Upload
khangminh22
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
iii
KARYA AKHIR
ANALISIS KADAR ENDOTHELIN-1 PADA PASIEN DIABETES
MELITUS TERKONTROL DAN TIDAK TERKONTROL
(ANALYSIS OF ENDOTHELIN – 1 IN CONTROLLED AND
UNCONTROLLED DIABETIC PATIENTS)
NUR AZNI M LAMADJIDO
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (SP.1)
PROGRAM STUDI ILMU PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2 0 1 7
iv
ANALISIS KADAR ENDOTHELIN-1 PADA PASIEN DIABETES
MELITUS TERKONTROL DAN TIDAK TERKONTROL
Karya Akhir
Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Spesialis-1 (Sp.1)
Program Studi
Ilmu Patologi Klinik
Disusun dan Diajukan Oleh
NUR AZNI M LAMADJIDO
Kepada
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (SP.1)
PROGRAM STUDI ILMU PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2 0 1 7
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA AKHIR
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Nur Azni M Lamadjido
Nomor pokok : C 108213106
Program studi : Ilmu Patologi Klinik
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini, benar - benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau
pemikiran orang lain. apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa
sebagian atau kesuluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya besedia menerima
sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, Agustus 2017
Yang menyatakan,
Nur Azni M. Lamadjido
iii
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT
yang Maha Kuasa, Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Penyayang atas
limpahan kasih dan anugrahNya sehingga penulis dapat mennyelesaikan
tesis yang berjudul “ANALISIS KADAR ENDOTHELIN-1 PADA PASIEN
DIABETES MELITUS TERKONTROL DAN TIDAK TERKONTROL” sebagai
salah satu persyaratan dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi
Klinik.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masi jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran
dan koreksi dari semua pihak. Penulis juga menyadari bahwa tesis ini dapat
diselesaikan berkat bantuan dan partisipasi berbagai pihak. Dalam
kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang tulus kepada Prof.
dr. Mansyur Arif, Sp.PK(K),PhD, selaku Ketua Komisi/Pembimbing utama
diiian dr. Fitriani Mangarengi Sp.PK(K) selaku Anggota Penasihat/Sekretaris
Pembimbing, dr Arifin Sewweng MPH sebagai Anggota Komisi
Penasihat/Pembimbing metode penelitian dan Statistik, Dr.dr. A. Makbul
Sp.PD. KEMD sebagai Anggota Tim Penilai dan dr. Darwati Muhadi
Sp.PK(K) sebagai Anggota Tim Penilai, yang telah memberi kesediaan
waktu, saran dan bimbingan sejak masa penelitian, penyusunan hingga
seminar hasil penelitian ini.
Pada kesempatan ini pula penulis ingin menyampaikan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi – tingginya kepada :
iv
1. Guru sekaligus orang tua kami,dr. H. Ibrahim Abd Samad, Sp.PK(K)
dan dr. Adriani Badji Sp.PK yang selalu senantiasa mendukung
pendidikan penulis sejak awal mendidik membimbing dengan penuh
kesabaran dan ketulusan hati dan memberi nasehat kepada penulis.
2. Guru besar di Departemen Ilmu Patologi Klinik Prof. dr. Mansyur
Arif,Sp.PK(K),PhD guru kami yang telah membimbing, mengajar, dan
memberikan ilmu yang tidak ternilai dengan penuh ketulusan hati.
3. Ketua Departemen Ilmu Patologi Klinik FK-UNHAS dr. Uleng Bahrun
Sp.PK(K), PhD, guru kami yang bijaksana, senantiasa membimbing
dan memberikan arahan kepada penulis dalam berbagai kegiatan,
mengajar, memberi nasehat dan semangat serta mendorong penulis
supaya lebih maju.
4. Ketua Program Studi Departemen Ilmu Patologi Klinik FK-UNHAS
Dr.dr. Tenri Esa MSi, Sp.PK, guru kami yang penuh pengertian dan
senantiasa memberi bimbingan dan mengajar penulis.
5. Semua guru, Supervisor di Departemen Patologi Klinik FK-UNHAS
yang senantiasa memberikan bimbingan dan saran selama penulis
menjalani pendidikan sampai pada penyusunan karya akhir ini.
6. Pembimbing Metodologi dr. Arifin Sewweng MPH yang telah
membimbing penulis dalam bidang Metode Penelitian dan Statistik
selama penyusunan tesis ini
7. Dosen – Dosen Penguji : Dr. dr. A Makbul Sp.PD. KEMD dan dr
Darwati Muhadi Sp.PK(K) yang telah meluangkan waktu untuk
v
memberikan kami ilmu dan saran - sarannya dalam penyempurnaan
tesis ini.
8. Dr.dr. Nurahmi M.Kes,Sp.PK sebagai guru dan dosen di Departemen
Patologi klinik FK-UNHAS yang senantiasa memberikan nasehat dan
motivasi penulis
9. Direktur RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar atas kesempatan
yang diberikan kepada penulis untuk menjalani pendidikan di rumah
sakit ini.
10. Direktur RS Perguruan Tinggi negeri Universitas Hasanuddin
Makasar beserta staf yang telah memberikan izin dalam
pengumpulan sampel
11. Kepala Instalasi Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar, dr Asvin Nurulita, M.Kes, Sp.PK berserta
staf yang telah membantu selama masa pendidikan dan
penyelesaian tesis ini.
12. Kepala Instalasi Labratorium RSPTN UNHAS, Kepala Instalasi
Laboratorium RS. Labuang Baji, Kepala Instalasi Laboratorium RS
Stella Maris, Kepala Instalasi Laboratorium RS Ibnu Sina, direktur
UUD PMI, Kepada Unit Transfusi Darah Makassar, Kepala Balai
Besar Laboratorium Kesehatan Makassar, Kepala Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Direktur RSUD Morowali Utara beserta staff yag
menerima dan membantu penulis dalam menjalani masa pendidikan.
vi
13. Kepada Unit Penelitian Fakultas Kedokteran UNHAS beserta staf
yang telah memberi izin dan membantu dalam proses pemeriksaan
sampel untuk penelitian ini.
14. Bapak Gubernur Sulawesi Tengah Bapak Drs. Longki L. Djanggola
MSi beserta jajaran Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah yang
telah memberi kesempatan dan bantuan untuk melanjutkan
pendidikan dan mendukung penulis selama menjalani pendidikan.
15. Seluruh Pasien yag telah bersedia menjadi subyek penelitian ini,
penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar – besarnya.
16. Teman – teman sejawat PPDS Departemen Ilmu Patologi Klinik
khususnya dr. Hilma Yuniar Thamrin Sp.PK, dr wiwi Payung
M.Kes,Sp.PK, dr.Haerani Harun M.Kes,Sp.PK, teman seangkatan juli
2013 yaitu dr Sukmawaty, dr Vina Latuconsina, dr Evi Adranti, dr
Irmayanti, dr. Wandani Syarir Sp.PK, dr. Sheila Febriana Sp.PK,
berbagi suka dan duka selama masa pendidikan penulis, Yang telah
banyak memberikan bantuan, motivasi, dukungan dan semangat
selama masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini. Kebesamaan
dan persaudaraan merupakan hal yang tak pernah terlupakan dan
semoga tali silaturahmi ini tetap terjaga.
17. Staf Departemen Patologi Klinik Nurilawati. SKM atas bantuan dan
dukungan selama mengikuti proses pendidikan di Departemen Ilmu
Patologi Klinik.
vii
18. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis tulis satu persatu yang telah
memberikan dukungan yang sangat berarti kepada penulis.
Akhirnya Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi –
tingginya kepada kedua orang tua saya tercinta, Ayahanda H. Rully. A.
Lamadjido.SH dan Ibunda Tirtha Lamadjido. SH.MKn, serta kedua tante
saya dr. Reny Lamadjido. Sp.PK dan dr Azmarny lamadjido.Sp.A, atas
doa yang tulus, kasih sayang dan dukungan semangat selama ini.
Terima Kasih buat saudara - saudara saya tercinta Moh.Malatantra
Lamadjido SH, dr. Rilando Lamadjido yang telah memberikan bantuan
moril secara langsung dan tidak langsung serta seluruh keluarga besar
atas kasih sayang dan dukungan serta doa yang tulus sehingga penulis
dapat menyelesaikan setiap tahap proses pendidikan ini dengan baik.
Khususnya kepada yang tercinta Wiwin Trijoto.Sh dengan
penuh keharuan dan kecintaan penulis sampaikan terima kasih atas
segala pengorbanan, pengertian, dukungan, semangat dan doa yang
tulus selama ini telah mengiringi perjalanan panjang dalam mengikuti
pendidikan. Terima kasih atas kerelaan, keikhlasan dan kesabaran untuk
megizinkan penulis untuk melanjutkan pendidian Makassar sehingga
begitu banyak waktu kebersamaan terlewatkan.
Terima kasih pula untuk kedua ananda tersayang Radhyah
Putriani Rezky Lamadjido dan Muh Riziq Lamadjido, dengan penuh
keharuan dan kebanggaan penulis sampaikan terima kasih atas segala
pengorbanan, pengertian, dukungan, semangat dan doa tulus selama ini
viii
telah mengiringi perjalanan panjang penulis dalam mengikuti pendidikan.
Kalian bedua merupakan sumber inspirasi dan semangat bagiku.
Penulis berharap tesis ini dapat memberi sumbangan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang Ilmu Paologi Klinik
di masa yang akan datang. Semoga Allah SWT senantiasa menyertai
dan memberkati setiap langkah pengabdian kita Amin.
Makassar, Agustus 2017
Nur Azni M Lamadjido
ix
ABSTRAK
NUR AZNI. Disfungsi Endotel Pada Penderita Diabetes Melitus Terkontrol
dan Tidak Terkontrol Tipe 2; Kajian Terhadap Molekul Endothelin-1
(Dibimbing Oleh Mansyur Arif dan Fitriani Mangarengi)
Latar belakang : Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Angka morbiditas dan mortalitas
dari penderita DM semakin hari semakin meningkat karena penyakit ini
bersifat kronis yang ditandai oleh gangguan metabolisme karbohidrat, lemak,
protein, dan diikuti oleh rentetan kerusakan dan disfungsi berbagai jaringan
dan organ.p
Tujuan penelitian : Menganalisis kadar ET-1 pada DM tipe 2 terkontrol dan
tidak terkontrol
Metode penelitian : Penelitian merupakan penelitian observasional dengan
cross sectional study. Pengambilan sampel dilakukan di Poliklinik Penyakit
Dalam Subdivisi Endokrin Metabolik dan Ruang Perawatan Penyakit Dalam
RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan Laboratorium 123.
Hasil penelitian : Selama periode penelitian diperoleh total 82 sampel yang
memenuhi kriteria penelitian. Sampel penelitian terdiri dari 37(45.1 %) laki-
laki dan 45(54.9 %) perempuan dengan umur minimum 24 tahun dan
maksimum 82 tahun (rerata 58.0 ± 11.4 tahun). Kadar HbA1C minimum
adalah 4.8 % dan kadar maksimum 15.6 % (rerata 7.7 ± 2.4 %). Kadar
minimum pada ET-1 adalah 13.5 ng/dl dan kadar maksimum 537.4 ng/dl
(rerata 169.7 ± 111.0 ng/dl). Uji statistik menggunakan Mann-Whitney U Test
didapatkan nilai p=0.000. Uji Korelasi Spearman didapatkan nilai p<0.0001.
Kesimpulan : Terdapat adanya hubungan antara kadar ET-1 dengan DM
tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol. Semakin tinggi kadar HbA1C semakin
tinggi pula kadar ET-1.
Kata kunci: Diabetes Melitus, Disfungsi Endotel, HbA1c, Endothelin-1
x
ABSTRACT
NURAZNI. Endothelial Dysfunction in Patients with Controlled and
Uncontrolled Type 2 Diabetes Mellitus; Study of Endothelin-1 Molecules
(Supervised By Mansyur Arif and Fitriani Mangarengi)
Background: To analyze ET-1 levels in controlled and uncontrolled type 2
diabetes: Diabetes Mellitus (DM) is a disease that is still a public health
problem. The morbidity and mortality rates of DM patients were increasing
because this disease is a chronic condition characterized by carbohydrate,
fat, protein metabolism disorders and followed by a series of damage and
dysfunction of various tissues and organs.
Objective: To analyze ET-1 levels in controlled and uncontrolled type 2
diabetes patients
Results: During the study period, a total of 82 samples were obtained which
met the study criteria. The study sample consisted of 37 (45.1%) male and
45 (54.9%) women with minimum age 24 years and maximum 82 years
(mean 58.0 ± 11.4 years). The minimum HbA1C level was 4.8% and the
maximum level was 15.6% (mean 7.7 ± 2.4%). The minimum ET-1 level was
13.5 ng / dl and the maximum level was 537.4 ng / dl (mean 169.7 ± 111.0 ng
/ dl). Statistical test using Mann-Whitney U Test obtained p value = 0.000.
Spearman correlation test obtained p value <0.0001.
Conclusion: There is a correlation between ET-1 levels and controlled and
uncontrolled type 2 diabetes. The higher the HbA1C level the higher the ET-1
level.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.……………………………………………………………... i
HALAMAN PENGESAHAN.……………………………………………………. ii
DAFTAR TIM PENGUJI………………………………………………………… iii
ABSTRAK………………………………………………………………………… v
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI.……………………………………………………………………… xii
DAFTAR TABEL......................................................................................... xv
DAFTAR SKEMA…………………………………………………………… xvi
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………. xvii
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………… xviii
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………….. 1
I.1. Latar Belakang Penelitian....……………………………………….. 1
I.2. Rumusan Masalah…...…………………………………………...… 8
I.3. Tujuan Penelitian….………………………………………………… 8
I.3.1. Tujuan Umum...……………………………………………. 8
I.3.2. Tujuan Khusus...…………………………………………… 8
I.4. Manfaat Penelitian...…………………………...…………………… 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…..…………………………………………….. 10
II.1. Diabetes Mellitus Tipe 2 …………………………………………… 10
II.1.1. Definisi...………………………..………………………….. 10
II.1 2. Epidemiologi.…………………………………………….... 10
xii
II.1.3. Klassifikasi………....………………...…………..……...... 11
II.1.4. Etiologi…..………………………….……………….....….. 11
II.1.5. Patofisiologi..…..…………………….……………...…….. 12
II.1.6. Gejala Klinis……....…….….…….…………………..…… 19
II.1.7. Diagnosis…….......…….….…….…...…………....……… 19
II.1.8. Pengawasan / Pemantauan DM………………………… 20
II.2. Hemoglobin Glikat (HbA1C)………………….......………………... 22
II.2.1. Definisi........................................................................... 22
II.2.2. Pembentukan HbA1c..................................................... 23
II.2.3. Peranan HbA1c.............................................................. 23
II.2.4. Keunggulan dan Keterbatasan Pemeriksaan HbA1c..... 25
II.3. Endotel……………………………………………………...….......... 26
II.3.1. Peran Sel endotel dalam sistem keseimbangan tubuh.. 27
II.3.2. Zat-zat yang diproduks oleh sel endotel………………... 27
II.3.3. Disfungsi Endotel……………………………………..…… 29
II.3.4. Komplikasi Kerusakan Sel Endotel Pembuluh Darah
Yang Terjadi Pada DM………………………….……………….. 31
II.4. Endothelin-1…………............................................………………. 38
II.4.1. Definisi………..……………………………………………. 38
II.4.2. Fungsi……………………………………………………… 40
BAB III. KERANGKA PENELITIAN ………..………………………………… 44
III.1. Kerangka Teori……………………………………………………... 44
III.2. Kerangka Konsep..……………………………………………….. 45
xiii
BAB IV. METODE PENELITIAN……….……………………………………… 46
IV.1. Desain Penelitian…………………………………………………... 46
IV.2. Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………….. 46
IV.3. Populasi Penelitian………………………………………………… 47
IV.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel ..………………………….. 47
IV.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi……….…………………………….... 48
IV.6. Izin Subjek Penelitian……………………………………………… 48
IV.7. Cara Kerja……….…..…………………………………….....…….. 49
IV.8. Tes Endothelin-1 (ET-1) ELISA…………….…………………….. 49
IV.9. Alur Penelitian………...……..………………..……………………. 52
IV.10. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif……………………... 53
IV.11. Analisis Data………………………………………………………. 54
BAB V. HASIL PENELITIAN…………………………………………………… 55
V.1. Karateristik Sampel Penelitian…………………………………….. 55
V.2. Sebaran Karateristik Sampel Menurut Kelompok……………….. 59
V.3. Analisis Kadar ET-1………………………………………………… 63
BAB VI. PEMBAHASAN………………………………………………………... 65
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………... 69
VII.1. Ringkasan………………………………………………………….. 68
VII.2. Kesimpulan…...……………………………………………………. 69
VII.3. Saran………………………...……………………………………... 70
DAFTAR PUSTAKA .……………………………………………...……………. 71
LAMPIRAN .................................................................................................. 74
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel II.1. Sasaran Pengendalian DM (PARKENI, 2015)…………………….21
Tabel II.2. Konversi HbA1c Ke Dalam Kadar Glukosa Plasma Rata-Rata
(ADA, 2015)……………………………………………………………………….. 24
Tabel V.1. Karateristik Umum Sampel Penelitian…………………………….. 55
Tabel V.2. Sebaran Karateristik Umum Sampel Penelitian………………….. 57
Tabel V.3. Sebaran Karateristik Sampel Menurut Kelompok………………...59
Tabel V.4. Sebaran Karateristik Sampel Menurut Umur……………………...60
Tabel V.5. Sebaran Karateristik Sampel Menurut Jenis Terapi……………...62
Tabel V.6. Perbandingan Rerata Kadar Endothelin-1 (ET-1)……………….. 63
xv
DAFTAR SKEMA
Kerangka Teori…………………………………………………………………… 44
Kerangka Konsep………………………………………………………………… 45
Alur Penelitian…………………………………………………………………….. 52
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam
patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the
Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of
Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009;
58:773795)(PERKENI,2015)……………………………………………………. 16
Gambar II.2. Struktur endothelin dan safarotoksin S6b (Elly H, 2002)…….. 39
Gambar V.1. Uji Korelasi Kadar ET-1 dan HbA1c……………………………. 64
xvii
DAFTAR SINGKATAN
ADA : American Diabetes Association
AGEs : Advanced Glycosilation End Products
bFGF : Basic fibroblast grotwh factor
DM : Diabetes Mellitus
EDRF : Endothelium Derived Relaxing Factor
ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay
ET : Endothelin
FFA : Free Fatty Acid
GDM : Gestational Diabetes Mellitus
GIP : Glucose Dependent Insulinotrophic Polypeptide / Gastric
Inhibitory Polypeptide
GLP : Glucagon Like Polypeptide
HbA1c : Hemoglobin Glikatq
HGP : Hepatic Glucose Production
HPLC : High Performance Liquid Chromatography
ICAM : Intercellular Adhesion Molecule
IFCC : International Federation of Clinical Chemistry
IGF : Insulin Like Growth Factor
IMT : Indeks Massa Tubuh
KV : Kardiovaskular
LAM : Leukocyte Adhesion Molecule
MODY : Maturity-Onset Diabetes of the Young
xviii
NGSP : National Glycohemoglobin Standardization Program
PKC : Protein Kinase C
PP : Post prandial
TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral
UKDS : United Kingdom Prospective Diabetes Study
VCAM : Vascular Cell Adhesion Molecule
WHO : World Health Organization
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) masih menjadi masalah kesehatan di
masyarakat. Angka morbiditas dan mortalitas dari penderita DM semakin hari
semakin meningkat (Gustaviani R, 2007, Purnamasari D, 2014). Tahun 2011
Jumlah penyandang DM di dunia mencapai 336 juta jiwa dan diprediksi akan
terus bertambah menjadi 350 juta jiwa pada tahun 2020. Di Singapura,
frekuensi DM meningkat cepat dalam 10 tahun terakhir. Di Amerika Serikat,
penderita DM meningkat dari 6.536.163 jiwa di tahun 1990 menjadi
20.676.427 jiwa di tahun 2010. DM termasuk penyakit terbanyak di Asia,
tahun 2006 diperkirakan 89 juta penduduk Asia menderita DM. Prevalensi
DM di Asia Tenggara sebanyak 46 juta jiwa dan diperkirakan meningkat
menjadi 119 juta jiwa. Berdasarkan pola pertambahan penduduk saat ini
diperkirakan jumlah penyandang DM tahun 2010 sebanyak 306 juta jiwa, di
negara-negara ASEAN 19,4 juta jiwa pada tahun 2010.
Data World Health Organization (WHO), jumlah penyandang DM di
Indonesia merupakan yang terbanyak setelah India, China, dan Amerika
Serikat. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia
dari 8,4 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta jiwa pada tahun
2030. International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi
kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta jiwa pada tahun 2009 menjadi
2
12,0 juta jiwa pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka
prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah
penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030.
Penelitian epidemiologi, prevalensi DM di Makassar meningkat dari
1,5% pada tahun 1981 menjadi 3,5% pada tahun 1998 dan meningkat lagi
menjadi 12,5% pada tahun 2005 (Suyono S, 2014).
DM adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya (PERKENI, 2015). DM digolongkan atas DM tergantung insulin
(DM tipe 1) dan DM tidak tergantung insulin (DM tipe 2). Menurut ADA 2016
DM tipe 2 adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat
penurunan sekresi insulin yang progresif dengan latar belakang resistensi
insulin.
DM tipe 2 yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
berbagai komplikasi yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi
kronis DM tipe 2 dapat berupa komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular
yang dapat menurunkan kualitas hidup penderita. Penyebab utama kematian
penyandang DM tipe 2 adalah komplikasi makrovaskular. Komplikasi
makrovaskular melibatkan pembuluh darah besar yaitu pembuluh darah
koroner, pembuluh darah otak dan pembuluh darah perifer. Mikrovaskular
merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina
3
(retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf
perifer (neuropati diabetik).
Sel endotel merupakan selapis sel yang melapisi bagian dalam lumen
dari seluruh pembuluh darah dan berperan sebagai penghubung antara
sirkulasi darah (sel-sel darah, cairan plasma darah dan sel-sel otot polos
pembuluh darah). Sel endotel berinteraksi langsung dengan sel-sel otot
polos pembuluh darah dan sel-sel darah serta komponen cairan plasma
darah. Disamping berperan sebagai sawar fisik antara darah dan jaringan,
sel endotel memfasilitasi berbagai fungsi yang kompleks dari sel otot polos
pembuluh darah dan sel-sel didalam kompartemen darah (Shahab, Alwi.
2009).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel endotel memegang
peranan penting dalam sistem keseimbangan tubuh yang terjadi melalui
integrasi kerja berbagai zat mediator kimiawi yang dikeluarkan oleh sel
endotel. Sistem ini mempunyai efek baik terhadap sel-sel otot polos
pembuluh darah maupun sel-sel darah sehingga dapat menimbulkan
berbagai perubahan antara lain: pelebaran atau penyempitan pembuluh
darah untuk mengatur kebutuhan suplai darah bagi seluruh organ tubuh
manusia, pertumbuhan dari sel-sel otot polos pembuluh darah, proses
radang dan anti radang, serta mempertahankan kekentalan darah dan
mencegah perdarahan (Shahab, Alwi. 2003).
Fungsi endotel sangat banyak dan melibatkan berbagai sistem dalam
tubuh, maka perubahan fungsinya akan memberikan dampak secara
4
keseluruhan pada tubuh. Secara mendasar gangguan fungsi sel endotel
merupakan keadaan dimana terjadinya peningkatan atau penurunan dari
setiap zat yang diproduksi oleh sel endotel atau perubahan dari setiap fungsi
masing-masing zat tersebut (Shahab, Alwi. 2003). Terjadinya gangguan
fungsi endotel pada DM merupakan dasar terjadinya komplikasi menahun
dari penyakit ini. Bila penyakit diabetes melitus ini berlangsung lama dan
kadar gula darah tidak terkontrol dengan baik, maka akan menimbulkan
berbagai komplikasi terutama pada mata, ginjal, syaraf, serta terjadinya
gangguan pada jantung (Jansson P. 2007).
Endotel berfungsi sebagai barier yang membatasi kontak langsung
antara sel darah vaskuler. Endotel mempunyai peranan terhadap regulasi
tonusvaskuler. Moncada dkk. menemukan prostasiklin sebagai vasodilator
poten yang dihasilkan oleh sel endotel, dan Furchgott dan Zawadski
menemukan vasodilator non prostanoid yang juga dihasilkan oleh sel endotel
yang dikenal sebagai endothelium derived relaxing factor (EDRF) yaitu nitrat
oksida. Dengan demikian memang telah lama diselidiki kemungkinan endotel
menghasilkan zat yang dapat menimbulkan vasokonstriksi, dan Yanagisawa
dkk. menemukan endotelin.
Endothelin (ET) merupakan peptida yang diperkenalkan oleh
Yanagisawa et al, yang merupakan efek endothelin pada kontraksi arteri
koroner dan lebih kuat efeknya dibandingkan angiotensin II dalam kontraksi
pembuluh darah. Terdapat tiga isoform berbeda dari ET yaitu ET-1, ET-2,
ET-3, semuanya dibentuk dari 21 asam amino. ET-1 merupakan isoform aktif
5
yang utama yang diekspresikan di pembuluh darah. ET diproduksi oleh
banyak organ termasuk sel endotel, sel otot polos pembuluh darah arteri dan
vena, fibriblast, miosit pada jantung dan beberapa sel pada ginjal, paru-paru,
usus, otak, jaringan endokrin perifer, dan plasenta. Berbeda dengan ET-2
dan ET-3, ET-1 juga diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah dengan
jumlah yang sangat banyak, dan ET-1 juga diproduksi oleh sel-sel kanker,
pancreas, dan sel mast (Singh et al, 2011).
Komplikasi pada DM seperti retinopati, nefropati, neuropati disebabkan
oleh adanya gangguan pada fungsi mikrovaskular, perubahan dan fungsi
pada mikrosirkulasi. Terdapat ketidakseimbangan antara substansi endotel
yang memicu vasodilatasi dan vasokontriksi pada pasien diabetes melitus.
ET-1 merupakan vasokonstriktor kuat dan jumlahnya meningkat pada kondisi
mikroangiopati pada DM tipe 2. Disfungsi endotel pembuluh darah
tampaknya mendahului terjadinya resistensi insulin (Singh et al, 2011).
ET-1 juga memiliki efek inotropik, kemotaktik, dan mitogenik. Endothelin
juga memiliki pengaruh dalam hemostasis garam dan air melalui
pengaruhnya pada sistem renin-angiotensin-aldosteron, vasopressin, atrial
natriuretic peptide dan mamicu sistem saraf simpatis. Sacara umum efek dari
endothelin adalah meningkatkan tekanan darah dan tonus pembuluh darah.
Dengan demikian antagonis ET dapat berperan dalam pengobatan
gangguan jantung, pembuluh darah, dan ginjal yang berhubungan dengan
vasokonstriksi regional maupun sistemik, dan proliferasi sel seperti hipertensi
6
esensial, hipertensi pulmonal, gagal jantung kronik, dan gagal ginjal kronik
(Agapitov & Haynes, 2002).
ET-1 adalah suatu peptida asam amino yang dihasilkan langsung oleh
sel endotel, dan merupakan vasokonstriktor VSMC lokal yang paling penting
di samping bersifat mitogen pada sel otot polos. Penelitian yang dilakukan
McEniery et al. menunjukkan bahwa produksi ET-1 endogen secara
langsung meregulasi PWV arteri besar dan menyimpulkan bahwa kondisi
yang menyebabkan upregulasi ET-1 akan menyebabkan peningkatan
kekakuan arteri (Sjostrom et al, 2001).
Obesitas telah dihubungkan dengan meningkatnya aktivitas ET-1.
Penelitian oleh Cardillo et al, menunjukkan bahwa pada pasien hipertensi,
peningkatan indeks massa tubuh (IMT) dihubungkan dengan peningkatan
aktivitas ET-1. Mather et al, melaporkan hal yang sama pada pasien DM tipe
2. Disamping itu, leptin yang sering ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada
obesitas merupakan zat yang dapat menginduksi ET-1.37 Pada penelitian
mengenai hipertrofi kardiomiosit, leptin yang merupakan produk gen ob yang
diproduksi oleh sel adiposa, berpengaruh terhadap sel kardiomiosit melalui
ROS dan ET-1 (Wilkinson et al. 2004).
DM jika tidak dikelolah dengan baik akan mengakibatkan terjadinya
berbagai penyulit menahun berupa komplikasi makro ataupun mikrovaskuler
seperti penyakit serebrovaskular, penyakit jantung koroner, penyakit
pembuluh darah tungkai, gangguan pada mata (retinopati), gangguan pada
ginjal (nefropati) dan gangguan pada saraf (neuropati). Penyandang DM
7
mempunyai risiko 2 kali lebih besar untuk mengalami penyakit jantung
koroner dan penyakit pembuluh darah otak, 5 kali lebih mudah menderita
ulkus atau gangren, 7 kali lebih mudah mengidap gagal ginjal terminal, dan
25 kali lebih mudah mengalami kebutaan akibat kerusakan retina daripada
pasien non diabetes. Usaha untuk menyembuhkan kembali menjadi normal
sangat sulit jika sudah terjadi penyulit, karena kerusakan yang terjadi
umumnya akan menetap. Usaha pencegahan diperlukan lebih dini untuk
mengatasi penyulit tersebut dan diharapkan akan sangat bermanfaat untuk
menghindari terjadinya berbagai hal yang tidak menguntungkan
(RISKESDAS, 2013).
Salah satu upaya untuk mengatasi berbagai dampak negatif akibat
terjadinya disfungsi endotel pada penderita diabetes mellitus tipe 2 adalah
dengan mengetahui beberapa penanda terjadinya disfungsi endotel tersebut
seperti ET-1. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian tentang
disfungsi endotel pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan kajian
terhadap Endothelin-1.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
8
1. Bagaimana kadar ET-1 pada penderita DM Tipe 2 terkontrol?
2. Bagaimana kadar ET-1 pada penderita DM Tipe 2 tidak terkontrol?
3. Bagaimana hubungan antara kadar ET-1 terhadap kontrol gula darah?
I.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Manganalisis kadar ET-1 pada DM tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kadar ET-1 pada penderita DM tipe 2 terkontrol.
b. Mengetahui kadar ET-1 pada penderita DM tipe 2 tidak terkontrol.
c. Mengetahui hubungan antara kadar ET-1 terhadap kontrol gula darah.
I.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Keilmuan
1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
tentang gambaran dan hubungan antara ET-1 sebagai faktor yang
berperan dalam kontrol gula darah.
2. Menjadi acuan untuk menganalisa lebih lanjut tentang faktor-faktor lain
yang berperan terhadap kejadian komplikasi DM tipe 2 dan sebagai
dasar peneliti untuk mengkaji lebih banyak hal yang terkait dengan
hasil penelitian yang didapatkan.
1.4.2. Manfaat aplikasi
9
1. Menjadi bahan pertimbangan dalam penatalaksanaan DM tipe 2
dengan mempertimbangkan peran ET-1.
2. Menjadi bahan pertimbangan dalam memprediksi kejadian komplikasi
kronik DM tipe 2 melalui kajian ET-1.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Diabetes MelitusTipe 2
II.1.1. Definisi
10
Menurut American Diabetes Association (ADA), diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia, 2015; ADA, 2015).
II.1.2. Epidemiologi
Prevalensi DM pada populasi dewasa (usia 30-79 tahun) di seluruh
dunia mencapai 6,4% pada tahun 2010, diderita oleh 287 juta orang dewasa
dan diperkirakan akan mengalami peningkatan hingga 7,7% dan diderita oleh
439 juta orang dewasa pada tahun 2030. Prevalensi DM di Indonesia pada
tahun 2010 diperkirakan 4,6% dengan jumlah penderita sebanyak 6,6 juta
pasien (Shaw, 2010).
Prevalensi DM di Makassar tahun 2005 adalah sebesar 12,5% dari
sebelumnya 1,5% pada tahun 1981 dan 3,5% pada tahun 1998. Diabetes
melitus tipe 2 adalah kelompok yang terbanyak ditemukan yakni berkisar 90-
95% dari semua jenis diabetes. Diketahui bahwa kejadian DM yang belum
terdiagnosis masih cukup tinggi, hampir 3 kali lipat dari jumlah kasus DM
yang sudah terdeteksi (Suryono S, 2014). Prevalensi nasional DM pada
populasi perkotaan adalah 5,7% dan prevalensi di provinsi Sulawesi Selatan
tahun 2007 adalah 4,7% (Depkes, 2008).
II.1.3. Klasifikasi
Berdasarkan ADA tahun 2016, Diabetes dapat diklasifikasikan ke dalam
kategori umum berikut:
11
1. Diabetes tipe 1 (disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas, biasanya
menyebabkan defisiensi insulin absolut).
2. Diabetes tipe 2 (disebabkan oleh defek dari sekresi insulin yang progressif
dengan latar belakang resistensi insulin).
3. Gestational Diabetes Mellitus (GDM) (diabetes yang didiagnosis pada
trimester kedua atau ketiga kehamilan yang tidak mempunyai riwayat
diabetes yang jelas).
4. Diabetes tipe khusus karena disebabkan oleh penyebab lain, misalnya,
monogenic diabetes syndromes (sindrom diabetes monogenik) (seperti:
diabetes neonatal dan Maturity-Onset Diabetes of the Young (MODY)),
penyakit pankreas eksokrin (seperti cystic fibrosis), akibat penggunaan
obat –obatan atau bahan kimia (seperti dengan penggunaan
glukokortikoid, dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi
organ) (ADA, 2016).
II.1.4. Etiologi
Perlangsungan penyakit DM tipe 2 berkaitan dengan berbagai macam
faktor risiko penurunan sekresi insulin dan sensitivitas insulin, yaitu
kombinasi antara faktor genetik dan faktor lingkungan (Kohei K, 2010).
a. Faktor genetik
Penyakit DM tipe 2 berhubungan dengan riwayat keluarga. Terdapat
abnormalitas genetik dari molekul yang berperan pada metabolisme
glukosa misalnya polimorfisme reseptor insulin. Sejauh ini, kelainan
12
genetik yang sudah diteliti telah mampu menjelaskan sekitar 30% faktor
genetik penyebab DM (Kohei K, 2010).
b. Faktor lingkungan
Proses penuaan, obesitas, kurangnya penggunaan energi, konsumsi
alkohol dan merokok merupakan faktor risiko independen DM. Obesitas
(terutama obesitas sentral), akibat minim aktivitas, biasanya disertai
dengan penurunan massa otot, menginduksi resistensi insulin. Perubahan
pola makan seperti meningkatnya konsumsi lemak, menurunnya konsumsi
serat, meningkatnya konsumsi gula sederhana menyebabkan obesitas
dan gangguan toleransi glukosa (Kohei K, 2010).
II.1.5. Patofisiologi
Sel-sel endokrin pada organ pankreas terletak di pulau langerhans,
terdiri atas dua macam sel yaitu sel α dan β. Sel α mensekresikan glukagon
dan sel β mensekresikan insulin. Glukagon disekresikan sebagai respon
terhadap penurunan kadar glukosa plasma, berperan penting dalam
glukoneogenesis di hepar. Sedangkan insulin disekresikan sebagai respon
terhadap peningkatan kadar glukosa plasma, berperan dalam stimulasi
ambilan glukosa di jaringan perifer dan glikogenesis di hepar. Bila setelah
makan terjadi peningkatan kadar glukosa darah maka sel β mensekresikan
insulin ke sirkulasi untuk menurunkan kadar glukosa darah, tetapi sebaliknya
bilakadar glukosa darah menurun maka sel α akan mensekresikan glukagon
untuk meningkatkan glukosa darah (Spellman, 2010).
13
Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang dihubungkan oleh
jembatan disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B 30 asam
amino (Power AC, 2005). Setiap hari sekitar 40-50 unit insulin disekresi
kedalam sirkulasi portal. Sekitar separuh dari jumlah tersebut merupakan
insulin basal, sisanya merupakan respon rangsangan peningkatan glukosa
makanan di dalam darah (Suryohudo P, 2007).
Dalam patogenesis hiperglikemia DM tipe 2, ada kaitan antara
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Awalnya terjadi resistensi
insulin lalu diikuti dengan gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin yang
dimaksud adalah konsentrasi insulin dibutuhkan dalam konsentrasi yang
lebih tinggi daripada normal untuk mempertahankan keadaan normoglikemia.
Pada keadaan toleransi glukosa terganggu, hiperglikemia terjadi karena
resistensi jaringan terhadap kerja insulin lalu diikuti dengan hipersekresi
insulin (hiperinsulinemia) sebagai bentuk kompensasi dalam
mempertahankan kadar glukosa normal. Bila hal ini terus berlanjut, maka
jumlah insulin semakin tidak mencukupi meskipun sekresi insulin telah
dipicu, maka penyakit DM tipe 2 akan menjadi nyata (Paramarz IB, 2012).
Perkembangan dari keadaan normal menjadi toleransi glukosa
terganggu, kadar glukosa post prandial pertama kali meningkat. Glukosa
puasa yang tinggi terjadi apabila terdapat kegagalan supresi
glukoneogenesis hati (Khardori, 2012).
Resistensi insulin akan menghambat pemakaian glukosa pada jaringan
yang sensitif terhadap kerja insulin dan akan meningkatkan output glukosa
14
hati, kedua hal tersebut mengakibatkan keadaan hiperglikemia. Peningkatan
output glukosa hati menyebabkan peningkatan kadar glukosa puasa,
sedangkan penurunan penggunaan glukosa perifer menyebabkan
hiperglikemia post prandial (Power AC, 2010).
Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada organ hati menggambarkan
ketidakmampuan hiperinsulinemia dalam menekan glukoneogenesis yang
menyebabkan hiperglikemia dalam keadaan puasa dan penurunan cadangan
glikogen oleh hati dalam keadaan post prandial. Peningkatan glukosa hati
muncul pada awal diabetes, setelah permulaan abnormalitas sekresi insulin
dan resistensi insulin pada otot skelet (Power AC, 2010).
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2
Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih
berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta,
organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya
ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa
pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa
ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini
memberikan konsep tentang:
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis,
bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
15
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat
pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot,
liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis
penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang
disebutnya sebagai the ominous octet (gambar-1).
Gambar II.1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam
patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the
Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of
Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795)(PERKENI, 2015)
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal
(omnious octet) berikut :(PERKENI, 2015)
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2
16
ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik
yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1
agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat
dan memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam
keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production)
meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang
menekan proses glukoneogenesis.
3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin
yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot,
penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari
insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam
lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA
akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan
resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like
17
polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa
menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah
kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai
peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang
kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa
darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
ensim alfa-glukosidase adalah akarbose.
6. Sel-α Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan
dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi
dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di
dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu
yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4
inhibitor dan amylin.
7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa
sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap
18
kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co- Transporter)
pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan
di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada
penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan
lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor.
Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru
meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.
Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan
bromokriptin.
II.1.6. Gejala Klinis
Gejala klinis DM dapat berlangsung asimptomatik atau dengan gejala
khas yaitu sering berkemih (poliuria), rasa haus (polidipsi), rasa lapar
(polifagi), disertai berat badan menurun tanpa sebab yang jelas. Gejala lain
yang dapat timbul adalah lemah badan, kesemutan, rasa gatal di seluruh
badan (pruritus), mata kabur, disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulva
pada wanita (Masharani, 2015; PERKENI, 2015)
19
II.1.7. Diagnosis
Berdasarkan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di
Indonesia (ADA, 2015; ADA, 2016), diagnosis DM Tipe 2 ditegakkan melalui:
a. Pemeriksaan glukosa plasma puasa > 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau
b. Pemeriksaan glukosa plasma > 200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban 75 gr, atau
c. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl dengan keluhan
klasik,atau
d. Pemeriksaan HbA1C ≥ 6,5%, dengan menggunakan metode High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh
National Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP).
II.1.8. Pengawasan / Pemantauan DM
Penatalaksanaan glikemia pada pasien diabetes bertujuan mencegah
hiperglikemik sementara, disisi yang berbeda perlu menghindari terjadinya
episode hipoglikemik berat. Keadaan kronik diabetes suatu risiko terjadinya
komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular (makro/mikroangiopati) dan
sejalan dengan kadar dan lamanya hiperglikemik (Faramarz IB, 2012).
Usaha mencegah komplikasi kronik perlu pengawasan diabetes yang
baik sebagai sasaran terapi. Terapi dan pengawasan diabetes seharusnya
meliputi kondisi metabolik kompleks dan penekanan terhadap kontrol
glikemik. Terdapat pendekatan multifaktorial dalam manajemen diabetes
terhadap risiko perkembangan komplikasi. Pasien diabetes dikatakan
20
terkontrol baik bila kadar glukosa darah, HbA1c dan lipid mencapai kadar
yang diharapkan, demikian pula status gizi serta tekanan darah (Konsensus,
2006).
Kriteria pengendalian didasarkan pada hasil pemeriksaan kadar
glukosa, kadar HbA1C, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik
adalah apabila kadar glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar
yang diharapkan, serta status gizi maupun tekanan darah sesuai target yang
ditentukan. Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel II.1.Sasaran Pengendalian DM (PERKENI,2015)
Parameter Sasaran
IMT (kg/m2
) 18,5 - < 23*
Tekanan darah sistolik (mmHg) < 140 (B)
Tekanan darah diastolik (mmHg) <90 (B)
Glukosa darah preprandial kapiler (mg/dl) 80-130**
Glukosa darah 1-2 jam PP kapiler (mg/dl) <180**
HbA1c (%) < 7 (atau individual) (B)
Kolesterol LDL (mg/dl) <100 (<70 bila risiko KV sangat tinggi) (B)
Kolesterol HDL (mg/dl) Laki-laki: >40; Perempuan: >50 (C)
Trigliserida (mg/dl) <150 (C)
Keterangan : KV = Kardiovaskular, PP = Post prandial *The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and Its Treatment, 2000 ** Standards of Medical Care in Diabetes, ADA 2015 (PERKENI, 2015)
21
II.2. Hemoglobin Glikat (HbA1c)
II.2.1. Definisi
Hemoglobin glikat (HbA1c) adalah bentuk ikatan molekul glukosa
dengan asam amino valin pada ujung rantai beta hemoglobin. American
Diabetes Association merekomendasikan pemeriksaan HbA1c sebagai
kontrol glikemik jangka panjang pasien DM. Keadaan hiperglikemia yang
berlangsung lama pada penderita DM menyebabkan terbentuknya proses
glikasi non enzimatik protein termasuk hemoglobin (HbA1c). Hemoglobin
glikat menggambarkan rerata kadar glukosa darah dalam 2-3 bulan
sebelumnya. Diketahui bahwa terdapat korelasi antara kadar gula darah
dengan kadar HbA1c. Hasil pemeriksaan glukosa darah dan HbA1c
digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengobati pasien DM. Selain
itu, ADA juga sudah merekomendasikan HbA1c sebagai alat diagnosis pada
seseorang yang berisiko tinggi terkena DM (ADA, 2015; DCCT,1993).
Selain sebagai alat diagnosis, skrining dan penentuan kontrol status
glikemik, HbA1c digunakan juga sebagai prediktor perkembangan komplikasi
DM. Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya korelasi HbA1c dengan
komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Penelitian oleh United
Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) dan DCCT menunjukkan
bahwa penurunan kadar HbA1c dapat menurunkan risiko nefropati sebesar
22
25-44%, penurunan risiko retinopati sebesar 35% dan penurunan risiko
neuropati sebesar 30% (Powers AC, 2010).
II.2.2. Pembentukan HbA1c
Hemoglobin terglikosilasi adalah suatu bentuk ikatan molekul glukosa
dengan asam amino valin pada ujung rantai beta hemoglobin. Reaksi yang
terjadi bersifat non enzimatik. Pada keadaan hiperglikemia sementara, ikatan
molekul glukosa dan hemoglobin bersifat sementara dan labil. Tetapi pada
keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama, ikatan akan menjadi stabil
sebagai HbA1c (Suryaatmadja M, 2013).
Gugus karbonil glukosa bereaksi dengan gugus N terminal valin dari
hemoglobin lalu membentuk gugus aldimin atau schiff base yang bersifat
labil. Selanjutnya terjadi penyusunan kembali amadori yang membentuk
ketoamin yang bersifat stabil, sehingga dapat bertahan sepanjang masa
hidup eritrosit. Volume HbA1c yang dihasilkan sebanding dengan kadar
glukosa darah (Little, 2009).
II.2.3. Peranan HbA1c
Kadar HbA1c tergantung dari umur eritrosit yang memiliki masa hidup
sekitar 100 – 120 hari, sehingga kadar HbA1c menggambarkan rerata kadar
glukosa selama 2–3 bulan sebelumnya. Keadaan hiperglikemia yang
berlangsung kronik dapat meningkatkan HbA1c sekitar 2-3 kali lipat. Peranan
kadar glukosa darah terhadap HbA1c tergantung pada interval waktu. Kadar
glukosa darah dalam 30 hari terakhir berkontribusi sebesar 50% terhadap
kadar HbA1c, kadar glukosa darah hari ke-31 hingga hari ke-90 berkontribusi
23
sebesar 40% terhadap kadar HbA1c dan kadar glukosa darah hari ke-91
hingga hari ke-120 hanya berkontribusi sebesar 10% dari kadar HbA1c. Hal
ini menegaskan bahwa kadar glukosa darah yang terakhir lebih berperan
dibandingkan kadar glukosa darah sebelumnya. Peranan kadar glukosa
darah terhadap HbA1c tergantung pada interval waktu (Kilpatrick, 2000;
Sack, 2005).
Nilai % HbA1c akhir dinyatakan sebagai rasio hemoglobin terglikasi
spesifik dengan hemoglobin total dalam sampel darah. Perhitungan menurut
International Federation of Clinical Chemistry (IFCC) adalah % HbA1c =
HbA1c (g/dl) x 100 + Hb (g/dl), sedangkan perhitungan menurut DCCT/
NGSP % HbA1c = 0,915 x IFCC + 2,15. Jenis pengujian kanal ini
memanfaatkan program perhitungan untuk menyajikan data hasil HbA1c
(John WG, 2011).
Tabel II.2. Konversi HbA1c ke dalam kadar glukosa plasma rata-rata (ADA,
2015)
HbA1c (%) Kadar glukosa plasma rata-rata (mg/dL)
6
7
8
9
10
11
126
154
183
212
240
269
24
12 298
II.2.4. Keunggulan dan Keterbatasan Pemeriksaan HbA1c
Terdapat beberapa keunggulan pemeriksaan HbA1c dibandingkan
pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan sampel HbA1c dapat
diambil kapan saja, sehingga pasien tidak perlu puasa. Hal ini jelas berbeda
dengan pemeriksaan kadar GDP dan TTGO yang memerlukan persiapan
puasa sedikitnya 8 jam. Kadar HbA1c juga relatif stabil pada suhu kamar,
relatif tidak dipengaruhi variasi biologis, perubahan gaya hidup jangka
pendek dan beberapa keadaan akut seperti stres ataupun olahraga (Little,
2009).
Hasil pemeriksaan HbA1c dapat meningkat palsu dan menurun palsu.
Kondisi yang dapat menyebabkan kadar HbA1c meningkat palsu diantaranya
adalah: anemia defisiensi besi, defisiensi vitamin B12, penurunan
eritropoiesis, alkoholisme, gagal ginjal kronik, meningkatnya masa hidup
eritrosit, splenektomi, hiperbilirubinemia, carbamylated haemoglobin,
penggunaan opiat yang kronik. Splenektomi menyebabkan kondisi
meningkatnya usia rerata eritrosit di dalam sirkulasi, hal ini akan
25
memperlambat bersihan eritrosit sehingga kadar HbA1c akan meningkat
palsu (Speeckaert, 2014).
Kondisi yang dapat menyebabkan kadar HbA1c menurun palsu adalah;
anemia hemolitik, anemia karena perdarahan aktif, penyakit hati kronik,
keadaan hemoglobinopati dan splenomegali. Pada anemia hemolitik,
hemoglobin pada eritrosit muda lebih sedikit mendapat glukosa dari
lingkungan sekitarnya, sedangkan pada anemia karena perdarahan aktif
terdapat peningkatan produksi retikulosit dan akan mengurangi usia rerata
eritrosit (Speeckaert, 2014).
II.3. Endotel
Sel-sel endotel yang melapisi dinding bagian dalam pembuluh darah,
secara strategis berada diantara plasma serta sel-sel darah dan otot polos
pembuluh darah. Keutuhan endotel sangat penting dalam mempertahankan
kelancaran aliran darah, karena endotel melepaskan faktor-faktor humoral
yang dapat mengendalikan relaksasi dan kontraksi, trombogenesis dan
fibrinolisis serta aktivasi dan inhibisi platelet. Endotel berperan penting
sebagai organ endokrin dalam mengendalikan tekanan darah, kelancaran
aliran darah dan keutuhan pembuluh darah. Keutuhan fungsi sel endotel
dapat mengalami gangguan akibat pengaruh berbagai faktor seperti
hiperglikemi, hiperkolesterolemi, zat-zat toksik termasuk radikal-radikal
bebas, obat-obatan, infeksi dan proses-proses imunologik. Selanjutnya
gangguan fungsi endotel dapat menimbulkan kelainan dan penyakit
26
kardiovaskular seperti aterosklerosis, hipertensi dan payah jantung, sehingga
dapat menimbulkan hipoperfusi, oklusi vaskular dan kerusakan organ.
Berbagai penelitian menujukan bahwa sel endotel memegang
peranan penting dalam sistem keseimbangan tubuh yang terjadi melalui
intergrasi kerja berbagai zat yang dikeluarkan oleh sel endotel. Sistem ini
mempunyai efek baik terhadap sel-sel otot polos pembuluh darah maupun
sel-sel darah sehingga dapat menimbulkan berbagai perubahan.
II.3.1. Peran sel endotel dalam sistem keseimbangan tubuh
1. Pelebaran atau penyempitan pembuluh darah untuk mengatur kebutuhan
suplai darah bagi seluruh organ tubuh manusia
2. Pertumbuhan dari sel-sel otot polos pembuluh darah
3. Proses radang dan anti radang
4. Mempertahankan kekentalan darah dan mencegah perdarahan
II.3.2. Zat-zat yang diproduksi oleh sel endotel
1. Nitrat oksida
Selama beberapa dekade, telah terbukti bahwa nitrat oksida tidak
hanya berperan dalam mengontrol otot polos pembuluh darah melainkan
juga berperan dalam mempertahankan keseimbangan fungsi pembuluh
darah dan syaraf. Nitrat oksida yang dihasilkan oleh sel endotel akan
berdifusi kedalam sel-sel otot polos pembuluh darah dan mengaktifasikan
suatu enzim guanylate cyclase yang memproduksi cyclic GMP sehingga
akan terjadi pelebaran pembuluh darah dan melancarkan aliran darah
keseluruh tubuh.
27
2. Endothelin, prostglandin dan angiotensin II (ANG-II )
Sel endotel juga memproduksi zat-zat yang dapat menimbulkan
penyempitan pembuluh darah yaitu endothelin, prostaglandin dan
angiotensin II, Terjadinya pelebaran atau penyempitan pembuluh darah
ditentukan oleh keseimbangan antara zat nitrat, endothelin, prostaglandin
dan angiotensin II.
3. Zat-zat pengatur proses pembekuan darah
Sel endotel mempunyai peranan penting dalam mempertahankan
kekentalan darah dan mengembalikan intergritas dinding pembuluh darah
bila tejadi cedera untuk mencegah perdarahan.
Pembekuan darah terjadi karena terbentuknya zat trombin yang aktif
yang mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin kemudian akan
mengalami polimerasi dan akan membentuk gumpalan Fibrin yang stabil
yang akan menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Gumpalan fibrin
selanjutnya akan mengalami pemecahan akibat kerja enzim lainya, yaitu
plasmin yang berfungsi mencegah terjadinya pembekuan darah lanjut.
4. Zat-zat perangsang pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah dan
proses peradangan.
Sel endotel juga berperan penting dalam pertumbuhan dan sel otot
polos pembuluh darah dengan cara melepaskan berbagai promotor atau
inhibitor seperti insulin like growth factor 1 (IGF-1), PGF, Basic fibroblast
grotwh factor ( bFGF). Sel endotel juga terlibat dalam produksi berbagai
molekul yang berperan dalam proses peradangan, yaitu antara lain LAM,
28
ICAM dan VCAM. Molekul-molekul ini berfungsi mengaktifkan sel-sel yang
terlibat dalam reaksi peradangan terutama sel-sel darah putih.
Karena fungsi endotel sangat banyak dan melibatkan berbagai sistem
dalam tubuh, maka perubahan fungsinya akan memberikan dampak secara
keseluruhan pada tubuh. Secara mendasar gangguan fungsi sel endotel
merupakan keadaan dimana terjadinya peningkatan atau penurunan dari
setiap zat yang diproduksi oleh sel endotel atau perubahan dari setiap fungsi
masing-masing zat tersebut.
Sel endotel juga terlibat dalam produksi berbagai molekul yang
berperan dalam proses inflamasi, yaitu antara lain leukocyte adhesion
molecule (LAM), intercellular adhesion molecule (ICAM) dan vascular cell
adhesion molecule (VCAM). Molekul-molekul ini disebut sebagai "molekul
adhesi" dan berfungsi mengaktifkan sel-sel yang terlibat dalam reaksi
inflamasi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dalam proses
aterosklerosis terjadi peningkatan kadar petanda-petanda inflamasi (acute
phase proteins) didalam darah.
II.3.3. Disfungsi endotel
Disfungsi endotel adalah suatu keadaan yang ditandai dengan
ketidakseimbangan fungsi faktor-faktor relaksasi dan faktor-faktor kontraksi
yang diproduksi oleh endotel. Disfungsi endotel dapat merupakan penyebab
atau sebagai akibat penyakit pembuluh darah. Disfungsi endotel mengawali
terjadinya perubahan struktur pembuluh darah. Hal ini menunjukkan betapa
pentingnya peranan endotel yang utuh dalam memproteksi pembuluh darah.
29
Sementara beberapa pembuluh darah rentan untuk mengalami disfungsi
endotel dan aterosklerosis, seperti arteri koroner epikardial, arteri-arteri besar
seperti aorta atau arteri iliaca, yang lain seperti arteri mammaria interna dan
arteri brachialis, terlindung terhadap disfungsi endotel. Adanya perbedaan ini
mungkin berhubungan dengan perubahan selektif akibat pengaruh tekanan
nadi atau perubahan fungsi sel endotel itu sendiri pada daerah-daerah yang
berbeda sepanjang jalur pembuluh darah.
Perubahan morfologi sel endotel ini akan diikuti dengan perubahan
fungsi dan penebalan tunica intima, disertai dengan akumulasi sel-sel darah
putih, sel-sel otot polos pembuluh darah dan fibroblast serta endapan matrix.
Terjadinya gangguan fungsi endotel pada diabetes melitus merupakan
dasar terjadinya komplikasi menahun dari penyakit ini. Diabetes melitus
adalah penyakit yang ditandai dengan oleh adanya hiperglikemia atau
peningkatan kadar gula darah akibat gangguan insulin atau gangguan
produksi insulin atau keduanya.
Bila penyakit daibetes melitus ini berlangsung lama dan kadar gula
darah tidak terkontrol dengan baik, maka akan menimbulkan berbagai
komplikasi terutama pada mata, ginjal syaraf , serta terjadinya gangguan
pada jantung.
30
II.3.4. Komplikasi Kerusakan Sel Endotel Pembuluh Darah Yang Terjadi
Pada DM
1. Komplikasi pada ginjal
Komplikasi yang sering terjadi adalah nefropati diabetik, yang ditandai
dengan adanya protein yang menetap (lebih besar 0,5 gr/24 jam) disertai
dengan adanya retinopati dan hipertensi tanpa kelainan ginjal primer.
Kelainan patologik terutama pada glomerulosklerosis difus berupa:
- Penebalan membran basalis glomerulus
- Peningkatan matrix mesengial difus
- Timbul oblitersai lumen kapiler
- Kelainan jaringan intertistil akibat sekunder kelainan pembuluh darah
dan glomerulus
- Kelainan vascular penebalan hialin arteriole afferan dan efferent
- Atrofi tubulus dan fibrosis intertistil
Patogenesis nefropati menurut Vibretii:
Metabolik
Hiperglikemia akibat KGD tidak terkontrol menyebabkan
mikroangiopati
Glikolasi non enzymatik
Reaksi antara glukosa dengan protein menyebabkan peningkatan
produksi glikolasi dengan proses non enzymatik. Produksi ini
dinamakan AGEs. Dalam jangka panjang jumlah AGEs didalam
31
glomerolus meningkat dan menimbulkan kelainan MB dan Mesangium
yang akhirnya merusak glomerulus.
Polyol pathway
Didalam sel ginjal terdapat enzym aldose reduktase yang berubah
dalam sel menjadi sorbitol. Bila kadar KGD meningkat maka sorbitol
meningkat jumlahnya dalam sel sehingga kadar mionositol berkurang
yang akan mengakibatkan osmoregulasi sehingga sel rusak.
Kelainan biokimia matrix selular
Glomerulopati diabetik ditandai dengan adanya penimbunan matrix
ekstracellulair pada membarane basalis dan mesangium.
Gluko toksisitas
Pemaparan glukosa pada sel endotel dalam jangka panjang
menimbulkan kelainan replikasi dan pematangan sel endotel dan MB.
Teori hemodinamika dan hipertropi
Meningkatnya hormon pertumbuhan seperti glukagon, katekolamin
prostaglandin menimbulkan hiperfiltrasi kompensasi akan terjadi
menambah GFR. Bila ini berlangsung lama akan merusak glomerulus
yang tersisa.
Teori genetika dan familial
2. Komplikasi pada mata
Komplikasi oftalmologik yang sering ditemui adalah perubahan refleksi,
presbiopia, katarak dan retinopati. Retinopati diabetik bersumber dari
kelainan mikroangiopati retina, GABBAY mengutarakan kelainan
32
mikrovascual di retina olah karena kativitas enzym aldose reduktase dengan
mekanisme belum jelas.
Bentuk patalogis retinopati diabetik dapat dilihat pada funduskopi:
Mikroanerusima
Perubahan kaliber dan kelokan vena
Exudat
Perdarahan pada fase lanjut
Neovaskularisasi
Gliosis retina
Klasifikasi Retinopati diabetik dan gambaran pada fundus okulii :
Retinopati diabetik non proliferatif:
Mikrovasculair
Perdarahan
Exudat
Edema retina
Pelebaran vena
Iskemia vasculair
Retinopati diabetik proleferatif ;
Hipoksia retina
Neovascularisasi
Perdarahan vitreus
Jaringan fibrin diretina
33
3. Komplikasi pada sistem kardiovakular
Perubahan pada mikrovascular dan makrovaskular berupa penebalan
basement membrane yang diduga karena adanya pengendapan bahan –
bahan yang disebut mukopoliasakarida.
Menurut Williamson dkk (1971) bahwa insident penebalan basemen
membran meningkat secara signifikan sehubungan dengan lamanya
gangguan metabolisme hidrat arang pada penderita DM. Terjadinya penyakit
jantung koroner disebabkan perubahan-perubahan pembuluh darah
diakibatkan terjadinya hipoglikemia yang berhubungan dgn pengendapan
fibrin dan agregrasi trombosit yang akan membentuk plak pada vascular
sehingga timbul ateroskleorosis. Aterosklerosis ini menyebabkan oklusif
arteri koronaria sehingga suplai oksigen berkurang dan kebutuhan
meningkat. Disamping itu masih ada faktor lain seperti hipertensi, obesitas,
rokok dan hiperlipidemia. Bila terjadi angiopati pada miokard menyebabkan
kardiomopati dimana didapati gejala-gejala kelainan fungsi otot jantung.
Pada penderita DM yang tidak tergantung insulin dapat terjadi
penurunan aktifitas fibrinolisin sehingga dapat terjadi mikrotrombus. Akibat
plasmin aktivator inhibitor meningkat terjadi perubahan palsminogen menjadi
plasmin yang akan membentuk fragmen terlarut dan fibrin yang akhirnya
menjadi trombus.
Mekanisme terjadinya mikrotrombus akibat hiperglikemia pada DM:
Peningkatan agregrasi
Peningkatan permeabilitas kapiler
34
Peningkatan nevaskularisasi
Peningkatan kolesterol total
Penurunan fibrinolitik
4. Komplikasi pada penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi
Beberapa faktor yang memudahkan infeksi:
Faktor metabolik
Regulasi DM yang jelek dimana terjadinya hiperglikemia dapat
menyebabkan gangguan fungsi leukosit baik pada proses kemotaksis
maupun mematikan bakteri, sehingga penderita DM mempunyai
kecendrungan terkena infeksi.
Faktor imunologi
Pembentukan antibodi dan komplement menurun
Sifat fagositosis dari granulosit menurun
Faktor angiopati diabetik
Karena perubahan stuktur faal endotel membran basalis mengalami
penebalan maupun pengendapan fibrin pada dinding pembuluh darah
ataupun agregrasi trombosit yang meningkat pada diabetik.
Faktor neuropati
Akibat gangguan tropik maupun adanya anestesi dari neuropati yang
berat.
5. Komplikasi pada gangren diabetik
35
Gangren diabetik biasanya terjadi pada jari-jari tungkai bawah kadang-
kadang pada tumit, faktor-faktor yang memudahkan terjadinya yaitu :
Faktor Endogen
Angiopati merupakan proses dengan multi faktorial yakni:
- Genetik
- Metabolik
o Regulasi DM
o Pengaruh Dislipidemia
o Pengaruh glikosilasi protein
- Faktor penunjang AD.
o Hipertensi
o Hormonal
o Virus dan bakteri
o Nikotin
o Kompleks imun
o Homocystein
Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik dikatakan salah satu faktor penyebarnya Mi-D<
dimana akan menyerang mikrosirkulasi saraf (mikroangiopati vasa nervorum)
terdiri atas :
- ND sensorik
- ND Motorik
- ND otonom
36
Faktor Eksogen
- Trauma, mekanikal, khemikal, thermis faktor tersering terjadinya
gangrene.
- Infeksi, infeksi berkelanjutan mempermudah terjadinya trombosis
sehingga sirkulasi yang terganggu bertambah jelek sehingga
memudahkan terjadinya infeksi ataupun Gangren diabetik.
- Obat-obatan, yang menyebabkan vasokontriksi cukup berbahaya
apabila bersamaan dengan Mi- DM dan Ma-DM dan Neuropati diabetik,
misalnya :
Dopamin
Propanolol
Komplikasi-komplikasi diatas dapat terjadi lebih dini pada penderita DM
yang tidak terkontrol dengan baik, dimana kadar gula darahnya selalu tinggi
dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu pencegahan merupakan
pendekatan yang paling penting dalam upaya memperlambat progresivitas
penyakit agar tidak menimbulkan komplikasi diatas.
II.4. Endothelin-1
II.4.1. Definisi
Endothelin merupakan suatu peptida yang diproduksi oleh sel endotel
pembuluh darah, menimbulkan efek vasokonstriksi pada isolasi arteri dan
vena pada beberapa spesies mamalia. Endothelin diperkenalkan oleh
Yanagisawa et al, yang mempunyai efek pada kontraksi arteri koroner dan
lebih kuat efeknya dibandingkan angiotensin II dalam kontraksi pembuluh
37
darah. Terdapat tiga isoform berbeda dari endothelin yaitu ET-1, ET-2, ET-3,
semuanya dibentuk dari 21 asam amino. Endothelin 1 merupakan isoform
aktif yang utama yang diekspresikan di pembuluh darah (Singh et al, 2011).
ET-1, asam amino peptide-21, awalnya diisolasi dari sel endotel aorta.
Sebuah studi berikutnya oleh Inoue et al. (1989) melaporkan adanya gen
coding untuk isomer dari endotelin, yaitu ET-1, ET-2, dan ET-3. Setiap
isopeptide adalah produk dari gen terpisah yang spesifik dengan gen
sebelumnya. ET-1, berbeda dengan ET-2 dan ET-3, yang dihasilkan oleh sel
endotel, endotelium pembuluh darah menjadi sumber ET-1 (Masaki 2000;
Simonson dan Dunn 1990). Di sisi lain, ET-2 dan ET-3 tampaknya terlibat
dalam fungsi renovaskular dan neurotransmisi, masing-masing, berdasarkan
dari lokalisasi mereka di medula ginjal dan ujung saraf (Waeber et al
1990;Spyer et al 1991).
Gambar II.2. Struktur endothelin dan safarotoksin S6b (Elly H, 2002).
38
Produk pertama dari ET-1 adalah pre ET-1 dan asam amino peptide
212. Prekursor ini ditransformasikan melalui proses delesi oleh sinyal
peptidase, selanjutnya ET-1 dimatangkan oleh maturing enzyme yang
dikenal dengan furin (Blais et al. 2002). Dijelaskan bahwa maturing enzyme
didapatkan pada sel endotel sapi (Kido dkk 1997). Pada manusia ET-1,
asam amino peptide-38 didapatkan pada sirkulasi perifer. ET-1 matur
didapatkan pada pembelahan proteolitik oleh ECE, pada keadaan normal ET
yang dikonversi menjadi ET-1 sangat berperan dalam vasokonstriksi
pembuluh darah (sampai 140 kali lipat), sedang proET-1 tidak berpengaruh
dalam vasomotor (Rubanyi and Polokoff 1994).
Reseptor endotelin telah berhasil diisolasi dan diklasifikasikan
berdasarkan afinitasnya terhada pendotelin. Sejauh ini dikenali dua reseptor
endotelin yang disebut ETA dan ETB. Perbedaan distribusi reseptor
endotelin di dalam berbagai jaringan berkaitan dengan efek endotelin di
dalam jaringan tersebut. Ikatan endotelin dengan reseptornya sangat kuat,
disosiasi berlangsung relatif lambat, sehingga memungkinkan efek endotelin
berlangsung cukup lama. Reseptor ETA terutama terdapat di jantung,
pembuluh darah otak dan otot polos vaskuler. Sementara reseptor ETB
terdistribusi luas terutama di dalam ginjal, uterus, sistem saraf pusat, dan sel
endotel (Elly H, 2002).
II.4.2. Fungsi
Endothelin (ET) diproduksi oleh banyak organ termasuk sel endotel,
sel otot polos pembuluh darah arteri dan vena, fibriblast, miosit pada jantung
39
dan beberapa sel pada ginjal, paru-paru, usus, otak, jaringan endokrin perifer
dan plasenta. Berbeda dengan ET-2 dan ET-3, ET-1 juga diproduksi oleh sel
endotel pembuluh darah dengan jumlah yang sangat banyak, dan ET-1 juga
diproduksi oleh sel-sel kanker, pancreas, dan sel mast (Singh et al, 2011).
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa ET-1 memberikan
kontribusi dalam proses inflamasi pada dinding pembuluh darah. ET-1 telah
ditemukan terkait dengan respons peradangan yang melibatkan aktivasi
faktor transkripsi seperti NF-JB dan ekspresi pro-in sitokin inflamasi termasuk
TNF-a, IL-1 dan IL-6 (Yeager et al. 2012). Faktor transkripsi ini dan pro
inflamasi sitokin pada gilirannya merangsang produksi ET-1 (Virdis dan
Schiffrin 2003). Bellisai et al. (2011) melaporkan bahwa ET-1 meningkatkan
sintesis TNF-a dalam makrofag dan monosit. sitokin ini meningkatkan
respons peradangan dengan merangsang kemotaksis dan fagositosis
makrofag, monosit dan neutrofil. Peningkatan produksi ROS dalam berbagai
jenis sel terjadi melalui NF-JB, COX dan NADPH jalur oksidase-dependent
(Donate et al 2012;. Kleniewska et al 2013;. Piechota dan Goraca 2011).
ET-1 meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada sel endotel
pembuluh darah dan merangsang agregasi neutrofil polimorfonuklear (PMN)
memberikan kontribusi pada peradangan dan disfungsi endotel. Li et al.
(2003) mendalilkan bahwa ET-1 merangsang arteri adhesi vaskular molekul-
1 pasien hipertensi (VCAM-1) di. VCAM-1 dan adhesi intraseluler molekul-1
menginduksi adhesi firm dari dalam sel inflamasi pada permukaan pembuluh
darah (Blankenberg et al. 2003). PMN dapat berkontribusi terhadap
40
kerusakan miokard dengan melepaskan ROS, protease dan metabolit asam
arakidonat (Hansen 1995). Oktar et al. (2000) menunjukkan bahwa ET-1
menyebabkan akumulasi PMN, stres oksidatif, dan disfungsi mukosa di usus
halus tikus. Gonon et al. (2001) menunjukkan bahwa blokade reseptor ET
melemahkan akumulasi neutrofil dan aktivitas myeloperoxidase di
miokardium iskemik. Telah terbukti bahwa cedera vaskular disebabkan oleh
karotis hasil ligasi arteri di pembuluh darah peradangan dan pembentukan
neointima. Tindakan ini dilemahkan dalam endotel vaskular tikus ET-1-
knockout (Anggrahini et al. 2009).
Li et al. (2013) telah melaporkan bahwa ET-1 berperan dalam
perkembangan aterosklerosis dan aneurisma aorta abdominal dengan
mengurangi high-density lipoprotein, meningkatkan stres oksidatif dan
infiltrasi monosit/makrofag baik di aorta dan aneurisma. Jadi, fungsi endotel
dapat dikembalikan dalam model aterosklerosis oleh administrasi ETA atau
ganda antagonis reseptor ETA/ETB. Selain itu, telah dicatat bahwa
konsentrasi ET-1 pada jaringan lebih penting daripada ET-1 pada serum
dalam memprediksi aterosklerosis pada pasien dengan penyakit ginjal kronis
(Noshad et al. 2009).
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara endotelin-
1 dengan sistem angiotensin II. Hubungan antara endotelin-1 dan
angiotensin II berperan dalam regulasi tekanan arteri. Regulasi tekanan arteri
berperan dalam berbagai kondisi, baik fisiologis maupun patologis. Kondisi
patologis yang dipengaruhi oleh regulasi tekanan arteri adalah hipertensi,
41
gagal jantung kongestif dan penyakit ginjal kronik. Angiotensin II
mempengaruhi fungsi ginjal dan kardiovaskular lewat jalur vasokonstriksi
ginjal, retensi natrium, mitogenik dan aksi pro oksidan. Beberapa studi
mendapatkan aksi angiotensin II ini berhubungan dengan faktor lain seperti
endotelin. Hal ini didukung dengan studi yang mendapatkan efek penurunan
tekanan darah pada penderita hipertensi yang disebabkan oleh angiotensin II
dengan terapi antagonis reseptor endotelin. Peran endotelin-1 pada
patofisiologi hipertensi memicu timbulnya terapi yang baru untuk hipertensi.
Penghambat konversi enzim endotelin-1 atau inhibitor endothelinconverting
enzyme (ECE) saat ini mulai banyak diteliti (Elly H, 2002).
Endothelin-1 merupakan vasokonstriktor kuat dan jumlahnya meningkat
pada kondisi mikroangiopati pada DM tipe 2. Disfungsi endotel pembuluh
darah tampaknya mendahului terjadinya resistensi insulin (Singh et al.,
2011).
Endothelin-1 juga memiliki efek inotropik, kemotaktik, dan mitogenik.
Endothelin juga memiliki pengaruh dalam hemostasis garam dan air melalui
pengaruhnya pada sistem renin-angiotensin-aldosteron, vasopressin, atrial
natriuretic peptide dan mamicu sistem saraf simpatis. Sacara umum efek dari
endothelin adalah meningkatkan tekanan darah dan tonus pembuluh darah.
Dengan demikian antagonis endothelin dapat berperan dalam pengobatan
gangguan jantung, pembuluh darah, dan ginjal yang berhubungan dengan
vasokonstriksi regional maupun sistemik, dan proliferasi sel seperti hipertensi
42
esensial, hipertensi pulmonal, gagal jantung kronik, dan gagal ginjal kronik
(Agapitov & Haynes, 2002).
Endothelin 1 (ET-1) adalah suatu peptida asam amino yang dihasilkan
langsung oleh sel endotel, dan merupakan vasokonstriktor VSMC lokal yang
paling penting di samping bersifat mitogen pada sel otot polos. Penelitian
yang dilakukan McEniery et al. menunjukkan bahwa produksi ET-1 endogen
secara langsung meregulasi PWV arteri besar dan menyimpulkan bahwa
kondisi yang menyebabkan upregulasi ET-1 akan menyebabkan peningkatan
kekakuan arteri (Sjostrom et al, 2001).
BAB III
KERANGKA PENELITIAN
III.1. Kerangka Teori
Umur
Resistensi Insulin Gangguan sekresi insulin
Hiperglikemia (DM)
Disfungsi Endotel
Stres Oksidatif
Genetik Dislipidemia Hipertensi Obesita
s
Jenis
Kela
min
HbA1c
43
Keterangan:
DM : Diabetes Mellitus
AGEs: Advanced Glycosilation End Products
PKC : Protein Kinase C
III.2. Kerangka Konsep
Sitokin
GDP dan TTGO
PKC Sorbitol AGEs
Vasokonstriksi Pembuluh darah
Komplikasi DM
DM Tipe 2 Tidak Terkontrol DM Tipe 2 Terkontrol
DM Tipe 2
(Terkontrol/Tidak
Terkontrol)
Umur Genetik Dislipidemia Hipertensi Obesita
s
Jenis Kelamin
HbA1c
44
Keterangan:
: Variabel tergantung
: Variabel bebas
: Variabel kendali
DM tipe 2 : Diabetes mellitus Tipe 2
HbA1c : Hemoglobin A1c (hemoglobinterglikasi/glycohemoglobin)
BAB IV
METODE PENELITIAN
IV.1. Desain Penelitian
Penelitian merupakan penelitian observasional dengan pendekatan
cross sectional study.
IV.2. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat penelitian
a. Pengambilan sampel dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam Subdivisi
Endokrin Metabolik dan Ruang Perawatan Penyakit Dalam RSUP dr.
Endohtelin-1
45
Wahidin Sudirohusodo Makassar, RSUD Kota Makassar, Klinik dan
Laboratorium 123.
b. Pemeriksaan laboratorium di Instalasi Laboratorium Patologi Klinik
RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, RSPTN Universitas
Hasanuddin, laboratorium klinik Prodia dan laboratoriun Biomolekular
FK Unhas.
2. Waktu penelitian
Rencana penelitian dilakukan mulai bulan April 2017 sampai jumlah
sampel mencukupi.
IV.3. Populasi Penelitian
Penderita DM Tipe 2 yang menjalani pemeriksaan dan perawatan di
Bagian Penyakit Dalam RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, RSPTN
Universitas Hasanuddin, RSUD Kota Makassar, Klinik dan Laboratorium 123.
IV.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel
Sampel adalah semua populasi terjangkau yang memenuhi kriteria
penelitian.
Perkiraan Besaran Sampel
Besar sampel diperkirakan berdasarkan rumus :
n1=n2=2 (zα + zβ)S 2
x1-x2
46
Keterangan :
zα = Nilai standar untuk 0.05 = 1.64
zβ = Nilai standar untuk 0.2 = 0.842
S = Simpangan baku dari selisih rerata = 8.4
x1-x2 = Selisih rerata dua kelompok yang bermakna = 6.1
(1.64) + (0.842) 8.4 2
n = 2 -------------------------------- = 23.4 (dibulatkan 24 sampel) 6.1
Jumlah minimal sampel dalam penelitian ini adalah 24 sampel.
IV.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1. Kriteria inklusi
a. Orang dewasa umur lebih atau sama dengan 18 tahun keatas yang
datang ke poliklinik Penyakit Dalam RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo
dan setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium dinyatakan
sebagai penderita DM tipe 2.
b. Bersedia ikut dalam penelitian dengan mengisi dan menandatangani
lembar Infomed Consent.
2. Kriteria eksklusi
a. Menderita penyakit keganasan.
b. Hb kurang dari 10 g/dL
c. Sampel lisis.
47
IV.6. Izin Subyek Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, setiap tindakan dilakukan seizin dan
sepengetahuan penderita yang dijadikan sampel penelitian melalui lembar
Informed Consent dan dinyatakan memenuhi persyaratan etik untuk
dilaksanakan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar-Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo.
IV.7. Cara Kerja
1. Alokasi subyek
Penelitian dilakukan pada semua orang dewasa yang memenuhi
kriteria inklusi dan melakukan pemeriksaan di Poliklinik Penyakit Dalam
RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan RSPTN UNHAS.
2. Cara Penelitian
a. Setiap penderita yang memenuhi kriteria inklusi dicatat identitasnya,
kemudian pasien diberi penjelasan tentang maksud dan tujuan
penelitian, dan pemeriksaan yang akan dijalani subyek, bila setuju
maka pasien dimintakan surat persetujuan (informed consent).
b. Pasien di anamnesis meliputi umur dan riwayat penyakit yang diderita.
c. Pengambilan sampel dilakukan diruang sampling laboratorium Patologi
Klinik RSUP dr.Wahidin Sudirohusodon Makassar atau RSPTN
48
UNHAS,RSUD Kota Makassar, Klinik dan Laboratorium 123 dan
selanjutnya dilakukan pemeriksaan HbA1C dan endothelin-1.
IV.8. Tes Endothelin-1 (ET-1) ELISA
1. Persiapan Sampel
a. Sampel adalah serum yang diperoleh dari Pasien DM
b. Sampel stabil selama 24 jam pada suhu 2-80C.
2. Alat dan Bahan
a. 96 well microtiter plates
b. Inkubator
c. Mikropipet dan tip
d. Standard enzyme reader
e. Air suling
f. Absorbent paper
g. Standard solution
h. Standard dilution
i. Coated ELISA plate
j. Streptavidin-HRP
k. Washing concentrate
l. Endotheling 1 antibodies labeled with biotin
m. Chromogen solution A
n. Chromogen solution B
o. Stop solution
49
3. Prinsip Tes
Tes ini menggunakan enzyme-linked immunoabsorbant assay (ELISA)
dengan metode sandwich untuk mengukur kadar ET-1. Endothelin-1
ditambahkan ke dalam well telah dilapisi dengan Human ET-1 monoclonal
antibody kemudian di inkubasi. Penambahan antibodi ET-1 yang berlaber
biotin berikatan dengan Streptavidin-HRP membentuk kompleks imun.
Enzim yang tidak terikat setelah diinkubasi dikeluarkan dengan pencucian.
Kemudian ditambahkan substrat A dan B, larutan akan berubah warna jadi
biru, dan kemudian menjadi kuning. Tingkat warna larutan berkolersi positif
dengan konsentrasi ET-1.
4. Cara Kerja
a. Pengenceran standar. Kit ET-1 dilengkapi dengan reagent standard
dengan konsentrasi original yang dapat diencerkan oleh pemeriksa.
b. Jumlah plate yang dibutuhkan bergatung pada jumah sampel dan
penambahan standard.
c. Injeksi sampel :1). Blank Well : jangan menambahkan sampel dan
antibody ET-1 atau Strpetavidin-HRP kecuali chromogen solution A dan
B ke dalam Blank Well; 2) Standard Well : tambahkan 50µl standard
dan 50µl Strpetavidin-HRP; 3) Tes Well sampel : tambahkan 40µl
sampel dan 10µl antibodi ET-1 serta 50µl Strpetavidin-HRP. Kemudian
tutup dengan seal membrane, goyangkan perlahan dan inkubasi
selama 60 menit pada suhu 37’C.
d. Encerkan sebanyak 30 kali washing concentrate dengan air suling.
50
e. Pencucian : Buka seal membrane dengan hati-hati, keluarkan
cairannya, goyangkan kembali cairan yang tersisa.
f. Tambahkan 50 µl chromogen solution A dan 50 µl chromogen solution
B ke setiap well, inkubasi selama 10 menit pada suhu 37’C, jauhkan
dari cahaya.
g. Tambahkan 50µl Stop Solution ke dalam setiap well untuk
menghentikan reaksi (perubahan warna biru menjadi kuning segera
teerjadi.
h. Pengukuran akhir : pasang Blank well dengan nol, ukur densitas optik
dengan panjang gelombang 450 nm dalam 15 menit setelah
penambahan stop solution.
i. Berdasarkan konsentrasi standard dan nilai absorbansi yang
digunakan, hitung persamaan regresi linear pada kurva standard.
IV.9. Alur Penelitian
Endothelin-1
Analisis Data
DM Tipe 2
HbA1c
terkontrol
DM Tipe 2 Tidak Terkontrol DM Tipe 2 Terkontrol
51
IV.10. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
Definisi Operasional
1. Penderita DM Tipe 2 adalah penderita yang didiagnosis DM tipe 2 oleh
klinisi Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar atau RSPTN UNHAS berdasarkan Konsensus Perkeni 2011
yaitu poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
jelas penyebabnya disertai hasil pemeriksaan laboratorium (GDS ≥200
mg/dl dan atau GDP ≥126 mg/dl dan atau 2 jam pasca pembebanan
glukosa TTGO ≥200 mg/dl).
2. Tes HbA1c adalah tes untuk menilai pengendalian metabolisme glukosa
pada penderita DM yang kadarnya diukur menggunakan sampel whole
blood dengan antikoagulan EDTA dengan menggunakan alat Adam Lite
HA 8380V dengan metode HPLC. Kriteria obyektif (Berdasarkan ADA
2015):
3. DM terkontrol adalah apabila kadar HbA1c < 7 % pada saat penelitian
dilaksanakan.
4. DM tidak terkontrol adalah apabila kadar HbA1c > 7 % pada saat
penelitian dilaksanakan.
Hasil Penelitian
52
5. Endothelin-1 adalah suatu peptida yang diproduksi oleh sel endotel
pembuluh darah, menimbulkan efek vasokonstriksi, kadarnya diukur
dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
6. Disfungsi endotel adalah perubahan fisiologi endotel yang menghasilkan
dekompensasi dalam pengaturan fungsinya sehingga menyebabkan
kelainan sistemik yang berefek pada pembuluh darah.
IV.11. Analisis Data
Data yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan tujuan penelitian
untuk selanjutnya dilakukan uji statistik untuk menentukan hubungan antara
endotheline-1 dalam kaitan disfungsi endotelpada diabetes melitus tipe 2
yang terkontrol dan tidak terkontrol.
53
BAB V
HASIL PENELITIAN
V.1. Karakteristik Sampel Penelitian
Penelitian dilakukan selama bulan Mei sampai dengan Juli 2017 di
RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo dan Laboratorium 123. Pemeriksaan
laboratorium HbA1c dilakukan di Instalasi Laboratorium Patologi Klinik RSUP
dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan pemeriksaan laboratorium ET-1
dilakukan di Laboratorium Unit Penelitian FK-RSPTN Unhas.
Table V.1. Karateristik Umum Sampel
Variabel Kategori
Sampel Penelitian
DM Tidak Terkontrol
N(%)
DM Terkontrol
N(%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 13 (31.7 %) 24 (58.5%)
Perempuan 28 (68. 3%) 17 (41.5%)
54
Umur
<40 tahun 2 (4.9%) 2 (4.9%)
40-49 tahun 7 (17.1%) 6 (14.6%)
50-59 tahun 13 (31.7%) 25 (30.6%)
60-69 tahun 14 (34.1%) 26 (31.7%)
>= 70 tahun 5 (12.2%) 14 (17.1%)
Sumber : Data Primer Keterangan : N=jumlah, %= persen.
Selama periode tersebut diperoleh total 82 sampel yang memenuhi
kriteria penelitian. Sampel penelitian terdiri dari 37(45.1 %) laki-laki dan
45(54.9 %) perempuan dengan umur minimum 24 tahun dan maksimum 82
tahun (rerata 58.0 ± 11.4 tahun).
Tabel V.1 menerangkan kareteristik umum sampel berdasarkan jenis
kelamin menunjukkan bahwa terdapat 13 sampel laki-laki (31.7%) dengan
DM tidak terkontrol dan 24 sampel laki-laki (58.5%) dengan DM terkontrol.
Terdapat 28 sampel perempuan (68.3%) dengan DM tidak terkontrol dan 17
sampel perempuan (41.5%) dengan DM terkontrol.
Karateristik umum sampel berdasarkan umur menunjukkan bahwa
terdapat 2 sampel dengan umur <40 tahun (4.9%) dengan DM tidak
terkontrol dan 2 sampel dengan umur <40 tahun (4.9%) dengan DM
terkontrol. Terdapat 7 sampel dengan umur 40-49 tahun (17.1%) dengan
DM tidak terkontrol dan 6 sampel dengan umur 40-49 tahun (14.6%) dengan
DM terkontrol. Terdapat 13 sampel dengan umur 50-59 tahun (31.7%)
dengan DM tidak terkontrol dan 12 sampel dengan umur 50-59 tahun
55
(29.3%) dengan DM terkontrol. Terdapat 14 sampel dengan umur 60-69
tahun (34.1%) dengan DM tidak terkontrol dan 12 sampel dengan umur 60-
69 tahun (29.3%) dengan DM terkontrol. Terdapat 5 sampel dengan umur
≥70 tahun (12.2%) dengan DM tidak terkontrol dan 9 sampel dengan umur
≥70 tahun (22.0%) dengan DM terkontrol.
Table V.2. Kadar HbA1C dan ET-1
Variabel
Sampel Penelitian
DM Tidak Terkontrol
Mean (SD)
DM Terkontrol
Mean (SD)
HbA1C (%) 9.688 (2.028) 5.78 (0.429)
ET-1 (ng/dl) 200.934 (121.267) 138.46 (90.737)
Sumber : Data Primer Keterangan : DM=diabetes melitus, Mean=nilai rata-rata, SD=standar deviasi, HbA1c= Haemoglobine-Adult1c, ET-1= Endothelin1, ng/dl=nanogram/desiliter, %= persen.
Berdasarkan tabel V.2, kadar rerata HbA1C pada DM tidak terkontrol
adalah 9.697 % (± 2.087) sedangkan pada DM terkontrol adalah 5.804 % (±
0.441 %). Kadar rerata ET-1 pada DM tidak terkontrol adalah 200.934 ng/dl
(± 121.67 ng/dl) sedangkan pada DM terkontrol adalah 138.46 ng/dl (90.6737
ng/dl).
V.2. Analisis Kadar ET-1
Tabel V.3. Perbandingan Rerata Kadar Endothelin-1 (ET-1)
56
Kelompok N Median Mean SD P
DM Tidak Terkontrol 41 144.7 200.934 121.267
0.000
DM Terkontrol 41 112.1 138.46 90.737
Sumber : Data Primer, Mann-Whitney test Keterangan : DM= Diabetes Melitus, N=jumlah sampel, SD=Standar Deviasi
Data pada tabel V.3 menunjukan bahwa rerata kadar ET-1 pada
kelompok sampel DM tidak terkontrol 144.7 ng/ml dan pada kelompok
sampel DM terkontrol 112.1 ng/ml. Uji statistik menggunakan Mann-Whitney
U Test didapatkan nilai p=0.000. Berdasarkan uji statistik tersebut
didapatkan bahwa ada hubungan antara kadar ET-1 dengan DM Tipe 2 tidak
terkontrol dan terkontrol.
Tabel V.4. Analisis Korelasi Kadar ET-1 dan HbA1C
Variabel Mean (SD) Correlation Nilai p
HbA1C 7.734 (2.447) 0.396 0.000
ET-1 169.697 (110.976) 0.396 0.000
Sumber : Data Primer, Spearman Keterangan : DM=diabetes melitus, Mean=nilai rata-rata, SD=standar deviasi, HbA1c= Haemoglobine-Adult1c, ET-1= Endothelin1.
57
Gambar V.1. Uji Korelasi Kadar ET-1 dan HbA1c
Berdasarkan uji korelasi Spearman terdapat korelasi positif yang
signifikan antara kadar HbA1C dengan kadar ET-1, dimana semakin tinggi
kadar HbA1C semakin tinggi pula kadar ET-1 (p<0.001).
58
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran kadar hemoglobin glikat
(HbA1c) pada penderita DM Tipe 2. Setelah diketahui jumlah kadar HbA1c
pada penderita DM tipe 2, maka sampel penelitian dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kategori terkontrol (kadar HbA1c < 7%) dan kategori tidak
terkontrol (kadar HbA1c > 7 %). Kemudian dilakukan analisa terhadap kadar
endothelin-1 (ET-1) pada masing-masing kelompok.
Penelitian ini menggunakan populasi yang homogen (hanya DM tipe-
2) agar dapat menekan keberagaman faktor yang terlibat. Diabetes tipe-1
59
dan tipe-2 memiliki perbedaan latar belakang genetik, etiologi, dan strategi
perawatan. Demikian pula perbedaan usia pada saat dilakukan diagnosis
berkenaan durasi diabetes dan atau usia antara subyek dengan DM tipe-1
dan DM tipe-2. Oleh karena itu hanya subyek dengan DM tipe-2 yang
dimasukkan dalam penelitian ini.
Uji statistik menggunakan Mann-Whitney U Test didapatkan nilai
p=0.000. Berdasarkan uji statistik tersebut didapatkan bahwa ada hubungan
antara kadar ET-1 dengan DM Tipe 2 tidak terkontrol dan terkontrol.
Sebagaimana yang diketahui bahwa ET-1 merupakan suatu
polipeptida yang diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah yang
menimbulkan efek vasokontriksi pembuluh darah, bahkan efeknya lebih kuat
dibandingkan angiotensin II (Yanasigawa et al). Selain itu ET-1 juga
diproduksi oleh sel-sel kanker, pancreas, dan sel mast (Singh et al, 2011).
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa ET-1 memberikan kontribusi
dalam proses inflamasi pada dinding pembuluh darah. ET-1 telah ditemukan
terkait dengan respons peradangan yang melibatkan aktivasi faktor
transkripsi seperti NF-JB dan ekspresi pro-in sitokin inflamasi termasuk TNF-
a, IL-1 dan IL-6 (Yeager et al. 2012). Faktor transkripsi ini dan pro inflamasi
sitokin pada gilirannya merangsang produksi ET-1 (Virdis dan Schiffrin
2003). Bellisai et al. (2011) melaporkan bahwa ET-1 meningkatkan sintesis
TNF-a dalam makrofag dan monosit. sitokin ini meningkatkan respons
peradangan dengan merangsang kemotaksis dan fagositosis makrofag,
monosit dan neutrofil. Peningkatan produksi ROS dalam berbagai jenis sel
60
terjadi melalui NF-JB, COX dan NADPH jalur oksidase-dependent (Donate et
al 2012;. Kleniewska et al 2013;. Piechota dan Goraca 2011).
Kaitannya dengan DM tipe 2 adalah bahwa pada kondisi DM tipe 2
akan terjadi gangguan fungsi sel endotel pembuluh darah atau yang sering
disebut dengan disfungsi endotel. Terjadinya gangguan fungsi endotel pada
diabetes melitus merupakan dasar terjadinya komplikasi menahun dari
penyakit ini. Bila penyakit daibetes melitus ini berlangsung lama dan kadar
gula darah tidak terkontrol dengan baik, maka akan menimbulkan berbagai
komplikasi terutama pada mata, ginjal syaraf, serta terjadinya gangguan
pada sistem kardiovaskular. Perubahan pada mikrovascular dan
makrovaskular berupa penebalan basement membrane yang diduga karena
adanya pengendapan bahan–bahan yang disebut mukopoliasakarida.
Menurut Williamson dkk (1971) bahwa insiden penebalan basemen
membran meningkat secara signifikan sehubungan dengan lamanya
gangguan metabolisme hidrat arang pada penderita DM. Terjadinya penyakit
jantung koroner disebabkan perubahan-perubahan pembuluh darah
diakibatkan terjadinya hipoglikemia yang berhubungan dgn pengendapan
fibrin dan agregrasi trombosit yang akan membentuk plak pada vascular
sehingga timbul ateroskleorosis.
Kembali ke inti penelitian, bahwa proses aterosklerosis akibat
komplikasi dari DM tipe 2 tidak terkontrol akan menyebabkan meningkatnya
mediator pro inflamasi sitokin inflamasi termasuk TNF-a, IL-1 dan IL-6.
61
Mediator pro inflamasi inilah seperti yang disebutkan sebelumnya oleh Virdis
dan Schiffrin yang akan berpengaruh terhadap kadar ET-1 dalam darah.
Berdasarkan uji korelasi Spearman terdapat korelasi positif yang
signifikan antara kadar HbA1C dengan kadar ET-1, dimana semakin tinggi
kadar HbA1C semakin tinggi pula kadar ET-1 (p<0.001). Hasil dari penelitian
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Singh et al., 2011, bahwa
endothelin-1 jumlahnya meningkat pada kondisi mikroangiopati pada DM tipe
2, dimana kondisi mikroangipati merupakan kondisi yang terjadi akibat tidak
terkontronya suatu DM tipe 2 yang ditandai dengan peningkatan kadar
HbA1c .
HbA1c adalah bentuk ikatan molekul glukosa dengan asam amino
valin pada ujung rantai beta hemoglobin. American Diabetes Association
merekomendasikan pemeriksaan HbA1c sebagai kontrol glikemik jangka
panjang pasien DM. Keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama pada
penderita DM menyebabkan terbentuknya proses glikasi non enzimatik
protein termasuk hemoglobin (HbA1c). Hemoglobin glikat menggambarkan
rerata kadar glukosa darah dalam 2-3 bulan sebelumnya. Diketahui bahwa
terdapat korelasi antara kadar gula darah dengan kadar HbA1c. Selain
sebagai alat diagnosis, skrining dan penentuan kontrol status glikemik,
HbA1c digunakan juga sebagai prediktor perkembangan komplikasi DM.
Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya korelasi HbA1c dengan
komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Penelitian oleh United
Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) dan DCCT menunjukkan
62
bahwa penurunan kadar HbA1c dapat menurunkan risiko nefropati sebesar
25-44%, penurunan risiko retinopati sebesar 35% dan penurunan risiko
neuropati sebesar 30% (Powers AC, 2010).
Kadar HbA1c tergantung dari umur eritrosit yang memiliki masa hidup
sekitar 100 – 120 hari, sehingga kadar HbA1c menggambarkan rerata kadar
glukosa selama 2–3 bulan sebelumnya. Keadaan hiperglikemia yang
berlangsung kronik dapat meningkatkan HbA1c sekitar 2-3 kali lipat. Peranan
kadar glukosa darah terhadap HbA1c tergantung pada interval waktu. Kadar
glukosa darah dalam 30 hari terakhir berkontribusi sebesar 50% terhadap
kadar HbA1c, kadar glukosa darah hari ke-31 hingga hari ke-90 berkontribusi
sebesar 40% terhadap kadar HbA1c dan kadar glukosa darah hari ke-91
hingga hari ke-120 hanya berkontribusi sebesar 10% dari kadar HbA1c. Hal
ini menegaskan bahwa kadar glukosa darah yang terakhir lebih berperan
dibandingkan kadar glukosa darah sebelumnya. Peranan kadar glukosa
darah terhadap HbA1c tergantung pada interval waktu (Kilpatrick, 2000;
Sack, 2005).
63
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
VII.1. Ringkasan
1. Ada hubungan antara kadar ET-1 dengan DM Tipe 2 tidak terkontrol dan
terkontrol dengan nilai p=0.000.
2. Terdapat korelasi positif yang signifikan antara kadar HbA1C dengan
kadar ET-1, dimana semakin tinggi kadar HbA1C semakin tinggi pula
kadar ET-1 dengan nilai p= 0.000.
VII.2. Kesimpulan
1. Terdapat adanya hubungan antara kadar ET-1 dengan DM tipe 2
terkontrol dan tidak terkontrol.
2. Semakin tinggi kadar HbA1C semakin tinggi pula kadar ET-1.
VII.3. Saran
64
1. Penelitian lebih lanjut untuk melihat apakah ET-1 dapat digunkaan
sebagai penanda kontrol gula darah pada DM tipe 2.
2. Penelitian lanjut dengan melihat lebih banyak faktor risiko lain yang
berpengaruh terhadap kadar ET-1 plasma terhadap kontrol gula darah DM
tipe 2.
DAFTAR PUSTAKA
Agapitov, A. V. & Haynes, W. G., 2002, Role of endothelin in cardiovascular
disease, Journal of The Renin Angiotensin Aldosteron System, 3(1): 1-
15.
American Diabetes Association, Standards of Medical Care in Diabetes 2016
in Diabetes Care, vol.39 (Suppl 1, 2016), s8-12, s20-22.
American Diabetes Association, Standards of Medical Care in Diabetes 2015
in Diabetes Care, vol.38 (Suppl 1, 2015), s8-12, s58-60.
American Diabetes Association, Standards of Medical Care in Diabetes 2014
in Diabetes Care, Vol.37, 2014; 1-67 .
American Diabetes Association, Standards of Medical Care in Diabetes 2013
in Diabetes Care, vol.36 (Suppl 1, 2013); s11-s50.
American Diabetes Association. 2012. Diagnosis and Classification of
Diabetes. Diabetes Care. 35(1): S64-S71.#
American Diabetes Association. 2012. Standards of Medical Care in
Diabetes-2012. Diabetes Care. 35(1): S11-S63.
65
American Diabetes Association. 2015. Classification and Diagnosis of
Diabetes. Diabetes Care; Vol 38(Suppl. 1): S8-16.
Anggrahini DW, Emoto N, Nakayama K et al (2009) Vascularendothelial cell-
derived endothelin-1 mediates vascular inflammationand neointima
formation following blood flow cessation.Cardiovasc Res 82:143–15.
Bellisai F, Morozzi G, Scaccia F et al (2011) Evaluation of the effectof
bosentan treatment on proinflammatory cytokine serum levelsin patients
affected by systemic sclerosis. Int J ImmunopatholPharmacol 24:261–
264.
Blais, V., Fugere, M., Denault, J.B., Klarskov, K., Day, R., andLeduc, R.
2002. Processing of proendothelin-1 by members ofthe subtilisin-like
pro-protein convertase family. FEBS Lett.524: 43–48.
Blankenberg S, Barbaux S, Tiret L (2003) Adhesion molecules
andatherosclerosis. Atherosclerosis 170:191–203.
Boedisantoso, R.A., Soegondo, S., Suyono, S., Waspadji, S., Yulia,
Tambunan dan Gultom. 2009. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu. Jakarta: FKUI.
Donate PB, Cunha TM, Verri WA Jr et al (2012) Bosentan, anendothelin
receptor antagonist, ameliorates collagen-inducedarthritis: the role of
TNF-a in the induction of endothelin systemgenes. Inflamm Res
61:337–348.
Gonon AT, Gourine AV, Middelveld RJ et al (2001) Limitation ofinfarct size
and attenuation of myeloperoxidase activity by anendothelin A receptor
66
antagonist following ischaemia andreperfusion. Basic Res Cardiol
96:454–462.
Gustaviani R. 2007. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: FK UI. P. 1857-1859.
Hansen PR (1995) Role of neutrophils in myocardial ischemia
andreperfusion. Circulation 91:1872–1885.
Herwana, Elly. Peranan endotelin terhadap fungsi dan
kelainankardiovaskuler. J Kedokter Trisakti September-Desember
2002, Vol.21 No.3.
Inoue, A., Yanagisawa, M., Kimura, S., Kasuya, Y., Miyauchi, T.,Goto, K.,
and Masaki, T. 1989. The human endothelin family:three structurally
and pharmacologically distinct isopeptidespredicted by three separate
genes. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A.86: 2863–2867.
International Diabetes Federation (IDF). IDF Diabetes Atlas Sixth Edition.
International Diabetes Federation (IDF). 2013.
Jansson P. 2007. Endothelial Dysfunction in Insulin Resistance and Type 2
Diabetes. J.Intern Med.262: 173-183.
Kido, T., Sawamura, T., Hoshikawa, H., D’Orleans-Juste, P.,Denault, J.B.,
Leduc, R., Kimura, J., and Masaki, T. 1997. Processingof
proendothelin-1 at the C-terminus of big endothelin-1is essential for
proteolysis by endothelin-converting enzyme-1 invivo.Eur. J. Biochem.
244: 520–526.
Kilpatrick E.S., Rigby A.S., and Atkin S.L. 2007. Variability in the Relationship
67
between Mean Plasma Glucosa and HbA1c: Implications for the
Asseessment of Glycemic Control. J.Clin Chem. 53(5):897-901.
Kleniewska P, Piechota-Polanczyk A, Michalski L et al (2013)Influence of
block of NF-kappa B signaling pathway onoxidative stress in the liver
homogenates. Oxid Med CellLongev 2013:308358.
Kohei, K. 2010. Pathophysiology of Type 2 Diabetic and it’s Treatment policy.
53 (1): 41-46.
Li L, Chu Y, Fink GD et al (2003) Endothelin-1 stimulates arterialVCAM-1
expression via NADPH oxidase-derived superoxide inmineralocorticoid
hypertension. Hypertension 42:997–1003.
Little, R.R., Sacks, D.B., 2009. HbA1c: How do we measure it and what does
in mean? Curr Opin Endocrinol, Diabetes and Obes. 16: 113-118.
Masaki, T. 2000. The endothelin family: an overview. J.Cardiovasc.
Pharmacol. 35: S3–S5.
Masharani, U et al. 2016. Diabetic Distress in Addult, with Type 1 Diabetic;
Prevalence, Incidence, Change Out Time. 30 (6): 1123-8.
Noshad H, Argani H, Nezami N et al (2009) Arterial atherosclerosisin patients
with chronic kidney disease and its relationship withserum and tissue
endothelin-1. Iran J Kidney Dis 3:203–209.
Oktar BK, Cos¸kun T, Bozkurt A et al (2000) Endothelin-1-inducedPMN
infiltration and mucosal dysfunction in the rat smallintestine. Am J
Physiol Gastrointest Liver Physiol 279:G483–G491.
PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan DM tipe 2 di
68
Indonesia, 2011;1-78.
PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. 1-40.
Piechota A, Goraca A (2011) Influence of nuclear factor-jBinhibition on
endothelin-1 induced lung edema and oxidativestress in rats. J Physiol
Pharmacol 62:183–188.
Piechota A, Polan´czyk A, Goraca A (2011) Protective effects ofendothelin-A
receptor antagonist BQ123 against LPS-inducedoxidative stress in
lungs. Pharmacol Rep 63:494–500.
Powers, A.C., 2005. Diabetes Mellitus in Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Vol.2. McGraw-Hill. New York. 2152-63. Roche. Kit HbA1c.
2009.
Purnamasari D. (2014). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, Jakarta: 2323-27.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2013.
Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Rubanyi, G.M., and Polokoff, M.A. 1994. Endothelins: molecularbiology,
biochemistry, pharmacology, physiology, andpathophysiology.
Pharmacol. Rev. 46: 325–415.
Shahab, Alwi. 2003. Disfungsi Endotel Pada Diabetes Melitus.
69
http://www.rsmhplg.com
Shahab, Alwi. 2009. Rahasia dibalik selapis sel endotel, perannya dalam
patogenesis aterosklerosis. http://www.rsmhplg.com.
Shaw, JE., Sicree RA., Zimmet, PZ. 2010. Global Estimate of Prevalence of
Diabetes for 2010 and 2030
Simonson, M.S., and Dunn, M.J. 1990. Cellular signaling by peptidesof the
endothelin gene family. FASEB J. 4: 2989–3000.
Singh U, Singh R.G., Singh S, Singh S. 2011. Plasma endothelin level
inhypertension and diabetes mellitus in Medical Case Studies 2(6) pp
50-53.
Sjostrom CD, Peltonen M, Sjostrom L. Blood pressure and pulsepressure
during long-term weight loss in the obese: the swedishobese subjects
(SOS) intervention study. Obesity Research.2001;9:188-195.
Slamet S, Diabetes Melitus di Indonesia dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, jilid I,edisi V, 2009;1877.
Spellman, LM., et al. 2007. Impired Glucosa Toleran in First Episode Drug
Naïve Patient with Schizophrenia. 24(5): 481-5.
Spyer, K.M., McQueen, D.S., Dashwood, M.R., Sykes, R.M., Daly,M.B., and
Muddle, J.R. 1991. Localization of [125I]endothelinbinding sites in the
region of the carotid bifurcation andbrainstem of the cat: possible baro-
and chemoreceptor involvement.J. Cardiovasc. Pharmacol. 17(Suppl.
7): S385–S389.
Suryohudoyo P. 2007., Dasar Molekuler Diabetes Mellitus. Kapita Selekta
70
Ilmu Kedokteran Molekuler. Sagung Seto. Jakarta. 48-57.
Virdis A, Schiffrin EL (2003) Vascular inflammation: a role invascular disease
in hypertension? Curr Opin Nephrol Hypertens12:181–187.
Waeber, C., Hoyer, D., and Palacios, J.M. 1990. Similar distributionof
[125I]sarafotoxin-6b and [125I]endothelin-1, -2, -3 bindingsites in the
human kidney. Eur. J. Pharmacol. 176: 233–236.
WHO. Health topics: diabetes melitus. [internet], 2013. (diunduh 2 maret
2017). Tersedia dari: URL: HYPERLINKhttp:
//www.who.int/topics/diabetes_me llitus/en/.
Wild S., Roglic G., Green A., et al. 2004. Global Prevalence of Diabetes,
Estimates for the year 2000 and Projection for 2030. Diab Care. 27(5):
1047-1053.
Wildman RP, Farhat GN, Patel AS, Mackey RH, Brockwell S.Weight change
is associated with change in arterial stiffnessamong healthy young
adults. Hypertension. 2005;45:187-192.
Wilkinson IB, Franklin SS, Cockcroft JR. Nitric oxide and theregulation of
large artery stiffness : from physiology topharmacology. Hypertension.
2004;44:112-116.
Yanagisawa M, Kurihara H, Kimura S, TomobeY, Kobayashi M, Mitsui Y, et
al. A novelpotent vasoconstrictor peptide produced byvascular
endothelial cells. Nature 1988; 332:411-5.
Yeager ME, Belchenko DD, Nguyen CM et al (2012) Endothelin-1,the
unfolded protein response, and persistent inflammation: roleof
71
pulmonary artery smooth muscle cells. Am J Respir Cell MolBiol 46:14–
22.
Yoga T. Prevalensi diabetes melitus. Seminar peringatan Hari Diabetes
Sedunia 2009 di Jakarta. Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/414-tahun-
2030-prevalensi-diabetes-melitus-di-indonesia-mencapai-213-juta-
orang.html.
73
LAMPIRAN 2
DM tidak terkontrol
Ket: 1= laki-laki, 2=perempuan
NO NAMA UMUR JK HbA1C ENDOTELIN1
1 Amir Halang 67 1 11,8 154,2
2 Siti Saodah 69 2 8,2 292,2
3 Bari Danun 64 1 7,5 132
4 yuliana Liu 57 2 10,8 135,8
5 Muhyiddin Rauf
60 1 7,4 137
6 Nurbaya 62 2 7,4 133,9
7 Hj Saenab 73 2 10,6 129,9
8 Damasia 52 2 7,3 137,2
9 Hj Sumiati 38 2 10,4 537,4
10 Yusuf Kalu 69 1 9,5 129
11 Nurasmi 53 2 8,5 250.600
12 Alamsyah 37 1 10,2 148.600
13 Hafni 60 2 10,9 162
14 Supiyatun 66 2 7,8 197,8
15 Kathrina 53 2 7,1 195,8
16 Farida S Kep
64 2 8,5 333,8
17 Harsina 40 2 12,9 126,4
18 Siti Rabiah 51 2 7,1 100,1
19 Syamsuddin 46 1 8,7 202,2
20 Hj Nurhaedah
59 2 11,3 231,1
21 Musseng 76 1 10,7 335,5
22 Dg.Sanabo 60 1 8,6 145,2
23 Adnan 56 1 7,8 529,1
24 Siti Ramlah 79 2 10,1 128,7
25 Rasida 51 2 8,7 510,9
26 Andi Anwar 64 1 8,2 142,1
27 H. Sani 74 2 10,7 149,8
74
28 Rosdiana 45 2 9,8 137,9
29 Sukarmi 58 2 9,1 144,7
30 Abd Jabar 61 1 7,7 511,9
31 Nur Anna 57 2 9,3 137,7
32 Sukawati R 57 2 11,4 140,3
33 Hadra 46 2 12,2 257,5
34 sahari 64 2 15,6 126
35 marliati 52 2 10,1 112,8
36 imran 44 2 10,6 108
37 siti ara 49 2 11,9 102.700
38 harsina 40 2 12,9 140
39 abd malik 55 1 7,9 140,5
40 muh muafi 64 1 13,2 161,8
41 Jasmania 71 2 6,8 208,2
DM terkontrol
Ket: 1=laki-laki, 2=perempuan
NO NAMA UMUR JK Hba1c ENDOTELIN1
1 Laba S Sos 59 1 5,5 398,4
2 Amiruddin
ST 46 1 5,5 46,5
3 Burhan Hk 63 1 4,8 230,3
4 Marlina 43 2 5,4 116,6
5 Ambo Tang 74 1 5,9 95,5
6 Anwar S 53 1 5,3 132,5
7 Mirwan. M
Andi 51 1 5,7 362,1
8 Waode Rinino
57 2 5,9 120,5
9 Hj Nurmini 53 2 6,3 172
10 Faisal Idrus 59 1 6,4 88,7
11 Siti
Rachma 71 2 5,4 110,9
12 Nurjani 51 2 5,9 116,9
13 Ruli 52 1 5,7 88,2
14 Idrus G 63 1 5,9 85,2
15 Musyridi 24 1 5 96,4
16 Abd 55 1 5,8 112,1
75
Rahman
17 Dg. Baji 70 2 5,4 113,1
18 Dg. Matu 70 1 6,4 104,9
19 Esther BM 61 2 5,9 229,2
20 Johanis 82 1 5,8 117,6
21 Rosnawati 48 2 5,7 172
22 H.Masud S 79 1 6,1 119,7
23 Radianah 64 2 5,1 90,9
24 Haluma Siri 66 1 5,3 27,4
25 Arifuddin 50 1 6 388,5
26 Anwar Tekka
73 1 6,3 110,4
27 Amiruddin 43 1 6,2 100,8
28 Riyanti 34 2 6,4 112,3
29 Hanisah 63 2 5,7 109,2
30 Hj Atikah 62 2 5,7 117,4
31 ir Dasril 58 1 5,7 79,8
32 Muchtar 53 1 5,9 13,5
33 Edita
Lebang 60 2 5,7 93,8
34 Tambaru
Lau 74 1 6 105,9
35 OBET 60 1 4,8 110,9
36 Hasni 41 2 5,7 101,3
37 Ny. FaTMA 45 2 5,6 384,1
38 Sutiono 61 2 6,4 141,2
39 Ratni 63 2 6,3 112,2
40 Albertin 61 1 6,3 141,2
41 Christina P 77 2 6,2 106,8
76
Lampiran 3.
NASKAH PENJELASAN UNTUK MENDAPAT PERSETUJUAN
DARI SUBYEK PENELITIAN
Judul penelitian :Analisis Kadar Endothelin 1 pada pasien DM
terkontrol dan tidak terkontrol
Penjelasan kepada subyek penelitian :
Selamat pagi bapak/ibu, saya dr.Nur azni yang akan melakukan
penelitian tentang suatu zat dalam tubuh manusia yang jika diketahui jumlah
kadarnya, maka bisa membantu mengetahui atau memprediksi kemungkinan
beberapa gangguan yang terjadi akibat komplikasi DM Tipe 2 yang didasari
disfungsi endotel. Nama ilmiahnya adalah Endothelin 1. Perlu bapak/ibu
ketahui bahwa komplikasi DM Tipe 2 cukup banyak dan bisa berdampak
negative terhadap kualitas hidup manusia manakalah beralnjut ke komplikasi
yang bisa berupa komplikasi makrovaskular (pembuluh darah besar) maupun
mikrovaskular (pembukuh darah kecil). Penyakit DM Tipe 2 ini dengan
berbagai komplikasi yang ditimbulkan, pada umumnya didasari oleh adanya
gangguan endotel (disfungsi endotel) tiap tahun mengalami peningkatan
sehingga perlunya diketahui sedari dini untuk tidak sampai ke tahap yang
lebih berat. Dengan diketahuinya kadar atau jumlah zat tersebut melalui tes
darah dalam tubuh manusia, maka diharapkan gangguan ini dapat ditangani
lebih cepat dengan pengobatan yang tepat sehingga mengurangi tingkat
keparahannya.
Jika Bapak/Ibu berkenan dan setuju untuk berpartisipasi dalam
penelitian ini, maka kami akan menanyakan beberapa hal, antara lain data
77
pribadi bapak/ibu.Bila Bapak/Ibu memenuhi syarat untuk ikut penelitian ini,
maka kami akan memulai melakukan pemeriksaan dengan cara mengambil
darah terlebih dahulu.
Yang mengambil sampel darah Bapak/Ibu adalah petugas laboran
yang sudah terlatih dan memiliki sertifikat kompetensi sebagai petugas
laboran, sehingga Bapak/Ibu tidak perlu khawatir karena dilayani oleh
petugas yang tepat. Lokasi pengambilan darah di daerah lengan atas
sebagaimana pengambilan darah untuk tes yang biasa, darah yang diambil
tidak banyak hanya sekitar 3 mL, dan prosedur ini semuanya dilakukan
secara steril, setelah ini luka tusukan jarum ditutupi menggunakan plester.
Risiko yang mungkin timbul diharapkan risiko minimal berupa lebam di
sekitar luka tusuk ataupun rasa pusing pada saat lengan ditusuk jarum, tetapi
risiko ini tidak terjadi pada semua orang dan seandainyapun terjadi, maka
kami sudah meyiapkan perlengkapan medis untuk mengantisipasinya.
Sampel penelitian akan dilakukan pemeriksaan Hba1C di Rumah Sakit
Wahidin Sudirohusodo dan untuk endothelin-1 akan diperiksan diRSU Unhas
lantai 6. Dan perlu kami sampaikan bahwa semua biaya pemeriksaan ini
akan ditanggung oleh peneliti.
Bila Bapak/Ibu bersedia, kami mengharapkan Bapak/Ibu dapat
memberikan persetujuan secara tertulis. Keikutsertaan Bapak/Ibu dalam
penelitian ini bersifat sukarela tanpa paksaan, oleh karena itu bapak/ibu
berhak untuk menolak atau mengundurkan diri dari penelitian ini.
Kami menjamin juga keamanan dan kerahasiaan semua data pada
penelitian ini. Data akan disimpan dengan baik dan aman, sehingga hanya
bisa dilihat oleh yang berkepentingan saja. Data pribadi disamarkan pada
semua catatan dan pada pelaporan baik lisan ataupun tertulis tidak akan
menggunakan data pribadi.
78
Bila Bapak/Ibu merasa masih ada hal yang belum jelas atau belum
dimengerti dengan baik, maka ibu dapat menanyakan atau minta penjelasan
pada saya, dr. Nur azni (telepon:081355482126).
Jika bapak/ibu setuju untuk berpartisipasi, diharapkan menandatangani
surat persetujuan mengikuti penelitian.Atas kesediaan dan kerjasamanya
kami ucapkan terima kasih.
DISETUJUI OLEH KOMISIPENELITIAN
KESEHATANFAK. KEDOKTERANUNHAS
TGL : …………...................................
79
Lampiran 4.
FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN
Judul penelitian :Analisis Kadar Endothelin 1 pada pasien DM
terkontrol dan tidak terkontrol
Saya yang bertanda tangan dibawah ini
Nama :
Jenis kelamin :
Umur :
Alamat :
Setelah mendengar dan mengerti penjelasan yang diberikan
mengenai tujuan penelitian, dengan ini saya menyatakan bersedia secara
sukarela tanpa paksaan dari pihak manapun untuk berpartisipasi dalam
penelitian ini dan saya yakin hasilnya bersifat rahasia hanya peneliti utama
dan tim komite etik yang mengetahuinya.
Saya mengerti bahwa pada proses pengambilan cairan bilasan
bronkus sudah tercakup saat saya menjalani tindakan bronkoskopi tadi. Saya
mengetahui bahwa saya berhak untuk menolak atau berhenti dari penelitian
ini.Biaya pemeriksaan cairan bilasan bronkus dalam penelitian ini ditanggung
oleh peneliti.
Bila masih ada hal yang belum saya mengerti atau saya ingin
mendapatkan penjelasan lebih lanjut, saya bisa mendapatkannya dari dokter
peneliti sebagai contact person (alamat dan nomor telepon tertera di bawah).
Makassar, 2017
....................................... ........................................
80
Nama subyek Tanda tangan
No. Nama Saksi Tanda tangan
1. ………………………………… ……………………………..
2. …………………………………. ……………………………….
Identitas Peneliti Utama
Nama : dr. Nur Azni
Alamat :Perumahan bukit baruga Jl. Agung no 29
Telepon: 081355482126
81
LAMPIRAN 5
CURRICULUM VITAE
I. Data Pribadi
a. Nama : Nur Azni M Lamadjido
b. NIP : 198101142009032006
c. Pangkat/Golongan : III c
d. Jenis Kelamin : Perempuan
e. Agama : Islam
f. Tempat/Tanggal lahir : Palu/ 14 januari 1981
g. Alamat : Perumahan bukit baruga Makassar
II. Riwayat Pendidikan
a. SD Negeri 3 Palu, lulus tahun 1993.
b. SMP Negeri 1 Palu, lulus tahun 1996
c. SMA Islam Athirah Makassar, lulus tahun 1999.
d. Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Muslim
Indonesia Makassar, lulus tahun 2006.
e. Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia
Makassar, lulus tahun 2008.
82
f. Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, periode 1 Juli 2013 –
sekarang.
III. Riwayat Pekerjaan
a. Dokter umum RSUD Kabelota Donggala (2008 - sekarang)
IV. Karya Ilmiah / Artikel yang telah dipublikasikan
a. Analisis indeks eritrosit dan Kadar Ret-He pada pasien gagal ginjal
kronik
b. Leukemia Mieloid Akut pada Sindrom Down