1.Mardiasmo

Embed Size (px)

Citation preview

JURNAL AKUNTANSI PEMERINTAHVol. 3, No. 1, Oktober 2008 Hal 1 12

ADVANCE PRICING AGREEMENT DALAM KAITANNYA DENGAN UPAYA MEMINIMALISASI POTENTIAL TAX RISKMardiasmo* Abstract Transfer pricing has been discussed as a serious problem in multinational company business. It is not only related with the price determination among members of groups, but also includes the obligation on taxation. Transactions commited within members of multinational corporation involve cross border transaction. Thus, these transactions might create an opportunity to shift the tax burden from one country to another. In such way, potential losses on national revenues from corporate tax might be existed. To overcome the problem, the government has attempted to minimize the potential tax risk by introducing an Advance Pricing Agreement (APA). The APA gives authority to tax officials to redetermine arms length prices over the transactions made among related parties. Therefore, there is certainty in assessing tax liability for each transaction made by groups of multinational company. To what extent that the APA will be effective to minimize potential losses on revenue collection, and what kind of risks that might be faced by the companies if they do not make any contract arrangement with the tax authority? To answer these questions, this paper tries to develop a tax planning with the study case on PT XYZ.

Keywords: transfer pricing, potential tax risk, tax planning, Advance Pricing Agreement,

Prof. Dr. Mardiasmo, Ak., MBA saat ini menjabat sebagai Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan*

1

JAP Vol. 3, No. 1, Oktober 2008

PENDAHULUANPesatnya pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional turut merangsang berkembangnya korporasi multinasional (multinational company). Kegiatan korporasi multinasional sebagai group-group perusahaan telah menembus batas-batas negara berkembang sehingga menjadi unit-unit bisnis yang besar dan berkuasa, dengan konsep dan strategi yang lebih meluas. Ada beberapa alasan utama yang mendorong munculnya korporasi multinasional. Brigham dan Houston (2003) mengidentifikasi alasan utama pertumbuhan korporasi multinasional yaitu untuk memperluas pasar, mencari sumber bahan baku, mencari teknologi baru, mencapai efisiensi, menghindari peraturan atau kebijakan pemerintah, dan diversifikasi. Namun demikian, terdapat tiga permasalahan khusus yang dihadapi korporasi multinasional (Anthony dan Govindarajan, 2004), yaitu : 1. perbedaan budaya (cultural differences) 2. transfer pricing 3. nilai tukar mata uang (exchange rate) Sebagian besar transaksi yang terjadi antar anggota group korporasi multinasional dapat dikategorikan dalam beberapa transaksi, seperti penjualan barang dan jasa, lisensi, royalti, paten dan know-how, penjaminan hutang, penjualan komponen untuk kegiatan produksi, dan seterusnya. Penentuan harga atas berbagai transaksi antar anggota group korporasi multinasional tersebut dikenal dengan sebutan transfer pricing (harga transfer). Transfer pricing dapat ditentukan berbeda dengan harga wajar atau harga yang berlaku di pasaran bebas, serta dapat pula ditetapkan lebih tinggi atau lebih rendah.

Transfer pricing merupakan isu klasik di bidang perpajakan, khususnya menyangkut transaksi internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional. John Neighbour (2002) menyatakan bahwa transfer pricing pada awalnya hanya merupakan isu utama bagi administrasi perpajakan dan ahli perpajakan saja, akan tetapi pada masa sekarang ini transfer pricing telah menjadi pembicaraan para politisi, ahli ekonomi dan juga lembaga-lembaga swadaya masyarakat menyangkut kewajiban pembayaran pajak atas aktivitas bisnis korporasi multinasional. Survey yang dilakukan oleh Ernst and Young International pada tahun 1995 menunjukkan bahwa lebih dari 80% responden mengindikasikan transfer pricing sebagai masalah utama dalam perpajakan yang dihadapi oleh korporasi multinasional (Ernst and Young, 1996). Responden tersebut terdiri dari korporasi multinasional di delapan negara termasuk Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan Inggris. Sementara itu, berdasarkan penelitian tim UNTC PBB yang diketuai Silvain Plasschaert sebagaimana dinyatakan kembali oleh Gunadi (1999) disebutkan bahwa motivasi transfer pricing di Indonesia terkait dengan beberapa hal antara lain: (i) Pengurangan objek pajak, terutama pajak penghasilan; (ii) Pelonggaran pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri; (iii) Penurunan pengaruh depresiasi rupiah; (iv) Menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap saingan impor; (v) Mempertahankan sikap low profile tanpa mempedulikan tingkat keuntungan usaha; (vi) Mengamankan perusahaan dari tuntutan atas imbalan atau kesejahteraan karyawan dan kepedulian lingkungan; dan (vii) Memperkecil akibat pembatasan dan risiko bisnis di luar negeri.

2

Advance Pricing Agreement dalam Kaitannya dengan Upaya Meminimalisasi Potential Risk

Dari uraian di atas nampak bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing dapat didorong oleh alasan pajak (tax motive) maupun alasan bukan pajak (non-tax motive). Transaksi-transaksi yang terjadi antar unit bisnis group korporasi multinasional kebanyakan merupakan cross border transaction yang menyebabkan otoritas pajak menduganya sebagai salah satu bentuk pengalihan (shifting) beban pajak dari suatu negara yang mempunyai tarif tinggi (high tax countries) ke negara lainnya yang mempunyai tarif pajak lebih rendah (low tax countries). Dengan demikian, perlu kiranya untuk menentukan berapa besar penghasilan kena pajak yang wajar dari unit bisnis atau cabangcabang perusahaan dari satu group yang beroperasi di wilayah yurisdiksinya. Untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh korporasi multinasional, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan memberikan kewenangan otoritas pajak untuk menentukan kembali harga wajar transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (associated enterprise/ related parties) dan mewajibkan Wajib Pajak yang mempunyai transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa agar membuat perjanjian dengan Direktur Jenderal Pajak dalam bentuk Advance Pricing Agreement/APA (kesepakatan harga transfer) mengenai harga wajar produk dalam transaksi mereka. Terkait dengan pengaturan tersebut, paper ini akan membahas mengenai implikasi APA terhadap perencanaan pajak, khususnya untuk meminimalkan potensi risiko naiknya pajak terhutang. Selain itu, paper ini juga akan membahas mengenai risiko yang mungkin dihadapi perusahaan bila tidak mengadakan kesepakatan tersebut dengan Direktorat Jenderal Pajak.

Dengan demikian, output dari penulisan paper ini adalah sebuah ide tentang tax planning (perencanaan pajak) dalam upaya meminimalisasi potential tax risk perusahaan. Sebagai gambaran atas implementasi dan implikasi APA, paper ini akan mendeskripsikannya dengan menggunakan studi kasus terhadap PT XYZ. Transaksi-transaksi hubungan istimewa PT XYZ dengan related party-nya yang berkaitan dengan penjualan, pembelian bahan baku dan transaksitransaksi yang terkait seperti pembayaran royalti, paten, dan sales commission menjadi objek permasalahan yang dianalisis dalam paper ini dengan mempergunakan data time series laporan keuangan dan kontrak perjanjian (contract agreement) dalam kaitannya dengan tax planning sebagai upaya meminimalisasi potential tax risk yang berkaitan dengan transaksi hubungan istimewa.

TAHAPAN-TAHAPAN DALAM TAX PLANNINGTax planning (perencanaan pajak) merupakan bagian dari perencanaan strategis (strategic planning) yang apabila dikelola dengan baik akan menambah nilai positif suatu perusahaan, begitu pula sebaliknya, apabila tidak dikelola dengan baik dapat menurunkan nilai suatu perusahaan. Dalam memformulasi tax planning, tahapan-tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Analisis profil/topografi bisnis perusahaan. Tahapan ini menggambarkan karakteristik bisnis perusahaan dengan menggali sumber data internal yang berupa laporan keuangan dan dokumendokumen pendukungnya, serta kontrakkontrak perjanjian.

3

JAP Vol. 3, No. 1, Oktober 2008

2. Analisis transaksi hubungan istimewa. Tahapan ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai transaksitransaksi hubungan istimewa dan perilaku transaksi-transaksi tersebut. 3. Analisis mengenai potential tax risk. Tahapan ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai potential tax risk atas transaksi-transaksi hubungan istimewa, baik pengaruh internal maupun eksternal. 4. Penyusunan tax planning untuk mereduksi atau mengeliminasi potential tax risk. Pada tahapan ini akan mencari alternatif solusi untuk meminimalisasi potential tax risk.

dan merupakan anak perusahaan dari MNE Co yang berkedudukan di Jepang. PT XYZ merupakan unit bisnis manufaktur yang sangat bergantung pada mitra bisnis utamanya yaitu: 1. MNE Sales & Marketing Co, adalah unit bisnis pemasaran MNE Co yang berkedudukan di Jepang, berperan sebagai pemesan/pembeli (buyer) produk PT XYZ sekaligus sebagai pemasok utama bahan baku. 2. HKG Co, merupakan unit bisnis MNE Co Ltd yang berkedudukan di Hongkong. Perusahaan ini sebagai pemasok bahan baku kedua terbesar setelah MNE Sales & Marketing Co. 3. MNE Co berkedudukan di Jepang dan merupakan pemilik hak paten, informasi teknologi, know-how atau hak intelektual lainnya dalam kegiatan manufakturing yang dilaksanakan oleh PT XYZ. Laporan keuangan PT XYZ dapat dilihat pada tabel berikut:

ANALISIS TOPOGRAFI BISNIS DAN TRANSAKSI HUBUNGAN ISTIMEWA PT XYZPT XYZ adalah perusahaan PMA yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh SG Co yang berkedudukan di Singapura

Tabel 1 : Transaksi-Transaksi Hubungan Istimewa2004 (unit: US$) Purchase of Material Third parties Related parties Net Sales Third parties Related parties Royalty and Patent Third parties Related parties Sales Commission Third parties Related parties 397,851,796 11,587,916 386,263,880 542,994,892 30,358,870 512,636,022 17,612,267 36,986 17,575,281 110,062 7,869 102,193 2003 428,162,194 18,072,951 410,089,243 519,857,898 40,489,955 479,367,943 16,581,997 34,822 16,547,175 187,512 15,207 172,305 2002 202,947,429 3,979,361 198,968,068 295,648,222 44,197,620 251,450,602 9,863,274 20,713 9,842,561 295,156 32,880 262,276

2.9% 97.1% 5.6% 94.4% 0.2% 99.8% 7.2% 92.9%

4.2% 95.8% 7.8% 92.2% 0.2% 99.8% 8.1% 91.9%

2.0% 98.0% 14.9% 85.1% 0.2% 99.8% 11.1% 88.9%

4

Advance Pricing Agreement dalam Kaitannya dengan Upaya Meminimalisasi Potential Risk

Tabel 2 : Laporan Rugi Laba PT XYZ Income Statements (Unit: US$) Net sales Operating costs EBITDA Depreciation and amortization EBIT Less interest EBT Income tax credit/(expense) Net Profit / (Loss) Estimated income tax 2004 542,994,892 526,153,692 16,841,200 11,897,040 4,944,160 876,227 4,067,933 (949,173) 3,118,760 1,469,764 2003 519,857,898 509,031,028 10,826,870 12,306,877 (1,480,007) 945,140 (2,425,147) 2,740,240 315,093 340,434 2002 295,648,222 280,021,033 15,627,189 13,161,741 2,465,448 1,423,198 1,042,250 (3,030,018) (1,987,768) 1,675,247

Dalam Tabel 2 tersebut di atas, estimated income tax dikalkulasi berdasarkan angka-angka laporan keuangan komersial yang telah disesuaikan dengan Undang-undang Pajak Penghasilan.

Dari Tabel 1 dan Tabel 2 di atas dapat diturunkan suatu grafik yang menggambarkan tren antara variabelvariabel analisis terhadap pajak penghasilan sebagai berikut:

Grafik 1 : Tren Variabel-variabel Analisis Terhadap PPh

600,000,000

500,000,000

400,000,000 2004 300,000,000 2003 2002 200,000,000

100,000,000

Net sales Op cost s HAKI Inc t ax

Angka penjualan tahun 2003 mencapai US$519,857,898 atau naik 1.76 kali dibandingkan dengan angka penjualan tahun 2002 yang berjumlah

US$295,648,222. Operating cost tahun 2003 naik 1.82 kali dibandingkan tahun sebelumnya yaitu dari US$280,021,033 menjadi US$509,031,028. Jumlah pem-

5

JAP Vol. 3, No. 1, Oktober 2008

bayaran HAKI -termasuk dalam operating cost- tahun 2003 meningkat 1.68 kali dibandingkan tahun 2002 yaitu dari US$9,865,274 menjadi US$16,581,997. Sebaliknya pajak penghasilan tahun 2003 hanya US$340,434 atau 0.2 kali dibandingkan tahun 2002 yang berjumlah US$1,675,247. Penjualan tahun 2004 adalah sebesar US$542,994,892 atau 1.04 kali angka penjualan tahun 2003. Operating cost 2004 sebesar US$526,153,692 atau mengalami kenaikan 1.03 kali dibandingkan tahun 2003 termasuk di dalamnya pembayaran HAKI 2004 sebesar US$17,612,267 yang meningkat 1.06 kali dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara pajak penghasilan tahun 2004 mencapai US$1,469,764 atau meningkat 4.32 kali lebih besar dibandingkan tahun 2003. Dari Grafik 1 tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan terkait dengan variabel-variabel analisis yaitu bahwa naiknya jumlah penjualan selalu diikuti dengan naiknya operating cost termasuk di dalamnya pembayaran HAKI akan tetapi tidak selalu diikuti dengan dengan kenaikan pajak penghasilan.

formal (lex generalis), kontrak atau perjanjian antar pihak yang mendasari suatu transaksi sangat diperlukan. Terlebih lagi apabila transaksi tersebut melibatkan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang besarannya amat signifikan sehingga akan menarik perhatian (eye catching) fiskus. Dari studi kasus pada PT XYZ, hasil analisis terhadap potential tax risk dapat dijabarkan berikut ini. Tidak Ada Kontrak Perjanjian - Perolehan Bahan Baku Free of Charge Dalam penentuan harga jual assembled product harga negosiasi yang di buat antara PT XYZ dengan MNE Sales & Marketing Co tidak mengikutsertakan unsur bahan baku free of charge yang dipergunakan dalam proses produksi yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari finished goods sehingga harga jual dalam purchase contract menjadi lebih rendah daripada yang seharusnya (under valued) dan bila dibandingkan dengan produk sejenis yang dijual di Indonesia dapat menimbulkan dugaan adanya transfer pricing sehingga tidak tertutup kemungkinan fiskus akan melakukan koreksi positif yang dapat berakibat pada naiknya jumlah pajak terhutang yaitu dengan menentukan kembali harga jual produk tersebut. - Revaluasi Nilai Persediaan Terkait dengan sifat assembled product yang cepat mengalami perubahan baik model, features maupun teknologinya sehingga mengakibatkan harga jualnya mempunyai kecenderungan semakin menurun. Dampak dari menurunnya harga jual adalah nilai persediaan menjadi over valued dan oleh karenanya harus direvaluasi. Selisih nilai revaluasi persediaan yang over valued setara dengan aliran kas masuk ke PT XYZ dari MNE Co.

ANALISIS POTENTIAL TAX RISKBanyak korporasi multinasional mengabaikan ketentuan-ketentuan formal dalam transaksi cross border, seperti pembuatan kontrak atau perjanjian yang melandasi transaksi antar mereka sehingga banyak biaya, tenaga dan waktu dikeluarkan jika terjadi audit pajak hanya untuk menjelaskan formalitas dari suatu transaksi (Enrique Macgregor, 2004). Walaupun Undang-undang PPh yang mengatur hal-hal yang bersifat materiil mempunyai kedudukan lebih tinggi (lex specialis) daripada Undangundang KUP yang mengatur ketentuan

6

Advance Pricing Agreement dalam Kaitannya dengan Upaya Meminimalisasi Potential Risk

Revaluasi nilai persediaan yang dilakukan secara rutin tiap akhir triwulan secara potensial dapat menimbulkan dugaan adanya praktik transfer pricing yang tercermin dari adanya aliran kas ke PT XYZ dari MNE Co sementara transaksi pembelian bahan baku dilakukan dengan MNE Sales & Marketing Co dan HKG Co. Oleh karenanya ada kemungkinan harga perolehan bahan baku akan dikoreksi negatif oleh fiskus sesuai dengan arms length price yang akan berdampak pada menurunnya operating cost yang pada akhirnya jumlah pajak terhutang akan naik. Variasi Tarif HAKI Transaksi cross border dengan related party seperti pembayaran royalti dan management fee adalah salah satu target pemeriksaan pajak. Untuk itu, kondisi demikian harus menjadi salah satu prioritas yang harus dipertimbangkan dalam menyusun suatu tax planning (Enrique Macgregor, 2004). Hal yang sering menjadi sumber konflik antara wajib pajak dengan fiskus dalam penggunaan intangible assets tersebut adalah besaran tarifnya (Glenn Desouza, 1997). Banyaknya beban yang harus ditanggung oleh PT XYZ berkaitan dengan penggunaan HAKI termasuk juga perbedaan tarif royalti yang ditetapkan dalam royalty agreement. Terlebih untuk assembled product, secara potensial dapat menimbulkan dugaan adanya excessed burden dan upaya pengalihan keuntungan dari PT XYZ kepada MNE Co Ltd atau unit bisnisnya sehingga fiskus dapat saja melakukan koreksi negatif terhadap pembayaran HAKI tersebut. Fiskus juga akan memiliki pembenaran yang cukup mendasar untuk melakukan koreksi fiskal karena menduga adanya praktik transfer pricing yang tercermin dari meningkatnya angka penjualan secara signifikan akan tetapi tidak diikuti oleh meningkatnya jumlah pajak penghasilan.

Kewajiban Pengungkapan Pengungkapan transaksi hubungan istimewa dalam SPT sedikitnya memuat informasi mengenai jenis dan besaran transaksi serta pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tesebut. Jika informasi tersebut tidak diungkapkan dalam SPT dapat berakibat SPT tersebut dianggap tidak lengkap dan perusahaan dapat dikira menyampaikan informasi yang tidak benar. Penetapan Kembali Terhutang Jumlah Pajak

Direktur Jenderal Pajak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Kewenangan ini dirumuskan di Pasal 18 ayat (3) Undang-undang PPh Tahun 2000, yang berbunyi sebagai berikut: Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya. Sampai dengan saat ini belum ada peraturan pelaksanaan tentang ketentuan di atas sehingga berpotensi besar adanya perbedaan penafsiran terhadap pasal tersebut.

7

JAP Vol. 3, No. 1, Oktober 2008

Potensi Denda Pajak dan Pajak Berganda Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-01/PJ.7/2003 tentang Kebijakan Pemeriksaan Pajak disebutkan bahwa untuk kasus-kasus transfer pricing jangka waktu pemeriksaan ditetapkan selama 8 bulan dan dapat diperpanjang menjadi 2 tahun. Selain itu, disebutkan pula adanya pemeriksaan yang didasarkan permintaan khusus Direktur P4 yang waktunya penyelesaiannya tidak disebutkan. Secara umum semua jenis pemeriksaan pajak akan daluwarsa selama 10 tahun. Memang tidak mudah untuk mendefinisikan dan menjabarkan angka-angka koreksi fiskal yang menyangkut hubungan istimewa sebagaimana juga halnya yang terjadi di dalam transaksi-transaksi antara PT XYZ dengan mitra bisnisnya. Akan tetapi dengan mengacu kepada surat edaran tersebut di atas diperkirakan denda pajak yang harus ditanggung oleh PT XYZ akan mencapai maksimum 48% dari pajak yang kurang dibayar sebagai akibat dilakukannya koreksi oleh fiskus terhadap transaksi-transaksi hubungan istimewa. Disamping untuk menghindari pengenaan pajak berganda, ketentuan tersebut juga memberikan kewenangan apabila terjadi masalah transfer pricing yang menurut salah satu negara tidak mencerminkan transaksi yang arms length, maka harga transaksi dimaksud dapat dikoreksi oleh otoritas pajak negara tersebut. Pajak berganda dapat terjadi apabila atas objek yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali. Dalam hal ini sebagai contoh adalah pembayaran HAKI kepada MNE Co dan MNE Sales & Marketing Co telah dipotong pajak penghasilan (withholding tax) pasal 26 tapi kemudian biaya-biaya tersebut dikoreksi oleh fiskus. Di lain pihak MNE Co dan MNE Sales & Marketing Co melaporkan pembayaran HAKI yang di-

terima dalam laporan pajak mereka dan withholding tax pasal 26 dijadikan uang muka pajak (tax credit). Jika penetapan pajak dimaksud merupakan hasil dari koreksi terhadap transfer pricing, maka negara lainnya, dalam hal ini Jepang, wajib melakukan correlative adjustment. Apabila Jepang menolak melakukannya maka yang akan terjadi adalah pengenaan pajak berganda yang harus ditanggung oleh MNE Co dan MNE Sales & Marketing Co. Pada tahap ini, sesuai dengan ketentuan pasal 9 dari OECD Model, kedua competent authorities akan membahasnya. Bila pembahasan antara competent authorities tersebut tidak mencapai titik temu maka tidak ada upaya hukum lain untuk menyelesaikan masalah tersebut kecuali mengajukan keberatan dan banding atas putusan tersebut kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Jika ada pajak yang masih kurang dibayar sebelum banding diajukan ke BPSP maka 50% dari kekurangannya tersebut harus dilunasi terlebih dulu. Paling sedikit dibutuhkan waktu selama 2 tahun untuk mengajukan perkara ini, dimana satu tahun diperlukan untuk pemeriksaan pajak dan satu tahun lagi untuk proses keberatan. Keputusan BPSP bersifat final dan sementara itu kapan putusan harus dibuat dan dikeluarkan oleh BPSP tidak ada peraturan yang mengaturnya, sehingga kepastian hukumnya menjadi tidak menentu (uncertainty).

ADVANCE PRICING AGREEMENT (APA) SEBAGAI SOLUSI TRANSFER PRICINGUndang-undang PPh Tahun 2000 Pasal 18 ayat (3a) menyatakan, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga

8

Advance Pricing Agreement dalam Kaitannya dengan Upaya Meminimalisasi Potential Risk

transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement / APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara wajib pajak dengan Direktur Jenderal Pajak dapat mencakup beberapa hal antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalti, dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual wajib pajak kepada perusahaan dalam group yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan wajib pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilyah yurisdiksinya.

1. Potential tax risk dapat diakibatkan karena faktor-faktor internal, antara lain: - Metode transfer pricing yang dipergunakan mengakibatkan harga jual produk, terutama produk OEM, lebih rendah dari yang seharusnya karena tidak menambahkan unsur bahan baku free of charge sebagai komponen produksi. Penetapan harga jual yang lebih rendah tersebut dapat mengakibatkan timbulnya koreksi pajak pada sisi penjualan. - Aliran kas masuk yang diterima dari MNE Co Ltd atau sebaliknya aliran kas keluar kepada MNE Co Ltd sebagai konsekuensi dari revaluasi persediaan yang disebabkan oleh fluktuasi harga, dapat menimbulkan adanya koreksi pajak terutama pada sisi pembelian. - Transaksi hubungan istimewa yang tidak dilengkapi dengan dokumendokumen perjanjian akan menimbulkan beban pembuktian yang sangat berat apabila terjadi pemeriksaan pajak karena bagaimanapun suatu transaksi yang terjadi yang melibatkan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa terlebih lagi yang bersifat cross border kelengkapan dokumen sangatlah penting untuk dipersiapkan sebelum transaksi tersebut dilaksanakan. 2. Sementara faktor-faktor eksternal yang dapat menimbulkan potential tax risk, antara lain: - Penetapan kembali transaksitransaksi PT XYZ berkaitan dengan related party yang dapat mengakibatkan naiknya jumlah pajak terhutang. - Denda kenaikan beban pajak maksimum 48% dari pajak terhutang sebagai akibat koreksi pajak oleh fiskus.

PENUTUPa. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan data sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai berikut:

9

JAP Vol. 3, No. 1, Oktober 2008

- Waktu audit pajak untuk transaksi transfer pricing paling sedikit membutuhkan waktu 8 bulan dan dapat diperpanjang sampai 2 tahun. - Apabila Wajib Pajak keberatan atas hasil koreksi pajak oleh fiskus, keberatan dapat diajukan dan dapat diteruskan dengan banding ke BPSP apabila keberatan Wajib Pajak di tolak. Pengajuan banding tidak menunda kewajiban pembayaran pajak yang diakibatkan oleh koreksi fiskus sementara jangka waktu penyelesaian sengketa dan keputusan hakim BPSP tidak dapat dipastikan. - Kemungkinan terjadi double taxation apabila koreksi fiskal yang dilakukan oleh otoritas pajak Indonesia tidak diikuti dengan correlative adjustment dari mitra P3B lainnya. 3. Undang-undang nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan pasal 18 ayat (4) telah memuat ketentuan tentang APA, akan tetapi dari pihak otoritas fiskal tidak pernah mengeluarkan peraturan pelaksanaannya sehingga membuat para Wajib Pajak tidak mempunyai keyakinan dan kemauan untuk membuat APA dengan Direktur Jenderal Pajak. Walaupun demikian para ahli dan praktisi perpajakan yakin bahwa APA dapat mengeliminasi potential tax risk akibat transaksi hubungan istimewa. 4. Secara yuridis fiskal manfaat membuat APA dengan Direktur Jenderal Pajak akan memberikan manfaat-manfaat antara lain: - Adanya kepastian hukum sehingga manajemen perusahaan dapat menjalankan bisnisnya dengan lebih tenang dan tidak khawatir mengenai status transaksinya karena fiskus tidak akan melakukan koreksi terhadap transaksi-transaksi yang me-

libatkan related party. - Sengketa pajak yang disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi atas suatu transaksi maupun peraturan tertentu yang dapat berdampak pada dikoreksinya pajak terhutang dapat dieliminasi. - Mudah dalam melakukan penghitungan pajak, karena adanya kepastian bahwa fiskus tidak akan melakukan penghitungan atau penetapan pajak terhutang yang diakibatkan oleh adanya transaksitransaksi yang melibatkan related party. - Jangka waktu pemeriksaan pajak lebih singkat karena transaksitransaksi yang melibatkan related party tidak termasuk objek pemeriksaan sehingga waktu yang dibutuhkan hanya 2 bulan. - Dimungkinkan melakukan renegosiasi dengan otoritas pajak terhadap APA yang pernah disepakati sebelumnya sesuai dengan dinamika usaha perusahaan. b. Saran-Saran Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan di atas, diusulkan beberapa saran untuk dipertimbangkan oleh manajemen PT XYZ untuk meminimalisasi potential tax risk, antara lain: 1. Memperbaiki bentuk contract agreement yang ada terutama yang berkaitan dengan related party. Contract agreement tersebut sebaiknya memuat secara jelas definisi dan dasar transaksi, sehingga tidak menimbulkan pemahaman lain selain apa yang tertulis di dalam contract agreement tersebut. 2. Dokumentasi yang dapat menjelaskan transaksi OEM dan hubungannya dengan pembayaran royalti. Hal

10

Advance Pricing Agreement dalam Kaitannya dengan Upaya Meminimalisasi Potential Risk

ini penting dilakukan karena konsep OEM yang diaplikasikan oleh PT XYZ jarang terjadi. Kebanyakan produk OEM bersifat parsial dan kontrak putus dalam arti produk tersebut di pesan dan dipasarkan tanpa ada kewajiban pembayaran royalti. 3. Audit pajak yang berkaitan dengan transfer pricing sangat erat hubungannya dengan dokumentasi, kekurangan atau ketiadaan dokumen pendukung yang berkaitan dengan transaksi tersebut dapat menjadi objek koreksi fiskal. Disarankan agar perusahaan mempersiapkan dokumendokumen yang berkaitan dengan: Gambaran umum tentang bisnis perusahaan dan hubungan keterkaitan bisnis antar group korporasi. Jenis-jenis transaksi yang berkaitan dengan related party. Metode transfer pricing yang dipergunakan. Informasi pendukung terkait transaksi hubungan istimewa berikut analisisnya termasuk perbandingannya jika memungkinkan. Kondisi-kondisi khusus yang mendorong terjadinya transfer pricing seperti strategi penetrasi pasar, dampak dari transfer pricing terhadap perusahaan dan related party-nya.

dangan serta manfaat yang maksimal dari APA. Dikarenakan transaksi antara PT XYZ dengan related partynya merupakan cross border transaction, penggunaan Mutual Agreement Procedure sangat disarankan untuk mengeliminasi potential tax risk secara maksimal.

-

-

4. APA sebagai alternatif untuk menghindari koreksi fiskal atas transaksi hubungan istimewa layak untuk dipertimbangkan. Disarankan sebelum memutuskan membuat APA dengan Direktur Jenderal Pajak, sebaiknya PT XYZ berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak-pihak related party agar dapat tercipta kesamaan pan-

11

JAP Vol. 3, No. 1, Oktober 2008

DAFTAR PUSTAKAAnthony, Robert N. and Govindarajan, Vijay, 2003, Management Control System. eleventh edition, Mc. Graw-Hill. Brigham, Eugene F. and Houston, F. Joel., 2003, Fundamentals of Financial Management, tenth edition, Mc.Graw-Hill. Desai, Nishith, 2002, Transfer Pricing Problems, Strategies and Documentation: Recent International Case Law on Transfer Pricing, White paper, Nishsith Desai Associated, India, ......................... http://www.nishithdesai.com Gunadi, 1994, Transfer Pricing: Suatu Tinjauan Akuntansi Manajemen dan Pajak, Bina Rena Pariwara, Jakarta ______ , 1997, Pajak Internasional, Edisi Revisi. Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta. Feinschreiber, Robert, 1992, Advance Pricing Agreements: Advantageous or Not?, CPA Journal Online, http://www.luca.com/cpajournal/ol d/12650269.htm Hansen, Fay, 2004, Best Practices in Tax Planning, International Transfer Pricing Journal,.............................. http://www.businessfinancemag.co m Henshall, John, 2006, Transfer Pricing and Intellectual Property. International Transfer Pricing Journal, http://www.buildingpvalue.com Macgregor, Enrique, 2004, Transfer Pricing: A Roadmap for CEOs. International Transfer Pricing Journal, http://www.findarticles.com/p/articl es/ Neubig, Tom, 2004, Tax Risk and Strong Corporate Governance. International Transfer Pricing Journal, http://www.findarticles.com/p/articl es/ OECD, 1995, Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations, OECD, Paris Santoso, Iman, 2004, Advance Pricing Agreement dan Problematika Transfer Pricing Dari Perspektif Perpajakan Indonesia, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Universitas Kristen Petra, http://puslit.petra.ac.id Widiyanto, Agus, 2006, "Advance Pricing Agreement Dan Implikasinya Terhadap Perencanaan Pajak Dalam Rangka Meminimalisasi Potensi Risiko Kerugian Akibat Beban Pajak (Studi Kasus Pada PT XYZ)" Tesis Program MM, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Zain, Mohammad, 2003, Manajemen Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta.

12