1. Visum Et Repertum

Embed Size (px)

DESCRIPTION

wdw

Citation preview

1

Visum Et RepertumTri Ana Putra

1. PendahuluanPemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebutPembuktian dalam Perkara Pidana menurut Pasal 184 KUHAP memerlukan adanya alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Hakim dapat menjatuhkan pidana berdasarkan Pasal 183 KUHAP, sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang dapat membentuk keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa. Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarakan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan dalam persidangan Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk pembuktian perkara pidana antara lain adalah meminta bantuan dokter sebagai ahli. Seorang dokter bisa bertindak sebagai saksi ahli dan juga bias membuat surat keterangan yang disebut dengan visum et repertumPembuatan visum et repertum memberikan tugas sepenuhnya kepada dokter sebagai pelaksana di lapangan untuk membantu jaksa dalam menentukan arah dakwaan yang akan didakwakan terhadap terdakwa, serta membantu hakim dalam menemukan kebenaran materil dalam memutuskan perkara pidana. Dokter dilibatkan untuk turut dalam memberikan pendapat berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dalam pemeriksaan perkara pidana, apabila menyangkut tubuh manusia atau bagian dari tubuh manusia. Pendapat dokter diperlukan karena seorang jaksa sebagai penuntut umum dalam suatu perkara tidak dibekali ilmu-ilmu yang berhubungan dengan anatomi tubuh manusia, yaitu dalam rangka menemukan kebenaran materil atas perkara pidana2. Definisi Istilah visum et repertum tidak ditemukan dalam KUHAP, tetapi terdapat dalam Stbl tahun 1937 Nomor 350 tentang Visa reperta merupakan bahasa Latin. Visa berarti penyaksian atau pengakuan telah melihat sesuatu, dan reperta berarti Laporan. Dengan demikian apabila diterjemahkan secara bebas berdasarkan arti kata, Visa Reperta berarti laporan yang dibuat berdasarkan penyaksian atau pengakuan telah melihat sesuatuVisum et repertum merupakan bentuk tunggal dari kata visa et reperta. Dalam Stbl 1937 Nomor 350, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa visa reperta para dokter yang dibuat atas sumah jabatan, yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di Indonesia maupun atas sumpah khusus seperti dimaksud dalam Pasal 2, dalam perkara pidana mempunyai kekuatan pembuktian.Abdul Munim Idris memberikan pengertian visum et repertum adalah suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan. Menurut pendapat D Tjan Han Tjong visum et repertum merupakan suatu hal yang penting dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya tanda bukti (corpus delicti), seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka tubuh si korban merupakan tanda bukti (corpus delicti)

3. Dasar Hukum Visum Et RepertumKewajiban dokter untuk membuat visum et repertum ini telah diatur dalam Pasal 133 KUHAP. Pasal 133 KUHAP mengatur Sebagai berikut: 1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan menanganiseorang korban, baik luka, keracunan ataupun mati,yang diduga karena peristiwa tindak pidana, iaberwenang mengajukan permintaan keterangan ahlikepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atauahli lainnya. 2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalamsurat itu disebutkan secara tegas untuk pemeriksaanluka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. 3. Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakuakan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilakuakn dan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian lain pada mayat. Visum et repertum ini akan dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan. Dalam menangani kasus untuk membantu proses peradilan di sini peran dokter sebagai ahli forensic. Di sini korban yang diperiksa berstatus sebagai barang bukti dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tindakan yang diambil oleh dokter di sini adalah pemeriksaan forensic yang bertujuan untuk penegakan keadilanDalam KUHAP kedudukan atau nilai VeR adalah satu alat bukti yang sah KUHAP pasal 184Alat bukti yang sah adalah:a. Keterangan saksib. Keterangan ahlic. Suratd. Petunjuke. Keteragan terdakwa.

Pasal 186Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilanPasal 187 (c)Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarka keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya. 4. Jenis Visum Et RepertumAda 3 jenis visum et repertum, yaitu: a. VeR hidup, dibagi lagi menjadi 3, yaitu:1. VeR definitif, yaitu VeR yang dibuat seketika, dimana korban tidak memerlukan perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga tidak menghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi luka yang ditulis pada bagian kesimpulan yaitu luka derajat I atau luka golongan C2. VeR sementara, yaitu VeR yang dibuat untuk sementara waktu, karena korban memerlukan perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga menghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi luka tidak ditentukan dan tidak ditulis pada kesimpulan.Ada 5 manfaat dibuatnya VeR sementara, yaitu a) Menentukan apakah ada tindak pidana atau tidak b) Mengarahkan penyelidikan c) Berpengaruh terhadap putusan untuk melakukan d) penahanan sementara terhadap terdakwa e) Menentukan tuntutan jaksa f) Medical record3. VeR lanjutan, yaitu VeR yang dibuat dimana luka korban telah dinyatakan sembuh atau pindah rumah sakit atau pindah dokter atau pulang paksa. Bila korban meninggal, maka dokter membuat VeR jenazah. Dokter menulis kualifikasi luka pada bagian kesimpulan VeR.

b. VeR jenazah, yaitu VeR yang dibuat terhadap korban yang meninggal. Tujuan pembuatan VeR ini adalah untuk menentukan sebab, cara, dan mekanisme kematian. Jenazah yang akan dimintakan Visum et Repertum-nya harus diberi label yang memuat identitas mayat, di-lak dengan diberi cap jabatan, yang dikaitkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan Visum et Repertum-nya harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah hanya pemeriksaan luar jenazah atau pemeriksaan bedah jenazah (autopsi) (Pasal 133 KUHAP). 1,2a. Visum et Repertum dengan pemeriksaan luarPemeriksaan luar jenazah adalah pemeriksaan berupa tindakan tanpa merusak keutuhan jaringan jenazah. Pemeriksaan ini dilakukan dengan teliti dan sistematik, serta kemudian dicatat secara rinci, mulai dari bungkus atau tutup jenazah, pakaian, benda-benda di sekitar jenazah, perhiasan, ciri-ciri umum identitas, tanda-tanda tanatologi, gigi geligi, dan luka atau cedera atau kelainan yang ditemukan di seluruh bagian luar. Apabila penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja, maka kesimpulan Visum et Repertum menyebutkan jenis luka atau kelainan yang ditemukan dan jenis kekerasan penyebabnya, sedangkan sebab matinya tidak dapat ditentukan karena tidak dilakukan pemeriksaan bedah jenazah. Bila dapat diperkirakan, lama mati sebelum pemeriksaan (perkiraan waktu kematian) dapat dicantumkan dalam bagian kesimpulanb. Visum et Repertum dengan pemeriksaan luar dan dalamBila juga disertakan pemeriksaan autopsi, maka penyidik wajib memberi tahu kepada keluarga korban dan menerangkan maksud dan tujuan pemeriksaan. Autopsi dilakukan jika keluarga korban tidak keberatan, atau bila dalam dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga korban (Pasal 134 KUHAP). Jenazah yang diperiksa dapat juga berupa jenazah yang didapat dari penggalian kuburan (Pasal 135 KUHAP).Pemeriksaan autopsi dilakukan menyeluruh dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi, dan lain sebagainya. Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab kematian korban, jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, dan perkiraan waktu kematianc. Ekspertise, yaitu VeR khusus yang melaporkan keadaan benda atau bagian tubuh korban, misalnya darah, mani, liur, jaringan tubuh, tulang, rambut, dan lain-lain. Ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa ekspertise bukan merupakan VeR5. Struktur Visum et RepertumSudut kanan atas:a. alamat tujuan SPVR(Rumah sakit atau dokter), dan tgl SPVR.b. Rumah sakit (Direktur) :- Kepala bagian / SMF Bedah- Kepala bagian / SMF Obgyn- Kepala bagian / SMF Penyakit dalam- Kepala bagian I.K.Forensik.Sudut kiri atas:a. alamat peminta VetR,b. nomor surat, hal danc. lampiran.Bagian tengah :a. Disebutkan SPVR korban hidup / matib. Identitas korban (nama, umur, kelamin, kebangsaan, alamat, agama dan pekerjaan).c. Peristiwanya (modus operandi) antara lain *Luka karena . . . . . . . . . . . . . . . .*Keracunan (obat/racun . . . . . . . . . .).*Kesusilaan (perkosaan/perzinahan/cabul).*Mati karena (listrik, tenggelam, senjata api/tajam/tumpul).1. PembukaanKata Projustitia dicantumkan disudut kiri atas, dan dengan demikian visum et repertum tidak perlu bermaterai, sesuai dengan pasal 136 KUHAP.2. Pendahuluan.Bagian ini memuat antara lain : Identitas pemohon visum et repertum. Identitas dokter yang memeriksa / membuat visum et repertum. Tempat dilakukannya pemeriksaan (misalnya rumah sakit X Surabaya). Tanggal dan jam dilakukannya pemeriksaan. Identitas korban. Keterangan dari penyidik mengenai cara kematian, luka, dimana korban dirawat, waktu korban meninggal. Keterangan mengenai orang yang menyerahkan / mengantar korban pada dokter dan waktu saat korban diterima dirumah sakit.3. Pemberitaan.

Identitas korban menurut pemeriksaan dokter, (umur, jenis kel,TB/BB), serta keadaan umum. Hasil pemeriksaan berupa kelainan yang ditemukan pada korban. Tindakan-tindakan / operasi yang telah dilakukan. Hasil pemeriksaan tambahan.Syarat-syarat : Memakai bahasa Indonesia yg mudah dimengerti orang awam. Angka harus ditulis dengan hurup, (4 cm ditulis empat sentimeter). Tidak dibenarkan menulis diagnose luka (luka bacok, luka tembak dll). Luka harus dilukiskan dengan kata-kata. Memuat hasil pemeriksaan yang objektif (sesuai apa yang dilihat dan ditemukan).4. Kesimpulan. Bagian ini berupa pendapat pribadi dari dokter yang memeriksa, mengenai hasil pemeriksaan sesuai dgn pengetahuan yang sebaik-baiknya. Seseorang melakukan pengamatan dengan kelima panca indera (pengelihatan, pendengaran, perasa, penciuman dan perabaan). Sifatnya subjektif.5. Penutup

Memuat kata Demikianlah visum et repertum ini dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan. Diakhiri dengan tanda tangan, nama lengkap/NIP dokter.

Struktur Visum et RepertumUnsur penting dalam VeR yang diusulkan oleh banyak ahli adalah sebagai berikut3 :1) Pro JustitiaKata tersebut harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR tidak perlu bermeterai.2) PendahuluanPendahuluan memuat: identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan pukul diterimanya permohonan VeR, identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas subjek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dan tempat dilakukan pemeriksaan.3) Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati, terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristik serta ukurannya. Rincian tersebut terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang padasaat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali. Pada pemeriksaan korban hidup, bagian pemberitaan terdiri dari:a. Pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang dikeluhkan dan apa yang diriwayatkan yang menyangkut tentang penyakit yang diderita korban sebagai hasil dari kekerasan/tindak pidana/didugakekerasan.b. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).c. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal tersebut perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang tepat/ tidaknya penanganan dokter dan tepat/tidaknya kesimpulan yang diambil.d. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan hal penting untuk pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas. Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan.

4) KesimpulanMemuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VeR, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya VeR tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka. Hasil pemeriksaan anamnesis yang tidak didukung oleh hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak digunakan dalam menarik kesimpulan. Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis hanya boleh dilakukan dengan penuh hati-hati. Kesimpulan VeR adalah pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, standar profesi dan ketentuan hukum yang berlaku. Kesimpulan VeR harus dapat menjembatani antara temuan ilmiah dengan manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum. Kesimpulan bukanlah hanya resume hasil pemeriksaan,melainkan lebih ke arah interpretasi hasil temuan dalam kerangka ketentuan hokum-hukum yang berlaku.

5) PenutupMemuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebu dibuat dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat VeR.6. Penentuan Derajat dan Kualifikasi LukaSalah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulan sebuah VeR perlukaan adalah derajat luka atau kualifikasi luka. Dari aspek hukum, VeR dikatakan baik apabila substansi yang terdapat dalam VeR tersebut dapat memenuhi delik rumusan dalam KUHP. Penentuan derajat luka sangat tergantung pada latar belakang individual dokter seperti pengalaman, keterampilan, keikutsertaan dalam pendidikan kedokteran berkelanjutan dan sebagainya3. Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak padakorban dari segi fisik, psikis, sosial dan pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek, ataupun jangka panjang. Dampak perlukaan tersebut memegang peranan penting bagi hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan. Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari tiga tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan ringan (pidana maksimum 3 bulan penjara), penganiayaan (pidana maksimum 2 tahun 8 bulan), dan penganiayaan yang menimbulkan luka berat (pidana maksimum 5 tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut diatur dalam pasal 352 (1) KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk penganiayaan, dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka berat. Setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal tersebut seorang dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan menggunakan bahasa awam, termasuk pasal mana kecederaan korban yang bersangkutan. Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan. Jadi bila luka pada seorang korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan penyakit atau komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori tersebut. Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana diatur dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati penyakit akibat kekerasan tersebut, maka korban dimasukkan ke dalam kategori tersebut2.

Kata penganiayaan merupakan istilah hukum dan tidak dikenal dalam istilah kedokteran. Dan karena penganiayaan biasanya menimbulkan luka, maka dalam kesimpulan visum et repertum kata penganiayaan diganti dengan kata luka. Dengan demikian kualifikasi luka menjadi 3 Luka yang tergolong luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian Luka yang tergolong luka yang menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau pencaharian Luka yang tergolong luka berat

Menurut KUHP pasal 90 yang tergolong luka berat adalah3 :1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.2. Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian3. Kehilangan salah satu panca indera4. Mendapat cacat berat5. Menderita sakit lumpuh6. Terganggu daya piker selama 4 minggu lebih7. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan7. Prosedur, permintaan, penerimaan dan penyerahan Visum et RepertumPihak yang berhak meminta Ver3: Penyidik, sesuai dengan pasal I ayat 1, yaitu pihak kepolisian yang diangkat negara untuk menjalankan undang-undang. Di wilayah sendiri, kecuali ada permintaan dari Pemda Tk II. Tidak dibenarkan meminta visum pada perkara yang telah lewat. Pada mayat harus diberi label, sesuai KUHP 133 ayat C.Syarat pembuat 3: Harus seorang dokter (dokter gigi hanya terbatas pada gigi dan mulut) Di wilayah sendiri Memiliki SIP Kesehatan baik

Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter untuk membuat VeR korban hidup, yaitu:1. Harus tertulis, tidak boleh secara lisan.2. Langsung menyerahkannya kepada dokter, tidak boleh dititip melalui korban atau keluarganya. Juga tidak boleh melalui jasa pos.3. Bukan kejadian yang sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan dokter.4. Ada alasan mengapa korban dibawa kepada dokter.5. Ada identitas korban.6. Ada identitas pemintanya.7. Mencantumkan tanggal permintaan.8. Korban diantar oleh polisi atau jaksa.Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter untuk membuat VeR jenazah, yaitu:1. Harus tertulis, tidak boleh secara lisan.2. Harus sedini mungkin.3. Tidak bisa permintaannya hanya untuk pemeriksaan luar.4. Ada keterangan terjadinya kejahatan.5. Memberikan label dan segel pada salah satu ibu jari kaki.6. Ada identitas pemintanya.7. Mencantumkan tanggal permintaan.8. Korban diantar oleh polisi.Saat menerima permintaan membuat VeR, dokter harus mencatat tanggal dan jam, penerimaan surat permintaan, dan mencatat nama petugas yang mengantar korban. Batas waktu bagi dokter untuk menyerahkan hasil VeR kepada penyidik selama 20 hari. Bila belum selesai, batas waktunya menjadi 40 hari dan atas persetujuan penuntut umum.Lampiran visum- Fotografi forensik- Identitas, kelainan-kelainan pada gambar tersebut- Penjelasan istilah kedokteran- Hasil pemeriksaan lab forensik (toksikologi, patologi, sitologi, mikrobiologi)

8. Visum et Repertum dalam Perkara PidanaPembuatan visum et repertum diperlukan untuk beberapa tindak pidana yang menyangkut korban manusia, baik hidup maupun mati, dan benda yang diduga sebagai bagian dari tubuh manusia. Tindak pidana yang memerlukan visum et repertum sebagaimana dalam KUHP adalah: a. Pelaku tindak pidana yang menderita kelainan jiwa, yaitu b. berkaitan dengan Pasal 44 KUHP; c. Penentuan umur korban/pelaku tindak pidana; d. Kejahatan kesusilaan yang diatur dalam Pasal 284 samapai e. Pasal 290 KUHP, dan Pasala 292 sampai Pasal 294 KUHP; f. Kejahatan terhadap nyawa yaitu Pasal 338 sampai Pasal 348 KUHPPermintaan visum et repertum antara lain bertujuan untuk membuat terang peristiwa pidana yang terjadi. Oleh karena itu penyidik dalam permintaan tertulis pada dokter menyebutkan jenis visum et repertum yang dikehendaki dengan menggunakan format sesuai dengan kasus yang sedang ditangani.Pemeriksaan atas barang bukti yang berasal dari tubuh manusia, misalnya berupa muntahan kobran, sperma, rambut, dan sebagainya yang dilakukan di laboratorium forensic dituangkan dalam berita acara pemeriksaan atas barang bukti. Disamping itu dikenal pemeriksaan di tempat kejadian perkara yang hasil pemeriksaannya juga dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.Pembuatan visum et repertum haruslah memenuhi syarat formil dan syarat materil. Syarat formil menyangkut prosedur yang harus dipenuhi yakni sebagaimana tercantum dalam Instruksi Kapolri No.Pol INS/E/20/IX/75 tentang Tata Cara.berikut: Permohonan/pencabutan visum et repertum sebagai berikut :a. Permintaan visum et repertum haruslah tertulis (sesuai dengan Pasal 133 Ayat (2) KUHAP); b. Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara dibedah, jika ada keberatan dari pihak keliarga korban, maka pihak Polisi atau pemeriksa memberikan penjelasan akan pentingnya dilakukan dengan bedah mayat.c. Permintaan visum et reepertum hanya dilakukan terhadap tindak pidana yang baru terjadi, tidak dibenarakan permintaan yang telah lampau.d. Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya bedah mayat. e. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, maka polisi perlu melakukan pengamanan tempat dilakukannya bedah mayat.

DAFTAR PUSTAKA1. Amir, Prof. Dr. Amri. 2005. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua. Percetakan Ramadhan: Medan.2. Idries, Dr. Abdul Munim. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama. Binapura Aksara: Jakarta Barat.3. Budiyanto A, Widiatmaka W, sudiono S, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Universitas Indonesia: Jakarta.4. Afandi. 2010. Visum et Repertum pada Korban Hidup. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal: FK UNRI 5. Abidin, Andi Zainal, 1995. Hukum Pidana I, Sinar Grafika: Jakarta.6. Andi Hamzah, 1990. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia: Jakarta.7. Chazawi, Adami. 2008. Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya HukumPidana). PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta. 8. Farid Abidin, Zainal Andi. 1995, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika,Jakarta.