36
Sumber Daya Alam Sisdiati Lifenty Tangdilintin B111 12 329 Tugas Pengganti Final

Sumber Daya Alam Sisdiati Lifenty Tangdilintin B111 12 329 Tugas Pengganti Final

  • Upload
    unhas

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Sumber Daya Alam

Sisdiati Lifenty TangdilintinB111 12 329

Tugas Pengganti Final

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa,karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka saya bolehmenyelesaikan sebuah karya tulis dengan tepat waktu.

Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul"Penerapan Hukum Sumber Daya Alam", yang menurut saya dapat memberikanmanfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari Hukum Sumber Daya Alam.

Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf danmemohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan adatulisan yang saya buat kurang tepat.

Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasaterima kasih dan semoga Tuhan memberkati makalah ini sehingga dapatmemberikan manfaat.

Makassar, 21 Mei 2014

Penulis

DAFTAR ISIKata Pengantar…………………………………………………………………………………….

Daftar Isi……………………………………………………………………………………………

Pendahuluan……………………………………………………………………………………….

1. Latar belakang………………………………………………………………………..2. Rumusan masalah……………………………………………………………………

Pembahasan………………………………………………………………………………………

1. Pengertian Hukum Sumber Daya Alam……………………………………………2. Landasan Hukum Positif Indonesia tentang Sumber Daya

Alam………………..3. Penerapan Hukum Sumber Daya Alam di Indonesia……………………………..

Penutup…………………………………………………………………………………………….

1. Kesimpulan……………………………………………………………………………2. Saran………………………………………………………………………………….

Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………….

PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Sumber daya alam merupakan karunia dan amanah dari Tuhan Yang MahaEsa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia sebagai kekayaan yangtak ternilai harganya. Oleh karena itu sumber daya alam wajib dikelolasecara bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdaya guna, berhasilguna dan berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baikgenerasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Ketersediaansumber daya alam baik hayati maupun non-hayati sangat terbatas, olehkarena itu pemanfaatannya baik sebagai modal alam maupun komoditasharus dilakukan secara bijaksana sesuai dengan karakteristiknya.

Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yangmenentukan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnyakemakmuran rakyat, maka pengelolaan sumberdaya alam harus berorientasikepada konservasi sumberdaya alam (natural resource oriented) untuk menjaminkelestarian dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, denganmenggunakan pendekatan yang bercorak komprehensif dan terpadu.

Namun kenyataannya apa yang diidealkan dan diharapkan sebagaimanauraian di atas adalah jauh dari harapan, telah terjadi banyakkerusakan atas SDA kita, yang ternyata persoalan pokok dari sumberdaya alam (dan lingkungan hidup) yang terjadi selama ini justrudipicu oleh persoalan Hukum dan Kebijakan atas sumber Daya Alamtersebut.

Oleh karenanya dengan melihat kondisi di atas Hukum Sumber DayaAlam sebagai bagian dari Hukum Tata Ruang dan Sumber Daya Alam, dimana hal ini sebagai mata kuliah di linkungan Fakutas HukumUniversitas Hasanuddin, yang pada dasarnya merupakan materi kuliah

yang mempelajari persoalan-persoalan hukum yang berkaitan dengan atautentang sumber daya alam adalah menjadi hal yang penting untukdipahami dan dipelajari guna memahami persoalan-persoalan hukum yangmuncul dan melingkupi sumber daya alam di Indonesia.

2. Rumusan Masalah2.1. Pengertian hukum sumber daya alam2.2. Landasan hukum positif Indonesia tentang sumber daya alam2.3. Bagaimana penerapan hukum sumber daya alam di Indonesia

PEMBAHASAN

1.Pengertian Hukum Sumber Daya Alam

Istilah Sumber Daya Alam sendiri secara yuridis dapat ditemukan diKetetapan MPR RI Nomor IV/MPR RI/1999 tentang Garis-garis Besar HaluanNegara Tahun 1999-2004, khususnya Bab IV Arah Kebijakan Hurup H Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup angka 4, yang menyatakan:“Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuranrakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbanganlingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomidan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang pengusahaannyadiatur dengan undang-undang”.

Demikian juga pada ketentuan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam, khususnyaPasal 6 yang menyatakan: “Menugaskan kepada Dewan Perwakilan Rakyatbersama Presiden Republik Indonesia untuk segera mengatur lebih lanjutpelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam sertamencabut,mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturanpelaksanaannya yang tidak sejalan dengan dengan Ketetapan ini.”

Sedang pengertian Sumber Daya Alam (SDA) sendiri secara yuridiscukup sulit ditemukan, namun kita dapat meminjam pengertian SDA inidari RUU Pengelolaan SDA yang memberikan batasan/pengertian sebagaiberikut: “Sumber daya alam adalah semua benda, daya, keadaan, fungsialam, dan makhluk hidup, yang merupakan hasil proses alamiah, baikhayati maupun non hayati, terbarukan maupun tidak terbarukan”

Demikian juga halnya dengan istilah dan pengertian Hukum Sumber DayaAlam sendiri ternyata cukup sulit untuk mencari hal tersebut. Secarayuridis kita dapat menemukan istilah Hukum Sumber Daya Alam (yangdapat kita interpretasikan secara bebas) adalah di Undang-undang Nomor35 Tahun 2000 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara TahunAnggaran 2001 Rencana Pembangunan Tahunan (REPETA) Tahun 2001,khususnya Lampiran Bab VIII Bidang Sumber daya Alam dan LingkunganHidup Butir VIII.2.4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan HukumPengelolaan Sumber daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup, yangmenyatakan: “Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2001 adalah: (1)…………….; (2)…………… ;

(3) Penyusunan undang-undang sumber daya alam berikut perangkatperaturannya; (4) ………… dan seterusnya”. Namun demikian penjelasan danpengertian atas istilah Hukum Sumber Daya Alam pada UU No. 35/2000tersebut juga belum memberikan pemahaman yang tuntas.

Sedangkan berdasarkan Pengertian Sumber Daya Alam (UU Nomor 23Tahun 1997 Pasal 1 angka 10) :

Segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat memenuhi kebutuhanmanusia pada umumnya.

Kekayaan alam hayati dan non-hayati.

Penjelasan yang agak cukup gamblang dapat kita pahami dariSundari Rangkuti, yang menyatakan:

“Pada pengelolaan lingkungan kita berhadapan dengan hukum sebagaisarana pemenuhan kepentingan. Berdasarkan kepentingan-kepentinganlingkungan yang bermacam-macam dapat dibedakan bagian-bagian hukumlingkungan:

a. Hukum Bencana (Ramperenrecht);b. Hukum Kesehatan Lingkungan (Milieuhygienerecht);c. Hukum tentang Sumber Daya Alam (Recht betreffende natuurlijke

rijkdommen) atau Hukum Konservasi (Natural Resources Law);d.   Hukum tentang Pembagian Pemakaian Ruang (Recht betreffende de

verdeling van het ruimtegebruik) atau Hukum Tata Ruang;e.    Hukum Perlindungan Lingkungan (Milieu beschermingsrecht).

Dari penjelasan itu tampak bahwa sebetulnya Hukum SDA merupakan bagiandari Hukum Lingkungan, menurut Rangkuti Hukum Lingkungan menyangkutpenetapan nilai-nilai (waardenbeoordelen), yaitu nilai-nilai yang sedangberlaku dan nilai-nilai yang diharapkan diberlakukan di masa mendatangserta dapat disebut “hukum yang mengatur tatanan lingkungan hidup”.Dengan demikian Hukum Lingkungan adalah hukum yang mengatur hubungantimbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnya yang apabiladilanggar dapat dikenankan sanksi.

Apabila hal tersebut kemudian kita kaitkan dengan persoalan SDAmaka Hukum Sumber Daya Alam adalah Hukum yang merupakan bagian dariHukum Lingkungan yang mengatur hubungan timbal balik antara manusiadengan mahluk hidup lainnya dalam hal soal SDA, yang apabila dilanggardapat dikenankan sanksi.

2.Landasan Hukum Positif di Indonesia tentang SumberDaya Alam

Dasar Hukum Sumber Daya Alam di Indonesia :·      UUD Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33.·      UU Nomor  5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria.·      UU Nomor 5 Tahun 1967 ® UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.·      UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Peternakan dan Kesehatan

Hewan.·      UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan.

·      UU Nomor  9 Tahun 1985 ® UU Nomor  31 Tahun 2004 tentangPerikanan.

·      UU Nomor  5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati.·      UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.·      UU Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.·      UU Nomor  21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.·      UU Nomor  5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Convention On

Biogilical Deversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa MengenaiKeanekaragaman Hayati).

·      UU Nomor  6 Tahun 1996 tentang Perairan.·      UU Nomor  7 Tahun 1996 tentang Pangan.·      UU Nomor  29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. ·      Tap MPR Nomor IX/ MPR/ 2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam.·      UU Nomor  20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. ·      UU Nomor  7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.·      UU Nomor  18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.·      UU Nomor  21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Catargena Protocol  on

Biosafety to the Convention on Biological Diversity  (Protokol Catargena  tentangKeamanan hayati atas  Konvensi Keanekaragaman Hayati).

·      UU Nomor 26 Tahun 2007 ® UU Nomor  24 Tahun 1992 tentang PenataanRuang.

·      UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir danPulau-pulau Kecil.

·      PP Nomor 32 Tahun 1969 ® PP Nomor 75 Tahun 2001 tentangPelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967.

·      PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.·      PP Nomor 29 Tahun 1986 ® PP Nomor 51 Tahun 1993  ® PP Nomor 27

Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.·      PP Nomor 19 Tahun 1994 ® PP Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.·      PP Nomor 27 Tahun 1991 tentang Rawa.·      PP Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai.·      PP Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona

Pemanfaatan Tanaman Nasional.·      PP Nomor 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman.·      PP Nomor 44 Tahun 1995 tentang Pembenihan Tanaman.

·      PP Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian UrusanPemerintah di Bidang Kehutanan kepada Daerah.

·      PP Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan KawasanPelestarian Alam.

·      PP Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan PemungutanHasil Hutan pada Hutan Produksi.

·      PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa ·      PP Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa ·      PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum ·      PP Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa

Genetika.·      Keppres Nomor 23 Tahun 1990 tentang Pembentukan Bappedal.·      Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.·      Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi

Nasional.·      Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan

Pemanfaatan Batubara yang penyediaan dan pemanfaatan batubara yangdicairkan sebaga bahan bakar lain.

·      Kepmen Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1997 tentang IndeksPencemaran Udara.

Pengertian Sumber Daya Alam (UU Nomor 23 Tahun 1997 Pasal 1 angka10) :

· Segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat memenuhikebutuhan manusia pada umumnya.

·      Kekayaan alam hayati dan non-hayati.

Persoalan Sumber Daya Alam :·      Penebangan liar.·      Penambangan tanpa ijin.·      Pencurian ikan.·      Pemanasan global.·      Bencana alam (banjir, tsunami, gempa bumi, longsor, dan lain-

lain).·      Limbah.·      Kebakaran hutan. ·      Polusi udara.

·      Gagal panen. ·      Pencemaran sungai.

Permasalahan lingkungan :·      Pencemaran lingkungan: pencemaran air, udara, masalah LimbahBahan Berbahaya dan Beracun, dan lain-lain yang disebabkan karenahuman error (eksploitasi berlebihan).·      Kerusakan sumber daya alam: masalah erosi lahan, kepunahanplasma nutfah dan lain sebagainya yang ditimbulkan karena bencanaalam.·      Masalah pemukiman : sanitasi, air bersih, kesehatan

lingkungan, dan lain-lain.

Tujuan pengaturan terkait Sumber Daya Alam :·      Pelestarian/ Mencegah eksploitasi berlebihan, pengembangan.

·      Penyelamatan (UU Kehutanan).

·      Menangani tindak kriminalitas.

·      Pengelolaan.

Pengelolaan Sumber Daya Alam :·      Melingkupi bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. (Pasal 33 Ayat 3 UUDN RI 45).

·      Diperluas dengan unsur “ruang angkasa“ (UU Nomor 5 Tahun 1960® UUPA).

Ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan penegasan tentang :a. Memberikan kekuasaan kepada negara untuk “menguasai” bumi dan air

serta kekayaan alam yang terkandung di dalanya sehingga negaramempunyai “hak menguasai”. Hak ini adalah hak yang berfungsidalam rangkaian hak-hak penguasaan sumber daya alam di Indonesia.

b. Membebaskan serta kewajiban kepada negara untuk mempergunakansumber daya alam yang ada untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.Pengertian sebesar-besar kemakmuran rakyat menunjukkan kepadakita bahwa rakyatlah yang harus menerima manfaat kemakmuran darisumber daya alam yang ada di Indonesia.

Arah kebijakan pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkunganhidup :

a. Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agarbermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi.

b. Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkunganhidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematanpenggunaan dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.

c. Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepadapemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alamsecara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehinggakualitas ekosistem tetap terjaga yang diatur dengan undang-undang.

d. Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuranrakyat dnegan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbanganlingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentinganekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang yangpengusahaannya diatur dengan undang-undang.

e. Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestariankemampuan, keterbatasan sumber daya alam yang dapat diperbaharuiuntuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.

Kebijakan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup ditujukan untuk:

a. Mengelola sumber daya alam, yang dapat diperbaharui maupun tidakmelalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikandaya dukung dan daya tampungnya.

b. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindarikerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan.

c. Mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintahdaerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidupsecara bertahap.

d. Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaansumber daya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatankesejahteraan masyarakat global.

e. Menerapkan secara efektif penggunaan indikator-indikator untukmengetahui keberhasilan pengelolaan sumber daya alam danlingkungan hidup.

f. Memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkankawasan konservasi baru di wilayah tertentu, dan

g. Mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangipermasalahan lingkungan global.

Pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harusdilaksanakan sesuai prinsip :

a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan negara kesaturan RepublikIndonesia.

b. Menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman

dalam unifikasi hukum;d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas

sumber daya manusia Indonesia;e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan

optimalisasi partisipasi rakyat;f. Mewujudjan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,

peruntukan, penggunaan pemanfaatan dan pemeliharaan sumber dayaagraria / sumber daya alam.

g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimalbaik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang,dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukunglingkungan

h. Melaksanakan fungsional, kelestarian, dan fungsi ekologi sesuaidengan kondisi sosial budaya setempat.

i. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar pembangunan antardaerah dalam pelaksanaan pembangunan agraria dan pengelolaansumber daya alam;

j. Mengakui, mengirmati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dankeragaman budaya bangsa atas sdagraria / sumber daya alam;

k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah(pusat, daerah provinsi, kabupaten / kota  dan daesa atau yangsetingkat) masyarakat dan individu;

l. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan ditingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten / kota dan desa atauyang setingkat, berkaitan dengan alasan dan pengelolaan sdagraria/ sumber daya alam.

Kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan sumber daya alam (Pasal2 PP Nomor 25 Tahun 2000) :

· Penetapan pedoman pengendalian sumber daya alam dankelestarian fungsi lingkungan.

· Pengaturan pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumber dayalaut di luar 12 mil.

· Penilaian AMDAL bagi kegiatan yang potensial berdampak negatifpada masyarakat dan atau menyangkut pertahanan dan keamananyang lokasinya meliputi lebih dari 1 wilayah propinsi,kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negaralain, di wilayah laut bawah 12 mil dan berlokasi di lintasbatas negara.

· Penetapan baku mutu lingkungan hidup dan penetapan pedomantentang pencemaran lingkungan hidup.

Kewenangan Propinsi :· Pengendalian lingkungan hidup lintas kabupaten / kota. · Pengaturan pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumberdaya

laut 4 mil sampai 12 mil. · Pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumberdaya air

lintas kabupaten / kota. · Penilaian AMDAL bagi kegiatan-kegiatan yang potensial

berdampak negatif pada masyarakat luas yang lokasinya meliputilebih dari satu kabupaten / kota.

· Pengawasan pelaksanaan konservasi lintas kabupaten/kota. · Penetapan baku mutu lingkungan hidup berdasarkan baku mutu

lingkungan hidup nasional.

Dasar Hukum Pertambangan di Indonesia : UUD Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33.

UU Nomor 11 Tahun 1967 ® UU Nomor 4 Tahun 2009 tentangPertambangan Mineral dan Batu Bara.

PP Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan. PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan

Pertambangan. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria.UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

Intisari dari UUD 1945 Pasal 33 : Hak penguasaan negara berisi kewenangan untuk mengatur, mengurus,

dan mengawasi pengelolaan atau pengusahaan bahan galian, sertakewajiban untuk mempergunakannya sebesar-besarnya demi kemakmuranrakyat. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atasprinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjagakeseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

3.Penerapan Hukum Sumber Daya Alam di Indonesia

Sebagaimana yang telah disinggung di atas undang-undang yangberkaitan dengan sumber daya alam pada pokoknya adalah: (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;(2) Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan PokokPertambangan; (3) Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengairan;(4) Undang-undang Nomor tahun 2004 tentang Perikanan; (5) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayatidan Ekosistemnya; (6) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentangKehutanan.

Pada bagian ini berbagai undang-undang tersebut dikaji untukmelihat bagaimana pengaturan pada aspek-aspek keberlanjutan,perlindungan pada masyarakat adat, partisipasi publik, daya penegakanhukum, hubungan negara dengan sumber daya alam, sinkronisasi denganperundang-undangan lain, penghormatan hak asasi manusia,desentralisasi, dan kelembagaan.

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-PokokAgraria (UUPA)

UUPA adalah produk hukum nasional pertama yang mengatur tentangsumber daya alam. UUPA mengartikan sumber daya alam (agraria) sebagaibumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “seluruh bumi, air dan ruangangkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah RepublikIndonesia, sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesiadan merupakan kekayaan nasional”.

Berkaitan dengan cakupan agraria ini, maka muncul pertanyaanapakah sumber daya alam yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasadan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu harus dipandangsebagai kesatuan ekologi yang utuh dan saling terkait (ekosistem),atau dapat dipandang sebagai jenis-jenis sumber daya alam yang bisadikuasai dan dikelola secara terpisah? Dalam hubungan ini, UUPA memangtidak secara tegas membahas mengenai keutuhan dan saling terkaitanantara sumber daya alam ini, namun pengaturan tentang penguasaan tanahmemberikan jawaban pada pertanyaan itu. Pasal 4 ayat (2) UUPAmenyatakan bahwa hak-hak atas tanah memberikan wewenang untukmempergunakan tanah, tubuh bumi, air serta ruang yang ada di atasnyasekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan denganpenggunaan tanah dan dalam batas-batas yang diatur oleh undang-undang.

UUPA lebih banyak mengatur tentang dasar-dasar penguasaan sumberdaya alam. Hanya ada satu pasal yang mengatur tentang pengalokasianpemanfaatan sumber daya alam. Pasal 14 yang menjadi dasar bagiperencanaan pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya alam menyatakanbahwa perencanaan pemanfataan sumber daya alam dilakukan untuk

keperluan negara, peribadatan, pusat kehidupan sosial budaya dankesejahteraan masyarakat, pengembangan produksi pertanian, peternakan,perikanan serta pengembangan industri, transmigrasi, dan pertambangan.Sementara itu, berkaitan dengan kelestarian pengelolaan sumber dayaalam, UUPA hanya menyebutkan di Pasal 15 bahwa “memelihara tanah, termasukmenambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang,badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, denganmemperhatikan pihak yang ekonominya lemah.”

Namun demikian, selama tiga dekade terakhir ini kebijakanpertanahan selama pemerintahan orde baru yang bercorak sentralistiktelah menimbulkan dampak bagi sumber daya alam, terutama degradasikualitas tanah pertanian yang banyak dialihfungsikan menjadi arealperumahan mewah (real estate), kawasan industri, dan bahkan menjadikomoditi untuk investasi dan spekulasi para pemilik modal yangmengakibatkan tanah ditelantarkan dalam jangka waktu yang tidaktertentu. Implikasi sosial-budaya yang ditimbulkan adalah terjadinyaberbagai konflik vertikal maupun horisontal di daerah antaramasyarakat dengan pemerintah atau masyarakat dengan pemodal besar,karena terjadi penggusuran atau pengabaian atas hak-hak masyarakatadat/lokal dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

UUPA yang secara tegas menyatakan berlandaskan hukum adat,memberikan batasan pada hukum adat. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwahukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialahhukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasionaldan negara, yang berdasarkan pada persatuan bangsa, dengan sosialismeIndonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPAdan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, serta segala sesuatuyang mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.

Pilihan untuk menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum agrarianasional dilakukan mengingat UUPA dimaksudkan sebagai undang-undangyang bersumber dari kesadaran hukum rakyat banyak. Dalam kenyataannyabagian terbesar dari rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat. Namun,UUPA memandang bahwa hukum adat perlu disempurnakan karena dalamperkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial yang

kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal. Penyempurnaan hukumadat dilakukan melalui penyesuaian dengan kepentingan masyarakat dalamkonteks negara moderen dan hubungan negara dengan dunia internasionalserta sosialisme Indonesia (penjelasan umum III angka 1).

Dalam kenyataannya, tanpa kriteria yang jelas, kepentingan bangsadan negara acapkali ditafsirkan sama dengan kepentingan beberapakelompok orang yang sedang memegang kekuasaan (pemerintah). Denganmengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara maka hak-hak rakyat atassumber daya alam yang bersumber dari hukum adat sering diabaikan. Hak-hak rakyat yang dalam bahasa UUPA dikatakan sebagai hak ulayat dan hakserupa itu diberikan dalam konteks kesesuaiaannya dengan kepentingannasional dan kepentingan negara yang tidak terdefinisikan secara jelasserta kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang padakenyataannya justru mengingkari hak-hak masyarakat adat.

Meskipun UUPA memberikan pengakuan yang mendua pada masyarakatadat, namun untuk perorangan warga negara Indonesia, cukup diberikanpeluang untuk mendapatkan hak individual atas tanah. Pasal 16 UUPAmemberikan berbagai peluang untuk menguasai tanah dengan berbagai alashak: hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, haksewa, dan sebagainya. UUPA menganut pandangan bahwa urusan agraria pada dasar-nya adalahurusan pemerintah pusat. UUPA tidak mengatur secara rinci tentangkewenangan dan peran pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah daerahadalah pelaksanaan dari tugas pembantuan.

Pemerintah, atau lebih khusus lagi pemerintah pusat menempatiperan strategis dalam UUPA. Dengan demikian dapat dipahami jikapartisipasi publik tidak mendapat ruang dalam undang-undang ini.

Penegakan hukum dalam UUPA utamanya diarahkan pada pelanggarankewajiban memelihara tanah dari para pemegang hak atas tanah,pendaftaran tanah, pelanggaran berkaitan dengan hak milik adat,penggunaan tanah bukan oleh pemilik, dan pelanggaran ketentuanperalihan hak atas tanah. UUPA tidak memberikan penjelasan mengapapenegakan hukum hanya diberikan pada hal-hal tersebut, tetapi tidak

pada hal lain, seperti halnya pelanggaran dalam prosedur pencabutanhak atas tanah atau tidak terpenuhinya berbagai kewajiban pemerintahyang ditetapkan dalam UUPA.

2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan

Pemahaman tentang sumber daya alam dalam Undang-undang Nomor 11Tahun 1967 bersifat reduksionis. Sumber daya alam lebih banyak dilihatsebagai komoditi. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentangpertambangan mengartikan sumber daya tambang sebagai bahan galian(unsur kimia, mineral, biji dan batuan yang merupakan endapan alam)yang merupakan kekayaan nasional yang dikuasai dan dipergunakan negarauntuk kemakmuran rakyat.

Selain pandangan reduksionis tentang sumber daya alam, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 lebih menitikberatkan perhatian padaeksploitasi (use-oriented) dari pada kelestarian sumber daya tambang.Undang-undang ini hanya memberikan satu pasal ini hanya memberikansatu pasal perlindungan lingkungan dari kegiatan pertambangan.Pengaturan tersebut bahkan hanya berlaku pada kegiatan pascapenambangan, dengan menyatakan bahwa “apabila selesai melakukan penambanganbahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yangbersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidakmenimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lain bagi masyarakat sekitarnya.” Denganketentuan semacam itu maka undang-undang ini kurang memberi perhatianpada upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungannya.

Pemanfaatan sumber daya tambang diarahkan untuk meningkat-kanpendapatan negara yang dilakukan dengan mengundang investor besar.Dengan demikian undang-undang ini sarat dengan orientasi ekonomi dankapital (economic and capital oriented).

Undang-undang pertambangan ini juga bersifat sentralistik.Penguasan, pemanfaatan, dan pengusahaan serta perijinan usahapertambangan umum ditetapkan oleh pemerintah pusat (MenteriPertambangan). Pemerintah daerah hanya berhak melaksanakan penguasaannegara dan mengatur usaha pertambangan untuk bahan galian golongan C

seperti pasir, kapur, belerang, dan lain-lain yang kurang bernilaiekonomis tinggi. Sedangkan, bahan galian tambang golongan A dan Bseperti emas, tembaga, nikel, minyak dan gas bumi, batu bara, timah,bauksit, dan lain-lain menjadi bagian dari kewenangan pemerintahpusat.

Dengan semangat sentralistik itu pula maka tidak ada ruang bagipengaturan mengenai partisipasi publik dalam proses pengambilankeputusan dan pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya tambang.Kontrol publikpun dalam pengelolaan sumber daya tambang sejak awaltidak diatur dalam undang-undang ini. Masyarakat terutama yang berdiamdi wilayah yang akan dilakukan kegiatan pertambangan tidak pernahdiberi informasi dan dimintakan persetujuan bagi rencana pemberianijin pertambangan. Hal ini mengabaikan satu prinsip penting dalampengelolaan sumber daya alam yang dikenal sebagai prior informed-consentprinciple.

Pengakuan pada hak-hak masyarakat adat diintegrasikan dalampengaturan tentang pertambangan rakyat. Undang-undang ini menafsirkanbahwa rakyat setempat yang mengusahakan kegiatan pertambangandipastikan sebagai masyarakat yang terikat oleh hukum adat. Dalamkenyataannya, tidak semua rakyat setempat adalah masyarakat adat, dantidak semua pertambangan rakyat dilakukan oleh masyarakat adat.Membatasi hak masyarakat adat hanya pada pengelolaan tambang skalakecil (pertambangan rakyat) merupakan wujud sikap diskriminatif padamasyarakat adat dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya tambang.

Implikasi pengaturan pengelolaan sumber daya tambang yangbercorak sentralistik, sektoral, dan diskriminatif secara nyatamenimbulkan dampak negatif bagi ekologi dan lingkungan hidup. Operasidari usaha pertambangan menimbulkan kerusakan tanah, air, dandegradasi sumber daya alam hayati. Pasal 30 yang mengatur kewajibanpengusaha untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi ternyata bukandimaksudkan sebagai upaya untuk konservasi, reklamasi, rehabilitasi,atau mengembalikan fungsi lingkungan hidup, tetapi hanya sekadarsebagai upaya untuk mencegah kemungkinan timbulnya penyakit.

3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Air yang dimaksudkan dalam UU ini adalah semua air yang terdapatpada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalampengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yangberada di darat.

Meski tergolong relatif baru semangat yang ada di dalam UU iniadalah penguasaan air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alamyang terkandung di dalamnya yang masih berpusat pada negara, semangatini kemudian mendorong munculnya semangat privatisasi air yang lebihsekedar menguntungkan pihak swasta. Semangat privatisasi ini lebihmelihat air sebagai komoditas yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD1945, hak-hak masyarakat termasuk di dalamnya masyarakat adat tidakdiakomodatif.

Peran yang besar dari pemerintah itu sekaligus menunjukkan bahwa

pengelolaan sumber daya air bertumpu pada negara yang pelaksanaannyadijalankan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah.

4. Undang-undang Nomor tahun 2004 tentang PerikananUndang-undang Perikanan ini terdiri dari 17 bab dan 110 pasal

yang pada intinya mengatur dan meberikan landasan hukum bagipengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimal danberkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satuaspek yang diatur dalam UU ini adalah wilayah dan pengelolaanperikanan. Disebutkan bahwa wilayah pengelolaan perikanan mencakupperairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dansungai, danau, waduk, dan genangan air lainnya yang dapat digunakanuntuk kegiatan pembudidayaan ikan. Dilihat dari sisi ini, cakupan UUini sudah cukup memayungi semua kegiatan perikanan yang ada sehinggasemua kegiatan pengelolaan perikanan diatur oleh UU ini. Selanjutnyajuga disebutkan bahwa kegiatan pengelolaan perikanan selain diaturoleh peraturan perundang-undangan yang ada juga diselenggarakan

berdasarkan peraturan standar internasional yang diterima secara umum.Ciri sumberdaya perikanan adalah terbuka dan milik bersama sertabersifat migratif. Dan, oleh kerja sama internasional memegang perananpenting dan menentukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Kerjasama internasional baik secara bilateral maupun multilateral yangbersifat mengikat maupun sukarela akan menjadi dominan dalampengelolaan sumberdaya perikanan di masa mendatang.

Dengan dicantumkannya pasal ini yang merupakan ketentuan baruyang sebelumnya tidak diatur dalam UU terdahulu maka UU Perikanan initelah mengakomodasi dengan baik masalah kerja sama internasional ini.Pasal ini merupakan ketentuan penting yang menjadi bukti kesiapanIndonesia dalam menghadapi berbagai kerja sama dan kompetisiinternasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Dengan demikianUU Perikanan telah secara baik mengantisipasi berbagai kecenderunganyang berkembang dewasa ini dalam dunia perikanan.

Aspek lain yang menarik dalam UU Perikanan ini adalah pengakuanakan hukum-hukum adat, kearifan lokal dan peran serta masyarakat.Ketentuan ini diatur dalam pasal 6 ayat (2). Ayat sebelumnya dalampasal 6 tersebut menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan dalam wilayahRepublik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimaldan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Daripasal-pasal yang disebutkan tersebut tampak jelas bahwa konsepsi yangmelatarbelakangi pengelolaan perikanan di Indonesia sebagaimana yangdiatur dalam UU Perikanan ini adalah memakai prinsip-prinsip darisustainable development dalam arti yang sesungguhnya. Pada saat yang samaUU Perikanan ini juga sangat berwawasan internasional dan berdimensilokal. Dilihat dari sisi ini UU Perikanan ini merupakan UU yang sangatup to date dan beorientasi jauh ke depan mengikuti perkembangan dankecenderungan internasional yang ada.

UU Perikanan juga mengatur ketentuan tentang usaha perikanan.Disebutkan bahwa usaha perikanan dilaksanakan dengan sistem bisnisperikanan yang meliputi kegiatan pra-produksi, produksi, pengolahan,dan pemasaran. Selanjutnya pasal-pasal lain dalam Bab Usaha Perikananmengatur penyelenggaraan pembinaan dan pengaturan izin bagi para

pelaku usaha perikanan. Satu hal yang menarik adalah bahwa UUPerikanan tidak hanya mengatur aspek produksi tapi juga aspekpendukung lainnya seperti pengolahan dan pemasaran. Dengan demikianpembinaan terhadap usaha perikanan dilakukan secara bersama olehinstansi terkait.

Sebagaimana diketahui selama ini pembinaan terhadap aspekpengolahan dan pemasaran dilaksanakan oleh instansi yang bertanggungjawab di bidang perdagangan dan perindustrian yang terkadang kurangmemiliki koordinasi dan keterkaitan dengan instansi yang bertanggungjawab di bidang pra-produksi dan produksi. Dengan adanya pengaturanini maka diharapkan adanya koordinasi yang lebih baik sehinggapembinaan dan pengembangan usaha perikanan akan semakin tertata denganbaik dan menghasilkan sebuah industri yang kuat dan tangguh.

Selain mengatur usaha perikanan secara keseluruhan UU Perikananjuga memberikan perhatian khusus terhadap pemberdayaan nelayan danpembudi daya ikan berskala kecil. Perhatian khusus ini diwujudkandalam pasal-pasal yang mengatur tanggung jawab pemerintah untukmenyediakan skim kredit dan akses manajemen, penyelenggaraanpendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi nelayan dan pembudi dayaikan kecil. UU Perikanan juga mengatur usaha kemitraan antarapengusaha perikanan dan kelompok-kelompok nelayan kecil dalam suatukerja sama yang menguntungkan. Di sisi lain, nelayan-nelayan kecil pundiberikan akses yang sangat luas untuk menangkap dan mengelolakegiatan perikanan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.Dilihat dari sisi ini tampak bahwa UU Perikanan disusun dengansemangat pemerataan yang kuat namun tanpa mengorbankan pertumbuhanyang biasa didapat dari kegiatan ekonomi berskala besar. Aspek inipenting untuk dikedepankan agar pengalaman pahit dalam pengelolaansumberdaya hutan yang justru menimbulkan konflik-konflik sosial dimasa lalu tidak terulang. Hal ini karena ketentuan dan peraturan yangada tidak secara eksplisit dan spesifik memberikan perhatian dankomitmen bagi pemberdayaan masyarakat dan usaha berskala kecil. Denganpengaturan sedemikian maka akan tercipta secara proporsional hak dankewajiban berbagai pelaku usaha perikanan sehingga manfaat yang setara

diperoleh para nelayan dan pembudidaya kecil maupun para pengusahaperikanan dari kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan.

Selain dari aspek-aspek itu, UU Perikanan juga mengaturpengawasan dan ketentuan peradilan lainnya. Hal yang penting diaturdalam aspek ini adalah pembentukan pengadilan perikanan yang berada dilingkungan peradilan umum. Dalam aspek ini juga diatur kegiatanpenyidikan dalam perkara tindak pidana yang ada dalam kewenanganPenyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan PejabatPolisi Negara Republik Indonesia, serta berbagai sanksi pidana bagipihak yang melakukan pelanggaran terhadap UU Perikanan ini.

Sebagaimana diketahui praktik illegal, unregulated, dan unreported (IUU)atau pencurian ikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkanmanfaat dari sumberdaya perikanan belum sepenuhnya dinikmati olehmasyarakat Indonesia. Kegiatan ini telah membawa kerugian banyakkepada negara, dan diperkirakan jumlah kerugian yang diakibatkan olehIUU sebesar 2-4 milliar dolar AS per tahun. Berbagai upaya telahbanyak dilakukan untuk memberantas kegiatan ini, namun karena legalmeans yang ada belum cukup kuat dalam mengatur dan menangani kegiatanini maka penyelesaiannya berjalan sangat lamban dan bertele-tele. Disamping itu, koordinasi antara instansi juga belum terjalin denganbaik dalam penanganan masalah ini. Adanya ketentuan yang mengaturmasalah ini sebagaimana tercantum dalam UU Perikanan baik yangmenyangkut kewenangan instansi dalam penyidikan, pembentukan peradilanperikanan, dan sanksi hukum yang cukup berat maka kini diharapkanpenyelesaian kasus-kasus pencurian ikan dapat ditangani lebih cepatdan tidak ada alasan lagi bagi aparat hukum untuk berlindung di balikketiadaan dan kekurangkuatan landasan hukum. Dengan demikian kitamengharapkan kegiatan IUU dapat ditekan seminimal mungkin danketersediaan sumberdaya perikanan memberikan manfaat ekonomi yanglebih besar lagi bagi masyarakat dan pemerintah.

Meski UU ini cukup akomodatif dan visioner, namun sayang bahwapengaturannya masih bersifat sectoral

5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya AlamHayati dan Ekosistemnya

Penegasan tentang sifat keutuhan dan kesalingterkaitan sumberdaya alam tampak dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentangKonservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang inimengartikan sumber daya alam hayati sebagai unsur-unsur hayati di alamyang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber dayaalam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnyayang secara keseluruhan membentuk ekosistem. Unsur-unsur dalam sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantungantara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi sehinggakerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunyaekosistem.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 lebih banyak memusatkanperhatian pada pengaturan tentang kelestarian sumber daya alam.Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuanmengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati sertakeseimbangan ekosistem, sehingga dapat mendukung upaya peningkatankesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Konservasi sumberdaya alam dilakukan dengan kegiatan perlindungan sistem penyanggakehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa sertaekosistemhya serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam danekosistemnya.

Pasal 4 undang-undang ini menyebutkan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung-jawab dankewajiban pemerintah serta masyarakat. Namun, bagian terbesar dari isiundang-undang berkaitan dengan dominasi peran pemerintah. Pengaturantentang peran masyarakat diberikan dalam Bab IX Pasal 37. Peran sertarakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnyadiarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatanyang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 37 ayat (1)). Denganpengertian demikian, maka peran serta yang dimaksud bukan partisipasisejati dari rakyat (genuine public participation) melainkan mobilisasi yangdilakukan pemerintah pada rakyat.

Peran pemerintah sangat besar dalam kegiatan-kegiatan konservasisumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pemerintah menetapkanwilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyanggakehidupan; menetapkan pola dasar pembinaan wilayah perlindungan dansistem penyangga kehidupan; menetapkan pengaturan cara pemanfaatanwilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; mengatur danmenertibkan penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan diperairan yang terletak dalam wilayah perlindungan dan sistem penyanggakehidupan; menetapkan dan mengelola kawasan suaka alam (cagar alam dansuaka margasatwa) dan pelestarian alam (taman nasional, taman hutanraya dan taman wisata alam). Dengan besarnya peran pemerintah itu makaruang bagi masyarakat adat melakukan kegiatan konservasi sumber dayaalam hampir tidak ada. Undang-undang ini tidak menyebutkan sedikitpunpengaturan tentang masyarakat adat, meskipun masyarakat adat diberbagai tempat mempunyai pranata, pengetahuan dan pengalamankonservasi sumber daya alam.

Peran pemerintah dalam konservasi sumber daya alam danekosistemnya dipahami sebagai konsekuensi dari penguasaan negara padasumber daya alam (penjelasan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 34 ayat(1)). Karena itulah maka hak masyarakat adat tidak mendapat tempatyang memadai. Undang-undang ini bahkan lebih memilih menyerahkanpengelolaan zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dantaman wisata alam melalui pemberian hak pengusahaan kepada koperasi,badan usaha milik negara, perusahaan swasta dan perorangan.

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalampandangan undang-undang ini adalah urusan negara yang kemudiandilaksanakan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya dapatmenjalankan urusan ini jika mendapat pendelegasian wewenang ataupunmenjalankannya sebagai tugas pembantuan dari pemerintah pusat.Meskipun memberi porsi besar bagi pemerintah pusat, tidak adapenjelasan tentang unsur pemerintahan mana yang bertanggung-jawabsecara kelembagaan untuk menjalankan undang-undang ini. Karena itutidak ditemukan kegiatan konservasi sumber daya alam hayati yangterpadu, karena masing-masing lembaga menginter-pretasikan sendiri

mengenai konservasi ini sesuai dengan dasar-dasar kebijakannya yangbersifat sektoral.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 ini sarat mengatur hak negaratetapi tidak banyak memberikan pengaturan tentang hak rakyat, apalagidalam konteks pengakuan hak asasi manusia. Pengaturan yang diberikankepada rakyat semata-mata berkaitan dengan kewajiban dan larangan-larangan yang diancam dengan hukuman pidana.

6. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 mendefinsikan hutan sebagaikesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alamhayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannyayang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sumber daya hutandengan demikian tidak dilihat sebagai sekumpulan komoditi tetapi jugaekosistem yang unsur-unsurnya saling terkait.

Penyelenggaraan kehutanan disebutkan berasaskan pada manfaat danlestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, danketerpaduan. Asas manfaat dan lestari dimaksudkan agar setiappelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbang-an dankelestarian unsur lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi.Pengejawantahan asas itu kemudian dilakukan dengan mengalokasi-kankawasan hutan sesuai fungsinya menjadi hutan lindung, hutan produksi,dan hutan konservasi. Secara khusus diatur pula tentang perlindunganhutan dan konservasi alam. Pengaturan ini dimaksud-kan untuk menjagaagar fungsi hutan tetap lestari. Oleh karena itu, Undang-Undang inimerinci berbagai perbuatan yang dianggap memberi kontribusi padakerusakan fungsi hutan, menetapkan larangan-larangan serta mekanismepenegakan hukumnya.

Negara yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai pemerintah memegangperan penting dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya hutan.Pasal 4 menyebutkan bahwa semua hutan termasuk kekayaan alam yangterkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara memberikan wewenangkepada pemerintah (pusat) untuk mengatur dan mengurus segala sesuatuyang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan; mengatur danmenetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan sertaperbuatan hukum mengenai kehutanan. Pengurusan hutan meliputi kegiatanperencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan,pendidikan dan latihan, penyuluhan kehutanan serta pengawasan. Dengandemikian, pemerintah berfungsi sebagai pengatur, pengalokasi, pemberiizin, perencana, pengelola, peneliti, pendidik, penyuluh sekaliguspengawas.

Pereduksian negara menjadi pemerintah dalam konteks hak menguasaisumber daya hutan bertentangan dengan UUPA. Hak menguasai negaramenurut UUPA bisa dilimpahkan kepada daerah swatantra dan masyarakathukum adat tertentu.

Dengan peran yang besar dari pemerintah itu maka paradigmapengelolan sumber daya alam yang berpusat pada negara (state-based forestmanagement) tetap dipegang oleh undang-undang ini. Kalaupun masyarakatmendapat peran maka peran itu hanyalah pelengkap. Hal ini merupakankonsekuensi dari penerapan paradigma pengelolaan sumber daya alam olehnegara yang menempatkan pemerintah dalam posisi sentral danmenentukan. Sebaliknya, paradigma pengelolaan sumber daya alam olehmasyarakat (community-based forest management) menjadikan masyarakatsebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan, sedangkan pemerintahhanya berperan sebagai fasilitator dan administrator untuk mendukungproses tersebut.

Perwujudan lain dari paradigma pengelolaan hutan oleh negaradalam undang-undang ini tampak jelas dalam pengaturan tentangmasyarakat adat. Hal ini dimulai dari ketentuan yang tidak mengakuiadanya hutan adat sebagai hutan berdasarkan statusnya. Undang-undangini hanya mengakui hutan negara dan hutan hak sebagai hutan berdasarkanstatusnya. Sedangkan, hutan adat dinyatakan sebagai bagian dari hutannegara yang berada dalam wilayah dan dikelola oleh masyarakat adat.Karena itu, hak-hak masyarakat adat atas sumber daya hutan diposisikan

sebagai bagian dari hak negara. Hutan adat ditetapkan pemerintahsepanjang dalam kenyataannya masyarakat hukum adat masih ada dandiakui keberadaannya. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya hakmasyarakat adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang disusun denganmempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasimasyarakat dan tokoh adat serta instansi terkait.

Ketentuan yang sifatnya birokratik dan sangat mengandalkan ilmupengetahuan dan teknologi ini berpotensi mengingkari keberadaanmasyarakat adat secara faktual, dan pada gilirannya kemudianmengingkari hak masyarakat adat untuk mengidentifikasikan dirinyasendiri (self-identification) dan hak menentukan kehidupannya sendiri (self-determination). Undang-undang ini juga mengingkari hak asasi masyarakatadat untuk memiliki sumber daya alamnya. Hak-hak masyarakat adat yangdiakui hanyalah hak memanfaatkan sumber daya alam dan mengelola dalamskala terbatas untuk keperluan hidup sehari-hari.

Meskipun memberi batasan pada hak masyarakat adat, Undang-undangNomor 41 Tahun 1999 memberi ruang cukup besar pada peran publik untukberpartisipasi dalam penyelenggaraan kehutanan. Peran serta masyarakatdiatur dalam sebuah bab tersendiri yang menyebutkan antara lain hakmasyarakat memanfaatkan hutan dan hasil hutan, mengetahui rencanaperuntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan,memberikan informasi dalam pembangunan kehutanan serta melakukanpengawasan secara langsung atau tidak langsung. Selain itu, masyarakatjuga berhak mengajukan gugatan perwakilan (class action) terhadap tindakanyang merusak hutan dan merugikan kehidupan masyarakat.

Undang-undang kehutanan ini belum mampu sepenuhnya menerjemahkangagasan hutan untuk kesejahteraan rakyat. Meskipun kata-kata rakyatatau masyarakat banyak muncul, namun esensi pengelolaan hutan olehmasyarakat belum terwujud. Selain peran besar yang dimiliki pemerintah(mayoritas isi undang-undang mengatur pelaksanaan hak menguasainegara), pengaturan sistem pengelolaan hutanpun tidak mendukung sistempengelolaan oleh masyarakat. Satuan pengelolaan hutan ditetapkanberdasarkan fungsi (produksi, lindung dan konservasi), bukanberdasarkan satuan wilayah sebagaimana dikenal masyarakat.

Kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat dianggap terwakilioleh lembaga semacam koperasi. Koperasi dipandang sebagai satu-satunyapilihan bagi masyarakat untuk mengembangkan perekonomiannya sepertidipersepsikan oleh pemerintah. Karena itu, pengaturan seperti inisecara nyata mengabaikan keberadaan institusi-institusi lokal ataukelembagaan adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakatadat/lokal.

Undang-undang ini juga tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikanbanyak kasus-kasus konflik kehutanan terutama antara masyarakatadat/lokal da antara masyarakat adat/lokal demegang konsesi kehutanan.Konflik-konflik tersebut pada umumnya bersumber dari penguasaan ataswilayah masyarakat adat/lokal yang di kemudian hari ditetapkanpemerintah sebagai kawasan hutan. Proses penetapan kawasan hutansecara sepihak dengan tidak melibatkan seluruh masyarakat, terutamamasyarakat yang mempunyai hak historis dan kultural pada kawasanhutan, merupakan akar konflik kehutanan yang terjadi di berbagaidaerah.

Undang-undang kehutanan ini justru memperteguh cara penetapankawasan hutan yang tidak adil dan tidak demokratis itu. Pasal 81menyebutkan bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atauditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlakusebelum undang-undang ini dinyatakan tetap sah. Sementara itu, padabagian menimbang butir c disebutkan bahwa pengurusan hutan harusmenampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat danbudaya serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukumnasional.

Ketidakpuasan masyarakat adat pada proses penetapan kawasan hutanyang acapkali berujung pada konflik adalah salah satu bentuk aspirasimasyarakat dan pertentangan antara norma hukum nasional dengan norma-norma hukum adat dan nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat. Dengantetap diakuinya cara penunjukan dan penetapan kawasan hutan sepertidimaksud dalam pasal-pasal Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 berarti

telah terjadi kontradiksi internal, karena mengingkari pernyataandalam butir c konsiderans undang-undang tersebut.

Semangat desentralisasi dalam undang-undang ini dimuat dalamPasal 66. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan pemerintah pusatmenyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah. Namunkewenangan yang diserahkan itu hanyalah kewenangan kebijakan yangbersifat operasional. Kebijakan umum dan mendasar tetap dipegangpemerintah pusat. Pemerintah daerahpun tidak terlibat dalam prosespenyusunan kebijakan pusat. Ketentuan tentang desentralisasi semacamini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 khususnyaPasal 7 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1).

Dari aspek kelembagaan, undang-undang ini memberikan kewenanganterlampau luas kepada Departemen Kehutanan. Departemen Kehutananberwenang menetapkan status dan fungsi hutan. Khusus dalam penetapanstatus hutan yang berkaitan dengan penguasaan tanah tidak ada satupunketentuan yang menyebutkan perlunya koordinasi antara DepartemenKehutanan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal ini berpotensimenimbulkan perebutan kewenangan dalam pengaturan mengenai lahan hutanantar instansi pemerintah serta tumpang tindih pengaturan dalamwilayah yang sama.

Penegakan hukum diatur cukup rinci dalam undang-undang ini.Sanksi yang diberikan tidak hanya pidana tetapi juga perdata danadministratif. Selain itu diatur juga tentang penyelesaian sengketakehutanan yang tidak hanya bisa dilakukan melalui pengadilan, tetapijuga upaya penyelesaian sengketa kehutanan melalui jalur luarpengadilan (alternative dispute resolution).

Dari hasil kajian perundang-undangan yang terkait dengan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di atas, memiliki karakteristik dankelemahan substansial seperti berikut:

a.    Undang-undang tersebut berorientasi pada eksploitasi (use-oriented)sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsisumber daya alam, karena semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum

untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dandevisa negara.

b.    Orientasi pengelolaan sumber daya alam lebih berpihak pada pemodal-pemodal besar, sehingga mengabaikan kepentingan dan akses atas sumberdaya alam serta mematikan potensi-potensi perekonomian masyarakatlokal.

c.     Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam berpusat padaNegara, sehingga pengelolaan sumber daya alam bercorak sentralistik.

d.    Implementasi pengelolaan yang dilakukan Pemerintah bersifatsektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistemekologi yang terintegrasi (ecosystem). Implikasinya, bangunankelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi tidakterintegrasi dan tidak terkoordinasi antara sektor yang satu dengansektor yang lain, sehingga setiap sektor cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan visi sektornya masing-masing.

e.    Undang-undang tersebut tidak mengatur secara proporsional mengenaiperlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) dalam penguasaan,pemanfaatan, dan pengelolaan sumber daya alam.

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadariadanya kelemahan-kelemahan substansial tersebut, maka dilakukan upaya-upaya*untuk membuat undang-undang dan atau meratifikasi konvensi PBByang berkaitan dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebihbercorak responsif. Hal ini dapat diindikasikan dari diberlakukannyaundang-undang seperti berikut:

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber dayaAlam Hayati dan Ekosistemnya;

2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB

tentang Keanekaragaman Hayati, dan 4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup.

Walaupun demikian, jika dicermati dari substansi perundang-undangantersebut di atas, maka masih ditemukan adanya kelemahan-kelemahansubstansial terutama dalam pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut:

a.    Peran Pemerintah yang masih mendominasi penguasaan dan pengelolaansumber daya alam (state-based resource management).

b.    Keterpaduan dan Koordinasi antar sektor dalam pengelolaan sumberdaya alam yang masih lemah.

c.     Hak-hak masyarakat adat atas penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam yang belum diakui secara utuh.

d.    Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam yangmasih terbatas.

e.    Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusanyang belum diatur secara utuh.

f.     Akuntabilitas Pemerintah kepada publik dalam pengelolaan sumberdaya alam yang belum diatur secara tegas.

Selain itu, jika dicermati dari perkembangan pembangunan hukumpada satu dekade terakhir ini, setelah pemerintah meratifikasiKonvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati menjadi Undang-undang Nomor5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keaneka-ragamanHayati, dan kemudian diberlakukannya (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia; dan (2) Undang-undang Nomor 22Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka prinsip-prinsip pentingyang mendukung pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis, danberkelanjutan belum diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalamperundang-undangan mengenai sumber daya alam dan lingkungan hidup yangtelah ada.

Namun demikian, dalam perkembangan terakhir ada upaya untukmembuat arah kebijakan bagi pengelolaan sumber daya alam sebagaimanatermuat dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang PembaruanAgraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam

Persoalan pelik pengelolaan sumber daya alam yang diricikanantara lain dari tumpang tindih kewenangan antar sektor,

ketidaksinkronan kebijakan, konflik, kerusakan sumber daya alam,kemiskinan, dan ketidakadilan, dicoba untuk diselesaikan melaluiKetetapan MPR RI Nomor 1X/MPR/2001. Ketetapan MPR ini berangkat darikesadaran bahwa pengelolaan sumber daya alam menimbulkan penurunankualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan,penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Olehkarena itu perlu arah pengelolaan sumber daya alam yang mampu menjawabsemua persoalan tersebut. Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 diharapmemberikan arah yang dimaksud.

Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 merupakan landasan peraturanperundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Dengan ketentuan inilah maka Ketetapan MPR ini menyebutkanpentingnya pengkajian ulang pada semua peraturan perundang-undanganberkaitan dengan agraria/pengelolaan sumber daya alam. Atas dasaritulah maka MPR menugaskan DPR bersama dengan Presiden untuk segeramengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaansumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semuaundang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan denganKetetapan MPR tersebut (Pasal 6).

PENUTUP

1.Kesimpulan

Berdasarkan pengertian sumber daya alam yaitu Sumber daya alamadalah semua benda, daya, keadaan, fungsi alam, dan makhluk hidup,yang merupakan hasil proses alamiah, baik hayati maupun non hayati,terbarukan maupun tidak terbarukan. Maka defenisi dari hukum sumberdaya alam adalah hukum atau aturan yang merupakan bagian dari hukumlingkungan yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia denganmahluk hidup lainnya dalam hal soal sumber daya alam, yang apabiladilanggar dapat dikenankan sanksi. Tujuannya untuk Mendayagunakansumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan

memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budayamasyarakat lokal, serta penataan ruang, yang pengusahaannya diaturdengan undang-undang.

Melihat begitu kayanya Indonesia akan sumber daya alam sehinggaberbanding lurus dengan hukum positif yang berlaku di Indonesiaseperti yang paling mendasar adalah UUD Republik Indonesia Tahun 1945Pasal 33. Kemudian ada pula UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang PeraturanDasar Pokok-pokok Agraria, UU Nomor 5 Tahun 1967 ® UU Nomor 41 Tahun1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan PokokPertambangan, UU Nomor  9 Tahun 1985 ® UU Nomor  31 Tahun 2004 tentangPerikanan, UU Nomor  5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya AlamHayat, dll.

Dalam penerapannya sendiri di Indonesia, hukum-hukum positif tentangsumber daya alam adalah baik adanya, tetapi manusia tidak lepas dariketidaksempurnaan sehingga penerapan hukum sumber daya alam belummaksimal. Banyak perubahan baik yang terjadi karena aturan-aturantersebut sehingga lingkungan hidup dan sumber dayanya boleh terkeloladengan baik pula, hanya saja yang menjadi kecacatan adalahketidaksadaran sebagian besar manusia untuk terus memeliharalingkungan hidup dan sumber daya yang terkandung dalamnya.Namun demikian, dalam perkembangan terakhir ada upaya untuk membuatarah kebijakan bagi pengelolaan sumber daya alam sebagaimana termuatdalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria danPengelolaan Sumber daya Alam

Persoalan pelik pengelolaan sumber daya alam yang diricikanantara lain dari tumpang tindih kewenangan antar sektor,ketidaksinkronan kebijakan, konflik, kerusakan sumber daya alam,kemiskinan, dan ketidakadilan, dicoba untuk diselesaikan melaluiKetetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001. Ketetapan MPR ini berangkat darikesadaran bahwa pengelolaan sumber daya alam menimbulkan penurunankualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan,penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Olehkarena itu perlu arah pengelolaan sumber daya alam yang mampu menjawabsemua persoalan tersebut. Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 diharapmemberikan arah yang dimaksud.

Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 merupakan landasanperaturan perundang-undangan mengenai pembaruan agraria danpengelolaan sumber daya alam. Dengan ketentuan inilah maka KetetapanMPR ini menyebutkan pentingnya pengkajian ulang pada semua peraturanperundang-undangan berkaitan dengan agraria/pengelolaan sumber dayaalam. Atas dasar itulah maka MPR menugaskan DPR bersama denganPresiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruanagraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubahdan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannyayang tidak sejalan dengan Ketetapan MPR tersebut (Pasal 6).

2.Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas penulis ingin memberikan saran, bahwamenjaga kelestarian sumber daya alam dapat kita lakukan melalui halkecil seperti tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi penggunaankendaraan bermotor, dll. Sehingga aturan-aturan yang telah dibuattidak sia-sia dan fungsi sumber daya alam bisa maksimal kita rasakansejak generasi sekarang sampai generasi yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

http://azaleeya.blogspot.com/2012/01/materi-kuliah-pengantar-hukum-sumber.html

http://dwinofi.blogspot.com/2012/01/hukum-sumber-daya-alam.html

http://www.dpr.go.id/uu/uu2000/UU_2000_35.pdf