Upload
operator-warnet-vast-raha
View
636
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PNDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sangat luar biasa perpolitikan di Indonesia, ketika dihadapkan pada persoalan
kepemimpinan. Sejak berdirinya republik tahun 1945 sampai saat ini, terhitung lamanya
kemerdekaan sudah mencapai 67 tahun, bila dirata-ratakan periodisasi pemerintahan
selam lima tahun, maka menurut logika sehat akan terjadi suksesi kepemimpinan dengan
melahirkan minimalnya 13 presiden. Namun pada kenyataannya sungguh sangat ironis,
selama kurun waktu 52 tahun bangsa yang besar ini hanya dipimpin oleh 2 orang
presiden. Presiden yang pertama medapat julukan the founding father dengan
memimpin bangsa selama 20 tahun dan presiden kedua yang mendapat anugran bapak
pembangunan yang memimpin bangsa selama 32 tahun. Sisa periodisasi kepemimpinan
nasional selama 3 tahun terakhir dilakukan tiga kali kepemimpinan, dengan melahirkan 3
orang presiden : B.J.Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan
terakhir Susilo Bambang Yudhoyono (yang sekarang masih menjabat dalam masa jabatan
yang kedua).
Awal dari kesadaran akan pentingnya berdemokrasi dalam kenegaraan telah dimulai
semenjak tumbangnya rezim orde baru dengan diteruskan oleh seorang pemimpin yang
genius yaitu B.J Habibie, dengan membuka kran demokrasi dan membawa panji-panji
kebebasan untuk mengekspersikan pendapat bagi setiap warga bangsa. Gerbang
2
demokratisasi dalam beberapa aspek kehidupan bangsa diperkuat lagi ketika
Abudrrahman Wahid alias Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI keempat setelah
Habibie. Gus Dur selalu membuka wacana demokrasi dalam berbagai momentum yang
secara edukatif berimplikasi pada penyadaran akan hak sebagai warga bangsa. Namun
demikian, perlu mendapat catatan khusus bahwa masa pemerintahan Gus Dur
merupakan sebuah masa transisi demokrasi di Indonesia, karena pada saat inilah transfer
kehidupan kenegaraan yang dulu dikungkung oleh pemerintahan otoriter ke kehidupan
yang relatif demokratis.
kemampuan Gus Dur untuk mengelola sebuah negara dengan mengedepankan
panji demokrasi, akhirnya kandas juga ketika beliau itu terjebak dalam persoalan skandal
bulog gate sebesar 40 milyar rupiah dan brunai gate sebesar 2 juta US dollar. Skandal itu
sesungguhnya lebih dipicu oleh adanya “tim pembisik” presiden yang selalu mencari
keuntungan material dibalik otoritas yang dimiliki sang presiden. Tumbangnya Gus Dur
itu, kemudian digantikan oleh wakilnya yaitu Megawati Soekarnoputri. Kepemimpinan
Megawati lebih memuluskan jalannya proses demokratisasi yang telah dirintis oleh dua
orang peresiden sebelumnya –Habiebie dan Gus Dur. Megawati telah mampu melakukan
pengawalan terhadap suksesnya Pemilu Presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia
yang pertama kalinya sejak republik ini berdiri. Namun dibalik susksesnya
menghantarkan masa transisi demokrasi, Mega tidak mampu untuk bertahan sebagai
Presiden pada Pemilu Presiden secara langsung. Hal ini bukan saja karena sikap Mega
yang selama ini apatis dalam merespon fenomena kebangsaan yang ada, akan tetapi
3
karena ulah para pembantunya yang seringkali menodai nilai demokrasi yang tengah
disemaikan.
Pasangan Susilo Bambang Yudhoyoo (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) akhirnya keluar
sebagai pemenang dan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk masa bakti
2004 – 2009 dalam pemilu secara langsung pada tahun 2004. Dalam gebrakan awalnya,
SBY mencanangkan program 100 hari masa pemerintahan, sebagai point awal untuk
melaksanakan program pemerintahannya ke depan. Pencanangan 100 hari
pemerintahan SBY mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat, ada yang
menanggapi positif, begitupun negatife.
4
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pemerintah memperoleh jabatannya dari masa ke masa?
Bagaimana pemerintah melaksanakan kekuasaannya ?
C. Tujuan
Mengetahui proses bagaimana pemerintah mendapat kekuasaan
Mengetahui sepak terjang para pemimpin
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekuasaan Pemerintahan Negara
Presiden Republik Indonesia memegang pemerintahan menurut UUD
1945 dan dalam melaksanakan kewajibannya, presiden dibantu oleh seorang
wakil presiden. Dalam sistem politik Indonesia, Presiden adalah Kepala Negara
sekaligus Kepala Pemerintahan yang kedudukannya sejajar dengan lembaga
tinggi negara lainnya. Presiden juga berkedudukan selaku mandataris MPR, yang
berkewajiban menjalankan Garis-garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan
MPR. Presiden mengangkat menteri-menteri dan kepala lembaga non
departemen (TNI/Polri/Jaksa Agung) setingkat menteri untuk membantu
pelaksanaan tugasnya. Dalam UUD 1945 (versi sebelum amandemen) disebutkan
bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara yang
terbanyak. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima
tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
1. Pemilihan Penguasa Pemerintahan Negara
Setelah Indonesia merdeka, pemilihan presiden dan wakil presiden
ditetapkan oleh PPKI, karena meskipun tata cara pemilihan presiden sudah ada
6
dalam UUD 1945 tetapi pada saat itu belum ada badan-badan kelembagaan
seperti MPR dan DPR, maka untuk sementara yang menjalankan fungsi MPR
dan DPR adalah KNIP sebagai pembantu presiden.
Soekarno adalah persiden Indonesia pertama. Beliau memiliki peran dan
andil untuk kemerdekaan Indonesia. Jiwa nasionalsnya telah mengakar pada
dirinya. 4 Juli 1927, Soekano mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia)
dengan tujuan Indonesia Merdeka. Ia selalu bisa membangkitkan nasionalisme
rakyat dengan pidatonya yang penuh semangat, keyakinan akan kemerdekaan
Indonesia.
Jiwa kepemimpinan telah tertanam di jiwanya dengan menjadi ketua
PPKI. Pada kesempatan sidang terakhir PPKI, 1 Juni 1945, Ir. Soekarno
mengucapkan pidato mengenai dasar filsafat Negara Indonesia merdeka. Pidato
itu berisi pokok-pokok pikiran yang terdiri atas 5 pokok atau dasar. Maka atas
saran seorang ahli bahasa, 5 dasar itu oleh Ir. Soekarno dinamakan “pancasila”.
Seoharto dipilih sebagai presiden dalam siding PPKI pertama tanggal 18 Agustus
1945, dengan Wakilnya Moh. Hatta.
Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, pasal 7 berbunyi “Presiden dan
wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali” Dalam pasal ini tidak ada batasan sampai kapan seorang
presiden memiliki masa jabatan, maka tidak heran jika pemerintahan Soekarno
bisa bertahan selama 20 tahun lamanya (4 kali masa jabatan). Begitupun dimasa
Soeharto, yang masa jabatannya justru lebih lama yaitu 32 tahun. saat itu MPR-
7
lah yang memilih Presiden dan wakil presiden dengan suara yang terbanyak
(terdapat dalam UUD 1945 sebelum amandemen pasal 6(2) ), tetapi bukan suara
dari rakyat, karena menurut pasal 1 UUD 1945 sebelum amandemen “kedaulatan
ada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” . jadi jelaslah, disini
meskipun rakyat yang berdaulat, tapi yang memiliki kedaulatan itu sendiri
sebenarnya adalah MPR.
Sebelum menjadi persiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa
pendudukan Jepang dan Belanda. Namanya mengharum setelah peristiwa
penumpasan G30S yang ia pimpin. Soeharto menyatakan bahwa PKI-lah yang
bertanggung jawab atas peristiwa yang memakan korban para jenderal. Pada
tanggal 11 Maret 1965, keluarlah surat perintah dari Presiden yang ditujukan
kepada Jenderal Soeharto untuk mengamankan keadaan yang sedang kacau pada
saat itu. Adapun salah satu isi dari SUPERSEMAR memerintahakan :
“Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan
dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi,
serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan pimpinan
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS.
Demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan
melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi”1
SUPERSEMAR inilah jalan Soeharto dalam mencapai kursi kepresidenan.
Supersemar ini dianggap sebagai penyerahan kekuasaan mutlak dari Soekarno
8
kepada Soeharto, maka dari itu pada tanggal 20 Juni – 6 Juli 1966, MPRS
sebagai lembaga tertinggi Negara mengadakan sidang umum IV di Jakarta.
Untuk mempertahankah kekuasaannya, Pak Harto menunjuk para anggota
MPR khusus untuk utusan daerah dan utusan golongan, yaitu para Gubernur
Kepala Daerah Tingkat 1 para Panglima Komando Daerah Militer, para Rektor
Perguruan Tinggi Negeri, para Menteri Kabinet, para Istrei dan Anak Menteri
untuk duduk di lembaga konstitutif ini (yang sudah barang tentu dekat dengan
beliau) sehingga setiap pemilihan umum beliau diangkat menjadi presiden
dengan kebulatan tekad.2
Dalam beberapa kali pemilihan umun Pak Harto dipertahankan menjadi
presiden yaitu dengan ketetapan sebagai berikut :
1. Tap MPR No IX/MPR/1973 Hasil Pemilu 1971
2. Tap MPR No X/MPR/1978 Hasil Pemilu 1977
3. Tap MPR No VI/MPR/1983 Hasil Pemilu 1982
4. Tap MPR No. V/MPR/1988 Hasil Pemilu 1987
5. Tap MPR No IV/MPR/1933 Hasil Pemilu 1922
Pengangkatan Habibie sebagai Presiden untuk menggantikan Soeharto
memiliki dasar konstitusi, yaitu pada pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi : “Jika
presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya, ia diganti oleh wakil presiden sampai habis waktunya” maka
9
dari itulah Habibie disebut sebadai pewaris orde lama, karena saat itu beliau
menjabat sebagai Wakil Presiden.
Menurut Drs.H.Inu Kencana Syafiie, M.Si dan Azhari, SSTP.,M.Si dalam
buku Sistem Politik Indonesia menyatakan bahwa Wakil Presiden
Prof.Dr.Ing.Bachruddin Jusuf Habibie menggantikan Pak Harto dengan
mengucapkan sumpah di Istana Merdeka Jakarta, karena tidak mungkin
melangsungkannya di Gedung rakyat MPR RI yang sedang diduduki mahasiswa.
Berbagai kontroversi muncul akan pengambilan sumpah tersebut, ada yang
mengatakan konstitusional da nada pula yang mengatakan inkonstitusional. Hal
ini adalah karena sebagai berikut :
1. Habibie mengambil sumpah tidak disaksikan oleh seluruh anggota MPR/DPR
RI, lalu Pak Harto tidak sedang mendapat halangan sesuai Pasal 8 UUD 1945,
tetapi dihujat oleh orang banyak dan diminta untuk turun kursi.
2. Bila dilangsungkan pengambilan pengambilan sumpah tersebut di Gedung
MPR hal tersebut akan beresiko tinggi oleh maraknya demonstrasi dan
bukankah anggota MPR yang ada di Senayan adalah buatan Pak Harto sendiri
yang tidak disenangi oleh masyarakat ketika itu.
3. Bila anggota MPR diganti pemilu tidak memungkinkan untuk dilakukan
dalam waktu yang sesingkat mungkin, lagipula berbagai undang-undang
pemilihan Umum selama ini dituding sebagai tidak demokratis.
10
Pasal 8 UUD 1945 ini pun berlaku juga untuk Megawati yang saat itu
menjabat sebagai wakil presiden, beliau diangkat menjadi presiden setelah
pemberhentian kekuasaan Abdurrahman Wahid dalam masa jabatan.
Pada masa pemerintahan Megawati, yaitu pada tanggal 10 November,
2001, pasal- pasal tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara diamandemen
(amandemen ke-3), diantaranya adalah : pasal 6 ayat 1 dan 2, pasal 6A ayat 1, 2,
3, dan 5, dan masih banyak lagi.
Dalam amandemen ke-3 UUD 1945 pasal 6A (1) berbunyi : “Presiden
dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”
berlandaskan pasal ini, maka untuk pertama kalinya pada tahun 2004, rakyat
memilih presiden satu paket dengan wakilnya secara langsung dan terpilihlah
Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil
presiden untuk masa jabatan 2004-2009. SBY adalah presiden pertama yang
rakyat pilih sendiri sesuai hati nurani mereka.
Langkah karir politik SBY dimulai tanggal 27 Januari 2000, saat
memutuskan untuk pensiun lebih dini dari militer ketika dipercaya menjabat
sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada pemerintahan Presiden KH
Abdurrahman Wahid. Tak lama kemudian, SBY pun terpaksa meninggalkan
11
posisinya sebagai Mentamben karena Gus Dur memintanya menjabat
Menkopolsoskam. Pada tanggal 10 Agustus 2001, Presiden Megawati
mempercayai dan melantiknya menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong-Royong.
Tetapi pada 11 Maret 2004, beliau memilih mengundurkan diri dari jabatan
Menko Polkam. Langkah pengunduran diri ini membuatnya lebih leluasa
menjalankan hak politik yang akan mengantarkannya ke kursi puncak
kepemimpinan nasional. Dan akhirnya, pada pemilu Presiden langsung putaran
kedua 20 September 2004, SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla meraih
kepercayaan mayoritas rakyat Indonesia dengan perolehan suara di attas 60
persen. Dan pada tanggal 20 Oktober 2004 beliau dilantik menjadi Presiden RI
ke-6. (Dari Berbagai Sumber). SBY hadir sebagai pemimpin muda yang mampu
mengembalikan atau bahkan menyemangati yang muda yang harus lebih
berprestasi, yang muda bisa, yang muda maju.
B. Pelaksanaan Kekuasaan Pemerintahan Negara
1. Masa Demokrasi Terpimpin (1959 – 1966)
Gagalnya konstituante untuk membuat Undang-Undang Dasar baru
menyebabkan Negara Indonesia dilanda ketidakpastian konstitusi.
Menjamurnya partai politik yang malah memperkeruh keadaan, ditambah
gerakan separatis di daerah-daerah pada awal tahun 1958. Untuk mengatasi
12
situasi yang tidak menentu itu pada bulan februari 1957 Presiden Soekarno
mengajukan gagasan yang disebut konsepsi presiden, mengenai :
a. Dibentuknya Kabinet Gotong-royong yang terdiri dari wakil-wakil semua
partai termasuk PKI ditambah dengan golongan fungsional (Golongan
Karya)
b. Dibentuknya Dewan Nasional yang beranggotakan wakil-wakil semua
partai dan golongan fungsional dalam masyarakat
Pada tanggal 22 April 1959, di hadapan siding konstituante, Presiden
Soekarno menganjurkan agar Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar
1945. Untuk menentukan sikap terhadap anjuran presiden itu, Konstituante
mengadakan pemungutan suara 3 kali. Hasilnya adalah lebih banyak suara
setuju untuk kembali ke UUD 1945. Namun jumlah suara masih kurang untuk
mencapai suatu keputusan, sehingga situasi masih tak jelas. Hal itu sudah
sangat menjelaskan bahwa partai-partai politik dalam Konstituante telah
berdebat tanpa hasil apapun, gagal merumuskan Undang-Undang Dasar yang
dipercayakan oleh rakyat kepadanya.
Rumusan Undang-Undang Dasar yang baru yang masih juga belum
terbentuk, mendorong Presiden Soekarno mengambil langkah yang
inkonstitusional yang kita kenal dekrit presiden 5 Juli 1959 yang isinya :
1. Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
13
2. Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950
3. Pembubaran Konstituante
Dekrit itu mendapat sambutan dari seluruh rakyat yang sudah jemu
kepada kemacetan nasional, korupsi dan terlebih tertundanya pembangunan
nasional. Dukungan yang spontan itu menunjukkan bahwa rakyat telah lama
mendambakan stabilitas politik. Mereka menggantungkan harapan kepada
berlakunya kembali UUD 1945, presiden sebagai kepala pemerintah tidak
bertanggug jawab kepada DPR, melainkan Presiden dan DPR keduanya ada di
bawah Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR)3
Ternyata, dalam sistem Demokrasi Terpimpin, pengertian “terpimpin”
berbeda dengan yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4 yang
berbunyi : “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan” yang berarti perwakilan dalam artian MPR.
Akan tetapi, pandangan Presiden berbeda, beliau mengartikan kata terpimpin
sebagai pemimpinan secara mutlak oleh diri pribadinya.
Dalam UUD 1945 (naskah asli) jelas dinyatakan bahwa presiden ada
dibawah MPR dan merupakan mandatarisnya. Tetapi, didalam Demokrasi
Terpimpin terjadi sebaliknya. Anggota-anggota MPR(S) diangkat berdasarkan
penetapan Presiden menjadi anggota MPR(S) yang tunduk kepada presiden.
Presidenlah yang menentukan apa saja yang harus diputuskan oleh MPR(S).
14
17 Agustus 1959 presiden menyampaikan pidato kenegaraan yang
berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, oleh MPRS ditetapkan menjadi
Garis-garis Besar Haluan Negara. DPR hasil pemilu yang mendukung dekrit
kembali ke UUD 1945, tetap menjalankan tugasnya berdasarkan UUD 1945
dan menyetujui perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah.
Namun, ketika DPR melakukan fungsinya dengan kebetulan melakukan
penolakan terhadap Rencana Anggaran Belanja Negara 1960, timbullah
amarah Presiden Soekarno yang lalu membubarkan DPR, berdasarkan
Penetapan Presiden No.3/1960 tanggal 5 Maret 1960. DPR hasil pemilu itu
kemudian diganti dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-
GR) yang anggota-anggotanya juga ditunjuk oleh Presiden.
2. Masa Demokrasi Pancasila (1966 – 1998)
Tak berbeda dengan Demokrasi Terpimpin, demokrasi Pancasila pun
berpacu pada Sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” Artinya kehendak rakyat
yang dimusyawarahkan oleh perwakilannya dengan menggunakan
kebijaksanaan pengetahuan dan nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang
dilandasi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa (Takwa), sehingga melahirkan
15
hikmah yang diharapkan menjadi solusi bagi kehendak itu. Dan hikmah itu
boleh jadi mengakomodasi, menolak, memberi jalan yang lain, atau mungkin
berupa jalan tengah.
Sebenarnya Orde Baru sendiri bertujuan untuk mengembalikan tatanan
seluruh kehidupan rakyat, bangsa dan Negara, kepada kemurnian pelaksanaan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Orba pun pada mulanya hadir
sebagai koreksi total atas penyelewengan-penyelewengan di segala bidang
yang terjadi pada masa lampau, dan berusaha menyusun kembali kekuatan
bangsa dan menentukan cara yang tepat untuk menumbuhkan stabilitas
nasional, sehingga mempercepat proses pembangunan bangsa berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Di masa Orde Baru terjadi dwifungsi ABRI. Dengan dalih menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa serta mempertahankan pancasila UUD 1945
dari kemungkinan perubahannya oleh MPR/DPR RI maka ABRI ikut
berpolitik, yaitu dengan menjadi anggota legislative dan konstitutif tersebut.
Hal ini dianggap bagian dari pengabdian mereka kepada bangsa dan Negara.
Memang dalam UUD 1945 pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa
anggota MPR terdiri dari anggota DPR RI ditambah oleh utusan daerah dan
utusan golongan, dengan begitu ABRI menjadi bagian dari utusan golongan,
mereka diangkat tanpa dipilih dalam pemilu.
Dalam pelaksanaannya, Rezim orde baru pun tidak luput dari
kesewenang-wenangan pemerintah dalam melaksanakan fungsinya. Terjadi
16
banyak pelanggaran terhadap konstitusi. Dalam menjalankan sisitem
pemerintahannya, Orba menerapkan sistem pemerintahan Presidensial dimana
salah satu cirinya adalah MPR dipilih dengan cara pemilu, namun pada
praktiknya, presidenlah yang mengangkat orang-orang yang beliau kehendaki
untuk duduk dalam lembaga ini.
Pemerintahan di rezim ini cenderung otoriter. Pemusatan kekuasaan
berada pada pemerintah pusat. Lembaga MPR hanya alat untuk “mengangguk”
menyetujui apa yang pemerintah katakan. Pemerintah menutup diri pada
kritikan, maka dari itu pada saat itu, kebebasan pers dikekang, malahan
maraknya pembredelan terhadap surat kabar atau majalah yang berani
mengkritik kebijakan pemerintah.
3. Masa Reformasi (1999-sekarang)
Sudah 13 tahun reformasi Indonesia (terhitung sejak tahun 1999- sekarang)
ada 4 pemimpin yang lahir di orde ini, yaitu B.J.Habibie, Abdurrahman Wahid
(Gus Dur), Megawati, dan sekarang yng masih menjabat, yaitu Susilo Bambang
Yudhoyono.
Pada tanggal 22 Mei 1998, presiden B.J.Habibie mengumumkan susunan
kabinet Reformasi Pembangunan. Habibie memulai jabatannya dengan
17
kepercayaan rendah dari aktivis mahasiswa, militer, sayap politik utama,
investor luar negeri dan perusahaan internasional.
Ada berbagai langkah-langkah kebijakan yang dilaksanakan pada masa
pemerintahan Habibie setelah terbentuknya Kabinet Reformasi Pembangunan.
a. Pembebasan tahanan politik. Hal ini terlihat dengan diberikannya amnesti
dan abolisi yang merupakan langkah penting menuju keterbukaan.
b. Kebebasab pers, pemerintah memberikan kebebasan bagi insan pers di
dalam pemberitaannya, sehingga banyak sekali bermunculan media massa.
Cara Habibie memberikan kebebasan pers adalah dengan mencabut SIUPP.
c. Pembentukan parpol dan Percepatan pemilu. Presiden RI ke-3 ini
melakukan perubahan dibidang politik lainnya diantaranya mengeluarkan
UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, UU NO.4 Tahun 1999 tentang MPR
dan DPR.
d. Kekayaan Soeharto dan Kroni-kroninya. Mengenai masalah KKN,
terutama yang melibatkan Mantan Presiden Soeharto pemerintah dinilai
tidak serius menanganinya dimana proses untuk mengadili Soeharto
berjalan sangat lambat. Bahkan pemerintah dianggap gagal dalam
melaksanakan Tap MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
18
Perekonomian dimasa Habibie belum sepenuhnya menggembirakan karena
dianggap tidak mempunyai kebijakan yang konkrit dan sistematis seperti sector
riil belum pulih
Maju ke masa Gus Dur.Alih-alih demi kepentingan reformasi, kebijakan
awal pemerintahan Gus Dur telah melukai sebagian warga bangsa yaitu dengan
membubarkan Departemen Sosial dan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga.
Sekalipun tujuannya baik yaitu untuk menciptakan efesiensi di tubuh
pemerintaham, namun momentumnya kurang tepat karena adanya ketercabikan
kondisi bangsa di tengah krisis ekonomi yang melanda. Juga adanya keinginan
untuk mencabut Tap MPR-RI tentang larangan terhadap partai komunis. Bila
dilihat dari semangat reformasi dan demokratisasi terutama terkait dengan
masalah kebebasan berpendapat dan berserikat hal ini dapat dibenarkan, namun
dari segi konsensus nasional berdaasrkan fakta sejarah yang sudah mengkristal
hal ini akan menjadi problem tersendiri. Banyak anggapan bahwa hal ini
kepentingan Gus Dur semata, untuk mendapat simpati dari para keluarga yang
tergabung dalam PKI.
Gus Dur melakukan manuver politiknya di luar negeri melalui bangunan
opini yang seolah faktual dan titik singgung urgensinya sangat tepat. Mulai dari
lontaran manuver politiknya di luar negeri inilah, Gus Dur lebih sering bongkar
pasang kabinetnya, sehingga perjalanan kabinet Gus Dur tidak kondusif dan
tidak efektif. Kondisi semacam ini di mata rakyat Indonesia bukan mendapat
19
simpati akan tetapi keheranan dan kemuidan muncul ketidaksempatian rakyat
terhadap sosok Gus Dur sebagai pemimpin yang harismatik. Terpilihnya Gus
Dur, kemungkinan besar tidak terlibat dalam money pilitic akan tetapi atas
dasar kesadaran akan kepentingan bangsa. Namun amanah ini nampaknya tidak
dipahami secara mendalam dan diabaikan oleh Gus Dur. Sehingga dalam
menjalankan roda pemerintahan, tidak lebih banyak mendengar pendukungnya
dulu akan tetapi lebih mengedepankan arogansi dirinya sebagaimana sikap Gus
Dur ketika berada di daerah “feri-feri” sebagai tokoh yang vokal dan pengkritik.
Hal yang paling signifikan dari “ulah” Gus Dur sikap membawa diri,
sehingga dapat menjatuhkan dia dari singgasana Presiden adalah ketika dia
memaksakan untuk mengeluarkan dekrit Presiden yang kemudian menjadi
maklumat Presiden yang isinya adalah membekukan MPR/DPR RI. Sikap
seperti ini yang tidak saja bertentangan dengan UUD 1945 sebagai landasan
formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga tidak menghormati
lembaga tertinggi negara yaitu MPR RI yang dalam UUD 1945 telah digariskan
sebagai pemberi dan pencabut mandat bagi Presiden. Arogansi Gus Dur ini,
kemudian disambut dengan SI-MPR yang berdasarkan fakta-fakta perjalanan
kepemerintahan Gus Dur yang tidak dapat membawa kehidupan negara menjadi
lebih baik, bahkan dapat menimbulkan permasalhan dan keresahan di tengah
masyarakat dengan statemen-statemen yang terus dilontarkan yang berbau
kontroversi.
20
Beralih ke pemerintahan Megawati (Kabinet Gotong Royong). Seiring
dengan berjalannya Kabinet Gotong Royong , dalam menjalankan
pemerintahan, masyarakat sangat dikecewakan. Pasalnya, kinerja kinerja dari
cabinet ini dinilai lamban dalam mengatasi masalah.
Ekonomi dibawah kepemimpinan Megawati tidak mengalami perbaikan
yang nyata dibandingkan sebelumnya. Kondisi ekonomi pada umumnya dalam
keadaan tidak baik, terutama pertumbuhan ekonomi, perkembangan investasi,
kondisi fiscal serta keadaan keuangan dan perbankan.
4. Kepemimpinan SBY (2004-sekarang)
a. Periode 2004- 2009
Jika kita lihat Kinerja Pemerintahan SBY yang merupakan Koalisi PD,
Golkar, dan beberapa partai lainnya akan kita lihat sisi positif dan negatif.
Sisi positifnya adalah pemerintah SBY berhasil meredam berbagai konflik di
Ambon, Sampit, dan juga di Aceh. Ini satu nilai positif dibanding Wiranto
yang ketika jadi Pangab, namun gagal mengatasi konflik tersebut (bisa jadi
ini karena presidennya kurang mendukung).
Kemudian SBY bersama Wapresnya, Jusuf Kalla, dan Mentan Anton
Apriyantono (PKS), bekerjasama dan berhasil membuat Indonesia
swasembada beras. Ini satu prestasi yang luar biasa. Karena Soeharto
sekalipun dalam 32 tahun pemerintahannya hanya berhasil melakukan
swasembada pada tahun-tahun terakhir. Itu pun kemudian minus lagi.
21
Kemudian berbagai pemberantasan korupsi oleh KPK juga cukup
menggembirakan meski ada beberapa kekurangan. Contohnya kenapa yang
tertangkap kok justru dari partai kecil dan pinggiran seperti Al Amin dari
PPP (perolehan suara cuma 9%), Bulyan Royan dari PBR (2%), dan Abdul
Hadi dari PAN (7%), sementara partai utama seperti PD (pendukung SBY)
dan Golkar (partai JK) justru bersih? Padahal secara logika, korupsi itu
dilakukan oleh pihak yang berkuasa atau punya wewenang. Orang tidak akan
menyuap seseorang yang tidak punya kekuasaan untuk memenuhi
keinginannya. Oleh karena itu, kasus tersebut harusnya diusut tuntas karena
di DPR, mekanisme pengambilan keputusan itu berdasarkan suara terbanyak.
Jadi penyuap harus “menguasai” 50% suara + 1 agar uang suapnya tidak
“mubazir.”
Tingginya Anggaran Pendidikan yang 20% dari APBN (Rp 400
ribu/siswa/bulan), tapi hasilnya tidak terasa karena masuk PTN seperti UI
tetap mahal (Standar Uang Masuk Rp 25-75 juta dan Iuran Rp 15 juta/tahun)
harusnya jadi indikasi bahwa ada yang harus diperbaiki.
Kalau secara “Statistik” angka Kemiskinan berkurang, itu karena
“Garis Kemiskinan” yang dipakai untuk menentukan orang itu miskin tidak
standar. Garis Kemiskinan yang dipakai BPS hanya orang yang
berpenghasilan Rp 182.636 ke bawah. Padahal Garis Kemiskinan
Internasional yang ditetapkan oleh World Bank adalah US$ 1 per orang/hari
untuk kemiskinan absolut (hidup laksana binatang sekedar makan dan
22
minum) dan US$ 2 per orang/hari untuk kemiskinan moderat. Jadi kalau
BPS memakai Garis Kemiskinan yang baku yaitu Rp 720.000/orang, maka
jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat 4 x lipat. Kalau misalnya
menurut BPS jumlah penduduk miskin ada 34,9 juta, maka menurut standar
baku, jumlah sebenarnya adalah 140 juta jiwa atau lebih dari separuh rakyat
Indonesia.
Kebijakan Pajak yang dianut SBY pun mirip kebijakan rezim George
W Bush yang menganut sistem Neoliberalisme. Orang-orang menengah
bawah dipaksa membayar pajak lebih besar, sementara pajak bagi orang
kaya justru dikurangi.
Selain itu di zaman SBY Indonesia tetap belum bisa mandiri. Lebih
dari 90% migas kita masih dikelola oleh asing (mayoritas AS) di mana
mereka menikmati hingga lebih 40% dari hasil yang didapat. Untuk
pertambangan emas, perak, tembaga, dsb lebih parah lagi. Perusahaan asing
mendapat 85%, sementara 240 juta rakyat Indonesia harus puas dengan
hanya 15% saja.
b. Periode 2009- sekarang.
terdapat empat persoalan penting yang dapat dianalisis. Pertama.
Banyak kasus yang tak tuntas selama era kepemimpinan SBY. Komunitas
Hak Asasi Manusia memiliki kasus pembunuhan Munir; Komunitas politik
memiliki kasus Bail-Out Bank Century; Komunitas pro keberagaman agama
23
dan pluralisme memiliki kasus kekerasan atas Ahmadiyah; dan Komunitas
anti korupsi memiliki kasus Nazarudin. Dari keempat kasus tersebut, tidak
satupun kasus yang berhasil diselesaikan oleh SBY, meskipun telah berjanji
akan menuntaskannya.
Kedua, SBY dipandang reaktif dan terlalu sering “curhat” untuk kasus
yang menurut publik sepele. Sebagai contoh, SBY dinilai publik terlalu
reaktif dalam merespon pesan pendek SMS yang memojokkan dirinya.
Publik juga kecewa atas berbagai “curhat” yang dilontarkan oleh SBY,
seperti curhat gaji Presiden SBY yang tidak naik selama 7 tahun dan curhat
soal dirinya yang direpresentasikan sebagai Kerbau dalam sebuah aksi demo.
Padahal idealnya, publik lah yang seharusnya menyampaikan “curhat”
kepada presiden.
Ketiga, SBY tidak memiliki operator politik yang kuat. Dari 4 operator
presiden (Wakil presiden, Partai Demokrat, Kabinet, dan Setgab Partai),
tidak satupun yang mampu membantu presiden secara optimal.
Wakil Presiden Boediono bukanlah tipe orang yang berani mengambil
inisiatif dalam hal kebijakan. Berbeda dengan Jusuf Kalla yang dipandang
sebagai wakil Presiden dengan tipe pendobrak, lincah dalam mengambil
peran untuk membantu presiden; Menteri pun tidak mampu melakukan
kerjanya secara baik, akibatnya adalah Presiden SBY dipandang gagal dalam
24
mengarahkan para pembantunya; Partai Demokrat juga tidak memiliki
kekuatan. Itu dikarenakan ketua umum Partai Demokrat tidak memiliki
kewenangan sebesar ketua umum partai-partai lain; Setgab koalisi partai pun
sama, tidak solid dan padu dalam mengoperasikan kebijakan SBY. Karena
masing-masing partai memiliki kepentingan politik yang berbeda.
Keempat, SBY dinilai tidak berdaya dalam menangani kasus
Nazarudin (mantan bendahara umum dan anggota DPR dari partainya
sendiri). Terus dibiarkannya kasus Nazarudin bergulir tanda adanya
penyelesaian hukum, publik akan menilai SBY telah keluar dari jalur
perjuangannya sebagai presiden yang berani mengatakan tidak pada korupsi.
25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada dasranya politik itu adalah Ilmu untuk mensejahterakan rakyat
melalui kekuasaan pemerintah. Entah bagaimana politik bisa dikatakan begitu
jahat. Seorang sejarawan Inggris mengatakan bahwa kekuasaan itu dekat
dengan kesewenang-wenangan, namun bagaimanapun juga saat apa yang
pemerintah lakukan semata-mata untuk pengabdian pada Negara, kepeduliat
terhadap rakyat, rakyat bisa saja menjadikan pemimpin itu setengah dewa,
wujud dari pemerintahan Demokrasi adalah segala sesuatu yang dilakukan
pemerintah akan berakhir demi dan untuk rakyat. Saat tujuan akhir itu bukanlah
rakyat, maka bersiaplah bagi sang penguasa untuk menanggalkan kekuasaannya.
B. Kritik dan Saran
Diawal pemerintahan Soekarno dan Soeharto, mereka mengabdi untuk
kemerdekaan Indonesia dan rakyat melihatnya, rakyat akan memberikan
mereka kepercayaan, jabatan, pertahanan jabatan, dan penghormatan. Sayang
sekali, ditengah-tengah perjalanan rakyat kecewa saat kebijakan berada diatas
26
kepentingan, saat keberadaan mereka tak kasat mata, saat jeritan mereka
seolah bisikan.
Begitupun dengan pemerintahan SBY, menurut penulis beliau hadir
dengan pesona kepemimpinan yang memancar dan terlihat jelas dari animo
masyarakat yang seperti menemukan sesuatu yang hilang untuk bangsa ini,
seorang pemimpin yang muda, tegas, dan bijaksana. Namun penyakit
mengecewakan rakyat seperti sudah menjadi penyakit yang menular dari
pemerintahan masa ke masa.
Inilah pemerintahan Indonesia yang terakar dari dulu dielu-elukan oleh
rakyat yang berakhir untuk ditinggalkan.
Pemerintah Indonesia seharusnya benar-benar mengerti dan memahami
mengenai fungsi politik, fungsi seorang pemerintah, dan mengenali siapakah itu
pemimpin, bukankah pemimpin adalah orang yang terbaik dari yang baik?
Pemerintah Indonesia harus mengenal siapa itu Indonesia, apa yang Indonesia
butuhkan, dan yang terpenting Pemerintah harus menghayati nilai-nilai
pancasila. Penulis menganggap, saat ini Indonesia membutuhkan seorang
pemimpin yang adil, bijaksana dan jujur, karena penulis yakin pemimpin yang
baik akan membawa bangsa pada cita-cita nasional.
27
DAFTAR PUSTAKA
Syafiie Inu Kencana Hj., Drs., M.Si., dan Azhari SSTP., M.Si., Sistem Politik
Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2002.
Notosusanto Nugroho dan Kawan-Kawan, Sejarah Nasional Indonesia 3 Untuk
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, Depatremen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992.
Budiyanto, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA kelas XII, Erlangga, Jakarta,
2007.
Sumber Lain
Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli - amandemen
Sejarah Masa Pemerintahan Gus Dur
http://sejarah-peninggalansejarah.blogspot.com/2011/10/masa-pemerintahan-
gusdur.html
Pemerintaha Gus Dur yang Kontroversial
http://www.mediasionline.com/readnews.php?id=2520
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
http://www.pnri.go.id/
Sejarah Indonesia (1998-sekarang)
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281998-sekarang%29
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
http://www.slideshare.net/NisaIchaEl/sejarah-12-masa-pemerintahan-sby-makalah
28