34
1 Tuhan dalam Perspektif Spinoza, Leibniz, dan Berkeley Oleh: Wa Ode Zainab ZT I. Pendahuluan Pembahasan mengenai Tuhan merupakan subject-matter yang sangat kontroversial dan tak akan pernah redup oleh zaman. Tema ketuhanan bukan saja dibahas oleh filsafat, akan tetapi menjadi objek kajian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti antropologi, sosiologi, psikologi, dll. Pertanyaan yang sering muncul dalam pembicaraan mengenai Tuhan adalah apakah Tuhan itu merupakan Realitas yang absolute dan independen? Filsafat mendasarkan pembuktian eksistensi Tuhan dengan menggunakan akal. Dalam percaturan filsafat barat, gejala ini diawali dengan periode rennaisans di mana akal menjadi dewa yang dipuja manusia. Sejarah persepsi umat manusia mengenai Tuhan sejak era Ibrahim ---bahkan ketika manusia tercipta, mereka sudah memiliki persepsi tersendiri mengenai Supreme Reality--- hingga kini. Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki lika-liku sejarah yang tidak akan berakhir. Semua itu dikarenakan setiap manusia memiliki gagasan

Tuhan dalam Perspektif Spinoza, Leibniz, dan Berkeley

  • Upload
    icas

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

Tuhan dalam Perspektif Spinoza, Leibniz, dan

BerkeleyOleh: Wa Ode Zainab ZT

I. PendahuluanPembahasan mengenai Tuhan merupakan subject-matter

yang sangat kontroversial dan tak akan pernah redup

oleh zaman. Tema ketuhanan bukan saja dibahas oleh

filsafat, akan tetapi menjadi objek kajian dalam

berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti antropologi,

sosiologi, psikologi, dll. Pertanyaan yang sering

muncul dalam pembicaraan mengenai Tuhan adalah apakah

Tuhan itu merupakan Realitas yang absolute dan

independen? Filsafat mendasarkan pembuktian eksistensi

Tuhan dengan menggunakan akal. Dalam percaturan

filsafat barat, gejala ini diawali dengan periode

rennaisans di mana akal menjadi dewa yang dipuja

manusia.

Sejarah persepsi umat manusia mengenai Tuhan sejak

era Ibrahim ---bahkan ketika manusia tercipta, mereka

sudah memiliki persepsi tersendiri mengenai Supreme

Reality--- hingga kini. Gagasan manusia tentang Tuhan

memiliki lika-liku sejarah yang tidak akan berakhir.

Semua itu dikarenakan setiap manusia memiliki gagasan

2

yang berbeda mengenai Tuhan yang dipengaruhi oleh

pemahaman, periode waktu, kebudayaan dan komunitas.

Rasa ingin tahu manusia terhadap The Supreme Reality

merupakan fitrah manusia di mana cenderung kepada

sesuatu yang lebih agung darinya. Sekalipun penganut

atheis yang tidak meyakini Tuhan akan tetapi paham yang

dianut oleh mereka telah menjadi Tuhan yang bersemayam

dalam dirinya. Kaum atheis juga masih membahas tentang

Tuhan, meskipun fokus mereka berkutat pada pembuktian

bahwa Tuhan itu tidak ada.

Bagi penganut theisme yakni yang meyakini

eksistensi The Supreme Reality, Tuhan merupakan suatu

realitas yang bersifat transenden dan sesuatu tujuan

yang bersifat imanen. Tuhan adalah zat yang menciptakan

alam dunia, akan tetapi tak terbatas dalam dunia ini.

Kepercayaan ini bersifat realis. Oleh karena itu, Tuhan

merupakan Zat yang ada tersendiri dan tidak bersandar

kepada pengetahuan kita terhadapnya.

Atas dasar argumentasi di atas, saya memutuskan

untuk mengambil tema ”Tuhan” dalam perspektik Spinoza,

Leibniz, dan Berkeley. Hal tersebut diharapkan bisa

menambah cakrawala pengetahuan saya mengenai Tuhan

dalam pandangan ketiga filosof tersebut. Terlebih lagi,

argumentasi yang diajukan oleh mereka untuk menyokong

eksistensi Tuhan sangat menarik untuk ditelusuri agar

konsepsi kita mengenai Tuhan menjadi lebih rasional.

3

Selain itu, sebagai makhluk yang dianugerahi akal agar

diharapkan lebih kritis lagi dalam memandang sebuah

bangunan argumentasi. Meskipun, dalam hal ini saya

masih penuh dengan keterbatasan ilmu mengenai subject

ini.

Pada makalah ini, saya akan memulai dengan

pendahuluan. Pada isi makalah ini, saya akan membahas

mengenai Tuhan dalam tesis saya. Selanjutnya, saya

mencoba untuk memaparkan konsepsi Tuhan menurut

Spinoza, Leibniz, dan Berkeley. Kemudian dilanjutkan

dengan analisis pemikiran ketiga tokoh tersebut. Bab

terakhir merupakan penutup yang berisi kesimpulan

terhadap pembahasan dalam makalah ini.

II. Isi

II.1. Eksistensi TuhanMenurut saya Tuhan merupakan The Supreme Reality yang

dapat dibuktikan eksistensi-Nya. Tuhan yang dimaksud

adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang hidup dan riil.

Penting sekali bagi kita untuk menegaskan sikap

objektif karena pada zaman modern ini banyak orang yang

beranggapan bahwa jika seseorang mengatakan bahwa ia

percaya kepada Tuhan, ia hanya mengeluarkan perkataan

yang tidak ada artinya. Tuhan adalah zat yang memberi

arti kepada alam akan tetapi dapat tetap kita ketahui.

Dalam pembuktian terhadap Tuhan yang didapatkan

4

dari alambiasanya orang memusatkan perhatiannya

terhadap alam sebagai bukti. Akan tetapi, bukti

tersebut bukan merupakan bukti yang kokoh. Bukti yang

kuat setidaknya bias disandarkan pada bukti ontologi,

kosmologi, dan teleologi.

Pada bukti ontologi mencakup hal-hal sebagai

berikut yakni, kita terlebih dahulu memiliki ide

mengenai Tuhan. Tuhan merupakan suatu zat yang kita

tidak dapat gambarkan zat yang lebih besar daripadanya.

Kemudian, suatu zat yang ada dan memiliki wujud

tersendiri yakni, tidak hanya ada dalam pikiran

manusia, adalah lebih besar dari zat yang hanya ada

dalam pikiran manusia. Oleh karena itu, Tuhan itu ada

dengan wujud hakiki yang tersendiri. Ide tentang Tuhan

yang tak terbatas (infinite) dan sempurna tidak dapat

ditimbulkan oleh benda yang terbatas (finite). Oleh

sebab itu, ide tersebut tentu telah ditimbulkan oleh

Tuhan sendiri. Dalam hal ini, muncul sifat yang hanya

mutlak pada Tuhan yakni, sifat bahwa Tuhan itu ada dan

mengandung sebab adanya dalam dirinya sendiri.

Mengenai bukti kosmologis yang merupakan

pembuktian yang paling mendapat perhatian dari para

filosof. Hal tersebut karena berhubungan dengan ide

tentang sebab-akibat (causality). Plato mengetakan bahwa

tiap-tiap benta yang terjadi harus ada yang menjadikan.

Dalam dunia, tiap-tiap kejadian harus ada yang

5

menjadikan. Dalam benda-benda yang terbatas (finite)

rangkaian sebab adalah terus menerus, akan tetapi dalam

logika rangkaian yang terus menerus itu mustahil. Jadi,

setelah sebab-sebab yang merupakan rangkaian tentu ada

sebab yang pertama yang tidak disebabkan oleh yang lain

dan sebab pertama inilah yang merupakn Tuhan. Argumen

kosmologi tersebut kuat akan tetapi, pada era modern

ini kesulitan yang dihadapi adalah kita tidak yakin

bahwa sebab yang pertama sebagai hasil daripada bukti

ini merupakan Zat yang kita maksud (Tuhan)? Walaupun

begitu bukti kosmologi merupakan bukti yang penting.

Bukti teleologi merupakan pembuktian yang popular.

Diawali dengan adanya keseragaman dalam alam dan

diakhiri dengan perlu adanya sumber daripada

keseragaman itu. Keseragaman merupakan bukti tentang

rencana, dan sumber rencana itu adalah Tuhan.

II.1. Pemikiran Spinoza, Leibniz, dan Berkeley

tentang Tuhan

II.1.1. Spinoza (1632-1677)

Baruch Spinoza mengucilkan diri dari agama Yahudi

dan mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Dia

dipandang sebagai penyokong utama ajaran pantheisme.

6

yang seluruh teori filsafatnya didominasi oleh ide

tentang Tuhan. Hal tersebut terlihat dari karya

monumentalnya Ethics yang berbicara mengenai tiga masalah

dawali dengan pembahasan metafisika. Hanya ada satu zat

dalam sistem metafisika Spinoza, yakni “Tuhan atau

alam”. Hal itu berdasarkan pada teorinya ---yang akan

di bahas nanti--- bahwa ‘sesuatu yang terbatas tidak

ada yang hidup mandiri’.

Berkaitan dengan teori di atas maka, Spinoza

menolak konsep yang menyatakan bahwa pikiran dan materi

adalah dua zat yang independen dan didefinisikan

berturut-turut oleh sifat-sifat pemikiran dan

pengembangan. Berdasarkan teori yang dikemukakan di

awal, Spinoza membantah konsep yang seolah-olah ingin

menunjukkan bahwa sesuatu yang terbatas dapat hidup

mandiri. Menurutnya, ‘pemikiran dan pengembangan adalah

sifat-sifat Tuhan’. Tuhan juga memiliki sifat-sifat

lainnya yang tak terbatas karena Dia tidak terbatas

dalam setiap aspek-Nya. Hal tersebut mengindikasikan

bahwa hanya Tuhan sebagai zat tak terbatas yang dapat

hidup mandiri dan independent tanpa tergantung dengan

apa pun. Dengan kata lain, Tuhan di mata Spinoza adalah

substansi yang nir-batas secara mutlak dan sebab bagi

dirinya sendiri (causa sui).

Spinoza menambahkan bahwa jiwa individu dan

potongan-potongan materi yang terpisah merupakan kata

7

sifat. Bahkan menurutnya semua itu bukanlah ‘sesuatu’,

tetapi hanya sekadar aspek-aspek dari Yang Maha Suci.

Hal tersebut semakin memperkuat teori yang telah

disebutkan di atas sekaligus membantah konsep

‘keabadian pribadi’ yang dipercaya oleh umat Kristiani.

Akan tetapi, Spinoza tidak menafikkan adanya keabadian

impersonal yang diperoleh dari penyatuan dengan Tuhan.

Selain argumen yang telah disebutkan di atas,

dalam karyanya yakni, “Ethics” Spinoza mengemukakan dua

teori lain untuk membuktikan bahwa Tuhan merupakan

substansi yang tak terbatas. Menurutnya, “Ketiadaan

kekuatan untuk eksis merupakan dalil kelemahannya dan

sebaliknya kekuatan untuk eksis, merupakan dalil

terhadap adanya kekuatan, sebagaimana yang terlihat

jelas. Dengan demikian, apabila yang eksis secara

niscaya sekarang ini hanya benda-benda terbatas, maka

keniscayaannya adalah bahwa benda-benda terbatas lebih

kuat dari eksistensi yang secara mutlak tak terbatas.

Dan ini jelas tidak rasional. oleh karena itu, kita

harus mengambil salah satu dari dua pilihan yaitu

“sesuatu tidak eksis (tidak ada)” atau “eksistensi yang

secara mutlak tak terbatas tersebut itu eksis secara

niscaya”. Tetapi kita ada dan eksis, baik dalam diri

kita sendiri ataupun dalam benda lain yang eksis secara

niscaya. Dengan demikian, “eksistensi yang secara

mutlak tak terbatas”, yaitu Tuhan, secara dharuri

8

adalah eksis, relevansinya terbukti.

Selain itu, argumentasi yang ditawarkan oleh

Spinoza adalah bahwa ‘sesuatu yang terbatas

didefinisikan oleh batas-batasnya’. Hal tersebut

berlaku pada hal fisik maupun logis, yakni oleh apa

yang bukan sesuatu: “semua determinasi adalah negasi.”

Dalam hal ini, Spinoza bersikukuh bahwa hanya Tuhan

Maha Esa yang seluruhnya afirmasi (positif), dan

niscaya Dia tidak terbatas secara absolut.

Berkenaan dengan pemaparan di awal maka, segala

sesuatu diatur oleh sebuah ketentuan logis yang

absolut. Dalam hal ini jelas Spinoza ingin menunjukkan

bahwa tidak terdapat peluang kehendak bebas di wilayah

mental atau di dunia fisik. Segala sesuatu yang terjadi

merupakan menifestasi dari sifat Tuhan.

Berkaitan dengan determinisme ini, Spinoza menepis

pemikiran yang berkembang bahwa apa yang bernilai

positif dalam rangkaian peristiwa dinyatakan sebagai

kebaikan, dan apa yang bernilai negatif dinyatakan

sebagai keburukan. Spinoza menjawab hal tersebut dengan

menyatakan bahwa negasi ---penilaian buruk--- hanya ada

dari sudut pandang makhluk. Menurutnya, di mata Tuhan,

pada suatu kenyataan yang sepenuhnya nyata (riil) tidak

ada negasi (penilaian buruk). Dengan kata lain,

kejahatan yang bagi kita tampak sebagai keburukan ---

yang dapat mengakibatkan dosa--- tidak akan ada. Hal

9

tersebut terjadi apabila suatu rangkaian peristiwa

dilihat sebagai keseluruhan yang utuh. .”

Menurut Spinoza tidak ada hal buruk yang dapat

menimpa alam semesta ini secara keseluruhan karena alam

semesta tidak tunduk pada sebab-sebab eksternal. “Kita

adalah bagian dari alam universal, dan kita mengikuti

aturannya.” Dalam aksioma umum, “semua yang baik akan

berakhir dengan baik.” Apa pun yang terjadi adalah

bagian dari dunia nirwaktu yang abadi sebagaimana Tuhan

melihatnya, sub specie aternitatis, di bawah aspek keabadian.

Spinoza percaya bahwa semua perbuatan salah

disebabkan oleh kesalahan intelektual. Menurutnya,

orang yang bijak akan memperoleh ‘kebaikan tertinggi’

karena memahami sesuatu dengan petunjuk akal. “Kebaikan

tertinggi bagi pikiran adalah pengetahuan tentang

Tuhan, dan kebenaran tertinggi bagi pikiran adalah

mengetahui Tuhan.” Tetapi, “dia yang mencintai Tuhan

tidak dapat berusaha agar Tuhan mencintainya.” Hal ini

merupakan konsekuensi logis dari metafisika Spinoza.

Esensi dari sistem filsafat Spinoza, baik secara

etis maupun metafisis adalah bahwa segalanya dapat

didemonstrasikan. Oleh karena itu, dia memandang

pentingnya membuat demonstrasi-demonstrasi. Menurutnya,

kita tidak bisa meyakini bahwa interkoneksi-

interkoneksi antara satu dengan yang lain di alam

semesta ini berlangsung secara logis. Hal itu

10

dikarenakan, banyak orang yang sudah teracuni

empirisisme menganggap bahwa hukum-hukum ilmiah harus

ditemukan dengan pengamatan, bukan dengan penalaran

semata.

Padahal, bagi Spinoza, penalaran merupakan hal

yang penting dalam menemukan hukum-hukum ilmiah. Dalam

hal ini, Spinoza mengemukakan dalil yang kontroversial

berkaitan dengan sifat dan asal-mula pikiran.

Menurutnya, “pikiran manusia cukup bisa mengetahui

esensi Tuhan yang abadi dan tak terbatas.” Selain itu,

metode geometris juga penting karena berkaitan erat

dengan bagian-bagian terpenting. Tentunya kerena

berkaitan erat dengan bagian-bagian terpenting dalam

pemikirannya.

Metafisika Spinoza merupakan contoh terbaik atas

apa yang disebut “monisme logis” bahwa dunia secara

keseluruhan adalah sebuah zat tunggal, sehingga

logikanya tidak ada bagian-bagiannya yang bisa eksis

sendiri. Landasan dari pandangan ini adalah kepercayaan

bahwa setiap dalil memiliki sebuah subjek tunggal dan

sebuah predikat tunggal. Hal tersebut menggiring kita

pada kesimpulan bahwa hubungan-hubungan dan pluralitas-

pluralitas pastilah sekadar ilusi. Spinoza beranggapan

bahwa sifat dunia dan kehidupan manusia dapat

disimpulkan secara logis dari aksioma-aksioma yang

terbukti dengan sendirinya.

11

Menurut Spinoza, pikiran mustahil tanpa konsep

substansi. Dia mencoba mendefinisikan substansi dan

memahami substansi sebagai suatu kenyataan yang mandiri

tapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain.

Substansi tidak berelasi dengan sesuatu yang lain (causa

sui: penyebab dirinya sendiri).Spinoza mencoba menjawab

pertanyaan-pertanyaan apa itu substansi? Apa

perbedaannya dengan yang lain? Bagaimana antar

substansi yang satu berinteraksi dengan yang lain?

Bagaimana substansi itu muncul? Pertanyaan-pertanyaan

tersebut sangat menggelitik ruang pemikian Spinoza

sehingga dia berupaya untuk menjawab pertanyaan

tersebut. Dia menggunakan deduksi matematis yang

diawali dengan definisi-definisi, aksioma-aksioma,

proposi-proposisi, kemudian membuat pembuktian

berdasarkan hal itu.

Dipengaruhi oleh geometri, Spinoza memulai dengan

meletakkan definisi-definisi. Di bawah ini terdapat

beberapa contoh definisi-definisi yang digunakannya

dalam membuat kesimpulan-kesimpulan metafisis.

Beberapa Definisi

1.Sesuatu yang sebabnya pada dirinya sendiri, saya maksud

esensina

mengandung eksistesi, atau sesuatu yang hanya

12

dipahami sebagai ada.

2.Sesuatu dikatakan terbatas bila ia dapat dibatasi

oleh sesuatu yang lain, misalnya tubuh kita

terbatas.

3.Substansi ialah sesuatu yang ada dalam dirinya,

dipahami melalui dirinya, konsep dapat dibentuk

tentangnya bebas dari yang lain.

4.Yang saya maksud dengan atribut (sifat) ialah apa yang

dapat dipahami sebagai melekat pada esensi

substansi.

5.Yang saya maksud dengan mode ialah perubahan-

perubahan pada substansi.

6.Tuhan yang saya maksud ialah sesuatu yang tak

terbatas secara absolute (mutlak).

7.Sesuatu saya sebut bebas ialah sesuatu yang ada

sendirian, bukan disebabkan oleh yang lain, dan

tindakannya ditentukan olehnya sendiri.

8.Yang saya maksud dengan kekekalan ialah sifat pada

eksistensi tadi.

Poin pertama menyatakan bahwa sebabnya pada dirinya

sendiri sama dengan konsep penggerak pertama pada

Aristoteles. Alam semesta menurut Spinoza sebagai

‘penggerak’ sementara itu, Tuhan berkenaan dengan

‘memikirkan dirinya sendiri’. Dasar permulaan seluruh

sistemnya Spinoza adalah substansi. Selain itu,

13

Spinoza juga berpendapat bahwa apa saja yang benar-

benar ada, maka adanya itu haruslah abadi.

Definisi selalu diikuti oleh aksioma. Aksioma

ialah suatu kebenaran yang tidak memerlukan pembelaan.

Di bawah ini adalah aksioma-aksioma yang digunakan

oleh Spinoza dalam merumuskan metafisikanya.

Aksioma-Aksioma

1. Segala sesuatu yang ada, ada dalam dirinya atau ada

dalam sesuatu yang lain.

2. Sesuatu yang tidak dapat dipahami melalui sesuatu

yang lain harus dipahami melalui dirinya sendiri.

3. Dari suatu sebab, tentu diikuti akibat; bila tidak

ada sebab, tidakmungkin ada akibat yang

mengikutinya.

4. Pengetahuan kita tentang akibat deitentukan oleh

pengetahuan kita tentang sebab.

5. Sesuatu yang tidak biasa dikenal umum tidak akan

dapat dipahami; konsep tentang sesuatu tidak

melibatkan konsep tentang yang lain.

6. Idea yang benar harus sesuai dengan objeknya.

7. Bila sesuatu dapat dipahami sebagai tidak ada, maka

esensinya tidak ada.

Berdasarkan definisi dan aksioma itu Spinoza mulai

14

membuktikan proposisi-proposisinya. Di bawah ini adalah

proposisi yang disusunnya.

Proposisi

Prop. I Substansi harus mendahului

modifikasinya.

Bukti Jelas dari definisi III dan V.

Prop. II Dua substansi yang atributnya

berbeda tidak akan

mempunyai persamaan.

Bukti Juga jelas dari definisi III

karena sesuatu harus ada

dalam dirinya sendiri dan dipahami

melalui dirinya sendiri. Dengan

kata lain, konsep tentang sesuatu

tidak sama dengan konsep yang lain.

Dan seterusnya.

Dengan deduksi ini, maka substansi itu hanya satu

menurut Spinoza. Balik kembali ke pertanyaan di awal

berapa banyak substansi menurut Spinoza? Jawabnya hanya

satu. Apakah substansi itu? Spinoza menjawab substansi

adalah sesuatu yang tak terbatas. Substansi yang

dimaksud adalah Tuhan. Akan tetapi, alam semesta juga

merupakan Tuhan. Lewat proposisinya Spinoza telah

15

membuktikan bahwa Tuhan, substansi, dan penyebab adalah

identik. Menurutnya, selain Tuhan tidak ada substansi

yang dapat dipahami. Oleh karena itu, menurut Spinoza,

Allah atau alam adalah kenyataan tunggal. Spinoza

menyebutnya Deus sive Natura (Allah atau alam). Jadi, alam

semesta ini sakral dan religius. Hal ini dikenal dengan

panteisme.

II.1.2. Leibniz (1646-1716)

Gottfried Wilhelm Leibniz,  atau Leibnitz, Baron

Gottfried Wilhelm von merupakan filosof, matematikawan

dan negarawan Jerman. Dia menyuguhkan beberapa argumen

filosofis tentang Tuhan. Filsafatnya yang paling

termasyhur adalah mengenai monad yang berkaitan erat

dengan konsep Tuhan. Dalam hal ini, monad adalah

substansi yang sederhana yang dapat menyusun substansi

yang lebih besar.

Dia percaya pada ketakterhinggaan jumlah materi

yang disebutnya dengan monad-monad. Setiap monad akan

memiliki beberapa sifat fisik, tetapi hanya ketika

dianggap abstrak. Leibniz menyatakan bahwa setiap monad

mencerminkan alam semesta bukan karena alam semesta

mempengaruhinya. Hal tersebut karena Tuhan telah

memberinya sebuah sifat yang secara spontan menyebabkan

pencerminan tersebut. Ada sebuah “pre-established harmony”

16

antara perubahan-perubahan dalam sebuah monad dan

perubahan-perubahan di monad lain, yang menghasilkan

kemiripan interaksi.

Berkenaan dengan hal tersebut maka, alam semesta

memiliki satu sentral. Sentral ini memiliki spirit yang

paling paripurna. Spirit atau ruh tersebut itu adalah

Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan di mata Leibniz

merupakan ruh keseluruhan untuk keseluruhan alam

semesta. Keberadaan semesta bersumber dari titik

sentral ini. Tetapi poin ini dengan sendirinya

merupakan sebab bagi dirinya.

Perbuatan-perbuatan Tuhan memiliki jenis kebebasan

yang sama. Dia selalu berbuat yang terbaik, tetapi Dia

tidak berada di bawah tentuan logis untuk melakukannya.

Leibniz meyakini bahwa Tuhan tidak dapat berbuat

sesuatu yang bertentangan dengan hukum-hukum ligika,

tetapi Dia dapat memutuskan apa pun yang mungkin secara

logis, dan ini menyediakan-Nya kebebasan yang luar

biasa untuk memilih. Leibniz telah menyempurnakan

bukti-bukti metafisis tentang eksistensi Tuhan.

Makhluk-makhluk Tuhan merupakan hasil dari sifat

penciptaan, yang bersumber dari kekayaan Tuhan Sang

Pencipta. Bahkan Leibniz tidak mengelak untuk berkata

bahwa Tuhan itu adalah substansi dan makhluk itu adalah

aksiden. Dia juga berkata: "Pengenalan kepada Tuhan

merupakan awal dari filsafat, dan realitas-realitas

17

azali itu adalah sifat Tuhan. Sifat inilah yang

membentuk tatanan hikmah yang benar. Pengenalan atau

Makrifat merupakan satu cahaya esensial kalimat Tuhan

yang perennial dan eternal. Dan merupakan sumber dari

segala hikmat dan segala cahaya dan sejatinya sumber

segala wujud dan keberadaan serta seluruh fenomena.”

Salah satu karakteristik yang paling khas dari

filsafat Leibniz adalah doktrin tentang banyak dunia

yang mungkin. Menurutnya, sebuah dunia itu “mungkin”

jika tidak bertentangan dengan aturan-aturan logika.

Ada dunia mungkin yang jumlahnya tak terhingga. Hal

tersebut telah direnungkan Tuhan sebelum Dia

menciptakan dunia nyata. Karena kebaikan-Nya, Tuhan

memutuskan untuk mencipta dunia terbaik dari seluruh

dunia yang mungkin, dan Dia menganggap dunia terbaik

itu dunia yang mempunyai ekses kebaikan terbesar atas

keburukan. Dia bisa menciptakan sebuah dunia yang tidak

mengandung keburukan, tetapi ini tidak akan menjadi

begitu baik seperti dunia nyata, karena sebagian

kebaikan yang luar biasa secara logis terikat dengan

keburukan-keburukan tertentu.

Berkenaan dengan kehendak bebas, Leibniz memandang

bahwa tidaklah mungkin bagi Tuhan untuk menganugerahkan

kehendak bebas dan pada saat yang sama menitahkan

tiadanya dosa. Menurut Leibniz, hal tersebut tidak

sesuai dengan prinsip logika (kontradiksi). Maka, Tuhan

18

memutuskan untuk membuat manusia bebas. Dunia yang

tercipta, meski tidak mengandung keburukan, mempunyai

surplus kebaikan yang lebih besar atas keburukan

daripada dunia lain yang mungkin; karenanya, dunia

tersebut merupakan yang terbaik dari seluruh dunia yang

mungkin, dan keburukan yang dimilikinya tidak membuka

argumentasi yang menentang kebaikan Tuhan.

Leibniz mengemukakan argumentasi yang berkenaan

dengan eksistensi Tuhan. Leibniz mengkategorikannya ke

dalam empat argumentasi: (1) argumentasi teologis, (2)

argumentasi kosmologis, (3) argumentasi dari kebenaran-

kebenaran abadi, (4) argumentasi dari harmoni yang

telah ditetapkan.

a. Argumentasi Teologis

Argumentasi ini didasarkan pada perbedaan antara

eksistensi dan esensi. Ada perbedaan mendasar antara

zat yang terbatas dengan Tuhan. Menurut Leibniz, suatu

zat yang terbatas, esensinya tidak mengimplikasikan

eksistensinya. Sedangkan, dalam kasus Tuhan esensi

mengimplikasikan eksistensi. Tuhan didefinisikan oleh

Leibniz sebagai Zat Yang Paling Sempurna. Dia

mengatakan bahwa esensi mengimplikasikannya eksistensi

dengan alasan bahwa Dia yang memiliki seluruh

kesempurnaan lain akan lebih baik jika Dia eksis

19

daripada jika Dia tidak eksis, berikutnya jika Dia

tidak eksis maka Dia bukanlah yang terbaik.

Pembuktian secara teologis berusaha membuktikan

Tuhan berdasarkan atas definisi yang telah dilekatkan

pada Tuhan terlebih dahulu. Pembuktian ini dinyatakan

dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini Leibniz

menunjukkan bahwa ide tentang Tuhan dibuktikkan dengan

mendefinisikan Tuhan sebagai Yang Paling Sempurna,

yaitu “subjek dari seluruh kesempurnaan didefinisikan

sebagai “kualitas sederhana yang positif dan absolute,

dan mengungkapkan apa pun yang diungkapkan kesempurnaan

tanpa batas”. Atau bias juga didefinisikan sebagai

sesuatu yang memiliki segala sifat positif. Leibniz

dengan mudah membuktikan bahwa tidak ada dua

kesempurnaan. Menurutnya, “dipahami atau bisa dipahami

adanya sebuah subjek dari keseluruhan kesempurnaan,

atau Yang Paling Sempurna. Kesimpulan bahwa Dia eksis,

juga bisa ditarik dari sejumlah kesempurnaannya.

b. Argumentasi Kosmologis

Argumentasi kosmologis merupakan pembuktian yang

sudah meniscayakan “Tuhan itu ada sebab jika tidak

siapa yang mengawali segala sesuatu”. Dengan kata

lain, Tuhan dijadikan sebagai Pencipta alam semesta

karena segala sesuatu memiliki permulaan karena Segala

20

sesuatu memiliki sebab. Argumentasi kosmologis

didasarkan pada keharusan adanya causa prima, yakni suatu

sebab yang menjadi awal dari perubahan.

Menurut Leibniz, sebuah bentuk argumentasi

Penyebab Pertama, berasal dari argumentasi Aristoteles

tentang penggerak dari yang tidak bergerak. Argumentasi

ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang terbatas

mempunyai penyebab, dan begitu seterusnya. Serangkaian

penyebab ini tidak dapat menjadi tak terbatas, dan

penyebab pertama pastilah tidak mempunyai penyebab

lagi. Hal itu dikarenakan kalau masih mempunyai berarti

bukan penyebab pertama. Oleh karena itu, ada sebuah

penyebab bagi segala sesuatu, dan ini tak dapat

dibantah lagi adalah Tuhan.

Leibniz berpendapat bahwa setiap di dunia ini

“kontingen” (mumkin al-wujud), yakni benda itu secara

logis berkemungkinan untuk tidak eksis. Tetapi segala

sesuatu harus memiliki alasan yang cukup, menurut

filsafat Leibniz alam semesta secara keseluruhan pasti

memiliki alasan cukup, yang pasti di luar alam semesta

itu sendiri. Alasan cukup ini adalah Tuhan. Dia

menunjukkan sebuah perbedaan antara proposisi wajib

(necessary propotion) dan proposisi bergantung (contingent

propotition), bahwa hanya proposisi wajiblah yang mengikuti

aturan-aturan logika, dan bahwa semua dalil yang

menegaskan eksistensi adalah bergantung, dengan satu

21

pengecualian tentang eksistensi Tuhan. Meskipun Tuhan

eksis, Dia tidak dipaksa oleh logika untuk menciptakan

dunia. Sebaliknya ini merupakan pilihan bebas yang

didorong oleh kebaikan-Nya.

c. Argumentasi dari Kebenaran-Kebenaran Abadi

Argumentasi ini berbunyi: Pernyataan seperti

“sekarang sedang turun salju” kadang benar dan kadang

salah, tetapi “satu ditambah satu sama dengan dua” akan

selalu benar. Hal tersebut berkenaan dengan esensi,

konsekuensinya pasti ada yang selalu benar dan

terkadang salah atau benar. Pernyataan –pernyataan yang

selalu benar disebut “kebenaran-kebenaran abadi”. Inti

dari argumentasi ini adalah bahwa kebenaran-kebenaran

merupakan bagian dari muatan-muatan pikiran-pikiran,

dan bahwa sebuah kebenaran abadi pasti merupakan bagian

dari muatan sebuah pikiran abadi.

Berkaitan dengan hal tersebut, Leibniz

mengutarakan argumentasinya sebagaimana argumentasi

kosmologis yakni, pasti ada sebuah penyebab bagi

seluruh dunia kontingen, dan penyebab ini tidak dapat

dengan sendirinya bergantung, tetapi pasti ditemukan di

antara kebenaran-kebenaran abadi. Namun, sebuah

penyebab bagi apa yang eksis pastilah dengan sendirinya

eksis; karenanya, kebenaran-kebenaran abadi pasti eksis

22

dan kebenaran-kebenaran tersebut hanya dapat eksis

sebagai pemikiran-pemikiran dalam pikiran Tuhan. Namun

demikian, argumentasi membuka keberatan lebih jauh

bahwa sebuah kebenaran hamper tidak bisa dikatakan

“eksis” dalam pikiran yang memahaminya.

d. Argumentasi dari Harmoni yang Telah

Ditetapkan

Argumentasi ini menyatakan bahwa berdasarkan

survey tentang dunia yang diketahui, kita menemukan

benda-benda yang tidak dapat dijelaskan secara logis

sebagai hasil dari kekuatan-kekuatan alam yang buta,

tetapi jauh lebih beralasan dianggap sebagai bukti-

bukti tentang sebuah tujuan yang menguntungkan.

Segala sesuatu di alam ini bergerak dengan harmoni

yang teratur menuju satu tujuan yang telah ditetapkan

oleh Tuhan. Hal itu dikarenakan Tuhan telah membuat

rancangan sedemikian rupa terhadap alam semesta. Jika

hal tersebut dimisalkan bukan Tuhan, maka alam semesta

mustahil bergerak harmoni. Hal itu dikarenakan, hanya

Tuhan yang mampu menetapkan harmonisasi pada alam

semesta ini agar menjadi teratur. Argumentasi ini tidak

memiliki cacat logika formal. Ada sebuah perbedaan

penting antara argumentasi ini dan argumentasi-

argumentasi lainnya, yakni bahwa Tuhan yang ditunjukkan

23

oleh argumentasi tersebut tidak perlu mempunyai semua

sifat metafisis lazimnya.

II.1.3. Berkeley (1685-1753)

Berkeley merumuskan prinsip filsafatnya yaitu

”berada berarti diamati” (tobe is tobe perceived). Artinya

segala sesuatu di alam raya ini tergantung pada

pengamatan kita. Akan tetapi, hal itu tidak berarti

bahwa sesuatu itu tak dapat wujud tanpa pengamatan

individual kita mengenai hal itu. Hal itu dikarenakan,

kematian sesuatu bukan berarti sesuatu itu hilang.

Sesuatu itu tetap ada sebab ia tetap berkelanjutan di

dalam kuasa Tuhan .

Berkeley menyatakan bahwa penyebab segala sesuatu

di alam ini tidak mungkin disebabkan oleh matter. Hal

itu dikarenakan, matter tidak bisa bergerak sendiri dan

tidak punya realitas metafisik. Ia mestilah produk dari

suatu kuasa yang tak terbatas yakni sesuatu yang

immateri, Kuasa Yang Maha Ada, yang disebut Tuhan.

Berdasarkan pandangan ini, Berkeley percaya bahwa Tuhan

menjadi sebab efisien dari seluruh gagasan kita.

Berkeley menolak adanya konsep-konsep universal.

Dia beranggapan bahwa penerimaan konsep-konsep

universal itu membuat suatu kerumitan dalam filsafat.

24

Menurutnya, keberadaan konsep-konsep yang lepas dari

segala bentuk sifat dan karakteristik adalah mustahil.

Oleh karena itu, wajar bila dia dikategorikan sebagai

filosof penganut empirisisme.

Menurut Berkeley, kita harus membedakan antara

khayal, gambaran partikular, dan konsep-konsep

universal, yakni adalah sangat jelas bahwa mustahil

mengambil gambaran segitiga selain dari segitiga sama

sisi, sama kaki, atau siku-siku. Konsep dan makna

universal segitiga bukanlah gambaran segitiga tersebut.

Dan menurutnya, yang ada itu hanyalah objek-objek

eksternal, konsep-konsep partikular, dan kata-kata umum

yang tidak menunjuk pada sifat-sifat khusus sesuatu.

Apabila kita bisa untuk tidak memandang karakteristik-

karakteristik itu, maka pasti kita bisa mencerap konsep

itu. Jadi, tak mustahil kita bisa mencerap suatu konsep

yang terlepas dari segala karakteristik dan

partikularitas.

Akan tetapi, dengan menafikan konsep-konsep

universal, tak ada alasan lagi menerima prinsip

kausalitas. Pada hakikatnya,  Berkeley hanya sebatas

meragukan alam materi dan bukan menolaknya. Partikular,

perubahan, dan kehadiran baru konsep-konsep indriawi

dan imajinasi, dikarenakan kaidah kesesuaian sebab dan

akibat, maka ia juga menuntut sebab-sebab yang sesuai

dan setara dengannya, yakni kemestian keberadaan sebab-

25

sebab yang juga senantiasa berubah dan baru tercipta

seperti materi itu.

Meskipun George Berkeley menafikan dan meragukan

adanya konsep-konsep universal dan maujud-maujud

materi, namun ia menerima eksistensi  jiwa manusia dan

Tuhan. Menurutnya, Tuhan adalah penyebab kehadiran

konsep-konsep indriawi, sementara jiwa manusia

dipandang sebagai penyebab konsep-konsep khayali.

Dia menanggapi bahwa Tuhan selalu melihat segala

sesuatu; jika tidak ada Tuhan, apa yang kita anggap

sebagai objek materi akan memiliki kehidupan yang serba

mendadak; mendadak hidup ketika kita memandangnya.

Berkat persepsi Tuhan, benda materi memiliki eksistensi

secara kontiniu sebagaimana dicerna oleh akal sehat.

Ini menurutnya merupakan argumentasi yang kuat mengenai

eksistensi Tuhan.

Dengan menyatakan esse est percipi, ia meyakini bahwa

objek persepsi bukanlah substansi material, melainkan

‘ide-ide” atau kumpulan sensasi yang tidak mungkin ada

tanpa dipersepsi. Ide-ide yang dipersepsi adalah

persepsi yang dalam budi Tuhan dikomunikasikan kepada

kita.

Berkeley membuktikan eksistensi Tuhan sebagai

bukti a posteriori sebuah varian dari argumen sebab-akibat.

Dia menyatakan dalam Philosophical Commentaries, bahwa

mustahil untuk membuktikkan Tuhan lewat ide-ide. Hal

26

itu dikarenakan, kita tidak memiliki ide mengenai

Tuhan.Hal itu tercermin dalam karyanya:

And this suggest at once that Berkeley’sproof of the existence of God will

be an aposteriori proof, a variant of the causal argument. When he says in the

Philosophical Commentaries, ‘Absurd to argue the existence of God from his idea.

We have no idea of God. ‘ It si impossible’. He is doubtless thinking primarily of

his technical use of word ‘idea’. For it is obvious that there can be no idea of God,

if God means a spiritual being and ‘idea’ is used for the object of sense-

perception.

Berkeley dalam membuktikan Tuhan tidak menerima

argumen ontologis. Pembuktiannya menggunakan argumen

sebab akibat yakni, berdasarkan pada eksistensi yang

benar-benar pantas sebagai sebab. Eksistensi tersebut

menurut Leibniz adalah Tuhan. Dalam Dialogues bukti

eksistensi Tuhan yang diajukan Leibniz sangat ringkas

yakni segala sesuatu yang eksis dan merupakan pikiran

yang tidak terbatas. Selain itu, dia menganggap bahwa

kecantikan alam semesta yang teratur merupakan suatu

sistem yang harmoni. Hal itu memperlihatkan bahwa alam

semesta memperlihatkan bahwa alam semesta merupakan

produk dari salah satu Zat yang tak terbatas yang Maha

Bijaksana. Zat ini merupakan ruh (spirit) yang sempurna

yaitu Tuhan. Tuhan menegakkan segala sesuatu dengan

kekuatan-Nya.

Berkeley menjawab bahwa kesalahan moral adalah

27

hasil dari pilihan manusia. Kita seharusnya tidak

membesar-besarkan posisi manusia dalam alam semesta.

Hal itu dikarenakan, manusia diatur oleh wahyu tetapi

juga oleh perasaan dan hal lainnya. Akan tetapi, ini

bukan berarti kehendak Tuhan sama seperti kerajaan

Tuhan yang sangat buruk.

...The Laws of God’s kindom should be so ill observed by His

subjects, is what can never be reconciled with thet surprassing wisdom

and goodness of the Supreme Monarch. To this Berkeley answers that

moral faults are a result of human choice, and also that we ought not to

exaggerate the position of human beings in the universe. It seems we are

led not only revelation, but by common sense, observing and inferring

from the analogy of visible things, to conclude there are innumerable

orders of intelligent beings more happy and more perfect than man.

II.2. Analisis terhadap Pemikiran Spinoza,

Leibniz, dan

Berkeley Berkaitan dengan Tuhan

Spinoza dan Leibniz sama-sama menjadikan

‘substansi dan definisi’ sebagai konsep sentral dalam

metafisika mereka. Selain itu, keduanya memiliki

persamaan karena digolongkan menjadi filosof

rasionalis. Akan tetapi, menurut Spinoza alam semesta

28

ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada

sebab. Sementara itu, substansi pada Leibniz adalah

hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan.

Selain itu, Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu

substansi, sedangkan Leibniz berpendapat bahwa

substansi itu banyak.

Rasionalisme Spinoza bergerak dari definisi kepada

aksioma dan proposisi. Ujungnya antara lain alam

semestan yaitu Tuhan. Setelah dipikir-pikir olehnya, ia

berkesimpulan bahwa Tuhan itu tidak memperhatikan

sesuatu, tidak juga manusia. Menurut Spinoza, hanya

itulah yang dapat diketahui oleh akal tentang Tuhan.

Sementara itu, Leibniz yang merupakan filosof monad-

monad memulai dengan analisis yang rumit tentang

metefisiska, dan amat spekulatif. Akhirnya, ia

berpendapat bahwa ruang dan waktu absolute harus

ditolak. Oleh karena itu, “kapan alam semesta muncul”

adalah pertanyaan yang tidak relevan.

Definisi terbaik berkaitan dengan Tuhan Leibnizian

adalah sesuatu yang mutlak sempurna. Jadi, Tuhan

Leibniz adalah Tuhan yang Maha Pemurah. Penciptaan alam

semesta oleh Tuhan menurut Leibniz merupakan

konkekuensi dari kesempurnaan Tuhan yang tidak bias

dibendung lagi. Menurutnya, dunia yang terbaik adalah

dunia yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita saat

ini. Namun, kesulitannya terletak pada kenyataan bahwa

29

Leibniz berniat untuk membuat kita menerima Tuhan yang

tidak lain adalah alam semesta sebagai Sang Ada Maha

Tinggi. Sesungguhnya, Tuhan Monadology tidak lain adalah Sang

Kebaikan Plato yang kemudian diadopsi oleh Leibniz.

Tuhan menurut Spinoza merupakan Zat yang tak

terbatas atau substansi yang merupakan “penyebab bagi

dirinya sendiri” karena esensinya juga meliputi

eksistensi. Keunggulan esensi dalam filsafat Spinoza

begitu ditonjolkan sehingga tidak sulit untuk menangkap

metafisiknya. Pertanyaannya, apakah esensi Tuhan

meliputi eksistensinya dalam diri-Nya sendiri atau

hanya dalam pikiran manusia saja? Sama seperti sebuah

lingkaran yang persegi tidak mungkin eksis karena

esensinya bersifat kontradiktoris. Tuhan pun tidak

mungkin tidak eksis karena menurut Spinoza, “eksistensi

dari substansi bersumber dari hakikatnya sendiri, sebab ia

meliputi eksistensi. Dia memiliki kekuatan eksistensi

yang tidak terbatas dari dirinya sendiri, Dia eksis dan

secara mutlak. Namun, Tuhan yang eksis dan bertindak

semata-mata karena keniscayaan alam-Nya; tidak lebih

dari suatu alam saja. Dia tidak lain adalah alam itu

sendiri Deus sive Natura.

Ada beberapa saya berkenaan dengan Panteisme yang

diusung oleh Spinoza. Sebelumnya saya akan memaparkan

sedikit mengenai hal yang sedikit dipahami mengenai

panteisme. Panteisme berarti konsepsi tentang ketuhanan

30

yang ada dalam alam dengan akibat-akibatnya yang amat

jauh, dengan tidak disertai oleh keyakinan tentang

adanya Tuhan di luar alam (Divine Trancendence). Seorang

Panteisme menyamakan Tuhan dengan dunia dan

menghilangkan perbedaan antara yang menjadikan dan yang

dijadikan. Menurut aliran pantheis, Tuhan tak berwujud

terpisah dari wujud alam. Apa saja yang kita dapatkan

dalam dunia merupakan bagian dari Tuhan.

Kelemahan yang pertama dalam Panteisme adalah

Tuhan akan mati kalau dunia rusak. Kalau tidak ada beda

antara Tuhan dan dunia, maka kehidupan Tuhan merupakan

kehidupan yang terbatas. Tuhan yang terbatas bukan

tujuan yang tertinggi. Kelemahan yang kedua adalah

bahwa Panteisme tak dapat menafsirkan adanya dosa dan

kejahatan. Kalau Tuhan dan dunia satu, hal ini berarti

bahwa Tuhan mengandung kejahatan dalam wataknya. Berati

yang bertanggung jawab atas kejahatan adalah Tuhan

bukan manusia.

Penganut aliran Panteisme ini akan menyatakan

bahwa baik dan buruk merupakan hal yang relative kepada

kemauan manusia. Oleh sebab itu hanya merupakan ilusi

jika dipakai untuk menggambarkan dunia yang objektif.

Atau mereka berpendapat bahwa apa yang kelihatannya

jahat sebetulnya adalah hal yang baik. Panteisme

mempertahankan keyakinannya dengan menentang kejahatan

di dunia ini.

31

Spinoza dan Leibniz yang mendasarkan filsafatnya

pada substansi dan menggunakan metode yang sama akan

tetapi, pada akhirnya menghasilkan konsep Tuhan yang

berbeda. Namun, Berkeley yang beraliran empirisme tidak

meyakini adanya substansi. Berkeley lebih memandang

Tuhan sebagai penyebab kehadiran konsep-konsep

inderawi. Selain itu, Berkeley juga menafikkan dan

meragukan adanya konsep-konsep universal dan maujud-

maujud materi.

Gagasan lain Berkeley adalah keraguan terhadap

eksistensi maujud-maujud materi, dan beranggapan bahwa

apa yang kita miliki dari benda-benda hanyalah gambaran

benda-benda tersebut. Apabila dikatakan, "benda

tertentu berwujud", maka yang dimaksud ialah, "saya

memiliki gambaran atas benda itu atau saya mempersepsi 

benda itu". Dalam hal ini, iamengungkapkan dalil-dalil,

diantaranya bahwa iatidak membedakan antara kualitas

pertama (baca: benda eksternal) dan kedua (baca:

gambaran benda dalam pikiran), kedua kualitas ini

semuanya berpijak pada perasaan manusia, yakni setiap

persepsi tidak lain adalah sama dan sesuai dengan

persepsi lain. Menurutnya, hal ini, ialah gamblang.

Dalam pandangan Berkeley , penyebab kehadiran

konsep-konsep yang nyata itu ialah suatu maujud yang

non-materi, yakni iamenerima adanya prinsip kausalitas

dan memandang bahwa konsep-konsep itu tidak lain adalah

32

suatu akibat (ma'lul) dan penyebabnya ('illat) adalah suatu

maujud non-materi. Dengan dasar inilah, tidak

membutuhkan lagi keberadaan maujud-maujud materi

sebagai penyebab kehadiran konsep-konsep tersebut. Yang

dimaksud Berkeley dalam hal ini adalah Tuhan.

III. Penutup

Pada dasarnya ketiga filosof tersebut meyakini

eksistensi dari Tuhan. Akan tetapi, dalam hal

pembuktian yang digunakan berbeda-beda. Dalam hal ini,

Leibniz dan Spinoza memiliki sama-sama mendasarkan pada

‘substansi’. Mereka juga menggunakan metode yang sama

yakni metode rasional yang menggunakan akal. Meskipun

pada akhirnya memiliki hasil yang berbeda berkenaan

dengan Tuhan. Berbeda dengan Berkeley yang menjadikan

Tuhan sebagai Zat immateri yang mampu mempersepsi zat

immateri secara kontiniu ketika diindera.

Dari ketiga filosof tersebut diharapkan kita

menjadi lebih tertantang lagi untuk membuktikan Tuhan

ldengan menggunakan argument yang lebih kuat. Hal itu

dimaksudkan agar bertambah keyakinan kita terhadap

Tuhan. Selain itu, sebagai hujjah untuk menangkis

atheisme, positivisme, dan paham-paham lain yang tidak

meyakini eksistensi Tuhan.

33

Filsafat sebagai refleksi dan pemikiran sistematis

manusia atas realitas sekitarnya. Dalam hal ini bisa

digunakan untuk membuktikkan keberadaan Tuhan secara

rasional. Sehingga Tuhan nbukan hanya sekadar konsep

dalam pikran kita. Oleh karena itu, dalam sejarah

pemikiran manusia terdapat para intelektual dan filosof

yang menelurkan konsepsi mengenai Tuhan. Perjuangan

belum berakhir selama akal masih eksis maka, Tuhan

masih bisa dibuktikan.

DAFTAR PUSTAKA

Compleston, Frederict. A History of Philosophy Hobbes to Hume.

S.J. volume V.

Gilson, Etienne, Tuhan di Mata Para Filosof. Bandung: Mizan.

2004.

Kearney, Richard. Continental Philosophy in the 20 th century,

RoutledgeHistory of Philosophy of volume 8, London: Routledge.

2003.

Kenny, Anthony, A New History of Western Philosophy volume 3: The

Rise of Modern

Philosophy. Oxford: Oxford University Press. 2006.

34

Marias, Julian. History of Philosophy. Transleted from the

Spanish by Stanley

appelbaum and clarance G. Strowbridge. Newyork:

Dover Publications. 1966.

Russel, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan

Kondisi Sosio-Politik

dari Zaman Kuno hingga Sekarang. Yogyakarta.: Pustaka

Pelajar. 2002.