103
iii KARYA AKHIR ANALISIS KADAR ENDOTHELIN-1 PADA PASIEN DIABETES MELITUS TERKONTROL DAN TIDAK TERKONTROL (ANALYSIS OF ENDOTHELIN 1 IN CONTROLLED AND UNCONTROLLED DIABETIC PATIENTS) NUR AZNI M LAMADJIDO PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (SP.1) PROGRAM STUDI ILMU PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2 0 1 7

KARYA AKHIR

Embed Size (px)

Citation preview

iii

KARYA AKHIR

ANALISIS KADAR ENDOTHELIN-1 PADA PASIEN DIABETES

MELITUS TERKONTROL DAN TIDAK TERKONTROL

(ANALYSIS OF ENDOTHELIN – 1 IN CONTROLLED AND

UNCONTROLLED DIABETIC PATIENTS)

NUR AZNI M LAMADJIDO

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (SP.1)

PROGRAM STUDI ILMU PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2 0 1 7

iv

ANALISIS KADAR ENDOTHELIN-1 PADA PASIEN DIABETES

MELITUS TERKONTROL DAN TIDAK TERKONTROL

Karya Akhir

Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Spesialis-1 (Sp.1)

Program Studi

Ilmu Patologi Klinik

Disusun dan Diajukan Oleh

NUR AZNI M LAMADJIDO

Kepada

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (SP.1)

PROGRAM STUDI ILMU PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2 0 1 7

v

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA AKHIR

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Nur Azni M Lamadjido

Nomor pokok : C 108213106

Program studi : Ilmu Patologi Klinik

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini, benar - benar

merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau

pemikiran orang lain. apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa

sebagian atau kesuluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya besedia menerima

sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Agustus 2017

Yang menyatakan,

Nur Azni M. Lamadjido

vii

iii

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT

yang Maha Kuasa, Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Penyayang atas

limpahan kasih dan anugrahNya sehingga penulis dapat mennyelesaikan

tesis yang berjudul “ANALISIS KADAR ENDOTHELIN-1 PADA PASIEN

DIABETES MELITUS TERKONTROL DAN TIDAK TERKONTROL” sebagai

salah satu persyaratan dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi

Klinik.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masi jauh dari kesempurnaan,

oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran

dan koreksi dari semua pihak. Penulis juga menyadari bahwa tesis ini dapat

diselesaikan berkat bantuan dan partisipasi berbagai pihak. Dalam

kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang tulus kepada Prof.

dr. Mansyur Arif, Sp.PK(K),PhD, selaku Ketua Komisi/Pembimbing utama

diiian dr. Fitriani Mangarengi Sp.PK(K) selaku Anggota Penasihat/Sekretaris

Pembimbing, dr Arifin Sewweng MPH sebagai Anggota Komisi

Penasihat/Pembimbing metode penelitian dan Statistik, Dr.dr. A. Makbul

Sp.PD. KEMD sebagai Anggota Tim Penilai dan dr. Darwati Muhadi

Sp.PK(K) sebagai Anggota Tim Penilai, yang telah memberi kesediaan

waktu, saran dan bimbingan sejak masa penelitian, penyusunan hingga

seminar hasil penelitian ini.

Pada kesempatan ini pula penulis ingin menyampaikan terima kasih

dan penghargaan yang setinggi – tingginya kepada :

iv

1. Guru sekaligus orang tua kami,dr. H. Ibrahim Abd Samad, Sp.PK(K)

dan dr. Adriani Badji Sp.PK yang selalu senantiasa mendukung

pendidikan penulis sejak awal mendidik membimbing dengan penuh

kesabaran dan ketulusan hati dan memberi nasehat kepada penulis.

2. Guru besar di Departemen Ilmu Patologi Klinik Prof. dr. Mansyur

Arif,Sp.PK(K),PhD guru kami yang telah membimbing, mengajar, dan

memberikan ilmu yang tidak ternilai dengan penuh ketulusan hati.

3. Ketua Departemen Ilmu Patologi Klinik FK-UNHAS dr. Uleng Bahrun

Sp.PK(K), PhD, guru kami yang bijaksana, senantiasa membimbing

dan memberikan arahan kepada penulis dalam berbagai kegiatan,

mengajar, memberi nasehat dan semangat serta mendorong penulis

supaya lebih maju.

4. Ketua Program Studi Departemen Ilmu Patologi Klinik FK-UNHAS

Dr.dr. Tenri Esa MSi, Sp.PK, guru kami yang penuh pengertian dan

senantiasa memberi bimbingan dan mengajar penulis.

5. Semua guru, Supervisor di Departemen Patologi Klinik FK-UNHAS

yang senantiasa memberikan bimbingan dan saran selama penulis

menjalani pendidikan sampai pada penyusunan karya akhir ini.

6. Pembimbing Metodologi dr. Arifin Sewweng MPH yang telah

membimbing penulis dalam bidang Metode Penelitian dan Statistik

selama penyusunan tesis ini

7. Dosen – Dosen Penguji : Dr. dr. A Makbul Sp.PD. KEMD dan dr

Darwati Muhadi Sp.PK(K) yang telah meluangkan waktu untuk

v

memberikan kami ilmu dan saran - sarannya dalam penyempurnaan

tesis ini.

8. Dr.dr. Nurahmi M.Kes,Sp.PK sebagai guru dan dosen di Departemen

Patologi klinik FK-UNHAS yang senantiasa memberikan nasehat dan

motivasi penulis

9. Direktur RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar atas kesempatan

yang diberikan kepada penulis untuk menjalani pendidikan di rumah

sakit ini.

10. Direktur RS Perguruan Tinggi negeri Universitas Hasanuddin

Makasar beserta staf yang telah memberikan izin dalam

pengumpulan sampel

11. Kepala Instalasi Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar, dr Asvin Nurulita, M.Kes, Sp.PK berserta

staf yang telah membantu selama masa pendidikan dan

penyelesaian tesis ini.

12. Kepala Instalasi Labratorium RSPTN UNHAS, Kepala Instalasi

Laboratorium RS. Labuang Baji, Kepala Instalasi Laboratorium RS

Stella Maris, Kepala Instalasi Laboratorium RS Ibnu Sina, direktur

UUD PMI, Kepada Unit Transfusi Darah Makassar, Kepala Balai

Besar Laboratorium Kesehatan Makassar, Kepala Departemen Ilmu

Penyakit Dalam, Direktur RSUD Morowali Utara beserta staff yag

menerima dan membantu penulis dalam menjalani masa pendidikan.

vi

13. Kepada Unit Penelitian Fakultas Kedokteran UNHAS beserta staf

yang telah memberi izin dan membantu dalam proses pemeriksaan

sampel untuk penelitian ini.

14. Bapak Gubernur Sulawesi Tengah Bapak Drs. Longki L. Djanggola

MSi beserta jajaran Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah yang

telah memberi kesempatan dan bantuan untuk melanjutkan

pendidikan dan mendukung penulis selama menjalani pendidikan.

15. Seluruh Pasien yag telah bersedia menjadi subyek penelitian ini,

penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar – besarnya.

16. Teman – teman sejawat PPDS Departemen Ilmu Patologi Klinik

khususnya dr. Hilma Yuniar Thamrin Sp.PK, dr wiwi Payung

M.Kes,Sp.PK, dr.Haerani Harun M.Kes,Sp.PK, teman seangkatan juli

2013 yaitu dr Sukmawaty, dr Vina Latuconsina, dr Evi Adranti, dr

Irmayanti, dr. Wandani Syarir Sp.PK, dr. Sheila Febriana Sp.PK,

berbagi suka dan duka selama masa pendidikan penulis, Yang telah

banyak memberikan bantuan, motivasi, dukungan dan semangat

selama masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini. Kebesamaan

dan persaudaraan merupakan hal yang tak pernah terlupakan dan

semoga tali silaturahmi ini tetap terjaga.

17. Staf Departemen Patologi Klinik Nurilawati. SKM atas bantuan dan

dukungan selama mengikuti proses pendidikan di Departemen Ilmu

Patologi Klinik.

vii

18. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis tulis satu persatu yang telah

memberikan dukungan yang sangat berarti kepada penulis.

Akhirnya Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi –

tingginya kepada kedua orang tua saya tercinta, Ayahanda H. Rully. A.

Lamadjido.SH dan Ibunda Tirtha Lamadjido. SH.MKn, serta kedua tante

saya dr. Reny Lamadjido. Sp.PK dan dr Azmarny lamadjido.Sp.A, atas

doa yang tulus, kasih sayang dan dukungan semangat selama ini.

Terima Kasih buat saudara - saudara saya tercinta Moh.Malatantra

Lamadjido SH, dr. Rilando Lamadjido yang telah memberikan bantuan

moril secara langsung dan tidak langsung serta seluruh keluarga besar

atas kasih sayang dan dukungan serta doa yang tulus sehingga penulis

dapat menyelesaikan setiap tahap proses pendidikan ini dengan baik.

Khususnya kepada yang tercinta Wiwin Trijoto.Sh dengan

penuh keharuan dan kecintaan penulis sampaikan terima kasih atas

segala pengorbanan, pengertian, dukungan, semangat dan doa yang

tulus selama ini telah mengiringi perjalanan panjang dalam mengikuti

pendidikan. Terima kasih atas kerelaan, keikhlasan dan kesabaran untuk

megizinkan penulis untuk melanjutkan pendidian Makassar sehingga

begitu banyak waktu kebersamaan terlewatkan.

Terima kasih pula untuk kedua ananda tersayang Radhyah

Putriani Rezky Lamadjido dan Muh Riziq Lamadjido, dengan penuh

keharuan dan kebanggaan penulis sampaikan terima kasih atas segala

pengorbanan, pengertian, dukungan, semangat dan doa tulus selama ini

viii

telah mengiringi perjalanan panjang penulis dalam mengikuti pendidikan.

Kalian bedua merupakan sumber inspirasi dan semangat bagiku.

Penulis berharap tesis ini dapat memberi sumbangan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang Ilmu Paologi Klinik

di masa yang akan datang. Semoga Allah SWT senantiasa menyertai

dan memberkati setiap langkah pengabdian kita Amin.

Makassar, Agustus 2017

Nur Azni M Lamadjido

ix

ABSTRAK

NUR AZNI. Disfungsi Endotel Pada Penderita Diabetes Melitus Terkontrol

dan Tidak Terkontrol Tipe 2; Kajian Terhadap Molekul Endothelin-1

(Dibimbing Oleh Mansyur Arif dan Fitriani Mangarengi)

Latar belakang : Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit yang masih

menjadi masalah kesehatan masyarakat. Angka morbiditas dan mortalitas

dari penderita DM semakin hari semakin meningkat karena penyakit ini

bersifat kronis yang ditandai oleh gangguan metabolisme karbohidrat, lemak,

protein, dan diikuti oleh rentetan kerusakan dan disfungsi berbagai jaringan

dan organ.p

Tujuan penelitian : Menganalisis kadar ET-1 pada DM tipe 2 terkontrol dan

tidak terkontrol

Metode penelitian : Penelitian merupakan penelitian observasional dengan

cross sectional study. Pengambilan sampel dilakukan di Poliklinik Penyakit

Dalam Subdivisi Endokrin Metabolik dan Ruang Perawatan Penyakit Dalam

RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan Laboratorium 123.

Hasil penelitian : Selama periode penelitian diperoleh total 82 sampel yang

memenuhi kriteria penelitian. Sampel penelitian terdiri dari 37(45.1 %) laki-

laki dan 45(54.9 %) perempuan dengan umur minimum 24 tahun dan

maksimum 82 tahun (rerata 58.0 ± 11.4 tahun). Kadar HbA1C minimum

adalah 4.8 % dan kadar maksimum 15.6 % (rerata 7.7 ± 2.4 %). Kadar

minimum pada ET-1 adalah 13.5 ng/dl dan kadar maksimum 537.4 ng/dl

(rerata 169.7 ± 111.0 ng/dl). Uji statistik menggunakan Mann-Whitney U Test

didapatkan nilai p=0.000. Uji Korelasi Spearman didapatkan nilai p<0.0001.

Kesimpulan : Terdapat adanya hubungan antara kadar ET-1 dengan DM

tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol. Semakin tinggi kadar HbA1C semakin

tinggi pula kadar ET-1.

Kata kunci: Diabetes Melitus, Disfungsi Endotel, HbA1c, Endothelin-1

x

ABSTRACT

NURAZNI. Endothelial Dysfunction in Patients with Controlled and

Uncontrolled Type 2 Diabetes Mellitus; Study of Endothelin-1 Molecules

(Supervised By Mansyur Arif and Fitriani Mangarengi)

Background: To analyze ET-1 levels in controlled and uncontrolled type 2

diabetes: Diabetes Mellitus (DM) is a disease that is still a public health

problem. The morbidity and mortality rates of DM patients were increasing

because this disease is a chronic condition characterized by carbohydrate,

fat, protein metabolism disorders and followed by a series of damage and

dysfunction of various tissues and organs.

Objective: To analyze ET-1 levels in controlled and uncontrolled type 2

diabetes patients

Results: During the study period, a total of 82 samples were obtained which

met the study criteria. The study sample consisted of 37 (45.1%) male and

45 (54.9%) women with minimum age 24 years and maximum 82 years

(mean 58.0 ± 11.4 years). The minimum HbA1C level was 4.8% and the

maximum level was 15.6% (mean 7.7 ± 2.4%). The minimum ET-1 level was

13.5 ng / dl and the maximum level was 537.4 ng / dl (mean 169.7 ± 111.0 ng

/ dl). Statistical test using Mann-Whitney U Test obtained p value = 0.000.

Spearman correlation test obtained p value <0.0001.

Conclusion: There is a correlation between ET-1 levels and controlled and

uncontrolled type 2 diabetes. The higher the HbA1C level the higher the ET-1

level.

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.……………………………………………………………... i

HALAMAN PENGESAHAN.……………………………………………………. ii

DAFTAR TIM PENGUJI………………………………………………………… iii

ABSTRAK………………………………………………………………………… v

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….. vi

DAFTAR ISI.……………………………………………………………………… xii

DAFTAR TABEL......................................................................................... xv

DAFTAR SKEMA…………………………………………………………… xvi

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………. xvii

DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………… xviii

BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………….. 1

I.1. Latar Belakang Penelitian....……………………………………….. 1

I.2. Rumusan Masalah…...…………………………………………...… 8

I.3. Tujuan Penelitian….………………………………………………… 8

I.3.1. Tujuan Umum...……………………………………………. 8

I.3.2. Tujuan Khusus...…………………………………………… 8

I.4. Manfaat Penelitian...…………………………...…………………… 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…..…………………………………………….. 10

II.1. Diabetes Mellitus Tipe 2 …………………………………………… 10

II.1.1. Definisi...………………………..………………………….. 10

II.1 2. Epidemiologi.…………………………………………….... 10

xii

II.1.3. Klassifikasi………....………………...…………..……...... 11

II.1.4. Etiologi…..………………………….……………….....….. 11

II.1.5. Patofisiologi..…..…………………….……………...…….. 12

II.1.6. Gejala Klinis……....…….….…….…………………..…… 19

II.1.7. Diagnosis…….......…….….…….…...…………....……… 19

II.1.8. Pengawasan / Pemantauan DM………………………… 20

II.2. Hemoglobin Glikat (HbA1C)………………….......………………... 22

II.2.1. Definisi........................................................................... 22

II.2.2. Pembentukan HbA1c..................................................... 23

II.2.3. Peranan HbA1c.............................................................. 23

II.2.4. Keunggulan dan Keterbatasan Pemeriksaan HbA1c..... 25

II.3. Endotel……………………………………………………...….......... 26

II.3.1. Peran Sel endotel dalam sistem keseimbangan tubuh.. 27

II.3.2. Zat-zat yang diproduks oleh sel endotel………………... 27

II.3.3. Disfungsi Endotel……………………………………..…… 29

II.3.4. Komplikasi Kerusakan Sel Endotel Pembuluh Darah

Yang Terjadi Pada DM………………………….……………….. 31

II.4. Endothelin-1…………............................................………………. 38

II.4.1. Definisi………..……………………………………………. 38

II.4.2. Fungsi……………………………………………………… 40

BAB III. KERANGKA PENELITIAN ………..………………………………… 44

III.1. Kerangka Teori……………………………………………………... 44

III.2. Kerangka Konsep..……………………………………………….. 45

xiii

BAB IV. METODE PENELITIAN……….……………………………………… 46

IV.1. Desain Penelitian…………………………………………………... 46

IV.2. Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………….. 46

IV.3. Populasi Penelitian………………………………………………… 47

IV.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel ..………………………….. 47

IV.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi……….…………………………….... 48

IV.6. Izin Subjek Penelitian……………………………………………… 48

IV.7. Cara Kerja……….…..…………………………………….....…….. 49

IV.8. Tes Endothelin-1 (ET-1) ELISA…………….…………………….. 49

IV.9. Alur Penelitian………...……..………………..……………………. 52

IV.10. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif……………………... 53

IV.11. Analisis Data………………………………………………………. 54

BAB V. HASIL PENELITIAN…………………………………………………… 55

V.1. Karateristik Sampel Penelitian…………………………………….. 55

V.2. Sebaran Karateristik Sampel Menurut Kelompok……………….. 59

V.3. Analisis Kadar ET-1………………………………………………… 63

BAB VI. PEMBAHASAN………………………………………………………... 65

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………... 69

VII.1. Ringkasan………………………………………………………….. 68

VII.2. Kesimpulan…...……………………………………………………. 69

VII.3. Saran………………………...……………………………………... 70

DAFTAR PUSTAKA .……………………………………………...……………. 71

LAMPIRAN .................................................................................................. 74

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel II.1. Sasaran Pengendalian DM (PARKENI, 2015)…………………….21

Tabel II.2. Konversi HbA1c Ke Dalam Kadar Glukosa Plasma Rata-Rata

(ADA, 2015)……………………………………………………………………….. 24

Tabel V.1. Karateristik Umum Sampel Penelitian…………………………….. 55

Tabel V.2. Sebaran Karateristik Umum Sampel Penelitian………………….. 57

Tabel V.3. Sebaran Karateristik Sampel Menurut Kelompok………………...59

Tabel V.4. Sebaran Karateristik Sampel Menurut Umur……………………...60

Tabel V.5. Sebaran Karateristik Sampel Menurut Jenis Terapi……………...62

Tabel V.6. Perbandingan Rerata Kadar Endothelin-1 (ET-1)……………….. 63

xv

DAFTAR SKEMA

Kerangka Teori…………………………………………………………………… 44

Kerangka Konsep………………………………………………………………… 45

Alur Penelitian…………………………………………………………………….. 52

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam

patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the

Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of

Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009;

58:773795)(PERKENI,2015)……………………………………………………. 16

Gambar II.2. Struktur endothelin dan safarotoksin S6b (Elly H, 2002)…….. 39

Gambar V.1. Uji Korelasi Kadar ET-1 dan HbA1c……………………………. 64

xvii

DAFTAR SINGKATAN

ADA : American Diabetes Association

AGEs : Advanced Glycosilation End Products

bFGF : Basic fibroblast grotwh factor

DM : Diabetes Mellitus

EDRF : Endothelium Derived Relaxing Factor

ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay

ET : Endothelin

FFA : Free Fatty Acid

GDM : Gestational Diabetes Mellitus

GIP : Glucose Dependent Insulinotrophic Polypeptide / Gastric

Inhibitory Polypeptide

GLP : Glucagon Like Polypeptide

HbA1c : Hemoglobin Glikatq

HGP : Hepatic Glucose Production

HPLC : High Performance Liquid Chromatography

ICAM : Intercellular Adhesion Molecule

IFCC : International Federation of Clinical Chemistry

IGF : Insulin Like Growth Factor

IMT : Indeks Massa Tubuh

KV : Kardiovaskular

LAM : Leukocyte Adhesion Molecule

MODY : Maturity-Onset Diabetes of the Young

xviii

NGSP : National Glycohemoglobin Standardization Program

PKC : Protein Kinase C

PP : Post prandial

TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral

UKDS : United Kingdom Prospective Diabetes Study

VCAM : Vascular Cell Adhesion Molecule

WHO : World Health Organization

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Diabetes Mellitus (DM) masih menjadi masalah kesehatan di

masyarakat. Angka morbiditas dan mortalitas dari penderita DM semakin hari

semakin meningkat (Gustaviani R, 2007, Purnamasari D, 2014). Tahun 2011

Jumlah penyandang DM di dunia mencapai 336 juta jiwa dan diprediksi akan

terus bertambah menjadi 350 juta jiwa pada tahun 2020. Di Singapura,

frekuensi DM meningkat cepat dalam 10 tahun terakhir. Di Amerika Serikat,

penderita DM meningkat dari 6.536.163 jiwa di tahun 1990 menjadi

20.676.427 jiwa di tahun 2010. DM termasuk penyakit terbanyak di Asia,

tahun 2006 diperkirakan 89 juta penduduk Asia menderita DM. Prevalensi

DM di Asia Tenggara sebanyak 46 juta jiwa dan diperkirakan meningkat

menjadi 119 juta jiwa. Berdasarkan pola pertambahan penduduk saat ini

diperkirakan jumlah penyandang DM tahun 2010 sebanyak 306 juta jiwa, di

negara-negara ASEAN 19,4 juta jiwa pada tahun 2010.

Data World Health Organization (WHO), jumlah penyandang DM di

Indonesia merupakan yang terbanyak setelah India, China, dan Amerika

Serikat. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia

dari 8,4 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta jiwa pada tahun

2030. International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi

kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta jiwa pada tahun 2009 menjadi

2

12,0 juta jiwa pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka

prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah

penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030.

Penelitian epidemiologi, prevalensi DM di Makassar meningkat dari

1,5% pada tahun 1981 menjadi 3,5% pada tahun 1998 dan meningkat lagi

menjadi 12,5% pada tahun 2005 (Suyono S, 2014).

DM adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

keduanya (PERKENI, 2015). DM digolongkan atas DM tergantung insulin

(DM tipe 1) dan DM tidak tergantung insulin (DM tipe 2). Menurut ADA 2016

DM tipe 2 adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang

disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat

penurunan sekresi insulin yang progresif dengan latar belakang resistensi

insulin.

DM tipe 2 yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan

berbagai komplikasi yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi

kronis DM tipe 2 dapat berupa komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular

yang dapat menurunkan kualitas hidup penderita. Penyebab utama kematian

penyandang DM tipe 2 adalah komplikasi makrovaskular. Komplikasi

makrovaskular melibatkan pembuluh darah besar yaitu pembuluh darah

koroner, pembuluh darah otak dan pembuluh darah perifer. Mikrovaskular

merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina

3

(retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf

perifer (neuropati diabetik).

Sel endotel merupakan selapis sel yang melapisi bagian dalam lumen

dari seluruh pembuluh darah dan berperan sebagai penghubung antara

sirkulasi darah (sel-sel darah, cairan plasma darah dan sel-sel otot polos

pembuluh darah). Sel endotel berinteraksi langsung dengan sel-sel otot

polos pembuluh darah dan sel-sel darah serta komponen cairan plasma

darah. Disamping berperan sebagai sawar fisik antara darah dan jaringan,

sel endotel memfasilitasi berbagai fungsi yang kompleks dari sel otot polos

pembuluh darah dan sel-sel didalam kompartemen darah (Shahab, Alwi.

2009).

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel endotel memegang

peranan penting dalam sistem keseimbangan tubuh yang terjadi melalui

integrasi kerja berbagai zat mediator kimiawi yang dikeluarkan oleh sel

endotel. Sistem ini mempunyai efek baik terhadap sel-sel otot polos

pembuluh darah maupun sel-sel darah sehingga dapat menimbulkan

berbagai perubahan antara lain: pelebaran atau penyempitan pembuluh

darah untuk mengatur kebutuhan suplai darah bagi seluruh organ tubuh

manusia, pertumbuhan dari sel-sel otot polos pembuluh darah, proses

radang dan anti radang, serta mempertahankan kekentalan darah dan

mencegah perdarahan (Shahab, Alwi. 2003).

Fungsi endotel sangat banyak dan melibatkan berbagai sistem dalam

tubuh, maka perubahan fungsinya akan memberikan dampak secara

4

keseluruhan pada tubuh. Secara mendasar gangguan fungsi sel endotel

merupakan keadaan dimana terjadinya peningkatan atau penurunan dari

setiap zat yang diproduksi oleh sel endotel atau perubahan dari setiap fungsi

masing-masing zat tersebut (Shahab, Alwi. 2003). Terjadinya gangguan

fungsi endotel pada DM merupakan dasar terjadinya komplikasi menahun

dari penyakit ini. Bila penyakit diabetes melitus ini berlangsung lama dan

kadar gula darah tidak terkontrol dengan baik, maka akan menimbulkan

berbagai komplikasi terutama pada mata, ginjal, syaraf, serta terjadinya

gangguan pada jantung (Jansson P. 2007).

Endotel berfungsi sebagai barier yang membatasi kontak langsung

antara sel darah vaskuler. Endotel mempunyai peranan terhadap regulasi

tonusvaskuler. Moncada dkk. menemukan prostasiklin sebagai vasodilator

poten yang dihasilkan oleh sel endotel, dan Furchgott dan Zawadski

menemukan vasodilator non prostanoid yang juga dihasilkan oleh sel endotel

yang dikenal sebagai endothelium derived relaxing factor (EDRF) yaitu nitrat

oksida. Dengan demikian memang telah lama diselidiki kemungkinan endotel

menghasilkan zat yang dapat menimbulkan vasokonstriksi, dan Yanagisawa

dkk. menemukan endotelin.

Endothelin (ET) merupakan peptida yang diperkenalkan oleh

Yanagisawa et al, yang merupakan efek endothelin pada kontraksi arteri

koroner dan lebih kuat efeknya dibandingkan angiotensin II dalam kontraksi

pembuluh darah. Terdapat tiga isoform berbeda dari ET yaitu ET-1, ET-2,

ET-3, semuanya dibentuk dari 21 asam amino. ET-1 merupakan isoform aktif

5

yang utama yang diekspresikan di pembuluh darah. ET diproduksi oleh

banyak organ termasuk sel endotel, sel otot polos pembuluh darah arteri dan

vena, fibriblast, miosit pada jantung dan beberapa sel pada ginjal, paru-paru,

usus, otak, jaringan endokrin perifer, dan plasenta. Berbeda dengan ET-2

dan ET-3, ET-1 juga diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah dengan

jumlah yang sangat banyak, dan ET-1 juga diproduksi oleh sel-sel kanker,

pancreas, dan sel mast (Singh et al, 2011).

Komplikasi pada DM seperti retinopati, nefropati, neuropati disebabkan

oleh adanya gangguan pada fungsi mikrovaskular, perubahan dan fungsi

pada mikrosirkulasi. Terdapat ketidakseimbangan antara substansi endotel

yang memicu vasodilatasi dan vasokontriksi pada pasien diabetes melitus.

ET-1 merupakan vasokonstriktor kuat dan jumlahnya meningkat pada kondisi

mikroangiopati pada DM tipe 2. Disfungsi endotel pembuluh darah

tampaknya mendahului terjadinya resistensi insulin (Singh et al, 2011).

ET-1 juga memiliki efek inotropik, kemotaktik, dan mitogenik. Endothelin

juga memiliki pengaruh dalam hemostasis garam dan air melalui

pengaruhnya pada sistem renin-angiotensin-aldosteron, vasopressin, atrial

natriuretic peptide dan mamicu sistem saraf simpatis. Sacara umum efek dari

endothelin adalah meningkatkan tekanan darah dan tonus pembuluh darah.

Dengan demikian antagonis ET dapat berperan dalam pengobatan

gangguan jantung, pembuluh darah, dan ginjal yang berhubungan dengan

vasokonstriksi regional maupun sistemik, dan proliferasi sel seperti hipertensi

6

esensial, hipertensi pulmonal, gagal jantung kronik, dan gagal ginjal kronik

(Agapitov & Haynes, 2002).

ET-1 adalah suatu peptida asam amino yang dihasilkan langsung oleh

sel endotel, dan merupakan vasokonstriktor VSMC lokal yang paling penting

di samping bersifat mitogen pada sel otot polos. Penelitian yang dilakukan

McEniery et al. menunjukkan bahwa produksi ET-1 endogen secara

langsung meregulasi PWV arteri besar dan menyimpulkan bahwa kondisi

yang menyebabkan upregulasi ET-1 akan menyebabkan peningkatan

kekakuan arteri (Sjostrom et al, 2001).

Obesitas telah dihubungkan dengan meningkatnya aktivitas ET-1.

Penelitian oleh Cardillo et al, menunjukkan bahwa pada pasien hipertensi,

peningkatan indeks massa tubuh (IMT) dihubungkan dengan peningkatan

aktivitas ET-1. Mather et al, melaporkan hal yang sama pada pasien DM tipe

2. Disamping itu, leptin yang sering ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada

obesitas merupakan zat yang dapat menginduksi ET-1.37 Pada penelitian

mengenai hipertrofi kardiomiosit, leptin yang merupakan produk gen ob yang

diproduksi oleh sel adiposa, berpengaruh terhadap sel kardiomiosit melalui

ROS dan ET-1 (Wilkinson et al. 2004).

DM jika tidak dikelolah dengan baik akan mengakibatkan terjadinya

berbagai penyulit menahun berupa komplikasi makro ataupun mikrovaskuler

seperti penyakit serebrovaskular, penyakit jantung koroner, penyakit

pembuluh darah tungkai, gangguan pada mata (retinopati), gangguan pada

ginjal (nefropati) dan gangguan pada saraf (neuropati). Penyandang DM

7

mempunyai risiko 2 kali lebih besar untuk mengalami penyakit jantung

koroner dan penyakit pembuluh darah otak, 5 kali lebih mudah menderita

ulkus atau gangren, 7 kali lebih mudah mengidap gagal ginjal terminal, dan

25 kali lebih mudah mengalami kebutaan akibat kerusakan retina daripada

pasien non diabetes. Usaha untuk menyembuhkan kembali menjadi normal

sangat sulit jika sudah terjadi penyulit, karena kerusakan yang terjadi

umumnya akan menetap. Usaha pencegahan diperlukan lebih dini untuk

mengatasi penyulit tersebut dan diharapkan akan sangat bermanfaat untuk

menghindari terjadinya berbagai hal yang tidak menguntungkan

(RISKESDAS, 2013).

Salah satu upaya untuk mengatasi berbagai dampak negatif akibat

terjadinya disfungsi endotel pada penderita diabetes mellitus tipe 2 adalah

dengan mengetahui beberapa penanda terjadinya disfungsi endotel tersebut

seperti ET-1. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian tentang

disfungsi endotel pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan kajian

terhadap Endothelin-1.

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dirumuskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

8

1. Bagaimana kadar ET-1 pada penderita DM Tipe 2 terkontrol?

2. Bagaimana kadar ET-1 pada penderita DM Tipe 2 tidak terkontrol?

3. Bagaimana hubungan antara kadar ET-1 terhadap kontrol gula darah?

I.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Manganalisis kadar ET-1 pada DM tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui kadar ET-1 pada penderita DM tipe 2 terkontrol.

b. Mengetahui kadar ET-1 pada penderita DM tipe 2 tidak terkontrol.

c. Mengetahui hubungan antara kadar ET-1 terhadap kontrol gula darah.

I.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Keilmuan

1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah

tentang gambaran dan hubungan antara ET-1 sebagai faktor yang

berperan dalam kontrol gula darah.

2. Menjadi acuan untuk menganalisa lebih lanjut tentang faktor-faktor lain

yang berperan terhadap kejadian komplikasi DM tipe 2 dan sebagai

dasar peneliti untuk mengkaji lebih banyak hal yang terkait dengan

hasil penelitian yang didapatkan.

1.4.2. Manfaat aplikasi

9

1. Menjadi bahan pertimbangan dalam penatalaksanaan DM tipe 2

dengan mempertimbangkan peran ET-1.

2. Menjadi bahan pertimbangan dalam memprediksi kejadian komplikasi

kronik DM tipe 2 melalui kajian ET-1.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Diabetes MelitusTipe 2

II.1.1. Definisi

10

Menurut American Diabetes Association (ADA), diabetes melitus

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

kedua-duanya (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus

Tipe 2 di Indonesia, 2015; ADA, 2015).

II.1.2. Epidemiologi

Prevalensi DM pada populasi dewasa (usia 30-79 tahun) di seluruh

dunia mencapai 6,4% pada tahun 2010, diderita oleh 287 juta orang dewasa

dan diperkirakan akan mengalami peningkatan hingga 7,7% dan diderita oleh

439 juta orang dewasa pada tahun 2030. Prevalensi DM di Indonesia pada

tahun 2010 diperkirakan 4,6% dengan jumlah penderita sebanyak 6,6 juta

pasien (Shaw, 2010).

Prevalensi DM di Makassar tahun 2005 adalah sebesar 12,5% dari

sebelumnya 1,5% pada tahun 1981 dan 3,5% pada tahun 1998. Diabetes

melitus tipe 2 adalah kelompok yang terbanyak ditemukan yakni berkisar 90-

95% dari semua jenis diabetes. Diketahui bahwa kejadian DM yang belum

terdiagnosis masih cukup tinggi, hampir 3 kali lipat dari jumlah kasus DM

yang sudah terdeteksi (Suryono S, 2014). Prevalensi nasional DM pada

populasi perkotaan adalah 5,7% dan prevalensi di provinsi Sulawesi Selatan

tahun 2007 adalah 4,7% (Depkes, 2008).

II.1.3. Klasifikasi

Berdasarkan ADA tahun 2016, Diabetes dapat diklasifikasikan ke dalam

kategori umum berikut:

11

1. Diabetes tipe 1 (disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas, biasanya

menyebabkan defisiensi insulin absolut).

2. Diabetes tipe 2 (disebabkan oleh defek dari sekresi insulin yang progressif

dengan latar belakang resistensi insulin).

3. Gestational Diabetes Mellitus (GDM) (diabetes yang didiagnosis pada

trimester kedua atau ketiga kehamilan yang tidak mempunyai riwayat

diabetes yang jelas).

4. Diabetes tipe khusus karena disebabkan oleh penyebab lain, misalnya,

monogenic diabetes syndromes (sindrom diabetes monogenik) (seperti:

diabetes neonatal dan Maturity-Onset Diabetes of the Young (MODY)),

penyakit pankreas eksokrin (seperti cystic fibrosis), akibat penggunaan

obat –obatan atau bahan kimia (seperti dengan penggunaan

glukokortikoid, dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi

organ) (ADA, 2016).

II.1.4. Etiologi

Perlangsungan penyakit DM tipe 2 berkaitan dengan berbagai macam

faktor risiko penurunan sekresi insulin dan sensitivitas insulin, yaitu

kombinasi antara faktor genetik dan faktor lingkungan (Kohei K, 2010).

a. Faktor genetik

Penyakit DM tipe 2 berhubungan dengan riwayat keluarga. Terdapat

abnormalitas genetik dari molekul yang berperan pada metabolisme

glukosa misalnya polimorfisme reseptor insulin. Sejauh ini, kelainan

12

genetik yang sudah diteliti telah mampu menjelaskan sekitar 30% faktor

genetik penyebab DM (Kohei K, 2010).

b. Faktor lingkungan

Proses penuaan, obesitas, kurangnya penggunaan energi, konsumsi

alkohol dan merokok merupakan faktor risiko independen DM. Obesitas

(terutama obesitas sentral), akibat minim aktivitas, biasanya disertai

dengan penurunan massa otot, menginduksi resistensi insulin. Perubahan

pola makan seperti meningkatnya konsumsi lemak, menurunnya konsumsi

serat, meningkatnya konsumsi gula sederhana menyebabkan obesitas

dan gangguan toleransi glukosa (Kohei K, 2010).

II.1.5. Patofisiologi

Sel-sel endokrin pada organ pankreas terletak di pulau langerhans,

terdiri atas dua macam sel yaitu sel α dan β. Sel α mensekresikan glukagon

dan sel β mensekresikan insulin. Glukagon disekresikan sebagai respon

terhadap penurunan kadar glukosa plasma, berperan penting dalam

glukoneogenesis di hepar. Sedangkan insulin disekresikan sebagai respon

terhadap peningkatan kadar glukosa plasma, berperan dalam stimulasi

ambilan glukosa di jaringan perifer dan glikogenesis di hepar. Bila setelah

makan terjadi peningkatan kadar glukosa darah maka sel β mensekresikan

insulin ke sirkulasi untuk menurunkan kadar glukosa darah, tetapi sebaliknya

bilakadar glukosa darah menurun maka sel α akan mensekresikan glukagon

untuk meningkatkan glukosa darah (Spellman, 2010).

13

Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang dihubungkan oleh

jembatan disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B 30 asam

amino (Power AC, 2005). Setiap hari sekitar 40-50 unit insulin disekresi

kedalam sirkulasi portal. Sekitar separuh dari jumlah tersebut merupakan

insulin basal, sisanya merupakan respon rangsangan peningkatan glukosa

makanan di dalam darah (Suryohudo P, 2007).

Dalam patogenesis hiperglikemia DM tipe 2, ada kaitan antara

resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Awalnya terjadi resistensi

insulin lalu diikuti dengan gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin yang

dimaksud adalah konsentrasi insulin dibutuhkan dalam konsentrasi yang

lebih tinggi daripada normal untuk mempertahankan keadaan normoglikemia.

Pada keadaan toleransi glukosa terganggu, hiperglikemia terjadi karena

resistensi jaringan terhadap kerja insulin lalu diikuti dengan hipersekresi

insulin (hiperinsulinemia) sebagai bentuk kompensasi dalam

mempertahankan kadar glukosa normal. Bila hal ini terus berlanjut, maka

jumlah insulin semakin tidak mencukupi meskipun sekresi insulin telah

dipicu, maka penyakit DM tipe 2 akan menjadi nyata (Paramarz IB, 2012).

Perkembangan dari keadaan normal menjadi toleransi glukosa

terganggu, kadar glukosa post prandial pertama kali meningkat. Glukosa

puasa yang tinggi terjadi apabila terdapat kegagalan supresi

glukoneogenesis hati (Khardori, 2012).

Resistensi insulin akan menghambat pemakaian glukosa pada jaringan

yang sensitif terhadap kerja insulin dan akan meningkatkan output glukosa

14

hati, kedua hal tersebut mengakibatkan keadaan hiperglikemia. Peningkatan

output glukosa hati menyebabkan peningkatan kadar glukosa puasa,

sedangkan penurunan penggunaan glukosa perifer menyebabkan

hiperglikemia post prandial (Power AC, 2010).

Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada organ hati menggambarkan

ketidakmampuan hiperinsulinemia dalam menekan glukoneogenesis yang

menyebabkan hiperglikemia dalam keadaan puasa dan penurunan cadangan

glikogen oleh hati dalam keadaan post prandial. Peningkatan glukosa hati

muncul pada awal diabetes, setelah permulaan abnormalitas sekresi insulin

dan resistensi insulin pada otot skelet (Power AC, 2010).

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas

telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2

Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih

berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta,

organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal

(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal

(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya

ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa

pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa

ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini

memberikan konsep tentang:

1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis,

bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja.

15

2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat

pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.

3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau

memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada

penyandang gangguan toleransi glukosa.

DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot,

liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis

penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang

disebutnya sebagai the ominous octet (gambar-1).

Gambar II.1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam

patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the

Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of

Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795)(PERKENI, 2015)

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal

(omnious octet) berikut :(PERKENI, 2015)

1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2

16

ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik

yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1

agonis dan DPP-4 inhibitor.

2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat

dan memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam

keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production)

meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang

menekan proses glukoneogenesis.

3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin

yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin

sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot,

penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat

yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.

4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari

insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam

lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA

akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan

resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi

insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai

lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.

5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar

dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai

efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like

17

polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic

polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada

penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten

terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh

keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa

menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah

kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai

peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-

glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang

kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa

darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja

ensim alfa-glukosidase adalah akarbose.

6. Sel-α Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan

dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi

dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di

dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP

dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu

yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau

menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4

inhibitor dan amylin.

7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam

pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa

sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap

18

kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co- Transporter)

pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan

di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan

asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada

penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang

menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan

kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan

lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor.

Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.

8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada

individu yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan

hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari

resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru

meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.

Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan

bromokriptin.

II.1.6. Gejala Klinis

Gejala klinis DM dapat berlangsung asimptomatik atau dengan gejala

khas yaitu sering berkemih (poliuria), rasa haus (polidipsi), rasa lapar

(polifagi), disertai berat badan menurun tanpa sebab yang jelas. Gejala lain

yang dapat timbul adalah lemah badan, kesemutan, rasa gatal di seluruh

badan (pruritus), mata kabur, disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulva

pada wanita (Masharani, 2015; PERKENI, 2015)

19

II.1.7. Diagnosis

Berdasarkan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di

Indonesia (ADA, 2015; ADA, 2016), diagnosis DM Tipe 2 ditegakkan melalui:

a. Pemeriksaan glukosa plasma puasa > 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi

tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau

b. Pemeriksaan glukosa plasma > 200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi

Glukosa Oral (TTGO) dengan beban 75 gr, atau

c. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl dengan keluhan

klasik,atau

d. Pemeriksaan HbA1C ≥ 6,5%, dengan menggunakan metode High

Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh

National Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP).

II.1.8. Pengawasan / Pemantauan DM

Penatalaksanaan glikemia pada pasien diabetes bertujuan mencegah

hiperglikemik sementara, disisi yang berbeda perlu menghindari terjadinya

episode hipoglikemik berat. Keadaan kronik diabetes suatu risiko terjadinya

komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular (makro/mikroangiopati) dan

sejalan dengan kadar dan lamanya hiperglikemik (Faramarz IB, 2012).

Usaha mencegah komplikasi kronik perlu pengawasan diabetes yang

baik sebagai sasaran terapi. Terapi dan pengawasan diabetes seharusnya

meliputi kondisi metabolik kompleks dan penekanan terhadap kontrol

glikemik. Terdapat pendekatan multifaktorial dalam manajemen diabetes

terhadap risiko perkembangan komplikasi. Pasien diabetes dikatakan

20

terkontrol baik bila kadar glukosa darah, HbA1c dan lipid mencapai kadar

yang diharapkan, demikian pula status gizi serta tekanan darah (Konsensus,

2006).

Kriteria pengendalian didasarkan pada hasil pemeriksaan kadar

glukosa, kadar HbA1C, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik

adalah apabila kadar glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar

yang diharapkan, serta status gizi maupun tekanan darah sesuai target yang

ditentukan. Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada Tabel

1.

Tabel II.1.Sasaran Pengendalian DM (PERKENI,2015)

Parameter Sasaran

IMT (kg/m2

) 18,5 - < 23*

Tekanan darah sistolik (mmHg) < 140 (B)

Tekanan darah diastolik (mmHg) <90 (B)

Glukosa darah preprandial kapiler (mg/dl) 80-130**

Glukosa darah 1-2 jam PP kapiler (mg/dl) <180**

HbA1c (%) < 7 (atau individual) (B)

Kolesterol LDL (mg/dl) <100 (<70 bila risiko KV sangat tinggi) (B)

Kolesterol HDL (mg/dl) Laki-laki: >40; Perempuan: >50 (C)

Trigliserida (mg/dl) <150 (C)

Keterangan : KV = Kardiovaskular, PP = Post prandial *The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and Its Treatment, 2000 ** Standards of Medical Care in Diabetes, ADA 2015 (PERKENI, 2015)

21

II.2. Hemoglobin Glikat (HbA1c)

II.2.1. Definisi

Hemoglobin glikat (HbA1c) adalah bentuk ikatan molekul glukosa

dengan asam amino valin pada ujung rantai beta hemoglobin. American

Diabetes Association merekomendasikan pemeriksaan HbA1c sebagai

kontrol glikemik jangka panjang pasien DM. Keadaan hiperglikemia yang

berlangsung lama pada penderita DM menyebabkan terbentuknya proses

glikasi non enzimatik protein termasuk hemoglobin (HbA1c). Hemoglobin

glikat menggambarkan rerata kadar glukosa darah dalam 2-3 bulan

sebelumnya. Diketahui bahwa terdapat korelasi antara kadar gula darah

dengan kadar HbA1c. Hasil pemeriksaan glukosa darah dan HbA1c

digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengobati pasien DM. Selain

itu, ADA juga sudah merekomendasikan HbA1c sebagai alat diagnosis pada

seseorang yang berisiko tinggi terkena DM (ADA, 2015; DCCT,1993).

Selain sebagai alat diagnosis, skrining dan penentuan kontrol status

glikemik, HbA1c digunakan juga sebagai prediktor perkembangan komplikasi

DM. Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya korelasi HbA1c dengan

komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Penelitian oleh United

Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) dan DCCT menunjukkan

bahwa penurunan kadar HbA1c dapat menurunkan risiko nefropati sebesar

22

25-44%, penurunan risiko retinopati sebesar 35% dan penurunan risiko

neuropati sebesar 30% (Powers AC, 2010).

II.2.2. Pembentukan HbA1c

Hemoglobin terglikosilasi adalah suatu bentuk ikatan molekul glukosa

dengan asam amino valin pada ujung rantai beta hemoglobin. Reaksi yang

terjadi bersifat non enzimatik. Pada keadaan hiperglikemia sementara, ikatan

molekul glukosa dan hemoglobin bersifat sementara dan labil. Tetapi pada

keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama, ikatan akan menjadi stabil

sebagai HbA1c (Suryaatmadja M, 2013).

Gugus karbonil glukosa bereaksi dengan gugus N terminal valin dari

hemoglobin lalu membentuk gugus aldimin atau schiff base yang bersifat

labil. Selanjutnya terjadi penyusunan kembali amadori yang membentuk

ketoamin yang bersifat stabil, sehingga dapat bertahan sepanjang masa

hidup eritrosit. Volume HbA1c yang dihasilkan sebanding dengan kadar

glukosa darah (Little, 2009).

II.2.3. Peranan HbA1c

Kadar HbA1c tergantung dari umur eritrosit yang memiliki masa hidup

sekitar 100 – 120 hari, sehingga kadar HbA1c menggambarkan rerata kadar

glukosa selama 2–3 bulan sebelumnya. Keadaan hiperglikemia yang

berlangsung kronik dapat meningkatkan HbA1c sekitar 2-3 kali lipat. Peranan

kadar glukosa darah terhadap HbA1c tergantung pada interval waktu. Kadar

glukosa darah dalam 30 hari terakhir berkontribusi sebesar 50% terhadap

kadar HbA1c, kadar glukosa darah hari ke-31 hingga hari ke-90 berkontribusi

23

sebesar 40% terhadap kadar HbA1c dan kadar glukosa darah hari ke-91

hingga hari ke-120 hanya berkontribusi sebesar 10% dari kadar HbA1c. Hal

ini menegaskan bahwa kadar glukosa darah yang terakhir lebih berperan

dibandingkan kadar glukosa darah sebelumnya. Peranan kadar glukosa

darah terhadap HbA1c tergantung pada interval waktu (Kilpatrick, 2000;

Sack, 2005).

Nilai % HbA1c akhir dinyatakan sebagai rasio hemoglobin terglikasi

spesifik dengan hemoglobin total dalam sampel darah. Perhitungan menurut

International Federation of Clinical Chemistry (IFCC) adalah % HbA1c =

HbA1c (g/dl) x 100 + Hb (g/dl), sedangkan perhitungan menurut DCCT/

NGSP % HbA1c = 0,915 x IFCC + 2,15. Jenis pengujian kanal ini

memanfaatkan program perhitungan untuk menyajikan data hasil HbA1c

(John WG, 2011).

Tabel II.2. Konversi HbA1c ke dalam kadar glukosa plasma rata-rata (ADA,

2015)

HbA1c (%) Kadar glukosa plasma rata-rata (mg/dL)

6

7

8

9

10

11

126

154

183

212

240

269

24

12 298

II.2.4. Keunggulan dan Keterbatasan Pemeriksaan HbA1c

Terdapat beberapa keunggulan pemeriksaan HbA1c dibandingkan

pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan sampel HbA1c dapat

diambil kapan saja, sehingga pasien tidak perlu puasa. Hal ini jelas berbeda

dengan pemeriksaan kadar GDP dan TTGO yang memerlukan persiapan

puasa sedikitnya 8 jam. Kadar HbA1c juga relatif stabil pada suhu kamar,

relatif tidak dipengaruhi variasi biologis, perubahan gaya hidup jangka

pendek dan beberapa keadaan akut seperti stres ataupun olahraga (Little,

2009).

Hasil pemeriksaan HbA1c dapat meningkat palsu dan menurun palsu.

Kondisi yang dapat menyebabkan kadar HbA1c meningkat palsu diantaranya

adalah: anemia defisiensi besi, defisiensi vitamin B12, penurunan

eritropoiesis, alkoholisme, gagal ginjal kronik, meningkatnya masa hidup

eritrosit, splenektomi, hiperbilirubinemia, carbamylated haemoglobin,

penggunaan opiat yang kronik. Splenektomi menyebabkan kondisi

meningkatnya usia rerata eritrosit di dalam sirkulasi, hal ini akan

25

memperlambat bersihan eritrosit sehingga kadar HbA1c akan meningkat

palsu (Speeckaert, 2014).

Kondisi yang dapat menyebabkan kadar HbA1c menurun palsu adalah;

anemia hemolitik, anemia karena perdarahan aktif, penyakit hati kronik,

keadaan hemoglobinopati dan splenomegali. Pada anemia hemolitik,

hemoglobin pada eritrosit muda lebih sedikit mendapat glukosa dari

lingkungan sekitarnya, sedangkan pada anemia karena perdarahan aktif

terdapat peningkatan produksi retikulosit dan akan mengurangi usia rerata

eritrosit (Speeckaert, 2014).

II.3. Endotel

Sel-sel endotel yang melapisi dinding bagian dalam pembuluh darah,

secara strategis berada diantara plasma serta sel-sel darah dan otot polos

pembuluh darah. Keutuhan endotel sangat penting dalam mempertahankan

kelancaran aliran darah, karena endotel melepaskan faktor-faktor humoral

yang dapat mengendalikan relaksasi dan kontraksi, trombogenesis dan

fibrinolisis serta aktivasi dan inhibisi platelet. Endotel berperan penting

sebagai organ endokrin dalam mengendalikan tekanan darah, kelancaran

aliran darah dan keutuhan pembuluh darah. Keutuhan fungsi sel endotel

dapat mengalami gangguan akibat pengaruh berbagai faktor seperti

hiperglikemi, hiperkolesterolemi, zat-zat toksik termasuk radikal-radikal

bebas, obat-obatan, infeksi dan proses-proses imunologik. Selanjutnya

gangguan fungsi endotel dapat menimbulkan kelainan dan penyakit

26

kardiovaskular seperti aterosklerosis, hipertensi dan payah jantung, sehingga

dapat menimbulkan hipoperfusi, oklusi vaskular dan kerusakan organ.

Berbagai penelitian menujukan bahwa sel endotel memegang

peranan penting dalam sistem keseimbangan tubuh yang terjadi melalui

intergrasi kerja berbagai zat yang dikeluarkan oleh sel endotel. Sistem ini

mempunyai efek baik terhadap sel-sel otot polos pembuluh darah maupun

sel-sel darah sehingga dapat menimbulkan berbagai perubahan.

II.3.1. Peran sel endotel dalam sistem keseimbangan tubuh

1. Pelebaran atau penyempitan pembuluh darah untuk mengatur kebutuhan

suplai darah bagi seluruh organ tubuh manusia

2. Pertumbuhan dari sel-sel otot polos pembuluh darah

3. Proses radang dan anti radang

4. Mempertahankan kekentalan darah dan mencegah perdarahan

II.3.2. Zat-zat yang diproduksi oleh sel endotel

1. Nitrat oksida

Selama beberapa dekade, telah terbukti bahwa nitrat oksida tidak

hanya berperan dalam mengontrol otot polos pembuluh darah melainkan

juga berperan dalam mempertahankan keseimbangan fungsi pembuluh

darah dan syaraf. Nitrat oksida yang dihasilkan oleh sel endotel akan

berdifusi kedalam sel-sel otot polos pembuluh darah dan mengaktifasikan

suatu enzim guanylate cyclase yang memproduksi cyclic GMP sehingga

akan terjadi pelebaran pembuluh darah dan melancarkan aliran darah

keseluruh tubuh.

27

2. Endothelin, prostglandin dan angiotensin II (ANG-II )

Sel endotel juga memproduksi zat-zat yang dapat menimbulkan

penyempitan pembuluh darah yaitu endothelin, prostaglandin dan

angiotensin II, Terjadinya pelebaran atau penyempitan pembuluh darah

ditentukan oleh keseimbangan antara zat nitrat, endothelin, prostaglandin

dan angiotensin II.

3. Zat-zat pengatur proses pembekuan darah

Sel endotel mempunyai peranan penting dalam mempertahankan

kekentalan darah dan mengembalikan intergritas dinding pembuluh darah

bila tejadi cedera untuk mencegah perdarahan.

Pembekuan darah terjadi karena terbentuknya zat trombin yang aktif

yang mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin kemudian akan

mengalami polimerasi dan akan membentuk gumpalan Fibrin yang stabil

yang akan menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Gumpalan fibrin

selanjutnya akan mengalami pemecahan akibat kerja enzim lainya, yaitu

plasmin yang berfungsi mencegah terjadinya pembekuan darah lanjut.

4. Zat-zat perangsang pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah dan

proses peradangan.

Sel endotel juga berperan penting dalam pertumbuhan dan sel otot

polos pembuluh darah dengan cara melepaskan berbagai promotor atau

inhibitor seperti insulin like growth factor 1 (IGF-1), PGF, Basic fibroblast

grotwh factor ( bFGF). Sel endotel juga terlibat dalam produksi berbagai

molekul yang berperan dalam proses peradangan, yaitu antara lain LAM,

28

ICAM dan VCAM. Molekul-molekul ini berfungsi mengaktifkan sel-sel yang

terlibat dalam reaksi peradangan terutama sel-sel darah putih.

Karena fungsi endotel sangat banyak dan melibatkan berbagai sistem

dalam tubuh, maka perubahan fungsinya akan memberikan dampak secara

keseluruhan pada tubuh. Secara mendasar gangguan fungsi sel endotel

merupakan keadaan dimana terjadinya peningkatan atau penurunan dari

setiap zat yang diproduksi oleh sel endotel atau perubahan dari setiap fungsi

masing-masing zat tersebut.

Sel endotel juga terlibat dalam produksi berbagai molekul yang

berperan dalam proses inflamasi, yaitu antara lain leukocyte adhesion

molecule (LAM), intercellular adhesion molecule (ICAM) dan vascular cell

adhesion molecule (VCAM). Molekul-molekul ini disebut sebagai "molekul

adhesi" dan berfungsi mengaktifkan sel-sel yang terlibat dalam reaksi

inflamasi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dalam proses

aterosklerosis terjadi peningkatan kadar petanda-petanda inflamasi (acute

phase proteins) didalam darah.

II.3.3. Disfungsi endotel

Disfungsi endotel adalah suatu keadaan yang ditandai dengan

ketidakseimbangan fungsi faktor-faktor relaksasi dan faktor-faktor kontraksi

yang diproduksi oleh endotel. Disfungsi endotel dapat merupakan penyebab

atau sebagai akibat penyakit pembuluh darah. Disfungsi endotel mengawali

terjadinya perubahan struktur pembuluh darah. Hal ini menunjukkan betapa

pentingnya peranan endotel yang utuh dalam memproteksi pembuluh darah.

29

Sementara beberapa pembuluh darah rentan untuk mengalami disfungsi

endotel dan aterosklerosis, seperti arteri koroner epikardial, arteri-arteri besar

seperti aorta atau arteri iliaca, yang lain seperti arteri mammaria interna dan

arteri brachialis, terlindung terhadap disfungsi endotel. Adanya perbedaan ini

mungkin berhubungan dengan perubahan selektif akibat pengaruh tekanan

nadi atau perubahan fungsi sel endotel itu sendiri pada daerah-daerah yang

berbeda sepanjang jalur pembuluh darah.

Perubahan morfologi sel endotel ini akan diikuti dengan perubahan

fungsi dan penebalan tunica intima, disertai dengan akumulasi sel-sel darah

putih, sel-sel otot polos pembuluh darah dan fibroblast serta endapan matrix.

Terjadinya gangguan fungsi endotel pada diabetes melitus merupakan

dasar terjadinya komplikasi menahun dari penyakit ini. Diabetes melitus

adalah penyakit yang ditandai dengan oleh adanya hiperglikemia atau

peningkatan kadar gula darah akibat gangguan insulin atau gangguan

produksi insulin atau keduanya.

Bila penyakit daibetes melitus ini berlangsung lama dan kadar gula

darah tidak terkontrol dengan baik, maka akan menimbulkan berbagai

komplikasi terutama pada mata, ginjal syaraf , serta terjadinya gangguan

pada jantung.

30

II.3.4. Komplikasi Kerusakan Sel Endotel Pembuluh Darah Yang Terjadi

Pada DM

1. Komplikasi pada ginjal

Komplikasi yang sering terjadi adalah nefropati diabetik, yang ditandai

dengan adanya protein yang menetap (lebih besar 0,5 gr/24 jam) disertai

dengan adanya retinopati dan hipertensi tanpa kelainan ginjal primer.

Kelainan patologik terutama pada glomerulosklerosis difus berupa:

- Penebalan membran basalis glomerulus

- Peningkatan matrix mesengial difus

- Timbul oblitersai lumen kapiler

- Kelainan jaringan intertistil akibat sekunder kelainan pembuluh darah

dan glomerulus

- Kelainan vascular penebalan hialin arteriole afferan dan efferent

- Atrofi tubulus dan fibrosis intertistil

Patogenesis nefropati menurut Vibretii:

Metabolik

Hiperglikemia akibat KGD tidak terkontrol menyebabkan

mikroangiopati

Glikolasi non enzymatik

Reaksi antara glukosa dengan protein menyebabkan peningkatan

produksi glikolasi dengan proses non enzymatik. Produksi ini

dinamakan AGEs. Dalam jangka panjang jumlah AGEs didalam

31

glomerolus meningkat dan menimbulkan kelainan MB dan Mesangium

yang akhirnya merusak glomerulus.

Polyol pathway

Didalam sel ginjal terdapat enzym aldose reduktase yang berubah

dalam sel menjadi sorbitol. Bila kadar KGD meningkat maka sorbitol

meningkat jumlahnya dalam sel sehingga kadar mionositol berkurang

yang akan mengakibatkan osmoregulasi sehingga sel rusak.

Kelainan biokimia matrix selular

Glomerulopati diabetik ditandai dengan adanya penimbunan matrix

ekstracellulair pada membarane basalis dan mesangium.

Gluko toksisitas

Pemaparan glukosa pada sel endotel dalam jangka panjang

menimbulkan kelainan replikasi dan pematangan sel endotel dan MB.

Teori hemodinamika dan hipertropi

Meningkatnya hormon pertumbuhan seperti glukagon, katekolamin

prostaglandin menimbulkan hiperfiltrasi kompensasi akan terjadi

menambah GFR. Bila ini berlangsung lama akan merusak glomerulus

yang tersisa.

Teori genetika dan familial

2. Komplikasi pada mata

Komplikasi oftalmologik yang sering ditemui adalah perubahan refleksi,

presbiopia, katarak dan retinopati. Retinopati diabetik bersumber dari

kelainan mikroangiopati retina, GABBAY mengutarakan kelainan

32

mikrovascual di retina olah karena kativitas enzym aldose reduktase dengan

mekanisme belum jelas.

Bentuk patalogis retinopati diabetik dapat dilihat pada funduskopi:

Mikroanerusima

Perubahan kaliber dan kelokan vena

Exudat

Perdarahan pada fase lanjut

Neovaskularisasi

Gliosis retina

Klasifikasi Retinopati diabetik dan gambaran pada fundus okulii :

Retinopati diabetik non proliferatif:

Mikrovasculair

Perdarahan

Exudat

Edema retina

Pelebaran vena

Iskemia vasculair

Retinopati diabetik proleferatif ;

Hipoksia retina

Neovascularisasi

Perdarahan vitreus

Jaringan fibrin diretina

33

3. Komplikasi pada sistem kardiovakular

Perubahan pada mikrovascular dan makrovaskular berupa penebalan

basement membrane yang diduga karena adanya pengendapan bahan –

bahan yang disebut mukopoliasakarida.

Menurut Williamson dkk (1971) bahwa insident penebalan basemen

membran meningkat secara signifikan sehubungan dengan lamanya

gangguan metabolisme hidrat arang pada penderita DM. Terjadinya penyakit

jantung koroner disebabkan perubahan-perubahan pembuluh darah

diakibatkan terjadinya hipoglikemia yang berhubungan dgn pengendapan

fibrin dan agregrasi trombosit yang akan membentuk plak pada vascular

sehingga timbul ateroskleorosis. Aterosklerosis ini menyebabkan oklusif

arteri koronaria sehingga suplai oksigen berkurang dan kebutuhan

meningkat. Disamping itu masih ada faktor lain seperti hipertensi, obesitas,

rokok dan hiperlipidemia. Bila terjadi angiopati pada miokard menyebabkan

kardiomopati dimana didapati gejala-gejala kelainan fungsi otot jantung.

Pada penderita DM yang tidak tergantung insulin dapat terjadi

penurunan aktifitas fibrinolisin sehingga dapat terjadi mikrotrombus. Akibat

plasmin aktivator inhibitor meningkat terjadi perubahan palsminogen menjadi

plasmin yang akan membentuk fragmen terlarut dan fibrin yang akhirnya

menjadi trombus.

Mekanisme terjadinya mikrotrombus akibat hiperglikemia pada DM:

Peningkatan agregrasi

Peningkatan permeabilitas kapiler

34

Peningkatan nevaskularisasi

Peningkatan kolesterol total

Penurunan fibrinolitik

4. Komplikasi pada penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi

Beberapa faktor yang memudahkan infeksi:

Faktor metabolik

Regulasi DM yang jelek dimana terjadinya hiperglikemia dapat

menyebabkan gangguan fungsi leukosit baik pada proses kemotaksis

maupun mematikan bakteri, sehingga penderita DM mempunyai

kecendrungan terkena infeksi.

Faktor imunologi

Pembentukan antibodi dan komplement menurun

Sifat fagositosis dari granulosit menurun

Faktor angiopati diabetik

Karena perubahan stuktur faal endotel membran basalis mengalami

penebalan maupun pengendapan fibrin pada dinding pembuluh darah

ataupun agregrasi trombosit yang meningkat pada diabetik.

Faktor neuropati

Akibat gangguan tropik maupun adanya anestesi dari neuropati yang

berat.

5. Komplikasi pada gangren diabetik

35

Gangren diabetik biasanya terjadi pada jari-jari tungkai bawah kadang-

kadang pada tumit, faktor-faktor yang memudahkan terjadinya yaitu :

Faktor Endogen

Angiopati merupakan proses dengan multi faktorial yakni:

- Genetik

- Metabolik

o Regulasi DM

o Pengaruh Dislipidemia

o Pengaruh glikosilasi protein

- Faktor penunjang AD.

o Hipertensi

o Hormonal

o Virus dan bakteri

o Nikotin

o Kompleks imun

o Homocystein

Neuropati Diabetik

Neuropati diabetik dikatakan salah satu faktor penyebarnya Mi-D<

dimana akan menyerang mikrosirkulasi saraf (mikroangiopati vasa nervorum)

terdiri atas :

- ND sensorik

- ND Motorik

- ND otonom

36

Faktor Eksogen

- Trauma, mekanikal, khemikal, thermis faktor tersering terjadinya

gangrene.

- Infeksi, infeksi berkelanjutan mempermudah terjadinya trombosis

sehingga sirkulasi yang terganggu bertambah jelek sehingga

memudahkan terjadinya infeksi ataupun Gangren diabetik.

- Obat-obatan, yang menyebabkan vasokontriksi cukup berbahaya

apabila bersamaan dengan Mi- DM dan Ma-DM dan Neuropati diabetik,

misalnya :

Dopamin

Propanolol

Komplikasi-komplikasi diatas dapat terjadi lebih dini pada penderita DM

yang tidak terkontrol dengan baik, dimana kadar gula darahnya selalu tinggi

dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu pencegahan merupakan

pendekatan yang paling penting dalam upaya memperlambat progresivitas

penyakit agar tidak menimbulkan komplikasi diatas.

II.4. Endothelin-1

II.4.1. Definisi

Endothelin merupakan suatu peptida yang diproduksi oleh sel endotel

pembuluh darah, menimbulkan efek vasokonstriksi pada isolasi arteri dan

vena pada beberapa spesies mamalia. Endothelin diperkenalkan oleh

Yanagisawa et al, yang mempunyai efek pada kontraksi arteri koroner dan

lebih kuat efeknya dibandingkan angiotensin II dalam kontraksi pembuluh

37

darah. Terdapat tiga isoform berbeda dari endothelin yaitu ET-1, ET-2, ET-3,

semuanya dibentuk dari 21 asam amino. Endothelin 1 merupakan isoform

aktif yang utama yang diekspresikan di pembuluh darah (Singh et al, 2011).

ET-1, asam amino peptide-21, awalnya diisolasi dari sel endotel aorta.

Sebuah studi berikutnya oleh Inoue et al. (1989) melaporkan adanya gen

coding untuk isomer dari endotelin, yaitu ET-1, ET-2, dan ET-3. Setiap

isopeptide adalah produk dari gen terpisah yang spesifik dengan gen

sebelumnya. ET-1, berbeda dengan ET-2 dan ET-3, yang dihasilkan oleh sel

endotel, endotelium pembuluh darah menjadi sumber ET-1 (Masaki 2000;

Simonson dan Dunn 1990). Di sisi lain, ET-2 dan ET-3 tampaknya terlibat

dalam fungsi renovaskular dan neurotransmisi, masing-masing, berdasarkan

dari lokalisasi mereka di medula ginjal dan ujung saraf (Waeber et al

1990;Spyer et al 1991).

Gambar II.2. Struktur endothelin dan safarotoksin S6b (Elly H, 2002).

38

Produk pertama dari ET-1 adalah pre ET-1 dan asam amino peptide

212. Prekursor ini ditransformasikan melalui proses delesi oleh sinyal

peptidase, selanjutnya ET-1 dimatangkan oleh maturing enzyme yang

dikenal dengan furin (Blais et al. 2002). Dijelaskan bahwa maturing enzyme

didapatkan pada sel endotel sapi (Kido dkk 1997). Pada manusia ET-1,

asam amino peptide-38 didapatkan pada sirkulasi perifer. ET-1 matur

didapatkan pada pembelahan proteolitik oleh ECE, pada keadaan normal ET

yang dikonversi menjadi ET-1 sangat berperan dalam vasokonstriksi

pembuluh darah (sampai 140 kali lipat), sedang proET-1 tidak berpengaruh

dalam vasomotor (Rubanyi and Polokoff 1994).

Reseptor endotelin telah berhasil diisolasi dan diklasifikasikan

berdasarkan afinitasnya terhada pendotelin. Sejauh ini dikenali dua reseptor

endotelin yang disebut ETA dan ETB. Perbedaan distribusi reseptor

endotelin di dalam berbagai jaringan berkaitan dengan efek endotelin di

dalam jaringan tersebut. Ikatan endotelin dengan reseptornya sangat kuat,

disosiasi berlangsung relatif lambat, sehingga memungkinkan efek endotelin

berlangsung cukup lama. Reseptor ETA terutama terdapat di jantung,

pembuluh darah otak dan otot polos vaskuler. Sementara reseptor ETB

terdistribusi luas terutama di dalam ginjal, uterus, sistem saraf pusat, dan sel

endotel (Elly H, 2002).

II.4.2. Fungsi

Endothelin (ET) diproduksi oleh banyak organ termasuk sel endotel,

sel otot polos pembuluh darah arteri dan vena, fibriblast, miosit pada jantung

39

dan beberapa sel pada ginjal, paru-paru, usus, otak, jaringan endokrin perifer

dan plasenta. Berbeda dengan ET-2 dan ET-3, ET-1 juga diproduksi oleh sel

endotel pembuluh darah dengan jumlah yang sangat banyak, dan ET-1 juga

diproduksi oleh sel-sel kanker, pancreas, dan sel mast (Singh et al, 2011).

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa ET-1 memberikan

kontribusi dalam proses inflamasi pada dinding pembuluh darah. ET-1 telah

ditemukan terkait dengan respons peradangan yang melibatkan aktivasi

faktor transkripsi seperti NF-JB dan ekspresi pro-in sitokin inflamasi termasuk

TNF-a, IL-1 dan IL-6 (Yeager et al. 2012). Faktor transkripsi ini dan pro

inflamasi sitokin pada gilirannya merangsang produksi ET-1 (Virdis dan

Schiffrin 2003). Bellisai et al. (2011) melaporkan bahwa ET-1 meningkatkan

sintesis TNF-a dalam makrofag dan monosit. sitokin ini meningkatkan

respons peradangan dengan merangsang kemotaksis dan fagositosis

makrofag, monosit dan neutrofil. Peningkatan produksi ROS dalam berbagai

jenis sel terjadi melalui NF-JB, COX dan NADPH jalur oksidase-dependent

(Donate et al 2012;. Kleniewska et al 2013;. Piechota dan Goraca 2011).

ET-1 meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada sel endotel

pembuluh darah dan merangsang agregasi neutrofil polimorfonuklear (PMN)

memberikan kontribusi pada peradangan dan disfungsi endotel. Li et al.

(2003) mendalilkan bahwa ET-1 merangsang arteri adhesi vaskular molekul-

1 pasien hipertensi (VCAM-1) di. VCAM-1 dan adhesi intraseluler molekul-1

menginduksi adhesi firm dari dalam sel inflamasi pada permukaan pembuluh

darah (Blankenberg et al. 2003). PMN dapat berkontribusi terhadap

40

kerusakan miokard dengan melepaskan ROS, protease dan metabolit asam

arakidonat (Hansen 1995). Oktar et al. (2000) menunjukkan bahwa ET-1

menyebabkan akumulasi PMN, stres oksidatif, dan disfungsi mukosa di usus

halus tikus. Gonon et al. (2001) menunjukkan bahwa blokade reseptor ET

melemahkan akumulasi neutrofil dan aktivitas myeloperoxidase di

miokardium iskemik. Telah terbukti bahwa cedera vaskular disebabkan oleh

karotis hasil ligasi arteri di pembuluh darah peradangan dan pembentukan

neointima. Tindakan ini dilemahkan dalam endotel vaskular tikus ET-1-

knockout (Anggrahini et al. 2009).

Li et al. (2013) telah melaporkan bahwa ET-1 berperan dalam

perkembangan aterosklerosis dan aneurisma aorta abdominal dengan

mengurangi high-density lipoprotein, meningkatkan stres oksidatif dan

infiltrasi monosit/makrofag baik di aorta dan aneurisma. Jadi, fungsi endotel

dapat dikembalikan dalam model aterosklerosis oleh administrasi ETA atau

ganda antagonis reseptor ETA/ETB. Selain itu, telah dicatat bahwa

konsentrasi ET-1 pada jaringan lebih penting daripada ET-1 pada serum

dalam memprediksi aterosklerosis pada pasien dengan penyakit ginjal kronis

(Noshad et al. 2009).

Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara endotelin-

1 dengan sistem angiotensin II. Hubungan antara endotelin-1 dan

angiotensin II berperan dalam regulasi tekanan arteri. Regulasi tekanan arteri

berperan dalam berbagai kondisi, baik fisiologis maupun patologis. Kondisi

patologis yang dipengaruhi oleh regulasi tekanan arteri adalah hipertensi,

41

gagal jantung kongestif dan penyakit ginjal kronik. Angiotensin II

mempengaruhi fungsi ginjal dan kardiovaskular lewat jalur vasokonstriksi

ginjal, retensi natrium, mitogenik dan aksi pro oksidan. Beberapa studi

mendapatkan aksi angiotensin II ini berhubungan dengan faktor lain seperti

endotelin. Hal ini didukung dengan studi yang mendapatkan efek penurunan

tekanan darah pada penderita hipertensi yang disebabkan oleh angiotensin II

dengan terapi antagonis reseptor endotelin. Peran endotelin-1 pada

patofisiologi hipertensi memicu timbulnya terapi yang baru untuk hipertensi.

Penghambat konversi enzim endotelin-1 atau inhibitor endothelinconverting

enzyme (ECE) saat ini mulai banyak diteliti (Elly H, 2002).

Endothelin-1 merupakan vasokonstriktor kuat dan jumlahnya meningkat

pada kondisi mikroangiopati pada DM tipe 2. Disfungsi endotel pembuluh

darah tampaknya mendahului terjadinya resistensi insulin (Singh et al.,

2011).

Endothelin-1 juga memiliki efek inotropik, kemotaktik, dan mitogenik.

Endothelin juga memiliki pengaruh dalam hemostasis garam dan air melalui

pengaruhnya pada sistem renin-angiotensin-aldosteron, vasopressin, atrial

natriuretic peptide dan mamicu sistem saraf simpatis. Sacara umum efek dari

endothelin adalah meningkatkan tekanan darah dan tonus pembuluh darah.

Dengan demikian antagonis endothelin dapat berperan dalam pengobatan

gangguan jantung, pembuluh darah, dan ginjal yang berhubungan dengan

vasokonstriksi regional maupun sistemik, dan proliferasi sel seperti hipertensi

42

esensial, hipertensi pulmonal, gagal jantung kronik, dan gagal ginjal kronik

(Agapitov & Haynes, 2002).

Endothelin 1 (ET-1) adalah suatu peptida asam amino yang dihasilkan

langsung oleh sel endotel, dan merupakan vasokonstriktor VSMC lokal yang

paling penting di samping bersifat mitogen pada sel otot polos. Penelitian

yang dilakukan McEniery et al. menunjukkan bahwa produksi ET-1 endogen

secara langsung meregulasi PWV arteri besar dan menyimpulkan bahwa

kondisi yang menyebabkan upregulasi ET-1 akan menyebabkan peningkatan

kekakuan arteri (Sjostrom et al, 2001).

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

III.1. Kerangka Teori

Umur

Resistensi Insulin Gangguan sekresi insulin

Hiperglikemia (DM)

Disfungsi Endotel

Stres Oksidatif

Genetik Dislipidemia Hipertensi Obesita

s

Jenis

Kela

min

HbA1c

43

Keterangan:

DM : Diabetes Mellitus

AGEs: Advanced Glycosilation End Products

PKC : Protein Kinase C

III.2. Kerangka Konsep

Sitokin

GDP dan TTGO

PKC Sorbitol AGEs

Vasokonstriksi Pembuluh darah

Komplikasi DM

DM Tipe 2 Tidak Terkontrol DM Tipe 2 Terkontrol

DM Tipe 2

(Terkontrol/Tidak

Terkontrol)

Umur Genetik Dislipidemia Hipertensi Obesita

s

Jenis Kelamin

HbA1c

44

Keterangan:

: Variabel tergantung

: Variabel bebas

: Variabel kendali

DM tipe 2 : Diabetes mellitus Tipe 2

HbA1c : Hemoglobin A1c (hemoglobinterglikasi/glycohemoglobin)

BAB IV

METODE PENELITIAN

IV.1. Desain Penelitian

Penelitian merupakan penelitian observasional dengan pendekatan

cross sectional study.

IV.2. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat penelitian

a. Pengambilan sampel dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam Subdivisi

Endokrin Metabolik dan Ruang Perawatan Penyakit Dalam RSUP dr.

Endohtelin-1

45

Wahidin Sudirohusodo Makassar, RSUD Kota Makassar, Klinik dan

Laboratorium 123.

b. Pemeriksaan laboratorium di Instalasi Laboratorium Patologi Klinik

RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, RSPTN Universitas

Hasanuddin, laboratorium klinik Prodia dan laboratoriun Biomolekular

FK Unhas.

2. Waktu penelitian

Rencana penelitian dilakukan mulai bulan April 2017 sampai jumlah

sampel mencukupi.

IV.3. Populasi Penelitian

Penderita DM Tipe 2 yang menjalani pemeriksaan dan perawatan di

Bagian Penyakit Dalam RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, RSPTN

Universitas Hasanuddin, RSUD Kota Makassar, Klinik dan Laboratorium 123.

IV.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel

Sampel adalah semua populasi terjangkau yang memenuhi kriteria

penelitian.

Perkiraan Besaran Sampel

Besar sampel diperkirakan berdasarkan rumus :

n1=n2=2 (zα + zβ)S 2

x1-x2

46

Keterangan :

zα = Nilai standar untuk 0.05 = 1.64

zβ = Nilai standar untuk 0.2 = 0.842

S = Simpangan baku dari selisih rerata = 8.4

x1-x2 = Selisih rerata dua kelompok yang bermakna = 6.1

(1.64) + (0.842) 8.4 2

n = 2 -------------------------------- = 23.4 (dibulatkan 24 sampel) 6.1

Jumlah minimal sampel dalam penelitian ini adalah 24 sampel.

IV.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria inklusi

a. Orang dewasa umur lebih atau sama dengan 18 tahun keatas yang

datang ke poliklinik Penyakit Dalam RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo

dan setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium dinyatakan

sebagai penderita DM tipe 2.

b. Bersedia ikut dalam penelitian dengan mengisi dan menandatangani

lembar Infomed Consent.

2. Kriteria eksklusi

a. Menderita penyakit keganasan.

b. Hb kurang dari 10 g/dL

c. Sampel lisis.

47

IV.6. Izin Subyek Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini, setiap tindakan dilakukan seizin dan

sepengetahuan penderita yang dijadikan sampel penelitian melalui lembar

Informed Consent dan dinyatakan memenuhi persyaratan etik untuk

dilaksanakan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin Makassar-Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo.

IV.7. Cara Kerja

1. Alokasi subyek

Penelitian dilakukan pada semua orang dewasa yang memenuhi

kriteria inklusi dan melakukan pemeriksaan di Poliklinik Penyakit Dalam

RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan RSPTN UNHAS.

2. Cara Penelitian

a. Setiap penderita yang memenuhi kriteria inklusi dicatat identitasnya,

kemudian pasien diberi penjelasan tentang maksud dan tujuan

penelitian, dan pemeriksaan yang akan dijalani subyek, bila setuju

maka pasien dimintakan surat persetujuan (informed consent).

b. Pasien di anamnesis meliputi umur dan riwayat penyakit yang diderita.

c. Pengambilan sampel dilakukan diruang sampling laboratorium Patologi

Klinik RSUP dr.Wahidin Sudirohusodon Makassar atau RSPTN

48

UNHAS,RSUD Kota Makassar, Klinik dan Laboratorium 123 dan

selanjutnya dilakukan pemeriksaan HbA1C dan endothelin-1.

IV.8. Tes Endothelin-1 (ET-1) ELISA

1. Persiapan Sampel

a. Sampel adalah serum yang diperoleh dari Pasien DM

b. Sampel stabil selama 24 jam pada suhu 2-80C.

2. Alat dan Bahan

a. 96 well microtiter plates

b. Inkubator

c. Mikropipet dan tip

d. Standard enzyme reader

e. Air suling

f. Absorbent paper

g. Standard solution

h. Standard dilution

i. Coated ELISA plate

j. Streptavidin-HRP

k. Washing concentrate

l. Endotheling 1 antibodies labeled with biotin

m. Chromogen solution A

n. Chromogen solution B

o. Stop solution

49

3. Prinsip Tes

Tes ini menggunakan enzyme-linked immunoabsorbant assay (ELISA)

dengan metode sandwich untuk mengukur kadar ET-1. Endothelin-1

ditambahkan ke dalam well telah dilapisi dengan Human ET-1 monoclonal

antibody kemudian di inkubasi. Penambahan antibodi ET-1 yang berlaber

biotin berikatan dengan Streptavidin-HRP membentuk kompleks imun.

Enzim yang tidak terikat setelah diinkubasi dikeluarkan dengan pencucian.

Kemudian ditambahkan substrat A dan B, larutan akan berubah warna jadi

biru, dan kemudian menjadi kuning. Tingkat warna larutan berkolersi positif

dengan konsentrasi ET-1.

4. Cara Kerja

a. Pengenceran standar. Kit ET-1 dilengkapi dengan reagent standard

dengan konsentrasi original yang dapat diencerkan oleh pemeriksa.

b. Jumlah plate yang dibutuhkan bergatung pada jumah sampel dan

penambahan standard.

c. Injeksi sampel :1). Blank Well : jangan menambahkan sampel dan

antibody ET-1 atau Strpetavidin-HRP kecuali chromogen solution A dan

B ke dalam Blank Well; 2) Standard Well : tambahkan 50µl standard

dan 50µl Strpetavidin-HRP; 3) Tes Well sampel : tambahkan 40µl

sampel dan 10µl antibodi ET-1 serta 50µl Strpetavidin-HRP. Kemudian

tutup dengan seal membrane, goyangkan perlahan dan inkubasi

selama 60 menit pada suhu 37’C.

d. Encerkan sebanyak 30 kali washing concentrate dengan air suling.

50

e. Pencucian : Buka seal membrane dengan hati-hati, keluarkan

cairannya, goyangkan kembali cairan yang tersisa.

f. Tambahkan 50 µl chromogen solution A dan 50 µl chromogen solution

B ke setiap well, inkubasi selama 10 menit pada suhu 37’C, jauhkan

dari cahaya.

g. Tambahkan 50µl Stop Solution ke dalam setiap well untuk

menghentikan reaksi (perubahan warna biru menjadi kuning segera

teerjadi.

h. Pengukuran akhir : pasang Blank well dengan nol, ukur densitas optik

dengan panjang gelombang 450 nm dalam 15 menit setelah

penambahan stop solution.

i. Berdasarkan konsentrasi standard dan nilai absorbansi yang

digunakan, hitung persamaan regresi linear pada kurva standard.

IV.9. Alur Penelitian

Endothelin-1

Analisis Data

DM Tipe 2

HbA1c

terkontrol

DM Tipe 2 Tidak Terkontrol DM Tipe 2 Terkontrol

51

IV.10. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

Definisi Operasional

1. Penderita DM Tipe 2 adalah penderita yang didiagnosis DM tipe 2 oleh

klinisi Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo

Makassar atau RSPTN UNHAS berdasarkan Konsensus Perkeni 2011

yaitu poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak

jelas penyebabnya disertai hasil pemeriksaan laboratorium (GDS ≥200

mg/dl dan atau GDP ≥126 mg/dl dan atau 2 jam pasca pembebanan

glukosa TTGO ≥200 mg/dl).

2. Tes HbA1c adalah tes untuk menilai pengendalian metabolisme glukosa

pada penderita DM yang kadarnya diukur menggunakan sampel whole

blood dengan antikoagulan EDTA dengan menggunakan alat Adam Lite

HA 8380V dengan metode HPLC. Kriteria obyektif (Berdasarkan ADA

2015):

3. DM terkontrol adalah apabila kadar HbA1c < 7 % pada saat penelitian

dilaksanakan.

4. DM tidak terkontrol adalah apabila kadar HbA1c > 7 % pada saat

penelitian dilaksanakan.

Hasil Penelitian

52

5. Endothelin-1 adalah suatu peptida yang diproduksi oleh sel endotel

pembuluh darah, menimbulkan efek vasokonstriksi, kadarnya diukur

dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).

6. Disfungsi endotel adalah perubahan fisiologi endotel yang menghasilkan

dekompensasi dalam pengaturan fungsinya sehingga menyebabkan

kelainan sistemik yang berefek pada pembuluh darah.

IV.11. Analisis Data

Data yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan tujuan penelitian

untuk selanjutnya dilakukan uji statistik untuk menentukan hubungan antara

endotheline-1 dalam kaitan disfungsi endotelpada diabetes melitus tipe 2

yang terkontrol dan tidak terkontrol.

53

BAB V

HASIL PENELITIAN

V.1. Karakteristik Sampel Penelitian

Penelitian dilakukan selama bulan Mei sampai dengan Juli 2017 di

RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo dan Laboratorium 123. Pemeriksaan

laboratorium HbA1c dilakukan di Instalasi Laboratorium Patologi Klinik RSUP

dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan pemeriksaan laboratorium ET-1

dilakukan di Laboratorium Unit Penelitian FK-RSPTN Unhas.

Table V.1. Karateristik Umum Sampel

Variabel Kategori

Sampel Penelitian

DM Tidak Terkontrol

N(%)

DM Terkontrol

N(%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 13 (31.7 %) 24 (58.5%)

Perempuan 28 (68. 3%) 17 (41.5%)

54

Umur

<40 tahun 2 (4.9%) 2 (4.9%)

40-49 tahun 7 (17.1%) 6 (14.6%)

50-59 tahun 13 (31.7%) 25 (30.6%)

60-69 tahun 14 (34.1%) 26 (31.7%)

>= 70 tahun 5 (12.2%) 14 (17.1%)

Sumber : Data Primer Keterangan : N=jumlah, %= persen.

Selama periode tersebut diperoleh total 82 sampel yang memenuhi

kriteria penelitian. Sampel penelitian terdiri dari 37(45.1 %) laki-laki dan

45(54.9 %) perempuan dengan umur minimum 24 tahun dan maksimum 82

tahun (rerata 58.0 ± 11.4 tahun).

Tabel V.1 menerangkan kareteristik umum sampel berdasarkan jenis

kelamin menunjukkan bahwa terdapat 13 sampel laki-laki (31.7%) dengan

DM tidak terkontrol dan 24 sampel laki-laki (58.5%) dengan DM terkontrol.

Terdapat 28 sampel perempuan (68.3%) dengan DM tidak terkontrol dan 17

sampel perempuan (41.5%) dengan DM terkontrol.

Karateristik umum sampel berdasarkan umur menunjukkan bahwa

terdapat 2 sampel dengan umur <40 tahun (4.9%) dengan DM tidak

terkontrol dan 2 sampel dengan umur <40 tahun (4.9%) dengan DM

terkontrol. Terdapat 7 sampel dengan umur 40-49 tahun (17.1%) dengan

DM tidak terkontrol dan 6 sampel dengan umur 40-49 tahun (14.6%) dengan

DM terkontrol. Terdapat 13 sampel dengan umur 50-59 tahun (31.7%)

dengan DM tidak terkontrol dan 12 sampel dengan umur 50-59 tahun

55

(29.3%) dengan DM terkontrol. Terdapat 14 sampel dengan umur 60-69

tahun (34.1%) dengan DM tidak terkontrol dan 12 sampel dengan umur 60-

69 tahun (29.3%) dengan DM terkontrol. Terdapat 5 sampel dengan umur

≥70 tahun (12.2%) dengan DM tidak terkontrol dan 9 sampel dengan umur

≥70 tahun (22.0%) dengan DM terkontrol.

Table V.2. Kadar HbA1C dan ET-1

Variabel

Sampel Penelitian

DM Tidak Terkontrol

Mean (SD)

DM Terkontrol

Mean (SD)

HbA1C (%) 9.688 (2.028) 5.78 (0.429)

ET-1 (ng/dl) 200.934 (121.267) 138.46 (90.737)

Sumber : Data Primer Keterangan : DM=diabetes melitus, Mean=nilai rata-rata, SD=standar deviasi, HbA1c= Haemoglobine-Adult1c, ET-1= Endothelin1, ng/dl=nanogram/desiliter, %= persen.

Berdasarkan tabel V.2, kadar rerata HbA1C pada DM tidak terkontrol

adalah 9.697 % (± 2.087) sedangkan pada DM terkontrol adalah 5.804 % (±

0.441 %). Kadar rerata ET-1 pada DM tidak terkontrol adalah 200.934 ng/dl

(± 121.67 ng/dl) sedangkan pada DM terkontrol adalah 138.46 ng/dl (90.6737

ng/dl).

V.2. Analisis Kadar ET-1

Tabel V.3. Perbandingan Rerata Kadar Endothelin-1 (ET-1)

56

Kelompok N Median Mean SD P

DM Tidak Terkontrol 41 144.7 200.934 121.267

0.000

DM Terkontrol 41 112.1 138.46 90.737

Sumber : Data Primer, Mann-Whitney test Keterangan : DM= Diabetes Melitus, N=jumlah sampel, SD=Standar Deviasi

Data pada tabel V.3 menunjukan bahwa rerata kadar ET-1 pada

kelompok sampel DM tidak terkontrol 144.7 ng/ml dan pada kelompok

sampel DM terkontrol 112.1 ng/ml. Uji statistik menggunakan Mann-Whitney

U Test didapatkan nilai p=0.000. Berdasarkan uji statistik tersebut

didapatkan bahwa ada hubungan antara kadar ET-1 dengan DM Tipe 2 tidak

terkontrol dan terkontrol.

Tabel V.4. Analisis Korelasi Kadar ET-1 dan HbA1C

Variabel Mean (SD) Correlation Nilai p

HbA1C 7.734 (2.447) 0.396 0.000

ET-1 169.697 (110.976) 0.396 0.000

Sumber : Data Primer, Spearman Keterangan : DM=diabetes melitus, Mean=nilai rata-rata, SD=standar deviasi, HbA1c= Haemoglobine-Adult1c, ET-1= Endothelin1.

57

Gambar V.1. Uji Korelasi Kadar ET-1 dan HbA1c

Berdasarkan uji korelasi Spearman terdapat korelasi positif yang

signifikan antara kadar HbA1C dengan kadar ET-1, dimana semakin tinggi

kadar HbA1C semakin tinggi pula kadar ET-1 (p<0.001).

58

BAB VI

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dilakukan pengukuran kadar hemoglobin glikat

(HbA1c) pada penderita DM Tipe 2. Setelah diketahui jumlah kadar HbA1c

pada penderita DM tipe 2, maka sampel penelitian dibagi menjadi dua

kelompok yaitu kategori terkontrol (kadar HbA1c < 7%) dan kategori tidak

terkontrol (kadar HbA1c > 7 %). Kemudian dilakukan analisa terhadap kadar

endothelin-1 (ET-1) pada masing-masing kelompok.

Penelitian ini menggunakan populasi yang homogen (hanya DM tipe-

2) agar dapat menekan keberagaman faktor yang terlibat. Diabetes tipe-1

59

dan tipe-2 memiliki perbedaan latar belakang genetik, etiologi, dan strategi

perawatan. Demikian pula perbedaan usia pada saat dilakukan diagnosis

berkenaan durasi diabetes dan atau usia antara subyek dengan DM tipe-1

dan DM tipe-2. Oleh karena itu hanya subyek dengan DM tipe-2 yang

dimasukkan dalam penelitian ini.

Uji statistik menggunakan Mann-Whitney U Test didapatkan nilai

p=0.000. Berdasarkan uji statistik tersebut didapatkan bahwa ada hubungan

antara kadar ET-1 dengan DM Tipe 2 tidak terkontrol dan terkontrol.

Sebagaimana yang diketahui bahwa ET-1 merupakan suatu

polipeptida yang diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah yang

menimbulkan efek vasokontriksi pembuluh darah, bahkan efeknya lebih kuat

dibandingkan angiotensin II (Yanasigawa et al). Selain itu ET-1 juga

diproduksi oleh sel-sel kanker, pancreas, dan sel mast (Singh et al, 2011).

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa ET-1 memberikan kontribusi

dalam proses inflamasi pada dinding pembuluh darah. ET-1 telah ditemukan

terkait dengan respons peradangan yang melibatkan aktivasi faktor

transkripsi seperti NF-JB dan ekspresi pro-in sitokin inflamasi termasuk TNF-

a, IL-1 dan IL-6 (Yeager et al. 2012). Faktor transkripsi ini dan pro inflamasi

sitokin pada gilirannya merangsang produksi ET-1 (Virdis dan Schiffrin

2003). Bellisai et al. (2011) melaporkan bahwa ET-1 meningkatkan sintesis

TNF-a dalam makrofag dan monosit. sitokin ini meningkatkan respons

peradangan dengan merangsang kemotaksis dan fagositosis makrofag,

monosit dan neutrofil. Peningkatan produksi ROS dalam berbagai jenis sel

60

terjadi melalui NF-JB, COX dan NADPH jalur oksidase-dependent (Donate et

al 2012;. Kleniewska et al 2013;. Piechota dan Goraca 2011).

Kaitannya dengan DM tipe 2 adalah bahwa pada kondisi DM tipe 2

akan terjadi gangguan fungsi sel endotel pembuluh darah atau yang sering

disebut dengan disfungsi endotel. Terjadinya gangguan fungsi endotel pada

diabetes melitus merupakan dasar terjadinya komplikasi menahun dari

penyakit ini. Bila penyakit daibetes melitus ini berlangsung lama dan kadar

gula darah tidak terkontrol dengan baik, maka akan menimbulkan berbagai

komplikasi terutama pada mata, ginjal syaraf, serta terjadinya gangguan

pada sistem kardiovaskular. Perubahan pada mikrovascular dan

makrovaskular berupa penebalan basement membrane yang diduga karena

adanya pengendapan bahan–bahan yang disebut mukopoliasakarida.

Menurut Williamson dkk (1971) bahwa insiden penebalan basemen

membran meningkat secara signifikan sehubungan dengan lamanya

gangguan metabolisme hidrat arang pada penderita DM. Terjadinya penyakit

jantung koroner disebabkan perubahan-perubahan pembuluh darah

diakibatkan terjadinya hipoglikemia yang berhubungan dgn pengendapan

fibrin dan agregrasi trombosit yang akan membentuk plak pada vascular

sehingga timbul ateroskleorosis.

Kembali ke inti penelitian, bahwa proses aterosklerosis akibat

komplikasi dari DM tipe 2 tidak terkontrol akan menyebabkan meningkatnya

mediator pro inflamasi sitokin inflamasi termasuk TNF-a, IL-1 dan IL-6.

61

Mediator pro inflamasi inilah seperti yang disebutkan sebelumnya oleh Virdis

dan Schiffrin yang akan berpengaruh terhadap kadar ET-1 dalam darah.

Berdasarkan uji korelasi Spearman terdapat korelasi positif yang

signifikan antara kadar HbA1C dengan kadar ET-1, dimana semakin tinggi

kadar HbA1C semakin tinggi pula kadar ET-1 (p<0.001). Hasil dari penelitian

ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Singh et al., 2011, bahwa

endothelin-1 jumlahnya meningkat pada kondisi mikroangiopati pada DM tipe

2, dimana kondisi mikroangipati merupakan kondisi yang terjadi akibat tidak

terkontronya suatu DM tipe 2 yang ditandai dengan peningkatan kadar

HbA1c .

HbA1c adalah bentuk ikatan molekul glukosa dengan asam amino

valin pada ujung rantai beta hemoglobin. American Diabetes Association

merekomendasikan pemeriksaan HbA1c sebagai kontrol glikemik jangka

panjang pasien DM. Keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama pada

penderita DM menyebabkan terbentuknya proses glikasi non enzimatik

protein termasuk hemoglobin (HbA1c). Hemoglobin glikat menggambarkan

rerata kadar glukosa darah dalam 2-3 bulan sebelumnya. Diketahui bahwa

terdapat korelasi antara kadar gula darah dengan kadar HbA1c. Selain

sebagai alat diagnosis, skrining dan penentuan kontrol status glikemik,

HbA1c digunakan juga sebagai prediktor perkembangan komplikasi DM.

Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya korelasi HbA1c dengan

komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Penelitian oleh United

Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) dan DCCT menunjukkan

62

bahwa penurunan kadar HbA1c dapat menurunkan risiko nefropati sebesar

25-44%, penurunan risiko retinopati sebesar 35% dan penurunan risiko

neuropati sebesar 30% (Powers AC, 2010).

Kadar HbA1c tergantung dari umur eritrosit yang memiliki masa hidup

sekitar 100 – 120 hari, sehingga kadar HbA1c menggambarkan rerata kadar

glukosa selama 2–3 bulan sebelumnya. Keadaan hiperglikemia yang

berlangsung kronik dapat meningkatkan HbA1c sekitar 2-3 kali lipat. Peranan

kadar glukosa darah terhadap HbA1c tergantung pada interval waktu. Kadar

glukosa darah dalam 30 hari terakhir berkontribusi sebesar 50% terhadap

kadar HbA1c, kadar glukosa darah hari ke-31 hingga hari ke-90 berkontribusi

sebesar 40% terhadap kadar HbA1c dan kadar glukosa darah hari ke-91

hingga hari ke-120 hanya berkontribusi sebesar 10% dari kadar HbA1c. Hal

ini menegaskan bahwa kadar glukosa darah yang terakhir lebih berperan

dibandingkan kadar glukosa darah sebelumnya. Peranan kadar glukosa

darah terhadap HbA1c tergantung pada interval waktu (Kilpatrick, 2000;

Sack, 2005).

63

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

VII.1. Ringkasan

1. Ada hubungan antara kadar ET-1 dengan DM Tipe 2 tidak terkontrol dan

terkontrol dengan nilai p=0.000.

2. Terdapat korelasi positif yang signifikan antara kadar HbA1C dengan

kadar ET-1, dimana semakin tinggi kadar HbA1C semakin tinggi pula

kadar ET-1 dengan nilai p= 0.000.

VII.2. Kesimpulan

1. Terdapat adanya hubungan antara kadar ET-1 dengan DM tipe 2

terkontrol dan tidak terkontrol.

2. Semakin tinggi kadar HbA1C semakin tinggi pula kadar ET-1.

VII.3. Saran

64

1. Penelitian lebih lanjut untuk melihat apakah ET-1 dapat digunkaan

sebagai penanda kontrol gula darah pada DM tipe 2.

2. Penelitian lanjut dengan melihat lebih banyak faktor risiko lain yang

berpengaruh terhadap kadar ET-1 plasma terhadap kontrol gula darah DM

tipe 2.

DAFTAR PUSTAKA

Agapitov, A. V. & Haynes, W. G., 2002, Role of endothelin in cardiovascular

disease, Journal of The Renin Angiotensin Aldosteron System, 3(1): 1-

15.

American Diabetes Association, Standards of Medical Care in Diabetes 2016

in Diabetes Care, vol.39 (Suppl 1, 2016), s8-12, s20-22.

American Diabetes Association, Standards of Medical Care in Diabetes 2015

in Diabetes Care, vol.38 (Suppl 1, 2015), s8-12, s58-60.

American Diabetes Association, Standards of Medical Care in Diabetes 2014

in Diabetes Care, Vol.37, 2014; 1-67 .

American Diabetes Association, Standards of Medical Care in Diabetes 2013

in Diabetes Care, vol.36 (Suppl 1, 2013); s11-s50.

American Diabetes Association. 2012. Diagnosis and Classification of

Diabetes. Diabetes Care. 35(1): S64-S71.#

American Diabetes Association. 2012. Standards of Medical Care in

Diabetes-2012. Diabetes Care. 35(1): S11-S63.

65

American Diabetes Association. 2015. Classification and Diagnosis of

Diabetes. Diabetes Care; Vol 38(Suppl. 1): S8-16.

Anggrahini DW, Emoto N, Nakayama K et al (2009) Vascularendothelial cell-

derived endothelin-1 mediates vascular inflammationand neointima

formation following blood flow cessation.Cardiovasc Res 82:143–15.

Bellisai F, Morozzi G, Scaccia F et al (2011) Evaluation of the effectof

bosentan treatment on proinflammatory cytokine serum levelsin patients

affected by systemic sclerosis. Int J ImmunopatholPharmacol 24:261–

264.

Blais, V., Fugere, M., Denault, J.B., Klarskov, K., Day, R., andLeduc, R.

2002. Processing of proendothelin-1 by members ofthe subtilisin-like

pro-protein convertase family. FEBS Lett.524: 43–48.

Blankenberg S, Barbaux S, Tiret L (2003) Adhesion molecules

andatherosclerosis. Atherosclerosis 170:191–203.

Boedisantoso, R.A., Soegondo, S., Suyono, S., Waspadji, S., Yulia,

Tambunan dan Gultom. 2009. Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Terpadu. Jakarta: FKUI.

Donate PB, Cunha TM, Verri WA Jr et al (2012) Bosentan, anendothelin

receptor antagonist, ameliorates collagen-inducedarthritis: the role of

TNF-a in the induction of endothelin systemgenes. Inflamm Res

61:337–348.

Gonon AT, Gourine AV, Middelveld RJ et al (2001) Limitation ofinfarct size

and attenuation of myeloperoxidase activity by anendothelin A receptor

66

antagonist following ischaemia andreperfusion. Basic Res Cardiol

96:454–462.

Gustaviani R. 2007. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In: Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: FK UI. P. 1857-1859.

Hansen PR (1995) Role of neutrophils in myocardial ischemia

andreperfusion. Circulation 91:1872–1885.

Herwana, Elly. Peranan endotelin terhadap fungsi dan

kelainankardiovaskuler. J Kedokter Trisakti September-Desember

2002, Vol.21 No.3.

Inoue, A., Yanagisawa, M., Kimura, S., Kasuya, Y., Miyauchi, T.,Goto, K.,

and Masaki, T. 1989. The human endothelin family:three structurally

and pharmacologically distinct isopeptidespredicted by three separate

genes. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A.86: 2863–2867.

International Diabetes Federation (IDF). IDF Diabetes Atlas Sixth Edition.

International Diabetes Federation (IDF). 2013.

Jansson P. 2007. Endothelial Dysfunction in Insulin Resistance and Type 2

Diabetes. J.Intern Med.262: 173-183.

Kido, T., Sawamura, T., Hoshikawa, H., D’Orleans-Juste, P.,Denault, J.B.,

Leduc, R., Kimura, J., and Masaki, T. 1997. Processingof

proendothelin-1 at the C-terminus of big endothelin-1is essential for

proteolysis by endothelin-converting enzyme-1 invivo.Eur. J. Biochem.

244: 520–526.

Kilpatrick E.S., Rigby A.S., and Atkin S.L. 2007. Variability in the Relationship

67

between Mean Plasma Glucosa and HbA1c: Implications for the

Asseessment of Glycemic Control. J.Clin Chem. 53(5):897-901.

Kleniewska P, Piechota-Polanczyk A, Michalski L et al (2013)Influence of

block of NF-kappa B signaling pathway onoxidative stress in the liver

homogenates. Oxid Med CellLongev 2013:308358.

Kohei, K. 2010. Pathophysiology of Type 2 Diabetic and it’s Treatment policy.

53 (1): 41-46.

Li L, Chu Y, Fink GD et al (2003) Endothelin-1 stimulates arterialVCAM-1

expression via NADPH oxidase-derived superoxide inmineralocorticoid

hypertension. Hypertension 42:997–1003.

Little, R.R., Sacks, D.B., 2009. HbA1c: How do we measure it and what does

in mean? Curr Opin Endocrinol, Diabetes and Obes. 16: 113-118.

Masaki, T. 2000. The endothelin family: an overview. J.Cardiovasc.

Pharmacol. 35: S3–S5.

Masharani, U et al. 2016. Diabetic Distress in Addult, with Type 1 Diabetic;

Prevalence, Incidence, Change Out Time. 30 (6): 1123-8.

Noshad H, Argani H, Nezami N et al (2009) Arterial atherosclerosisin patients

with chronic kidney disease and its relationship withserum and tissue

endothelin-1. Iran J Kidney Dis 3:203–209.

Oktar BK, Cos¸kun T, Bozkurt A et al (2000) Endothelin-1-inducedPMN

infiltration and mucosal dysfunction in the rat smallintestine. Am J

Physiol Gastrointest Liver Physiol 279:G483–G491.

PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan DM tipe 2 di

68

Indonesia, 2011;1-78.

PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus

Tipe 2 di Indonesia. 1-40.

Piechota A, Goraca A (2011) Influence of nuclear factor-jBinhibition on

endothelin-1 induced lung edema and oxidativestress in rats. J Physiol

Pharmacol 62:183–188.

Piechota A, Polan´czyk A, Goraca A (2011) Protective effects ofendothelin-A

receptor antagonist BQ123 against LPS-inducedoxidative stress in

lungs. Pharmacol Rep 63:494–500.

Powers, A.C., 2005. Diabetes Mellitus in Harrison’s Principles of Internal

Medicine. Vol.2. McGraw-Hill. New York. 2152-63. Roche. Kit HbA1c.

2009.

Purnamasari D. (2014). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Pusat Penerbitan Ilmu

Penyakit Dalam FKUI, Jakarta: 2323-27.

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2013.

Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia.

Rubanyi, G.M., and Polokoff, M.A. 1994. Endothelins: molecularbiology,

biochemistry, pharmacology, physiology, andpathophysiology.

Pharmacol. Rev. 46: 325–415.

Shahab, Alwi. 2003. Disfungsi Endotel Pada Diabetes Melitus.

69

http://www.rsmhplg.com

Shahab, Alwi. 2009. Rahasia dibalik selapis sel endotel, perannya dalam

patogenesis aterosklerosis. http://www.rsmhplg.com.

Shaw, JE., Sicree RA., Zimmet, PZ. 2010. Global Estimate of Prevalence of

Diabetes for 2010 and 2030

Simonson, M.S., and Dunn, M.J. 1990. Cellular signaling by peptidesof the

endothelin gene family. FASEB J. 4: 2989–3000.

Singh U, Singh R.G., Singh S, Singh S. 2011. Plasma endothelin level

inhypertension and diabetes mellitus in Medical Case Studies 2(6) pp

50-53.

Sjostrom CD, Peltonen M, Sjostrom L. Blood pressure and pulsepressure

during long-term weight loss in the obese: the swedishobese subjects

(SOS) intervention study. Obesity Research.2001;9:188-195.

Slamet S, Diabetes Melitus di Indonesia dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam, jilid I,edisi V, 2009;1877.

Spellman, LM., et al. 2007. Impired Glucosa Toleran in First Episode Drug

Naïve Patient with Schizophrenia. 24(5): 481-5.

Spyer, K.M., McQueen, D.S., Dashwood, M.R., Sykes, R.M., Daly,M.B., and

Muddle, J.R. 1991. Localization of [125I]endothelinbinding sites in the

region of the carotid bifurcation andbrainstem of the cat: possible baro-

and chemoreceptor involvement.J. Cardiovasc. Pharmacol. 17(Suppl.

7): S385–S389.

Suryohudoyo P. 2007., Dasar Molekuler Diabetes Mellitus. Kapita Selekta

70

Ilmu Kedokteran Molekuler. Sagung Seto. Jakarta. 48-57.

Virdis A, Schiffrin EL (2003) Vascular inflammation: a role invascular disease

in hypertension? Curr Opin Nephrol Hypertens12:181–187.

Waeber, C., Hoyer, D., and Palacios, J.M. 1990. Similar distributionof

[125I]sarafotoxin-6b and [125I]endothelin-1, -2, -3 bindingsites in the

human kidney. Eur. J. Pharmacol. 176: 233–236.

WHO. Health topics: diabetes melitus. [internet], 2013. (diunduh 2 maret

2017). Tersedia dari: URL: HYPERLINKhttp:

//www.who.int/topics/diabetes_me llitus/en/.

Wild S., Roglic G., Green A., et al. 2004. Global Prevalence of Diabetes,

Estimates for the year 2000 and Projection for 2030. Diab Care. 27(5):

1047-1053.

Wildman RP, Farhat GN, Patel AS, Mackey RH, Brockwell S.Weight change

is associated with change in arterial stiffnessamong healthy young

adults. Hypertension. 2005;45:187-192.

Wilkinson IB, Franklin SS, Cockcroft JR. Nitric oxide and theregulation of

large artery stiffness : from physiology topharmacology. Hypertension.

2004;44:112-116.

Yanagisawa M, Kurihara H, Kimura S, TomobeY, Kobayashi M, Mitsui Y, et

al. A novelpotent vasoconstrictor peptide produced byvascular

endothelial cells. Nature 1988; 332:411-5.

Yeager ME, Belchenko DD, Nguyen CM et al (2012) Endothelin-1,the

unfolded protein response, and persistent inflammation: roleof

71

pulmonary artery smooth muscle cells. Am J Respir Cell MolBiol 46:14–

22.

Yoga T. Prevalensi diabetes melitus. Seminar peringatan Hari Diabetes

Sedunia 2009 di Jakarta. Tersedia dari: URL: HYPERLINK

http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/414-tahun-

2030-prevalensi-diabetes-melitus-di-indonesia-mencapai-213-juta-

orang.html.

72

LAMPIRAN 1

73

LAMPIRAN 2

DM tidak terkontrol

Ket: 1= laki-laki, 2=perempuan

NO NAMA UMUR JK HbA1C ENDOTELIN1

1 Amir Halang 67 1 11,8 154,2

2 Siti Saodah 69 2 8,2 292,2

3 Bari Danun 64 1 7,5 132

4 yuliana Liu 57 2 10,8 135,8

5 Muhyiddin Rauf

60 1 7,4 137

6 Nurbaya 62 2 7,4 133,9

7 Hj Saenab 73 2 10,6 129,9

8 Damasia 52 2 7,3 137,2

9 Hj Sumiati 38 2 10,4 537,4

10 Yusuf Kalu 69 1 9,5 129

11 Nurasmi 53 2 8,5 250.600

12 Alamsyah 37 1 10,2 148.600

13 Hafni 60 2 10,9 162

14 Supiyatun 66 2 7,8 197,8

15 Kathrina 53 2 7,1 195,8

16 Farida S Kep

64 2 8,5 333,8

17 Harsina 40 2 12,9 126,4

18 Siti Rabiah 51 2 7,1 100,1

19 Syamsuddin 46 1 8,7 202,2

20 Hj Nurhaedah

59 2 11,3 231,1

21 Musseng 76 1 10,7 335,5

22 Dg.Sanabo 60 1 8,6 145,2

23 Adnan 56 1 7,8 529,1

24 Siti Ramlah 79 2 10,1 128,7

25 Rasida 51 2 8,7 510,9

26 Andi Anwar 64 1 8,2 142,1

27 H. Sani 74 2 10,7 149,8

74

28 Rosdiana 45 2 9,8 137,9

29 Sukarmi 58 2 9,1 144,7

30 Abd Jabar 61 1 7,7 511,9

31 Nur Anna 57 2 9,3 137,7

32 Sukawati R 57 2 11,4 140,3

33 Hadra 46 2 12,2 257,5

34 sahari 64 2 15,6 126

35 marliati 52 2 10,1 112,8

36 imran 44 2 10,6 108

37 siti ara 49 2 11,9 102.700

38 harsina 40 2 12,9 140

39 abd malik 55 1 7,9 140,5

40 muh muafi 64 1 13,2 161,8

41 Jasmania 71 2 6,8 208,2

DM terkontrol

Ket: 1=laki-laki, 2=perempuan

NO NAMA UMUR JK Hba1c ENDOTELIN1

1 Laba S Sos 59 1 5,5 398,4

2 Amiruddin

ST 46 1 5,5 46,5

3 Burhan Hk 63 1 4,8 230,3

4 Marlina 43 2 5,4 116,6

5 Ambo Tang 74 1 5,9 95,5

6 Anwar S 53 1 5,3 132,5

7 Mirwan. M

Andi 51 1 5,7 362,1

8 Waode Rinino

57 2 5,9 120,5

9 Hj Nurmini 53 2 6,3 172

10 Faisal Idrus 59 1 6,4 88,7

11 Siti

Rachma 71 2 5,4 110,9

12 Nurjani 51 2 5,9 116,9

13 Ruli 52 1 5,7 88,2

14 Idrus G 63 1 5,9 85,2

15 Musyridi 24 1 5 96,4

16 Abd 55 1 5,8 112,1

75

Rahman

17 Dg. Baji 70 2 5,4 113,1

18 Dg. Matu 70 1 6,4 104,9

19 Esther BM 61 2 5,9 229,2

20 Johanis 82 1 5,8 117,6

21 Rosnawati 48 2 5,7 172

22 H.Masud S 79 1 6,1 119,7

23 Radianah 64 2 5,1 90,9

24 Haluma Siri 66 1 5,3 27,4

25 Arifuddin 50 1 6 388,5

26 Anwar Tekka

73 1 6,3 110,4

27 Amiruddin 43 1 6,2 100,8

28 Riyanti 34 2 6,4 112,3

29 Hanisah 63 2 5,7 109,2

30 Hj Atikah 62 2 5,7 117,4

31 ir Dasril 58 1 5,7 79,8

32 Muchtar 53 1 5,9 13,5

33 Edita

Lebang 60 2 5,7 93,8

34 Tambaru

Lau 74 1 6 105,9

35 OBET 60 1 4,8 110,9

36 Hasni 41 2 5,7 101,3

37 Ny. FaTMA 45 2 5,6 384,1

38 Sutiono 61 2 6,4 141,2

39 Ratni 63 2 6,3 112,2

40 Albertin 61 1 6,3 141,2

41 Christina P 77 2 6,2 106,8

76

Lampiran 3.

NASKAH PENJELASAN UNTUK MENDAPAT PERSETUJUAN

DARI SUBYEK PENELITIAN

Judul penelitian :Analisis Kadar Endothelin 1 pada pasien DM

terkontrol dan tidak terkontrol

Penjelasan kepada subyek penelitian :

Selamat pagi bapak/ibu, saya dr.Nur azni yang akan melakukan

penelitian tentang suatu zat dalam tubuh manusia yang jika diketahui jumlah

kadarnya, maka bisa membantu mengetahui atau memprediksi kemungkinan

beberapa gangguan yang terjadi akibat komplikasi DM Tipe 2 yang didasari

disfungsi endotel. Nama ilmiahnya adalah Endothelin 1. Perlu bapak/ibu

ketahui bahwa komplikasi DM Tipe 2 cukup banyak dan bisa berdampak

negative terhadap kualitas hidup manusia manakalah beralnjut ke komplikasi

yang bisa berupa komplikasi makrovaskular (pembuluh darah besar) maupun

mikrovaskular (pembukuh darah kecil). Penyakit DM Tipe 2 ini dengan

berbagai komplikasi yang ditimbulkan, pada umumnya didasari oleh adanya

gangguan endotel (disfungsi endotel) tiap tahun mengalami peningkatan

sehingga perlunya diketahui sedari dini untuk tidak sampai ke tahap yang

lebih berat. Dengan diketahuinya kadar atau jumlah zat tersebut melalui tes

darah dalam tubuh manusia, maka diharapkan gangguan ini dapat ditangani

lebih cepat dengan pengobatan yang tepat sehingga mengurangi tingkat

keparahannya.

Jika Bapak/Ibu berkenan dan setuju untuk berpartisipasi dalam

penelitian ini, maka kami akan menanyakan beberapa hal, antara lain data

77

pribadi bapak/ibu.Bila Bapak/Ibu memenuhi syarat untuk ikut penelitian ini,

maka kami akan memulai melakukan pemeriksaan dengan cara mengambil

darah terlebih dahulu.

Yang mengambil sampel darah Bapak/Ibu adalah petugas laboran

yang sudah terlatih dan memiliki sertifikat kompetensi sebagai petugas

laboran, sehingga Bapak/Ibu tidak perlu khawatir karena dilayani oleh

petugas yang tepat. Lokasi pengambilan darah di daerah lengan atas

sebagaimana pengambilan darah untuk tes yang biasa, darah yang diambil

tidak banyak hanya sekitar 3 mL, dan prosedur ini semuanya dilakukan

secara steril, setelah ini luka tusukan jarum ditutupi menggunakan plester.

Risiko yang mungkin timbul diharapkan risiko minimal berupa lebam di

sekitar luka tusuk ataupun rasa pusing pada saat lengan ditusuk jarum, tetapi

risiko ini tidak terjadi pada semua orang dan seandainyapun terjadi, maka

kami sudah meyiapkan perlengkapan medis untuk mengantisipasinya.

Sampel penelitian akan dilakukan pemeriksaan Hba1C di Rumah Sakit

Wahidin Sudirohusodo dan untuk endothelin-1 akan diperiksan diRSU Unhas

lantai 6. Dan perlu kami sampaikan bahwa semua biaya pemeriksaan ini

akan ditanggung oleh peneliti.

Bila Bapak/Ibu bersedia, kami mengharapkan Bapak/Ibu dapat

memberikan persetujuan secara tertulis. Keikutsertaan Bapak/Ibu dalam

penelitian ini bersifat sukarela tanpa paksaan, oleh karena itu bapak/ibu

berhak untuk menolak atau mengundurkan diri dari penelitian ini.

Kami menjamin juga keamanan dan kerahasiaan semua data pada

penelitian ini. Data akan disimpan dengan baik dan aman, sehingga hanya

bisa dilihat oleh yang berkepentingan saja. Data pribadi disamarkan pada

semua catatan dan pada pelaporan baik lisan ataupun tertulis tidak akan

menggunakan data pribadi.

78

Bila Bapak/Ibu merasa masih ada hal yang belum jelas atau belum

dimengerti dengan baik, maka ibu dapat menanyakan atau minta penjelasan

pada saya, dr. Nur azni (telepon:081355482126).

Jika bapak/ibu setuju untuk berpartisipasi, diharapkan menandatangani

surat persetujuan mengikuti penelitian.Atas kesediaan dan kerjasamanya

kami ucapkan terima kasih.

DISETUJUI OLEH KOMISIPENELITIAN

KESEHATANFAK. KEDOKTERANUNHAS

TGL : …………...................................

79

Lampiran 4.

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

Judul penelitian :Analisis Kadar Endothelin 1 pada pasien DM

terkontrol dan tidak terkontrol

Saya yang bertanda tangan dibawah ini

Nama :

Jenis kelamin :

Umur :

Alamat :

Setelah mendengar dan mengerti penjelasan yang diberikan

mengenai tujuan penelitian, dengan ini saya menyatakan bersedia secara

sukarela tanpa paksaan dari pihak manapun untuk berpartisipasi dalam

penelitian ini dan saya yakin hasilnya bersifat rahasia hanya peneliti utama

dan tim komite etik yang mengetahuinya.

Saya mengerti bahwa pada proses pengambilan cairan bilasan

bronkus sudah tercakup saat saya menjalani tindakan bronkoskopi tadi. Saya

mengetahui bahwa saya berhak untuk menolak atau berhenti dari penelitian

ini.Biaya pemeriksaan cairan bilasan bronkus dalam penelitian ini ditanggung

oleh peneliti.

Bila masih ada hal yang belum saya mengerti atau saya ingin

mendapatkan penjelasan lebih lanjut, saya bisa mendapatkannya dari dokter

peneliti sebagai contact person (alamat dan nomor telepon tertera di bawah).

Makassar, 2017

....................................... ........................................

80

Nama subyek Tanda tangan

No. Nama Saksi Tanda tangan

1. ………………………………… ……………………………..

2. …………………………………. ……………………………….

Identitas Peneliti Utama

Nama : dr. Nur Azni

Alamat :Perumahan bukit baruga Jl. Agung no 29

Telepon: 081355482126

81

LAMPIRAN 5

CURRICULUM VITAE

I. Data Pribadi

a. Nama : Nur Azni M Lamadjido

b. NIP : 198101142009032006

c. Pangkat/Golongan : III c

d. Jenis Kelamin : Perempuan

e. Agama : Islam

f. Tempat/Tanggal lahir : Palu/ 14 januari 1981

g. Alamat : Perumahan bukit baruga Makassar

II. Riwayat Pendidikan

a. SD Negeri 3 Palu, lulus tahun 1993.

b. SMP Negeri 1 Palu, lulus tahun 1996

c. SMA Islam Athirah Makassar, lulus tahun 1999.

d. Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Muslim

Indonesia Makassar, lulus tahun 2006.

e. Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Makassar, lulus tahun 2008.

82

f. Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, periode 1 Juli 2013 –

sekarang.

III. Riwayat Pekerjaan

a. Dokter umum RSUD Kabelota Donggala (2008 - sekarang)

IV. Karya Ilmiah / Artikel yang telah dipublikasikan

a. Analisis indeks eritrosit dan Kadar Ret-He pada pasien gagal ginjal

kronik

b. Leukemia Mieloid Akut pada Sindrom Down