Upload
uinjkt
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ii Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA Alamat Redaksi: Gedung Pusat Jasa Lt. VB Perpusnas RI.
Jl. Salemba Raya No. 28 A Kotak Pos: 3624, Jakarta 10002
Telp : (021)-3154863 ext. 264
e-mail: [email protected]
homepage: http://www.pnri.go.id/MajalahOnline.aspx
JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara
Vol.3 No.1 Tahun 2012
Pembina : Kepala Perpustakaan Nasional RI
Pengarah : 1. Deputi Bidang Pengembangan Bahan
Pustaka dan Jasa Informasi
2. Kepala Pusat Jasa Perpustakaan dan
Informasi
Penanggung jawab : Kepala Bidang Layanan Koleksi Khusus
Pemimpin Redaksi : Drs. Nindya Noegraha
Dewan Redaksi : 1. Drs. H. Sanwani
2. Aditia Gunawan, S.Pd.
3. Agung Kriswanto, SS.
4. Drs. Nur Karim, M. Hum.
5. Yudhi Irawan, S. Hum.
6. Didik Purwanto, SS.
7. Mardiono
Mitra Bestari : 1. Prof. Dr. Achadiati
2. Dr. I. Kuntara Wiryamartana
Editor Bahasa : Dra. Dina Isyanti, M. Si.
Sekretaris Redaksi : 1. Komari
2. Dian Soni Amellia, S.Hum.
Sirkulasi : Bambang Hernawan, SS.
Tata Letak : Aditia Gunawan, S.Pd.
Jumantara adalah jurnal ilmiah dengan fokus kajian naskah (manuskrip)
nusantara yang menyajikan karangan ilmiah dalam bentuk hasil
penelitian, penilaian terhadap hasil penelitian, serta tinjauan buku.
Diterbitkan secara berkala dua kali dalam setahun oleh Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia dengan ISSN 2087-1074.
iii Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Artikel
1
44
77
128
148
100
167
Anung Tedjowirawan
Menelusuri Jejak Cerita Rama dalam Serat Pustakaraja
Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita
Fakhriati
Perempuan dalam Manuskrip Aceh: Kajian Teks dan
Konteks
Atep Kurnia
Sinurat Ring Merega; Tinjauan atas Kolofon Naskah
Sunda Kuna
Tedi Permadi
Identifikasi Bahan Naskah (Daluang) Gulungan
Koleksi Cagar Budaya Candi Cangkuang dengan
Metode Pengamatan Langsung dan Uji Sampel di
Laboratorium
Ida Bagus Rai Putra
Lontar: Manuskrip Perekam Peradaban dari Bali
Mahrus El-mawa
Rekonstruksi Kejayaan Islam di Cirebon; Studi
Historis pada Masa Syarif Hidayatullah (1479-1568)
Oman Fathurahman
Sulalat al-Salatin Karya Tun Seri Lanang: Kebesaran
Karya Sastra Melayu yang Melampaui Zamannya
Review Buku
178 Kuntara Wiryamartana
Filologi Jawa dan Kuñjarakarṇa Prosa
iv Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
umantara telah menginjak usia ketiga, usia yang masih
sangat rawan bagi keberlangsungan hidup sebuah jurnal.
Apalagi jika melihat kenyataan bahwa penyumbang
tulisan dalam jurnal ini adalah para ahli filologi yang
jumlahnya saat ini semakin sedikit. Meski demikian, terus
terbitnya Jumantara secara rutin menandakan bahwa para pakar
dan peminat naskah tetap ada dan setia menyumbangkan hasil
penelitiannya. Jerih payah para pakar pengkaji naskah pada
gilirannya telah berperan serta melestarikan budaya Nusantara.
Naskah memiliki peran penting bagi bangsa Indonesia. Ia
dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bangsa. Sebagai contoh,
istilah pancasila yang menjadi dasar negara dan bhineka tunggal
ika yang merupakan semboyan negara diambil dari teks Kakawin
Sutasoma. Andaikata naskah lontar tersebut tidak pernah terbaca,
mungkin kita tidak pernah mendengar istilah-istilah “sakti”
tersebut.
Dalam nomor ini disajikan artikel-artikel yang menyampaikan
berbagai pengetahuan penting dan menarik. Pertama, tulisan
Anung Tedjowirawan tentang jejak cerita Rama. Dengan
gamblang penulis memaparkan perjalanan teks Ramayana, dari
India sampai Jawa, dari Ramayana Wālmīki sampai kepada teks
Serat Pustakaraja karya pujangga Ranggawarsita. Meski teks
Ramayana bukan berasal dari Nusantara, tetapi kisah ini
termashur di Nusantara. Para pujangga seperti Ranggawarsita
menyerap isi cerita kemudian disesuaikan dengan kebudayaan
lokal.
Kandungan naskah Nusantara tidak selalu hanya berkaitan
dengan kesusastraan, tetapi juga mencakup tema-tema politik,
ekonomi, sosial, budaya dan agama, obat-obatan, mitologi,
sejarah, hukum, dan lain-lain. Inilah yang coba ditunjukkan oleh
Fakhriati melalui tulisannya yang menyoroti kedudukan
perempuan sebagaimana terkandung dalam sebuah naskah Aceh.
Fakhriati mencoba menggali ajaran dan praktik tentang
J
v Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
kehidupan perempuan di Aceh pada masa lalu melalui kehidupan
Siti Islam, tokoh utama dalam teks Hikayat Siti Islam. Sebagai
bahan perbandingan, Fakhriati menggunakan teks berjudul Siti
Hasanah.
Artikel ketiga, yang ditulis oleh Atep Kurnia, merupakan
tinjauan terhadap kolofon naskah Sunda Kuna, mencakup
informasi tentang identitas penulis atau penyalin, tempat, dan
waktu penulisan naskah. Dari tulisan itu diperoleh gambaran
bahwa identitas penulis naskah tidak selalu dinyatakan dengan
jelas. Sebagian besar naskah Sunda Kuna yang ditulis di gunung
dapat dijadikan petunjuk awal yang mengungkap kedudukan
gunung sebagai skriptorium penciptaan sebuah karya intelektual
pada masa lalu.
Selain kajian teks, dalam edisi ini disajikan pula artikel yang
membahas wujud naskah itu sendiri. Kajian seperti itu termasuk
dalam ranah kodikologi. Tedi Permadi, peneliti dari UPI
Bandung, membahas secara rinci naskah daluang yang berasal
dari Candi Cangkuang. Banyak data yang sepertinya sepele, tetapi
jika dicermati ternyata dapat memberikan informasi penting
tentang sebuah naskah, misalnya: ketebalan naskah yang diukur
secara cermat dapat membuktikan apakah sebuah naskah
dikerjakan secara tradisional atau merupakan buatan pabrik.
Dalam tataran praktis, kesimpulan tersebut dapat membantu pihak
yang berkepentingan untuk menilai fisik suatu naskah.
Ida Bagus membahas lontar sebagai media menulis naskah.
Berbeda dengan Tedi Permadi, Ida Bagus Rai Putra membahas
berbagai segi penggunaan daun lontar sebagai media menulis
naskah, di antaranya dari dari segi fisik, proses pembuatan,
sampai tradisi penulisan dan pembacaan lontar yang masih hidup
di Bali. Tradisi lontar yang masih lestari di Bali saat ini dapat
memberi petunjuk bagaimana fungsi naskah lontar pada masa
lalu.
Melalui perspektif sejarah, Mahrus el-Mawa mengkaji puncak
kejayaan Islam di Cirebon pada masa Syarif Hidayatullah atau
yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Dalam artikelnya,
Mahrus el-Mawa berusaha memaparkan secara luas salah satu
vi Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
tokoh penting Walisongo ini. Walaupun ia tidak mengulas
tentang guru dan ajaran keagamaan Syarif Hidayatullah secara
mendalam, tetapi usahanya merekonstruksi kejayaan Islam di
Cirebon pada masa Syarif Hidayatullah melalui teks lama dan
bukti-bukti artefak, membuktikan bahwa Sunan Gunung Jati
bukanlah tokoh mitos, melainkan tokoh historis.
Artikel terakhir, karya Oman Fathurahman, mengkaji sejarah
penelitian salah satu teks Melayu yang, meminjam istilah C.
Hooykas, “demikian banyaknya diselidiki”, yaitu Sulalat al-
Salatin atau lebih populer disebut Sejarah Melayu. Meski banyak
sarjana yang telah meneliti teks tersebut, bukan berarti
pembahasan terhadapnya telah tuntas. Oman Fathurahman masih
melihat adanya aspek yang belum tergali yang dapat
dimanfaatkan oleh para peneliti selanjutnya, yaitu unsur Islam
yang terkandung dalam teks tersebut.
Filologi secara harafiah berarti “cinta kata”. Kecintaan itulah
yang ditunjukkan I. Kuntara Wiryamartana dalam tinjauan buku
Kritik Teks Jawa: Sebuah Pendekatan Baru terhadap
Kunjarakarna Prosa karangan Wilem van der Molen (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2011). Secara cermat I Kuntara
menunjukkan alternatif bacaan dan terjemahan (ada kalanya
perbaikan) terhadap teks Jawa Kuna Kunjarakarna. Tulisannya
mengingatkan kita akan pentingnya aspek-aspek mendasar dari
filologi, yaitu penyajian teks dan terjemahan.
Dari artikel-artikel yang kami sajikan dalam edisi kali ini,
pembaca dapat melihat betapa beragamnya persoalan yang
diangkat oleh para penulis. Ini menunjukkan bahwa naskah
“kuno” Nusantara dapat dijadikan “sumber inspirasi baru” untuk
perkembangan penelitian di Indonesia. Kami berharap Jumantara
dapat dijadikan sebagai “arena” penulisan artikel yang berkaitan
dengan pernaskahan di Indonesia sehingga isi dan kandungan
naskah dapat dibaca secara luas oleh masyarakat. Selamat
membaca!
1 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Abstrak
Jejak cerita Rama dalam Sĕrat Pustakaraja diantaranya terdapat
dalam Sĕrat Rukmawati, Sĕrat Suktinawyasa, Sĕrat Prabu
Gĕndrayana, Sĕrat Purusangkara maupun Sĕrat Mayangkara.
Dalam Sĕrat Rukmawati dikemukakan tentang peristiwa ritual
agung Aswameda yang diselenggarakan oleh Prabu Dasarata,
Raja Ayodya dalam rangka memohon kelahiran putra yang
menjadi penjelmaan Sang Hyang Wisnu. Ritual agung Aswameda
tersebut diselenggarakan di hutan Madura dekat sungai Sarayu
(Gangga), tempat keberadaan "Jamur Dipa", penjelmaan Rĕsi
Anggira (Maharsi Paspa). Ritual tersebut disaksikan oleh para
raja sekutu Prabu Dasarata serta dihadiri oleh Prabu Basurata
dari Wiratha. Dari ritual agung Aswameda tersebut kemudian
lahirlah putra-putra Prabu Dasarata antara lain: Rama,
Laksmana, Barata dan Satrugna, sedangkan putra Prabu
Basurata yang lahir bernama Raden Brahmaneka.
Dalam Sĕrat Suktinawyasa jejak cerita Rama terdapat dalam
cerita yang disampaikan Dhang Hyang Wiku Salya kepada Rĕsi
Abyasa, mengenai kisah hidup Prabu Ramawijaya ketika dicopot
dari tahta serta harus meninggalkan istana Ayodya untuk pergi
ke hutan belantara bersama Dewi Sinta, istrinya, serta adiknya
* Penulis, peneliti dan pengajar di Jurusan Sastra Nusantara FIB Universitas
Gajah Mada
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 2
Laksmana, sampai Dewi Sinta diculik dan dibawa lari oleh Prabu
Dasamuka ke Alengka. Cerita tersebut dikemukakan Dhang
Hyang Wiku Salya dalam rangka untuk menghibur agar Rĕsi
Abyasa tidak terlalu bersedih hati karena sepeninggal ayahan-
danya (Rĕsi Palasara) ia tidak ditunjuk untuk menggantikan
kedudukan ayahandanya sebagai raja melainkan hanya diangkat
sebagai raja pendeta.
Dalam Sĕrat Prabu Gĕndrayana, jejak cerita Rama
dikemukakan oleh Bagawan Danèswara kepada Prabu
Gĕndrayana, bahwa Batara Ramawijaya sewaktu muda (8 tahun)
sudah dibawa Bagawan Sutiknayogi ke Gunung Dhandhaka
untuk diadu dengan para raksasa bala tentara Rahwana
(Dasamuka), yang merusak pertapaan. Cerita tersebut
diungkapkan Bagawan Danèswara agar Prabu Gĕndrayana
merelakan putranya yaitu Raden Narayana (Jayabhaya) untuk
diminta bantuannya melenyapkan segala jenis hama tanaman
(yang dilindungi para Dewa), yang merusak segenap sawah dan
ladang penduduk di wilayah Gunung Nilandusa (Wilis).
Dalam Sĕrat Purusangkara maupun Sĕrat Mayangkara jejak
cerita Rama tampak pada penampilan Sang Maharsi
Mayangkara (Anoman, Hanūman). Dalam kedua Serat tersebut
dikisahkan peran Sang Maharsi Mayangkara yang mendapat
tugas Bathara Guru untuk menjalin kembali kerukunan di antara
keturunan Prabu Jayapurusa (Jayabhaya) dengan keturunan
Prabu Sariwahana, lewat perka-winan putra-putri mereka.
Mereka antara lain: Dèwi Pramèsthi dengan Prabu Astradarma
(Purusangkara), Dèwi Pramuni dengan Radèn Darmasarana,
dan Dèwi Sasanti dengan Radèn Darmakusuma. Dalam kedua
cerita tersebut Sang Maharsi Mayangkara akhirnya gugur dalam
pertempurannya yang dahsyat melawan Prabu Yaksadewa
(penjelmaan Sang Hyang Kala) yang bersenjatakan gada
(penjelmaan Sang Hyang Brahma).
Kata Kunci: Kakawin Rāmāyaņa, Sĕrat Pustakaraja, Sĕrat
Rukmawati, Serat Suktinawyasa, Sĕrat Prabu Gĕndrayana, Sĕrat
Purusangkara, Sĕrat Mayangkara.
3 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Pengantar
Rāmāyaņa adalah karya agung dari India, berbahasa Sanskerta,
yang oleh pujangga penciptanya diwariskan untuk seluruh umat
manusia. Keagungan dan kemasyuran kisah Rāmāyaņa ini
memang sudah diramalkan ribuan tahun sebelumnya, bahwa
selama masih ada gunung-gunung yang berdiri, sungai-sungai
mengalir di permukaan bumi selama itu juga kisah Rāmāyaņa
akan terus berlangsung di dunia (Padmapuspita, 1979: 1).
Bagaimanakah mitologi terciptanya karya agung ini?
Ada seorang putra Brahmana, yang karena senang berkumpul
dan bergaul dengan para perampok, tumbuh menjadi seorang
penjahat. Ketika merampok tujuh orang dewa – resi (Saptarşi), ia
berhasil diinsyafkan dan disuruh bertapa di hutan sambil
mengucapkan mantra: marā, marā, marā, terus-menerus dengan
tempo secepat-cepatnya, selama seribu tahun tanpa boleh
bergerak. Pada waktu Saptarşi menengoknya, si petapa tetap pada
tempatnya semula, tidak bergerak sambil mengucapkan mantra:
marā, marā, marā sedemikian cepatnya sehingga ucapannya
terbalik menjadi: Rāma, Rāma, Rāma. Seluruh badan petapa
tersebut tertimbun di bawah „onggokan sarang semut hutan‟ yang
dalam bahasa Sanskerta disebut walmīka. Maka sejak itu pemuda
petapa tersebut disebut Wālmīki (Padmapuspita, 1979: 1-2).
Pada waktu Wālmīki akan menggubah Rāmāyaņa, ia duduk
termenung di tepian sungai sambil melihat air sungai yang beriak-
riak. Saat itulah ia mendapat ilham untuk mencipta bentuk sanjak.
Dalam mitologinya, Rāmāyaņa dicipta melalui proses waktu yang
cukup panjang, yaitu 400 tahun, dari 200 tahun sebelum Masehi
sampai dengan 200 tahun sesudah Masehi. Adapun Mahābhārata
karya Mpu Vyāsa mengalami proses pertumbuhan selama 800
tahun, dari 400 tahun Sebelum Masehi sampai 400 tahun Sesudah
Masehi. Baik Rāmāyaņa maupun Mahābhārata termasuk
Itihāsa, kitab suci Weda yang kelima, melengkapi kitab suci
Catur Weda Samhita, yang terdiri dari Ŗg-Weda, Sāma-Weda,
Yayur-Weda, dan Atharwa Weda. (Padmapuspita, 1979: 1-2).
Beberapa sarjana mengemukakan bahwa hakikat inti
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 4
Rāmāyaņa adalah: (a) Berisi lambang gerakan ekspansi bangsa
Arya dari tanah India Utara ke India Selatan. Rāma
melambangkan satria Arya yang, didalangi para Brahmana (yang
ditokohkan sebagai Bharadwāja, Atri, Sarabhangga, Agastya,
Sutīkşņa), menyerang Langka hingga takluk. Dalam hal ini cerita
Rāma dianggap sebagai dokumen sejarah; (b) Dianggap sebagai
lambang perebutan kekuasaan negara yang senantiasa terjadi di
sepanjang sejarah, dengan pola cerita pengendalian Bharata oleh
Kekayi, pertentangan Subali melawan Sugriwa, dan politik tinggi
Wibisana; (c) Dianggap sebagai cerita roman cinta kasih,
kesetiaan, kesucian yang tiada taranya; (d) Dianggap sebagai
kitab suci yang keramat, lebih-lebih bagi golongan Waisnawa,
yang menganggap bahwa Rāma adalah penjelmaan Dewa Wisnu;
(e) Dasar pola cerita Rāma merupakan persoalan tindakan
dharma melawan adharma (Darusuprapta, 1963: 12-13;
Surjohudojo, 1961: 4-10).
Di India, selain Wālmīki yang berhasil menggubah Rāmāyaņa,
penyair-penyair India lain pun mencoba membuat cerita Rāma–
Sīta tersebut, misalnya: Raghuvangśa (keturunan Raghu) karya
Kalidasa, Rāvaņavadha (pembunuhan Rāvaņa) oleh Bhaţţi,
Janakīharaņa (penculikan Sīta) oleh Kumaradasa;, Uttara Rāma
oleh Bhavabhutti, Rāmācaritamanasa (telaga kisah Rāma) oleh
Tulasi Dasa (Tulsi Das), dan Rāmāyaņa Kathāsara-mānjari oleh
Ksemendra (Darusuprapta, 1963: 48; Surjohudojo, 1961: 10).
Cerita Rāmāyaņa dari India tersebut kemudian menyebar ke
berbagai penjuru dunia. Di Asia Tenggara cerita Rāma terdapat di
Vietnam, Kamboja, Laos, Birma, Filipina, Thailand, Melayu,
maupun Jawa (Manu, 1998: 136-146). Di Indonesia cerita Rāma
digubah ke dalam Kakawin Rāmāyaņa maupun terpatri pada
relief di candi Prambanan dan candi Panataran. Relief cerita
Ramayana di candi Prambanan rupanya lebih dekat dengan Sĕrat
Rama Kĕling, adapun relief di candi Panataran dekat dengan
Kakawin Rāmāyaņa. Dari berbagai penelitian para ahli teks,
Kakawin Rāmāyaņa diperkirakan digubah pada abad IX Masehi
(820-832 Ç atau 898-910 M), ketika kekuasaan rajawi masih
5 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
berpusat di Jawa Tengah. Berdasarkan penelitian Himansu
Bhusan Sarkar, Manomohan Ghosh, Camille Blucke, dan
Hooykaas, diketahui bahwa sumber penulisan Kakawin
Rāmāyaņa adalah Rāvaņavadha karya Bhaţţikâvya
(Poerbatjaraka, 1957: 2-3; Surjohudojo, 1961: 11-12;
Darusuprapta, 1963: 53-56; Padmapuspita, 1979: 3; Zoetmulder,
1983: 288-290; Manu, 1998: 137; Somvir, 1998: 19-20). Berkait-
an dengan penulisan Kakawin Rāmāyaņa, pada mulanya para
sarjana, seperti: Kern, Juynboll, Berg, dan Hooykaas, mengikuti
anggapan umum di Bali (misalnya Ktut Ginarsa) bahwa penulis
Kakawin Rāmāyaņa adalah Yogīśwara (Darusuprapta, 1963: 60).
Baris kalimat yang memuat kata yogīśwara tersebut berbunyi:
"Sang yogīśwara çişţa sang sujana çuddha manahira huwus
mace sira", yang artinya sang yogīśwara (pendeta besar) menjadi
sangat pandai dan sang sujana (orang baik) menjadi bersih
hatinya setelah membacanya (Rāmāyaņa ini) (Darusuprapta,
1963: 60). Oleh karena itu Poerbatjaraka menegaskan bahwa kata
yogīśwara harus diartikan sebagai 'pendeta besar', bukan
menunjuk pada penulis Kakawin Rāmāyaņa, sebagaimana
anggapan yang terbiasa di Bali.
Meskipun demikian Somvir (setelah 40 tahun kemudian)
mengharapkan bahwa Yogīśwara sebagai pencipta Kakawin
Rāmāyaņa menurut tradisi Bali selama ini dapat diterima
(Somvir, 1998: 20). Somvir menyatakan pula bahwa
pertimbangan utama Yogīśwara dalam memilih Bhaţţikâvya
adalah bahwa penyair Bhaţţi tergolong ke dalam sekte Shiwa.
Shiwaisme adalah sekte tertua yang dapat dibuktikan jejaknya
lewat penempatan dewa-dewa penting yang memakai atribut-
atribut Shiwa di candi Prambanan. Tradisi Shiwaisme itulah
kiranya yang mendorong Yogīśwara untuk memilih Bhaţţikâvya
sebagai sumber penggubahan Kakawin Rāmāyaņa (Somvir,
1998: 20-21).
Dalam kaitannya dengan penulis dan saat penulisan Kakawin
Rāmāyaņa menurut tradisi Bali, Padmapuspita menjelaskan
beberapa alasan mengapa di dalam tradisi Bali penulisan Kakawin
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 6
Rāmāyaņa adalah pada tahun 1016 Ç (1094 M) oleh Yogīśwara.
Rangkaian kata-kata "çişţa sujana çuddha manahira" itu
dianggap memuat sengkalan yang menunjuk tahun 1016 Ç.
Dalam hal ini kata çişţa = 6; sujana = 1; çuddha = 0; manah = 1.
Jadi 6101 atau tahun 1016 Ç (Padmapuspita, 1979: 13). Akan
tetapi dalam koreksinya, Padmapuspita lebih cenderung
menyetujui bahwa sengkalan di atas menunjuk tahun 1018 Ç
(1096 M), karena kata çişţa yang artinya 'terpelajar' atau 'pandai'
diberi arti '8', sama dengan pendeta. Padmapuspita juga
menemukan adanya kata "guna" sampai tiga kali (triguna) dari
bait penutup dalam Kakawin Rāmāyaņa tersebut. Karena itu
Padmapuspita menawarkan pandangannya bahwa kemungkinan
penulis Kakawin Rāmāyaņa adalah Mpu Triguna, semasa
pemerintahan Çri Jayawarsa Digwijaya Çastra Prabu, yang
memerintah tahun 1026 Ç (1104 M). Walaupun demikian,
Padmapuspita juga sependapat dengan Poerbatjaraka, bahwa
yogīśwara bukanlah nama orang, melainkan sebutan
penghormatan, seperti halnya kata yogīndra yang diberikan
kepada Wālmīki. Bhaţţi sendiri (pengarang Rāvaņavadha)
diperkirakan merupakan nama samaran Bhartrhari. Dalam hal ini
kata bhaţţi dapat dihubungkan dengan kata bhaţţa, sebutan untuk
sarjana besar, semacam penulisan gelar Doktor yang disingkat Dr.
(Padmapuspita, 1979: 14-15).
Dalam perkembangannya Kakawin Rāmāyaņa digubah dalam
kesastraan Jawa Baru dengan judul Sĕrat Rama oleh pujangga
R.Ng. Yasadipura I (Poerbatjaraka, 1957: 152; Darusuprapta,
1963: 43; Ricklefs, 1997: 276). Kakawin Rāmāyaņa juga
digubah oleh R.Ng. Yasadipura II menjadi Sĕrat Arjuna
Sasrabahu, baik yang berbentuk tembang macapat maupun yang
berbentuk Kawi miring, serta juga digubah oleh Sindusastra
menjadi Sĕrat Arjunasasra atau Sĕrat Lokapala (Mc. Donald
dalam Manu, 1998: 138).
Bila cerita dalam Rāmāyaņa dan Mahābhārata yang di India
seperti tidak ada hubungannya satu sama lain, maka di Jawa
kedua tradisi tersebut dicoba dihubungkan, terutama dalam
7 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
pewayangan. Misalnya tampak pada cerita Wahyu Makutharama
(Ki Siswaharsaya), Sĕrat Kandha Lampahan Jayasĕmadi, Sĕrat
Kandha Lampahan Sĕmar Boyong, Sĕrat Kandha Lampahan
Rama Nitis, Arjuna Krama, Lampahan Wahyu Tunggul Naga,
dan sebagainya.
Sĕrat Pustakaraja
Sebelum dikemukakan jejak cerita Rāma dalam Sĕrat
Pustakaraja, akan dikemukakan secara sepintas tentang karya
tersebut. Sĕrat Pustakaraja adalah karya agung dan merupakan
puncak karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita, disamping Sĕrat
Ajipamasa maupun Sĕrat Witaradya. Bedanya, kalau Sĕrat
Pustakaraja berbentuk prosa, maka Sĕrat Ajipamasa dan Sĕrat
Witaradya berbentuk puisi Jawa Baru (Macapat). Disebut
Pustakaraja karena karya ini dijadikan kitab pedoman bagi
seorang Raja (pakĕmipun panjĕnĕngan nata). Pustakaraja dapat
juga diartikan 'Rajanya Kitab', karena merupakan kitab yang
terkemuka dan menjadi induk segala kitab cerita Jawa (Sĕrat
Raja, amargi dados tĕtunggul tuwin dados baboning Sĕrat
cariyos Jawi) (Ranggawarsita, 1938: 7).
Sĕrat Pustakaraja dapat dibagi menjadi 2, yaitu Sĕrat
Pustakaraja Purwa dan Sĕrat Pustakaraja Puwara. Sĕrat
Pustakaraja Purwa dibagi menjadi beberapa kelompok besar,
yaitu:
1. Sĕrat Maha Parwa, meliputi: a. Sĕrat Purwa Pada; b. Sĕrat
Sabaloka.
2. Sĕrat Maha Déwa, meliputi: a. Sĕrat Déwa Buddha; b. Sĕrat
Dewa Raja.
3. Sĕrat Maha Rĕsi, meliputi: a. Sĕrat Rĕsi Kala; b. Sĕrat
Buddha Krĕsna.
4. Sĕrat Maha Raja, meliputi: a. Sĕrat Raja Kanwa; b. Sĕrat
Palindria; c. Sĕrat Silacala; d. Sĕrat Sumanasantaka.
5. Sĕrat Maharata, meliputi: a. Sĕrat Dyitayama; b. Sĕrat
Tritarata; c. Sĕrat Sindula; d. Sĕrat Rukmawati; e. Sĕrat Sri
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 8
Sadana.
6. Sĕrat Maha Tantra, meliputi: a. Sĕrat Sri Kala; b. Sĕrat Raja
Watara; c. Sĕrat Crita Kaprawa; d. Sĕrat Ariawanda; e.
Sĕrat Para Patra.
7. Sĕrat Maha Putra, meliputi: a. Sĕrat Mahandya Purwa; b.
Sĕrat Suktinawyasa; c. Sĕrat Hariwangsa; d. Sĕrat Darma
Sarya; e. Sĕrat Kumbayana; f. Sĕrat Wanda Laksana; g.
Sĕrat Darma Mukta; h. Sĕrat Drĕta Nĕgara.
8. Sĕrat Maha Dharma, meliputi: a. Sĕrat Kuramaka; b. Sĕrat
Smara Dahana; c. Sĕrat Ambarawaja; d. Sĕrat Krida
Krĕsna; e. Sĕrat Kunjarakarna; f. Sĕrat Kunjara Krĕsna; g.
Sĕrat Partayagnya; h. Sĕrat Manik Harya Purwaka; i. Sĕrat
Sumantri Parta; j. Sĕrat Dĕwa Ruci; k. Sĕrat Parta
Wiwaha/Mintaraga; Sĕrat Indra Naraga; m. Sĕrat Urubaya;
n. Sĕrat Domantara; o. Sĕrat Bomantaka; p. Sĕrat
Baratayuda; q. Sĕrat Kirimataya; r. Sĕrat Darmasarana; s.
Sĕrat Yudhayana.
Sĕrat Pustakaraja Puwara juga dibagi menjadi beberapa
kelompok besar, yaitu:
1. Sĕrat Maha Parma, meliputi; a. Sĕrat Budhayana; b. Sĕrat
Sariwahana; c. Sĕrat Purusangkara; d. Sĕrat Partakaraja; e.
Sĕrat Ajidharma; f. Sĕrat Ajipamasa.
2. Sĕrat Maharaka, meliputi; a. Sĕrat Witaradya; b. Sĕrat
Purwanyana; c. Sĕrat Bandawasa; d. Sĕrat Déwatacèngkar.
3. Sĕrat Maha Prana, meliputi: a. Sĕrat Widayaka; b. Sĕrat
Danèswara; c. Sĕrat Jaya Lĕngkara; d. Sĕrat Dharma
Kusuma; e. Sĕrat Catasi Panuaka.
4. Sĕrat Maha Krasma, meliputi: a. Sĕrat Surya Wisésa; b.
Sĕrat Raja Sunda; c. Sĕrat Madu Sudana; d. Sĕrat Panca
Prabanggana.
5. Sĕrat Maha Kara, meliputi: a. Sĕrat Mundingsari; b. Sĕrat
Raja Purwaka; c. Sĕrat Maha Kara.
9 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
6. Sĕrat Maha Para (Ranggawarsita 1938: 10-49; Sri
Mulyono, 1989: 191-200; Tedjowirawan, 2008: 84-86).
Dalam Kepustakaan Jawa (1957), Poerbatjaraka menilai
bahwa Kitab (Sĕrat) Pustakaraja pada pokoknya digubah
berdasarkan kitab-kitab lakon wayang, pendengaran R. Ng.
Ranggawarsita tentang cerita-cerita dari temannya, dan dongeng-
dongeng yang pada waktu itu sudah ada. Semuanya itu diubah
dan ditambah oleh R. Ng. Ranggawarsita menurut kehendak
hatinya. Lebih jauh Poerbatjaraka menyatakan bahwa:
“Walau bagaimanapun juga keadaannya, dengan pendek
Kitab Pustakaraja itu sebagian besar hanya berisi “omong
kosong” belaka daripada R.Ng. Ranggawarsita. Kitab-kitab
yang disebut di dalam Kitab Pustakaraja, itu seperti kitab-
kitab Maha Parwa, Purwa Pada, Sabaloka, Maha Déwa,
Maha Rĕsi, dan sebagainya, itu sebenarnya tidak ada dan
tak pernah ada.” (Poerbatjaraka, 1957: 186).
C.C. Berg dalam Penulisan Sejarah Jawa (Javaansche
Geschiedschrijving, dalam geschiedenis van Nederlands Indie,
1938) mengakui bahwa pihak Barat belum memberikan perhatian
yang berarti terhadap Pustakaraja, namun diakui bahwa R.Ng.
Ranggawarsita mempunyai pergaulan dengan ahli-ahli ilmu
bahasa dan kebudayaan Jawa yang berkebangsaan Barat.
Selanjutnya dikatakan bahwa R.Ng. Ranggawarsita dalam
menulis karyanya menempuh jalan baru dan untuk memperoleh
bahan-bahan ia menggali sumber-sumber baru. Akhirnya
dikatakan juga bahwa R.Ng. Ranggawarsita (ternyata)
mencurahkan amat banyak perhatian untuk menentukan tarikh
peristiwa-peristiwa yang dibukukannya. Ia selalu memberikan
dua tarikh, yang satu menurut tahun Syamsiah dan yang satu lagi
menurut tahun Komariyah. Berdasarkan kenyataan itu bukan
mustahil bila sesungguhnya R.Ng. Ranggawarsita bermaksud
untuk menulis sejarah menurut tanggapan Barat. Bahwa usahanya
tersebut tidak berhasil tidaklah penting. Apabila R.Ng.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 10
Ranggawarsita bermaksud mencari nama sebagai ahli sejarah
pertama yang beraliran modern, maka kiranya kita harus
membedakan karyanya dengan karya rekan-rekannya yang
terdahulu, karena yang disebut belakangan ini (R.Ng.
Ranggawarsita) bukanlah orang yang mempelajari ilmu sejarah,
akan tetapi pendeta-pendeta magi sastra, pujangga dalam arti
yang asli, “manusia ular”. Di sini C.C. Berg hanya dapat
mengemukakan tidak lebih dari perkiraan-perkiraannya (Berg,
1974: 87).
Pigeaud dalam Literature of Java Volume I (1967)
menyatakan:
“Rangga Warsita‟s books on mythology and ancient history,
which he called Pustaka Raja, Books of Kings, impress the
reader in a remarkable way.
The events of myth and epic history are dated consecu-tively
according to a chronology, solar and lunar years, of Rangga
Warsita‟s own invention, and so the Pustaka Raja makes an
impression of being historically reliable, which it is not.
Rangga Warsita‟s chronicles of creation, cosmogony, myth
and epics have parallels in the literatures of other peoples.
His, at first sight preposterous, idea of dating all tales is to
be considered as a consequence of his thoroughly Javanese
belief in an all pervading Order, which should also be made
visible in myth and ancient history” (Pigeaud, 1967: 170).
Menurut Sri Mulyono, Sĕrat Pustakaraja, khususnya Sĕrat
Pustakaraja Purwa, adalah hasil saduran kembali cerita dalam
Mahābharāta dengan berbagai adaptasi dan inovasi. Sĕrat
Pustakaraja Purwa seringkali dikatakan sebagai suatu penulisan
baru mengenai sumber-sumber cerita wayang (penulisan cerita
Mahābharāta versi Indonesia) (Mulyono, 1989: 202). Sĕrat
Pustakaraja isinya sudah menyimpang dan berbeda jauh dengan
Ramāyāna maupun Mahābharāta. Keanehan dalam Sĕrat
Pustakaraja tersebut justru sering dinilai “sangat menakjubkan”
11 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
sehingga para sarjana berkesimpulan bahwa kitab tersebut adalah
wishfull thinking pujangga R.Ng. Ranggawarsita sendiri. Di
samping itu salah satu maksud tujuan disusunnya Sĕrat
Pustakaraja adalah untuk mendidik anak cucu dengan
mengajarkan sejarah kepahlawanan leluhurnya. Selain itu yang
terpenting dari segala uraian karya-karya pujangga R.Ng.
Ranggawarsita (Sĕrat Pustakaraja) adalah menempatkan jatining
panembah, yaitu memberikan penerangan bahwa dewa-dewa
(para Jawata) yang diartikan sebagai nenek moyang orang Jawa
itu bukanlah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, tetapi
hanya sebagai titah biasa (Mulyono, 1989: 202; Wiryamartana,
1980: 2).
Jejak Cerita Rama dalam Serat Pustakaraja
Di dalam Sĕrat Pustakaraja jejak cerita Rāma terdapat di dalam:
1) Sĕrat Rukmawati bagian kelompok Kitab Maharata (bagian
Pustakaraja Purwa), 2) Sĕrat Suktinawyasa bagian Sĕrat
Mahapatra (bagian Pustakaraja Purwa), 3) Sĕrat Prabu
Gendrayana yang dapat disejajarkan dengan Sĕrat Budhayana
sehingga dapat dimasukkan ke dalam kelompok Sĕrat Maha
Parma (bagian Sĕrat Pustakaraja Puwara), 4) Sĕrat
Purusangkara maupun Sĕrat Mayangkara yang dapat
dimasukkan ke dalam kelompok Sĕrat Maha Parma (bagian Sĕrat
Pustakaraja Puwara).
Adapun jejak cerita Rāma dalam Serat-Serat di atas dapat
dikemukakan sebagai berikut:
Cerita Rāma dalam Sĕrat Rukmawati
Pujangga R. Ng. Ranggawarsita di dalam Sĕrat Pustakaraja
menyatakan:
Sĕrat Rukmawati, wiyosipun punika cariyos lalampahan-
ipun Dèwi Rukmawati, putranipun Sang Hyang Anantaboga
anggènipun amĕmĕca saha mitulungi sarana dha-tĕng
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 12
sadhĕngaha ingkang nĕdha tulung. Kaanggit dé-ning Mpu
Sindura ing Mamĕnang, panganggitipun anuju ing taun
Suryasangkala 853, kaétang ing taun Candra-sangkala
amarĕngi 879 (Ranggawarsita, 1938: 17).
(Sĕrat Rukmawati, inilah cerita kisah perjalanan hidup Dewi
Rukmawati, putra Sang Hyang Anantaboga ketika
meramalkan dan menolong memberikan jalan (petunjuk)
kepada siapapun yang meminta pertolongan (padanya).
Dikarang oleh Mpu Sindura di Mamenang, penggubahannya
pada tahun Suryasangkala 853, dihitung (ber-dasarkan)
tahun Candrasangkala bertepatan tahun 879).
Adapun cerita dalam Sĕrat Rukmawati dimulai dari tahun
Suryasangkala 453 (Uninga – marganing – yoga) atau terhitung
tahun Candrasangkala 467 (Rĕsi – rasaning – catur) sampai
dengan tahun Suryasangkala 456 (Karasa – marganing – dadi)
atau terhitung tahun Candrasangkala 470 (Kagunturan – sabda –
pakarti – muluk) (Kamajaya, 1994: 33).
Dikemukakan dalam Sĕrat Rukmawati bahwa pada waktu itu
pulau Jawa masih bersatu dengan Bali, Madura dan Sumatra. Di
Jawa ada empat raja: (1) Prabu Brahmanaraja (putra Sang Hyang
Brahma), kerajaannya di Gilingwĕsi tanah Prayangan (Priangan).
(2) Prabu Sri Mahapunggung, kerajaannya di Purwacarita,
termasuk tanah Kendal atau Pekalongan. (3) Prabu Basurata
kerajaannya di Wiratha yang pertama di tanah Tegal. Prabu Sri
Mahapunggung dan Prabu Basurata adalah putra Sang Hyang
Wisnu. (4) Sri Maharaja Sindhula (putra Prabu Watugunung),
kerajaannya di Medanggalungan tanah Pekalongan
(Ranggawarsita, 1939: 2-3; Kamajaya 1994: 2). Pada waktu itu
bidadari bernama Dewi Rukmawati, putra Sang Hyang
Anantaboga, turun ke dunia dan berdiam di pertapaan di Gunung
Mahendra (Gunung Lawu) di tanah Surakarta. Dewi Rukmawati
dengan ketajaman penglihatan batinnya sering meramal dan
menolong orang yang sedang bersedih sehingga ia termashur
13 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
sampai ke mancapraja (mancanegara). Pada waktu itu Prabu
Basurata mendapat ilham dalam mimpinya bahwa ia hendaknya
mencari cara agar mendapatkan putra. Ilham raja tersebut
disampaikan kepada para pertapa. Resi Wisama (putra Bathara
Laksmana) cucu Sang Hyang Resi Wismana, cicit Sang Hyang
Pancaresi, menyarankan agar Prabu Basurata meminta petunjuk
kepada Dewi Rukmawati di Gunung Mahendra. Prabu Basurata
dengan diiringi Resi Wisama kemudian pergi berkunjung ke
Gunung Mahendra. Oleh Dewi Rukmawati, Prabu Basurata
disarankan agar pergi ke hutan Madura di tanah Hindi, termasuk
dalam wilayah negara Ngayodya, sebab di sana terdapat Jamur
Dipa yang tumbuh dari abu Rĕsi Anggira atau yang juga disebut
juga Maharesi Paspa. Konon terjadinya abu tersebut bermula
ketika Rĕsi Anggira yang dari kanak-kanak sampai tua
melakukan tapa brata, sehingga didatangi Sang Hyang Jagadnata
untuk memberikan anugerah. Permintaan Rĕsi Anggira adalah
bahwa hendaknya telapak tangannya memiliki kesaktian yang
luar biasa sehingga apa yang diraba, terutama kepala seseorang,
seketika akan menjadi abu. Permintaan itu dikabulkan oleh Sang
Hyang Jagadnata, akan tetapi Rĕsi Anggira ingin mencoba
kesaktian telapak tangannya dengan meraba kepala Sang Hyang
Jagadnata. Sang Hyang Jagadnata menolak, tetapi terus dikejar
oleh Rĕsi Anggira. Sang Hyang Jagadnata kemudian lenyap dan
tidak berapa lama muncullah Sang Hyang Wisnu menyamar
sebagai seorang wanita yang sangat cantik bernama Dewi
Anggarini. Ketika Rĕsi Anggira mencoba merayu dan ingin
mencumbu Dewi Anggarini maka ia disarankan untuk mandi
keramas dahulu. Ketika membersihkan rambutnya, Rĕsi Anggira
lupa bahwa tangannya sudah memiliki kesaktian yang dahsyat,
sehingga akhirnya ia sendiri yang menjadi abu. Karena berujud
abu ia juga disebut Maharsi Paspa. Di dalam abu tersebut
kemudian tumbuhlah jamur yang terkenal sebagai Jamur Dipa
yang dapat menjadi sarana untuk mendapatkan seorang putera
yang istimewa. Karena itu Prabu Basurata disarankan untuk
mengambil/memetik Jamur Dipa ke hutan Madura di tanah India
(Ranggawarsita, 1939: 12-14; Kamajaya, 1994: 3-10). Di dalam
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 14
Sĕrat Pustakaraja kisah mengenai Rĕsi Anggira (Maharsi Paspa)
yang menjadi Jamur Dipa dapat dilihat pada kutipan berikut:
Sarĕng ing wanci bangun énjing Dèwi Rukmawati
amanggihi Prabu Basurata, aturipun Dèwi Rukmawati:
'Kakang Prabu, mĕnggah ingkang dados karsa paduka angudi
wĕkasing tumuwuh ambabarakĕn wiji punika, sampun rinilan
déning Sang Hyang Wisésa, nanging wontĕn sarananipun;
panggénanipun sarana dumunung wontĕn sabrang ing wana
Madura tanah Hindi, talatahipun nagarai Ngayodya.'
Ing ngrika wontĕn Jamur-dipa, kadadosan awunipun Rĕsi
Anggira, ugi sinĕbat nama Maharsi Paspa. Déné dados awu,
bubukanipun makatĕn: „Kala ing kina Rĕsi Anggira punika
tatapa sangkaning raré ngantos sĕpuh. Kala semantĕn nuju
dhatĕng kanugrahanipun Rĕsi Anggira katĕdhakan Sang
Hyang Jagadnata. Pangandikanipun Sang Hyang Jagad-nata:
„Heh Anggira sutaning Sakru, putuning Sakutri, ba-ngĕt tĕmĕn
ĕggonnira kapati-brata, apa kang dadi sĕdyanira ing mĕngko
sayĕkti sun-turuti‟
Aturing Rĕsi Anggira: „Dhuh Pukulun Kang Binathara Ing
Jagad, mugi kasĕmbadanana ing panuwun-amba. Èpèk-èpèk
amba kalih pisan punika kaparingan kamayan tiksna, menawi
anggĕpok utamangganing dumadi ingkang amba grayang
sirahipun wau, sagĕda lajĕng dados awu sami sanalika.‟
Sang Hyang Jagadnata angandika: „Lah iya ingsun wus
anĕmbadani.‟ Rĕsi Anggira umatur: 'Dhuh Pukulun,
sarèhning sampun kasĕmbadan ing sapanuwun amba, kawula
kamipurun anunuwun tandha, manawi amarĕngakĕn kawula
kalilana anggrayang mustaka paduka.‟
Sang Hyang Jagadnata botĕn amarĕngi, nanging Rĕsi
Anggira adrĕng badhé pari-pĕksa. Sarèhning tĕdhakipun Sang
Hyang Jagadnata botĕn wontĕn ingkang ndhèrèkakĕn, Sang
Hyang Jagadnata lumajĕng, lajĕng binujĕng. Sarĕng mèh
kacandhak, Sang Hyang Jagadnata lajĕng muksa. Botĕn
watawis dangu, rama paduka Sang Hyang Wisnu tumurun
mimindha pawèstri langkung éndah ing warni. Rĕsi Anggira
15 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
sarĕng aningali langkung kasmaran, lajĕng pitakèn nam-
anipun. Rama-paduka angakĕn nama Dèwi Anggarini. Rĕsi
Anggira botĕn darana Dèwi Anggarini lajĕng rinarurum
ingarih-arih. Dèwi Anggarini darbé panĕdha, sarèhning Rĕsi
Anggira mĕntas tapa lami, kinèn adus karamas rumiyin.
Manawi sampun suci badan, sumanggèng karsa. Rĕsi Ang-
gira langkung suka lajĕng dhatĕng ing lèpèn sumĕdya adus
karamas. Saking déné srĕnging karsa, supé bilih tanganipun
kadunungan kamayan tiskna. Sarĕng karamas tanganipun
kadamĕl anguyĕg sirah, sami sanalika wau Rĕsi Anggira la-
jĕng dados awu, Dĕwi Anggarini uninga manawi Rĕsi Ang-
gira pĕjah dados awu, lajĕng wangsul warni Sang Hyang
Wisnu malih, sarwi angandika makatĕn: „Hèh Rĕsi Anggira
ing mĕngko sira nĕmu wĕwĕlèh dadi awu dhéwé. Sira mari
aran Rĕsi Anggira, sayĕktiné ing mĕngko sira aran Maharsi
Paspa, awit sira wujud awu.' Sasampunipun ngandika
makatĕn, rama-paduka Sang Hyang Wisnu muksa. Punika
kakang Prabu, bubukanipun ing kina. Ing mangké awu wau
cukul jamuripun katĕlah sinĕbut Jamur-dipa. Kathah ing-kang
sami ngupados badhé kadamĕl sarananipun tiyang ig-kang
sumĕdya angudi wĕkasing tumuwuh ambabarakĕn wiji.
Pada waktu itu di negeri Ayodya Prabu Dasarata menjadi raja.
Di dalam Sĕrat Rukmawati sosok Prabu Dasarata dan keadaan
kerajaan Ayodya digambarkan sebagai berikut:
... gĕntos kacariyos, nagari ing Ayodya, ing nalika punika
ingkang jumĕnĕng nata ajujuluk Prabu Dhasarata,
tĕrahipun Ikswaku, ratu limpad ing Sĕrat Wéddha, akaliyan
Sĕrat Weddhangga, sidik ing paningal, bijaksana,
mandraguna sinĕkti, kinèdhĕpan samaning tumuwuh, putus
dhatĕng kawajiban suci. Ratu pinandhita, mèh anyamèni
para maharsi, kĕkah ing adilipun, kawasa amĕnggak budi
hawanipun, saking anggènipun mungkul ing katĕmĕnan
sarta anĕtĕpi agami tigang prakawis.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 16
Kautaman tuwin kaluhuranipun sang nata misuwur ing
jagad titiga, prasasat sami akaliyan para déwa. Lulus tata-
raharjaning praja. Ing kitha wau titiyangipun sami bĕgja,
botĕn wontĕn tiyang bodho, botĕn wontĕn tiyang kĕsèd,
botĕn wontĕn tiyang musakat, botĕn wontĕn tiyang awon
warninipun. Botĕn wontĕn tiyang ingkang drĕngki, botĕn
wonten tiyang ingkang tanpa aji. Botĕn wontĕn tiyang
ingkang awon griyanipun, botĕn wontĕn tiyang ingkang alit
manahipun, botĕn wontĕn tiyang cĕlak umuripun. Botĕn
wontĕn tiyang sakĕdhik anakipun, botĕn wontĕn tiyang
murtad, botĕn wontĕn tiyang ingkang botĕn nĕtĕpi wajibing
ngagĕsang. Tiyangipun èstri sami éndah-éndahing warni,
tani-tani sarta bĕkti-bĕkti ing laki, botĕn wontĕn tiyang
ingkang manganggé lungsĕd. Sawarninipun tiyang sami
busana adi-adi ingkang rinĕngga ing kancana sosotya
nawarĕtna, sarwi agaganda amrik arum. Kitha wau rinĕksa
ing prajurit éwon, anggigirisi kados latu murub, sarta botĕn
saged kawon pĕrang. Para nayakanipun sang Prabu
cacahipun wowolu, ingkang sampun misuwur ing
kautamanipun, bijaksana, sami limpad ing kawruh wéddha,
putus dhatĕng wajib pangĕrèhing praja, botĕn pĕgat
anggĕnipun ambudi wĕwahing kaluhuraning ratunipun.
( ... kemudian diceritakan, nagari di Ayodya, pada waktu
itu yang menjadi raja bergelar Prabu Dasarata, keturunan
Ikswaku, raja yang (telah) ahli dalam Sĕrat Wéddha dan
Sĕrat Wéddhangga, tajam penglihatannya, bijaksana, sangat
sakti, disegani oleh sesama makhluk, putus (mumpuni)
dalam hal kewajiban suci. Raja (yang bersifat) pendeta,
hampir menyamai para maharsi, kokoh dalam keadilan,
kuasa menahan hawa nafsunya, karena dia (baginda) (sudah)
tekun dalam kelurusan hati (kejujuran) serta menepati agama
3 macam.
Keutamaan serta keluhuran sang raja termashur di tiga
dunia, bagaikan sama dengan para dewa. Mumpuni
17 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
mengatur keselamatan dan kesejahteraan negara. Di dalam
kerajaan tersebut rakyatnya semua bahagia, tidak ada orang
yang bodoh, tidak ada orang yang malas, tidak ada orang
yang hina, tidak ada orang yang buruk wajahnya. Tidak ada
orang yang dengki, tidak ada orang yang tanpa harga diri.
Tidak ada orang yang buruk rumahnya, tidak ada orang
yang kecil hatinya, tidak ada orang yang pendek umurnya.
Tidak ada orang yang sedikit anaknya, tidak ada orang yang
murtad, tidak ada orang yang tidak menepati kewajiban
hidupnya. Para perempuannya semua cantik-cantik parasnya,
para petani (perempuan) pada berbakti pada suaminya, tidak
ada orang yang berpakaian lusuh. Semua orang pakaiannya
indah-indah yang dihiasi dengan emas intan permata, serta
berbau harum semerbak. Kota tersebut dijaga oleh ribuan
prajurit, menakutkan seperti api yang menyala serta tidak
terkalahkan dalam perang. Para pemimpin sang Prabu
berjumlah 8, (mereka) sudah termashur keutamaannya,
semua ahli dalam ilmu Wédha, putus (ahli) dalam hal tata
pemerintahan negara, tidak henti-hentinya dalam berusaha
menambah keluhuran rajanya).
Prabu Dasarata pada waktu itu juga menginginkan memiliki
putra yang termashur di dunia karena pada waktu itu baginda
belum berputra. Para pendeta menyarankan agar Prabu Dasarata
mengadakan upacara (sedekah) Aswameda di hutan Madura di
dekat sungai Sarayu. Sewaktu perlengkapan persembahan sudah
siap, Prabu Dasarata mendapat petunjuk dewa bahwa ia
hendaknya menunggu kedatangan putra Sang Hyang Wisnu.
Kedatangan Prabu Basurata di hutan Madura disambut dengan
gembira oleh Prabu Dasarata di Ayodya, bersama para raja di
kerajaan Prawa, Mantili, dan Malawa. Ketika persembahan
Aswameda tersebut dilakukan, Bathara Prayapati (Sang Hyang
Jagadnata) yang diiringi para dewa sangat berkenan. Para dewa
kemudian mengusulkan kepada Bathara Prayapati agar
memberikan putra sebagai titisan Dewa Wisnu kepada Prabu
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 18
Dasarata. Hal ini dimaksudkannya agar putra Prabu Dasarata
kelak dapat membunuh raja raksasa, Rahwana, yang sangat
termashur kesombongannya dan sebagai perusak segala yang
tumbuh (Ranggawarsita, 1938: 24-29; Kamajaya, 1994: 14-18).
Prabu Basurata dan Prabu Dasarata serta para raja lainnya
kemudian mendekati Jamur Dipa yang terlihat menyala-
nyala. Jamur Dipa tersebut kemudian berubah menjadi seperti
mustika. Bathara Wisnu kemudian memberi Payasa yang
ditempatkan di atas jamur tersebut. Payasa adalah makanan para
dewa yang sangat lezat. Kepada kedua raja tersebut Bathara
Wisnu menyatakan bahwa keduanya diperbolehkan mengambil
Payasa yang terletak di Jamur Dipa untuk dimakan bersama
istrinya, niscaya kedua raja tersebut akan memperoleh putra yang
utama. Prabu Dasarata dan Prabu Basurata kemudian mengambil
Japur Dipa dan Payasa untuk kemudian dimakan bersama
permaisuri mereka. Beberapa waktu kemudian para istri Prabu
Dasarata hamil. Di dalam Sĕrat Rukmawati prosesi ritual agung
Asmaweda tersebut diuraikan sebagai berikut:
... Sarĕng sampun rĕrĕm sawatawis dintĕn, Prabu
Dhasarata dhawuh angawiti pakurmataning sidhĕkah nĕtĕpi
ingkang kasĕbut ing sastra tuwin adat waton. Ingkang dados
pangagĕng tumandang pangruktining sidhĕkah Rĕsi
Srĕngga. Wujudipun sidhĕkah, barang pèni raja pèni,
tĕtĕdhan awarni-warni, amĕpĕki, sabarang ingkang
kinarsakakĕn wontĕn.
Kalanipun Prabu Dhasarata anggĕlarakĕn sidhĕkah,
saking katrimahing sidhĕkahipun, Sang Hyang Jagadnata
ingkang ugi sinĕbut Bathara Prayapati, anĕdhaki dhatĕng
panggènan sidhĕkah kadhèrèkaken para déwa. Sarĕng para
déwa aningali sidhĕkahipun Prabu Dhasarata ingkang
tanpa timbang, sami matur dhatĕng Bathara Prayapati,
mugi kaparĕnga amaringi putra dhatĕng Prabu Dhasarata
saha mugi andhawuhna dhatĕng Bathara Wisnu, anjanma-a
ing putranipun Prabu Dhasarata, sagĕda anyimakakĕn
19 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
ratuning danawa ingkang nama Rahwana, ingkang
sakalangkung kumalungkung dados gĕgĕlahing bumi,
angrisak samining tumuwuh. Bathara Pryapati amarĕngi
panuwun wau.
Sasampunipun sidhĕkah, Prabu Basurata akaliyan Prabu
Dhasarata tuwin para ratu sami anĕdhaki panggènanipun
Jamur-dipa. Jamur-dipa katinggal murub angkara-kara.
Sarĕng Prabu Basurata, Prabu Dhasarata anyĕlaki, urubing
Jamur-dipa sirĕp. Karsaning déwa angkĕripun Jamur-dipa
dados cabar, jamur katingal amaya-maya kados musthika.
Bathara Wisnu lajĕng amaringi "Payasa" kadunungakĕn
sanginggiling jamur. Payasa wau dhaharipun para déwa
ingkang raosipun sakalangkung éca. Bathara Wisnu
angatingal sarwi angandika: „Hé ratu sudibya, kaki Prabu
Basurata lan kaki Prabu Dhasarata, sira ingsun wĕnangaké
ngalap Payasa kang dumunung ing Jamur-dipa iku. Banjur
sira pangana lan somahira. Panganan iku kang dadi
jalarané sira padha kasinungan suta, agawé undhaking
kautaman lan kamulyan‟.
Prabu Basurata, Prabu Dhasarata, andhĕku sumĕmbah
ing Sang Hyang Wisnu, lajĕng sami mundhut Payasa
ingkang dumunung ing Jamur-dipa, pinundhi ing mastaka,
dalah Jamur-dipa ugi kapundhut. Sang Hyang Wisnu muksa.
Ratu kalih lajĕng kondur dhatĕng pasanggrahan. Payasa
ingkang kapundhut Prabu Dhasarata, tumuntĕn kadhahar
akaliyan pramèswari nata titiga. Jamur-dipa dipun dum
waradin dhatĕng para ratu. Pamukartaning sidhĕkan
kĕndĕl.
Para ratu tuwin para rĕsi, para brahmana sapanung-
gilanipun, sasampunipun anampèni pandumaning sidhĕkah,
lajĕng sami bibaran. Prabu Dhasarata dalah pramèswari
nata kondur dhatĕng praja. Prabu Basurata kaaturan tĕdhak
kampir dhatĕng Ayodya. Naréndra ing Mantili, ing Malawa,
ing Prawa, sami tumutur angurmati. Sarawuhipun ing
Ayodya langkung sinuba-suba....
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 20
Beberapa waktu kemudian Prabu Basurata, sekembalinya ke
Wiratha, memperlihatkan Jamur Dipa dan Payasa tersebut
kepada Dewi Rukmawati. Dewi Rukmawati melihat bahwa di
dalam Jamur Dipa terdapat 2 rajah, yaitu rajah Purusa dan rajah
Kani. Menurut Dewi Rukmawati bahwa Prabu Basurata kelak
akan berputra raja besar serta seorang putri yang nantinya juga
menurunkan raja besar. Jamur Dipa tersebut kemudian dipuja
Dewi Rukmawati berubah menjadi buah-buahan disebut buah
Wipula. Payasa dan buah Wipula kemudian diminta untuk
dimakan Prabu Basurata bersama permaisuri Dewi Brahmaniyuta
(Ranggawarsita, 1938: 28-32; Kamajaya, 1994: 18-21).
Pada tahun Wiya terhitung tahun 454 (Suryasangkala) dengan
sĕngkalan: Dadi-tataning-pakarti atau tahun 468 (Candra-
sengkala) dengan ditandai sĕngkalan: Sarira-angrasa-suci.
Bertepatan masa Manggakala, permaisuri Dewi Brahmaniyuta
melahirkan putra laki-laki diberi nama Raden Brahmaneka,
sementara itu di kerajaan Ngayodya permaisuri Prabu Dasarata
pun melahirkan putra. Dewi Kusalya berputra Rama, Dewi
Kekayi berputra Bharata, adapun Dewi Sumitra berputra
Laksmana dan Satrugna. Sebagai ungkapan kebahagiaan Prabu
Dasarata disertai Raja Mantili, Raja Malawa dan Raja Prawa
kemudian mengunjungi Prabu Basurata di Wiratha (Rangga-
warsita, 1938: 34; Kamajaya, 1994: 22). Di dalam Sĕrat
Rukmawati kelahiran Rāma bersaudara tersebut dikemukakan
sebagai berikut:
Kacariyos, kadi sarĕng lampahanipun, ananging
cariyosipun kadamĕl gĕntos, ing tanah Hindi pramèswari
Ngayodya, sampun ambabar putra kakung langkung rumiyin
ingkang miyos saking Dèwi Kusalya kaparingan nama Rama.
Ingkang miyos saking Dèwi Kĕkayi pinaringan nama Barata.
Ingkang miyos saking Dĕwi Sumitra kakalih pinaringan nama
Laksmana, akaliyan Satrugna.
Prabu Dhasarata andhatĕngngakĕn suka pari suka. Sarĕng
21 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
sampun dumugi anggĕnipun amangun suka, kabĕkta saking
rĕnaning panggalih déné kadumugĕn ingkang dados
karsanipun, Prabu Dhasarata karsa tĕdhak cangkrama
dhatĕng nuswa Jawi, kanthi ratu ing Mantili, ing Malawa lan
ing Prawa. Lajĕng sami bidhalan saking palabuhan Prawa
anitih baita.
Demikian jejak cerita Rama (Rāma) yang terdapat dalam Sĕrat
Rukmawati, terutama berkaitan dengan prosesi ritual agung
(Asmaweda) yang dilakukan oleh Prabu Dasarata, raja Ayodya,
dalam rangka memohon kelahiran putra yang menjadi penjelmaan
Sang Hyang Wisnu (Rāma bersaudara).
Cerita Rāma dalam Sĕrat Sutiknawyasa
Pujangga R. Ng. Ranggawarsita di dalam Sĕrat Pustakaraja
menyatakan:
Sĕrat Sutiknawyasa wiyosipun punika cariyos panjĕnĕngan
nata Prabu Krĕsna Dwipayana ing Ngastina ngantos dumugi
ambagawan nama Bagawan Byasa. Kaanggit déning Mpu
Widdhayaka ing Mamĕnang. Panganggitipun anuju ing tahun
Suryasangkala 853, kaétang ing tahun Candrasangkala
amarĕngi 879. (Ranggawarsita, 1938: 21).
(Sĕrat Sutiknawyasa, inilah cerita kisah hidup Prabu Kresna
Dwipayana di Ngastina sampai menjadi begawan bernama
Bagawan Byasa. Digubah oleh Mpu Widdhayaka di
Mamenang, penggubahannya bertepatan tahun Surya-sangkala
853, terhitung tahun Candrasangkala bertepatan tahun 879).
Jejak cerita Rama (Rāma) dalam Sĕrat Sutiknawyasa tampak
dari cerita yang disampaikan oleh Dhang Hyang Wiku Salya
kepada Bagawan Abyasa tentang kisah Rama ketika ia harus
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 22
meninggalkan kerajaan Ayodya untuk pergi ke hutan, hanya
disertai oleh istrinya (Dewi Sinta) dan adiknya Laksmana, seperti
tampak pada kutipan berikut:
"Kala Prabu Ramawijaya sinèrènan kaprabonipun ingkang
rama Prabu Dasarata jumĕnĕng nata ing Ayudya, botĕn lami
kalungsur ginantosan ingkang rayi anama Prabu Barata.
Lajĕng kinèn tĕtaki dhatĕng wana pringga kawĕwahan
kénging kadhusta ing duratmaka Prabu Dasamuka kabĕkta
dhatĕng Alĕngka. Sapintĕn kémawon sungkawaning galihira
Prabu Ramawijaya, parandosipun botĕn amĕgĕng pangandika
kajawi amung tansah amĕsu cipta salĕbĕting samadi
kémawon. Dumadakan angsal wasita sawantah, kinèn
amitulungi sungkawaning wanara raja Sugriwa. Ing wĕkasan
dados saraya sagĕdipun kapanggih kaliyan garwa Dĕwi Sinta.
Lajĕng jumĕnĕng nata malih wontĕn ing Ayudya, punika
among saking dènira tabĕri amarsudi rĕmbaging janma. Mila
bĕbasanipun tiyang kadhatĕngan sungkawa, anggĕr lajaran
asring angsal pitulungan saking tiyang ingkang sami
kasungkawan. " (Karyarujita dan Sastranaryatmo, 1981: 443-
444).
(Ketika Prabu Ramawijaya mendapatkan tahta dari
ayahandanya Prabu Dasarata untuk menjadi raja di Ayodya,
tidak berapa lama (tahta tersebut) diminta kembali untuk
digantikan oleh adiknya yang bernama Prabu Barata. (Prabu
Ramawijaya) kemudian disuruh bertapa ke hutan belantara,
ditambah (Dewi Sinta) diculik oleh pencuri Prabu Dasamuka
(untuk) dibawa ke Alengka. Betapa besar kesedihaan hati
Prabu Ramawijaya, meskipun demikian ia tidak diam
membisu, namun bahkan selalu mengasah pikirannya di dalam
bersamadi. Tiba-tiba (Prabu Ramawijaya) mendapat petunjuk
yang jelas bahwasanya ia disuruh menolong kesedihan raja
kera Sugriwa. Kelak dikemudian hari (akan) menjadi sarana ia
berjumpa kembali dengan istrinya Dewi Sinta. Kemudian
23 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
akan menjadi raja kembali di Ayodya, inilah hasil kalau
(seseorang itu) rajin berupaya menolong manusia. Karena itu
peribahasanya seseorang yang sedang sedih, apabila mau
menolong seringkali (ia) mendapat pertolongan oleh
seseorang yang juga mengalami kesusahan).
Dengan demikian peristiwa kepergian Prabu Ramawijaya dari
istana ke hutan belantara tersebut dihadirkan oleh Dhang Hyang
Wiku Salya dengan maksud agar Rĕsi Abyasa tidak merasa
terlalu bersedih hati dengan tidak diangkatnya dia menjadi raja di
Ngastina menggantikan ayahandanya Bagawan Parasara
(Palasara), karena ternyata yang menimpa Prabu Ramawijaya
lebih pahit lagi. Nasehat Dhang Hyang Wiku Salya tersebut
melengkapi nasehat dari Dhang Hyang Smarasanta kepada Rĕsi
Abyasa agar tidak terlalu bersedih. Dhang Hyang Smarasanta
mengemukakan keadaan dirinya yang telah berumur 150 tahun
tetapi tetap tampak muda karena hatinya tenang dan damai.
Dhang Hyang Smarasanta juga mengemukakan peristiwa yang
dialami Maharĕsi Manumanasa yang menjadi pertapa setelah
tidak diangkat menjadi raja menggantikan ayahandanya.
Demikian pula kisah Sang Hyang Wisnu yang juga dicopot
kedudukannya sebagai raja, ia kemudian menjadi pertapa di
Waringin Sapta (Waringin Pitu) sampai akhirnya ia ditugaskan
melenyapkan Prabu Silacala (Watugunung) sebelum diampuni
kesalahannya oleh ayahnya, Bathara Guru, serta didudukkan
kembali menjadi raja (Karyarujita dan Sastranaryatmo, 1981:
442-443).
Cerita Rāma dalam Sĕrat Prabu Gĕndrayana
Di dalam konstruksi teks-teks Pustakaraja, Sĕrat Prabu
Gĕndrayana dapat dijajarkan dengan Sĕrat Budhayana. Dengan
demikian Sĕrat Prabu Gĕndrayana termasuk dalam kelompok
Sĕrat Mahaparma Bagian Sĕrat Pustakaraja Puwara. Naskah
Sĕrat Prabu Gĕndrayana terdiri dari 2 jilid, yaitu Sĕrat Prabu
Gĕndrayana I dengan kode D 46 A yang terdiri atas 577
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 24
halaman dan pernah ditranskripsi oleh K.R.T. Soemarso Pontjo
Soetjipto. Adapun naskah Sĕrat Prabu Gĕndrayana II dengan
kode D 46 B yang terdiri atas 1.272 halaman dan sudah
ditranskripsi oleh Soepardi Hadisuparto. Jadi Sĕrat Prabu
Gĕndrayana terdiri atas 1.849 halaman. Naskah-naskah Sĕrat
Prabu Gĕndrayana di atas adalah koleksi Perpustakaan Reksa
Pustaka Pura Mangkunegaran Surakarta.
Adapun waktu yang diceritakan dalam Sĕrat Prabu
Gĕndrayana tahun 790 – 800 (Suryasangkala) atau tahun 816 –
824 (Candrasengkala). Isi ceritanya dimulai dari sewaktu Bathara
Naradha mengukuhkan Arya Prabu Bambang Sudarsana menjadi
raja di Yawastina (Ngastina Baru) bergelar Prabu Yudayaka atau
Prabu Darmayana. Cerita diakhiri sewaktu Prabu Yudayaka
bermaksud turun tahta menjadi begawan dan akan mengukuhkan
putranya yaitu Raden Kijing Wahana sebagai raja di Yawastina.
Adapun jejak cerita Rama (Rāma) dalam Sĕrat Prabu
Gĕndrayana dikemukakan oleh Bagawan Danèswara dari
Gunung Nilandusa (Wilis) menghadap Prabu Gendrayana untuk
mohon bantuan agar putra baginda, yaitu Raden Narayana, mau
membantunya untuk melenyapkan segenap hama tanaman yang
menyerang sawah dan ladang penduduk Gunung Nilandusa dan
menyebabkan mereka gagal panen. Adapun hama tanaman yang
menyerang sawah ladang mereka adalah: cèlèng, tikus, walang,
burung, ludhĕp, lĕladhoh, bĕkocok, mĕnthèk, ganggĕngan, ulat,
jamur dan lain sebagainya. Segala hama tanaman tersebut sulit
dibasmi karena mereka dilindungi para Dewa keturunan Sang
Hyang Kala. Misalnya: Bathara Kithaka merajai segala jenis
belalang, Bathara Gindhala merajai segala jenis ludhĕp, Bathara
Printanjala merajai segala jenis burung, Bathara Sungkara merajai
segala jenis cèlèng, dan Bathara Hiranyaka merajai segala jenis
tikus.
Berdasarkan petunjuk (wangsit) dewa, yang dapat
melenyapkan segala hama dan penyakit tanaman tersebut adalah
Raden Narayana, putra Prabu Gendrayana, karena beliau adalah
titisan Sang Hyang Wisnu Murti, pemelihara dunia. Apalagi pada
25 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
waktu lahir Raden Narayana sudah mendapatkan senjata dari
dewa berupa panah Pasopati dan panah Sarotama. Akan tetapi,
Prabu Gendrayana merasa ragu dan keberatan, karena bagaimana
mungkin putranya yang baru berusia 13 tahun tersebut harus
berhadapan dengan segala jenis hama tanaman yang dilindungi
oleh para dewa. Hal inilah yang membuat Prabu Gendrayana
khawatir atas keselamatan putranya. Oleh karena Prabu
Gendrayana masih merasa ragu-ragu maka Bagawan Danèswara
mengingatkan baginda atas kisah kepahlawanan Ramawijaya,
putra Prabu Dasarata raja Ngayodya dari tanah Hindu.
Menurutnya, sewaktu Ramawijaya baru berumur 8 tahun sudah
dimintai bantuan oleh Bagawan Sutiksnayogi dari Gunung
Dhandhaka agar menumpas para raksasa bala tentara Prabu
Rahwana dari Ngalengka yang merusak pertapaan para pertapa.
Adapun kisah kepahlawanan Ramawijaya dan adiknya,
Laksmana, yang dapat dijadikan tauladan tersebut tersurat pada
Sĕrat Prabu Gĕndrayana II seperti pada kutipan berikut:
"Dhuh dhuh Pukulun Kangjĕng Déwaji, manawi kados
makatĕn pamanggihipun ing karsa paduka punika Pukulun,
dados kénging sinĕbut tilar kasantosaning galih supé dhatĕng
kawasaning déwa, saèstunipun nadyan raréya ingkang taksih
mudha punggung pisan, manawi Sang Hyang Wisésa ingkang
adamĕl unggul sayĕkti botĕn sangsaya dènira hamisésa ing
ama, ingkang saupami tiyang sĕpuh ingkang sampun sura
sĕkti mandraguna, utawi ingkang luhur sugih wadya bala
sami sura sakti ing yuda, manawi Sang Hyang Jagad
Pratingkah adamel apĕsipun ing titiyang ingkang sami sura
sakti wau, yĕkti botĕn dangu lajĕng dhadhal larut sadaya,
kaliyan malih Pukulun, panjĕnĕngan paduka punika punapa
supé cariyos lampahanipun Bathara Ramawijaya putranipun
Prabu Dasarata ing Ngayodya tanah ing Indhu, yèn Bathara
Ramawijaya wau inggih panuksamaning Sang Hyang
Wisnumurti, sarĕng sawĕg yuswa wolung warsa lajĕng
kasuwun dhatĕng Bagawan Sutiksnayogi ing wukir
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 26
Dhandhaka, panuwunipun badhé kaabĕn kaliyan danawa
ingkang sami angririsak dhatĕng patapaning para wiku,
danawa wau balanipun Prabu Rawana Ngalĕngka, Bathara
Ramawijaya kalampahan kabĕkta dhatĕng Bagawan
Sutiksnayogi, lampahipun saking nagari ing Ngayodya botĕn
ambĕkta wadya bala aming kadhèrèkakĕn ingkang rayi
satunggal anama Raden Laksmana Widagda, sarĕng dumugi
ing patapan raja putra kalih wau karsaning Déwa tĕka lajĕng
sagĕd anirnakakĕn sagunging raksasa tanpa étangan tumpĕs
déning satriya kalih kémawon, botĕn antawis lami Bathara
Ramawijaya wau kaliyan ingkang rayi bidhal saking
patapaning pandhita lajĕng amĕdali sayĕmbara dhatĕng
nagari ing Mantilidirja, panjĕnĕnganipun Prabu Janaka
darbé atmaja pawèstri satunggal langkung ayu éndah
warninipun, nama Dèwi Sinta, dèntĕn sayĕmbaranipun Prabu
Janaka nguni singa ingkang sagĕd amĕnthang langkap
pusakanipun Prabu Janaka saèstu dados jatu kraminipun
putra nata Dèwi Sinta wau, kala semantĕn sagunging para
nata sèwu nagari botĕn wontĕn ingkang lĕbda karya wĕkasan
sami kawangsulakĕn, sarĕng Bathara Ramawijaya saking
karsaning Dewa sagĕd amĕnthang, malah punang langkap
pusaka lajĕng tugĕl tanpa karana, Prabu Janaka langkung
suka kalampahan kadhaupakĕn kaliyan Dèwi Sinta, sarĕng
bidhal saking Mantili kadhèrèkakĕn para punggawa langkung
kathah, dupi wontĕn ing margi kabégal déning pandhita
langkung sakti mandra guna, wasta Rĕsi Ramaparasu, inggih
punika kang angawonakĕn Prabu Harjunasasra ing
Mahèspati nguni, Sang Ramaparasu wau karsaning Déwa
lajĕng kasor déning Bathara Ramawijaya, manawi ing
yuswanipun nalika numpĕs sagunging diyu ditya rĕksasa wil
danawa murka kang wontĕn ing wukir Dhandhaka nguni
inggih sawĕg yuswa wolung warsa, saèstunipun sĕpuh putra
paduka Radèn Narayana punika (Sĕrat Prabu Gĕndrayana II,
D 46 B, hal. 848-853; Hadisuparto, 2007: 158-159;
Karyarujita dan Sastranaryatmo, 1981: 480-481).
27 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
("Dhuh dhuh Pukulun Kanjeng Dewaji, jika demikian ini
pendapat paduka Pukulun, dapat disebut meninggalkan
kesentausaan hati, lupa pada kekuasaan Dewa, sesungguhnya
meskipun masih anak-anak dan lagi masih bodoh, apabila
Sang Hyang Wisesa yang membuat menang, tentu tidaklah
sulit dalam meraih kemenangan atas hama (tanaman),
sekalipun seumpama orang sudah tua, berani lagi sangat sakti,
atau yang berkedudukan tinggi (memiliki) banyak bala tentara
yang sakti-sakti dalam peperangan, apabila Sang Hyang Jagad
Pratingkah membuat apĕs (malang) kepada orang-orang yang
sangat sakti itu, tentu tidak lama juga akan tumpas semua, dan
lagi Pukulun, apakah Paduka ini lupa pada cerita kisah hidup
Bathara Ramawijaya, putra Prabu Dasarata di Ngayodya
Tanah Hindu, bahwasanya Bathara Ramawijaya juga
penjelmaan Sang Hyang Wisnu Murti, ketika baru berumur 8
tahun, kemudian diminta oleh Bagawan Sutiksnayogi dari
Gunung Dhandhaka, permintaan (Bagawan Sutiksnayogi)
Bathara Ramawijaya akan diadu dengan raksasa yang merusak
pertapaan para wiku, raksasa tersebut adalah bala tentara
Prabu Rahwana (dari) Ngalengka, Bathara Ramawijaya
bersedia dibawa oleh Bagawan Sutiksnayogi, perjalanan
(Bathara Ramawijaya) dari negeri Ngayodya tidak membawa
bala tentara, (tapi) hanya diiringkan seorang adiknya bernama
Raden Laksmana Widagda, sesampainya di pertapaan, kedua
putra raja tersebut (karena) kehendak Dewa berhasil
melenyapkan semua raksasa yang tak terhitung banyaknya
(semua) tumpas hanya oleh kedua satria tadi. Tidak beberapa
lama Bathara Ramawijaya bersama adiknya meninggalkan
pertapaan pendeta untuk mengikuti sayembara ke negeri
Mantilidirja. Prabu Janaka memiliki seorang putri yang sangat
cantik parasnya bernama Dewi Sinta. Adapun sayembara
Prabu Janaka tersebut, bahwasannya siapa saja yang mampu
membentangkan busur panah pusaka Prabu Janaka, sungguh
akan dikawinkan dengan putri raja tersebut. Pada waktu itu
semua para raja (yang berjumlah) 1.000 negara tidak ada satu
pun yang mampu melakukannya, akhirnya mereka semua
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 28
disuruh kembali (ke kerajaannya). Bathara Ramawijaya,
karena kehendak Dewa berhasil membentangkan, bahkan
busur panah pusaka kemudian putus tanpa sebab. Prabu
Janaka sangat gembira (Bathara Ramawijaya) kemudian
dikawinkan dengan Dewi Sinta. Ketika mereka meninggalkan
Mantili diiringkan para punggawa yang sangat banyak. Pada
waktu mereka di tengah jalan, dihadang (dirampok) oleh
pendeta yang teramat sakti bernama Ramaparasu. Dialah yang
dahulu mengalahkan Prabu Arjunasasra di kerajaan
Mahespati. Sang Ramaparasu karena kehendak Dewa dapat
dikalahkan oleh Bathara Ramawijaya. Ketika Bathara
Ramawijaya menumpas para raksasa, wil dan sebangsanya
yang merusak (pertapaan) di Gunung Dhandhaka dahulu
usianya baru 8 tahun. Sesungguhnya masih lebih tua dengan
putra Paduka, Raden Narayana).
Demikianlah tampilnya cerita Rama (Rāma) dalam Sĕrat
Prabu Gĕndrayana sengaja dihadirkan oleh Bagawan Danèswara
untuk memberikan gambaran dan pandangan kepada Prabu
Gendrayana agar merelakan putranya, yaitu Raden Narayana
(yang juga penjelmaan Sang Hyang Wisnu Murti, sebagaimana
Bathara Ramawijaya), untuk menumpas segala hama tanaman
yang dilindungi para Dewa, yang menyerang sawah dan ladang
penduduk di wilayah Gunung Nilandusa. Dalam hal ini, ada
sedikit perbedaan tentang usia Bathara Ramawijaya ketika
dimintai bantuan oleh Bagawan Sutiksnayogi untuk melawan
para raksasa perusak pertapaan di Gunung Dhandhaka. Kalau di
dalam teks naskah Prabu Gĕndrayana II, kode D 46 B di halaman
849 dan halaman 853, Bathara Ramawijaya waktu itu berusia 8
tahun (wolung warsa), namun dalam Sĕrat Paramayoga (Sĕrat
Kalĕmpakaning Piwulang) yang dikumpulkan oleh R. Ng.
Karyarujita dari Sĕrat Paramayoga dan Sĕrat Pustakaraja
dikatakan bahwa usia Bathara Ramawijaya adalah 18 tahun
(wolulas warsa), sebagaimana yang terdapat pada halaman 480
dan 481. Jadi ada selisih waktu 10 tahun. Jika dikatakan bahwa
29 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Raden Narayana waktu itu lebih tua daripada Bathara
Ramawijaya, maka hal ini ada benarnya karena usia Raden
Narayana adalah 13 tahun. Beliau lahir pada tahun 801
(Suryasangkala) atau tahun 825 (Candrasangkala), seperti yang
tersurat dalam naskah Sĕrat Prabu Gĕndrayana II halaman 112 –
139 (Hadisuparto, 2007: 20-25). Adapun peristiwa Raden
Narayana dimintai pertolongan melenyapkan segala hama
tanaman tersebut terjadi pada tahun 814 (Suryasangkala) atau
tahun 839 (Candrasangkala) (Naskah halaman 816 – 1008;
Hadisuparto, 2007: 152-187).
Di sini pun terdapat kejanggalan. Jika usia Ramawijaya
sewaktu dimintai pertolongan oleh Bagawan Sutiksnayogi baru 8
tahun, maka bagaimana mungkin dalam usia semuda itu ia
mengikuti dan memenangkan sayembara di kerajaan Mantilidirja,
sehingga ia kemudian dikawinkan dengan Dewi Sinta (dalam usia
8 tahun). Dalam hal ini jika usia Bathara Ramawijaya adalah 18
tahun akan lebih logis bila ia memenangkan sayembara
memperebutkan Dewi Sinta dan dikawinkan dengannya. Hanya
tentunya tidak dapat dikatakan bahwa ia masih kecil, jauh lebih
muda usianya dari Raden Narayana (13 tahun) sewaktu ia
dimintai pertolongan menumpas para raksasa yang merusak
pertapaan para Brahmana dan Pendeta di Gunung Dhandhaka.
Cerita Rāma dalam Sĕrat Purusangkara dan Sĕrat
Mayangkara
Di dalam Sĕrat Pustakaraja, maka Sĕrat Purusangkara dan Sĕrat
Mayangkara termasuk kelompok Kitab Maha Parma (bagian
Kitab Pustakaraja Puwara). Kedua kitab tersebut adalah karya
Mpu Sindungkara di Pengging. Penciptaannya bertepatan tahun
919 (Suryasangkala) atau tahun 948 (Candrasangkala). Namun
pada halaman depan Sĕrat Mayangkara dikemukakan secara jelas
bahwa R. Ng. Ranggawarsita adalah pengarangnya (Babon
tĕmbung pangikĕtipun sang misuwuring jagad: R. Ng.
Ranggawarsita, pujangga Dalĕm ing Kraton Surakarta
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 30
Adiningrat).
Pujangga R. Ng. Ranggawarsita sendiri di dalam Sĕrat
Pustakaraja juga menyatakan bahwa:
"Sĕrat Purusangkara, wiyosipun punika cariyos
lalampahanipun Prabu Purusangkara ing Yawastina, kala
krama antuk putri ing Mamĕnang, ngantos dumuginipun
nagari ing Yawastina kĕlĕm anjĕmblong dados samodra.
Kaanggit déning Mpu Sindungkara ing Pĕngging,
panganggitipun anuju ing tahun Suryasangkala 920, kaétang
ing tahun Candrasangkala amarĕngi 948." (Ranggawarsita,
1938: 35).
(Sĕrat Purusangkara, inilah cerita kisah (perjalanan) hidup
Prabu Purusangkara di Yawastina, ketika kawin dengan putri
dari Mamenang, sampai Kerajaan Yawastina tenggelam
menjadi samodra. Digubah oleh Mpu Sindungkara di
Pengging, penggubahannya bertepatan pada tahun
Suryasangkala 920, terhitung tahun Candrasangkala
bertepatan tahun 948)
Adapun waktu yang diceritakan dalam Sĕrat Purusangkara
mulai tahun 841 Suryasangkala (Ratu – gusthika – sarira ing
boma) atau tahun Candrasangkala 866 dengan sengkalan
berbunyi Anggas – angrasa – murti sampai dengan tahun
Suryasangkala 846 atau terhitung tahun Candrasangkala tahun
871. Pada bagian permulaan, antara Sĕrat Purusangkara dan
Sĕrat Mayangkara isinya hampir sama, yaitu menceritakan
tentang Sang Maharsi Mayangkara (Anoman). Hanya saja cerita
di dalam Sĕrat Purusangkara masih cukup panjang, karena jika
waktu penceritaan di dalam Sĕrat Purusangkara berlangsung
selama 5 tahun, maka waktu penceritaan dalam Sĕrat
Mayangkara hanya selama 1 tahun, dengan titik berat
penceritaannya hanya mengenai Sang Hyang Mayangkara.
31 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Adapun penceritaan di dalam Sĕrat Purusangkara masih sangat
panjang karena menceritakan berbagai peristiwa yang terjadi di
Kerajaan Widarba (Kediri) setelah gugurnya Sang Maharsi
Mayangkara. Adapun cerita-cerita tersebut antara lain: 1)
Perkawinan Raden Jayaamijaya dengan Ken Satapi, 2)
Pertentangan antara Prabu Jayapurusa (Jayabhaya) dengan ketiga
menantunya yaitu Prabu Purusangkara bersaudara, sampai
ditenggelamkannya Kerajaan Yawastina, 3) Kisah Madrim dan
Madrika, 4) Perkawinan Madrim dengan Arya Susastra, dan 5)
Prabu Darmadewa beserta saudara-saudaranya menyerbu
kerajaan Widarba (Tedjowirawan, 1985: 33-40). Adapun garis
besar cerita di dalam Sĕrat Mayangkara dan Sĕrat Purusangkara
pada bagian awal dapat dikemukakan sebagai berikut:
Sang Hyang Girinata mengadakan persidangan dengan para
dewa di kahyangan Suralaya. Mereka memperbincangkan
turunnya Sang Hyang Kala dan Sang Hyang Brahma ke dunia.
Sang Hyang Narada menerangkan bahwa maksud Sang Hyang
Kala dan Sang Hyang Brahma mau melenyapkan semua
keturunan Sang Hyang Wisnu. Kemudian Sang Hyang Girinata
memerintahkan Sang Hyang Narada untuk melindungi keturunan
Sang Hyang Wisnu dengan sarana mengawinkan Prabu
Astradarma (raja Yawastina) dengan putri Prabu Jayapurusa
(Prabu Jayabhaya) di kerajaan Widarba.
Dalam melanjutkan perjalanannya Sang Hyang Narada
bertemu dengan roh Sang Maharsi Mayangkara (jiwa Anoman)
yang mengungkapkan keinginannya untuk segera berkumpul
dengan para dewa. Sang Hyang Narada menerangkan bahwa
Sang Maharsi Mayangkara masih mendapat tugas dewa untuk
mengawinkan para putra mendiang Prabu Sariwahana
(Yawastina) dengan para putri Prabu Jayapurusa (Widarba).
Sang Maharsi Mayangkara menyatakan kesanggupannya dan
pulang kembali ke pertapaan Kendalisada menemui raganya (Rĕsi
Anoman). Rĕsi Anoman menyatakan mau menyatu kembali
dengan jiwa (rohnya) Sang Maharsi Mayangkara asal teka-teki
yang diajukannya dapat ditebak secara tepat. Sang Maharsi
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 32
Mayangkara dapat menebak teka-teki yang diajukan padanya,
sehingga ia menyatu kembali dengan raganya. Tidak lama
kemudian datanglah Sang Hyang Narada yang memerintahkan
Sang Maharsi Mayangkara ke Yawastina. Sesampainya di
Yawastina, ia beristirahat di bawah pohon beringin kembar.
Pada waktu itu, ketika Prabu Astradarma melihat adanya
putih-putih di bawah pohon beringin, maka baginda segera
memerintahkan punggawanya untuk memeriksa Sang Maharsi
Mayangkara. Sang Maharsi Mayangkara kemudian dihadapkan
kepada Prabu Astradarma. Sang Maharsi Mayangkara
menyatakan kepada Prabu Astradarma bahwa ia ditugaskan Sang
Hyang Narada untuk mengawinkan Prabu Astradarma bersaudara
dengan ketiga putri Prabu Jayapurusa di Widarba. Hal itu
dimaksudkan guna mempererat kembali tali persaudaraan yang
telah retak akibat pertikaian yang terjadi antara Prabu Sariwahana
dan Prabu Ajidarma di Malawapati melawan Prabu Jayapurusa di
Widarba. Perselisihan dan perpecahan itu berawal dari nenek
moyang mereka dahulu.
Prabu Astradarma merasa ragu-ragu bahwa Prabu Jayapurusa
telah melupakan permusuhan ayah-ayah mereka dahulu dengan
baginda (Prabu Jayapursa), akan tetapi Sang Maharsi Mayangkara
meyakinkan bahwa dewalah yang menentukan segalanya.
Kemudian Prabu Astradarma dan saudara-saudaranya dibawa
Sang Maharsi Mayangkara pergi ke kerajaan Widarba. Sementara
itu para prajurit Yawastina di bawah pimpinan Patih Sudarma
mempersiapkan diri menyusul rajanya.
Prabu Jayapurusa di kerajaan Widarba sedang menerima
Raden Jayamijaya, Patih Suksara serta para prajurit Widarba yang
menghadap. Mereka memikirkan perkawinan Raden Jayaamijaya
dengan putri Ken Satapi, anak Ajar Subrata. Patih Suksara
mengusulkan agar Prabu Jayapurusa memikirkan pula
perkawinan ketiga putri raja terlebih dahulu untuk menghindari
dari pergunjingan rakyat Widarba, akan tetapi Prabu Jayapurusa
menyerahkan jodoh ketiga putrinya kepada dewa.
Pada waktu itu datanglah Gadaksa dan Pradaksa, utusan Prabu
33 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Yaksadewa dari kerajaan Selauma untuk melamar Dewi
Pramesthi. Surat lamaran tersebut mengandung ancaman bahwa
seandainya Dewi Pramesthi tidak diberikan maka kerajaan
Widarba akan digempur. Raden Jayaamijaya sangat marah
membaca surat lamaran tersebut. Prabu Jayapurusa mengambil
jalan tengah yaitu andaikata Dewi Pramesti telah menjadi jodoh
Prabu Yaksadewa maka perkawinan mereka akan segera
dilangsungkan.
Sepeninggal Gadaksa dan Pradaksa, maka Raden Jayaamijaya
disertai Arya Susastra bersama pasukannya mengejar kedua
utusan kerajaan Selauma tersebut. Pertempuran tak dapat
dielakkan. Raden Jayaamijaya, Arya Susastra bersama pasukan
Widarba dapat dikalahkan. Raden Jayaamijaya sangat malu dan
ia bermaksud meminta bantuan kepada saudaranya, yaitu raja di
Yawastina.
Dalam perjalanan Raden Jayaamijaya bersama Arya Susastra,
keduanya berjumpa dengan Sang Maharsi Mayangkara. Raden
Jayaamijaya meminta bantuan kepada Sang Maharsi Mayangkara,
tetapi Sang Maharsi Mayangkara meminta imbalan ketiga putri
Widarba. Setelah Raden Jayaamijaya menyanggupi permintaan
itu, maka mereka segera mengejar Gadaksa dan Pradaksa.
Terjadilah pertempuran yang sangat hebat, namun Sang Maharsi
Mayangkara dapat menghancurkan pasukan kerajaan Selauma,
dan memaksa Gadaksa dan Pradaksa untuk mengundurkan diri
kembali ke kerajaan Selauma.
Raden Jayaamijaya, Arya Susastra dan Sang Maharsi
Mayangkara kemudian kembali ke Widarba. Kepada
ayahandanya (Prabu Jayapurusa) ia menerangkan bahwa Sang
Maharsi Mayangkaralah yang berhasil memenangkan
pertempuran melawan utusan kerajaan Selauma. Dikemuka-
kannya pula bahwa ia telah terlanjur menyanggupi untuk
memenuhi permintaan Sang Maharsi Mayangkara yang
menginginkan kawin dengan ketiga putri Widarba. Prabu
Jayapurusa menjadi ragu-ragu menerima permintaan Sang
Maharsi Mayangkara tersebut, tetapi akhirnya baginda
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 34
meluluskannya. Selanjutnya Prabu Jayapurusa meminta kepada
Sang Maharsi Mayangkara untuk menceritakan kembali
pengalaman peperangannya sewaktu menjadi senapati perang
yang terpercaya Prabu Ramawijaya. Prabu Jayapurusa segera
memerintahkan kepada Empu Pulwa untuk mencatat keterangan
Sang Maharsi Mayangkara guna meluruskan kembali peristiwa
sebenarnya tentang cerita peperangan Prabu Ramawijaya
melawan Prabu Rawana, Raja Alengka. Penulisan cerita Rama
pada mulanya bersumberkan keterangan dari Brahmana Hindu
yang bernama Dhang Hyang Asuman dan Dang Hyang Ilandhi.
Di dalam Sĕrat Mayangkara permintaan Prabu Jayapurusa
agar Sang Maharsi Mayangkara menceritakan pengalamannya
sewaktu menjadi senapati perang pasukan Prabu Ramawijaya
tersebut diuraikan sebagai berikut:
Sasampunipun makatĕn Prabu Jayapurusa andangu malih
dhatĕng Sang Maharsi Mayangkara, rèhning nguni kawarti
kawijilanipun saking nagari Guwakiskĕndha tanah Hindhu,
bokmanawi èngĕt ing cariyos lalampahanipun Prabu
Ramawijaya ing Ngayudyapala, dénya ambĕdhah nagari
Ngalĕngka nguni. Sang Rĕsi Anoman matur: "Dhuh-dhuh
Pukulun Kanjĕng Déwaji, manawi lalampahanipun Bathara
Ramawijaya Ngayudyapala anggènipun ambĕdhah nagari ing
Nglĕngka nguni, saèstunipun kawula nguni èngĕt sadaya,
malah kala sĕmantĕn kawula inggih kinarya sénapatining
ayuda, kaliyan adhi kula nak-sanak sutanipun paman kawula
ingkang sĕpuh wasta Prabu Subali, ing Guwakiskĕndha, mila
kawula dados sénapati, amargi paman kawula ingkang anèm
wasta Prabu Sugriwa punika, kaambil sraya déning Bathara
Ramawijaya wau, dados sawadyanipun para ratu wanara
sadaya sami umiring Bathara Ramawijaya, dhatĕng nagari
ing Ngalĕngka. Prabu Jayapurusa langkung suka angungun,
sukanipun dèntĕn badhé angsal wĕwahing cariyos
lalampahanipun Prabu Ramawijaya nguni, ingkang dados
pangungunipun, dèntĕn Sang Maharsi Mayangkara langkung
panjang yuswanipun. Pangandikanipun Prabu Jayapurusa:
35 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Hé Sang Maharsi Mayangkara kakasihing jawata, yèn
sambada karsanipun sang wiku, mugi kagancarĕna sadaya,
ingkang dados lalampahanipun Prabu Ramawijaya dènira
ambĕdhah nagari Ngalĕngka wau, mila makatĕn awit ing
nguni kula katamuwan brahmana saking tanah Hindhu,
ngantos kaping kalih, ingkang rumiyin wasta Dhang Hyang
Asuman ingkang kantun wasta Dhang Hyang Ilandhi, punika
sami anyariyosakĕn ingkang dados lalampahanipun Prabu
Ramawijaya nguni, sakalangkung rĕmĕn kula, malah ing
mangké sampun kaanggit déning ĕmpu jangga kula kang
wasta Émpu Pulwa, ananging pangraosing manah kula kados
taksih kirang jangkĕping cariyosipun, amargi botĕn sumĕrĕp
piyambak kados Sang Maharsi wau, milanipun manawi sang
wiku karsa anyariyosakĕn lalampahanipun Prabu
Ramawijaya, saèstu badhé andadosakĕn sukaning manah
kula, awit bokmanawi wontĕn wĕwahipun malih saking
cariyosing brahmana kalih nguni, ananging panuwun kula
mugi kagancarĕna dalah lalampahanipun wontĕn ing margi
sadaya, sampun ngantos wontĕn ingkang kalangkungan
cariyosipun". Sang Maharsi Mayangkara matur sandika,
lajĕng anyariyosakĕn kawiwitan saking nagarinipun Prabu
Ramawijaya wontĕn ing Ngayudyapala, ngantos dumugi
sédanipun ingkang putra Prabu Ramawijaya ingkang nama
Prabu Batlawa ing Duryapura, kaliyan Prabu Kusia ing
Ngayudyapala, salalampahanipun sampun sami
kagancarakĕn sadaya, miwiti mĕkasi. Ing ngriku Prabu
Jayapurusa langkung suka galihipun, lajĕng dhawuh dhatĕng
Empu Pulwa kinèn amĕwahakĕn panganggitipun kaliyan
ingkang saking cariyosing brahmana kalih nguni. Émpu
Pulwa matur sandika, nulya cinathĕtan sadaya.
(Kemudian Prabu Jayapurusa bertanya lagi kepada Sang
Maharsi Mayangkara, karena dahulu konon berasal dari
Guwakiskenda tanah Indu, barangkali teringat cerita
perjalanan hidup Prabu Ramawijaya di Ngayudyapala, ketika
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 36
dahulu menyerbu kerajaan Ngalengka. Sang Resi Anoman
berkata: "Duh-duh Pukulun Kanjeng Dewaji, jika peristiwa
penyerbuan Batara Ramawijaya Ngayudyapala dahulu ke
negara Ngalengka, sesungguhnya hamba teringat semuanya,
bahkan pada waktu itu hamba juga sebagai senapati perang,
bersama adik sepupu hamba, putra paman hamba yang
bernama Prabu Subali di Guwakiskenda, makanya hamba
menjadi senapati, karena paman hamba yang bernama Prabu
Sugriwa itu diminta bantuannya oleh Batara Ramawijaya, jadi
semua bala tentara para raja kera semua mengiring Batara
Ramawijaya ke negara Ngalengka. Prabu Jayapurusa gembira
(dan) heran, gembira karena akan mendapat tambahan cerita
kehidupan Prabu Ramawijaya, (sedangkan) yang menjadi
keheranannya, bahwa usia Sang Maharsi Mayangkara
demikian panjang. Kata Prabu Jayapurusa: "Hai Sang Maharsi
Mayangkara kekasih dewata, jika sang wiku berkenan,
semoga diceritakan semua tentang perjalanan hidup Prabu
Ramawijaya dalam menyerbu negara Ngalengka dahulu, oleh
karena dahulu kala saya kedatangan Brahmana dari tanah
Hindu, sampai dua kali, yang dahulu bernama Dhang Hyang
Asuman, yang terakhir bernama Dhang Hyang Ilandhi,
keduanya menceritakan perjalanan hidup Prabu Ramawijaya
dahulu, saya sangat gembira, bahkan sekarang sudah disusun
oleh pujangga saya yang bernama Empu Pulwa, akan tetapi
menurut pendapat saya nampak masih kurang lengkap
ceritanya, sebab tidak mengetahui sendiri seperti halnya Sang
Maharsi, maka seandainya sang wiku mau menceritakan
perjalanan hidup Prabu Ramawijaya, sungguh sangat
menyenangkan hati saya, sebab barangkali ada penambahan
lagi dari cerita dua brahmana dahulu itu, akan tetapi
permintaanku hendaknya diuraikan sekaligus semua peristiwa
yang terjadi di perjalanan, jangan sampai ada cerita yang
terlewat." Sang Maharsi Mayangkara menyatakan
kesediaannya, kemudian menceritakan mulai dari negara
Prabu Ramawijaya di Ngayudyapala, sampai mangkatnya
putra Prabu Ramawijaya yang bernama Prabu Batlawa di
37 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Duryapura dan Prabu Kusia di Ngayudyapala, semua
peristiwa sudah diceritakan, mengawali mengakhiri. Prabu
Jayapurusa sangat gembira hatinya, kemudian memerin-
tahkan kepada Empu Pulwa untuk mengubah penyusunan
cerita Ramawijaya seperti yang berdasarkan cerita dua
brahmana dahulu. Empu Pulwa menyatakan kesanggupan-nya,
kemudian semua dicacat.)
Beberapa waktu kemudian, Prabu Jayapurusa mengawinkan
Sang Maharsi Mayangkara dengan Dewi Pramesthi. Pada waktu
malam pengantin tiba, Sang Maharsi Mayangkara mengeluarkan
ketiga putra Yawastina untuk mengadakan pertemuan dengan
ketiga putri Widarba. Prabu Astradarma mengadakan pertemuan
dengan Dewi Pramesthi, Raden Darmasarana dengan Dewi
Pramuni, dan Raden Darmakusuma dengan Dewi Sasanti. Akan
tetapi, pertemuan itu diketahui oleh seorang ĕmban „inang
pengasuh‟ yang kemudian melaporkannya kepada Prabu
Jayapurusa. Prabu Jayapurusa segera memerintahkan Raden
Jayaamijaya untuk menangkap perusak kesusilaan di taman sari
itu. Dalam pertempurannya melawan Prabu Astradarma maupun
dengan Raden Darmasarana dan Raden Darmakusuma, ia kalah.
Oleh karena itu, Prabu Jayapurusa bermaksud mau maju sendiri,
akan tetapi segera dicegah oleh Sang Maharsi Mayangkara.
Selanjutnya Sang Maharsi Mayangkara menjelaskan, bahwa
sebenarnya dialah yang menjadi pengatur pertemuan antara Prabu
Astradarma bersaudara dengan ketiga putri raja. Hal itu
dilakukan atas perintah dewa agar menjadi perekat kembali
persaudaraan raja dengan ketiga putra mendiang Prabu
Sariwahana. Mendengar penjelasan itu, Prabu Jayapurusa
bergembira, karena ia akan bermenantukan Prabu Astradarma
bersaudara. Kemudian dilangsungkannyalah pesta perkawinan
Dewi Pramesthi, Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti dengan Prabu
Astradarma bersaudara. Pesta perkawinan mereka sangat meriah
dan berlangsung selama setengah bulan.
Sementara itu, Gadaksa dan Pradaksa telah kembali ke
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 38
kerajaan Selauma serta melaporkan hasil lamaran raja. Prabu
Yaksadewa sangat marah dan segera memerintahkan Patih
Mohita untuk mempersiapkan pasukannya menyerbu ke Widarba.
Kedatangan pasukan Selauma disongsong oleh pasukan Widarba
yang diperkuat oleh Sang Maharsi Mayangkara serta tiga putra
Yawastina. Dalam pertempuran yang dahsyat itu banyak perwira
kerajaan Selauma gugur di tangan Sang Maharsi Mayangkara.
Patih Mohita mencoba melawannya tetapi ia pun gugur. Prabu
Yaksadewa menjadi sangat marah. Dengan gada saktinya ia
menggempur Sang Maharsi Mayangkara. Dalam pertempuran
yang dahsyat itu Sang Maharsi Mayangkara gugur di medan
laga. Prabu Astradarma, Raden Darmasarana dan Raden
Darmakusuma segera menuntut bela, maju melawan Prabu
Yaksadewa, tetapi mereka pun gugur.
Prabu Jayapurusa sendiri mau melawan Prabu Yaksadewa.
Sebelum Prabu Jayapurusa maju datanglah Sang Hyang Narada
memberitahukan bahwa Prabu Yaksadewa adalah penjelmaan
Sang Hyang Kala, sedangkan gada saktinya adalah penjelmaan
Sang Hyang Brahma. Kemudian Sang Hyang Narada menjelma
menjadi gada sakti agar dapat dipakai Prabu Jayapurusa melawan
gada sakti Prabu Yaksadewa. Dalam pertempuran yang dahsyat
maka Prabu Yaksadewa menjelma menjadi Sang Hyang Kala,
sedangkan gada saktinya menjelma menjadi Sang Hyang
Brahma. Sang Hyang Narada pun menjelma kembali. Bertepatan
dengan itu nampaklah Sang Hyang Girinata bersemayam di atas
kepala Prabu Jayapurusa. Sang Hyang Girinata menerangkan
kepada Prabu Jayapurusa bahwa gugurnya Sang Maharsi
Mayangkara memang sudah merupakan kehendak dewa. Sang
Maharsi Mayangkara telah menjalankan kewajibannya di dunia
dengan baik pada akhir hidupnya dengan mengawinkan ketiga
putra mendiang Prabu Sariwahana (Yawstina) dengan ketiga putri
Prabu Jayapurusa (Widarba). Oleh karena itu sudah sepantasnya
Sang Maharsi Mayangkara memperoleh anugerah dewa di surga.
Kemudian Sang Hyang Girinata memerintahkan Sang Hyang
Narada untuk menghidupkan kembali mereka yang tewas dalam
pertempuran itu, kecuali Sang Maharsi Mayangkara. Sang Hyang
39 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Kala dan Sang Hyang Brahma segera menghidupkan kembali
pasukan Widarba dan Selauma (Tedjowirawan, 1985: 29-32).
Dengan demikian, jejak cerita Rama (Rāma) dalam Sĕrat
Purusangkara dan Sĕrat Mayangkara dikisahkan sendiri oleh
Sang Maharsi Mayangkara (Anoman) yang pada waktu itu (jaman
Kediri) masih hidup, sampai ia sendiri kembali ke surga setelah
secara tidak langsung dijemput oleh Sang Hyang Kala (Prabu
Yaksadewa) dan Sang Hyang Brahma, yang menjelma sebagai
gada sakti senjata Sang Hyang Kala.
Simpulan
Cerita Rama (Rāma) pada mulanya digubah dalam bahasa
Sanskerta oleh yogīndra Wālmīki, setelah melewati proses ritual
(tapabrata) selama 1.000 tahun. Penyair-penyair India lain pun
kemudian mencoba membuat cerita Rāma–Sīta, misalnya:
Raghuvangśa karya Kalidasa, Rāvaņavadha oleh Bhaţţi,
Janakīharaņa oleh Kumaradasa, Uttara Rāma oleh Bhavabhutti,
Rāmācaritamanasa oleh Tulasi Dasa, Rāmāyaņakathāsara-
mānjari oleh Ksemendra.
Cerita Rāmāyaņa dari India tersebut kemudian menyebar ke
berbagai penjuru dunia. Di Asia Tenggara cerita Rāma terdapat di
Vietnam, Kamboja, Laos, Birma, Filipina, Thailand, Melayu,
maupun Jawa. Salah satu versi cerita Rāma dari India yaitu
Rāvaņavadha karya Bhaţţi, di Jawa kemudian digubah menjadi
Kakawin Rāmāyaņa oleh pujangga yang belum ditetapkan secara
pasti siapa nama sebenarnya. Kakawin Rāmāyaņa tersebut
menjadi bahan perbincangan yang sangat ramai di antara para
sarjana, terutama sarjana-sarjana barat yang pada mulanya
mengadakan penelitian atas karya-karya sastra Jawa Kuna.
Kakawin Rāmāyaņa kemudian digubah menjadi Sĕrat Rama oleh
R.Ng. Yasadipura I. R.Ng. Yasadipura II menggubahnya menjadi
Sĕrat Arjuna Sasrabahu, sedangkan Sindusastra menggubahnya
menjadi Sĕrat Arjuna Sasra dan Sĕrat Lokapala.
Cerita Rāma ternyata ditemui juga jejaknya di dalam bagian
Sĕrat Pustakaraja, terutama di dalam Sĕrat Rukmawati, Sĕrat
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 40
Suktinawyasa, Sĕrat Prabu Gĕndrayana, Sĕrat Purusangkara
maupun Sĕrat Mayangkara. Dalam Sĕrat Rukmawati jejak cerita
Rāma terutama terkait dengan prosesi ritual yang dilakukan Prabu
Dasarata untuk memohon kelahiran putra penjelmaan Sang
Hyang Wisnu (Rāma). Dalam Sĕrat Suktinawyasa jejak cerita
Rāma dikemukakan oleh Dhang Hyang Wikusalya kepada Rĕsi
Abyasa agar tidak terlalu bersedih hati karena tidak diangkat
menggantikan ayahandanya menjadi raja di Ngastina, melainkan
hanya diangkat sebagai raja pendeta. Di dalam Sĕrat Prabu
Gĕndrayana jejak cerita Rāma dikemukakan oleh Bagawan
Danĕswara agar Prabu Gendrayana merelakan putranya yang
masih sangat muda yaitu Raden Narayana (Jayabhaya) untuk
dimintai bantuannya melenyapkan segala jenis hama tanaman
yang menyerang sawah dan ladang para penduduk di wilayah
Gunung Nilandusa (Wilis). Adapun dalam Sĕrat Purusangkara
dan Sĕrat Mayangkara, jejak cerita Rāma tampak dengan
tampilnya Sang Maharsi Mayangkara (Anoman). Bahkan
gugurnya Sang Maharsi Mayangkara dijemput oleh Sang Hyang
Kala (Prabu Yaksadewa) dan Sang Hyang Brahma, yang
menjelma menjadi gada sakti Prabu Yaksadewa. Peristiwa
gugurnya Sang Maharsi Mayangkara tersebut pada masa
pemerintahan Prabu Jayapurusa (Jayabhaya) di kerajaan Widarba
(Kediri).
Daftar Pustaka
Berg, C.C. (1974). Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bharata.
Darusuprapta (1963). Merunut Pupuh-pupuh Rama Djarwa
Matjapat jang Bersumber dari Sarga II dan III Rāmāyaņa
Kakawin (Tesis). Jogjakarta: Djurusan Sastra Djawa,
Fakultas Sastra dan Kebudajaan, Universitas Gadjah
Mada.
Hadisuparto, Soepardi (Pengalih Huruf) (2007). Sĕrat Prabu
Gĕndrayana II (46 B). Surakarta: Reksapustaka, Pura
Mangkunegaran Surakarta.
Karyarujita, R.Ng. (1981). Sĕrat Paramayoga: Sĕrat
41 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Kalĕmpaking Piwulang, Alih Aksara dan Alih Bahasa
oleh Moelyono Sastronaryatmo. Jakarta: Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
Depdikbud.
Mangkunegara IV (1914). Lampahan Jayapurusa.
Padmapuspita, Y. (1979). “Runut Merunut Penulisan dan Penulis
Kakawin Rāmāyaņa”. Makalah Ceramah. Yogyakarta:
Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.
Pigeaud, Th. G., Th. (1967). Literature of Java Vol. I. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka, R.M. Ng. dan Tardjan Hadidjaja (1957).
Kepustakaan Djawa. Cetakan Kedua. Djakarta: Djambatan.
Ranggawarsita, R. Ng. (1908). Witaradya. Surakarta: Albert
Rusche.
_______. (1910). Hadji Pamoso Jilid I-X. Soerakarta: Albert
Rusche.
_______. (1924). Sĕrat Mayangkara. Solo: Boekhandel M.
Tanojo.
_______. (1938). Sĕrat Pustakaraja Purwa Jilid I – III, Cetakan
Keempat. Djokdja: Boekhandel En Drukerij Kolf Buning.
_______. (1979). Sĕrat Witaradya I & II. Alih Aksara dan
Ringkasan oleh Sudibya, Z.H. Jakarta: Proyek Penerbitan
Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud.
_______. (1993). Sĕrat Ajipamasa, Disalin oleh Soetomo W.E.,
dkk. Semarang: Yayasan Studi Bahasa Jawa "Kanthil".
_______. (1994). Sĕrat Pustakaraja Purwa Jilid III, Alih Aksara
Kamajaya. Surakarta dan Yogyakarta: Yayasan
"Mangadeg" dan Yayasan "Centhini".
Ricklefs, M.C. (1997). "The Yasadipura Problem". BKI 153-II.
Soetjipto, Soemarso Pontjo, K.R.T. (Pengalih Huruf) (2007).
Sĕrat Prabu Gĕndrayana I (46 A). Surakarta:
Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta.
Somvir (1998). „Ramayana: Asal-usul, Sejarah dan Transformasi
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 42
dari India ke Indonesia‟ dalam Ramayana, Pengembangan
dan Masa Depannya. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa
dan Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa, FPBS IKIP
Yogyakarta.
Sri Mulyono (1989). Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa
Depannya, Cetakan III. Jakarta: CV. Haji Masagung.
Surjohudojo, Supomo (1961). Rama Kathā. Jogjakarta: Fakultas
Sastra dan Kebudajaan Universitas Gadjah Mada.
Tedjowirawan, Anung (1985). Analisis Struktural Serat
Purusangkara, Satu Kajian Pada Karya Sastra R. Ng.
Ranggawarsita. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan
Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).
_______ (1986). Serat Mayangkara Karya R. Ng.
Ranggawarsita: Sajian Teks-Terjemahan Pembahasan.
Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
_______ (2008). “Dari Gendrayana ke Bambang Sudarsana
(Sebuah Suksesi Kepemimpinan di Ngastina menurut
Teks-teks Pustakaraja Madya Karya Pujangga R.Ng.
Ranggawarsita”. Procedings Seminar Internasional
Aktualisasi Teks-teks Ranggawarsitan dalam Konteks
100 Tahun Kebangkitan Nasional dalam rangka Dies ke
62 Fakultas Ilmu Budaya UGM 16 Mei 2008.
Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara, Prodi Sastra Jawa,
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Widyaseputra, Manu Jayaatmaja (1998). “Persebaran Rāmāyaņa
di Asia Tenggara”, dalam Ramayana, Pengembangan dan
Masa Depannya. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa dan
Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa, FPBS IKIP
Yogyakarta.
Zoetmulder, P.J. (1983). Kalangwan, Sastra Jawa Kuna Selayang
Pandang, terjemahan Dick Hartaka. Jakarta: Djambatan.
Naskah
Sĕrat Gĕndrayana, Naskah 157. Surakarta: Museum
43 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Radyapustaka Surakarta.
Sĕrat Prabu Gĕndrayana I, Naskah 46 A. Surakarta:
Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta.
Sĕrat Prabu Gĕndrayana II, Naskah 46 B. Surakarta:
Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta.
Sĕrat Purusangkara, Naskah 155. Surakarta: Museum
Radyapustaka Surakarta.
Sĕrat Yudayana, Naskah 153. Surakarta: Museum Radyapustaka
Surakarta.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 44
Abstrak
Penelitian ini mencoba menggali kembali ajaran dan praktik
kehidupan sehari-hari perempuan Aceh dalam keluarga dan
masyarakat yang dituangkan ke dalam tulisan pada masa
lampau, yang dewasa ini sudah menjadi manuskrip. Fokus utama
penelitian ini tertuju kepada Siti Islam, tokoh utama dalam
sebuah manuskrip Aceh sekaligus menjadi judul dari manuskrip
tersebut, yaitu Hikayat Siti Islam. Selanjutnya perbandingan teks
dilakukan dengan manuskrip lain yang mengisahkan tentang
perempuan lain bernama Siti Hazanah. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kisah Siti Islam dan Siti Hazanah dalam
kehidupan bersama suami, keluarga, dan masyarakatnya;
menjelaskan tentang perilaku sosial lingkungan terhadap
mereka; dan mencari korelasi positif antara perilaku perempuan
dalam teks dengan perempuan Aceh pada umumnya dalam kurun
waktu masa lampau dan dewasa ini.
Kata Kunci: Perempuan, Manuskrip Aceh, Teks, Konteks.
*) Penulis adalah peneliti di Puslitbang Lektur – Balitbang Departemen Agama
RI.
45 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Pendahuluan
Perempuan merupakan lambang keberhasilan dan kekuatan
sebuah keluarga dan negara, karena di tangan merekalah terletak
kekuasaan yang terselubung, dibalik fisik dan tenaganya yang
lemah jika dibandingkan dengan kekuatan fisik laki-laki. Ibn
Arabi, sebagai tokoh sufi yang terkenal, mengakui akan
kehebatan yang dimiliki perempuan. Mereka dapat memberikan
inspirasi tertentu kepadanya. Sayyidah Nizam adalah salah
seorang perempuan yang disebutkan Ibn Arabi yang dapat
memberikan inspirasi kepadanya untuk menulis sekumpulan puisi
dan telah memberikan pengaruh spiritual yang dalam kepadanya.1
Namun, fisik perempuan yang lemah, kadang disalahgunakan
oleh lawan jenisnya. Sering perempuan mendapat perlakuan tidak
seimbang dan bahkan melecehkan derajat dan kehormatannya.
Perempuan diperlakukan seperti budak demi kepuasan kaum laki-
laki. Bahkan tidak jarang kepada kaum perempuan dibebankan
segala tumpuan dan pekerjaan keluarga, mulai dari mengurus
rumah tangga hingga mencari nafkah di luar rumah. Dengan
segala kelemahannya perempuan harus mengikuti perintah para
suami, laki-laki yang menggunakan kekuatan dan kehebatan
fisiknya untuk mencari kesenangan di bawah penderitaan
isterinya. Laki-laki dengan bangga menjadi suami atas
keberhasilan isterinya mempertahankan keluarga untuk menutupi
kebutuhan keluarganya, mengurusi anak dan suaminya sendiri.
Di luar rumah, sering perempuan dijadikan objek kesenangan
laki-laki. Sering terjadi permerkosaan dan perlakuan tidak
senonoh dari para pecundang birahi. Kasus yang muncul di media
masa dan televisi tidak jarang adalah kasus pelecehan dan
perusakan kehormatan perempuan. Karena itu, tidak berlebihan
bila agama memperjuangkan hak perempuan dan bahkan
menyamakannya dengan kaum laki-laki sesuai dengan fungsinya
masing-masing.2 Perempuan bukanlah diciptakan untuk
1 Untuk uraian lebih rinci tentang makna perempuan bagi Ibn Arabi, lihat Austin, 2003:416-419 dan Azhari Noer, 2002: 220-222. 2 Untuk penjelesan lebih rinci lihat Quraish Shihab, 2005: 1-8.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 46
melengkapi hasrat dan keinginan laki-laki, melainkan untuk
saling melengkapi. (Umar, 2000:16-17). Dalam Al-qur‟an
disebutkan bahwa Segala sesuatu Kami menciptakan berpasang-
pasangan supaya kamu mengingat keesaan Allah. (Q.S. Al-
Zariyat:49).
Dalam setiap suku yang ada di Indonesia, perlakuan terhadap
perempuan hampir boleh dikatakan sama dan serupa. Perempuan
adalah sosok manusia yang hebat dan lemah, sehingga sering
disalahgunakan karena dua faktor tersebut. Di Bali3, misalnya,
perempuan menjadi tonggak keluarga untuk keberhasilan sebuah
rumah tangga. Perempuan harus mengerjakan seluruh pekerjaan
rumah tangga, mulai dari menghadirkan dan menyiapkan
makanan sampai mengurus anak dan suami. Tidak hanya itu,
perempuan harus bersedia untuk tidak mengecap dan merasakan
manisnya pendidikan formal, demi untuk mempertahankan
saudara laki-lakinya bersekolah. Mereka harus rela melakukan
apa saja untuk memperjuangkan saudara laki-lakinya dan
suaminya sukses di luar rumah.
Di Aceh, perempuan juga menjadi tumpuan keluarga dan
negara. Mereka tidak hanya bekerja di rumah sebagai ibu rumah
tangga untuk anak dan suami mereka, melainkan juga di luar
rumah. Di kalangan petani, para perempuan menjadi pekerja
setia, mulai dari mencabut, menanam, hingga memanen padi. Di
pasar, para ibu-ibu menjadi pedagang paling dominan ketimbang
para laki-laki.
Dari sisi lain, perempuan terlihat diberikan kebebasan dalam
bergerak, tidak hanya berada di rumah melainkan juga di luar
rumah. Dalam sejarah, kebebasan mereka diberikan untuk
berjuang bersama kaum laki-laki untuk kepentingan agama dan
bangsa. Sehingga dalam sejarah muncul srikandi-srikandi Aceh
dengan berbagai istilah mereka sandang demi memperjuangkan
agama dan negara. Istilah inong balee, misalnya, dijunjung oleh
3 Hasil Observasi dan wawancara langsung dengan sebagian penduduk Bali di Denpasar pada bulan Januari sampai April 1995.
47 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Malahayati dalam menggerakan kaumnya melawan Belanda dan
mempertahankan agama.
Meskipun demikian, masih perlu dipertanyakan apa yang
dimaksud dengan kebebasan yang mereka miliki dan sejauh mana
kebebasan tersebut didapatkan. Selanjutnya tidak semua
perempuan Aceh menjadi srikandi. Nasib sebagian mereka tentu
berbeda dengan srikandi-srikandi yang sudah harum namanya.
Hal yang juga perlu dipertanyakan adalah apakah mereka
mendapatkan kebebasan dan kehebatan seperti srikandi-srikandi
yang telah harum namanya dalam sejarah. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut menjadi pendorong saya untuk meneliti sejarah
perempuan Aceh yang tidak hanya terfokus kepada para srikandi
yang harum namanya dalam sejarah, tetapi juga terhadap
perempuan-perempuan yang menjadi masyarakat biasa dalam
kehidupan keluarga dan sosialnya.
Penelitian ini mencoba menggali kembali ajaran dan praktik
kehidupan sehari-hari perempuan Aceh dalam keluarga dan
masyarakat yang dituangkan ke dalam tulisan pada masa lampau,
yang dewasa ini sudah menjadi manuskrip. Fokus utama
penelitian ini tertuju kepada Siti Islam, tokoh utama dalam sebuah
manuskrip Aceh sekaligus menjadi judul dari manuskrip tersebut,
yaitu Hikayat Siti Islam. Selanjutnya perbandingan teks dilakukan
dengan manuskrip lain yang mengisahkan tentang perempuan lain
bernama Siti Hazanah. Karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang
dapat dirumuskan untuk penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kisah Siti Islam dan Siti Hazanah dalam
kehidupan bersama suami, keluarga, dan masyarakatnya?
2. Bagaimana tanggapan lingkungan terhadap mereka?
3. Sejauhmana korelasi positif antara perilaku perempuan Aceh
dengan isi teks naskah?
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan
kembali sejarah perempuan Aceh yang terdapat di dalam
manuskrip. Secara rinci tujuan tersebut adalah:
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 48
1. Untuk mengetahui kisah Siti Islam dan Siti Hazanah dalam
kehidupan bersama suami, keluarga, dan masyarakatnya.
2. Untuk menjelaskan tentang perilaku sosial lingkungan
terhadap mereka.
3. Untuk mencari korelasi positif antara perilaku perempuan
dalam teks dengan perempuan Aceh pada umumnya dalam
kurun waktu masa lampau dan dewasa ini.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan:
1. Dapat mengungkapkan kembali khazanah tentang
perempuan pada masa silam melalui manuskrip.
2. Dapat menjadi referensi bagi peneliti khususnya yang
bergelut dengan permasalahan gender.
Dari sisi kajian terdahulu, penelitian terkait dengan perempuan
sudah sangat banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Demikian
juga halnya dengan penelitian khusus perempuan Aceh. Sejarah
sudah banyak berbicara tentang perempuan Aceh dari berbagai
segi, mulai dari kiprah mereka dalam politik sampai kepada
kehidupan sosial. Perempuan dalam kehidupan masa sekarang
juga telah mendapat perhatian banyak peneliti untuk menelaahnya
dari berbagai segi. Di antara penelitian yang terkait dengan
perempuan Aceh adalah, karya Anthony Reid Female in
Southeast Asia. Dalam artikelnya, Reid menjelaskan bahwa
terdapat kesetaraan perempuan di wilayah Asia Tenggara
termasuk di dalamnya Aceh dengan kaum laki-laki dalam konteks
yang memungkinkan keduanya bersaing secara langsung, yaitu di
dalam ekonomi dan politik. Karena itu, perempuan mendapatkan
dua peran sekaligus, yaitu sebagai perempuan politisi dan ibu atau
sebagai pedagang dan ibu. Hal ini ditemukan dalam berbagai
peran ekonomi, sosial, dan politik yang dijalankan oleh
perempuan dalam posisi mereka di keluarga dan masyarakat yang
lebih luas. (Reid, 1998).
Sher Banu A. L. Khan dalam The Jewel Affair; The Sultana,
her Orang Kaya and the Dutch Foreign Envoys, menunjukkan
peran para sultanat sebagai perempuan dalam menjalankan
49 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
tugasnya sebagai pemimpin negara setelah Sultan Iskandar Tsani.
Mereka, khususnya Ratu Safiyatuddin dapat menjadikan barang-
barang berharga, seperti intan permata, untuk kekayaan dan
kepentingan kerajaan, bukan untuk berfoya-foya. (Khan, 2011).
Jacqueline Aquino Siapno dalam karyanya Gender, Islam,
Nationalism and the State in Aceh: The Paradox of Power, Co-
optation and Resitance dengan menggunakan metode sejarah,
etnografi, dan literatur, telah mengelaborasi dan membuka
khazanah penafsiran mengenai sejarah politik perempuan di
Aceh. Ia menggunakan manuskrip Melayu kuno dan cerita lisan
untuk menjelaskan gagasan kekuasaan perempuan dalam tradisi
kemaharajaan. Dalam manuskrip yang menceritakan Putri
Betung, ia menemukan narasi yang mengedepankan perempuan
supernatural, semacam bidadari atau peri dari antah berantah,
yang memiliki kesaktian dan kekuasaan. Namun pada akhirnya
bidadari tersebut harus menjadi agen kekuasaan para lelaki
sebagai penguasa yang nyata. Demikian juga dalam cerita tradisi
lisan, perempuan dijadikan sebagai orang yang mampu
melakukan segalanya, namun tidak pernah dihargai
keberhasilannya karena hal tersebut sudah menjadi tugasnya.
(Siapno, 2002).
Haslinda dalam bukunya Perempuan Aceh Dalam Lintas
Sejarah Abad VIII – XIX menjelaskan tentang keberhasilan
perempuan dalam membangkitkan negara dan agama sekaligus
juga menjadi tumpuan keluarganya. Ia menjelaskan tentang peran
perempuan dalam sejarah, yang melalui mereka telah muncul
kejayaan-kejayaan untuk sebuah kerajaan. Putri Mayang
Seuludang, adalah salah satu contoh perempuan yang
diutarakannya. Ia adalah putri Istana Jeumpa, menikah dengan
Pangeran Salman. Mereka dianugerahi empat orang anak Syahir
Nuwi, Syahir Dauli, Syahir Pauli, dan Syahir Tanwi. Semua
mereka berhasil dididik olehnya dan mereka kemudian menjadi
penguasa negeri (imum tuha peut). Begitu juga dengan Putri
Tansyir Dewi yang berasal dari Peureulak. Ia adalah ibu dari
Sayid Maulana Abdul Aziz, yang dikenal sebagai pendiri kerajan
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 50
Islam Perlak pada tahun 840M. (Haslinda, 2008).
Dari penelitian-penelitian di atas, dapat dilihat bahwa hanya
Siapno yang menggunakan manuskrip sebagai salah satu sumber
rujukan utamanya. Namun demikian, Siapno hanya menfokuskan
kajian tentang perempuan yang berkaitan dengan tradisi
kemaharajaan pada masa awal Islam. Karena itu, dapat
disimpulkan bahwa penelitian tentang aktivitas perempuan dalam
kehidupan sehari-hari dan ajaran yang berlaku padanya dengan
berlandaskan manuskrip belum ada yang melakukan. Penelitian
ini mencoba mengisi kekosongan tersebut, yaitu dengan fokus
kajian pada manuskrip yang diperkirakan ditulis pada abad ke-18
dan 19M.
Penelitian ini berbentuk library research dengan model
pendekatan kualitatif. Untuk menelaah dua naskah yang menjadi
sasaran penelitian ini perlu digunakan pendekatan interdisipliner;
pertama, filologi dan kodikologi yang diperuntukkan pada kajian
isi dan fisik naskah tersebut. Kedua, pendekatan intertekstual
digunakan untuk membandingkan teks naskah yang menjadi
fokus kajian ini dengan teks sejenis guna untuk mendapatkan
informasi yang berhubungan dengan topik kajian, yaitu budaya
perempuan Aceh dalam kehidupan berkeluarga dan
bermasyarakat. Ketiga, pendekatan sejarah sosial digunakan
untuk mengetahui konteks latar belakang muncul dan keberadaan
naskah yang dikaji dan tentang refleksi perempuan Aceh dalam
sejarah secara umum serta fakta yang ada dewasa ini.
Keempat, pendekatan antropologi. Untuk melihat dan
mendiskusikan perkembangan budaya pada masa sekarang dan
relevansinya dengan teks naskah, maka pendekatan antropologi
menjadi penting, sehingga direct participant ke dalam masyarakat
dalam waktu yang relatif lama dan in depth interview dapat
dilaksanakan dengan cermat dan teliti.
51 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Kiprah Perempuan dalam Manuskrip
Tentang Manuskrip Siti Islam
Deskripsi
Naskah ini dikoleksi oleh Ampon Hasballah Dayah Tanoh,
seorang masyarakat Aceh yang berdomisili di Dayah Tanoh,
Pidie, Aceh. Naskah ini kemudian didigitalkan oleh Puslitbang
Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI pada tahun 2010.
Naskah ini memiliki ukuran 16X22 cm, dan blok teksnya
berukuran 10X16 cm. Alas tulis naskah ini adalah kertas Eropa
yang memiliki cap air berbentuk bulan sabit dalam bentuk wajah
manusia dilingkari pagar atau yang dalam bahasa Inggris disebut
dengan moonface in shield. Berdasarkan cap airnya, diperkirakan
naskah ini ditulis sekitar abad ke-19M.4 Tidak terdapat bagian
halaman yang kosong dalam naskah ini, sedangkan iluminasi
serta ilustrasi juga tidak diketemukan. Tinta yang digunakan
untuk menulis teks berwarna hitam. Tidak ada rubrikasi dalam
teks, kemungkinan karena teks naskah ini berbentuk cerita,
sehingga tidak ada kata-kata yang perlu ada penekanan
maknanya.
Naskah berjudul Hikayat Siti Islam ini, tidak diketahui siapa
pengarangnya, karena ada beberapa halaman akhir telah hilang,
yang mungkin saja memuat informasi tentang pengarangnya.
Naskah ditulis dalam bentuk hikayat, yaitu berbentuk sajak dan
berbait-bait atau puisi.
4 Menurut Heawood, cap air seperti ini tidak dapat diidentifikasi tahunnya,
sehingga ia menyatakan bahwa kertas yang ber-watermark seperti di atas besar
kemungkinan diproduksi pada waktu modern. Kemungkinan besar tahun
produksinya setelah abad ke-18M, karena Buku Heawood dan Churchill hanya
memuat daftar watermark dan countermark yang berkisar antara abad ke-17 dan 18M. Lihat Heawood, 1986:84; Churchill, 1935.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 52
Naskah Siti Islam
Teks naskah ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dan
Aceh, beraksara Arab dan Jawi. Naskah ini tidak memiliki
kolofon, karena lembaran akhir sudah hilang.
Ringkasan Isi
Naskah ini berisi cerita (hikayat) fiktif dengan diiringi berita
dari si pengarang terlebih dahulu. Empat halaman pertama
digunakan pengarang khusus untuk mengungkapkan bahwa cerita
yang ditulisnya sangat diharapkan oleh siapa pun di dunia ini. Ia
mengambil cerita ini dari Arab, kemudian singgah di beberapa
negara dan di beberapa tempat di Aceh, hingga sampai di
kampung halamannya. Dalam persinggahannya ia mendapat
sambutan hangat dari berbagai pihak yang mendengarkan
ceritanya. Cerita ini diberitakannya terjadi pada masa Rasulullah
masih hidup, sebagaimana disebutkan dalam teks:
Nyoe hikayat Siti Islam dara agam taphôm makna
...
Nyoe calitera nabi Muhammad soe yang ingat raya bahgia
...
na si‟at teuka si Nyak Ti
53 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Rupa jieh sa hana macam Ti Islam nan keurasoe
That taqwa uroe malam hana macam that bakti
Terjemahan:
Ini [hikayat ini diberi nama
dengan] Hikayat Siti Islam…
Agar laki-laki dan perempuan
yang masih muda dapat
memahami artinya
Ini cerita [masa] Nabi Siapa yang [mau]
Muhammad… mengingatkannya sangat besar
kesenangan
Sebentar setelah itu datanglah
Nyak Ti
Wajahnya cantik tiada banding Ti Islam namanya dipanggil
Sangat takwa [kepada Tuhan] Tiada ada tandingan sangat
siang dan malam berbakti
Cerita ini memiliki tiga tokoh utama, yaitu: pertama, Siti Islam
yang digambarkan sebagai tokoh perempuan yang taat, patuh, dan
penurut; kedua, Nabi sebagai tokoh yang dapat memecahkan dan
mengatasi segala persoalan; dan ketiga, Rajawali, suami Siti
Islam, yang melindungi dan menguasai Siti Islam dalam hidupnya
setelah berumah tangga. Cerita dalam naskah ini
menggambarkan cara hidup seorang perempuan pada masa Nabi
yang bernama Siti Islam.
Pada awalnya, diceritakan terlebih dahulu segala hal yang
terkait dengan pengajaran terhadap perempuan dalam
menghadapi suami dan rumah tangga. Pengajaran dan bimbingan
diberikan langsung oleh Nabi dan tertuju kepada Siti Islam
sebagai tokoh utama dalam cerita ini. Nabi memberitahu bahwa
perilaku wanita yang baik menurut agama adalah harus patuh,
penurut, dan melayani suami. Bila tidak demikian, maka para
perempuan akan menerima azab balasannya di hari akhirat.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 54
Nabi kemudian menjelaskan tentang perempuan yang
membangkang dan tidak menjaga hubungan baik dengan suami,
bahkan mencari orang lain sebagai tempat pelariannya. Bagi
mereka disediakan siksa yang sangat pedih di hari akhirat. Begitu
juga sebaliknya, laki-laki yang berhubungan dengan perempuan
tersebut di luar nikah akan mendapat hukuman yang sama.
Contoh dalam teks:
Ureung lakoe yang celaka azeub siksa hana lawan
Jimoe sabee ureung ineng nam plôh limeng tujôh lapan
Azeub peudeh han pue tanyeng deungen ineng man saboh kawan
Jiduek ji eh ji jak ji deng lethat ineng jimoe sajan
...
Lom jibeudeh ineng ceulaka agam jiwa nibak badan
Trôh bak bahoe jiduek ineng jitanyeng meunoe lakuan
Nibak agam meunoe jitanyeng lee ineng soe rimueng kuran
Dilee galak keu lôn sidroe lam taki-taki uroe malam
Oh han lôn tem yôh saboh uroe meudeh meunoe lôn ta padan
Terjemahan:
Suami yang celaka azab siksa tiada lawan
Menangis selalu si isteri enam puluh lima tujuh delapan
Azab pedih tidak dapat dengan isteri sebuah kelompok
dikatakan
Duduk tidur berjalan berdiri banyak sekali isteri menangis
...
Lalu bangun perempuan laki-laki dipeluk badannya
yang celaka
Lalu di bahunya duduklah ditanyakannya apakah begini
perempuan balasan
Pada laki-laki begini oleh perempuan dengan suara
ditanyakan harimau
Dulu engkau suka kepada engkau bohongi siang malam
saya seorang
Ketika saya tidak mau pada berbagai cara engkau rayu aku
55 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
satu hari
Siksa yang akan dialami oleh mereka yang tidak patuh kepada
suami dan berselingkuh dengan laki-laki lain tidak akan pernah
berhenti, kecuali pada hari Jumat dan bulan Ramadan. Disebutkan
dalam teks sebagai berikut:
hancô hutak lheuh ngen gaki tuleung ngen asoe jeut ka
karam
teumar meuwolom misei suboh lom geusipak hana macam
meunan azeub barang jan masa hana reuda uroe malam
malam Jumu‟at yang na reuda hana siksa ineng agam
la‟en nibak nyan buleun puasa yang na reuda Ti Islam
la‟en nibaknya hana reuda jih lam siksa hana macam
Terjemahan:
Hancur otak lepas kaki tulang dan daging sudah
tiada
Lalu kembali seperti semula lalu disepak lagi dengan
sangat keras
Begitulah azab sepanjang masa tiada reda siang dan malam
[Cuma] Malam Jumat yang reda tidak disiksa laki-laki dan
[tidak disiksa] perempuan
Selain itu pada bulan puasa yang tidak disiksa [hai] Ti
Islam
Selain itu tidak perlah lekang mereka dalam siksa tiada
dari siksaan tara
Setelah mendapatkan pengajaran yang demikian panjang
lebar, kepada Siti Islam kemudian diajarkan tentang bagaimana
seharusnya kehidupan seorang isteri terhadap suami dalam
berumah tangga. Nabi menjelaskan panjang lebar tentang ciri-ciri
isteri yang baik yang dapat membawa kebahagiaan dunia dan
akhirat serta akan mendapat balasan surga di akhirat. Seorang
perempuan harus tunduk dan patuh kepada suaminya serta
menjaga keharmonisan rumah tangga sesuai aturan agama, karena
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 56
surga berada di bawah telapak kaki suami.
Lam syuruga wahe Nyak Ti diyub gaki ureung agam
Diyub tapak gaki suami ta deunge hai meunoe kalam
Terjemahan:
Dalam surga wahai Nyak Ti di bawah kaki laki-laki
Di bawah telapak kaki suami dengarkanlah kalam seperti ini
Sebagai contoh, setiap kali suami pulang, si isteri harus selalu
mencium lututnya dengan wajah tersenyum. Contoh teks:
Oh woe lakoe geunap seupôt côm bak tu‟ôt barangkajan
Terjemahan:
Ketika pulang suami di waktu cium di lutut kapan saja
sore
Nabi juga menjelaskan bahwa seorang isteri harus menjadikan
suaminya sebagai guru dan tempat belajar. Kalaupun tidak bisa
seperti itu, maka isteri harus minta izin kepada suami untuk
mencari ilmu kepada ulama:
Teumar guree nibak lakoe tameureunoe kebajikan
Adat banta lakoe gata bak ulama taberjalan
Lake izin nibak lakoe suara bandum ban meunisan
Beuna izin nibak lakoe jak meureunoe iluemee Tuhan
Terjemahan:
Lalu bergurulah kepada suami belajarlah kebajikan padanya
Bila suami anda tidak bisa kepada ulama engkau pergi
Minta izin kepada suami suara dan tingkah laku semuanya
harus manis
Harus ada izin dari suami pergi menuntut ilmu Tuhan
Siti Islam dengan tekun dan penuh khidmat mengikuti ajaran
Nabi. Ia terus mendesak Nabi untuk menceritakan segala hal yang
57 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
terkait dengan kehidupan isteri dan suami serta akibat-akibatnya.
Siti Islam pada awalnya tidak berniat untuk menikah, karena takut
tidak mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam
rumah tangga. Atas petunjuk Nabi, ia akhirnya menikah dengan
seorang anak Sultan yang bernama Rajawali. Nabi
memperingatkan agar Siti Islam tidak luput memperhatikan
rambu-rambu yang perlu ditaati sebagai seorang isteri nantinya.
Dalam membangun dan mempertahankan rumah tangganya, Siti
Islam kemudian menerapkan segala ajaran dan bimbingan Nabi
saw yang telah didapatnya. Ia adalah sosok perempuan yang
patuh secara mutlak terhadap ajaran Nabi.
Dalam menjalani rumah tangga bersama suaminya, Siti Islam
menyerahkan dan mengabdikan dirinya secara penuh kepada
suaminya tanpa ada rasa penolakan sedikit pun. Ia tidak pernah
berani bertindak tanpa seizin suami, termasuk untuk keluar
rumah. Pada suatu hari, Rajawali berniat hendak pergi jauh keluar
wilayah kerajaannya karena ada urusan penting yang harus
diselesaikan. Rajawali kemudian mengatakan bahwa Siti Islam
dilarang keluar rumah sebelum ia pulang. Semua harta dan
barangnya dititipkan kepada Siti Islam.
Di tengah-tengah pejalanan suaminya keluar kota5, orang tua
Siti Islam sakit keras. Karena harus menjunjung tinggi amanah
suaminya, Siti Islam memutuskan untuk tidak pergi melihat orang
tuanya. Orang tuanya pun meninggal. Siti Islam sangat sedih
mendengar berita tersebut, namun dia tidak berani pulang ke
rumah orang tuanya. Ia kembali pergi ke tempat Nabi dan
bertanya tentang masalah yang dihadapinya. Nabi menjawab
bahwa tindakan Siti Islam adalah benar. Tidak boleh sama sekali
berjalan bila tidak dengan seizin suami. Dikatakan oleh Nabi
bahwa Siti Islam akan mendapat pahala yang besar dengan sikap
tersebut dan orang tuanya akan berada di tempat yang baik,
karena anaknya yang taat kepada suaminya.
Ketika suaminya pulang, Siti Islam menceritakan kepada
5 Dalam teks disebutkan bahwa keluar rumah menuju pasar membutuhkan waktu cukup lama. Mungkin pasarnya jauh di negeri lain.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 58
suaminya tentang peristiwa yang sudah terjadi selama suaminya
tidak ada di rumah. Suaminya kemudian menjawab bahwa, untuk
segala hal yang terkait dengan orang tua, ia sebenarnya
mengizinkan Siti Islam pulang ke rumah orang tuanya untuk
melihat mereka yang sedang sekarat. Akhirnya keduanya, Siti
Islam dan Rajawali, pulang ke tempat orang tuanya. Ternyata
ibunda Siti Islam masih hidup dan dalam keadaan sakit parah,
namun ayahnya sudah tiada. Mereka bertiga sangat sedih dan
jatuh dalam pelukan kerinduan dan keterharuan. Ibunya kemudian
mewasiatkan kepada Siti Islam agar ia tetap menjaga dan
menghormati perintah dan larangan suaminya.
Setelah ibunya meninggal, Rajawali menggerakan rakyatnya
untuk mengadakan kenduri selama tujuh hari tujuh malam.
Dengan sukarela, ia mengeluarkan hartanya untuk memberi
makan fakir miskin dan rakyat untuk mengharapkan pahala bagi
orang tua isterinya.
Setelah itu, Siti Islam dan Rajawali, kembali kepada Nabi
untuk berkonsultasi tentang balasan dari apa yang telah mereka
kerjakan dan apa yang harus mereka lakukan setelah ibunya
meninggal. Nabi menjawab bahwa tindakan mereka adalah
pekerjaan yang terpuji. Ibu dan ayah Siti Islam berbahagia di
dalam kubur dan dapat merasakan kebaikan kedua anaknya.
Mereka berdua diharapkan selalu berdoa untuk orang tuanya dan
bersedakah untuknya.
Bandingan dengan naskah Siti Hazanah
Deskripsi
Naskah ini adalah koleksi Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai
Tradisional Aceh di Banda Aceh sebelum terjadi Tsunami tahun
2004 dengan nomor invetaris 007/NK/1998. Sebelumnya naskah
ini dikoleksi oleh Sulaiman di Aceh Besar.6 Naskah ini dapat
6 Naskah ini sudah musnah akibat tsunami pada tahun 2004, termasuk
gedungnya yang juga menyimpan sejumlah naskah Aceh lainnya. Meskipun
naskah asli tidak ada lagi, tetapi kopi naskah tersedia, karena pada tahun 2003
telah dicopy dan dibuat edisinya oleh Fakhriati atas dukungan dari Program
59 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
dikatakan berasal dari Aceh Besar karena pengarangnya bernama
Teungku Lam Ba‟it berasal dari Aceh Besar.7
Naskah Siti Hazanah berukuran 26x17 cm dan ukuran teks
24x16cm dengan jumlah baris 20 dan 21 pada tiap halaman. Alas
tulisnya adalah kertas Eropa dengan ciri bergaris tebal dan halus
dengan bayang-bayang di antaranya. Namun demikian tidak
terlihat watermark dan countermark di atas garis-garis tersebut.
Dari jenis kertasnya, dapat diprediksi bahwa umur naskah ini
berkisar antara abad ke-19M.8
Naskah ini terdiri dari tiga kuras, yang masing-masing kuras
terdiri dari delapan lembar, kecuali kuras ketiga yang terdiri dari
tujuh lembar. Ada kemungkinan bahwa salah satu lembar naskah
ini telah hilang. Sedangkan halamannya berjumlah 46 halaman
dan setiap halaman terdiri dari 21 baris. Tulisan naskah berbentuk
nastaklik dengan menggunakan tinta hitam untuk penulisan
secara umum dan rubrikasi untuk penekanan pada kata-kata
tertentu. Naskah ini memiliki ilustrasi dan iluminasi dalam bentuk
bunga sulur.
Naskah Siti Hazanah ini tidak memiliki kolofon di akhir teks,
kemungkinan karena halamannya yang sudah hilang. Namun
demikian pada halaman awal terdapat tulisan dalam bentuk
pyramid -- mungkin dapat dikatakan sebagai kolofon – yang
memberikan informasi tentang nama pengarang dan judul naskah,
yaitu Hikayat Abdurrahman. Namun demikian, gaya tulisannya
terlihat agak berbeda dengan tulisan di teks utama.
Terkait dengan judul naskah, setelah dibaca isinya, ternyata
naskah ini lebih layak diberi judul Kisah Siti Hazanah, karena
teks naskah ini bercerita lebih banyak dan lebih dominan tentang
kisah Siti Hazanah dalam mengarungi kehidupannya di dunia. Di
beberapa halaman awal teks memang ditulis tentang kehidupan
penggalakan Sumber-sumber Tertulis Nusantara, FIB-UI. 7 Sebutan nama orang berdasarkan nama tempat bisa bermakna tempat ia berasal
atau kepopulerannya dalam berkarier. 8 Untuk diskusi tentang jenis-jenis kertas Eropa dan watermarknya dapat dibaca dalam makalah Fakhriati, 2011.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 60
orang tua Siti Hazanah, Abdurrahman, yang bertemu dan
kemudian menikah dengan isterinya. Mereka kemudian hidup
bersama dalam kekurangan di tempat yang jauh dari jangkauan
manusia, yaitu di dalam hutan.
Ringkasan Isi
Teks naskah ini menceritakan tentang kehidupan Siti Hazanah
yang sejak kecil berada dalam kesendirian dan kesepian setelah
ditinggal wafat kedua orang tuanya. Setelah tumbuh besar, ia
menikah dengan Teungku Ahmad Qusyasyi9 dan hidup dalam
rumah tangga yang mawaddah dan rahmah. Selanjutnya ia
menghadapi berbagai macam rintangan dan tantangan selama
ditinggalkan suaminya ke tanah suci (Mekkah).
Sejak lahir, Siti Hazanah sudah hidup sendirian dan hanya
berteman dengan binatang di dalam hutan. Ia dipelihara oleh
malaikat dengan berpakaian dedaunan. Siti Hazanah tumbuh dan
berkembang menjadi seorang gadis. Pada masa ini, ia bertemu
dengan seorang laki-laki, yaitu Teungku Ahmad Qusyasyi.
Teungku tersebut tertarik melihat tingkah laku Siti Hazanah
sehingga ia ingin menikahinya. Siti Hazanah menyetujui menikah
dengannya dan hidup bersama dalam waktu yang tidak terlalu
lama, karena Teungku berkehendak pergi ke Mekkah.
Dalam kehidupan rumah tangganya, Siti Hazanah
menyerahkan hidupnya untuk beribadah dan untuk suaminya.
Waktu luangnya hanya digunakan untuk bertafakkur, menambah
pengetahuan agama, dan melayani suaminya. Sama seperti Siti
Islam, Siti Hazanah juga menghormati suaminya dengan
9 Ahmad Qusyasyi adalah guru tarekat Syattariyah Abdurrauf al-Fansuri dari
Arab, Mekkah. Nama tokoh Ahmad Qusyasyi menjadi populer di kalangan
masyarakat Aceh sejak diketahui bahwa Tarekat Syattariyah merupakan tarekat
yang paling populer di Aceh. (lihat Fakhriati, 2008). Selain itu, nama Ahmad
Qusyasyi juga didapatkan di dalam naskah-naskah lain seperti Sarakata „surat
raja-raja di Aceh‟. (lihat misalnya Sarakata uleebalang Cut Nyak Manfarijah
yang berdomisili di Dayah Tanoh, Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Ahmad Qusyasyi adalah tokoh yang populer bagi masyarakat Aceh.
61 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
mencium lutut suaminya ketika ia pulang dari bepergian.
Disebutkan dalam teks:
Teungku Syekh neurah gaki tuan Siti seumah lee reujang
Terjemahan:
Setelah Teungku Syekh tuan Siti langsung menyembah
mencuci kakinya di lututnya
Sama seperti Siti Islam, Siti Hazanah juga ditinggal pergi oleh
suaminya, namun suaminya tidak berpesan seperti pesan suami
Siti Islam. Ketika suami Siti Hazanah pergi ke Mekkah, ia hanya
mengatakan:
Lon keubah gata ubak Allah lon jak langkah rijang keunoe
Terjemahan:
Saya titipkan kamu pada Allah saya akan kembali dalam waktu
dekat
Pada masa ditinggalkan suami, Siti Hazanah mendapat cobaaan
yang cukup berat., Saudara dari pihak suaminya berusaha
menggangu kehormatannya. Tanpa goyah sedikit pun dalam hati,
Siti Hazanah mempertahankan dan memperjuangkan nama baik
suami dan kehormatannya semaksimal mungkin. Tidak ada celah
sedikit pun untuk orang lain bisa masuk untuk mengganggunya.
Ia harus menderita karena siksaan masyarakat sekitar akibat ulah
saudara suaminya.
Karena keteguhan dan kesufiannya, ia kemudian mendapat
pembelaan yang tidak diduga-duga. Ketika berjalan menelusuri
hutan dalam kesendirian, ia mendapat sambutan hangat dan kasih
sayang dari binatang-binatang. Ia kemudian mendapatkan balasan
yang setimpal dengan perbuatannya membela kebenaran dan
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 62
menjaga kehormatan suaminya.
Pesan-Pesan dalam Teks
Dalam kedua teks yang terdapat dalam dua naskah di atas
terdapat pesan bahwa hendaknya seorang perempuan dalam
mengarungi rumah tangga dan menghadapi masyarakat sekeliling
harus sesuai dengan ajaran Islam dan tuntunan Nabi. Pengarang
menekankan akan pentingnya seorang perempuan berperilaku
sesuai dengan tuntunan ajaran Islam agar mendapatkan
kebahagiaan ukhrawi dan disenangi oleh suami. Meskipun
demikian, dalam kehidupan praktis yang dialami kedua
perempuan tersebut, terdapat beberapa perbedaan pesan yang
dapat dipetik.
Dalam naskah Hikayat Siti Islam, pesan yang dapat dipetik
adalah:
1) Seorang perempuan harus benar-benar tunduk dan patuh
kepada suami, karena syurga berada di bawah telapak kaki
suami;
2) Tugas seorang perempuan sepenuhnya melayani suami
kapan pun dan dimana pun;
3) Seorang perempuan harus menjadikan suami sebagai guru
dan imam dalam hidupnya;
4) Seorang perempuan harus mendahulukan kepentingan
suami dari pada kepentingan orang tuanya.
5) Bila tidak berlaku atau bersikap seperti di atas, maka azab
akan menimpanya di hari kiamat tanpa henti, kecuali pada
hari Jum‟at dan bulan Ramadan.
Sementara dalam naskah Siti Hazanah, pesan yang dapat diambil
adalah:
1) Seorang makhluk Allah, khususnya perempuan, harus
melayani suami dengan baik, namun dia juga
diperkenankan untuk menyisihkan waktu untuk
kepentingan pribadinya dalam hal beribadah kepada Allah
SWT;
63 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
2) Seorang perempuan harus bisa berperilaku baik kepada
kepada suami dan kepada siapa pun makhluk Allah yang
ada di dunia;
3) Seorang perempuan harus mampu menjaga kehormatan
dirinya, meskipun berada dalam lingkungan yang tidak
mendukung kepadanya;
4) Seorang perempuan diharapkan dapat mencapai tujuan
hidupnya yang utama, yaitu mencapai tingkat yang paling
tinggi dalam kesufian berupa makrifatullah.
Perilaku Lingkungan Siti Islam dan Siti Hazanah
Lingkungan Siti Islam yang tersebut dalam naskah pertama
berbeda dengan lingkungan Siti Hazanah dalam naskah kedua.
Siti Islam berada dalam lingkungan yang menganut budaya
patrilineal, yaitu seorang isteri harus berada penuh di bawah
naungan dan pengawasan suami. Isteri tidak dibenarkan keluar
dari pantauan dan pengawasan suami sedikit pun. Siti Islam harus
mengalami kesedihan dan kehancuran hati karena tidak dapat
bertemu dengan orangtuanya yang sedang sekarat, hanya
disebabkan belum ada izin suaminya untuk pergi ke rumah orang
tuanya.
Meskipun demikian, lingkungan Siti Islam sangat mendukung
kehidupan dan perilaku Siti Islam yang telah dibentuk
sebelumnya. Siti Islam mendapatkan seorang suami yang kaya
dan berpendidikan agama yang tinggi, sehingga ia dapat
menerapkan segala bentuk pengajaran dari Nabi yang
didapatkannya sebelum menikah. Siti Islam benar-benar taat
kepada perintah suaminya. Ia menghormati dan melayani
suaminya sebagaimana diajarkan Nabi. Siti Islam selalu
menjunjung tinggi pesan-pesan suaminya, meskipun ia harus
menahan hatinya untuk tidak menjenguk orang tuanya yang sakit.
Demikian juga dengan suaminya. Ia sangat sayang kepada Siti
Islam sebagai isteri yang sangat baik baginya. Ia memberikan
peluang kepada Siti Islam untuk menjaga hartanya, dan sekaligus
berbuat baik kepada orang lain, terutama kepada orang tuanya.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 64
Hal ini dapat dilihat ketika ia mendengar keluhan Siti Islam
tentang orang tuanya yang sedang sakit, namun Siti Islam tidak
berani keluar rumah, karena belum ada izin suaminya. Suaminya
memberitahu Siti Islam bahwa untuk berkunjung kepada orang
tua, tidak menjadi larangannya. Di dalam teks disebutkan:
Meunyo tawoe saket umi selama lôn bri wahe Intan
Hana lôn tham saket umi geugrak pakri hai buleun trang
Terjemahan:
Bila engkau pulang untuk lihat selamanya saya izinkan
ibu sakit
Tidak saya larang pada pergi saja hai Bulan terang
sakit umi
Ibu Siti Islam juga memberi dukungan penuh kepadanya agar
selalu setia kepada suami, kapan dan di mana pun. Pelayanan
yang sempurna kepada suami sangat ditekankan oleh orang
tuanya, sehingga mereka pun dapat hidup dalam rumah tangga
yang mawaddah dan rahmah. Karena itu, ibunya tidak keberatan
bila Siti Islam tidak menjenguknya, dikarenakan belum adanya
izin suami.
Kondisi masyarakat luas lainnya yang berada di lingkungan
Siti Islam juga sangat mendukung kehidupan dan perilaku Siti
Islam dan suaminya. Ketika mereka berdua harus melaksanakan
ritual atas meninggalnya orang tua Siti Islam, seluruh masyarakat
dan rakyat yang ada di wilayah tempat tinggal Siti Islam dan
suaminya membantu dan saling bahu- membahu mensukseskan
acara tersebut. Hal ini terjadi karena suami Siti Islam sendiri
adalah raja yang berhasil memimpin umatnya.
Berbeda dengan lingkungan Siti Islam, Siti Hazanah
mendapat kesempatan untuk keluar rumah dan mempertahankan
dirinya sebagai perempuan suci di hadapan masyarakat luas. Ia
bahkan mampu menyendiri ke hutan untuk mencari ketenangan
hidup dan mencapai tujuan kesufian tingkat terakhir.
65 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Meskipun demikian, Siti Hazanah hidup dalam lingkungan
yang kurang menguntungkan bagi dirinya. Di satu sisi, suami Siti
Hazanah sangat sayang kepada isterinya. Ia memberikan
kebutuhan isterinya dalam berbagai sisi, termasuk kebutuhan
untuk beribadah. Di sisi lain, keluarga suaminya tidak
menghargai Siti Hazanah sebagai bagian dari keluarganya yang
perlu dilindungi dan dijaga kehormatannya. Adik suaminya
berani mengganggu Siti Hazanah yang sedang sendirian karena
ditinggal suami untuk pergi haji. Karena tidak berhasil untuk
mengotori kehormatan Siti Hazanah, ia pun dengan beraninya
menjelekkan dan memfitnah Siti Hazanah di hadapan masyarakat
luas.
Tanggapan masyarakat menjadi keliru terhadap Siti Hazanah.
Segala fitnah dan penyiksaan dari masyarakat luas ditimpakan
kepada Siti Hazanah. Siti Hazanah menerimanya dengan penuh
kesabaran dan ketabahan, namun sebagai manusia ia memiliki
keterbatasan. Siti Hazanah akhirnya memutuskan untuk keluar
dari kampung tersebut dan pergi menyendiri di hutan serta
berpisah dengan suaminya.
Lingkungan di hutan yang terdiri dari berbagai macam
binatang sangat sayang kepada Siti Hazanah. Mereka bahu
membahu memberi bantuan dan perlindungan kepada Siti
Hazanah, sehingga Siti Hazanah mendapatkan ketenangan hidup.
Ia dapat menjalankan ibadah dengan baik sampai akhirnya ia
mendapatkan derajat paling tinggi dalam kesufiannya, yaitu
makrifatullah.
Lifestyle Perempuan Aceh Dan Isi Teks
Dua naskah di atas memberikan gambaran dan pengajaran kepada
perempuan Aceh dalam menjalani kehidupan rumah tangga,
terutama suami mereka, keluarga, dan masyarakat. Naskah ini
juga menunjukkan bahwa salah satu ciri perempuan Aceh adalah
patuh kepada ajaran agama dan tangguh menghadapi segala
cobaan dan rintangan.
Isi naskah Hikayat Siti Islam diperuntukkan kepada
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 66
perempuan Aceh agar mereka dapat membaca dan mengikuti
ajaran dan perilaku serta konsep yang wajar menurut Islam, yaitu
yang sesuai dengan ajaran Nabi. Cara kehidupan sehari-hari yang
harus dipraktikkan dalam kehidupan berumah tangga, terutama
dengan suami diuraikan secara detail, agar dapat dicontoh oleh
perempuan Aceh pada umumnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, hal seperti yang diungkapkan
dalam naskah di atas sebagian besar telah diterapkan oleh
perempuan Aceh, terutama pada masyarakat tradisional yang
tinggal di desa dan dayah, yang belum terkontaminasi oleh
budaya luar. Para perempuan/isteri pada umumnya tunduk dan
patuh kepada suaminya tanpa mengharap imbalan apa pun selain
rida dari Tuhannya.
Di dayah, misalnya, pengajaran seperti yang terdapat dalam
hikayat tersebut dijumpai dalam bahan ajar untuk santri. Tidak
hanya itu, mereka juga membaca kitab-kitab lain, seperti kitab
fikih terkait dengan hal yang layak dan tidak layak dilakukan, dan
hal yang dianjurkan dan tidak dianjurkan agama dalam berumah
tangga dan bermasyarakat. Pada intinya, perempuan harus secara
total berada di bawah penguasaan suami. Bacaan-bacaan dari
berbagai kitab yang disediakan di dayah menjadi tauladan dan
pedoman mereka dalam bergerak dan bertindak di dalam
kehidupan sehari-hari.
Tradisi yang masih sangat jelas dilihat di Aceh adalah tradisi
mencium lutut ketika suami pulang dan datang dari jauh atau
pada hari-hari tertentu, seperti hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Tradisi tersebut juga diberlakukan kepada orang yang patut
dihormati, misalnya guru mereka. Karena itu, suami adalah orang
yang patut dihormati, serupa dengan seorang guru, dan salah satu
cara penghormatan adalah dengan mencium lututnya. Di dayah
Darussaadah dan Darussalam Teupin Raya, Pidie, tradisi ini
masih berlaku hingga sekarang. Setiap santri dan masyarakat
kampung lain mencium lutut gurunya ketika bertemu untuk
belajar dan ketika selesai belajar. Demikian juga, ketika
menjumpai guru pulang dari Mekkah.
67 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Di desa-desa yang dekat dengan dayah, seorang isteri
diwajibkan mencium lutut suami pertama sekali adalah ketika
berlangsungnya acara pernikahan. Setelah selesai ijab qabul,
maka hal yang pertama sekali dilakukan isteri adalah mencium
lutut suami sebagai tanda penghormatan awal kepada suami.10
Ketangguhan seorang perempuan dalam berjuang
mempertahankan agama dan kehormatan dirinya seperti yang
diceritakan dalam naskah kedua juga terlihat dalam jati diri
perempuan Aceh. Perempuan dari suku Aceh dikenal dengan sifat
dan wataknya yang agamis, berani, dan tangguh, baik dalam
memperjuangkan keluarganya maupun agama dan negara. Gerak
dan langkahnya yang tiada mengenal lelah telah mewarnai sejarah
Aceh. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan Aceh dalam sejarah
sebagiannya adalah karena campur tangan perempuan Aceh.
Sebagaimana contoh yang diuraikan dalam sejarah, tentang
seorang perempuan di Bireun yang telah berhasil mendorong
suami dan anak-anaknya untuk menjadi raja. Putroe Manyang
Seuleudong atau ada yang menyebutnya dengan Dewi Ratna
Keumala, Anak Meurah Jeumpa, yang cantik rupawan serta
cerdas dan berwibawa telah mendukung karir dan perjuangan
suaminya sehingga berhasil mengembangkan sebuah Kerajaan
Islam yang berwibawa di wilayah tersebut. Selanjutnya dikatakan
kerajaan tersebut menjadi cikal bakal lahirnya Kerajaan Islam lain
di wilayah Perlak, Pasai, Pedir dan Aceh Darussalam11
.
(Haslinda, 2008:14).
Contoh lain tokoh-tokoh perempuan Aceh yang berani berada
di garis depan dalam berjuang melawan penjajah Belanda yang
ingin meruntuhkan agama dan negara adalah Cut Nyak Dhien,
Cut Meutia, Malahayati, dan para inong balee lainnya.
Ketangguhan mereka dalam menghadapi dunia yang tidak sejalan
dengan kepribadian, agama dan negara mereka telah diabadikan
dalam sejarah, namun dalam setiap tindakan yang mereka
10 Hasil observasi di wilayah Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Besar. 11 Lihat http://www.atjehcyber.tk/2011/04/putroe-jeumpa-manyang-seuleudong-maha.html
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 68
lakukan telah mendapatkan izin sebelumnya dari suami mereka.
Kehidupan mereka tetap berada di bawah penguasaan suami. Cut
Nyak Dhien melakukan perjuangan terhadap Belanda atas izin
suaminya. Ia pergi berdampingan membantu suaminya terjun ke
dalam medan perang. Cut Meutia, atas izin suaminya, bergerak
melawan penjajah. Malahayati berjuang melawan penjajah
melanjutkan perjuangan suaminya yang telah mendahuluinya di
laut.
Teungku Fakinah dari Lam Krak, Aceh Besar (1856 - 1933M),
adalah contoh perempuan Aceh lainnya yang memiliki semangat
dan jiwa yang luhur untuk memperjuangkan agama dan
negaranya. Pada mulanya ia mendukung penuh suaminya untuk
berjuang melawan Belanda. Setelah suaminya meninggal, ia
bergerak mengumpulkan perempuan-perempuan lain untuk
berjuang melawan Belanda. Meskipun demikian, ia tidak bisa
dengan leluasa berjuang di tengah-tengah masyarakat banyak,
karena pandangan masyarakat umum menjadi tidak bagus bila ia
sendirian tanpa ada laki-laki yang mendampinginya pergi keluar,
apalagi untuk berjuang. Akhirnya ia memutuskan untuk menikah
lagi. Akan tetapi dalam berjuang, suaminya kemudian meninggal
lagi. Ia lalu berniat ingin melaksanakan ibadah haji, namun
masalah timbul lagi, yaitu tidak adanya suami sebagai muhrim
untuk pergi jauh, apalagi untuk beribadah. Akhirnya ia menikah
untuk ketiga kalinya. Kali ini suaminya meninggal di tanah suci.
Ia kembali berdiam di dayah dan mengajar mengaji para
santrinya. (Ismail, 2004:31-44).
Di dalam rumah tangga, pada masa perjuangan melawan
Belanda, perempuan Aceh mampu berperan sebagai isteri yang
sabar menanti suaminya pergi berperang dan dengan setia
menjaga anak-anaknya. Dalam lirik lagu yang disenandungkan
bagi anak-anak balita, tercermin peran mereka.
Aduhai do ku do da idi (Aduhai do ku do da idi)
Meurah Pati ateuh awan (Burung Merpati di atas awan)
Beuridjang rajeuk Banta Saidi (Cepat Besar Anakku
Sayang)
69 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Djak Prang Sabi Bela Agama (Pergi ke Medan Perang
Membela Agama)12
Karena itu dapat dikatakan bahwa setiap aktivitas perempuan
Aceh, meskipun dia berada di luar rumah untuk kepentingan umat
dan agamanya, tetap berada di bawah pengontrolan suaminya.
Siapno mengatakan bahwa kebebasan perempuan Aceh tidak
sepenuhnya berlaku. Kejayaan menguasai negara juga tidak
sepenuhnya berada di tangan perempuan. Mereka tetap berada di
bawah kekuasaan laki-laki. (Siapno, 2002).
Ajaran Islam telah mengatur hak dan kewajiban perempuan
dan laki-laki sesuai dengan fungsinya masing-masing. Perempuan
berbeda dengan laki-laki dalam hal kekuatan fisik sehingga ia
perlu mendapatkan perlindungan dari laki-laki. Selanjutnya
perempuan adalah makhluk yang dipimpin oleh laki-laki karena
adanya ayat yang mengatakan bahwa laki-laki sebagai qawwam.
(Shihab: 2005, 338-339). Meskipun ayat tersebut diperuntukkan
kepada laki-laki yang mencari nafkah. Kemudian perempuan
mendapatkan tempat lebih banyak di rumah untuk menjadi
sebagai ibu dan menjaga keluarga dan harta suaminya, karena di
luar dia harus dijaga oleh suami sebagai muhrimnya.
(Muslikhati, 2004:114-122).
Selain dari itu, setidaknya ada tiga faktor yang membentuk
gaya hidup perempuan Aceh seperti tersebut di atas. Pertama,
pengaruh didikan orang tua yang sejak kecil menanamkan
pendidikan Aagama dan cara bergaul Islami. Perempuan Aceh
sangat taat kepada agama, karena didikan orang tua untuk
menyantri. Adalah kewajiban orang tua untuk memasukkan anak
perempuannya ke pendidikan agama, yaitu pendidikan menyantri
di pesantren. Pengaruh pendidikan ini telah membuat perempuan
Aceh secara mutlak tunduk dan patuh kepada orang tua sebelum
menikah dan kepada suami setelah menikah. Tidak ada pilihan
lain. Terkadang para suami memanfaatkan kesempatan ini dengan
12 Lihat http://www.Gender Aceh/12981-Posisi-Perempuan-Dalam-Politik-Melayu-Aceh.html
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 70
memperlakukan isterinya sekehendak hati. Akhirnya para isteri
hanya bisa pasrah dan kembali kepada Tuhan yang Maha Esa.
Tempat pengaduannya hanyalah Tuhan yang Maha Esa.
Kedua, pengaruh pendidikan tradisional yang agamis yang
diperoleh dalam menyantri di dayah selama bertahun-tahun.
Melalui dayah juga, terbentuk pola pikir perempuan Aceh untuk
mempertahankan agama lebih dari segalanya. Pada masa
perjuangan melawan Belanda, tepatnya pada tahun 1919M, di
Matang Kuli, Aceh Utara, seorang santri perempuan berani
melakukan perjuangan untuk kepentingan agamanya dengan
membunuh kontroler Belanda. Dikatakan bahwa pada waktu
malam hari, ia bermimpi bertemu dengan Nabi, dan Nabi
memerintahkan untuk membunuh kafir yang mengganggu agama
dan negaranya. (Kern, 1979: 26-27).
Ketiga, lingkungan yang mendidik mereka untuk berjiwa besar
dan tangguh, karena kondisi politik dan pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga sebagian besar tertumpu kepada mereka.
Perempuan Aceh hidup dalam sejarah perjuangan yang cukup
panjang, mulai dari perjuangan menghadapi Portugis, Belanda,
Jepang, dan kemudian setelah kemerdekaan konflik telah terjadi
berkali-kali di Aceh.
Reaksi Sosial Terhadap Perilaku Perempuan Di Aceh
Model kehidupan yang dipraktikkan oleh perempuan Aceh,
kemudian, dimanfaatkan oleh lawan jenisnya untuk mengambil
berbagai keuntungan. Perempuan sepertinya tidak kuasa untuk
melawannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, idiom untuk perempuan sebagi
isteri adalah njang po reumoh (yang memiliki rumah) (Siegel,
1969:51) di dalam rumah tangganya. Hal ini tetap berlangsung
sampai dewasa ini, dan sebutan umum untuk isteri oleh suaminya
menjadi peureumoh. Hal ini tersirat maknanya bahwa seorang
isteri tempatnya di rumah, berfungsi melayani suami dan menjadi
ibu untuk anak-anaknya sebagai hal yang mutlak. Selanjutnya,
isteri, kadang, juga mampu berperan di luar rumah, mencari
71 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
nafkah untuk kebutuhan keluarganya. Pada abad 16-17M,
perempuan Aceh telah menunjukkan kemampuan untuk
melakukan dua fungsi tersebut. (Reid, 2006). Mereka diizinkan
para suami mereka untuk keluar rumah mencari nafkah.
Penyalahgunaan kemampuan perempuan pun muncul. Tidak
jarang perempuan Aceh diperlakukan buruk oleh para lelaki,
terutama suaminya, dipaksa memeras tenaganya lahir dan batin
dalam menanggung beban keluarga, membesarkan anak-anaknya,
serta tidak luput juga melayani suami yang tinggal menunggu
yang sudah jadi dan masak. Bahkan kadang lebih tragis lagi, yaitu
bahwa seorang isteri kadang harus menyuapi atau memasukkan
makanan ke dalam mulut sang suami.
Mungkin menjadi wajar bila isteri melayani suami hanya di
rumah saja, tidak untuk mencari nafkah di luar, sebagaimana
dipaparkan dalam naskah bahwa Siti Islamdengan segala
sukarelanya melayani suaminya hingga dalam bentuk yang
sekecil-kecilnya, sampai pada tahap mencuci tangan suami bila ia
hendak makan. Di dalam teks disebutkan:
Oh neupajôh bu jirah jaroe Ketika makan suami dia [Siti
Islam] mencuci tangan suaminya
Mungkin aktivitas utama perempuan ada di sektor domestik
sesuai dengan fitrahnya sebagai perempuan yang berbeda dengan
laki-laki. Dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh Baihaqi,
Nabi memberikan jawaban kepada pertanyaan yang diajukan oleh
seorang perempuan yang mewakili perempuan lain, yaitu...
Pergilah kepada perempuan mana saja dan beritahukanlah
mereka yang ada di belakangmu, bahwa kebaikan salah seorang
di antara kalian (para perempuan) dalam memperlakukan
suaminya, mencari keridaan suaminya, dan mengikuti
keinginannya adalah mengalahkan semua itu... (HR al-
Baihaqi).13
Tekait dengan penyalahgunaan kemampuan yang dimiliki
13 Untuk isi hadis secara keseluruhan dan cerita lebih rinci lihat Muslikhati, 2004:127-129.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 72
perempuan, dewasa ini, di desa-desa masih ditemukan lelaki
beristeri yang duduk berjam-jam di kedai kopi menghabiskan
waktu untuk menunggu si isteri pulang kerja dan selesai
memasak. Bila mereka pergi ke sawah, maka para perempuan
bertugas menanam padi sementara suami duduk di atas rangkang
menonton isteri bekerja. Cerita lisan juga didapatkan dari rakyat
Aceh tentang kisah kehidupan keluarga Pak Pande. Isteri Pak
Pande adalah orang yang bertanggung jawab memenuhi
kebutuhan keluarganya, sementara Pak Pande sendiri bermalas-
malasan menunggu dari hasil yang dibawa oleh isterinya untuk
kebutuhan rumah tangganya. (Siapno, 2002:91-101).
Eksploitasi terhadap perempuan mungkin tidak hanya ditinjau
dari sisi keinginan dan kemauan para laki-laki saja, akan tetapi
juga pengaruh budaya masa lampau, yaitu masa sebelum datang
Islam, yang masih tersisa dari satu generasi ke generasi
selanjutnya. Budaya Aceh sangat mungkin masih diwarnai sisa
pengaruh budaya Hindu14
meskipun sebenarnya ajaran Islam
lebih mendominasi.
Tradisi seperti di atas, tidak hanya berlaku pada perempuan
Aceh, akan tetapi di wilayah lain juga, seperti Batak. Di Batak,
seorang isteri dikatakan baik bila ia dapat menunjukkan
keberhasilan mengurus suami, keluarga dan saudara pihak suami
dalam menyiapkan segala kebutuhan rumah tangga dan dapat
mencari nafkah di luar15
. Kemungkinan besar hal ini didasarkan
kepada tradisi pernikahan yang berlaku di Batak. Perempuan
yang baru menikah sering kali disendaguraukan oleh keluarga
pihak suami bahwa dia harus tunduk dan patuh dan melayani
suami serta keluarga karena sudah dibeli, ibarat dagangan yang
14 Pengaruh kental dari budaya Hindu di Aceh masih dapat dilihat dalam cara
pelaksaaan ritual peusijuek (tepung tawar), meskipun sudah dimodifikasikan
dengan ajaran Islam. Lihat karya Saifuddin Dzuhri, „Peusijuek; Sebuah Tradisi
Ritual Sosial Masyarakat Pasee dalam Perpektif Tradisionalis dan Reformis‟
artikel dipresentasikan pada International Conference on Aceh and Indian
Ocean Studies II Civil Conflict and Its Remedies, 23 – 24 February 2009, Banda Aceh, Indonesia. 15 Hasil observasi dan wawancara dengan perempuan-perempuan asal Batak.
73 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
sudah dibeli. Kata beli dalam bahasa Batak disebut dengan boli
atau disebut juga dengan tuhor. Boli dan tuhor ini, kemudian
setelah datang Islam, berubah maknanya menjadi mahar yang
diserahkan kepada pihak calon isteri, yang menandakan bahwa
perempuan tersebut sudah sah menjadi isteri suaminya.
(Parsadaan Marga Harahap, 1993: 270-271).
Tradisi seperti ini memiliki kemiripan dengan tradisi yang
berlaku pada masa Majapahit. Setelah diberikan tukon (mahar)
perempuan dianggap seperti barang yang sudah laku dan dia
seratus persen berada di bawah kekuasaan suami dan
keluarganya. Dalam rumah tangga, si isteri hanya berfungsi
sebagai pelayan semata untuk suami, keluarga, dan anaknya. Dia
tidak memiliki hak sama sekali untuk mengatur dan membuat
keputusan dalam rumah tangga. Anak adalah milik suami, isteri
hanya melahirkan saja. Seperti dalam hal mencari jodoh anaknya
si ibu tidak punya hak sama sekali untuk menjodohkan anaknya,
dan bila juga terjadi, maka ayahnya dapat menceraikan anaknya.
(Muljana, 2006:251-253).
Penutup
Kisah perempuan dalam dua manuskrip Aceh yang menjadi fokus
dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai refleksi gaya
hidup perempuan pada umumnya di Aceh, terutama mereka yang
tinggal di pedesaan terpencil dan jauh dari pengaruh budaya luar,
sementara perempuan yang tinggal di perkotaan, gaya hidupnya
sudah dipengaruhi oleh gaya hidup „modern‟ yang datang dari
berbagai budaya di dunia. Korelasi positif ditemukan dalam sikap
dan tingkah laku serta gaya hidup perempuan, baik dalam sejarah
maupun dalam kehidupan sekarang ini pada masyarakat
pedesaan. Kehidupan mereka diwarnai sifat patrilineal, yaitu
mereka berada pada posisi di bawah kekuasaan laki-laki. Hal ini
terjadi karena pengaruh sistem budaya lokal dan kemudian
dipadukan dengan budaya dan ajaran Islam. Karena itu, dapat
dikatakan bahwa bias gender masih sangat kentara untuk suku
Aceh, meskipun tidak separah pada suku Batak dan Bali yang
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 74
masih memperlakukan perempuan sebagai manusia kedua setelah
laki-laki dan membebani mereka dengan pekerjaan di dalam dan
di luar rumah tangga.
Selain dua manuskrip di atas, masih banyak manuskrip Aceh
lainnya yang menceritakan tentang hal yang berkaitan dengan
perempuan di Aceh, karena diketahui bahwa Aceh adalah salah
satu gudang manuskrip Nusantara. Karena itu, penelitian untuk
kajian perempuan masih harus terus dilakukan untuk
mengungkapkan budaya-budaya pada masa lampau yang menjadi
bagian hidup perempuan.
Daftar Pustaka
Austin, R. W. J. (2003). “Feminin Sofianik (Perempuan Bijak)
dalam Karya Ibn Arabi dan Rumi”, dalam Warisan Sufi,
diedit oleh Seyyed Hossein Nasr dkk., diterjemahkan oleh
Ade Alimah dkk. Jogjakarta: Pustaka Sufi.
Azhari Noer, Kautsar dan Oman Fathurrahman (2002). “Pria-
Perempuan sebagai Korespondensi Kosmis: Perempuan
dalam Literatur Tasawuf”, dalam Mutiara Terpendam:
Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, diedit oleh Ali
Munhanif. Jakarta: Gramedia.
Churchill, W.A. (1935). Watermarks in Paper in Holland,
England, France in the XVII and XVIII Centuries and their
Interconnection. Amsterdam: Enno Hertzberger & Co.
Dhuhri, Saifuddin (2009). “Peusijuek; Sebuah Tradisi Ritual
Sosial Masyarakat Pasee dalam Perpektif Tradisionalis dan
Reformis”. Makalah International Conference on Aceh and
Indian Ocean Studies II Civil Conflict and Its Remedies, 23
– 24 February 2009, Banda Aceh, Indonesia.
Fakhriati (2008). Menelusuri Tarekat Syattariyah di Aceh melalui
Naskah. Jakarta: Balitbang dan Diklat Departemen Agama
RI.
Ismail, Nurjannah (2004). “Teungku Fakinah: Profil Ulama dan
Pejuang Perempuan Aceh”, dalam Ensiklopedi Pemikiran
75 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Ulama Aceh. IAIN Ar-Raniry Press.
Heawood, Edward (1986). Watermark: Malay of the 17th and 18
th
centuries. Amsterdam: The Paper Publications Society.
Kern, R. A. (1979). Hasil Penyelidikan tentang Sebab Musabab
terjadinya Pembunuhan, Trans. By Aboe Bakar. Banda
Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Muljana, Slamet (2006). Tafsir Sejarah Nagarakretagama.
Yogyakarta: LKiS.
Muslikhati, Siti (2004). Feminisme dan Pemberdayaan
Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta: Gema
Insani.
Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna (1993). Horja
Adat Dalihan Natolu. Bandung: Grafiti.
Reid, Anthony (1988). “Female Roles in Pre-Colonial Southeast
Asia”. Modern Asian Studies Vol. 22, No.3, Special Issue:
Asian Studies in Honour of Professor Charles Boxer. hlm.
629-645.
Reid, Anthony (eds.) (2006). Verandah of Violence: the
Background to the Aceh Problem. Singapore: Singapore
University Press.
Shihab, M. Quraish (2005). Perempuan. Jakarta: Lentera Hati.
Siapno, Jacqueline Aquino (2002). Gender, Islam, Nationalism
and the State in Aceh: The Paradox of Power, Co-optation
and Resitance. London: Routledge-Curzon.
Siegel, James T (1969). The Rope of God. Berkeley: University of
California Press.
Syahrul, Haslinda (2008). Perempuan Aceh dalam litas sejarah
Abad VIII – XXI. [s.n]: Pelita Hidup Insani.
Umar, Nasaruddin (2000). Paradigma baru Teologi Perempuan.
Jakarta: Fikahati Aneska.
---------------------- (2000). Kodrat Perempuan dalam Islam.
Jakarta: Fikihati Aneska.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 76
Situs Web:
http://www.Gender Aceh/12981-Posisi-Perempuan-Dalam-
Politik-Melayu-Aceh.html.
http://www.atjehcyber.tk/2011/04/putroe-jeumpa-manyang-
seuleudong-maha.html.
77 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Abstrak
Tulisan ini bermaksud memetakan hal-hal yang berkaitan dengan
kolofon Naskah Sunda Kuna (NSK), mencakup identitas penulis
atau penyalin, tempat, dan waktu penulisan naskah. Sebagai titik
pijak saya menggunakan penelusuran Munawwar Holil dan
Aditia Gunawan (2010) atas NSK koleksi Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, dengan pertimbangan bahwa di
Perpustakaan Nasional tersimpan NSK dalam jumlah terbesar,
di samping yang disimpan oleh masyarakat.
Untuk menganalisis identitas penulis-penyalin, serta tempat
dan waktu penulisan NSK, pertama-tama saya menyajikan tabel
yang berisi kode, judul, nama penulis-penyalin, tempat, dan
waktu penulisan NSK. Kedua, saya melakukan analisis atas
penulis-penyalin, tempat, dan waktu penulisan.
Kata Kunci: Naskah Sunda Kuna, Kolofon.
*) Peneliti di Pusat Studi Sunda (PSS). Bergiat di Rumah Baca Buku Sunda, dan
Sanggar Sastra Kampus (Sasaka) UIN Sunan Gunung Jati. Bisa dihubungi melalui surat elektronik, [email protected]. 16 Kata-kata ini bisa ditemukan pada baris-baris akhir Kropak 408 (Sewaka
Darma), yang diterjemahkan oleh Saleh Danasmita, dkk (1987:72) sebagai “ditulis di jalan”.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 78
Pendahuluan
Menurut hasil rekatalogisasi Holil dan Gunawan (2010),
Perpustakaan Nasional mengoleksi 63 Naskah Sunda Kuna
(NSK). Di samping menerakan jumlah NSK, kedua penulis itu
juga melampirkan pemerian NSK yang ada di Perpusnas RI. Dari
lampiran tersebut dapat diketahui ada beberapa puluh NSK yang
mengandung kolofon di akhir teksnya, karena kedua penulis itu
juga menyeertakan manggala atau awal teks NSK dan kalimat-
kalimat yang ada di akhir teksnya. Oleh karena itu, untuk
keperluan tulisan ini penelusuran keduanya sangat membantu.
Saya juga menggunakan berbagai sumber bacaan untuk
menambah luas pemahaman, termasuk di dalamnya, transkripsi,
transliterasi, dan terjemahan NSK yang selama ini telah
dikerjakan para filolog dan peneliti NSK. Selain itu, bahan-bahan
bacaan mengenai perikehidupan kegiatan literasi di Jawa Tengah
dan Timur, Bali, dan India, sejauh yang saya baca, juga
digunakan sebagai perbandingan untuk membaca identitas
penulis-penyalin, tempat, dan waktu penulisan NSK.
Untuk menganalisis identitas penulis-penyalin, serta tempat
dan waktu penulisan NSK, pertama-tama saya menyajikan tabel
yang berisi kode, judul, nama penulis-penyalin, tempat, dan
waktu penulisan NSK sebagaimana yang saya baca pada tulisan
Munawwar Holil dan Aditia Gunawan serta bahan-bahan dari
bacaan lainnya, yang pada gilirannya ditambahkan pada tabel
yang telah dibuat. Kedua, saya melakukan analisis atas penulis-
penyalin, tempat, dan waktu penulisan.
Tabel Kolofon Naskah Sunda Kuna
Koleksi Perpustakaan Nasional RI
No Kode Judul Penulis Tempat Waktu
1 1**Peti 85 Sanghyang
Siksa Kandang
Karesian
Nusakrata? Bulan ke-
10, Selasa
Manis
2 408 Peti Kawih Buyut Ni Pertapaan Ni
Teja Puru
79 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
16
Panyaraman Dawit Bacana, Kuta
Wawatan, Gn.
Kumbang
3 410 Peti 15 Carita Ratu
Pakuan
Gn. Larang Sri
Manganti
4 411 Peti 15 Ratu Pakuan Gn. Larang Sri
Manganti
5 416 Peti 15
Carita
Purnawijaya
Kai Raga Gn. Larang Sri
Manganti
6 420 Peti 15
Kawih
Paningkes
Kai Raga Sutanangtung
7 423 Peti 15
Carita
Purnawijaya
Kai Raga Gn. Larang Sri
Manganti
8 424 Peti 15
Kawih
Panyaraman
Gn. Larang
Sela
9 610 Peti 15
Pitutur ning
Jalma
cucu Sang
Sida, buyut
Téjanagara
Gn. Cikuray
10 621 Peti 15
Sanghyang
Sasana Maha
Guru
Desa
Mahapawitra,
Gn. Jedang
bulan ke-4
11 622 Peti
88
Warugan
Lemah
Rabu
Manis
12 623 Peti 16
Bimaswarga/Bi
maleupas
Euncu nu
Ngahérang
Gn. Cikuray bulan ke-1
13 625 Peti
88
Sri Ajnyana Mandala
Betung
Pamaringinan,
Cisanti
Bulan ke-8
14 626 Peti Sanghyang Buyut Gn.Cikuray, bulan ke-8
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 80
69
Swawar Cinta Téjanagara Hulukumbang
Batuwangi
15 628 Peti 16
Siksa Guru Lurah
Kamulan?
16 630 Peti 16
Sanghyang
Siksa Kandang
Karesian
bulan ke-
3, 1440
Saka (1518
M)
17 632b Peti
16
Kaluputan
Sanghyang
Darma
Hulu
Kumbang Batu
Wangi
18 633 Peti 16
Siksa Guru Desa Sunya bulan ke-
10
19 634 Peti 16
Sanghyang
Hayu
Désa
Mahapwité,
Tajak Barat,
Giri Wangsa
1445 Ś (±
1523 M)
20 636 Peti 16
Sanghyang
Hayu
Sang
Bujangga
Resi Laksa
Giri Sunya
21 637 Peti 16
Sanghyang
Hayu
Désa
Mahapawita,
Tajak Barat
22 638 Peti 16
Sanghyang
Hayu
Argasela,
Talagacandana
, Gn. Cupu
dimulai
Selasa
Kliwon,
bulan ke-7,
selesai hari
pon bulan
ke-9, 1357
Ś (± 1435
M).
81 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
23 641 Peti 16
Arjunawiwāha sang
Guguron?
Sanghyang
Mandala
Katyagan di
Gugur
1256 Ś
(1334 M).
24 642 Peti
88
Siksa Guru Desa
Mahapawitra
Tahun
Saka hlaŕ
twa ya
wu?
25 1095 Peti
69
Langgeng Jati Gn. Jati Sunya,
Hulu Alas
Sunya,
Mandala
Puntang
26 1097 Peti
69
Carita Jati Mula Sagara Wisésa
27 KBG 75
Wirid Kai Raga Jum’at
Kliwon,
Bulan
Muharam
“Beunang Diajar Nulis17
”
Dari tabel di atas, kita berkenalan dengan tujuh nama penulis-
penyalin NSK, yakni Buyut Ni Dawit, Kai Raga, Cucu Sang
Sida/Buyut Tejanagara, Euncu nu Ngaherang, Buyut Tejanagara,
Sang Bujangga Resi Laksa, dan Sang Guguron.
Ketujuh nama di atas, dengan jelas menunjukkan jenis
kelamin berbeda. Ada penulis perempuan dan ada juga laki-laki.
Penulis perempuan diwakili Buyut Ni Dawit, sementara penulis
17 Kata-kata ini muncul pada baris-bari menjelang akhir NSK Kropak 410
(Carita Ratu Pakuan), yang diterjemahkan oleh Undang A. Darsa (2007:217) sebagai “hasil belajar menulis”.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 82
laki-laki diwakili Kai Raga dan Sang Bujangga Resi Laksa.
Sedangkan Cucu Sang Sida/buyut Téjanagara, Euncu nu
Ngahérang, Buyut Téjanagara, dan Sang Guguron belum dapat
dipastikan jenis kelaminnya. Mengenai Buyut Ni Dawit, ada
keterangan menarik mengapa ia diasumsikan sebagai perempuan.
Menurut Saleh Danasasmita, dkk18
, Buyut Ni Dawit adalah
seorang wanita. Selengkapnya Danasasmita menyatakan:
Bila kata “buyut” berarti cicit, bukan gelar kehormatan untuk
pertapa ulung, tentu penyusunnya adalah cicit Ni Dawit tanpa
diketahui siapa namanya. Ada petunjuk bahwa pengarangnya
wanita, sebab ia bertapa di Gunung Kumbang di pertapaan Ni
Teja Puru Bancana. Pada halaman 39 iapun asyik
mengisahkan sebuah gisa (lesung) dengan istilah-istilah yang
khas untuk wanita seperti “dyangiran”, “dikasayan”, dan
“dipesekkan”. Di samping itu, iapun paham benar
kelengkapan pakaian bidadari yang tentu dikhayalkannya dari
pakaian wanita bangsawan dalam zamannya.
Untuk memperluas bahasan mengenai keterlibatan perempuan
dalam kegiatan baca-tulis dalam NSK, ada baiknya dilihat sumber
lain yang terkait dengan hal tersebut. NSK Bujangga Manik,
misalnya, dapat kita jadikan salah satu rujukan. Pada baris ke-850
hingga 868 naskah itu, digambarkan Bujangga Manik “digoda”
oleh rahib perempuan. Inilah gambarannya:
850 Datang tiagi (wa)don, Datang seorang pertapa
perempuan,
na rua mamarayaeun. rupanya ingin menjalin
persaudaraan.
Téka béka mulung lanceuk, Hingga terus-terang menganggap
kakak,
carékna: „Kaka lanceuking, katanya: „Kakandaku,
18 Saleh Danasasmita, spk. (1987: 1)
83 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Rakaki Bujangga Manik, Yang mulia Bujangga Manik,
855 haup aing ebon-ebon, kemarilah, aku ini rahib
perempuan,
aing na pitiagieun, aku calon biarawati,
manan hésé ku mamanéh, daripada sulit-sulit memikirkan
diri sendiri,
rusuh ku na panga/wakan, /16r/ repot karena penampilan badan,
héman ku na karuaan.‟ sayang sekali akan
ketampananmu.‟
860 Carékna Bujan(ga) Manik: Bujangga Manik berkata:
„Ku ngaing dirarasakeun. „Biarlah kupertimbangkan
dahulu.
Bawaing apus sata(m)bi, Kubawa kitab selengkapnya,
Ngaran(n)a na Siksaguru. Yang berjudul Siksaguru.
Carék di na apus téa: Menurut kitab itu:
865 “Kadiangganing ring geni, “Bagaikan kobaran api,
lamun padeukeut deung eu(n)juk, jika berdekatan dengan ijuk,
mu(ng)ku burung éta seungeut, sudah pasti terjadi
kebakaran,
kitu lanang deungeun wadon”.‟ begitulah antara laki-laki
dengan perempuan19
.”
Di samping Bujangga Manik, tulisan H.I.R. Hinzler perihal
naskah-naskah lontar di Bali20
bisa juga dijadikan rujukan. Ketika
membahas para penulis atau penyalin naskah (scribes), Hinzler
(1993: 464) menyatakan:
There was no caste or sex restriction on learning to write.
References to males and females being able to read and write
are to be found in literary texts as well as in the colophons of
manuscripts. Literary sources show this as early as the
sixteenth century, but data in texts from the nineteenth century
are the most abundant.
19 J. Noorduyn & A. Teeuw, Tiga Pesona Sunda Kuna (2009: 298-299). 20 H. Hinzler, „Balinese Palm-Leaf Manuscripts‟ dalam BKI 149 No. 3 (1993: 438-473)
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 84
Dari uraian Hinzler, tidak ada pembatasan yang jelas [dalam hal
kasta dan jenis kelamin] penulis dan pembaca naskah ketika
tradisi itu hidup di Bali, dan agaknya hal itu dapat diparalelkan
dengan kehidupan para pembaca dan penulis yang hidup di Jawa
Timur, Tengah, dan Jawa Barat, sekiranya tradisi menulis dan
membaca naskah masih hidup di wilayah yang bersangkutan.
Sebagaimana kita ketahui, tradisi menulis manuskrip di Bali
sangat terpengaruh budaya literasi India dan Jawa Timur,
terutama setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit, di penghujung
abad ke-15. Bila diterapkan pada tradisi menulis NSK, maka hal
tersebut pun agaknya tidak akan jauh berbeda.
Selanjutnya, yang menarik adalah Kai Raga. Nama penulis-
penyalin ini agaknya bukan nama sebenarnya. Bisa jadi nama itu
adalah nama gelaran. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa
naskah yang ditulisnya. Dari keempat naskah yang diakhiri
dengan keterangan Kai Raga, terselip naskah yang berisi unsur
keislaman, yakni NSK “Wirid” (KBG 75). Menurut Holil dan
Gunawan (2010: 146), naskah kertas daluang, bersampul kertas
marmer berwarna merah dan berjumlah 12 halaman itu berisi
perihal asal-usul terciptanya alam dan manusia, ditulis Kai Raga
pada hari Jum‟at Kliwon, bulan Muharram.
Karya yang ditulis Kai Raga tersebut bisa jadi sangat kontras
dengan naskah lain yang tertulis atas namanya, misalnya NSK
Kropak 420 yang ditulis di atas lontar, beraksara dan berbahasa
Sunda Kuna dan berisi dialog yang bersifat moral-religius antara
pendeta dengan Pwah Batari Sri sebagai penguasa alam
kahyangan. Di dalamnya, diterangkan pula tentang persiapan dan
pelaksanaan kegiatan peribadatan. Demikian pula dengan NSK L
423 yang juga ditulis oleh Kai Raga, di atas daun lontar,
beraksara Sunda Kuna dan Cacarakan, berbahasa Sunda kuna,
yang isinya hampir sama dengan NSK L 420.
Hal tersebut mengindikasikan, bahwa Kai Raga melintasi
zaman yang sangat panjang. Kalau dikaitkan dengan nama satu
orang pasti mengandaikan orang yang berumur sangat panjang,
85 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
hingga beratus tahun. Oleh karena itu, saya yakin Kai Raga tidak
merujuk pada nama seseorang, melainkan kepada nama gelaran.
Mengenai hal ini, penelusuran Pleyte mengenai Kai Raga dan
tulisan Hinzler dapat digunakan untuk membaca perihal tidak
dipentingkannya nama pribadi bagi para penulis-penyalin naskah
yang masih berada di bawah bayang-bayang budaya literasi
Hindu-Budha.
C.M. Pleyte menelusuri identitas Kai Raga21
. Menurut
penemuannya, Kai Raga yang menyerahkan beberapa NSK
kepada Raden Saleh yang pada tahun 1865 ditugaskan untuk
berkeliling Priangan untuk mengumpulkan peninggalan
purbakala, termasuk NSK. Kai Raga yang dianggap menyerahkan
naskah kepada Raden Saleh adalah cucu Kai Raga yang menjadi
pemuka kelompok keagamaan, yang pertapaannya terletak di
Gunung Cikuray, Garut. Selain itu, pada 1904, Pleyte berkunjung
ke Cikuray. Saat itu, ia mendapat keterangan dari lurah Desa
Ciburuy bahwa, menurut cerita rakyat di sana, pada mulanya
nama Cikuray adalah Sri Manganti, yang didasarkan pada nama
sebuah kampung yang terletak di lereng sebelah barat gunung
tersebut. Menindaklanjuti perjalanan itu, Pleyte mengirim surat
kepada Asisten Residen Garut, C.F.K. Huls van Taxis. Dalam
jawabannya, van Taxis menerangkan bahwa Cikuray memang
mulanya biasa disebut Sri Manganti. Pada mulanya Kampung Sri
Manganti termasuk dalam wilayah Desa Cigedug, namun
kampung tersebut tidak dikenal lagi karena telah ditinggalkan
penduduknya. Van Taxis juga menyatakan bahwa orang tidak
ingat lagi mengenai keberadaan pertapa di tempat tersebut.
Mengenai ihwal cucu Kai Raga, sejak tahun 1856, tidak ada lagi
keterangan yang lebih lanjut. Pleyte meyakini orang tersebut
dipastikan telah meninggal dan tidak meninggalkan keturunan.
Uraian Kai Raga dapat pula dibandingkan dengan Kiai
Windusana yang memelihara dan menuliskan kembali sejumlah
21 Lihat „Poernawidjaja‟s Hellevaart of de Volledige Verlossing‟ dalam TBG No.
56 (1914: 365-441) dan Ratu Pakuan: Tjeritera Sunda-Kuno dari Lereng Gunung Tjikura (1970) garapan Atja.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 86
naskah Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, dan Jawa Modern di
lereng Gunung Merbabu sebagaimana yang ditelusuri I. Kuntara
Wiryamartana dan Willem van der Molen22
. Menurut kedua
filolog itu, Windusana hidup di sekitar abad ke-18. Ia dikenal
sebagai pendeta tinggi dalam agama Budha dan dilaporkan
memiliki ribuan naskah yang aneh. Namun saat Bataviaasch
Genootschap mengambil naskah-naskahnya pada tahun 1852,
jumlahnya hanya berkisar empat ratusan naskah.
Selain menyatakan para penulis naskah itu bisa laki-laki
maupun perempuan, Hinzler menyatakan dua hal lain yang
berkaitan dengan para penulis-penyalin naskah. Pertama,
berkaitan dengan kriteria dan profesi penulis-penyalin naskah.
Menurut Hinzler, di Bali:
A Scribe, usually man, was a person of distinction. This is
apparent from the colophons of eighteenth and nineteenth-
century manuscripts. The rulers of the kingdom employed
scribes (manghuri, panyarikan, panulisan) not only of high-
caste families, but also of low-caste families23
. ...
Bila pernyataan tersebut kita tarik kepada kegiatan literasi NSK,
maka sebenarnya mengindikasikan bahwa para penulisnya
cenderung menyembunyikan nama mereka sebenarnya karena
mereka justru sedang menyembunyikan diri dari dunia luar atau
cenderung mengasingkan diri, bahkan menolak dunia luar
sebagaimana yang dapat kita temukan sosoknya pada diri
Bujangga Manik. Mereka kebanyakaan berasal dari kalangan
agamawan dan ada juga yang berasal dari kalangan istana. Tidak
terbatas hanya pada laki-laki semata, melainkan perempuan pun
ikut terlibat di dalamnya, baik karena mereka menjadi anggota
kelompok agamawan maupun karena termasuk kalangan istana.
22 „The Merapi-Merbabu Manuscripts: A Neglected Collection‟ karya W. Van der Molen dan I. Wiryamartana yang dimuat dalam BKI 157 No. 1 (2001: 52). 23 Hinzler (1993: 465).
87 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Giri Sunya24
Dari tabel di atas kita juga dapat berbicara mengenai tempat NSK
ditulis. Dari tabel itu nampak bahwa gunung dan sekitarnya,
seperti bukit dan puncak gunung (hulu), menjadi pilihan para
penulis-penyalin NSK untuk menulis. Dari tabel itu kita juga
mendapatkan nama Gunung Kumbang (Kawih Panyaraman),
Gunung Larang Sri Manganti (Carita Ratu Pakuan, Ratu Pakuan,
Carita Purnawijaya, Carita Purnawijaya), Gunung Larang Sela
(Kawih Panyaraman), Gunung Cikuray (Pitutur ning Jalma,
Bimaswarga/Bimaleupas, Sanghyang Swawar Cinta, Kaluputan
Sanghyang Darma), Gunung Jedang (Sanghyang Sasana Maha
Guru, Sanghyang Hayu, Sanghyang Hayu, Siksa Guru), Giri
Sunya (Sanghyang Hayu), dan Gunung Cupu (Sanghyang Hayu).
Sebagai catatan, sebagaimana yang termaktub pada
pembahasan mengenai penulis, dapat diketemukan keterangan
bahwa Larang Sri Manganti adalah nama lama Gunung Cikuray.
Dengan demikian, kalau dihitung, maka kita mendapatkan
delapan naskah yang dalam kolofonnya diterangkan ditulis di
Gunung Cikuray.
Meski banyak yang berlatar gunung, namun ternyata ada dua
naskah yang merujuk ke daerah dekat atau di sekitar laut., seperti
Naskah Kropak 1 Peti 85 Sanghyang Siksa Kandang Karesian
ternyata ditulis di Nusakrata? Dan Carita Jati Mula ditulis di
Sagara Wisésa. Kata nusa dan sagara dengan jelas
mengindikasikan daerah yang paling tidak berdekatan dengan
lautan. Namun tetap saja dengan banyaknya nama yang berkaitan
dengan gunung mengindikasikan sentralnya tempat tersebut
sebagai tempat penulisan NSK. Oleh karena itu, dalam bagian
berikut disajikan ulasan mengenai peran gunung dalam peri
kehidupan orang Sunda atau Jawa Barat.
Menurut Agus Aris Munandar25
, gunung memang dijadikan 24 Kata ini berasal dari nama yang dijadikan tempat penulisan NSK Kropak 636
(Sanghyang Hayu), sebagaimana yang terlihat dari deskripsi Gunawan & Holil (2010).
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 88
sebagai tempat keramat bagi kalangan masyarakat yang ada di
Jawa Barat. Keyakinan ini tidak saja hidup ketika ke daerah ini
hadir pengaruh agama Hindu-Budha, melainkan telah ada
sebelumnya, yakni ketika masyarakatnya berada di masa
prasejarah. Dari masa prasejarah, terutama dari masa bercocok
tanam dan perundagian, di Jawa Barat banyak peninggalan
megalitik yang terdapat di wilayah yang bergunung-gunung.
Tradisi megalitik ini berkaitan dengan konsep kultus leluhur,
yakni pemujaan pada arwah nenek moyang. Adapun tempatnya
yang berada di daerah ketinggian, seperti gunung, menunjukkan
bahwa masyarakat prasejarah di Jawa bagian barat percaya bahwa
leluhur bersemayam di puncak-puncak gunung, bukit, dan dataran
tinggi lainnya. Situs-situsnya, misalnya, situs Gunung Padang di
Cianjur, Pangguyangan, Salak Datar, Lebak Sibedug, Arca
Domas di pusat Kanekes, Banten Selatan, Batu Lulumpang di
Garut, Cipari, Cireme, dan sebagainya.
Saat memasuki periode pengaruh Hindu-Budha (kurang lebih
abad ke-9 hingga abad ke-16), gunung juga begitu sentral
perannya. Karena dalam keyakinan kosmologis Hindu-Budha,
Gunung Mahameru yang mempunyai empat puncak lain yang
lebih rendah dan terletak di tengah benua yang bernama
Jambhudwipa dipercaya sebagai pusat alam semesta. Sementara
alam semestanya berbentuk pipih melingkar seperti cakram.
Gunung tersebut dikelilingi tujuh lautan dan tujuh pegunungan
berselang-seling. Di puncaknya terdapat tempat tinggal para
dewa, yang dikepalai Dewa Indra. Di kedelapan arah mata
anginnya dijaga dewa Astadikpalaka sebagai pelindung alam
semesta.
Demikian pula yang terjadi pada keyakinan kosmologis
Budha. Di Gunung Meru terdapat alam berlapis-lapis. Bedanya,
25 “Kegiatan Keagamaan dalam Masyarakat Kerajaan Sunda: Data Prasasti dan
Karya Sastra” (1991) yang disajikan pada Seminar Nasional Sastra dan Sejarah
Pakuan Pajajaran, Bogor, 11-13 Nopember 1991, dan “Sebaran Situs Arkeologi
di Jawa Barat: Tinjauan Terhadap Dasar Konsepsi Keagamaan” (2001) yang
disajikan pada Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) I, Bandung, 22-24 Agustus 2001, dan kemudian dimuat dalam Prosiding KIBS 1 Jilid 1 (2006).
89 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
di luar lingkaran tujuh pegunungan itu terdapat lagi samudera,
yang di tengahnya, pada keempat arah mata angin utama, terdapat
empat benua. Benua yang terletak di sebelah selatan Gunung
Meru dinamakan Jambudwipa, tempat hidup manusia dan hewan,
sementara ketiga benua yang ada di timur, utara, dan barat dihuni
oleh mahluk ajaib.
Keyakinan ini terbawa ke Pulau Jawa, dan tentu saja ke Tatar
Jawa Barat, dan kemudian diterapkan pemeluk agama Hindu-
Budha yang ada di sana ke dalam lingkungan mereka. Dalam hal
ini, Munandar, misalnya, menafsirkan Prasasti Kawali I, terutama
baris ke-5 sampai ke-7, berkaitan dengan keinginan Prabu Raja
Wastu untuk menyelaraskan purinya dengan gambaran alam
semesta menurut ajaran Hindu-Budha. Demikian pula Sri Baduga
Maharaja yang membangun gugunungan, seperti yang termaktub
dalam Prasasti Batutulis, atau dalam NSK Sewaka Darma
terdapat uraian bahwa para dewata Hindu mempunyai istana
yang indah di Gunung Kendan, Medang, dan Menir.
Oleh karena kekeramatan itulah, gunung dan tempat-tempat di
sekitarnya dijadikan tempat tinggal, pengamalan keagamaan, dan
penyebaran ilmu oleh kalangan agama Hindu dan Budha, yang
disokong serta dilindungi kekuasaan kerajaan yang ada di Tatar
Jawa Barat. Dalam beberapa hal, bagaimana penguasa
melindungi situs yang ada di gunung dan sekitarnya, yang
dijadikan tempat penyebaran ilmu keagamaan khususnya dapat
terlihat dari sepak terjang Rakeyan Darmasiksa, Prabu
Jayadewata, dan Prebu Niskala Wastukancana. Rakeyan
Darmasiksa dalam NSK Kropak 632 (Amanat Galunggung)
menegaskan pentingnya memelihara kabuyutan atau tempat yang
dikeramatkan karena menjadi pusat pengamalan serta penyebaran
ilmu keagamaan, terutama Kabuyutan Galunggung. Ia
menyatakan [Terjemahan dari pernyataannya?]:
“Waspadalah, kemungkinan direbutnya kemuliaan
(kewibawaan kekuasaan) dan pegangan kesaktian (kejayaan)
oleh Sunda, Jawa, Lampung, Baluk, para pedagang (orang
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 90
asing) yang akan merebut Kabuyutan di Galunggung26
”
Hal itu karena dengan dikuasainya Kabuyutan Galunggung, maka
orang yang menguasainya akan beroleh manfaat dari sana,
seperti: memperoleh kesaktian dari tapa, unggul dalam berperang,
dan lama berjaya. Kabuyutan itu akan dikuasai orang lain karena
telah ditinggalkan rama dan resi, dua dari tiga unsur “trias
politika” Sunda kuna. Dengan demikian, kabuyutan itu harus
dipertahankan sekuat tenaga, bahkan sampai titik darah
penghabisan. Nasihat Rakeyan Darmasiksa juga sekali lagi
menekankan pentingnya Kabuyutan Galunggung:
“Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di
Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah kita di
sana....Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah
daripada rajaputra (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ke tangan
orang lain27
.”
Hal ini pun diperjelas dalam NSK Kropak 406 (Carita
Parahyangan), yang menyatakan bahwa Rakeyan Darmasiksa
adalah raja Sunda yang mendirikan lembaga pendidikan bernama
Sanghyang Binayapanti, dengan kompleks pendidikannya yang
disebut kabuyutan. Selain itu, Rakeyan Darmasiksa, yang
digambarkan sebagai titisan Dewa Wisnu, menjamin
keberlangsungan kehidupan keagamaan, baik yang menganut
kepercayaan kepada leluhur (ngawakan jati Sunda) maupun yang
memeluk agama lainnya. Dan yang lebih penting, ia mendorong
berlangsungnya tradisi baca-tulis atau literasi di kalangan
agamawan, sekaligus juga di kalangan istana28
.
26 Saleh Danasasmita dkk, (1987: 12). 27 Ibid (1987: 125-6). 28 Kutipan lengkapnya: Sang Rakeyan Darmasiksa, pangupatyan Sanghyang
Wisnu, inya nu nyieun Sanghyang Binayapanti, nu ngajadikeun para kabuyutan
ti sang rama, ti sang rêsi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina Parahyangan. Ti
naha bagina? Ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuh Sanghyang
91 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Hal serupa juga dilakukan Prabu Jayadewata. Pada Prasasti
Kabantenan (E.42-43) ia mengamanatkan kepada rakyatnya untuk
menjaga dan memelihara Jayagiri, Sunda Sembawa, dan tanah
Dewa Sasana yang berada di Gunung Samaya sebagai daerah
yang tidak boleh diganggu gugat. Wilayah tersebut juga tidak
boleh dikenai pajak karena merupakan daerah larangan, tempat
tinggal para wiku. Yang mencoba mengganggu daerah-daerah
tersebut diperintahkan untuk dibunuh. Dalam Prasasti E-44
daerah larangan itu disebut dengan nama kabuyutan dan
kawikuan.
Dalam Kropak 406 (Carita Parahyangan) pun ada gambaran
penguasa Sunda yang berdedikasi tinggi pada kehidupan
keagamaan sekaligus kegiatan literasinya, yaitu Prebu Niskala
Wastukancana. Pada masa Kerajaan Sunda diperintah oleh raja
yang merupakan adik Dyah Citraresmi yang gugur di Bubat,
Kerajaan Sunda mengalami kejayaan. Salah satu bukti
kejayaannya: sang resi dapat tenteram melaksanakan tugas
kependetaannya, menjalankan kebiasaan leluhur ... dan sang wiku
tenteram melaksanakan atau menunaikan undang-undang dewa
(Sang resi enak ngaresianana, ngawakan na purbatisti purbajati
.... Sang wiku enak ngadewasasana, ngawakan sanghyang
Watangageung, enak ngadeg manurajasunyia).29
Kabuyutan-kabuyutan yang dikenal selama ini antara lain:
Kanekes (Banten), Koleang, Jasinga (Bogor), Sanghyang Tapak
(Sukabumi), Sunda Sembawa dan Jayagiri (Bekasi?), Cisanti
(Bandung), Wanareja dan Ciburuy (Garut), Galunggung
(Tasikmalaya), dan Kawali (Ciamis). Dari sekian nama
Darma, ngawakan Sanghyang Siksa (Kropak 406, lempir 36a & 20b) 29 Kutipan lengkapnya: Nya mana sang rama enak mangan. Sang rêsi enak
ngarêsianana, ngawakan na purbatisti purbajati. Sang disi enak masini,
ngawakan na manusasana, ngaduuman alas parialas. Ku beet hamo diukih, ku
gêde hamo diukih. Nya mana sang tarahan enak lalayaran, ngawakan
manurajasasasana. Sanghyang apah, teja, bayu, akasa, sang bu enak
ngalungguh di Sanghyang Jagatpalaka. Ngawakan sanghyang rajasasana,
angadêg di Sanghyang Linggawêsi, brata siya puja tanpa lum. Sang wiku enak
ngadewasasana, ngawakan sanghyang Watangageung, enak ngadêg manurajasunyia. (Kropak 406, lempir 21b, 21a, 22b, dan 22a)
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 92
kabuyutan itu yang dikenal sebagai tempat penulisan NSK,
karena secara jelas atau tertulis dalam NSK atau tempat
diperolehnya sejumlah NSK seperti yang diinventarisasi oleh
Gunawan dan Holil (2010), yakni Kabuyutan Ciburuy dan
Kabuyutan Wanareja di Garut, Kabuyutan Kawali di Ciamis,
Kabuyutan Cisanti di Bandung, dan Kabuyutan Koléang, Bogor.
Dari Kabuyutan Koleang antara lain ditemukan NSK Kropak
1095 (Langgeng Jati), 1097 (Carita Jati Mula), 1099 (Pakéeun
Raga), 1101 (Sasana Sang Pandita), 1102 (Para Putera Rama dan
Rahwana), 1103 (Serat Jati Niskala), 1104 (Primbon), jeung
Kropak 105. Ti Cisanti, Bandung, aya Kropak 620 (Tutur
Bwana), 621 (Sanghyang Sasana Maha), 622 (Warugan Lemah),
623 (Bimaswarga), 624 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian),
625 (Sri Ajnyana), dan Kropak 626 (Sanghyang Swawar Cinta).
Dari kabuyutan yang ada di Garut, antara lain ditemukan NSK
Kropak 610 (Pitutur ning Jalma), 633 (Siksa Guru), 634
(Sanghyang Hayu), 635 (Sanghyang Hayu), 636 (Sanghyang
Hayu), 637 (Sanghyang Hayu), 638 (Sanghyang Hayu), 639
(Serat Buana Pitu), 641 (Arjunawiwāha), dan Kropak 642 (Siksa
Guru). Ke sebelah timurnya, ke Ciamis, ditemukan Kropak 406
(Carita Parahyangan & Fragmen Carita Parahyangan), 407 (Carita
Raden Jayakeling), 408 (Kawih Panyaraman), 409 (Kapaliasan),
412 (Fragmen Carita Parahiyangan), 413 (Ajaran Islam), 414, 415
(Mantra Darma Pamulih), 416 (Carita Purnawijaya), 418 (Nur
Illahi), 422 (Jatiniskala), 423 (Carita Purnawijaya), Naskah
Bambu 426 B (Kaleupasan), Naskah Bambu 426 C (Sanghyang
Jati Maha Pitutur), 630 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian),
dan Kropak 631 (Candrakirana).
Pada tataran praktisnya, menurut Edi S. Ekadjati30
, ada tiga
jenis kegiatan yang dilakukan di kabuyutan. Pertama, melakukan
upacara ritual. Kedua, melaksanakan pendidikan. Ketiga,
mendalami dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan (agama).
Jenis kegiatan pertama antara lain dalam bentuk mendoakan raja
30 „Pendidikan di Tatar Sunda I‟ HU. Pikiran Rakyat, 20 November 2004.
93 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
serta pejabat negara dan rakyat pada umumnya,
menyelenggarakan dan memimpin upacara ritual, dan membaca
teks-teks keagamaan. Untuk keperluan itu pejabat negara dan
masyarakat umum sering datang ke kabuyutan dan sebaliknya
penghuni kabuyutan sering pula diundang ke wilayah negara.
Mengajarkan pengetahuan agama, mendidik anak-anak calon
pendeta, memberi nasihat orang, memberi contoh cara hidup di
mandala termasuk jenis kegiatan kedua (pendidikan).
Anak-anak dan orang muda yang memilih kegiatan
keagamaan sebagai jalan hidupnya memasuki kompleks dan
menjadi siswa (sisya) di kabuyutan untuk menerima berbagai
ilmu pengetahuan (agama) dan tata cara hidup sebagai penghuni
kabuyutan. Mendalami ilmu pengetahuan (agama), mengarang
suatu ilmu pengetahuan, dan menulis naskah (asli atau salinan)
tergolong kegiatan intelektual.
Selanjutnya Ekadjati menjelaskan mengenai bahan ajar dan
spesialisasi guru-guru yang ada di kabuyutan. Ia menjelaskan
bahwa bahan ajarnya berupa berbagai pengetahuan agama
(Hindu-Budha) dan ajaran hidup yang berasal dari intisari
pengalaman, aturan, dan renungan para leluhur (patikrama).
Berbagai pengetahuan tersebut telah dikuasai oleh para guru yang
kemudian disampaikannya secara lisan dan tertulis kepada siswa-
siswanya. Di antara guru-guru itu ada yang memiliki spesialisasi
pengetahuan, seperti: brahmana menguasai aneka macam mantra,
pendeta menguasai pustaka, janggan menguasai berbagai jenis
upacara ritual, pratanda menguasi ilmu agama dan parigama.
Sebagaimana uraian Ekadjati di atas, hasil akumulasi ilmu
pengetahuan tersebut, baik yang ada di kabuyutan sendiri maupun
yang datang dari luar, kemudian diwujudkan dalam bentuk karya
tulis. Media tulisnya terdiri atas beberapa jenis bahan (lontar,
nipah, kelapa, aren, pandan, bambu), sedangkan alat tulisnya
berupa pisau pangot, kalam, dan tinta. Penulisan itu merupakan
tugas pendeta yang menjadi penanggungjawabnya.
Di sana juga terlihat lalu-lintas naskah antar satu kabuyutan
dengan kabuyutan lainnya. Hal ini dimungkinkan oleh adanya
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 94
rahib atau pendeta pengelana yang (berkelana?) sambil belajar
dari satu kabuyutan ke kabuyutan lain, yang tidak hanya berada di
Jawa Barat saja, namun ada juga yang berada di luar Jawa Barat.
Jadi, memang terjadi penulisan, penyalinan, penerjemahan,
penyaduran naskah-naskah yang dihasilkan dari daerah lain dan
kemudian dibawa oleh para rahib pengelana tersebut ke Tatar
Jawa Barat. Contoh rahib pengelana ini adalah tokoh Bujangga
Manik atau Perebu Jaka Pakuan atau Ameng Layaran yang
berkeliling Pulau Jawa dan Bali. Dari Jawa Barat, ke Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan melintasi Pulau Bali untuk belajar
keagaamaan. Dalam perjalanan tersebut memang Bujangga
Manik tidak terlepas dari naskah-naskah yang dibawa dan
dibacanya.
Dengan kehadiran nama-nama tempat yang berkaitan dengan
pulau dan laut dapat diduga bahwa, pada prinsipnya, yang
diutamakan adalah keberjarakan dari dunia ramai. Seperti yang
kita saksikan dari peri kehidupan Bujangga Manik yang dalam
perjalanannya senantiasa mencari tempat-tempat sepi, karena
keramaian itu akan terasa mengganggunya. Dalam beberapa
adegan, misalnya, ia memang mencari tempat-tempat sepi.
Titimangsa
Dari tabel di atas juga dapat dibahas mengenai titimangsa atau
waktu penulisan NSK, karena nampak bahwa pada NSK terdapat
keterangan hari, bulan, dan tahun.
Pada praktiknya, para penulis-penyalin NSK ada yang hanya
menyertakan hari saja, seperti yang dapat kita temukan pada NSK
sebagai berikut: Kropak 622 (Warugan Lemah), Rabu Manis.
Namun ada juga yang menyertakan hari dan bulan, yakni Kropak
1** (Sanghyang Siksa Kandang Karesian) bulan ke-10, Selasa
Manis dan Kropak KBG 75 (Wirid), Jum‟at Kliwon, bulan
Muharam. Yang menyertakan bulan saja bisa dikatakan
merupakan yang paling banyak bila dibandingkan dengan yang
menyertakan hari maupun tahun. NSK berikut memakai bulan
saja sebagai titimangsa penulisan NSK: Kropak 621 (Sanghyang
95 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Sasana Maha Guru) ditulis pada bulan ke-4; Kropak 623
(Bimaswarga/Bimaleupas), bulan ke-1; Kropak 625 (Sri
Ajnyana), bulan ke-8; Kropak 626 (Sanghyang Swawar Cinta),
bulan ke-8; dan Kropak 633 (Siksa Guru), bulan ke-10.
Sementara yang memakai keterangan tahun ada: Kropak 634
(Sanghyang Hayu), 1445 Ś (± 1523 M); Kropak 641 (Arjuna
Wiwaha), 1256 Ś (1334 M); dan Kropak 642 (Siksa Guru), Tahun
Saka hlaŕ twa ya wu? Ada pula yang hanya campuran antara
bulan dan tahun, yang terdapat pada Kropak 630 (Sanghyang
Siksa Kandang Karesian) bulan ke-3, 1440 Saka (1518 M).
Sementara Kropak 638 (Sanghyang Hayu) terbilang yang paling
lengkap menyertakan hari, bulan, dan tahun penulisannya, yaitu
dimulai Selasa Kliwon, bulan ke-7, selesai hari Pon bulan ke-9,
1357 Ś (± 1435 M);
Dari paparan di atas nampak beberapa kenyataan yang patut
dibahas secara luas dan mendalam. Pertama, nampaknya tidak
ada aturan yang ketat, dalam artian tidak ada keharusan atau
kewajiban untuk mencantumkan titimangsa pada umumnya
NSK, sehingga terkesan arbitrer alias sewenang-wenang,
tergantung pada penulis-penyalin naskahnya.
Kedua, kesewenang-wenangan itu juga terjadi pada pemilihan
unsur waktu yang dicantumkan ketika penulis-penyalin NSK
memberikan keterangan waktu penulisan. Hal itu terbukti dari
tabel di atas. Pemilihan unsur waktu penulisan NSK sangat acak,
dalam artian bahwa ada yang hanya yang memakai hari, bulan,
atau tahun saja, namun ada juga yang mencantumkan campuran
dua sampai tiga unsur waktu, dan ada yang mencantumkan
campuran hari dengan bulan, hari dengan tahun, bulan dengan
tahun. Ada juga yang bisa dikatakan lengkap menyebutkan
ketiganya.
Ketiga, penggunaan candrasangkala atau kronogram.
Penggunaan kode-kode ini memang biasa dilakukan oleh para
penulis-penyalin naskah-naskah di India. Para penulis-penyalin
naskah di India biasanya memberikan catatan penomoran dengan
menggunakan kata-kata dan huruf-huruf. Mengenai hal ini
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 96
George Buhler menyatakan31
:
In many manuals of astronomy, mathematics and metrics, as
well as in the dates of inscriptions and of MSS, the numerals
are expressed by the names of things, beings or ideas, which,
naturally or in accordance with the teaching of the Sastras,
connote numbers.
Sementara untuk penomoran yang menggunakan huruf, Buhler
menyatakan:
Two system of numeral notation, according to Burnell
originally South-Indian, which both employ the phonetically
arranged characters of the alphabet, have still to be
described, as they are not without interest for paleography.
Dalam hal ini Buhler memberikan contoh dari angka 0 hingga 49,
meskipun ada yang ia lewati. Angka 0 bisa diwakili oleh kata
Sunya, Ambara, Akasa, dan Ananta. Angka 1 diekspresikan
dengan rupa, indu, sasi, sitarasmi, bhu, mahi, adi, nayaka, dan
tanu. Angka 9 digambarkan dengan anka, nanda, cidra.
Pada penomoran menggunakan huruf, Buhler menyatakan ada
dua sistem yang dipakai. Sistem pertama dianggap hanya huruf-
huruf konsonan yang tak mempunyai huruf vokal yang penting,
seperti pada huruf k=1, kh=2, t=6, th=7, y=1, dan m=5. Sistem
kedua memakai konsonan bervokal untuk penomoran, seperti
huruf ka hingga ke la yang berarti sama dengan 1 hingga 34,
atau ka sampai kah yang sama dengan 1 hingga 12.
Baik penggunaan kata-kata maupun huruf, keduanya, selain
digunakan untuk penonoran halaman naskah, juga digunakan
untuk memberikan titimangsa penulisan naskahnya. Untuk
31 Lihat Buhler, George. Indian Paleography (1980: 103-107).
97 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
contoh penggunaan dari kata-kata, Buhler memberikan contoh
dari Pancasiddhantika, 4, 44: kha – kha- veda- samudra= 0-0-4-4-
1=14400. Sementara untuk penggunaan huruf, Buhler
memberikan contoh dari Sarvanukramani:
2 3 1 565 1
khago=ntyan=mesam=apa
Penggabungan angka-angka di atas nilainya sama dengan
1565132, yang mengandung arti penulis-penyalinnya
memaksudkan angka-angka itu pada masa-masa selepas masa
awal Kaliyuga, yang menghasilkan pada musim semi yang siang
maupun malamnya hampir sama waktunya (vernal equinox), 24
Maret 1184 Masehi, sebagai tanggal diselesaikannya.
Keterangan ini bisa menjadi jalan memahami kehadiran kata-
kata maupun huruf-huruf yang digunakan pada akhir sejumlah
NSK. Untuk Kropak 630 (Sanghyang Siksakandang Karesian),
misalnya, di akhir naskahnya terdapat kata-kata nora catur
sagara wulan yang sama dengan tahun 1440 Saka atau, bila
dikonversi ke penanggalan masehi, menjadi 1518 Masehi.
Demikian juga pada naskah NSK Kropak 634 (Sanghyang Hayu)
terdapat kata-kata panca warna catur bumi yang artinya 1445
Saka, atau 1523 Masehi. Dalam NSK ditemukan juga kata-kata
yang belum ditemukan artinya, seperti NSK Kropak 408 (Sewaka
Darma) yang mengandung kata-kata akhir nanu namas haba jaja
atau NSK Kropak 642 (Siksa Guru) yang diakhiri dengan kata-
kata hlaŕ twa ya wu?
Sugan aya sastra leuwih suda baan, kurang wuwuhan.
Cibiru, Maret-April 2012
Daftar Pustaka
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 98
Atja (1968). Tjarita Parahijangan Titilar Karuhun Urang Sunda
Abad ka-16 Masehi. Bandung: Jajasan Nusalarang.
Atja (1970). Ratu Pakuan: Tjeritera Sunda-Kuno dari Lereng
Gunung Tjikuraj. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah.
Buhler, George (1980). Indian Paleography. New Delhi: Oriental
Books Reprint Corporation
Danasasmita, Saleh dkk. (1987). Sewaka Darma (Kropak 408),
Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat
Galunggung (Kropak 632): Transkripsi dan Terjemahan”.
Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Direktorat Jendral
Kebudayaan Dep. Pendidikan Dan Kebudayaan Nasional
Darsa, Undang A. dan Edi S. Ekadjati (2003). “Fragmén Carita
Parahyangan dan Carita Parahyangan (Kropak 406)”. Séri
Sundalana 1: Tulak Bala. Bandung: Yayasan Pusat Studi
Sunda (PSS).
Darsa, Undang A. (2007). “Carita Ratu Pakuan (Kropak 410):
Suntingan dan Terjemahan Naskah Sunda”. Seri Sundalana
6: Menyelamatkan Alam Sunda. Bandung: Yayasan Pusat
Studi Sunda .
Edi S. Ekadjati (2004, 20 Nopember). “Pendidikan di Tatar Sunda
I”. HU Pikiran Rakyat.
Gunawan, Aditia & Munawwar Holil (2010). “Membuka Peti
Naskah Sunda Kuna di Perpustakaan Nasional RI: Upaya
Rekatalogisasi”. Seri Sundalana 9: Perubahan Pandangan
Aristokrat Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda
Hinzler, H. (1993). “Balinese Palm-Leaf Manuscripts”. BKI 149
No. 3.
Molen, W. Van der dan I. Wiryamartana (2001). “The Merapi-
Merbabu Manuscripts: A Neglected Collection”. BKI 157
No. 1.
Munandar, Agus Aris (1991). “Kegiatan Keagamaan dalam
Masyarakat Kerajaan Sunda: Data Prasasti dan Karya
Sastra”. Makalah pada Seminar Nasional Sastra dan
99 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Sejarah Pakuan Pajajaran, Bogor, 11-13 Nopember.
__________ (2001). “Sebaran Situs Arkeologi di Jawa Barat:
Tinjauan Terhadap Dasar Konsepsi Keagamaan”. Makalah
Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) I,
Bandung, 22-24 Agustus 2001, dan kemudian dimuat
dalam Prosiding KIBS 1 Jilid 1 (2006).
Noorduyn, J. & A. Teeuw (2009). Tiga Pesona Sunda Kuna.
Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan, teks Sunda kuna oleh
Tien Wartini dan Undang A. Darsa, dari Three Old
Sundanese Poems (2006). Jakarta: Pustaka Jaya.
Pleyte, C.M. (1914). “Poernawidjaja‟s Hellevaart of de Volledige
Verlossing”. TBG No. 56.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 100
Abstrak
Dari berbagai sumber tertulis diketahui bahwa pada masa
Syarif Hidayatullah peradaban Islam di Cirebon mencapai masa
kejayaannya. Tulisan ini merupakan upaya untuk melakukan
rekonstruksi sejarah kejayaan peradaban Islam di Cirebon pada
era Syarif Hidayatullah (1479-1568), menunjukkan bukti-bukti
sejarah peradaban tersebut sebagai bukti kejayaan peradaban
Islam di Cirebon, serta mengungkapkan pengaruh Syarif
Hidayatullah terhadap perkembangan dakwah Islam di Jawa.
Signifikansi tulisan ini untuk menunjukkan adanya pembuktian
atau lebih tepatnya penegasan akademik bahwa Syarif
Hidayatullah yang lebih populer dengan nama Sunan Gunung
Jati itu bukan sekedar tokoh legenda, mitos, atau semacamnya,
tetapi bagian dari tokoh historis dan fakta sosial melalui
rekonstruksi historis peradaban Islam Nusantara, terutama di
Cirebon pada tahun 1479-1568. Secara strategis, tulisan ini
diharapkan mampu menjadi kelengkapan khazanah sejarah Islam
Indonesia dalam konteks rekonstruksi sejarah Islam Nusantara
dan kehidupan keagamaan masyarakat, terutama di Cirebon.
Kata Kunci: Islam, Cirebon, Syarif Hidayatullah
* Kandidat Doktor Filologi di Departemen Susastra FIB UI Depok, Dekan
Fakultas Ushuluddin ISIF dan Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Terima
kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu tulisan ini sehingga dapat
hadir di hadapan pembaca, terutama kepada ISIF, dan Balai Litbang Agama
Jakarta. Beberapa nama penting juga disebutkan disini, Nurul Huda SA dan
Aan Jaelani yang telah menemani saya ketika beberapa kali turun lapangan,
Saeful dan Salman dari Balai Litbang Agama Jakarta.
101 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Kanjeng Susuhunan ing Gunung
jati ing Cirebon, amewahi donga
hakaliyan mantra, utawi parasat
miwah jajampi utawi amewahi
dadamelipun tiyang babad wana
Sunan Gunung Jati di Cirebon
mengajarkan tatacara berdoa
dan membaca matera, tata
cara pengobatan, serta tata
cara membuka hutan.32
Mengapa (masih) Mengkaji Syarif Hidayatullah?
Rekonstruksi sejarah Islam Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
kontribusi pemikiran dan tindakan setiap tokoh di daerahnya.
Terlebih lagi, daerah-daerah di mana suatu kerajaan Islam telah
berdiri dan berjaya pada masanya. Di antara tokoh tersebut,
hampir dipastikan terdapat seorang tokoh yang mempunyai
keutamaan dan pengaruh kuat bagi masyarakatnya. Sekedar
menyebut beberapa contoh tokoh tersebut adalah Abdur Rauf as-
Sinkili di Aceh (1615-1693), Sultan Agung di Jogjakarta (dulu
Kesultanan Mataram; 1613-1645), dan Syarif Hidayatullah di
Cirebon (1479-1568).
Era Syarif Hidayatullah, atau lebih dikenal dengan gelar
Sunan Gunung Jati, dapat dikatakan sebagai era keemasan
(Golden Age) perkembangan Islam di Cirebon.33
Sebelum Syarif
Hidayatullah, Cirebon yang dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana
(1447-1479) merupakan rintisan pemerintahan berdasarkan asas
Islam, dan setelah Syarif Hidayatullah, pengaruh para penguasa
Cirebon masih berlindung di balik kebesaran nama Syarif
Hidayatullah.
Salah satu di antara kontribusi Syarif Hidayatullah adalah
bahwa ia menjadi salah seorang dewan Walisongo34
di Jawa.
32 Kutipan ini merupakan bagian dari tugas-tugas Wali Songo dalam Primbon
milik Prof. K.H.R. Moh. Adnan, seperti dikutip Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, (Jakarta: Transpustaka, 2011), hlm. 90 33Matthew Isaac Cohen, “An Inheritance from the Friends of God: The Southern
Shadow Puppet Theater of West Java, Indonesia”, Disertasi, (Yale University:
1997), hlm. 7 34Walisongo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam yang berhasil
membawa murid-muridnya untuk menjalankan dakwah Islam ke seluruh
Nusantara pada abad ke-15. Walisongo terdiri dari Sembilan wali; Maulana
Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan
Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga. Penjelasan lebih
lanjut pada Mastuki HS, dan M. Ishom El-Saha (edit.), Intelektualisme
Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di era Pertumbuhan
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 102
Syarif Hidayatullah mendapatkan tugas berdakwah di Cirebon
(Jawa Barat), Banten, dan Sunda Kelapa (Jakarta). Tugas itu
dirumuskan sebagai berikut; “Kanjeng Susuhunan ing Gunung
jati ing Cirebon, amewahi donga hakaliyan mantra, utawi
parasat miwah jajampi utawi amewahi dadamelipun tiyang
babad wana”. (Sunan Gunung Jati di Cirebon mengajarkan tata
cara berdoa dan membaca matera, tata cara pengobatan, serta tata
cara membuka hutan).35
Perbedaan lain dengan para Walisongo
ialah bahwa Syarif Hidayatullah selain sebagai ulama juga
umara, yaitu Sultan di Cirebon.36
Berbagai bukti kejayaan
kepemimpinannya antara lain Masjid Merah Panjunan (+ 1480)
dan masjid Agung Sang Cipta Rasa (1500).
Sejalan dengan bukti tersebut, pemikir Aljazair, Malik Bin
Nabi (1905-1973) dalam Syuruth al-Nahdlah, berpendapat bahwa
suatu peradaban muslim tidak dapat bangkit kecuali dengan
akidah keagamaan.37
Dalam konteks itulah Syarif Hidayatullah
membangun peradaban muslim di Cirebon. Selaras dengan itu,
peradaban Islam pada periode tersebut telah melahirkan berbagai
tokoh pemikirnya, antara lain Sadr al-Din al-Syirazi (w. 1497),
Abu al-Ma‟ali al-Maqdisi (w. 1499), Jalal al-Din al-Suyuti (w.
1505), Al-Qarafi (1533-1600),38
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani/al-
Sya‟rawi (w. 1565), dan Abd al-Rahman Jami (w. 1492).39
Periode tersebut merupakan era renaisans bagi benua Eropa
(1495-1500). Dalam catatan sejarah, renaisans adalah periode
yang berlangsung dalam kurun waktu 25-50 tahun dan mencapai
puncaknya pada tahun 1500. Era renaisans bukan sekedar
merupakan kehidupan yang cemerlang di bidang seni, pemikiran,
maupun kesusastraan yang mengeluarkan Eropa dari kegelapan
Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), hlm. 21-34. 35Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah., hlm. 90. 36H,M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya,
dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta; Gelegar Media Indonesia, 2009), hlm.757. 37Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, penterj. Afif Muhammad dan
Abdul Adhem, (Bandung: Mizan, 1995) cet. II, hlm. 73. 38Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, penterj.
Husein Muhammad, (Yogyakarta: LKPSM, 2001). 39 Smith, Margaret. Mistikus Islam: Ujaran-ujaran dan Karyanya, penterj. Ribut Wahyudi (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), hlm. 183.
103 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
intelektual Abad Pertengahan, tetapi juga merupakan suatu
revolusi budaya. Salah satu revolusi pemikiran pada era tersebut
dikemukakan Nicolas Kopernick (Copernicus), yang menyatakan
bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, bukan sebaliknya.40
Pada tahun 1492, Christopher Columbus, nakhoda dari Italia,
telah menemukan kepulauan Amerika.41
Sekalipun peristiwa-peristiwa besar di belahan dunia tersebut
tidak berhubungan langsung dengan Cirebon ataupun Syarif
Hidayatullah, tetapi sebagai konteks sosial, budaya, ekonomi, dan
politik yang berkembang pada saat itu menarik untuk dilihat
sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga Sunan
Gunung Jati tidak hanya dibaca seperti yang selama ini dikenal
dalam legenda atau mitos.
Pada masa itu, Cirebon dikenal juga sebagai „Jalur Sutra‟.
Adanya Pelabuhan Muara Jati yang berada di lalu lintas utama
kawasan tersebut telah menjadi arena perdagangan
internasional.42
Pelabuhan yang ramai dan jalur utama
transportasi yang menghubungkannya dengan wilayah-wilayah
lain menyebabkan kota tersebut tampil dengan keterbukaan dan
menerima, atau paling tidak, menjadi tempat persinggahan bagi
setiap budaya, gerakan, dan pemikiran yang melintasi kawasan
tersebut.
Keterbukaan itu pula yang terdapat dalam diri Syarif
Hidayatullah selama memimpin di Cirebon. Meneruskan
pendahulunya, pusat Kesultanan Islam Cirebon berada di Kraton
Pakungwati.43
Di istana itulah Syarif Hidayatullah memulai
membangun dan mengembangkan Kesultanan Cirebon sampai
dengan pengunduran dirinya.
Tahun 1662, pada masa Panembahan Ratu II (Girilaya),
Pakungwati terbagi menjadi dua kesultanan, yaitu: daerah
Panembahan Sepuh (Kasepuhan) dan daerah Panembahan Anom
40 Yenne, Bill. 100 Peristiwa yang Berpengaruh di dalam Sejarah Dunia (100
Events That Shaped World History), penterj. Lili Sri Padmawati, [t.k.]: Karisma Publishing Group, 2005), hlm. 74-75 41Ibid., hlm. 72 42Diskusi tentang Cirebon sebagai jalur perdagangan dapat dibaca Susanto Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Depdikbud, 1996). 43Kraton Pakungwati merupakan tempat kedudukan utama para Raja Cirebon.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 104
(Kanoman). Kasepuhan berkedudukan di Pakungwati dan
Kanoman menempati kraton baru bekas istana Panembahan
Cakrabuana. Pembagian wilayah kesultanan tersebut didasarkan
pada kesepakatan yang difasilitasi oleh Kesultanan Jogjakarta dan
Banten, untuk Samsuddin Mertawijaya (1677-1697) dan
Badruddin Kartawijaya (1677-1703).
Bersamaan dengan kedatangan Belanda sebagai penjajah yang
menguasai Cirebon sekitar tahun 1700, Kesultanan Kanoman
terbagi lagi menjadi dua kraton, yaitu:; Kanoman dan
Keprabonan. Terakhir, Kesultanan Cirebon terbagi pada masa
Sultan IX yang bernama Sultan Anom Muhammad Kaeruddin.
Saat itu, Kasultanan Kanoman terbagi menjadi dua lagi;
Kanoman dan Kaceribonan. Pudjiastuti mencatat sisi positif dari
perpecahan Kesultanan Cirebon, yaitu telah terjadi perubahan
progresif dalam kesusteraan setiap kali muncul Kraton baru. Di
situlah kesusasteraan tumbuh maju dan berkembang.44
Artinya,
situasi pernaskahan di kraton itu sangat bergantung dengan
perkembangan dari kraton sendiri.
Menurut Siddique, Kesultanan Cirebon telah mengalami
kemerosotan karena pihak lain (asing) sejak tahun 1681-1940.
Beberapa perjanjian dengan VOC telah mendorong terjadinya
kemunduran itu, antara lain: perjanjian 7 Januari 1681 yang
menetapkan bahwa ekonomi-perdagangan, seperti perdagangan
pakaian dan opium, dimonopoli VOC; dan perjanjian 8
September 1688 yang ditandatangai Sultan Sepuh I, Sultan
Anom, dan Pangeran Tohpati, tentang pengakuan dan pembagian
cacah. Dampak internalnya, timbul perpecahan dalam Kesultanan
Cirebon.45
Sekitar tahun 1800, salah seorang Sultan Kanoman Cirebon
dibuang ke Ambon. Bersamaan dengan kedatangan Daendels
pada tahun 1808, Sultan Kanoman yang dibuang tersebut
44Titik Pudjiastuti, “Cirebon” dalam Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 87. Dalam sumber lain, Sultan IX yang
dimaksud barangkali Sultan Kacirebonan, bukan Kanoman. Sebab, Sultan Kanoman IX itu bernama Sultan Muhammad Nurbuat. 45 Siddique, Sharon. Relics of the Past: Sociological Study of the Sultanates of
Cirebon West Java, seperti dikutip dalam Marwati Djoened Poesponegoro,
Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 65
105 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
dibebaskan oleh Daendels yang saat itu menjabat sebagai
Gubernur Jenderal, tetapi pemberontakan di daerah perbatasan
melawan penjajah tetap belanjut. Pada tahun 1809, Daendels
membangun jalan raya melintasi pegunungan dari Batavia ke
Cirebon (Jalan Raya Pos/Groote Postweg).
Selain dikuasai Belanda, Kesultanan Cirebon juga dijajah
Inggris ketika pemerintahan Inggris menguasai (sebagian)
Indonesia sekitar tahun 1811-1816. Pada tahun 1815, Stamford
Raffles memerintah langsung atas Cirebon namun
pemerintahannya sangatlah singkat, karena Britania harus
mengembalikan Jawa dan bekas daerah kekuasaan Hindia-
Belanda lainnya kepada Belanda sesuai persetujuan akhir Perang
Napoleon.
Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia disebutkan, bahwa
kekuasaan Cirebon makin lama makin dipersempit. Pada tahun
1700 Belanda mengangkat Jacob Palm menjadi Residen pertama.
Tak ayal lagi, pemberontakan pun timbul sebagai salah satu cara
untuk menolaknya. Pemberontakan Cirebon telah dimulai sejak
tahun 1788 dan terbesar tahun 1802, tetapi semua dapat
dipadamkan Belanda. Bahkan kemudian, gelar Sultan di
lingkungan kraton sudah tidak diperbolehkan dipakai lagi.46
Kenyataan itu sejalan dengan pendapat Kern bahwa Cirebon
berakhir kejayaannya pada abad ke-17, ketika suasana damai di
Cirebon terganggu oleh kolonial.47
Penegasan serupa ditulis H.J.
De Graaf dan Th. Pigeaud dalam De Eerste Moslimse
Vorstendommen op Java, Studen Over de Staatkundige
Geschiendenis van de 15 de en 16 de Eeuw;
46Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid I A-H,
Jakarta: Djambatan, 2002, cet. II. revisi, hlm. 213. Dalam entri Cirebon ini,
terdapat informasi yang masih meragukan validitasnya, bahwa nama lain Sunan
Gunung Jati itu Fatahillah. Sebab, dalam tradisi lisan Cirebon dan beberapa
tulisan menyebutkan, Fatahillah itu bukan keturunan Cirebon, tetapi dari
Kesultanan Pasai yang diperbantukan di Cirebon, lalu ditugasi di Sunda Kelapa
dan Banten. Tentang klarifikasi Fatahillah, lihat juga pada P.A. Hoesein
Djajadiningrat, “Beberapa Catatan Mengenai “Kerajaan Jawa Cerbon pada
Abad-Abad Pertama Berdirinja”, dalam Kern, R.A. dan Husein Djajadiningrat,
Masa Awal Kerajaan Cirebon, (Jakarta: Bhratara, 1974), hlm. 33-39 47 Kern, R.A. “Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad-Abad Pertama Berdirinya”, dalam R.A. Kern dan Husein Djajadiningrat, Masa Awal., hlm. 21.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 106
“Kedaulatan atas daerah Cirebon termasuk daerah-daerah
Sunda pada 1705 diserahkan oleh susuhunan di Kartasura
kepada kompeni (VOC) di Batavia. Keraton-keraton para
keturunan Sunan Gunung Jati di kota Cirebon masing-masing
tetap dipertahankan di bawah kekuasaan dan dengan tunjangan
uang dari pemerintah Hindia Belanda hingga abad XX ini.”48
Dengan demikian, pemerintah Kolonial Belanda telah semakin
dalam ikut campur mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah
peranan kraton-kraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah
kekuasaannya. Pada tahun 1906 dan 1926, kekuasaan Kesultanan
Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan berdirinya
Kota Cirebon (Gemeente Cheirebon). Saat itu, luas wilayahnya
mencakup 1.100 hektar, dengan sekitar 20.000 jiwa penduduk
(Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota
Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.49
Sejak tahun
1965 Cirebon telah berubah menjadi kota madya dan sekarang
menjadi kota Cirebon dengan luas 37,36 km2.50
Memperhatikan latar belakang tersebut, tulisan ini menjadi
penting untuk mengungkap Kesultanan Cirebon sebelum adanya
campur tangan pihak asing, termasuk intervensi pihak kesultanan
Jogjakarta dan Banten. Dari berbagai sumber tertulis diketahui
bahwa pada masa Syarif Hidayatullah itulah peradaban Islam di
Cirebon dapat dikatakan mencapai masa kejayaannya.
“Ingsun titip tajug lan fakir miskin” adalah salah satu
pernyataan atau petatah petitih dari Syarif Hidayatullah yang
digunakan sebagai ikon oleh kalangan, baik pemerintah maupun
swasta di Cirebon. Saat ini, Cirebon tetap dijadikan sebagai nama
salah satu kota dan kabupaten di Jawa Barat. Sepanjang sejarah
kemerdekaan Indonesia dan selama Cirebon menjadi pusat
pemerintahan kota dan kabupaten, keluarga besar Kraton Cirebon
sepertinya belum pernah ada yang menjadi bupati ataupun
48 De Graaf, HJ. & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan
Sejarah Politik Abad XV dan XVI, penyunting Eko Endarmoko dan Jaap Erkelens, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003), hlm. 132. 49http://indahartgallery.webs.com/keraton.htm 50Profil kota Cirebon Jawa Barat.
107 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
walikota.51
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penting
dikemukakan pertanyaan, bagaimana kejayaan peradaban Islam
di Cirebon pada era Syarif Hidayatullah, tahun 1479-1568?
Bukti-bukti sejarah apa yang mendukung adanya kejayaan
tersebut? Dengan bukti-bukti tersebut, seberapa jauh peran Syarif
Hidayatullah pada perkembangan dakwah Islam di Jawa?
Tulisan ini merupakan upaya untuk melakukan rekonstruksi
sejarah kejayaan peradaban Islam di Cirebon pada era Syarif
Hidayatullah, tahun 1479-1568, dan untuk menunjukkan bukti-
bukti sejarah peradaban tersebut sebagai bukti kejayaan
peradaban Islam di Cirebon, serta mengungkapkan pengaruh
Syarif Hidayatullah pada perkembangan dakwah Islam di Jawa.
Signifikansi tulisan ini untuk menunjukkan adanya
pembuktian atau lebih tepatnya penegasan akademik bahwa
Syarif Hidayatullah yang lebih populer dengan nama Sunan
Gunung Jati itu bukan sekedar tokoh legenda, mitos, atau
semacamnya, tetapi bagian dari tokoh historis dan fakta sosial
melalui rekonstruksi historis peradaban Islam Nusantara,
terutama di Cirebon pada tahun 1479-1568. Secara strategis,
tulisan ini diharapkan mampu menjadi kelengkapan khazanah
sejarah Islam Indonesia dalam konteks rekonstruksi sejarah Islam
Nusantara dan kehidupan keagamaan masyarakat, terutama di
Cirebon.
Penelitian Terdahulu dan Landasan Kajian
Penelitian Kejayaan Peradaban Islam di Cirebon pada Era Syarif
Hidayatullah, tahun 1479-1568 ini tidak dapat dilepaskan dari
kajian-kajian sebelumnya, baik karena kemiripan dalam
penggunaan metode dan pendekatannya, maupun kedekatan
konteks serta cakupannya. Kajian terdahulu berguna untuk
mengetahui perbedaan kajian ini dengan kajian-kajian tersebut,
sehingga kajian ini ditemukan orisinalitasnya.
Adapun kajian secara khusus dengan nama Syarif
51Bahan awal tentang Cirebon dapat dibaca dalam Sulendraningrat, P.R.A.
Sejarah Cirebon, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985) dan Membumikan Wasiat Sunan
Gunung Djati Dalam Membangun Jawa Barat Bermartabat, (Cirebon: Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon, 2004).
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 108
Hidayatullah, sampai dengan penulisan laporan ini belum
ditemukan, kecuali kajian terhadap naskah kuno, yaitu Sajarah
Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, baik dalam
Naskah Mertasinga (2005) maupun Naskah Kuningan (2007).
Kajian naskah serupa dilakukan Atja (1972) dengan judul, Tjarita
Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Tjirebon).
Dengan pendekatan sejarah dan filologi, Atja mengungkap
sejarah awal mula Cirebon; diuraikan pula tentang Syarif
Hidayatullah melalui naskah yang ditulis Pangeran Arya Cirebon
dan transliterasinya, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari.52
Nama Sunan Gunung Jati lebih sering digunakan para peneliti
daripada nama Syarif Hidayatullah., misalnya dalam disertasi
Dadang Wildan yang telah diterbitkan dengan judul Sunan
Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta) Pembumian Islam dengan
Pendekatan Struktural dan Kultural (Bandung, 2002).53
Akbarudin Sucipto menulis Dakwah Sunan Gunung Jati dalam
Perspektif Politik: Analisis Deskriptif terhadap Proses Islamisasi
Cirebon abad ke-XV dan XVI (Skripsi: STAIN Cirebon, 2006).
Kajian tentang Sunan Gunung Jati juga dapat ditemukan dalam
ensiklopedi-ensiklopedi, seperti Ensiklopedi Islam (2002, cet.II),
Ensiklopedi Ulama Nusantara (2009), dan Intelektualisme
Pesantren (2003). Kajian mutakhir tentang Sunan Gunung Jati
dilakukan Agus Sunyoto (2011). Dalam buku yang diberi judul
Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Sunyoto
memaparkan sehistoris mungkin berdasarkan data manuskrip dan
arkeologi gugatan para penulis sejarah Islam di Jawa, di mana
Wali Songo masih diabaikan.
Kajian tentang Cirebon dalam konteks sejarah beberapa kali
telah dilakukan, termasuk bahasan khusus tentang Syarif
Hidayatullah walaupun tidak mendalam. De Graaf dan Pigeaud
(2003 cet. V) menulis Riwayat Kerajaan di Jawa Barat pada
52Untuk melengkapi penelitian ini, transliterasi Atja dilampirkan, sebagai bagian
tak terpisah dari hasil penelitian ini. Penelitian Atja tahun 1972 ini diterbitkan Ikatan Karyawan Meseum. 53Dalam kajian Wildan tersebut, dipaparkan pula 7 (tujuh) naskah yang terkait
dengan Syarif Hidayatullah dalam bentuk prosa dan tembang. Dalam bentuk
prosa yaitu Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Tanah Sunda, dan Sejarah
Cirebon. Dalam bentuk tembang, yaitu Carub Kanda, Babad Cerbon, Babad Cirebon, dan Wawacan Sunan Gunung Jati.
109 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Abad XVI: Cirebon. Kajian tentang Cirebon tersebut hanyalah
salah satu bagian dari kajiannya tentang kerajaan Islam di Jawa,
yang dimulai dari Demak, Kudus, Madura, hingga Banten. Acuan
penulisan keduanya adalah literatur lokal atau pribumi. Kajian
serupa juga dilakukan RH. Unang Sunardjo, Meninjau Sepintas
Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809
(1983). Begitu pula Uka Tjandrasasmita, yang menulis
“Kesultanan Cirebon: Tinjauan Historis dan Kultural” dalam
karya arkeologisnya, Arkeologi Islam Nusantara (2009).
Tjandrasasmita menguraikan tentang Cirebon dengan pendekatan
sejarah, mulai dari pertumbuhan, perkembangan, sampai dengan
keruntuhan kesultanan. Paparan lainnya terkait dengan beberapa
aspek penting di Cirebon, seperti keagamaan, seni sastra, seni
bangun dan ragam hias, serta wayang dan topeng.
Kajian lain tentang Cirebon secara khusus dilakukan oleh tim
peneliti dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD dengan
judul Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas (Bandung, 1991).
Kajian lain tentang Cirebon dilakukan oleh Darkum (Skripsi
Pendidikan Sejarah Fak. Ilmu Sosial UNNES, 2007) dengan judul
Peranan Pangeran Walangsungsang dalam Merintis Kesultanan
Cirebon 1445-1529.
Kajian lain yang masih berkaitan dengan Cirebon dilakukan
oleh Heriyanto (Tesis UI, 2000) dengan judul Upacara Panjang
Jimat: Suatu Kajian tentang Kraton Kasepuhan Cirebon Masa
Kini. Dalam salah satu bagian kajiannya, Heriyanto memaparkan
tentang Kraton Pakungwati dan Syarif Hidayatullah. Informasi
tersebut, sekalipun tidak berasal dari sumber primer, dapat
menjadi informasi penegasan.
Adapun kajian dengan pendekatan sastra dan filologi
dilakukan Pudjiastuti, yaitu Cirebon (2001) dan Kajian
Kodikologis atas Surat Sultan Kanoman, Cirebon [Cod. Or. 2241
ILLB 17 (N0. 80)] (2007). Studi kodeks dalam kajian Pudjiastuti
dapat mempertajam analisis untuk mengungkap konteks surat
Sultan Kanoman pada akhir abad ke-17. Isi surat itu menobatkan
putra bungsu Sultan menjadi Panembahan. Penjelasan lebih luas
tentang dinamika Kesultanan Cirebon diungkap Pudjiastuti pada
“Cirebon” sebagai salah satu entri Sastra Jawa: Suatu Tinjauan
Umum. Konteks Cirebon dalam tulisan Pudjiastuti berkaitan
dengan pernaskahan kuna di Cirebon.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 110
Penelitian dan penulisan tentang Cirebon dapat ditemukan
pula dalam hasil penelitian dan buku-buku yang berasal dari
seminar ataupun lainnya. Sulendraningrat menulis Sejarah
Cirebon (1978). Sebagai keluarga kraton Cirebon,
Sulendraningrat memaparkan tentang Cirebon sejak masa Pra
Sejarah sampai dengan masa masuknya Islam di Indonesia,
silsilah Sunan Gunung Jati dari garis ayah/ibu, silsilah 4 (empat)
kesultanan, hingga tentang peleburan kota-kota kecil, seperti
Kuningan ke Cirebon, dst. Karya orang dalam kraton tersebut
mengacu pada Babad Cirebon, Carub Kanda, Catur Kanda, dan
kitab-kitab lokal lainnya. Paparan senada diungkap Kosoh,
Suwarno, dan Syafe‟I dalam „Jawa Barat pada masa Pemasukan
dan Perkembangan Islam‟ dan „Jawa Barat dalam Abad ke-19‟
sebagai bagian dari Sejarah Daerah Jawa Barat (1979).
Dengan perspektif yang berbeda, para penulis asing juga
melakukan kajian tentang Kesultanan Islam Cirebon, mulai dari
Raffles dalam The History of Java (Terj. 2008), Ricklefs dalam
Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008 (2010 cet. III), Van Der
Kemp dalam Pemberontakan Cirebon Tahun 1818 (1979), dan
Karel Steenbrink dalam Kawan Dalam Pertikaian: Kaum
Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1941) (1995).
Dalam kajian Ahmed E. I. Wahby (2007), Architecture of the
Early Mosques and Shrines of Java: Influences of the Arab
Merchants in the 15th and 16th Centuries?, yang berasal dari
disertasinya pada Fakultät Geistes und Kulturwissenschaften
(GuK) der Otto-Friedrich-Universität Bamberg, Syarif
Hidayatullah, masjid Agung, dan Panjunan Cirebon dikupas
sekilas.
Pada kajian-kajian terdahulu di atas, sekurangnya terdapat
beberapa landasan kajian yang digunakan, yaitu sejarah,
kebudayaan, filologi, arkeologi, dan arsitektur. Adapun dalam
kajian ini, untuk mengungkap Cirebon pada masa Syarif
Hidayatullah (1479-1568) digunakan pendekatan sejarah yang
belum pernah dilakukan, karena itu menjadi penting dan
mendesak untuk dilakukan. Sejarah dalam kajian ini juga
didasarkan pada sumber naskah dan artefak budaya. Kritik
internal dan eksternal dalam pendekatan sejarah juga digunakan
dalam penelitian ini demi menjaga obyektifitas keilmuan.
Dengan demikian, kajian ini diharapkan selain dapat
111 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
memberikan sumbangsih kepada masyarakat, kajian ini dapat
pula menjadi penegas, bahwa Syarif Hidayatullah atau sering
dikenal dengan Sunan Gunung Jati itu bukanlah legenda, dan
mitos belaka, tetapi memang dapat dibuktikan melalui fakta-fakta
historis, filologis, dan arkeologis.
Silsilah Syarif Hidayatullah: Arab dan Cirebon
Menurut Ensiklopedi Ulama Nusantara, Syarif Hidayatullah
dilahirkan pada tahun 1448 dari perkawinan Raja Abdullah
(Syarif Abdullah) dengan Rara Santang, putri Prabu Siliwangi
asal Pajajaran yang bergelar Syarifah Mudaim. Dilahirkan di
Mesir, pada usia 120 tahun Syarif Hidayatullah (tahun 1568)
dipanggil sang Khalik dan dikebumikan di Gunung Sembung
Cirebon. Syarif Hidayatullah masih termasuk keturunan
Rasulullah SAW, dalam urutan ke-22, sama dengan Sunan
Bonang dan Sunan Drajat atau Sunan Giri.54
Menurut Purwaka Caruban Nagari, pada masa remajanya,
ketika umur 20 tahun, Syarif Hidayatullah telah berguru kepada
Syekh Tajudin al-Kubri selama 2 tahun dan Syekh Ataillahi
Syazally yang bermazhab Syafei.55
Guru Syarif Hidayatullah
lainnya adalah Syekh Nur Jati (Datuk Khafidz), Sunan Ampel,
Syekh Najmurini (Nujumuddin) Kubra di Mekkah, Syekh Sidiq,
Syekh Bentong, dan Syekh Quro.56
54 Syarif Hidayatullah adalah putra raja Abdullah (Syarif Abdullah) bin Ali
Nurul Alam bin Jamaluddin Husein (al-Husaini) bin Ahmad Syah Jalaluddin bin
Abdullah Khan Nurdin bin Abdul Malik bin Gazam bin Alwi bin Muhammad
bin Ubaidillah bin Ahmad Muhajir bin Isa al-Bakir (ar-Rumi) bin Muhammad
Idris an-Naqib bin Ali al-Uraidhi (Kasim al-Kamil) bin Ja‟far Shadiq bin
Muhammad al-Bakir bin Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib
(suami Fatimah az-Zahra binti Rasulullah Muhammad SAW.). Ayah Syarif
Hidayatullah, Raja Abdullah bukanlah raja di Mesir, tapi kemungkinan besar
sebagai penguasa kawasan Aceh, terutama Perlak atau Pasei, walaupun berdarah
Timur Tengah. Ini mirip dengan pendapat Hosein Jayadiningrat dengan
argumentasi yang berbeda. Lihat Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara
Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009), hlm. 755 dan 758. 55Naskah Mertasinga; dengan judul Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah
Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007), hlm. 219 56Lihat pada Naskah Mertasinga dan Kuningan, Sejarah wali Syekh Syarif
Hidayatullah Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju,
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 112
Syarif Hidayatullah pernah beberapa kali menikah; pernikahan
pertama dengan Retna Pakungwati (Putri Pangeran Cakrabuana)
dikaruniai dua anak, yaitu: Ratu Ayu (istri Fatahillah) dan
Pangeran Pesarean (Dipati Muhammad Arifin); pernikahan kedua
dengan Ong Tien (Putri Cina, berganti nama Rara Sumanding)
tidak berlangsung lama, karena Ong Tien meninggal dunia;
pernikahan ketiga dengan Nyi Mas Retna Babadan (Putri Ki
Gedeng Babadan); keempat dengan Dewi Kawunganten (Putri Ki
Gedeng Kawunganten, Banten) dikaruniai dua anak, yaitu:; Ratu
Winaon dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I);
kelima dengan Nyi Mas Rara Kerta (Putri Ki Gedeng Jatimerta)
dikaruniai dua anak: Pangeran Jaya Lelana dan Pangeran Brata
Lelana.57
Silsilah Syarif Hidayatullah dari jalur ayah sampai pada
Rasulullah SAW., secara singkat sebagai berikut:; Rasulullah
SAW. mempunyai seorang putri bernama Siti Fatimah yang
berputra Sayid Husein yang berputra Zainal Abidin yang berputra
Syekh Zainal Kabir yang berputra Syekh Jumadil Kubra dari
Quswa yang berputra Raha Umrah-Raja Odhara dari Mesir yang
berputra Sultan Bani Israil yang berputra Syarif Hidayatullah. 58
Adapun silsilah Syarif Hidayatullah dari jalur ibu sampai ke
Prabu Bunisora. adalah sebagai berikut: Sang Prabu mempunyai
anak Ki Gedeng Kasmaya (Ki Ageng Giridewata) Penguasa
Carbon Girang yang mempunyai putrid Nyi Karancang Singapuri
dari Pulo Pinang/Singapura menikah dengan Ki Gedeng Tapa (Ki
Gedeng Juman Jati, Juru Labuhan Muarajati II) mempunyai anak
Nyi Subang Larang yang menikah dengan Prabu Siliwangi. Dari
pernikahannya dengan Prabu Siliwangi mempunyai tiga anak;
Pangeran Cakrabuana, Sari Kabun (Rara Santang, Syarifah
Mudaim), dan Raja Sangara. Rara Santang menikah dengan
Sultan Bani Israil (Sultan Hud, Sultan Mahmud), dan dari
pernikahannya dengan Sultan Mahmud mempunyai dua putra;
(Bandung: Pustaka, 2007) 57Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan
Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009), hlm. 756-757 58Naskah Kuningan; Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung
Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007), hlm. lampiran
113 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. 59
Guru dan Ajaran Syarif Hidayatullah
Menurut Bruinessen, dalam babad-babad tentang Syarif
Hidayatullah diceritakan bahwa sebelum kepergiannya ke tanah
Jawa, Syarif Hidayatullah telah mendalami akidah, syari‟ah,
bahkan tasawuf dengan tarekatnya. Bruinessen juga berpendapat
bahwa Syarif Hidayatullah merupakan penganut Tarekat
Kubrawiyah, yaitu tarekat yang dihubungkan dengan nama
Najamuddin al-Kubra, yang dalam Babad Cirebon selalu disebut-
sebut. Setelah itu, Syarif Hidayatullah berguru kepada Ibnu
Atha‟illah al-Iskandari al-Syadzili selama dua puluh tahun di
Madinah dan ia mendapat bayaran karena menjadi penganut
Tarekat Syadziliyah. Syarif Hidayatullah juga belajar Tarekat
Syattariyah, Istika‟i, Qadiriyah, dan Naqsyabandiyah.60
Adapun
beberapa ajarannya melalui pesan, antara lain sebagai berikut:
Pesan Syekh Najmuddin Kubra kepada Syarif Hidayatullah61
;
“Mapam kita iki ing ngahurip. sira aja angebat-tebat ing laku
den teka patine. Yen ngucap kang satuhu, lan aja nyerang
hukuming Widhi, iku samono kang nyata den kukuh laku iku”.
(Dalam hidup ini, janganlah kamu bertindak berlebihan,
demikian hingga akhir hidup. Kalau bicara, bicaralah yang
jujur dan jangan melawan hokum dari Yang Maha Esa, itulah
hal yang nyata dan lakukanlah hal itu dengan teguh).
Pesan Syekh Athaillah di Sadili kepada Syarif Hidayatullah;
“Perkara lampah kang katiti, sira aja ngebat-tebat. Den
59Ibid. 60 Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Tradisi-
Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999) cet. III. hlm. 223-245. Bandingkan dengan Naskah Mertasinga, hlm. 23 61Naskah Mertasinga dalam Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan
Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007)
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 114
basaja sira iku, aja langguk ing wicara, sira aja ilok
anglaluwih ing padaning manusa. Iku lampah kang sampurna
jati. Pan sira aja susah tatapa ing gunung utawa guane iku
dadi takabur. Sira laku tapaha maring ingkang remening
jalma. Lan duwea muhung. Wong kang luput den ampura.
Mung semana lampah ingkang sejati”.
(Mengenai langkah yang harus dijalani, janganlah kamu
berlebihan, hiduplah dengan bersahaja, jangan sombong dalam
bicara dan jangan berlebihan terhadap sesame manusia. Itulah
langkah sempurna yang sejati. Bertapa di gunung atau di gua
itu akan menjadikanmu takabur, lakukanlah tapa di tengah
ramainya manusia. Milikilah sikap luhur dan maafkan orang
yang salah, hanya itulah langkah yang sejati).
Sunyoto (2011) dalam analisisnya tentang pendidikan dan
pengembangan keilmuan Syarif Hidayatullah, seperti di atas,
menyebutnya dengan “..diwarnai cerita-cerita absurd yang perlu
penafsiran untuk mengetahui kebernaran historisnya”.62
Memang
penelitian ini perlu dilanjutkan lagi, khusus mengenai guru dan
ajaran Syarif Hidayatullah, untuk mendalami apa yang dinyatakan
Sunyoto.
Bukti Kejayaan Pada Era Syarif Hidayatullah
Periode Syarif Hidayatullah (1479-1568) memimpin Cirebon
merupakan masa perkembangan sekaligus masa kejayaan Islam di
Cirebon. Pada masa itu, bidang politik, keagamaan, dan
perdagangan, maju sangat pesat. Pada masa itu pula berlangsung
penyebaran Islam ke Banten (sekitar 1525-1526) melalui
penempatan salah seorang putra Syarif Hidayatullah, Maulana
Hasanuddin.63
Peristiwa itu terjadi setelah keruntuhan
pemerintahan Pucuk Umum, penguasa kadipaten dari Kerajaan
Sunda Pajajaran yang berkududukan di Banten Girang.
Kemajuan Islam pada era Syarif Hidayatullah tidak berhenti
pada terbentuknya pusat pemerintahan di bawah pimpinan
62 Sunyoto, Wali Songo,. hlm. 156 63 Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka Gramdia, 2009), hlm. 164
115 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Maulana Hasanuddin yang terletak di Surosowan, dekat Muara
Cibanten, tetapi pengembangan juga dilakukan ke arah Priangan
Timur, antara lain ke Kerajaan Galuh (tahun 1528), kemudian
Talaga (tahun 1530). Jika dipetakan, wilayah perkembangan
Islam pada era itu, seperti yang tampak dalam gambar, yaitu
Indramayu, Krawang, Bekasi, Tangerang, dan Serang (Banten).
Bukti-bukti kejayaan Syarif Hidayatullah di Cirebon, selain
terlihat dari sisi keagamaannya, yaitu yang bersifat rohaniah
seperti penyebaran Islam, juga dapat dilihat pada perkembangan
bangunan fisiknya, seperti Tajug (Masjid), Kraton Pakungwati,
saat ini berada di Kasepuhan, dan pelabuhan yang saat ini tidak
seramai dahulu lagi.
- Wilayah Kekuasaan Syarif Hidayatullah 1479-1568 -
Tajug dan (atau) Masjid
Pendirian tempat ibadah, khususnya masjid, telah dilakukan sejak
Islam masuk di Cirebon. Untuk kepentingan ibadah dan
pengajaran agama Islam, Pangeran Cakrabuana mendirikan
sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (jala
artinya air; graha artinya rumah). Masjid ini merupakan masjid
pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon.
Sampai saat ini masjid tersebut masih terpelihara dan dikenal
dengan nama dalam dialek Cirebon, masjid Pejalagrahan,
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 116
bertempat di dalam Kraton Pakungwati, Kasepuhan. Masjid
tersebut dibangun sekitar tahun 1454.64
Selain itu, terdapat beberapa bangunan masjid yang dibangun
pada masa Syarif Hidayatullah, yang sampai hari ini diakui
keberadaannya, yakni masjid Merah Panjunan dan masjid Agung
Sang Cipta Rasa. Menurut salah seorang takmir masjid, masjid
Agung Sang Cipta Rasa, dibangun sesudah masjid Merah
Panjunan, yaitu sekitar tahun 1480.
Bangunan kedua masjid terbagi menjadi 2 (dua), yaitu
bangunan dalam dan luar. Bagian dalam masjid digunakan hanya
untuk waktu-waktu khusus, sedangkan bagian luar berfungsi
untuk salat maktubah. Khusus untuk Masjid Merah Panjunan,
bagian dalam hanya digunakan untuk Salat hari raya („Ied).65
Sebagaimana ciri khas masjid Cirebon lainnya, di dinding bagian
pengimaman terdapat lukisan khusus, berbentuk undukan bata,
dan dihiasi piring keramik dari Cina.
Bagian dalam Masjid Merah Panjunan, tempat pengimaman
hanya digunakan salat idul fitri dan idul adha
64 Babad Tanah Sunda, terbitan Suleman Sulendraningrat, seperti ditulis Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati, hlm. 45 65 Wawancara Agustus 2011 di Masjid Merah Panjunan Cirebon. Berbeda dari
informasi yang berkembang di masyarakat, menurutnya, para walisongo sering
mengadakan rapat di dalam masjid untuk membicarakan beberapa hal penting urusan umat, sebelum masjid Agung Sang Cipta Rasa didirikan.
117 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Mesjid Merah Panjunan
Mesjid Merah Panjunan
Kejayaan era Syarif Hidayatullah juga terlihat dari keberadaan
sebuah bangunan masjid yang bernama Masjid Agung Sang Cipta
Rasa yang saat ini berada dalam lingkungan kompleks Kraton
Kasepuhan. Masjid itu dibangun tahun 1549 atau seperti yang
tertulis dalam candrasangkala yang berbunyi Waspada
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 118
Penenbehe Yuganing Ratu, yang bermakna 1500. Simbol
bangunan masjid melambangkan filsafat Hayyun ila Ruhin (hidup
tanpa ruh).66
Bentuk bangunan dan simbol-simbol dalam masjid
semuanya sarat dengan makna filosofis.
Kraton dan Sistem Pemerintahan Cirebon
Sarip Hidayat menikah dengan Pakungwati dan mulailah
pembangunan negara (kota) Carbon, mulai dengan alun-alun dan
istana yang kemudian terkenal dengan nama Istana Pakungwati
(Pupuh 18, Dhandhanggula)67
Sejak serah terima dari Pangeran Cakrabuana, Syarif
Hidayatullah tinggal di Kraton Pakungwati. Perkembangan Islam
secara luas dan massif bermula dari tempat itu. Berbagai
perubahan sistem pemerintahan yang berdasarkan nilai-nilai
Islam mulai diterapkan. Keaktifan dakwah Islam Syarif
Hidayatullah tidak membuatnya melupakan penataan
pemerintahan di daerah sekitarnya. Hal itu pula merupakan
konskuensinya sebagai anggota penting Walisongo.
Sebagai bagian dari Walisongo, Syarif Hidayatullah di akhir
hayatnya lebih memilih untuk menjadi seorang ulama daripada
penguasa pemerintahan. Baginya, kekuasaan cukup dijalankan
oleh putranya di Banten. Mempertimbangkan hal itu, Syarif
Hidayatullah menyerahkan kekuasaan pemerintahan di Cirebon
kepada Pangeran Pesarean pada kurun waktu 1528-1552.
Pesarean merupakan putra Syarif Hidayatullah dengan Nyai
Tepasari. Syarif Hidayatullah sendiri lebih memilih
mengkhususkan diri dalam syiar Islam ke daerah pedalaman.68
66Waspada = 2, Panembehe = 2, Yuga = 4, Ratu = 1, jadi 1422 caka. Nama lain
masjid ini adalah Masjid Pakungwati. Paramita R. Abdurrachman (penyunt.),
Cerbon, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 83. Tetapi menurut Naskah
Mertasinga, Masjid Agung dibangun ketika Syarif Hidayatullah berumur 113
tahun atau sekitar 1561. Naskah Mertasinga, hlm. 123 67Babad Cirebon, alih aksara dan ringkasan S.Z. Hadisutjipto (Jakarta:
Depdikbud, 1979), hlm. xxviii 68Adeng ,dkk. Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Depdikbud, 1998), hlm. 34-35
119 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Dengan tidak aktifnya Syarif Hidayatullah dalam
pemerintahan, maka ia mendapat julukan Pandita Ratu (ulama
yang menjadi raja, tetapi lebih giat menjalankan keagamaan
daripada bergerak di bidang politik).
Kraton Kasepuhan sebagai pintu gerbang menuju Kraton Pakungwati
Kraton Cirebon setelah ditinggal Syarif Hidayatullah mengalami
Masjid Agung Sang Cipta Rasa dari berbagai sisi
Pintu Masuk Masjid Dalem Pintu Gerbang Masjid
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 120
berbagai kemunduran. Hal itu sejalan dengan perkembangan
pesat dari beberapa kerajaan Islam di Jawa dan Banten. Gelar
penguasa Cirebon pernah mengalami beberapa perubahan, yaitu
Panembahan Ratu dan Sultan. Dari berbagai sumber diketahui,
bahwa perubahan nama gelar untuk penguasa di Kraton Cirebon
juga menunjukkan adanya dinamika yang luar biasa, terlebih lagi
setelah adanya pengaruh pihak kolonial atau masuknya VOC ke
Cirebon.
Pelabuhan sebagai Pusat Perdagangan
Peninggalan Syarif Hidayatullah yang pernah menjadi bagian dari
jalur sutra perdagangan dunia internasional adalah pelabuhan.
Pelabuhan Cirebon diduga berdiri seiring dengan kelahiran
Cirebon pada 1371. Sebagai kota pantai, Cirebon merupakan
pusat perdagangan untuk daerah sekitarnya.69
Selain itu, kota
Cirebon juga menjadi kota pelabuhan alternatif terpenting di
pantai utara Jawa setelah Jakarta dan Semarang. Pelabuhan
Cirebon merupakan pelabuhan yang memiliki peran strategis
dalam hal perdagangan sejak masa Syarif Hidayatullah masih
berkuasa. Kapal-kapal asing yang mengangkut barang-barang
niaga dari dan ke luar negara pernah meramaikan pelabuhan ini.
Pemandangan itu pun masih dapat ditemui hingga saat ini. Pada
sore hari, dapat disaksikan puluhan kapal besar tengah bersandar
di dermaga. Perkembangan pelabuhan paling pesat terjadi pada
abad ke-19, bersamaan dengan berlangsungnya era
kolonialisme.70
Menurut Singgih Tri Sulistiono, penyebaran Islam ke daerah
Babadan, Kuningan (Selatan Cirebon), Indramayu, dan
Karawang, terjadi dengan damai dan tanpa kekerasan. Mungkin
fenomena ini bisa ditafsirkan sebagai upaya Cirebon untuk
memperkuat posisinya di bidang perdagangan dan pelayaran
dengan cara menguasai daerah pedalaman yang menjadi sumber
69 http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/475/jbptunikompp-gdl-midiansoem-23725-
3-bab2-mid-n.pdf 70Sigit W., “Perkembangan Pelabuhan Cirebon 1859-1930”, (Semarang: Skripsi Fak. Sastra UNDIP, 1994) dalam http://eprints.undip.ac.id/22079/
121 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
penghasil komoditas perdagangan, seperti beras dan kayu, serta
sekaligus tempat mensuplai barang-barang dari luar. Lebih-lebih
pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah (1479-1568) yang
lebih kurang berusia satu abad, kota pusat pemerintahan
Kesultanan Cirebon sudah lebih banyak penduduknya dan lebih
ramai. 71
Pelabuhan Kota Cirebon saat ini
Saat ini, pelabuhan Cirebon berstatus pelabuhan internasional,
pelabuhan samudra dan pelabuhan ekspor impor, yang berarti
bahwa pelabuhan Cirebon terbuka bagi kegiatan bongkar muat
barang dari dan ke luar negeri atau barang ekspor dan impor.
Adapun pelabuhan Cirebon dikelola oleh BUMN yang
keberadaannya dibawah manajemen PT (Persero).72
Pelabuhan Cirebon inilah salah satu sumber ekonomi terbesar
Kraton Cirebon sehingga pihak kraton dapat memenuhi
kehidupan masyarakatnya. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa
jika pelabuhan tersebut kurang dimanfaatkan, maka kejayaan
Cirebon juga sudah mulai tenggelam.
Pengaruh Syarif Hidayatullah di Jawa
Sebagaimana disebut di awal pembahasan, setiap Sunan dalam
Wali Songo mempunyai tugas masing-masing. Seperti disebutkan
71Seperti dikutip Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara, hlm. 164 72http://boykomar.multiply.com/photos/album/91/Pelabuhan_Cirebon
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 122
Sunyoto, tugas tokoh-tokoh Wali Songo dalam mengubah dan
menyesuaikan tatanan nilai dan sistem sosial budaya masyarakat,
adalah sebagai berikut:
Sunan Ampel membuat peraturan-peraturan yang Islami untuk
masyarakat Jawa. Sebagai Raja Pandita di Gresik ia merancang
pola kain batik, tenun lurik, dan perlengkapan kuda. Susuhunan
Majagung mengajarkan mengolah berbagai macam jenis
masakan, dan lauk pauk, memperbarui alat-alat pertanian, serta
membuat gerabah. Syarif Hidayatullah di Cirebon mengajarkan
tata cara berdoa dan membaca mantra, tata cara pengobatan, serta
tata cara membuka hutan. Sunan Giri membuat tatanan
pemerintahan di Jawa, mengatur perhitungan kalender siklus
perubahan hari, bulan, tahun, dan windu, menyesuaikan siklus
pawukon, juga merintis pembukaan jalan. Sunan Bonang
mengajar ilmu suluk, membuat gamelan, dan menggubah irama
gamelan. Sunan Drajat mengajarkan tata cara membangun rumah
dan membuat alat untuk memikul orang, seperti tandu dan joli.
Sunan Kudus merancang pekerjaan peleburan, membuat keris,
melengkapi peralatan pande besi, kerajinan emas, juga membuat
peraturan, undang-undang, hingga sistem peradilan yang
diperuntukkan bagi orang Jawa.73
Menurut Serat Walisana, seperti disebut Sunyoto, tokoh Syarif
Hidayatullah dikisahkan memiliki kaitan dengan ajaran sufisme
73Sunyoto., hlm. 90-91. Dalam bahasa Primbonnya, sebagai berikut: Susuhunan
ing Ngampel-denta handamel pranating agami Islam, kanggenipun ing tiyang
Jawi. Raja Pandhita ing Gresik amewahi ing polanipun ing sinjang, sinjang
batik, kaliyan sinjang lurik, saha amewahi ing wangunipun kakapaning kuda.
Susuhunan ing Majagung amewahi wangunipun ing olah-olahan, dadaharan
hutawi ulam-ulaman, kaliyan amewahi parabotanipun ing among tani, utawi
andamel garabah. Kanjeng Susuhunan ing Gunung Jati ing Cirebon, amewahi
donga hakaliyan mantra, utawi parasat miwah jajampi utawi amewahi
dadamelipun tiyang babad wana. Kanjeng Susuhunan ing Giri adamel
pranatanipun ing karaton Jawi, kaliyan amewahi bangsa pepetangan lampahing
dinten wulan tahun windu, utawi amewahi lampahing pawukon
sapanunggalipun, kaliyan malih amiwiti damel dalan tiyang Jawi. Kanjeng
Susuhunan Bonang, adamel susuluking ngelmi kaliyan amewahi ricikanipun ing
gangsa, utawi amewahi lagunipun ing gending. Kanjeng Susuhunan Drajat,
amewahi wanguning griya, utawi tiyang ingkang karembat ing tiyang, tandu joli
sapanunggalanipun. Kanjeng Susuhunan Kudus amewahi dapuripun dadamel,
waos duwung sapanunggalanipun, utawi amewahi parabotipun bekakasing
pande, kaliyan kemasan, saha adamel angger-anggeripun hingga pangadilan hokum ingkang keninging kalampahan ing titiyang Jawi.
123 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
melalui kitab-kitab Syaikh Ibrahim Arki, Syaikh Sbti, Syaikh
Muhyiddin Ibn „Arabi, Syaikh Abu Yazid Bustomi, Syaikh
Rudadi, dan Syaikh Samangun Asarani. Perkembangan Tarekat
Syattariyah dan Akmaliyah, sering pula dinisbatkan pada ajaran-
ajaran Wali Songo, khususnya Syarif Hidayatullah, Sunan Giri,
Sunan Kalijaga, dan Syekh Siti Jenar.74
Dalam Serat Kanda, seperti dikutip Muljana, terdapat berita
bahwa Sunan Cirebon ikut serta membangun masjid Demak
sebagai salah satu di antara Sembilan wali.75
Keterlibatan Syarif
Hidayatullah dengan kerajaan Islam di Demak, disebutkan pula
dalam Naskah Mertasinga. Sekurangnya terdapat beberapa
peristiwa besar di Demak, antara lain rapat Wali Songo pernah
dipindah dari Demak ke Cirebon untuk membicarakan banyak hal
di Jawa. Bukti kedekatan pengaruh juga ditunjukkan dengan pola
pernikahan putra putrinya. Begitu pula dengan keterlibatannya
dengan kerajaan Islam di Banten.76
Menurut sumber lain, Syarif
Hidayatullah juga ikut dalam perjuangan Islam di Jayakarta
melalui utusannya, Fatahillah.
Kesimpulan
Mengkaji teks Syarif Hidayatullah sungguh mengasikkan. Setiap
teks selalu menawarkan informasi yang tak jarang berbeda dan
bertentangan satu teks dengan teks lainnya tentang sosok Syarif
Hidayatullah. Sebagai sosok historis, intelektual dan muballig,
Syarif Hidayatullah yang hidup pada abad ke-15/16 di Cirebon,
sampai dengan tulisan ini dibuat, tidak ditemukan suatu kitab atau
karya akademiknya. Abad tersebut, bersamaan dengan masa
renaisans di Eropa dan kehadiran para pemikir besar muslim pada
masanya.
Sebagai tokoh yang lebih memilih dakwah syiar Islam bagi
masyarakatnya, daripada sebagai penguasa formal birokratis di
kesultanan Cirebon, Syarif Hidayatullah telah menanamkan suatu
74 Sunyoto., Ibid., hlm. 91-92 75 Slamet Muljana. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LKiS, 2007), cet. V, hlm. 100-101 76Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Naskah
Mertasinga), alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007), hlm. 72-88
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 124
peradaban moral dan teologis bagi muslim Indonesia terutama di
Cirebon. Karena itu, bukti kejayaannya dapat ditemukan melalui
bangunan tajug atau masjid dengan keragaman seni dan
filosofinya. Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Masjid Merah
Panjunan, barangkali merupakan sebagian di antara bukti
peradaban muslim klasik Indonesia dari Syarif Hidayatullah
selama kurun waktu 1479-1568 di Cirebon.
Pengaruh Syarif Hidayatullah terhadap perkembangan Islam di
Jawa sangat besar sekali. Adanya kerajaan Islam di Demak dan
Banten merupakan beberapa contohnya. Tak kalah pentingnya
lagi kontribusi Syarif Hidayatullah pada perkembangan Islam di
Jawa Barat dengan cara dakwah dengan damai, mulai dari
Kuningan, Indramayu, Majalengka, Cianjur, Garut, Ciamis,
Sumedang, bahkan Jayakarta (Betawi).
Wallahu a‟lam bis sawab
Bibliografi
Adeng, dkk. (1998). Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur
Sutra, Jakarta: Depdikbud.
Atja (1974). Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah
muladjadi Tjirebon), Jakarta: Ikatan Karyawan Meseum.
Bruinessen, Martin van (1999). Kitab Kuning: Pesantren dan
Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Cet. III.
Bandung: Mizan.
Cohen, Matthew Isaac (1997). “An Inheritance from the Friends
of God: The Southern Shadow Puppet Theater of West
Java, Indonesia”. Disertasi. Yale University.
Darkum (2007). “Peranan Walangsungsang dalam Merintis
Kesultanan Cirebon 1445-1529”. Skripsi UNES
Semarang.
Graaf, HJ. De & Th. Pigeaud (2003). Kerajaan Islam Pertama di
Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI.
Penyunting Eko Endarmoko dan Jaap Erkelens. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
125 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Djajadiningrat, P.A. Hoesein (1974). “Beberapa Catatan
Mengenai Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad-Abad
Pertama Berdirinja”, dalam R.A. Kern dan Husein
Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan Cirebon. Jakarta:
Bhratara.
Tim IAIN Syarif Hidayatullah (2002) Ensiklopedi Islam
Indonesia Jilid I A-H. Cet. II. Jakarta: Djambatan.
Iskandar, Yoseph (2008) Sejarah Jawa Barat (Yuganing
Rajakwasa). Cet. X. Bandung: Geger Sunten.
Denzin. K.N. & Lincoln S.Y. (2000) Hand Book of Qualitative
Research. United States: Sage Publications Inc.
Kern, R.A. (1974) “Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad-Abad
Pertama Berdirinya”, dalam R.A. Kern dan Husein
Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan Cirebon. Jakarta:
Bhratara.
al-Maraghi, Abdullah Mustofa (2001) Pakar-Pakar Fiqh
Sepanjang Sejarah. Penterj. Husein Muhammad.
Yogyakarta: LKPSM.
Masduqi, Zaenal (2010) “Pemerintahan Kota Cirebon (1906-
1942)”. Tesis. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Munandar, Agus Aris dan Titik Pudjiastuti (1997) “Sumber-
Sumber Tekstual tentang Sejarah Cirebon”, dalam
Susanto Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra.
Jakarta: Depdikbud.
Abdurrachman, Paramita R. (penyunt.) (1982). Cerbon. Jakarta:
Sinar Harapan.
El-Saha, Mastuki HS, dan M. Ishom (edit.) (2003).
Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala
Pemikiran di era Pertumbuhan Pesantren. Jakarta: Diva
Pustaka.
Siddique, Sharon (1992). Relics of the Past: Sociological Study of
the Sultanates of Cirebon West Java, seperti dikutip
dalam Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho
Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia: Jaman
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 126
Pertumbuhan dan Perkembangan III. Jakarta: Balai
Pustaka.
Smith, Margaret (2001). Mistikus Islam: Ujaran-ujaran dan
Karyanya. Penterj. Ribut Wahyudi. Surabaya: Risalah
Gusti.
Sulendraningrat, PRA (1985). Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai
Pustaka.
_______ (2004) Membumikan Wasiat Sunan Gunung Djati
Dalam Membangun Jawa Barat Bermartabat. Cirebon:
Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon.
Sunyoto, Agus (2011). Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang
Disingkirkan. Jakarta: Transpustaka.
Suprayogo dan Tobroni, Imam (2001). Metodologi Penelitian
Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Suprapto, Bibit (2009). Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat
Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama
Nusantara. Jakarta: Gramedia.
Tjandrasasmita, Uka (2009) Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:
Pustaka Gramedia.
Wildan, Dadan (2002). Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan
Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural
dan Kultural. Bandung: Humaniora.
Sigit W (1994) “Perkembangan Pelabuhan Cirebon 1859-1930”.
Skripsi. Fakultas Sastra UNDIP. Tulisan dapat diakses di
http://eprints.undip.ac.id/22079/
Yenne, Bill (2005). 100 Peristiwa yang Berpengaruh di dalam
Sejarah Dunia (100 Events That Shaped World History).
penterj. Lili Sri Padmawati. [t.k.]: Karisma Publishing
Group.
Suntingan/Terbitan Naskah
Babad Tanah Sunda, terbitan Suleman Sulendraningrat dalam
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan
127 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural
dan Kultural, (Bandung: Humaniora, 2002)
Babad Tanah Sunda, terbitan Suleman Sulendraningrat dalam
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan
Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural
dan Kultural, (Bandung: Humaniora, 2002)
Babad Cirebon, alih aksara dan ringkasan S.Z. Hadisutjipto
(Jakarta: Depdikbud, 1979)
Naskah Mertasinga, Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah
Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N.
Wahju, (Bandung: Pustaka, 2005)
Naskah Kuningan; Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan
Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju,
(Bandung: Pustaka, 2007)
Website
http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
http://boykomar.multiply.com/photos/album/91/Pelabuhan_Cireb
on
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/475/jbptunikompp-gdl-
midiansoem-23725-3-bab2-mid-n.pdf
http://www.nusawarta.com/2010/12/kisah-sejarah-kota-
cirebon.html
http://indahartgallery.webs.com/keraton.htm
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 128
Abstrak
Tulisan ini berupaya memaparkan hasil identifikasi naskah
berbahan daluang dengan menggunakan dua metode, yaitu
pengamatan langsung dan uji sampel di laboratorium. Dalam hal
metode pengamatan langsung, digunakan beberapa alat bantu
identifikasi agar hasilnya lebih terukur. Adapun uji sampel di
laboratorium mengacu pada Standard Nasional Indonesia (SNI)
yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional Indonesia
(BNSNI) sehingga hasilnya lebih akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dua metode tersebut digunakan untuk
identifikasi bahan naskah gulungan koleksi Cagar Budaya Candi
Cangkuang (CBCC). Karakteristik bahan naskah yang dihasilkan
berupa ketebalan bahan, warna bahan, jenis serat, panjang serat,
kadar asam dan jenis kerusakan naskah. Adanya kemungkinan
penggunaan metode dan hasil identifikasi bahan naskah daluang
tersebut diharapkan dapat memperkaya metode kajian naskah
dan mempertajam analisis filologis selanjutnya.
Kata Kunci: Identifikasi, Bahan Naskah, Daluang, Candi
Cangkuang
*) Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan
Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia
129 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Pendahuluan
Naskah dibedakan atas adanya fisik dan kandungan teks, fisik
naskah adalah medium yang mewadahi teks sebagai
kandungannya (Baried, 1985: 4-5; Sudardi, 2001: 18-20;
Sudjiman, 1994: 11). Medium dalam naskah dapat dibedakan
pula atas dua hal, yaitu bahan dan teknik. Dalam identifikasi
naskah, yang pertama kali dapat dilakukan di antaranya adalah
pendeskripsian medium. Terkait dengan bahan naskah, daluang
merupakan salah satu dari sekian banyak bahan naskah yang
digunakan dalam tradisi tulis Nusantara.
Namun patut dicatat bahwa masih terdapat beberapa
kekeliruan dalam memahami daluang, di antaranya Lubis
(1996:37) yang menyatakan bahwa “daluang adalah kertas yang
digunakan di Pulau Jawa yang terbuat dari kulit kayu sebagai
campuran”. Contoh kesalahan dalam pendeskripsian naskah yang
memakai daluang sebagai bahannya adalah pendeskripsian bahan
naskah pada koleksi Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri
Baduga Jawa Barat (BPMNSBJB), yang menyatakan bahwa dari
137 buah koleksi naskah yang ada terdaftar, 74 buah di antaranya
berbahan “daluang”, 2 buah berbahan saéh, dan 1 naskah
berbahan daluang saéh. Dalam hal ini digunakan tiga istilah
untuk satu jenis bahan naskah yang sama, yaitu daluang, saéh,
dan daluang saéh.
Di samping itu, terdapat pula kekeliruan dalam pendeskripsian
bahan naskah pada materi pameran tetap di BPMNSBJB, yaitu
naskah Babad Pajajaran yang kemungkinannya besar berbahan
daluang dideskripsikan sebagai naskah berbahan kulit binatang.
Kasus serupa terjadi pada pendeskripsian naskah gulungan CBCC
di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.
Naskah berbahan daluang dideskripsikan sebagai naskah
berbahan kulit kambing.
Terjadinya kesalahan dalam identifikasi naskah berbahan
daluang, baik dari segi peristilahan, pengenalan karakteristik
bahan, dan aspek-aspek lainnya, bisa jadi disebabkan oleh
hilangnya tradisi pembuatan daluang, yang secara otomatis
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 130
menyebabkan informasi mengenai daluang menjadi terputus.
Kini banyak orang, termasuk para petugas yang menangani
naskah, tidak mengenal wujud dan ciri-ciri daluang dengan baik.
Sehubungan dengan hal itu, daluang sebagai bahan naskah
yang dihasilkan oleh tradisi tulis Nusantara menjadi penting
untuk dikaji lebih lanjut. Dalam hal ini peran kajian kodikologi
untuk mengenali bahan, teknik, serta fungsinya diperkirakan
dapat memberi jalan bagi pendalaman kajian terhadap naskah
serta pengembangan bagi disiplin ilmu filologi.
Di antara sekian banyak naskah yang berhasil dihimpun dalam
berbagai katalog naskah Nusantara, naskah CBCC ternyata belum
banyak diteliti, bahkan dalam berbagai katalog naskah pun belum
tercantum. Adapun informasi mengenai koleksi naskah CBCC
dapat dilihat pada buku Cagar Budaya Candi Cangkuang dan
Sekitarnya yang disusun oleh Zaki Munawar (2002).
Naskah koleksi CBCC seluruhnya berjumlah tujuh belas
naskah dan seluruh bahan naskahnya diperkirakan berupa
daluang. Kemasan naskahnya terdiri dari dua bentuk, berupa
buku (binding) dan gulungan (scroll). Naskah-naskah koleksi
CBCC disimpan di tiga lemari kaca yang berbeda, lima belas
buah naskah berbentuk buku disimpan berjajar dalam dua lemari
kaca dan dua naskah disimpan terpisah dalam sebuah lemari kaca
lainnya, termasuk di dalamnya naskah berbentuk gulungan.
Kondisi fisik naskah berbentuk buku umumnya sudah mulai rusak
(dari enam belas naskah hanya tiga naskah yang kondisinya
masih cukup baik); lembar halamannya terurai dari jilidannya
sehingga halaman demi halamannya tercecer, lembab, berjamur,
dan aksaranya sudah tidak terlalu jelas, sehingga menyulitkan
ketika akan dibaca.
Buruknya kondisi naskah-naskah berbentuk buku bisa jadi
disebabkan oleh tingginya tingkat penggunaan pada masa naskah
itu digunakan atau karena kurang baiknya teknik penjilidan,
penyimpanan, dan perawatan naskah, atau karena kurang baiknya
pemeliharaan masyarakat pendukung berikutnya. Berbeda dengan
yang berbentuk buku, naskah gulungan kondisinya lebih baik;
131 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
lembarannya relatif masih utuh, tidak terlalu lembab, tidak terlalu
berjamur, dan aksaranya terlihat jelas sehingga memudahkan
pembacaan teks.
Kondisi naskah berbentuk gulungan yang lebih baik
dibandingkan dengan kondisi naskah berbentuk buku
mengundang beberapa pertanyaan, di antaranya: apakah naskah
yang dikemas dalam bentuk gulungan lebih baik daripada naskah
berbentuk buku atau apakah ada kaitan antara bahan naskah dan
bentuk kemasan naskah dengan tingkat kekuatan fisik naskah?
Gambar 1. Tampak kerusakan naskah berbentuk buku
koleksi CBCC. (dok. pribadi)
Naskah gulungan koleksi CBCC mempunyai ukuran 176 X 23
cm., kedua permukaannya ditulisi dengan teks beraksara Arab,;
tinta yang digunakan untuk menuliskan aksara berwarna hitam
dan tinta yang digunakan untuk menuliskan tanda baca berwarna
merah.
Identifikasi bahan naskah gulungan koleksi CBCC pada
dasarnya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan
pengamatan langsung di lapangan dan berdasarkan pengujian di
laboratorium. Pengamatan secara langsung di lapangan dapat
dilakukan dengan bantuan alat ukur dan peralatan lainnya yang
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 132
diperlukan. Alat ukur yang digunakan di lapangan memberikan
hasil ukur secara langsung, seperti panjang dan lebar bahan
naskah, ketebalan bahan naskah, warna bahan naskah, jenis
aksara, dan warna tinta tulis yang digunakan. Adapun pengujian
bahan di laboratorium dapat dilakukan dengan menggunakan
peralatan laboratorium dan didasarkan pada metode dan standar
yang sudah diakui secara nasional, yaitu SNI.
Pengamatan Langsung
Pengamatan terhadap bahan naskah gulungan koleksi CBCC yang
bisa dilakukan secara langsung di lapangan adalah berupa
pengukuran dimensi panjang dan lebar bahan naskah dengan
menggunakan mistar, pengukuran ketebalan bahan naskah dengan
menggunakan mikrometer digital, dan pengukuran warna dengan
menggunakan tabel warna; di samping itu dilakukan pula
pengambilan gambar dengan menggunakan kamera digital untuk
keperluan dokumentasi penelitian.
Setelah dilakukan pengukuran, hasilnya menunjukkan bahwa
ukuran bahan naskah adalah 176 X 23 cm., sama dengan
informasi yang diberikan oleh juru pelihara CBCC. Ukuran bahan
naskah seperti itu termasuk jarang digunakan dalam penulisan
naskah, hal ini dapat di antaranya dapat dilihat pada data dalam
Katalogus Naskah Sunda (1988), yang menunjukkan bahwa
naskah-naskah Sunda umumnya mempunyai ukuran di bawah
ukuran bahan naskah gulungan koleksi CBCC dan umumnya
berbentuk buku.
Kelangkaan ukuran bahan naskah tersebut juga dapat
mengindikasikan bahan baku yang digunakannya. Dalam hal ini
bisa diyakini bahwa naskah gulungan koleksi CBCC bukan
terbuat dari kulit kambing seperti yang dideskripsikan oleh
petugas juru pelihara CBCC, berangkat dari asumsi panjang kulit
kambing dari bagian leher sampai dengan bagian ekor berkisar
antara 90 sampai dengan 120 cm. Di samping itu tidak terdapat
bintik-bintik bekas pori-pori dan bekas tumbuhnya bulu seperti
pada lembaran kulit binatang pada umumnya. Serat pembentuk
133 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
lembarannya pun serat panjang seperti halnya serat pembentuk
lembaran kulit kayu. Mengenai kepastian jenis serat pembentuk
bahan, selanjutnya akan dipastikan melalui uji laboratorioum.
Gambar 2. Tampak serat pembentuk bahan naskah NGCBCC.
(dok. pribadi)
Mengenai ketebalan bahan naskah gulungan koleksi CBCC,
setelah dilakukan pengukuran ternyata bahwa ketebalan bahannya
tidak sama, paling tipis adalah 0.29 mm dan paling tebal adalah
0.48 mm. Berpijak pada adanya variasi ketebalan bahan dan
dikaitkan dengan jenis serat pembentuk lembaran yang diduga
berasal dari serat kulit kayu, maka dapat dipastikan bahwa bahan
naskah gulungan koleksi CBCC dibuat secara tradisional; bukan
dibuat secara modern dengan menggunakan mesin pembuat
kertas yang dapat menghasilkan kertas dengan ketebalan yang
sama karena dibentuk oleh sebuah mekanisme pembentuk
lembaran (sheet former) yang presisi.
Dengan adanya kenyataan serat pembentuk bahan naskah
berupa jenis serat panjang yang berasal dari kulit kayu, penentuan
bahan naskah pun bisa dirujuk pada adanya daluang sebagai
bahan naskah Nusantara.
Mengenai warna bahan naskah gulungan CBCC, agar
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 134
keterukurannya lebih akurat, maka pengukuran warna
disandarkan pada tabel warna C/M/Y/K. Setelah diukur secara
acak berdasarkan kesamaan dan perbedaan warna yang mencolok,
didapatkan hasil ukur warna dengan pola (1) 10/20/50/0, (2)
40/40/50/0, (3) 5/5/50/0, (4), 5/20/50/0 (5), 0/10/50/0, dan (6)
5/10/50/0. Jika keseluruhan pola warna tersebut dikonversikan ke
tabel warna yang dikeluarkan oleh Winsor & Newton, maka
warna bahan naskah gulungan CBCC dapat termasuk ke dalam
warna naples yellow, yellow ochre, atau raw sienna.
Gambar 3. Tampak pengukuran ketebalan kertas - 0.29 mm.
(dok. pribadi)
Gambar 4. Tampak nilai warna pola 1. 10/20/50/0 (dok. pribadi).
135 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Adanya perbedaan atau gradasi warna yang terdapat pada
naskah gulungan CBCC menunjukkan bahwa, jika pada saat
pembuatan warna bahan naskah adalah sama, maka perbedaan
warna yang dapat disaksikan saat ini adalah perbedaan warna
yang dihasilkan atau diakibatkan oleh perjalanan waktu serta
perlakuan terhadap naskah itu sendiri.
Gambar 5. Tampak hasil konversi warna bahan NGCBCC yang
menunjuk pada warna naples yellow, yellow ochre, atau raw sienna
(dok. pribadi).
Hasil Uji Laboratorium
Untuk melakukan identifikasi bahan naskah di labotatorium,
berdasarkan informasi studi lapangan yang dilakukan pada
tanggal 3 Pebruari 2011 di Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK)
yang berlokasi di Jalan Raya Dayeuhkolot 132 Bandung; Nina
Elyani, Kepala Bidang Pengujian, Sertifikasi, dan Kalibrasi,
menyatakan bahwa bahan naskah gulungan koleksi CBCC dapat
diidentifikasi berdasarkan uji atas (1) pH atau kadar asam, (2)
jenis serat, (3) panjang serat, (4) daya serap tinta atau penetrasi
minyak IGT, (5) daya serap air atau Cobb 60, dan (6) ketahanan
lipat. Seluruh pengujian tersebut metodenya didasarkan pada
standar yang telah ditetapkan BSNI, yaitu: pengujian pH
didasarkan pada SNI 14-0479.2-1998, pengujian jenis serat
didasarkan pada SNI 0441-2009, pengujian panjang serat
didasarkan pada SNI ISO 16065.2-2010, pengujian daya serap
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 136
tinta didasarkan pada SNI 14-9584-1989, pengujian daya serap
air didasarkan pada SNI 0449-2008, dan pengujian ketahanan
lipat didasarkan pada SNI 0491-2009.
Untuk melakukan uji kualitas bahan naskah diperlukan bahan
atau sampel dengan ukuran minimum 15 X 20 cm yang akan
hancur setelah proses pengujian berlangsung. Ukuran minimun
bahan untuk uji kualitas tersebut nampaknya tidak dapat dipenuhi
karena naskah gulungan CBCC merupakan benda koleksi
dilindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya. Keberadaannya
harus senantiasa dijaga dan harus tetap berada di lokasi CBCC.
Etika keilmuan filologi juga tidak memperkenankan untuk
pengambilan bahan naskah karena akan merusak naskah itu
sendiri.
Namun demikian, ternyata masih terdapat peluang untuk
melakukan uji pH atau kadar asam, penentuan jenis serat, dan
panjang serat bahan naskah karena contoh bahan naskah yang
diperlukan untuk pengujian tersebut tidak terlalu besar, yaitu
sekitar 1 X 1 cm untuk uji kadar asam dan 1 X 1 cm untuk uji
jenis serat dan panjang serat. Sampel bahan diambil dari bagian
naskah gulungan CBCC yang koyak, yang selanjutnya disebut
sampel utama.
Gambar 6. Tampak bagian ujung bahan naskah yang koyak. (dok. pribadi)
Pengujian kadar asam serta penentuan jenis dan panjang serat
bahan naskah gulungan CBCC menjadi sangat penting untuk
dilakukan karena melalui pengujian ini akan dapat diketahui
apakah bahan naskah tersebut termasuk kertas yang kuat, dengan
137 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
permanensi (kekuatan) dan durability (ketahanan) tinggi, atau
bahkan sebaliknya seperti yang dipaparkan Lukman (2009: 55).
“permanensi adalah kemampuan kertas untuk tetap stabil dan
tahan terhadap aksi kimia, baik dari dalam maupun dari
lingkungan sekitarnya. Sementara itu, ketahanan (durability)
merupakan sifat ketahanan kertas terhadap perlakuan fisik
yang dapat menyebabkan rusaknya kertas, contohnya
goresan dan lipatan. Permanensi berhubungan dengan
stabilitas kimia kertas, sedangkan ketahanan berhubungan
dengan kekuatan fisik.”
Adapun menurut Harvey, dalam Lukman (2009: 56),
dinyatakan bahwa ukuran terpenting yang menjadi penentu kertas
bersifat permanen adalah kadar pH, yaitu kadar keasaman atau
kebasaan suatu kertas dengan skala 0 – 14, di mana skala pH 0
menunjukkan derajat asam, skala pH 7 menunjukkan sifat netral,
dan skala pH 14 menunjukkan derajat basa.
Selanjutnya, mengenai unsur asam pada yang terdapat dalam
kertas (termasuk daluang), Wan Mamat (1988:62--63)
memaparkan bahwa,
“unsur asam atau lignin, pada dasarnya merupakan salah satu
bahan baku pembuatan kertas dan sudah dipergunakan sejak
kira-kira seratus tahun yang lalu, lignin juga merupakan
kandungan dari serat kayu itu sendiri. Di samping lignin,
penggunaan zat-zat kimia seperti clorine untuk pemutih kertas,
potassium alumunium sulphate untuk penghalus permukaan
kertas (bahan kimia dalam proses pembuatan kertas pabrikan)
dan penggunaan tinta tulis yang mengandung unsur iron
gallotannate (garam besi) juga merupakan faktor yang dapat
menyebabkan tingkat keasaman (acid sulfurik) bahan naskah
menjadi tinggi”.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 138
Secara kebetulan, di sekitar lokasi CBCC, tepatnya di Desa
Cangkuang Kecamatan Leles, ditemukan naskah yang bahannya
diperkirakan sejenis dengan bahan naskah gulungan koleksi
CBCC, yang oleh pemiliknya, Zaki Munawwar, diserahkan
kepada penulis agar bahannya dapat dimanfaatkan untuk uji
laboratorium. Sampel ini selanjutnya disebut sampel pembanding.
Di samping itu, diuji pula sampel daluang hasil rekonstruksi,
selanjutnya disebut sampel rekonstruksi, agar didapatkan
gambaran mengenai kualitasnya guna pemanfaatan praktis
selanjutnya.
Gambar 7. Tampak bahan naskah sampel pembanding dan daluang hasil
rekonstruksi. (dok. pribadi)
Berdasarkan laporan hasil uji atas ketiga sampel yang
dikeluarkan BBPK tertanggal 17 Pebruari 2012, dari sampel
utama didapatkan hasil uji pH sebesar 4,81 ± 0,01, hasil uji jenis
serat menunjukkan bahwa jenis serat bahan adalah jenis softwood,
dan hasil uji panjang serat sepanjang 2,725 mm; dari sampel
pembanding didapatkan hasil uji pH sebesar 5,96 ± 0,02, hasil uji
jenis serat menunjukkan bahwa jenis serat bahan adalah jenis
softwood, dan hasil uji panjang serat sepanjang 2,985 mm, daya
serap tinta permukaan atas 48,5 ± 2,9, daya serap tinta permukaan
bawah 53,3 ± 3,6, daya serap air permukaan atas 15,4 ± 2,1, dan
daya serap air permukaan bawah 17,0 ± 0,7; adapun dari sampel
rekonstruksi didapatkan hasil uji pH sebesar 6,82 ± 0,01, hasil uji
jenis serat menunjukkan bahwa jenis serat bahan adalah jenis
softwood, dan hasil uji panjang serat sepanjang 3,575 mm, daya
serap tinta permukaan atas 50,2 ± 9,1, daya serap tinta permukaan
139 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
bawah 77,5 ± 29,2, daya serap air permukaan atas 150,0 ± 3,5,
dan daya serap air permukaan bawah 193,1 ± 1,4, ketahanan lipat
arah serat sebesar 4246 ± 935, dan ketahanan lipat silang serat
496 ± 333. Seluruh hasil uji tersebut didasarkan pula pada
kondisi ruang pengujian dengan suhu 23 ± 10
C, kelembaban
ruangan pada RH 50 ± 2 %. Untuk memudahkan pembahasan,
berikut ini adalah tabel hasil uji dimaksud.
No. Parameter Satuan
Hasil Uji
Sampel
Utama
Sampel
Pembading
Sampel
Rekonstruksi
1 pH -
4,81 ±
0,01 5,96 ± 0,02 6,82 ± 0,01
2 Jenis serat - Softwood Softwood Softwood
3 Panjang serat mm 2,727 2,985 3,575
4 Penetrasi
minyak IGT
- Top side
- Bottom side
-
-
-
-
48,5 ± 2,9
53,3 ± 3,6
50,2 ± 9,1
77,5 ± 29,2
5 Cobb 60
- Top side
- Bottom side
g/m2
g/m2
-
-
15,4 ± 2,1
17,0 ± 0,7
150,0 ± 3,5
193,1 ± 1,4
6 Ketahanan
Lipat
- Arah serat
-Silang serat
-
-
-
-
-
-
4246 ± 935
496 ± 333
Tabel 1. Hasil Uji Sampel Bahan Kertas.
Tabel di atas memuat hasil uji atas tiga parameter yang dapat
dibandingkan dari sampel utama, sampel pembanding, dan
sampel rekonstruksi, yaitu pH, jenis serat, dan panjang serat.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 140
Derajat pH sampel utama 4,81 ± 0,01, derajat pH sampel
pembanding 5,96 ± 0,02, dan derajat pH sampel rekonstruksi 6,82
± 0,01; jenis serat ketiga sampel adalah softwood; dan panjang
serat sampel utama 2,727 mm, panjang serat sampel pembanding
2,985 mm, dan panjang serat sampel rekonstruksi 3,575 mm.
Hasil perbandingan atas tiga parameter di atas menunjukkan
bahwa untuk derajat pH, sampel utama memiliki derajat
keasaman paling tinggi, diikuti oleh sampel pembanding, dan
sampel rekontruksi. Tingkat derajat keasaman yang didapat dari
perbandingan hasil uji tersebut, untuk sampel utama dan sampel
pembanding, secara objektif menunjukkan tingkat derajat
keasaman pada waktu pengujian; sedangkan untuk sampel
rekonstruksi, di samping menunjukkan tingkat derajat keasaman
pada waktu pengujian, juga menunjukkan tingkat kadar asam
pada waktu selesai pembuatan. Ross Harvey, dalam Lukman
(2009: 59), menyatakan bahwa kadar pH kertas pada waktu
pembuatan tidak boleh kurang dari 6,5 agar dapat dikategorikan
sebagai kertas permanen.
Melihat kenyataan bahwa kadar pH bahan naskah gulungan
koleksi CBCC termasuk ke dalam kategori di bawah netral atau
cenderung asam, maka penanganan naskah-naskah koleksi CBCC
selanjutnya menjadi sangat penting untuk diperhatikan; karena
jika penanganannya tidak dilakukan secara baik, maka tingkat
penurunan kualitas bahan naskah akan berlangsung dengan cepat
dan mengakibatkan kerusakan naskah-naskah itu sendiri.
Selanjutnya untuk jenis serat, ketiga sampel menunjukkan
jenis serat yang sama, yaitu jenis softwood. Namun demikian,
setelah melakukan penelusuran lebih lanjut atas penggolongan
jenis serat, softwood adalah pengolongan jenis serat untuk kayu
dan bukan untuk jenis serat kulit kayu. Menurut Iswanto (2008:
1) dan Sucipto (2009: 1), secara umum kayu dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu hardwood (kayu keras atau kayu daun lebar) dan
softwood (kayu lunak atau kayu daun jarum); dan yang
membedakan keduanya adalah keberadaan sel pembuluh yang
hanya terdapat pada kayu daun lebar.
141 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Mengenai kulit kayu, Batubara (2008) menyatakan bahwa
pada dasarnya kulit kayu dan kayu adalah dua bagian yang
berbeda, kayu adalah jaringan xylem dan kulit kayu adalah
jaringan phloem; kedua jaringan ini merupakan pembentuk
struktur kayu secara utuh. Dengan demikian, untuk penentuan
jenis serat ketiga sampel di atas, karena dikategorikan sebagai
jenis yang sama, maka akan lebih baik jika digolongkan ke
dalam jenis serat kulit kayu (daluang); Teygeler (1995)
menyarankannya dengan menyatakan bahwa “ finally dluwang
can be defined as beaten treebark (tapa) of paper – mulberry tree
(Broussonetia papyrifera Vent.) from Java or Madura.”
Adapun untuk panjang serat, sampel utama memiliki panjang
serat yang paling pendek, selanjutnya diikuti oleh sampel
pembanding, dan sampel rekonstruksi. Hal ini dapat
menunjukkan bahwa ketahanan lipat sampel utama dan sampel
pembanding lebih rendah dari sampel rekonstruksi, karena
panjang serat berbanding lurus dengan ketahanan lipat dan
kekuatan kertas, seperti yang dipaparkan Budi (1995: 105).
“Secara umum panjang serat mempunyai peranan langsung
terhadap sifat-sifat kekuatan kertas, hal ini dikarenakan
panjang serat erat hubungannya dengan banyaknya kontak
perkesatuan sel. Selain itu kekuatan internal dalam serat atau
sel, lebih besar dari pada ikatan antar sel. Selain itu lembaran
kertas yang terdiri dari kumpulan sel-sel yang terpisah terikat
kembali satu sama lain secara lamai tanpa adanya tambahan
bahan perekat, sehingga kekuatan kertas lebih didasarkan atas
exobond dari luas permukaan setiap selnya. Semakin panjang
sel serat akan memberikan pengaruh yang positif terhadap
kekuatan pada kertas, artinya semakin panjang serat, maka
kekuatan kertasnya semakin baik.”
Namun demikian, panjang serat ketiga sampel di atas, masih
lebih panjang jika dibandingkan dengan panjang serat dari empat
jenis kayu yang diteliti oleh Budi (1995: 103) yaitu, kayu terap
1,413 mm, kayu meranti merah 1,345 mm, kayu kapur 1,410 mm,
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 142
dan kayu keruing 1,689 mm. Dengan demikian, kekuatan kertas
berbahan baku kulit kayu seperti yang terdapat pada ketiga
sampel yang diuji di BBPK masih lebih tinggi tingkat kekuatan
kertasnya jika dibandingkan dengan kertas berbahan baku kayu
terap, kayu meranti merah, kayu kapur, dan kayu keruing.
Penyimpanan dan Perawatan Naskah
Penyimpanan dan perawatan naskah memerlukan penanganan
yang baik, karena pada dasarnya bahan naskah mudah rusak jika
tidak ditangani dengan baik. Di beberapa tempat penyimpanan
koleksi naskah yang sudah maju, naskah disimpan di ruangan
khusus dengan suhu dan kelembaban udara tertentu. Naskah pun
ditempatkan dalam lemari, rak, dan kotak yang terbuat dari kertas
bebas asam.
Mengenai suhu ruangan untuk penyimpanan naskah, Wan
Mamat (1988:57--58) menyatakan bahwa suhu ideal berkisar
antara 550F (13
0C) sampai dengan 65
0F (18
0C) dengan kondisi
udara yang mengalir, sedangkan kelembaban berkisar 50%. Alat
untuk mengatur suhu ruangan dikenal sebagai air conditioning
(AC) dan alat untuk mengatur kelembaban dikenal sebagai
higrometer. Dengan memperhatikan hal tersebut, laju kerusakan
bahan naskah dapat diperlambat dan kondisi fisiknya dapat
dipertahankan sehingga suatu naskah dapat bertahan lebih lama.
Naskah gulungan koleksi CBCC dengan dimensi 176 X 23
cm. saat ini tampak disimpan dalam sebuah lemari kaca yang
cukup baik sehingga terbebas dari debu dan serangga yang
dikhawatirkan akan mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada
naskah. Pengemasan dan penyimpanan naskah dalam bentuk
gulungan diperkirakan ada sudah sejak lama, diperkirakan sejak
bahan naskah dibuat sampai saat ini.
Pengemasan naskah dalam bentuk gulungan sepertinya
merupakan pengemasan yang cukup baik untuk dimensi panjang
176 cm, karena dalam bentuk gulungan serat-serat pembentuk
lembaran bahan akan lebih terjaga dibandingkan jika dikemas
dalam bentuk lipatan, memungkinkan serat pembentuk lembaran
143 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
bahan akan putus sebagai akibat dari proses buka tutup lipatan
yang berulang.
Gambar 8. suhu ruangan 27 derajat celcius dan kelembaban 64 persen,
data diambil pada bulan Juni 2008. (dok. pribadi)
Walaupun saat ini penyimpanan dan perawatan naskah sudah
cukup baik, yaitu naskah disimpan dalam lemari kaca sehingga
terhindar dari kontak langsung dengan udara luar, debu, dan
terbebas dari jamahan tangan, namun secara kasat mata terlihat
bahwa pada permukaan bahan naskah masih terdapat beberapa
kerusakan yang mungkin akan mengakibatkan kerusakan lebih
lanjut.
Faktor penyebab kerusakan naskah yang nampak, di
antaranya, adalah faktor lingkungan. Hal ini tampak dari adanya
bagian naskah yang lembab karena terhidrolisis oleh udara basah.
Bagian naskah yang lembab ini kemudian menimbulkan
kerusakan lebih lanjut, yaitu mendorong tumbuhnya jamur. Di
samping itu terdapat pula kulit telur kecoa yang menempel di
permukaan bahan naskah dan beberapa lubang kecil yang
diperkirakan disebabkan serangga sejenis kutu buku. Adanya
jamur, kulit telur kecoa, dan lubang-lubang pada naskah
menunjukkan adanya faktor biologis sebagai penyebab kerusakan
naskah.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 144
Gambar 9. Tampak faktor biologis sebagai faktor penyebab
kerusakan naskah. (dok. pribadi)
Atas dasar hal tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa
kerusakan bahan naskah gulungan koleksi CBCC, di antaranya,
disebabkan oleh faktor usia, faktor lingkungan, faktor biologis,
dan faktor mekanis.
Pada kalangan masyarakat tertentu di Indonesia saat ini,
khususnya masyarakat tradisional, terdapat kegiatan penyimpanan
dan perawatan naskah secara tradisional. Berdasarkan
pengamatan sepintas, upaya yang dilakukan masyarakat
tradisional dalam melakukan penyimpanan dan perawatan naskah
memberikan keuntungan bagi kondisi naskah, sehingga
keberadaan naskah masih dapat disaksikan sampai saat ini. Upaya
yang dilakukan masyarakat tradisional di antaranya dengan
menyimpan naskah pada kotak kayu, menyimpan naskah di atas
tempat yang agak tinggi pada bagian dinding rumah agar tidak
terjangkau anak-anak, membungkus naskah dengan kain, dan ada
kalanya di dalam kotak kayu dan bungkusan kain tersebut
disertakan pula beberapa batang cerutu, biji cengkih, bunga
melati, dan sebagainya.
145 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Gambar 10. Tampak gulungan Wayang Beber
dan kotak penyimpannya di Gunung Kidul. (dok. pribadi)
Cerutu, biji cengkih, dan bunga melati yang disimpan di dalam
kotak kayu ataupun kain pembungkus naskah ternyata dapat
menghindarkan serangan rayap, kutu buku, semut, ataupun
serangga pengganggu lainnya yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada naskah. hal ini dapat dipahami karena ternyata
baik cerutu, biji cengkih, dan bunga melati masing-masing
mempunyai aroma khas yang tidak disukai serangga.
Gambar 11. Tampak penyimpanan naskah yang dijadikan sarang semut.
(dok. pribadi)
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 146
Di beberapa tempat tertentu, yang masyarakat pendukungnya
masih memegang teguh adat istiadat, naskah dan benda-benda
koleksi lainnya hanya boleh dibuka dan dilihat satu tahun sekali,
biasanya pada bulan-bulan yang dianggap sakral, seperti bulan
Mulud sekaligus dengan melakukan prosesi pembersihan pusaka.
Pengaturan waktu untuk membuka dan membersihkan naskah
beserta benda-benda yang dianggap keramat (termasuk
mengkeramatkan naskah), ternyata ada sisi positif dan sisi
negatifnya. Sisi positifnya adalah memberikan ketahanan bagi
naskah itu sendiri, dalam hal ini naskah tidak sembarang waktu
dijamah tangan dan dibuka tutup. Sisi negatifnya adalah
kandungan informasi naskah tidak diketahui masyarakat banyak
sehingga, jika terjadi penurunan kualitas kondisi naskah, maka
tingkat kerusakannya tidak cepat diketahui dan kerusakannya
tidak akan dapat dicegah.
Daftar Pustaka
Baried, Siti Baroroh (1985). Pengantar Filologi. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Batubara, Ridwanti (2008). Kimia Kulit Kayu, Potensi dan
Peluang Pemanfaatannya. Departemen Kehutanan,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Budi, Agus Sulistyo (1995). “Morfologi Serat Pulp dari Empat
Jenis Kayu Daun Lebar dalam Hubungannya dengan
Kekuatan Kertasnya”. Jurnal FRONTIER Nomor 17.
September 1995.
Ekadjati, Edi S. (1988). Naskah Sunda: Inventarisasi dan
Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas
Padjadjaran dan The Toyota Foundation.
Lubis, Nabilah (1996). Naskah, Teks, dan Metode Penelitian
Filologi. Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab
Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah.
Lukman (2009). “Penggunaan Kertas Permanen sebagai
147 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Pencegahan Kerusakan Kertas”. Jurnal BACA Vol. 30,
No. 1, Agustus 2009 (01-72).
Munawar, Zaki (2002). Cagar Budaya Candi Cangkuang dan
Sekitarnya. Garut: Dinas Pariwisata Seni dan Budaya.
Sudjiman, Panuti (1994). Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teygeler, René (1995). “Dluwang, a Javanese/Madurese Tapa
from The Paper-mulberry Tree” dalam www\IIAS
Newsletter\IIASN-6\Southeast Asia. Dikunjungi pada
tanggal 14 April 2004.
Wan Mamat, Wan Ali Hj. (1988). Pemuliharaan Buku dan
Manuskrip. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pendidikan Malaysia.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 148
Abstrak
Lontar adalah produk budaya Bali dan telah diakui menjadi
warisan budaya dunia. Masyarakat Bali berkeyakinan lontar
memiliki arti yang penting dan sangat bermanfaat untuk hidup
dan kehidupannya. Lontar dengan segala bentuk wacana
penuturannya memotret dan memberikan cermin kehidupan yang
dapat dijadikan smerti, yaitu contoh dan implementasi kehidupan
yang patut dan tidak patut dilakukan. Tulisan ini
mendeskripsikan lontar dari berbagai dimensi mencakup lontar
sebagai warisan budaya, tradisi penulisan manuskrip, serta
proses pembuatan manuskrip lontar.
Kata Kunci: Lontar, Bali, Manuskrip
Pendahuluan
Kata lontar memiliki kaitan erat dengan sumber bahan dasar
pembuatannya, yaitu rontal /daun ental/tal (sejenis daun
palma/borassus flabelliformis). Lontar sebagai produk budaya
kaya makna telah mengangkat citra tradisi Bali di tengah-tengah
pergaulan peradaban masyarakat dunia. Warisan budaya yang
satu ini juga telah memberikan aura keluhuran dan
mentransmisikan keunggulan pemikiran masyarakat Bali yang
melahirkannya. Tradisi lontar di Bali memiliki perjalanan sejarah
yang panjang dan umur yang tua seiring dengan nilai-nilai
*) Pengajar di Jurusan Sastra Bali, Fakultas Sastra, Universitas Udayana Bali.
149 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
sejarah, agama, filsafat, pengobatan, sastra, dan ilmu pengetahuan
tinggi lainnya. Lontar perekam jagat pemikiran masyarakat Bali
sampai dalam bentuknya sekarang merupakan saksi sejarah dan
menjadi penampang historik masyarakat pendukungnya.
Pewarisan tradisi lontar di Bali berlanjut dari generasi ke
generasi dalam suasana kerohanian dan kemurnian hati nurani.
Masyarakat Bali meyakini lontar adalah wahana bersemayam
Sang Hyang Aji Saraswati, yaitu manifestasi Ida Sang Hyang
Widi (Tuhan) sebagai sumber ilmu pengetahuan. Setiap 6 bulan
sekali, bertepatan dengan perhitungan kalender Bali Sabtu Kliwon
Wuku Watugunung lontar-lontar dibuatkan upacara piodalan
Saraswati. Pada hari ini masyarakat menghaturkan aneka banten
pasucian Weton Saraswati. Keesokan harinya, pada hari Minggu
Umanis Watugunung, masyarakat Bali pagi-pagi benar membawa
toya kumkuman (air suci) menuju sumber-sumber mata air atau
pantai melaksanakan upacara banyu pinaruh (menyambut
turunnya ilmu pengetahuan).
Para panglingsir (orang tua berpengetahuan) di Bali
memaparkan kata Saraswati ke dalam dua bentuk dasar, yaitu
saras dan wati. Saras diterjemahkan sebagai sang mraga toya,
dangan mes membah (beliau yang berbadankan air, begitu mudah
mengalir atau sesuatu yang mengalir) dan kecap bebaos sang
mraga wagmi sajroning bebaosan (kata-kata orang bijaksana saat
memberikan petuah). Wati diterjemahkan sang adrue (pemilik).
Dari uraian itu, kata Saraswati diterjemahkan sebagai Ida Sang
mambek toya tur wagmi sajroning bebaosan yang artinya beliau
yang mengalirkan air suci pengetahuan. Saraswati adalah sumber
dari segala sumber kata-kata bijak (mraga wagmi). Karena itu,
Dewi Saraswati juga dijuluki Dewi Wagmiswari (Dewi Kata-
kata) atau Wagmimaya (Kata-kata Bertuah). Julukan yang lain
untuk memuliakan Dewi Saraswati sebagai sumber ilmu
pengetahuan yaitu: Putkari Dewi, Bhatari Dewi, Sarada Dewi,
dan Brahma Putri. Itulah Saraswati, Dewi sumber ilmu
pengetahuan dan kebijaksanaan yang berupa tastra (manuskrip
aksara Bali) yang bersemayam di mahligai lontar.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 150
Lontar Warisan Budaya
Lontar adalah produk budaya Bali dan telah diakui menjadi
warisan budaya dunia. Betapa tidak. Menurut Bali Cultural
Heritage Coservation, Volume 10 (1998: 2-6) lontar Bali
termasuk salah satu warisan budaya dunia karena memiliki
karakteristik, seperti: 1) warisan budaya intelektual (intellectual
heritage), 2) tradisi yang hidup (living tradition), 3) mudah
dipindahkan (moveable), 4) memiliki wujud fisik (tangible) dan
non-fisik (intangible), 5) memiliki fungsi dan kedudukan yang
terhormat dan disucikan dalam masyarakat (abstract), dan 6)
sudah menjadi salah satu warisan dunia (wolrd heritage).
Lontar Warisan Intelektual
Kekayaan pemikiran dan rohani masyarakat Bali secara tradisi
terekam dalam manuskrip lontar. Masyarakat Bali berkeyakinan
lontar memiliki arti yang penting dan sangat bermanfaat untuk
hidup dan kehidupannya. Lontar dengan segala bentuk wacana
penuturannya memotret dan memberikan cermin kehidupan yang
dapat dijadikan smerti, yaitu contoh dan implementasi kehidupan
yang patut dan tidak patut dilakukan. Itu artinya, kandungan
lontar dengan berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup
yang pernah ada dan dimiliki masyarakat Bali masa lampau dapat
dikembangkan untuk menata dan meningkatkan kehidupan
spiritual dan material saat ini dan masa-masa mendatang.
Tradisi keberaksaraan dan keterpelajaran pada lontar adalah
warisan budaya yang sangat berharga dan penting. Bukan saja
penting untuk para leluhur dan orang Bali kini, tetapi juga penting
untuk menghiasi khazanah intelektual masyarakat luas lainnya.
Semuanya masih relevan dan patut diwarisi, dilestarikan, dan
diteruskan agar tercapai kehidupan material-spiritual yang lebih
baik. Tradisi masyarakat Bali mempelajari dan menekuni lontar
disebut anak nyastra (a man of letters) yang artinya beliau yang
terpelajar (gelettered). Mereka itulah yang sesungguhnya steak
holders lontar di Bali.
Lontar Tradisi yang Masih Hidup
Kita meyakini tradisi lontar adalah tradisi masyarakat Bali yang
sudah tua. Walaupun usianya telah tua, tradisi ini masih hidup
dan berkembang di tengah masyarakat Bali. Keadaan ini berbeda
jauh dengan masyarakat Indonesia lainnya yang mewarisi tradisi
151 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
manuskrip. Sekriptorium-sekriptorium yang ada di Bali masih
menjalankan aktivitas sebagaimana mestinya.
Hidupnya tradisi lontar dalam masyarakat Bali sangat
didukung oleh masih hidupnya aktivitas budaya dan sumber alam
lainnya, seperti:
(1) Tersedianya cukup banyak pohon lontar. Pohon lontar
yang menjadi sumber utama bahan penulisan lontar
tumbuh subur di belahan Timur dan Utara pulau Bali.
Jumlahnya mencapai ribuan pohon. Pohon lontar adalah
sumber alam yang dapat diperbaharui. Mengingat lontar
memiliki multimanfaat, seperti untuk bahan anyaman
dan kerajinan tangan lainnya, maka pohon lontar
dibudidayakan dengan baik, sehingga dari waktu ke
waktu jumlahnya tidak pernah berkurang.
(2) Masih adanya orang yang mewarisi tradisi pembuatan
daun lontar sebagai bahan rumah pintar” Dewa Catra,
dan yang lainnya.
(3) Adanya pusat-pusat penulisan lontar dan kegiatan
penyalinan lontar di masyarakat.
(4) Adanya sekolah khusus yang mengajarkan cara menulis
lontar, seperti SMUN I Sidemen (dulu SMU Sidamaha)
Karangasem, Jurusan Sastra Bali di berbagai perguruan
tinggi di Bali, seperti Fakultas Sastra di Universitas
Udayana, Unisha Singaraja, IKIP PGRI Bali, IHDN,
Universitas Dwijendra, dan perguruan tinggi lainnya.
(5) Masih banyak orang yang mampu menulis lontar secara
tradisional.
(6) Adanya perpustakaan lontar yang memiliki latar
belakang sejarah yang penting seperti: Gedong Kitrya di
Singaraja, Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra
Universitas Udayana, Perpustakaan Lontar Dinas
Kebudayaan Provinsi Bali, Perpustakaan Musieum Bali,
Perpustakaan Unhi Denpasar, Balai Bahasa Denpasar,
dan yang lainnya, yang menyimpan lontar-lontar penting
yang dibutuhkan masyarakat.
(7) Tradisi membaca lontar dalam aktivitas bersastra di Bali
secara tradisional erat kaitannya dengan sistem upacara
dan sistem keagamaan Hindu di Bali.
(8) Adanya kegiatan mabasan (membaca, menyanyikan, dan
mengapresiasi) karya-karya sastra tradisional Bali di
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 152
lingkungan masyarakat Bali, yang menjadikan
manuskrip lontar sebagai bahan bacaannya.
(9) Perkembangan pariwisata menyumbangkan peran untuk
mempertahankan tradisi lontar, seperti di desa Tenganan
Pegringsingan Karangasem. Banyak anggota masyarakat
Tenganan Pagringsingan menggambar dan menulis prasi
serta melukis di atas media daun lontar. Lontar-lontar
dalam bentuk baru itu khusus dibuat untuk dijual sebagai
komoditas pariwisata ( BUIP, Bali CHC: Volume 10,
1999: 3-4).
(10) Banyak masyarakat umum yang mengoleksi lontar, baik
sebagai warisan maupun atas usahanya sendiri
membangun perpustakaan pribadi.
(11) Aktivitas lomba menyalin huruf Latin ke dalam aksara
Bali di atas lempiran lontar untuk tingkat SMP dan SMA
terus digalakkan. Lomba menyalin huruf Latin ke dalam
aksara Bali di atas lempiran lontar selalu ada dalam
ajang Pekan Seni Remaja (PSR) Kota Denpasar, Pekan
Olahraga dan Seni Pelajar (Porsenijar) se-Bali, Pesta
Kesenian Bali, dan pihak penyelenggara lainnya, serta
acara-acara khusus seperti Gebiar Nyurat Lontar oleh
Pemerintah Kota Denpasar. Acara ini dikaitkan dengan
misi Kota Denpasar sebagai Kota Kreatif Berwawasan
Budaya Unggulan.
Gambar 1. Aktivitas pembacaan lontar cakepan.
Jumlah lontar cakepan di masyarakat Bali adalah ribuan.
153 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Gambar 2. Penulis melakukan pengukuran terhadap lontar yang dikeramatkan
masyarakat Desa Bayan Beleq, sisi Utara lereng gunung Rinjani di Lombok
Utara.
Mudah Dipindahkan
Wujud fisik lontar cukup simpel. Dengan panjang antara 30 cm.
sampai 60 cm. dan lebar tidak lebih dari 4 cm. lontar mudah
dibawa dan dibaca. Karena fisiknya yang sederhana ini lontar
juga mudah dipindahtangankan, maka tidak jarang lontar
diperjualbelikan sebagai barang antik. Sejumlah masyarakat
pemilik lontar menjual lontar warisannya dengan beragam alasan,
diantaranya: ingin menutupi kebutuhan sehari-hari keluarganya,
tidak mampu mengurus sehingga kuatir rusak di tempat, untuk
modal usaha, dan beragam alasan ekonomi lainnya. Alasan-alasan
ini pula yang membuat semakin bersemangatnya para ”pemburu”
lontar, baik dari kalangan masyarakat lokal maupun
mancanegara. Golongan yang terakhir ini yang memanfaatkan
tenaga lokal untuk keluar masuk desa ‟mengejar‟, lontar yang
berusia tua dan berkarakter antik dan unik.
Lontar-lontar tua, antik, dan unik yang telah dijual masyarakat
Bali tentu tidak dapat diidentifikasi judul dan isinya. Karenanya
lontar-lontar yang sudah raib ke luar dari pulau Bali dan tidak
sempat katedun (disalin ke dalam naskah yang baru) ini tidak
dijumpai di perpustakaan-perpustakaan yang ada. Diperkirakan
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 154
bahwa lontar yang telah ”raib” jumlahnya ratusan, kalau tidak
mau dikatakan ribuan.
Memiliki Wujud Fisik dan Non-Fisik
Jumlah lontar yang ada di masyarakat dapat diperkirakan lebih
dari 55 ribu cakep (dalam kesatuan yang utuh) lontar. Jumlah itu
belum termasuk yang tersimpan di perpustakaan lontar yang
resmi, seperti di Gedong Kirtya. Di tempat ini tersimpan
sebanyak 2414 cakep, di Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra
Universitas Udayana tersimpan sebanyak 738 cakep, di
perpustakaan Balai Bahasa Denpasar tersimpan sebanyak 90
cakep, di Perpustakaan Universitas Hindu Indonesia tersimpan
sebanyak 151 cakep, di Perpustakaan Lontar Universitas
Dwijendra Denpasar tersimpan sebanyak 50 cakep, di
Perpustakaan Museum Bali tersimpan 60 cakep, dan di
Perpustakaan Lontar Dokumentasi Budaya Bali, Kantor Dinas
Kebudayaan Provinsi Bali tersimpan sebanyak 2274 cakep.
Lontar yang tersimpan di lembaga-lembaga resmi biasanya
mendapat pemeliharaan yang baik, sedangkan yang tersimpan di
rumah-rumah penduduk, khususnya di Griya dan Puri di Bali
yang jumlahnya begitu banyak, perlu mendapat penanganan fisik
secara khusus agar terhindar dari kelapukan. Perlu dilakukan
usaha-usaha konservasi dan pengobatan secara ilmiah dan
bertanggung jawab. Untuk itu diperlukan kemauan bersama, baik
dari kalangan masyarakat pengoleksi maupun dari pihak
pemegang kebijakan, yaitu instansi pemerintah yang terkait.
Diperlukan juga kemauan politik dari para wakil rakyat, DPRD,
tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota di seluruh Bali. Kalau
semua pihak cermat dalam menangani dan mensosialisasikan
fungsi strategis manuskrip lontar Bali, tentu nilai manfaat lontar
dapat disumbangkan untuk memperkaya khazanah budaya bangsa
dan budaya dalam lingkup internasional.
Lontar sebagai bagian dari khazanah ilmu kepustakaan
memiliki kodifikasi keilmuan yang kompleks dan beragam. Para
ahli kepustakaan lontar, baik ilmuwan luar negeri maupun dalam
negeri, membuat klasifikasi lontar Bali secara sangat beragam,
sesuai dengan keluasan pengetahuan masing-masing mengenai
jenis dan isi naskah lontar yang didapatkannya. Th Pigeaud yang
telah mempelajari klasifikasi Freiderich (1847) dan R. Van Eck
(1875), pada tahun 1967 mengklasifikasikan kepustakaan lontar
155 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Bali menjadi empat kategori besar, yaitu : (1) Religion and
Ethics, seperti pustaka lontar: a. weda, mantra, dan puja, b.
Kalpasastra, c. Tutur, d. Sasana, dan e. Niti; (2) History and
Mythologi, seperti pustaka lontar : babad, pamancangah, usana,
prasasti, dan uwug/rusak/rereg; (3) Belles Lettres, seperti pustaka
lontar parwa, kakawin, kidung, geguritan dan parikan, serta
satua; dan (4) Science, Arts, Humanities, Law, Folklore, Customs,
antara lain: usada, prasi, awig-awig, uar-uar, sima, pipil, urak
dan yang lainnya. Klasifisasi termutakhir yang banyak dirujuk
adalah klasifikasi yang diterapkan Nyoman Kadjeng dari
perpustakaan lontar Gedong Kirtya Singaraja (1928), yaitu: (1)
Weda, yang terdiri dari jenis lontar weda, mantra, dan
kalpasastra; (2) Agama, yang terdiri dari jenis lontar palakreta,
sasana, dan Niti; 3) Wariga, yang terdiri dari jenis lontar wariga,
tutur, kanda, dan usada; (4) Itihasa, yang terdiri dari jenis lontar
parwa, kakawin, kidung, dan geguritan; (5) Babad, yang terdiri
dari jenis lontar pamancangah, usana, dan uwug/rereg/rusak; dan
(6) Tantri yang terdiri dari jenis lontar tantri dan satua.
Kemudian I Ketut Suwidja menambah klasifikasi lontar Gedong
Kirtya dengan kelompok VII, yaitu lelampahan, yang memuat
lakon-lakon pertunjukan kesenian gambuh, wayang, arja dan
yang lainnya.
Klasifikasi manuskrip lontar di atas telah dapat memberikan
citra wujud fisik naskah lontar yang ada di Bali. Wujud fisik
naskah lontar yang disebut pengetahuan-pengetahuan lain oleh
kalangan peneliti pernaskahan di Bali dikelompokkan karena
menguraikan pengetahuan tertentu, seperti pengetahuan
kearsitekturan (Astakosali, Astakosala, Asthabhumi,
Wiswakarma, dan yang lain). Lontar memuat kode etik arsitektur
tradisional seperti Dharmaning Sangging, dan yang berhubungan
dengan upacara penyucian bangunan, seperti lontar Pemlaspas.
Naskah leksikografi dan tata bahasa seperti lontar Adiswara,
Ekalavya, Kretabasa, Suksmabasa, Cantakaparwa, Dasanama,
dan yang memakai judul Krakah, seperti Krakah Sastra, Krakah
Modre dan yang lainnya. Lontar Ekalawya dan Dasanama tidak
sekedar memuat daftar kata, tetapi juga memuat sejumlah makna
sinonim, sedangkan lontar Krakah antara lain memuat uraian
beserta makna istilah dalam naskah-naskah tertentu. Naskah
hukum juga ditemukan dalam dunia lontar di Bali. Beberapa yang
penting adalah: lontar Adigama, Dewagama, Kutara Manawa,
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 156
dan Purwadhigama. Lontar-lontar hukum yang lebih banyak
bercorak Bali, diantaranya: Kretasima, Kretasima Subak,
Paswara, dan awig-awig. Lontar yang memuat pengetahuan
astronomi biasanya memakai judul Wariga dan Sundari. Lontar
jenis ini banyak dijumpai. Banyak menguraikan masalah-masalah
pertanian seperti penentuan iklim, hari baik atau buruk untuk
suatu pekerjaan, sampai dengan penentuan hari-hari baik untuk
upacara keagamaan (Agastia: 1985:13-14).
Memiliki Abstraksi Nilai
Fungsi dan kedudukan lontar dalam masyarakat memiliki kaitan
yang erat dengan sistem kepercayaan dan kehidupan keagamaan
masyarakat Bali. Lontar bagi masyarakat Bali adalah kitab suci
yang selain disucikan juga dipelajari untuk dijadikan pegangan
hidup sehari-hari (suluh nikang prabha). Ada hari khusus yang
ditetapkan untuk menghormati dan mensucikan lontar, yaitu hari
Puja Saraswati. Puja Saraswati mendapat tempat istimewa bagi
umat Hindu di Bali sehingga masuk ke dalam sistem kalender
Bali. Hari dan Wuku peringatan Puja Saraswati ditempatkan pada
hari terakhir, yaitu hari Sabtu (Saniscara) dan Wuku terakhir,
Watugunung.
Hari khusus tersebut ditandai dengan kegiatan mengumpulkan
benda-benda pusaka lontar. Puja Saraswati ditandai dengan
kegiatan membuat candi aksara atau candi pustaka
(mengumpulkan lontar-lontar terpilih) yang dijadikan sthana bagi
Sang Aji Saraswati, kemudian orang Bali melakukan pemujaan
pada pagi hari, sedangkan pada malam harinya (semalam suntuk)
membaca dan menyanyikan sastra-sastra lontar pilihan. Sang
Hyang Aji Saraswati, Hyang Wagiswari disimbolkan bersthana
dalam aksara suci. Lontar-lontar suci disthanakan sebagai candi
Tastra Saraswati (candi pustaka, candi bahasa, candi sastra,
ataupun candi aksara) yang adalah tempat suci bagi Saraswati.
Aksara menjadi badan Sang Hyang Aji Saraswati.
Warisan Budaya Dunia
Lontar kaya wujud dan jenis, serta kaya makna dan filosofi. Para
ahli pernaskahan dari berbagai belahan dunia mengakui bahwa
lontar merupakan warisan budaya dunia yang harus diselamatkan,
dilestarikan, dan dimanfaatkan. Manakala warisan budaya dunia
ini lenyap, itu berarti salah satu warisan dunia yang penting telah
157 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
hilang. Manakala hal itu benar-benar terjadi, hal itu merupakan
kebodohan, kemunafikan, dan kesalahan besar yang dilakukan
oleh generasi “anak bumi” di dunia ini. Karena itu, sudah saatnya
dilakukan upaya yang lebih besar dan kuat untuk menyelamatkan
lontar sebagai warisan budaya dunia. Perlindungan yang sifatnya
mengharuskan pewaris lontar untuk menyelamatkan,
melanjutkan, dan mempelajari lontar yang diwarisinya adalah
implementasi keberlangsungan hidup dan kehidupan lontar
sebagai warisan budaya dunia.
Gambar 3. Lontar yang dikeramatkan masyarakat saat dibaca didahului dengan
melakukan prosesi upacara, untuk memohon kemurahan-Nya, sehingga prosesi
pembacaan menjadi lancar dan apa yang dicari dalam lontar didapatkan.
Tradisi Menulis di Atas Daun Lontar
Sebelum mencermati goresan artistik aksara Bali di atas daun
lontar, perlu dipahami apa yang dimaksud dengan aksara Bali
sebagai lambang bahasa, karena melalui aksara Balilah bahasa
sebagai unsur universal dari kebudayaan itu terdokumentasikan.
Aksara Bali adalah lambang bahasa yang telah mengambil fungsi
dan peran sebagai lambang identitas masyarakat Bali. Aksara Bali
adalah wahana atau sarana untuk mengungkapkan segala hal
tentang kebudayaan Bali (BUIP, CHC, 1999:4).
Dalam tradisi penulisan lontar, sebelum memulai
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 158
menggoreskan pangrupak di atas lempiran lontar, seorang
pengawi atau penyalin biasanya melakukan ritual kecil untuk
memohon anugerah ke hadapan Ida Sang Hyang Aji Saraswati,
sida sidi kasaraswaten. Hakikat menulis adalah mempraktikkan
yoga spiritualitas, mengasah dan mempraktikkan seluruh
kemampuan intelektual dan kualitas intuitif, kehalusan rasa,
serta menjaga irama pernafasan yang teratur dan jernih.
Sebagaimana dinyatakan dalam lontar Tutur Saraswati, Hyang
Yogiswara difilsafatkan berstana pada kedua mata penulis lontar,
Bhagawan Mredhu berstana pada kedua tangan penulis, dan
Baghawan Reka berstana pada ujung pangrupak. Dengan cara ini
mereka yakin akan berhasil menciptakan teks lontar yang utama
dan memiliki jiwa (ruh suci). Karena itu pula, seorang penulis
lontar selalu berusaha keras agar tidak mematikan atau ngucek
(mencoret) aksara. Mereka percaya hal itu akan mendatangkan
akibat buruk pada diri, seperti umur pendek. Mencoret sandangan
aksara yang berada di atas pangawak (badan pokok aksara)
seperti ulu akan mengakibatkan kebutaan atau berkurangnya daya
ingat, mencoret taleng/taling dan bisah/wisah berakibat pancet
(sakit pinggang), dan melangkahi aksara akan mengakibatkan
kebodohan.
Kepercayaan ini menjadikan lontar yang ada kelihatan bersih
serta rapi tulisannya, dan tampak seperti tidak ada penulisan.
Tidak pernah ada aksara Bali yang dicoret. Seandainya terjadi
salah tulis, penulis membubuhkan dua sandangan (pangangge)
aksara, sehingga aksara yang salah tulis tidak berbunyi (mati).
Sandangan yang lazim dipakai adalah ulu dan suku. Karenanya,
ada perumpamaan yang jamak dituturkan dalam masyarakat Bali,
yaitu ”bagaikan aksara memakai dua sandangan suara, masuku
(memakai suku) dan maulu (memakai ulu)”, yang artinya sudah
tidak dapat berbuat apa-apa lagi alias sudah mati. Bagaimana
membaca lontar yang banyak ditemukan aksara matinya?
Pembaca lontar harus tanggap, cepat-cepatlah melirik aksara
berikutnya yang merupakan sambungan aksara didepannya.
Secara tradisi, pengarang karya sastra Bali (pangawi) dan
penedun (penyalin) lontar adalah para stake holders bahasa,
sastra dan aksara Bali. Dalam aktivitas penulisan lontar, para
stake holders ini menyiapkan bahan-bahan utama seperti: (1)
pepesan (daun tal siap tulis), pangrupak (pisau tulis), (2) pelikan
(alat penjepit lembaran lontar yang akan di tulis terbuat dari
159 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
bambu kecil yang dilubangi hingga tembus pada kedua sisinya),
(3) serbuk tinggkih (buah kemiri) atau buah naga sari yang
dibakar sebagai bahan penghitam goresan aksara Bali di atas daun
lontar, (4) bantalan kasur kecil sebagai alas menulis, (5) dulang
kayu (sejenis meja yang bundar) sebagai meja tulis, (6) penggaris
dan pensil (bagi penulis yang tidak yakin akan mampu
menghasilkan urut-urutan aksara Bali yang lurus, rapi dan
bersih), (7) panakep dari kayu, bambu, atau uyung (seseh pohon
enau), (8) kapas atau kain halus untuk menggosok dan
membersihkan bekas-bekas material penghitam, (9) dan sesajen
seperlunya.
Jenis pangrupak yang dipakai menggores lontar disesuaikan
dengan maksud dan tujuan penulisan; yaitu: pangrupak dengan
kelancipan 45 derajat untuk menulis aksara Bali, pangrupak
dengan kelancipan 70 derajat untuk membuat prasi (menggambar
di atas daun lontar), dan pangrupak kelancipan sedang (kurang
lebih 10 derajat), lebar, dan tajam untuk memotong rontal. Cara
menulis di atas daun lontar berbeda dengan di atas kertas.
Demikian juga menggunakan pangrupak berbeda dengan cara
menggunakan pisau dapur atau alat pertukangan lainnya.
Pangrupak memiliki tiga mata sisi yang tajam untuk
menghasilkan karakter aksara Bali ideal, yaitu aksara Bali yang
memiliki kakuub (karakter) wayah dan ngatumbah/matan titiran
(bundar, lembut, halus, dan mengagumkan). Masing-masing
pangrupak juga memakai hiasan, ada yang menyerupai pendeta,
patung hanoman, burung merak, aksara Ongkara, dan yang
lainnya.
Menulis di atas daun lontar menggunakan pangrupak,
memerlukan keterampilan menulis yang khusus, yang berkaitan
dengan posisi tangan saat menggores lontar. Tangan kiri berada di
posisi bawah untuk mengalasi atau memegang lontar, sedangkan
tangan kanan berada di posisi atas memegang pangrupak seraya
menggerakkan jari-jemari tangan sedemikian rupa. Ibu jari dan
jari tengah tangan kanan menjepit lembut pangrupak, telunjuk
menekan halus saat menggoreskan bentukan aksara. Jempol kiri
bertugas mendorong-dorong pangrupak hingga terjadi pergerakan
lontar ke arah kanan. Dua jemari tangan kanan lainnya, jari manis
dan kelingking, membantu menjaga kestabilan dan berfungsi
mensuplai energi kelembutan sehingga tangan tidak mudah lelah.
Dalam menggoreskan aksara Bali dari kiri ke kanan harus
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 160
dicermati ruang-ruang diantara tiga lubang yang ada di kiri,
tengah, dan kanan. Terdapat empat garis yang tersedia di atas
rontal. Mulailah menulis dari garis yang memiliki ruang paling
sempit, dengan aksara digantung pada garis yang telah
disediakan. Perhatikan lebar ruang yang disediakan di antara
garis-garis yang tersedia. Berkosentrasi dan menciptalah dengan
perasaan halus, lembut, tenang, dan senang. Goresan simbol
aksara yang pertama sangat mempengaruhi besar kecil dan
kehalusan aksara berikutnya. Karena itu jagalah hati, cerdaskan
intuisi dan intekstualitas yang dimiliki. Bernafaslah yang teratur.
Lemah lembut dalam ketenangan hati yang menakjubkan. Sekali-
kali nikmati bunyi irama yang ditimbulkan oleh goresan yang
dibuat. Irama yang mengkhusukkan.
Gambar 4. Menulis aksara Bali di atas daun lontar memerlukan pengetahuan
tersendiri.
Proses Pembuatan Lempiran Lontar
Lontar terbuat dari daun alami pohon Tal/Rontal. Lontar
mempunyai kekuatan yang luar biasa, dapat bertahan dalam
kurun waktu yang lama, sampai berabad-abad. Bagi masyarakat
Bali, lontar memiliki wibawa, taksu (kekuatan ilahi), dan
dihormati sebagai sumber berbagai ilmu pengetahuan lahir dan
batin. Kualitas lontar yang penulis citrakan tidak lepas dari dasar-
dasar budaya dan keyakinan masyarakat Bali yang
melahirkannya. Di samping itu, lontar Bali dibuat dengan cara
yang saksama, menggunakan teknologi tradisional, membutuhkan
161 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
kesabaran yang tinggi, dan dalam suasana yang khusuk, sehingga
menghasilkan lempiran lontar sehelai demi sehelai.
Penulisan prosesi daun lontar ini disajikan berdasarkan
pengalaman penulis meneliti prosesi pembuatan lempiran lontar
dan berdasarkan bahan bacaan yang ada. Pada kesempatan ini
penulis sarikan informasi pembuatan lempiran daun lontar
sebagaimana yang dilakukan oleh Ida I Dewa Gde Catra di
Rumah Pintar Tradisional di bilangan jalan Untung Surapati,
Amlapura, di ujung Timur pulau Bali. Berikut penulis sarikan
teknik tradisional Prosesi Pembuatan Lempiran Lontar (2010)
Bali seperti yang dilakukan budayawan lontar asal Puri Sidemen
Karangasem ini.
Ida I Dewa Gde Catra (pelaku prosesi pembuatan lempiran
lontar yang paling produktif sampai hari ini di Bali) menyebut
helai daun lontar yang dihasilkannya sebagai lempiran. Daun
lontar atau lempiran yang dimaksud berbentuk blanko, dihasilkan
melalui proses khas teknologi tradisi Bali, selempir demi selempir
sehingga menghasilkan pepesan. Satu bendel terdiri dari 100
lempiran. Inilah lempiran lontar kosong yang siap ditulisi.
Dinyatakan pula pembuatan lempiran lontar memakan waktu
yang relatif lama, rumit, membutuhkan ketekunan dan kesabaran.
Tujuannya adalah mendapatkan mutu lempiran yang baik,
bertahan dalam waktu yang panjang, mudah ditulisi, serta
bentuknya indah dan rapi.
Sebelum prosesi pembuatan lontar dilakukan, seniman lontar
perlu memperhatikan jenis pohon rontal yang akan dipetik
daunnya. Pohon rontal yang baik adalah yang telah berumur lebih
dari 30 tahun., Pohon tersebut harus tumbuh di tanah yang
mengandung kapur, tanah bebatuan seperti tanah lahar, tanah di
tepi laut, yang mendapat sinar matahari langsung dari pagi hingga
sore. Pohon itu juga sudah pernah disadap niranya, sehingga tidak
banyak mengandung sagu. Pohon rontal yang tumbuh di tanah
yang subur, daunnya kurang baik dibuat pepesan karena tebal,
berserat besar-besar dan kaku.
Masyarakat Bali membedakan pohon rontal atas dua jenis,
yaitu rontal luh (betina) yang dapat menghasilkan buah atau tuak
(nira) dan rontal muani (jantan) yang tidak menghasilkan buah.
Rontal muani berbunga tetapi bunganya tidak pernah menjadi
buah. Demikian pula jenis dan kualitas daun pohon rontal
berbeda-beda. Pohon rontal yang daunnya luwes, kenyal, serat
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 162
halus disebut ron tal taluh (telor). Pohon yang daunnya tebal
berserat kasar dan kaku seperti kulit binatang disebut ron tal
belulang. Sedangkan pohon yang helai daunnya panjang dan
lebar disebut dolog (menyerupai senjata dolog, yaitu sejenis
golok yang panjang). (pohon rontal, pohon lontar, pohon tal???)
Daun tal yang dipilih untuk prosesi pembuatan pepesan
berkatagori panyaja (muda atau menengah). Usia daun tal
penyaja diketahui dari kategori hijau daunnya juga ditandai dari
posisi kecondongan pelepahnya yang kurang lebih 45 drajat,
dengan semua ujungnya panjut (merapat dan sedikit mengering).
Sedangkan lontar yang masih muda berupa busung (janur)
ataupun yang sudah berupa danyuh/wayah (tua) tidak dapat
dimanfaatkan sebagai lempiran pepesan. Pemetikan daun tal
untuk pepesan menggunakan joan anggetan (galah yang
ujungnya memakai pisau). Daun tal yang berbentuk kipas
kangget (dipotong dan dicari ) hanya bagian tengah saja, tidak
lebih dari empat sampai enam helai setiap satu pelepah daun tal.
Mengingat daun tal cukup tebal dan tiap bilahnya terdiri dari dua
helai dalam satu lidi, maka agar benar-benar kering seperti yang
diinginkan, tentu proses pengeringannya memakan waktu yang
cukup lama. Daun tal harus dijemur di tempat yang terang
beberapa kali, sehingga benar-benar renyah (kering benar).
Musim petik daun tal yang baik pada sasih kasanga - kadasa
(seputar bulan Maret - April), yang disebut kreta masa, dan sasih
katiga-kapat (seputar bulan September - Oktober), yang disebut
gegadon. Bulan-bulan ini adalah musim kemarau, saat matahari
bersinar panas dan langit terang benderang.
Daun tal petik kering yang dipilih untuk pepesan adalah yang
bilahnya panjang, lebarnya sesuai, permukaan rata tidak tuludan
(berlekak-lekuk), seratnya halus, tidak berbintik-bintik, dan helai
daunnya tidak terlalu tebal atau terlalu tipis. Bilah daun tal petik
kering dipotong ujung dan pangkalnya dengan ukuran panjang
tertentu sesuai dengan keperluan. Ngesit (melepas lidi) dilakukan
secara hati-hati agar bilah daun lontar kering petik tidak amis
(rusak).
Bilah daun tal kering petik yang sudah kasit (dilepaskan
lidinya) dikumpulkan dan ditata sedemikian rupa, kemudian
kakum (direndam) selama tiga minggu. Pada minggu pertama air
kum berwarna keruh kekuningan dan berbau kurang sedap
sehingga harus diganti setiap hari, pagi, dan sore. Pada minggu
163 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
kedua dan ketiga air kum diganti setiap tiga hari sekali, hingga
benar-benar bersih, tidak berbuih, dan tidak berbau lagi. Ngekum
(merendam) daun tal kering petik dengan tujuan menghilangkan
sagunya, agar hampa tak rapuh (serbukan) yang disukai rayap.
Tiga minggu prosesi ngekum tal telah berlalu. Daun tal
diangkat dan di diguyur air bersih, dijemur, ditebarkan
sedemikian rapi di tempat yang terang sehingga hari itu juga
dipastikan benar-benar kering. Dua hari dua malam diangin-
anginkan untuk tiga bulan kemudian baru direbus. Merebus daun
tal kering petik memerlukan panci besar, tunggu, kayu api, dan
air yang cukup dan harus dijaga dengan saksama. Ramuan bahan
pengawet seperti kulit pohon kayu intaran, kayu wong, kulit
pangkal pohon kelapa, batang kantewali, daun sambiroto, umbi
gadung diparut. Rempah-rempah seperti: lada, merica, jebug
harum, dan jebug (buah pinang yang tua) semua dirajang dan
kemudian ditumbuk hingga halus menjadi serbuk. Bahan-bahan
itu digunakan sesuai dengan jumlah rontal yang akan direbus.
Saat perebusan, setiap kali air rebus menyurut petugas harus
menambahkan air secukupnya, berulang-ulang hingga lima
sampai enam jam. Lebih lama direbus hasilnya lebih baik. Daun
tal yang dianggap telah masak jangan langsung diangkat. Biarkan
agar dingin dengan sendirinya. Setelah dingin, angkat dan segera
jemur di tempat yang lapang dan mendapat sinar matahari penuh.
Agar lebih cepat kering, lontar dibolak-balik selembar demi
selembar. Setelah merata kering, diangkat perlahan-lahan agar
tidak pecah, kemudian dayuhin (diangin-anginkan) di tempat
yang teduh. Tiga puluh sampai dengan lima puluh lembar lontar
disatukan, diikat ujung, tengah dan pangkalnya, lalu simpan di
tempat yang aman, terhindar dari sinar matahari, ujan, hawa
panas berlebihan. Lama menyimpan tiga-empat bulan, dan
semakin lama disimpan kualitasnya semakin membaik.
Blagbag, pres tradisional untuk lontar yang dibuat dari kayu
dengan menggunakan pasak. Alat ini digunakan untuk
meluruskan dan memampatkan serat dan rongga-rongga yang
kemungkinan masih terdapat pada lontar setelah proses
pengeringan. Caranya, daun lontar yang telah direbus dan
disimpan berbulan-bulan dimasukkan ke dalam penjepit blagbag
secara teratur sesuai dengan panjang lontar masing-masing.
Setelah berjumlah seratus, disela dengan penampang kayu
(pandalan), demikian juga selanjutnya hingga penuh, sesuai
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 164
kapasitas blagbag, kemudian pasak dipasang. Setelah beberapa
hari lontar mengalami pemampatan, pasak pun akan menjadi
longgar, sehingga harus disela dengan pandalan dan dipasak
kembali hingga mampat. Proses ini dilakukan berminggu-minggu,
kadang berbulan-bulan, hingga rontal benar-benar lurus dan rata.
Pembuatan lontar pepesan didahului dengan pembuatan mal
yang dibuat dari daun tal dengan panjang dan lebar yang telah
ditetapkan, lalu diisi lubang sebasar jarum. Mal ditempal di atas
daun tal, jarum pirit (paser tradisional Bali) ditusukkan pada
tengah-tengah lubang kecil mal yang di kiri, kanan, dan tengah.
Mirit artinya melubangi lontar di samping kiri, kanan, dan tengah
tepat di titik ujung pirit. Lontar yang telah mapirit (berlubang)
dimasuki lidi (jelujuh) agar tidak mudah bergerak saat diiris dan
dirapikan pinggirannya.
Langkah berikutnya dalam proses pembuatan lontar adalah
nepes (menjepit), nyerut (mengetam), dan nyepat (menggaris).
Nepes adalah pres terakhir lontar tepesan, nyerut adalah
merapikan ujung pangkal dan diisi cat tradisional Bali agar
kelihatan indah dan rapi. Sedangkan nyepat adalah pembuatan
lontar tepesan siap tulis (gores) dengan pangrupak (pisau tulis
tradisional Bali).
Kesimpulan
Lontar sebagai manuskrip masyarakat Bali telah mengangkat citra
tradisi peradaban Bali di tengah-tengah intelektualitas peradaban
dunia. Manuskrip lontar adalah produk budaya Bali yang kaya
makna dan memberikan citra keluhuran dan keunggulan jagat
pemikiran masyarakat Bali yang melahirkannya. Warisan dan
tradisi lontar telah berusia cukup tua. Di Bali banyak dijumpai
lontar yang berumur tua yang memiliki nilai sejarah, filsafat,
agama, pengobatan, sastra, dan ilmu pengetahuan tinggi lainnya.
Pewarisan tradisi lontar di Bali berlanjut dari generasi ke
generasi. Sebagai tradisi yang hidup, manuskrip masyarakat Bali
ini didukung oleh ketersediaan bahan baku yang cukup, kegiatan
penulisan lontar yang masih berlangsung, kegiatan pembacaan
yang masih semarak, dan penelitian teks naskah lontar yang
semakin meningkat.
Sebagai warisan budaya, manuskrip lontar di Bali memiliki
karakter antara lain: (a) warisan budaya intelektual (intellectual
heritage), (b) tradisi yang masih hidup (living tradition), (c)
165 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
mudah dipindahkan (moveable), (d) memiliki wujud fisik
(tangible) dan non-fisik (intangible), (e) memiliki fungsi dan
kedudukan terhormat atau disucikan oleh masyarakat Bali
(abstract), dan (g) menjadi salah satu warisan budaya dunia
(world heritage).
Secara tradisi, pengarang karya sastra Bali (pangawi) dan
penedun (penyalin) lontar adalah para stake holders bahasa,
sastra dan aksara Bali. Dalam aktivitas penulisan lontar, para
stake holders ini menyiapkan bahan-bahan utama seperti: (1)
pepesan (daun tal siap tulis), pangrupak (pisau tulis), (2) pelikan
(alat penjepit lembaran lontar yang akan di tulis terbuat dari
bambu kecil yang dilubangi hingga tembus pada kedua sisinya),
(3) serbuk tingkih (buah kemiri) atau buah naga sari yang dibakar
sebagai bahan penghitam goresan aksara Bali di atas daun lontar,
(4) bantalan kasur kecil sebagai alas menulis, (5) dulang kayu
(sejenis meja yang bundar) sebagai meja tulis, (6) penggaris dan
pensil (bagi penulis yang tidak yakin akan mampu menghasilkan
urut-urutan aksara Bali yang lurus, rapi dan bersih), (7) penakep
dari kayu, bambu, atau uyung (seseh pohon enau), (8) kapas atau
kain halus untuk menggosok dan membersihkan bekas-bekas
material penghitam, (9) dan sesajen seperlunya.
Lontar terbuat dari daun alami pohon Tal/Rontal. Lontar
mempunyai kekuatan yang luar biasa, dapat bertahan dalam
kurun waktu yang lama, sampai berabad-abad. Bagi masyarakat
Bali, lontar memiliki wibawa, taksu (kekuatan ilahi), dan
dihormati sebagai sumber berbagai ilmu pengetahuan lahir dan
batin. Kualitas lontar yang penulis citrakan tidak lepas dari dasar-
dasar budaya dan keyakinan masyarakat Bali yang
melahirkannya. Di samping itu, lontar Bali dibuat dengan cara
yang saksama, menggunakan teknologi tradisional, membutuhkan
kesabaran yang tinggi, dan dalam suasana yang khusuk, sehingga
menghasilkan lempiran lontar sehelai demi sehelai.
Daftar Pustaka
Agastia, IBG (1985). Keadaan dan Jenis-Jenis Naskah Bali.
Yogyakarta: Javanologi.
Catra, Ida I Dewa Gde, ”Prosesi Pembuatan Daun Lontar”,
Denpasar: Jurusan Sastra Daerah FS Universitas Udayana .
Medera, I Nengah, dkk. (2005). Pedoman Pasang Aksara Bali.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 166
Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Rai Putra, Ida Bagus (2006). ”Teknik Nyurat Aksara Bali untuk
Kejuaraan”. Denpasar: PWII Bali.
------------- (2008). ”Tastra Sastra Saraswati”. Makalah diskusi
hari suci Saraswati. Denpasar: Institut Hindu Dharma
Negeri (IHDN) Denpasar.
Simpen AB, I Wayan (1973). Pasang Aksara Bali. Denpasar:
Dinas Pengajaran Propinsi Bali Daerah Tingkat I Bali.
Tim Consultancy Service (1999). BUIP CHC Volume 10.
Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.
167 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Abstrak
Teks Sulalat al-Salatin (Perteturun Raja-raja) karya Tun Seri
Lanang jelas sangat fenomenal. Teks ini mampu „hidup‟ berabad-
abad melampaui kebesaran zamannya, dan bahkan
pengarangnya. Dalam konteks sejarah kesusastraan Melayu
klasik, Sulalat al-Salatin dapat dianggap sebagai salah satu teks
Melayu terpenting yang berhasil memikat dan menyita perhatian
sejumlah sarjana. Tulisan ini akan menegaskan kembali
signifikansi teks Sulalat al-Salatin sebagai sebuah karya sastra
Melayu tradisional adiluhung yang dihubungkan dengan tokoh
Tun Seri Lanang dengan melihatnya dari perspektif tahqiq atau
kajian filologis.
Kata Kunci: Sulalat al-Salatin, Tun Seri Lanang, Tahqiq, Kajian
Filologis.
* Penulis adalah peneliti senior di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta. Saat ini menjabat sebagai ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara. 77 Tulisan ini berasal dari “Seminar Ketokohan Tun Seri Lanang dalam Sejarah
Dua Bangsa”, Biereun, Aceh, 8 Desember 2011, yang diselenggarakan oleh
Direktorat Nilai Sejarah, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, bekerja sama dengan Yayasan Tun Sri Lanang.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 168
“…Tak ada tulisan Melayu jang demikian banjaknya
diselidiki [selain Sulalat al-Salatin]…”. Dr. C. Hooykaas,
Perintis Sastra (1951: 132).
“…Di dalamnya terbayang bukan saja genius pengarangnya
tetapi juga genius sastera serta bangsa yang menciptanya…”
Muhammad Haji Salleh, dalam Sulalat al-Salatin: Adikarya
Akalbudi Melayu (teks diunduh dari situs MCP).
Membincangkan Tun Seri Lanang berkaitan dengan karya
sastranya, ingatan orang niscaya akan langsung mengarah pada
sebuah karya sastra sejarah, Sulalat al-Salatin (Perteturun Raja-
raja). Teks ini merupakan satu-satunya karya sastra yang
kepengarangannya dihubungkan dengan tokoh „jagoan‟ kita
dalam tulisan ini, Tun Seri Lanang. Sejauh pengetahuan saya,
Tun Seri Lanang memang tidak dikenal memiliki karya sastra
Melayu lain selain Sulalat al-Salatin. Kendati demikian, Sulalat
al-Salatin jelas sangat fenomenal. Teks ini mampu „hidup‟
berabad-abad melampaui kebesaran zamannya, dan bahkan
pengarangnya.
Dalam konteks sejarah kesusastraan Melayu klasik, Sulalat al-
Salatin dapat dianggap sebagai salah satu teks Melayu terpenting
yang berhasil memikat dan menyita perhatian sejumlah sarjana.
Terkait dengan kutipan di atas, Hooykaas menegaskan bahwa
para sarjana sedemikian tertarik dengan Sulalat al-Salatin karena
“…cara kitab itu melukiskan sesuatu hal dengan tjara jang
sederhana sekali dan oleh isi kitab itu jang amat indah2nya;
mereka membuat terdjemahan2 dan daftar isi tjerita itu…”.78
Teuku Iskandar menambahkan bahwa semua kisah dalam Sulalat
al-Salatin tersebut, seperti persiapan perang sebelum Portugis
menyerang, peristiwa pertempurannya, pengunduran Sultan ke
Muar dan Pahang, diceriterakan dengan begitu hidup, seolah
78 Dr. C. Hooykaas, Perintis Sastra (Groningen, Djakarta: J. B. Wolters, 1951), 131.
169 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
penulisnya hadir menyaksikan langsung dengan mata kepala
sendiri.79
Muhammad Haji Salleh bahkan dengan berbunga-bunga
mengakui: “… Dengan rasa bahawa saya sedang berdiri di
depan rimba rahasia fikiran leluhur maka sebagai seorang
pembaca Melayu, betapa pun saya terpisah dari akar ini, dan
juga sebagai seorang pengarang yang menghadapi
pendahulunya, saya berdiri kagum…”.80
Sejumlah buku, artikel, dan edisi teks atas Sulalat al-Salatin
pernah ditulis dan diterbitkan dalam kurun waktu hampir dua
abad ini! Sarjana paling awal di antaranya adalah John Leyden,
Malay Annals: Translated from the Malay language by the late
Dr. John Leyden with an introduction by Sir Thomas Stamford
Raffles (London: Longman etc., 1821; diterbitkan ulang di Kuala
Lumpur: MBRAS, 2001), menyusul kemudian Abdullah bin
Abdul Kadir [ed.] Sejarah Melayu (Singapore: Thomas
McMicking, 1841), kemudian W.G. Shellabear [ed.], Sejarah
Melayu (Singapore: Methodist Publishing House, 1898), R.O.
Winstedt, “The Malay Annals or Sejarah Melayu: The Earliest
Recension from MS 18 of the Raffless Collection,” JMBRAS 16,
3 (1938): 1-226, T.D. Situmorang & A. Teeuw [eds.], Sedjarah
Melayu Menurut Terbitan Abdullah (ibn Abdulkadir Munsji)
(Jakarta: Djambatan, 1952), dan Muhammad Haji Salleh, Sulalat
al-Salatin, ya‟ni Perteturun Segala Raja-raja Karangan Tun Seri
Lanang (Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan & Dewan Bahasa
dan Pustaka, 1997).
Publikasi lebih kemudian tentang Sulalat al-Salatin adalah
artikel yang mencoba melihat teks ini sebagai „mitos politik
Melayu‟ oleh Henri Chambert-Loir, „The Sulalat al-Salatin as A
Political Myth‟ yang terbit di Jurnal Indonesia 79 (April 2005).
Chambert-Loir menegaskan bahwa Sulalat al-Salatin tidak
sekedar teks yang merekam dan menggambarkan peristiwa masa
79 Teuku Iskandar, Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad (Brunei:
Jabatan Kesusasteraan Melayu, Universiti Brunei Darussalam, 1995), 242. 80 Muhammad Haji Salleh, Sulalat al-Salatin: Adikarya Akalbudi Melayu (teks diunduh dari situs MCP), h. 1.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 170
lalu, melainkan juga merupakan kumpulan motif yang dapat
dianggap sebagai mitos politik Melayu yang secara sadar
digunakan untuk menonjolkan sebuah visi sejarah tertentu.81
Apresiasi paling mutakhir terkait Sulalat al-Salatin barangkali
adalah artikel yang ditulis bersama oleh Abdrurrahman,
Muhammad Ridhuan Tony Lim Abdullah, dan Raja Ahmad
Iskandar Raja Yaacob berjudul “The Malay world: an analysis of
Quranic verses in Sulalat al-Salatin”. Artikel ini dipresentasikan
dalam “2011 International Conference on Social Sciences and
Society” di Shanghai, China, 14-15 Oktober 2011 lalu, dan
mengemukakan tinjauan atas ayat-ayat al-Quran yang dikutip
oleh pengarang Sulalat al-Salatin.
Banyaknya perhatian para sarjana tersebut tidak terlalu
mengherankan mengingat kenyataannya Sulalat al-Salatin adalah
sebuah sumber tertulis langka yang menjelaskan Kesultanan
Melayu di Malaka abad ke-15. Apakah kemudian pembahasan
tentang Sulalat al-Salatin boleh dianggap lengkap dan tuntas?
Tampaknya tidak juga. Barangkali, salah satu aspek penting
yang belum banyak dielaborasi terkait teks Sulalat al-Salatin
adalah unsur Islam dalam teks tersebut. Artikel Abdurrahman
dkk. di atas pun rasanya belum memadai karena hanya
memaparkan tinjauan sederhana atas ayat-ayat al-Quran dalam
Sulalat al-Salatin. Masih perlu diungkapkan, misalnya, sejauh
mana Islam tergambar dalam Sulalat al-Salatin sebagai pedoman
kehidupan negara di Melaka saat itu? Adakah pengaruhnya dalam
penegakan hukum dan kebijakan politik? dan beberapa
pertanyaan terkait awal Islamisasi lainnya.
Meski demikian, artikel ini belum akan menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang saya kemukakan sendiri di atas, mengingat
telaah semacam itu membutuhkan penelitian dan pembacaan atas
sumber-sumber primer yang memadai yang, sayangnya, tidak
tersedia saat artikel ini ditulis. Karenanya, dalam kesempatan ini
81 Henri Chambert-Loir, “The Sulalat al-Salatin as a Political Myth” dalam Indonesia 79 (April 2005), h. 160.
171 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
saya hanya akan menegaskan kembali signifikansi teks Sulalat al-
Salatin sebagai sebuah karya sastra Melayu tradisional adiluhung
yang dihubungkan dengan tokoh Tun Seri Lanang, dan sedikit
melihatnya dari perspektif tahqiq atau kajian filologis.
Sulalat al-Salatin atau Sejarah Melayu?
Henri Chambert-Loir memberikan komentar kritis atas
kebanyakan sarjana, seperti Shellabear (1896), Winstedt (1938,
1969), Liaw Yock Fang (1993) Teuku Iskandar (1995), dan
lainnya, yang lebih suka menyebut judul teks Sulalat al-Salatin
sebagai Sejarah Melayu atau Malay Annals. Menurutnya,
penyebutan Sejarah Melayu atau Malay Annals tersebut
mengikuti dua tulisan paling awal terkait teks Sulalat al-Salatin
yang disebutnya „misleading‟. Dua tulisan yang dimaksud adalah
Leyden 1821 dan Abdullah 1841 seperti dikemukakan di atas.82
Muhammad Haji Salleh barangkali adalah salah seorang
kekecualian, karena dalam publikasinya (1997), ia memberi judul
Sulalat al-Salatin, demikian juga dalam artikelnya yang lain
berjudul “Sulalat al-Salatin: Adikarya Akalbudi Melayu”.83
Dalam perspektif filologi dan tahqiq,84
judul sebuah teks
memang seyogyanya didasarkan pada informasi asal yang berasal
dari teks itu sendiri, sejauh informasi terkait bisa dijumpai.85
Dalam hal Sulalat al-Salatin, tanpa diragukan lagi bahwa salah
82 Henri Chambert-Loir, “The Sulalat al-Salatin, h. 133. 83 Artikel tersebut dapat dibaca di: http://mcp.anu.edu.au/papers/MHS%20Esei1.html. 84 Tahqiq seyogyanya merupakan terjemahan dari kata „criticism‟, yang secara
sederhana dapat diartikan sebagai „ihkam al-shay‟ (menghakimi sesuatu). Dalam
konteks sastra, tahqiq didefinisikan sebagai „al-fahs al-„ilm li-al-nusus al-
adabiyah min haythu masdaruha wa-sihhat nassuha wa-insha‟uha wa-sifatuha
wa-tarikhuha‟ (sebuah telaah ilmiah atas teks-teks sastra, dari aspek sumber,
validitas teks, penyebaran, sifat, dan sejarah teks tersebut). Lihat Lihat „Abd al-Hadi al-Fadli, Tahqiq al-turath, (Jeddah: Maktabat al-„Ilm, 1982), h. 31-32. 85 „Abd al-Hadi al-Fadli menjelaskan bahwa di antara tugas seorang muhaqqiq
(filolog) adalah untuk: memverifikasi judul sebuah karya, memverifikasi nama
pengarang, dan menegaskan hubungan sebuah karya dengan nama pengarang yang disebut. „Abd al-Hadi al-Fadli, Tahqiq al-turath, h. 121.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 172
satu bagian dari mukadimah teks yang sedang didiskusikan ini
berbunyi:
“…maka Fakir karanglah hikayat ini kama sami‟tuhu min
jaddi wa-abi, supaya akan menyukakan duli hadhirat baginda.
Maka Fakir namai hikayat itu Sulalat al-Salatin yakni
peraturan segala raja-raja…”.86
Berdasar pada sumber tertulis di atas, tidak ada alasan yang
masuk akal untuk tidak menyebut Sulalat al-Salatin sebagai judul
teks. Akan tetapi jika yang dimaksudkan adalah kandungan
isinya, maka penyebutan „Sejarah Melayu‟ atau Malay Annals
tentu boleh-boleh saja. Anehnya, bukan hanya sumber-sumber
yang disebut di atas saja yang banyak menjadikan Sejarah
Melayu sebagai judul teks, melainkan juga katalog manuskrip
yang menginventarisasi dan mendeskripsikannya. Katalog
Ricklefs & Voorhoeve 1977 misalnya, mendaftarkan kata kunci
„Sejarah Melayu‟ dalam indeksnya87
yang merujuk pada
manuskrip yang disebut sebagai Sulalat al-Salatin ini, termasuk
manuskrip Raffles Malay 18 yang dijadikan sebagai landasan
edisi oleh Winstedt 1938.88
Kata „Sulalat al-Salatin‟ bahkan tidak
terdaftar sama sekali dalam katalog ini.
Apakah hal itu disebabkan karena kata Sulalat al-Salatin
adalah bahasa Arab yang tidak terlalu jelas maknanya bagi
sebagian orang sehingga kebanyakan merasa lebih „nyaman‟
menyebut „Sejarah Melayu‟ yang lebih mudah difahami? Tentu
ini bukan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, karena yang
lebih penting adalah menampilkan apa yang tertulis dalam teks,
bukan apa yang difahami peneliti atas teks tersebut! Judul
berbahasa Arab untuk teks-teks Melayu adalah sebuah kelaziman
pada masa lalu.
86 Dikutip dari Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 245. 87 M. C. Ricklefs and P. Voorhoeve, Indonesian Manuscripts in Great Britain: A
Catalogue of manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collections (Oxford: Oxford University Press, 1977), h. 230. 88 M. C. Ricklefs and P. Voorhoeve, Indonesian…, h. 134-135.
173 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Dengan demikian, saya berpendapat bahwa ke depan,
penyebutan „Sejarah Melayu‟ sebagai judul teks yang
dihubungkan dengan dengan tokoh Tun Seri Lanang ini,
seyogyanya diluruskan, kecuali jika dimaksudkan sebagai
penjelasan atau pemerian belaka, dan diganti menjadi Sulalat al-
Salatin saja. Kata „Sulalat‟ sendiri, yang menjadi acuan
terjemahan judul tersebut, dalam bahasa Arab berarti „keturunan‟
(descendant)89
, sedangkan al-Salatin berarti raja-raja
(kings/sultans)90
. Dalam beberapa sumber, kata „Sulalat‟ ini
diterjemahkan menjadi berbeda-beda. Sebagian mengejanya
sebagai „Peraturan‟91
, sebagian lagi „pertuturan‟92
, dan sebagian
lainnya „perteturun.‟93
Memperhatikan maknanya, terjemahan
yang paling mendekati dari definisi kata Sulalat tersebut
tampaknya adalah „perteturun‟, dan karena itulah versi
Melayunya perlu dibaca sebagai „Perteturun Raja-raja‟.
Tun Seri Lanang: Diskusi Kepengarangan Sulalat al-Salatin
Pengetahuan umum kita menyatakan bahwa Tun Seri Lanang
adalah pengarang langsung teks Sulalat al-Salatin. Hal ini
terutama karena ada bukti tertulis dalam mukaddimah naskah
Sulalat al-Salatin sebagai berikut:
“…setelah Fakir mendengar demikian, jadi beratlah atas
anggota Fakir alladzi murakkabun „ala „l-jahli, Tun
Muhammad namanya, Tun Seri Lanang timang-timangannya,
Paduka Raja gelarannya, Bendahara, anak Orang Kaya Paduka
Raja, cucu Bendahara Seri Maharaja, cicit Bendahara Seri
89 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Urbana: Spoken Language Services, 1994), h. 489. 90 Hans Wehr, A Dictionary, h. 493. 91 Lihat antara lain Mohammad Daud Mohammad, Tokoh-tokoh Sastera Melayu
Klasik (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987), h. 110, 116; Teuku
Iskandar, Kesusasteraan… h. 245. 92 Lihat misalnya Henri Chambert-Loir, The Sulalat…, h. 134. 93 Lihat misalnya Muhammad Haji Salleh, Sulalat al-Salatin, ya‟ni Perteturun
Segala Raja-Raja Karangan Tun Seri Lanang (Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan & Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997).
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 174
Maharaja, cicit Bendahara Tun Nara Wangsa, piut Bendahara
Seri Maharaja anak Seri Nara Diraja Tun Ali, anak baginda
Mani Purindam, qaddasa „llahu sirrahum, Melayu bangsanya,
dari Bukit Siguntang Mahameru, Malakat negerinya, Batu
Sawar Darussalam…”94
Akan tetapi, ada beberapa sarjana seperti R. J. Wilkinson dan R.
O. Winstedt yang masih mendiskusikan apakah Tun Seri Lanang
dapat disebut sebagai pengarang langsung teks Sulalat al-Salatin
atau penyalin? Teuku Iskandar mendiskusikan perbincangan para
sarjana tersebut secara panjang lebar.95
Disebutkan, Wilkinson
misalnya berasumsi bahwa kalimat “…maka Fakir karanglah
hikayat ini…” dalam teks Sulalat al-Salatin tidak cukup lazim
ditulis oleh seorang pengarang Melayu yang menyebut dirinya
sendiri sebagai seorang „pengarang‟.
Selain itu, tambahan berbagai gelar serta asal-usul pengarang
sebagai keturunan para pembesar kerajaan, yang terkesan sebagai
pamer status, juga tidak menunjukkan kerendahan hati bangsa
Melayu pada umumnya. Alih-alih menganggap Tun Seri Lanang
sebagai pengarang langsung, Wilkinson menduga bahwa teks
Sulalat al-Salatin tersebut dikarang oleh seorang peranakan
Tamil yang mengenal kehidupan istana Melaka, mengetahui
bahasa Sanskritt, Parsi, Tamil dan Arab, serta mengetahui sedikit
bahasa Cina dan Siam. 96
Winstedt menambahkan beberapa hal yang membuat dirinya
sangsi bahwa Tun Seri Lanang adalah pengarang Sulalat al-
Salatin. Salah satunya adalah karena di akhir naskah versi Raffles
Malay 18 tertulis kalimat: “…wa-katibuhu Raja Bungsu…”, yang
mengisyaratkan seolah-olah pengarangnya adalah Raja Bungsu.97
Argumen seperti ini tentu saja masih dapat diperdebatkan, karena
94 Dikutip dari Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 244. 95 Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 245-259. 96 Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 245; lihat juga Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993), h. 97. 97 Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 249.
175 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
kata „katib‟ sendiri, yang dalam bahasa Arab berarti „penulis‟,
dapat saja merujuk, baik pada pengarang maupun penyalin
sebuah teks. Itulah mengapa Teuku Iskandar memberikan
komentar bahwa manuskrip Raffles Malay 18 yang diakhiri
dengan kalimat “…wa-katibuhu Raja Bungsu…” adalah salinan
manuskrip dari hikayat yang dibawa dari Goa, yang dimiliki oleh
Raja Bungsu.98
Demikianlah, terlepas dari pengakuan atas keindahan dan
keagungan Sulalat al-Salatin sebagai karya sastra sejarah Melayu,
tampaknya sebuah kajian tekstologis untuk secara khusus
memastikan Tun Seri Lanang sebagai pengarang Sulalat al-
Salatin perlu dilakukan, karena selain Wilkinson dan Winstedt di
atas, masih ada beberapa lagi sarjana yang masih belum yakin
bahwa Tun Seri Lanang adalah pengarangnya. Liaw Yock Fang
adalah salah satu di antaranya. Ia, misalnya, mengatakan bahwa
penyebab keraguan itu adalah karena: “…kebanyakan daripada
versi-versi [manuskrip Sulalat al-Salatin, pen.] ini masih belum
cukup diselidiki dan sukar ditentukan pengarang dan masa
tertulisnya…”.99
Tentu saja ada sejumlah sarjana lain yang tidak sependapat
dengan pandangan di atas. Teuku Iskandar dan C. Hooykaas
misalnya, termasuk di antara mereka yang meyakini bahwa Tun
Seri Lanang adalah pengarang Sulalat al-Salatin. Menurut Teuku
Iskandar, harus difahami bahwa konsep „penyalin‟ dalam tradisi
kesusasteraan Melayu lama dapat juga berarti „pengarang‟, karena
ia tidak hanya sekedar menyalin, melainkan juga menambahkan
bagian, kadang satu episode cukup panjang, yang dianggap perlu,
memperbaiki bagian yang dianggap tidak tepat, bahkan
mengubah bahasa karya asal atau menerjemahkan, sesuai konteks
dan kebutuhan pada masanya.100
Dengan demikian, setelah memaparkan argumentasi yang
cukup panjang, Teuku Iskandar secara tegas mengatakan:
98 Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 252. 99 Liaw Yock Fang, Sejarah… h. 97. 100 Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 250.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 176
“…sejak tahun 1964 kita telah menyatakan bahwa Tun Seri
Lananglah pengarang Sejarah Melayu dan menentang pendapat
Winstedt yang menafikan hakikat ini…”.101
Dalam konteks ini, barangkali pendekatan tahqiq seperti saya
kemukakan di atas dapat diterapkan untuk melakukan sebuah
kajian khusus berkaitan dengan kepengarangan teks Sulalat al-
Salatin, meski sarjana semisal Henri Chambert-Loir mengaku
tidak tertarik memperdebatkan apakah Sulalat al-Salatin ini
dikarang oleh Tun Seri Lanang sendiri atau pengarang lainnya,
karena ia tidak melihat ada alasan kuat untuk
mempermasalahkannya. Hal ini mungkin karena dalam
kenyataannya, kebesaran dan keindahan teks Sulalat al-Salatin itu
sendiri sebagai sebuah karya sastra sejarah Melayu klasik dalam
beberapa hal sepertinya sudah jauh melebihi kebesaran zaman
dan pengarangnya.
Penutup
Demikianlah, tulisan ini mungkin tidak memberikan kontribusi
penting dan juga tidak menyediakan informasi baru terkait karya-
karya sastra yang dihubungkan dengan Tun Seri Lanang. Saya
hanya berharap bahwa kajian atas karya-karya sastra Melayu
semisal Sulalat al-Salatin dapat terus digalakkan dengan
melihatnya dari berbagai perspektif, agar kajian tersebut
memberikan gambaran yang lebih utuh terkait peradaban Melayu
Nusantara kita pada masa lalu. Wallahu a‟lam bissawab.
Daftar Bacaan
Chambert-Loir, Henri (2005). „The Sulalat al-Salatin as a
Political Myth‟ dalam Indonesia 79 (April 2005), h. 160.
Fadli, „Abd al-Hadi al- (1982). Tahqiq al-turath. Jeddah:
Maktabat al-„Ilm.
Fang, Liaw Yock (1993). Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 2.
101 Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 256.
177 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hooykaas, C. (1951). Perintis Sastra. Groningen, Djakarta: J. B.
Wolters.
Iskandar, Teuku (1995). Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang
Abad. Brunei: Jabatan Kesusasteraan Melayu, Universiti
Brunei Darussalam.
Mohammad, Mohammad Daud (1987). Tokoh-tokoh Sastera
Melayu Klasik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Ricklefs M. C. and P. Voorhoeve (1977). Indonesian
Manuscripts in Great Britain: A Catalogue of manuscripts in
Indonesian Languages in British Public Collections. Oxford:
Oxford University Press.
Salleh, Muhammad Haji. Sulalat al-Salatin: Adikarya Akalbudi
Melayu. Artikel diunduh dari situs Malay Corcondance
Project (http://mcp.anu.edu.au/papers/MHS%20Esei1.html),
h. 1
----------. (1997). Sulalat al-Salatin, ya‟ni Perteturun Segala
Raja-Raja Karangan Tun Seri Lanang. Kuala Lumpur:
Yayasan Karyawan & Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997).
Wehr, Hans (1994). A Dictionary of Modern Written Arabic.
Urbana: Spoken Language Services, 1994.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 178
Willem van der Molen (2011). Kritik
Teks Jawa; Sebuah pemandangan umum
dan pendekatan baru yang diterapkan
kepada Kunjarakarna. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia. Tebal x + 392
hlm. ISBN 978-979-461-787-8.
Artikel resensi ini adalah telaah lama yang pernah diterbitkan di
majalah Basis (Th. XXXIII, no. 7, Juli 1984, hlm. 255-272).
Sehubungan dengan terbitnya disertasi W. van der Molen dalam
terjemahan bahasa Indonesia, saya merasa perlu untuk
menerbitkan lagi artikel itu dengan pengurangan dan perubahan
seperlunya.
Terbitan teks, terjemahan, dan perbaikan bacaan
Terbitan diplomatik teks Kuñjarakarṇa (prosa) dari ketiga naskah
yang diteliti, yang disajikan secara sinoptik, sungguh membantu
pembaca untuk bekerja sendiri: menganalisis, mengemukakan
alternatif bacaan, bahkan mungkin mencoba membuat
rekonstruksi. Berdasarkan kesempatan luas yang diberikan itu
179 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
akan dikemukakan beberapa hal yang mungkin membantu
pemahaman dan penelitian lebih lanjut.
Diandaikan, bahwa setiap penerbit atau penyunting teks
memahami teks dan menguasai bahasa teks yang diterbitkan atau
disuntingnya. Erat hubungan dengan hal itu, suatu masalah yang
berulang kali dibahas oleh para penerbit teks Jawa adalah
masalah pemisahan kata beserta dasar-dasar linguistiknya. Dalam
hal ini terbitan teks Kuñjarakarṇa (prosa) menunjukkan
kekurangan yang menyolok. Sekalipun hal-ihwal ejaan telah
diselidiki secara rumit, namun barulah menyangkut pemakaian
beberapa huruf saja, dan terbatas pada tataran kata dasar (h. 121-
162). Selanjutnya masih perlu dilakukan penelitian ejaan dengan
memperhatikan tataran morfo-sintaksis. Penelitian ini diharapkan
akan menampilkan ciri-ciri kebahasaan dari teks yang
bersangkutan, yang dapat membantu untuk menentukan
kedudukan teks itu dalam sejarah bahasa dan tahapan tradisi.
Ejaan yang tidak konsisten sangat penting diselidiki demi
pemahaman teks dan perbaikan bacaan. Pemahaman teks dan
perbaikan bacaan secara bertahap perlu memperhatikan: teks dari
satu naskah, bandingan antarteks dengan karya yang sama dari
naskah lain, dan hubungan antar teks dengan berbagai karya
lainnya. Sejumlah contoh berikut ini dimaksudkan sebagai
sumbangan pikiran untuk pemahaman teks dan perbaikan bacaan,
terutama dari naskah H.
Kesalahan pemisahan kata menimbulkan kesalahan
terjemahan.
(1) 125 H paŋan inum. sanḍaŋ
agoh arabihanakkanak
Terjemahan: “Makan, minum, pakaian, ternak,
berkeluarga, […]”. (h. 175)
Terjemahan “ternak” berhubungan dengan bacaan “agoh”
(“goh”, lembu).
Seharusnya dibaca:
125 H paŋan inum. sanḍaŋ
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 180
ago harabi hanakkanak
“Sanḍaŋ a <ṅ> go” berarti: “pakaian dan perhiasan” (lihat
Zoetmulder, 1982, Old-Javanese English Dictionary =
OJED, I: 100, aŋgo; II: 1647, sandaŋ)
(2) 334 H śammi dadupa mrabukk arum
pawaŋi
Terjemahan: “[…] berbau dupa semerbak harum
mewangi. (h. 185)
Seharusnya dibaca: “śammida dupa”, yang berarti: “kayu
bakar (dan) dupa” (OJED, II: 1638, samidha, samiddha).
Lalu “winoŋan” (333) seharusnya dihubungkan dengan
“śammida dupa”.
(3) 1028 H wawa ṣima ŋuyu ḷbuguntuṅ,
Terjemahan: “wawal, sima, nguyu, lebuguntung”. (h. 219)
Seharusnya dibaca: “wawaṣi manguyu ḷbuguntuṅ”, yang
adalah nama-nama jenis pertapa. (OJED, II: 2216, wasi; I:
1114, maŋuyu; bdk. 594 H pamanuyon; I: 1001, lebu-
guntur).
(4) 2440 H […] Ø watu pinaŋka
ta wulan. […]
Terjemahan: “[…] Ø Batu sebagai bulan (h. 290-291)
Seharusnya dibaca: “watu pinaŋka tawulan”, yang berarti:
“batu merupakan tulang(nya)”. (OJED, II: 1901, tahulan).
(5) 3130 H halŋa burat. ma oṃ, kĕmbaṅ
kuṣaṅ runtiṅruntiṅ,
cinakuṣ i wawaŋi
kambaŋ wĕrataŋanta, […]
181 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Terjemahan: “[…] dengan minyak dan boreh. Mantra:
om, bunga kusang dan runting … wewangian. Bunga
wratanganta. (h. 325).
Seharusnya dibaca:
3130 H halŋa burat. ma oṃ, kĕmbaṅku
ṣaṅ runtiṅruntiṅ
cinaku ṣi wawaŋi
kambaŋ wĕratanaŋta, […]
Artinya: “Mengenakan minyak boreh. (Ungkapan ini
menandai tahap upacara, tidak termasuk mantra yang
terdahulu. Mantra: Oṃ, Bungaku Sang Runting-runting.
Ciriku (OJED, I: 327, cihna II) Si Harum Bunga
Weratanganta (? Bdk. K: kĕmbaṅ wĕratta baranta).”
Seperti telah terlihat pada contoh-contoh di atas, banyak
bagian tidak diterjemahkan (ditandai: …), karena arti
masih gelap, sebab: pemisahan kata salah; pemisahan kata
ditangguhkan; arti kata tidak dicari, baik dalam kamus,
dalam bandingan intrateks, maupun bandingan antarteks;
bahasa, ungkapan, dan konteks kurang dipahami;
perbaikan bacaan belum dilakukan, dan lain-lain. Berikut
ini disajikan beberapa contoh lagi.
(6) 1792 H sammana rupanta, kadi
hantiga kinulitan. […]
Terjemahan: “Rupa anda waktu itu seperti telur berkulit”
(h. 257).
“Hantiga kinulitan” artinya bukanlah “telur berkulit”,
melainkan “telur yang dikuliti (dikupas kulitnya)”.
(OJED, I: 918, kulit).
(7) 2203 H […] maŋke taṇn
agiraha, ranak baṭara, pukulun
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 182
tan panaŋguha lara,
Terjemahan: “Sekarang … Hamba tidak menganggapnya
penderitaan. […]”. (h. 279)
Memang naskah K berbunyi: “maŋge tan agiraṅ”, tetapi
sejajar dengan “tan panaŋguha lara”, “tan agiraha”
(naskah H) selayaknya dibaca: “tan ageraha” (tak akan
merasa sakit). (OJED, I: 540, grah).
(8) 3188 H […] pun
puṙṇawijaya, amintaha,
3190 amit kantuna
paṣĕk kapaŋgaḥ, haniti hi
pantaraṇn aji, pukulun.
Terjemahan: “Purnawijaya mohon diri: „Tinggallah baik-
baik … di atas singgasana raja, Batara. […]‟”. (h. 327).
Larik 3191 seharusnya dibaca: “paṣĕkk apaŋgaḥ, hanitihi”.
(OJED, II: 1310, pasak I, pasĕk; II, 2023, titih). Mungkin
“pantaraṇn aji” (3192) lebih baik tetap dibaca:
“pantaraṇnaji” (gabungan kata: pa [n] taraṇnaaji; K
pataraṇna maṇni). Perihal sandhi atau gabungan kata
semacam ini perlu dipertimbangkan lagi demi pemahaman
ciri kebahasan dari teks yang bersangkutan.
Terjemahan sementara: “[…] Si Purnawijaya hendak
mohon diri. (Bagian kalimat ini termasuk ucapan
langsung! OJED, II: 1438, pun I). Hendaklah Tuanku
tinggal tetap terhormat menduduki singgasana rajawi,
Tuanku”
(9) 3124 H timbul krawa len bujana kulit.
K tinbul krawa le bujana kulit
3125 H tan tĕtĕsa deniṅ wwakadaga,
K tan tĕtĕsa deniṅ wwakadga
183 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
3126 H lwir pusuḥ tĕg kĕṅ kĕṅ; […]
K lwir pusuḥ kĕg. kĕṅ kĕṅ […]
Terjemahan: “tak tertembus oleh … seperti kuncup bunga.
Teg keng keng”. (h. 325).
Bacaan dapat diperbaiki menjadi: “timbul krawalen (atau:
krawale; OJED, I: 806, karawalya (karawali?), Us 156:
timbal kurawale) bujan<eṅ> kulit. (bdk. 3116 H: puspa
liŋganeṅ siraḥku). Tan tĕtĕsa deninṅ <sar>wwakadga, lir
pusuḥ tĕg (atau: kĕg) kĕṅkĕṅ”.
Menurut konteks “gḍug. gḍug.” (3123 H; suara orang
menghentak bumi) berhubungan dengan “om […]
dalamakanku”.
Terjemahan sementara: “Timbul Krawale Buja (Sakti
Kebal Lengan?) ada di kulit, tak akan mempan oleh segala
macam pedang (senjata) bagaikan kuncup bunga (?). Tĕg.
Membatu”.
(10) 3116 H satakuṣilulunnonen […]
K maṭakuśilulukonĕn […]
Pemisahan kata belum ditentukan, dan tidak diterjemah-
kan. (h.323). berdasarkan bandingan teks dari kedua
naskah, dan bandingan antarteks dengan karya lain,
diusulkan bacaan: “mataku si lulut onĕng”, dengan arti:
“Mataku Si Lulut Onĕng (Si Asyik-Masyuk)”. (OJED, I:
1055, lulut; II: 2121, unĕŋ, unaŋ). Dalam Korawāçrama
(Swellengrebel, 1936) terdapat Aji Sūkṣma-jahinang
dengan ungkapan: “lulut onĕng ring utari” (h. 136). Dalam
Cantakaparwa terdapat pula Aji Jahinang dengan
ungkapan: “Lulur onĕng ring untunku” (naskah Kirtya
398, h. 99a). Aji ini terdapat sesudah cerita tentang
Kuñjayakarna dan Pūrṇawijaya. (bdk. Ensink, On the Old-
Javanese Cantakaparwa and Its Tale of Sutasoma, 1967,
h. 9).
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 184
(11) 1009 H […] upamanya
yi kadyaŋga ṇniṅ saṅ besawaṙṇna
hatuŋgu kaywaŋan. papa ṭa
humaḥnya kĕbĕk deṇniṅ raja
drawwa,
mas pirak miraḥ
kommala hinten. […]
Terjemahan: “Bandingkan dengan Besawarna yang me-
nunggui kayangan pendosa. Rumahnya penuh dengan
harta benda emas, perak permata, kemala, intan.” (h. 219)
Terjemahan: “yang menunggui kayangan pendosa”
berhubungan dengan bacaan “papa ṭa” dan salah hubung
dengan “kaywaŋan” (1011). Seharusnya dibaca: “papaṭ
<t>a humahnya”, yang berarti: “Empatlah rumahnya”.
Rumah itu bukan milik Besawarna, melainkan milik
orang-orang di dunia yang berbuat kebaikan, dan nanti
akan dinikmati, bila mereka sudah mati. (H 1015-1030).
Seperti itulah halnya kawah tempat siksaan. Maka:
(12) 1032 H iwa maŋkana yayi kawa
ulun…
Terjemahan: “[…] …meskipun demikian saya ragu adik.
(h. 219)
Seharusnya dibaca: “iwa maŋkana yayi kawa<ḥ>ulun”,
yang berarti: “seperti itulah, Dinda, kawahku.” (Terje-
mahan “iwa maŋkana” dengan “meskipun demikian”,
1032, 1698, 1708, 1716, atau “meski demikian”, 1043,
tidak tepat, dan mengacaukan arti!).
Bukanlah Yama yang memiliki kawah itu, melainkan
orang-orang di dunia. Maka:
(13) 1001 H […] tanta
185 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
niṅ ŋulun. drawe ni kawah
hi wwaṅ, madyapada
kaṅ drawenni kaṅ yayi,
Terjemahan: “[…] … ku. Kawah adalah milik orang di
dunia; merekalah yang punya, dik.” (h. 219).
Seharusnya dibaca:
1001 H […] tantan
i ṅŋulun. draweni kawah
hi<ka> wwaṅ madyapada
kaṅ drawenni <i> ka [n] yayi,
Terjemahan: “Bukanlah aku yang memiliki kawah itu,
orang-orang di dunialah yang memiliki itu, Dinda”.
Bukanlah Yama yang memasukkan atau memasak orang-
orang berdosa di dalam kawah, melainkan orang-orang itu
sendirilah yang masuk ke dalam kawah. Maka:
(14) 989 H […] tanta, ṇni ŋulun
haḷbokna kawaḥ hika,
hawake ḍawak aḷbokĕṇ nika
yayi
Terjemahan: “[…] … Caranya pada saya kalau saya
memasukkan orang ke kawah, saua suruh masuk sendiri
dik”. (h. 217).
Seharusnya dibaca:
989 H […] tanta, ṇn i ŋulun
haḷbokna kawaḥ hika,
hawake ḍawak aḷbokĕṇn ika
yayi
Terjemahan: “Bukanlah aku yang memasukkan ke dalam
kawah itu, dirinya sendiri memasukkan itu, Dinda”.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 186
(15) 1096 H […] tanta ulun.
klĕ, wwaṅ tuhu si
maḷbu ḍawak mariṅ
kawaḥ […]
Terjemahan: “[…] … Ada orang yang masuk yang sangat
… Ia masuk sendiri ke dalam kawah […]”. (h. 223).
Seharusnya dibaca:
1096 H […] tanta <n> (atau: tan ta?) ulun.
kĕla, wwaṅ tuhu si
maḷbu ḍawak mariṅ
kawaḥ […]
Terjemahan: “Tidaklah aku masak, orang-orang itu
sesungguhnya masuk sendiri ke dalam kawah”.
Perbaikan bacaan “klĕ” (1097) menjadi “kĕla” sejalan
dengan “tlĕs” (156, tĕlas), “pjĕh” (3392, pĕjah), dan lain-
lain.
(16) 1301 H […] hacukit
hadulit.
Terjemahan: “… pemulung, penjual kapur”. (h. 233)
2822 H kunaṅ pañcanmanya, ywa tukit.
tadulit. […]
Terjemahan: “selanjutnya … … penjual kapur”. (h. 309).
Dalam naskah H bentuk huruf “c” agak mirip dengan “j”,
sedangkan “t” jauh berbeda dengan “c”. Namun demikian,
berdasarkan bandingan dengan larik 1301-1302 dan
dengan bacaan naskah K (2822-2823: janmanya acukitt
adulit), dapatlah bacaan larik 2822-2823 diperbaiki
menjadi: “kunan pañjanmanya, ywacukit.t adulit.” Bentuk
“ywacukit” dapat dipandang sebagai gabungan kata “ya-
acukit” dengan sisihan/tambahan “wa” pada kata “ya”.
Jadi artinya: “Ada pun penjelmaannya adalah orang-orang
187 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
(yang pekerjaannya) „cukit‟, „dulit‟ ” (pedagang terasi,
kapur, dan lain sebagainya).
Sisipan/tambahan “w(a)” atau “y(a) dalam ejaan naskah H
perlu diperhatikan untuk perbaikan bacaan dan
pemahaman bahasa.
(17) 28 A sakala maray. ta,
K ikaṅ satala marayata
H ikaṅ ṣwatala, maratabwan.
“Ikaṅ ṣwatala” (naskah H) diterjemahkan: “tempatnya
sendiri” (h. 169). Di sini mungkin terdapat sisipan
tambahan “wa”, sehingga “ṣwatala” ekuivalen dengan
“satala” (naskah K), dan berasal dari “sakala” (t<k; salah
satu buktinya: naskah A). Jadi di sini perlu dipertahankan:
“ikaṅ sakala”, yang berarti: “pada waktu yang
bersamaan”. (OJED, II: 1604, sakala II). Perbaikan itu
sejalan dengan bentuk-bentuk: “swalaka” (229 H; bdk.
324 H: salaka), “swadakala” (528 H, sadakala), dan lain-
lain.
(18) 68 H laŋka leswa ywaki
ywaki bawanya Ø
Terjemahan: “ „Alasan untuk bepergian, itulah
maksudnya”. (h. 171)
Mungkin harus diperbaiki demikian:
68 H <i> laŋ <a> kaleswa ywaki (yweki?)
ywaki (yweki?) bawanya Ø
Kata “klesa” (1933, 1951, 1970, dan passim) dalam
naskah H kadang kadang dieja “kalesa”/kaleṣa” (1541,
1544, 1556, dan passim), “kalṣe” (1076, I. kaleṣa, h. 286),
“kalweṣa” (80, 1942, 1946), dan “kleswa” (116). Maka
terbukalah kemungkinan untuk bacaan “kaleswa” (68).
Jadi arti perbaikan bacaan itu: “supaya hilanglah
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 188
kecemarannya, itulah maksudnya”.
(19) 1114 H […] sapa ka yweku riṅ
pakśanya, yeki maŋke
tinmunya dyan tuṭ ri kaṅ
kawaḥ
Terjemahannya: “[…] … Mereka sekarang berhadapan
dengan perbuatan jahatnya dan harus mengikutinya ke
kawah”. (h. 223).
Dalam perbaikan bacaan terdapat: “sapa ka 1. sapata?” .
Pertanyaan itu tidak perlu. Yang perlu diperhatikan ialah:
“dyan tuṭ ri kaṅ kawah”. Mungkinkah diperbaiki menjadi:
“dyan tḍuni <i> kaṅ kawaṅ”? (A: den tĕḍūni ikaṅ kawaḥ).
Bila demikian, maka bacaannya:
1114 H […] sapa kayweku riṅ
pakśanya, yeki maŋke
tinmunya dyan tḍuni <i> kaṅ
kawaḥ
Terjemahan: “Siapa yang seperti itu sikapnya, inilah
sekarang yang ditemuinya, diterjunilah kawah itu”.
(20) 8 H […] ummilu
atatya dewata kabeḥ
myamujaha rwiṅ ḃaṫara byudda
sri wiroñcana, […]
Terjemahan: “Sesudah itu berturut-turut para dewa
memuja Batara Buddja Sri Wironcana”. (h. 169).
Dalam perbaikan bacaan terdapat: “atatya? b. ata tyan?”
(h. 356).
Sebenarnya “atatya” ekuivalen dengan “atata” (OJED, II:
1958, tata I), seperti halnya: “byuda” – “budda”,
189 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
“myamujaha” – “mamujaha”, “tirtya” (3082) – “tirta”,
“wuwustya” (3009) – “wuwusta”, dan lain-lain.
Kurangnya “pasangan” beserta “sandangan”-nya perlu
diperhitungkan dalam perbaikan bacaan.
(21) 1074 H […] den
aswruḥ hiṅ saṅ hyaṅ daṙmma,
ilaŋana kalṣe ṇniṅ sariranta,
Terjemahan: “[…] Pahamilah Darma maka penyakit akan
hilang dari badan anda”. (h. 221).
Dalam perbaikan bacaan terdapat: “1075. aswruḥ b.
awruḥ. 1076. kalṣe b. kaleṣa” (hlm. 359)
Mungkin “s” pada “aswruh” perlu dipertahankan. Jadi:
1074 H […] den <wu> s
wruḥ hiṅ saṅ hyaṅ daṙmma,
ilaŋana kaleṣa niṅ sariranta,
Terjemahan: “Bila sudah tahu akan Sang Hyang Dharma,
hendaklah dihilangkan kecemaran tubuhmu”.
(22) 1555 H […] maŋkana
ilaŋan niṅ (sic) kaleṣa papa
nniṅ sarira,
nandaḥ padaŋdana
kita rari, […]
Terjemahan: “[…] Begitulah caranya menghilangkan
kekotoran serta kekurangan badan. Ayo berpakaianlah
anda”. (h. 245)
Lebih tepat diperbaiki menjadi:
1555 H […] maŋkana
ilaŋan niṅ kaleṣa papa
nniṅ sarira, n <ta>
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 190
ndaḥ padaŋdana
kita rari, […]
Di sini diandaikan pasangan “ta” hilang (K: sariranta).
(23) 3039 H itipa ka sla kabeh, panteni
denta kabeh, […]
Terjemahan: “... harus anda bunuh semua”. (h. 319)
Perbaikan bacaan:
3039 H itip <iṅ> kasmala kabeḥ, panteni
denta kabeh, […]
Diandaikan, “pa” (pada “itipa”) kehilangan “wulu” dan
“cĕcak”, dan “s” (pada “kasla”) kehilangan “pasangan
m(a)” (bdk. 2165 H: kasmalammu). Jadi artinya: “Kerak
segala kecemaran, hendaklah kau bunuh semua”.
(24) 1587 H maŋaḷŋĕn śaṅ kuñjarakaṙṇna
swojaṙ riṅ saṅ puṙnawijaya
Terjemahan: “Sambil memegang lengannya berkata
Kunjarakarna kepada Purnawijaya”. (h. 247).
Bentuk huruf “ḷ” serupa dengan bentuk kombinasi huruf
“ŋ(a)” dan “n(a)” (sebagai “pasangan”). Maka sebaiknya
dibaca:
1587 H maŋaŋnaŋĕn śaṅ kuñjarakaṙṇna
swojaṙ riṅ saṅ puṙnawijaya
Terjemahan: “Berpikirlah (OJED, I: 96, aŋĕn) Sang
Kunjarakarna, (lalu) berkata kepada Sang Purnawijaya:
[…]”.
Begitu pula:
(25) 3179 H ih
hiŋaḷnĕndriya haja tan
191 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
prayatna,
Terjemahan: “Hai, … berusahalah keras […]”. (h. 327)
Sebaiknya dibaca:
3179 H ih
hiŋaŋnaŋĕn driya haja tan
prayatna,
Artinya: “Nah, dipikir dengan periksa, jangan tak
waspada, […]”
(26) 399 H […] gagakk
alwar curiga
Terjemahan: “[…] Mereka jahat”
Teks naskah H dan perbaikan bacaan atas bacaan Kern
pada naskah A: “gālak” (VG X: 57) menjadi “gāgak” tidak
diikuti dengan terjemahan yang sesuai. Seharusnya: “[…]
burung gagak (OJED, I 473, gagak, gāgak) yang bersayap
keris”.
Selanjutnya perlu diperhatikan konsistensi dalam
transliterasi.
Dalam hal ini sangat penting pertimbangan dari segi
linguistik. Sekedar contoh:
(27) 835 A mawāk masarira - 1824 A mawak masarira
K mawakasarira K mawaṅk asarira
H mawakaṣarira H mawak asarira
Semestinya 835 K dan H ditransliterasikan: “mawak
asarira” dan “mawak aṣarira”.
Begitu pula tempat-tempat lain yang paralel, seperti: “taṇn
ana lena kapaŋguḥ” (2464, 2900, 3539), dan lain-lain.
Namun demikian, perlu dipertahankan pula kekhasan bahasa
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 192
dan tradisi teks masing-masing. Misalnya:
1. 574. meŋkeneha b. maŋkeneha. (h. 358)
Kiranya perlu dipertahankan: “meŋkeneha” (3369 H:
meŋkeneha; OJED, I: 1139, meṅkene). Jadi pada naskah
H terdapat: “maŋkana” (513, passim) – “moŋkono” (2136
H: moŋkonoha; OJED, I: 1149, moŋkono) – “meŋkene”.
2. 29. raśaksa b. rakśasa. (h. 356); 1504. raṣaksa b. rakṣasa.
(h. 360); 1760. rasakṣa b. rakṣasa. (h. 361). Bisa
ditambah: 1507 H: rasakṣa. Di sini pun perlu
dipertahankan: “raśaksa” (beserta varian ejaannya), yang
menunjukkan tahap perkembangan bahasa tertentu (bdk.
Jawa Baru: rasĕksa).
3. 1300. hamahĕk b. hamahĕt. (h. 360); 2825. hamahĕt b.
hamahat. (h. 364). Dalam hal ini perbaikan bacaan tidak
konsisten. Untuk naskah H lebih tepat ditentukan:
“hamahĕt”.
4. Perbaikan bacaan nama-nama “kuñjayakaṙṇna” beserta
varian ejaannya (105, 160, 170; bdk. Cantakaparwa)
menjadi “kuñjarakaṙṇna” (h. 356), dan “paladara” (3270,
3306, 3346, 3353; bdk. Sakula < Nakula) menjadi
“muladara” (h. 365), perlu dipertimbangkan lagi dalam
rangka tradisi penulis/penyalin.
Sejarah teks dan tradisi
Dalam melacak sejarah teks dan tradisinya W, van der Molen
menyimpulkan, bahwa:
1. mengingat kesalahan-kesalahan yang terjadi berkat salah
baca, penyalin naskah A bekerja dengan lebih teliti
daripada penyalin naskah H dan K.
2. pertukaran „d‟ dan „n‟ pada naskah H dan K menyatakan,
bahwa kedua naskah itu mempunyai induk yang
bersamaan, di mana bentuk kedua huruf itu serupa.
193 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
3. penggantian kata-kata dengan sinonimnya dalam ketiga
naskah itu tak dapat memberi kepastian, manakah bacaan
yang harus dianggap asli.
4. perbandingan dengan teks naskah A menunjukkan, bahwa
pada sebagian episode siksaan di neraka (larik 464-570
pada terbitan teks) terdapat kekacauan urutan dan
kehilangan pada naskah H dan K; hal itu disebabkan oleh
salah susun satu lempir pada naskah induknya.
5. Perbandingan isi dan struktur teks menyatakan, bahwa (a)
teks naskah A menekankan pengetahuan (esoteris),
sedangkan teks naskah H dan K menekankan perbuatan
(ritual); (b) teks naskah A mewakili bentuk yang lebih
asli, sedangkan teks naskah H dan K mengalami
perubahan-perubahan yang penting.
Dengan kesimpulan-kesimpulan itu W. van der Molen
meletakkan dasar untuk penelitian lebih lanjut, baik ke arah
penentuan tradisi maupun ke arah rekonstruksi teks yang dicita-
citakan.
Untuk tidak memperpanjang artikel ini akan diberikan
beberapa pokok pikiran untuk penelitian lebih lanjut.
1. Salah satu perbedaan teks yang penting terdapat pada
larik 294: “saṅ mātiwatiwa (naskah A) dan “sṣaṅ mati”
(naskah H)/ “sṣa mati” (naskah K). Ada kemungkinan
teks naskah A berhubungan dengan upacara orang mati
(OJED, II: 2026, tiwa; Tengger: Ĕntas-ĕntas). Dalam
konteks itu diberikan ajaran tentang dunia orang mati,
hukum karma, penjelmaan kembali, proses kelahiran,
serta hakekat pengetahuan akan dharma, samādhi dan
tapa sebagai penghilang kecemaran dan jalan kelepasan.
Teks naskah H dan K memperluas ajaran itu dan lebih
terarah pada praktek dengan mengambil alih teks upacara
(mis. larik 3085-3137), yang bersifat pembayatan
(inisiasi) atau ruwat. Pengambilalihan teks itu sesuai
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 194
dengan ajaran yang juga termuat dalam naskah A (mis.
larik 1973-1975).
2. Perbandingan struktur teks ketiga naskah itu
memperlihatkan, bahwa perubahan atau tambahan pada
teks naskah H dan K bersifat membuat keseimbangan:
a. antara unsur-unsur cerita
- lukisan tapa Kunjarakarna dan Purnawijaya pada
akhir cerita (3549-3559, A-H-K) diimbangi dengan
lukisan tapa Kunjarakarna pada awal cerita (39-46,
H-K).
- lukisan pintu Ayahbumipantana (321-340, A-H-K)
diimbangi dengan lukisan pintu yang dijaga oleh
Dorakala (222-230, H-K).
b. antara yang terjadi pada diri Kunjarakarna dan yang
terjadi pada diri Purnawijaya
- ajaran tentang “atma” dari Wairocana kepada
Kunjarakarna (805-810, 828-835, A-H-K)
diimbangi dengan ajaran serupa dari Wairocana
kepada Purnawijaya (2305-2310, 2312-2317, H-K).
- ajaran tentang “pañcabuta” dari Wairocana kepada
Purnawijaya (2237-2260, A-H-K) diimbangi
dengan ajaran serupa dari Yama kepada
Kunjarakarna (844-866, H-K).
- pembersihan dengan “tirta pañjitah mala” pada diri
Kunjarakarna (2038-2044, A-H-K) diimbangi
dengan pembersihan serupa pada diri Purnawijaya
(3048-3071, H-K). Bdk. juga 3080-3138, H-K
dengan 2048-2060, H-K).
c. antara ajaran dan praktek
- ajaran tentang “atma” dari Wairocana kepada
Purnawijaya (2312-2317, H-K) diimbangi dengan
lukisan praktek Purnawijaya (2905-2917, H-K).
195 Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
- ajaran tentang “samadhi” dari Wairocana kepada
Purnawijaya (2436-2454, H-K) diimbangi dengan
lukisan praktek Purnawijaya (dua tahap: 2491-2494,
2550-2555, H-K).
Perbedaan teks ajaran dengan lukisan praktek
mungkin menunjukkan tahap penyusunan yang
berbeda.
Masih banyak hal serupa bisa ditemukan. Analisis semacam ini
dapat membantu untuk mengenali lapisan-lapisan teks dan tahap-
tahap penyusunannya.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 196
Ketentuan Penulisan untuk Jumantara:
1. Jenis tulisan berupa artikel hasil penelitian atau setara hasil
penelitian mengenai naskah serta tinjauan buku.
2. Panjang tulisan berkisar antara 20.000 – 40.000 karakter (15-
20 halaman termasuk bibliografi, ketik spasi rangkap di atas
kertas A4).
3. Artikel ditulis menggunakan bahasa Indonesia disertai
abstrak dan kata kunci dalam bahasa Indonesia.
4. Penulis menyertakan identitas lengkap meliputi jenjang
pendidikan terakhir, kedudukan tetap, karya tulis yang
dianggap penting, alamat surat elektronik pribadi, dan alamat
lengkap yang mudah dihubungi.
5. Tulisan dikirim melalui surat elektronik dengan alamat
[email protected] atau melalui pos ke Redaksi
Jumantara, Gedung Pusat Jasa Lt. VB Perpusnas RI, Jl.
Salemba Raya No. 28 A Jakarta 10002.
6. Naskah yang masuk akan diseleksi oleh Dewan Redaksi
bersama Mitra Bestari dan apabila perlu akan dilakukan
penyempurnaan tanpa mengubah substansi naskah.
7. Tulisan yang dimuat akan diberikan imbalan/honor sesuai
peraturan yang berlaku.