Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
1
BAB II
KAJIAN TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS
A. KAJIAN TEORI
1. Pengertian Restorative Justice
Restorative Justice merupakan reaksi terhadap teori retributif yang
berorientasi pada pembalasan dan teori neo klasik yang berorientasi pada
kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dalam teori retributif, sanksi
pidana bersumber pada ide “mengapa diadakan pemidanaan”. Dalam hal ini
sanksi pidana lebih menekankan pada unsur pembalasan (pengimbalan) yang
sesungguhnya bersifat reaktif terhadap sesuatu perbuatan. Ia merupakan
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar.
Seperti dikatakan oleh J. E. Jonkers bahwa sanksi pidana
dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan.
Sementara sanksi tindakan bersumber pada ide “untuk apa diadakan
pemidanaan itu”. Jika dalam teori retributif sanksi pidana tertuju pada
perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang
bersangkutan menjadi jera), maka sanksi tindakan akan ter-arah pada upaya
memberi saran dan pertolongan agar dia berubah1.
Sanksi tindakan bertujuan lebih bersifat mendidik2 dan berorientasi
pada perlindungan masyarakat3.
Restorative Justice adalah peradilan yang menekankan pada perbaikan
atas kerugian yang disebabkan atau terkait dengan tindak pidana. Restorative
Justice dilakukan melalui proses kooperatif yang melibatkan semua pihak
1 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit. hal. 4.
2 Utrecht, E, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994), hal. 360.
3 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1986), hal. 53.
2
2
(stake holders). Patut dikemukakan beberapa pengertian Restorative Justice
berikut ini :
a. Restorative justice is a theory of justice that emphasizes repairing the
harm caused or revealed by criminal behaviour. It is best accomplished
through cooperative processes that include all stakeholders. (Keadilan
restoratif adalah teori keadilan yang menekankan perbaikan kerusakan
yang disebabkan oleh perilaku kriminal. Yang paling baik hal ini
dilakukan melalui proses kerjasama yang mencakup semua pihak yang
berkepentingan)4.
b. Restorative justice is a valued-based approach to responding to
wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the
person causing the harm, and the affected community. (Keadilan restoratif
adalah nilai / prinsip pendekatan terhadap kejahatan dan konflik, dengan
fokus keseimbangan pada orang yang dirugikan, penyebab kerugian, dan
masyarakat yang terkena dampak)5.
c. Howard Zehr : Viewed through a restorative justice lens, “crime is a
violation of people and relationships. It creates obligations to make things
right. Justice involves the victim, the offender, and the community in a
search for solutions which promote repair, reconciliation, and
reassurance. (Dilihat melalui lensa keadilan restoratif, kejahatan adalah
pelanggaran terhadap hubungan kemasyarakatan. Kejahatan menciptakan
kewajiban untuk memperbaikinya. Keadilan melibatkan korban, pelaku,
dan masyarakat dalam mencari solusi yang menawarkan perbaikan,
rekonsiliasi, dan jaminan)6.
d. Burt Galaway dan Joe Hudson : A definition of restorative justice includes
the following fundamental elements :”first, crime is viewed primarily as a
conflict between individuals that result in injuries to victims, communities,
and the offenders themselves; second, the aim of the criminal justice
process should be to create peace in communities by reconciling the
parties and repairing the injuries caused by the dispute; third, the
criminal justice should facilitate active participation by the victim,
offenders, and their communities in order to find solutions to the conflict.
(Definisi keadilan restoratif meliputi beberapa unsur pokok : Pertama,
kejahatan dipandang sebagai suatu konflik antara individu yang dapat
mengakibatkan kerugian pada korban, masyarakat, maupun pelaku sendiri;
kedua, tujuan dari proses peradilan pidana harus menciptakan perdamaian
dalam masyarakat, dengan jalan perujukan semua pihak dan mengganti
kerugian yang disebabkan oleh perselisihan tersebut; ketiga, proses
4 http//:152.118.58.226 – Powered by Mambo Open Source Generated: 7 Nopember, 2008, 18:00.
5 Kuat Puji Prayitno, Op.cit. hal. 4.
6 Howard Zehr, Changing lenses : A New Focus for Crime and justice, (Waterloo: Herald Press, 1990),
hal. 181.
3
3
peradilan pidana memudahkan peranan korban, pelaku, dan masyarakat
untuk menemukan solusi dari konflik itu)7.
e. Kevin I. Minor dan J.T. Morrison : Restorative Justice may be defined as
a response to criminal behavior that seeks to restore the loses suffered by
crime victims and facilitate peace and tranquility among opposing parties.
(Keadilan restoratif dapat digambarkan sebagai suatu tanggapan kepada
perilaku kejahatan untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh para
korban kejahatan untuk memudahkan perdamaian antara pihak-pihak
saling bertentangan)8.
f. Tony Marshall : Restorative justice is a process whereby all the parties
with a stake in a particular offense come together to resolve collectively
how to deal with the offermath of the offense and its implications for the
future. (Keadilan restoratif adalah proses dimana semua pihak yang
terlibat dalam suatu pelanggaran tertentu datang bersama-sama untuk
menyelesaikan secara kolektif bagaimana menghadapi akibat dari
pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan)9.
g. B.E. Morrison : Restorative justice is a from of conflict resolution and
seeks to make it clear to the offender that the behavior is not condoned, at
the same time as being supportive and respectful of the individual.
(Keadilan restoratif merupakan bentuk penyelesaian konflik dan berusaha
untuk menjelaskan kepada pelaku bahwa perilaku tersebut tidak dapat
dibenarkan, kemudian pada saat yang sama juga sebagai langkah untuk
mendukung dan menghormati individu)10
.
h. Muladi : Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan terhadap
keadilan atas dasar falsafah dan nilai-nilai tanggungjawab, keterbukaan,
kepercayaan, harapan, penyembuhan, dan “inclusivenes” dan berdampak
terhadap pengambilan keputusan kebijakan sistem peradilan pidana dan
praktisi hukum di seluruh dunia dan menjanjikan hal positif ke depan
berupa sistem keadilan untuk mengatasi konflik akibat kejahatan dan
hukum yang dapat dipertanggungjawabkan serta keadilan restoratif dapat
terlaksana apabila fokus perhatian diarahkan pada kerugian akibat tindak
pidana, keprihatinan yang sama dan komitmen untuk melibatkan pelaku
dan korban, mendorong pelaku untuk bertanggungjawab, kesempatan
7Ibid.
8 Kevin Minor and J.T. Morrison, A Theoritical Study and Critique of Restorative Justice, in Burt
Galaway and Joe Hudson, eds., Restorative Justice : International Perspectives, (Monsey, New York:
Ceimical Justice-Press and Kugler Publications, 1996), hal. 117. 9 Tony Marshall, Restorative Justice : An Overview, (London: Home Office Research Development
and Statistic Directorate, 1999), hal. 8. 10
B.E. Morrison, The School System : Developing its capacity in the regulation of a civil society, in J.
Braithwaite & H. Strang (Eds.), Restorative Justice and Civil Society, (Cambridge University Press,
2001), hal. 195.
4
4
untuk dialog antara pelaku dan korban, melibatkan masyarakat terdampak
kejahatan dalam proses retroaktif, mendorong kerjasama dan reintegrasi11
.
i. Bagir Manan : Secara umum pengertian restorative justice adalah
penataan kembali sistem pemidanaan yang lebih adil, baik bagi pelaku,
korban, maupun masyarakat12
.
2. Penerapan Restorative Justice
Dalam prosesnya restorative justice berkaitan erat dengan penerapan
Empowerment, yang terdapat beberapa pengertian, diantaranya adalah13
:
a. Barton: “the action of meeting, discussing and resolving criminal justice
matters in order to meet material and emotional needs. To him,
empowerment is the power for poeple to choose between the different
alternatives that available to resolve one’s own matter. The option to
make such decisions should be present during the whole process”
(Pemberdayaan sebagai tindakan untuk melakukan pertemuan, membahas
dan menyelesaikan masalah peradilan pidana dalam rangka memenuhi
kebutuhan materi dan emosi. Pemberdayaan adalah kekuatan bagi orang
untuk memilih antara berbagai alternatif yang tersedia untuk
menyelesaikan masalahnya sendiri, dan keputusan untuk memilih itu
tersedia dalam proses Restorative Justice).
b. Van Ness and Strong: The genuine opportuinity to participate in and
effectively influence the response of the offence. (Pemberdayaan adalah
kesempatan yang sesungguhnya / sejati untuk berpartisipasi dan secara
efektif memberi pengaruh dalam menghadapi kejahatan).
c. To Zehr: Being empowered means for victims to be heard and to have the
power to play a role in the whole process. It also means that victim have
the opportunity to define their own needs and how and when those needs
should be met. (Diberdayakan berarti korban didengar dan memiliki
kekuatan untuk berperan dalam seluruh proses. Ini juga berarti bahwa
korban memiliki kesempatan untuk mendefinisikan kebutuhan mereka
sendiri dan bagaimana serta kapan kebutuhan tersebut harus dipenuhi).
d. Larson and Zehr: Explain empowerment as the power to participle in the
case but also as the capacity to identify needed resources, to make
decision on aspects relating to one’s case and to follow through on those
decision. (Pemberdayaan sebagai kekuatan untuk berpartisipasi dalam
kasus tersebut tetapi juga sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi
11
Kesimpulan Seminar Nasional HUT Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) ke-59 dengan tema
“Restorative Justice dalam Hukum Pidana Indonesia”, Jakarta 25 April 2012. 12
Majalah Varia Peradilan, Tahun XX. No. 247, (Penerbit Ikatan Hakim Indonesia, Juni 2006), hal. 3. 13
Ivo Aertsen dkk, Restorative Justice and The Active Victim :Exploring the Concept of Empowerment
(TEMIDA Journal, Maret 2011, str 5-9, ISSN : 1450-6637 DOI 10.2298/TEM 1101005A Pregledni
Rad), hal. 8-7.
5
5
sumber daya yang dibutuhkan, untuk mengambil keputusan pada aspek
yang berkaitan dengan kasus seseorang dan untuk menindak lanjuti
keputusan tersebut).
e. Toews and Zehr: Describe victim empowerment as a possibility to be
heard, to tell one’s story and to ariculate one’s needs. (Pemberdayaan
digambarkan sebagai kemungkinan korban untuk didengar, untuk
menceritakan kisahnya dan mengemukakan kebutuhannya).
f. Bush and Folger: Define empowerment as an experience of awareness of
the own self-worth and the ability to deal with difficulties. (Pemberdayaan
diartikan sebagai kesadaran terhadap pengalaman dirinya sendiri dan
kemampuan untuk mengatasi kesulitan).
3. Prinsip-Prinsip Restorative Justice
Ada tiga prinsip dasar untuk membentuk Restorative Justice yaitu: The
three principles that are involved in restorative justice include: there be a
restoration to those who have been injured, the offender has an opportunity to
be involved in the restoration if they desire and the court system’s role is to
preserve the public order and the community’s role is to preserve a just
peace14
.
Berdasarkan statement di atas, tiga prinsip dasar Restorative Justice adalah :
a. Terjadi pemulihan kepada mereka yang menderita kerugian akibat
kejahatan;
b. Pelaku memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pemulihan keadaan
(restorasi);
c. Pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan masyarakat
berperan untuk melestarikan perdamaian yang adil.
14
From Wikipedia, the free encyclopedia/http:/en.wikipedia.org/wiki/Restorative_justice.
6
6
4. Teori Sosial Berkaitan Dengan Restorative Justice
a. Teori Living Law
Istilah the living law berarti hukum yang hidup di tengah
masyarakat, dalam hal ini yaitu hukum adat, hukum islam, dan hukum
barat.
Menurut Engen Ehrlich living law adalah hukum yang hidup di
lingkungan suatu masyarakat tertentu berupa perilaku-perilaku sosial yang
tercipta berdasarkan suatu konvensi dan solidaritas sosial, biasa kita sebut
dengan istilah hukum adat.
b. Teori Kearifan Lokal
Kearifan Lokal menurut menurut Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup BAB 1
Pasal 1 Butir 30 adalah tentang “Nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat untuk antara nlain melindungi dan mengelola
lingkungan hidup secara lestari”.
Menurut Ridwan, Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom
dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal
budidaya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek,
atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.
c. Teori Hukum Adat/Hukum Kebiasaan
Hukum Adat/Hukum Kebiasaan menurut Suyono Wignjodipuro
merupakan sesuatu yang kompleks berhubungan dengan norma-norma
yang bersumber apa ada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang
7
7
serta meliputi peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari
dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat
hukum (sanksi).
d. Teori Pemidanaan
Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat
dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :
1) Teori absolut atau teori pembalasan (retributive / vergeldings
theorieen)
2) Teori relatif atau teori tujuan
3) Teori modern
Berikut merupakan pengertian dari ketiga teori diatas :
1) Teori absolut
Menyatakan bahwa pidana merupakan res absoluta ab effectu
futuro (keniscayaan yang terlepas dari dampaknya dimasa depan).
Karena dilakukan kejahatan, maka harus dijatuhkan hukuman, quia
peccatum (karena telah dilakukan dosa).
Menurut Kant dan Hegel, ciri khas dari teori absolut adalah
keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana, sekalipun pemidanaan
sebenarnya tidak berguna, bahkan bilapun membuat keadaan pelaku
kejahatan menjadi lebih buruk. Kejahatan adalah peristiwa yang
berdiri sendiri; ada kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan;
dengan cara ini persoalan dituntaskan. Kesalahan (dosa) hanya dapat
ditebus dengan menjalani penderitaan. Jadi pandangannya diarahkan
ke masa lalu (backward looking), bukan ke masa depan15
.
15
Jan Remmelink, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting Dari KUHP Belanda dan
Padanannya Dalam KUHP Indonesia, Terjemahan T. P. Moeliono, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003), hal. 600.
8
8
Karel O. Christiansen mengidentifikasi lima ciri pokok teori absolut,
yakni16
:
a) The purpose of punishment is just retribution (tujuan pidana
hanyalah sebagai balasan);
b) Just retribution is the ultimate aim, and not in itself a means to any
ather aim, as for instance social welfare which from this point of
view is without any significance whatsoever (Pembalasan adalah
tujuan utama dan didalamnya tidak meangandung sarana-sarana
untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat);
c) Moral guilt is the only qualification for punishment (kesalahan
moral sebagai satu-satunya syarat untuk pemidanaan);
d) The penalty shall be proportional to the moral guilt of the offender
(Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku);
e) Punishment point into the past, it is pure reproach, and it purpose
is not to improve, correct, educate or resocialize the offender
(Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan
bertujuan untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi
pelaku).
Menurut Nigel Walker para penganut teori retributif ini dapat
pula dibagi dalam beberapa golongan, yaitu :
a) Penganut teori retributif yang murni (The pure retributivist) yang
berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan
kesalahan si pembuat.
b) Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang
dapat pula dibagi dalam17
:
1) Penganut teori retributif yang terbatas (the limiting
retributivist) yang berpendapat bahwa pidana tidak harus
cocok/sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh
melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan
terdakwa.
2) Penganut teori retributif yang distributif (retribution in
distribution), disingkat dengan sebutan teori “distributive”
yang berpendapat bahwa pidana janganlah dikenakan pada
orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus
cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip “tiada
pidana tanpa kesalahan” di hormati, tetapi dimungkinkan
adanya pengecualian misalnya dalam hal “strict liability”.
Terhadap pertanyaan tentang sejauh manakah pidana perlu
diberikan kepada pelaku kejahatan, teori retributif menjelaskan
sebagai berikut18
:
16
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalama Hukum Pidana : Ide Dasar Double Track System dan
Implementasinya, (Jakarta: Rajawali, 2004), hal. 35. 17
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit. hal. 12-13. 18
Sholehuddin, Op.Cit, hal. 37.
9
9
a) Bahwa dengan pidana tersebut akan memuaskan perasaan balas
dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya dan
keluarganya. Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak
dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum.
Tipe retributif ini disebut vindicative.
b) Pidana dimaksudkan untuk memberikan peringatan kepada pelaku
kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman
yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari
orang lain secara tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe
retributif ini disebut fairness.
c) Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan
antara apa yang disebut dengan the gravity of the offence dengan
pidana yang dijatuhkan. Tipe retributif ini disebut dengan :
proportionality. Termasuk ke dalam kategori the gravity ini adalah
kekejaman dari kejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya
yang ada dalam kejahatannya baik yang dilakukan dengan sengaja
ataupun karena kelalaiannya.
Lebih lanjut Nigel Walker dalam “Sentencing in A Rational
Society” menegaskan bahwa asumsi lain yang dibangun atas dasar
retributif adalah beratnya sanksi harus berhubungan dengan besarnya
kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggar. Asumsi ini dimasukkan
dalam undang-undang yang memberi sanksi-sanksi pidana maksimum
yang lebih kecil untuk usaha-usaha yang tidak berhasil daripada usaha-
usaha yang berhasil19
.
John Kaplan dalam bukunya Chriminal justice membagi teori
retributif menjadi dua:
a) The Revenge Theory (teori pembalasan).
b) The Expiation Theory (teori penebusan dosa).
Pembalasan mengandung arti, bahwa hutang si penjahat “telah
dibayarkan kembali” (the criminal is paid back), sedangkan penebusan
dosa mengandung arti bahwa si penjahat “membayar kembali
hutangnya” (the criminal pays back). Jadi pengertian tidak jauh
berbeda.
Menurut John Kaplan tergantung dari cara orang berpikir pada
saat menjatuhkan suatu sanksi. Apakah dijatuhkannya sanksi itu
karena kita “menghutangkan sesuatu kepadanya” ataukah disebabkan
“ia berhutang sesuatu kepada kita”.
Demikian pula Johannes Andenaes menegaskan bahwa
“penebusan” tidak sama dengan “pembalasan dendam” (revenge).
Pembalasan berusaha memuaskan hasrat balas dendam dari sebagian
para korban atau orang-orang lain yang simpati kepadanya, sedangkan
19
Nigel Walker, Sentencing in a Rational Society, (New York: Basic Books, Inc., Publisher, 1971), hal.
8.
10
10
penebusan dosa, lebih bertujuan untuk memuaskan tuntutan
keadilan20
.
2) Teori relatif atau Teori Tujuan
Teori relatif berporos pada tiga tujuan utama pemidanaan,
yaitu: preventif, deterrence dan reformatif21
.
Menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai “teori
perlindungan masyarakat” (the theory of social defence) atau menurut
Nigel Walker disebut aliran reduktif (the “reductive” point of view)
karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk
mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana bukanlah sekedar untuk
melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada pelaku tetapi
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Dasar
pembenaran adanya pidana adalah terletak pada tujuan. Pidana
dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat
kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan
kejahatan). Oleh karena berorientasi pada tujuan yang bermanfaat,
maka teori ini disebut teori tujuan (Utilitarian theory). Tujuan
pencegahan kejahatan dibedakan antara “special deterrence”
(pengaruh pidana terhadap terpidana) dan “general deterrence”
(pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya). Teori tujuan
pidana yang berupa “special deterrence” dikenal dengan sebutan
”Reformation atau Rehabilitation Theory”22
. Dalam teori relatif ini
dikenal dua sanksi, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam
kedudukan yang setara. Pengakuan tentang kesetaraan antara sanksi
pidana dan sanksi tindakan ini merupakan hakekat asasi atau ide dasar
dari konsep double track system yang menjadi ciri dari teori relatif.
Sanksi pidana terkait dengan unsur pencelaan / penderitaan dan sanksi
tindakan terkait dengan unsur pembinaan. Kedua-duanya sama-sama
penting23
.
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat,
dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena si terpidana
telah terbukti bersalah, melainkan karena pemidanaan itu mengandung
konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban dan juga
20
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 13. 21
Khusus mengenai tujuan preventif dan deterrence, salah seorang tokoh aliran klasik, Jeremy
Bentham yang dikenal dengan ajaran „utilitarianisme’-nya pernah mengajukan empat tujuan utama
dari pidana : (1) Mencegah semua pelanggaran, (2). Mencegah pelanggaran yang paling jahat, (3).
Menekan kejahatan, dan (4) Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya (Lihat Muladi dan Barda
Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan..., Op.cit., hal. 31). 22
Lihat lebih lanjut dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, teori-teori dan ............, hal. 17-18. 23
Baca lebih lanjut M. Sholehuddin, Sistem sanksi dalam hukum pidana............, hal. 23-33.
11
11
orang lain dalam masyarakat. Karena itu, teori ini disebut juga sebagai
teori konsekuensialisme24
.
Menurut Karl O. Christiansen ada beberapa ciri pokok teori
relatif tersebut, yaitu25
:
a) The purpose of punishment is prevention (tujuan pidana adalah
pencegahan);
b) Prevention is not a final aim, but a means to a more suprems aim,
e.g. social welfare (Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya
sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu
kesejahteraan masyarakat);
c) Only breaches of the law which are imputable to the perpretator
as intent or negligence quality for punishment (hanya pelanggaran-
pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku
saja, misalnya kesengajaan yang memenuhi syarat untuk adanya
pidana);
d) The penalty shall be determined by its utility as an instrument for
the prevention of crime (Pidana harus ditetapkan berdasar
tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan);
e) The punishment is prospective, it points into the future; it may
contain as element of reproach, but neither reproach nor
retributive elements can be accepted if they do not serve the
prevention of crime for the benefit or social welfare. (Pidana
melihat ke depan atau bersifat prospektif; ia mengandung unsur
pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima bila tak
membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat).
3) Teori Modern
Teori modern berorientasi pada “hukum perlindungan sosial”
yang harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Teori
modern menolak konsepsi-konsepsi tentang tindak pidana,
penjahatdan pidana serta menolak fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik
yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Atas dasar doktrin ini, teori
modern melahirkan apa yang disebut dengan istilah “Restorative
Justice”26
.
24
Ohoitimur, Yong, 1997, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
hal. 24. 25
Sholehuddin, Op.Cit, hal. 42-43. 26
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: BP Universitas Diponegoro, 1995), hal. 127-
129.
12
12
Berkaitan dengan penegak hukum peran di tingkat kepolisian
(tahap penyelidikan dan penyidikan), pendekatan restorative justice
dapat digunakan berdasarkan kewenangan diskresi (discretionary
powers). Kewenangan diskresi adalah salah satu sarana yang memberi
ruang gerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk
melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-
undang. Kewenangan diskresi diberikan kepada pemerintah (jajaran
badan-badan administrasi negara) mengingat fungsi
pemerintah/administrasi negara, yaitu menyelenggarakan
kesejahteraan umum. Penyelenggaraan kesejahteraan umum dan
mewujudkannya adalah konsekuensi logis dari konsep “Welfare State”
dan sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan di
dalam penerapan asas legalitas (“wetmatigheid van bestuur”).
Untuk itu hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengambil
kewenangan diskresi adalah27
:
a. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang
mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkan. Dalam hal
ini Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf f UU No. 2 Tahun 2002,
bahwa : Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam pasal 13 dan 14, Kepolisian Negara Republik
Indonesia secara umum berwenang :
1) Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang
dapat mengganggu ketertiban umum.
2) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari
tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan.
b) Tidak bertentangan nyata-nyata dengan nalar sehat.
c) Harus dipersiapkan dengan cermat; semua kepentingan, keadaan-
keadaan serta alternatif-alternatif yang ada perlu dipertimbangkan.
27
Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Bahan Kuliah pada
Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum Bidang PTUN, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1992), hal.
45-46.
13
13
d) Isi kebijaksanaan harus jelas tentang hak-hak dan kewajiban-
kewajiban dari warga yang terkena peraturan.
e) Tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan tentang
kebijaksanaan yang akan ditempuh harus jelas.
f) Harus memenuhi syarat-syarat kepastian hukum materiil, artinya
hak-hak yang diperoleh dari warga masyarakat yang terkena
kebijaksanaan harus dihormati, juga harapan-harapan warga yang
pantas telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.
Untuk itu penggunaan kewenangan diskresi harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut28
:
a) Sesuai dengan tujuan undang-undang yang memberikan ruang
kebebasan bertindak (kewenangan diskresi).
b) Harus berlandaskan asas hukum umum yang berlaku, seperti29
:
1) Asas “equal before the law”
2) Asas kepatutan dan kewajaran
3) Asas keseimbangan
4) Asas pemenuhan kebutuhan dan harapan
5) Asas kepentingan publik dan warga masyarakat
c) Tepat guna dengan tujuan yang hendak dicapai
Berkaitan dengan kewenangan diskresi pihak kepolisian dan
kewenangan jaksa untuk menggunakan pendekatan restorative justice
sebagai tujuan dalam pemeriksaan perkara pidana, khususnya yang
dilakukan oleh anak, Philippe Nonet dan Philip Selznick
mengemukakan apa yang disebut dengan “The Souverignity of
Purpose” sebagai berikut :
The some extent purposiveness facilitates the elaboration
oflegal mandates, because it calls for inquiry into (1) substantive
outcome and (2) what is factually needed for effective discharge of
institutional responsibilities. In other words, purposive law is result-
oriented30
.
28
Markus Lukman, Disertasi: Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan
Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi
Hukum Tertulis Nasional, (Bandung: Universitas Padjadjaran, 1996), hal. 205. 29
Ibid, hal. 191-192. 30
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive law, (New
York, Hagerstown, San Fransisco, London: Harper and Row Publishers, 1978), hal. 83-84.
14
14
B. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Desa Lengkong dan Karakter Masyarakat Desa
Gambaran umum Desa Lengkong merupakan salah satu desa yang
terletak di Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo dengan luas wilayah
kurang lebih 1.542.541 ha, sebagian besar merupakan lahan kering atau
tegalan seluas 1.121.652 ha, sisanya diperuntukkan untuk lahan pekarangan
dan pertanian. Terletak pada ketinggian 1.100-1300 meter dari permukaan
laut. Jumlah penduduknya mencapai 1.930 orang dengan jumlah penduduk
laki-laki 948 orang sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak 982
orang serta terdaftar 593 Kepala Keluarga.
Sebagian besar dari warga masyarakat Desa Lengkong berprofesi
sebagai petani sayur, disamping sebagian menjadi buruh tani, petani kebun,
tukang batu, buruh bangunan. Potensi yang paling menonjol adalah area
perkebunan sayur (petani cabai, kubis, jagung dan lain-lain).
Karakter dan sikapnya masih tergolong tradisional meskipun ada
beberapa yang sudah mulai modern karena faktor generasi, akan tetapi untuk
pendidikan sudah tergolong baik, akses desa juga ramai meskipun di area
pegunungan serta pembangunan juga berjalan dengan lancar. Untuk keadaan
ekonomi sebagian masyarakatnya sudah berkecukupan, namun tak sedikit
juga yang masih berkekurangan dalam hal ekonomi.
Untuk kasus kriminalitas di Kecamatan Garung terutama di Desa
Lengkong memang tergolong sedang, namun tingkat pencurian di lahan
15
15
pertanian masih tergolong tinggi, terlebih lagi banyak yang tak diketahui oleh
warga, namun tak sedikit juga yang tertangkap tangan.
2. Data Mengenai Tindak Pidana Pencurian Komuditas Sayur, Presentase
Kasus, Posisi/Kronologi Kasus, dan Hasil Wawancara Dari Warga
Masyarakat, Pihak Kepolisian serta Pihak Petani Terkait.
Dalam hal ini penulis akan membahas kasus penanganan tindak pidana
pencurian dengan pendekatan restorative justice, berikut adalah beberapa
kasus tindak pidana pencurian di Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo
Tahun 2012 – 2015.
Data pencurian di Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo pada
tahun 2013, 2014, 2015 tercatat ada 54 kasus pada tahun 2013, 67 pada tahun
2014, dan 43 pada tahun 2015, menurut presentasi tingkat pencurian tersebut
tergolong naik di tahun 2014 dan turun di tahun 2015, sebagian kasus
pencurian tersebut ada yang disidik di kantor polisi, ada yang di tindak damai,
ada juga yang tidak dilaporkan masyarakat.
Dari kasus pencurian tersebut banyak yang disidik dari pada yang
ditindak damai dan yang tidak dilaporkan oleh masyarakat. Dari beberapa
presentase kasus pencurian diatas pada tahun 2013 beberapa kasus yang
disidik ada 43 perkara, 9 kasus ditindak damai, 2 kasus yang tidak dilaporkan
oleh pihak masyarakat. Di tahun 2014 kasus yang disidik ada 41 perkara, 19
kasus ditindak damai, 7 kasus yang tidak dilaporkan oleh pihak masyarakat.
16
16
Kemudian di tahun 2015 kasus yang disidik ada 29 perkara, 14 kasus yang
ditindak damai, sedangkan kasus yang tidak dilaporkan oleh masyarakat pada
tahun tersebut tidak ada.
Dari kasus diatas penulis menjelaskan tentang pembahasan kasus
pencurian komoditas sayur di desa lengkong kecamatan garung, dari data
yang di dapat bahwa kasus pencurian komuditas sayur di desa tersebut 3 tahun
terakhir dari tahun 2013-2015 ada 11 kasus, dan diantaranya ada 3 kasus yang
ditindak damai dan 8 kasus lainnya ditindak melalui jalur hukum yang berlaku
sesuai yang peraturan perundang-undangan yang diatur dalam KUHP, dengan
alasan 8 kasus tersebut merupakan tindak pidana yang masuk dalam tindak
pidana pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam pasal 363 KUHP ayat
1 alenia ke-1 2 kasus merupakan pencurian ternak, pasal 363 KUHP ayat 1
alenia ke-2 5 kasus pencurian waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, selanjutnya pasal 363 KUHP ayat 1
alenia ke-5 1 kasus pencurian yang untuk masuk ketempat melakukan
kejahatan atau untuk sampai kebarang yang diambilnya, dilakukan dengan
merusak barang tersebut. Oleh karena itu penulis hanya mengkaji data tindak
pidana pencurian yang diselesaikan dengan metode restorative justice saja.
Beberapa kasus tindak pidana pencurian terdapat dalam sample tabel
di bawah ini ;
17
17
Kasus pencurian di tabel diambil dari 3 kasus dari tahun 2013-2015 di
Desa Lengkong yang diselesaikan melalui metode restorative justice dengan
cara didamaikan oleh pihak masyarakat dan pihak kepolisian, sedangkan 8
kasus lainnya ditindak melalui jalur hukum yang berlaku sesuai yang
peraturan perundang-undangan yang diatur dalam KUHP sesuai dengan
keterangan diatas.
18
18
Tabel 1.1
3 Kasus Tindak Pidana Pencurian di Desa Lengkong, Kecamatan Garung,
Kabupaten Wonosobo 2013-2015 yang dilaporkan ke Polsek Garung dan diselesaikan
dengan pendekatan restorative justice.
No. Tersangka Keterangan Waktu
Kejadian TKP
1.
Sdr. Hidayat, 21
Tahun. Alamat :
Dusun Koripan,
Desa Sigedang,
Kecamatan
Kejajar,
Kabupaten
Wonosobo.
Warga yang sedang
melakukan ronda malam
mengetahui pelaku sedang
mengambil jagung milik
salah satu warga di lahan
perkebunan. Kemudian
pelaku tertangkap tangan
oleh warga setempat dan
dibawa ke balai desa.
Senin, 09
Februari
2013
Kurang
lebih Pukul
22.00
WIB.
Dusun Bugel,
Desa Lengkong,
Kecamatan
Garung,
Kabupaten
Wonosobo.
TKP di
belakang rumah
Mas Santoso.
2. Sdr. Mahmud, 24
Tahun. Alamat :
Dusun Wonojoyo,
Desa Bomerto,
Kecamatan
Wonosobo,
Kabupaten
Wonosobo.
Petani pemilik kebun
mendapati pelaku sedang
memetik/mengambil cabai.
Lalu warga dan pemilik
sawah yang mengetahui
hal tersebut langsung
membawanya ke tempat
kepala desa.
Kamis, 09
Juni 2014
Kurang
lebih Pukul
15.00
WIB.
Dusun Salaman,
Desa Lengkong,
Kecamatan
Garung,
Kabupaten
Wonosobo.
TKP di salah
satu sawah
milik Pak Seno.
3. Sdr. Saroji, 29
Tahun. Alamat :
Dusun Balong,
Desa Tambi,
Kecamatan
Kejajar,
Kabupaten
Wonosobo.
Pada saat warga sedang
melakukan ronda malam.
Warga mengetahui
tersangka sedang
mengambil hasil panen
berupa cabai yang
ditinggal di lumbung oleh
petani pemilik kebun.
Kemudian ditangkap dan
dibawa ketempat kadus
setempat.
Rabu, 20
Desember
2015
Kurang
lebih Pukul
21.00
WIB.
Dusun Bulu,
Desa Lengkong,
Kecamatan
Garung,
Kabupaten
Wonosobo.
TKP di kebun
Pak Parwo.
Sumber data : Sample kasus tindak pidana pencurian di Polsek Garung Desember
2013-2015.
19
19
Kronologi Kasus
a. Kasus Pertama
Kronologi kasus pertama terjadi pada hari senin, 09 februari 2013 kurang
lebih pukul 22.00 WIB. Pelaku yang bernama Sdr. Hidayat, usia 21 tahun,
beralamat di Dusun Koripan, Desa Sigedang, Kecamatan Kejajar, Kabupaten
Wonosobo. Tempat terjadinya perkara di Dusun Bugel, Desa Lengkong,
Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo. Dalam kejadian pada kasus
tersebut Sdr. Hidayat berada di TKP memetik jagung dengan membawa
peralatan berupa karung. Pada saat warga sedang melakukan ronda malam,
warga melihat tersangka sedang mengambil jagung milik Sdr. Santoso
kemudian warga menangkap dan membawanya ke balai desa setempat, tak
berselang lama ada sebagian warga yang melaporkan kejadian tersebut ke
kantor polisi dan selanjutnya di proses di kantor polisi setempat, dengan
barang bukti berupa 5 karung jagung yang sudah terisi penuh dengan jagung.
Penanganan lanjutan dari warga setempat yaitu dari penegak hukumnya
diwakilkan oleh kepala dusun setempat beserta pihak kepolisian, dengan
tersangka bernama Sdr. Hidayat dan seorang pemilik kebun yang
dirugikan/korban adalah Sdr. Santoso. Dalam kasus tersebut penegakan
hukumnya tidak sampai ke pengadilan, melainkan dengan jalur damai sesuai
dengan kesepakan dari kepala dusun, pihak kepolisian, tersangka, dan korban
dikarenakan kerugian yang diderita korban masih tergolong ringan. Dari kasus
tersebut tersangka diwajibkan mengganti semua kerugian korban sesuai
20
20
dengan kesepakatan antara kedua belah pihak, selanjutnya karena perbuatan
tersangka maka pihak kepolisian memberikan penyuluhan agar tersangka
tidak mengulangi perbuatan tersebut.
Dari kasus pencurian diatas berikut adalah wawancara dengan pihak
terkait :
1). Pertama wawancara dengan pihak tersangka, dari pengakuannya ia sudah
sering mencuri jagung di daerah setempat, lebih tepatnya 3 pekan yang
lalu, satu pekan pertama di kebun milik warga Dusun Panggrungan yang
masih satu kelurahan dengan Desa Bulu, dan pekan kedua ketiga ditempat
Sdr. Santoso, pekan kedua ia mendapat 6 karung tapi tidak diketahui
warga, dan pekan terakhir ia juga akan mengambil 6 karung lagi dan baru
mendapat 5 karung aksinya sudah diketahui oleh warga setempat31
.
2). Kedua wawancara dengan pihak korban, dalam kasus ini pihak korban
adalah Sdr. Santoso tidak menuntut ganti rugi terlalu tinggi karena kasus
pencuriannya masih tergolong ringan dengan nilai nominal tak lebih dari 1
juta rupiah, korban juga menetujui keputusan warga untuk ditindak
damai32
.
3). Ketiga wawancara dengan warga masyarakat setempat, bahwa kasus
pencurian serupa sering terjadi, apabila tidak ditindak tegas maka bisa
terulang lagi dikemudian hari, maksud dari ditindak tegas tersebut adalah
31
Minggu 11 Desember 2016, Atas nama Sdr. Hidayat, Sebagai tersangka di Dusun Bugel, Desa
Lengkong. 32
Rabu 14 Desember 2016, Atas nama Sdr. Santoso, Sebagai Korban di Dusun Bugel, Desa
Lengkong.
21
21
diberikan sanksi yang membuat efek jera pada pelaku/tersangka. Menurut
warga yang memergoki aksi tersangka tersebut sebenarnya bila
memandang kerugian dari korban juga tidak terlalu segnifikan, karena aksi
terakhir pelaku tak sampai tuntas membawa barang curian dan akhirnya
disita, hitungannya pelaku hanya membawa 5 karung dari hasil curiannya
pekan lalu, dan hasil 5 karung tersebut dinominalkan menjadi 2 kali lipat
untuk mengganti pihak korban, untuk urusan memberatkan atau tidak itu
urusan si pelaku, perkara sanggup tidak sanggup tetap harus mematuhi
peraturan dan sanksi desa tersebut33
.
4). Keempat wawancara dengan pihak perangkat desa, dalam penanganan
kasus ini peran kepala dusun dan karang taruna juga sangat penting untuk
menegakkan peraturan desa, dikaitkan dari kasus tersebut, menurut kadus
setempat tersangka tidak akan dijerat hokum yang berlaku, namun tetap
akan dikenai sanksi berupa denda dua kali lipat dari nominal barang yang
telah dicuri, dan selanjutnya terangka akan dipanggil orang tuanya dan
berlanjut dibawa ke kantor polisi untuk mendapatkan penyuluhan34
.
5). Kelima wawancara dengan pihak kepolisian yang berperan sebagai humas,
dalam kasus tersebut pihak kepolisian berperan penting untuk
mendamaikan dan menengahi perkara ini, serta berperan penting untuk
memberikan penyuluhan untuk memberikan efek jera kepada pelaku.
33
Sabtu 17 Desember 2016, Atas nama Sdr. Kumpul, Sebagai warga setempat di Dusun Bugel, Desa
Lengkong. 34
Selasa 20 Desember 2016, Atas nama Sdr. Yahya, Sebagai perangkat desa di Dusun Bugel, Desa
Lengkong.
22
22
Menurut salah satu sumber dari polisi, kasus tersebut tergolong sebagai
tindak pidana pencurian ringan dengan nominal dibawah 2,5 juta. Maka
dari itu bila dipandang dari sudut social kurang etis kalau dijerat dengan
pidana, sebagianjuga berpendapat kurang seimbang antara hukuman
dengan tindak pidana tersebut. Selanjutnya pihak kepolisian beserta pada
perangkat desa melakukan musyawarah terhadap korban dan tersangka
untuk mengambil jalan tengah agar permasalahan bisa terselesaikan
dengan damai35
.
b. Kasus Kedua
Kronologi kasus kedua terjadi pada hari kamis, 09 juni 2014 kurang lebih
pukul 15.00 WIB. Pelaku yang bernama Sdr. Mahmud, usia 24 tahun,
beralamat di Dusun Wonojoyo, Desa Bomerto, Kecamatan Wonosobo,
Kabupaten Wonosobo. Tempat terjadinya perkara di Dusun Salaman, Desa
Lengkong, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo. Tempatnya di salah
satu sawah milik Sdr. Seno.Dari kasus tersebut kejadiannya bermula pada saat
sore hari, dimana para petani beranjak pulang dan situasi sawah mulai sepi,
pelaku yang bernama Sdr. Mahmud melakukan aksinya dengan mengendap-
endap memetik cabai serta membawa karung untuk menampung cabai
tersebut. Tak berselang lama perbuatan sipelaku di ketahui oleh pemilik kebun
tersebut, singkat cerita pemilik kepun lupa akan cangkul yang dibawanya dan
kembali ke sawah untuk mengambil cangkul tersebut. Sdr. Seno yang tidak
35
Jum‟at 23 Desember 2016, Atas nama Aiptu Dalijan, Sebagai Kasat Humas di Kapolsek Garung,
Kecamatan Garung.
23
23
lain adalah petani pemilik sawah memergoki tersangka sedang
memetik/mengambil cabai. Dengan barang bukti berupa karung, dan cabai
yang sudah diambil pelaku yang kurang lebih sudah ada setengah karung,
petani membawa tersangka ke tempat kepala desa setempat, dan selanjutnya
korban melaporkan tersangka kepada pihak kepolisian. Selanjutnya dalam
kasus tersebut pihak kepolisian mendamaikan kedua belah pihak, berhubung
kerugian yang diderita oleh korban masih tergolong ringan. Karena sikap iba
dari korban, tersangka pun tidak dimintai ganti rugi. Kasus ini tidak sampai ke
pengadilan, tapi untuk memberikan efek jera pelaku diwajibkan
menandatangani surat pernyataan sertapolisimemberikan penyuluhan agar si
pelaku tidak mengulangi perbuatannya.
Dari kasus pencurian diatas berikut adalah wawancara dengan pihak
terkait :
1). Pertama wawancara dengan pihak tersangka, tak jauh beda dari kasus
pertama ia juga sering mencuri cabai di daerah setempat, tersangka telah
beberapa kali melakukan aksi tersebut lantaran faktor ekonomi serta
kesempatan yang cukup baik dikarenakan pada saat itu harga cabai
melambung tinggi, tersangka berhasil membawa kurang lebih 4 karung
dalam sepekan, dan yang terakhir dapat digagalkan warga. Alasan mencuri
adalah untuk kebutuhan ekonomi karena sulit mencari kerja dan butuh
uang untuk makan ungkap tersangka36
.
36
Senin 12 Desember 2016, Atas nama Sdr. Mahmud, Sebagai tersangka di Dusun Salaman, Desa
Lengkong.
24
24
2). Kedua wawancara dengan pihak korban, dalam kasus ini pihak korban
adalah Sdr. Seno, beliau tidak merasa dirugikan karena barang yang
diambil tersangka masih utuh dan tidak meminta ganti rugi pada pelaku
karena iba ungkap korban. Namun beberapa warga juga ada yang
dirugikan karena ulah tersangka kemarin yang sudah membawa kurang
lebih 4 karung. Korban menyerahkan tersangka kepada warga beserta
perangkat desa selanjutnya ditangani oleh humas setempat37
.
3). Ketiga wawancara dengan warga masyarakat setempat, untuk kasus ini
sebagian warga merasa iba namun ada juga yang tetap ingin meminta
ganti rugi dua kali lipat pada tersangka. Dikarenakan harga cabai pada saat
itu melambung tinggi beberapa warga juga merasa dirugikan38
.
4). Keempat wawancara dengan pihak perangkat desa, dalam penanganan
kasus ini peran kepala dusun dan karang taruna juga sangat penting untuk
menegakkan peraturan desa, dikaitkan dari kasus tersebut, menurut kadus
setempat tersangka tidak akan dijerat hukum yang berlaku, namun tetap
akan dikenai sanksi berupa denda dua kali lipat dari nominal barang yang
telah dicuri, dan selanjutnya terangka akan dibawa ke kantor polisi untuk
mendapatkan penyuluhan39
.
5). Kelima wawancara dengan pihak kepolisian yang berperan sebagai humas,
dalam kasus tersebut pihak kepolisian berperan penting untuk
37
Kamis 15 Desember 2016, Atas nama Sdr. Seno, Sebagai korban di Dusun Salaman, Desa
Lengkong. 38
Minggu 18 Desember 2016, Atas nama Sdr. Rudi, Sebagai warga di Dusun Salaman, Desa
Lengkong. 39
Rabu 21 Desember 2016, Atas nama Sdr. Dibyo, Sebagai perangkat desa di Dusun Salaman, Desa
Lengkong.
25
25
mendamaikan dan menengahi perkara ini, serta berperan penting untuk
memberikan penyuluhan untuk memberikan efek jera kepada pelaku.
Menurut salah satu sumber dari polisi, kasus tersebut tergolong sebagai
tindak pidana pencurian ringan dengan nominal dibawah 2,5 juta. Maka
dari itu bila dipandang dari sudut sosial kurang etis kalau dijerat dengan
pidana, sebagian juga berpendapat kurang seimbang antara hukuman
dengan tindak pidana tersebut. Selanjutnya pihak kepolisian beserta pada
perangkat desa melakukan musyawarah terhadap korban dan tersangka
untuk mengambil jalan tengah agar permasalahan bisa terselesaikan
dengan damai40
.
c. Kasus Ketiga
Kronologi kasus ketiga terjadi pada hari rabu, 20 desember 2015 kurang lebih
pukul 21.00 WIB. Pelaku yang bernama Sdr. Saroji, usia 29 tahun, beralamat
di Dusun Balong, Desa Tambi, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo.
Tempat terjadinya perkara di Dusun Bulu, Desa Lengkong, Kecamatan
Garung, Kabupaten Wonosobo. Tepatnya di kebun Pak Parwo. Pelaku
melakukan aksinya dimalam hari, dengan membawa mobil pick-up. Dalam
aksinya pelaku menyembunyikan mobilnya di samping kebun yang lokasinya
jauh dari pemukiman warga, selanjutnya pelaku melancarkan aksinya dengan
membawa satu persatu karung berisikan cabai dari lumbung petani. Sembari
pelaku melakukan aksinya ada beberapa warga yang sedang melakukan ronda
40
Jum‟at 23 Desember 2016, Atas nama Aiptu Dalijan, Sebagai Kasat Humas di Kapolsek Garung,
Kecamatan Garung.
26
26
malam dan mencurigai hal tersebut, singkat cerita warga curiga karena ada
mobil yang diparkir di samping kebun yang jauh dari pemukiman warga dan
pada saat itu mobil sudah memuat beberapa karung cabai, kecurigaan warga
pun semakin memuncak dikarenakan mobil tersebut memuat sesuatu di
malam hari tanpa ada yang menunggu di mobil sama sekali. Tak berselang
lama warga memergoki tersangka sedang mengambil hasil panen berupa cabai
yang ditinggal di lumbung oleh petani. Karena perbuatannya tersebut warga
membawa si pelaku ke tempat kepala dusun setempat. Beberapa warga yang
melaporkan hal tersebut pada pihak kepolisian. Penyelesaian kasus tersebut
pelaku dibawa ke kantor polisi setempat dengan barang bukti berupa mobil
pick-up beserta beberapa karung cabai yang telah diangkut dalam mobil
tersebut. Selanjutnya kepala dusun memanggil korban yang tidak lain adalah
pemilik lumbung yang cabainya telah dicuri oleh Sdr. Saroji, korban bernama
Sdr. Parwo. Dikarenakan pihak korban hanya meminta ganti rugi pada pelaku,
maka sesuai dengan kesepakatan pelaku tidak dipidanakan. Akan tetapi hanya
diberikan surat pernyataan untuk ditandatangani bermaksud untuk
memberikan efek jera lalu pihak kepolisian memberikan penyuluhan agar
pelaku tidak mengulangi perbuatannya.
Dari kasus pencurian diatas berikut adalah wawancara dengan pihak
terkait :
1). Pertama wawancara dengan pihak tersangka, tak jauh beda dari kasus
pertama dan kasus kedua, ia juga sering mencuri cabai di daerah setempat,
namun untuk tingkat pencuriannya tergolong sedang karena tersangka
27
27
sudah sering melakukan aksi pencurian tersebut, dengan lebih dari 10
karung cabai yang disimpan oleh petani dilumbung telang dicurinya,
beberapa kali aksinya tak diketahui warga. Sebagaian hasil panen yang
disimpan dilumbung diambil41
.
2). Kedua wawancara dengan pihak korban, dalam kasus ini pihak korban
adalah Sdr. Parwo, beliau merasa rugi besar atas perbuatan tersangka.
Cabai yang disimpan dilumbung yang akan dijualnya raib, percurian cabai
di lahan ini tak hanya sekali, beberapa pekan juga raib lebih dari 10
karung ungkapnya. Dikarenakan harga cabai yang pada saat itu
melambung tinggi, Sdr. Parwo rugi beberapa kali karena ulang tersangka,
beliau mengungkapkan dua kali sudah kemalingan, namun yang kedua
kali ini beruntung bias diketahui warga. Pihak korban menuntut ganti rugi
berupa uang yang nominalnya dua kali lipat sesuai dengan harga cabai
yang telah diambil oleh pelaku42
.
3). Ketiga wawancara dengan warga masyarakat setempat, dikarenakan harga
cabai pada saat itu melambung tinggi korban sangat dirugikan, maka
peraturan tetap harus ditegakkan untuk membuat efek jera pada pelaku.
Denda dua kali lipat diberlakukan serta sanksi berupa pembenahan
lumbung karena kerusakan yang diakibatkan oleh pelaku43
.
41
Selasa 13 Desember 2016, Atas nama Sdr. Saroji, Sebagai tersangka di Dusun Bulu, Desa
Lengkong. 42
Jum‟at 16 Desember 2016, Atas nama Sdr. Parwo, Sebagai korban di Dusun Bulu, Desa Lengkong. 43
Senin 19 Desember 2016, Atas nama Sdr. Slamet Saroji, Sebagai warga setempat di Dusun Bulu,
Desa Lengkong.
28
28
4). Keempat wawancara dengan pihak perangkat desa, dalam penanganan
kasus ini peran kepala dusun dan karang taruna juga sangat penting untuk
menegakkan peraturan desa, dikaitkan dari kasus tersebut, menurut kadus
setempat tersangka tidak akan dijerat hukum yang berlaku, namun tetap
akan dikenai sanksi berupa denda dua kali lipat dari nominal barang yang
telah dicuri, dan selanjutnya terangka akan dibawa ke kantor polisi untuk
mendapatkan penyuluhan44
.
5). Kelima wawancara dengan pihak kepolisian yang berperan sebagai humas,
dalam kasus tersebut pihak kepolisian berperan penting untuk
mendamaikan dan menengahi perkara ini, serta berperan penting untuk
memberikan penyuluhan untuk memberikan efek jera kepada pelaku.
Menurut salah satu sumber dari polisi, kasus tersebut sebenarnya
tergolong agak berat karena nominal sudah diatas 2,5 juta, akan tetapi atas
musyawarah dari pihak tersangka, korban, warga serta perangkat desa
bahwa kasus ini tidak dilanjutkan ke ranah hokum maka pihak polisi pun
meng-iyakan untuk tidak memproses secara hokum. Selanjutnya
tersangkapun dibawa ke Polsek setempat untuk diberikan penyuluhan dan
pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya tersebut dan membuat
efek jera45
.
44
Kamis 22 Desember 2016, Atas nama Sdr. Miftahudin, Sebagai tersangka di Dusun Bulu, Desa
Lengkong. 45
Jum‟at 23 Desember 2016, Atas nama Aiptu Dalijan, Sebagai Kasat Humas di Kapolsek Garung,
Kecamatan Garung.
29
29
C. ANALISIS
Dalam hal ini, keadilan restorative (restorative justice) memfokuskan diri
pada kejahatan (crime) sebagai kerugian/kerusakan, dan keadilan (justice)
merupakan usaha untuk memperbaiki kerusakan dengan tujuan untuk mengangkat
peran korban kejahatan, pelaku kejahatan dan masyarakat sebagai tiga pihak yang
sangat penting di dalam sistem peradilan pidana demi kesejahteraan dan
keamanan masyarakat. Dalam hal ini tujuan sistem peradilan pidana adalah
sebagai jangka pendek resosialisasi, jangka menengah pencegahan kejahatan dan
jangka panjang kesejahteraan dan keamanan masyarakat46
.
Dikarenakan adanya perkembangan gerakan sosial baru tentang
pendekatan keadilan berupa “restorative justice” atau keadilan restoratif di atas
akan berhubungan pada beberapa hal sebagai berikut47
:
1. Hakaket tujuan pemidanaan berupa penyelesaian konflik yang memiliki basis
kultural yang kuat dalam hukum adat Indonesia yang dikukuhkan dalam RUU
KUHP dan juga dihayati sama dengan masyarakat adat lain di berbagai
belahan dunia;
2. Gerakan abolisionis (abolisionism) yang merupakan pendekatan non-represif
terhadap kejahatan, dan merupakan kritik keras terhadap sisi negatif yang
berupa “coercion” yang sangat dirasakan dalam penerapan sarana penal di
penjara;
46
Muladi, Op.cit. hal. 2. 47
Ibid.
30
30
3. Berkembangnya “peacemaking criminology” dalam memahami kejahatan,
penjahat dan sistem peradilan pidana serta berusaha untuk menggantikan
pendekatan “war making on crime”;
Dari uraian di atas dijelaskan bahwa keadilan restoratif sangat peduli
untuk membangun kembali hubungan setelah terjadinya suatu tindak pidana,
daripada memperparah keretakan dan menambah konflik antara pelaku, korban
dan masyarakat yang merupakan karakter sistem peradilan pidana modern saat
ini.
Keadilan restoratif merupakan reaksi yang bersifat “victim-centered”,
terhadap kejahatan yang memungkinkan korban, pelaku, keluarga dan wakil-
wakil mayarakat untuk memperhatikan kerugian akibat terjadinya tindak pidana.
Pusat perhatian diarahkan kepada reparasi, restorasi atas kerusakan, kerugian
yang diderita akibat kejahatan dan memprakarsai serta memfasilitasi perdamaian.
Hal ini untuk menggantikan dan menjauhi keputusan terhadap yang menang atau
kalah melalui system adversarial (permusuhan). Keadilan restoratif berusaha
memfasilitasi dialog antara berbagai pihak yang terlibat atau dipengaruhi akibat
kejahatan, termasuk korban, pelaku, keluarga dan masyarakat secara
keseluruhan48
.
Pendekatan keadilan prinsip dasar keadilan restoratif sebagaimana
dirumuskan dalam “UN Resolutions and decisions adopted by ECOSOC at its
substantive session of 2002” adalah sebagai berikut49
:
48
Muladi, Loc.cit. hal. 5. 49
Muladi, Op.cit., hal. 6-7.
31
31
1. Proses restoratif adalah setiap proses, dimana korban dan pelaku, dan, apabila
perlu termasuk setiap individu atau anggota masyarakat yang dirugikan oleh
kejahatan, ikut serta bersama-sama secara aktif di dalam memecahkan
persoalan-persoalan yang timbul akibat kejahatan, dengan bantuan dari
seorang fasilitator. Proses keadilan restoratif mencakup mediasi, konsiliasi,
pertemuan (conferencing) dan pemidanaan;
2. Dengan keadilan restoratif adalah setiap ketentuan yang mendayagunakan
proses restoratif dan berusaha untuk mencapai hasil (restorative outcomes)
berupa kesepakatan sebagai hasil dari suatu proses restoratif, termasuk
tanggapan/reaksi dan program-program seperti reparasi, restitusi, dan
pelayanan masyarakat, yang sesuai dengan kebutuhan individual dan kolektif
serta tanggungjawab pihak-pihak dan ditujukan untuk mengintegrasikan
kembali korban dan pelaku;
3. Pihak-pihak adalah korban, pelaku tindak pidana, dan individu anggota
masyarakat lain yang dirugikan oleh suatu tindak pidana dan mungkin
dilibatkan dalam proses keadilan restoratif;
4. Pihak yang berwenang dalam keadilan restorasi adalah setiap orang yang
beperanan untuk memfasilitasi proses keadilan restoratif , dengan cara yang
adil dan tidak memihak.
Kaidah musyawarah tercantum dalam Pancasila, tercantum dalam sila ke-
4 yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, dengen dasar ini maka musyawarah untuk
32
32
mencapai mufakat yang diliputi semangat kekeluargaan mengandung esensi
experiencing justice (mengalami atau menjalani keadilan).
Skema restorative justice :
= + +
Just Peace Principle Conferencing & Mediation
Menurut warga setempat disekitar Kecamatan Garung memang sering
terjadi tindak pidana pencurian, baik yang tertangkap tangan ataupun tidak.
Beberapa kasus tindak pidana pencurian tersebut ada yang sampai ke ranah
hokum atau sampai melibatkan pihak kepolisian dalam penyelesaiannya, namun
ada juga yang hanya sampai ke pihak kepolisian atau bahkan cukup dengan ke
ruang lingkup desa atau kelurahan tergantung bagaimana dari tanggapan pihak
korban maupun juga dari pihak masyarakat, serta besar kecilnya tindakan
pencurian. Apabila barang/benda yang dicuri nominal atau bernilai tinggi dan
mengakibatkan korban biasanya warga menuntut untuk lanjut ke ranah hokum,
akan tetapi bila barang/benda nominal atau nilainya rendah biasanya dapat
diselesaikan dengan sistem musyawarah antar pihak korban dan tersangka.
Menurut hasil wawancara dari warga Desa Bulu, Kecamatan Garung yaitu
Bapak Paino, beliau adalah petani komuditas sayur, memberikan beberapa
penjelasan bahwa di Desa Bulu tersebut masih sering terjadi pencurian, akan
Restorative
Justice Pelaku
Dampak
Perbuatan Korban
33
33
tetapi pencurian hanya meliputi lahan pertanian. Beberapa kasus sering terjadi,
akan tetapi dapat diselesaikan dengan jalur musyawarah, baik melalui perangkat
desa ataupun pihak kepolisian sebagai pihak penengah dan pendamai. Selain
peran tersebut perangkat desa juga menyerahkan tersangka kepada pihak
kepolisian, dalam hal ini peran pihak kepolisian yaitu sebagai pembimbing, jadi
tersangka diberi penyuluhan agar tidak melakukan perbuatan tersebut.
Berikutnya menurut hasil wawancara dari warga setempat yakni saudara
Hasan, dijelaskan bahwa perkara pencurian terutama dilahan pertanian masih
sering terjadi di lingkungan sekitar Desa Lengkong, beberapa komoditas panen
yang sering dijadikan sasaran pencurian adalah cabai, biasanya saat harga cabai
melambung tinggi sangat rawan dicuri. Dari beberapa kasus menurutnya juga
jarang yang sampai ke ranah hukum, karena sebagian besar yang dicuri
nominalnya juga tidak terlalu tinggi. Beberapa kasus diselesaikan dengan
musyawarah antara pihak keluarga pelaku, pihak keluarga korban, perangkat desa
dan pihak kepolisian sebagai penengah.
Selanjutnya wawancara dengan saudara Budi, petani komoditas cabai,
menurutnya kasus pencurian serupa juga sering terjadi di daerahnya, oleh karena
itu sebagian besar warga menjaga lahan pertanian di lumbung apabila harga
nominal cabai melambung tinggi dan menjelang panen. Untuk penyelesaian kasus
juga diselesaikan dengan musyawarah pihak terkait.
Selain dari wawancara diatas, untuk menambah data dilakukan wawancara
terhadap perangkat desa, Bapak Tambah sebagai Kepala Dusun Bulu. Beliau
menyatakan kasus tindak pidana pencurian terutama pencurian komuditas sayur
34
34
sering terjadi apabila harga sayur melambung tinggi, sebagian besar
pelaku/tersangka berasal dari luar desa, dan dalam penyelesaian kasus tersebut
saya sering menanganinya dan mendamaikan, sistem di desa kami apabila ada
yang mencuri tertangkap akan diberi sanksi berupa denda dua kali lipat dengan
catatan barang tersebut sudah dijual, hilang, atau rusak ungkap dari Bapak
Tambah. Namun apabila barang masih utuh maka pelaku/tersangka diwajibkan
mengembalikan barang tersebut dan diharuskan membuat surat pernyataan yang
ditandatangani perangkat desa setempat dan pihak pelaku maupun pihak keluarga.
Apabila tersangka tidak menyanggupi ketentuan persyaratan tersebut dengan
alasan tidak mampu maka tersangka akan dipekerjakan oleh pihak korban secara
cuma-cuma, maksud dari dipekerjakan dalam hal ini adalah tersangka disuruh
menggarap lahan perkebunan tanpa imbalan seperti mencangkul dan memanen
hasil pertanian sebagai tanda hukuman atas perbuatannya. Namun apabila dari
persyaratan tersebut tidak bisa disanggupi oleh tersangka maka alternative
terakhir adalah melalui jalur hukum pihak kepolisian.
Wawancara terakhir adalah dengan pihak kepolisian yakni dengan Bapak
Aiptu Dalijan selaku kasat humas Polsek Garung, beliau mengatakan kasus tindak
pidana pencurian ringan terutama pencurian yang kaitannya dengan komoditas
sayur di Kecamatan Garung ini sering terjadi, akan tetapi sebagian besar warga
masyarakat tahu bagaimana untuk menindaknya, dari kasus tersebut banyak yang
diselesaikan secara damai dikarenakan kerugian yang terlalu segnifikan dan tidak
menimbulkan korban, tak ada unsur penganiayaan juga tak menimbulkan
kerusakan yang berat. Dalam hal ini beliau juga mengemukaan bahwa tugas
35
35
aparat penegak hukum yaitu polisi sudah tertera dalam UU No 22 Tahun 2002
tentang Kepolisian Republik Indonesia, dalam hal ini peran polisi terutama yang
bertugas sebagai humas atau hubungan masyarakat adalah sebagai penyampai
informasi, mengayomi, dan melindungi masyarakat, serta melakukan pembinaan,
memantau, mengawasi dan melakukan evaluasi wilayah dengan tujuan untuk
meminimalisir kejahatan guna kesejahteraan warga masyarakat.
Berkaitan dengan kasus tersebut, peran humas untuk memberi jalan keluar
adalah dengan melakukan penyuluhan, pembinaan, serta pemantauan pada pelaku
guna membuat efek jera agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Kami bersama
perangkat desa dan warga masyarakat mengadakan musyawarah untuk
mengambil titik tengah agar perkara bisa diselesaikan secara damai. Untuk
peraturan desa akan tetap kami hargai meskipun dengan denda dua kali lipat bagi
pelaku memberatkan tapi peraturan tersebut tetap harus dipenuhi untuk memberi
efek jera, ungkap beliau. Hasil musyawarah ditampung untuk mendapatkan solusi
dari masalah tersebut, dan kesepakatan antara kedua belah pihak baik korban
maupun tersangka juga menjadi titik terang terselesaikannya perkara tersebut.
Berkaitan dengan pembahasan penanganan tindak pidana dengan
pendekatan restorative justice, maka peran Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menitikberatkan pada musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam suatu keadilan. Kaidah musyawarah tercantum dalam
Pancasila, tercantum dalam sila ke-4 yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengen dasar ini maka
36
36
musyawarah untuk mencapai mufakat yang diliputi semangat kekeluargaan
mengandung esensi experiencing justice (mengalami atau menjalani keadilan).
Keadilan merupakan suatu kondisi sosial yang tercipta manakala adanya
kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Tuntutan akan keadilan berakar dalam
pertimbangan etis, bahwa dalam kehidupan sosial harus bersikap manusiawi,
layak, dan bermartabat.
Redifinisi kejahatan untuk restorative justice menjadi penting mengingat
dalam KUHP dan KUHAP orientasi kejahatan dirumuskan sebagai perbuatan
terlarang yang diatur dalam UU dan diancam pidana bagi mereka yang melanggar
larangan tersebut (Pasal 1 ayat (1) KUHP). Proses penyidikan dirumuskan
sebagai rangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang dan untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang
dengan bukti itu membuat kejelasan tentang tindak pidana yang terjadi guna
menemukan tersangka (Pasal 1 angka (2) KUHP).
Namun dalam sistem penerapan keadilan restorasi (restorative justice)
tidak selalu berpatokan pada undang-undang yang berlaku baik KUHP atau
KUHAP. Dengan kata lain restorative justice merupakan peradilan yang
menekankan pada perbaikan atas kerugian yang disebabkan oleh tersangka/pelaku
terhadap korban berkaitan dengan tindak pidana, dalam hal ini yaitu tindak pidana
pencurian ringan.
Dalam Peraturan Makhamah Konstitusi (Perma No. 2 Tahun 2012) dalam
penjelasan umum tercantum :
37
37
Bahwa banyaknya perkara-perkara pencurian dengan nilai barang yang
kecil yang kini diadili dipengadilan cukup mendapatkan sorotan masyarakat.
Masyarakat umumnya menilai bahwasangatlah tidak adil jika perkara-perkara
tersebut diancam dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun sebagaimana di atur
dalam Pasal 362 KUHP oleh karena tidak sebanding dengan nilai barangyang
dicurinya.
Banyaknya perkara-perkara tersebut yang masuk ke pengadilan juga telah
membebani pengadilan, baik dari segi anggaran maupun dari segi persepsi publik
terhadap pengadilan. Umumnya masyarakat tidak memahami bagaimana proses
jalannya perkara pidana sampai bisa masuk kepengadilan, pihak-pihak mana saja
yang memiliki kewenangan dalam setiap tahapan, dan masyarakat pun umumnya
hanya mengetahui ada tidaknya suatu perkara pidana hanya pada saatperkara
tersebut di sidangkan di pengadilan. Dan oleh karena sudah sampai tahap
persidangan di pengadilan sorotan masyarakat kemudian hanya tertuju ke
pengadilan dan menuntut agar pengadilan mempertimbangkan rasa keadilan
masyarakat.
Bahwa banyaknya perkara-perkara pencurian ringan sangatlah tidak tepat
di dakwa dengan menggunakan Pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya paling
lama 5 (lima) tahun. Perkara-perkara pencurian ringan seharusnya masuk dalam
kategori tindak pidana ringan (lichte misdrijven) yang mana seharusnya lebih
tepat didakwa dengan Pasal 364 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 3
(tiga) bulan penjara atau denda paling banyak Rp 250,00 (dua ratus lima puluh
38
38
rupiah). Jika perkara-perkara tersebut didakwa dengan Pasal 364 KUHP tersebut
maka tentunya berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana para
tersangka/terdakwa perkara-perkara tersebut tidak dapat dikenakan penahanan
(Pasal 21) serta acara pemeriksaan di pengadilan yang digunakan haruslah Acara
Pemeriksaan Cepat yang cukup diperiksa oleh Hakim Tunggal sebagaimana
diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP. Selain itu berdasarkan Pasal 45 A Undang-
Undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dua kali
terakhir dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009 perkara-perkara tersebut tidak
dapat diajukan kasasi karena ancaman hukumannya di bawah 1 tahun penjara.
Mahkamah Agung memahami bahwa mengapa Penuntut Umum saat ini
mendakwa para terdakwa dalam perkara-perkara tersebut dengan menggunakan
Pasal 362 KUHP, oleh karena batasan pencurian ringan yang diatur dalam Pasal
364 KUHP saat ini adalah barang atau uang yang nilainya di bawah Rp 250,00
(dua ratus lima puluh rupiah). Nilai tersebut tentunya sudah tidak sesuai lagi saat
ini, sudah hamper tidak ada barang yang nilainya di bawah Rp 250,00 tersebut.
Bahwa angka Rp 250,00 tersebut merupakan angka yang ditetapkan oleh
Pemerintah dan DPR pada tahun 1960, melalui Perpu No. 16 Tahun 1960 tentang
Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
kemudian disahkan menjadi Undang-Undang melalui UU No.1 Tahun 1961
tentang Pengesahan Semua Undang-Undang Darurat dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Menjadi Undang-Undang.
39
39
Bahwa untuk mengefektifkan kembali Pasal 364 KUHP sehingga
permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam perkara-perkara yang saat ini
menjadi perhatian masyarakat tersebut Pemerintah dan DPR perlu melakukan
perubahan atas KUHP, khususnya terhadap seluruh nilai rupiah yang ada dalam
KUHP. Namun mengingat sepertinya hal tersebut belum menjadi prioritas
Pemerintah dan DPR, selain itu proses perubahan KUHP oleh Pemerintah dan
DPR akan memakan waktu yang cukup lama, walaupun khusus untuk substansi
ini sebenarnya sudah, untuk itu Mahkamah Agung memandang perlu menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung ini untuk menyesuaikan nilai uang yang menjadi
batasan tindak pidana ringan, baik yang diatur dalam Pasal 364 KUHP maupun
pasal-pasal lainnya, yaitu Pasal 373 (penggelapan ringan), pasal 379 (penipuan
ringan), pasal 384 (penipuan ringan oleh penjual), pasal 407 ayat (1) (perusakan
ringan) dan pasal 482 (penadahan ringan).
Selain itu untuk mengefektifkan kembali pidana denda serta mengurangi
beban Lembaga Pemasyarakatan yang saat ini telah banyak yang melampaui
kapasitasnya yang telah menimbulkan persoalan baru, sejauh mungkin para hakim
mempertimbangkan sanksi denda sebagai pilihan pemidanaan yang akan
dijatuhkannya, dengan tetap mempertimbangkan berat ringannya perbuatan serta
rasa keadilan masyarakat.
Selain peran dari UUD 1945 beserta KUHP Peran UU No. 2 Tahun 2002
Tentang Polri juga sagat segnifikan. Di Indonesia, keberadaan kepolisian secara
kontitusi diatur dalam pasal 30 ayat 4 UUD 1945. Di sana dinyatakan:
40
40
“Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat serta menegakkan hukum”. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 2
Tahun 2002 menjelaskan bahwa Kepolisian adalah segala hal ihwal yang
berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan50
. Polri merupakan institusi pemerintah yang memiliki tugas dan
tanggung jawab menegakan keamanan dan ketertiban masyarakat sipil di
Indonesia.
Dalam Undang-undang RI No 2 tahun 2002 (Pasal 13), tugas pokok kepolisian
Negara republik Indonesia adalah :
• Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
• Menegakkan hukum, dan
• Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam peranannya polisi bertugas dalam mengatasi tindak pidana yang terjadi di
Indonesia.
Berkaitan dengan restorative justice penanganan polisi dalam kasus pencurian
ringan tersebut menitikbertkan pada keadilan dalam mengambil keputusan, untuk
tercapainya kesepakatan dalam musyawarah.
Dari tugas pihak polisi terkait dengan penanganan restorative justice
pengaturannya terdapat pada ketentuan hukum yakni diskresi yang diatur dalam
Pasal 15 Ayat 2 huruf k, Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
50
Undang-Undang Kepolisian Negara (UU RI NO. 2 Tahun 2002), Penerbit Sinar Grafika, Halaman 3.
41
41
peraturan perundang-undangan lainnya berwenang : melaksanakan kewenangan
lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian;
Dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf l : Dalam rangka menyelenggarakan tugas
dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.(ayat 2)
Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan
penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai
berikut :
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan;
c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. Menghormati HAM.
Dalam Pasal 18 ayat (1) bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.
Dalam Pasal 18 ayat (2) bahwa “ Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu
dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Indonesia”.
Selanjutnya Peraturan Desa (Perdes) Lengkong Nomor 2 tahun 2011
Tentang Keamanan dan Ketertiban Pasal 9 angka 2 Tentang Sanksi Tindak Pidana
42
42
Pencurian yang disahkan pada tanggal 9 januari 2011 mengatur tentang ketentuan
sanksi tindak pidana pencurian di lahan pertanian maupun perkebunan milik
warga akan ditindak tegas, dan akan dikenai denda dua kali lipat dari nominal
barang apabila barang tersebut telah rusak/hilang/dimanfaatkan untuk
memperoleh keuntungan. Sedangkan menurut Pasal 10 angka 1 yang mengatur
sistem musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan tindak pidana pencurian
dengan negosiasi antara pihak korban dan pelaku serta perangkat desa dan warga
sebagai saksi dan penegak hukum. Perdes ini didasarkan pada hokum adat/hokum
yang tidak tertulis kemudian dituangkan dalan suatu peraturan yang tertulis
bertujuan agar bisa lebih ditaati oleh warga masyarakat desa setempat.
Menurut Howard Zehr melihat dari sudut pandang keadilan restoratif,
kejahatan adalah pelanggaran terhadap hubungan kemasyarakatan. Kejahatan
menciptakan kewajiban untuk memperbaikinya. Keadilan melibatkan korban,
pelaku, dan masyarakat dalam mencari solusi yang menawarkan perbaikan,
rekonsiliasi, dan jaminan51
.
Burt Galaway dan Joe Hudson mendefinisikan keadilan restoratif meliputi
beberapa unsur pokok :
1. Pertama, kejahatan dipandang sebagai suatu konflik antara individu yang
dapat mengakibatkan kerugian pada korban, masyarakat, maupun pelaku
sendiri;
51
Howard Zehr, Changing lenses : A New Focus for Crime and justice, (Waterloo: Herald Press,
1990), hal. 181.
43
43
2. Kedua, tujuan dari proses peradilan pidana harus menciptakan perdamaian
dalam masyarakat, dengan jalan perujukan semua pihak dan mengganti
kerugian yang disebabkan oleh perselisihan tersebut;
3. Ketiga, proses peradilan pidana memudahkan peranan korban, pelaku, dan
masyarakat untuk menemukan solusi dari konflik itu52
.
Muladi berpendapat bahwa keadilan restoratif merupakan suatu
pendekatan terhadap keadilan atas dasar falsafah dan nilai-nilai tanggungjawab,
keterbukaan, kepercayaan, harapan, penyembuhan, dan “inclusivenes” dan
berdampak terhadap pengambilan keputusan kebijakan sistem peradilan pidana
dan praktisi hukum di seluruh dunia dan menjanjikan hal positif ke depan berupa
sistem keadilan untuk mengatasi konflik akibat kejahatan dan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan serta keadilan restoratif dapat terlaksana apabila fokus
perhatian diarahkan pada kerugian akibat tindak pidana, keprihatinan yang sama
dan komitmen untuk melibatkan pelaku dan korban, mendorong pelaku untuk
bertanggungjawab, kesempatan untuk dialog antara pelaku dan korban,
melibatkan masyarakat terdampak kejahatan dalam proses retroaktif, mendorong
kerjasama dan reintegrasi53
.
Bagir Manan memberikan pengertian secara umum pengertian restorative
justice adalah penataan kembali sistem pemidanaan yang lebih adil, baik bagi
pelaku, korban, maupun masyarakat54
.
52
Ibid. 53
Kesimpulan Seminar Nasional HUT Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) ke-59 dengan tema
“Restorative Justice dalam Hukum Pidana Indonesia”, Jakarta 25 April 2012. 54
Majalah Varia Peradilan, Tahun XX. No. 247, (Penerbit Ikatan Hakim Indonesia, Juni 2006), hal. 3.
44
44
Jadi menurut beberapa pendapat para ahli dikaitkan dengan peraturan
perundang-undangan baik itu dari UUD 1945, KUHP, Perma No. 2 Tahun 2012
Tentang Tindak Pidana Ringan, UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Republik Indonesia, dan Peraturan Desa Lengkong Nomor 2 tahun 2011 bahwa
penanganan tindak pidana pencurian dengan metode restorative justice akan dapat
bersikap adil dan seimbang dengan perbuatan dari pelaku.
Pada intinya Peraturan Mahkamah Agung (“Perma”) No. 2 Tahun 2012
tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam
KUHP (“Perma No. 2 Tahun 2012”), dikeluarkan oleh Mahkamah Agung untuk
menyelesaikan polemik mengenai batasan nilai kerugian dalam suatu tindak
pidana ringan, yang ditetapkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (“KUHP”) pada waktu dulu dan bagaimana penerapannya pada masa kini.
Misalnya, dalam tindak pidana pencurian ringan (Pasal 364 KUHP), penggelapan
ringan (Pasal 373 KUHP), penipuan ringan (Pasal 379 KUHP), dan lain-lain,
yang semula nilai kerugiannya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah dan
penyesuaian maksimum penjatuhan pidana denda, yang dahulu sebesar dua ratus
lima puluh rupiah, kini dilipatkangandakan menjadi 1000 (seribu) kali
(Vide: Pasal 3 Perma No. 2 Tahun 2012).
Penyesuaian tersebut dilakukan dengan memperhatikan nilai emas pada
saat KUHP peninggalan belanda, yang sebelumnya disesuaikan dengan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan nilai emas
pada saat ini. Sehingga dengan adanya penyesuaian tersebut, maka nilai barang
atau kerugian dalam tindak pidana ringan, yang semula ditetapkan tidak lebih dari
45
45
dua puluh lima puluh rupiah sekarang ditetapkan menjadi tidak lebih dari dua juta
lima ratus ribu rupiah (Pasal 2 ayat [1] Perma No. 2 Tahun 2012).
Dikaitkan dengan adanya Perma No. 2 Tahun 2012, tindak pidana
pencurian ringan dapat diselesaikan dengan Restorative Justice, maka menurut
hemat saya selaku penjawab, Perma No. 2 Tahun 2012 hanya mengatur mengenai
penyesuaian batasan nilai kerugian dan ganti rugi tindak pidana ringan, salah satu
contohnya adalah pencurian ringan, dan tidak serta-merta menerapkan Restoratif
Justice. Lalu, bagaimana jika seorang pelaku pencurian ringan tidak mempunyai
harta lagi untuk membayar denda sebagaimana dimaksud Pasal 3 Perma No. 2
Tahun 2012, karena uang hasil pencurian tersebut sudah dihabiskan maka dapat
dilakukan alternative lain, dalam fakta kasus, apabila pelaku tidak bisa membayar
atau mengganti rugi maka pelaku bisa bekerja kepada korban misal memanen
hasil sayur, mengelola kebun/sawah dengan kesepakatan kedua belah pihak
tersebut dengan catatan akan terus diawasi dan tidak akan dibayar guna
memberikan efek jera pada pelaku, hal tersebut merupakan toleransi untuk
memperingan tersangka agar tidak membayar ganti rugi dalam jumlah yang besar
yang tercatat dalam peraturan desa yaitu dua kali lipat dari barang yang dicuri.
Dalam penanganan perkara tindak pidana pencurian yang dikaitkan
dengan restorative justice, beberapa warga masyarakat, perangkat desa serta pihak
kepolisian berperaan penting untuk memberi efek jera yang efektif terhadap kasus
pencurian tersebut beserta tersangkanya. Serta konsekwensi peraturan desa yang
harus dipertanggung jawabkan oleh tersangka. Dalam hal ini warga masyarakat,
perangkat desa, dan pihak kepolisian memiliki peran masing-masing serta
46
46
bagaimana meminimalisir tingkat kasus pencurian di Kecamatan Garung sebagai
berikut :
1. Peran Warga Masyarakat, Perangkat Desa, dan Pihak Kepolisian Dalam
Penanganan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pendekatan Restorative Justice.
Untuk mewujudkan keadilan dalam suatu musyawarah peran
penengah/pendamai diantara pihak korban dengan pelaku/tersangka adalah
dari pihak warga masyarakat, perangkat desa, dan kepolisian. Agar terjalinnya
kesepakatan maka pihak penengah pun melakukan mediasi dan negosiasi
kepada tersangka untuk menyanggupi peraturan yang ada.
Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang ahli, Menurut Howard
Zehr melihat dari sudut pandang keadilan restoratif, kejahatan adalah
pelanggaran terhadap hubungan kemasyarakatan. Kejahatan menciptakan
kewajiban untuk memperbaikinya. Keadilan melibatkan korban, pelaku, dan
masyarakat dalam mencari solusi yang menawarkan perbaikan, rekonsiliasi,
dan jaminan.
Dengan demikian maka penanganan tindak pidana pencurian tersebut
terkait dengan teori modern berorientasi pada “hukum perlindungan sosial”
yang harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Teori modern
menolak konsepsi-konsepsi tentang tindak pidana, penjahat dan pidana serta
menolak fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari
kenyataan sosial.
Berkaitan dengan penegak hukum peran di tingkat kepolisian (tahap
penyelidikan dan penyidikan), pendekatan restorative justice dapat digunakan
47
47
berdasarkan kewenangan diskresi (discretionary powers). Kewenangan
diskresi adalah salah satu sarana yang memberi ruang gerak bagi pejabat atau
badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus
terikat sepenuhnya pada undang-undang. Kewenangan diskresi diberikan
kepada pemerintah (jajaran badan-badan administrasi negara) mengingat
fungsi pemerintah/administrasi negara, yaitu menyelenggarakan kesejahteraan
umum. Penyelenggaraan kesejahteraan umum dan mewujudkannya adalah
konsekuensi logis dari konsep “Welfare State” dan sebagai alternatif untuk
mengisi kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas legalitas
(“wetmatigheid van bestuur”).
2. Konsekwensi Peraturan Desa Yang Harus Dipertanggung Jawabkan Oleh
Pelaku.
Untuk hal ini ada istilah bahwa berani berbuat maka harus berani
bertanggung jawab, hal tersebut adalah konsekwensi bagi pelaku terhadap
perbuatan tindak pidananya. Dari kasus perkara tersebut, terdapat suatu aturan
yang apabila mengambil/mencuri, menghilangkan, dan merusak barang akan
dikenai sanksi denda dua kali lipat. Untuk proses keadilan hal tersebut bisa
saja memberatkan tersangka atau bahkan dapat disanggupi tersangka, namun
sudah menjadi resiko dan tanggung jawab dari tersangka, karena tujuan dari
peraturan desa tersebut adalah untuk memberikan efek jera agar pelaku tidak
mengulangi perbuatannya lagi.
Peraturan desa tersebut dapat dikaitkan dengan teori living law.
Menurut Engen Ehrlich living law adalah hukum yang hidup di lingkungan
48
48
suatu masyarakat tertentu berupa perilaku-perilaku sosial yang tercipta
berdasarkan suatu konvensi dan solidaritas sosial, biasa kita sebut dengan
istilah hukum adat.
Dalam perkara tersebut mediasi dilakukan kepada tersangka untuk
beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dan harus ditaati, dalam restorative
justice terdapat suatu sistem yaitu keadilan, kesepakatan, dan tanggung jawab
seperti yang dikemukakan oleh salah satu ahli, yaitu Muladi berpendapat
bahwa keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan terhadap keadilan atas
dasar falsafah dan nilai-nilai tanggungjawab, keterbukaan, kepercayaan,
harapan, penyembuhan, dan “inclusivenes” dan berdampak terhadap
pengambilan keputusan kebijakan sistem peradilan pidana dan praktisi hukum
di seluruh dunia dan menjanjikan hal positif ke depan berupa sistem keadilan
untuk mengatasi konflik akibat kejahatan dan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan serta keadilan restoratif dapat terlaksana apabila
fokus perhatian diarahkan pada kerugian akibat tindak pidana, keprihatinan
yang sama dan komitmen untuk melibatkan pelaku dan korban, mendorong
pelaku untuk bertanggungjawab, kesempatan untuk dialog antara pelaku dan
korban, melibatkan masyarakat terdampak kejahatan dalam proses retroaktif,
mendorong kerjasama dan reintegrasi.