Upload
icas
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Tuhan dalam Perspektif Spinoza, Leibniz, dan
BerkeleyOleh: Wa Ode Zainab ZT
I. PendahuluanPembahasan mengenai Tuhan merupakan subject-matter
yang sangat kontroversial dan tak akan pernah redup
oleh zaman. Tema ketuhanan bukan saja dibahas oleh
filsafat, akan tetapi menjadi objek kajian dalam
berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti antropologi,
sosiologi, psikologi, dll. Pertanyaan yang sering
muncul dalam pembicaraan mengenai Tuhan adalah apakah
Tuhan itu merupakan Realitas yang absolute dan
independen? Filsafat mendasarkan pembuktian eksistensi
Tuhan dengan menggunakan akal. Dalam percaturan
filsafat barat, gejala ini diawali dengan periode
rennaisans di mana akal menjadi dewa yang dipuja
manusia.
Sejarah persepsi umat manusia mengenai Tuhan sejak
era Ibrahim ---bahkan ketika manusia tercipta, mereka
sudah memiliki persepsi tersendiri mengenai Supreme
Reality--- hingga kini. Gagasan manusia tentang Tuhan
memiliki lika-liku sejarah yang tidak akan berakhir.
Semua itu dikarenakan setiap manusia memiliki gagasan
2
yang berbeda mengenai Tuhan yang dipengaruhi oleh
pemahaman, periode waktu, kebudayaan dan komunitas.
Rasa ingin tahu manusia terhadap The Supreme Reality
merupakan fitrah manusia di mana cenderung kepada
sesuatu yang lebih agung darinya. Sekalipun penganut
atheis yang tidak meyakini Tuhan akan tetapi paham yang
dianut oleh mereka telah menjadi Tuhan yang bersemayam
dalam dirinya. Kaum atheis juga masih membahas tentang
Tuhan, meskipun fokus mereka berkutat pada pembuktian
bahwa Tuhan itu tidak ada.
Bagi penganut theisme yakni yang meyakini
eksistensi The Supreme Reality, Tuhan merupakan suatu
realitas yang bersifat transenden dan sesuatu tujuan
yang bersifat imanen. Tuhan adalah zat yang menciptakan
alam dunia, akan tetapi tak terbatas dalam dunia ini.
Kepercayaan ini bersifat realis. Oleh karena itu, Tuhan
merupakan Zat yang ada tersendiri dan tidak bersandar
kepada pengetahuan kita terhadapnya.
Atas dasar argumentasi di atas, saya memutuskan
untuk mengambil tema ”Tuhan” dalam perspektik Spinoza,
Leibniz, dan Berkeley. Hal tersebut diharapkan bisa
menambah cakrawala pengetahuan saya mengenai Tuhan
dalam pandangan ketiga filosof tersebut. Terlebih lagi,
argumentasi yang diajukan oleh mereka untuk menyokong
eksistensi Tuhan sangat menarik untuk ditelusuri agar
konsepsi kita mengenai Tuhan menjadi lebih rasional.
3
Selain itu, sebagai makhluk yang dianugerahi akal agar
diharapkan lebih kritis lagi dalam memandang sebuah
bangunan argumentasi. Meskipun, dalam hal ini saya
masih penuh dengan keterbatasan ilmu mengenai subject
ini.
Pada makalah ini, saya akan memulai dengan
pendahuluan. Pada isi makalah ini, saya akan membahas
mengenai Tuhan dalam tesis saya. Selanjutnya, saya
mencoba untuk memaparkan konsepsi Tuhan menurut
Spinoza, Leibniz, dan Berkeley. Kemudian dilanjutkan
dengan analisis pemikiran ketiga tokoh tersebut. Bab
terakhir merupakan penutup yang berisi kesimpulan
terhadap pembahasan dalam makalah ini.
II. Isi
II.1. Eksistensi TuhanMenurut saya Tuhan merupakan The Supreme Reality yang
dapat dibuktikan eksistensi-Nya. Tuhan yang dimaksud
adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang hidup dan riil.
Penting sekali bagi kita untuk menegaskan sikap
objektif karena pada zaman modern ini banyak orang yang
beranggapan bahwa jika seseorang mengatakan bahwa ia
percaya kepada Tuhan, ia hanya mengeluarkan perkataan
yang tidak ada artinya. Tuhan adalah zat yang memberi
arti kepada alam akan tetapi dapat tetap kita ketahui.
Dalam pembuktian terhadap Tuhan yang didapatkan
4
dari alambiasanya orang memusatkan perhatiannya
terhadap alam sebagai bukti. Akan tetapi, bukti
tersebut bukan merupakan bukti yang kokoh. Bukti yang
kuat setidaknya bias disandarkan pada bukti ontologi,
kosmologi, dan teleologi.
Pada bukti ontologi mencakup hal-hal sebagai
berikut yakni, kita terlebih dahulu memiliki ide
mengenai Tuhan. Tuhan merupakan suatu zat yang kita
tidak dapat gambarkan zat yang lebih besar daripadanya.
Kemudian, suatu zat yang ada dan memiliki wujud
tersendiri yakni, tidak hanya ada dalam pikiran
manusia, adalah lebih besar dari zat yang hanya ada
dalam pikiran manusia. Oleh karena itu, Tuhan itu ada
dengan wujud hakiki yang tersendiri. Ide tentang Tuhan
yang tak terbatas (infinite) dan sempurna tidak dapat
ditimbulkan oleh benda yang terbatas (finite). Oleh
sebab itu, ide tersebut tentu telah ditimbulkan oleh
Tuhan sendiri. Dalam hal ini, muncul sifat yang hanya
mutlak pada Tuhan yakni, sifat bahwa Tuhan itu ada dan
mengandung sebab adanya dalam dirinya sendiri.
Mengenai bukti kosmologis yang merupakan
pembuktian yang paling mendapat perhatian dari para
filosof. Hal tersebut karena berhubungan dengan ide
tentang sebab-akibat (causality). Plato mengetakan bahwa
tiap-tiap benta yang terjadi harus ada yang menjadikan.
Dalam dunia, tiap-tiap kejadian harus ada yang
5
menjadikan. Dalam benda-benda yang terbatas (finite)
rangkaian sebab adalah terus menerus, akan tetapi dalam
logika rangkaian yang terus menerus itu mustahil. Jadi,
setelah sebab-sebab yang merupakan rangkaian tentu ada
sebab yang pertama yang tidak disebabkan oleh yang lain
dan sebab pertama inilah yang merupakn Tuhan. Argumen
kosmologi tersebut kuat akan tetapi, pada era modern
ini kesulitan yang dihadapi adalah kita tidak yakin
bahwa sebab yang pertama sebagai hasil daripada bukti
ini merupakan Zat yang kita maksud (Tuhan)? Walaupun
begitu bukti kosmologi merupakan bukti yang penting.
Bukti teleologi merupakan pembuktian yang popular.
Diawali dengan adanya keseragaman dalam alam dan
diakhiri dengan perlu adanya sumber daripada
keseragaman itu. Keseragaman merupakan bukti tentang
rencana, dan sumber rencana itu adalah Tuhan.
II.1. Pemikiran Spinoza, Leibniz, dan Berkeley
tentang Tuhan
II.1.1. Spinoza (1632-1677)
Baruch Spinoza mengucilkan diri dari agama Yahudi
dan mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Dia
dipandang sebagai penyokong utama ajaran pantheisme.
6
yang seluruh teori filsafatnya didominasi oleh ide
tentang Tuhan. Hal tersebut terlihat dari karya
monumentalnya Ethics yang berbicara mengenai tiga masalah
dawali dengan pembahasan metafisika. Hanya ada satu zat
dalam sistem metafisika Spinoza, yakni “Tuhan atau
alam”. Hal itu berdasarkan pada teorinya ---yang akan
di bahas nanti--- bahwa ‘sesuatu yang terbatas tidak
ada yang hidup mandiri’.
Berkaitan dengan teori di atas maka, Spinoza
menolak konsep yang menyatakan bahwa pikiran dan materi
adalah dua zat yang independen dan didefinisikan
berturut-turut oleh sifat-sifat pemikiran dan
pengembangan. Berdasarkan teori yang dikemukakan di
awal, Spinoza membantah konsep yang seolah-olah ingin
menunjukkan bahwa sesuatu yang terbatas dapat hidup
mandiri. Menurutnya, ‘pemikiran dan pengembangan adalah
sifat-sifat Tuhan’. Tuhan juga memiliki sifat-sifat
lainnya yang tak terbatas karena Dia tidak terbatas
dalam setiap aspek-Nya. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa hanya Tuhan sebagai zat tak terbatas yang dapat
hidup mandiri dan independent tanpa tergantung dengan
apa pun. Dengan kata lain, Tuhan di mata Spinoza adalah
substansi yang nir-batas secara mutlak dan sebab bagi
dirinya sendiri (causa sui).
Spinoza menambahkan bahwa jiwa individu dan
potongan-potongan materi yang terpisah merupakan kata
7
sifat. Bahkan menurutnya semua itu bukanlah ‘sesuatu’,
tetapi hanya sekadar aspek-aspek dari Yang Maha Suci.
Hal tersebut semakin memperkuat teori yang telah
disebutkan di atas sekaligus membantah konsep
‘keabadian pribadi’ yang dipercaya oleh umat Kristiani.
Akan tetapi, Spinoza tidak menafikkan adanya keabadian
impersonal yang diperoleh dari penyatuan dengan Tuhan.
Selain argumen yang telah disebutkan di atas,
dalam karyanya yakni, “Ethics” Spinoza mengemukakan dua
teori lain untuk membuktikan bahwa Tuhan merupakan
substansi yang tak terbatas. Menurutnya, “Ketiadaan
kekuatan untuk eksis merupakan dalil kelemahannya dan
sebaliknya kekuatan untuk eksis, merupakan dalil
terhadap adanya kekuatan, sebagaimana yang terlihat
jelas. Dengan demikian, apabila yang eksis secara
niscaya sekarang ini hanya benda-benda terbatas, maka
keniscayaannya adalah bahwa benda-benda terbatas lebih
kuat dari eksistensi yang secara mutlak tak terbatas.
Dan ini jelas tidak rasional. oleh karena itu, kita
harus mengambil salah satu dari dua pilihan yaitu
“sesuatu tidak eksis (tidak ada)” atau “eksistensi yang
secara mutlak tak terbatas tersebut itu eksis secara
niscaya”. Tetapi kita ada dan eksis, baik dalam diri
kita sendiri ataupun dalam benda lain yang eksis secara
niscaya. Dengan demikian, “eksistensi yang secara
mutlak tak terbatas”, yaitu Tuhan, secara dharuri
8
adalah eksis, relevansinya terbukti.
Selain itu, argumentasi yang ditawarkan oleh
Spinoza adalah bahwa ‘sesuatu yang terbatas
didefinisikan oleh batas-batasnya’. Hal tersebut
berlaku pada hal fisik maupun logis, yakni oleh apa
yang bukan sesuatu: “semua determinasi adalah negasi.”
Dalam hal ini, Spinoza bersikukuh bahwa hanya Tuhan
Maha Esa yang seluruhnya afirmasi (positif), dan
niscaya Dia tidak terbatas secara absolut.
Berkenaan dengan pemaparan di awal maka, segala
sesuatu diatur oleh sebuah ketentuan logis yang
absolut. Dalam hal ini jelas Spinoza ingin menunjukkan
bahwa tidak terdapat peluang kehendak bebas di wilayah
mental atau di dunia fisik. Segala sesuatu yang terjadi
merupakan menifestasi dari sifat Tuhan.
Berkaitan dengan determinisme ini, Spinoza menepis
pemikiran yang berkembang bahwa apa yang bernilai
positif dalam rangkaian peristiwa dinyatakan sebagai
kebaikan, dan apa yang bernilai negatif dinyatakan
sebagai keburukan. Spinoza menjawab hal tersebut dengan
menyatakan bahwa negasi ---penilaian buruk--- hanya ada
dari sudut pandang makhluk. Menurutnya, di mata Tuhan,
pada suatu kenyataan yang sepenuhnya nyata (riil) tidak
ada negasi (penilaian buruk). Dengan kata lain,
kejahatan yang bagi kita tampak sebagai keburukan ---
yang dapat mengakibatkan dosa--- tidak akan ada. Hal
9
tersebut terjadi apabila suatu rangkaian peristiwa
dilihat sebagai keseluruhan yang utuh. .”
Menurut Spinoza tidak ada hal buruk yang dapat
menimpa alam semesta ini secara keseluruhan karena alam
semesta tidak tunduk pada sebab-sebab eksternal. “Kita
adalah bagian dari alam universal, dan kita mengikuti
aturannya.” Dalam aksioma umum, “semua yang baik akan
berakhir dengan baik.” Apa pun yang terjadi adalah
bagian dari dunia nirwaktu yang abadi sebagaimana Tuhan
melihatnya, sub specie aternitatis, di bawah aspek keabadian.
Spinoza percaya bahwa semua perbuatan salah
disebabkan oleh kesalahan intelektual. Menurutnya,
orang yang bijak akan memperoleh ‘kebaikan tertinggi’
karena memahami sesuatu dengan petunjuk akal. “Kebaikan
tertinggi bagi pikiran adalah pengetahuan tentang
Tuhan, dan kebenaran tertinggi bagi pikiran adalah
mengetahui Tuhan.” Tetapi, “dia yang mencintai Tuhan
tidak dapat berusaha agar Tuhan mencintainya.” Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari metafisika Spinoza.
Esensi dari sistem filsafat Spinoza, baik secara
etis maupun metafisis adalah bahwa segalanya dapat
didemonstrasikan. Oleh karena itu, dia memandang
pentingnya membuat demonstrasi-demonstrasi. Menurutnya,
kita tidak bisa meyakini bahwa interkoneksi-
interkoneksi antara satu dengan yang lain di alam
semesta ini berlangsung secara logis. Hal itu
10
dikarenakan, banyak orang yang sudah teracuni
empirisisme menganggap bahwa hukum-hukum ilmiah harus
ditemukan dengan pengamatan, bukan dengan penalaran
semata.
Padahal, bagi Spinoza, penalaran merupakan hal
yang penting dalam menemukan hukum-hukum ilmiah. Dalam
hal ini, Spinoza mengemukakan dalil yang kontroversial
berkaitan dengan sifat dan asal-mula pikiran.
Menurutnya, “pikiran manusia cukup bisa mengetahui
esensi Tuhan yang abadi dan tak terbatas.” Selain itu,
metode geometris juga penting karena berkaitan erat
dengan bagian-bagian terpenting. Tentunya kerena
berkaitan erat dengan bagian-bagian terpenting dalam
pemikirannya.
Metafisika Spinoza merupakan contoh terbaik atas
apa yang disebut “monisme logis” bahwa dunia secara
keseluruhan adalah sebuah zat tunggal, sehingga
logikanya tidak ada bagian-bagiannya yang bisa eksis
sendiri. Landasan dari pandangan ini adalah kepercayaan
bahwa setiap dalil memiliki sebuah subjek tunggal dan
sebuah predikat tunggal. Hal tersebut menggiring kita
pada kesimpulan bahwa hubungan-hubungan dan pluralitas-
pluralitas pastilah sekadar ilusi. Spinoza beranggapan
bahwa sifat dunia dan kehidupan manusia dapat
disimpulkan secara logis dari aksioma-aksioma yang
terbukti dengan sendirinya.
11
Menurut Spinoza, pikiran mustahil tanpa konsep
substansi. Dia mencoba mendefinisikan substansi dan
memahami substansi sebagai suatu kenyataan yang mandiri
tapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain.
Substansi tidak berelasi dengan sesuatu yang lain (causa
sui: penyebab dirinya sendiri).Spinoza mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan apa itu substansi? Apa
perbedaannya dengan yang lain? Bagaimana antar
substansi yang satu berinteraksi dengan yang lain?
Bagaimana substansi itu muncul? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut sangat menggelitik ruang pemikian Spinoza
sehingga dia berupaya untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Dia menggunakan deduksi matematis yang
diawali dengan definisi-definisi, aksioma-aksioma,
proposi-proposisi, kemudian membuat pembuktian
berdasarkan hal itu.
Dipengaruhi oleh geometri, Spinoza memulai dengan
meletakkan definisi-definisi. Di bawah ini terdapat
beberapa contoh definisi-definisi yang digunakannya
dalam membuat kesimpulan-kesimpulan metafisis.
Beberapa Definisi
1.Sesuatu yang sebabnya pada dirinya sendiri, saya maksud
esensina
mengandung eksistesi, atau sesuatu yang hanya
12
dipahami sebagai ada.
2.Sesuatu dikatakan terbatas bila ia dapat dibatasi
oleh sesuatu yang lain, misalnya tubuh kita
terbatas.
3.Substansi ialah sesuatu yang ada dalam dirinya,
dipahami melalui dirinya, konsep dapat dibentuk
tentangnya bebas dari yang lain.
4.Yang saya maksud dengan atribut (sifat) ialah apa yang
dapat dipahami sebagai melekat pada esensi
substansi.
5.Yang saya maksud dengan mode ialah perubahan-
perubahan pada substansi.
6.Tuhan yang saya maksud ialah sesuatu yang tak
terbatas secara absolute (mutlak).
7.Sesuatu saya sebut bebas ialah sesuatu yang ada
sendirian, bukan disebabkan oleh yang lain, dan
tindakannya ditentukan olehnya sendiri.
8.Yang saya maksud dengan kekekalan ialah sifat pada
eksistensi tadi.
Poin pertama menyatakan bahwa sebabnya pada dirinya
sendiri sama dengan konsep penggerak pertama pada
Aristoteles. Alam semesta menurut Spinoza sebagai
‘penggerak’ sementara itu, Tuhan berkenaan dengan
‘memikirkan dirinya sendiri’. Dasar permulaan seluruh
sistemnya Spinoza adalah substansi. Selain itu,
13
Spinoza juga berpendapat bahwa apa saja yang benar-
benar ada, maka adanya itu haruslah abadi.
Definisi selalu diikuti oleh aksioma. Aksioma
ialah suatu kebenaran yang tidak memerlukan pembelaan.
Di bawah ini adalah aksioma-aksioma yang digunakan
oleh Spinoza dalam merumuskan metafisikanya.
Aksioma-Aksioma
1. Segala sesuatu yang ada, ada dalam dirinya atau ada
dalam sesuatu yang lain.
2. Sesuatu yang tidak dapat dipahami melalui sesuatu
yang lain harus dipahami melalui dirinya sendiri.
3. Dari suatu sebab, tentu diikuti akibat; bila tidak
ada sebab, tidakmungkin ada akibat yang
mengikutinya.
4. Pengetahuan kita tentang akibat deitentukan oleh
pengetahuan kita tentang sebab.
5. Sesuatu yang tidak biasa dikenal umum tidak akan
dapat dipahami; konsep tentang sesuatu tidak
melibatkan konsep tentang yang lain.
6. Idea yang benar harus sesuai dengan objeknya.
7. Bila sesuatu dapat dipahami sebagai tidak ada, maka
esensinya tidak ada.
Berdasarkan definisi dan aksioma itu Spinoza mulai
14
membuktikan proposisi-proposisinya. Di bawah ini adalah
proposisi yang disusunnya.
Proposisi
Prop. I Substansi harus mendahului
modifikasinya.
Bukti Jelas dari definisi III dan V.
Prop. II Dua substansi yang atributnya
berbeda tidak akan
mempunyai persamaan.
Bukti Juga jelas dari definisi III
karena sesuatu harus ada
dalam dirinya sendiri dan dipahami
melalui dirinya sendiri. Dengan
kata lain, konsep tentang sesuatu
tidak sama dengan konsep yang lain.
Dan seterusnya.
Dengan deduksi ini, maka substansi itu hanya satu
menurut Spinoza. Balik kembali ke pertanyaan di awal
berapa banyak substansi menurut Spinoza? Jawabnya hanya
satu. Apakah substansi itu? Spinoza menjawab substansi
adalah sesuatu yang tak terbatas. Substansi yang
dimaksud adalah Tuhan. Akan tetapi, alam semesta juga
merupakan Tuhan. Lewat proposisinya Spinoza telah
15
membuktikan bahwa Tuhan, substansi, dan penyebab adalah
identik. Menurutnya, selain Tuhan tidak ada substansi
yang dapat dipahami. Oleh karena itu, menurut Spinoza,
Allah atau alam adalah kenyataan tunggal. Spinoza
menyebutnya Deus sive Natura (Allah atau alam). Jadi, alam
semesta ini sakral dan religius. Hal ini dikenal dengan
panteisme.
II.1.2. Leibniz (1646-1716)
Gottfried Wilhelm Leibniz, atau Leibnitz, Baron
Gottfried Wilhelm von merupakan filosof, matematikawan
dan negarawan Jerman. Dia menyuguhkan beberapa argumen
filosofis tentang Tuhan. Filsafatnya yang paling
termasyhur adalah mengenai monad yang berkaitan erat
dengan konsep Tuhan. Dalam hal ini, monad adalah
substansi yang sederhana yang dapat menyusun substansi
yang lebih besar.
Dia percaya pada ketakterhinggaan jumlah materi
yang disebutnya dengan monad-monad. Setiap monad akan
memiliki beberapa sifat fisik, tetapi hanya ketika
dianggap abstrak. Leibniz menyatakan bahwa setiap monad
mencerminkan alam semesta bukan karena alam semesta
mempengaruhinya. Hal tersebut karena Tuhan telah
memberinya sebuah sifat yang secara spontan menyebabkan
pencerminan tersebut. Ada sebuah “pre-established harmony”
16
antara perubahan-perubahan dalam sebuah monad dan
perubahan-perubahan di monad lain, yang menghasilkan
kemiripan interaksi.
Berkenaan dengan hal tersebut maka, alam semesta
memiliki satu sentral. Sentral ini memiliki spirit yang
paling paripurna. Spirit atau ruh tersebut itu adalah
Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan di mata Leibniz
merupakan ruh keseluruhan untuk keseluruhan alam
semesta. Keberadaan semesta bersumber dari titik
sentral ini. Tetapi poin ini dengan sendirinya
merupakan sebab bagi dirinya.
Perbuatan-perbuatan Tuhan memiliki jenis kebebasan
yang sama. Dia selalu berbuat yang terbaik, tetapi Dia
tidak berada di bawah tentuan logis untuk melakukannya.
Leibniz meyakini bahwa Tuhan tidak dapat berbuat
sesuatu yang bertentangan dengan hukum-hukum ligika,
tetapi Dia dapat memutuskan apa pun yang mungkin secara
logis, dan ini menyediakan-Nya kebebasan yang luar
biasa untuk memilih. Leibniz telah menyempurnakan
bukti-bukti metafisis tentang eksistensi Tuhan.
Makhluk-makhluk Tuhan merupakan hasil dari sifat
penciptaan, yang bersumber dari kekayaan Tuhan Sang
Pencipta. Bahkan Leibniz tidak mengelak untuk berkata
bahwa Tuhan itu adalah substansi dan makhluk itu adalah
aksiden. Dia juga berkata: "Pengenalan kepada Tuhan
merupakan awal dari filsafat, dan realitas-realitas
17
azali itu adalah sifat Tuhan. Sifat inilah yang
membentuk tatanan hikmah yang benar. Pengenalan atau
Makrifat merupakan satu cahaya esensial kalimat Tuhan
yang perennial dan eternal. Dan merupakan sumber dari
segala hikmat dan segala cahaya dan sejatinya sumber
segala wujud dan keberadaan serta seluruh fenomena.”
Salah satu karakteristik yang paling khas dari
filsafat Leibniz adalah doktrin tentang banyak dunia
yang mungkin. Menurutnya, sebuah dunia itu “mungkin”
jika tidak bertentangan dengan aturan-aturan logika.
Ada dunia mungkin yang jumlahnya tak terhingga. Hal
tersebut telah direnungkan Tuhan sebelum Dia
menciptakan dunia nyata. Karena kebaikan-Nya, Tuhan
memutuskan untuk mencipta dunia terbaik dari seluruh
dunia yang mungkin, dan Dia menganggap dunia terbaik
itu dunia yang mempunyai ekses kebaikan terbesar atas
keburukan. Dia bisa menciptakan sebuah dunia yang tidak
mengandung keburukan, tetapi ini tidak akan menjadi
begitu baik seperti dunia nyata, karena sebagian
kebaikan yang luar biasa secara logis terikat dengan
keburukan-keburukan tertentu.
Berkenaan dengan kehendak bebas, Leibniz memandang
bahwa tidaklah mungkin bagi Tuhan untuk menganugerahkan
kehendak bebas dan pada saat yang sama menitahkan
tiadanya dosa. Menurut Leibniz, hal tersebut tidak
sesuai dengan prinsip logika (kontradiksi). Maka, Tuhan
18
memutuskan untuk membuat manusia bebas. Dunia yang
tercipta, meski tidak mengandung keburukan, mempunyai
surplus kebaikan yang lebih besar atas keburukan
daripada dunia lain yang mungkin; karenanya, dunia
tersebut merupakan yang terbaik dari seluruh dunia yang
mungkin, dan keburukan yang dimilikinya tidak membuka
argumentasi yang menentang kebaikan Tuhan.
Leibniz mengemukakan argumentasi yang berkenaan
dengan eksistensi Tuhan. Leibniz mengkategorikannya ke
dalam empat argumentasi: (1) argumentasi teologis, (2)
argumentasi kosmologis, (3) argumentasi dari kebenaran-
kebenaran abadi, (4) argumentasi dari harmoni yang
telah ditetapkan.
a. Argumentasi Teologis
Argumentasi ini didasarkan pada perbedaan antara
eksistensi dan esensi. Ada perbedaan mendasar antara
zat yang terbatas dengan Tuhan. Menurut Leibniz, suatu
zat yang terbatas, esensinya tidak mengimplikasikan
eksistensinya. Sedangkan, dalam kasus Tuhan esensi
mengimplikasikan eksistensi. Tuhan didefinisikan oleh
Leibniz sebagai Zat Yang Paling Sempurna. Dia
mengatakan bahwa esensi mengimplikasikannya eksistensi
dengan alasan bahwa Dia yang memiliki seluruh
kesempurnaan lain akan lebih baik jika Dia eksis
19
daripada jika Dia tidak eksis, berikutnya jika Dia
tidak eksis maka Dia bukanlah yang terbaik.
Pembuktian secara teologis berusaha membuktikan
Tuhan berdasarkan atas definisi yang telah dilekatkan
pada Tuhan terlebih dahulu. Pembuktian ini dinyatakan
dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini Leibniz
menunjukkan bahwa ide tentang Tuhan dibuktikkan dengan
mendefinisikan Tuhan sebagai Yang Paling Sempurna,
yaitu “subjek dari seluruh kesempurnaan didefinisikan
sebagai “kualitas sederhana yang positif dan absolute,
dan mengungkapkan apa pun yang diungkapkan kesempurnaan
tanpa batas”. Atau bias juga didefinisikan sebagai
sesuatu yang memiliki segala sifat positif. Leibniz
dengan mudah membuktikan bahwa tidak ada dua
kesempurnaan. Menurutnya, “dipahami atau bisa dipahami
adanya sebuah subjek dari keseluruhan kesempurnaan,
atau Yang Paling Sempurna. Kesimpulan bahwa Dia eksis,
juga bisa ditarik dari sejumlah kesempurnaannya.
b. Argumentasi Kosmologis
Argumentasi kosmologis merupakan pembuktian yang
sudah meniscayakan “Tuhan itu ada sebab jika tidak
siapa yang mengawali segala sesuatu”. Dengan kata
lain, Tuhan dijadikan sebagai Pencipta alam semesta
karena segala sesuatu memiliki permulaan karena Segala
20
sesuatu memiliki sebab. Argumentasi kosmologis
didasarkan pada keharusan adanya causa prima, yakni suatu
sebab yang menjadi awal dari perubahan.
Menurut Leibniz, sebuah bentuk argumentasi
Penyebab Pertama, berasal dari argumentasi Aristoteles
tentang penggerak dari yang tidak bergerak. Argumentasi
ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang terbatas
mempunyai penyebab, dan begitu seterusnya. Serangkaian
penyebab ini tidak dapat menjadi tak terbatas, dan
penyebab pertama pastilah tidak mempunyai penyebab
lagi. Hal itu dikarenakan kalau masih mempunyai berarti
bukan penyebab pertama. Oleh karena itu, ada sebuah
penyebab bagi segala sesuatu, dan ini tak dapat
dibantah lagi adalah Tuhan.
Leibniz berpendapat bahwa setiap di dunia ini
“kontingen” (mumkin al-wujud), yakni benda itu secara
logis berkemungkinan untuk tidak eksis. Tetapi segala
sesuatu harus memiliki alasan yang cukup, menurut
filsafat Leibniz alam semesta secara keseluruhan pasti
memiliki alasan cukup, yang pasti di luar alam semesta
itu sendiri. Alasan cukup ini adalah Tuhan. Dia
menunjukkan sebuah perbedaan antara proposisi wajib
(necessary propotion) dan proposisi bergantung (contingent
propotition), bahwa hanya proposisi wajiblah yang mengikuti
aturan-aturan logika, dan bahwa semua dalil yang
menegaskan eksistensi adalah bergantung, dengan satu
21
pengecualian tentang eksistensi Tuhan. Meskipun Tuhan
eksis, Dia tidak dipaksa oleh logika untuk menciptakan
dunia. Sebaliknya ini merupakan pilihan bebas yang
didorong oleh kebaikan-Nya.
c. Argumentasi dari Kebenaran-Kebenaran Abadi
Argumentasi ini berbunyi: Pernyataan seperti
“sekarang sedang turun salju” kadang benar dan kadang
salah, tetapi “satu ditambah satu sama dengan dua” akan
selalu benar. Hal tersebut berkenaan dengan esensi,
konsekuensinya pasti ada yang selalu benar dan
terkadang salah atau benar. Pernyataan –pernyataan yang
selalu benar disebut “kebenaran-kebenaran abadi”. Inti
dari argumentasi ini adalah bahwa kebenaran-kebenaran
merupakan bagian dari muatan-muatan pikiran-pikiran,
dan bahwa sebuah kebenaran abadi pasti merupakan bagian
dari muatan sebuah pikiran abadi.
Berkaitan dengan hal tersebut, Leibniz
mengutarakan argumentasinya sebagaimana argumentasi
kosmologis yakni, pasti ada sebuah penyebab bagi
seluruh dunia kontingen, dan penyebab ini tidak dapat
dengan sendirinya bergantung, tetapi pasti ditemukan di
antara kebenaran-kebenaran abadi. Namun, sebuah
penyebab bagi apa yang eksis pastilah dengan sendirinya
eksis; karenanya, kebenaran-kebenaran abadi pasti eksis
22
dan kebenaran-kebenaran tersebut hanya dapat eksis
sebagai pemikiran-pemikiran dalam pikiran Tuhan. Namun
demikian, argumentasi membuka keberatan lebih jauh
bahwa sebuah kebenaran hamper tidak bisa dikatakan
“eksis” dalam pikiran yang memahaminya.
d. Argumentasi dari Harmoni yang Telah
Ditetapkan
Argumentasi ini menyatakan bahwa berdasarkan
survey tentang dunia yang diketahui, kita menemukan
benda-benda yang tidak dapat dijelaskan secara logis
sebagai hasil dari kekuatan-kekuatan alam yang buta,
tetapi jauh lebih beralasan dianggap sebagai bukti-
bukti tentang sebuah tujuan yang menguntungkan.
Segala sesuatu di alam ini bergerak dengan harmoni
yang teratur menuju satu tujuan yang telah ditetapkan
oleh Tuhan. Hal itu dikarenakan Tuhan telah membuat
rancangan sedemikian rupa terhadap alam semesta. Jika
hal tersebut dimisalkan bukan Tuhan, maka alam semesta
mustahil bergerak harmoni. Hal itu dikarenakan, hanya
Tuhan yang mampu menetapkan harmonisasi pada alam
semesta ini agar menjadi teratur. Argumentasi ini tidak
memiliki cacat logika formal. Ada sebuah perbedaan
penting antara argumentasi ini dan argumentasi-
argumentasi lainnya, yakni bahwa Tuhan yang ditunjukkan
23
oleh argumentasi tersebut tidak perlu mempunyai semua
sifat metafisis lazimnya.
II.1.3. Berkeley (1685-1753)
Berkeley merumuskan prinsip filsafatnya yaitu
”berada berarti diamati” (tobe is tobe perceived). Artinya
segala sesuatu di alam raya ini tergantung pada
pengamatan kita. Akan tetapi, hal itu tidak berarti
bahwa sesuatu itu tak dapat wujud tanpa pengamatan
individual kita mengenai hal itu. Hal itu dikarenakan,
kematian sesuatu bukan berarti sesuatu itu hilang.
Sesuatu itu tetap ada sebab ia tetap berkelanjutan di
dalam kuasa Tuhan .
Berkeley menyatakan bahwa penyebab segala sesuatu
di alam ini tidak mungkin disebabkan oleh matter. Hal
itu dikarenakan, matter tidak bisa bergerak sendiri dan
tidak punya realitas metafisik. Ia mestilah produk dari
suatu kuasa yang tak terbatas yakni sesuatu yang
immateri, Kuasa Yang Maha Ada, yang disebut Tuhan.
Berdasarkan pandangan ini, Berkeley percaya bahwa Tuhan
menjadi sebab efisien dari seluruh gagasan kita.
Berkeley menolak adanya konsep-konsep universal.
Dia beranggapan bahwa penerimaan konsep-konsep
universal itu membuat suatu kerumitan dalam filsafat.
24
Menurutnya, keberadaan konsep-konsep yang lepas dari
segala bentuk sifat dan karakteristik adalah mustahil.
Oleh karena itu, wajar bila dia dikategorikan sebagai
filosof penganut empirisisme.
Menurut Berkeley, kita harus membedakan antara
khayal, gambaran partikular, dan konsep-konsep
universal, yakni adalah sangat jelas bahwa mustahil
mengambil gambaran segitiga selain dari segitiga sama
sisi, sama kaki, atau siku-siku. Konsep dan makna
universal segitiga bukanlah gambaran segitiga tersebut.
Dan menurutnya, yang ada itu hanyalah objek-objek
eksternal, konsep-konsep partikular, dan kata-kata umum
yang tidak menunjuk pada sifat-sifat khusus sesuatu.
Apabila kita bisa untuk tidak memandang karakteristik-
karakteristik itu, maka pasti kita bisa mencerap konsep
itu. Jadi, tak mustahil kita bisa mencerap suatu konsep
yang terlepas dari segala karakteristik dan
partikularitas.
Akan tetapi, dengan menafikan konsep-konsep
universal, tak ada alasan lagi menerima prinsip
kausalitas. Pada hakikatnya, Berkeley hanya sebatas
meragukan alam materi dan bukan menolaknya. Partikular,
perubahan, dan kehadiran baru konsep-konsep indriawi
dan imajinasi, dikarenakan kaidah kesesuaian sebab dan
akibat, maka ia juga menuntut sebab-sebab yang sesuai
dan setara dengannya, yakni kemestian keberadaan sebab-
25
sebab yang juga senantiasa berubah dan baru tercipta
seperti materi itu.
Meskipun George Berkeley menafikan dan meragukan
adanya konsep-konsep universal dan maujud-maujud
materi, namun ia menerima eksistensi jiwa manusia dan
Tuhan. Menurutnya, Tuhan adalah penyebab kehadiran
konsep-konsep indriawi, sementara jiwa manusia
dipandang sebagai penyebab konsep-konsep khayali.
Dia menanggapi bahwa Tuhan selalu melihat segala
sesuatu; jika tidak ada Tuhan, apa yang kita anggap
sebagai objek materi akan memiliki kehidupan yang serba
mendadak; mendadak hidup ketika kita memandangnya.
Berkat persepsi Tuhan, benda materi memiliki eksistensi
secara kontiniu sebagaimana dicerna oleh akal sehat.
Ini menurutnya merupakan argumentasi yang kuat mengenai
eksistensi Tuhan.
Dengan menyatakan esse est percipi, ia meyakini bahwa
objek persepsi bukanlah substansi material, melainkan
‘ide-ide” atau kumpulan sensasi yang tidak mungkin ada
tanpa dipersepsi. Ide-ide yang dipersepsi adalah
persepsi yang dalam budi Tuhan dikomunikasikan kepada
kita.
Berkeley membuktikan eksistensi Tuhan sebagai
bukti a posteriori sebuah varian dari argumen sebab-akibat.
Dia menyatakan dalam Philosophical Commentaries, bahwa
mustahil untuk membuktikkan Tuhan lewat ide-ide. Hal
26
itu dikarenakan, kita tidak memiliki ide mengenai
Tuhan.Hal itu tercermin dalam karyanya:
And this suggest at once that Berkeley’sproof of the existence of God will
be an aposteriori proof, a variant of the causal argument. When he says in the
Philosophical Commentaries, ‘Absurd to argue the existence of God from his idea.
We have no idea of God. ‘ It si impossible’. He is doubtless thinking primarily of
his technical use of word ‘idea’. For it is obvious that there can be no idea of God,
if God means a spiritual being and ‘idea’ is used for the object of sense-
perception.
Berkeley dalam membuktikan Tuhan tidak menerima
argumen ontologis. Pembuktiannya menggunakan argumen
sebab akibat yakni, berdasarkan pada eksistensi yang
benar-benar pantas sebagai sebab. Eksistensi tersebut
menurut Leibniz adalah Tuhan. Dalam Dialogues bukti
eksistensi Tuhan yang diajukan Leibniz sangat ringkas
yakni segala sesuatu yang eksis dan merupakan pikiran
yang tidak terbatas. Selain itu, dia menganggap bahwa
kecantikan alam semesta yang teratur merupakan suatu
sistem yang harmoni. Hal itu memperlihatkan bahwa alam
semesta memperlihatkan bahwa alam semesta merupakan
produk dari salah satu Zat yang tak terbatas yang Maha
Bijaksana. Zat ini merupakan ruh (spirit) yang sempurna
yaitu Tuhan. Tuhan menegakkan segala sesuatu dengan
kekuatan-Nya.
Berkeley menjawab bahwa kesalahan moral adalah
27
hasil dari pilihan manusia. Kita seharusnya tidak
membesar-besarkan posisi manusia dalam alam semesta.
Hal itu dikarenakan, manusia diatur oleh wahyu tetapi
juga oleh perasaan dan hal lainnya. Akan tetapi, ini
bukan berarti kehendak Tuhan sama seperti kerajaan
Tuhan yang sangat buruk.
...The Laws of God’s kindom should be so ill observed by His
subjects, is what can never be reconciled with thet surprassing wisdom
and goodness of the Supreme Monarch. To this Berkeley answers that
moral faults are a result of human choice, and also that we ought not to
exaggerate the position of human beings in the universe. It seems we are
led not only revelation, but by common sense, observing and inferring
from the analogy of visible things, to conclude there are innumerable
orders of intelligent beings more happy and more perfect than man.
II.2. Analisis terhadap Pemikiran Spinoza,
Leibniz, dan
Berkeley Berkaitan dengan Tuhan
Spinoza dan Leibniz sama-sama menjadikan
‘substansi dan definisi’ sebagai konsep sentral dalam
metafisika mereka. Selain itu, keduanya memiliki
persamaan karena digolongkan menjadi filosof
rasionalis. Akan tetapi, menurut Spinoza alam semesta
28
ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada
sebab. Sementara itu, substansi pada Leibniz adalah
hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan.
Selain itu, Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu
substansi, sedangkan Leibniz berpendapat bahwa
substansi itu banyak.
Rasionalisme Spinoza bergerak dari definisi kepada
aksioma dan proposisi. Ujungnya antara lain alam
semestan yaitu Tuhan. Setelah dipikir-pikir olehnya, ia
berkesimpulan bahwa Tuhan itu tidak memperhatikan
sesuatu, tidak juga manusia. Menurut Spinoza, hanya
itulah yang dapat diketahui oleh akal tentang Tuhan.
Sementara itu, Leibniz yang merupakan filosof monad-
monad memulai dengan analisis yang rumit tentang
metefisiska, dan amat spekulatif. Akhirnya, ia
berpendapat bahwa ruang dan waktu absolute harus
ditolak. Oleh karena itu, “kapan alam semesta muncul”
adalah pertanyaan yang tidak relevan.
Definisi terbaik berkaitan dengan Tuhan Leibnizian
adalah sesuatu yang mutlak sempurna. Jadi, Tuhan
Leibniz adalah Tuhan yang Maha Pemurah. Penciptaan alam
semesta oleh Tuhan menurut Leibniz merupakan
konkekuensi dari kesempurnaan Tuhan yang tidak bias
dibendung lagi. Menurutnya, dunia yang terbaik adalah
dunia yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita saat
ini. Namun, kesulitannya terletak pada kenyataan bahwa
29
Leibniz berniat untuk membuat kita menerima Tuhan yang
tidak lain adalah alam semesta sebagai Sang Ada Maha
Tinggi. Sesungguhnya, Tuhan Monadology tidak lain adalah Sang
Kebaikan Plato yang kemudian diadopsi oleh Leibniz.
Tuhan menurut Spinoza merupakan Zat yang tak
terbatas atau substansi yang merupakan “penyebab bagi
dirinya sendiri” karena esensinya juga meliputi
eksistensi. Keunggulan esensi dalam filsafat Spinoza
begitu ditonjolkan sehingga tidak sulit untuk menangkap
metafisiknya. Pertanyaannya, apakah esensi Tuhan
meliputi eksistensinya dalam diri-Nya sendiri atau
hanya dalam pikiran manusia saja? Sama seperti sebuah
lingkaran yang persegi tidak mungkin eksis karena
esensinya bersifat kontradiktoris. Tuhan pun tidak
mungkin tidak eksis karena menurut Spinoza, “eksistensi
dari substansi bersumber dari hakikatnya sendiri, sebab ia
meliputi eksistensi. Dia memiliki kekuatan eksistensi
yang tidak terbatas dari dirinya sendiri, Dia eksis dan
secara mutlak. Namun, Tuhan yang eksis dan bertindak
semata-mata karena keniscayaan alam-Nya; tidak lebih
dari suatu alam saja. Dia tidak lain adalah alam itu
sendiri Deus sive Natura.
Ada beberapa saya berkenaan dengan Panteisme yang
diusung oleh Spinoza. Sebelumnya saya akan memaparkan
sedikit mengenai hal yang sedikit dipahami mengenai
panteisme. Panteisme berarti konsepsi tentang ketuhanan
30
yang ada dalam alam dengan akibat-akibatnya yang amat
jauh, dengan tidak disertai oleh keyakinan tentang
adanya Tuhan di luar alam (Divine Trancendence). Seorang
Panteisme menyamakan Tuhan dengan dunia dan
menghilangkan perbedaan antara yang menjadikan dan yang
dijadikan. Menurut aliran pantheis, Tuhan tak berwujud
terpisah dari wujud alam. Apa saja yang kita dapatkan
dalam dunia merupakan bagian dari Tuhan.
Kelemahan yang pertama dalam Panteisme adalah
Tuhan akan mati kalau dunia rusak. Kalau tidak ada beda
antara Tuhan dan dunia, maka kehidupan Tuhan merupakan
kehidupan yang terbatas. Tuhan yang terbatas bukan
tujuan yang tertinggi. Kelemahan yang kedua adalah
bahwa Panteisme tak dapat menafsirkan adanya dosa dan
kejahatan. Kalau Tuhan dan dunia satu, hal ini berarti
bahwa Tuhan mengandung kejahatan dalam wataknya. Berati
yang bertanggung jawab atas kejahatan adalah Tuhan
bukan manusia.
Penganut aliran Panteisme ini akan menyatakan
bahwa baik dan buruk merupakan hal yang relative kepada
kemauan manusia. Oleh sebab itu hanya merupakan ilusi
jika dipakai untuk menggambarkan dunia yang objektif.
Atau mereka berpendapat bahwa apa yang kelihatannya
jahat sebetulnya adalah hal yang baik. Panteisme
mempertahankan keyakinannya dengan menentang kejahatan
di dunia ini.
31
Spinoza dan Leibniz yang mendasarkan filsafatnya
pada substansi dan menggunakan metode yang sama akan
tetapi, pada akhirnya menghasilkan konsep Tuhan yang
berbeda. Namun, Berkeley yang beraliran empirisme tidak
meyakini adanya substansi. Berkeley lebih memandang
Tuhan sebagai penyebab kehadiran konsep-konsep
inderawi. Selain itu, Berkeley juga menafikkan dan
meragukan adanya konsep-konsep universal dan maujud-
maujud materi.
Gagasan lain Berkeley adalah keraguan terhadap
eksistensi maujud-maujud materi, dan beranggapan bahwa
apa yang kita miliki dari benda-benda hanyalah gambaran
benda-benda tersebut. Apabila dikatakan, "benda
tertentu berwujud", maka yang dimaksud ialah, "saya
memiliki gambaran atas benda itu atau saya mempersepsi
benda itu". Dalam hal ini, iamengungkapkan dalil-dalil,
diantaranya bahwa iatidak membedakan antara kualitas
pertama (baca: benda eksternal) dan kedua (baca:
gambaran benda dalam pikiran), kedua kualitas ini
semuanya berpijak pada perasaan manusia, yakni setiap
persepsi tidak lain adalah sama dan sesuai dengan
persepsi lain. Menurutnya, hal ini, ialah gamblang.
Dalam pandangan Berkeley , penyebab kehadiran
konsep-konsep yang nyata itu ialah suatu maujud yang
non-materi, yakni iamenerima adanya prinsip kausalitas
dan memandang bahwa konsep-konsep itu tidak lain adalah
32
suatu akibat (ma'lul) dan penyebabnya ('illat) adalah suatu
maujud non-materi. Dengan dasar inilah, tidak
membutuhkan lagi keberadaan maujud-maujud materi
sebagai penyebab kehadiran konsep-konsep tersebut. Yang
dimaksud Berkeley dalam hal ini adalah Tuhan.
III. Penutup
Pada dasarnya ketiga filosof tersebut meyakini
eksistensi dari Tuhan. Akan tetapi, dalam hal
pembuktian yang digunakan berbeda-beda. Dalam hal ini,
Leibniz dan Spinoza memiliki sama-sama mendasarkan pada
‘substansi’. Mereka juga menggunakan metode yang sama
yakni metode rasional yang menggunakan akal. Meskipun
pada akhirnya memiliki hasil yang berbeda berkenaan
dengan Tuhan. Berbeda dengan Berkeley yang menjadikan
Tuhan sebagai Zat immateri yang mampu mempersepsi zat
immateri secara kontiniu ketika diindera.
Dari ketiga filosof tersebut diharapkan kita
menjadi lebih tertantang lagi untuk membuktikan Tuhan
ldengan menggunakan argument yang lebih kuat. Hal itu
dimaksudkan agar bertambah keyakinan kita terhadap
Tuhan. Selain itu, sebagai hujjah untuk menangkis
atheisme, positivisme, dan paham-paham lain yang tidak
meyakini eksistensi Tuhan.
33
Filsafat sebagai refleksi dan pemikiran sistematis
manusia atas realitas sekitarnya. Dalam hal ini bisa
digunakan untuk membuktikkan keberadaan Tuhan secara
rasional. Sehingga Tuhan nbukan hanya sekadar konsep
dalam pikran kita. Oleh karena itu, dalam sejarah
pemikiran manusia terdapat para intelektual dan filosof
yang menelurkan konsepsi mengenai Tuhan. Perjuangan
belum berakhir selama akal masih eksis maka, Tuhan
masih bisa dibuktikan.
DAFTAR PUSTAKA
Compleston, Frederict. A History of Philosophy Hobbes to Hume.
S.J. volume V.
Gilson, Etienne, Tuhan di Mata Para Filosof. Bandung: Mizan.
2004.
Kearney, Richard. Continental Philosophy in the 20 th century,
RoutledgeHistory of Philosophy of volume 8, London: Routledge.
2003.
Kenny, Anthony, A New History of Western Philosophy volume 3: The
Rise of Modern
Philosophy. Oxford: Oxford University Press. 2006.
34
Marias, Julian. History of Philosophy. Transleted from the
Spanish by Stanley
appelbaum and clarance G. Strowbridge. Newyork:
Dover Publications. 1966.
Russel, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan
Kondisi Sosio-Politik
dari Zaman Kuno hingga Sekarang. Yogyakarta.: Pustaka
Pelajar. 2002.