga sejenis kutu buku. Adanya

jamur, kulit telur kecoa, dan lubang-lubang pada naskah

menunjukkan adanya faktor biologis sebagai penyebab kerusakan

naskah.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 144

Gambar 9. Tampak faktor biologis sebagai faktor penyebab

kerusakan naskah. (dok. pribadi)

Atas dasar hal tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa

kerusakan bahan naskah gulungan koleksi CBCC, di antaranya,

disebabkan oleh faktor usia, faktor lingkungan, faktor biologis,

dan faktor mekanis.

Pada kalangan masyarakat tertentu di Indonesia saat ini,

khususnya masyarakat tradisional, terdapat kegiatan penyimpanan

dan perawatan naskah secara tradisional. Berdasarkan

pengamatan sepintas, upaya yang dilakukan masyarakat

tradisional dalam melakukan penyimpanan dan perawatan naskah

memberikan keuntungan bagi kondisi naskah, sehingga

keberadaan naskah masih dapat disaksikan sampai saat ini. Upaya

yang dilakukan masyarakat tradisional di antaranya dengan

menyimpan naskah pada kotak kayu, menyimpan naskah di atas

tempat yang agak tinggi pada bagian dinding rumah agar tidak

terjangkau anak-anak, membungkus naskah dengan kain, dan ada

kalanya di dalam kotak kayu dan bungkusan kain tersebut

disertakan pula beberapa batang cerutu, biji cengkih, bunga

melati, dan sebagainya.

145 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Gambar 10. Tampak gulungan Wayang Beber

dan kotak penyimpannya di Gunung Kidul. (dok. pribadi)

Cerutu, biji cengkih, dan bunga melati yang disimpan di dalam

kotak kayu ataupun kain pembungkus naskah ternyata dapat

menghindarkan serangan rayap, kutu buku, semut, ataupun

serangga pengganggu lainnya yang dapat mengakibatkan

kerusakan pada naskah. hal ini dapat dipahami karena ternyata

baik cerutu, biji cengkih, dan bunga melati masing-masing

mempunyai aroma khas yang tidak disukai serangga.

Gambar 11. Tampak penyimpanan naskah yang dijadikan sarang semut.

(dok. pribadi)

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 146

Di beberapa tempat tertentu, yang masyarakat pendukungnya

masih memegang teguh adat istiadat, naskah dan benda-benda

koleksi lainnya hanya boleh dibuka dan dilihat satu tahun sekali,

biasanya pada bulan-bulan yang dianggap sakral, seperti bulan

Mulud sekaligus dengan melakukan prosesi pembersihan pusaka.

Pengaturan waktu untuk membuka dan membersihkan naskah

beserta benda-benda yang dianggap keramat (termasuk

mengkeramatkan naskah), ternyata ada sisi positif dan sisi

negatifnya. Sisi positifnya adalah memberikan ketahanan bagi

naskah itu sendiri, dalam hal ini naskah tidak sembarang waktu

dijamah tangan dan dibuka tutup. Sisi negatifnya adalah

kandungan informasi naskah tidak diketahui masyarakat banyak

sehingga, jika terjadi penurunan kualitas kondisi naskah, maka

tingkat kerusakannya tidak cepat diketahui dan kerusakannya

tidak akan dapat dicegah.

Daftar Pustaka

Baried, Siti Baroroh (1985). Pengantar Filologi. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Batubara, Ridwanti (2008). Kimia Kulit Kayu, Potensi dan

Peluang Pemanfaatannya. Departemen Kehutanan,

Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Budi, Agus Sulistyo (1995). “Morfologi Serat Pulp dari Empat

Jenis Kayu Daun Lebar dalam Hubungannya dengan

Kekuatan Kertasnya”. Jurnal FRONTIER Nomor 17.

September 1995.

Ekadjati, Edi S. (1988). Naskah Sunda: Inventarisasi dan

Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas

Padjadjaran dan The Toyota Foundation.

Lubis, Nabilah (1996). Naskah, Teks, dan Metode Penelitian

Filologi. Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab

Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah.

Lukman (2009). “Penggunaan Kertas Permanen sebagai

147 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Pencegahan Kerusakan Kertas”. Jurnal BACA Vol. 30,

No. 1, Agustus 2009 (01-72).

Munawar, Zaki (2002). Cagar Budaya Candi Cangkuang dan

Sekitarnya. Garut: Dinas Pariwisata Seni dan Budaya.

Sudjiman, Panuti (1994). Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teygeler, René (1995). “Dluwang, a Javanese/Madurese Tapa

from The Paper-mulberry Tree” dalam www\IIAS

Newsletter\IIASN-6\Southeast Asia. Dikunjungi pada

tanggal 14 April 2004.

Wan Mamat, Wan Ali Hj. (1988). Pemuliharaan Buku dan

Manuskrip. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

Kementerian Pendidikan Malaysia.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 148

Abstrak

Lontar adalah produk budaya Bali dan telah diakui menjadi

warisan budaya dunia. Masyarakat Bali berkeyakinan lontar

memiliki arti yang penting dan sangat bermanfaat untuk hidup

dan kehidupannya. Lontar dengan segala bentuk wacana

penuturannya memotret dan memberikan cermin kehidupan yang

dapat dijadikan smerti, yaitu contoh dan implementasi kehidupan

yang patut dan tidak patut dilakukan. Tulisan ini

mendeskripsikan lontar dari berbagai dimensi mencakup lontar

sebagai warisan budaya, tradisi penulisan manuskrip, serta

proses pembuatan manuskrip lontar.

Kata Kunci: Lontar, Bali, Manuskrip

Pendahuluan

Kata lontar memiliki kaitan erat dengan sumber bahan dasar

pembuatannya, yaitu rontal /daun ental/tal (sejenis daun

palma/borassus flabelliformis). Lontar sebagai produk budaya

kaya makna telah mengangkat citra tradisi Bali di tengah-tengah

pergaulan peradaban masyarakat dunia. Warisan budaya yang

satu ini juga telah memberikan aura keluhuran dan

mentransmisikan keunggulan pemikiran masyarakat Bali yang

melahirkannya. Tradisi lontar di Bali memiliki perjalanan sejarah

yang panjang dan umur yang tua seiring dengan nilai-nilai

*) Pengajar di Jurusan Sastra Bali, Fakultas Sastra, Universitas Udayana Bali.

149 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

sejarah, agama, filsafat, pengobatan, sastra, dan ilmu pengetahuan

tinggi lainnya. Lontar perekam jagat pemikiran masyarakat Bali

sampai dalam bentuknya sekarang merupakan saksi sejarah dan

menjadi penampang historik masyarakat pendukungnya.

Pewarisan tradisi lontar di Bali berlanjut dari generasi ke

generasi dalam suasana kerohanian dan kemurnian hati nurani.

Masyarakat Bali meyakini lontar adalah wahana bersemayam

Sang Hyang Aji Saraswati, yaitu manifestasi Ida Sang Hyang

Widi (Tuhan) sebagai sumber ilmu pengetahuan. Setiap 6 bulan

sekali, bertepatan dengan perhitungan kalender Bali Sabtu Kliwon

Wuku Watugunung lontar-lontar dibuatkan upacara piodalan

Saraswati. Pada hari ini masyarakat menghaturkan aneka banten

pasucian Weton Saraswati. Keesokan harinya, pada hari Minggu

Umanis Watugunung, masyarakat Bali pagi-pagi benar membawa

toya kumkuman (air suci) menuju sumber-sumber mata air atau

pantai melaksanakan upacara banyu pinaruh (menyambut

turunnya ilmu pengetahuan).

Para panglingsir (orang tua berpengetahuan) di Bali

memaparkan kata Saraswati ke dalam dua bentuk dasar, yaitu

saras dan wati. Saras diterjemahkan sebagai sang mraga toya,

dangan mes membah (beliau yang berbadankan air, begitu mudah

mengalir atau sesuatu yang mengalir) dan kecap bebaos sang

mraga wagmi sajroning bebaosan (kata-kata orang bijaksana saat

memberikan petuah). Wati diterjemahkan sang adrue (pemilik).

Dari uraian itu, kata Saraswati diterjemahkan sebagai Ida Sang

mambek toya tur wagmi sajroning bebaosan yang artinya beliau

yang mengalirkan air suci pengetahuan. Saraswati adalah sumber

dari segala sumber kata-kata bijak (mraga wagmi). Karena itu,

Dewi Saraswati juga dijuluki Dewi Wagmiswari (Dewi Kata-

kata) atau Wagmimaya (Kata-kata Bertuah). Julukan yang lain

untuk memuliakan Dewi Saraswati sebagai sumber ilmu

pengetahuan yaitu: Putkari Dewi, Bhatari Dewi, Sarada Dewi,

dan Brahma Putri. Itulah Saraswati, Dewi sumber ilmu

pengetahuan dan kebijaksanaan yang berupa tastra (manuskrip

aksara Bali) yang bersemayam di mahligai lontar.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 150

Lontar Warisan Budaya

Lontar adalah produk budaya Bali dan telah diakui menjadi

warisan budaya dunia. Betapa tidak. Menurut Bali Cultural

Heritage Coservation, Volume 10 (1998: 2-6) lontar Bali

termasuk salah satu warisan budaya dunia karena memiliki

karakteristik, seperti: 1) warisan budaya intelektual (intellectual

heritage), 2) tradisi yang hidup (living tradition), 3) mudah

dipindahkan (moveable), 4) memiliki wujud fisik (tangible) dan

non-fisik (intangible), 5) memiliki fungsi dan kedudukan yang

terhormat dan disucikan dalam masyarakat (abstract), dan 6)

sudah menjadi salah satu warisan dunia (wolrd heritage).

Lontar Warisan Intelektual

Kekayaan pemikiran dan rohani masyarakat Bali secara tradisi

terekam dalam manuskrip lontar. Masyarakat Bali berkeyakinan

lontar memiliki arti yang penting dan sangat bermanfaat untuk

hidup dan kehidupannya. Lontar dengan segala bentuk wacana

penuturannya memotret dan memberikan cermin kehidupan yang

dapat dijadikan smerti, yaitu contoh dan implementasi kehidupan

yang patut dan tidak patut dilakukan. Itu artinya, kandungan

lontar dengan berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup

yang pernah ada dan dimiliki masyarakat Bali masa lampau dapat

dikembangkan untuk menata dan meningkatkan kehidupan

spiritual dan material saat ini dan masa-masa mendatang.

Tradisi keberaksaraan dan keterpelajaran pada lontar adalah

warisan budaya yang sangat berharga dan penting. Bukan saja

penting untuk para leluhur dan orang Bali kini, tetapi juga penting

untuk menghiasi khazanah intelektual masyarakat luas lainnya.

Semuanya masih relevan dan patut diwarisi, dilestarikan, dan

diteruskan agar tercapai kehidupan material-spiritual yang lebih

baik. Tradisi masyarakat Bali mempelajari dan menekuni lontar

disebut anak nyastra (a man of letters) yang artinya beliau yang

terpelajar (gelettered). Mereka itulah yang sesungguhnya steak

holders lontar di Bali.

Lontar Tradisi yang Masih Hidup

Kita meyakini tradisi lontar adalah tradisi masyarakat Bali yang

sudah tua. Walaupun usianya telah tua, tradisi ini masih hidup

dan berkembang di tengah masyarakat Bali. Keadaan ini berbeda

jauh dengan masyarakat Indonesia lainnya yang mewarisi tradisi

151 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

manuskrip. Sekriptorium-sekriptorium yang ada di Bali masih

menjalankan aktivitas sebagaimana mestinya.

Hidupnya tradisi lontar dalam masyarakat Bali sangat

didukung oleh masih hidupnya aktivitas budaya dan sumber alam

lainnya, seperti:

(1) Tersedianya cukup banyak pohon lontar. Pohon lontar

yang menjadi sumber utama bahan penulisan lontar

tumbuh subur di belahan Timur dan Utara pulau Bali.

Jumlahnya mencapai ribuan pohon. Pohon lontar adalah

sumber alam yang dapat diperbaharui. Mengingat lontar

memiliki multimanfaat, seperti untuk bahan anyaman

dan kerajinan tangan lainnya, maka pohon lontar

dibudidayakan dengan baik, sehingga dari waktu ke

waktu jumlahnya tidak pernah berkurang.

(2) Masih adanya orang yang mewarisi tradisi pembuatan

daun lontar sebagai bahan rumah pintar” Dewa Catra,

dan yang lainnya.

(3) Adanya pusat-pusat penulisan lontar dan kegiatan

penyalinan lontar di masyarakat.

(4) Adanya sekolah khusus yang mengajarkan cara menulis

lontar, seperti SMUN I Sidemen (dulu SMU Sidamaha)

Karangasem, Jurusan Sastra Bali di berbagai perguruan

tinggi di Bali, seperti Fakultas Sastra di Universitas

Udayana, Unisha Singaraja, IKIP PGRI Bali, IHDN,

Universitas Dwijendra, dan perguruan tinggi lainnya.

(5) Masih banyak orang yang mampu menulis lontar secara

tradisional.

(6) Adanya perpustakaan lontar yang memiliki latar

belakang sejarah yang penting seperti: Gedong Kitrya di

Singaraja, Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra

Universitas Udayana, Perpustakaan Lontar Dinas

Kebudayaan Provinsi Bali, Perpustakaan Musieum Bali,

Perpustakaan Unhi Denpasar, Balai Bahasa Denpasar,

dan yang lainnya, yang menyimpan lontar-lontar penting

yang dibutuhkan masyarakat.

(7) Tradisi membaca lontar dalam aktivitas bersastra di Bali

secara tradisional erat kaitannya dengan sistem upacara

dan sistem keagamaan Hindu di Bali.

(8) Adanya kegiatan mabasan (membaca, menyanyikan, dan

mengapresiasi) karya-karya sastra tradisional Bali di

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 152

lingkungan masyarakat Bali, yang menjadikan

manuskrip lontar sebagai bahan bacaannya.

(9) Perkembangan pariwisata menyumbangkan peran untuk

mempertahankan tradisi lontar, seperti di desa Tenganan

Pegringsingan Karangasem. Banyak anggota masyarakat

Tenganan Pagringsingan menggambar dan menulis prasi

serta melukis di atas media daun lontar. Lontar-lontar

dalam bentuk baru itu khusus dibuat untuk dijual sebagai

komoditas pariwisata ( BUIP, Bali CHC: Volume 10,

1999: 3-4).

(10) Banyak masyarakat umum yang mengoleksi lontar, baik

sebagai warisan maupun atas usahanya sendiri

membangun perpustakaan pribadi.

(11) Aktivitas lomba menyalin huruf Latin ke dalam aksara

Bali di atas lempiran lontar untuk tingkat SMP dan SMA

terus digalakkan. Lomba menyalin huruf Latin ke dalam

aksara Bali di atas lempiran lontar selalu ada dalam

ajang Pekan Seni Remaja (PSR) Kota Denpasar, Pekan

Olahraga dan Seni Pelajar (Porsenijar) se-Bali, Pesta

Kesenian Bali, dan pihak penyelenggara lainnya, serta

acara-acara khusus seperti Gebiar Nyurat Lontar oleh

Pemerintah Kota Denpasar. Acara ini dikaitkan dengan

misi Kota Denpasar sebagai Kota Kreatif Berwawasan

Budaya Unggulan.

Gambar 1. Aktivitas pembacaan lontar cakepan.

Jumlah lontar cakepan di masyarakat Bali adalah ribuan.

153 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Gambar 2. Penulis melakukan pengukuran terhadap lontar yang dikeramatkan

masyarakat Desa Bayan Beleq, sisi Utara lereng gunung Rinjani di Lombok

Utara.

Mudah Dipindahkan

Wujud fisik lontar cukup simpel. Dengan panjang antara 30 cm.

sampai 60 cm. dan lebar tidak lebih dari 4 cm. lontar mudah

dibawa dan dibaca. Karena fisiknya yang sederhana ini lontar

juga mudah dipindahtangankan, maka tidak jarang lontar

diperjualbelikan sebagai barang antik. Sejumlah masyarakat

pemilik lontar menjual lontar warisannya dengan beragam alasan,

diantaranya: ingin menutupi kebutuhan sehari-hari keluarganya,

tidak mampu mengurus sehingga kuatir rusak di tempat, untuk

modal usaha, dan beragam alasan ekonomi lainnya. Alasan-alasan

ini pula yang membuat semakin bersemangatnya para ”pemburu”

lontar, baik dari kalangan masyarakat lokal maupun

mancanegara. Golongan yang terakhir ini yang memanfaatkan

tenaga lokal untuk keluar masuk desa ‟mengejar‟, lontar yang

berusia tua dan berkarakter antik dan unik.

Lontar-lontar tua, antik, dan unik yang telah dijual masyarakat

Bali tentu tidak dapat diidentifikasi judul dan isinya. Karenanya

lontar-lontar yang sudah raib ke luar dari pulau Bali dan tidak

sempat katedun (disalin ke dalam naskah yang baru) ini tidak

dijumpai di perpustakaan-perpustakaan yang ada. Diperkirakan

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 154

bahwa lontar yang telah ”raib” jumlahnya ratusan, kalau tidak

mau dikatakan ribuan.

Memiliki Wujud Fisik dan Non-Fisik

Jumlah lontar yang ada di masyarakat dapat diperkirakan lebih

dari 55 ribu cakep (dalam kesatuan yang utuh) lontar. Jumlah itu

belum termasuk yang tersimpan di perpustakaan lontar yang

resmi, seperti di Gedong Kirtya. Di tempat ini tersimpan

sebanyak 2414 cakep, di Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra

Universitas Udayana tersimpan sebanyak 738 cakep, di

perpustakaan Balai Bahasa Denpasar tersimpan sebanyak 90

cakep, di Perpustakaan Universitas Hindu Indonesia tersimpan

sebanyak 151 cakep, di Perpustakaan Lontar Universitas

Dwijendra Denpasar tersimpan sebanyak 50 cakep, di

Perpustakaan Museum Bali tersimpan 60 cakep, dan di

Perpustakaan Lontar Dokumentasi Budaya Bali, Kantor Dinas

Kebudayaan Provinsi Bali tersimpan sebanyak 2274 cakep.

Lontar yang tersimpan di lembaga-lembaga resmi biasanya

mendapat pemeliharaan yang baik, sedangkan yang tersimpan di

rumah-rumah penduduk, khususnya di Griya dan Puri di Bali

yang jumlahnya begitu banyak, perlu mendapat penanganan fisik

secara khusus agar terhindar dari kelapukan. Perlu dilakukan

usaha-usaha konservasi dan pengobatan secara ilmiah dan

bertanggung jawab. Untuk itu diperlukan kemauan bersama, baik

dari kalangan masyarakat pengoleksi maupun dari pihak

pemegang kebijakan, yaitu instansi pemerintah yang terkait.

Diperlukan juga kemauan politik dari para wakil rakyat, DPRD,

tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota di seluruh Bali. Kalau

semua pihak cermat dalam menangani dan mensosialisasikan

fungsi strategis manuskrip lontar Bali, tentu nilai manfaat lontar

dapat disumbangkan untuk memperkaya khazanah budaya bangsa

dan budaya dalam lingkup internasional.

Lontar sebagai bagian dari khazanah ilmu kepustakaan

memiliki kodifikasi keilmuan yang kompleks dan beragam. Para

ahli kepustakaan lontar, baik ilmuwan luar negeri maupun dalam

negeri, membuat klasifikasi lontar Bali secara sangat beragam,

sesuai dengan keluasan pengetahuan masing-masing mengenai

jenis dan isi naskah lontar yang didapatkannya. Th Pigeaud yang

telah mempelajari klasifikasi Freiderich (1847) dan R. Van Eck

(1875), pada tahun 1967 mengklasifikasikan kepustakaan lontar

155 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Bali menjadi empat kategori besar, yaitu : (1) Religion and

Ethics, seperti pustaka lontar: a. weda, mantra, dan puja, b.

Kalpasastra, c. Tutur, d. Sasana, dan e. Niti; (2) History and

Mythologi, seperti pustaka lontar : babad, pamancangah, usana,

prasasti, dan uwug/rusak/rereg; (3) Belles Lettres, seperti pustaka

lontar parwa, kakawin, kidung, geguritan dan parikan, serta

satua; dan (4) Science, Arts, Humanities, Law, Folklore, Customs,

antara lain: usada, prasi, awig-awig, uar-uar, sima, pipil, urak

dan yang lainnya. Klasifisasi termutakhir yang banyak dirujuk

adalah klasifikasi yang diterapkan Nyoman Kadjeng dari

perpustakaan lontar Gedong Kirtya Singaraja (1928), yaitu: (1)

Weda, yang terdiri dari jenis lontar weda, mantra, dan

kalpasastra; (2) Agama, yang terdiri dari jenis lontar palakreta,

sasana, dan Niti; 3) Wariga, yang terdiri dari jenis lontar wariga,

tutur, kanda, dan usada; (4) Itihasa, yang terdiri dari jenis lontar

parwa, kakawin, kidung, dan geguritan; (5) Babad, yang terdiri

dari jenis lontar pamancangah, usana, dan uwug/rereg/rusak; dan

(6) Tantri yang terdiri dari jenis lontar tantri dan satua.

Kemudian I Ketut Suwidja menambah klasifikasi lontar Gedong

Kirtya dengan kelompok VII, yaitu lelampahan, yang memuat

lakon-lakon pertunjukan kesenian gambuh, wayang, arja dan

yang lainnya.

Klasifikasi manuskrip lontar di atas telah dapat memberikan

citra wujud fisik naskah lontar yang ada di Bali. Wujud fisik

naskah lontar yang disebut pengetahuan-pengetahuan lain oleh

kalangan peneliti pernaskahan di Bali dikelompokkan karena

menguraikan pengetahuan tertentu, seperti pengetahuan

kearsitekturan (Astakosali, Astakosala, Asthabhumi,

Wiswakarma, dan yang lain). Lontar memuat kode etik arsitektur

tradisional seperti Dharmaning Sangging, dan yang berhubungan

dengan upacara penyucian bangunan, seperti lontar Pemlaspas.

Naskah leksikografi dan tata bahasa seperti lontar Adiswara,

Ekalavya, Kretabasa, Suksmabasa, Cantakaparwa, Dasanama,

dan yang memakai judul Krakah, seperti Krakah Sastra, Krakah

Modre dan yang lainnya. Lontar Ekalawya dan Dasanama tidak

sekedar memuat daftar kata, tetapi juga memuat sejumlah makna

sinonim, sedangkan lontar Krakah antara lain memuat uraian

beserta makna istilah dalam naskah-naskah tertentu. Naskah

hukum juga ditemukan dalam dunia lontar di Bali. Beberapa yang

penting adalah: lontar Adigama, Dewagama, Kutara Manawa,

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 156

dan Purwadhigama. Lontar-lontar hukum yang lebih banyak

bercorak Bali, diantaranya: Kretasima, Kretasima Subak,

Paswara, dan awig-awig. Lontar yang memuat pengetahuan

astronomi biasanya memakai judul Wariga dan Sundari. Lontar

jenis ini banyak dijumpai. Banyak menguraikan masalah-masalah

pertanian seperti penentuan iklim, hari baik atau buruk untuk

suatu pekerjaan, sampai dengan penentuan hari-hari baik untuk

upacara keagamaan (Agastia: 1985:13-14).

Memiliki Abstraksi Nilai

Fungsi dan kedudukan lontar dalam masyarakat memiliki kaitan

yang erat dengan sistem kepercayaan dan kehidupan keagamaan

masyarakat Bali. Lontar bagi masyarakat Bali adalah kitab suci

yang selain disucikan juga dipelajari untuk dijadikan pegangan

hidup sehari-hari (suluh nikang prabha). Ada hari khusus yang

ditetapkan untuk menghormati dan mensucikan lontar, yaitu hari

Puja Saraswati. Puja Saraswati mendapat tempat istimewa bagi

umat Hindu di Bali sehingga masuk ke dalam sistem kalender

Bali. Hari dan Wuku peringatan Puja Saraswati ditempatkan pada

hari terakhir, yaitu hari Sabtu (Saniscara) dan Wuku terakhir,

Watugunung.

Hari khusus tersebut ditandai dengan kegiatan mengumpulkan

benda-benda pusaka lontar. Puja Saraswati ditandai dengan

kegiatan membuat candi aksara atau candi pustaka

(mengumpulkan lontar-lontar terpilih) yang dijadikan sthana bagi

Sang Aji Saraswati, kemudian orang Bali melakukan pemujaan

pada pagi hari, sedangkan pada malam harinya (semalam suntuk)

membaca dan menyanyikan sastra-sastra lontar pilihan. Sang

Hyang Aji Saraswati, Hyang Wagiswari disimbolkan bersthana

dalam aksara suci. Lontar-lontar suci disthanakan sebagai candi

Tastra Saraswati (candi pustaka, candi bahasa, candi sastra,

ataupun candi aksara) yang adalah tempat suci bagi Saraswati.

Aksara menjadi badan Sang Hyang Aji Saraswati.

Warisan Budaya Dunia

Lontar kaya wujud dan jenis, serta kaya makna dan filosofi. Para

ahli pernaskahan dari berbagai belahan dunia mengakui bahwa

lontar merupakan warisan budaya dunia yang harus diselamatkan,

dilestarikan, dan dimanfaatkan. Manakala warisan budaya dunia

ini lenyap, itu berarti salah satu warisan dunia yang penting telah

157 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

hilang. Manakala hal itu benar-benar terjadi, hal itu merupakan

kebodohan, kemunafikan, dan kesalahan besar yang dilakukan

oleh generasi “anak bumi” di dunia ini. Karena itu, sudah saatnya

dilakukan upaya yang lebih besar dan kuat untuk menyelamatkan

lontar sebagai warisan budaya dunia. Perlindungan yang sifatnya

mengharuskan pewaris lontar untuk menyelamatkan,

melanjutkan, dan mempelajari lontar yang diwarisinya adalah

implementasi keberlangsungan hidup dan kehidupan lontar

sebagai warisan budaya dunia.

Gambar 3. Lontar yang dikeramatkan masyarakat saat dibaca didahului dengan

melakukan prosesi upacara, untuk memohon kemurahan-Nya, sehingga prosesi

pembacaan menjadi lancar dan apa yang dicari dalam lontar didapatkan.

Tradisi Menulis di Atas Daun Lontar

Sebelum mencermati goresan artistik aksara Bali di atas daun

lontar, perlu dipahami apa yang dimaksud dengan aksara Bali

sebagai lambang bahasa, karena melalui aksara Balilah bahasa

sebagai unsur universal dari kebudayaan itu terdokumentasikan.

Aksara Bali adalah lambang bahasa yang telah mengambil fungsi

dan peran sebagai lambang identitas masyarakat Bali. Aksara Bali

adalah wahana atau sarana untuk mengungkapkan segala hal

tentang kebudayaan Bali (BUIP, CHC, 1999:4).

Dalam tradisi penulisan lontar, sebelum memulai

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 158

menggoreskan pangrupak di atas lempiran lontar, seorang

pengawi atau penyalin biasanya melakukan ritual kecil untuk

memohon anugerah ke hadapan Ida Sang Hyang Aji Saraswati,

sida sidi kasaraswaten. Hakikat menulis adalah mempraktikkan

yoga spiritualitas, mengasah dan mempraktikkan seluruh

kemampuan intelektual dan kualitas intuitif, kehalusan rasa,

serta menjaga irama pernafasan yang teratur dan jernih.

Sebagaimana dinyatakan dalam lontar Tutur Saraswati, Hyang

Yogiswara difilsafatkan berstana pada kedua mata penulis lontar,

Bhagawan Mredhu berstana pada kedua tangan penulis, dan

Baghawan Reka berstana pada ujung pangrupak. Dengan cara ini

mereka yakin akan berhasil menciptakan teks lontar yang utama

dan memiliki jiwa (ruh suci). Karena itu pula, seorang penulis

lontar selalu berusaha keras agar tidak mematikan atau ngucek

(mencoret) aksara. Mereka percaya hal itu akan mendatangkan

akibat buruk pada diri, seperti umur pendek. Mencoret sandangan

aksara yang berada di atas pangawak (badan pokok aksara)

seperti ulu akan mengakibatkan kebutaan atau berkurangnya daya

ingat, mencoret taleng/taling dan bisah/wisah berakibat pancet

(sakit pinggang), dan melangkahi aksara akan mengakibatkan

kebodohan.

Kepercayaan ini menjadikan lontar yang ada kelihatan bersih

serta rapi tulisannya, dan tampak seperti tidak ada penulisan.

Tidak pernah ada aksara Bali yang dicoret. Seandainya terjadi

salah tulis, penulis membubuhkan dua sandangan (pangangge)

aksara, sehingga aksara yang salah tulis tidak berbunyi (mati).

Sandangan yang lazim dipakai adalah ulu dan suku. Karenanya,

ada perumpamaan yang jamak dituturkan dalam masyarakat Bali,

yaitu ”bagaikan aksara memakai dua sandangan suara, masuku

(memakai suku) dan maulu (memakai ulu)”, yang artinya sudah

tidak dapat berbuat apa-apa lagi alias sudah mati. Bagaimana

membaca lontar yang banyak ditemukan aksara matinya?

Pembaca lontar harus tanggap, cepat-cepatlah melirik aksara

berikutnya yang merupakan sambungan aksara didepannya.

Secara tradisi, pengarang karya sastra Bali (pangawi) dan

penedun (penyalin) lontar adalah para stake holders bahasa,

sastra dan aksara Bali. Dalam aktivitas penulisan lontar, para

stake holders ini menyiapkan bahan-bahan utama seperti: (1)

pepesan (daun tal siap tulis), pangrupak (pisau tulis), (2) pelikan

(alat penjepit lembaran lontar yang akan di tulis terbuat dari

159 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

bambu kecil yang dilubangi hingga tembus pada kedua sisinya),

(3) serbuk tinggkih (buah kemiri) atau buah naga sari yang

dibakar sebagai bahan penghitam goresan aksara Bali di atas daun

lontar, (4) bantalan kasur kecil sebagai alas menulis, (5) dulang

kayu (sejenis meja yang bundar) sebagai meja tulis, (6) penggaris

dan pensil (bagi penulis yang tidak yakin akan mampu

menghasilkan urut-urutan aksara Bali yang lurus, rapi dan

bersih), (7) panakep dari kayu, bambu, atau uyung (seseh pohon

enau), (8) kapas atau kain halus untuk menggosok dan

membersihkan bekas-bekas material penghitam, (9) dan sesajen

seperlunya.

Jenis pangrupak yang dipakai menggores lontar disesuaikan

dengan maksud dan tujuan penulisan; yaitu: pangrupak dengan

kelancipan 45 derajat untuk menulis aksara Bali, pangrupak

dengan kelancipan 70 derajat untuk membuat prasi (menggambar

di atas daun lontar), dan pangrupak kelancipan sedang (kurang

lebih 10 derajat), lebar, dan tajam untuk memotong rontal. Cara

menulis di atas daun lontar berbeda dengan di atas kertas.

Demikian juga menggunakan pangrupak berbeda dengan cara

menggunakan pisau dapur atau alat pertukangan lainnya.

Pangrupak memiliki tiga mata sisi yang tajam untuk

menghasilkan karakter aksara Bali ideal, yaitu aksara Bali yang

memiliki kakuub (karakter) wayah dan ngatumbah/matan titiran

(bundar, lembut, halus, dan mengagumkan). Masing-masing

pangrupak juga memakai hiasan, ada yang menyerupai pendeta,

patung hanoman, burung merak, aksara Ongkara, dan yang

lainnya.

Menulis di atas daun lontar menggunakan pangrupak,

memerlukan keterampilan menulis yang khusus, yang berkaitan

dengan posisi tangan saat menggores lontar. Tangan kiri berada di

posisi bawah untuk mengalasi atau memegang lontar, sedangkan

tangan kanan berada di posisi atas memegang pangrupak seraya

menggerakkan jari-jemari tangan sedemikian rupa. Ibu jari dan

jari tengah tangan kanan menjepit lembut pangrupak, telunjuk

menekan halus saat menggoreskan bentukan aksara. Jempol kiri

bertugas mendorong-dorong pangrupak hingga terjadi pergerakan

lontar ke arah kanan. Dua jemari tangan kanan lainnya, jari manis

dan kelingking, membantu menjaga kestabilan dan berfungsi

mensuplai energi kelembutan sehingga tangan tidak mudah lelah.

Dalam menggoreskan aksara Bali dari kiri ke kanan harus

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 160

dicermati ruang-ruang diantara tiga lubang yang ada di kiri,

tengah, dan kanan. Terdapat empat garis yang tersedia di atas

rontal. Mulailah menulis dari garis yang memiliki ruang paling

sempit, dengan aksara digantung pada garis yang telah

disediakan. Perhatikan lebar ruang yang disediakan di antara

garis-garis yang tersedia. Berkosentrasi dan menciptalah dengan

perasaan halus, lembut, tenang, dan senang. Goresan simbol

aksara yang pertama sangat mempengaruhi besar kecil dan

kehalusan aksara berikutnya. Karena itu jagalah hati, cerdaskan

intuisi dan intekstualitas yang dimiliki. Bernafaslah yang teratur.

Lemah lembut dalam ketenangan hati yang menakjubkan. Sekali-

kali nikmati bunyi irama yang ditimbulkan oleh goresan yang

dibuat. Irama yang mengkhusukkan.

Gambar 4. Menulis aksara Bali di atas daun lontar memerlukan pengetahuan

tersendiri.

Proses Pembuatan Lempiran Lontar

Lontar terbuat dari daun alami pohon Tal/Rontal. Lontar

mempunyai kekuatan yang luar biasa, dapat bertahan dalam

kurun waktu yang lama, sampai berabad-abad. Bagi masyarakat

Bali, lontar memiliki wibawa, taksu (kekuatan ilahi), dan

dihormati sebagai sumber berbagai ilmu pengetahuan lahir dan

batin. Kualitas lontar yang penulis citrakan tidak lepas dari dasar-

dasar budaya dan keyakinan masyarakat Bali yang

melahirkannya. Di samping itu, lontar Bali dibuat dengan cara

yang saksama, menggunakan teknologi tradisional, membutuhkan

161 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

kesabaran yang tinggi, dan dalam suasana yang khusuk, sehingga

menghasilkan lempiran lontar sehelai demi sehelai.

Penulisan prosesi daun lontar ini disajikan berdasarkan

pengalaman penulis meneliti prosesi pembuatan lempiran lontar

dan berdasarkan bahan bacaan yang ada. Pada kesempatan ini

penulis sarikan informasi pembuatan lempiran daun lontar

sebagaimana yang dilakukan oleh Ida I Dewa Gde Catra di

Rumah Pintar Tradisional di bilangan jalan Untung Surapati,

Amlapura, di ujung Timur pulau Bali. Berikut penulis sarikan

teknik tradisional Prosesi Pembuatan Lempiran Lontar (2010)

Bali seperti yang dilakukan budayawan lontar asal Puri Sidemen

Karangasem ini.

Ida I Dewa Gde Catra (pelaku prosesi pembuatan lempiran

lontar yang paling produktif sampai hari ini di Bali) menyebut

helai daun lontar yang dihasilkannya sebagai lempiran. Daun

lontar atau lempiran yang dimaksud berbentuk blanko, dihasilkan

melalui proses khas teknologi tradisi Bali, selempir demi selempir

sehingga menghasilkan pepesan. Satu bendel terdiri dari 100

lempiran. Inilah lempiran lontar kosong yang siap ditulisi.

Dinyatakan pula pembuatan lempiran lontar memakan waktu

yang relatif lama, rumit, membutuhkan ketekunan dan kesabaran.

Tujuannya adalah mendapatkan mutu lempiran yang baik,

bertahan dalam waktu yang panjang, mudah ditulisi, serta

bentuknya indah dan rapi.

Sebelum prosesi pembuatan lontar dilakukan, seniman lontar

perlu memperhatikan jenis pohon rontal yang akan dipetik

daunnya. Pohon rontal yang baik adalah yang telah berumur lebih

dari 30 tahun., Pohon tersebut harus tumbuh di tanah yang

mengandung kapur, tanah bebatuan seperti tanah lahar, tanah di

tepi laut, yang mendapat sinar matahari langsung dari pagi hingga

sore. Pohon itu juga sudah pernah disadap niranya, sehingga tidak

banyak mengandung sagu. Pohon rontal yang tumbuh di tanah

yang subur, daunnya kurang baik dibuat pepesan karena tebal,

berserat besar-besar dan kaku.

Masyarakat Bali membedakan pohon rontal atas dua jenis,

yaitu rontal luh (betina) yang dapat menghasilkan buah atau tuak

(nira) dan rontal muani (jantan) yang tidak menghasilkan buah.

Rontal muani berbunga tetapi bunganya tidak pernah menjadi

buah. Demikian pula jenis dan kualitas daun pohon rontal

berbeda-beda. Pohon rontal yang daunnya luwes, kenyal, serat

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 162

halus disebut ron tal taluh (telor). Pohon yang daunnya tebal

berserat kasar dan kaku seperti kulit binatang disebut ron tal

belulang. Sedangkan pohon yang helai daunnya panjang dan

lebar disebut dolog (menyerupai senjata dolog, yaitu sejenis

golok yang panjang). (pohon rontal, pohon lontar, pohon tal???)

Daun tal yang dipilih untuk prosesi pembuatan pepesan

berkatagori panyaja (muda atau menengah). Usia daun tal

penyaja diketahui dari kategori hijau daunnya juga ditandai dari

posisi kecondongan pelepahnya yang kurang lebih 45 drajat,

dengan semua ujungnya panjut (merapat dan sedikit mengering).

Sedangkan lontar yang masih muda berupa busung (janur)

ataupun yang sudah berupa danyuh/wayah (tua) tidak dapat

dimanfaatkan sebagai lempiran pepesan. Pemetikan daun tal

untuk pepesan menggunakan joan anggetan (galah yang

ujungnya memakai pisau). Daun tal yang berbentuk kipas

kangget (dipotong dan dicari ) hanya bagian tengah saja, tidak

lebih dari empat sampai enam helai setiap satu pelepah daun tal.

Mengingat daun tal cukup tebal dan tiap bilahnya terdiri dari dua

helai dalam satu lidi, maka agar benar-benar kering seperti yang

diinginkan, tentu proses pengeringannya memakan waktu yang

cukup lama. Daun tal harus dijemur di tempat yang terang

beberapa kali, sehingga benar-benar renyah (kering benar).

Musim petik daun tal yang baik pada sasih kasanga - kadasa

(seputar bulan Maret - April), yang disebut kreta masa, dan sasih

katiga-kapat (seputar bulan September - Oktober), yang disebut

gegadon. Bulan-bulan ini adalah musim kemarau, saat matahari

bersinar panas dan langit terang benderang.

Daun tal petik kering yang dipilih untuk pepesan adalah yang

bilahnya panjang, lebarnya sesuai, permukaan rata tidak tuludan

(berlekak-lekuk), seratnya halus, tidak berbintik-bintik, dan helai

daunnya tidak terlalu tebal atau terlalu tipis. Bilah daun tal petik

kering dipotong ujung dan pangkalnya dengan ukuran panjang

tertentu sesuai dengan keperluan. Ngesit (melepas lidi) dilakukan

secara hati-hati agar bilah daun lontar kering petik tidak amis

(rusak).

Bilah daun tal kering petik yang sudah kasit (dilepaskan

lidinya) dikumpulkan dan ditata sedemikian rupa, kemudian

kakum (direndam) selama tiga minggu. Pada minggu pertama air

kum berwarna keruh kekuningan dan berbau kurang sedap

sehingga harus diganti setiap hari, pagi, dan sore. Pada minggu

163 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

kedua dan ketiga air kum diganti setiap tiga hari sekali, hingga

benar-benar bersih, tidak berbuih, dan tidak berbau lagi. Ngekum

(merendam) daun tal kering petik dengan tujuan menghilangkan

sagunya, agar hampa tak rapuh (serbukan) yang disukai rayap.

Tiga minggu prosesi ngekum tal telah berlalu. Daun tal

diangkat dan di diguyur air bersih, dijemur, ditebarkan

sedemikian rapi di tempat yang terang sehingga hari itu juga

dipastikan benar-benar kering. Dua hari dua malam diangin-

anginkan untuk tiga bulan kemudian baru direbus. Merebus daun

tal kering petik memerlukan panci besar, tunggu, kayu api, dan

air yang cukup dan harus dijaga dengan saksama. Ramuan bahan

pengawet seperti kulit pohon kayu intaran, kayu wong, kulit

pangkal pohon kelapa, batang kantewali, daun sambiroto, umbi

gadung diparut. Rempah-rempah seperti: lada, merica, jebug

harum, dan jebug (buah pinang yang tua) semua dirajang dan

kemudian ditumbuk hingga halus menjadi serbuk. Bahan-bahan

itu digunakan sesuai dengan jumlah rontal yang akan direbus.

Saat perebusan, setiap kali air rebus menyurut petugas harus

menambahkan air secukupnya, berulang-ulang hingga lima

sampai enam jam. Lebih lama direbus hasilnya lebih baik. Daun

tal yang dianggap telah masak jangan langsung diangkat. Biarkan

agar dingin dengan sendirinya. Setelah dingin, angkat dan segera

jemur di tempat yang lapang dan mendapat sinar matahari penuh.

Agar lebih cepat kering, lontar dibolak-balik selembar demi

selembar. Setelah merata kering, diangkat perlahan-lahan agar

tidak pecah, kemudian dayuhin (diangin-anginkan) di tempat

yang teduh. Tiga puluh sampai dengan lima puluh lembar lontar

disatukan, diikat ujung, tengah dan pangkalnya, lalu simpan di

tempat yang aman, terhindar dari sinar matahari, ujan, hawa

panas berlebihan. Lama menyimpan tiga-empat bulan, dan

semakin lama disimpan kualitasnya semakin membaik.

Blagbag, pres tradisional untuk lontar yang dibuat dari kayu

dengan menggunakan pasak. Alat ini digunakan untuk

meluruskan dan memampatkan serat dan rongga-rongga yang

kemungkinan masih terdapat pada lontar setelah proses

pengeringan. Caranya, daun lontar yang telah direbus dan

disimpan berbulan-bulan dimasukkan ke dalam penjepit blagbag

secara teratur sesuai dengan panjang lontar masing-masing.

Setelah berjumlah seratus, disela dengan penampang kayu

(pandalan), demikian juga selanjutnya hingga penuh, sesuai

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 164

kapasitas blagbag, kemudian pasak dipasang. Setelah beberapa

hari lontar mengalami pemampatan, pasak pun akan menjadi

longgar, sehingga harus disela dengan pandalan dan dipasak

kembali hingga mampat. Proses ini dilakukan berminggu-minggu,

kadang berbulan-bulan, hingga rontal benar-benar lurus dan rata.

Pembuatan lontar pepesan didahului dengan pembuatan mal

yang dibuat dari daun tal dengan panjang dan lebar yang telah

ditetapkan, lalu diisi lubang sebasar jarum. Mal ditempal di atas

daun tal, jarum pirit (paser tradisional Bali) ditusukkan pada

tengah-tengah lubang kecil mal yang di kiri, kanan, dan tengah.

Mirit artinya melubangi lontar di samping kiri, kanan, dan tengah

tepat di titik ujung pirit. Lontar yang telah mapirit (berlubang)

dimasuki lidi (jelujuh) agar tidak mudah bergerak saat diiris dan

dirapikan pinggirannya.

Langkah berikutnya dalam proses pembuatan lontar adalah

nepes (menjepit), nyerut (mengetam), dan nyepat (menggaris).

Nepes adalah pres terakhir lontar tepesan, nyerut adalah

merapikan ujung pangkal dan diisi cat tradisional Bali agar

kelihatan indah dan rapi. Sedangkan nyepat adalah pembuatan

lontar tepesan siap tulis (gores) dengan pangrupak (pisau tulis

tradisional Bali).

Kesimpulan

Lontar sebagai manuskrip masyarakat Bali telah mengangkat citra

tradisi peradaban Bali di tengah-tengah intelektualitas peradaban

dunia. Manuskrip lontar adalah produk budaya Bali yang kaya

makna dan memberikan citra keluhuran dan keunggulan jagat

pemikiran masyarakat Bali yang melahirkannya. Warisan dan

tradisi lontar telah berusia cukup tua. Di Bali banyak dijumpai

lontar yang berumur tua yang memiliki nilai sejarah, filsafat,

agama, pengobatan, sastra, dan ilmu pengetahuan tinggi lainnya.

Pewarisan tradisi lontar di Bali berlanjut dari generasi ke

generasi. Sebagai tradisi yang hidup, manuskrip masyarakat Bali

ini didukung oleh ketersediaan bahan baku yang cukup, kegiatan

penulisan lontar yang masih berlangsung, kegiatan pembacaan

yang masih semarak, dan penelitian teks naskah lontar yang

semakin meningkat.

Sebagai warisan budaya, manuskrip lontar di Bali memiliki

karakter antara lain: (a) warisan budaya intelektual (intellectual

heritage), (b) tradisi yang masih hidup (living tradition), (c)

165 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

mudah dipindahkan (moveable), (d) memiliki wujud fisik

(tangible) dan non-fisik (intangible), (e) memiliki fungsi dan

kedudukan terhormat atau disucikan oleh masyarakat Bali

(abstract), dan (g) menjadi salah satu warisan budaya dunia

(world heritage).

Secara tradisi, pengarang karya sastra Bali (pangawi) dan

penedun (penyalin) lontar adalah para stake holders bahasa,

sastra dan aksara Bali. Dalam aktivitas penulisan lontar, para

stake holders ini menyiapkan bahan-bahan utama seperti: (1)

pepesan (daun tal siap tulis), pangrupak (pisau tulis), (2) pelikan

(alat penjepit lembaran lontar yang akan di tulis terbuat dari

bambu kecil yang dilubangi hingga tembus pada kedua sisinya),

(3) serbuk tingkih (buah kemiri) atau buah naga sari yang dibakar

sebagai bahan penghitam goresan aksara Bali di atas daun lontar,

(4) bantalan kasur kecil sebagai alas menulis, (5) dulang kayu

(sejenis meja yang bundar) sebagai meja tulis, (6) penggaris dan

pensil (bagi penulis yang tidak yakin akan mampu menghasilkan

urut-urutan aksara Bali yang lurus, rapi dan bersih), (7) penakep

dari kayu, bambu, atau uyung (seseh pohon enau), (8) kapas atau

kain halus untuk menggosok dan membersihkan bekas-bekas

material penghitam, (9) dan sesajen seperlunya.

Lontar terbuat dari daun alami pohon Tal/Rontal. Lontar

mempunyai kekuatan yang luar biasa, dapat bertahan dalam

kurun waktu yang lama, sampai berabad-abad. Bagi masyarakat

Bali, lontar memiliki wibawa, taksu (kekuatan ilahi), dan

dihormati sebagai sumber berbagai ilmu pengetahuan lahir dan

batin. Kualitas lontar yang penulis citrakan tidak lepas dari dasar-

dasar budaya dan keyakinan masyarakat Bali yang

melahirkannya. Di samping itu, lontar Bali dibuat dengan cara

yang saksama, menggunakan teknologi tradisional, membutuhkan

kesabaran yang tinggi, dan dalam suasana yang khusuk, sehingga

menghasilkan lempiran lontar sehelai demi sehelai.

Daftar Pustaka

Agastia, IBG (1985). Keadaan dan Jenis-Jenis Naskah Bali.

Yogyakarta: Javanologi.

Catra, Ida I Dewa Gde, ”Prosesi Pembuatan Daun Lontar”,

Denpasar: Jurusan Sastra Daerah FS Universitas Udayana .

Medera, I Nengah, dkk. (2005). Pedoman Pasang Aksara Bali.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 166

Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Rai Putra, Ida Bagus (2006). ”Teknik Nyurat Aksara Bali untuk

Kejuaraan”. Denpasar: PWII Bali.

------------- (2008). ”Tastra Sastra Saraswati”. Makalah diskusi

hari suci Saraswati. Denpasar: Institut Hindu Dharma

Negeri (IHDN) Denpasar.

Simpen AB, I Wayan (1973). Pasang Aksara Bali. Denpasar:

Dinas Pengajaran Propinsi Bali Daerah Tingkat I Bali.

Tim Consultancy Service (1999). BUIP CHC Volume 10.

Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.

167 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Abstrak

Teks Sulalat al-Salatin (Perteturun Raja-raja) karya Tun Seri

Lanang jelas sangat fenomenal. Teks ini mampu „hidup‟ berabad-

abad melampaui kebesaran zamannya, dan bahkan

pengarangnya. Dalam konteks sejarah kesusastraan Melayu

klasik, Sulalat al-Salatin dapat dianggap sebagai salah satu teks

Melayu terpenting yang berhasil memikat dan menyita perhatian

sejumlah sarjana. Tulisan ini akan menegaskan kembali

signifikansi teks Sulalat al-Salatin sebagai sebuah karya sastra

Melayu tradisional adiluhung yang dihubungkan dengan tokoh

Tun Seri Lanang dengan melihatnya dari perspektif tahqiq atau

kajian filologis.

Kata Kunci: Sulalat al-Salatin, Tun Seri Lanang, Tahqiq, Kajian

Filologis.

* Penulis adalah peneliti senior di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN

Syarif Hidayatullah, Jakarta. Saat ini menjabat sebagai ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara. 77 Tulisan ini berasal dari “Seminar Ketokohan Tun Seri Lanang dalam Sejarah

Dua Bangsa”, Biereun, Aceh, 8 Desember 2011, yang diselenggarakan oleh

Direktorat Nilai Sejarah, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, bekerja sama dengan Yayasan Tun Sri Lanang.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 168

“…Tak ada tulisan Melayu jang demikian banjaknya

diselidiki [selain Sulalat al-Salatin]…”. Dr. C. Hooykaas,

Perintis Sastra (1951: 132).

“…Di dalamnya terbayang bukan saja genius pengarangnya

tetapi juga genius sastera serta bangsa yang menciptanya…”

Muhammad Haji Salleh, dalam Sulalat al-Salatin: Adikarya

Akalbudi Melayu (teks diunduh dari situs MCP).

Membincangkan Tun Seri Lanang berkaitan dengan karya

sastranya, ingatan orang niscaya akan langsung mengarah pada

sebuah karya sastra sejarah, Sulalat al-Salatin (Perteturun Raja-

raja). Teks ini merupakan satu-satunya karya sastra yang

kepengarangannya dihubungkan dengan tokoh „jagoan‟ kita

dalam tulisan ini, Tun Seri Lanang. Sejauh pengetahuan saya,

Tun Seri Lanang memang tidak dikenal memiliki karya sastra

Melayu lain selain Sulalat al-Salatin. Kendati demikian, Sulalat

al-Salatin jelas sangat fenomenal. Teks ini mampu „hidup‟

berabad-abad melampaui kebesaran zamannya, dan bahkan

pengarangnya.

Dalam konteks sejarah kesusastraan Melayu klasik, Sulalat al-

Salatin dapat dianggap sebagai salah satu teks Melayu terpenting

yang berhasil memikat dan menyita perhatian sejumlah sarjana.

Terkait dengan kutipan di atas, Hooykaas menegaskan bahwa

para sarjana sedemikian tertarik dengan Sulalat al-Salatin karena

“…cara kitab itu melukiskan sesuatu hal dengan tjara jang

sederhana sekali dan oleh isi kitab itu jang amat indah2nya;

mereka membuat terdjemahan2 dan daftar isi tjerita itu…”.78

Teuku Iskandar menambahkan bahwa semua kisah dalam Sulalat

al-Salatin tersebut, seperti persiapan perang sebelum Portugis

menyerang, peristiwa pertempurannya, pengunduran Sultan ke

Muar dan Pahang, diceriterakan dengan begitu hidup, seolah

78 Dr. C. Hooykaas, Perintis Sastra (Groningen, Djakarta: J. B. Wolters, 1951), 131.

169 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

penulisnya hadir menyaksikan langsung dengan mata kepala

sendiri.79

Muhammad Haji Salleh bahkan dengan berbunga-bunga

mengakui: “… Dengan rasa bahawa saya sedang berdiri di

depan rimba rahasia fikiran leluhur maka sebagai seorang

pembaca Melayu, betapa pun saya terpisah dari akar ini, dan

juga sebagai seorang pengarang yang menghadapi

pendahulunya, saya berdiri kagum…”.80

Sejumlah buku, artikel, dan edisi teks atas Sulalat al-Salatin

pernah ditulis dan diterbitkan dalam kurun waktu hampir dua

abad ini! Sarjana paling awal di antaranya adalah John Leyden,

Malay Annals: Translated from the Malay language by the late

Dr. John Leyden with an introduction by Sir Thomas Stamford

Raffles (London: Longman etc., 1821; diterbitkan ulang di Kuala

Lumpur: MBRAS, 2001), menyusul kemudian Abdullah bin

Abdul Kadir [ed.] Sejarah Melayu (Singapore: Thomas

McMicking, 1841), kemudian W.G. Shellabear [ed.], Sejarah

Melayu (Singapore: Methodist Publishing House, 1898), R.O.

Winstedt, “The Malay Annals or Sejarah Melayu: The Earliest

Recension from MS 18 of the Raffless Collection,” JMBRAS 16,

3 (1938): 1-226, T.D. Situmorang & A. Teeuw [eds.], Sedjarah

Melayu Menurut Terbitan Abdullah (ibn Abdulkadir Munsji)

(Jakarta: Djambatan, 1952), dan Muhammad Haji Salleh, Sulalat

al-Salatin, ya‟ni Perteturun Segala Raja-raja Karangan Tun Seri

Lanang (Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan & Dewan Bahasa

dan Pustaka, 1997).

Publikasi lebih kemudian tentang Sulalat al-Salatin adalah

artikel yang mencoba melihat teks ini sebagai „mitos politik

Melayu‟ oleh Henri Chambert-Loir, „The Sulalat al-Salatin as A

Political Myth‟ yang terbit di Jurnal Indonesia 79 (April 2005).

Chambert-Loir menegaskan bahwa Sulalat al-Salatin tidak

sekedar teks yang merekam dan menggambarkan peristiwa masa

79 Teuku Iskandar, Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad (Brunei:

Jabatan Kesusasteraan Melayu, Universiti Brunei Darussalam, 1995), 242. 80 Muhammad Haji Salleh, Sulalat al-Salatin: Adikarya Akalbudi Melayu (teks diunduh dari situs MCP), h. 1.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 170

lalu, melainkan juga merupakan kumpulan motif yang dapat

dianggap sebagai mitos politik Melayu yang secara sadar

digunakan untuk menonjolkan sebuah visi sejarah tertentu.81

Apresiasi paling mutakhir terkait Sulalat al-Salatin barangkali

adalah artikel yang ditulis bersama oleh Abdrurrahman,

Muhammad Ridhuan Tony Lim Abdullah, dan Raja Ahmad

Iskandar Raja Yaacob berjudul “The Malay world: an analysis of

Quranic verses in Sulalat al-Salatin”. Artikel ini dipresentasikan

dalam “2011 International Conference on Social Sciences and

Society” di Shanghai, China, 14-15 Oktober 2011 lalu, dan

mengemukakan tinjauan atas ayat-ayat al-Quran yang dikutip

oleh pengarang Sulalat al-Salatin.

Banyaknya perhatian para sarjana tersebut tidak terlalu

mengherankan mengingat kenyataannya Sulalat al-Salatin adalah

sebuah sumber tertulis langka yang menjelaskan Kesultanan

Melayu di Malaka abad ke-15. Apakah kemudian pembahasan

tentang Sulalat al-Salatin boleh dianggap lengkap dan tuntas?

Tampaknya tidak juga. Barangkali, salah satu aspek penting

yang belum banyak dielaborasi terkait teks Sulalat al-Salatin

adalah unsur Islam dalam teks tersebut. Artikel Abdurrahman

dkk. di atas pun rasanya belum memadai karena hanya

memaparkan tinjauan sederhana atas ayat-ayat al-Quran dalam

Sulalat al-Salatin. Masih perlu diungkapkan, misalnya, sejauh

mana Islam tergambar dalam Sulalat al-Salatin sebagai pedoman

kehidupan negara di Melaka saat itu? Adakah pengaruhnya dalam

penegakan hukum dan kebijakan politik? dan beberapa

pertanyaan terkait awal Islamisasi lainnya.

Meski demikian, artikel ini belum akan menjawab pertanyaan-

pertanyaan yang saya kemukakan sendiri di atas, mengingat

telaah semacam itu membutuhkan penelitian dan pembacaan atas

sumber-sumber primer yang memadai yang, sayangnya, tidak

tersedia saat artikel ini ditulis. Karenanya, dalam kesempatan ini

81 Henri Chambert-Loir, “The Sulalat al-Salatin as a Political Myth” dalam Indonesia 79 (April 2005), h. 160.

171 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

saya hanya akan menegaskan kembali signifikansi teks Sulalat al-

Salatin sebagai sebuah karya sastra Melayu tradisional adiluhung

yang dihubungkan dengan tokoh Tun Seri Lanang, dan sedikit

melihatnya dari perspektif tahqiq atau kajian filologis.

Sulalat al-Salatin atau Sejarah Melayu?

Henri Chambert-Loir memberikan komentar kritis atas

kebanyakan sarjana, seperti Shellabear (1896), Winstedt (1938,

1969), Liaw Yock Fang (1993) Teuku Iskandar (1995), dan

lainnya, yang lebih suka menyebut judul teks Sulalat al-Salatin

sebagai Sejarah Melayu atau Malay Annals. Menurutnya,

penyebutan Sejarah Melayu atau Malay Annals tersebut

mengikuti dua tulisan paling awal terkait teks Sulalat al-Salatin

yang disebutnya „misleading‟. Dua tulisan yang dimaksud adalah

Leyden 1821 dan Abdullah 1841 seperti dikemukakan di atas.82

Muhammad Haji Salleh barangkali adalah salah seorang

kekecualian, karena dalam publikasinya (1997), ia memberi judul

Sulalat al-Salatin, demikian juga dalam artikelnya yang lain

berjudul “Sulalat al-Salatin: Adikarya Akalbudi Melayu”.83

Dalam perspektif filologi dan tahqiq,84

judul sebuah teks

memang seyogyanya didasarkan pada informasi asal yang berasal

dari teks itu sendiri, sejauh informasi terkait bisa dijumpai.85

Dalam hal Sulalat al-Salatin, tanpa diragukan lagi bahwa salah

82 Henri Chambert-Loir, “The Sulalat al-Salatin, h. 133. 83 Artikel tersebut dapat dibaca di: http://mcp.anu.edu.au/papers/MHS%20Esei1.html. 84 Tahqiq seyogyanya merupakan terjemahan dari kata „criticism‟, yang secara

sederhana dapat diartikan sebagai „ihkam al-shay‟ (menghakimi sesuatu). Dalam

konteks sastra, tahqiq didefinisikan sebagai „al-fahs al-„ilm li-al-nusus al-

adabiyah min haythu masdaruha wa-sihhat nassuha wa-insha‟uha wa-sifatuha

wa-tarikhuha‟ (sebuah telaah ilmiah atas teks-teks sastra, dari aspek sumber,

validitas teks, penyebaran, sifat, dan sejarah teks tersebut). Lihat Lihat „Abd al-Hadi al-Fadli, Tahqiq al-turath, (Jeddah: Maktabat al-„Ilm, 1982), h. 31-32. 85 „Abd al-Hadi al-Fadli menjelaskan bahwa di antara tugas seorang muhaqqiq

(filolog) adalah untuk: memverifikasi judul sebuah karya, memverifikasi nama

pengarang, dan menegaskan hubungan sebuah karya dengan nama pengarang yang disebut. „Abd al-Hadi al-Fadli, Tahqiq al-turath, h. 121.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 172

satu bagian dari mukadimah teks yang sedang didiskusikan ini

berbunyi:

“…maka Fakir karanglah hikayat ini kama sami‟tuhu min

jaddi wa-abi, supaya akan menyukakan duli hadhirat baginda.

Maka Fakir namai hikayat itu Sulalat al-Salatin yakni

peraturan segala raja-raja…”.86

Berdasar pada sumber tertulis di atas, tidak ada alasan yang

masuk akal untuk tidak menyebut Sulalat al-Salatin sebagai judul

teks. Akan tetapi jika yang dimaksudkan adalah kandungan

isinya, maka penyebutan „Sejarah Melayu‟ atau Malay Annals

tentu boleh-boleh saja. Anehnya, bukan hanya sumber-sumber

yang disebut di atas saja yang banyak menjadikan Sejarah

Melayu sebagai judul teks, melainkan juga katalog manuskrip

yang menginventarisasi dan mendeskripsikannya. Katalog

Ricklefs & Voorhoeve 1977 misalnya, mendaftarkan kata kunci

„Sejarah Melayu‟ dalam indeksnya87

yang merujuk pada

manuskrip yang disebut sebagai Sulalat al-Salatin ini, termasuk

manuskrip Raffles Malay 18 yang dijadikan sebagai landasan

edisi oleh Winstedt 1938.88

Kata „Sulalat al-Salatin‟ bahkan tidak

terdaftar sama sekali dalam katalog ini.

Apakah hal itu disebabkan karena kata Sulalat al-Salatin

adalah bahasa Arab yang tidak terlalu jelas maknanya bagi

sebagian orang sehingga kebanyakan merasa lebih „nyaman‟

menyebut „Sejarah Melayu‟ yang lebih mudah difahami? Tentu

ini bukan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, karena yang

lebih penting adalah menampilkan apa yang tertulis dalam teks,

bukan apa yang difahami peneliti atas teks tersebut! Judul

berbahasa Arab untuk teks-teks Melayu adalah sebuah kelaziman

pada masa lalu.

86 Dikutip dari Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 245. 87 M. C. Ricklefs and P. Voorhoeve, Indonesian Manuscripts in Great Britain: A

Catalogue of manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collections (Oxford: Oxford University Press, 1977), h. 230. 88 M. C. Ricklefs and P. Voorhoeve, Indonesian…, h. 134-135.

173 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Dengan demikian, saya berpendapat bahwa ke depan,

penyebutan „Sejarah Melayu‟ sebagai judul teks yang

dihubungkan dengan dengan tokoh Tun Seri Lanang ini,

seyogyanya diluruskan, kecuali jika dimaksudkan sebagai

penjelasan atau pemerian belaka, dan diganti menjadi Sulalat al-

Salatin saja. Kata „Sulalat‟ sendiri, yang menjadi acuan

terjemahan judul tersebut, dalam bahasa Arab berarti „keturunan‟

(descendant)89

, sedangkan al-Salatin berarti raja-raja

(kings/sultans)90

. Dalam beberapa sumber, kata „Sulalat‟ ini

diterjemahkan menjadi berbeda-beda. Sebagian mengejanya

sebagai „Peraturan‟91

, sebagian lagi „pertuturan‟92

, dan sebagian

lainnya „perteturun.‟93

Memperhatikan maknanya, terjemahan

yang paling mendekati dari definisi kata Sulalat tersebut

tampaknya adalah „perteturun‟, dan karena itulah versi

Melayunya perlu dibaca sebagai „Perteturun Raja-raja‟.

Tun Seri Lanang: Diskusi Kepengarangan Sulalat al-Salatin

Pengetahuan umum kita menyatakan bahwa Tun Seri Lanang

adalah pengarang langsung teks Sulalat al-Salatin. Hal ini

terutama karena ada bukti tertulis dalam mukaddimah naskah

Sulalat al-Salatin sebagai berikut:

“…setelah Fakir mendengar demikian, jadi beratlah atas

anggota Fakir alladzi murakkabun „ala „l-jahli, Tun

Muhammad namanya, Tun Seri Lanang timang-timangannya,

Paduka Raja gelarannya, Bendahara, anak Orang Kaya Paduka

Raja, cucu Bendahara Seri Maharaja, cicit Bendahara Seri

89 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Urbana: Spoken Language Services, 1994), h. 489. 90 Hans Wehr, A Dictionary, h. 493. 91 Lihat antara lain Mohammad Daud Mohammad, Tokoh-tokoh Sastera Melayu

Klasik (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987), h. 110, 116; Teuku

Iskandar, Kesusasteraan… h. 245. 92 Lihat misalnya Henri Chambert-Loir, The Sulalat…, h. 134. 93 Lihat misalnya Muhammad Haji Salleh, Sulalat al-Salatin, ya‟ni Perteturun

Segala Raja-Raja Karangan Tun Seri Lanang (Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan & Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997).

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 174

Maharaja, cicit Bendahara Tun Nara Wangsa, piut Bendahara

Seri Maharaja anak Seri Nara Diraja Tun Ali, anak baginda

Mani Purindam, qaddasa „llahu sirrahum, Melayu bangsanya,

dari Bukit Siguntang Mahameru, Malakat negerinya, Batu

Sawar Darussalam…”94

Akan tetapi, ada beberapa sarjana seperti R. J. Wilkinson dan R.

O. Winstedt yang masih mendiskusikan apakah Tun Seri Lanang

dapat disebut sebagai pengarang langsung teks Sulalat al-Salatin

atau penyalin? Teuku Iskandar mendiskusikan perbincangan para

sarjana tersebut secara panjang lebar.95

Disebutkan, Wilkinson

misalnya berasumsi bahwa kalimat “…maka Fakir karanglah

hikayat ini…” dalam teks Sulalat al-Salatin tidak cukup lazim

ditulis oleh seorang pengarang Melayu yang menyebut dirinya

sendiri sebagai seorang „pengarang‟.

Selain itu, tambahan berbagai gelar serta asal-usul pengarang

sebagai keturunan para pembesar kerajaan, yang terkesan sebagai

pamer status, juga tidak menunjukkan kerendahan hati bangsa

Melayu pada umumnya. Alih-alih menganggap Tun Seri Lanang

sebagai pengarang langsung, Wilkinson menduga bahwa teks

Sulalat al-Salatin tersebut dikarang oleh seorang peranakan

Tamil yang mengenal kehidupan istana Melaka, mengetahui

bahasa Sanskritt, Parsi, Tamil dan Arab, serta mengetahui sedikit

bahasa Cina dan Siam. 96

Winstedt menambahkan beberapa hal yang membuat dirinya

sangsi bahwa Tun Seri Lanang adalah pengarang Sulalat al-

Salatin. Salah satunya adalah karena di akhir naskah versi Raffles

Malay 18 tertulis kalimat: “…wa-katibuhu Raja Bungsu…”, yang

mengisyaratkan seolah-olah pengarangnya adalah Raja Bungsu.97

Argumen seperti ini tentu saja masih dapat diperdebatkan, karena

94 Dikutip dari Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 244. 95 Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 245-259. 96 Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 245; lihat juga Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993), h. 97. 97 Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 249.

175 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

kata „katib‟ sendiri, yang dalam bahasa Arab berarti „penulis‟,

dapat saja merujuk, baik pada pengarang maupun penyalin

sebuah teks. Itulah mengapa Teuku Iskandar memberikan

komentar bahwa manuskrip Raffles Malay 18 yang diakhiri

dengan kalimat “…wa-katibuhu Raja Bungsu…” adalah salinan

manuskrip dari hikayat yang dibawa dari Goa, yang dimiliki oleh

Raja Bungsu.98

Demikianlah, terlepas dari pengakuan atas keindahan dan

keagungan Sulalat al-Salatin sebagai karya sastra sejarah Melayu,

tampaknya sebuah kajian tekstologis untuk secara khusus

memastikan Tun Seri Lanang sebagai pengarang Sulalat al-

Salatin perlu dilakukan, karena selain Wilkinson dan Winstedt di

atas, masih ada beberapa lagi sarjana yang masih belum yakin

bahwa Tun Seri Lanang adalah pengarangnya. Liaw Yock Fang

adalah salah satu di antaranya. Ia, misalnya, mengatakan bahwa

penyebab keraguan itu adalah karena: “…kebanyakan daripada

versi-versi [manuskrip Sulalat al-Salatin, pen.] ini masih belum

cukup diselidiki dan sukar ditentukan pengarang dan masa

tertulisnya…”.99

Tentu saja ada sejumlah sarjana lain yang tidak sependapat

dengan pandangan di atas. Teuku Iskandar dan C. Hooykaas

misalnya, termasuk di antara mereka yang meyakini bahwa Tun

Seri Lanang adalah pengarang Sulalat al-Salatin. Menurut Teuku

Iskandar, harus difahami bahwa konsep „penyalin‟ dalam tradisi

kesusasteraan Melayu lama dapat juga berarti „pengarang‟, karena

ia tidak hanya sekedar menyalin, melainkan juga menambahkan

bagian, kadang satu episode cukup panjang, yang dianggap perlu,

memperbaiki bagian yang dianggap tidak tepat, bahkan

mengubah bahasa karya asal atau menerjemahkan, sesuai konteks

dan kebutuhan pada masanya.100

Dengan demikian, setelah memaparkan argumentasi yang

cukup panjang, Teuku Iskandar secara tegas mengatakan:

98 Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 252. 99 Liaw Yock Fang, Sejarah… h. 97. 100 Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 250.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 176

“…sejak tahun 1964 kita telah menyatakan bahwa Tun Seri

Lananglah pengarang Sejarah Melayu dan menentang pendapat

Winstedt yang menafikan hakikat ini…”.101

Dalam konteks ini, barangkali pendekatan tahqiq seperti saya

kemukakan di atas dapat diterapkan untuk melakukan sebuah

kajian khusus berkaitan dengan kepengarangan teks Sulalat al-

Salatin, meski sarjana semisal Henri Chambert-Loir mengaku

tidak tertarik memperdebatkan apakah Sulalat al-Salatin ini

dikarang oleh Tun Seri Lanang sendiri atau pengarang lainnya,

karena ia tidak melihat ada alasan kuat untuk

mempermasalahkannya. Hal ini mungkin karena dalam

kenyataannya, kebesaran dan keindahan teks Sulalat al-Salatin itu

sendiri sebagai sebuah karya sastra sejarah Melayu klasik dalam

beberapa hal sepertinya sudah jauh melebihi kebesaran zaman

dan pengarangnya.

Penutup

Demikianlah, tulisan ini mungkin tidak memberikan kontribusi

penting dan juga tidak menyediakan informasi baru terkait karya-

karya sastra yang dihubungkan dengan Tun Seri Lanang. Saya

hanya berharap bahwa kajian atas karya-karya sastra Melayu

semisal Sulalat al-Salatin dapat terus digalakkan dengan

melihatnya dari berbagai perspektif, agar kajian tersebut

memberikan gambaran yang lebih utuh terkait peradaban Melayu

Nusantara kita pada masa lalu. Wallahu a‟lam bissawab.

Daftar Bacaan

Chambert-Loir, Henri (2005). „The Sulalat al-Salatin as a

Political Myth‟ dalam Indonesia 79 (April 2005), h. 160.

Fadli, „Abd al-Hadi al- (1982). Tahqiq al-turath. Jeddah:

Maktabat al-„Ilm.

Fang, Liaw Yock (1993). Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 2.

101 Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 256.

177 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hooykaas, C. (1951). Perintis Sastra. Groningen, Djakarta: J. B.

Wolters.

Iskandar, Teuku (1995). Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang

Abad. Brunei: Jabatan Kesusasteraan Melayu, Universiti

Brunei Darussalam.

Mohammad, Mohammad Daud (1987). Tokoh-tokoh Sastera

Melayu Klasik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Ricklefs M. C. and P. Voorhoeve (1977). Indonesian

Manuscripts in Great Britain: A Catalogue of manuscripts in

Indonesian Languages in British Public Collections. Oxford:

Oxford University Press.

Salleh, Muhammad Haji. Sulalat al-Salatin: Adikarya Akalbudi

Melayu. Artikel diunduh dari situs Malay Corcondance

Project (http://mcp.anu.edu.au/papers/MHS%20Esei1.html),

h. 1

----------. (1997). Sulalat al-Salatin, ya‟ni Perteturun Segala

Raja-Raja Karangan Tun Seri Lanang. Kuala Lumpur:

Yayasan Karyawan & Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997).

Wehr, Hans (1994). A Dictionary of Modern Written Arabic.

Urbana: Spoken Language Services, 1994.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 178

Willem van der Molen (2011). Kritik

Teks Jawa; Sebuah pemandangan umum

dan pendekatan baru yang diterapkan

kepada Kunjarakarna. Jakarta: Yayasan

Pustaka Obor Indonesia. Tebal x + 392

hlm. ISBN 978-979-461-787-8.

Artikel resensi ini adalah telaah lama yang pernah diterbitkan di

majalah Basis (Th. XXXIII, no. 7, Juli 1984, hlm. 255-272).

Sehubungan dengan terbitnya disertasi W. van der Molen dalam

terjemahan bahasa Indonesia, saya merasa perlu untuk

menerbitkan lagi artikel itu dengan pengurangan dan perubahan

seperlunya.

Terbitan teks, terjemahan, dan perbaikan bacaan

Terbitan diplomatik teks Kuñjarakarṇa (prosa) dari ketiga naskah

yang diteliti, yang disajikan secara sinoptik, sungguh membantu

pembaca untuk bekerja sendiri: menganalisis, mengemukakan

alternatif bacaan, bahkan mungkin mencoba membuat

rekonstruksi. Berdasarkan kesempatan luas yang diberikan itu

179 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

akan dikemukakan beberapa hal yang mungkin membantu

pemahaman dan penelitian lebih lanjut.

Diandaikan, bahwa setiap penerbit atau penyunting teks

memahami teks dan menguasai bahasa teks yang diterbitkan atau

disuntingnya. Erat hubungan dengan hal itu, suatu masalah yang

berulang kali dibahas oleh para penerbit teks Jawa adalah

masalah pemisahan kata beserta dasar-dasar linguistiknya. Dalam

hal ini terbitan teks Kuñjarakarṇa (prosa) menunjukkan

kekurangan yang menyolok. Sekalipun hal-ihwal ejaan telah

diselidiki secara rumit, namun barulah menyangkut pemakaian

beberapa huruf saja, dan terbatas pada tataran kata dasar (h. 121-

162). Selanjutnya masih perlu dilakukan penelitian ejaan dengan

memperhatikan tataran morfo-sintaksis. Penelitian ini diharapkan

akan menampilkan ciri-ciri kebahasaan dari teks yang

bersangkutan, yang dapat membantu untuk menentukan

kedudukan teks itu dalam sejarah bahasa dan tahapan tradisi.

Ejaan yang tidak konsisten sangat penting diselidiki demi

pemahaman teks dan perbaikan bacaan. Pemahaman teks dan

perbaikan bacaan secara bertahap perlu memperhatikan: teks dari

satu naskah, bandingan antarteks dengan karya yang sama dari

naskah lain, dan hubungan antar teks dengan berbagai karya

lainnya. Sejumlah contoh berikut ini dimaksudkan sebagai

sumbangan pikiran untuk pemahaman teks dan perbaikan bacaan,

terutama dari naskah H.

Kesalahan pemisahan kata menimbulkan kesalahan

terjemahan.

(1) 125 H paŋan inum. sanḍaŋ

agoh arabihanakkanak

Terjemahan: “Makan, minum, pakaian, ternak,

berkeluarga, […]”. (h. 175)

Terjemahan “ternak” berhubungan dengan bacaan “agoh”

(“goh”, lembu).

Seharusnya dibaca:

125 H paŋan inum. sanḍaŋ

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 180

ago harabi hanakkanak

“Sanḍaŋ a <ṅ> go” berarti: “pakaian dan perhiasan” (lihat

Zoetmulder, 1982, Old-Javanese English Dictionary =

OJED, I: 100, aŋgo; II: 1647, sandaŋ)

(2) 334 H śammi dadupa mrabukk arum

pawaŋi

Terjemahan: “[…] berbau dupa semerbak harum

mewangi. (h. 185)

Seharusnya dibaca: “śammida dupa”, yang berarti: “kayu

bakar (dan) dupa” (OJED, II: 1638, samidha, samiddha).

Lalu “winoŋan” (333) seharusnya dihubungkan dengan

“śammida dupa”.

(3) 1028 H wawa ṣima ŋuyu ḷbuguntuṅ,

Terjemahan: “wawal, sima, nguyu, lebuguntung”. (h. 219)

Seharusnya dibaca: “wawaṣi manguyu ḷbuguntuṅ”, yang

adalah nama-nama jenis pertapa. (OJED, II: 2216, wasi; I:

1114, maŋuyu; bdk. 594 H pamanuyon; I: 1001, lebu-

guntur).

(4) 2440 H […] Ø watu pinaŋka

ta wulan. […]

Terjemahan: “[…] Ø Batu sebagai bulan (h. 290-291)

Seharusnya dibaca: “watu pinaŋka tawulan”, yang berarti:

“batu merupakan tulang(nya)”. (OJED, II: 1901, tahulan).

(5) 3130 H halŋa burat. ma oṃ, kĕmbaṅ

kuṣaṅ runtiṅruntiṅ,

cinakuṣ i wawaŋi

kambaŋ wĕrataŋanta, […]

181 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

Terjemahan: “[…] dengan minyak dan boreh. Mantra:

om, bunga kusang dan runting … wewangian. Bunga

wratanganta. (h. 325).

Seharusnya dibaca:

3130 H halŋa burat. ma oṃ, kĕmbaṅku

ṣaṅ runtiṅruntiṅ

cinaku ṣi wawaŋi

kambaŋ wĕratanaŋta, […]

Artinya: “Mengenakan minyak boreh. (Ungkapan ini

menandai tahap upacara, tidak termasuk mantra yang

terdahulu. Mantra: Oṃ, Bungaku Sang Runting-runting.

Ciriku (OJED, I: 327, cihna II) Si Harum Bunga

Weratanganta (? Bdk. K: kĕmbaṅ wĕratta baranta).”

Seperti telah terlihat pada contoh-contoh di atas, banyak

bagian tidak diterjemahkan (ditandai: …), karena arti

masih gelap, sebab: pemisahan kata salah; pemisahan kata

ditangguhkan; arti kata tidak dicari, baik dalam kamus,

dalam bandingan intrateks, maupun bandingan antarteks;

bahasa, ungkapan, dan konteks kurang dipahami;

perbaikan bacaan belum dilakukan, dan lain-lain. Berikut

ini disajikan beberapa contoh lagi.

(6) 1792 H sammana rupanta, kadi

hantiga kinulitan. […]

Terjemahan: “Rupa anda waktu itu seperti telur berkulit”

(h. 257).

“Hantiga kinulitan” artinya bukanlah “telur berkulit”,

melainkan “telur yang dikuliti (dikupas kulitnya)”.

(OJED, I: 918, kulit).

(7) 2203 H […] maŋke taṇn

agiraha, ranak baṭara, pukulun

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 182

tan panaŋguha lara,

Terjemahan: “Sekarang … Hamba tidak menganggapnya

penderitaan. […]”. (h. 279)

Memang naskah K berbunyi: “maŋge tan agiraṅ”, tetapi

sejajar dengan “tan panaŋguha lara”, “tan agiraha”

(naskah H) selayaknya dibaca: “tan ageraha” (tak akan

merasa sakit). (OJED, I: 540, grah).

(8) 3188 H […] pun

puṙṇawijaya, amintaha,

3190 amit kantuna

paṣĕk kapaŋgaḥ, haniti hi

pantaraṇn aji, pukulun.

Terjemahan: “Purnawijaya mohon diri: „Tinggallah baik-

baik … di atas singgasana raja, Batara. […]‟”. (h. 327).

Larik 3191 seharusnya dibaca: “paṣĕkk apaŋgaḥ, hanitihi”.

(OJED, II: 1310, pasak I, pasĕk; II, 2023, titih). Mungkin

“pantaraṇn aji” (3192) lebih baik tetap dibaca:

“pantaraṇnaji” (gabungan kata: pa [n] taraṇnaaji; K

pataraṇna maṇni). Perihal sandhi atau gabungan kata

semacam ini perlu dipertimbangkan lagi demi pemahaman

ciri kebahasan dari teks yang bersangkutan.

Terjemahan sementara: “[…] Si Purnawijaya hendak

mohon diri. (Bagian kalimat ini termasuk ucapan

langsung! OJED, II: 1438, pun I). Hendaklah Tuanku

tinggal tetap terhormat menduduki singgasana rajawi,

Tuanku”

(9) 3124 H timbul krawa len bujana kulit.

K tinbul krawa le bujana kulit

3125 H tan tĕtĕsa deniṅ wwakadaga,

K tan tĕtĕsa deniṅ wwakadga

183 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

3126 H lwir pusuḥ tĕg kĕṅ kĕṅ; […]

K lwir pusuḥ kĕg. kĕṅ kĕṅ […]

Terjemahan: “tak tertembus oleh … seperti kuncup bunga.

Teg keng keng”. (h. 325).

Bacaan dapat diperbaiki menjadi: “timbul krawalen (atau:

krawale; OJED, I: 806, karawalya (karawali?), Us 156:

timbal kurawale) bujan<eṅ> kulit. (bdk. 3116 H: puspa

liŋganeṅ siraḥku). Tan tĕtĕsa deninṅ <sar>wwakadga, lir

pusuḥ tĕg (atau: kĕg) kĕṅkĕṅ”.

Menurut konteks “gḍug. gḍug.” (3123 H; suara orang

menghentak bumi) berhubungan dengan “om […]

dalamakanku”.

Terjemahan sementara: “Timbul Krawale Buja (Sakti

Kebal Lengan?) ada di kulit, tak akan mempan oleh segala

macam pedang (senjata) bagaikan kuncup bunga (?). Tĕg.

Membatu”.

(10) 3116 H satakuṣilulunnonen […]

K maṭakuśilulukonĕn […]

Pemisahan kata belum ditentukan, dan tidak diterjemah-

kan. (h.323). berdasarkan bandingan teks dari kedua

naskah, dan bandingan antarteks dengan karya lain,

diusulkan bacaan: “mataku si lulut onĕng”, dengan arti:

“Mataku Si Lulut Onĕng (Si Asyik-Masyuk)”. (OJED, I:

1055, lulut; II: 2121, unĕŋ, unaŋ). Dalam Korawāçrama

(Swellengrebel, 1936) terdapat Aji Sūkṣma-jahinang

dengan ungkapan: “lulut onĕng ring utari” (h. 136). Dalam

Cantakaparwa terdapat pula Aji Jahinang dengan

ungkapan: “Lulur onĕng ring untunku” (naskah Kirtya

398, h. 99a). Aji ini terdapat sesudah cerita tentang

Kuñjayakarna dan Pūrṇawijaya. (bdk. Ensink, On the Old-

Javanese Cantakaparwa and Its Tale of Sutasoma, 1967,

h. 9).

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 184

(11) 1009 H […] upamanya

yi kadyaŋga ṇniṅ saṅ besawaṙṇna

hatuŋgu kaywaŋan. papa ṭa

humaḥnya kĕbĕk deṇniṅ raja

drawwa,

mas pirak miraḥ

kommala hinten. […]

Terjemahan: “Bandingkan dengan Besawarna yang me-

nunggui kayangan pendosa. Rumahnya penuh dengan

harta benda emas, perak permata, kemala, intan.” (h. 219)

Terjemahan: “yang menunggui kayangan pendosa”

berhubungan dengan bacaan “papa ṭa” dan salah hubung

dengan “kaywaŋan” (1011). Seharusnya dibaca: “papaṭ

<t>a humahnya”, yang berarti: “Empatlah rumahnya”.

Rumah itu bukan milik Besawarna, melainkan milik

orang-orang di dunia yang berbuat kebaikan, dan nanti

akan dinikmati, bila mereka sudah mati. (H 1015-1030).

Seperti itulah halnya kawah tempat siksaan. Maka:

(12) 1032 H iwa maŋkana yayi kawa

ulun…

Terjemahan: “[…] …meskipun demikian saya ragu adik.

(h. 219)

Seharusnya dibaca: “iwa maŋkana yayi kawa<ḥ>ulun”,

yang berarti: “seperti itulah, Dinda, kawahku.” (Terje-

mahan “iwa maŋkana” dengan “meskipun demikian”,

1032, 1698, 1708, 1716, atau “meski demikian”, 1043,

tidak tepat, dan mengacaukan arti!).

Bukanlah Yama yang memiliki kawah itu, melainkan

orang-orang di dunia. Maka:

(13) 1001 H […] tanta

185 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

niṅ ŋulun. drawe ni kawah

hi wwaṅ, madyapada

kaṅ drawenni kaṅ yayi,

Terjemahan: “[…] … ku. Kawah adalah milik orang di

dunia; merekalah yang punya, dik.” (h. 219).

Seharusnya dibaca:

1001 H […] tantan

i ṅŋulun. draweni kawah

hi<ka> wwaṅ madyapada

kaṅ drawenni <i> ka [n] yayi,

Terjemahan: “Bukanlah aku yang memiliki kawah itu,

orang-orang di dunialah yang memiliki itu, Dinda”.

Bukanlah Yama yang memasukkan atau memasak orang-

orang berdosa di dalam kawah, melainkan orang-orang itu

sendirilah yang masuk ke dalam kawah. Maka:

(14) 989 H […] tanta, ṇni ŋulun

haḷbokna kawaḥ hika,

hawake ḍawak aḷbokĕṇ nika

yayi

Terjemahan: “[…] … Caranya pada saya kalau saya

memasukkan orang ke kawah, saua suruh masuk sendiri

dik”. (h. 217).

Seharusnya dibaca:

989 H […] tanta, ṇn i ŋulun

haḷbokna kawaḥ hika,

hawake ḍawak aḷbokĕṇn ika

yayi

Terjemahan: “Bukanlah aku yang memasukkan ke dalam

kawah itu, dirinya sendiri memasukkan itu, Dinda”.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 186

(15) 1096 H […] tanta ulun.

klĕ, wwaṅ tuhu si

maḷbu ḍawak mariṅ

kawaḥ […]

Terjemahan: “[…] … Ada orang yang masuk yang sangat

… Ia masuk sendiri ke dalam kawah […]”. (h. 223).

Seharusnya dibaca:

1096 H […] tanta <n> (atau: tan ta?) ulun.

kĕla, wwaṅ tuhu si

maḷbu ḍawak mariṅ

kawaḥ […]

Terjemahan: “Tidaklah aku masak, orang-orang itu

sesungguhnya masuk sendiri ke dalam kawah”.

Perbaikan bacaan “klĕ” (1097) menjadi “kĕla” sejalan

dengan “tlĕs” (156, tĕlas), “pjĕh” (3392, pĕjah), dan lain-

lain.

(16) 1301 H […] hacukit

hadulit.

Terjemahan: “… pemulung, penjual kapur”. (h. 233)

2822 H kunaṅ pañcanmanya, ywa tukit.

tadulit. […]

Terjemahan: “selanjutnya … … penjual kapur”. (h. 309).

Dalam naskah H bentuk huruf “c” agak mirip dengan “j”,

sedangkan “t” jauh berbeda dengan “c”. Namun demikian,

berdasarkan bandingan dengan larik 1301-1302 dan

dengan bacaan naskah K (2822-2823: janmanya acukitt

adulit), dapatlah bacaan larik 2822-2823 diperbaiki

menjadi: “kunan pañjanmanya, ywacukit.t adulit.” Bentuk

“ywacukit” dapat dipandang sebagai gabungan kata “ya-

acukit” dengan sisihan/tambahan “wa” pada kata “ya”.

Jadi artinya: “Ada pun penjelmaannya adalah orang-orang

187 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

(yang pekerjaannya) „cukit‟, „dulit‟ ” (pedagang terasi,

kapur, dan lain sebagainya).

Sisipan/tambahan “w(a)” atau “y(a) dalam ejaan naskah H

perlu diperhatikan untuk perbaikan bacaan dan

pemahaman bahasa.

(17) 28 A sakala maray. ta,

K ikaṅ satala marayata

H ikaṅ ṣwatala, maratabwan.

“Ikaṅ ṣwatala” (naskah H) diterjemahkan: “tempatnya

sendiri” (h. 169). Di sini mungkin terdapat sisipan

tambahan “wa”, sehingga “ṣwatala” ekuivalen dengan

“satala” (naskah K), dan berasal dari “sakala” (t<k; salah

satu buktinya: naskah A). Jadi di sini perlu dipertahankan:

“ikaṅ sakala”, yang berarti: “pada waktu yang

bersamaan”. (OJED, II: 1604, sakala II). Perbaikan itu

sejalan dengan bentuk-bentuk: “swalaka” (229 H; bdk.

324 H: salaka), “swadakala” (528 H, sadakala), dan lain-

lain.

(18) 68 H laŋka leswa ywaki

ywaki bawanya Ø

Terjemahan: “ „Alasan untuk bepergian, itulah

maksudnya”. (h. 171)

Mungkin harus diperbaiki demikian:

68 H <i> laŋ <a> kaleswa ywaki (yweki?)

ywaki (yweki?) bawanya Ø

Kata “klesa” (1933, 1951, 1970, dan passim) dalam

naskah H kadang kadang dieja “kalesa”/kaleṣa” (1541,

1544, 1556, dan passim), “kalṣe” (1076, I. kaleṣa, h. 286),

“kalweṣa” (80, 1942, 1946), dan “kleswa” (116). Maka

terbukalah kemungkinan untuk bacaan “kaleswa” (68).

Jadi arti perbaikan bacaan itu: “supaya hilanglah

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 188

kecemarannya, itulah maksudnya”.

(19) 1114 H […] sapa ka yweku riṅ

pakśanya, yeki maŋke

tinmunya dyan tuṭ ri kaṅ

kawaḥ

Terjemahannya: “[…] … Mereka sekarang berhadapan

dengan perbuatan jahatnya dan harus mengikutinya ke

kawah”. (h. 223).

Dalam perbaikan bacaan terdapat: “sapa ka 1. sapata?” .

Pertanyaan itu tidak perlu. Yang perlu diperhatikan ialah:

“dyan tuṭ ri kaṅ kawah”. Mungkinkah diperbaiki menjadi:

“dyan tḍuni <i> kaṅ kawaṅ”? (A: den tĕḍūni ikaṅ kawaḥ).

Bila demikian, maka bacaannya:

1114 H […] sapa kayweku riṅ

pakśanya, yeki maŋke

tinmunya dyan tḍuni <i> kaṅ

kawaḥ

Terjemahan: “Siapa yang seperti itu sikapnya, inilah

sekarang yang ditemuinya, diterjunilah kawah itu”.

(20) 8 H […] ummilu

atatya dewata kabeḥ

myamujaha rwiṅ ḃaṫara byudda

sri wiroñcana, […]

Terjemahan: “Sesudah itu berturut-turut para dewa

memuja Batara Buddja Sri Wironcana”. (h. 169).

Dalam perbaikan bacaan terdapat: “atatya? b. ata tyan?”

(h. 356).

Sebenarnya “atatya” ekuivalen dengan “atata” (OJED, II:

1958, tata I), seperti halnya: “byuda” – “budda”,

189 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

“myamujaha” – “mamujaha”, “tirtya” (3082) – “tirta”,

“wuwustya” (3009) – “wuwusta”, dan lain-lain.

Kurangnya “pasangan” beserta “sandangan”-nya perlu

diperhitungkan dalam perbaikan bacaan.

(21) 1074 H […] den

aswruḥ hiṅ saṅ hyaṅ daṙmma,

ilaŋana kalṣe ṇniṅ sariranta,

Terjemahan: “[…] Pahamilah Darma maka penyakit akan

hilang dari badan anda”. (h. 221).

Dalam perbaikan bacaan terdapat: “1075. aswruḥ b.

awruḥ. 1076. kalṣe b. kaleṣa” (hlm. 359)

Mungkin “s” pada “aswruh” perlu dipertahankan. Jadi:

1074 H […] den <wu> s

wruḥ hiṅ saṅ hyaṅ daṙmma,

ilaŋana kaleṣa niṅ sariranta,

Terjemahan: “Bila sudah tahu akan Sang Hyang Dharma,

hendaklah dihilangkan kecemaran tubuhmu”.

(22) 1555 H […] maŋkana

ilaŋan niṅ (sic) kaleṣa papa

nniṅ sarira,

nandaḥ padaŋdana

kita rari, […]

Terjemahan: “[…] Begitulah caranya menghilangkan

kekotoran serta kekurangan badan. Ayo berpakaianlah

anda”. (h. 245)

Lebih tepat diperbaiki menjadi:

1555 H […] maŋkana

ilaŋan niṅ kaleṣa papa

nniṅ sarira, n <ta>

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 190

ndaḥ padaŋdana

kita rari, […]

Di sini diandaikan pasangan “ta” hilang (K: sariranta).

(23) 3039 H itipa ka sla kabeh, panteni

denta kabeh, […]

Terjemahan: “... harus anda bunuh semua”. (h. 319)

Perbaikan bacaan:

3039 H itip <iṅ> kasmala kabeḥ, panteni

denta kabeh, […]

Diandaikan, “pa” (pada “itipa”) kehilangan “wulu” dan

“cĕcak”, dan “s” (pada “kasla”) kehilangan “pasangan

m(a)” (bdk. 2165 H: kasmalammu). Jadi artinya: “Kerak

segala kecemaran, hendaklah kau bunuh semua”.

(24) 1587 H maŋaḷŋĕn śaṅ kuñjarakaṙṇna

swojaṙ riṅ saṅ puṙnawijaya

Terjemahan: “Sambil memegang lengannya berkata

Kunjarakarna kepada Purnawijaya”. (h. 247).

Bentuk huruf “ḷ” serupa dengan bentuk kombinasi huruf

“ŋ(a)” dan “n(a)” (sebagai “pasangan”). Maka sebaiknya

dibaca:

1587 H maŋaŋnaŋĕn śaṅ kuñjarakaṙṇna

swojaṙ riṅ saṅ puṙnawijaya

Terjemahan: “Berpikirlah (OJED, I: 96, aŋĕn) Sang

Kunjarakarna, (lalu) berkata kepada Sang Purnawijaya:

[…]”.

Begitu pula:

(25) 3179 H ih

hiŋaḷnĕndriya haja tan

191 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

prayatna,

Terjemahan: “Hai, … berusahalah keras […]”. (h. 327)

Sebaiknya dibaca:

3179 H ih

hiŋaŋnaŋĕn driya haja tan

prayatna,

Artinya: “Nah, dipikir dengan periksa, jangan tak

waspada, […]”

(26) 399 H […] gagakk

alwar curiga

Terjemahan: “[…] Mereka jahat”

Teks naskah H dan perbaikan bacaan atas bacaan Kern

pada naskah A: “gālak” (VG X: 57) menjadi “gāgak” tidak

diikuti dengan terjemahan yang sesuai. Seharusnya: “[…]

burung gagak (OJED, I 473, gagak, gāgak) yang bersayap

keris”.

Selanjutnya perlu diperhatikan konsistensi dalam

transliterasi.

Dalam hal ini sangat penting pertimbangan dari segi

linguistik. Sekedar contoh:

(27) 835 A mawāk masarira - 1824 A mawak masarira

K mawakasarira K mawaṅk asarira

H mawakaṣarira H mawak asarira

Semestinya 835 K dan H ditransliterasikan: “mawak

asarira” dan “mawak aṣarira”.

Begitu pula tempat-tempat lain yang paralel, seperti: “taṇn

ana lena kapaŋguḥ” (2464, 2900, 3539), dan lain-lain.

Namun demikian, perlu dipertahankan pula kekhasan bahasa

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 192

dan tradisi teks masing-masing. Misalnya:

1. 574. meŋkeneha b. maŋkeneha. (h. 358)

Kiranya perlu dipertahankan: “meŋkeneha” (3369 H:

meŋkeneha; OJED, I: 1139, meṅkene). Jadi pada naskah

H terdapat: “maŋkana” (513, passim) – “moŋkono” (2136

H: moŋkonoha; OJED, I: 1149, moŋkono) – “meŋkene”.

2. 29. raśaksa b. rakśasa. (h. 356); 1504. raṣaksa b. rakṣasa.

(h. 360); 1760. rasakṣa b. rakṣasa. (h. 361). Bisa

ditambah: 1507 H: rasakṣa. Di sini pun perlu

dipertahankan: “raśaksa” (beserta varian ejaannya), yang

menunjukkan tahap perkembangan bahasa tertentu (bdk.

Jawa Baru: rasĕksa).

3. 1300. hamahĕk b. hamahĕt. (h. 360); 2825. hamahĕt b.

hamahat. (h. 364). Dalam hal ini perbaikan bacaan tidak

konsisten. Untuk naskah H lebih tepat ditentukan:

“hamahĕt”.

4. Perbaikan bacaan nama-nama “kuñjayakaṙṇna” beserta

varian ejaannya (105, 160, 170; bdk. Cantakaparwa)

menjadi “kuñjarakaṙṇna” (h. 356), dan “paladara” (3270,

3306, 3346, 3353; bdk. Sakula < Nakula) menjadi

“muladara” (h. 365), perlu dipertimbangkan lagi dalam

rangka tradisi penulis/penyalin.

Sejarah teks dan tradisi

Dalam melacak sejarah teks dan tradisinya W, van der Molen

menyimpulkan, bahwa:

1. mengingat kesalahan-kesalahan yang terjadi berkat salah

baca, penyalin naskah A bekerja dengan lebih teliti

daripada penyalin naskah H dan K.

2. pertukaran „d‟ dan „n‟ pada naskah H dan K menyatakan,

bahwa kedua naskah itu mempunyai induk yang

bersamaan, di mana bentuk kedua huruf itu serupa.

193 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

3. penggantian kata-kata dengan sinonimnya dalam ketiga

naskah itu tak dapat memberi kepastian, manakah bacaan

yang harus dianggap asli.

4. perbandingan dengan teks naskah A menunjukkan, bahwa

pada sebagian episode siksaan di neraka (larik 464-570

pada terbitan teks) terdapat kekacauan urutan dan

kehilangan pada naskah H dan K; hal itu disebabkan oleh

salah susun satu lempir pada naskah induknya.

5. Perbandingan isi dan struktur teks menyatakan, bahwa (a)

teks naskah A menekankan pengetahuan (esoteris),

sedangkan teks naskah H dan K menekankan perbuatan

(ritual); (b) teks naskah A mewakili bentuk yang lebih

asli, sedangkan teks naskah H dan K mengalami

perubahan-perubahan yang penting.

Dengan kesimpulan-kesimpulan itu W. van der Molen

meletakkan dasar untuk penelitian lebih lanjut, baik ke arah

penentuan tradisi maupun ke arah rekonstruksi teks yang dicita-

citakan.

Untuk tidak memperpanjang artikel ini akan diberikan

beberapa pokok pikiran untuk penelitian lebih lanjut.

1. Salah satu perbedaan teks yang penting terdapat pada

larik 294: “saṅ mātiwatiwa (naskah A) dan “sṣaṅ mati”

(naskah H)/ “sṣa mati” (naskah K). Ada kemungkinan

teks naskah A berhubungan dengan upacara orang mati

(OJED, II: 2026, tiwa; Tengger: Ĕntas-ĕntas). Dalam

konteks itu diberikan ajaran tentang dunia orang mati,

hukum karma, penjelmaan kembali, proses kelahiran,

serta hakekat pengetahuan akan dharma, samādhi dan

tapa sebagai penghilang kecemaran dan jalan kelepasan.

Teks naskah H dan K memperluas ajaran itu dan lebih

terarah pada praktek dengan mengambil alih teks upacara

(mis. larik 3085-3137), yang bersifat pembayatan

(inisiasi) atau ruwat. Pengambilalihan teks itu sesuai

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 194

dengan ajaran yang juga termuat dalam naskah A (mis.

larik 1973-1975).

2. Perbandingan struktur teks ketiga naskah itu

memperlihatkan, bahwa perubahan atau tambahan pada

teks naskah H dan K bersifat membuat keseimbangan:

a. antara unsur-unsur cerita

- lukisan tapa Kunjarakarna dan Purnawijaya pada

akhir cerita (3549-3559, A-H-K) diimbangi dengan

lukisan tapa Kunjarakarna pada awal cerita (39-46,

H-K).

- lukisan pintu Ayahbumipantana (321-340, A-H-K)

diimbangi dengan lukisan pintu yang dijaga oleh

Dorakala (222-230, H-K).

b. antara yang terjadi pada diri Kunjarakarna dan yang

terjadi pada diri Purnawijaya

- ajaran tentang “atma” dari Wairocana kepada

Kunjarakarna (805-810, 828-835, A-H-K)

diimbangi dengan ajaran serupa dari Wairocana

kepada Purnawijaya (2305-2310, 2312-2317, H-K).

- ajaran tentang “pañcabuta” dari Wairocana kepada

Purnawijaya (2237-2260, A-H-K) diimbangi

dengan ajaran serupa dari Yama kepada

Kunjarakarna (844-866, H-K).

- pembersihan dengan “tirta pañjitah mala” pada diri

Kunjarakarna (2038-2044, A-H-K) diimbangi

dengan pembersihan serupa pada diri Purnawijaya

(3048-3071, H-K). Bdk. juga 3080-3138, H-K

dengan 2048-2060, H-K).

c. antara ajaran dan praktek

- ajaran tentang “atma” dari Wairocana kepada

Purnawijaya (2312-2317, H-K) diimbangi dengan

lukisan praktek Purnawijaya (2905-2917, H-K).

195 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012

- ajaran tentang “samadhi” dari Wairocana kepada

Purnawijaya (2436-2454, H-K) diimbangi dengan

lukisan praktek Purnawijaya (dua tahap: 2491-2494,

2550-2555, H-K).

Perbedaan teks ajaran dengan lukisan praktek

mungkin menunjukkan tahap penyusunan yang

berbeda.

Masih banyak hal serupa bisa ditemukan. Analisis semacam ini

dapat membantu untuk mengenali lapisan-lapisan teks dan tahap-

tahap penyusunannya.

Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 196

Ketentuan Penulisan untuk Jumantara:

1. Jenis tulisan berupa artikel hasil penelitian atau setara hasil

penelitian mengenai naskah serta tinjauan buku.

2. Panjang tulisan berkisar antara 20.000 – 40.000 karakter (15-

20 halaman termasuk bibliografi, ketik spasi rangkap di atas

kertas A4).

3. Artikel ditulis menggunakan bahasa Indonesia disertai

abstrak dan kata kunci dalam bahasa Indonesia.

4. Penulis menyertakan identitas lengkap meliputi jenjang

pendidikan terakhir, kedudukan tetap, karya tulis yang

dianggap penting, alamat surat elektronik pribadi, dan alamat

lengkap yang mudah dihubungi.

5. Tulisan dikirim melalui surat elektronik dengan alamat

[email protected] atau melalui pos ke Redaksi

Jumantara, Gedung Pusat Jasa Lt. VB Perpusnas RI, Jl.

Salemba Raya No. 28 A Jakarta 10002.

6. Naskah yang masuk akan diseleksi oleh Dewan Redaksi

bersama Mitra Bestari dan apabila perlu akan dilakukan

penyempurnaan tanpa mengubah substansi naskah.

7. Tulisan yang dimuat akan diberikan imbalan/honor sesuai

peraturan yang berlaku.