51
Sulfur Dan Batubara Total Sulfur pada batubara adalah jumlah kandungan sulfur yang terdapat dalam abu batubara (disebut pula noncombustible sulfur) dengan combustible sulfur. Atau definisi lainnya menyebutkan, total sulfur adalah jumlah inorganic sulfur dengan organic sulfur. Definisi 1: Total Sulfur (TS) = combustible sulfur + noncombustible sulfur. Combustible sulfur didapat dari pengurangan total sulfur dengan noncombustible sulfur yang terdapat dalam abu batubara. Definisi 2 (definisi ISO): Total Sulfur (TS) = inorganic sulfur* + organic sulfur. *Inorganic sulfur: 1. Sulfate sulfur; 2. Pyritic sulfur Berdasarkan definisi ISO, sulfur yang terdapat di dalam batubara untuk keperluan analisis ada 3, yaitu sulfate sulfur, pyritic sulfur, dan organic sulfur.

sulfur dan batubara

Embed Size (px)

Citation preview

Sulfur Dan Batubara

Total Sulfur pada batubara adalah jumlah kandungan sulfur yang terdapat dalam abu batubara (disebut pula noncombustible sulfur) dengan combustible sulfur. Atau definisi lainnyamenyebutkan, total sulfur adalah jumlah inorganic sulfur dengan organic sulfur.Definisi 1:

Total Sulfur (TS) = combustible sulfur + noncombustible sulfur.Combustible sulfur didapat dari pengurangan total sulfur dengan noncombustible sulfur yang terdapat dalam abu batubara.Definisi 2 (definisi ISO):

Total Sulfur (TS) = inorganic sulfur* + organic sulfur.*Inorganic sulfur: 1. Sulfate sulfur; 2. PyriticsulfurBerdasarkan definisi ISO, sulfur yang terdapat di dalam batubara untuk keperluan analisis ada 3, yaitu sulfate sulfur, pyritic sulfur, dan organic sulfur.

Sulfate sulfur adalah sulfur yang terdapat dalambatubara, berbentuk sebagai sulfat.Pyritic sulfur sulfur yang terdapat dalam batubara, berbentuk sebagai pyrite atau marcasite.Organic sulfur adalah sulfur yang berikatan dengan material batubara, nilainya didapat dari pengurangan total sulfur dengan jumlah sulfate sulfur dan pyritic sulfur.Organic sulfur = total sulfur – (sulfate sulfur + pyritic sulfur)Pada saat pembakaran batubara di boiler, sulfur yang terdapat dalam batubara akan berubah menjadi SO2 dan SO3 yang mencemari udara. Selain itu, sulfur tersebut juga menimbulkan korosi pada permukaaan pemanas boiler. Oleh karena itu,total sulfur pada steam coal diharapkan tidak lebih dari 1%.Sedangkan pada pengolahan besi baja, total sulfur pada kokas diharapkan tidak lebih dari 0.6%. Bila lebih dari nilai ini, kualitas pemrosesan akan turun, seperti mudah rapuhnya besi atau baja tersebut.

Sulfur adalah salah satu komponen dalam batubara, yang terdapat sebagai sulfur organik maupun anorganik. Umumnya komponen sulfur dalam batubara terdapat sebagai sulfur syngenetik yangerat hubungannya dengan proses fisika dan kimia selama proses penggambutan (Meyers, 1982) dan dapat juga sebagai sulfur epigenetik yang dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada batubara akibat proses presipitasi kimia pada akhir proses pembatubaraan (Mackowsky, 1968).

Sulfur walaupun secara relatif kandungannya rendah, merupakan salah satu elemen penting padabatubara yang mempengaruhi kualitas. Terdapat berbagai cara terbentuknya sulfur dalam batubara, diantaranya adalah berasal dari pengaruh lapisan pengapit yang terendapkan dalamlingkungan laut (Horne et.al,1978), pengaruh airlaut selama proses pengendapan tumbuhan, proses mikrobial dan perubahan pH (Casagrande et.al, 1987).

Di lingkungan laut, pH umumnya berkisar antara 4– 8 (netral – basa) dan Eh cukup rendah, kecualipada beberapa centimeter dari permukaan. Sulfat berlimpah & umumnya cukup banyak ion Fe yang hadir baik sebagai unsur terlarut dalam air laut

atau penguraian dari bahan tumbuhan & mineral. Keadaan ini menyebabkan aktifitas bakteri sangatberperan untuk terbentuknya sulfur. Sedangkan lingkungan pengendapan batubara pada air tawar (lacustrine dan rawa) pH umumnya rendah. Sulfat terlarut juga rendah ( ± < 40 ppm), sehingga sulfur yang terbentuk sedikit karena aktifitas bakteri rendah. Dengan demikian jumlah sulfur yang dihasilkan tergantung pada kondisi pH, Eh, konsentrasi sulfat dan untuk pirit khususnya perlu kehadiran ion Fe dan aktivitas bakteri. Pada lingkungan pengendapan batubara yang dipengaruhi oleh endapan laut akan menghasilkan batubara dengan kadar sulfur yang tinggi, sedangkan batubara yang terendapkan di lingkungan darat / air tawar umumnya didominasi oleh sulfur organik dengan persentase pirit yangrendah.

Dari hasil penelitian mengenai pembentukan dan keberadaan sulfur pada batubara dan gambut, Casagrande (1987) membuat beberapa kesimpulan, yaitu :a. Secara umum batubara bersulfur rendah (<1%) mengandung lebih banyak sulfur organik daripada piritik. Sebaliknya batubara dengan kandungan sulfur tinggi mengandung lebih banyak sulfur

piritik daripada organik.b. Batubara bersulfur tinggi biasanya berasosiasi dengan batuan penutup yang berasal dari lingkungan laut.c. Kandungan sulfur pada batubara umumnya palingtinggi pada bagian roof dan pada bagian floor lapisan batubara.

Proses paling penting dalam pembentukan unsur dan senyawa sulfur adalah reaksi reduksi sulfat oleh aktivitas bakteri. Berikut adalah skema yang menunjukkan urutan proses pembentukan sulfur dalam batubara :

Batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah biasanya terendapkan pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan lapisan penutup dan lapisan dibawahnya berupa sedimen klastik yang terendapkan pada lingkungan darat juga. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang tinggi, berasosiasi dengan sedimen yang terendapkan pada lingkungan payau atau laut (Cecil et.al, 1979).

Terdapat 3 (tiga) jenis sulfur yang terdapat dalam batubara, yaitu : 

1. Sulfur Piritik

Pirit (dan Markasit) merupakan mineral sulfida yang paling umum dijumpai pada batubara. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS2) tetapi berbeda pada sistem kristalnya. Pirit berbentuk isometrik sedangkan Markasit berbentuk orthorombik (Taylor G.H, et.al., 1998). 

Pirit (FeS2) merupakan mineral yang memberikan kontribusi besar terhadap kandungan sulfur dalambatubara, atau lebih dikenal dengan sulfur piritik (Mackowsky, 1943 dalam Organic petrology, 1998). Berdasarkan genesanya, pirit pada batubara dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :

1. Pirit Syngenetik, yaitu pirit yang terbentuk selama proses penggambutan (peatification). Pirit jenis ini biasanya berbentuk framboidal dengan butiran sangat halus dan tersebar dalam material pembentuk batubara (Demchuk, 1992 dalaminternational journal of coal geology, 1992).2. Pirit Epigenetik, yaitu pirit yang terbentuk setelah proses pembatubaraan. Pirit jenis ini

biasanya terendapkan dalam kekar, rekahan dan cleat pada batubara serta biasanya bersifat masif. (Mackowsky, 1968; Gluskoter, 1977; Frankie and Howe, 1987 dalam international journal of coal geology, 1992). Umumnya pirit jenis ini dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada batubara.

Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh organisme dan air tanah yang mengandung ion besi. Bentuk pirit hasil reduksi ini biasanya framboidal dengan sumber sulfur yang tereduksi kemungkinan terdapat dalam material yang terendapkan bersama batubara. Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungandengan frekuensi cleat / rekahan karena kation-kation yang terlarut (dalam hal ini ion Fe) akanterbawa ke dalam batubara oleh aliran air tanah melalui cleat tersebut dan selanjutnya bereaksi dengan sulfur yang telah tereduksi untuk kemudian membentuk pirit (Demchuk T.D, dalam International Journal of Coal Geology, 1992).

Pembentukan pirit epigenetik sangat dipengaruhi oleh keterdapatan sulfur primer yang telah tereduksi, ion besi dan tempat yang cocok bagi

pembentukannya (Casagrande et.al,1987). Persamaan umum pembentukan pada pirit (Leventhal, 1983 and Berner, 1984 dalam Organic Petrology, 1998) adalah :

SO4 2- + 2CH2O - - - - - 2CHO3 - + H2S3H2S + 2FeO.OH - - - - - 2FeS + S + 4H2OFeS + S0 - - - - - FeS2

Sulfat di atas umumnya berasal dari sedimen lautdangkal yang selanjutnya akan direduksi oleh senyawa karbon organik menjadi hidrogen sulfida dengan reaksi sebagai berikut :SO4 2- + 2CH2O - - - - - 2HCO3 + H2S

Hidrogen sulfida yang terbentuk selanjutnya dioksidasi oleh goethite (FeO.OH), atau hidrogensulfida yang terbentuk dapat mereduksi ferric iron (FeIII) menjadi ferrous iron (FeII). Oksigen seringkali mampu menembus sedimen anaerob dan mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi unsur sulfur (S0). Proses oksidasi sulfur ini dapat juga berlangsung dengan media ferric iron (FeIII).

Berikut persamaan reaksinya :

3H2S +2 FeO.OH - - - - - 2 FeS + S + 4H2OFeS + S0 - - - - - FeS2

Selain membentuk pirit, unsur sulfur tersebut dapat juga bereaksi dengan sulfida membentuk polisulfida (SSn), yang selanjutnya mungkin akandiperlukan untuk proses pembentukan pirit. Larutan polisulfida ini dapat bereaksi dengan FeS atau Fe3S4 untuk membentuk pirit. Proses terbentuknya sulfur piritik ini sangat dipengaruhi oleh kondisi pH, yaitu semakin tinggi harga pH maka akan mempercepat reaksi karena dalam suasana basa akan banyak ion besi yang terlepaskan. Disamping itu unsur sulfur atau polisulfida juga bisa bereaksi dengan komponen organik batubara membentuk senyawa sulfur organik.

Pirit framboidal berasosiasi dengan batuan penutup yang terendapkan pada lingkungan laut sampai payau. Gambut yang mengandung sulfur tinggi (dalam bentuk pirit framboidal) terbentukpada lingkungan pengendapan yang dipengaruhi oleh transgresi air laut atau payau, kecuali apabila terdapat dalam batuan sedimen yang cukuptebal dan terendapkan sebelum fase transgresi (Cohen A.D dalam Organic Petrology, Taylor G.H,

1998).

III.4.3 Sulfur Organik

Sulfur organik merupakan suatu elemen pada struktur makromolekul dalam batubara yang kehadirannya secara parsial dikondisikan oleh kandungan dari elemen yang berasal dari materialtumbuhan asal. Dalam kondisi geokimia dan mikrobiologis spesifik, sulfur inorganik dapat terubah menjadi sulfur organik. (Wiser W.H, 2000).

Secara umum sebagian besar sulfur dalam batubaraberupa sulfur syngenetik yang keterdapatan dan distribusinya dikontrol oleh kondisi fisika dan kimia selama proses pembentukan gambut. Sulfur organik dalam batubara dapat berasal dari material kayu dan pepohonan. Disamping itu sebagian sulfur juga mungkin terjadi dari sisa-sisa organisme yang hidup selama perkembangan gambut. 

Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material organik oleh proses penghancuran biokimia dan oksidasi. Namun secara umum, penghancuran biokimia merupakan proses yang

paling penting dalam pembentukan sulfur organik,yang pembentukannya berjalan lebih lambat pada lingkungan yang basah atau jenuh air (A.C. Cook,1982).

Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk batubara diduga mendominasi dalam menentukan kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang biasanya melimpah dalam lingkungan marin atau payau kemungkinan besar akan terubah membentuk hidrogen sulfida dan senyawa sulfat dalam kondisi dan proses geokimia. Reaksi yang terjadi adalah reduksi sulfat oleh material organik menjadi hidrogen sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini dipicu oleh adanya bakteri desulfovibrio dan desulfotomaculum (Trudinger et.al, dalam Meyers,1982).

Unsur sulfur, hidrogen sulfida dan ion sulfida dapat bereaksi dengan unsur atau molekul organikdari gambut menjadi sulfur organik. Unsur sulfur(S0) kemungkinan muncul dari proses oksidasi hidrogen sulfida yang terkena kontak dengan oksigen terlarut dalam kisi – kisi air, di samping itu S0 juga bisa muncul karena adanya aktivitas bakteri. Unsur sulfur (S0) dapat

bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selamaproses penggambutan (Meyers,1982).

Berdasarkan eksperimen dapat diketahui bahwa H2Sjuga dapat bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan. Jenis interaksi antara H2S dengan asam humik inilah yang mempunyai peranan paling penting dalam menentukan kandungan sulfur organik dalam batubara (Meyers, 1982). Disamping itu kandungansulfur organik yang tinggi hanya akan berasosiasi dengan lingkungan rawa gambut yang minim suplai Fe (Gransh & Postuma, 1974 ; Bein et.al, 1990 ; Zaback & Pratt dalam Suits and Arthur, 2000).

III.4.4 Sulfur Sulfat

Sulfat dalam batubara umumnya ditemui dalam bentuk sulfat besi, kalsium dan barium. Kandungan sulfat tersebut biasanya rendah sekaliatau tidak ada kecuali jika batubara telah terlapukkan dan beberapa mineral pirit teroksidasi akan menjadi sulfat. (Meyers, 1982 and Kasrai et.al, 1996).

Sulfur sulfat juga dapat berasal dari reaksi

garam laut atau air payau yang mengisi lapisan dasar yang jaraknya tidak jauh dan berada di atas atau di bawah lapisan batubara. Pada umumnya kandungan sulfur organik lebih tinggi pada bagian bawah lapisan, sedangkan kandungan sulfur piritik dan sulfat akan tinggi pada bagian atas dan bagian bawah lapisan batubara.

Genesa Sulfur Pada BatubaraSulfur adalah salah satu komponen dalam batubara, yang terdapat sebagai sulfur organik maupun anorganik. Umumnya komponen sulfur dalam batubara terdapat sebagai sulfur syngenetik yangerat hubungannya dengan proses fisika dan kimia selama proses penggambutan (Meyers, 1982) dan dapat juga sebagai sulfur epigenetik yang dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada batubara akibat proses presipitasi kimia pada akhir proses pembatubaraan (Mackowsky, 1968).

Sulfur walaupun secara relatif kandungannya rendah, merupakan salah satu elemen penting padabatubara yang mempengaruhi kualitas. Terdapat berbagai cara terbentuknya sulfur dalam batubara, diantaranya adalah berasal dari

pengaruh lapisan pengapit yang terendapkan dalamlingkungan laut (Horne et.al,1978), pengaruh airlaut selama proses pengendapan tumbuhan, proses mikrobial dan perubahan pH (Casagrande et.al, 1987).

Di lingkungan laut, pH umumnya berkisar antara 4– 8 (netral – basa) dan Eh cukup rendah, kecualipada beberapa centimeter dari permukaan. Sulfat berlimpah & umumnya cukup banyak ion Fe yang hadir baik sebagai unsur terlarut dalam air lautatau penguraian dari bahan tumbuhan & mineral. Keadaan ini menyebabkan aktifitas bakteri sangatberperan untuk terbentuknya sulfur. Sedangkan lingkungan pengendapan batubara pada air tawar (lacustrine dan rawa) pH umumnya rendah. Sulfat terlarut juga rendah ( ± < 40 ppm), sehingga sulfur yang terbentuk sedikit karena aktifitas bakteri rendah. Dengan demikian jumlah sulfur yang dihasilkan tergantung pada kondisi pH, Eh, konsentrasi sulfat dan untuk pirit khususnya perlu kehadiran ion Fe dan aktivitas bakteri. Pada lingkungan pengendapan batubara yang dipengaruhi oleh endapan laut akan menghasilkan batubara dengan kadar sulfur yang tinggi, sedangkan batubara yang terendapkan di lingkungan darat / air tawar umumnya didominasi

oleh sulfur organik dengan persentase pirit yangrendah.

Dari hasil penelitian mengenai pembentukan dan keberadaan sulfur pada batubara dan gambut, Casagrande (1987) membuat beberapa kesimpulan, yaitu :a. Secara umum batubara bersulfur rendah (<1%) mengandung lebih banyak sulfur organik daripada piritik. Sebaliknya batubara dengan kandungan sulfur tinggi mengandung lebih banyak sulfur piritik daripada organik.b. Batubara bersulfur tinggi biasanya berasosiasi dengan batuan penutup yang berasal dari lingkungan laut.c. Kandungan sulfur pada batubara umumnya palingtinggi pada bagian roof dan pada bagian floor lapisan batubara.

Proses paling penting dalam pembentukan unsur dan senyawa sulfur adalah reaksi reduksi sulfat oleh aktivitas bakteri. Berikut adalah skema yang menunjukkan urutan proses pembentukan sulfur dalam batubara :

Batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang

rendah biasanya terendapkan pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan lapisan penutup dan lapisan dibawahnya berupa sedimen klastik yang terendapkan pada lingkungan darat juga. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang tinggi, berasosiasi dengan sedimen yang terendapkan pada lingkungan payau atau laut (Cecil et.al, 1979).

Terdapat 3 (tiga) jenis sulfur yang terdapat dalam batubara, yaitu : 

1. Sulfur Piritik

Pirit (dan Markasit) merupakan mineral sulfida yang paling umum dijumpai pada batubara. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS2) tetapi berbeda pada sistem kristalnya. Pirit berbentuk isometrik sedangkan Markasit berbentuk orthorombik (Taylor G.H, et.al., 1998). 

Pirit (FeS2) merupakan mineral yang memberikan kontribusi besar terhadap kandungan sulfur dalambatubara, atau lebih dikenal dengan sulfur piritik (Mackowsky, 1943 dalam Organic

petrology, 1998). Berdasarkan genesanya, pirit pada batubara dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :

1. Pirit Syngenetik, yaitu pirit yang terbentuk selama proses penggambutan (peatification). Pirit jenis ini biasanya berbentuk framboidal dengan butiran sangat halus dan tersebar dalam material pembentuk batubara (Demchuk, 1992 dalaminternational journal of coal geology, 1992).2. Pirit Epigenetik, yaitu pirit yang terbentuk setelah proses pembatubaraan. Pirit jenis ini biasanya terendapkan dalam kekar, rekahan dan cleat pada batubara serta biasanya bersifat masif. (Mackowsky, 1968; Gluskoter, 1977; Frankie and Howe, 1987 dalam international journal of coal geology, 1992). Umumnya pirit jenis ini dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada batubara.

Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh organisme dan air tanah yang mengandung ion besi. Bentuk pirit hasil reduksi ini biasanya framboidal dengan sumber sulfur yang tereduksi kemungkinan terdapat dalam material yang terendapkan bersama batubara. Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan

dengan frekuensi cleat / rekahan karena kation-kation yang terlarut (dalam hal ini ion Fe) akanterbawa ke dalam batubara oleh aliran air tanah melalui cleat tersebut dan selanjutnya bereaksi dengan sulfur yang telah tereduksi untuk kemudian membentuk pirit (Demchuk T.D, dalam International Journal of Coal Geology, 1992).

Pembentukan pirit epigenetik sangat dipengaruhi oleh keterdapatan sulfur primer yang telah tereduksi, ion besi dan tempat yang cocok bagi pembentukannya (Casagrande et.al,1987). Persamaan umum pembentukan pada pirit (Leventhal, 1983 and Berner, 1984 dalam Organic Petrology, 1998) adalah :

SO4 2- + 2CH2O - - - - - 2CHO3 - + H2S3H2S + 2FeO.OH - - - - - 2FeS + S + 4H2OFeS + S0 - - - - - FeS2

Sulfat di atas umumnya berasal dari sedimen lautdangkal yang selanjutnya akan direduksi oleh senyawa karbon organik menjadi hidrogen sulfida dengan reaksi sebagai berikut :SO4 2- + 2CH2O - - - - - 2HCO3 + H2S

Hidrogen sulfida yang terbentuk selanjutnya

dioksidasi oleh goethite (FeO.OH), atau hidrogensulfida yang terbentuk dapat mereduksi ferric iron (FeIII) menjadi ferrous iron (FeII). Oksigen seringkali mampu menembus sedimen anaerob dan mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi unsur sulfur (S0). Proses oksidasi sulfur ini dapat juga berlangsung dengan media ferric iron (FeIII).

Berikut persamaan reaksinya :

3H2S +2 FeO.OH - - - - - 2 FeS + S + 4H2OFeS + S0 - - - - - FeS2

Selain membentuk pirit, unsur sulfur tersebut dapat juga bereaksi dengan sulfida membentuk polisulfida (SSn), yang selanjutnya mungkin akandiperlukan untuk proses pembentukan pirit. Larutan polisulfida ini dapat bereaksi dengan FeS atau Fe3S4 untuk membentuk pirit. Proses terbentuknya sulfur piritik ini sangat dipengaruhi oleh kondisi pH, yaitu semakin tinggi harga pH maka akan mempercepat reaksi karena dalam suasana basa akan banyak ion besi yang terlepaskan. Disamping itu unsur sulfur atau polisulfida juga bisa bereaksi dengan komponen organik batubara membentuk senyawa

sulfur organik.

Pirit framboidal berasosiasi dengan batuan penutup yang terendapkan pada lingkungan laut sampai payau. Gambut yang mengandung sulfur tinggi (dalam bentuk pirit framboidal) terbentukpada lingkungan pengendapan yang dipengaruhi oleh transgresi air laut atau payau, kecuali apabila terdapat dalam batuan sedimen yang cukuptebal dan terendapkan sebelum fase transgresi (Cohen A.D dalam Organic Petrology, Taylor G.H, 1998).

III.4.3 Sulfur Organik

Sulfur organik merupakan suatu elemen pada struktur makromolekul dalam batubara yang kehadirannya secara parsial dikondisikan oleh kandungan dari elemen yang berasal dari materialtumbuhan asal. Dalam kondisi geokimia dan mikrobiologis spesifik, sulfur inorganik dapat terubah menjadi sulfur organik. (Wiser W.H, 2000).

Secara umum sebagian besar sulfur dalam batubaraberupa sulfur syngenetik yang keterdapatan dan distribusinya dikontrol oleh kondisi fisika dan

kimia selama proses pembentukan gambut. Sulfur organik dalam batubara dapat berasal dari material kayu dan pepohonan. Disamping itu sebagian sulfur juga mungkin terjadi dari sisa-sisa organisme yang hidup selama perkembangan gambut. 

Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material organik oleh proses penghancuran biokimia dan oksidasi. Namun secara umum, penghancuran biokimia merupakan proses yang paling penting dalam pembentukan sulfur organik,yang pembentukannya berjalan lebih lambat pada lingkungan yang basah atau jenuh air (A.C. Cook,1982).

Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk batubara diduga mendominasi dalam menentukan kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang biasanya melimpah dalam lingkungan marin atau payau kemungkinan besar akan terubah membentuk hidrogen sulfida dan senyawa sulfat dalam kondisi dan proses geokimia. Reaksi yang terjadi adalah reduksi sulfat oleh material organik menjadi hidrogen sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini dipicu oleh adanya bakteri desulfovibrio dan

desulfotomaculum (Trudinger et.al, dalam Meyers,1982).

Unsur sulfur, hidrogen sulfida dan ion sulfida dapat bereaksi dengan unsur atau molekul organikdari gambut menjadi sulfur organik. Unsur sulfur(S0) kemungkinan muncul dari proses oksidasi hidrogen sulfida yang terkena kontak dengan oksigen terlarut dalam kisi – kisi air, di samping itu S0 juga bisa muncul karena adanya aktivitas bakteri. Unsur sulfur (S0) dapat bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selamaproses penggambutan (Meyers,1982).

Berdasarkan eksperimen dapat diketahui bahwa H2Sjuga dapat bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan. Jenis interaksi antara H2S dengan asam humik inilah yang mempunyai peranan paling penting dalam menentukan kandungan sulfur organik dalam batubara (Meyers, 1982). Disamping itu kandungansulfur organik yang tinggi hanya akan berasosiasi dengan lingkungan rawa gambut yang minim suplai Fe (Gransh & Postuma, 1974 ; Bein et.al, 1990 ; Zaback & Pratt dalam Suits and Arthur, 2000).

III.4.4 Sulfur Sulfat

Sulfat dalam batubara umumnya ditemui dalam bentuk sulfat besi, kalsium dan barium. Kandungan sulfat tersebut biasanya rendah sekaliatau tidak ada kecuali jika batubara telah terlapukkan dan beberapa mineral pirit teroksidasi akan menjadi sulfat. (Meyers, 1982 and Kasrai et.al, 1996).

Sulfur sulfat juga dapat berasal dari reaksi garam laut atau air payau yang mengisi lapisan dasar yang jaraknya tidak jauh dan berada di atas atau di bawah lapisan batubara. Pada umumnya kandungan sulfur organik lebih tinggi pada bagian bawah lapisan, sedangkan kandungan sulfur piritik dan sulfat akan tinggi pada bagian atas dan bagian bawah lapisan batubara.

Penurunan kadar sulfur pada batubara berkadar sulfur tinggi, dapat dilakukan melalui proses Hot Water Drying dengan penambahan larutan Na2CO3 encer dan gas oksigen. Proses tersebut dapat menurunkan total sulfur sampai paling tinggi 47,01%, sulfur pyrit 57,32%, sulfur

sulfat 70,57% dan kadar air dapat berkurang menjadi 2,04%, akan tetapi mengakibatkan pertambahan sulfur organic sebanyak 16,6%, jika proses tersebut dioperasikan pada suhu 300oC selama 60 menit, perubahan tersebut tidak dipengaruhi oleh ukuran partikel batubara yang digunakan pada percobaan ini. Selain itu, pengaruh penambahan Na2CO3 dan oksigen pada proses tersebut dapat meningkatkan kualitas batubara peringkat rendah berkadar sulfur tinggiyang diteliti dengan memperbesar nilai kalori dan menurunkan kadar air, kadar karbon, dan nilai HGI menjadi lebih tinggi. Namun demikian, kadar Na2O di dalam abu batubara yang dihasilkanbertambah besar, sehingga batubara yang dihasilkan mempunyai potensi fouling yang sangattinggi, meskipun kadar K2O menjadi lebih rendah,pada kondisi proses tersebut.

Batu bara adalah bahan bakar fosil. Batu bara dapat terbakar, terbentuk dari endapan, batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batu bara terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata batuan lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan panas

selama jutaan tahun sehingga membentuk lapisan batu bara. Batu bara dapat diartikan sebagai endapan batu yang terbakar, dibentuk dari pelapukan bahan tanam-tanaman, adalah sebuah zatkimia yang komplek yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk. Batu bara dibagi dalam empat kelas: anthracite, bituminous, sub-bituminous, and lignite. Analisa unsur memberikan rumus formula empiris seperti : C137H97O9NS untuk bituminous coalC240H90O4NS untuk high-grade anthracite.

Jenis BatubaraAnthracite coal adalah padat (dense), batu-kerasdengan warna jet-black berkilauan (luster) metallic, mengandung antara 86% - 98% Carbon dari beratnya, terbakar lambat, dengan batasan nyala api biru (pale blue flame) dengan sedikit sekali asap, beberapa batu bara ditemukan di area pegunungan seperti the Rocky Mountains dan Appalachian Mountains in North America, telah terkondisikan pada panas yang besar dan tekanan seperti batu metamorphic, hard coal atau anthracite ini adalah hampir carbon sempurna. Bituminous coal atau batu bara lunak mengandung 68 – 86% Carbon dari beratnya dan

hampir semua batu bara berbentuk ini. Sub-bituminous coal mengandung sedikit carbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang tidak efisien. Lignite coal atau batubara coklat adalah batu bara yang sangat lunak yang mengandung air 70% dari beratnya.Bagaimanapun juga batu bara lebih murah dari gasalam atau minyak, batu bara lebih sulit dikelola, oleh karenanya ada sejarah panjang upaya-upaya untuk mengubah batu bara ke dalam dua bentuk bahan bakar yakni gas dan cair (coal gas dan coal liquid).Batubara di IndonesiaDi Indonesia, endapan batubara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasukPulau Sumatera dan Kalimantan), pada umumnya endapan batubara tersebut tergolong usia muda, yang dapat dikelompokkan sebagai batubara berumur Tersier Bawah dan Tersier Atas.Potensi batubara di Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera,sedangkan di daerah lainnya dapat dijumpai batubara walaupun dalam jumlah kecil, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah,Papua, dan Sulawesi.Di Indonesia, batu bara merupakan bahan bakar

utama selain solar (diesel fuel) yang telah umumdigunakan pada banyak industri, dari segi ekonomis batu bara jauh lebih hemat dibandingkansolar, dengan perbandingan sebagai berikut: Solar Rp 0,74/kilo calori sedangkan batu bara hanya Rp 0,09/kilocalori, (berdasarkan hargasolar industri Rp. 6.200/liter).Dari segi kuantitas batubara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi Indonesia. Jumlahnya sangat berlimpah, mencapai puluhan milyar ton. Jumlah ini cukup untuk memasok kebutuhan energi listrik hingga ratusan tahun kedepan. Sayangnya, Indonesia tak mungkin membakarhabis batubara dalam bentuk PLTU. Selain mengotori lingkungan melalui polutan CO2, SO2, NOx dan CxHy cara ini dinilai kurang efisien dan kurang memberi nilai tambah tinggi.Batubara sebaiknya tidak langsung dibakar, akan lebih bermakna dan efisien jika dikonversi menjadi migas sintetis, atau bahan petrokimia lain yang bernilai ekonomi tinggi. Dua cara yangdipertimbangkan dalam hal ini adalah likuifikasi (pencairan) dan gasifikasi (penyubliman) batubara.Membakar batu bara secara langsung (direct burning) telah dikembangkan teknologinya secara continue, yang bertujuan untuk mencapai

efisiensi pembakaran yang maksimum, cara-cara direct burning seperti: fixed grate,chain grate, fluidized bed, pulverized, dan lain-lain, masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahannya.Gasifikasi batu baraCoal gasification adalah sebuah proses untuk merubah batu bara padat menjadi gas batu bara yang mudah terbakar (combustible gases), setelahproses pemurnian gas-gas ini CO (karbon monoksida), karbon dioksida(CO2), hidrogen (H), methane (CH4), dan nitrogen (N2) – dapat digunakan sebagai bahanbakar. hanya menggunakan udara dan uap air sebagai reacting-gas kemudian menghasilkan watergas atau coal gas, gasifikasi secara nyata mempunyai tingkat emisi udara, kotoran padat danlimbah terendah.Tetapi, batu bara bukanlah bahan bakar yang sempurna. Terikat didalamnya adalah sulfur dan nitrogen, bila batu bara ini terbakar kotoran-kotoran ini akan dilepaskan ke udara, bila mengapung di udara zat kimia ini dapat menggabung dengan uap air (seperti contoh kabut)dan tetesan yang jatuh ke tanah seburuk bentuk sulfuric dan nitric acid, disebut sebagai “acid

rain”. Disini juga ada noda mineral kecil, termasuk kotoran yang umum tercampur dengan batubara, partikel kecil ini tidak terbakar dan membuat debu yang tertinggal di coal combustor, beberapa partikel kecil ini juga tertangkap di putaran combustion gases bersama dengan uap air,dari asap yang keluar dari cerobong beberapa partikel kecil ini adalah sangat kecil setara dengan rambut manusia.Bagaimana membuat batu bara bersihAda beberapa cara. Contoh sulfur, sulfur adalah zat kimia kekuningan yang ada sedikit di batu bara, pada beberapa batu bara yang ditemukan di Ohio, Pennsylvania, West Virginia dan eastern states lainnya, sulfur terdiri dari 3 sampai 10 % dari berat batu bara, beberapa batu bara yang ditemukan di Wyoming, Montana dan western stateslainnya sulfur hanya sekitar 1/100ths (lebih kecil dari 1%) dari berat batu bara. Penting bahwa sebagian besar sulfur ini di buang sbelum mencapai cerobong asap.Satu cara untuk membersihkan batu bara adalah dengan cara mudah memecah batu bara ke bongkahanyang lebih kecil dan mencucinya. Beberapa sulfuryang ada sebagai bintik kecil di batu bara disebut sebagai "pyritic sulfur " karena ini

dikombinasikan dengan besi menjadi bentuk iron pyrite, selain itu dikenal sebagai "fool's gold”dapat dicuci dari batu bara. Secara khusus pada proses satu kali, bongkahan batu bara dimasukkanke dalam tangki besar yang terisi air , batu bara mengambang ke permukaan ketika kotoran sulfur tenggelam. Fasilitas pencucian ini dinamakan "Batu bara preparation plants" yang membersihkan batu bara dengan cara ini.Tidak semua sulfur bisa dibersihkan dengan cara ini, bagaimanapun sulfur pada batu bara adalah secara kimia benar-benar terikat dengan molekul carbonnya batu bara, tipe sulfur ini disebut "organic sulfur," dan pencucian tak akan menghilangkannya. Beberapa proses telah di coba untuk mencampur batu bara dengan bahan kimia yang mengusir sulfur pergi dari molekul batu bara, tetapi kebanyakan proses ini sudah terbukti terlalu mahal, ilmuan masih bekerja untuk mengurangi biaya dari prose pencucian kimia ini.Kebayakan pada modern power plants dan semua plants yang dibangun setelah 1978 — telah diwajibkan untuk mempunyai alat khusus yang dipasang yang membuang sulfur dari Batu bara's combustion gases sebelum gas ini naik menuju ccerobong asap alat ini adalah "flue gas

desulfurization units," tetapi banyak orang menyebutnya "scrubbers" — karena mereka men-scrub (menggosok) sulfur keluar dari asap yang dikeluarkan oleh coal-burning boilers.Membuang the NOX dari batu baraNitrogen secara umum adalah bagian yang besar dari pada udara yang dihirup, pada kenyataannya 80% dari udara adalah nitrogen, secara normal atom-atom nitrogen mengambang terikat satu sama lainnya seperti pasangan kimia, tetapi ketika udara di panaskan seperti pada nyala api boiler (3000 F=1648 C), atom nitrogen ini terpecah dan terikat dengan oksigen, bentuk ini sebagai “nitrogen oxides” atau kadang kala itu disebut sebagai NOx. NOx juga dapat dibentuk dari atom nitrogen yang terjebak didalam batu bara.Di udara, NOx adalah polusi dapat menyebabkan kabut coklat yang kabur yang kadang kala terlihat di seputar kota besar, itu juga sebagaipolusi yang membentuk “acid rain” (hujan asam), dan dapat membantu membentuk sesuatu yang disebut “ground level ozone”, tipe lain dari pada polusi yang dapat membuat udara dingy.Salah satu cara terbaik untuk mengurangi NOx adalah menghindari dari bentukan asalnya, beberapa cara telah ditemukan untuk membakar

baru bara di burner dimana ada lebih banyak bahan bakar dari pada udara di combustion chamber yang terpanas. Di bawah kondisi ini kebanyakan oksigen terkombinasikan dengan bahan bakar dari pada dengan nitrogen. Campuran pembakaran kemudian dikirim ke combustion chamber yang kedua dimana terdapat proses yang mirip berulang-ulang sampai semua bahan bakar habis terbakar. Konsep ini disebut "staged combustion" karena batu bara dibakar secara bertahap, disebut sebagai "low-NOx burners" telah dikembanhgkan cara pembakaran seperti ini,burner ini dapat mengurangi kangdungan Nox yang terlepas di uadara lebih dari separuh. Disini juga ada teknologi baru yang bekerja seperti "scubbers" yang membersihkan NOX dari flue gases(asap) dari boiler batu bara. Beberap alat ini menggunakan bahan kimia khusus yang disebut catalysts yang mengurai bagian NOx menjadi gas yang tidak berpolusi, walaupun alat ini lebih mahal dari "low-NOx burners," dapat membuang lebih dari 90% polusi Nox.Mengenal Batubara (2)Mengenal Batubara (2)Klasifikasi batubara berdasarkan tingkat pembatubaraan biasanya menjadi indikator umum

untuk menentukan tujuan penggunaannya.

Misalnya, batubara ketel uap atau batubara termal atau yang disebut steam coal, banyak digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik, pembakaran umum seperti pada industri bata atau genteng, dan industri semen, sedangkan batubara metalurgi (metallurgical coal atau coking coal) digunakan untuk keperluan industri besi dan bajaserta industri kimia. Kedua jenis batubara tadi termasuk dalam batubara bituminus. Adapun batubara antrasit digunakan untuk proses sintering bijih mineral, proses pembuatan elektroda listrik, pembakaran batu gamping, dan untuk pembuatan briket tanpa asap.Dalam pemanfaatannya, batubara harus diketahui terlebih dulu kualitasnya. Hal ini dimaksudkan agar spesifikasi mesin atau peralatan yang memanfaatkan batubara sebagai bahan bakarnya sesuai dengan mutu batubara yang akan digunakan,sehingga mesin-mesin tersebut dapat berfungsi optimal dan tahan lama.Secara umum, parameter kualitas batubara yang sering digunakan adalah kalori, kadar kelembaban, kandungan zat terbang, kadar abu, kadar karbon, kadar sulfur, ukuran, dan tingkat ketergerusan, di samping parameter lain seperti

analisis unsur yang terdapat dalam abu (SiO2, Al2O3, P2O5, Fe2O3, dll), analisis komposisi sulfur(pyritic sulfur, sulfate sulfur, organic sulfur), dan titik leleh abu (ash fusion temperature).Mengambil contoh pembangkit listrik tenaga uap batubara (Gambar 1), pengaruh-pengaruh parameterdi atas terhadap peralatan pembangkitan listrik adalah sebagai berikut:

1. Kalori (Calorific Value atau CV, satuan cal/gr atau kcal/kg)

CV sangat berpengaruh terhadap pengoperasian pulveriser/mill, pipa batubara, dan windbox, serta burner. Semakin tinggi CV maka aliran batubara setiap jam-nya semakin rendah sehingga kecepatan coal feederharus disesuaikan.Untuk batubara dengan kadar kelembaban dan tingkat ketergerusan yang sama, maka dengan CV yang tinggi menyebabkan pulveriser akan beroperasi di bawah kapasitas normalnya (menurut desain), atau dengan kata lain operating ratio-nya menjadi lebih rendah.

2. Kadar kelembaban (Moisture, satuan persen)

Hasil analisis untuk kelembaban terbagi menjadi free moisture (FM) daninherent moisture (IM). Adapun jumlah dari keduanya disebut dengan total moisture (TM). Kadar kelembaban mempengaruhi jumlah pemakaian udara primernya. Batubara berkadar kelembaban tinggi akan membutuhkan udara primer lebih banyak untuk mengeringkan batubara tersebut pada suhu yang ditetapkan oleh output pulveriser.

3. Zat terbang (Volatile Matter atau VM, satuan persen)

Kandungan VM mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas api. Penilaian tersebut didasarkan pada rasio atau perbandinganantara kandungan karbon (fixed carbon) dengan zat terbang, yang disebut dengan rasio bahan bakar (fuel ratio).Semakin tinggi nilai fuel ratio maka jumlah karbon di dalam batubara yang tidak terbakar juga semakin banyak. Jika perbandingan tersebut nilainya lebih dari 1.2, maka pengapian akan

kurang bagus sehingga mengakibatkan kecepatan pembakaran menurun.

4. Kadar abu (Ash content, satuan persen)

Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar dan daerah konversi dalam bentuk abu terbang (fly ash) yang jumlahnya mencapai 80 persen dan abu dasar sebanyak 20 persen. Semakin tinggi kadar abu, secara umum akan mempengaruhi tingkat pengotoran(fouling), keausan, dan korosi peralatan yang dilalui.

5. Kadar karbon (Fixed Carbon atau FC, satuanpersen)

Nilai kadar karbon diperoleh melalui penguranganangka 100 dengan jumlah kadar air (kelembaban), kadar abu, dan jumlah zat terbang. Nilai ini semakin bertambah seiring dengan tingkat pembatubaraan. Kadar karbon dan jumlah zat terbang digunakan sebagai perhitungan untuk menilai kualitas bahan bakar, yaitu berupa nilai fuel ratio sebagaimana dijelaskan di atas.

6. Kadar sulfur (Sulfur content, satuan persen)

Kandungan sulfur dalam batubara terbagi dalam pyritic sulfur, sulfate sulfur, dan organic sulfur. Namun secara umum, penilaian kandungan sulfur dalam batubara dinyatakan dalam Total Sulfur (TS). Kandungan sulfur berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin yang terjadi pada elemen pemanas udara, terutama apabila suhu kerja lebih rendah dari pada titik embun sulfur,di samping berpengaruh terhadap efektivitas penangkapan abu pada peralatanelectrostatic precipitator.

7. Ukuran (Coal size)

Ukuran butir batubara dibatasi pada rentang butir halus (pulverized coal ataudust coal) dan butir kasar (lump coal). Butir paling halus untuk ukuranmaksimum 3 milimeter, sedangkan butir paling kasar sampai dengan ukuran 50 milimeter.8. Tingkat ketergerusan (Hardgrove Grindability Index atau HGI)Kinerja pulveriser atau mill dirancang pada nilai

HGI tertentu. Untuk HGI lebih rendah, kapasitasnya harus beroperasi lebih rendah dari nilai standarnya pula untuk menghasilkan tingkatkehalusan (fineness) yang sama.PenutupPengetahuan tentang batubara dan manfaatnya, diharapkan tidak hanya dipandang sebagai komoditas belaka saja, tapi yang lebih penting adalah batubara merupakan salah satu sumber dayastrategis bagi keamanan energi di dalam negeri.Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki cadangan batubara yang besar, yaitu sekitar 38,8 milyar ton dimana 70 persen merupakan batubara muda dan 30 persen sisanya adalah batubara kualitas tinggi. Potensi ini hendaknya disadari oleh segenap lapisan masyarakat sehingga pengelolaan batubara secara optimal untuk kepentingan bangsa dapat terus dipantau dan diperhatikan bersama-sama.Bahan bacaan1. JCOAL, Coal Science Handbook, Japan Coal Energy Center, 2005.2. JCOAL, Kuri-n ni Riyou Sareru Sekitan, Japan Coal Energy Center, 2004.3. NEDO, Tankou Gijutsu Ippan Kenshuu You Kyouzai, 2003.4. Sekitan no Kisou Chishiki, Sekitan Shigen

Kaihatsu Kabushiki Kaisha.5. Sukandarrumidi, Batubara dan Gambut, Gadjah Mada Univ. Press, 1995.6. WCI, Coal Facts 2005, World Coal Institute, October 2005.7. WCI, The Coal Resource, World Coal Institute,2004.8. WCI, The Role of Coal as an Energy Source, World Coal Institute, 2002.9.Shigen Enerugi- Chou Sekitan Bu, Ko-ru No-to 1993 Nen Ban, Shigen Sangyou Shinbunsha, 1993.BATU BARA SEDIMEN MENGGIURKAN….Batubara merupakan sumber energi masa depan (Heriawan 2000). Batubara merupakan batuan sedimen yang dapat terbakar, berwarna coklat hingga hitam. Penyebaran endapan batubara di Indonesia ditinjau dari sudut geologi sangat erat hubungannya dengan penyebaran formasi sedimen yang berumur tersier yang terdapat secara luas di sebagian besar kepulauan Indonesia. Batubara di Indonesia dapat dibedakantiga jenis berdasarkan cara terbentuknya. Pertama, batubara paleogen, yaitu endapan batubara yang terbentuk dari cekungan intramontain terdapat di Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan. Kedua, batubara neogen yakni

batubara yang terbentuk pada cekungan foreland terdapat di Tanjung Enim Sumatera Selatan. Ketiga, batubara delta, yaitu endapan batubara di hamper seluruh Kalimantan timur (Anggayana 1999). Menurut Amri (2000) formasi batubar tersebar di wilayah seluas 298 juta Ha di Indonesia, meliputi 40 cekungan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya dan Jawa. Dari jumlah cekungan tersebut baru 13 cekungan denganluas sekitar 74 juta Ha (sekitar 25 %) yang sudah diselidiki. Sementara cekungan yang telah dilakukan eksplorasi maupun eksploitasi baru 3 %atau seluas 2.22 juta Ha. Oleh karena itu dapat dibayangkan bahwa masih banyak sumber-sumber potensial batubara yang terdapat di bumi Indonesia.Batubara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang membusuk dan terkumpul di daerah rawa atau kondisi yang banyak air. Kondisi tersebut yang menghambat penguraian menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan yang kemudian mengalami proses perubahan menjadi batubara. Pembentukan batubarajuga sangat dipengaruhi oleh tingkat kematangan yang bervariasi yang artinya sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lokal, kondisi local ini biasanya kandungan oksigen, tingkat keasaman, dan mikroba. Pada umumnya sisa-sisa tanaman

tersebut berupa pepohonan, gangan g, lumut, bunga, serta tumbuhan yang biasa hidup di rawa-rawa. Dalam suatu cebakan yang sama, sifat-sifatanalitik yang ditemukan dapat berbeda, ini diakibatkan karena tumbuhan asalnya yang berbedadan reaksi kimia yang mempengaruhi kematangan batubara tersebut.Secara umum, setelah sisa tanaman tersebut terkumpul dalam suatu kondisi tertentu yang mendukung (banyak air), pembentukan dari peat (gambut) umumnya terjadi. Dalam hal ini peat tidak dimasukkan sebagai golongan batubara, namun terbentuknya peat merupakan tahap awal dari terbentuknya batubara. Proses pembentukan batubara sendiri secara singkat dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan dari sisa-sisa tumbuhan yang ada, mulai dari pembentukan peat (peatifikasi) kemudian lignit dan menjadi berbagai macam tingkat batubara, disebut juga sebagai proses coalifikasi, yang kemudian berubah menjadi antrasit. Pembentukan batubara ini sangat menentukan kualitas batubara, dimana proses yang berlangsung selain melibatkan metamorfosis dari sisa tumbuhan, juga tergantungpada keadaan pada waktu geologi tersebut dan kondisi lokal seperti iklim dan tekanan. Jadi pembentukan batubara berlangsung dengan

penimbunan akumulasi dari sisa tumbuhan yang mengakibatkan perubahan seperti pengayaan unsur karbon, alterasi, pengurangan kandungan air, dalam tahap awal pengaruh dari mikroorganisme juga memegang peranan yang sangat penting.Dalam penyusunannya batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer organik yang berasal dariantara lain karbohidrat, lignin, dll. Namun komposisi dari polimer-polimer ini bervariasi tergantung pada spesies dari tumbuhan penyusunnya.LigninLignin merupakan suatu unsur yang memegang peranan penting dalam merubah susunan sisa tumbuhan menjadi batubara. Sementara ini susunanmolekul umum dari lignin belum diketahui dengan pasti, namun susunannya dapat diketahui dari lignin yang terdapat pada berbagai macam jenis tanaman. Sebagai contoh lignin yang terdapat pada rumput mempunyai susunan p-koumaril alkoholyang kompleks. Pada umumnya lignin merupakan polimer dari satu atau beberapa jenis alkohol.Hingga saat ini, sangat sedikit bukti kuat yang mendukung teori bahwa lignin merupakan unsur organik utama yang menyusun batubara.

KarbohidratGula atau monosakarida merupakan alkohol polihirik yang mengandung antara lima sampai delapan atom karbon. Pada umumnya gula muncul sebagai kombinasi antara gugus karbonil dengan hidroksil yang membentuk siklus hemiketal. Bentuk lainnya mucul sebagai disakarida, trisakarida, ataupun polisakarida. Jenis polisakarida inilah yang umumnya menyusun batubara, karena dalam tumbuhan jenis inilah yang paling banyak mengandung polisakarida (khususnya selulosa) yang kemudian terurai dan membentuk batubara.ProteinProtein merupakan bahan organik yang mengandung nitrogen yang selalu hadir sebagai protoplasma dalam sel mahluk hidup. Struktur dari protein pada umumnya adalah rantai asam amino yang dihubungkan oleh rantai amida. Protein pada tumbuhan umunya muncul sebagai steroid, lilin.Material Organik LainResinResin merupakan material yang muncul apabila tumbuhan mengalami luka pada batangnya.Tanin

Tanin umumnya banyak ditemukan pada tumbuhan, khususnya pada bagian batangnya.AlkaloidaAlkaloida merupakan komponen organik penting terakhir yang menyusun batubara. Alkaloida sendiri terdiri dari molekul nitrogen dasar yangmuncul dalam bentuk rantai.PorphirinPorphirin merupakan komponen nitrogen yang berdasar atas sistem pyrrole. Porphirin biasanyaterdiri atas suatu struktur siklik yang terdiri atas empat cincin pyrolle yang tergabung dengan jembatan methin. Kandungan unsur porphirin dalambatubara ini telah diajukan sebagai marker yang sangat penting untuk mendeterminasi perkembangandari proses coalifikasi.HidrokarbonUnsur ini terdiri atas bisiklik alkali, hidrokarbon terpentin, dan pigmen kartenoid. Sebagai tambahan, munculnya turunan picene yang mirip dengan sistem aromatik polinuklir dalam ekstrak batubara dijadikan tanda inklusi material sterane-type dalam pembentukan batubara. Ini menandakan bahwa struktur rangka tetap utuh selama proses pematangan, dan tidak

adanya perubahan serta penambahan struktur rangka yang baru.Konstituen Tumbuhan yang Inorganik (Mineral)Selain material organik yang telah dibahas diatas, juga ditemukan adanya material inorganikyang menyusun batubara. Secara umum mineral ini dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu unsur mineral inheren dan unsur mineral eksternal. Unsur mineral inheren adalah material inorganik yang berasal dari tumbuhan yang menyusun bahan organik yang terdapat dalam lapisan batubara. Sedangkan unsur mineral eksternal merupakan unsur yang dibawa dari luar kedalam lapisan batubara, pada umumya jenis inilah yang menyusunbagian inorganik dalam sebuah lapisan batubara.PROSES PEMBENTUKAN BATUBARAPembentukan batubara pada umumnya dijelaskan dengan asumsi bahwa material tanaman terkumpul dalam suatu periode waktu yang lama, mengalami peluruhan sebagian kemudian hasilnya teralterasioleh berbagai macam proses kimia dan fisika. Selain itu juga, dinyatakan bahwa proses pembentukan batubara harus ditandai dengan terbentuknya peat.Pembentukan Lapisan Source

Teori Rawa Peat (Gambut) - AutocthonTeori ini menjelaskan bahwa pembentukan batubaraberasal dari akumulasi sisa-sisa tanaman yang kemudian tertutup oleh sedimen diatasnya dalam suatu area yang sama. Dan dalam pembentukannya harus mempunyai waktu geologi yang cukup, yang kemudian teralterasi menjadi tahapan batubara yang dimulai dengan terbentuknya peat yang kemudian berlanjut dengan berbagai macam kualitas antrasit. Kelemahan dari teori ini adalah tidak mengakomodasi adanya transportasi yang bisa menyebabkan banyaknya kandungan mineral dalam batubara.Teori Transportasi - AllotoctonTeori ini mengungkapkan bahwa pembentukan batubara bukan berasal dari degradasi/peluruhan sisa-sisa tanaman yang insitu dalam sebuah lingkungan rawa peat, melainkan akumulasi dari transportasi material yang terkumpul didalam lingkungan aqueous seperti danau, laut, delta, hutan bakau. Teori ini menjelaskan bahwa terjadiproses yang berbeda untuk setiap jenis batubara yang berbeda pula.Proses Geokimia dan Metamorfosis

Setelah terbentuknya lapisan source, maka berlangsunglah berbagai macam proses. Proses pertama adalah diagenesis, berlangsung pada kondisi temperatur dan tekanan yang normal dan juga melibatkan proses biokimia. Hasilnya adalahproses pembentukan batubara akan terjadi, dan bahkan akan terbentuk dalam lapisan itu sendiri.Hasil dari proses awal ini adalah peat, atau material lignit yang lunak. Dalam tahap ini proses biokimia mendominasi, yang mengakibatkan kurangnya kandungan oksigen. Setelah tahap biokimia ini selesai maka berikutnya prosesnya didominasi oleh proses fisik dan kimia yang ditentukan oleh kondisi temperatur dan tekanan. Temperatur dan tekanan berperan penting karena kenaikan temperatur akan mempercepat proses reaksi, dan tekanan memungkinkan reaksi terjadi dan menghasilkan unsur-unsur gas. Proses metamorfisme (temperatur dan tekanan) ini terjadi karena penimbunan material pada suatu kedalaman tertentu atau karena pergerakan bumi secara terus-menerus didalam waktu dalam skala waktu geologi.HETEROATOM DALAM BATUBARA

Heteroatom dalam batubara bisa berasal dari dalam (sisa-sisa tumbuhan) dan berasal dari luaryang masuk selama terjadinya proses pematangan.Nitrogen pada batubara pada umumnya ditemukan dengan kisaran 0,5 – 1,5 % w/w yang kemungkinan berasal dari cairan yang terbentuk selama prosespembentukan batubara.Oksigen pada batubara dengan kandungan 20 – 30 %w/w terdapat pada lignit atau 1,5 - 2,5 % w/w untuk antrasit, berasal dari bermacam-macam material penyusun tumbuhan yang terakumulasi ataupun berasal dari inklusi oksigen yang terjadi pada saat kontak lapisan source dengan oksigen di udara terbuka atau air pada saat terjadinya sedimentasi.Variasi kandungan sulfur pada batubara berkisar antara 0,5 – 5 % w/w yang muncul dalam bentuk sulfur organik dan sulfur inorganik yang umumnyamuncul dalam bentuk pirit. Sumber sulfur dalam batubara berasal dari berbagai sumber. Pada batubara dengan kandungan sulfur rendah, sulfurnya berasal material tumbuhan penyusun batubara. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan sulfur menengah-tinggi, sulfurnya berasal dari air laut.COALBED METHANE (CBM)

Dahulu batubara hanya diketahui dalam bentuk batuan namun sejak tujuh tahun terakhir Indonesia telah melakukan eksplorasi gas yang yang pembentukannya bersamaan dengan proses pembentukan batubara (coalification), gas tersebut terabsorbsi dalam matriks batubara. Untuk memproduksi gas tersebut diperlukan penurunan tekanan pada reservoir dengan tekanan yang rendah maka gas methane dapat terlepas daripermukaan matriks batubara. Sesuai dengan lingkungan pembentukan gas methane maka pada umumnya reservoir CBM mengandung air sehingga pada awal eksplorasi perlu adanya tahapan memproduksi air (de-watering process) untuk menurunkan reservoir tersebut. Dari hasil eksplorasi dihasilkan 11 cekungan potensial di antaranya sumatera bagian selatan, barito, kutai, pasir, asamasam, dan Sulawesi.EKSPLORASI BATUBARASebelum melakukan eksploitasi maka diperlukan suatu tahapan eksplorasi yang akan memudahkan dalam penentuan suatu cebakan-cebakan batubara, Pemboran eksplorasi merupakan salah satu cara untuk mengetahui keberadaan batubara serta untukmenghitung cadangannya. Semakin banyak titik pemboran maka interpretasi keberadaan batubara

serta perhitungan cadangannya semakin valid. Namun biaya yang diperlukan juga semakin besar.Apabila keberadaan batubara terletak pada daerahyang keadaan geologinya tidak terlalu kompleks, maka dengan jumlah titik pemboran yang tidak terlalu banyak sudah dapat diinterpretasi penyebaran batubaranya. Tetapi apabila lapisan batubara terdapat pada daerah yang geologinya kompleks maka jumlah titik pemboran yang sedikitmasih menyulitkan geologist untuk melakukan interpretasi penyebaran batubara.Namun seiring dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi maka hadirlah survey geofisika tahanan jenis yang merupakan suatu metode yang dapat memberikan gambaran susunan dan kedalaman lapisan batuan dengan mengukur sifat kelistrikan batuan (Priyato 1989 dalam Kalmiawan et al 2000). Selanjutnya Loke (1999) mengungkapkan bahwa survey geofisika tahanan jenis dapat menghasilkan informasi perubahan variasi harga resistivitas baik arah lateral maupun arah vertical. Metode ini memberikan injeksi listrik kedalam bumi, dari injeksi tersebut maka akan mengakibatkan medan potensialsehingga yang terukur adalah besarnya kuat arus (I) dan potensial (∆V), dengan menggunakan

survey ini maka dapat memudahkan para geologist dalam melakukan interpretasi keberadaan cebakan-cebakan batubara dengan biaya eksplorasi yang relatif murah