Upload
hime
View
19
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
m
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Lebih dari 100 tahun yang lalu sejak Charcot, Carswell, dan Cruveilhier,
berhasil menjelaskan tentang gambaran klinis, patologis, dan karakteristik
multiple sklerosis. Penyakit sistem saraf pusat yang bersifat progresif dan sering
menyebabkan relaps ini terus menimbulkan tantangan bagi para peneliti untuk
mencoba memahami patogenesis dan tatalaksananya sehingga mencegah penyakit
tersebut terus berkembang(1).
Multiple sklerosis (MS) adalah penyakit radang myelin sistem saraf pusat
yang disebabkan karena proses autoimun dan faktor genetik lainnya. Sekitar
400.000 orang di Amerika Serikat dan 2,5 juta orang di seluruh dunia, dengan
prevalensi sekitar 1 kasus per 1000 orang dalam populasi dan rasio perempuan
dengan laki-laki 2:1 menderita penyakit ini. Sekitar 85% pasien dengan multiple
sklerosis sering bersifat relaps atau hilang-timbul saja. Lebih dari setengah dari
pasien tersebut berkembang menjadi kecacatan dan berlanjut dari serangan akut
dan beralih ke progresif sekunder dalam waktu 10 hingga 20 tahun setelah
terdiagnosis(2).
Harapan hidup pasien dengan MS menjadi berkurang. Dalam satu studi di
Kanada, harapan hidup penderita berkurang sebesar 4 sampai 7 tahun(3), dan di
Denmark berkurang hingga 10 sampai 12 tahun(4). Kualitas hidup seorang pasien
ini sangat dipengaruhi oleh gejala fisik yang timbul termasuk kelelahan,
kesakitan, dan kesulitan dengan mobilitas, dan masalah sosial dan gangguan
perasaan dan mood (2).
1
Saat ini belum ada obat yang dapat mencegah timbul dan menyembuhkan
MS. Terapi yang diberikan hanya meminimalkan timbulnya serangan, mengurangi
efek serangan, dan memperpanjang masa remisi. Salah satu alasan mengapa MS
sulit disembuhkan adalah sekali sistem saraf pusat (SSP) rusak maka perbaikan
neuron yang telah rusak akan sulit(5).
Berdasarkan hal tersebut, sampai saat ini eksperimental tentang
penatalaksanaan dan penggunaan obat yang mungkin dapat merangsang
'remyelinisasi' saraf yang rusak dan memperlambat atau menghentikan proses
kerusakan lebih lanjut masih terus dilakukan. Pada makalah ini, akan dibahas
tentang tatalaksana dari penyakit multiple sklerosis sehingga dapat menambah
pengetahuan dalam mengurangi morbiditas bagi penderita.
2
BAB II
ISI
A. Definisi Multiple Sklerosis
Multiple sklerosis adalah suatu peradangan yang terjadi di otak dan
sumsum tulang belakang yang menyerang daerah substansia alba dan merupakan
penyebab utama kecacatan pada dewasa muda. Penyebabnya dapat disebabkan
oleh banyak faktor, terutama proses autoimun(6). Focal lymphocytic infiltration
atau sel T bermigrasi keluar dari lymph node ke dalam sirkulasi menembus sawar
darah otak (blood brain barrier) secara terus-menerus menuju lokasi dan
melakukan penyerangan pada antigen myelin pada sistem saraf pusat seperti yang
umum terjadi pada setiap infeksi. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
inflamasi, kerusakan pada myelin (demyelinisasi), neuroaxonal injury,
astrogliosis, dan proses degenerative(7). Akibat demyelinasi (Gambar 1.1), neuron
menjadi kurang efisien dalam potensial aksi. Transmisi impuls yang disampaikan
oleh neuron yang terdemyelinisasi akan menjadi buruk. Akibat 'kebocoran' impuls
tersebut, terjadi kelemahan dan kesulitan dalam mengendalikan otot atau kegiatan
sensorik tertentu di berbagai bagian tubuh(5).
Bila otak penderita MS dipotong, akan terlihat bercak-bercak induratif
yang multipel di substansia alba yang membuatnya dinamai multipel sklerosis.
Lesi tersebut umumnya berlokasi di periventrikel, korpus kalosum, nervus
optikus, dan medula spinalis. Selain itu dapat ditemukan di batang otak dan
serebelum. Secara mikroskopis, lesi tersebut menunjukkan destruksi myelin
3
parsial/total. Juga ditemukan infiltrasi perivaskuler dari monosit, limfosit serta
makrofag, sedangkan astrosit dan oligodendrosit pada fase lanjut. Pada lesi yang
relatif aseluler umumnya aksonnya masih utuh dan terjadi remyelinisasi,
sedangkan pada lesi yang infiltratif terjadi degenerasi aksonal (8,9).
Gambar 1.1 Perbedaan Neuron yang Sehat dan yang Mengalami Demyelinisasi
B. Etiologi Multiple Skelrosis
Etiologi dari kelainan tersebut masih belum jelas. Ada beberapa
mekanisme penting yang menjadi penyebab timbulnya bercak MS yaitu autoimun,
infeksi, dan herediter. Meskipun bukti yang meyakinkan kurang, faktor makanan
dan paparan toksin telah dilaporkan ikut berkontribusi juga. Mekanisme ini tidak
saling berdiri sendiri melainkan merupakan gabungan dari berbagai faktor (10).
Mekanisme autoimun diduga terjadi melalui penurunan aktifitas limfosit
T-supresor pada sirkulasi pasien penderita MS serta adanya molecular mimicry
4
antara antigen dan MBP (myelin basic protein) yang mengaktifkan klon sel T
yang spesifik terhadap MBP (MBP specific T-cell clone). Limfosit T4 menjadi
autoreaktif pada paparan antigen asing yang strukturalnya mirip dengan MBP.
Tidak hanya beberapa virus dan peptida bakteri saja yang memiliki kesamaan
struktural dengan MBP, tetapi beberapa dari mikroorganisme tersebut dapat
mengaktifkan MBP-spesifik T-sel klon pada pasien MS (10).
Beberapa infeksi virus diketahui menyebabkan demyelinasi pada manusia
diantaranya progressive multifocal leukoencephalopathy yang disebabkan oleh
papilloma virus JC, subakut sclerosing panencephalitis oleh virus campak. Pada
MS studi serologis awal sulit ditafsirkan. Namun, banyak pasien MS terdapat
elevasi titer CSF terhadap virus campak dan herpes simpleks (HSV), tetapi ini
juga tidak spesifik (10).
C. Klasifikasi MS
Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS (5):
1. Relapsing-remitting MS. Banyak kasus umumnya berawal dari bentuk MS
yang gejalanya bersifat hilang timbul terutama pada dewasa muda.
Merupakan perjalanan klinis yang klasik dari multipel sklerosis dimana
terdapat fase relaps dan remisi. Gejala hanya memburuk ketika adanya
serangan meskipun dapat berkembang menjadi secondary progressive
multiple sclerosis.
2. Chronic progressive MS. Gejala secara bertahap memburuk setelah episode
serangan pertama dan terus terjadi peningkatan kecacatan tanpa diselingi
5
fase remisi sama sekali. Sering melibatkan penurunan gerakan motorik
tubuh, atau kinerja sensorik (terutama penglihatan).
3. Benign MS. Gejala yang relatif kecil, perkembangan sangat lambat sehingga
hampir tak terlihat secara klinis, atau ada sedikit serangan selama masa
waktu yang panjang biasanya 15 tahun setelah diagnosis. Ada bukti yang
menyebutkan bahwa perjalanan MS mungkin awalnya jinak. Namun, bukti
dari penelitian jangka panjang menyebutkan kasus benign MS akhirnya
mengakibatkan gejala dan kecacatan yang signifikan, meskipun ini mungkin
tidak terjadi selama 20 atau 30 tahun setelah diagnosis.
4. Secondary progressive MS. Relapsing-remitting MS dapat berubah
menjadi bentuk secondary progressive MS dimana mulai terjadi
penurunan yang relatif stabil namun frekuensi remisi cukup
jarang.
D. Gambaran Klinis MS
Gambaran klinis yang muncul sesuai dengan daerah lesi yang terkena.
Terdapat beberapa gejala dan tanda yang timbul pada MS (5):
Disfungsi usus dan saluran kencing
Menurunnya persepsi nyeri, getaran, dan posisi
Kelelahan dan gangguan mobilitas
Depresi dan gangguan kognitif atau memori
Masalah penglihatan dan pendengaran
Tremor, hiperefleksia, spastisitas, dan tanda babinsky yang positif
Nistagmus, gangguan koordinasi dan keseimbangan
6
Gejala neurologis yang sering timbul pertama kali pada multipel sklerosis
adalah neuritis optika pada 14-23 % pasien dan lebih dari 50% pasien pernah
mengalaminya. Gejala yang dialami adalah penglihatan kabur, pada orang kulit
putih biasanya mengenai satu mata, sedangkan pada orang asia lebih sering pada
kedua mata. Pada pemeriksaan fisik ditemukan refleks pupil yang menurun,
penurunan visus, gangguan persepsi warna dan skotoma sentral. Funduskopi pada
fase akut menunjukkan papil yang hiperemis tetapi dapat normal pada neuritis
optika posterior/retrobulbar. Sedangkan pada fase kronis dapat terlihat atrofi
papil. Selain itu pada neuritis optika umumnya pasien mengeluh nyeri pada orbita
yang dapat timbul spontan terus-menerus atau pada pergerakan bola mata. Selain
itu terdapat suatu fenomena yang unik yang disebut fenomena Uhthofff dimana
gejala penurunan visus (bersifat temporal) dieksaserbasi oleh suhu panas atau
latihan fisik. Diplopia juga dapat muncul pada MS meskipun lebih jarang
dibandingkan neuritis optika (11).
Gangguan sensorik merupakan manifestasi klinis awal yang juga sering
dialami oleh 21-55% pasien MS. Umumnya gejala yang timbul berupa rasa baal
(hipestesi), kesemutan (parestesi), rasa terbakar (disestesi) maupun hiperestesi.
Kelainan tersebut dapat timbul pada satu ekstremitas atau lebih, dan pada tubuh
atau wajah. Selain itu proprioseptif, rasa vibrasi, dan diskriminasi dua titik juga
dapat terganggu sehingga menimbulkan kesulitan menulis, mengetik atau
mengancing baju. Gejala proprioseptif ini umumnya timbul bilateral dan bila
terdapat lesi di daerah lemniskus gangguan proprioseptif tersebut hanya mengenai
lengan yang dinamakan useless hand syndrome. Gejala tersebut umumnya
7
mengalami remisi dalam beberapa bulan. Tanda yang sering terjadi pada penderita
MS meskipun tidak karakteristik adalah tanda Lhermitte; bila kepala difleksikan
secara pasif, timbul parestesi sepanjang bahu, punggung dan lengan. Hal ini
mungkin disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi sensitivitasnya
meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan fleksi kepala (12).
Gangguan serebelum juga sering terjadi pada MS meskipun jarang menjadi
gejala utama. Manifestasi klinisnya ataksia serebelaris, baik yang mengenai
gerakan motorik halus (dismetria, disdiadokokinesia, intention tremor), gait,
maupun artikulasi (scanning speech, disartria). Selain itu dapat timbul pula
nistagmus, terutama yang horizontal bidireksional dan vertikal (12).
Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada MS
meski frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di medula spinalis dapat
menyebabkan sindroma Brown-Sequard atau mielitis transversa yang
mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak simetris), level sensorik dan gangguan
miksi-defekasi. Refleks patologis dan/atau hiperrefleksia bilateral dengan atau
tanpa kelemahan motorik merupakan manifestasi yang lebih sering dan
merupakan tanda lesi kortikospinal bilateral. Yang karakteristik, meskipun
kelemahan hanya pada satu sisi, refleks patologis selalu bilateral. Spastisitas dapat
menyebabkan gejala kram otot pada pasien MS. Kelelahan/fatigue merupakan
gejala non spesifik pada MS dan terjadi pada hampir 90% pasien MS. Kelelahan
dapat merupakan kelelahan fisik pada waktu exercise berlebihan ataupun pada
temperatur panas maupun kelelahan/kelambatan mental (12).
8
Gangguan memori dapat terjadi pada pasien MS. Menurut penelitian
Thornton dkk memori jangka pendek, working memori dan memori jangka
panjang umumnya terganggu pada pasien MS (13). Selain itu juga didapatkan
gangguan atensi. Gangguan emosi berupa iritabilitas dan afek pseudobulbar
berupa forced laughing atau forced crying umum terjadi pada pasien MS
disebabkan lesi hemisfer bilateral (12,13).
Gejala lainnya yang lebih jarang meliputi neuralgia trigeminal (bilateral),
gangguan lain pada batang otak berupa paresis n. facialis perifer (bilateral),
gangguan pendengaran, tinitus, vértigo, dan sangat jarang penurunan kesadaran
(stupor dan koma) (13).
E. Diagnosis MS
Kriteria diagnostik yang umum dipakai adalah kriteria McDonald yang
merupakan kriteria MS dengan konsep asli tahun 2001 dan revisi terakhir tahun
2010. Kriteria McDonald menekankan adanya pemisahan menurut
waktu/disseminated in time (dua serangan atau lebih) dan pemisahan oleh
ruang/disseminated in space (dua atau lebih diagnosa topis yang berbeda).
Seseorang dinyatakan definite menderita MS bila terjadi pemisahan waktu dan
ruang yang dibuktikan secara klinis atau bila bukti secara klinis tidak lengkap
tetapi didukung oleh pemeriksaan penunjang (MRI, LCS atau VEP).
Pemisahan secara waktu maksudnya adalah terjadinya dua serangan atau
lebih dimana jarak antara dua serangan minimal 30 hari dan satu episode serangan
minimal berlangsung 24 jam. Sedangkan pemisahan oleh ruang adalah
9
terdapatnya dua atau lebih gejala neurologis obyektif yang mencerminkan dua lesi
yang diagnosis topisnya berbeda (14).
Kriteria definite (disseminated in space) MRI harus meliputi 3 dari 4
kriteria: (1) adanya 1 lesi yang besar atau minimal 9 lesi yang kecil (2) minimal 1
lesi infratentorial (3) minimal 1 lesi juxtakortikal (4) minimal 3 lesi periventrikel.
Selain itu pada MRI dapat terlihat gambaran atrofi korteks yang didahului oleh
pembesaran ventrikel (14).
Gambar 1.2. MRI Otak Wanita 25 Tahun dengan Relapsing-Remitting MS
Pemeriksaan oligoclonal band dari cairan serebrospinalis/LCS sangat
membantu diagnosis MS. Sensitifitas pemeriksaan ini dikatakan dapat mencapai
95% dan bila terdapat peningkatan oligoclonal band pada LCS maka hanya
dibutuhkan 2 lesi pada MRI untuk memenuhi kriteria disseminated in space (15).
Pemeriksaan VEP (visual evoked potential) merupakan pemeriksaan
penunjang yang cukup sensitif (dibandingkan pemeriksaan evoked potential lain)
10
untuk MS dimana terjadi pemanjangan latensi VEP yang disebabkan adanya
demyelinisasi pada nervus optikus. VEP secara dini dapat mendeteksi kelainan
meskipun pada pasien MS yang secara klinis belum terdapat gejala klinis neuritis
optika (16).
F. Tatalaksana MS
Managemen dan tatalaksana multiple sklerosis mengikuti Clinical Guideline
8 Multiple Sclerosis National Institute for Clinical Excellence tahun 2003. Pola
klasifikasi menggunakan tingkatan rekomendasi (A, B, C, D, DS, HSC) (17).
Grade Keterangan
A Kategori I
B Kategori II atau dengan penambahan kategori I
C Kategori III atau dengan penambahan kategori I atau II
D Kategori IV atau dengan penambahan kategori I, II atau III
DS Berdasarkan bukti diagnostic
HSC Berdasarkan pelayanan kesehatan 2002/2004
Kategori Sumber
Ia Meta-analisis dari randomized control trial
Ib Paling sedikit minimal 1 randomized control trial
IIa Paling sedikit minimal 1 studi kontrol tanpa randomisasi
IIb Paling sedikit minimal 1 tipe quasi eksperimental study
IIIBukan dari studi eksperimental seperti comparative studies,
corelation studies, dan case control studies
IV Dari laporan komite, opini, pengalaman klinis dari para ahli
Adapted from Eccles M, Mason J (2001) How to develop cost-conscious
guidelines. Health Technology Assessment 5 (16)
Kondisi Grade
11
Setiap yang mengalami episode akut (termasuk neuritis optik)
menyebabkan distres atau keterbatasan fisik harus diberikan
kortikosteroid dosis tinggi. Hal ini sebaiknya dilakukan sesegera
mungkin setelah muncul relaps :
intravena metilprednisolon, 500 mg - 1 g sehari, selama 3 - 5
hari
atau
dosis tinggi metilprednisolon oral 500 mg - 2 g sehari, selama
3 - 5 hari.
A
Pasien harus diberi penjelasan tentang risiko dan keuntungan
penggunaan kortikosteroid. D
Frekuensi penggunaan kortikosteroid lebih dari 3 minggu dan lebih
dari 3 kali setahun harus dihindari D
Penggunaan obat lain pada terapi akut saat relaps sebaiknya tidak
digunakan kecuali ada protokol lainD
Penderita MS harus disarankan mengkonsumsi asam linoleat 17-23
g/hari agar mengurangi perkembangan kecacatan. Sumber makanan
kaya akan asam linoleat termasuk bunga matahari, jagung, kedelai
dan minyak safflower.
A
Tatalaksana berikut tidak boleh dilakukan kecuali dalam
keadaan khusus:
setelah diskusi lengkap dan melalui pertimbangan semua
risiko
dengan evaluasi, sebaiknya dengan studi prospektif lain
dilakuakan oleh eorang pakar dalam penggunaan obat-obat
dibawah ini dengan pemantauan ketat untuk efek samping.
pengobatan:
azathioprine
mitoxantrone
intravena imunoglobulin
D
A
12
plasma exchange
intermiten (4-bulan) pendek (1-9 hari) program
metilprednisolon dosis tinggi.
Tatalaksana berikut tidak boleh digunakan karena bukti penelitian
tidak menunjukkan efek menguntungkan pada:
siklofosfamid
anti-virus (misalnya, asiklovir, tuberkulin)
cladribine
pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid
hiperbarik oksigen
linomide
iradiasi seluruh tubuh
basic protein myelin (tipe apapun).
A
Terapi simptomatik
Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan
diantaranya adalah (18):
1. Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan program
exercise seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan
ketika ada kekakuan, spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur.
Baclofen, tizanidine, gabapentin, dan benzodiazepine efektif sebagai agen
antispastik.
2. Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin
memberikan respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat
diberikan antikonvulsan atau amitriptilin.
3. Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan
pemberian terapi infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan
13
ada mendeteksi problem apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder
atau menyimpan urin. Obat antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine efektif
untuk kegagalan dalam menyimpan urin diluar adanya infeksi.
4. Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS dan
harus diterapi sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi.
Inkontinensia fekal cukup jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat
memperkeras tinja sehingga dapat membantu spingter yang inkompeten
dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan antikolinergik atau antidiare
cukup efektif pada inkontinensia dan diare yang terjadi bersamaan.
5. Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan libido,
gangguan disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa
sensasi panas dapat terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi
ereksi dapat diatasi dengan sildenafil.
6. Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien
dengan MS. Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi
suportif. Pasien dengan depresi berat sebaiknya diberikan Selective Serotonin
Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang memiliki efek sedative yang lebih kecil
disbanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat digunakan bagi pasien yang
memiliki kesulitan tidur atau memiliki sakit kepala.
7. Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan
medikasi. Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat
narcolepsy yang bekerja sebagai stimulant SSP telah ditemukan memiliki
efek yang bagus pada pasien MS. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu
14
kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga dapat menghilangkan kelelahan pada
pasien MS. Amantadine memiliki efek anti influenza A dan baik diberikan
pada Oktober hingga Maret.
Terapi relaps (18)
1. Adrenal Kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan terapi andalan dalam
mengurangi gejala-gejala MS relaps akut. Agen ini bekerja melalui efek
imunomodulator dan antiinflamasi, pemulihan blood brain barier, dan
pengurangi edema. kortikosteroid juga dapat meningkatkan konduksi aksonal.
Terapi kortikosteroid memperpendek durasi relaps akut dan mempercepat
pemulihan. Namun, kortikosteroid belum bisa meningkatkan pemulihan
secara keseluruhan MS.
Jika seorang pasien menjadi cacat setalah mendapat serangan akut, dokter
harus mempertimbangkan pengobatan dengan intravena metilprednisolon
selama tiga hingga lima hari (atau kortikosteroid yang setara) dalam dosis 1 g
diberikan secara intravena dalam 100 mL normal salin selama 60 menit sekali
sehari di pagi hari.
2. Perawatan lainnya. Pada pasien dengan MS, fisoterapi harus selalu dilakukan
untuk meningkatkan fungsi dan kualitas hidup dari ketergantungan obat
therapy. Perawatan pendukung berupa konseling, terapi okupasi, saran dari
sosial, masukan dari perawat, dan partisipasi dalam patient support group
merupakan bagian dari perawatan kesehatan dengan pendekatan tim dalam
pengelolaan MS.
15
Pasien dengan MS sering tergoda untuk mencoba terapi alternatif seperti diet
khusus, vitamin, sengatan lebah, atau akupunktur. Meskipun bukti definitif
efektivitas perawatan ini kurang.
Disease-Modifying Therapies (18)
Terapi yang diberikan hanya meminimalkan timbulnya serangan,
mengurangi efek serangan, dan memperpanjang masa remisi. Disease-modifying
therapies untuk pengelolaan awal MS saat ini yang tersedia di Amerika Serikat:
intramuskular interferon beta-1a (Avonex), subkutan interferon beta-1a (Rebif),
interferon beta-1b (Betaseron), dan glatiramer asetat (Copaxone). Agen kelima,
mitoxantrone (Novantrone), telah disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) untuk pengobatan relapsing–remitting MS dan sekunder progresif MS
yang memburuk.
1. Interferon beta. Interferon beta merupakan sitokin alami yang berfungsi
sebagai imunomodulasi dan memiliki aktivitas antivirus. Tiga interferon beta
disetujui FDA yang digunakan untuk MS telah terbukti mengurangi
kekambuhan sekitar sepertiga dan direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama atau untuk pasien yang intoleran dengan glatiramer pada relapsing-
remitting MS. Pada studi randomized double blind placebo control trial,
penggunaan interferon beta dapat mengurangi 50 sampai 80 persen lesi
inflamasi yang divisualisasikan pada MRI otak. Ada juga bukti bahwa obat
ini meningkatkan kualitas hidup dan fungsi kognitif.
Perbedaan utama dari jenis obat interferon beta adalah bahwa interferon beta-
1a intramuskular diberikan seminggu sekali dan interferon beta-1a subkutan
16
dan interferon beta-1b diberikan tiga kali seminggu, atau masing-masing
setiap hari lainnya. Satu study menggunakan double dosis (60-mcg)
interferon beta-1a intramuskular diberikan sekali seminggu ternyata tidak
memberikan manfaat jika mengguanakan rejimen dosis tunggal. Adanya
peningkatan insiden penetralan antibodi dengan dosis subkutan juga harus
dipertimbangkan.
Influenza-like symptom seperti demam, menggigil, malaise, nyeri otot, dan
kelelahan, terjadi pada sekitar 60 persen pasien yang diobati dengan
interferon beta-1a atau interferon beta-1b. Gejala ini biasanya menghilang
dengan terapi lanjutan dan premedikasi dengan obat anti-inflamasi non-
steroid. Untuk mengurangi gejala dapat dilakukan dengan pengaturan dosis
titrasi pada waktu inisial terapi interferon beta.
Efek samping lain dari interferon beta termasuk reaksi alergi pada tempat
injeksi, depresi, anemia ringan, trombositopenia, dan meningkatnya kadar
transaminase. Efek samping ini biasanya tidak berat dan jarang menyebabkan
penghentian pengobatan.
2. Glatiramer. Obat ini merupakan campuran polipeptida yang pada awalnya
dirancang untuk meyerupai dan bersaing dengan protein dasar myelin.
Mekanisme kerjanya berbeda dari interferon beta, sehingga pasien dapat
memberikan respon yang berbeda terhadap obat tersebut. Glatiramer dalam
dosis 20 mg subkutan sekali sehari telah terbukti mengurangi frekuensi
kambuh MS sekitar sepertiga. Obat ini juga direkomendasikan sebagai
pengobatan lini pertama pada pasien dengan Relapsing-Remitting MS dan
17
bagi pasien yang tidak dapat mentolerir interferon beta. Hasil terapi
glatiramer mampu mengurangi sepertiga proses inflamasi yang terlihat pada
MRI.
Glatiramer umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan
influenza-like symptoms. Reaksi post injeksi termasuk peradangan lokal dan
reaksi yang tidak umum seperti flushing, sesak dada dengan jantung berdebar,
gelisah, atau dispnea dapat sembuh spontan tanpa gejala sisa. Pemantauan
rutin laboratorium tidak diperlukan pada pasien yang diobati dengan
glatiramer, dan kempuan antibodi dalam mengikat antigen juga tidak
terganggu.
3. Mitoxantrone. Sebuah studi klinis phase III randomized placebo control
multicenter trial menemukan bahwa mitoxantrone, sebuah agen antineoplastik
anthracenedione, dapat mengurangi jumlah relaps MS sebesar 67 persen dan
memperlambat perkembangan. Mitoxantrone dianjurkan untuk digunakan
pada pasien dengan bentuk Progressive MS.
Efek samping akut mitoxantrone termasuk mual dan alopecia. Karena juga
adanya cardiotoxicity kumulatif, obat dapat digunakan hanya untuk dua
sampai tiga tahun (atau untuk dosis kumulatif 120-140 mg per m2).
Mitoxantrone adalah agen kemoterapi yang harus diresepkan dan dikelola
oleh para perawat kesehatan profesional yang berpengalaman.
4. Obat baru dan obat lainnya. Natalizumab (Antegren) berada dalam tahap
akhir dari fase III clinical trial dan sedang dikaji oleh FDA. Dalam uji coba
fase II klinis, 33 obat ini mampu menjanjikan dalam hal mengurangi lesi MRI
18
aktif sebesar 90 persen dan penurunan relaps MS lebih dari 50 persen.
Natalizumab adalah antibodi monoklonal yang ditujukan terhadap sebuah
molekul adhesi VLA-4. Obat ini diberikan secara intravena sekali sebulan.
Meskipun FDA kurang setuju dan bukti definitif kemanjuran beberapa obat
lain yang umum digunakan pada pasien dengan MS, terdapat sejumlah efek
klinis sederhana pada pemberian intravena IgG, azathioprine, methotrexate,
dan cyclophosphamide, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan terapi
standar.
Para peneliti di Argentina yang mendalami manfaat vitamin D pada penyakit
MS menemukan bahwa Vitamin D tampaknya memiliki peranan dalam
memperbaiki keadaan pasien MS yang terkait juga dengan sistem imun. Hasil
studi ini telah dipublikasi pada jurnal Neurology Science edisi Desember
2011. Kadar 25(OH) Vitamin D dan 1,25(OH)(2) Vitamin D yang diukur
dengan ELISA secara bermakna lebih rendah pada pasien Relapsing-
Remitting MS dibandingkan kontrol. Selain itu, kadar pada pasien yang
mengalami relaps juga lebih rendah daripada selama remisi. Sedangkan pada
pasien Primer Pogressive MS menunjukkan nilai serupa dengan kontrol.
Proliferasi dua isolat baru yakni sel T CD4+ dan sel T spesifik MBP secara
bermakna dihambat oleh 1,25(OH)(2)-vitamin D. Secara keseluruhan/
kolektif, dari temuan ini dikemukakan bahwa 1,25(OH) (2)-vitamin D
berperan dalam homeostasis sel T pada multiple sklerosis, sehingga koreksi
vitamin D pada keadaan defisiensi/kekurangan tersebut dapat bermanfaat
selama pengobatan penyakit multiple sklerosis (19).
19
BAB III
KESIMPULAN
20
Multiple sklerosis (MS) adalah penyakit radang myelin sistem saraf pusat
yang disebabkan karena proses autoimun dan faktor genetik lainnya. MS
merupakan penyebab utama kecacatan pada dewasa muda. Sekitar 85% pasien
dengan multiple sklerosis sering bersifat relaps atau hilang-timbul saja. Lebih dari
setengah dari pasien tersebut berkembang menjadi kecacatan dan berlanjut dari
serangan akut dan beralih ke progresif sekunder dalam waktu 10 hingga 20 tahun
setelah terdiagnosis.
Managemen dan tatalaksana multiple sklerosis mengikuti Clinical
Guideline 8 Multiple Sclerosis National Institute for Clinical Excellence tahun
2003. Tidak diragukan lagi bahwa kita sekarang berada dalam fase pengembangan
terapi DMTs (Disease Modifying Therapies). Meskipun saat ini kita belum bisa
bicara tentang penyembuhan, akan tetapi kita dapat memperlambat jalannya
penyakit seperti pemberian asetat interferon dan glatiramer.
21