24

Click here to load reader

 · Web viewEtnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita terlalu

  • Upload
    ngodieu

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1:  · Web viewEtnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita terlalu

ETNOMUSIKOLOGI DAN EKOSISTEM MUSIK1

Oleh: Dr. Eli irawati, S.Sn., M.A.2

Abstrak

Keberadaan praktik musikal dalam berbagai kelompok masyarakat dan kebudayaan di dunia telah lama menjadi perhatian kaum cerdik pandai. Eksistensi suatu praktik musikal, berdasarkan kajian-kajian yang telah dilakukan, antara lain menghasilkan pendekatan ekosistem musik. Dengan pendekatan ini, keberadaan suatu paktik musik dipandang sebagai hasil dari serangkaian hubungan antara unsur-unsur, yaitu sistem pembelajaran musik, musisi dan komunitas/masyarakat, konteks dan konstruk, regulasi dan infrastruktur, serta media dan industri musik. Dengan kata lain, ada rangkaian berkesinambungan dari hulu ke hilir yang menjaga suatu musik tetap eksis. Makalah ini mencoba menelaah bagaimana peran etnomusikolog dalam usaha membangun ekosistem dengan mengambil salah satu kerja etnomusikologi terapan, yakni pengembangan desa-desa budaya di Yogyakarta. Selanjutnya, dengan memahami peran etnomusikolog dalam membangun dan memelihara ekosistem musik, penulis mencoba menempatkan keberadaan minat utama penciptaan dalam program studi etnomusikologi sebagai salah satu wujud atau usaha mengambil bagian memapankan (atau melengkapi) suatu ekosistem musik. Dengan memahami ekosistem musik, pada akhirnya, sudah sewajarnya jika etnomusikolog mulai memikirkan untuk membuka wadah-wadah baru dalam domain-domain di dalam ekosistem itu guna mempertahankan dan bahkan memperkuat rangkaian mata rantainya.

Kata Kunci: Etnomusikologi, Ekosistem, Penciptaan, Eksistensi

Abstract

The existence of musical practices among cultures and societies across the world has long been the concern of the scholars of various field of study. Studies that have been carried out among others bring out an approach called ecosystem of music. In this approach, the existence of music is a result of interrelating elements, namely: the music learning system, musicians and community, context and construct, regulation and infrastructure, and the media and music industry. In other words, there are things that go from upstream to downstream in a sequences which is in turn establish the existence of a music. This paper attempts to examine the role of ethnomusicologists in the effort to maintaining an ecosystem of music, focusing on an applied ethnomusicology work,

1Makalah disajikan dalam Acara Simposium Masyarakat Etnomusikologi Indonesia (MEI) Tanggal 28-29 September 2018 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

2Staf Pengajar di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Untuk korespondensi dapat melalui surat elektronik: [email protected].

Page 2:  · Web viewEtnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita terlalu

ELI IRAWATI 2

i.e. the development of cultural villages in Yogyakarta. Furthermore, by understanding the role of ethnomusicologists in maintaining the ecosystem of music, the author are trying to put composition major in ethnomusicology program (in this case is in department of ethnomusicology, ISI Yogyakarta) as an effort to establishing ecosystem of music. By understanding the ecosystem music, in the end, ethnomusicologists have realized that they have to open new scenes in the domains within the ecosystem to maintain it.

Keywords: Ethnomusicology, Ecosystem, Composition, Existence

Pendahuluan

Dibandingkan dengan disiplin-disiplin ilmu sosial humaniora lainnya, etnomusikologi

di Indonesia bisa dikatakan belum begitu populer. Bahkan, dengan disiplin musik pun

(baca: musik Barat), harus diakui bahwa sejauh ini etnomusikologi bisa dibilang kalah

tenar. Intinya, etnomusikologi belum cukup dikenal di kalangan publik, terutama

masyarakat awam. Bagi kebanyakan orang, musik adalah melulu soal bunyi-bunyian

yang menyenangkan alias hiburan. Jadi, musik adalah hal remeh-temeh yang tidak perlu

diperlakukan secara serius. Memang pandangan semacam ini tidak sepenuhnya salah;

namun juga tidak sepenuhnya benar. Pandangan soal musik sebagai hasil aktivitas

manusia yang berupa bunyi-bunyian untuk hiburan muncul karena ia hanya dilihat

sebagai produk saja. Ia tidak dianggap sebagai suatu hasil dari laku dan pemikiran serius

manusia baik secara individu maupun komunal, melainkan hanya dianggap sebagai

buah dari aktivitas bersenang-senang saja. Akibatnya antara lain ialah pandangan seperti

yang disebutkan di atas tadi—musik bukan sesuatu yang serius, jadi tidak perlu

diperlakukan secara serius pula. Padahal, hadirnya musik baik dalam bentuk bunyi-

bunyian maupu suatu gelaran pertunjukan merupakan hasil dari suatu rangkaian panjang

aktivitas manusia.

Menurut Alan Merriam, bunyi musik merupakan salah satu mata rantai dalam

siklus yang menghasilkannya, mulai dari konsep yang mendasari dan kemudian

memunculkan perilaku-perilaku yang menghasilkan bunyi musik. Merriam

mengemukakan bagaimana konsep mempengaruhi bunyi musik: “there is a constant

feedback from the product to the concepts about music, and this is what accounts both

Page 3:  · Web viewEtnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita terlalu

ETNOMUSIKOLOGI DAN EKOSISTEM MUSIK 3

for change and stability in music system”.3 Model ini membentuk sebuah siklus, dimana

konsep mempengaruhi perilaku yang menghasilkan bunyi. Ada umpan balik yang

konstan dari produk terhadap konsep musik, dan hal inilah yang menyebabkan sebuah

sistem musik dapat berubah namun tetap stabil. Sistem musik, dengan demikian,

memiliki banyak elemen saling topang sehingga menghasilkan bunyi musik. Untuk

memahami persoalan ini, kita bisa meminjam konsep ekosistem yang umum dijumpai

dalam disiplin biologi.

Ensiklopedi Britannica daring menjelaskan ekosistem sebagai ”the complex of

living organisms, their physical environment, and all their interrelationships in a

particular unit of space”.4 Lebih lanjut, dijelaskan bahwa:

An ecosystem can be categorized into its abiotic constituents, including minerals, climate, soil, water, sunlight, and all other nonliving elements, and its biotic constituents, consisting of all its living members. Linking these constituents together are two major forces: the flow of energy through the ecosystem, and the cycling of nutrients within the ecosystem.

Intinya, dalam sebuah ekosistem, ada lingkungan fisik tempat hidup, organisme-

organisme yang hidup dalam lingkungan itu, serta energi yang memungkinkan baik

lingkungan maupun organisme tadi untuk bertahan atau beraktivitas. Demikian pula

halnya dalam ekosistem musik. Musik tidak serta merta ada begitu saja, melainkan

keberadaannya dimungkinkan oleh elemen-elemen lain di luar gejala bunyi-bunyian itu

sendiri.

Tulisan ini mencoba melihat kaitan antara etnomusikologi dengan ekosistem

musik, terutama dengan berpijak pada pengalaman penulis di lapangan. Tulisan ini

terbagi menjadi lima bagian, yakni pendahuluan, kemudian paparan soal ekosistem

musik secara singkat. Setelah itu, penulis mencoba memaparkan contoh bagaimana

elemen-elemen dalam suatu ekosistem bisa saling topang dengan mengambil kasus

pengembangan desa budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya, penulis

mencoba memposisikan etnomusikologi (dalam hal kajian maupun

komposisi/penciptaan) dalam suatu ekosistem musik. Terakhir, penulis tidak

memberikan suatu simpulan, melainkan refleksi yang diharapkan bisa memantik diskusi 3Alan P. Merriam, The Anthropology of Music (Evanston: Northwestern University Press, 1964),

33. 4www.britannica.com/science/ecosystem, diakses 1 Agustus 2018.

Page 4:  · Web viewEtnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita terlalu

ELI IRAWATI 4

lebih lanjut soal bagaimana etnomusikologi bisa semakin berperan dalam suatu

ekosistem musik.

Ekosistem Musik

Gagasan tentang ”ekosistem musik” kemungkinan pertama kali dikemukakan melalui

tulisan oleh William Kay Archer pada tahun 1964 dalam artikelnya yang berjudul ”On

the Ecology of Music”.5 Pemikiran ini kemudian banyak dikembangkan oleh Huib

Schippers. Pada intinya, ekosistem musik merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari

elemen-elemen pelaku (dari produsen hingga konsumen musik, atau dari pencipta,

pemusik, hingga penonton), lingkungan tempat pelaku dan musik yang mereka ciptakan

dan hidupi itu berada (baik lingkungan fisik maupun non-fisik), serta faktor-faktor yang

mendorong para pelaku musik tetap beraktivitas dan juga faktor-faktor yang menjaga

dan mempertahankan lingkungan di mana musik itu hidup dan berkembang.

Sejauh ini tulisan-tulisan yang mendiskusikan ekosistem atau ekologi musik

mencoba mengupas soal kesinambungan budaya-budaya musik.6 Schippers

mengemukakan lima domain yang saling terkait dan berperan dalam kesinambungan

suatu musik, yakni sistem pembelajaran musik, musisi dan komunitas/masyarakat,

konteks dan konstruk, regulasi dan infrastruktur, serta media dan industri musik.7 Dari

domain-domain ini, dapat dilihat bahwa kesinambungan suatu musik ditopang oleh

suatu ekosistem yang elemen-elemennya saling sinergi, mulai dari hulu hingga hilir.

Pada prinsipnya sulit untuk menetapkan titik mana yang merupakan hulu dan mana

yang merupakan hilir dalam siklus kehidupan suatu genre musik atau budaya musik,

sebab elemen-elemen di dalamnya saling memberikan umpan balik yang terus menerus,

5William Kay Archer, “On the Ecology of Music”, Ethnomusicology, Vol. 8, No. 1, Tahun 1964, 28-33, seperti dikutip dalam Huib Schippers, “Applied Ethnomusicology and Intangible Cultural Heritage: Understanding ‘Ecosystems of Music’ as a Tool for Sustainability”, dalam Svanibor Pettan & Jeff Todd Titon, eds., The Oxford Handbook of Applied Ethnomusicology (New York: Oxford University Press, 2015), 134.

6Lihat, misalnya, Schippers, “Applied Ethnomusicology…,” 2015; Schippers & Bendrups, “Ethnomusicology, Ecology, and the Sustainability of Musical Cultures,” World of Music, Januari 2015, 1-14.

7Schippers, “Applied Ethnomusicology…,” 2015, 141; Huib Schippers, Facing the Music: Shaping Music Education from a Global Perspective” (New York: Oxford University Press, 2010), 180-181.

Page 5:  · Web viewEtnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita terlalu

ETNOMUSIKOLOGI DAN EKOSISTEM MUSIK 5

sebagaimana diungkapkan Merriam dalam model klasiknya. Namun demikian,

umumnya awal dari suatu siklus ditetapkan mulai dari kemunculan objek yang diamati

itu. Dalam kasus ekosistem musik, awal atau hulu siklus bisa mengacu pada kapan ia

muncul (dilahirkan, diciptakan, disajikan) dan hilirnya adalah saat musik itu

dikonsumsi. Dalam kasus-kasus komposisi spontan (komposisi yang dibuat langsung

saat pertunjukan, yang oleh Bruno Nettl disebut in the course of perfomance8), hulu dan

hilir bisa dikatakan nyaris atau memang bersamaan.

Dalam suatu ekosistem musik, rantai dari hulu ke hilir melibatkan banyak

elemen. Untuk musik-musik lokal-tradisional, elemen-elemen yang ada di dalamnya

antara lain ialah musisi, wadah pembelajaran dan transmisi musik, komunitas pemilik

musik, ukuran-ukuran estetika (soal bagaimana “semestinya” suatu musik disajikan),

aktivitas-aktivitas yang menjadi konteks musik itu (misalnya ritual-ritual, karena harus

diakui bahwa kebanyakan musik di Nusantara adalah musik “dalam rangka”), para

dukun/tokoh yang memimpin upacara, sesaji, dan lain sebagainya. Untuk genre musik-

musik populer-modern, elemen-elemen yang ada di dalam ekosistemnya antara lain

meliputi musisi, agensi atau label rekaman, penggemar, distributor, lembaga

pembelajaran (formal atau non-formal), lembaga penyiaran, toko retail (meskipun

sekarang sudah sangat jarang ditemukan), regulasi soal hak cipta, studio rekaman,

penyedia perangkat keras dan perangkat lunak rekaman, jejaring sosial, dan situs web.

Elemen elemen ini pada prinsipnya terdiri dari beragam pemangku kepentingan,

yang membuat roda siklus terus bergerak. Untuk memperoleh gambaran yang lebih

nyata soal bagaimana para pemangku kepentingan berperan dalam ekosistem musik,

atau dalam suatu ekosistem budaya khususnya, penulis memaparkan contoh berupa

upaya pengembangan desa-desa budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta, karena penulis

ikut berpartisipasi langsung di dalamnya sehingga memiliki pengalaman dan informasi

tangan pertama.

8Bruno Nettl, The Study of Ethnomusicology: Thirty-three Discussions (Urbana: University of Illinois Press, 2015), 60.

Page 6:  · Web viewEtnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita terlalu

ELI IRAWATI 6

Membangun Ekosistem Budaya: Contoh di Yogyakarta

Yogyakarta sudah sejak lama dikenal dengan julukan “Kota Budaya”. Oleh karena itu,

tidak mengherankan apabila salah satu aspek yang menjadi titik berat dalam status

keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah bidang kebudayaan,

sebagaimana termuat dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah

Istimewa Yogyakarta.9 Dalam menjalankan keistimewaan ini, DIY memiliki empat pilar

utama yang dikenal dengan 4K, yakni kraton, pemerintah (kaprajan), kampus

(akademi), dan kampung (masyarakat, desa).10 Keempat pemangku kepentingan ini mau

tidak mau alias secara otomatis menjadi tumpuan dalam ekosistem budaya di

Yogyakarta.

Salah satu program yang bergulir dalam kerangka keistimewaan DIY adalah

pengembangan desa budaya. Program ini memiliki payung hukum, yakni Peraturan

Gubernur DIY Nomor 36 Tahun 2014 tentang Desa/Kelurahan Budaya, dan sejauh ini

telah ditetapkan 56 Desa/Kelurahan Budaya di DIY.11 Program ini dijalankan dengan

tujuan utama meningkatkan kualitas dan aktivitas karya budaya di desa/kelurahan yang

telah berstatus Desa Budaya, dengan kegiatan antara lain membangun koordinasi antara

pemerintah desa dengan pemerintah daerah, pendataan potensi desa/kelurahan budaya,

pembentukan organisasi pengelola desa budaya yang menjadi citra pemerintah desa

dalam upaya pengembangan budaya di desa bersangkutan, pembuatan program desa

budaya, pelaporan dan evaluasi kegiatan desa budaya, serta dinamisasi aktivitas

aktualisasi, pengembangan dan konservasi potensi budaya. Sejauh ini cukup banyak

sumber daya manusia berlatar belakang pendidikan etnomusikologi (atau bisa juga kita

sebut etnomusikolog) yang ikut terlibat dalam program ini dan menitikberatkan pada

budaya musik yang ada di desa/kelurahan budaya.

9Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Pasal 7 Ayat 2 menyebutkan lima kewenangan dalam keistimewaan DIY, yaitu (1) tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, (2) kelembagaan Pemerintah Daerah DIY, (3) kebudayaan, (4) pertanahan, dan (5) tata ruang.

10Lihat, misalnya, Humas DIY, “Kraton-Kaprajan-Kampus-Kampung untuk Saling Menguatkan”, dimuat dalam www.jogjaprov.go.id, diakses 1 Agustus 2018.

11Peraturan Gubernur DIY Nomor 36 Tahun 2014 tentang Desa/Kelurahan Budaya; Keputusan Gubernur DIY Nomor 262/Kep/2016 tentang Penetapan Desa/Kelurahan Budaya.

Page 7:  · Web viewEtnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita terlalu

ETNOMUSIKOLOGI DAN EKOSISTEM MUSIK 7

Pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang berlatar belakang etnomusikologi

dalam program ini tidak hanya berfokus pada aktivitas bermusik saja, melainkan mereka

harus memikirkan bagaimana agar suatu praktik musikal atau suatu kelompok musik

bisa bertahan hidup dan diharapkan bisa berkembang. Dalam tahun-tahun awal program

ini, harus diakui bahwa kebanyakan pekerjaan terarah pada bagaimana memberikan

tambahan keterampilan teknis kepada para pelaku musik di desa-desa yang menjadi

sasaran program. Namun demikian, cara ini memiliki resiko: dari segi etika, melangkahi

SDM lokal yang memiliki pengetahuan lebih banyak soal praktik musik dan konteks

hidup mereka. Selain itu, banyak yang beranggapan bahwa cara ini mengancam mata

pencaharian para musisi lokal-tradisional (banyak di antara mereka memperoleh

penghasilan dari mengajar di kelompok-kelompok musik lokal, menjadi guru gamelan,

guru musik jathilan, pengajar tari, dan sebagainya). Selain itu, kelompok-kelompok ini

tetap tidak memiliki cukup banyak ruang untuk berekspresi dan nyaris tidak mendapat

dukungan dari pemangku kepentingan lainnya.

Dalam perkembangannya, berdasarkan hasil evaluasi, pekerjaan lebih diarahkan

pada bagaimana membangun hubungan antara pelaku-pelaku seni yang ada di dalam

desa/kelurahan dengan pemerintah desa/kelurahan, dan kemudian menghubungkan desa

atau kampung ini dengan pemangku kepentingan lainnya, dalam hal ini dengan

kaprajan, kampus, dan kraton. Untuk hubungan dengan kraton, sebenarnya lebih

berisifat samar, karena kraton terutama menjadi “acuan” atau patron budaya. Intinya,

kraton menjadi pusat kebudayaan. Meski demikian, ada juga ruang yang diberikan oleh

kraton untuk memfasilitasi kelompok-kelompok seni (misalnya kelompok karawitan)

dari desa untuk mengisi pertunjukan reguler di kraton. Dalam hal hubungan dengan

pemerintah, para pengelola desa budaya didorong untuk bisa mencermati program-

program dari berbagai instansi sehingga bisa melakukan padu-padan (mix and match)

sehingga bisa memperoleh dukungan dari instansi-instansi terkait. Sebagai contoh,

banyak program milik pemerintah daerah (baik tingkat propinsi maupun kabupaten)

yang kini dieksekusi di desa/kelurahan budaya. Sebaliknya, pemerintah daerah kini

kian sering melibatkan para pelaku desa/kelurahan budaya dalam perencanaan dan

eksekusi program mereka, misalnya dalam penyusunan raperda tata nilai, dilibatkannya

pelaku desa budaya dalam musyawarah perencanaan pembangunan. Di tingkat desa,

Page 8:  · Web viewEtnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita terlalu

ELI IRAWATI 8

pelaku budaya yang terorganisasi dalam pengelola desa budaya juga kini mulai

dilibatkan dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah (mendampingi

seksi pelayanan yang membidangi urusan kebudayaan). Kegiatan lain yang dilakukan

pemerintah dengan bekerjasama dengan desa budaya adalah pendataan. Kini,

pemerintah daerah lebih mudah menjaring informasi karena adanya pengelola

desa/kelurahan budaya yang memang khusus membidangi urusan kebudayaan dan

menjadi mitra pemerintah desa. Dalam hal regulasi, pemerintah daerah menerbitkan

peraturan gubernur dan keputusan lainnya yang menunjang keberadaan desa/kelurahan

budaya, serta membagi tanggungjawab dalam pengelolaan desa/kelurahan budaya (di

bawah pemerintah propinsi) dan rintisan desa/kelurahan budaya (di bawah pemerintah

kabupaten).

Selanjutnya, pelaku desa budaya juga didorong untuk membangun hubungan

dengan institusi-institusi pendidikan tinggi di Yogyakarta. Sebagai contoh, bentuk relasi

yang sudah terlaksana adalah kerjasama antara desa budaya dengan pusat studi

kebudayaan dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) untuk

melakukan pelatihan penyusunan program kegiatan dan rencana induk (master plan)

bagi para pengelola desa budaya, pelatihan dan bimbingan teknis dari para mahasiswa

yang diutus untuk melakukan pengembangan dan pembinaan wilayah seni bagi para

pelaku seni/budaya di desa/kelurahan budaya (meliputi pelatihan dan bimbingan dalam

bidang musik, tari, kerajinan, pengemasan, dan sebagainya). Peningkatan wawasan dan

keterampilan ini termasuk dilakukan juga oleh para etnomusikolog dengan cara saling

berbagi pengetahuan dan wawasan dengan para pelaku seni/budaya, memberikan

referensi-referensi yang kiranya terkait, memberikan motivasi kepada para pelaku, serta

memberikan masukan-masukan jika memang diminta.

Hubungan juga terus dibangun antara desa budaya dengan pihak swasta,

misalnya dengan melakukan penawaran ke pihak hotel atau restoran di desa/kelurahan

budaya agar bisa menjadi tempat display bagi potensi seni/budaya di desa itu, baik seni

pertunjukan maupun kerajinan. Kelompok-kelompok seni dari desa/kelurahan budaya

diharapkan nantinya bisa secara regular menjadi pengisi acara di tempat-tenpat itu, dan

hasil-hasil kerajinan lokal juga mendapat tempat untuk dipromosikan dan dipasarkan

Page 9:  · Web viewEtnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita terlalu

ETNOMUSIKOLOGI DAN EKOSISTEM MUSIK 9

kepada para pengunjung. Harapannya, pada akhirnya upaya ini dapat memberikan

manfaat bagi peningkatan ekonomi para pelaku seni/budaya di desa/kelurahan budaya.

Inti dari program ini adalah mendorong para pelaku seni/budaya di

desa/kelurahan budaya agar bisa menjadi potensi utama di desa/kelurahan mereka

sendiri. Hubungan-hubungan yang dibangun dengan para pemangku kepentingan

bertujuan untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam mengelola potensi budaya

mereka. Selanjutnya, hubungan-hubungan ini dibangun atas kesadaran pentingnya akses

terhadap segala sesuatu yang mendukung siklus ekosistem budaya, mulai dari hulu

hingga hilir. Para etnomusikolog yang berpartisipasi dalam program ini menangani

mulai dari bagaimana agar kemampuan para pemusik di desa/kelurahan budaya bisa

terus meningkat hingga bagaimana mereka mendapatkan ruang untuk menyajikan

karya-karya mereka itu. Dalam pekerjaan seperti ini, kemampuan karya-cipta dan

pengkajian dituntut harus dimiliki oleh seorang etnomusikolog.

Saat terjun ke lapangan, etnomusikolog yang terlibat dalam program ini,

bersama-sama dengan pemerintah desa dan pelaku budaya setempat, dituntut untuk

melakukan pendataan, pemetaan, dan rencana aksi (program) untuk semakin

meningkatkan aktivitas aktualisasi praktik musik secara khusus, dan budaya secara

umum, dalam masyarakat tempat ia bekerja. Program yang disusun tentu berupaya

membangun hubungan dengan kraton, kaprajan, dan kampus untuk mendapatkan hasil

semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Dari hasil riset singkat yang

dilakukan (misalnya tentang sejarah desa, konsep lokal, tempat bersejarah, dan

sebagainya), etnomusikolog mendorong para pelaku musik untuk memberikan sentuhan

baru pada karya dan aktivitas mereka (misalnya menjadikan sejarah desa sebagai

konsep, atau instrumen lokal sebagai sumber ide penciptaan).12 Lebih dari itu,

etnomusikolog juga harus berpikir soal bagaimana agar kelompok yang mereka jadikan

mitra ini bisa mendapat ruang ekspresi, memperoleh dukungan dari pemerintah, serta

12Salah satu contohnya adalah pemafaatan sebuah joglo yang memiliki nilai historis untuk melakukan pementasan seni untuk anak-anak. Riwayat joglo ini dikemas dalam suatu rangkaian pertunjukan seni anak-anak (karawitan, macapat, badui) yang meriwayatkan sejarah joglo itu serta perubahan di desa itu. Ada juga festival sorthong (alat sederhana pembantu irigasi yang terbuat dari bamboo), yang memanfaatkan alat itu (sorthong) untuk dijadikan sumber bunyi, ditata sedemikian rupa sehingga memunculkan komposisi musikal.

Page 10:  · Web viewEtnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita terlalu

ELI IRAWATI 10

disentuh oleh institusi pendidikan agar memperoleh bimbingan dan pembinaan dalam

rangka meningkatkan kemampuan mereka.

Berkenaan dengan pemanfaatan media, para etnomusikolog dalam program ini

juga dituntut untuk membangun hubungan dengan media lokal serta mulai membangun

sendiri corong informasi dan publikasinya yang berbasis internet, yakni membuat situs

web maupun memanfaatkan media sosial yang cenderung lebih murah biaya

operasionalnya. Sebagai contoh adalah situs web Desa Budaya Kabupaten Sleman,

www.desabudayasleman.or.id, yang diresmikan oleh Bupati Sleman pada tahun 2017.

Ke depannya, situs web ini diharapkan sebagai media informasi sekaligus pangkalan

data untuk desa-desa budaya di Kabupaten Sleman, DIY.

Intinya, dalam konteks ini, etnomusikolog yang berpartisipasi dituntut untuk

menjadi fasilitator, dinamisator, motivator, dan kreator. Kerja lapangan semacam ini

mengarahkan etnomusikolog untuk menerapkan ilmunya secara nyata, yang mungkin

bisa disebut dengan applied ethnomusicology atau etnomusikologi terapan.

Etnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di

lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita

terlalu mengkotakkan diri dengan mengklaim bahwa ranah etnomusikologi hanyalah

seputar pengkajian. Lebih dari itu, dari sini juga terlihat bahwa etnomusikolog dituntut

untuk memiliki kemampuan komunikasi dan diplomasi yang baik guna membangun

hubungan dengan para pemangku kepentingan.

Harus diakui bahwa ke depannya kita, etnomusikolog, dituntut untuk berpikir

dengan pendekatan ekosistem musik dalam upaya menjaga budaya-budaya musik untuk

terus bertahan. Alur dari hulu dan hilir harus dipertimbangkan untuk memetakan segala

potensi yang bisa muncul, baik itu potensi yang merintangi maupun yang mendukung.

Sebab, ketika terjun ke lapangan, idealisme disipliner kita terkadang tidak selalu sesuai

dengan kondisi dan kita dituntut untuk bisa lebih tanggap dan peka dengan lingkungan.

Penciptaan dalam Etnomusikologi?

Page 11:  · Web viewEtnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita terlalu

ETNOMUSIKOLOGI DAN EKOSISTEM MUSIK 11

Belajar dari kenyataan di lapangan dalam kerja terapan seperti yang dipaparkan di atas,

penulis tertarik untuk mendiskusikan bagaimana keberadaan minat penciptaan dalam

etnomusikologi. Ini antara lain didasari pada diskusi yang mempersoalkan hadirnya

minat utama penciptaan musik dalam jurusan etnomusikologi. Sebagian kalangan

mungkin berargumen bahwa etnomusikologi, dengan kata ‘logos’ yang melekat

padanya, merupakan sebuah disiplin yang berfokus pada ranah kajian atau penelitian,

sehingga tidak layak jika jurusan etnomusikologi membawahi sebuah minat yang

berfokus pada praktik-praktik penciptaan musik. Sementara itu, sebagian kalangan

lainnya mungkin tidak mempermasalahkan kehadiran minat utama itu. Selanjutnya,

mungkin ada kalangan yang juga berpikiran bahwa “musik etnis tidak patut diciptakan

dalam sebuah konteks akademik”. Musik etnis ya musik yang lahir dalam kehidupan

suatu kelompok etnis, bukan diciptakan seseorang di kelas.” Pandangan-pandangan ini

tidak keliru, namun bisa jadi tidak sepenuhnya benar.

Jika kita cermati lebih dalam, seolah ada pendikotomian antara musik etnis dan

musik non-etnis (musik Barat?). Musik etnis adalah musik yang dilahirkan di tengah-

tengah suatu komunitas (mungkin kesukuan), tidak diketahui penciptanya atau tidak

memiliki pencipta tunggal. Sementara itu, musik non-etnis (musik Barat?) memiliki

pencipta atau diketahui siapa penciptanya. Namun demikian, pertanyaannya adalah:

apakah dengan demikian musik non-etnis bukanlah musik yang lahir di tengah

masyarakat dan bisa terjaga keberadaannya karena peran dari masyarakat yang

menerimanya? Jika menggunakan pendekatan ekosistem musik, maka baik musik etnis

ataupun musik yang dikategorikan non-etnis bisa hidup dan berkembang karena ada

peran masyarakatnya. Dengan demikian, jika kita mengklaim bahwa musik etnis tidak

layak untuk diciptakan (mungkin oleh seseorang, di kelas), maka semestinya musik

non-etnis pun demikian, karena keduanya tetap membutuhkan masyarakat/

komunitasnya dan hidup di tengah masyarakat/komunitas itu. Kendati demikian,

persoalan apakah etnomusikologi juga layak mengurusi musik-musik Barat masih

sering menjadi bahan pembicaraan. Jaap Kunst, dalam permulaan sejarah

etnomusikologi, menuliskan bahwa musik seni Barat bukan merupakan objek studi

etnomusikologi. Kunst menulis:

Page 12:  · Web viewEtnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita terlalu

ELI IRAWATI 12

The study-object of ethnomusicology, or, as it originally was called: comparative musicology, is the traditional music and musical instruments of all cultural strata of mankind, from the so-called primitive peoples to the civilized nations. Our science, therefore, investigates all tribal and folk music and every kind of non-Western art music. Besides, it studies as well the sociological aspects of music, as the phenomena of musical acculturation, i.e. the hybridizing influence of alien musical elements. Western art- and popular (entertainment-) music do not belong to its field.13

Ada juga kalangan yang menganggap bahwa tidak semestinya minat utama

penciptaan ada di bawah sebuah jurusan etnomusikologi, melainkan sebaiknya berada di

bawah sebuah jurusan musik, dengan klaim bahwa apapun objek yang diciptakan atau

dikomposisi, baik musik Barat ataupun non-Barat, ia tetap saja musik. Persoalan apakah

sebuah minat utama penciptaan musik lebih pantas berada di bawah jurusan

etnomusikologi atau jurusan musik, sepertinya agak mirip dengan perdebatan yang

pernah muncul di Barat soal apakah sebuah jurusan etnomusikologi lebih cocok berada

di bawah fakultas musik atau antropologi. Apakah jurusan etnomusikologi lebih pantas

berada di bawah fakultas seni pertunjukan (seperti di ISI Yogyakarta) ataukah fakultas

ilmu budaya (seperti di USU Medan), sebab etnomusikologi bukanlah sebuah cabang

seni, melainkan sebuah ilmu tentang seni, yaitu musik.

Selanjutnya, jika kemunculan minat utama penciptaan dalam etnomusikologi

dianggap menyalahi “kodrat” etnomusikologi yang merupakan sebuah ilmu kajian dan

dengan demikian dipandang berpotensi melencengkan “sejarah” etnomusikologi,

bukankah ini sudah terjadi? Meskipun pada awalnya musik seni dan hiburan Barat,

seperti yang dikatakan Kunst, bukan merupakan objek studi etnomusikologi, namun

kini banyak bermunculan kajian soal musik-musik “non-etnis”, bahkan terhadap musik-

musik yang kategorikan kontemporer.14 Jika awalnya etnomusikologi adalah studi yang

dilakukan oleh seseorang terhadap musik di luar budayanya (dulu umumnya orang

Barat yang meneliti musik non-Barat disebut etnomusikolog, sedangkan orang non-

Barat yang meneliti musik Barat disebut dengan musikolog) karena dianggap mampu

13Jaap Kunst, Ethnomusicology: A Study of its Nature, its Problems, Methods and RepresentativePersonalities to which is added a Bibliography, Edisi ketiga yang diperluas (The Hague: Martinus Nijhoff, 1969), 1.

14Lihat, misalnya, Jennifer C. Post, Ethnomusicology: a Contemporary Reader (New York: Routledge, 2007).

Page 13:  · Web viewEtnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita terlalu

ETNOMUSIKOLOGI DAN EKOSISTEM MUSIK 13

menghindari bias, maka kini justru sebalikna: insider dianggap lebih bisa mengungkap

konsep-konsep dari musik milik mereka, dan persoalan bias dapat diminimalisir melalui

metode-metode yang terukur.

Seperti halnya pendekatan yang penulis coba diskusikan dalam makalah ini,

yaitu melihat kehidupan budaya musik sebagai suatu ekosistem, agaknya kemunculan

minat utama penciptaan di bawah jurusan etnomusikologi bukanlah hal yang benar-

benar penting untuk diperdebatkan karena nyaris tidak ada dampak negatifnya menurut

penulis. Sebaliknya, kemunculan minat utama ini, dalam konteks ekosistem musik,

memberikan ruang baru dalam domain pembelajaran. Sebagai salah satu mata rantai

dalam rangkaian hulu-hilir ekosistem musik, kehadiran minat utama penciptaan

menyediakan wadah yang diharapkan mampu menampung mereka yang lebih menaruh

minat pada ilmu komposisi atau penciptaan musik, yang nantinya akan melahirkan

sebagai produk musik. Namun, menurut penulis, hal yang harus terus dipikirkan dan

dikembangkan adalah metode-metode di dalamnya. Di bawah payung etnomusikologi,

semestinya minat utama penciptaan terus-menerus mengeksplorasi metode-metode

komposisi atau konsep-konsep yang ada dalam berbagai budaya musik di Nusantara

sebagai sumbernya. Sebagai contoh, praktik musik kelentangan Dayak Benuaq di

Kalimantan Timur, yang memperlihatkan bahwa proses transmisi musik itu tidak bisa

terlepas dari konteks ritualnya, bisa diekplorasi untuk melihat bagaimana kaitan antara

gerak-gerik pemeliatn dengan pola tabuhan instrumen kelentangan dalam rangkaian

proses bekajiq (niteni, memperhatikan), kintau (niro’ake, menirukan), dan tameh

(nambahi, menambahkan, mengembangkan) yang dijalani oleh seorang penu’ung

(pemusik).15 Bagaimana seorang pe’nuung mengembangkan motif-motif tabuhan dasar

sesuai dengan kemampuannya mengikuti gerak-gerik pemeliatn dan struktur ritual bisa

menjadi salah satu acuan dalam aspek-aspek penciptaan musik di jurusan

etnomusikologi. Contoh lainnya yang bisa dieksplorasi berkenaan dengan metode

adalah bagaimana seorang pakacaping bisa menciptakan nyanyian secara spontan

dengan menjadikan situasi sekitarnya sebagai sumber ide. Sebenarnya, banyak praktik

musikal kita yang sangat menarik untuk dipelajari dan diambil sebagai modal dalam

15Eli Irawati, “Aspek-aspek Transmisi Kelentangan dalam Konteks Ritual Masyarakat Dayak Benuaq di Kalimantan Timur” (Disertasi Doktor, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2017).

Page 14:  · Web viewEtnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita terlalu

ELI IRAWATI 14

kaitannya dengan metode-metode penciptaan. Cara yang paling sesuai (dan mungkin

menyenangkan) untuk melakukan ini adalah etnomusikolog harus turun ke lapangan,

terlibat dalam aktivitas masyarakat pemilik musik. Karena dengan demikian,

etnomusikolog akan ikut merasakan dinamika dalam sebuah ekosistem musik.

Kembali lagi soal ekosistem musik, seperti yang telah diuraikan di atas, dapat

dilihat bahwa dalam realita di lapangan masa kini, seorang etnomusikolog dituntut

untuk bisa hadir dan berpartisipasi menyelesaikan masalah-masalah secara riil, bukan

hanya sekedar mengajukan argumen-argumen teoretis. Selanjutnya, saat bekerja di

tengah situasi yang sebenarnya, pada dasarnya tidak ada lagi kesempatan untuk

mengkotak-kotakkan atau mengklaim bahwa sebagai etnomusikolog, seseorang hanya

wajib atau merasa bertanggungjawab untuk membantu pekerjaan dalam hal-hal yang

sifatnya kajian. Ekosistem musik mendorong etnomusikolog untuk juga peka dan ikut

terlibat dalam mempertahankan suatu budaya musik dari berbagai aspeknya, tidak

hanya terpaku pada idealisme disipliner.

Penutup

Seperti yang telah disebutkan di awal, penulis tidak akan mengakhiri makalah ini

dengan simpulan. Sebaliknya, penulis ingin mengajak pembaca untuk merenungi

kembali sudah sejauh mana keterlibatan kita, sebagai etnomusikolog ataupun orang-

orang yang menaruh minat pada budaya, dalam memahami sebuah budaya musik

sebagai sebuah ekosistem. Tentu saja, ada satu aspek atau lebih dalam ekosistem musik

yang menjadi bidang atau perhatian seorang etnomusikolog. Namun demikian, apakah

kita sudah berpikir jauh soal peran kita dan dampaknya terhadap aspek lain dalam

ekosistem musik.

Selanjutnya, dengan memahami ekosistem musik, maka sudah sewajarnya jika

etnomusikolog mulai memikirkan untuk membuka wadah-wadah baru dalam domain-

domain di dalam ekosistem itu, untuk mempertahankan dan bahkan memperkuat

rangkaian mata rantainya. Kemunculan minat utama penciptaan dalam etnomusikologi,

misalnya, bisa dilihat sebagai salah satu upaya untuk memperkuat domain pembelajaran

Page 15:  · Web viewEtnomusikolog harus berpikir praktis untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan dalam membantu masyarakat yang menjadi mitranya. Sangat naif apabila kita terlalu

ETNOMUSIKOLOGI DAN EKOSISTEM MUSIK 15

yang nantinya akan berpengaruh dalam arus hulu-hilir ekosistem musik. Namun

demikian, kita jadi dituntut untuk memikirkan bagaimana metode-metode yang layak,

yang antara lain bisa digali dari metode-metode komposisional berbagai praktik musikal

di Nusantara. Jadi, pengkajian dan penciptaan bisa mengambil peran masing-masing

dalam arus hulu-hilir ekosistem musik. Atau, mungkinkah penciptaan dan pengkajian

dalam etnomusikologi merupakan dua sisi koin?

Sumber Acuan

Humas DIY, “Kraton-Kaprajan-Kampus-Kampung untuk Saling Menguatkan”, dimuat dalam www.jogjaprov.go.id, diakses 1 Agustus 2018.

Irawati, Eli. “Aspek-aspek Transmisi Kelentangan dalam Konteks Ritual Masyarakat Dayak Benuaq di Kalimantan Timur”. Disertasi Doktor, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2017.

Keputusan Gubernur DIY Nomor 262/Kep/2016 tentang Penetapan Desa/Kelurahan Budaya.

Kunst, Jaap. Ethnomusicology: A Study of its Nature, its Problems, Methods and Representative Personalities to which is added a Bibliography. Edisi ketiga yang diperluas. The Hague: Martinus Nijhoff, 1969.

Merriam, Alan P. The Anthropology of Music. Evanston: Northwestern University Press, 1964.

Nettl, Bruno. The Study of Ethnomusicology: Thirty-three Discussions. Urbana: University of Illinois Press, 2015.

Peraturan Gubernur DIY Nomor 36 Tahun 2014 tentang Desa/Kelurahan Budaya.Post, Jennifer C. Ethnomusicology: a Contemporary Reader. New York: Routledge,

2007.Schippers, Huib & Dan Bendrups. “Ethnomusicology, Ecology, and the Sustainability

of Musical Cultures.” World of Music, Januari 2015, 1-14.Schippers, Huib. “Applied Ethnomusicology and Intangible Cultural Heritage:

Understanding ‘Ecosystems of Music’ as a Tool for Sustainability”, dalam Svanibor Pettan & Jeff Todd Titon, eds. The Oxford Handbook of Applied Ethnomusicology. New York: Oxford University Press, 2015.

Schippers, Huib. Facing the Music: Shaping Music Education from a Global Perspective. New York: Oxford University Press, 2010.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

www.britannica.com/science/ecosystem, diakses 1 Agustus 2018.