Upload
unsri
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 1 Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pendidikan agama islam sangat penting dalam
kehidupan manusia khususnya umat muslim, pada
kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan pendidikan
mengenai agama islam agar umat muslim dapat
menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang telah dibuat oleh Allah
SWT.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Sumber-sumber Hukum Islam?
2. Apa Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan
Bermasyarakat?
3. Bagaimana Kontribusi Umat Islam dalam Penegakan
Hukum?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Islam
2. Untuk mengetahui fungsi hukum islam dalam
kehidupan bermasyarakat
3. Untuk mengetahui kontribusi umat islam dalam
penegakan hukum
1
BAB 2 Pembahasan
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan
terjemah dari kata mashadir yang berarti wadah
ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum
Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah. Selain
menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang
berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan
suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas
juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu
untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al
Qur’an dan sunah Rasulullah SAW. Secara sederhana hukum
adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku
manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun
orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu;
berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila
2
definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka
hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan
wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang
tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang
diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama
Islam”. Maksud kata “seperangkat peraturan” disini
adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan
mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun
di akhirat.
A. Al Qur’an
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang
diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada
Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an
diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat
An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah. Al Qur’an
merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim
berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum
yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang
taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah
Allah dan menjauhi segala larangnan-NYA.
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan
umat manusia.
3
1. Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah,
yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada
Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-
rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar
2. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu
ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang
baik serta etika kehidupan.
3. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni
shalat, puasa, zakat dan haji.
4. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan
manusia dalam masyarakat
Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan
kualitas.
1. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat,
323.015 huruf dan 77.439 kosa kata
2. Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi
menjadi 3 (tiga) bagian:
1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang
mengatur hubungan rohaniyah dengan Allah SWT dan
hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan.
4
Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau
Ilmu Kalam
2. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang
mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama dan
alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun
Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih
3. Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan
agar setiap muslim memiliki sifat – sifat mulia
sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.
Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua
kelompok:
1. Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti
shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan
sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia
dengan tuhannya.
2. Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan
(muamalah) seperti perjanjian perjanjian, hukuman
(pidana), perekonomian, pendidikan, perkawinan dan
lain sebagainya.
Hukum yang berkaitan dengan muamalah meliputi:
1. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia
dalam berkeluarga, yaitu perkawinan dan warisan
5
2. Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang
berhubungan dengan jual beli (perdagangan), gadai-
menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud
utamanya agar hak setiap orang dapat terpelihara
dengan tertib
3. Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu
yang berhubungan dengan keputusan, persaksian dan
sumpah
4. Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang
berhubungan dengan penetapan hukum atas
pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
5. Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama,
yaitu hubungan antar kekuasan Islam dengan non-
Islam sehingga tercpai kedamaian dan
kesejahteraan.
6. Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan
harta benda, seperti zakat, infaq dan sedekah.
Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an ada
yang rinci dan ada yang garis besar. Ayat ahkam (hukum)
6
yang rinci umumnya berhubungan dengan masalah ibadah,
kekeluargaan dan warisan. Pada bagian ini banyak hukum
bersifat ta’abud (dalam rangka ibadah kepada Allah
SWT), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk
memahaminya sesuai dengan perubahan zaman. Sedangkan
ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar, umumnya
berkaitan dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata
negaraan, undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al Qur’an
yang berkaitan dengan masalah ini hanya berupa kaidah-
kaidah umum, bahkan seringkali hanya disebutkan nilai-
nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan
perkembangan zaman. Selain ayat-ayat Al Qur’an yang
berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan
masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan
lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-
masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.
B. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad
SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan
(taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang
kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan
untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang
disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal
ini sejalan dengan firman Allah SWT:
7
Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan
seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-
nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia.
Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia
pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan
Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang
sangat mulia.
Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua,
juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:
Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak
akan sesat selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab
Allah dan sunah rasulnya”. (HR Imam Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki
kedua fungsi sebagai berikut.
1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh
Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an dan Hadits)
menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama.
Misalnya Allah SWT didalam Al Qur’an menegaskan
untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana
8
ditetapkan dalam firmannya : (lihat Al-Qur’an
onlines di google)
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga
berisi larangan berdusta.
1. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-
ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya,
ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar
zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya
bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan
jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan
shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat,
tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji.
Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah
SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an
Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging
babi. Firman Allah sebagai berikut: Artinya:
“Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging
babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan,
tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh
dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa
9
ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan
belalang. Sabda Rasulullah SAW:
ا راد, وام� ج� وت� وال� ح : ال� ان� ت� �ت �مي ا ال� ام� , ف�" ان� و دم� ان� ت� �ت �ي ا م� ي" ت� ل� ل اح� اك�م( ه و ال�ح � ن� ال�ماج ال ) رواه اب�� ح د وال�ط ي� ك ال� : ف�" ان� م� د � الArtinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan
dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan
dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati
dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
1. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak
didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara
menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan
membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur
dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
لم و ه�حم د الت�رات� ) رواه م�س هن� ب�� اول� ات� ر ع م ب� � ل س س غ" �لت� ان� ي� ك ه ال� �ي ع" ف�" ا ول� م اد" دك� اء اح� هور اب�" ط�
ى( هق� �ي و داود و ال�ت] و ه�ب�
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing
adlah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali salah
satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu
Daud, dan Baihaqi)
10
Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai
berikut:
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal.
Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit
yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan
suatu hadits
2. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya
(hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak
terdapat illat dan kejanggalan pada matannya.
Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya
dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu
berat atau tidak terlalu penting
3. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu
syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau
hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya
dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain,
disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat
hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang
shohih, yaitu:
1. Rawinya bersifat adil
11
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berilat, dan
5. Hadits itu tidak janggal
C. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada
ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits,
dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih,
serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-
hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat
dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini
berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat
yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke
negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,”
bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan
pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”,
muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan Al
Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak
ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz
menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul
bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan
ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz
menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya
sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu
12
Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini
menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum
Islam setelah Al Qur’an dan hadits
.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi
bebrapa syarat berikut ini:
1. mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang
bersangkutan dengan hukum
2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya
untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits
3. mengetahui soal-soal ijma
4. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih
yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah,
selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan
yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah
SAW bersabda:
لم ( ارى و م�س " ح ر ) رواه ال�ب� ه اج�� ل اc ف�" ط م اخ�" fد ث� ه ي� م واج�� ك ا ح� و اد" ران� ه اج�� ل ات� ف�" � م اص fد ث� ه ي� اج�� م ف�" اك� ح م ال� ك ا ح� اد"Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan
perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya
benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila
seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan
13
ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia
memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan
pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan
bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa
rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini
Rasulullah SAW bersabda: دس(… � ر ال�مق ص ه� )رواه ن�" م ى� رح� ت� ام� لا ف" ت� اج�"Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan
membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan
cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kese[akatan dari
seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu
masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW.
Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan
menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah
SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah
dan rasuknya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa
: 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada
orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti
pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan
14
demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber
hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan
wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi
mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini. Qiyas (analogi)
adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada
hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya
karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau
sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras,
seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini
diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an
karena antara keduanya terdapat persamaan illat
(alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun
bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau
hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan
dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an.
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas
maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
1. Dasar (dalil)
2. Masalah yang akan diqiyaskan
3. Hukum yang terdapat pada dalil
4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah
yang diqiyaskan
15
Bentuk Ijtihad yang lain
Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu
perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret
dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas
kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau
unutk kepentingan keadilan
Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum
yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil,
sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari
hukum tersebut
Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan
yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al
Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah
menjadi adat istiadat atau kebiasaan masyarakat
setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum
agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat
dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau
dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan
dengan ajaran Al Qur’an dan hadits
Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai
dengan maksud syarak yang tidak diperoeh dari
pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari
maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan
seorang tukang mengganti atau membayar kerugian
pada pemilik barang, karena kerusakan diluar
kesepakatan yang telah ditetapkan.
16
Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh
segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya
Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi
jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk
menghilangkan mudarat.
FUNGSI HUKUM ISLAM DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
Peranan hokum Islam dalam kehidupan bermasyarakat
sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini
hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
a. Fungsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah
kepada Allah SWT. Hukum Islam adalah ajaran Allah yang
harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan
ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan
seseorang.
b. Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar
17
Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk
mengatur hidup dan kehidupan umat manusia, jelas dalam
praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat.
Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar,
jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hokum
(Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan
mukallaf). Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus,
tetapi secara bertahap. Ketika suatu hukum lahir, yang
terpenting adalah bagaimana agar hukum tersebut
dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh.
Berkaca dari episode dari pengharaman riba dan khamar,
akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah
satu sarana pengendali sosial. Hukum Islam juga
memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum tidak
dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung,
akibat buruk riba dan khamar memang hanya menimpa
pelakunya. Namun secara tidak langsung, lingkungannya
ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita
dapat memahami, fungsi kontrol yang dilakukan lewat
tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi ini dapat
disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat
dicapai tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan
kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan, baik di
dunia maupun di akhirat kelak.
c. Fungsi Zawajir
18
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan
berzina, yang disertai dengan ancaman hukum atau sanksi
hukum. Qishash, Diyat, ditetapkan untuk tindak pidana
terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana
tertentu (pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan
riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam
tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hokum
mencerminkan fungsi hokum Islam sebagai sarana pemaksa
yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk
ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi hokum
Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.
d. Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai
sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar
proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah
masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam
hal-hal tertentu, hukum Islam menetapkan aturan yang
cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam
hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni
masalah muamalah, yang pada umumnya hokum Islam dalam
masalah ini hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-
nilai dasarnya. Perinciannya diserahkan kepada para
ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang
masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang
19
teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut.
Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke
empat fungsi hokum Islam tersebut tidak dapat dipilah-
pilah begitu saja untuk bidang hokum tertentu, tetapi
satu dengan yang lain saling terkait. (Ibrahim Hosen,
1996 : 90).
KONTRIBUSI UMAT ISLAM DALAM PENEGAKAN HUKUM
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan
penegakan hokum pada akhir-akhir ini semakin tampak
jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan hokum Islam,
seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor I Tahun
1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28
tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik , Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, Instruksi Presuden Nomor I tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat, dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Haji.
A. Naskah Undang-Undang Dasar 1945
20
Sebelum dilakukan Perubahan atau Amandemen, UUD 1945
terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 Bab, 37 Pasal,
65 Ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya
terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal
yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan
Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta
Penjelasan.
Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945
memiliki 20 Bab, 37 Pasal, 194 Ayat, 3 Pasal Aturan
Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan. Dalam Risalah
Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam
Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi
Tanpa Ada Opini.
Sejarah Awal
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April
1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945.
21
Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal
28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan
gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama
Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI
membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang
untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah
Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat
"dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi
pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi
naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18
Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang
pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945
Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Nama
Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya
diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada
BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17
Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan
UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia.
Periode Berlakunya UUD 1945, 18 Agustus 1945- 27
Desember 1949
22
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat
dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang
disibukkan dengan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada
tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi
kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum
terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet
Semi-Presidensiel ("Semi-Parlementer") yang pertama,
sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem
pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.Periode
berlakunya Konstitusi RIS 1949 27 Desember 1949 - 17
Agustus 1950. Pada masa ini sistem pemerintahan
indonesia adalah parlementer. Bentuk pemerintahan dan
bentuk negaranya federasi yaitu negara yang didalamnya
terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing
negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk
mengurus urusan dalam negerinya.
Periode UUDS 1950 17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959
Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem
Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi
Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih
berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar,
masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan
partai atau golongannya. Periode kembalinya ke UUD 1945
5 Juli 1959-1966. Karena situasi politik pada Sidang
23
Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur
kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan
UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden
Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu
isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-
undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD
1945, di antaranya:
- Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR
dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara.
-MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
- Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui
Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia
Periode UUD 1945 masa orde baru 11 Maret 1966- 21 Mei
1998
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah
menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila
secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya
ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang
murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang
Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat
Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi
24
kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan
sumberalam kita.
Periode kembalinya ke UUD 1945 5 Juli 1959-1966
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante
1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai
politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada
tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan
Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan
kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar,
menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang
berlaku pada waktu itu. Pada masa ini, terdapat
berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya:
- Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR
dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri
Negara.
- MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur
hidup
- Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui
Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.
Periode UUD 1945 masa orde baru 11 Maret 1966- 21 Mei
1998
25
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah
menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila
secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya
ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang
murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang
Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat
Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi
kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan
sumberalam kita.
Periode 21 Mei 1998- 19 Oktober 1999
Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa
sejak Presiden Soeharto digantikan oleh B.J.Habibie
sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.
Periode UUD 1945 Amandemen
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah
dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945.
Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain
karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di
26
tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan
rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden,
adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat
menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD
1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum
cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah
menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara,
kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi
negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain
yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan
bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di
antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap
mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur)
kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas
sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali
perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum
dan Sidang Tahunan MPR:
- Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 →
Perubahan Pertama UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000
→ Perubahan Kedua UUD 1945
27
- Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001
→ Perubahan Ketiga UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus
2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
A. Sejarah Hukum Perkawinan
Lahirnya UUP ini bertitik pangkal dari anggapan
peraturan perundang– undangan yang mengatur masalah
perkawinan di masa lalu sudah tidak cocok lagi
dengan politik hukum dan kebutuhan masa kini. Oleh
karena itu, undang-undang
ini harus dipandang sebagai hasil proses penyempurnaan
konsepsi-konsepsi hukum dimasa lalu. Suatu perwujudan
dari berbagai keinginan dalam menciptakan suatu hukum
perkawinan yang bersifat “nasional” dan sesuai dengan
kebutuhan hukum rakyat Indonesia dimasa kini dan masa
mendatang. Kelahiran UUP bukan sekedar bermaksud
menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat dan
berlaku “nasional” dan “menyeluruh”, melainkan juga
dimaksudkan dalam rangka mempertahankan, lebih
menyempurnakan, memperbaiki atau bahkan menciptakan
konsepsi-konsepsi hukum perkawinan yang baru sesuai
dengan perkembangan dan tuntutan zaman bagi rakyat
Indonesia yang pluralistik. Dalam kaitan ini,
penjelasan umum UUP antara lain menyatakan dalam
28
undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau asas-
asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan
dengan perkembangan zaman dan tuntutan zaman. Cita
unifikasi yang telah ditinggalkan oleh pemerintah
kolonial Belanda
menjadi aktual lagi dan bersifat nasional.
Pemerintah kolonial belanda selalu mengalami
kegagalan untuk menciptakan unifikasi hukun di
Indonesia. Pada dasarnya rencana hukum tersebut
mengarah dan berlandaskan kepada hukum Barat.
Menggingat bangsa Indonesia merupakan bagian terbesar
penduduk dan telah memiliki hukumnya sendiri, sudah
tentu merasa keberatan untuk tunduk pada hukum Eropa
yang merupakan bagian kecil saja dari penduduk Hindia
Belanda pada waktu itu. hubungan hukum perkawinan
dipengaruhi secara mendalam oleh paham-paham keagamaan
dan kemasyarakatan. Tahun 1974 Indonesia telah berhasil
menciptakan suatu hukum perkawinan yang berlaku bagi
semua warga negara Indonesia dan dengan tanpa
membedakan golongan penduduk dan daerah lagi, dengan
mengatasi persoalanpersoalan yang selama ini dinilai
krusial. Saat ini hukum di Indonesia telah berhasil
menciptakan suatu unifikasi hukum perkawinan yang
bersifat nasional sebagaimana diatur dalam UUP, namun
29
masih terbatas pada hal-hal yang bersifat administratif
atau formal saja, selebihnya masih diserahkan kepada
hukumnya masing-masing. Keinginan pemerintah untuk
hukum perkawinan yang bersifat “nasional”, sudah mulai
dirintis sejak tahun 1950.
Pada masa lalu pembaharuan terhadap hukum
perkawinan selalu menemui kegagalan berhubung subjek
dan objek yang diatur hukum perkawinan berkaitan erat
dengan kehidupan social keagamaan, yang tidak mudah
untuk disatupadukan. Ini berarti pembaruan hukum
perkawinan nasional harus dilakukan penuh hati-hati,
sehingga tidak menimbulkan kekecewaan golongan penduduk
lainnya. Semenjak tahun 1950 pemerintah telah
memberikan perhatiannya pada keluarga, terutama sekali
yang berkaitan dengan Undang-Undang Perkawinan. Usaha
pembaruan hukum keluarga ini mengalami banyak kegagalan
berhubung denngan sifatnya yang sangat sensitif dan
sangat erat sangkut pautnya dengan faktor-faktor
spiritual dan kebudayaan bangsa, yang menyebabkan
dengan Surat Perintah Menteri Agama No B/2/4299
tertanggal 1 Oktober 1950 oleh pemerintah dibentuklah
Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan,
Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Panitia ini menyusun
suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dapat
menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Karena
30
keanggotaannya terdiri dari atas orang-orang yang
dianggap ahli mengenai hukum umum, hukum Islam dan
Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Tengku
Hasan.
Tahun 1952 akhir, panitia telah membuat suatu
Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang terdiri atas
peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan dan
agama dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur
hal-hal yang mengenai golongan agama masing-masing.
Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 panitia
menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umum
kepada semua organisasi pusat dan lokal dengan
permintaan supaya masingmasing memberikan pendapat atau
pandangannya tentang soal-soal tersebut paling akhir
pada tanggal 1 Februari 1953. Rancangan yang dimajukan
itu selain berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi,
juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat
dengan menetapkan antara lain :
1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua
belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan
batas-batas umur 18 bagi laki-laki dan 15 bagi
perempuan;
2. Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang
seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;
31
3. Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum
agama yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan
diatur sedemikian hingga dapat memenuhi syarat
keadilan;
4. Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama
perkawinan menjadi milik bersama;
5. Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan
Negeri, berdasarkan alasan-alasan yang tertentu,
mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan Hukum
Islam;
6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak,
mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban
orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang
tua dan perwalian.
mengenai soal undang-undang perkawinan itu.
Tanggal 24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia
Nikah, Talak dan Rujuk dengan organisasi-organisasi
kemasyarakatan, yang dalam rapatnya bulan Mei 1953
Panitia memutuskan untuk menyusun Undang-Undang
Perkawinan menurut sistem yang berlaku:
1. Undang-Undang Pokok yg berisi semua peraturan yang
berlaku bagi umum bersama-sama (uniform), dengan tidak
menyinggung agama;
2. Undang-Undang Organik, yang mengatur soal perkawinan
menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan
32
Islam, Kristen Katolik, dan golongan Kristen
Protestan;
3. Undang-Undang untuk golongan netral, yaitu yang
tidak termasuk suatu golongan agama itu.
Tahun 1954 akhirnya panitia telah berhasil membuat
Rancangan Undang-
Undang tentang Perkawinan Umat Islam yang kemudian
disampaikan oleh Menteri Agama kepada Kabinet akhir
bulan September 1957 dengan penjelasan masih akan ada
amandemen-amandemen yang menyusul. Tetapi sampai
permulaan tahun 1958 belum ada tindakan-tindakan apapun
dari pemerintah Pemerintah juga selama bertahun-tahun
tidak memberikan tanggapan sampai pada tahun 1958
beberapa anggota wanita parlemen di bawah pimpinan
Soemari, mengajukan rancangan inisiatif terpenting
diantaranya, setidak-tidaknya bagi dunia Islam
Indonesia sebuah masalah yang menggemparkan bahwa
didalam usul inisiatif itu telah ditetapkan suatu
keharusan untuk menjalankan monogami.
Pemerintah pada waktu itu sudah memberikan reaksi
dengan mengemukakan suatu rancangan yang hanya mengatur
perkawinan Islam. Justru dari pihak Islam tradisional
terdapat keraguan apakah bagi orang-orang Islam
diperlukan hukum perkawinan. Bukankah peraturan-
peraturan yang sekali telah diberikan Tuhan,
sebagaimana yang telah diwahyukan secara cermat dalam
33
syariat diperuntukkan untuk segala zaman dan negara.
Bahan-bahan baru untuk didiskusikan yakni rencana-
rencana tersebut tidak pernah dibahas selanjutnya.
Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan,
dalam bulan Oktober 1959, Rancangan Undang-Undang
Soemari tersebut ditarik kembali oleh para pengajunya,
kendati memperoleh perhatian yang besar dari sejumlah
anggota DPR, Rancangan tersebut sepertinya tidak
bepeluang untuk dibicarakan. Para anggota Partai Islam
menngadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogamy
yang dikandung dalam Rancangan tersebut. Sudah barang
tentu sebagai organisasi kaum perempuan memprotes
argumentasi yang dipergunakan untuk membenarkan
poligami. Pembentukan UUP berproses sangat panjang dan
kemudian dimusyawarahkan dengan sungguh isi Rancangan
Undang-Undang tentang Perkawinan, agar dapat menampung
aspirasi masyarakat dan memberikan formulasinya secara
teknis yuridis.
Dalam memberikan isi kepada Rancangan Undang-
Undang tentang Perkawinan tersebut diusahakan untuk
mempertemukan aspirasi hukum yang berbeda-beda itupun
tidak bisa dilakukan materi yang dipermasalahkan akan
dicabut. Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa dilihat
dari sudut fungsi hukum sebagai a tool of social engineering,
Undang-Undang tentang Perkawinan ini tidak sesuai
dengan perkiraan yang didasarkan pada kemampuan hukum
34
untuk menjalankan a tool of social engineering di bidang-bidang
yang berkaitan erat dengan kehidupan kebudayaan dan
spiritual masyarakat, namun dilihat dari proses
perkembangan masyarakat menuju masyarakat industri,
pengundang-undangan ini patut dicatat sebagai suatu
kemajuan yang besar.
Undang-Undang tentang Perkawinan ini memuat
ketentuan-ketentuan yang apabila dinilai dari sudut
tipe keluarga yang dikehendakinya, bisa digolongkan
pada keluarga yang cocok untuk masyarakat modern
industrial. Apabila ditempatkan pada latar belakang
sebagai bentuk perkawinan di Indonesia yang masih
mendasarkan diri pada ikatan dan struktur clan
(kesukuan), maka kehadirannya dapat dinilai sebagai
sarana untuk melakukan perubahan sosial. Perubahan
sosial di sini terjadi dengan cara melakukan
perombakan-perombakan pada struktur hubungan sosial.
Apabila dilihat dari segi peranannya bagi pembangunan
nasional, hukum perkawinan yang baru ini bisa dipandang
sebagai satu bangunan yang didirikan di tengah-tengah
masyarakat yang memberikan peringatan tentang berbagai
janji yang termuat dalam Undang-Undang Perkawinan
tersebut.
Ketentuan-ketentuan yang tercantum didalamnya
mungkin belum seluruhnya atau secara sempurna dapat
dijalankan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini dan
35
diingatkan pula agar berhati-hati dalam membuat hukum
yang menyangkut bidang kehidupan yang bersifat pribadi,
apalagi jika hukum itu hendak melakukan
Perombakanperombakan dibidang tersebut.. Bagi suatu
Negara dan Bangsa Indonesia adalah mutlak adanya
Undang- Undang Perkawinan Nasional dan dengan landasan
falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka
Undang-Undang Perkawinan ini harus dapat mewujudkan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 serta mengandung di dalamnya
unsur-unsur dan ketentuan hukum masing-agama agama dan
kepercayaannya itu. Sebagai suatu Undang-Undang yang
nasional sifatnya dan yg meliputi seluruh warga negara
Indonesia, merupakan suatu penggarisan lanjutan dari
TAP MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, yang antara lain
menentukan bahwa seluruh kepulauan Nusantara merupakan
satu kesatuan hukum, dalam arti bahwa hanya ada satu
hukum dalam hukum nasional yang mengabdi kepada
kepentingan nasional. Ketunggalekaan dalam Hukum
Perkawinan ini dalam beberapa hal masih memungkinkan
adanya kebinekaan. Undang-Undang tentang Perkawinan ini
merupakan sutau refleksi dari pidato kenegaraan
Presiden pada tanggal 16 Agustus 1973, tentang
menyinggung Undang-Undang yang sekarang diselesaikan
bersama dan disahkan oleh DPR yg terhormat.
36
Undang-Undang tentang Perkawinan ini memiliki
landasan bagi suatu perkawinan sebagai suatu lembaga
yang suci dan luhur oleh semua agama dan cita budaya
yang mengilhami alam fikiran, atas dasar mana dibangun
suatu keluarga yang kekal, sejahtera, dan bahagia
diwujudkan dalam asas monogami yang memandang poligami
sebagai exceptional, dan restriktif dan perceraian harus
dihindarkan, dan terdapat sesuatu untuk menaikkan
kedudukan, harkat, dan martabat wanita, sedangkan
pengaturan itu sejalan dengan tugas negara untuk
memberikan perlindungan terhadap kesucian dan
keseluruhaun tujuan perkawinan. Dengan adanya Undang-
Undang Perkawinan, walaupun belum sempurna dan
pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, tetapi telah
memberikan suatu pegangan.
Pengertian dan Ruang Lingkup Zakat
37
Sebagaimana dipahami bahwa zakat merupakan rukun
Islam yang ketiga. Kata “zakat” itu sendiri berasal dari
kata “al-zaka”, artinya: menumbuhkan dan berkembang (QS.
al-Baqarah [2]: 276),memberi keberkahan (QS. Saba’
[34]:39),dan menyucikan (QS. al-Taubah [9]:103). Dalam
Al-Qur’an terdapat 32 kata “zakat” bergandengan dengan
kata “shalat” dan sebanyak 82 kata dengan makna yang
sinonim, yaitu shadaqah dan infaq.Sedangkan zakat
menurut terminologi adalah sejumlah harta tertentu yang
diwajibkan oleh Allah Swt. untuk diberikan kepada orang
yang berhak menerima zakat (mustahiq) yang disebutkan
dalam Al-Qur’an. Selain itu, bisa juga berarti sejumlah
harta tertentu dari harta tertentu yang diberikan
kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat-
syarat tertentu.
Zakat dalam Perspektif Undang-Undang No. 38 Tahun 1999
Menurut Pasal 2 Undang-Undang ini bahwa yang menjadi
wajib zakat adalah setiap warganegara Indonesia yang
beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh
orang Muslim berkewajiban menunaikan zakat. Dalam
menjalankan kewajiban tersebut, maka pemerintah turut
langsung terlibat memberikan perlindungan, pembinaan,
dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan amil zakat.
38
Dalam menjalankan tugas tersebut Badan Amil Zakat
dan Lembaga Amil Zakat bertanggung jawab kepada
pemerintah sesuai dengan tingkatnya (Pasal 9) dan
sekaligus sebagai pengawas (Pasal 18), yaitu:
1. Badan amil zakat nasional oleh Presiden atas
usul Menteri;
2. Badan amil zakat provinsi oleh gubernur atas usul
kepala wilayah depatemen agama provinsi;
3. Badan amil zakat kabupaten/kota oleh
bupati/walikota atas usul kepala kantor
departemen agama kabupaten/kota;
Sejarah UU Pengadilan Agama
Usaha untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang
Peradilan Agama telah dimulai oleh Departemen Agama
sejak 1961, yaitu sejak dibentuknya sebuah panitia
dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 66 Tahun 1961.
Dalam masa 28 tahun sejarah pembentukan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (1961-1989),
kegiatan persiapan RUU PA telah menghabiskan waktu
selama 27 tahun (1961-1988) dan pembahasannya di DPR RI
selama satu tahun, yaitu sejak diantarkannya RUU
tersebut melalui amanat Presiden Nomor R.06/PU/XII/1988
tanggal 3 Desember 1988 untuk dibicarakan dalam sidang
DPR RI guna mendapatkan persetujuan, sampai disetujui
39
dalam sidang pleno DPR RI pada tanggal 14 Desember
1989.
Dalam kurun waktu 27 tahun mempersidangkan RUU PA
dapat dibagi kedalam tiga periode, yaitu:
1. Periode Pertama (1961-1971), dalam periode
ini kegiatan terbatas dalam lingkungan intern
Departemen Agama sendiri dan belum dilakukan
langkah-langkah keluar
2. Periode Kedua (1971-1981), dalam periode
ini sudah dilakukan usaha-usaha keluar Departemen
Agama, namun belum diperoleh sambutan dari instansi
terkait maupun yang langsung menyetujui gagasan
dipersiapkannya RUU PA
3. Periode Ketiga (1981-1988), dalam
periode ini gagasan mempersiapkan RUU PA yang telah
lama didambakan oleh Departemen Agama langsung
mendapat persetujuan dari instansi terkait yang
lain. Persetujuan tersebut dimulai oleh Mahkamah
Agung pada 1981 dan kemudian oleh Departemen
Kehakiman pada 1982, yaitu melalui Keputusan
Menteri Kehakiman tahun 1982 No. G-164-PR-
04.03/1982 yang berisi keputusan untuk membentuk
tim pembahas dan penyusun rancangan tersebut.
Tertunjuk sebagai ketua tim adalah Prof. Dr.
Bustanul Arifin (Ketua Muda Urusan Lingkungan
Peradilan Agama Mahkamah Agung saat itu).
40
Dengan keluarnya keputusan Menteri Kahakiman tahun
1982 yang berisi keputusan untuk membentuk tim pembahas
dan penyusun Rancangan Undang-Undang mengenai Peradilan
Agama, maka rancangann Undang-Undang mengenai peradilan
ini mulai ditanggapi. Dengan menunjuk Prof. Dr.
Bustanul Arifin sebagai ketua tim pembahas RUU ini.
Untuk menegakkan hukum Islam yang berlaku secara
yuridis formal dalam negara Republik Indonesia, pada
tanggal 8 Desember 1988, Presiden Republik Indonesia
menyampaikan RUU Peradilan Agama kepada DPR untuk
dibicarakan dan disetujui sebagai Undang-Undang
menggantikan semua peraturan perundang-undangan tentang
peradilan agama yang tidak sesuai lagi dengan UUD 1945
dan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman 1970.
Harapan umat muslim bahwa orde baru lebih
bersahabat daripada orde lama ternyata salah. Pada
1973, Pengadilan Islam mengalami perjuangan untuk
mendukung eksistensi kepentingan umat Islam. Juli pada
tahun itu diajukan sebuah draft hukum pernikahan yang
bersifat sekuler dan secara efektif menghapus sistem
Peradilan Islam. Departemen Agama maupun organisasi
Islam tidak diikutsertakan pada pembuatan draftnya.
Langkah tersebut merupakan dorongan dari para penasehat
presiden yang dipimpin oleh Mr. Ali Mustopo dan grup
katolik yang didominasi tim peneliti, Pusat Studi
41
Strategi dan pihak dunia internasional. Kelompok ini
tidak hanya fokus pada Peradilan Islam, tetapi juga
menemukan bahwa isu undang-undang pernikahan memberikan
kesempatan untuk menyerang politik islam.
Draft ini memberikan satu paket peraturan
pernikahan dan perceraian yang dapat diterapkan di
Indonesia pada semua agama apapun. Hal ini mensyaratkan
adanya registrasi pada penikahan dan persetujuan
pengadilan untuk cerai dan poligami. Baik perceraian
ataupun pernikahan poligami, akan menjadi subjek untuk
dibatasi secara katat. Penyelenggaraan hukum
dipercayakan kepada Pengadilan Sipil, yang telah
mengurangi yurisdiksi pengadilan-pengadilan di pulau
terluar sebatas masalah warisan dan membiarkan
Pengadilan Islam di Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan
untuk tidak menpunyai tugas.
Usulan ini dihadapi dengan kemarahan kaum muslim
oposisi baik dari dalam maupun luar legislatif. Pada
sautu waktu ribuan pemuda muslim turun ke lantai dewan
legislatif dan miter digunakan untuk mengamankan.
Konflik mulai reda ketika pimpinan militer mengusulkan
diskusi di luar proses formal legislatif dengan kaum
muslim. Partai-partai saat itu menyetujui adanya revisi
rancangan undang-undang dimana kaum muslim menerima
permintaan batasan hukum pada perceraian yang semena-
mena dan poligami, dengan perjanjian bahwa substansi
42
hukum pernikahan tidak akan diubah dan peran Pengadilan
Islam tidak dikurangi. Akhirnya sebuah undang-undang
disetujui oleh badan leagislativee pada tahun 1973 dan
ditandatangani presiden sebagai UU tentang pernikahan
tahun 1974.
Sebelum ditetapkan sebagai Undang-Undang, sebuah
peraturan harus melalui adanya proses penyusunan naskah
akademik peraturan, yaitu konsep awal yang
menggambarkan tentang garis besar perundang-undangan
yang akan dibuat. Naskah akademik tersebut juga
dimaksudkan untuk menguraikan secara mendalam berbagai
aspek yang berkaitan dengan sebuah rancangan peraturan
sehingga dapat mudah difahami pokok-pokok fikiran yang
menjadi bahan dan dasar sebuah rancangan peraturan.
Keberadaan naskah akademik inilah yang menjadikan
adanya acces acountabelities dan responsibelities (keterbukaan
dan tanggung jawab) yang melembaga termasuk kontrol
sosial dari masyarakat, baik melalui lembaga swadaya,
individu, kelompok, pers, masyarakat hukum, dan
komponen masyarakat lainnya. Hal ini mengandung makna
bahwa proses berdemokrasi juga diberlakukan terutama
dalam proses legislasi, dan inilah makna demokratisasi
hukum atas lahirnya RUU Pengadilan Agama menjadi UU
Pengadilan Agama di Indonesia sekaligus lahirnya UU
tentang pernikahan tahun 1974.
43
Penyusunan RUU tersebut banyak mendapat tantangan
dari berbagai pihak untuk menggagalkannya. Setidaknya
dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
Kelompok pertama, mengatakan bahwa dalam rangka
menuju unifikasi hukum di Indonesia, Peradilan Agama
tidak diperlukan lagi karena akan ada dualisme dalam
sistem peradilan di Indonesia. Kalaupun ada Peradilan
Agama, maka harus berinduk kepada Peradilan Umum.
Kelompok ini ingin mempertahankan status quo, dimana
Peradilan Agama tidak mempunyai kebebasan untuk
mengimplementasikan kompetensinya, bahkan ingin agar
Peradilan Agama sebagai subordinat dari Peradilan Umum.
Kelompok kedua, adanya yang menginginkan agar
Peradilan Agama dibubarkan dengan dalih umat Islam
mengurus sendiri hukum Islam yang dianut. Orang-orang
ini menolak karena berpendapat bahwa agama itu
dipisahkan dari campur tangan negara (sekuler),
termasuk intervensi negara dalam soal mengurus
Peradilan Agama. Partai Demokrasi Indonsia (PDI),
kelompok non muslim dan kelompok sekuler bahkan
sebagian pemimpin-pemimpin Islam juga keberatan dengan
RUU PA ini. Bahkan partai berkuasa Golkar terpecah
44
menjadi dua kelompok, kelompok yang setuju dan kelompok
yang menentang.
Kelompok ketiga, menganggap adanya RUU PA menjadi
bentuk diskriminasi tersendiri terhadap terhadap
kelompok lainnya sehingga eksistensi Peradilan Agama
harus dibibarkan. Oleh karena itu, muncullah tuduhan
bahwa RUU PA merupakan strategi untuk memberlakukan
kembali Piagam Jakarta.
Dari ketiga kelompok di atas, pada prinsipnya sama
yakni keberatan terhadap Peradilan Agama. Kelompok
pertama melihat dari segi politik hukum yang berkembang
sejak masa penjajahan dengan memberlakukan Peradilan
Agama hidup tanpa eksistensi yang jelas. Tanggapan
kelompok ketiga mengaitkan dengan rencanan menghidupkan
kembali Piagam Jakarta yang pernah direvisi terutama
menyangkut kalimat: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama menjadi
“Ketuhanan yang maha esa”. Kelompok ini terlalu berlebihan
karena mereka khawatir terhadap rencana pembentukan
Negara Islam.
UU Peradilan Agama Tahun 1989
UU ini terdiri dari 108 bagian terbagi menjadi 7
bab. Segala uraian dilengkapi penjelasan perbagian. Bab
pertama tentang “ketentuan umum” dan terdiri bagian
pada definisi, status, lokasi, dan organisaasi serta
pengadilan Islam. Ini mengartikan peradilan agama
45
sebagai pengadilan bagi penganut Islam. Pengadilan ini
terdiri dari pengadilan agama, ditandai pada bab
selanjutnya, sebagai pengadilan dari contoh pertama,
dan pengadilan tinggi agama yang menjalankan fungsi
pengadilan banding yang ada di 18 dari 27 provinsi yang
ada masa itu.
Bab kedua dari UU tersebut mengatur struktur dan
komposisi dari pengadilan. Di antara ketentuan ini, ada
peraturan yang mengatur perjanjian kualifikasi hakim.
Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan hakim berada di
tangan presiden sebagai kepala negara berdasarkan
rekomendasi Menteri Agama dan peresetujuan MA.
Kekuasaan memberikan wewenang pada MA atas seleksi
hakim, sebagaimana yang telah dijalankan beberapa tahun
sebelum UU diajukan, memformalkan campurtangan MA dalam
manajemen pengadilan Islam berlawanan dengan tradisi
eksklusif kontro Departemen Agama. Bab ketiga
menetapkan kekuatan Pengadilan Islam. Ayat 49
menyatakan bahwa “Pengadilan Agama memiliki
tanggungjawab dan wewenang untuk menilai, memutuskan
dan menyelesaikan permasalahan pertama kali antara umat
muslim di daerahnya, terdiri dari: a) pernikahan, b)
warisan, wasiat, dan hibah yang dijalankan menurut
hukum Islam, c) yayasan amal.
Bab keempat mengatur prosedur yang dijalankan pada
pengadilan Islam. Bagian pertama pada bab ini mencakup
46
ketentuan umum, diawali dengan peraturan umum, bahwa
tatacara hukum yang diikuti pengadilan Islam yang
tercakup dalam kode prosedur sipil dan dapat diterapkan
pada pengadilan sipil, kecuali seperti yang secara
spesifik tercantum di UU. Bagian pertama ini juga
mencakup ketentuan mengenai media penerapan kekuatan
hokum secara umum seperti ketentuan unik pengadilan
Islam.
Analisis Atas Lahirnya UU Pengadilan Agama
Untuk menjelaskan politik hukum pemerintahan Orde
Baru terhadap lembaga Peradilan Agama, maka perlu
dipahami mulai dari sejarah hukum terutama yang
berkaitan dengan lembaga itu, ide lahirnya, persiapan,
penyusunan samapai pada bentuk final produk hukum itu.
Usaha ini menjadi penting untuk melihat secara pasti
refleksi politik pada masa rezim Soeharto.
Dalam perspektif produk hukum, ada dua proses
politik dalam suatu masyarakat, untuk pembangunana
hukum, yaitu: Pertama, produk hukum yang dihasilkan
melalui kerangka strategi pembangunan hukum yang dapat
disebut ortodok, dimana karakter ini bersifat kaku dan
kurang terbuka bagi perubahan, dengan demikian hukum
menjadi tanggap terhadap tuntunan kebutuhan masyarakat.
Kedua, produk hukum yang dihasilkan juga bersifat
47
opresif karena secara sepihak hukum menentukan persepsi
sosial para pengambil kebijakan.
Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku
terhadap penegakan hukumnya dan karakteristik produki-
produk serta proses pembuatannya. Keadaan politik
tertentu dapat mempengaruhi sproduk hukum, untuk kasus
Indonesia, kita dapat mencatat banyak contoh. Kasus
lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dapat diambil sebagai contoh. Kedua
Undang-Undang tersebut sama-sama lahir pada era Orde
Baru, tetapi hubungan politik anatara pemerintah dan
umat Islam atau hubungan antara negara dan agama yang
melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang
berbeda.
Undang-Undang Perkawinan lahir dalam keadaan
politik konflik dan saling curiga, sedangkan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 lahir ketika hubungan
pemerintah dan umat Islam sedang melakukan akomodasi.
Dari kedua Undang-Undang yang lahir pada periode
hubungan yang berbeda itu kita dapat melihat betapa
keadaan politik tertentu telah menetukan pilihan atas
materi produk hukum. RUU tentang perkawinan yang
diajukan pada periode konflik politik ternyata
menyambut protes dan demonstrasi karena materinya
memuat banyak hal yang bertentangan dengan ajaran
48
Islam. Pada saat itu pemerintah yang tidak mesra dengan
Islam mengajukan RUU yang dipandang dari sudut akidah
Islam harus ditolak, sementara umat Islam sendiri yang
sedang “agak” oposan dengan pemerintah mencurigai RUU
tersebut sebagai upaya mengucilkan Islam.
Maka, jelas bahwa politik saling curiga dan konflik
itu melahirkan rancangan produk hukum yang juga
menggambarkan kesalingcurigaan. Akan terlihat
sebaliknya pada kasus RUU tentang Peradilan Agama (yang
kemudiann menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989)
yang lahir pada saat hubungan antara pemerintah dan
umat Islam secara politis saling akomodasi ini ternyata
dapat dukungan luas dari umat Islam karena hal itu
seakan-akan menjadi kado mewah bagi umat Islam. Pada
saat musim akomodasi Undang-Undang pemerintah tidak
ragu untuk mengajukan RUU yang sangat didambakan oleh
umat Islam. Itulah bukti, untuk kasus Indonesia, betapa
keadaan politik tertentu memberi jalan bagi munculnya
pembuatan hukum yang tertentu pula.
Dalam masalah produk hukum terutama mengenai
Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok Kehakiman
(Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970) mengakui secara
tegas Peradilan Agama sebagai kekuasaan kehakiman. Oleh
sebab itu secara formal dilihat dari aspek yuridis,
konfigurasi politik Orde Baru dapat disebut berada
dalam demokratis dan produk hukumnya yang responsif.
49
Dari perspektif pembentukan hukum, Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 dapat disebut responsif karena
aspirasi seluruh masyarakat tertampung dan cenderung
akomodatif terhadap kebuthan dalam bidang peradilan.
Sedangkan dari segi implementasi perundangannya,
bersifat fakultatif dan legitimatif. Regulatif karena
ia lebih banyak mengatur etika peradilan, prosedural
dan praktis operasional.
Politik akomodasi legislatif yang dilakukan
pemerintah, yaitu untuk mencari simpati dan dukungan
dari umat Islam, karena pada masa itu bersamaan dengan
munculnya “Revolusi Islam Iran” (tahun 1979) yang
merupakan simbol kebangkitan Islam dunia yang dapat
mempengaruhi politik Soeharto. UU ini mengatur tiga
skema berbeda untuk tiga macam perceraian, talak cerai,
gugat cerai, dan perceraian karena perzinaan. Prosedur
talak cerai yang secara umum mengikuti urutan berkenaan
porsi pada peraturan pelaknsanaan yang dikeluarkan pada
1975 untuk menerapkan UU penikahan, membiarkan suami
menyajikan penyangkalan atau talak “saya ceraikan kamu” di
pengadilan, di bawah pengawasan pengadilan.
Menurut ajaran Islam, seorang suami memiliki
kekuasaan penuh untuk menalak istrinya kapanpun dengan
alasan apapun. Di bawah UU, mengikuti UU 1975, seorang
suami yang ingin menalak istrinya harus menbuat
permohonan meminta pengadilan memanggil saksi untuk
50
pengucapan talaknya. Dalam suatu perubahan yang
sederhana yang dibuat untuk lebih melindungi istri,
suami harus mengisi permohonan pada pengadilan di
kabupaten dimana istrinya tinggal, dari tempat tinggal
dia sendiri, seperti diijinkan pada peraturan 1975.
Permohonan suami harus menyajikan nama, umur,
tempat tinggal kedua pihak, dan juga alasan utama
talak. UU tidak menentukan apa alasan yang dapat
dierima sebagai alasan yang cukup. Pengadilan harus
menilai permohonan dalam sesi tertutup dalam 3 hari
setelah terdaftar pada petugas. Dalam menjaga kebijakan
dalam rangka mencoba mengurangi frekuensi perceraian,
pengadilan ditugaskan mencoba mendamaikan pasangan pada
saat pendengaran pertama. Apabila pasangan tidak bias
didmaikan dan adaa alas an yang memadai maka pengadilan
memutuskan bahwa permohonan dikabulkan.
Undang-Undang ini mengijinkan istri mengajuksn
banding terhadap putusan pengadilan yang menyatakan
bahwa dasar perceraian memang ada. Hanya setelah
keputusan final melalui semua proses banding atau jatuh
tempo waktu pengisian banding pengadilan menjadwalkan
pendengaran tujuan penyaksian talak suami. Tatacara ini
di tetapkan dengan surat edaran MA yang
dikeluarkan1985.
Pengaruh pembaharu Islam pada persiapan pembuatan UU
mengindikasikan pergantian yang lebih general pada
51
posisi Islam pembaharu vis-à-vis Negara Indonesia.
Sebaliknya, pada tahun 1970 para pejabat eselon atas
kementerian agama di dominasi para pembaharu, yang
paling terkenal adalah H. Munawir Sjadzali, Menteri
Agama 2 periode, yang mengawal UU ini melalui dewan
legislatif yang secara resmi mengajukan proposal pada
1980 dengan mengundang banyak kontroversi. Dulu, hakim
pengadilan tradisional dilatih di pesantren, namun
sekarang pengadilan diisi para lulusan institusi islam
negeri yang dinyatakan berorientasi pembaharuan
BAB 3 Kesimpulan
Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan
sunah. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga
merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk
sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an
dan sunah Rasulullah SAW.
Sumber-sumber hukum islam:
a. Al Qur’an merupakan sumber hukum utama umat islam.
b. Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al
Qur’an.
c. Ijtihad merupakan sumber hukum setelah Al Qur’an dan
Hadits.
Peranan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat
sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini
52
hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja
Fungsi hukum islam:
a. Fungsi ibadah utama hukum Islam adalah untuk
beribadah kepada Allah SWT.
b. Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah hukum islam
sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan
kehidupan umat manusia.
c. Fungsi Zawajir, fungsi ini terlihat dalam
pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan
ancaman hukum atau sanksi hukum.
d. Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah adalah sebagai
sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar
proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah
masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera.
Sejarah UU Pengadilan Agama usaha untuk mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai
oleh Departemen Agama sejak 1961.
Dalam menjalankan tugas pengelolaan zakat adalah Badan
Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat bertanggung jawab
kepada pemerintah sesuai dengan tingkatnya.
Sejarah Hukum Perkawinan Lahirnya UUP ini bertitik
pangkal dari anggapan peraturan perundang– undangan
yang mengatur masalah perkawinan di masa lalu sudah
tidak cocok lagi dengan politik hukum dan kebutuhan
masa kini.
53
DAFTAR PUSTAKA
http://syahruddinalga.blogspot.com/2011/10/fungsi-
hukumislam-dalam kehidupan.html
http://undang-undang-indonesia.com/forum/index.php?
topic=14.0
http://repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789/25440/4/Chapter%20II.pdf
http://mukhtar-nur.blogspot.com/2011/05/hukum-zakat-di-
indonesia-antara-peluang.html
http://khamdan-widyaiswara.blogspot.com/2012/01/undang-
undang-pengadilan-agamadalam.html#!/2012/01/
undang-undang-pengadilan-agama-dalam.html
54