54
BAB 1 Pendahuluan A. Latar Belakang Pendidikan agama islam sangat penting dalam kehidupan manusia khususnya umat muslim, pada kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan pendidikan mengenai agama islam agar umat muslim dapat menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dibuat oleh Allah SWT. B. Rumusan Masalah 1. Apa Sumber-sumber Hukum Islam? 2. Apa Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat? 3. Bagaimana Kontribusi Umat Islam dalam Penegakan Hukum? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Islam 2. Untuk mengetahui fungsi hukum islam dalam kehidupan bermasyarakat 3. Untuk mengetahui kontribusi umat islam dalam penegakan hukum 1

TUGAS AGAMA KOPI

  • Upload
    unsri

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB 1 Pendahuluan

A. Latar Belakang

Pendidikan agama islam sangat penting dalam

kehidupan manusia khususnya umat muslim, pada

kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan pendidikan

mengenai agama islam agar umat muslim dapat

menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan

ketentuan-ketentuan yang telah dibuat oleh Allah

SWT.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Sumber-sumber Hukum Islam?

2. Apa Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan

Bermasyarakat?

3. Bagaimana Kontribusi Umat Islam dalam Penegakan

Hukum?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Islam

2. Untuk mengetahui fungsi hukum islam dalam

kehidupan bermasyarakat

3. Untuk mengetahui kontribusi umat islam dalam

penegakan hukum

1

BAB 2 Pembahasan

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan

terjemah dari kata mashadir yang berarti wadah

ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum

Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah. Selain

menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang

berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan

suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas

juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu

untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al

Qur’an dan sunah Rasulullah SAW. Secara sederhana hukum

adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku

manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun

orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu;

berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila

2

definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka

hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan

wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang

tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang

diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama

Islam”. Maksud kata “seperangkat peraturan” disini

adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan

mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun

di akhirat.

A. Al Qur’an

Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang

diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada

Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an

diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat

An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah. Al Qur’an

merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim

berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum

yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang

taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah

Allah dan menjauhi segala larangnan-NYA.

Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan

umat manusia.

3

1. Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah,

yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada

Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-

rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar

2. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu

ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang

baik serta etika kehidupan.

3. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni

shalat, puasa, zakat dan haji.

4. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan

manusia dalam masyarakat

Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan

kualitas.

1. Segi Kuantitas

Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat,

323.015 huruf dan 77.439 kosa kata

2. Segi Kualitas

Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi

menjadi 3 (tiga) bagian:

1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang

mengatur hubungan rohaniyah dengan Allah SWT dan

hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan.

4

Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau

Ilmu Kalam

2. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang

mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama dan

alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun

Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang

mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih

3. Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan

agar setiap muslim memiliki sifat – sifat mulia

sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.

Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua

kelompok:

1. Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti

shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan

sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia

dengan tuhannya.

2. Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan

(muamalah) seperti perjanjian perjanjian, hukuman

(pidana), perekonomian, pendidikan, perkawinan dan

lain sebagainya.

Hukum yang berkaitan dengan muamalah meliputi:

1. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia

dalam berkeluarga, yaitu perkawinan dan warisan

5

2. Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang

berhubungan dengan jual beli (perdagangan), gadai-

menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud

utamanya agar hak setiap orang dapat terpelihara

dengan tertib

3. Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu

yang berhubungan dengan keputusan, persaksian dan

sumpah

4. Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang

berhubungan dengan penetapan hukum atas

pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas

5. Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama,

yaitu hubungan antar kekuasan Islam dengan non-

Islam sehingga tercpai kedamaian dan

kesejahteraan.

6. Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan

harta benda, seperti zakat, infaq dan sedekah.

Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an ada

yang rinci dan ada yang garis besar. Ayat ahkam (hukum)

6

yang rinci umumnya berhubungan dengan masalah ibadah,

kekeluargaan dan warisan. Pada bagian ini banyak hukum

bersifat ta’abud (dalam rangka ibadah kepada Allah

SWT), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk

memahaminya sesuai dengan perubahan zaman. Sedangkan

ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar, umumnya

berkaitan dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata

negaraan, undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al Qur’an

yang berkaitan dengan masalah ini hanya berupa kaidah-

kaidah umum, bahkan seringkali hanya disebutkan nilai-

nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan

perkembangan zaman. Selain ayat-ayat Al Qur’an yang

berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan

masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan

lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-

masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.

B. Hadits

Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad

SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan

(taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang

kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan

untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang

disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal

ini sejalan dengan firman Allah SWT:

7

Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka

terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka

tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)

Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan

seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-

nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia.

Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia

pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan

Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang

sangat mulia.

Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua,

juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:

Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak

akan sesat selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab

Allah dan sunah rasulnya”. (HR Imam Malik)

Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki

kedua fungsi sebagai berikut.

1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh

Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an dan Hadits)

menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama.

Misalnya Allah SWT didalam Al Qur’an menegaskan

untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana

8

ditetapkan dalam firmannya : (lihat Al-Qur’an

onlines di google)

Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)

Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga

berisi larangan berdusta.

1. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-

ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya,

ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar

zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya

bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan

jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan

shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat,

tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji.

Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah

SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an

Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging

babi. Firman Allah sebagai berikut: Artinya:

“Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging

babi…” (QS Al Maidah : 3)

Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan,

tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh

dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa

9

ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan

belalang. Sabda Rasulullah SAW:

ا راد, وام� ج� وت� وال� ح : ال� ان� ت� �ت �مي ا ال� ام� , ف�" ان� و دم� ان� ت� �ت �ي ا م� ي" ت� ل� ل اح� اك�م( ه و ال�ح � ن� ال�ماج ال ) رواه اب�� ح د وال�ط ي� ك ال� : ف�" ان� م� د � الArtinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan

dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan

dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati

dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)

1. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak

didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara

menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan

membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur

dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

لم و ه�حم د الت�رات� ) رواه م�س هن� ب�� اول� ات� ر ع م ب� � ل س س غ" �لت� ان� ي� ك ه ال� �ي ع" ف�" ا ول� م اد" دك� اء اح� هور اب�" ط�

ى( هق� �ي و داود و ال�ت] و ه�ب�

Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing

adlah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali salah

satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu

Daud, dan Baihaqi)

10

Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai

berikut:

1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan

oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya

bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal.

Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit

yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan

suatu hadits

2. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh

rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya

(hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak

terdapat illat dan kejanggalan pada matannya.

Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya

dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu

berat atau tidak terlalu penting

3. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu

syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau

hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya

dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain,

disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat

hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi

Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang

shohih, yaitu:

1. Rawinya bersifat adil

11

2. Sempurna ingatan

3. Sanadnya tidak terputus

4. Hadits itu tidak berilat, dan

5. Hadits itu tidak janggal

C. Ijtihad

Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh

untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada

ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits,

dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih,

serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-

hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat

dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini

berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat

yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke

negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,”

bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan

pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”,

muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan Al

Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak

ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz

menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul

bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan

ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz

menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya

sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu

12

Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini

menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum

Islam setelah Al Qur’an dan hadits

.

Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi

bebrapa syarat berikut ini:

1. mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang

bersangkutan dengan hukum

2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya

untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits

3. mengetahui soal-soal ijma

4. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih

yang luas.

Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah,

selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan

yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah

SAW bersabda:

لم ( ارى و م�س " ح ر ) رواه ال�ب� ه اج�� ل اc ف�" ط م اخ�" fد ث� ه ي� م واج�� ك ا ح� و اد" ران� ه اج�� ل ات� ف�" � م اص fد ث� ه ي� اج�� م ف�" اك� ح م ال� ك ا ح� اد"Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan

perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya

benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila

seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan

13

ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia

memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)

Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan

pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan

bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa

rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini

Rasulullah SAW bersabda: دس(… � ر ال�مق ص ه� )رواه ن�" م ى� رح� ت� ام� لا ف" ت� اج�"Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan

membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)

Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan

cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kese[akatan dari

seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu

masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW.

Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan

menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah

SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di google)

Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah

dan rasuknya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa

: 59)

Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada

orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti

pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan

14

demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber

hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan

wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi

mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini. Qiyas (analogi)

adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada

hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya

karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau

sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras,

seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini

diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an

karena antara keduanya terdapat persamaan illat

(alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun

bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau

hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan

dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an.

Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas

maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:

1. Dasar (dalil)

2. Masalah yang akan diqiyaskan

3. Hukum yang terdapat pada dalil

4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah

yang diqiyaskan

15

Bentuk Ijtihad yang lain

Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu

perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret

dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas

kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau

unutk kepentingan keadilan

Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum

yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil,

sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari

hukum tersebut

Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan

yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al

Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah

menjadi adat istiadat atau kebiasaan masyarakat

setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum

agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat

dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau

dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan

dengan ajaran Al Qur’an dan hadits

Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai

dengan maksud syarak yang tidak diperoeh dari

pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari

maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan

seorang tukang mengganti atau membayar kerugian

pada pemilik barang, karena kerusakan diluar

kesepakatan yang telah ditetapkan.

16

Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh

segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya

Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi

jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk

menghilangkan mudarat.

FUNGSI HUKUM ISLAM DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

Peranan hokum Islam dalam kehidupan bermasyarakat

sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini

hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :

a.     Fungsi Ibadah

Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah

kepada Allah SWT. Hukum Islam adalah ajaran Allah yang

harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan

ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan

seseorang.

b.     Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar

17

Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk

mengatur hidup dan kehidupan umat manusia, jelas dalam

praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat.

Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar,

jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hokum 

(Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan

mukallaf). Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus,

tetapi secara bertahap. Ketika suatu hukum lahir, yang

terpenting adalah bagaimana agar hukum tersebut

dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh.

Berkaca dari episode dari pengharaman riba dan khamar,

akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah

satu sarana pengendali sosial. Hukum Islam juga

memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum tidak

dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung,

akibat buruk riba dan khamar memang hanya menimpa

pelakunya. Namun secara tidak langsung, lingkungannya

ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita

dapat memahami, fungsi kontrol yang dilakukan lewat

tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi ini dapat

disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat

dicapai tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan

kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan, baik di

dunia maupun di akhirat kelak.

c.      Fungsi Zawajir

18

Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan

berzina, yang disertai dengan ancaman hukum atau sanksi

hukum. Qishash, Diyat, ditetapkan untuk tindak pidana

terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana

tertentu (pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan

riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam

tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hokum

mencerminkan fungsi hokum Islam sebagai sarana pemaksa

yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk

ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi hokum

Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.

d.     Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah

Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai

sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar

proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah

masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam

hal-hal tertentu, hukum Islam menetapkan aturan yang

cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam

hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni

masalah muamalah, yang pada umumnya hokum Islam dalam

masalah ini hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-

nilai dasarnya. Perinciannya diserahkan kepada para

ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang

masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang

19

teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut.

Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke

empat fungsi hokum Islam tersebut tidak dapat dipilah-

pilah begitu saja untuk bidang hokum tertentu, tetapi

satu dengan yang lain saling terkait. (Ibrahim Hosen,

1996 : 90).

KONTRIBUSI UMAT ISLAM DALAM PENEGAKAN HUKUM

Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan

penegakan hokum pada akhir-akhir ini semakin tampak

jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan hokum Islam,

seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor I Tahun

1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28

tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik , Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama, Instruksi Presuden Nomor I tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan

Zakat, dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1999

tentang Penyelenggaraan Haji.

A. Naskah Undang-Undang Dasar 1945

20

Sebelum dilakukan Perubahan atau Amandemen, UUD 1945

terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 Bab, 37 Pasal,

65 Ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya

terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal

yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan

Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta

Penjelasan.

Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945

memiliki 20 Bab, 37 Pasal, 194 Ayat, 3 Pasal Aturan

Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan. Dalam Risalah

Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam

Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi

Tanpa Ada Opini.

Sejarah Awal

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April

1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945.

21

Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal

28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan

gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama

Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI

membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang

untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah

Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat

"dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi

pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi

naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18

Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh

Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang

pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945

Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan

Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Nama

Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya

diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada

BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17

Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan

UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia.

Periode Berlakunya UUD 1945, 18 Agustus 1945- 27

Desember 1949

22

Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat

dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang

disibukkan dengan perjuangan mempertahankan

kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada

tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi

kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum

terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet

Semi-Presidensiel ("Semi-Parlementer") yang pertama,

sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem

pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.Periode

berlakunya Konstitusi RIS 1949 27 Desember 1949 - 17

Agustus 1950. Pada masa ini sistem pemerintahan

indonesia adalah parlementer. Bentuk pemerintahan dan

bentuk negaranya federasi yaitu negara yang didalamnya

terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing

negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk

mengurus urusan dalam negerinya.

Periode UUDS 1950 17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959

Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem

Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi

Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih

berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar,

masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan

partai atau golongannya. Periode kembalinya ke UUD 1945

5 Juli 1959-1966. Karena situasi politik pada Sidang

23

Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur

kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan

UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden

Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu

isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-

undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar

Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.

Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD

1945, di antaranya:

- Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR

dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara.

-MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup

- Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui

Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia

Periode UUD 1945 masa orde baru 11 Maret 1966- 21 Mei

1998

Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah

menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila

secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya

ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang

murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang

Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat

Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi

24

kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan

sumberalam kita.

Periode kembalinya ke UUD 1945 5 Juli 1959-1966

Karena situasi politik pada Sidang Konstituante

1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai

politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada

tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan

Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan

kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar,

menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang

berlaku pada waktu itu. Pada masa ini, terdapat

berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya:

- Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR

dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri

Negara.

- MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur

hidup

 - Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui

Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.

Periode UUD 1945 masa orde baru 11 Maret 1966- 21 Mei

1998

25

Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah

menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila

secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya

ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang

murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang

Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat

Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi

kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan

sumberalam kita.

Periode 21 Mei 1998- 19 Oktober 1999

Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa

sejak Presiden Soeharto digantikan oleh B.J.Habibie

sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.

Periode UUD 1945 Amandemen

Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah

dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945.

Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain

karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di

26

tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan

rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden,

adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat

menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD

1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum

cukup didukung ketentuan konstitusi.

Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah

menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara,

kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi

negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain

yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan

bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di

antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap

mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur)

kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas

sistem pemerintahan presidensiil.

Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali

perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum

dan Sidang Tahunan MPR:

 -  Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 →

Perubahan Pertama UUD 1945

  -  Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000

→ Perubahan Kedua UUD 1945

27

-  Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001

→ Perubahan Ketiga UUD 1945

    -  Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus

2002 → Perubahan Keempat UUD 1945

A. Sejarah Hukum Perkawinan

Lahirnya UUP ini bertitik pangkal dari anggapan

peraturan perundang– undangan yang mengatur masalah

perkawinan di masa lalu sudah tidak cocok lagi

dengan politik hukum dan kebutuhan masa kini. Oleh

karena itu, undang-undang

ini harus dipandang sebagai hasil proses penyempurnaan

konsepsi-konsepsi hukum dimasa lalu. Suatu perwujudan

dari berbagai keinginan dalam menciptakan suatu hukum

perkawinan yang bersifat “nasional” dan sesuai dengan

kebutuhan hukum rakyat Indonesia dimasa kini dan masa

mendatang. Kelahiran UUP bukan sekedar bermaksud

menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat dan

berlaku “nasional” dan “menyeluruh”, melainkan juga

dimaksudkan dalam rangka mempertahankan, lebih

menyempurnakan, memperbaiki atau bahkan menciptakan

konsepsi-konsepsi hukum perkawinan yang baru sesuai

dengan perkembangan dan tuntutan zaman bagi rakyat

Indonesia yang pluralistik. Dalam kaitan ini,

penjelasan umum UUP antara lain menyatakan dalam

28

undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau asas-

asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang

berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan

dengan perkembangan zaman dan tuntutan zaman. Cita

unifikasi yang telah ditinggalkan oleh pemerintah

kolonial Belanda

menjadi aktual lagi dan bersifat nasional.

Pemerintah kolonial belanda selalu mengalami

kegagalan untuk menciptakan unifikasi hukun di

Indonesia. Pada dasarnya rencana hukum tersebut

mengarah dan berlandaskan kepada hukum Barat.

Menggingat bangsa Indonesia merupakan bagian terbesar

penduduk dan telah memiliki hukumnya sendiri, sudah

tentu merasa keberatan untuk tunduk pada hukum Eropa

yang merupakan bagian kecil saja dari penduduk Hindia

Belanda pada waktu itu. hubungan hukum perkawinan

dipengaruhi secara mendalam oleh paham-paham keagamaan

dan kemasyarakatan. Tahun 1974 Indonesia telah berhasil

menciptakan suatu hukum perkawinan yang berlaku bagi

semua warga negara Indonesia dan dengan tanpa

membedakan golongan penduduk dan daerah lagi, dengan

mengatasi persoalanpersoalan yang selama ini dinilai

krusial. Saat ini hukum di Indonesia telah berhasil

menciptakan suatu unifikasi hukum perkawinan yang

bersifat nasional sebagaimana diatur dalam UUP, namun

29

masih terbatas pada hal-hal yang bersifat administratif

atau formal saja, selebihnya masih diserahkan kepada

hukumnya masing-masing. Keinginan pemerintah untuk

hukum perkawinan yang bersifat “nasional”, sudah mulai

dirintis sejak tahun 1950.

Pada masa lalu pembaharuan terhadap hukum

perkawinan selalu menemui kegagalan berhubung subjek

dan objek yang diatur hukum perkawinan berkaitan erat

dengan kehidupan social keagamaan, yang tidak mudah

untuk disatupadukan. Ini berarti pembaruan hukum

perkawinan nasional harus dilakukan penuh hati-hati,

sehingga tidak menimbulkan kekecewaan golongan penduduk

lainnya. Semenjak tahun 1950 pemerintah telah

memberikan perhatiannya pada keluarga, terutama sekali

yang berkaitan dengan Undang-Undang Perkawinan. Usaha

pembaruan hukum keluarga ini mengalami banyak kegagalan

berhubung denngan sifatnya yang sangat sensitif dan

sangat erat sangkut pautnya dengan faktor-faktor

spiritual dan kebudayaan bangsa, yang menyebabkan

dengan Surat Perintah Menteri Agama No B/2/4299

tertanggal 1 Oktober 1950 oleh pemerintah dibentuklah

Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan,

Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Panitia ini menyusun

suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dapat

menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Karena

30

keanggotaannya terdiri dari atas orang-orang yang

dianggap ahli mengenai hukum umum, hukum Islam dan

Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Tengku

Hasan.

Tahun 1952 akhir, panitia telah membuat suatu

Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang terdiri atas

peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan dan

agama dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur

hal-hal yang mengenai golongan agama masing-masing.

Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 panitia

menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umum

kepada semua organisasi pusat dan lokal dengan

permintaan supaya masingmasing memberikan pendapat atau

pandangannya tentang soal-soal tersebut paling akhir

pada tanggal 1 Februari 1953. Rancangan yang dimajukan

itu selain berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi,

juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat

dengan menetapkan antara lain :

1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua

belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan

batas-batas umur 18 bagi laki-laki dan 15 bagi

perempuan;

2. Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang

seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan

pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;

31

3. Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum

agama yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan

diatur sedemikian hingga dapat memenuhi syarat

keadilan;

4. Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama

perkawinan menjadi milik bersama;

5. Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan

Negeri, berdasarkan alasan-alasan yang tertentu,

mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan Hukum

Islam;

6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak,

mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban

orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang

tua dan perwalian.

mengenai soal undang-undang perkawinan itu.

Tanggal 24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia

Nikah, Talak dan Rujuk dengan organisasi-organisasi

kemasyarakatan, yang dalam rapatnya bulan Mei 1953

Panitia memutuskan untuk menyusun Undang-Undang

Perkawinan menurut sistem yang berlaku:

1. Undang-Undang Pokok yg berisi semua peraturan yang

berlaku bagi umum bersama-sama (uniform), dengan tidak

menyinggung agama;

2. Undang-Undang Organik, yang mengatur soal perkawinan

menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan

32

Islam, Kristen Katolik, dan golongan Kristen

Protestan;

3. Undang-Undang untuk golongan netral, yaitu yang

tidak termasuk suatu golongan agama itu.

Tahun 1954 akhirnya panitia telah berhasil membuat

Rancangan Undang-

Undang tentang Perkawinan Umat Islam yang kemudian

disampaikan oleh Menteri Agama kepada Kabinet akhir

bulan September 1957 dengan penjelasan masih akan ada

amandemen-amandemen yang menyusul. Tetapi sampai

permulaan tahun 1958 belum ada tindakan-tindakan apapun

dari pemerintah Pemerintah juga selama bertahun-tahun

tidak memberikan tanggapan sampai pada tahun 1958

beberapa anggota wanita parlemen di bawah pimpinan

Soemari, mengajukan rancangan inisiatif terpenting

diantaranya, setidak-tidaknya bagi dunia Islam

Indonesia sebuah masalah yang menggemparkan bahwa

didalam usul inisiatif itu telah ditetapkan suatu

keharusan untuk menjalankan monogami.

Pemerintah pada waktu itu sudah memberikan reaksi

dengan mengemukakan suatu rancangan yang hanya mengatur

perkawinan Islam. Justru dari pihak Islam tradisional

terdapat keraguan apakah bagi orang-orang Islam

diperlukan hukum perkawinan. Bukankah peraturan-

peraturan yang sekali telah diberikan Tuhan,

sebagaimana yang telah diwahyukan secara cermat dalam

33

syariat diperuntukkan untuk segala zaman dan negara.

Bahan-bahan baru untuk didiskusikan yakni rencana-

rencana tersebut tidak pernah dibahas selanjutnya.

Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan,

dalam bulan Oktober 1959, Rancangan Undang-Undang

Soemari tersebut ditarik kembali oleh para pengajunya,

kendati memperoleh perhatian yang besar dari sejumlah

anggota DPR, Rancangan tersebut sepertinya tidak

bepeluang untuk dibicarakan. Para anggota Partai Islam

menngadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogamy

yang dikandung dalam Rancangan tersebut. Sudah barang

tentu sebagai organisasi kaum perempuan memprotes

argumentasi yang dipergunakan untuk membenarkan

poligami. Pembentukan UUP berproses sangat panjang dan

kemudian dimusyawarahkan dengan sungguh isi Rancangan

Undang-Undang tentang Perkawinan, agar dapat menampung

aspirasi masyarakat dan memberikan formulasinya secara

teknis yuridis.

Dalam memberikan isi kepada Rancangan Undang-

Undang tentang Perkawinan tersebut diusahakan untuk

mempertemukan aspirasi hukum yang berbeda-beda itupun

tidak bisa dilakukan materi yang dipermasalahkan akan

dicabut. Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa dilihat

dari sudut fungsi hukum sebagai a tool of social engineering,

Undang-Undang tentang Perkawinan ini tidak sesuai

dengan perkiraan yang didasarkan pada kemampuan hukum

34

untuk menjalankan a tool of social engineering di bidang-bidang

yang berkaitan erat dengan kehidupan kebudayaan dan

spiritual masyarakat, namun dilihat dari proses

perkembangan masyarakat menuju masyarakat industri,

pengundang-undangan ini patut dicatat sebagai suatu

kemajuan yang besar.

Undang-Undang tentang Perkawinan ini memuat

ketentuan-ketentuan yang apabila dinilai dari sudut

tipe keluarga yang dikehendakinya, bisa digolongkan

pada keluarga yang cocok untuk masyarakat modern

industrial. Apabila ditempatkan pada latar belakang

sebagai bentuk perkawinan di Indonesia yang masih

mendasarkan diri pada ikatan dan struktur clan

(kesukuan), maka kehadirannya dapat dinilai sebagai

sarana untuk melakukan perubahan sosial. Perubahan

sosial di sini terjadi dengan cara melakukan

perombakan-perombakan pada struktur hubungan sosial.

Apabila dilihat dari segi peranannya bagi pembangunan

nasional, hukum perkawinan yang baru ini bisa dipandang

sebagai satu bangunan yang didirikan di tengah-tengah

masyarakat yang memberikan peringatan tentang berbagai

janji yang termuat dalam Undang-Undang Perkawinan

tersebut.

Ketentuan-ketentuan yang tercantum didalamnya

mungkin belum seluruhnya atau secara sempurna dapat

dijalankan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini dan

35

diingatkan pula agar berhati-hati dalam membuat hukum

yang menyangkut bidang kehidupan yang bersifat pribadi,

apalagi jika hukum itu hendak melakukan

Perombakanperombakan dibidang tersebut.. Bagi suatu

Negara dan Bangsa Indonesia adalah mutlak adanya

Undang- Undang Perkawinan Nasional dan dengan landasan

falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka

Undang-Undang Perkawinan ini harus dapat mewujudkan

prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 serta mengandung di dalamnya

unsur-unsur dan ketentuan hukum masing-agama agama dan

kepercayaannya itu. Sebagai suatu Undang-Undang yang

nasional sifatnya dan yg meliputi seluruh warga negara

Indonesia, merupakan suatu penggarisan lanjutan dari

TAP MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, yang antara lain

menentukan bahwa seluruh kepulauan Nusantara merupakan

satu kesatuan hukum, dalam arti bahwa hanya ada satu

hukum dalam hukum nasional yang mengabdi kepada

kepentingan nasional. Ketunggalekaan dalam Hukum

Perkawinan ini dalam beberapa hal masih memungkinkan

adanya kebinekaan. Undang-Undang tentang Perkawinan ini

merupakan sutau refleksi dari pidato kenegaraan

Presiden pada tanggal 16 Agustus 1973, tentang

menyinggung Undang-Undang yang sekarang diselesaikan

bersama dan disahkan oleh DPR yg terhormat.

36

Undang-Undang tentang Perkawinan ini memiliki

landasan bagi suatu perkawinan sebagai suatu lembaga

yang suci dan luhur oleh semua agama dan cita budaya

yang mengilhami alam fikiran, atas dasar mana dibangun

suatu keluarga yang kekal, sejahtera, dan bahagia

diwujudkan dalam asas monogami yang memandang poligami

sebagai exceptional, dan restriktif dan perceraian harus

dihindarkan, dan terdapat sesuatu untuk menaikkan

kedudukan, harkat, dan martabat wanita, sedangkan

pengaturan itu sejalan dengan tugas negara untuk

memberikan perlindungan terhadap kesucian dan

keseluruhaun tujuan perkawinan. Dengan adanya Undang-

Undang Perkawinan, walaupun belum sempurna dan

pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, tetapi telah

memberikan suatu pegangan.

Pengertian dan Ruang Lingkup Zakat

37

Sebagaimana dipahami bahwa zakat merupakan rukun

Islam yang ketiga. Kata “zakat” itu sendiri berasal dari

kata “al-zaka”, artinya: menumbuhkan dan berkembang (QS.

al-Baqarah [2]: 276),memberi keberkahan (QS. Saba’

[34]:39),dan menyucikan (QS. al-Taubah [9]:103). Dalam

Al-Qur’an terdapat 32 kata “zakat” bergandengan dengan

kata “shalat” dan sebanyak 82 kata dengan makna yang

sinonim, yaitu shadaqah dan infaq.Sedangkan zakat

menurut terminologi adalah sejumlah harta tertentu yang

diwajibkan oleh Allah Swt. untuk diberikan kepada orang

yang berhak menerima zakat (mustahiq) yang disebutkan

dalam Al-Qur’an. Selain itu, bisa juga berarti sejumlah

harta tertentu dari harta tertentu yang diberikan

kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat-

syarat tertentu.

Zakat dalam Perspektif Undang-Undang No. 38 Tahun 1999

Menurut Pasal 2 Undang-Undang ini bahwa yang menjadi

wajib zakat adalah setiap warganegara Indonesia yang

beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh

orang Muslim berkewajiban menunaikan zakat. Dalam

menjalankan kewajiban tersebut, maka pemerintah turut

langsung terlibat memberikan perlindungan, pembinaan,

dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan amil zakat.

38

Dalam menjalankan tugas tersebut Badan Amil Zakat

dan Lembaga Amil Zakat bertanggung jawab kepada

pemerintah sesuai dengan tingkatnya (Pasal 9) dan

sekaligus sebagai pengawas (Pasal 18), yaitu:

1.   Badan amil zakat nasional oleh Presiden atas

usul Menteri;

2.   Badan amil zakat provinsi oleh gubernur atas usul

kepala wilayah depatemen agama provinsi;

3.   Badan amil zakat kabupaten/kota oleh

bupati/walikota atas usul kepala kantor

departemen agama kabupaten/kota;

Sejarah UU Pengadilan Agama

Usaha untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang

Peradilan Agama telah dimulai oleh Departemen Agama

sejak 1961, yaitu sejak dibentuknya sebuah panitia

dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 66 Tahun 1961.

Dalam masa 28 tahun sejarah pembentukan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (1961-1989),

kegiatan persiapan RUU PA telah menghabiskan waktu

selama 27 tahun (1961-1988) dan pembahasannya di DPR RI

selama satu tahun, yaitu sejak diantarkannya RUU

tersebut melalui amanat Presiden Nomor R.06/PU/XII/1988

tanggal 3 Desember 1988 untuk dibicarakan dalam sidang

DPR RI guna mendapatkan persetujuan, sampai disetujui

39

dalam sidang pleno DPR RI pada tanggal 14 Desember

1989.

Dalam kurun waktu 27 tahun mempersidangkan RUU PA

dapat dibagi kedalam tiga periode, yaitu:

1.         Periode Pertama (1961-1971), dalam periode

ini kegiatan terbatas dalam lingkungan intern

Departemen Agama sendiri dan belum dilakukan

langkah-langkah keluar

2.         Periode Kedua (1971-1981), dalam periode

ini sudah dilakukan usaha-usaha keluar Departemen

Agama, namun belum diperoleh sambutan dari instansi

terkait maupun yang langsung menyetujui gagasan

dipersiapkannya RUU PA

3.         Periode Ketiga (1981-1988), dalam

periode ini gagasan mempersiapkan RUU PA yang telah

lama didambakan oleh Departemen Agama langsung

mendapat persetujuan dari instansi terkait yang

lain. Persetujuan tersebut dimulai oleh Mahkamah

Agung pada 1981 dan kemudian oleh Departemen

Kehakiman pada 1982, yaitu melalui Keputusan

Menteri Kehakiman tahun 1982 No. G-164-PR-

04.03/1982 yang berisi keputusan untuk membentuk

tim pembahas dan penyusun rancangan tersebut.

Tertunjuk sebagai ketua tim adalah Prof. Dr.

Bustanul Arifin (Ketua Muda Urusan Lingkungan

Peradilan Agama Mahkamah Agung saat itu).

40

Dengan keluarnya keputusan Menteri Kahakiman tahun

1982 yang berisi keputusan untuk membentuk tim pembahas

dan penyusun Rancangan Undang-Undang mengenai Peradilan

Agama, maka rancangann Undang-Undang mengenai peradilan

ini mulai ditanggapi. Dengan menunjuk Prof. Dr.

Bustanul Arifin sebagai ketua tim pembahas RUU ini.

Untuk menegakkan hukum Islam yang berlaku secara

yuridis formal dalam negara Republik Indonesia, pada

tanggal 8 Desember 1988, Presiden Republik Indonesia

menyampaikan RUU Peradilan Agama kepada DPR untuk

dibicarakan dan disetujui sebagai Undang-Undang

menggantikan semua peraturan perundang-undangan tentang

peradilan agama yang tidak sesuai lagi dengan UUD 1945

dan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan

Kehakiman 1970.

Harapan umat muslim bahwa orde baru lebih

bersahabat daripada orde lama ternyata salah.  Pada

1973, Pengadilan Islam mengalami perjuangan untuk

mendukung eksistensi kepentingan umat Islam. Juli pada

tahun itu diajukan sebuah draft hukum pernikahan yang

bersifat sekuler dan secara efektif menghapus sistem

Peradilan Islam.  Departemen Agama maupun organisasi

Islam tidak diikutsertakan pada pembuatan draftnya.

Langkah tersebut merupakan dorongan dari para penasehat

presiden yang dipimpin oleh Mr. Ali Mustopo dan grup

katolik yang didominasi tim peneliti, Pusat Studi

41

Strategi dan pihak dunia internasional. Kelompok ini

tidak hanya fokus pada Peradilan Islam, tetapi juga

menemukan bahwa isu undang-undang pernikahan memberikan

kesempatan untuk menyerang politik islam.

Draft ini memberikan satu paket peraturan

pernikahan dan perceraian yang dapat diterapkan di

Indonesia pada semua agama apapun. Hal ini mensyaratkan

adanya registrasi pada penikahan dan persetujuan

pengadilan untuk cerai dan poligami. Baik perceraian

ataupun pernikahan poligami, akan menjadi subjek untuk

dibatasi secara katat. Penyelenggaraan hukum

dipercayakan kepada Pengadilan Sipil, yang telah

mengurangi yurisdiksi pengadilan-pengadilan di pulau

terluar sebatas masalah warisan dan membiarkan

Pengadilan Islam di Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan

untuk tidak menpunyai tugas.

Usulan ini dihadapi dengan kemarahan kaum muslim

oposisi baik dari dalam maupun luar legislatif. Pada

sautu waktu ribuan pemuda muslim turun ke lantai dewan

legislatif dan miter digunakan untuk mengamankan.

Konflik mulai reda ketika pimpinan militer mengusulkan

diskusi di luar proses formal legislatif dengan kaum

muslim. Partai-partai saat itu menyetujui adanya revisi

rancangan undang-undang dimana kaum muslim menerima

permintaan batasan hukum pada perceraian yang semena-

mena dan poligami, dengan perjanjian bahwa substansi

42

hukum pernikahan tidak akan diubah dan peran Pengadilan

Islam tidak dikurangi. Akhirnya sebuah undang-undang

disetujui oleh badan leagislativee pada tahun 1973 dan

ditandatangani presiden sebagai UU tentang pernikahan

tahun 1974.

Sebelum ditetapkan sebagai Undang-Undang, sebuah

peraturan harus melalui adanya proses penyusunan naskah

akademik peraturan, yaitu konsep awal yang

menggambarkan tentang garis besar perundang-undangan

yang akan dibuat. Naskah akademik tersebut juga

dimaksudkan untuk menguraikan secara mendalam berbagai

aspek yang berkaitan dengan sebuah rancangan peraturan

sehingga dapat mudah difahami pokok-pokok fikiran yang

menjadi bahan dan dasar sebuah rancangan peraturan.

Keberadaan naskah akademik inilah yang menjadikan

adanya acces acountabelities dan responsibelities (keterbukaan

dan tanggung jawab) yang melembaga termasuk kontrol

sosial dari masyarakat, baik melalui lembaga swadaya,

individu, kelompok, pers, masyarakat hukum, dan

komponen masyarakat lainnya. Hal ini mengandung makna

bahwa proses berdemokrasi juga diberlakukan terutama

dalam proses legislasi, dan inilah makna demokratisasi

hukum atas lahirnya RUU Pengadilan Agama menjadi UU

Pengadilan Agama di Indonesia sekaligus lahirnya UU

tentang pernikahan tahun 1974.

43

Penyusunan RUU tersebut banyak mendapat tantangan

dari berbagai pihak untuk menggagalkannya. Setidaknya

dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:

Kelompok pertama, mengatakan bahwa dalam rangka

menuju unifikasi hukum di Indonesia, Peradilan Agama

tidak diperlukan lagi karena akan ada dualisme dalam

sistem peradilan di Indonesia. Kalaupun ada Peradilan

Agama, maka harus berinduk kepada Peradilan Umum.

Kelompok ini ingin mempertahankan status quo, dimana

Peradilan Agama tidak mempunyai kebebasan untuk

mengimplementasikan kompetensinya, bahkan ingin agar

Peradilan Agama sebagai subordinat dari Peradilan Umum.

Kelompok kedua, adanya yang menginginkan agar

Peradilan Agama dibubarkan dengan dalih umat Islam

mengurus sendiri hukum Islam yang dianut. Orang-orang

ini menolak karena berpendapat bahwa agama itu

dipisahkan dari campur tangan negara (sekuler),

termasuk intervensi negara dalam soal mengurus

Peradilan Agama. Partai Demokrasi Indonsia (PDI),

kelompok non muslim dan kelompok sekuler bahkan

sebagian pemimpin-pemimpin Islam juga keberatan dengan

RUU PA ini. Bahkan partai berkuasa Golkar terpecah

44

menjadi dua kelompok, kelompok yang setuju dan kelompok

yang menentang.

Kelompok ketiga, menganggap adanya RUU PA menjadi

bentuk diskriminasi tersendiri terhadap terhadap

kelompok lainnya sehingga eksistensi Peradilan Agama

harus dibibarkan. Oleh karena itu, muncullah tuduhan

bahwa RUU PA merupakan strategi untuk memberlakukan

kembali Piagam Jakarta.

Dari ketiga kelompok di atas, pada prinsipnya sama

yakni keberatan terhadap Peradilan Agama. Kelompok

pertama melihat dari segi politik hukum yang berkembang

sejak masa penjajahan dengan memberlakukan Peradilan

Agama hidup tanpa eksistensi yang jelas. Tanggapan

kelompok ketiga mengaitkan dengan rencanan menghidupkan

kembali Piagam Jakarta yang pernah direvisi terutama

menyangkut kalimat: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam

bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama menjadi

“Ketuhanan yang maha esa”. Kelompok ini terlalu berlebihan

karena mereka khawatir terhadap rencana pembentukan

Negara Islam.

UU Peradilan Agama Tahun 1989

UU ini terdiri dari 108 bagian terbagi menjadi 7

bab. Segala uraian dilengkapi penjelasan perbagian. Bab

pertama tentang “ketentuan umum” dan terdiri bagian

pada definisi, status, lokasi, dan organisaasi serta

pengadilan Islam. Ini mengartikan peradilan agama

45

sebagai pengadilan bagi penganut Islam. Pengadilan ini

terdiri dari pengadilan agama, ditandai pada bab

selanjutnya, sebagai pengadilan dari contoh pertama,

dan pengadilan tinggi agama yang menjalankan fungsi

pengadilan banding yang ada di 18 dari 27 provinsi yang

ada masa itu.

Bab kedua dari UU tersebut mengatur struktur dan

komposisi dari pengadilan. Di antara ketentuan ini, ada

peraturan yang mengatur perjanjian kualifikasi hakim.

Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan hakim berada di

tangan presiden sebagai kepala negara berdasarkan

rekomendasi Menteri Agama dan peresetujuan MA.

Kekuasaan memberikan wewenang pada MA atas seleksi

hakim, sebagaimana yang telah dijalankan beberapa tahun

sebelum UU diajukan, memformalkan campurtangan MA dalam

manajemen pengadilan Islam berlawanan dengan tradisi

eksklusif kontro Departemen Agama. Bab ketiga

menetapkan kekuatan Pengadilan Islam. Ayat 49

menyatakan bahwa “Pengadilan Agama memiliki

tanggungjawab dan wewenang untuk menilai, memutuskan

dan menyelesaikan permasalahan pertama kali antara umat

muslim di daerahnya, terdiri dari: a) pernikahan, b)

warisan, wasiat, dan hibah yang dijalankan menurut

hukum Islam, c) yayasan amal.

Bab keempat mengatur prosedur yang dijalankan pada

pengadilan Islam. Bagian pertama pada bab ini mencakup

46

ketentuan umum, diawali dengan peraturan umum, bahwa

tatacara hukum yang diikuti pengadilan Islam yang

tercakup dalam kode prosedur sipil dan dapat diterapkan

pada pengadilan sipil, kecuali seperti yang secara

spesifik tercantum di UU. Bagian pertama ini juga

mencakup ketentuan mengenai media penerapan kekuatan

hokum secara umum seperti ketentuan unik pengadilan

Islam.

Analisis Atas Lahirnya UU Pengadilan Agama

Untuk menjelaskan politik hukum pemerintahan Orde

Baru terhadap lembaga Peradilan Agama, maka perlu

dipahami mulai dari sejarah hukum terutama yang

berkaitan dengan lembaga itu, ide lahirnya, persiapan,

penyusunan samapai pada bentuk final produk hukum itu.

Usaha ini menjadi penting untuk melihat secara pasti

refleksi politik pada masa rezim Soeharto.

Dalam perspektif produk hukum, ada dua proses

politik dalam suatu masyarakat, untuk pembangunana

hukum, yaitu: Pertama, produk hukum yang dihasilkan

melalui kerangka strategi pembangunan hukum yang dapat

disebut ortodok, dimana karakter ini bersifat kaku dan

kurang terbuka bagi perubahan, dengan demikian hukum

menjadi tanggap terhadap tuntunan kebutuhan masyarakat.

Kedua, produk hukum yang dihasilkan juga bersifat

47

opresif karena secara sepihak hukum menentukan persepsi

sosial para pengambil kebijakan.

Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku

terhadap penegakan hukumnya dan karakteristik produki-

produk serta proses pembuatannya. Keadaan politik

tertentu dapat mempengaruhi sproduk hukum, untuk kasus

Indonesia, kita dapat mencatat banyak contoh. Kasus

lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama dapat diambil sebagai contoh. Kedua

Undang-Undang tersebut sama-sama lahir pada era Orde

Baru, tetapi hubungan politik anatara pemerintah dan

umat Islam atau hubungan antara negara dan agama yang

melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang

berbeda.

Undang-Undang Perkawinan lahir dalam keadaan

politik konflik dan saling curiga, sedangkan Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 lahir ketika hubungan

pemerintah dan umat Islam sedang melakukan akomodasi.

Dari kedua Undang-Undang yang lahir pada periode

hubungan yang berbeda itu kita dapat melihat betapa

keadaan politik tertentu telah menetukan pilihan atas

materi produk hukum. RUU tentang perkawinan yang

diajukan pada periode konflik politik ternyata

menyambut protes dan demonstrasi karena materinya

memuat banyak hal yang bertentangan dengan ajaran

48

Islam. Pada saat itu pemerintah yang tidak mesra dengan

Islam mengajukan RUU yang dipandang dari sudut akidah

Islam harus ditolak, sementara umat Islam sendiri yang

sedang “agak” oposan dengan pemerintah mencurigai RUU

tersebut sebagai upaya mengucilkan Islam.

Maka, jelas bahwa politik saling curiga dan konflik

itu melahirkan rancangan produk hukum yang juga

menggambarkan kesalingcurigaan. Akan terlihat

sebaliknya pada kasus RUU tentang Peradilan Agama (yang

kemudiann menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989)

yang lahir pada saat hubungan antara pemerintah dan

umat Islam secara politis saling akomodasi ini ternyata

dapat dukungan luas dari umat Islam karena hal itu

seakan-akan menjadi kado mewah bagi umat Islam. Pada

saat musim akomodasi Undang-Undang pemerintah tidak

ragu untuk mengajukan RUU yang sangat didambakan oleh

umat Islam. Itulah bukti, untuk kasus Indonesia, betapa

keadaan politik tertentu memberi jalan bagi munculnya

pembuatan hukum yang tertentu pula.

Dalam masalah produk hukum terutama mengenai

Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok Kehakiman

(Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970) mengakui secara

tegas Peradilan Agama sebagai kekuasaan kehakiman. Oleh

sebab itu secara formal dilihat dari aspek yuridis,

konfigurasi politik Orde Baru dapat disebut berada

dalam demokratis dan produk hukumnya yang responsif.

49

Dari perspektif pembentukan hukum, Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970 dapat disebut responsif karena

aspirasi seluruh masyarakat tertampung dan cenderung

akomodatif terhadap kebuthan dalam bidang peradilan.

Sedangkan dari segi implementasi perundangannya,

bersifat fakultatif dan legitimatif. Regulatif karena

ia lebih banyak mengatur etika peradilan, prosedural

dan praktis operasional.

Politik akomodasi legislatif yang dilakukan

pemerintah, yaitu untuk mencari simpati dan dukungan

dari umat Islam, karena pada masa itu bersamaan dengan

munculnya “Revolusi Islam Iran” (tahun 1979) yang

merupakan simbol kebangkitan Islam dunia yang dapat

mempengaruhi politik Soeharto. UU ini mengatur tiga

skema berbeda untuk tiga macam perceraian, talak cerai,

gugat cerai, dan perceraian karena perzinaan. Prosedur

talak cerai yang secara umum mengikuti urutan berkenaan

porsi pada peraturan pelaknsanaan yang dikeluarkan pada

1975 untuk menerapkan UU penikahan, membiarkan suami 

menyajikan penyangkalan atau talak “saya ceraikan kamu” di

pengadilan, di bawah pengawasan pengadilan.

Menurut ajaran Islam, seorang suami memiliki

kekuasaan penuh untuk menalak istrinya kapanpun dengan

alasan apapun. Di bawah UU, mengikuti UU 1975, seorang

suami yang ingin menalak istrinya harus menbuat

permohonan meminta pengadilan memanggil saksi untuk

50

pengucapan talaknya. Dalam suatu perubahan yang

sederhana yang dibuat untuk lebih melindungi istri,

suami harus mengisi permohonan pada pengadilan di

kabupaten dimana istrinya tinggal, dari tempat tinggal

dia sendiri, seperti diijinkan pada peraturan 1975.

Permohonan suami harus menyajikan nama, umur,

tempat tinggal kedua pihak, dan juga alasan utama

talak. UU tidak menentukan apa alasan yang dapat

dierima sebagai alasan yang cukup. Pengadilan harus

menilai permohonan dalam sesi tertutup dalam 3 hari

setelah terdaftar pada petugas. Dalam menjaga kebijakan

dalam rangka mencoba mengurangi frekuensi perceraian,

pengadilan ditugaskan mencoba mendamaikan pasangan pada

saat pendengaran pertama. Apabila pasangan tidak bias

didmaikan dan adaa alas an yang memadai maka pengadilan

memutuskan bahwa permohonan dikabulkan.

Undang-Undang ini mengijinkan istri mengajuksn

banding terhadap putusan pengadilan yang menyatakan

bahwa dasar perceraian memang ada. Hanya setelah

keputusan final melalui semua proses banding atau jatuh

tempo waktu pengisian banding pengadilan menjadwalkan

pendengaran tujuan penyaksian talak suami. Tatacara ini

di tetapkan dengan surat edaran MA yang

dikeluarkan1985.

Pengaruh pembaharu Islam pada persiapan pembuatan UU

mengindikasikan pergantian yang lebih general pada

51

posisi Islam pembaharu vis-à-vis Negara Indonesia.

Sebaliknya, pada tahun 1970 para pejabat eselon atas

kementerian agama di dominasi para pembaharu, yang

paling terkenal adalah H. Munawir Sjadzali, Menteri

Agama 2 periode, yang mengawal UU ini melalui dewan

legislatif yang secara resmi mengajukan proposal pada

1980 dengan mengundang banyak kontroversi. Dulu, hakim

pengadilan tradisional dilatih di pesantren,  namun

sekarang pengadilan diisi para lulusan institusi islam

negeri yang dinyatakan berorientasi pembaharuan

BAB 3 Kesimpulan

Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan

sunah. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga

merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk

sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an

dan sunah Rasulullah SAW.

Sumber-sumber hukum islam:

a. Al Qur’an merupakan sumber hukum utama umat islam.

b. Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al

Qur’an.

c. Ijtihad merupakan sumber hukum setelah Al Qur’an dan

Hadits.

Peranan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat

sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini

52

hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja

Fungsi hukum islam:

a. Fungsi ibadah utama hukum Islam adalah untuk

beribadah kepada Allah SWT.

b. Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah hukum islam

sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan

kehidupan umat manusia.

c. Fungsi Zawajir, fungsi ini terlihat dalam

pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan

ancaman hukum atau sanksi hukum.

d. Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah adalah sebagai

sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar

proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah

masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera.

Sejarah UU Pengadilan Agama usaha untuk mempersiapkan

Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai

oleh Departemen Agama sejak 1961.

Dalam menjalankan tugas pengelolaan zakat adalah Badan

Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat bertanggung jawab

kepada pemerintah sesuai dengan tingkatnya.

Sejarah Hukum Perkawinan Lahirnya UUP ini bertitik

pangkal dari anggapan peraturan perundang– undangan

yang mengatur masalah perkawinan di masa lalu sudah

tidak cocok lagi dengan politik hukum dan kebutuhan

masa kini.

53

DAFTAR PUSTAKA

http://syahruddinalga.blogspot.com/2011/10/fungsi-

hukumislam-dalam kehidupan.html

http://undang-undang-indonesia.com/forum/index.php?

topic=14.0

http://repository.usu.ac.id/bitstream/

123456789/25440/4/Chapter%20II.pdf

http://mukhtar-nur.blogspot.com/2011/05/hukum-zakat-di-

indonesia-antara-peluang.html

http://khamdan-widyaiswara.blogspot.com/2012/01/undang-

undang-pengadilan-agamadalam.html#!/2012/01/

undang-undang-pengadilan-agama-dalam.html

54