84
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hingga saat ini kanker serviks merupakan penyebab kematian terbanyak penyakit kanker di negara berkembang (Edianto, 2006). Terhitung sebanyak 510.000 kasus baru terjadi tiap tahun dan lebih dari 288.000 kematian berlangsung akibat penyakit ini di seluruh dunia (Carr, 2004). Angka kejadian penyakit ini rendah pada wanita berumur dibawah 25 tahun, namun insidensi meningkat pada wanita berumur 35 sampai 40 tahun dan mencapai titik maksimum pada usia 50-an (Carr, 2004). Kemudian, Zeller (2007) menambahkan bahwa separuh dari seluruh kanker serviks terjadi pada wanita usia 35 sampai 55 tahun. Sementara itu, insidensi kanker serviks sendiri terus meningkat dari sekitar 25 per 100.000 pada tahun 1988 menjadi sekitar 32 per 100.000 pada 1992. Dari seluruh gambaran dan data global mengenai kanker serviks, penyakit ini memiliki indeks rasio yang lebih tinggi hingga 5 sampai 6 kali pada negara-negara berkembang (Rahmawan, 2009). Di Indonesia sendiri pada tahun 2005, jumlah perempuan yang berumur 15-64 tahun adalah 65 juta dan prevalensi kanker serviks adalah 50 per 100.000 perempuan. Ini berarti jumlah penderita kanker serviks adalah sekitar 32.500 penderita. Dari sejumlah data 1

2 Bab 1-4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kanker serviks

Citation preview

Page 1: 2 Bab 1-4

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hingga saat ini kanker serviks merupakan penyebab kematian terbanyak

penyakit kanker di negara berkembang (Edianto, 2006). Terhitung sebanyak

510.000 kasus baru terjadi tiap tahun dan lebih dari 288.000 kematian

berlangsung akibat penyakit ini di seluruh dunia (Carr, 2004). Angka kejadian

penyakit ini rendah pada wanita berumur dibawah 25 tahun, namun insidensi

meningkat pada wanita berumur 35 sampai 40 tahun dan mencapai titik

maksimum pada usia 50-an (Carr, 2004). Kemudian, Zeller (2007) menambahkan

bahwa separuh dari seluruh kanker serviks terjadi pada wanita usia 35 sampai 55

tahun.

Sementara itu, insidensi kanker serviks sendiri terus meningkat dari sekitar

25 per 100.000 pada tahun 1988 menjadi sekitar 32 per 100.000 pada 1992. Dari

seluruh gambaran dan data global mengenai kanker serviks, penyakit ini memiliki

indeks rasio yang lebih tinggi hingga 5 sampai 6 kali pada negara-negara

berkembang (Rahmawan, 2009).

Di Indonesia sendiri pada tahun 2005, jumlah perempuan yang berumur 15-

64 tahun adalah 65 juta dan prevalensi kanker serviks adalah 50 per 100.000

perempuan. Ini berarti jumlah penderita kanker serviks adalah sekitar 32.500

penderita. Dari sejumlah data diatas, penderita dengan stadium Ia sebanyak 7%

atau 2.275, stadium Ib-IIa sebanyak 28% atau 9.100, dan stadium IIb-IV a

sebanyak 65% atau 21.125 penderita (Rasjidi, 2007b).

Deteksi dini secara gencar mulai dilakukan di berbagai rumah sakit dan unit

kesehatan masyarakat atau klinik-klinik yang memiliki kompetensi dalam bidang

kanker. Sejak dibentuk dan dinasionalisasikannya badan kanker Indonesian

Cancer Foundation pada tahun 1977, program skrining kanker serviks segera

dimulai. Namun, program yang telah disusun tidak sistematis, menyebabkan

keuntungan yang diperoleh kecil, yang tampak dari sedikitnya penurunan

insidensi dan derajat mortalitas kanker serviks (Rahmawan, 2009).

Ditambah lagi, hingga saat ini program skrining belum lagi memasyarakat di

negara berkembang sehingga mudah dimengerti mengapa insiden kanker serviks

1

Page 2: 2 Bab 1-4

masih tetap tinggi (Edianto, 2006). Masalahnya, tempat yang diteliti tergolong

sebagai daerah urbanisasi dan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan

minimnya pengetahuan di masyarakat sekitar. Sehingga penderita sudah mencapai

stadium lanjut. Ditambah lagi sedikitnya pelaporan terhadap penyakit di rumah

sakit tersebut karena mungkin pasien tidak tahu kalau penyakit tersebut

berbahaya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana tingkat kesadaran masyarakat akan kanker seviks dan

pencegahannya sejak dini?

2. Bagaimana cara deteksi dini kanker serviks?

3. Adakah peran masyarakat untuk mencegah peningkatan kasus kanker

serviks?

4. Adakah program pemerintah untuk penekanan angka kasus kanker

serviks?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui kesaddaran masyarakat akan kanker serviks dan

pencegahannya sejak dini.

2. Untuk mengetahui cara deteksi dini kanker serviks.

3. Untuk mengetahui peran masyarakat dalam mencegah peningkatan kasus

kanker serviks.

4. Untuk mengetahui program pemerintah dalam penekanan angka kasus

kanker serviks.

2

Page 3: 2 Bab 1-4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi

2.1.1 Pengertian Epidemiologi

Epidemiologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari 3 kata dasar yaitu

epi yang berarti pada atau tentang, demos yang berati penduduk dan kata terakhir

adalalah logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi, epidemilogi adalah ilmu yang

mempelajari tentang penduduk. Dalam pengertian modern pada saat ini

epidemiologi adalah : “Ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan distribusi

serta determinan masalah kesehatan pada sekelompok orang/masyarakat. Dengan

kata lain, epidemiologi merupakan suatu ilmu yang awalnya mempelajari

timbulnya, perjalanan, dan pencegahan pada penyakit infeksi menular. Tapi dalam

perkembangannya hingga saat ini, masalah yang dihadapi penduduk tidak hanya

penyakit menular saja, melainkan juga penyakit tidak menular, penyakit

degenaratif, kanker, penyakit jiwa, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya.

Sebagai ilmu yang selalu berkembang, epidemiologi senantiasa mengalami

perkembangan pengertian dan karena itu pula mengalami modifikasi dalam

batasan / definisinya. Beberapa definisi telah dikemukakan oleh para pakar

epidemiologi, beberapa diantaranya adalah :

1. Robert H. Fletcher ( 1991 ).

Epidemiologi adalah disiplin riset yang membahas tentang distribusi

dan determinan penyakit dalam populasi.

2. Anders Ahlbom & Staffan Norel ( 1989 ).

Epidemiologi adalah ilmu pengetahuan mengenai terjadinya penyakit

pada populasi manusia.

3. Brian Mac Mahon ( 1970 ).

Epidemiologi adalah studi tentang penyebaran dan penyebab frekuensi

penyakit pada manusia dan mengapa terjadi distribusi semacam itu. Di

sini sudah mulai menentukan distribusi penyakit dan mencari penyebab

terjadinya distribusi dari suatu penyakit.

3

Page 4: 2 Bab 1-4

Definisi epidemiologi menurut Center of Disease Control (CDC) 2002,

menyatakan bahwa epidemiologi adalah studi yang mempelajari distribusi dan

determinan penyakit dan keadaan kesehatan pada populasi serta penerapannya

untuk pengendalian masalah – masalah kesehatan. Dari pengertian ini, jelas

bahwa epidemiologi adalah suatu studi dan studi itu adalah riset. Menurut Leedy

(1974), riset adalah pencarian sistematis terhadap kebenaran yang belum

terungkap. Definisi epidemiologi menurut WHO adalah studi tentang distribusi

dan determinan kesehatan yang berkaitan dengan kejadian di populasi dan aplikasi

dari studi untuk pemecahan masalah kesehatan.

Epidemiologi dapat ditinjau dari berbagai aspek. Berikut merupakan

pengertian epidemiologi ditinjau dari berbagai aspek tersebut :

1. Aspek akademik.

Secara akademik, epidemiologi berarti analisa data kesehatan, sosial-

ekonomi, dan tren yang terjadi untuk mengindentifikasi dan

menginterpretasi perubahan-perubahan kesehatan yang terjadi atau akan

terjadi pada masyarakat umum atau kelompok penduduk tertentu.

2. Aspek klinik.

Ditinjau dari aspek klinik, epidemiologi berarti suatu usaha untuk

mendeteksi secara dini perubahan insidensi atau prevalensi yang

dilakukan melalui penemuan klinis atau laboratorium pada awal

timbulnya penyakit baru dan awal terjadinya epidemi.

3. Aspek praktis.

Secara praktis epidemiologi berarti ilmu yang ditujukan pada upaya

pencegahan penyebaran penyakit yang menimpa individu, kelompok

penduduk atau masyarakat umum. Dalam hal ini, penyebab penyakit

tidak harus diketahui secara pasti, tetapi diutamakan pada cara

penularan, infektivitas, menghindarkan agen yang diduga sebagai

penyebab, toksin atau lingkungan dan membentuk kekebalan untuk

menjamin kesehatan manusia.

4. Aspek administrasi.

Epidemiologi secara administrasi berarti suatu usaha mengetahui

keadaan masyarakat di suatu wilayah atau negara agar dapat

4

Page 5: 2 Bab 1-4

memberikan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien sesuai

dengan kebutuhan masyarakat.

2.1.2. Tujuan Epidemiologi

Secara umum, dapat dikatakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam

mempelajari epidemiologi adalah memperoleh data frekuensi distribusi dan

determinan penyakit atau fenomena lain yang berkaitan dengan kesehatan

masyarakat. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memperoleh informasi

tentang penyebab penyakit, misalnya:

1. Penelitian epidemiologis yang dilakukan pada kejadian luar biasa akibat

keracunan makanan dapat digunakan untuk mengungkapkan makanan

yang tercemar dan menemukan penyebabnya.

2. Penelitian epidemiologis yang dilakukan untuk mencari hubungan antara

karsinoma paru-paru dengan asbes.

3. Menetukan apakah hipotesis yang dihasilkan dari percobaabn hewan

konsisten dengan data epidemiologis. Misalnya, percobaan tentang

terjadinya karsinoma kandung kemih pada hewan yang diolesi tir.

Untuk mengetahui apakah hasil percobaan hewan konsisten dengan

kenyataan pada manusia, dilakukan analisis terhadap semua penderita

karsinoma kandung kemih lebih banyak terpajan oleh rokok

dibandingkan dengan bukan penderita.

4. Memperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam menyusun perencanaan, penanggulangan masalah

kesehatan, serta menentukan prioritas masalah kesehatan masyarakat;

misalnya:

a. Data frekuensi distribusi berbagai penyakit yang terdapat

dimasyarakat dapat digunakan untuk menyusun rencana kebutuhan

pelayanan kesehatan disuatu wilayah dan menentukan prioritas

masalah.

b. Bila dari hasil penelitian epidemiologis diperoleh bahwa insidensi

tetanus neonatorum disuatu wilayah cukup tinggi maka data

tersebut dapat digunakan untuk menyusun strategi yang efektif dan

efisien dalam menggulangi masalah tersebut, misalnya dengan

5

Page 6: 2 Bab 1-4

mengirirm petugas lapangan untuk memberikan penyuluhan pada

ibu-ibu serta mengadakan imunisasi pada ibu hamil.

2.1.3. Ruang Lingkup

Dari pengertian epidemiologi dan metode epidemiologi, maka bentuk

kegiatan epidemiologi meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik yang

berhubungan dengan bidang kesehatan maupun diluar bidang kesehatan. Berbagai

bentuk dan jenis kegiatan dalam epidemiologi saling berhubungan satu dengan

lainnya sehingga tidak jarang dijumpai bentuk kegiatan yang tumpang tindih.

Bentuk kegiatan epidemiologi dasar yang paling sering digunakan adalah bentuk

epidemiologi deskriptif yakni bentuk kegiatan epidemiologi yang memberikan

gambaran atau keterangan tentang keadaan serta sifat penyebaran status kesehatan

dan gangguan kesehatan maupun penyakit pada suatu kelompok penduduk

tertentu (terutama menurut sifat karakteristik orang, waktu, dan tempat).

Bentuk kegiatan epidemiologi yang erat hubungannya dengan deskriptif

epidemiologi adalah dalam menilai derajat kesehatan dan besar kecilnya masalah

kesehatan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Bentuk kegiatan ini erat

hubungannya dengan penyusunan perencanaan kesehatan masyarakat serta

penilaian hasil kegiatan usaha pelayanan kesehatan pada penduduk tertentu.

Dewasa ini penelitian epidemiologi pada dasarnya dapat dibagi dalam dua bentuk

dasar yakni penelitian observasi atau pengamatan terhadap kejadian alami dalam

masyarakat untuk mencari hubungan sebab akibat terjadinya gangguan keadaan

normal dalam masyarakat tersebut, serta penelitian eksperimental yang merupakan

penelitian yang didasarkan pada perlakuan tertentu terhadap objek untuk dapat

memperoleh jawaban tentang pengaruh perlakuan tersebut terhadap objek yang

diteliti. Dalam hal ini, populasi sasaran dientukan secara cermat serta setiap

perubahan yang timbul merupakan akibat dari perlakuan khusus oleh pihak

peneliti.

Dalam perkembangan selanjutnya maka prinsip epidemiologi yang meliputi

epidemiologi deskriptif maupun penelitian epidemiologi dikembangkan lebih luas

sebagai suatu sistem pendekatan didalam berbagai kehidupan kemasyarakatan.

Adapun ruang lingkup epidemiologi seperti disebutkan diatas termasuk berbagai

masalah yang timbul dalam masyarakat, baik yang berhubungan erat dengan

6

Page 7: 2 Bab 1-4

bidang kesehatan maupun dengan berbagai kehidupan sosial, telah mendorong

perkembangan epidemiologi dalam berbagai bidang :

1. Epidemiologi penyakit menular

Bentuk ini yang telah banyak memberikan peluang dalam usaha

pencegahan dan penanggulangan penyakit menular tertentu.

Berhasilnya manusia mengatasi berbagai gangguan penyakit menular

dewasa ini merupakan salah satu hasil yang gemilang dari

epidemiologi. Peranan epidemiologi surveilans pada mulanya hanya

ditujukan pada pengamatan penyakit menular secara seksama, ternyata

telah memberikan hasil yang cukup berarti dalam menangulangi

berbagai masalah penyakit menular dan juga penyakit tidak menular.

2. Epidemiologi penyakit tidak menular

Pada saat ini sedang berkembang pesat dalam usaha mencari

berbagai factor yang memegang peranan dalam timbulnya berbagai

masalah penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit sistemik serta

berbagai penyakit menahun lainnya, termasuk masalah meningkatnya

kecelakaan lalu lintas dan penyalahgunaan obat-obatan tertentu. Bidang

ini banyak digunakan terutama dengan meningkatnya masalah

kesehatan yang bertalian erat dengan berbagai gangguan kesehatan

akibat kemajuan dalam berbagai bidang industri yang banyak

mempengaruhi keadaan lingkungan, termasuk lingkungan fisik,

biologis, maupun lingkungan sosial budaya.

3. Epidemiologi klinik

Bentuk ini merupakan salah satu bidang epidemiologi yang

sedang dikembangkan oleh para klinisi yang bertujuan untuk

membekali para klinisi/ dokter tentang cara pendekatan masalah melalui

disilin ilmu epidemiologi. Dalam penggunaan epidemiologi klinik

sehari-hari, para petugas medis terutama para dokter sering

menggunakan prinsip-prinsip epidemiologi dalam menangani kasus

secara individual. Mereka lebih berorientasi pada penyebab dan cara

mengatasinya terhadap kasus secara individu dan biasanya tidak tertarik

7

Page 8: 2 Bab 1-4

untuk mengetahui serta menganalisis sumber penyakit, cara penularan

dan sifat penyebarannya dalam masyarakat. Berbagai hasil yang

diperoleh dari para klinisi tersebut, merupakan data informasi yang

sangat berguna dalam analisis epidemiologi tetapi harus pula diingat

bahwa epidemiologi bukanlah terbatas pada data dan informasi saja

tetapi merupakan suatu disiplin ilmu yang memeliki metode pendekatan

serta penerapannya secara khusus.

4. Epidemiologi kependudukan

Merupakan salah satu cabang ilmu epidemiolgi yang

menggunakan sistem pendekatan epidemiolgi dalam menganalisi

berbagai permasalahan yang berkaitan dengan bidang demografi serta

faktor-faktor yang mempengaruhi berbagai perubahan demografis yang

terjadi didalam masyarakat. Sistem pendekatan epidemiologi

kependudukan tidak hanya memberikan analisis tentang sifat

karakteristik penduduk secara demografis dalam hubungannya dengan

masalah kesehatan dan penyakit dalam masyarakat tetapi juga sangat

berperan dalam berbagai aspek kependudukan serta keluarga berencana.

Pelayanan melalui jasa, yang erat hubungannya dengan masyarakat

seperti pendidikan, kesejahteraan rakyat, kesempatan kepegawaian,

sangat berkaitan dengan keadaan serta sifat populasi yang dilayani.

Dalam hal ini peranan epidemiologi kependudukan sangat penting

untuk digunakan sebagai dasar dalam mengambil kebijakan dan dalam

menyusun perencanaan yang baik. Juga sedang dikembangkan

epidemiologi system reproduksi yang erat kaitannya dengan gerakan

keluarga berencana dan kependudukan.

5. Epidemiologi pengolahan pelayanan kesehatan

Bentuk ini merupakan salah satu sistem pendekatan manajemen

dalam menganalis masalah, mencari faktor penyebab timbulnya suatu

maslah serta penyusunan pemecahan masalah tersebut secara

menyeluruh dan terpadu. Sisem pendekatan epidemiologi dalam

perencanaan kesehatan cukup banyak digunakan oleh para perencana

8

Page 9: 2 Bab 1-4

kesehatan baik dalam bentuk analisis situasi, penetuan prioritas maupun

dalam bentuk penilaian hasil suatu kegiatan kesehatan yang bersifat

umum maupun dengan sasaran khusus.

6. Epidemiologi lingkungan dan kesehatan kerja

Bentuk ini merupakan salah satu bagian epidemioloi yang

mempelajari serta mnganalisis keadaan kesehatan tenaga kerja akibat

pengaruh keterpaparan pada lingkubngan kerja, baik yang bersifat fisik

kimiawo biologis maupun social budaya, serta kebiasaan hidup para

pekerja. Bentuk ini sangat berguna dalam analisis tingkat kesehatan

ekerja serta untuk menilai keadaan dan lingkungan kerja serta penyakit

akibat kerja.

7. Epidemiologi kesehatan jiwa

Merupakan salah satu dasar pendekatan dan analisis masalah

gangguan jiwa dalam masyarakat, baik mengenai keadan kelainan jiwa

kelompok penduduk tertentu, maupun analisis berbagai factor yang

mempengaruhi timbulnya gangguan jiwa dalam masyarakat. Dengan

meningkatnya berbagai keluhan anggota masyarakat ang lebih banyak

mengarah ke masalah kejiwaan disertai dengan perubahan sosial

masyarakat menuntut suatu cara pendekatan melalui epidemilogi sosial

masyarakat menuntu suatu cara pendekatan melalui epidemiologi sosial

yang berkaitan dengan epidemiologi kesehatan jiwa, mengingat bahwa

dewasa ini gangguan kesehatan jiwa tidak lagi merupakan masalah

kesehaan individu saja, tetau telah merupakan masalah sosial

masyarakat.

8. Epidemiologi gizi

Dewasa ini banyak digunakan dalm analisis masalah gizi

masyarakat dimana masalah ini erat hubungannya dengan berbagai

faktor yang menyangkut pola hidup masyarakat. Pendekatan masalah

gizi masyarakat melaui epidemiologi gizi bertujuan untuk menganalisis

berbagai factor yang berhubungan erat dengan timbulnya masalah gizi

masyarakat, baik yang bersifat biologis, dan terutama yang berkaitan

9

Page 10: 2 Bab 1-4

dengan kehidupan social masyarakat. Penanggulangan maslah gizi

masyarakat yang disertai dengan surveilans gizi lebih mengarah kepad

penanggulangan berbagai faktor yang berkaitan erat dengan timbulnya

masalah tersebut dalam masyarakat dan tidak hanya terbatas pada

sasaran individu atau lingkungan kerja saja.

2.1.4. Jangkauan Epidemiologi

Dari pengetahuan tentang jangkauan epidemiologi, kita dapat mengetahui

apa saja yang termasuk dalam epidemiologi karena jangkauan epidemiologi terus

berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat.

Perkembangan jangkauan epidemiologi dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Mula-mula epidemiologi hanya mempelajari penyakit yang dapat

menimbulkan wabah melalui temuan-temuan tentang :

a. Jenis penyakit wabah seperti cacar, pes, kolera, dan lain-lain.

b. Cara penularan dan penyebab penyakit wabah.

c. Cara-cara penanggulangan dan pencegahan penyakit wabah.

2. Tahap berikutnya, epidemiologi mempelajari penyakit infeksi non-

wabah.

3. Dalam perkembangan selanjutnya, epidemiologi mempelajari penyakit

non-infeksi, misalnya penyakit jantung, karsinoma, hipertensi, dan

penyakit gangguan hormon (diabetes melitus dan lain-lain).

4. Pada tahap akhir, epidemiologi mempelajari hal-hal yang bukan

penyakit, misalnya fertilitas, menopause, kecelakaan, kenakalan remaja,

dan penyalahgunaan obat.

Perkembangan epidemiologi yang sedemikian pesat merupakan tantangan

yang sangat berat bagi tenaga kesehatan karena keadaan tersebut tidak dapat

diatasi hanya dengan perbaikan sanitasi dan perbaikan ekonomi, tetapi merupakan

masalah yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dan

berbagai instansi atau institusi.

Jangkauan epidemiologi kini telah sedemikan luasnya hingga mempelajari

semua hal yang menimpa masyarakat. Makin luasnya jangkauan tersebut antara

lain disebabkan hal-hal berikut :

10

Page 11: 2 Bab 1-4

1. Kemajuan teknologi yang sangat pesat pada beberapa dasawarsa

terakhir.

2. Kebutuhan dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan dan

kehidupan masyarakat menjadi semakin kompleks.

3. Metode epidemiologi yang digunakan untuk penyakit menular dapat

digunakan untuk penyakit non-infeksi dan non-penyakit.

4. Meningkatnya kebutuhan penelitian terhadap penyakit non-infeksi dan

non-penyakit.

5. Metode epidemiologi dapat digunakan untuk mempelajari asosiasi

sebab-akibat, misalnya : asosisasi antara rokok dengan karsinoma paru-

paru; asosiasi antara pelayanan kesehatan dengan status kesehatan

masyarakat.

2.1.5. Proses Terjadinya Penyakit Infeksi

Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi antara agent atau

faktor penyebab penyakit, manusia sebagai host, dan faktor lingkungan yang

mendukung. Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai Trias Penyebab Penyakit.

Proses interaksi ini disebabkan adanya agen penyebab penyakit kontak dengan

manusia sebagai pejamu yang rentan didukung oleh keadaan lingkungan. Proses

interaksi ini dapat terjadi secara individu atau kelompok, misalnya proses

terjadinya penyakit TBC karena adanya mycobacterium tuberculosa yang kontak

dengan manusia sebagai pejamu yang rentan, daya tahan tubuh yang rendah dan

perumahan yang tidak sehat sebagai faktor lingkungan yang menunjang. Proses

terjadinya penyakit sebenarnya telah dikenal sejak zaman Romawi yaitu pada

masa Galenus (205 – 130 SM) yang mengungkapkan bahwa penyakit dapat terjadi

karena adanya faktor predisposisi, faktor penyebab, dan faktor lingkungan.

2.1.5.1. Faktor Agen

Agen sebagai faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati

yang terdapat dalam jumlah yang berlebih atau kekurangan. Agen berupa unsur

hidup terdiri dari virus, bakteri, jamur, parasit, protozoa, dan metazoa. Sedangkan

agen berupa unsur mati dapat berupa fisika (sinar radioaktif), kimia (CO, Hg, Cd,

Ar, obat-obatan, pestidida), dan fisik (benturan dan tekanan).

11

Page 12: 2 Bab 1-4

2.1.5.2. Faktor Pejamu

Pejamu ialah keadaan manusia yang sedemikian rupa sehingga menjadi

faktor risiko untuk terjadinya penyakit. Faktor ini disebut faktor intrinsik. Faktor

pejamu dan agen dapat diumpamakan sebagai tanah dan benih. Tumbuhnya benih

tergantung keadaan tanah yang dianalogikan dengan timbulnya penyakit yang

tergantung keadaan pejamu. Faktor pejamu yang merupakan faktor risiko untuk

timbulnya penyakit adalah sebagai berikut :

1. Genetik, misalnya penyakit herediter seperti hemofilia, sickle cell

anemia, dan gangguan glukosa-6-fosfatase.

2. Umur. Usia lanjut mempunyai risiko untuk terkena karsinoma, penyakit

jantung, dll.

3. Jenis kelamin. Beberapa penyakit memiliki kecenderungan terjadi pada

wanita, misalnya : penyakit diabetes mellitus, sedangkan pada laki-laki

penyakit jantung dan hipertensi.

4. Keadaan fisiologi. Kehamilan dan persalinan memudahkan terjadinya

berbagai penyakit, seperti keracunan kehamilan, anemia, dan psikosis

pasca-partum.

5. Kekebalan. Orang-orang yang tidak mempunyai kekebalatn terhadap

suatu penyakit akan mudah terserang penyakit tersebut.

6. Penyakit yang diderita sebelumnya, misalnya : reumatoid artritis yang

mudah kambuh.

7. Sifat-sifat manusia. Faktor kebersihan perorangan yang jelek akan

mudah terserang penyakit infeksi, misalnya : balanitis, karsinoma penis

bagi orang yang tidak sirkumsisi.

2.1.5.3. Faktor Lingkungan

Lingkungan merupakan faktor ketiga sebagai penunjang terjadinya

penyakit. Faktor ini disebut faktor ekstrinsik. Faktor lingkungan dapat berupa

lingkungan fisik, lingkungan biologis, atau lingkungan sosial ekonomi.

1. Lingkungan fisik

Yang termasuk lingkungan fisik antara lain geografik dan

keadaan musim, misalnya negara yang beriklim tropis mempunyai pola

penyakit yang berbeda dengan negara yang beriklim dingin atau

12

Page 13: 2 Bab 1-4

subtropis. Demikian pula antara negara maju dengan negara

berkembang. Dalam satu negara pun dapat terjadi perbedaan pola

penyakit, misalnya antara daerah pantai dan daerah pegunungan atau

antara kota dan desa.

2. Lingkungan biologis

Lingkungan biologis ialah semua makhluk hidup yang berada di

sekitar manusia, yaitu flora dan fauna, termasuk manusia. Contohnya,

wilayah dengan flora yang berbeda akan mempunyai pola penyakit

yang berbeda. Faktor lingkungan biologis ini selain bakteri dan virus

patogen, ulah manusia juga mempunyai peran yang penting dalam

terjadinya penyakit, bahkan dapat dikatakan penyakit timbul karena

ulah manusia.

3. Lingkungan sosial ekonomi

Yang termasuk dalam faktor sosial ekonomi adalah pekerjaan,

urbanisasi, perkembangan ekonomi, dan bencana alam.

a. Pekerjaan. Pekerjaan yang berhubungan dengan zat kimia seperti

pestisida atau zat fisika seperti zat radioaktif atau zat yang bersifat

karsinogen seperti asbes akan memudahkan terkena penyakit akibat

pemaparan terhadap zat-zat tersebut.

b. Urbanisasi. Urbanisasi dapat menimbulkan berbagai masalah sosial

seperti kepadatan penduduk dan timbulnya daerah kumuh,

perumahan, pendidikan, dan sampah, dan tinja yang akan mencemari

air minum, dan lingkungan. Lingkungan demikian merupakan

penunjang terjadinya berbagai macam penyakit infeksi.

c. Perkembangan ekonomi. Peningkatan ekonomi rakyat akan

mengubah pola konsumsi yang cenderung memakan makanan yang

mengandung banyak kolesterol. Keadaan ini memudahkan timbulnya

penyakit hipertensi dan penyakit jantung sebagai akibat kadar

kolesterol darah yang meningkat. Sebaliknya, bila tingkat ekonomi

rakyat yang rendah akan timbul masalah perumahan yang tidak

sehat, kurang gizi, dan lain-lain yang memudahkan timbulnya

penyakit infeksi.

13

Page 14: 2 Bab 1-4

d. Bencana alam. Terjadinya bencana alam akan mengubah sistem

ekologi yang tidak dapat diramalkan sebelumnya, misalnya gempa

bumi, banjir, meletusnya gunung berapi, dan perang yang akan

menyebabkan kehidupan penduduk yang terkena bencana menjadi

tidak teratur. Keadaan ini memudahkan timbulnya berbagai penyakit

infeksi.

2.2 Kanker Serviks

Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari

metaplasia epitel di daerah skuamokolumner junction yaitu

daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis.

Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau

leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang

merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim

(uterus) dan liang senggama atau vagina. Kanker leher rahim

biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90%

dari kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi

serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir

pada saluran servikal yang menuju ke rahim (WHO, 2008).

Kanker serviks adalah hasil akhir perubahan progresif epitel

serviks, paling sering sekitar 90% terjadi pada sambungan

skuamokolumner atau sel skuamosa. Sel skuamosa dibagi lagi

menjadi tipe keratinisasi, non keratinisasi, dan tipe small cell

berdasarkan gambaran histologinya. Adenokarsinoma dan

karsinoma adenoskuamosa menempati bagian terbesar dari

kanker serviks (11%-16%), terutama pada wanita berusia di

bawah 35 tahun (Otto, 2003).

Ketidaknyamanan atau disfungsi kandung kemih atau

rektum dan fistula merupakan manifestasi lanjut kanker serviks.

Rasa sakit, seringkali satu sisi dan menjalas ke panggul dapat

terjadi pada kanker lanjut ketika ureter tersumbat sebagian atau

nervus sakralis terkena tumor. Anemia, anoreksia dan kehilangan

14

Page 15: 2 Bab 1-4

berat badan merupakan tanda-tanda penyakit keganasan lanjut.

(Benson, 2008) Gejala Klinis lainnya yaitu perdarahan abnormal

pada vagina, urgensi berkemih, disuria, dan hematuria (Otto,

2003).

Untuk menentukan stadium atau perkiraan kemungkinan

penyebaran penyakit keganasan serviks penting untuk

pengobatan dan prognosis. Data diperoleh dari pemeriksaan

klinis (inspeksi, palpasi, dan kolposkopi)., pemeriksaan radiologi

(paru, tulang, ginjal, kolon sigmoid, dan rektum), dan evaluasi

patologi dari biopsi dan bahan kuretase yang digunakan untuk

menentukan perkembangan penyakit dan rencana terapinya.

(Otto, 2003) International Classification of Cancer of the Cervix

merupakan salah satu klasifikasi yang paling umum digunakan

(Benson, 2008).

2.2.1 Penyebab

Penyebab utama timbulnya kanker serviks adalah infeksi

HPV risiko tinggi atau HPV onkogenik yaitu HPV yang

mengandung protein yang menyebabkan terjadinya kanker

(onkoprotein). Telah diidentifikasi sebanyak 20 tipe yang menjadi

penyebab kanker serviks, tetapi paling banyak (70%) kanker

serviks disebabkan tipe 16 dan 18 (Hartanti, 2010).

Virus Human Papilloma (HPV) adalah kelompok virus yang

terdiri dari 150 jenis virus yang dapat menginfeksi sel-sel pada

permukaan kulit. Ada 30-40 jenis HPV yang menyebabkan

penyakit kelamin. Bebebrapa jenis HPV yang menyebabkan

penyakit kelamin. Beberapa jenis HPV menyebabkan kutil pada

kelamin. Jenis lainnya menyebabkan kanker serviks. Jenis HPV

(16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, dan 69) yang

menyebabkan kanker disebut HPV “risiko tinggi” yang ditularkan

melalui hubungan seks. Sedangkan HPV yang tidak

menyebabkan penyakit kanker disebut HPV “risiko rendah”

15

Page 16: 2 Bab 1-4

ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui hubungan

seksual (kulit ke kulit) seperti vaginal, anal, ataupun oral

(Hartanti, 2010).

Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV

risiko rendah adalah satu asam amino saja. Asam amino tersebut

adalah aspartat pada HPV risiko tinggi dan glisin pada HPV risiko

rendah dan sedang. Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri

menyebabkan lebih dari 50% kanker leher rahim. Seseorang

yang sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki risiko kemungkinan

terkena kanker leher rahim sebesar 5%.

Dinyatakan pula bahwa tidak terdapat perbedaan

probabilitas terjadinya kanker serviks pada infeksi HPV-16 dan

infeksi HPV-18 baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan

(Bosch et al, 2002). Akan tetapi sifat onkogenik HPV-18 lebih

tinggi daripada HPV-16 yang dibuktikan pada sel kultur dimana

transformasi HPV-18 adalah 5 kali lebih besar dibandingkan

dengan HPV-16. Selain itu, didapatkan pula bahwa respon imun

pada HPV-18 dapat meningkatkan virulensi virus dimana

mekanismenya belum jelas. HPV-16 berhubungan dengan

skuamous cell carcinoma serviks sedangkan HPV-18

berhubungan dengan adenocarcinoma serviks. Prognosis dari

adenocarcinoma kanker serviks lebih buruk dibandingkan

squamous cell carcinoma. Peran infeksi HPV sebagai faktor risiko

mayor kanker serviks telah mendekati kesepakatan, tanpa

mengecilkan arti faktor risiko minor seperti umur, paritas,

aktivitas seksual dini/prilaku seksual, dan meroko, pil

kontrasepsi, genetik, infeksi virus lain dan beberapa infeksi

kronis lain pada serviks seperti klamidia trakomatis dan HSV-2

(Hacker, 2000).

Penelitian telah banyak dilakukan untuk menentukan

penyebab apa saja dari kanker serviks. Sejauh ini, Human

Papilloma Virus tipe 16 dan 18 diduga kuat sebagai etiologi

16

Page 17: 2 Bab 1-4

utama melalui mekanisme mutasi gen yang diakibatkannya.

Faktor risiko lain yang diketahui antara lain multiparitas,

berganti-ganti pasangan seksual, kemampuan imunitas tubuh,

usia pertama saat berhubungan seksual, pengaruh kontrasepsi

oral, rokok, riwayat sosial ekonomi, dan riwayat keganasan

kanker serviks pada keluarga (Greer B E et al, 2002).

2.2.2 Gejala Klinis

Etiologi pasti belum diketahui tetapi faktor risiko terjadinya

kanker serviks adalah memiliki banyak mitra seksual, koitus

pertama sangat dini (<20 tahun), menikah usia muda, hamil

pertama pada usia muda, paritas tinggi, status ekonomi rendah

dan merokok (Benson, 2008).

Tidak ada tanda-tanda atau gejala pada kanker serviks non

invasif. Namun, harus dilakukan pemeriksaan berkala seperti

penilaian sitologi dengan apusan Pap, kolposkopsi, dan biopsi

serta kecurigaan tinggi. Perdarahan bercak pasca koitus atau

leukorea yang bercampur darah sering merupakan awal kanker

serviks ulseratif. Karena itu metroragi merupakan tanda

keganasan serviks invasif yang paling sering (Benson, 2008).

Menurut Dalimartha (2004), gejala kanker serviks pada kondisi

pra-kanker ditandai dengan Fluor albus (keputihan) merupakan gejala

yang sering ditemukan getah yang keluar dari vagina ini makin lama

akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal

demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang

dialami segera setelah bersenggama (disebut sebagai perdarahan

kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 -80%). Pada tahap

awal, terjadinya kanker serviks tidak ada gejala-gejala khusus.

Biasanya timbul gejala berupa ketidak teraturannya siklus haid,

amenorhea, hipermenorhea, dan penyaluran sekret vagina yang sering

atau perdarahan intermenstrual, post koitus serta latihan berat.

Perdarahan yang khas terjadi pada penyakit ini yaitu darah yang keluar

berbentuk mukoid.

17

Page 18: 2 Bab 1-4

2.2.3 Metastasis

Kanker serviks merupakan kanker yang tumbuh secara

lambat yang menginvasi langsung jaringan yang berdekatan

dengan uterus, vagina, rektum, kandung kemih, dan jaringan

parametrium. Invasi limfatik juga terjadi baik regional maupun

yang lebih jauh. Kanker serviks jarang mengalami metastasis

secara hematologi walaupun demikian, dapat timbul juga di paru

atau hati (Otto, 2003). Metastasis ke nodus limfe regional

meningkat sesuai peningkatan stadium penyakit dari sekitar 15%

pada stadium I hingga paling sedikit 60% pada stadium IV. Nyeri

dan pembengkakan pada tungkai bawah terutama paha atas

dapat menunjukkan adanya sumbatan limfatik atau aliran darah

balik vena oleh karsinoma. Nyeri punggung dan penyebarannya

melalui pleksus lumbosakral menunjukkan infeksi kronis atau

keterlibatan neurologis karena perluasan kanker. Invasi ke

rektum melalui perluasan ke posterior dari serviks sepanjang

ligamentum uerosakrum, dan perkembangan ke anterior diikuti

invasi ke kandung kemih terjadi pada stadium III dan IV. Ureter di

samping serviks seringkali tersumbat. Hidroureter dan

hidronefrosis mengganggu fungsi ginjal. Hampir dua per tiga

pasien dengan karsinoma serviks meninggal karena uremia

ketika terjadi obstruksi ureter bilateral. Kematian karena

perdarahan terjadi sekitar 10%-20% kasus karsinoma serviks

dengan invasi luas. Fistula vagina pada saluran cerna dan kemih

sangat merugikan. Inkontinensia urin dan alvi merupakan

komplikasi utama terutama pada pasien yang lemah. Saluran

perivaskular, perineural dan saluran limfe mempermudah

penyebaran kanker. Metastasis ke hati sering terjadi, tetapi

penyebaran ke paru atau otak jarang (Benson 2008).

2.2.4 Jenis Histopatologis

18

Page 19: 2 Bab 1-4

Jenis skuamosa merupakan jenis yang paling sering

ditemukan, yaitu ± 90% merupakan karsinoma sel skuamosa

(KSS), adenokarsinoma 5% dan jenis lain sebanyak 5%.

Karsinoma skuamosa terlihat sebagai jalinan kelompok sel-sel

yang berasal dari skuamosa dengan pertandukan atau tidak, dan

kadang-kadang tumor itu sendiri berdiferensiasi buruk atau dari

sel-sel yang disebut small cell, berbentuk kumparan atau kecil

serta bulat seta mempunyai batas tumor stroma tidak jelas. Sel

ini berasal dari sel basal atau reserved cell. Sedang

adenokarsinoma terlihat sebagai sel-sel yang berasal dari epitel

torak endoserviks, atau dari kelenjar endoserviks yang

mengeluarkan mukus (Notodiharjo, 2002). Klasifikasi histologik

kanker serviks ada beberapa, di antaranya :

1. Skuamous carcinoma

a. Keratinizing

b. Large cell non keratinizing

c. Small cell non keratinizing

d. Verrucous

2. Adeno carcinoma

a. Endocervical

b. Endometroid (adenocanthoma)

c. Clear cell - paramesonephric

d. Clear cell - mesonephric

e. Serous

f. Intestinal

3. Mixed carcinoma

a. Adenosquamous

b. Mucoepidermoid

c. Glossy cell

d. Adenoid cystic

4. Undifferentiated carcinoma

5. Carcinoma tumor

19

Page 20: 2 Bab 1-4

6. Malignant melanoma

7. Maliganant non-epithelial tumors

a. Sarcoma : mixed mullerian, leiomysarcoma,

rhabdomyosarcoma

b. Lymphoma

2.2.5 Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit kanker serviks didahului dengan infeksi

HPV onkogenik,virus HPV menyebabkan sel prakanker

berkembang menjadi sel kanker. Biasanya diperlukan waktu

bertahun-tahun untuk kanker serviks atau kanker leher rahim

berkembang, tetapi prosesnya juga dapat terjadi dalam waktu

kurang dari 12 bulan. Sebagai bentuk sel-sel kanker, sel-sel

abnormal ukuran dan bentuknya muncul di permukaan leher

rahim dan mulai berkembang biak (Hartanti, 2010).

Displasia serviks atau kondisi pra-kanker adalah istilah yang

digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan awal sel-sel

abnormal pada leher rahim yang bisa berkembang menjadi

kanker. Displasia serviks biasanya merupakan tahap pertama

dari kanker serviks. Tetapi perempuan yang memiliki displasia

yang rendah dan ringan di leher rahimnya tidak selalu

berkembang menjadi kanker serviks, karena dapat hilang dan

lenyap dengan sendirinya tergantung sistem kekebalan tubuh.

Sebaliknya jika kondisi displasia tidak diketahui dan diberi

perawatan maka akan berkembang menjadi kanker serviks.

“Displastik” sel-sel seperti sel-sel kanker, tidak dianggap ganas

karena mereka tetap pada permukaan serviks dan tidak

menginvasi jaringan sel yang normal atau sehat (Hartanti, 2010).

Jika infeksi ini persisten maka akan terjadi integrasi genom

dari virus ke dalam genom sel manusia, menyebabkan hilangnya

kontrol normal dari pertumbuhan sel serta ekspresi onkoprotein

E6 atau E7 yang bertanggung jawab terhadap perubahan

20

Page 21: 2 Bab 1-4

maturasi dan differensiasi dari epitel serviks (Edianto, 2006).

Lokasi awal dari terjadinya karsinoma serviks biasanya pada atau

dekat dengan pertemuan epitel kolumner di endoserviks dengan

epitel skuamous di ektoserviks atau yang juga dikenal dengan

squamocolumnar junction.

Terjadinya karsinoma serviks yang invasif berlangsung

dalam beberapa tahap. Tahapan pertama dimulai dari lesi pre-

invasif, yang ditandai dengan adanya abnormalitas dari sel yang

biasa disebut dengan displasia. Displasia ditandai dengan

adanya anisositosis (sel dengan ukuran yang berbeda-beda),

poikilositosis (bentuk sel yang berbeda-beda), hiperkromatik sel,

dan adanya gambaran sel yang sedang bermitosis dalam jumlah

yang tidak biasa. Displasia ringan bila ditemukan hanya sedikit

sel-sel abnormal, sedangkan jika abnormalitas tersebut

mencapai setengah ketebalan sel, dinamakan displasia sedang.

Displasia berat terjadi bila abnormalitas sel pada seluruh

ketebalan sel, namun belum menembus membrana basalis.

Perubahan pada displasia ringan sampai sedang ini masih

bersifat reversibel dan sering disebut dengan Cervical

Intraepithelial Neoplasia (CIN) derajat 1-2. Displasia berat (CIN 3)

dapat berlanjut menjadi karsinoma in situ. (Greer B E et al, 2002)

Perubahan dari displasia ke karsinoma in situ sampai karsinoma

invasif berjalan lambat (10 sampai 15 tahun). Gejala pada CIN

umumnya asimptomatik, seringkali terdeteksi saat pemeriksaan

kolposkopi. Sedangkan pada tahap invasif, gejala yang dirasakan

lebih nyata seperti perdarahan intermenstrual dan post koitus,

discharge vagina purulen yang berlebihan berwarna kekuning-

kuningan terutama bila lesi nekrotik, berbau dan dapat

bercampur dengan darah, sistisis berulang, dan gejala akan lebih

parah pada stadium lanjut di mana penderita akan mengalami

cachexia, obstruksi gastrointestinal dan sistem renal (HT Ng et

al, 2002).

21

Page 22: 2 Bab 1-4

2.2.6 Prognosis

Prognosis ditentukan oleh saat dimulainya penyakit tersebut.

Harapan hidup 5 tahun bagi pasien dengan diagnosis karsinoma

in situ mendekati 100 %, dengan kanker terbatas secara lokal

88%, penyakit berkembang ke area regional 52%, dan metastasi

jauh 14% (Otto, 2003).

Semakin awal penegakkan diagnosis stadium kanker,

semakin baik prognosisnya. Kanker pre invasif biasanya

terdiagnosis pada wanita <30 tahun tetapi sebagian besar

pasien dengan karsinoma invasif terdiagnosis pada umur 40-50

tahun. Karena itu perlu waktu 5-10 tahun untuk karsinoma

menembus membran basalis dan menjadi invasif. Angka

kelangsungan hidup dilaporkan menurut stadium penyakit ketika

ditemukan sangat bervariasi. Gabungan angka kelangsungan

hidup 5 tahun di pusat-pusat kanker yang besar di seluruh dunia

dimana radioterapi merupakan metode pengobatan utama yaitu:

stadium I 86%-89%, stadium II 43%-70%. Stadium III 27%-43%,

stadium IV 0%-12% (Benson, 2008).

2.2.7 Epidemiologi Penyakit Kanker Serviks

Kanker serviks merupakan keganasan yang sering dijumpai pada wanita.

Kanker serviks menempati urutan ketiga didunia untuk jenis kanker yang sering

terjadi pada wanita setelah kanker payudara dan kanker endometrium. Kejadian

kanker serviks terhitung 10% dari semua jenis kanker. Pada negara berkembang,

kanker serviks menempati urutan kedua, dengan kejadian sebanyak 15% dari

semua jenis kanker. Pada tahun 2008, estimasi kasus kanker serviks di dunia

mencapai 529.800 kasus dan lebih dari 85% terjadi di negara berkembang. Risiko

tertinggi kanker serviks terdapat di Amerika Selatan, Afrika Timur dan Afrika

Selatan, dan India. Kejadian yang sangat tinggi pada negara berkembang

dikarenakan kurangnya pelayanan kesehatan dan sedikitnya tindakan deteksi dini

pada wanita.

22

Page 23: 2 Bab 1-4

Gambar 2.1 Peta penyebaran kanker serviks (Globocan, 2008).

Kanker serviks juga merupakan urutan keempat penyebab utama kematian

pada wanita dengan estimasi 275.100 kematian terjadi di dunia pada tahun 2008.

Lebih dari 90% kematian terjadi di negara berkembang (Bray F, et al, 2005).

Kejadian kenker serviks paling tinggi terjadi pada usia dekade 5-7. Kematian yang

terjadi akibat kanker serviks mencapai 73% pada usia diatas 50 tahun.

23

Page 24: 2 Bab 1-4

Gambar 2.2 Grafik kasus dan kematian kanker serviks pada tahun 2008 (Globocan, 2008).

Tabel 2.1 Jumlah kasus dan kematian kanker serviks pada tahun 2008 (dalam ribu) (Globocan,

2008).

Estimated numbers (thousands) Cases Deaths

 World 530 275

 More developed regions 76 32

24

Page 25: 2 Bab 1-4

 Less developed regions 453 242

 WHO Africa region (AFRO) 75 50

 WHO Americas region (PAHO) 80 36

 WHO East Mediterranean region (EMRO) 18 11

 WHO Europe region (EURO) 61 28

 WHO South-East Asia region (SEARO) 188 102

 WHO Western Pacific region (WPRO) 105 46

 IARC membership (22 countries) 193 96

 United States of America 11 3

 China 75 33

 India 134 72

 European Union (EU-27) 31 13

Untuk wilayah ASEAN, insidens kanker serviks di Singapore sebesar 25,0

pada ras Cina; 17,8 pada ras Melayu; dan Thailand sebesar 23,7 per 100.000

penduduk. Insidens dan angka kematian kanker serviks menurun selama beberapa

dekade terakhir di AS. Hal ini karena skrining Pap menjadi lebih populer dan lesi

serviks pre-invasif lebih sering dideteksi daripada kanker invasif. Diperkirakan

terdapat 3.700 kematian akibat kanker serviks pada 2006.

Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker mulut rahim

setiap tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium

patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah

penderita terbanyak di Indonesia, yaitu lebih kurang 36%. Dari data 17 rumah

sakit di Jakarta 1977, kanker serviks menduduki urutan pertama, yaitu 432 kasus

di antara 918 kanker pada perempuan.

Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks sebesar

76,2% di antara kanker ginekologi.Terbanyak pasien datang pada stadium lanjut,

yaitustadium IIB-IVB, sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium IIIB, yaitu

stadium dengan gangguan fungsi ginjal, sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga

kasus.2 Relative survival pada wanita dengan lesi pre-invasif hampir 100%.

Relative 1 dan 5 years survival masingmasing sebesar 88% dan 73%. Apabila

dideteksi pada stadium awal, kanker serviks invasif merupakan kanker yang

paling berhasil diterapi, dengan 5 YSR sebesar 92% untuk kanker lokal.

25

Page 26: 2 Bab 1-4

Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker serviks saat ini

menempati urutan pertama kanker yang diderita oleh kaum wanita Indonesia. Saat

ini ada 100 kasus per 100.000 penduduk atau 200.000 kasus setiap tahunnya

dengan usia antara 45-54 tahun dan menempati urutan teratas dari 10 kanker yang

banyak pada wanita dan sekitar 65% berada pada stadium lanjut.

Data yang dikumpulkan dari 13 laboratorium patologi anatomi di Indonesia

menunjukkan bahwa frekuensi kanker serviks tertinggi di antara kanker yang ada

di Indonesia maupun Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr.

Ciptomangunkusumo. Akumulasi penyebaran kanker serviks sendiri terdapat di

Jawa-Bali yakni 92,44%.

Untuk wilayah kota medan terdapat 62 kasus kanker seviks sepanjang tahun

2010. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari berbagai rumah sakit di

Sumatera Utara ditemukan bahwa di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

Medan dalam kurun waktu 1998-2002 dari 802 kasus kanker ginekologik dan 421

(52,5%) diantaranya adalah kanker leher rahim. Di Rumah Sakit St. Elisabeth

Medan selama kurun waktu 1998-2004 dari 1.672 kasus kanker ditemukan 195

kasus (11,66%) diantaranya didiagnosis sebagai kanker leher rahim (Zai Elwin,

2009). Dan data dari RSUD dr.Pirngadi Kota Medan pada tahun 2006, jumlah

penderita kanker serviks sebanyak 28, tahun 2007 sebanyak 32 orang,tahun 2008

sebanyak 35 orang, tahun 2009 sebanyak 25 orang, dan pada tahun 2010 sebanyak

40 orang. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa kasus kanker leher

rahim mengalami peningkatan setiap tahunnya (Universitas Sumatera Utara,

2012).

Untuk daerah dengan penderita kanker terbanyak di Indonesia adalah di

Yogyakarta. Di daeerah tersebut, tingkat prevalensi tumor mencapai 9,6 per 1000

orang. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari nilai rata-rata prevalensi nasional

yang sebesar 4,3 per 1.000 orang (Jerry, 2009).

Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah,

status sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana

dan prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam

menentukan prognosis dari penderita (Imam, 2009).

26

Page 27: 2 Bab 1-4

Saat ini telah diketahui di beberapa negara bahwa puncak insidensi lesi

prakanker serviks terjadi pada kelompok usia 30-39 tahun, sedangkan kejadian

kanker serviks terjadi pada usia di atas 60 tahun. Di Indonesia, telah dilakukan

penelitian pada tahun 2002 mengenai puncak insidensi kanker serviks yaitu pada

kelompok usia 45-55 tahun. Penelitian lain di RSCM (1997-1998) menunjukkan

insidens kanker serviks meningkat sejak usia 25-34 tahun dan puncaknya pada

usia 35-44 tahun, sementara di Indonesia pada usia 45-55 tahun.

Pada penelitian lain secara retrospektif yang dilakukan oleh Schellekens dan

Ranti di Rumah Sakit dr.Hasan Sadikin Bandung untuk periode Januari tahun

2000 sampai Juli 2001 dengan interval umur mulai 21 sampai 85 tahun (N=307),

didapatkan usia rata-rata dari pasien karsinoma serviks yaitu 32 tahun (Lestari,

2009).

Tingginya kasus kanker leher rahim disebabkan minimnya kesadaran untuk

melakukan deteksi dini, dikarenakan upaya promosi dan preventif dalam

pencegahan terhadap kasus kanker leher rahim masih kurang digalakkan oleh

pemerintah yang mengakibatkan masyarakat menjadi kurang informasi mengenai

bahaya kanker leher rahim dan berbagai upaya pencegahannya. Selain itu, rasa

keingintahuan masyarakat Indonesia juga dinilai masih rendah, khususnya ibu-

ibu. Ditambah lagi masih berkembangnya persepsi di setiap masyarakat kita

bahwa sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit hanya

sebagai tempat untuk berobat saja, itu artinya masyarakat hanya datang ke pusat

pelayanan kesehatan jika mereka sudah sakit. Akibatnya, sebagian besar kasus

yang ditemukan sudah masuk pada stadium lanjut dan menyebabkan kematian

karena kanker leher rahim tidak menunjukkan gejala (Universitas Sumatera Utara,

2012).

2.2.7.1 Faktor Risiko

Terdapat banyak faktor risiko dari penyakit kanker serviks. Beberapa faktor

tersebut yaitu:

1. Hubungan Seksual

27

Page 28: 2 Bab 1-4

Karsinoma serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan

secara seksual. Beberapa bukti menunjukkan adanya hubungan antara

riwayat hubungan seksual danrisiko penyakit ini. Sesuai dengan etiologi

infeksinya, wanita dengan partner seksual yang banyak dan wanita yang

memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko

terkena kanker serviks. Karena sel kolumnar serviks lebih peka

terhadap metaplasia selama usia dewasa maka wanita yang

berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena

kanker serviks lima kali lipat. Keduanya, baik usia saat pertama

berhubungan maupun jumlah partner seksual, adalah faktor risiko kuat

untuk terjadinya kanker serviks (Imam, 2009).

2. Karakteristik Partner

Sirkumsisi pernah dipertimbangkan menjadi faktor pelindung,

tetapi sekarang hanya dihubungkan dengan penurunan faktor risiko.

Studi kasus kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan kanker serviks

lebih sering menjalani seks aktif dengan partner yang melakukan seks

berulang kali. Selain itu, partner dari pria dengan kanker penis atau

partner dari pria yang istrinya meninggal terkena kanker serviks juga

akan meningkatkan risiko kanker serviks (Imam, 2009).

3. Riwayat Ginekologis

Walaupun usia menarke atau menopause tidak mempengaruhi

risiko kanker serviks, hamil di usia muda dan jumlah kehamilan atau

manajemen persalinan yang tidak tepat dapat pula meningkatkan risiko

(Imam, 2009).

4. Dietilstilbesterol (DES)

Hubungan antara clear cell adenocarcinoma serviksdan paparan

DES in utero telah dibuktikan. Agen Infeksius Mutagen pada umumnya

berasal dari agen-agen yang ditularkan melalui hubungan seksual

seperti Human Papilloma Virus (HPV) dan Herpes Simpleks Virus Tipe

2 (HSV 2) (Imam, 2009).

5. Human Papilloma Virus (HPV)

28

Page 29: 2 Bab 1-4

Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa Human

Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab neoplasia servikal.

Karsinogenesis pada kanker serviks sudah dimulai sejak seseorang

terinfeksi HPV yang merupakan faktor inisiator dari kanker serviks

yang menyebabkan terjadinya gangguan sel serviks. Ada bukti lain

yaitu onkogenitas virus papilom ahewan; hubungan infeksi HPV serviks

dengan kondiloma dan atipik koilositotik yang menunjukkan displasia

ringan atau sedang; serta deteksi antigen HPV dan DNA dengan lesi

servikal. HPV tipe 6 dan 11 berhubungan erat dengan diplasia jaringan

yang sering regresi. HPV tipe 16 dan 18 dihubungkan dengan diplasia

berat yang jarang regresi dan seringkali progresif menjadi karsinoma

insitu. Infeksi Human Papilloma Virus persisten dapat berkembang

menjadi neoplasia intraepitel serviks (NIS). Seorang wanita dengan

seksual aktif dapat terinfeksi oleh HPV risiko-tinggi dan 80% akan

menjadi transien dan tidak akan berkembang menjadi NIS. HPV akan

hilang dalam waktu 6-8 bulan. Dalam hal ini, respons antibodi terhadap

HPV risiko-tinggi yang berperan. Dua puluh persen sisanya

berkembang menjadi NID dan sebagian besar, yaitu 80%, virus

menghilang, kemudian lesi juga menghilang. Oleh karena itu, yang

berperan adalah cytotoxic T-cell. Sebanyak 20% dari yang terinfeksi

virus tidak menghilang dan terjadi infeksi yang persisten. NIS akan

bertahan atau NIS 1 akan berkembang menjadi NIS 3, dan pada

akhirnya sebagiannya lagi menjadi kanker invasif. HPV risiko rendah

tidak berkembang menjadi NIS 3 atau kanker invasif, tetapi menjadi

NIS 1 dan beberapa menjadi NIS 2. Infeksi HPV risiko-rendah

sendirian tidak pernah ditemukan pada NIS 3 atau karsinoma invasif.

Berdasarkan hasil program skrining berbasis populasidi Belanda,

interval antara NIS 1 dan kanker invasif diperkirakan 12,7 tahun dan

kalau dihitung dari infeksi HPV risiko-tinggi sampai terjadinya kanker

adalah 15 tahun. Waktu yang panjang ini, di samping terkait dengan

infeksi HPV risiko-tinggi persisten dan faktor imunologi (respons HPV-

specific T-cell, presentasi antigen), juga diperlukan untuk terjadinya

29

Page 30: 2 Bab 1-4

perubahan genom dari sel yang terinfeksi. Dalam hal, ini faktor

onkogen E6 dan E7dari HPV berperan dalam ketidakstabilan genetik

sehingga terjadi perubahan fenotipe ganas. Oncoprotein E6 dan E7 yang

berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi

keganasan. Oncoprotein E6 akan mengikat p53 sehingga TSG p53 akan

kehilangan fungsinya. Sementara itu, oncoprotein E7 akan mengikat

TSG Rb. Ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F yang merupakan

faktor transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol (Imam,

2009).

6. Virus Herpes Simpleks

Walaupun semua virus herpes simpleks tipe 2 (HPV-2) belum

didemonstrasikan pada sel tumor, teknik hibridisasi insitu telah

menunjukkan bahwa terdapat HSVRNA spesifik pada sampel jaringan

wanita dengan displasia serviks. DNA sekuens juga telah diidentifikasi

pada sel tumor dengan menggunakan DNA rekombinan Diperkirakan,

90% pasien dengan kanker serviks invasif dan lebih dari 60% pasien

dengan neoplasia intraepitelial serviks (CIN) mempunyai antibodi

terhadap virus (Imam, 2009).

7. Lain-lain

Infeksi trikomonas, sifilis, dan gonokokus ditemukan

berhubungan dengan kanker serviks. Namun, infeksi ini dipercaya

muncul akibat hubungan seksual dengan multipel partner dan tidak

dipertimbangkan sebagai faktor risiko kanker serviks secara langsung

(Imam, 2009).

8. Merokok

Saat ini terdapat data yang mendukung bahwa rokok sebagai

penyebab kanker serviks dan hubungan antara merokok dengan kanker

sel skuamosa pada serviks (bukan adenoskuamosa atau

adenokarsinoma). Mekanisme kerja bisa langsung (aktivitas mutasi

mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek

imunosupresif dari merokok. Bahan karsinogenik spesifik dari

tembakau dapat dijumpai dalam lendir dari mulut rahim pada wanita

30

Page 31: 2 Bab 1-4

perokok. Bahan karsinogenik ini dapat merusak DNA sel epitel

skuamosa dan bersama infeksi HPV dapat mencetuskan transformasi

keganasan (Imam, 2009).

9. Faktor risiko yang diperkirakan.

a. Kontrasepsi Oral

Risiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah menunjukkan

hubungan dengan kontrasepsi oral. Bagaimanapun, penemuan ini

hasilnya tidak selalu konsisten dan tidak semua studi dapat

membenarkan perkiraan risiko dengan mengontrol pengaruh

kegiatan seksual. Beberapa studi gagal dalam menunjukkan

beberapa hubungan dari salah satu studi, bahkan melaporkan

proteksi terhadap penyakit yang invasif. Hubungan yang terakhir

ini mungkin palsu dan menunjukkan deteksi adanya bias karena

peningkatan skrining terhadap pengguna kontrasepsi. Beberapa

studi lebih lanjut kemudi memerlukan konfirmasi atau menyangkal

observasi ini mengenai kontrasepsi oral.

b. Diet

Diet rendah karotenoid dan defisiensi asam folat juga dimasukkan

dalam faktor risiko kanker serviks.

c. Etnis dan Faktor Sosial

Wanita di kelas sosioekonomi yang paling rendah memiliki faktor

risiko lima kali lebih besar daripada wanita di kelas yang paling

tinggi. Hubungan ini mungkin dikacaukan oleh hubungan seksual

dan akses ke sistem pelayanan kesehatan. Amerika Serikat, ras

negro, hispanik, dan wanita Asia memiliki insiden kanker serviks

yang lebih tinggi daripada wanita ras kulit putih. Perbedaan ini

mungkin mencerminkan pengaruh sosioekonomi.

d. Pekerjaan

Sekarang ini, ketertarikan difokuskan pada pria yang pasangannya

menderita kanker serviks. Diperkirakan bahwa paparan bahan

31

Page 32: 2 Bab 1-4

tertentu dari suatu pekerjaan (debu, logam, bahan kimia, tar, atau

oli mesin) dapat menjadi faktor risiko kanker serviks.

Faktor risiko lain menurut American Cancer Society

karangan Marcovic tahun 2008 yaitu: (Hartanti, 2010)

a. Riwayat keluarga: terutama yang mempunyai ibu

atau saudara perempuan yang telah menderita

kanker serviks. Beberapa ilmuwan percaya bahwa

mereka membawa kondisi genetik sehingga

membuat lebih rentan terinfeksi HPV.

b. Usia: kanker ini lebih sering terjadi pada usia 40

tahun keatas dan sangat jarang terjadi pada wanita

kurang dari usia 15 tahun.

c. Diet yang tidak sehat: jenis asupan makanan sehari-

hari yang tidak sehat dapat meningkatkan risiko

terjadinya kanker serviks, begitu juga jika

kekurangan gizi, maka tubuh menjadi lemah dan

tidak dapat melawan viru.

d. Adanya sel abnormal: sel seperti diskaryosis

meningkatkan tingkat risiko kanker.

e. Sering hamil: melahirkan anak banyak dan sering

hamil juga dapat meningkatkan risiko kanker serviks

pada wanita.

f. Pil KB: penggunaan pil KB dapat meningkatkan risikio

terjadinya kanker serviks, terutama yang sudah

positif terhadap HPV. Fakta menunjukkan bahwa

penggunaan kontrasepsi oral (pil KB) sedikitnya 5

tahun ada hubungannya dengan peningkatan risiko

kanker serviks. Analisis data oleh International

Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun

2003 menemukan bahwa ada peningkatan kanker

serviks dengan penggunaan pil KB. Menurut hipotesis

Gustav et al (2009), kekentalan lendir pada serviks

32

Page 33: 2 Bab 1-4

akibat penggunaan pil KB menyokong terjadinya

kanker serviks, karena dengan kekentalan lendir ini

akan memperlama keberadaan suatu agen

karsinogenik (penyebab kanker) di serviks yang

terbawa melalui hubungan seksual termasuk adanya

HPV (Imam, 2009).

2.3 Pencegahan Kanker Serviks

Umumnya virus HPV tertular melalui kontak seksual. Kondom dapat

mencegah penyebaran berbagai penyakit seksual, tetapi tidak HPV. HPV

ditemukan pada semua jaringan genitalia dan kondom pada penis tidak dapat

mencegah transmisi HPV. Virus dapat tinggal dengan masa dorman pada serviks

selama sekitar 20 tahun sebelum ia menyebabkan perubahan pada sel, yang

biasanya ditemukan pada pemeriksaan rutin pap smear (Stoppler, 2013).

Kanker serviks dimulai dengan perubahan abnormal pada jaringan serviks.

Infeksi dengan human papillomavirus (HPV) adalah penyebab pada hampir semua

kasus kanker serviks. Faktor risiko lain yang dikenal untuk kanker serviks

meliputi kontak seksual dini, banyak pasangan seksual, merokok, infeksi HIV dan

sistem kekebalan tubuh yang lemah, dan menggunakan kontrasepsi oral (pil KB)

(Stoppler, 2013).

1. Karena HPV dapat ditularkan melalui hubungan seksual, kontak seksual

dini dan memiliki banyak pasangan seksual telah diidentifikasi sebagai

faktor risiko untuk perkembangan lesi serviks yang dapat berkembang

menjadi kanker. Cara ini cara paling sering untuk penularan kanker

serviks.

2. Merokok merupakan faktor risiko untuk perkembangan kanker serviks.

Bahan kimia dalam asap rokok berinteraksi dengan sel-sel leher rahim,

menyebabkan perubahan prakanker yang mungkin suatu saat akan

menjadi kanker.

3. Kontrasepsi oral dapat meningkatkan risiko untuk kanker serviks,

terutama pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral selama lebih

dari lima tahun.

33

Page 34: 2 Bab 1-4

4. Wanita yang sistem kekebalan tubuhnya lemah, seperti perempuan yang

terinfeksi HIV, juga berisiko lebih besar untuk kanker serviks (Stoppler,

2013).

Infeksi HPV sangat umum dan tidak menyebabkan kanker pada sebagian

besar kasus. Infeksi kelamin dengan HPV biasanya tidak menimbulkan gejala dan

sembuh dengan sendirinya, walaupun terkadang infeksi sebenarnya terus

berlanjut. Perubahan pra-kanker atau kanker serviks pada akhirnya hanya muncul

ketika ada infeksi persisten oleh salah satu jenis HPV yang terkait dengan kanker

serviks dan lainnya (Stoppler, 2013).

Kanker serviks dimulai pada sel-sel pada permukaan serviks. Seiring waktu,

kanker serviks dapat menyerang lebih dalam ke dalam serviks dan jaringan di

dekatnya. Sel-sel kanker serviks dapat menyebar dengan memecah dari tumor

serviks. Mereka dapat melakukan perjalanan melalui pembuluh getah bening ke

kelenjar getah bening di dekatnya. Juga, sel-sel kanker dapat menyebar melalui

pembuluh darah ke paru-paru, hati, atau tulang (Anonim, 2011).

2.3.1 Deteksi Dini Kanker Serviks

Karena deteksi dini memprediksi prognosis yang lebih baik, salah satu cara

yang paling efektif untuk mencegah dan mengendalikan kanker serviks adalah

skrining rutin dan diagnosis dini. Terlepas dari kenyataan bahwa lebih dari 80%

kasus kanker serviks di negara berkembang, hanya 5% dari wanita setiap satu

sampai tiga tahun, pernah diperiksa untuk kelainan serviks. (Duraisamy, 2011 cit.

WHO, 2006) Berikut merupakan berbagai jenis pemeriksaan sebagai bentuk

deteksi dini kanker serviks:

1. Papanicolaou Test (Pap Smear)

Bentuk yang paling umum dari diagnosis untuk mendeteksi

kanker serviks pada tahap awal adalah prosedur yang disebut tes Pap

Smear atau Papanicolaou. Tes ini tidak menimbulkan rasa sakit,

biasanya memakan waktu kurang dari 5 menit untuk menyelesaikan dan

dapat dilakukan di tempat praktik dokter. Wanita yang berusia 18 atau

lebih tua atau yang sudah aktif secara seksual disarankan untuk

menjalani tes Pap smear tahunan. Prosedur ini dilakukan dengan

seorang wanita berbaring telentang di atas meja. Dokter akan

34

Page 35: 2 Bab 1-4

memasukkan alat yang disebut spekulum dalam vaginanya sebelum

mengeluarkan beberapa sel dari leher rahim menggunakan kapas atau

sikat kecil. Sel-sel tersebut kemudian dikirim ke laboratorium dan akan

diamati di bawah mikroskop untuk menentukan apakah terdapat sel-sel

prakanker atau kanker. Jika hasil tes menunjukkan kelainan, pasien

akan diminta untuk kembali ke dokter sehingga tes tambahan dapat

dilakukan. Jika hasil tes negatif, perempuan dapat menjadwalkan janji

tahunan untuk melakukan tes Pap smear secara rutin.

Nilai dari tes Pap smear pada kanker serviks metode ini telah

menghasilkan penurunan angka kematian akibat kanker serviks

mendekati 60% pada wanita berusia 30 dan lebih tua. Namun,dari hasil

identifikasi beberapa keterbatasan Pap smear konvensional, sensitivitas

untuk mendeteksi tanda awal kanker serviks kurang dari 50%, transfer

yang tidak memadai memadai sel untuk slide, distribusi yang tidak

homogen dari sel-sel abnormal, adanya lapisan darah, peradangan atau

daerah yang tebal sehingga mengakibatkan sel-sel epitel menjadi

tumpang tindih. Terjadinya Pap smear yang palsu dan tidak

memuaskan telah mendorong pengembangan perangkat skrining LBC

dan otomatis.

2. Pemeriksaan Panggul

Pemeriksaan panggul juga merupakan metode yang penting untuk

mendeteksi kanker serviks. Pemeriksaan ini sangat mirip dengan Pap

smear. Seorang wanita dalam posisi berbaring sementara dokter

memasukkan spekulum ke dalam vagina. Dokter kemudian akan

memeriksa vagina dan organ sekitarnya baik secara visual dan manual.

Dia akan memasukkan jari bersarung dan lembut merasakan leher

rahim dan organ sekitarnya dengan jari-jarinya, sementara tangan

lainnya menekan lembut pada perut pasien.

3. Kolposkopi

Kolposkopi diperbesar pemeriksaan visual dari ektoserviks, SCJ

dan kanal endoserviks menggunakan alat khusus yang disebut

colposcope. Ini dapat disertai dengan biopsi dari setiap jaringan

35

Page 36: 2 Bab 1-4

abnormal yang tampak sangat mirip dengan Pap smear. Seorang wanita

akan berbaring telentang sementara dokter memasukkan spekulum ke

dalam vagina. Dia juga akan menerapkan anestesi lokal untuk leher

rahim serta cairan khusus yang akan mewarnai setiap sel abnormal

putih. Dokter kemudian dapat melihat sel-sel dengan menggunakan

mikroskop bertenaga tinggi untuk mendeteksi sel-sel kanker yang

abnormal. Hal ini digunakan bukan sebagai tes skrining, tetapi sebagai

tes diagnostik. Konisasi atau Cone Biopsi, kuretase Edocervical,

LLETZ/ LEEP dan prosedur pencitraan adalah teknik lebih lanjut yang

dapat diterapkan ketika mendiagnosis kanker serviks.

4. Liquid-Based Cytology (LBC)

Semua teknologi sitologi yang tersedia saat ini bergantung pada

analisis visual sel yang dikelupas dari serviks uterus. Peningkatan

skrining sitologi konvensional telah diusulkan oleh pengenalan penanda

berbasis molekuler diterapkan untuk sitologi berbasis cairan (LBC). Hal

ini dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan Pap smear dan

mewakili perubahan besar pada persiapan sampel skrining serviks.

Alih-alih sel yang diusapkan ke slide kaca, tetapi sel dicuci ke dalam

botol cair dan disaring dan sampel acak disajikan dalam lapisan tipis

pada slide kaca. Perubahan metilasi DNA terjadi pada awal

karsinogenesis dan identifikasi penanda metilasi DNA yang sesuai

dalam sampel tersebut harus dapat membedakan lesi squamous

intraepithelial (HSIL) tingkat tinggi dari perubahan sitologi spesifik dan

leher rahim yang normal. Sitologi berbasis cairan (LBC) sesuai dengan

sampling dimana sel-sel yang dimasukkan ke dalam suspensi dalam

cairan. Untuk dokter, sampel dibuat dengan cara yang sama seperti

yang dari smear konvensional dengan menggunakan sikat plastik, yang

dapat mengambil persimpangan squamo-kolumnar dan endoserviks,

atau dengan mengkombinasikan penggunaan spatula dan sikat

endoserviks. Yang diambil material kemudian segera dibilas dalam

botol, yang berisi fixative sehingga memungkinkan dikirim ke

laboratorium. Sebuah bagian dari sikat yang cukup besar dapat

36

Page 37: 2 Bab 1-4

dibiarkan dalam botol. Dokter tidak harus berurusan dengan spreading,

yang dilakukan di laboratorium. Saat ini, dua metode teknis, yang

menggunakan automatis, telah divalidasi oleh Food and Drug

Administration (FDA) dan sering digunakan.

Salah satunya adalah melanjutkan dengan filtrasi dan

mengumpulkan sel vakum yang dikemas pada membran dengan

mentransfer sel pada kaca (ThinPrep®, Cytyc®). Yang lainnya adalah

melanjutkan dengan sentrifugasi dan sedimentasi melalui kepadatan

gradien (SurePath®, Tripath Pencitraan®). Cytoscreen Sistem®

(SEROA®), Turbitec® (Labonord®), CellSlide® (Menarini®) dan

Papspin® (Shandon®) adalah teknik sentrifugasi dan teknik panduan

sedimentasi, yang tidak menggunakan mengotomatisasi dan tidak

memerlukan perjanjian FDA.

5. SurePath (AutoCytePREP atau CytoRich LBC)

Metode SurePath mensyaratkan bahwa perangkat koleksi

ditempatkan dalam botol koleksi proprietary SurePath, yang berisi

cairan transportasi, sehingga semua sel serviks yang dikumpulkan

dikirim ke laboratorium. Botol di-vortex dan disentrifugasi oleh

pegawai laboratorium, semua persiapan berikutnya dari sampel dan

slide otomatis menggunakan mesin Prepstain, yang memproses 48

sampel pada suatu waktu.

6. Cytoscreen

Cytoscreen adalah metode manual persiapan sampel

menggunakan sampel koleksi perangkat proprietary (CYTOPREP) dan

cairan transportasi (CYTeasy). Sampel vortexed dan pembacaan

fotometri diambil untuk memperkirakan cellularity sampel. Sebuah

alikuot sampel disentrifugasi ke slide kaca yang kemudian diwarnai

dengan menggunakan prosedur laboratorium normal.

7. Labonard Easy Prep

Labonard Easy Prep adalah metode manual persiapan sampel

yang menggunakan perangkat koleksi sampel proprietary (CYTOPREP

sikat) dan fiksatif (CYTOscreen). Cairan sampel aliquot ditempatkan

37

Page 38: 2 Bab 1-4

dalam ruang pemisahan melekat pada slide kaca yang berisi kertas

penyerap.

Sedimen sel serviks diletakan di atas slide dalam lapisan tipis dan

slide diberi warna menggunakan prosedur laboratorium umum.

8. ThinPrep

ThinPrep menyediakan metode persiapan sampel semi-otomatis

(T2000) atau otomatis (T3000). Sampel serviks dibilas dengan media

transportasi PreservCyt proprietary ke dalam botol, yang kemudian

diolah dengan metode ThinPrep menggunakan mesin T2000 atau

T3000. Proses slide untuk mesin T2000 dilakukan secara individual,

sementara mesin T3000 adalah perangkat otomatis yang dapat

memproses sampai dengan 80 spesimen per siklus. Pewarnaan

berikutnya dan evaluasi mikroskopis slide dilakukan dengan cara yang

mirip dengan pemeriksaan Pap smear konvensional.

Kualitas evaluasi kinerja teknologi ini sering buruk dan jarang

atas dasar hasil yang didefinisikan secara histologis menggunakan

desain studi acak. Secara umum, proporsi sampel tidak memuaskan

lebih rendah dibandingkan dengan di LBC sitologi konvensional dan

penafsiran LBC membutuhkan waktu yang relative lebih sebentar.

Biaya tes LBC individu jauh lebih tinggi, tapi pengujian molekuler

tambahan, seperti pengujian HPV risiko tinggi dalam kasus sel

skuamosa atipikal yang signifikansinya belum ditentukan (ASC-US),

dapat dilakukan pada sampel yang sama. Keuntungan ekonomi LBC

karena berkurangnya pengambilan kembali sampel baru. Keuntungan

dari LBC termasuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas sejak

fiksasi lebih baik dan rincian nuklir terjaga dengan baik. Selain itu tarif

yang lebih rendah untuk sampel serviks yang lebih memuaskan.

Keuntungan lain utama dari LBC adalah bahwa spesimen sisa dapat

digunakan untuk ancillarytesting seperti imunohistokimia dan deteksi

HPV DNA.

9. Automated Screening Technology

38

Page 39: 2 Bab 1-4

Efektivitas program skrining kanker serviks yang mengandalkan

sitologi serviks adalah kontrol kualitas dari tinjauan sitologi Pap smear.

Hal ini penting untuk mengurangi positif dan negatif yang salah yang

dihasilkan dari variasi inter-dan intra-pengamat. Teknik penyaringan

otomatis baru-baru ini telah dikembangkan yang tidak hanya dapat

melakukan ini kontrol kualitas skrining kembali tetapi juga dapat

digunakan untuk penyaringan utama pada hapusan serviks. Autopap300

(Tripath Imaging, Burlington NC) dan PAPNET (sistem Neuromedical)

adalah dua teknik penyaringan otomatis yang sebagian besar

bergantung pada jaringan saraf dan didasarkan pada pencitraan

terkomputerisasi dan identifikasi sel serviks yang abnormal. Diantara

ini hanya Autopap300 disetujui oleh USFDA untuk skrining serviks

primer dan sekunder sedangkan PAPNET ini hanya disetujui untuk

skrining sekunder.

10. HPV-DNA Testing

Peran etiopathological HPV dalam perkembangan kanker serviks

telah dibuktikan. HPV tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39 45, 51, 52, 56, 59 dan

68 yang diketahui sering dikaitkan dengan HSIL dan kanker invasif

serviks. Pemeriksaan untuk memeriksa adanya HPV-DNA dalam sel-sel

serviks sehingga metode skrining berpotensi berguna, yang dapat

dimasukkan dalam program skrining kanker serviks. Ada berbagai

teknik yang tersedia untuk tes HPV-DNA yang Southern Blot

hibridisasi dianggap sebagai standar laboratorium. Namun ini tidak

cocok untuk penggunaan klinis karena melelahkan, membosankan dan

membutuhkan jaringan yang segar. Spesimen untuk pengujian HPV-

DNA dapat diperoleh dengan dua cara, baik dengan menggunakan

suspensi sel dari sitologi berbasis cairan atau dengan menggunakan

Cytobrush endoserviks.

11. Visual Inspection of the Cervix with Acetic Acid (VIA)

Teknik ini sangat sederhana dan terdiri dari pemeriksaan leher

rahim setelah aplikasi asam asetat. Setelah mendapatkan catatan klinis

dan melakukan pemeriksaan umum, serviks dibuka menggunakan

39

Page 40: 2 Bab 1-4

spekulum. Asam asetat 4% kemudian diaplikasikan pada leher rahim

dan kelebihan cairan disedot dari forniks posterior vagina. Leher rahim

diperiksa setelah dua menit. Lesi yang memberi warna acetowhite

dianggap sebagai positif untuk VIA. Lesi dengan plak putih kusam dan

perbatasan samar dianggap kelas rendah VIA sementara mereka dengan

batas tajam dianggap kelas tinggi VIA. Tes ini dianggap sebagai negatif

jika tidak ada lesi acetowhite terdeteksi. Penelitian telah menunjukkan

bahwa VIA merupakan pemeriksaan yang akurat, sensitif dan biaya

yang efektif merupakan alternatif untuk pengujian Pap smear

konvensional, terutama dalam pengaturan sumber daya yang rendah.

VIA lebih baik daripada Pap smear untuk mengidentifikasi ini CIN-

terutama jika seorang wanita diuji hanya sekali dalam masa

hidupnya.VIA sederhana untuk dilakukan dan memberikan hasil

langsung tanpa peralatan mahal.

12. Visual Inspection with Lugol’s Iodine (VILI)

VILI juga merupakan metode visual untuk skrining kanker

serviks. Setelah serviks wanita diperiksa menggunakan VIA, serviks

dicat dengan larutan yodium lugol dan diperiksa lagi dengan mata

telanjang. Lesi kecil dengan tingkatan yang lebih tinggi lebih mudah

untuk dilihat dalam wilayah tingkat yang lebih rendah yang luas. Sel

epitel skuamosa normal memiliki penyimpanan untuk glikogen.

Glikogen akan memberi warna cokelat kemerahan dengan larutan

yodium. Daerah abnormal dari epitel skuamosa (CIN atau peradangan)

tidak mengandung glikogen pada tingkat yang sama dan tidak noda

coklat. VILI lebih akurat dan lebih dapat direproduksi dari VIA dan

lebih baik daripada Pap smear untuk mengidentifikasi CIN. VILI lebih

sederhana untuk dilakukan dan memberikan hasil langsung tanpa

peralatan mahal.

13. Speculoscopy

Speculoscopy melibatkan pemeriksaan leher rahim setelah

aplikasi asam asetat 5% dengan cahaya chemiluminescent dan sedikit

perbesaran.

40

Page 41: 2 Bab 1-4

14. Servikografi

Servikografi melibatkan mengambil foto serviks menggunakan

kamera khusus setelah aplikasi asam asetat 5% selama pemeriksaan

panggul rutin dan pada koleksi Pap smear. Foto-foto tersebut kemudian

dikembangkan dan slide diproyeksikan pada layar 2x2 meter dan dibaca

oleh seorang ahli kolposkopi.

15. Polar Probe

Teknologi ini didasarkan pada fakta bahwa impedansi jaringan

pada stimulasi listrik berbeda antara jaringan normal dan abnormal.

Ilmuwantelah mencoba untuk memanfaatkan rangsangan spektral dan

listrik dari jaringan serviks sebagai tambahan untuk pengujian Pap

smear konvensional.

16. Laser Induced Fluorescence

Berbagai peneliti telah menunjukkan bahwa pencahayaan laser

bertenaga rendah dapat menginduksi fluoresensi jaringan endogen. Hal

ini tergantung pada komposisi kimia dan morfologi jaringan individu.

Jika perbedaan spektroskopik terdeteksi maka dapat digunakan untuk

membedakan jaringan normal dan abnormal.

17. Computer Imaging

Diagnosis perubahan prakanker dapat dilakukan dengan

pemilahan informasi grafis. Baru-baru ini banyak pemeriksaan dengan

fokus pada penggunaan komputer untuk membantu proses pemeriksaan.

Ini sangat mirip dengan teknik cervicographic dengan komputer

menggantikan ahli kolposkopi. Namun banyak penelitian perlu

dilakukan untuk mengevaluasi teknologi ini sebelum dapat dimasukkan

ke dalam program skrining (Duraisamy, 2011).

2.3.2 Vaksin Human Papilloma Virus (HPV)

Vaksin HPV adalah vaksin yang memberi kekebalan tubuh terhadap virus

HPV yang menjadi penyebab dari sebagian besar kanker serviks. Vaksin HPV

terdiri dari HPV yang dilemahkan sehingga tidak akan menginfeksi tubuh ketika

vaksin diberikan. Kehadiran virus yang dilemahkan ke dalam tubuh membuat

tubuh secara alami membuat antibodinya sehingga ketika suatu hari orang tersebut

41

Page 42: 2 Bab 1-4

terinfeksi virus HPV dari luar maka didalam tubuhnya sudah ada antibodinya

sehingga virus tidak menganggu sistem imun orang yang teinfeksi.

Vaksin diberikan kepada para anak perempuan berusia 10-15 tahun,

perempuan usia 15-55 tahun, dan anak laki-laki usia 10-26 tahun. Untuk

perempuan, vaksin HPV tipe 16 dan 18 berpotensi mencegah lebih 70 persen

kanker serviks dan tipe 6 dan 11 untuk kutil kelamin. Vaksin HPV merupakan era

baru dalam pencegahan kanker serviks bagi remaja putri dan perempuan dewasa.

Vaksinasi yang dilengkapi dengan skrining akan mengurangi risiko kanker serviks

dibanding dengan skrining saja (Koran Jakarta, 2013).

Vaksinasi virus Human Papilloma (HPV) untuk mencegah kanker rahim

ternyata belum populer dilakukan di Indonesia. Padahal, vaksinasi ini berhasil

mencegah hingga 70 persen kanker rahim. Salah satu penyebabnya adalah

tingginya harga vaksinasi ini. Harga vaksinasi memerlukan biaya Rp600.000,00

hingga Rp1.200.000,00. Vaksin ini harus diberikan tiga kali, yakni pada bulan

nol, satu, dan lima. Penyebab lain kurang populernya vaksin ini karena masih baru

dan perlindungan patennya masih cukup lama (National Geographic Indonesia,

2012).

2.3.2.1 Mekanisme Kerja Vaksin HPV

Vaksin mengandung antigen spesifik yang dapat meningkatkan respon imun

tubuh dengan cara menstimulasi fungsi sel memori. Sel-sel leukosit memegang

peranan penting dalam melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme ataupun

terhadap keberadaan sel yang abnormal, terutama limfosit. Sekelompok sel

limfosit yang berperan dalam respon imun spesifik ini adalah sel B dan sel T-

sitotoksik. Sel B memproduksi antibodi, yang dapat mengenali dan mencegah

terjadinya infeksi. Sel T sitotoksik yang juga dikenal killer T cells, akan

melisiskan sel yang terinfeksi dengan cara menginduksi apoptosis. Vaksin kanker

bekerja dengan cara mengaktifasi sel B dan sel T sitotoksik dan mensensitisasi sel

kanker. Pada umumnya sel kanker mengandung self antigens dan non-self

antigens atau cancer-associated antigens. Keberadaan cancer-associated antigens

tersebut dapat memicu sel B dan sel T-sitotoksik untuk bekerja menghancurkan

sel-sel kanker. Vaksin kanker merupakan sediaan farmasi yang termasuk dalam

senyawa biological response modifiers, yang bekerja untuk menstimulasi respon

42

Page 43: 2 Bab 1-4

imun sehingga mampu mencegah terjadinya penyakit kanker. Terdapat dua jenis

vaksin kanker yaitu cancer prophylactic vaccines, yang digunakan untuk

mencegah terjadinya kanker dan cancer therapeutic vaccines, yang digunakan

untuk mengobati penyakit kanker dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap

kanker (Maksum, 2009).

Vaksin HPV merupakan hasil pengembangan virus-like particles (VLPs).

DNA rekombinan digunakan untuk menghasilkan VLPs yang mampu menyerupai

virus asli dan memunculkan antibodi untuk mengeliminasi virus. VLP merupakan

substansi bersifat imunogenik yang dapat menginduksi antibodi untuk

menetralisasi L1 dengan konsentrasi tinggi, serta memiliki kemampuan untuk

mengaktifkan sistem imun bawaan. (Mariani et al, 2010; Stanley, 2010) VLP juga

menstimulasi respon imun poliklonal (Mariani et al, 2010). HPV berikatan dengan

reseptornya yang terdapat di membran basal sebelum memasuki keratosit. Vaksin

HPV dapat menginduksi terbentuknya Virus Neutralising Antibodies yang mampu

berikatan dengan reseptor HPV atau berikatan dengan kapsid untuk mencegah

viral entry (Stanley, 2008).

Infeksi HPV pada umumnya terjadi pada intraepitel. Antigen viral kemudian

masuk ke saluran limfatik dan lymphnodes yang merupakan tempat inisiasi respon

imun, Vaksin VLP diberikan melalui injeksi intra muskuler akan masuk ke

sirkulasi darah dan saluran limfe yang kemudian akan mengaktifkan sel T helper.

VLP yang berikatan dengan Antigen Presenting Cells (APC) maupun sel-sel

imunokompeten lainnya akan merangsang kaskade dan sel B yang terdapat pada

folikel sehingga terjadi proteksi oleh sistem imun (Stanley, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Adeodata (2010), menunjukkan bahwa

serum IgG dapat bersifat melindungi terhadap infeksi HPV dan kadar IgG yang

tinggi dalam darah disebabkan oleh adanya vaksin L1 HPV yang telah diberikan

sebelumnya. Pada prinsipnya IgG pada cairan yang keluar dari mulut rahim

bersifat melindungi terhadap infeksi HPV dan hal ini diperantarai oleh serum IgG

yang biasa melakukan transudasi pada epitel mulut rahim terutama pada daerah

squamo-columnar junction dan dalam konsentrasi tinggi mengikat partikel virus

yang akhirnya mencegah infeksi. Kadar sistemik dari IgG secara substansial lebih

tinggi dibandingkan pada cairan mulut rahim, sehingga biasanya menimbulkan

43

Page 44: 2 Bab 1-4

kekebalan sistemik terhadap infeksi virus HPV pada lokasi lain seperti kulit dan

selaput lendir permukaan epitel lainnya. Kadar antibodi menurun setelah

mencapai puncaknya setelah imunisasi dan kemudian menetap, tetapi masih lebih

tinggi dibandingkan dengan respon kekebalan tubuh yang timbul pada infeksi

alami HPV dan kadar tersebut menetap pada 48 bulan setelah vaksinasi. Infeksi

HPV dapat berulang setelah beberapa tahun dan risiko mendapat infeksi baru

sangat bergantung ada perilaku seksual dari individu tersebut. Kadar antibodi

kapsid pada infeksi alami HPV biasanya stabil pada beberapa tahun dan apabila

diikuti, sebesar 50% dari wanita akan menghasilkan seropositif pada 10 tahun

setelah ditemukannya infeksi virus HPV pada daerah cervico vaginal.

2.3.2.2 Jenis Vaksin HPV

1. Gardasil®

Gardasil® merupakan salah satu vaksin HPV yang dibuat dibuat

oleh Merck Sharp & Dohme. Ada 4 tipe HPV yang dilawan oleh

Gardasil, yakni tipe 6, 11, 16, dan 18. Indikasi Gardasil adalah

mencegah high-grade cervical dysplasia (CIN 2/3), karsinoma serviks,

high-grade vulvar dysplastic lesions (VIN 2/3), dan kutil kelamin

eksternal (condyloma acuminata) yang disebabkan oleh HPV tipe 6, 11,

16 dan 18 (Anonim, 2011).

Gardasil® adalah vaksin quadrivalent yang melindungi tubuh dari

Human Papilloma Virus (HPV). Gardasil® merupakan cairan steril

yang dibuat dari seperti partikel virus yang sangat murni atau highly

purified virus like particles (VLPs). Cairan ini merupakan rekombinan

dari protein kapsid utama (L1) dari HPV tipe 6, 11, 16, dan 18. Protein

L1 dihasilkan dengan fermentasi terpisah dalam rekombinan dari

Saccharomyces cerevisiae (ragi) (Anonim, 2011).

Gardasil® adalah preparat steril untuk pemberian secara

intramuskular. Tiap dosis 0,5 ml mengandung kurang lebih 20 mcg

protein L1 HPV 6, 40 mcg protein L1 HPV 11, 40 mcg protein L1 HPV

16, dan 20 mcg protein L1 HPV 18 (Anonim, 2011).

Gardasil® dijual dalam kemasan yang berisi tiga buah tabung

masing 0,5 ml. satu tabung digunakan untuk satu kali vaksin pada

44

Page 45: 2 Bab 1-4

periode tertentu. Pada kotak kemasan Gardasil juga disediakan syringe.

Untuk vaksinasi, dibutuhkan tiga kali penyuntikan, yaitu pada saat:

a. Dosis penyuntikkan pertama kali

b. Dua bulan setelah dosis pertama diberikan

c. Enam bulan setelah dosis pertama diberikan (Akhmad, 2011).

Harga vaksin Gardasil di pasaran beragam dengan rentang harga

antara Rp2.000.000,00 hingga Rp3.000.000,00 untuk tiga kali suntik

atau satu rangkaian vaksinasi (Anonim, 2011).

2. Cervarix®

Cervarix® (Human Papillomavirus Bivalent Vaccine) yang

digunakan untuk HPV tipe 16 dan 18 adalah vaksin rekombinan yang

tidak menginfeksi. Cervarix® dibuat dari partikel mirip virus yang

sangat murni atau highly purified virus-like particles (VLPs) dari

protein kapsid utama L1 dari HPV tipe 16 dan 18 yang dibantu oleh

sistem pembantu dari AS04. Cervarix ini mengandung 3-O-desacyl-4’

monophosphoryl lipid A (MPL), aluminum hidroksida, natrium klorida,

dan natrium dihidrogen fosfat dehidrat (Anonim, 2009).

Cervarix® diindikasikan untuk pencegahan penyakit-penyakit

yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) tipe 16 dan 18,

yaitu:

a. Kanker serviks

b. Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) grade 2 atau yang lebih

buruk dan adenocarcinoma in situ

c. Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) grade 1. (Akhmad, 2011)

Vaksinasi dengan Cervarix terdiri dari tiga dosis masing-masing

sebanyak 0.5 ml, dengan penyuntikkan intramuskular. Penyuntikan

dilakukan pada saat penyuntikan pertama, satu bulan setelah

penyuntikan pertama, dan yang terakhir enam bulan setelah

penyuntikan yang pertama. Penyuntikan pada regio deltoid pada lengan

atas (Akhmad, 2011).

Harga vaksin Cervarix® lebih murah jika dibandingkan dengan

Gardasil®. Cervarix® di pasaran dijual dengan rentang harga antara

45

Page 46: 2 Bab 1-4

Rp1.500.000,00 hingga Rp1.900.000,00 untuk tiga kali suntik atau satu

rangkaian vaksinasi (Anonim, 2009).

2.3.2.3 Penyebaran Vaksin HPV di Indonesia

Kanker menjadi pembunuh utama perempuan di Indonesia, terutama kanker

leher rahim dan kanker payudara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat,

terdapat 490.000 perempuan terkena kanker leher rahim tiap tahun, dan 240.000

di antaranya meninggal dunia. Sementara itu, sebanyak 80 persen kasus terjadi di

negara berkembang (National Geographic Indonesia, 2012).

Di Indonesia, ada 15.000 kasus baru tiap tahun dan 8.000 diantaranya

meninggal. 70 persen penderita kanker serviks datang dalam stadium lanjut

sehingga tingkat kesintasan (survival rate) rendah dan biaya perawatan mahal

(National Geographic Indonesia, 2012).

Sekitar 70 persen kanker serviks disebabkan virus HPV tipe 16 dan tipe 18.

HPV sendiri ditularkan lewat hubungan seksual. Untuk itu, perempuan perlu rutin

melakukan deteksi dini dan pap smear di fasilitas pelayanan kesehatan. Sebab,

kemunculan infeksi dan kanker biasanya terjadi pada rentang durasi agak panjang,

yakni 3 hingga 14 tahun (National Geographic Indonesia, 2012).

46

Page 47: 2 Bab 1-4

BAB 3

PEMBAHASAN

Kanker serviks adalah pertumbuhan abnormal dari sel-sel pada leher rahim

(serviks), yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) yang bersifat

onkogenik (penyebab kanker). Di Indonesia, kanker serviks merupakan jenis

kanker yang paling sering dijumpai pada wanita. Setiap hari diperkirakan 20

orang wanita Indonesia meninggal karena kanker serviks.Setiap tahun 200.000

orang Indonesia yang didiagnosis dengan kanker, 20% dari mereka (40.000 orang)

divonis menderita kanker serviks. Penyakit ini terutama tersebar luas di

masyarakat tradisional di daerah pedesaan, di mana beberapa faktor risiko

berkontribusi terhadap peluang peningkatan kanker serviks.

Sayangnya, banyak masyarakat khususnya perempuan yang belum

mengenal penyebab kanker serviks. Padahal kanker serviks

telahmenjadi pembunuh nomor satu yang mengintai perempuan. Menurut

Badan Kesehatan Dunia (WHO), 630 juta perempuan terjangkit penyakit ini. Di

mana Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah kasus kanker serviks

tertinggi di dunia. Setiap harinya kanker ini merenggut 600 nyawa wanita di

dunia.

Menurut dr Ayu Muhajiroh dari yayasan Kanker Indonesia (YKI)

Wonosobo, kanker saat ini merupakan salah satu penyebab kematian utama di

Indonesia. Jumlah penderita kanker di Indonesia dari tahun-ketahun kian

meningkat, pada tahun 2011 penderita kanker mencapai 1 per-1000 penduduk,

sedangkan tahun 2012 meningkat menjadi 4,3 per-1000 penduduk.

Dua per tiga dari penderita kanker di dunia berada di negara-negara yang

sedang berkembang termasuk Indonesia. Data Kementerian Kesehatan Republik

Indonesiamenunjukkanjumlah penderita kanker di Indonesia mencapai 6% dari

populasi.

47

Page 48: 2 Bab 1-4

Pakar penanganan kanker, dr. Dimyati, mengatakan, survei jumlah penderita

kanker yang dilakukan WHO terhadap negara berkembang juga menunjukkan,

bahwa penyebab kematian akibat kanker yang paling besar dialami oleh

perempuan yaitu kanker serviks dan payudara. Sementara kaum perempuan

sendiri mendominasi penderita kanker di Indonesia.

Menurut dr. Laila Nuranna, seorang Obstetrik-ginekologik, konsultan

onkologi ginekologi yang merupakan salah satu pengajar di Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia menyatakan, “hal ini disebabkan mayoritas penderita datang

untuk berobat ketika keadaan kesehatannya telah kritis atau ketika penyakitnya

sudah stadium lanjut”. Kurangnya  pengetahuan tentang kanker serviks

mengakibatkan kesadaran masyarakat untuk deteksi dini pun masih rendah,

sehingga cenderung terlambat memeriksakan diri. Padahal keberhasilan

pengobatan kanker serviks besar jika diketahui pada stadium dini.

Sampai saat ini 99.7% penyebab kanker serviks yaitu Human Papilloma

Virus (HPV). “Bak musuh dalam selimut”, infeksi HPV tidak menimbulkan

gejala, sehingga banyak orang tidak menyadari bahwa dirinya sudah terinfeksi

bahkan sudah menularkannya kepada orang lain. Pada stadium awal (prekanker)

tidak ada gejala yang jelas, setelah berkembang menjadi kanker timbul gejala-

gejala keputihan yang tidak kunjung sembuh meskipun sudah diobati, keputihan

yang keruh dan berbau busuk, perdarahan setelah berhubungan seks, perdarahan

di luar siklus haid dan lain-lain. Pada stadium lanjut dimana sudah terjadi

penyebaran ke organ-organ sekitar mungkin terdapat keluhan nyeri daerah

panggul, sulit membuang air kemih dan bahkan juga mengeluarkan darah.

Dapat dilihat bahwa kesadaran masyarakat akan bahay kanker serviks masih

kurang, hal ini dapat disebabkan karena kurangnya informasi tentang kanker

serviks dan kurangnya sosialisasi pencegahan kanker serviks. Oleh karena itu,

diperlukannya informasi yang cukup bagi masyarakat agar dapat mencegah

kanker serviks dan menurunkan angkata kematian akibat kanker serviks.

Pertama-tama, sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dokter dan

wanita. Ini adalah titik awal untuk deteksi dini dan untuk saran lebih lanjut terkait

dengan risiko gaya hidup. Sementara itu, kerjasama ini telah diperluas untuk

semua Rumah Sakit Universitas di Indonesia.

48

Page 49: 2 Bab 1-4

Di negara-negara maju jumlah penderita kanker mulut rahim tidaklah

sebanyak di negara berkembang. Hal ini disebabkan tingginya kesadaran

masyarakat untuk mengikuti program pendeteksian dini dan pencegahan.

Biasanya penderita kanker datang berobat ketika telah ada gejala-gejala dan ini

berarti kanker sudah mulai menyebar sehingga penanganannya akan lebih sulit

(Menczer, 2003).

Pencegahan dan deteksi dini terhadap kanker mulut rahim dilakukan dengan

melakukan pemeriksaan pap smear. Pap smear adalah tes kesehatan untuk

memeriksa sel-sel di sekitar mulut rahim. Pemeriksaan pap smear sebaiknya

dilakukan setahun sekali oleh wanita yang telah melakukan hubungan intim.

Cara lain adalah melakukan vaksinasi terhadap virus HPV. Vaksinasi

merupakan metode deteksi dini sebagai upaya pencegahan kanker serviks.

Langkah ini dapat membantu memberikan perlindungan terhadap beberapa tipe

HPV yang dapat menyebabkan masalah dan komplikasi seperti kanker serviks dan

genital warts. Vaksin ini sebaiknya diberikan pada perempuan muda sedini

mungkin, karena kondisi imun tubuh serta pertumbuhan dan reproduksi sel di area

serviks masih sangat baik (Lethinen, Diller, 2002).

Secara umum, pencegahan kanker serviks dapat dibagi menjadi tiga area

yaitu primer, sekunder, dan tersier (Peto, et al, 2004).

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer bertujuan menurunkan angka kejadian suatu

penyakit dan seluruh populasi adalah targetnya. Untuk kanker serviks,

pencegahan primer dapat dilakukan melalui perubahan pola diet,

melaksanakan pola hidup sehat, penggunaan vaksin HPV dan reduksi

faktor-faktor risiko.

Cara untuk menurunkan risiko adalah dengan setia pada satu

pasangan atau tidak memiliki banyak partner hubungan seksual, serta

menunda aktivitas seksual sampai usia 20 tahun. Selain itu, faktor

nutrisi juga dapat mengatasi masalah kanker mulut rahim. Penelitian

mendapatkan hubungan yang terbalik antara konsumsi sayuran

berwarna hijau tua dan kuning yang banyak mengandung betha karoten

atau vitamin A, vitamin C dan vitamin E, dengan kejadian neoplasia

49

Page 50: 2 Bab 1-4

intra epithelial, termasuk kanker serviks. Artinya semakin banyak

makan sayuran berwarna hijau tua dan kuning, maka akan semakin

kecil risiko terkena penyakit kanker serviks.

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder meliputi deteksi dini atau penapisan yang

bertujuan menurunkan kejadian penyakit dengan menemukan penyakit

sebelum menimbulkan gejala dan memulai pengobatan sedini mungkin.

Pencegahan sekunder dilakukan dengan berdasarkan pada risiko

pasiennya yaitu pasien dengan risiko sedang dan tinggi.

Pada kanker serviks pencegahannya dapat dilakukan melalui tes

Pap (pap smear), deteksi adanya virus papiloma manusia dan teknik

baru yang dapat meningkatkan kemampuan tes Pap dan deteksi virus

papiloma manusia.

Proses dari sel normal menjadi kanker membutuhkan waktu yang

cukup lama. Tes Pap dilakukan setelah usia 25 tahun atau setelah aktif

berhubungan seksual sebagai usaha pencegahan. Pada pasien dengan

risiko sedang, sangat dianjurkan untuk melakukan tes Pap hingga

mendapatkan hasil tes Pap yang negatif sebanyak 3 kali berturut-turut

dengan selisih waktu antar pemeriksaan 1 tahun.

Pasien atau partner hubungan seksual dengan level aktivitas yang

tidak diketahui, dianjurkan untuk melakukan tes Pap tiap tahun.  Pada

pasien dengan risiko tinggi yakni bagi yang memulai hubungan seksual

di bawah usia 20 tahun dan wanita yang mempunyai banyak partner

hubungan seksual seharusnya melakukan tes Pap setiap tahun dan setiap

6 bulan sekali terutama untuk pasien dengan risiko khusus, seperti

mereka yang mempunyai riwayat penyakit seksual berulang.

50

Page 51: 2 Bab 1-4

Gambar 3.1 Tes Pap Smear

3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier ditujukan kepada penderita yang sudah

menunjukkan adanya penyakit atau gejala penyakit. Tujuannya adalah

menurunkan kekambuhan atau menemukan kekambuhan seawal

mungkin. Pencegahan tersier meliputi pelayanan di rumah sakit seperti

diagnosis dan pengobatan, serta pelayanan paliatif untuk meningkatkan

kualitas hidup pasien. Tindakannya dapat berupa tindakan psikologis,

fisik, spiritual. Semakin dini kanker mulut rahim terdeteksi maka

semakin mudah penangannya dan semakin besar harapan hidup yang

dimiliki.

Masyarakat dapat ikut berperan menekan kasus kanker serviks dengan

memulai dari diri sendiri dan hal atau kebiasaan yang sederhana. Kebiasaan

sederhana tersebut dapat berupa pola hidup sehat dengan mengonsumsi makanan

yang bergizi seimbang atau nutrisi yang cukup, terutama sayuran yang

mengandung beta karoten (vitamin A), vitamin C dan vitamin E. Selain itu,

sanitasi lingkungan dan kebersihan tubuh juga harus senantiasa diperhatikan,

salah satunya dengan menghindari pembersihan bagian genital dengan air yang

kotor. Program KB juga dapat mendukung penekanan kasus kanker serviks

dengan menghindari berhubungan intim saat usia dini.

51

Page 52: 2 Bab 1-4

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Kesadaran masyarakat akan kanker serviks dan pencegahannya sejak dini

masih tergolong rendah.

2. Beberapa acara deteksi dini kanker serviks antara lain pap smear,

pemeriksaan panggul, kolposkopi, liquid based cytology, sure path,

cytoscreen, labornard easy prep, thinprep, automated screening

technology, HPV-DNA testing, VIA, VILI, speculoscopy, servikografi,

polar probe, laser induced fluorescence dan computer imaging.

3. Membiasakan masyarakat dengan pola hidup sehat, mengonsumsi

makanan yang bergizi seimbang atau nutrisi yang cukup, sanitasi

lingkungan, menghindari pembersihan bagian genital dengan air yang

kotor untuk peningkatan kasus kanker serviks.

4. Program KB dari pemerintah juga dapat mendukung penekanan kasus

kanker serviks dengan menghindari berhubungan intim saat usia dini.

4.2 Saran

Masih diperlukan sosialisasi lebih lanjut serta dukungan program

pemerintahterhadap pencegahan dini kanker serviks.

52

Page 53: 2 Bab 1-4

DAFTAR PUSTAKA

Adeodata, LW 2010, Gambaran Pengetahuan Mahasiswa Sarjana Kedokteran Universitas Sumatera Utara Mengenai Vaksin HPV. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. pp. 16-17.

Akhmad, S 2011, Infeksi Human Papillomavirus Dan Cara Pencegahannya. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma. p. 2.

Anonim 2011, What You Need to know About Cervical Cancer. National Cancer Institute Publications. Diakses pada 12 April 2013, tersedia dari http://www.cancer.gov/cancertopics/wyntk/cervix/cervix.pdf.

Anonim 2011. GARDASIL® [Quadrivalent Human Papillomavirus (Types 6, 11, 16, 18) Recombinant Vaccine] Suspension for injectionActive Immunizing Agent. Canada: Merck Canada Inc. pp: 3, 21.

Anonim 2009, CERVARIX Human Papillomavirus Bivalent (Types 16 and 18) Vaccine, Recombinant Vaccines and Related Biological Products Advisory Committee (VRBPAC). p.14

Anonim 2011, CERVARIX [Human Papillomavirus Bivalent (Types 16 and 18) Vaccine, Recombinant]. Belgia: GlaxoSmithKline Biologicals. pp. 22, 27.

Benson, Ralph C, Martin L. 2008. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC. Pp. 533-539.

Bosch, et.al., 2001. Gangguan Sistem Reproduksi Perempuan. In: Hartanto, H., et al, eds. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1294-1296Dalimartha, S, 2004. Deteksi Dini Kanker dan Diplasia Anti Kanker. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.

Bray F, Loos AH, McCarron P, et al. 2005. Trends in cervical squamous cell carcinoma incidence in 13 European countries: changing risk and the effects of screening. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 14(3):677-686.

53

Page 54: 2 Bab 1-4

Budiarto, Eko.2003. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Bustan MN. 2002. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta

Canavan TP, Doshi NR. Cervical cancer. Am Fam Physician. 2000

Carr, Katherine Camacho, Sellor, John W. 2004. Cervikal Cancer Screening in Low Resource Setting: Using Visual Inspection With Acetic Acid. J Midwifery Womens Health 49(4):329-337. Available from http://www.medscape.com/viewarticle/484034. [Accessed 20 April 2013].

Edianto Deri. 2006. Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. In: Aziz M Farid, Adrijojo, Saifuddin Abdul Bari, editors. Kanker Sserviks. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2006. p. 442-455.

Edianto, Deri. 2006. Kanker Serviks, Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Jakarta : 442-54

Epidemiology of Cervical Cancer. Available from: http://www.phac-aspc.gc.ca/publicat/ccsic-dccuac/pdf/chap_2_e.pdf. Accessed on April 12, 2013.

Globocan. 2008. Cervical Cancer Incidence and Mortality Worldwide in 2008. Available from: http://globocan.iarc.fr/factsheets/cancers/cervix.asp. Accessed on April 12, 2013.

Greer B E, Koh W J. Diagnosis and treatment of cervical carcinomas. American College of Obstetricians and Gynecologists 2002; 99(5): 855–866.

Hacker, N.F., 2005. Cervical Cancer. In: Weinberg, R. ed Practical Gynecologist Oncolog. 4th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 337-342

Hamid, TB 2011, Interactive thinking: student review, Dental Journal, vol. 62, no. 3, pp. 15-18, accessed 20 May 2011, available from http://journals.unair.ac.id/ejournal/332- 037-53.pdf

Hartanti N., Andrijono, H. K. Suhelmi. 2010. cegah dan Deteksi Kanker Serviks. Jakarta: Elex Media Komputindo. Pp. 27-38.

H T Ng, S K Shyu, Y K Chen, C C Yuan, K C Chao, Y Y Kan. A scoring system for predicting recurrence of cervical cancer. International Journal of Gynecological Cancer 2002; 2: 75 – 78.

Imam Rasjidi. 2009. Epidemiologi Kanker Serviks. Indonesian Journal of Cancer Vol. III, No. 3 Juli - September 2009.

Jerry. 2009. Intisari Kanker Serviks. Universitas Satya Dharm. Available from http://www.library.usd.ac.id/Data%20PDF/F.%20Farmasi/Farmasi/058114085.pdf Accessed on Thursday, April 12 2013 at 7:14 AM

Koran Jakarta. Minggu, 17 Maret 2013. Era Baru Vaksinasi HPV. Digital Ed. Jakarta Pusat. Diakses pada 12 April 2013, tersedia dari http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/114752.

Lehtinen M, Dillner J. Preventive HPV vaccination. Sex Transm Infect. 2002

Lestari Mustika Rini. 2009. Analisa Faktor Risiko Pada Penderita Kanker Serviks. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Available from http://www.lontar.ui.ac.id/ Accessed on Thursday, April 11 2013 at 6:40 AM

54

Page 55: 2 Bab 1-4

Mac Mahon B dan TF Pugh. Epidemiology, Principle and Methods. Boston : Little Brown, 1970.

Maksum, R 2009, Vaksin Kanker. Majalah Ilmu Kefarmasian, vol. VI, no. 3, pp. 109 – 118.

Mariani, L & Venuti, A 2010, HPV Vaccine: An Overview of Immune Response, Clinical Protection, and New Approaches for The Future. Journal of Translational Medicine 2010, vol 8, no. 105. pp. 1-8.

Menczer J. The low incidence of cervical cancer in Jewish women. 2003

National Geographic Indonesia. Selasa, 3 April 2012. Pencegahan Kanker Lewat Vaksinasi HPV. Diakses pada 12 April 2013, tersedia dari http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/04/pencegahan-kanker-lewat-vaksinasi-hpv.

Notodiharjo., R. 2002. Reproduksi Kontrasepsi dan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Kinicius Press.

Otto, Shirley E. 2003. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta: EGC. 159-162.

Peto J, Gilham C, Fletcher O, Matthews FE. The cervical cancer epidemic that screening has prevented in the UK. Lancet. 2004

Rahmawan, Ahmad. 2009. Perkembangan Lanjutan Metode Skrining Kanker Serviks dan Antisipasinya dengan Vaksinasi HPV di Indonesia. One-cardio. Avalaible from: http://ahmadrahmawan.blogspot.com/2009/10/perkembangan-lanjutan-metode-skrining.html. [Accessed 21 April 2013]

Rasjidi, Imam. 2007a. Panduan Penatalaksanaan Kanker Ginekologis Berdasarkan Evidence Base. Jakarta: EGC

Snijders PJ, Steenbergen RD, Heideman DA, Meijer CJ. HPV-mediated cervical carcinogenesis. J Pathol. 2006

Stanley, M 2008, Immunobiology of HPV and HPV Vaccines. Gynecologic Oncology, no. 109, pp. 15–21.

Stanley, M 2010, HPV – Immune Response to Infection and Vaccination. Infectious Agents and Cancer, vol. 5, no. 19. pp. 1-6.

Stoppler, MC 2013, Cervical Cancer. Diakses pada 12 April, tersedia dari http://www.emedicinehealth.com/cervical_cancer/page5_em.htm#cervical_cancer_abnormal_cells.

Sutopo, TB 2011, Cariology: a new start, Airlangga University Press, Surabaya, pp. 17-20, accessed 20 May 2011, available from http://pub.library.unair.ac.id/ebooks/33 9-0327-39

Universitas Sumatera Utara. 2012. Kanker Serviks. Available from http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33681/5/Chapter%20I.pdf Accessed on Thursday, April 11 2013 at 7:03 AM

World Health Organization. World Cancer Report 2008. WHO Press, 2008.

Zeller, John L. 2007. Carsinoma of The Cervix. JAMA: 298 (19): 2336. Avalaible from:http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/298/19/2336. [Accessed 23 April 2013].

55

Page 56: 2 Bab 1-4

56