14
3 BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Permasalahan Ada yang mengatakan, “Dunia ini panggung sandiwara”. Banyak cerita, banyak peran. Lelaki dan perempuan, beradu dalam panggung kehidupan. Terkadang, mereka memainkan peran bahagia, terkadang derita. Ada kalanya mereka harus menangis, dan kemudian tertawa. Kehidupan memberikan sejuta alasan untuk manusia bertahan, termasuk dalam penindasan. Kehidupan juga “menawarkan” pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Kehidupan memberikan jarak dan tak mengijinkan waktu untuk berhenti dan merenungkan ketidakadilan yang terjadi atas kehidupan, juga atas mereka yang sedang menghidupi kehidupan ini. Disadari atau tidak, manusia-manusia yang mempunyai kekuasaan atas kehidupan ini sedang giat membangun ruang yang memenjarakan manusia lain. Status sosial, status ekonomi, pembagian kerja dan budaya patriakal turut membentuk jurang yang memisahkan kemanusiaan. Dominasi terhadap kaum tertentu seakan menjadi budaya baru. Realitanya, perempuan sebagai kaum yang diciptakan sebagai rekan sekerja yang setara dengan laki-laki malah menjadi budak penindasan oleh laki-laki dan kebudayaan. Budaya dominasi laki-laki yang merajai hampir seluruh aspek kehidupan “keperempuanan” inilah yang selama ini dibungkam. Namun, kehidupan ini masih dan akan terus berjalan untuk perjuangan sebuah kebebasan. Agaknya, suara perempuan di era globalisasi ini terus lantang berdengung tentang kesetaraan. Menggebrak budaya partiaki yang sekian lama berkobar membakar setiap kebebasan kaum perempuan, bahkan membakar harga diri perempuan. Dewasa ini mulai muncul pemikiran tentang feminisme sebagai upaya untuk memanusiakan perempuan yang telah lama “menderita” dan ditindas oleh struktur, menggugat ketidakadilan atas perempuan yang didiskriminasikan karena jenis kelaminnya selama berabad-abad oleh karena sistem masyarakat patriakhi. Identitas keperempuanan inilah yang sering dipandang sebelah mata. Identitas merupakan hal yang sering kita anggap bahwa kita sudah memahaminya, namun sulit ketika kita harus memberi batasan tentangnya. Identitas dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah budaya. Budaya adalah realita tak terelakkan yang turut membangun citra seseorang dalam kehidupan. Perempuan adalah contoh nyata manusia bentukan budaya yang selama ini tanpa perlawanan melanggengkan setiap tindakan yang menjungkirbalikkan martabat mereka sendiri. Identitas perempuan memang tak seutuhnya murni berdiri diatas kaki ©UKDW

©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01092269/0e41c...atau tidak, manusia-manusia yang mempunyai kekuasaan atas kehidupan ini sedang giat membangun ruang yang memenjarakan

  • Upload
    ledan

  • View
    226

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

3

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Permasalahan

Ada yang mengatakan, “Dunia ini panggung sandiwara”. Banyak cerita, banyak peran. Lelaki

dan perempuan, beradu dalam panggung kehidupan. Terkadang, mereka memainkan peran

bahagia, terkadang derita. Ada kalanya mereka harus menangis, dan kemudian tertawa.

Kehidupan memberikan sejuta alasan untuk manusia bertahan, termasuk dalam penindasan.

Kehidupan juga “menawarkan” pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Kehidupan

memberikan jarak dan tak mengijinkan waktu untuk berhenti dan merenungkan ketidakadilan

yang terjadi atas kehidupan, juga atas mereka yang sedang menghidupi kehidupan ini. Disadari

atau tidak, manusia-manusia yang mempunyai kekuasaan atas kehidupan ini sedang giat

membangun ruang yang memenjarakan manusia lain. Status sosial, status ekonomi, pembagian

kerja dan budaya patriakal turut membentuk jurang yang memisahkan kemanusiaan. Dominasi

terhadap kaum tertentu seakan menjadi budaya baru. Realitanya, perempuan sebagai kaum yang

diciptakan sebagai rekan sekerja yang setara dengan laki-laki malah menjadi budak penindasan

oleh laki-laki dan kebudayaan. Budaya dominasi laki-laki yang merajai hampir seluruh aspek

kehidupan “keperempuanan” inilah yang selama ini dibungkam. Namun, kehidupan ini masih

dan akan terus berjalan untuk perjuangan sebuah kebebasan. Agaknya, suara perempuan di era

globalisasi ini terus lantang berdengung tentang kesetaraan. Menggebrak budaya partiaki yang

sekian lama berkobar membakar setiap kebebasan kaum perempuan, bahkan membakar harga

diri perempuan.

Dewasa ini mulai muncul pemikiran tentang feminisme sebagai upaya untuk memanusiakan

perempuan yang telah lama “menderita” dan ditindas oleh struktur, menggugat ketidakadilan

atas perempuan yang didiskriminasikan karena jenis kelaminnya selama berabad-abad oleh

karena sistem masyarakat patriakhi. Identitas keperempuanan inilah yang sering dipandang

sebelah mata. Identitas merupakan hal yang sering kita anggap bahwa kita sudah memahaminya,

namun sulit ketika kita harus memberi batasan tentangnya. Identitas dipengaruhi oleh banyak

hal, salah satunya adalah budaya. Budaya adalah realita tak terelakkan yang turut membangun

citra seseorang dalam kehidupan. Perempuan adalah contoh nyata manusia bentukan budaya

yang selama ini tanpa perlawanan melanggengkan setiap tindakan yang menjungkirbalikkan

martabat mereka sendiri. Identitas perempuan memang tak seutuhnya murni berdiri diatas kaki

©UKDW

4

mereka sendiri. Sebagai makhluk sosial, identitas perempuan turut dibentuk oleh orang lain

(laki-laki).

Sebagai manusia Asia, setidaknya ada tiga konteks yang kita hidupi, yakni konteks Alkitab,

konteks tradisi sistematis dan konteks kita di masa kini. Kecenderungannya adalah selalu ada

pemisahan antara ketiga teks tersebut, yang sejatinya bertemu dalam konteks yang kita hidupi.

J. Fokkelman mengatakan bahwa:

Di dunia ini mungkin terdapat ribuan teks yang tetap tersembunyi atau bahkan sudah terlupakan.

Ratusan diantaranya adalah teks-teks yang bermutu tinggi dari sudut pandang sastra atau

merupakan bagian dari teks-teks yang menjadi pedoman bagi suatu kehidupan (jemaat beriman).

Namun demikian, kita baru dapat menemukakan makna yang terkandung dalam teks-teks itu

apabila kita dapat meneliti bahasa yang digunakan. Tanpa hal itu, makna atau isi teks akan tetap

tinggal tersembunyi. Singkatnya, sebuah teks baru menjadi sebuah karya ketika teks itu bekerja

dalam diri seseorang. Tanpa hal itu, makna atau isi teks akan tetap tinggal tersembunyi.1

Penulis setuju dengan apa yang diungkapkan oleh Fokkelman, bahwa ada banyak teks yang

keberadaannya masih tersembunyi dan terlupakan. Artinya, teks-teks tersebut tidak berbicara

pada kehidupan. Padahal, ketika menggali lebih dalam teks yang tersembunyi tersebut, mungkin

pembaca akan menemukan sesuatu yang bisa berdialog dengan kehidupannya. Proses penemuan

makna inilah yang kurang dilakukan oleh pembaca Alkitab, sehingga masih banyak teks dalam

Alkitab yang dianggap tidak penting atau setidaknya ada bagian yang dianggap tidak berkaitan

dengan bagian sesudah atau sebelumnya.

Sebagai penerima warisan tradisi Alkitab, penulis menyadari bahwa pemaknaan teks Alkitab

secara baru dan dinamis adalah sesuatu yang tidak mudah. Budaya patriakhal yang mewarnai

teks Alkitab menambah tantangan dalam proses pemaknaan, apalagi ketika membaca teks-teks

mengenai perempuan. Pembacaan Alkitab yang terlalu “kaku” (artinya, hanya mewarisi cara

pandang patriakhal dan tidak terbuka terhadap cara pandang yang lain) membuat manusia lupa

bahwa Alkitab adalah bagian dari pengalaman kehidupan, dan setiap manusia mempunyai

kebebasan dengan pengalamannya masing-masing. Pengalaman inilah yang nantinya penting

untuk membentuk sebuah teologi yang kontekstual untuk konteks tertentu, juga Asia bahkan

Indonesia.

Kehidupan kita saat ini tidak pernah terlepas dari sejarah masa lalu, dan sejarah masa lalu turut

dipengaruhi oleh cerita-cerita rakyat yang sangat kental dengan nilai dan budaya ketimuran.

Pentingnya sebuah kesadaran akan keberadaan diri dengan konteks yang kaya akan kekayaan

1J. Fokkelman, Di Balik Kisah-kisah Alkitab: Menuntun Membaca Narasi Alkitab sebagai Karya Sastra (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2008) h. 17

©UKDW

5

cerita rakyat yang menyimpan kearifan tersendiri dan tentunya sesuai dengan konteks

masyarakat Indonesia, karena nilai itu pernah ada dan dihidupi. Inilah yang menjadi titik pijak

untuk menggugah kesadaran pentingnya mendialogkan tradisi cerita yang sarat nilai kehidupan

sebagai pengalaman hidup dengan cerita Alkitab sebagai pengalaman kehidupan beriman.

Pui-lan mengatakan bahwa, “The historical-critical method of interpretation, which grew out of

an Eurocentric culture, must be critically judged from the experiences of local interpretive

communities”.2 Penulis setuju dengan apa yang dikatakan oleh Pui-lan, bahwa metode historis-

kritis yang diwariskan oleh orang barat (Eropa) harus ditinjau ulang. Pui-lan mengingatkan

bahwa pengalaman manusia menjadi sesuatu yang penting untuk didialogkan dengan teks

Alkitab. Kritik Pui-lan itu mempunyai dasar, karena cara berteologi orang-orang Asia kurang

memberi tempat pada cerita tradisi konteks Asia dan cenderung berkiblat pada cara berteologi

barat yang seakan memutlakkan bahwa hanya ada satu sudut pandang yang dianggap sah, yakni

sudut pandang barat.

Sebagai bangsa Indonesia, bagian dari Asia, penulis mempunyai keprihatinan yang sama, bahwa

kekayaan teks yang ada di Indonesia tidak dilihat sebagai celah untuk berdialog dengan teks

Alkitab. Penulis berpendapat bahwa manusia kristen Asia masih hidup dalam dikotomi, bahwa

teks non-Alkitab adalah bagian yang terpisah dari kehidupan orang Kristen. Hal inilah yang

menjadi tantangan dalam proses berdialog. Sebagai manusia Asia, penulis harus terbuka dan

mengakui bahwa penulis memang hidup dalam dua teks tersebut (teks Alkitab dan teks Asia).

Keduanya menjadi penting karena turut membentuk manusia Asia. Dengan menyadari bahwa

kehidupan manusia Asia dibentuk oleh kedua teks tersebut, maka bukan menjadi hal yang

mustahil untuk mempertemukan keduanya dalam sebuah diskursus hermeneutis teologis.

1. 2. Permasalahan

Sebagai perempuan Asia, Pui-lan mengkritik penginterpretasian Alkitab yang menggunakan

metode historis-kritis yang menurutnya muncul dari Eropa (Barat). Oleh karena itu perlu adanya

pencerahan yang dilakukan Gereja untuk penggunaan doktrin Alkitab. Menurutnya, metode

historical-critical adalah produk ideologi yang dimunculkan oleh kalangan borjuis liberal, yang

2 Kwok Pui-lan, Discovering the Bible in the Non-Biblical World, (New York: Orbis Book, 1995) h. 85

©UKDW

6

dipertimbangkan sebagai temuan fakta dan itu bebas nilai dalam berbagai sekolah Alkitab.3

Asumsinya, metode historis kritis bisa merekonstruksi apa yang pernah terjadi.

Penulis setuju dengan apa yang menjadi kritik Pui-lan bahwa metode pembacaan teks secara

hitoris-kritis harus dikritisi, karena hal itu membatasi pemaknaan teks. Terlebih untuk konteks

Asia, dimana pembacaan terhadap teks-teks Alkitab masih selalu mengharapkan adanya hikmah

yang timbul dari pembacaan tersebut. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk memaknai ulang

setiap teks yang menyudutkan kaum tertentu, atau yang membuat posisi tidak seimbang. Dengan

mengusung semangat kesetaraan, penulis ingin menawarkan model pendekatan hermeneutis

teologis yang (mungkin) akan memberi makna “lain” pada teks. Kajian hermeneutis terhadap

Alkitab menjadi perhatian penting, mengingat keberadaan teks Alkitab masih sangat

mempengaruhi kehidupan manusia. Oleh karena itu, proses pembacaan dan pemaknaan

(kembali) menjadi diperlukan.

Eben Nuban Timo mengatakan bahwa:

Sebagian besar cerita Alkitab (Perjanjian Lama) mengenai perempuan-perempuan hanyalah

berupa potongan-potongan yang berdiri sendiri. Ada gap4 (kesenjangan) antara potongan yang

satu dengan potongan yang lain, sehingga sulit bagi pembaca (modern) untuk melihat

kesinambungan potongan-potongan tadi. Gap yang paling mencolok tampak dalam hal berikut:

penulis Alkitab hanya memperlihatkan kepada kita “apa” yang perempuan-perempuan itu alami

atau lakukan, tanpa menunjukkan “mengapa” itu bisa terjadi sedemikan rupa.......Teks-teks

tersebut dengan sendirinya menuntut pembaca untuk membuat filling of the gap, mengisigaps....

Dalam usaha melakukan filling of the gaps, ada dua cara yang ditempuh, yakni: (1) spekulasi,

yang berarti memilih latar belakang, membentuk nuansa, dan mengarahkan persepsi pembaca

pada alur cerita dengan bahan yangsama sekali menyimpang dari fakta-fakta yang diajukan teks,

sehingga makna dari teks tertentu serta kesatuan potongan-potongan cerita yang berdiri sendiri

tadi sulit ditemukan. Dan (2) interpretasi, sebagai sebuah usaha memberi setting, membentuk

nuansa, dan mengarahkan persepsi pembaca dengan menggunakan bahan yang diperoleh dari

pemahaman yang mendalam dari semua kesan yang mungkin diperoleh pembaca ketika

menganalisis teks-teks itu.5

Penulis setuju dengan apa yang diungkapkan Eben Nuban Timo, bahwa perempuan dalam

Perjanjian Lama tidak diperlakukan secara adil. Dari uraian diatas, penulis melihat keberadan

3 Dalam bukunya Discovering the Bible in the Non-Biblical World. New York: Orbis Books, 1995, Pui-lan

mengatakan: The historical-critical method of biblical interpretation emerged from a particular religious and

intellectual milieum in Europe. On the one hand, challenged by rationalism and humanism, there was a religious

need wake of the Enlightenment to examine and critique the doctrinal use of the Bible by the church. On the other

hand, biblical scholars lived in an intellectual climate with heightened historical consciousness. They shared a

modern concept of history that was “the ideological product of an emergent bourgeois liberal society. Since then

the historical-critical method, considered to be fact-finding and value-free, has been taken as the standart for biblical

scholarship. h. 85-86 4Gap adalah istilah yang dipakai Eben Nuban Timo dalam bukunya Hagar dan Putri-putrinya: Perempuan

Tertindas Dalam Alkitab untuk menyebut kesenjangan antara kisah satu dengan kisah yang lain dalam Alkitab.

Yang kemudian akan dipakai dalam tulisan ini untuk menyebut kesenjangan. 5 Eben Nuban Timo, Hagar dan Putri-putrinya: Perempuan Tertindas Dalam Alkitab (jakarta: BPK Gunung Mulia,

2009), h.13-14

©UKDW

7

perempuan menjadi figur yang tidak diperhitungkan. Banyak perempuan yang namanya tidak

disebutkan dalam Alkitab yang justru mempunyai peranan penting. Atau yang dikenal karena dia

merupakan istri/anak dari seorang laki-laki. Sedangkan keberadaan perempuan pada dirinya

sendiri selalu dipandang sebelah mata. Memang terjadi masalah yang serius dalam pembacaan

Alkitab mengenai perempuan. Oleh karena itu penulis akan menempuh upaya “interpretasi” teks.

Penulis memilih kisah Daud-Batsyeba (2 Samuel 11-12:25; 1 Raja-raja 1:1-52), dengan

Batsyeba sebagai subyek kajian. Berangkat dari keprihatinan bahwa banyak penilaian negatif

dialamatkan kepada Batsyeba. “Sejarah” Perjanjian Lama mengungkapkan bahwa Batsyeba

adalah seorang perempuan yang ayu parasnya, rela dipersunting raja, sedangkan dia sudah

bersuamikan Uria. Alkitab sendiri (menurut penulis) dengan tidak adil mengabadikan Batsyeba

sebagai bagian dari sejarah yang tak terelakkan. Alkitab hanya merekam apa yang sudah

Batsyeba lakukan tanpa memberi keterangan jelas mengapa hal itu bisa terjadi. Sedang Alkitab

tidak memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: apakah Batsyeba seorang perempuan yang

tidak baik yang mencoba untuk menarik perhatian laki-laki lain (bahkan seorang raja) pada saat

suaminya tidak sedang berada dirumah? Apakah ia bermaksud menjerat raja yang sensitif

dengan kecantikan paras perempuan? Ataukah dia adalah seorang perempuan kesepian yang

sedang berusaha mengusir rasa sepi itu? Ataukah dia adalah perempuan yang polos namun

kurang berhati-hati? Ataukah Batsyeba sebenarnya tidak se-polos yang dibayangkan oleh para

pembaca, bahwa ia adalah bagian dari sebuah “konspirasi” besar? Tentu kita tak tahu motif

dibalik “tragedi” itu, dan kita juga tidak bisa menyalahkan Batsyeba karena tidak ada kejelasan

teks. Mungkin keadaannya yang sedemikian rupa sehingga ia memang tidak mengira bahwa ada

orang yang melihatnya.

Adanya gaps mengenai kisah Batsyeba ini membuat para pembaca dengan kebebasan berfikirnya

menilai Batsyeba secara negatif, tanpa mempertimbangkan bahwa dari rahim Batsyeba-lah lahir

raja-raja besar penerus tahta Daud, dan rahim Batsyeba adalah gerbang pertama menuju

kelahiran Sang Juru Selamat dunia, yaitu Yesus.6

6 Lih. Matius 1:6, “.. Daud memperanakkan Salomo dari istri Uria”. Ada kejanggalan dalam teks ini, bahwa

Batsyeba diperkenalkan sebagai istri Uria. Tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa Batsyeba dalam Injil Matius

disebut sebagai istri Uria? Hal ini mengindikasikan bahwa Daud (ternyata) memperanakkan Salomo dari istri orang

lain, yakni Uria. Secara eksplisit ingin menekankan keberdosaan Daud (dan Batsyeba). Dalam bukunya Ketegaran

Menghadapi Krisis Identitas (suatu Studi terhadap Silsilah Yesus dan Maknanya Bagi Komunitas Matius), Samuel

Hakh mengatakan bahwa pemahaman silsilah mengenai Mesias dari keturunan Daud memainkan peranan yang

penting dalam Perjanjian Baru. Mengutip pendapat Ferdinand Hahn, Samuel Hakh mengatakan bahwa kedekatan

Mesias (Yesus) dengan Daud itu bersumber dari janji Allah kepada Daud (2 Sam. 7:16), yang kemudian

dinubuatkan oleh para nabi. Hans menegaskan bahwa tidak dapat disangkali adanya harapan mesianik dari garis

keturunan imam dalam tradisi Yahudi. Tetapi harapan tentang seorang Mesias dari keturunan Daud tetap menduduki

©UKDW

8

Sebagai bagian dari manusia Asia, dengan melihat konteks Indonesia (khususnya) yang

merupakan negara majemuk, kaya akan ragam budaya, yang menyimpan kearifan lokal,

menyimpan kekayaan teks-teks yang hidup dalam masyarakat, penulis sadar bahwa teks-teks

Asia ini belum mendapatkan tempat yang semestinya, dianggap sebagai bagian yang terpisah

dari kehidupan. Inilah yang keliru, justru teks ini (seharusnya) berbicara! Menyadari konteks

dimana penulis hidup, dalam kerangka pembacaan teks Alkitab dan teks Asia (yang dua-duanya

menurut penulis kurang diperlakukan secara adil oleh pembaca), penulis melakukan proses

cross-textual hermeneutic.

Penulis memilih novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer, sebagai representasi teks

Asia untuk berdialog dengan kisah Daud-Batsyeba. Disini, Dedes menjadi subyek kajian.

Dikisahkan bahwa Dedes adalah seorang brahmana-keturunan, putri seorang brahmana bernama

Mpu Parwa. Singkatnya, Dedes dipersunting –secara paksa- oleh Tunggul Ametung yang adalah

seorang dari kasta Sudra (kasta rakyat jelata/budak) yang disatryakan oleh karena ia menjadi

seorang akuwu Tumapel. Dedes yang awalnya tidak mau menerima kenyataan bahwa ia sudah

dipersunting oleh seorang yang berkasta lebih rendah (yang berarti juga sebuah penghinaan),

akhirnya menyadari bahwa dalam ‘ketertindasannya’, ia mempunyai semangat untuk bangkit.

Bangkit memperjuangkan martabatnya sebagai seorang perempuan, juga martabat kaum

brahmana yang selama ini tidak dihormati keturunan Raja Erlangga, raja pertama yang mulai

tidak mengindahkan ajaran agama Hindu.

Perannya sebagai seorang Pramesywari, membuatnya leluasa bergerak disekitar wilayah

Tumapel. Dedes bersikap manis didepan Akuwu Tumapel hanya untuk menutupi rencana

besarnya menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung (atau balas dendam?). Dan kedatangan

Arok, sebagai tokoh utama dalam novel karya Pram, semakin memuluskan jalan Dedes untuk

merebut kekuasaan. Roman Arok Dedes bukan roman mistika-irasional7 (terkait kutukan keris

empu Gandring yang memakan tujuh turunan). Ditangan Pram, ini adalah roman politik

seutuhnya. Tokoh-tokoh utama yang tidak pernah menggunakan tangannya sendiri untuk

membunuh setiap lawannya. Licik nan cerdik! Tragedi berdarah, tapi para pembunuh (yang

sejati) bertepuk dada mendapati penghormatan yang tinggi. Dari rahim Dedes lahirlah raja-raja

besar pulau Jawa.

posisi penting. Motivasi Injil Matius adalah membangun suatu kontinuitas janji Allah dari Abraham kepada Yesus.

Penulis injil Matius melakukannya untuk mengabsahkan identitas komunitasnya dengan mengakarkan tradisi

mereka jauh ke dalam tradisi bapa-bapa leluhur dngan menampilkan Yesus sebagai Pewaris janji itu. 7 Istilah yang digunakan Lentera Dipantara yang untuk menunjukkan kutukan keris Empu Gandring yang tidak

masuk akal.

©UKDW

9

Dari kedua perempuan ini, dari dua tradisi yang berbeda, hadir dalam waktu yang berbeda,

namun sama-sama ada ‘penindasan’ disana. Batsyeba yang (mungkin) tertindas karena tidak bisa

menolak keinginan Raja, ‘memilih bungkam’ dan membiarkan pembaca seenaknya melayangkan

setiap tafsiran negatif terhadapnya. Sedangkan Dedes, tidak tinggal diam untuk setiap

ketidakadilan yang ia alami.

Adanya gap diseputaran kisah Batsyeba memang tak terhindarkan. Penulis ingin mengajak

pembaca melihat celah ini untuk melakukan apa yang ditawarkan oleh Archie Lee, yakni

interpretasi teks Alkitab dengan menggunakan metode lintas-pembacaan (cross-textual).

Dengan konteks realitas Asia yang beragam, kata konteks mungkin akan membantu untuk

menjelaskan secara dinamis dalam strategi hermeneutik ini. Point-nya adalah dalam konteks

Asia terdapat beragam teks yang hidup.

Pembacaan Alkitab secara cross-textual di Asia datang dengan orientasi tunggal

Alkitab dan struktur kepercayaan di Asia yang beragam.Teks Asia seharusnya

dihormati dan diperlakukan setara dengan Alkitab dalam upaya untuk

menginterpretasikan Alkitab, memberi makna yang mana selama ini tersembunyi

dan tersingkirkan dalam sejarah penginterpretasi-an Alkitab. Interpretasi teks

secara cross-textual dalam konteks Asia, berinteraksi secara dinamis dan saling

menerangi antara teks Alkitab dan teks Asia.8

Disini yang menjadi teman berdialog adalah kisah Arok Dedes. Untuk mengisi gap ini,

diperlukan adanya imajinasi.

Eben Nuban Timo mengutip apa yang dikatakan oleh C. S. Song dalam buku: Theology from the

Womb of Asia bahwa, imajinasi adalah hal yang dibutuhkan oleh orang Kristen di Asia untuk

membebaskan diri dari kegemukan akibat makanan-makanan teologi dari Barat sehingga mereka

tidak lagi lincah dan gesit di bumi Asia dan memanfaatkan kekayaan budaya, sejarah, tradisi suci

dan agama-agama Asia untuk pengembangan hidup mereka. Imajinasi dibutuhkan agar orang

Kristen Asia dapat bertemu dengan Allah dalam kemanusiaan Asia, untuk mengenal Allah dalam

dunia Asia, untuk dapat merajut sejarah Alkitab dan sejarah Asia, dan bebas untuk bertemu

8 Archie C. C. Lee, “Cross-textual hermeneutics in Asia” dalam Asian Theology on the Way, Ed. By Peniel

Jesudason Rufus Rajkumar, (London: SPCK International Study, 2012), h.35. Cross-textual reading of the Bible in

Asia has to come to terms with the monotheistic/henotheistic orientation of the Bible and the polytheistic stucture of

Asian religious presupposittion....Asian texts should be regarded as being on a par with the Bible in order to bring

out of the biblical text a fuller range of meanings which have been hidden or marginalized in the history of biblical

interpretation.

©UKDW

10

Yesus Juru Selamat dalam kedalaman spiritualitas yang menopang orang-orang Asia dalam

perjalanan panjang dari penderitaan dan harapan mereka.9

Adapun penulisan kajian ini akan dibantu dengan rumusan masalah:

Bagaimana metode hermeneutis cross-textual antara novel Arok-Dedes karya Pramoedya

Ananta Toer (teks Asia) dan kisah Daud-Batsyeba (teks Alkitab), dapat mengisi kesenjangan

dalam pembacaan teks Alkitab, sehingga mampu menjadikan cara berfikir orang Asia yang

lebih berkembang, peka dan terbuka terhadap keberagaman teks dan permasalahan

didalamnya (secara khusus terhadap perempuan –sebagai kaum yang termajinalkan)?

1. 3. Batasan Masalah

(1) Masalah yang dikaji adalah seputar adanya kesenjangan (gap) dalam pembacaan

(pemaknaan) teks Alkitab mengenai perempuan.

(2) Dengan adanya masalah tersebut akan dikaji melalui metode cross-textual untuk

membantu pembaca menemukan filling of the gaps, sehingga pembacaan teks

mengenai perempuan bisa lebih dibaca secara adil.

1. 4. Judul Skripsi

Memoar Perempuan: Perjuangan “Korban” Kekuasaan

(Kajian Hermeneutis Cross-textual antara

Novel Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer dan Kisah Daud-Batsyeba)

1. 5. Penjelasan Judul

Penulis mengusulkan rumusan judul seperti diatas dengan penjelasan demikian:

- Penggunaan kata memoar yang memiliki arti (menurut KBBI) adalah kenang-kenangan

sejarah atau catatan peritiwa masa lampau menyerupai autobiografi yang ditulis dengan

menekankan pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa yang dialami dan

tentang tokoh yang berhubungan dengannya. Penulis melihat penggunaan kata memoar

menjadi bagian dari judul yang tepat karena dalam proses tafsir lintas-pembacaan (cross-

9 Ungkapan ini dikutip oleh Eben Nuban Timo dalam bukunya Hagar dan Putri-putrinya: Perempuan Tertindas

Dalam Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009. h. 14

©UKDW

11

textual interpretation), penulis berperan sebagai “pencerita” yang menceritakan ulang

sebuah kisah melalui perspektif yang lain, sehingga apa yang nantinya menjadi

keberhasilan penulis adalah sebuah cerita baru dan pemaknaan baru terhadap tokoh yang

dibahas dalam cerita tersebut.

- Penulis juga menggunakan kata perempuan untuk disandingkan dengan kata memoar.

Menurut penulis, ketika kata memoar dan perempuan digabungkan menjadi satu frasa,

maknanya akan menunjukkan bahwa perempuan dalam cerita itu sendirilah yang

“memonumenkan” dirinya. Semata-mata bukan penghargaan yang diberikan penulis

kepada perempuan dalam cerita, penulis hanya mempertemukan mereka, dan kisah

merekalah yang membuat mereka pantas menjadi sebuah memoar.

- Penulis menggunakan kata perjuangan karena kata itulah yang mewakili isi dari tulisan

ini, mengenai perjuangan perempuan.

- Penulis menggunakan kata “korban” dan memberi tanda petik pada kata ini dengan

alasan bahwa makna dari korban itu sendiri tidak jelas. Manusia yang sebagai korban

kerap kali tidak mengetahui bahwa posisinya adalah korban, atau bahkan para korban ini

terlalu nyaman dengan status korban. Dan melalui dua perempuan yang akan dibahas

penulis, akan dijelaskan apa itu korban, bagaimana posisinya, dan apa yang bisa mereka

perbuat sebagai korban.

- Penulis menggunakan kata “kekuasaan” untuk menunjukkan superioritas laki-laki

terhadap perempuan. Laki-laki dan kekuasaan adalah simbol bagi penindasan kaum

perempuan dalam kedua teks yang akan dibahas oleh penulis.

1. 6. Tujuan Penulisan

(1) Dengan adanya penulisan ini, diharapkan memunculkan kesadaran bersama bahwa kita

sebagai bagian dari manusia Asia memiliki keunikan tersendiri, yakni hidup dalam

konteks budaya dan teks kehidupan yang beragam. Dan sudah saatnya kita menggunakan

kacamata kita sendiri sebagai manusia Asia dengan bentukan budaya Asia dan hidup di

Asia untuk berteologi secara kontekstual Asia. Bukan menjadi anti-barat, namun

memberi perhatian kepada teks-teks Asia agar bisa berbicara dalam kehidupan kita.

Berlaku adil untuk teks Asia guna didialogkan dengan teks Alkitab, untuk menjawab

setiap ketidakadilan yang terjadi didalam kehidupan konteks Asia.

(2) Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan satu contoh kesenjangan yang terjadi di

Alkitab, yang selama ini kurang mengkritisi oleh pembacanya. Menyadari adanya

©UKDW

12

kesenjangan, yang membuat kita sebagai pembaca dengan serta merta mengisi setiap

kekosongan dari potongan-potongan cerita dengan sesuatu yang negatif terkait dengan

perempuan di Alkitab (khususnya Batsyeba). Untuk itu dengan adanya penulisan ini,

diharapkan bisa mengajak pembaca untuk bisa menciptakan filling of the gap secara lebih

positif terhadap teks yang bersangkutan.

(3) Dengan adanya upaya cross-textual, teks Asia dan teks Alkitab diharapkan bisa saling

berdialog, berjumpa untuk saling melengkapi kekosongan yang ada. Masing-masing teks

dengan kebijaksanaan yang terkandung didalamnya, saling mengkritik dan membangun.

Sehingga diharapkan dari pertemuan keduanya dapat ditemukan cara/alternatif untuk

menjadikan cara berfikir orang Asia lebih ‘berkembang’ dalam pembacaan teks. Bukan

hanya sekedar menjawab permasalahan, sekiranya tulisan ini menjadi model keberhasilan

cross-textual untuk menjawab pergumulan yang lain.

(4) Menghadirkan kajian tentang perempuan tertindas yang berjuang untuk sebuah “nama”,

dalam tulisan ini, perempuan yang menjadi perhatian adalah Batsyeba dan Dedes.

Pemikiran ini berangkat dari nama-nama perempuan di Perjanjian Lama yang

mendapatkan perlakuan yang sama seperti Batsyeba, yakni tidak mendapatkan

pernghargaan sebagai perempuan yang utuh.

1. 7. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan mendeskripsikan dan

menganalisis pustaka-pustaka yang berkaitan dengan tema. Yakni hal-hal yang terkait dengan

penafsiran secara naratif-kritis terhadap teks Daud-Batsyeba dan Arok-Dedes. Kemudian

mengupayakan model pendekatan cross-textual sehingga mampu menjawab apa yang menjadi

permasalahan.

Perlu diketahui bahwa, metode cross-textual hampir mirip dialogical-imagination. Walau tak

persis sama, ada perbedaan diantara keduanya.

Arhie Lee mengungkapkan bahwa,

Interpretasi teks secara cross-textual, secara tidak langsung menyiratkan proses crossing

diantara kedua teks selama proses membaca, mengikatnya dalam ketegangan yang

kreatif. Dalam proses tersebut, kedua teks harus menjadi subyek dan ditafsir secara kritis

oleh pembaca, yang mana yang akan mencari keterikatan kedua teks, kemudian

©UKDW

13

memperbaharui makna dan oleh sebab itu pembaca bisa mengkonfirmasi dua identitas

yang dimilikinya. Pendekatan cross-textual memberikan perhatian pada dua teks

tersebut. Ada dua teks, teks A adalah teks Asia dan teks B adalah Alkitab. Teks A (teks

Asia) harus diperiksa dengan teliti oleh teks B, begitu juga sebaliknya. Dan teks B juga

perlu dibaca secara kritis dalam perspektif teks A yang sudah diinterpretasikan tadi. Yang

terpenting adalah teks A dan B tersebut memiliki kedudukan yang seimbang. Dialog

antara dua teks itu juga dengan ketegangan yang seimbang. Sehingga mengimplikasikan

adanya pertemuan yang seimbang di anatara keduanya. Keduanya memiliki kesempatan

yang sama dalam berdialog. Sehingga memiliki kesempatan yang sama untuk saling

mengkritik. Teks A dan B diperlakukan sama. Tidak ada yang lebih tinggi di antaranya.10

Sedangkan dialogical-imagination, mengutip apa yang disampaikan Sharon Parks, Pui-lan

mengungkapkan bahwa dalam kerangka interpretasi teks Alkitab di Asia, agaknya perlu

melibatkan daya imajinasi secara penuh.

Proses menuju sebuah imajinasi yang kreatif, ditempuh dengan beberapa tahap: ketika

mengkaji teks, perlu disadari adanya konflik (ada sesuatu yang janggal), kemudian

berhenti sejenak, dan menemukan gambaran baru, setelahnya mempolakan realita dan

baru kemudian melakukan interpretasi.11

Sekiranya menjadi jelas, apa yang menjadi perbedaan diantara kedua pendekatan teks ini.

Dengan upaya meng-cross-kan kedua teks tersebut diharapkan manusia Asia mampu menyadari

dan menemukan ketidaksesuaian antara berbagai macam interpretasi terhadap Alkitab yang

sudah kita warisi dengan realita di Asia yang kita hadapi. Manusia Asia harus menemukan

gambaran yang baru untuk realitas yang sedang mereka hadapi, kemudian membuat sebuah

relasi baru antara Alkitab dan kehidupan mereka.

Dalam proses cross-textual, penulis mengajukan metode menafsir teks secara naratif-kritis

dengan strategi pragmatis. Penulis merujuk pada resensi yang dibuat oleh Darmanto Lemuel

10

Archie C. C. Lee, “Cross-textual hermeneutics in Asia” dalam Asian Theology n the Way, Ed. By Peniel

Jesudason Rufus Rajkumar, (London: SPCK International Study, 2012), h.35-36. Cross-textual interpretation also

implies making crossing between the two text during the reading process, engaging them in creative tension. In the

process, the two texts should be subjected to vigorous and critical appraisal by their readers, who will seek to engage

both texts so as to bring about a renewed configuration of meaning and hence a confirmation of those readers dual

identity.... Cross-textual scriptural interpretation has suggested that there may be multiple crossing between the

Asian text (text A) and the biblical text (text B)... text A must be scrutinized by text B, and vice versa. Text B also

needs to be read critically in the perspective brought to it by text A. Each text provides the necessary contour against

which the other can be seen in a proper light. 11

Kwok Pui-lan, Discovering The Bibe in the Non-Biblical World, (New York:Orbis Books, 1995), h. 13. Biblical

interpretation in Asia must involve a powerful act of imagination. Sharon Parks shows that the process of creative

imagination involves the following stages: a consciousness of conflict (something not fitting), a pause, the finding

of a new image, the repatterning of reality, and interpretaion.

©UKDW

14

mengenai pemikiran Robert Alter dalam buku The Art of Biblical Narative, yakni mengenai

metode tafsir secara naratif. Pemikiran Alter membuka cakrawala berfikir penulis (sebagai

teolog dan pembaca) bahwa Alkitab merupakan sebuah karya sastra, buah pemikiran dan refleksi

umat.

Darmanto Lemuel menulis pemikiran Alter yang mengungkapkan bahwa,

Cerita-cerita Alkitab merupakan sebuah kesinambungan, berkaitan satu dengan

yang lain. Mengacu pada pendekatan tradisional Midrash, Alter setuju bahwa teks

harus didekati dengan cara halus, disesuaikan dengan tanda-tanda verbal kecil

dari kontinuitas cerita dan nuansa leksikal penting, seperti yang dilakukan oleh

close reading pada zaman sekarang. Dalam pendekatan Midrash, teks yang

merupakan sesuatu yang berbelit-belit dihubungkan sebagai satu kesatuan, sedang

tafsiran modern melihat potongan-potongan kecil itu sebagai dokumen yang

berbeda-beda.12

Berangkat dari keprihatinan penulis yang terangkum dalam rumusan permasalahan, maka teks

Alkitab mengenai kisah Daud-Batsyeba dan teks Asia Arok-Dedes akan didekati dengan

pendekatan naratif. Mengutip apa yang dikemukakan Alter, bahwa cerita Alkitab menekankan

sekali kesatuan dan kesinambungan teks, dan tidak ada ayat atau perikop yang merupakan

tambahan atau sisipan yang “lepas” dari rangkaian cerita. Bagi Alter, selalu ada “kejadian

kebetulan” tertentu yang mirip dan erat dari cerita yang satu dengan cerita yang lain.13

Alter mengungkapkan beberapa seni dalam cerita Alkitab14

1. Seni dalam kata-kata

Mengingat bahwa cerita Alkitab merupakan cerita yang singkat, maka katakata tunggal

dan frase-frase khusus perlu diperhatikan, mungkin saja itu memiliki peranan penting.

Kata kunci yang sering diulang ini dinamakan “leitwort” yang dipakai untuk

mengungkapkan makna moral, historis, psikologis atau teologi. Leitwort ini sering

memberi tekanan pada tokoh-tokoh utama dalam cerita Alkitab. Pada penulisan ini,

penulis akan mengkaji leitwort pada tokoh-tokoh utama yakni Daud dan Batsyeba.

12

Resensi buku Robert Alter, The Art of Biblical Narative, London, 1981, oleh Darmanto Lemuel dalam majalah

Gema Duta Wacana no. 41 edisi Teologi Narasi, h.112 13

Ibid, h.113 14

Ibid, 114-121

©UKDW

15

2. Seni dalam tindakan

Seni dalam tindakan meliputi: analogi, paralel dan pengulangan. Istilah yang dipakai

Alter adalah type scene yang merupakan pengulangan dari peristiwa yang sama (dimana

kesamaan dapat dianggap sebagai rangkaian motif-motif cerita tertentu yang mungkin

ditampilkan secara yang variatif dan kadang dengan variasi yang amat cerdik)

3. Seni dalam dialog

Dialog menjadi kecenderungan manakala kita membaca Alkitab. Banyak dialog yang

ditampilkan untuk menunjukkan banyak sentuhan-sentuhan mimesis (mimesis: cerminan

kenyataan). Dialog akan membantu penafsir untuk mengetahui bahwa suatu narasi dalam

Alkitab itu penting. Dalam penulisan kali ini, penulis akan melihat teks 2 Samuel 11,

bahwa di awal cerita, narator menceritakan dengan sedikit dialog, yang kemudian dalam

cerita selanjutnya, dialog menjadi dominan, terlebih dialog ketika Daud berencana

membunuh Uria (suami Batsyeba), pembaca akan lebih memahami secara mendalam

maknanya melalui dialog.

4. Seni dalam cerita

Dalam cerita Alkitab, sosok narator menjadi bagian yang penting. Narator sebagai yang

maha-tahu dan keberadaannya sering tidak menonjol, namun dia ada! Narator

mempunyai toritas untuk menyampaikan segala sesuatu, bahkan ucapan-ucapan Allah

dengan baik disampaikan oleh sang narator. Narator juga berkuasa menghentikan

kerangka waktu pada sebuah cerita untuk menyisipkan sebuah informasi rinci dalam

bentuk waktu lampau, kadang meloncat kedepan. Dari rincian tersebut, penulis

berpendapat bahwa besar kemungkinan adanya gaps dalam cerita Daud-Batsyeba

merupakan bagian dari otoritas narator yang ingin menyampaikan banyak pesan dalam

sebuah cerita. Sehingga terkesan ada kesenjangan disana.

1. 8. Sistematika Penulisan

Berikut adalah sistematika penulisan skripsi yang dilakukan oleh penulis:

BAB I : Pendahuluan

©UKDW

16

Pada bagian ini berisi tentang latar belakang penulisan, permasalahan, batasan

masalah, judul, penjelasan judul, tujuan penulisan dan metode.

BAB II : Menafsir roman Arok-Dedes karya Pramoedya Ananta Toer dengan strategi

pembacaan naratif

BAB III : Menafsir teks Daud-Batsyeba dengan strategi pembacaan naratif

BAB IV : Upaya cross-textual antara kisah Arok-Dedes dan Daud-Batsyeba serta

menemukan filling of the gaps dari dialog tersebut.

BAB V : Penutup (Kesimpulan dan Evaluasi)

©UKDW