Upload
anis-sakinah
View
117
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kanker serviks
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hingga saat ini kanker serviks merupakan penyebab kematian terbanyak
penyakit kanker di negara berkembang (Edianto, 2006). Terhitung sebanyak
510.000 kasus baru terjadi tiap tahun dan lebih dari 288.000 kematian
berlangsung akibat penyakit ini di seluruh dunia (Carr, 2004). Angka kejadian
penyakit ini rendah pada wanita berumur dibawah 25 tahun, namun insidensi
meningkat pada wanita berumur 35 sampai 40 tahun dan mencapai titik
maksimum pada usia 50-an (Carr, 2004). Kemudian, Zeller (2007) menambahkan
bahwa separuh dari seluruh kanker serviks terjadi pada wanita usia 35 sampai 55
tahun.
Sementara itu, insidensi kanker serviks sendiri terus meningkat dari sekitar
25 per 100.000 pada tahun 1988 menjadi sekitar 32 per 100.000 pada 1992. Dari
seluruh gambaran dan data global mengenai kanker serviks, penyakit ini memiliki
indeks rasio yang lebih tinggi hingga 5 sampai 6 kali pada negara-negara
berkembang (Rahmawan, 2009).
Di Indonesia sendiri pada tahun 2005, jumlah perempuan yang berumur 15-
64 tahun adalah 65 juta dan prevalensi kanker serviks adalah 50 per 100.000
perempuan. Ini berarti jumlah penderita kanker serviks adalah sekitar 32.500
penderita. Dari sejumlah data diatas, penderita dengan stadium Ia sebanyak 7%
atau 2.275, stadium Ib-IIa sebanyak 28% atau 9.100, dan stadium IIb-IV a
sebanyak 65% atau 21.125 penderita (Rasjidi, 2007b).
Deteksi dini secara gencar mulai dilakukan di berbagai rumah sakit dan unit
kesehatan masyarakat atau klinik-klinik yang memiliki kompetensi dalam bidang
kanker. Sejak dibentuk dan dinasionalisasikannya badan kanker Indonesian
Cancer Foundation pada tahun 1977, program skrining kanker serviks segera
dimulai. Namun, program yang telah disusun tidak sistematis, menyebabkan
keuntungan yang diperoleh kecil, yang tampak dari sedikitnya penurunan
insidensi dan derajat mortalitas kanker serviks (Rahmawan, 2009).
Ditambah lagi, hingga saat ini program skrining belum lagi memasyarakat di
negara berkembang sehingga mudah dimengerti mengapa insiden kanker serviks
1
masih tetap tinggi (Edianto, 2006). Masalahnya, tempat yang diteliti tergolong
sebagai daerah urbanisasi dan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan
minimnya pengetahuan di masyarakat sekitar. Sehingga penderita sudah mencapai
stadium lanjut. Ditambah lagi sedikitnya pelaporan terhadap penyakit di rumah
sakit tersebut karena mungkin pasien tidak tahu kalau penyakit tersebut
berbahaya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat kesadaran masyarakat akan kanker seviks dan
pencegahannya sejak dini?
2. Bagaimana cara deteksi dini kanker serviks?
3. Adakah peran masyarakat untuk mencegah peningkatan kasus kanker
serviks?
4. Adakah program pemerintah untuk penekanan angka kasus kanker
serviks?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kesaddaran masyarakat akan kanker serviks dan
pencegahannya sejak dini.
2. Untuk mengetahui cara deteksi dini kanker serviks.
3. Untuk mengetahui peran masyarakat dalam mencegah peningkatan kasus
kanker serviks.
4. Untuk mengetahui program pemerintah dalam penekanan angka kasus
kanker serviks.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
2.1.1 Pengertian Epidemiologi
Epidemiologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari 3 kata dasar yaitu
epi yang berarti pada atau tentang, demos yang berati penduduk dan kata terakhir
adalalah logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi, epidemilogi adalah ilmu yang
mempelajari tentang penduduk. Dalam pengertian modern pada saat ini
epidemiologi adalah : “Ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan distribusi
serta determinan masalah kesehatan pada sekelompok orang/masyarakat. Dengan
kata lain, epidemiologi merupakan suatu ilmu yang awalnya mempelajari
timbulnya, perjalanan, dan pencegahan pada penyakit infeksi menular. Tapi dalam
perkembangannya hingga saat ini, masalah yang dihadapi penduduk tidak hanya
penyakit menular saja, melainkan juga penyakit tidak menular, penyakit
degenaratif, kanker, penyakit jiwa, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya.
Sebagai ilmu yang selalu berkembang, epidemiologi senantiasa mengalami
perkembangan pengertian dan karena itu pula mengalami modifikasi dalam
batasan / definisinya. Beberapa definisi telah dikemukakan oleh para pakar
epidemiologi, beberapa diantaranya adalah :
1. Robert H. Fletcher ( 1991 ).
Epidemiologi adalah disiplin riset yang membahas tentang distribusi
dan determinan penyakit dalam populasi.
2. Anders Ahlbom & Staffan Norel ( 1989 ).
Epidemiologi adalah ilmu pengetahuan mengenai terjadinya penyakit
pada populasi manusia.
3. Brian Mac Mahon ( 1970 ).
Epidemiologi adalah studi tentang penyebaran dan penyebab frekuensi
penyakit pada manusia dan mengapa terjadi distribusi semacam itu. Di
sini sudah mulai menentukan distribusi penyakit dan mencari penyebab
terjadinya distribusi dari suatu penyakit.
3
Definisi epidemiologi menurut Center of Disease Control (CDC) 2002,
menyatakan bahwa epidemiologi adalah studi yang mempelajari distribusi dan
determinan penyakit dan keadaan kesehatan pada populasi serta penerapannya
untuk pengendalian masalah – masalah kesehatan. Dari pengertian ini, jelas
bahwa epidemiologi adalah suatu studi dan studi itu adalah riset. Menurut Leedy
(1974), riset adalah pencarian sistematis terhadap kebenaran yang belum
terungkap. Definisi epidemiologi menurut WHO adalah studi tentang distribusi
dan determinan kesehatan yang berkaitan dengan kejadian di populasi dan aplikasi
dari studi untuk pemecahan masalah kesehatan.
Epidemiologi dapat ditinjau dari berbagai aspek. Berikut merupakan
pengertian epidemiologi ditinjau dari berbagai aspek tersebut :
1. Aspek akademik.
Secara akademik, epidemiologi berarti analisa data kesehatan, sosial-
ekonomi, dan tren yang terjadi untuk mengindentifikasi dan
menginterpretasi perubahan-perubahan kesehatan yang terjadi atau akan
terjadi pada masyarakat umum atau kelompok penduduk tertentu.
2. Aspek klinik.
Ditinjau dari aspek klinik, epidemiologi berarti suatu usaha untuk
mendeteksi secara dini perubahan insidensi atau prevalensi yang
dilakukan melalui penemuan klinis atau laboratorium pada awal
timbulnya penyakit baru dan awal terjadinya epidemi.
3. Aspek praktis.
Secara praktis epidemiologi berarti ilmu yang ditujukan pada upaya
pencegahan penyebaran penyakit yang menimpa individu, kelompok
penduduk atau masyarakat umum. Dalam hal ini, penyebab penyakit
tidak harus diketahui secara pasti, tetapi diutamakan pada cara
penularan, infektivitas, menghindarkan agen yang diduga sebagai
penyebab, toksin atau lingkungan dan membentuk kekebalan untuk
menjamin kesehatan manusia.
4. Aspek administrasi.
Epidemiologi secara administrasi berarti suatu usaha mengetahui
keadaan masyarakat di suatu wilayah atau negara agar dapat
4
memberikan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.
2.1.2. Tujuan Epidemiologi
Secara umum, dapat dikatakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam
mempelajari epidemiologi adalah memperoleh data frekuensi distribusi dan
determinan penyakit atau fenomena lain yang berkaitan dengan kesehatan
masyarakat. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memperoleh informasi
tentang penyebab penyakit, misalnya:
1. Penelitian epidemiologis yang dilakukan pada kejadian luar biasa akibat
keracunan makanan dapat digunakan untuk mengungkapkan makanan
yang tercemar dan menemukan penyebabnya.
2. Penelitian epidemiologis yang dilakukan untuk mencari hubungan antara
karsinoma paru-paru dengan asbes.
3. Menetukan apakah hipotesis yang dihasilkan dari percobaabn hewan
konsisten dengan data epidemiologis. Misalnya, percobaan tentang
terjadinya karsinoma kandung kemih pada hewan yang diolesi tir.
Untuk mengetahui apakah hasil percobaan hewan konsisten dengan
kenyataan pada manusia, dilakukan analisis terhadap semua penderita
karsinoma kandung kemih lebih banyak terpajan oleh rokok
dibandingkan dengan bukan penderita.
4. Memperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam menyusun perencanaan, penanggulangan masalah
kesehatan, serta menentukan prioritas masalah kesehatan masyarakat;
misalnya:
a. Data frekuensi distribusi berbagai penyakit yang terdapat
dimasyarakat dapat digunakan untuk menyusun rencana kebutuhan
pelayanan kesehatan disuatu wilayah dan menentukan prioritas
masalah.
b. Bila dari hasil penelitian epidemiologis diperoleh bahwa insidensi
tetanus neonatorum disuatu wilayah cukup tinggi maka data
tersebut dapat digunakan untuk menyusun strategi yang efektif dan
efisien dalam menggulangi masalah tersebut, misalnya dengan
5
mengirirm petugas lapangan untuk memberikan penyuluhan pada
ibu-ibu serta mengadakan imunisasi pada ibu hamil.
2.1.3. Ruang Lingkup
Dari pengertian epidemiologi dan metode epidemiologi, maka bentuk
kegiatan epidemiologi meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik yang
berhubungan dengan bidang kesehatan maupun diluar bidang kesehatan. Berbagai
bentuk dan jenis kegiatan dalam epidemiologi saling berhubungan satu dengan
lainnya sehingga tidak jarang dijumpai bentuk kegiatan yang tumpang tindih.
Bentuk kegiatan epidemiologi dasar yang paling sering digunakan adalah bentuk
epidemiologi deskriptif yakni bentuk kegiatan epidemiologi yang memberikan
gambaran atau keterangan tentang keadaan serta sifat penyebaran status kesehatan
dan gangguan kesehatan maupun penyakit pada suatu kelompok penduduk
tertentu (terutama menurut sifat karakteristik orang, waktu, dan tempat).
Bentuk kegiatan epidemiologi yang erat hubungannya dengan deskriptif
epidemiologi adalah dalam menilai derajat kesehatan dan besar kecilnya masalah
kesehatan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Bentuk kegiatan ini erat
hubungannya dengan penyusunan perencanaan kesehatan masyarakat serta
penilaian hasil kegiatan usaha pelayanan kesehatan pada penduduk tertentu.
Dewasa ini penelitian epidemiologi pada dasarnya dapat dibagi dalam dua bentuk
dasar yakni penelitian observasi atau pengamatan terhadap kejadian alami dalam
masyarakat untuk mencari hubungan sebab akibat terjadinya gangguan keadaan
normal dalam masyarakat tersebut, serta penelitian eksperimental yang merupakan
penelitian yang didasarkan pada perlakuan tertentu terhadap objek untuk dapat
memperoleh jawaban tentang pengaruh perlakuan tersebut terhadap objek yang
diteliti. Dalam hal ini, populasi sasaran dientukan secara cermat serta setiap
perubahan yang timbul merupakan akibat dari perlakuan khusus oleh pihak
peneliti.
Dalam perkembangan selanjutnya maka prinsip epidemiologi yang meliputi
epidemiologi deskriptif maupun penelitian epidemiologi dikembangkan lebih luas
sebagai suatu sistem pendekatan didalam berbagai kehidupan kemasyarakatan.
Adapun ruang lingkup epidemiologi seperti disebutkan diatas termasuk berbagai
masalah yang timbul dalam masyarakat, baik yang berhubungan erat dengan
6
bidang kesehatan maupun dengan berbagai kehidupan sosial, telah mendorong
perkembangan epidemiologi dalam berbagai bidang :
1. Epidemiologi penyakit menular
Bentuk ini yang telah banyak memberikan peluang dalam usaha
pencegahan dan penanggulangan penyakit menular tertentu.
Berhasilnya manusia mengatasi berbagai gangguan penyakit menular
dewasa ini merupakan salah satu hasil yang gemilang dari
epidemiologi. Peranan epidemiologi surveilans pada mulanya hanya
ditujukan pada pengamatan penyakit menular secara seksama, ternyata
telah memberikan hasil yang cukup berarti dalam menangulangi
berbagai masalah penyakit menular dan juga penyakit tidak menular.
2. Epidemiologi penyakit tidak menular
Pada saat ini sedang berkembang pesat dalam usaha mencari
berbagai factor yang memegang peranan dalam timbulnya berbagai
masalah penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit sistemik serta
berbagai penyakit menahun lainnya, termasuk masalah meningkatnya
kecelakaan lalu lintas dan penyalahgunaan obat-obatan tertentu. Bidang
ini banyak digunakan terutama dengan meningkatnya masalah
kesehatan yang bertalian erat dengan berbagai gangguan kesehatan
akibat kemajuan dalam berbagai bidang industri yang banyak
mempengaruhi keadaan lingkungan, termasuk lingkungan fisik,
biologis, maupun lingkungan sosial budaya.
3. Epidemiologi klinik
Bentuk ini merupakan salah satu bidang epidemiologi yang
sedang dikembangkan oleh para klinisi yang bertujuan untuk
membekali para klinisi/ dokter tentang cara pendekatan masalah melalui
disilin ilmu epidemiologi. Dalam penggunaan epidemiologi klinik
sehari-hari, para petugas medis terutama para dokter sering
menggunakan prinsip-prinsip epidemiologi dalam menangani kasus
secara individual. Mereka lebih berorientasi pada penyebab dan cara
mengatasinya terhadap kasus secara individu dan biasanya tidak tertarik
7
untuk mengetahui serta menganalisis sumber penyakit, cara penularan
dan sifat penyebarannya dalam masyarakat. Berbagai hasil yang
diperoleh dari para klinisi tersebut, merupakan data informasi yang
sangat berguna dalam analisis epidemiologi tetapi harus pula diingat
bahwa epidemiologi bukanlah terbatas pada data dan informasi saja
tetapi merupakan suatu disiplin ilmu yang memeliki metode pendekatan
serta penerapannya secara khusus.
4. Epidemiologi kependudukan
Merupakan salah satu cabang ilmu epidemiolgi yang
menggunakan sistem pendekatan epidemiolgi dalam menganalisi
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan bidang demografi serta
faktor-faktor yang mempengaruhi berbagai perubahan demografis yang
terjadi didalam masyarakat. Sistem pendekatan epidemiologi
kependudukan tidak hanya memberikan analisis tentang sifat
karakteristik penduduk secara demografis dalam hubungannya dengan
masalah kesehatan dan penyakit dalam masyarakat tetapi juga sangat
berperan dalam berbagai aspek kependudukan serta keluarga berencana.
Pelayanan melalui jasa, yang erat hubungannya dengan masyarakat
seperti pendidikan, kesejahteraan rakyat, kesempatan kepegawaian,
sangat berkaitan dengan keadaan serta sifat populasi yang dilayani.
Dalam hal ini peranan epidemiologi kependudukan sangat penting
untuk digunakan sebagai dasar dalam mengambil kebijakan dan dalam
menyusun perencanaan yang baik. Juga sedang dikembangkan
epidemiologi system reproduksi yang erat kaitannya dengan gerakan
keluarga berencana dan kependudukan.
5. Epidemiologi pengolahan pelayanan kesehatan
Bentuk ini merupakan salah satu sistem pendekatan manajemen
dalam menganalis masalah, mencari faktor penyebab timbulnya suatu
maslah serta penyusunan pemecahan masalah tersebut secara
menyeluruh dan terpadu. Sisem pendekatan epidemiologi dalam
perencanaan kesehatan cukup banyak digunakan oleh para perencana
8
kesehatan baik dalam bentuk analisis situasi, penetuan prioritas maupun
dalam bentuk penilaian hasil suatu kegiatan kesehatan yang bersifat
umum maupun dengan sasaran khusus.
6. Epidemiologi lingkungan dan kesehatan kerja
Bentuk ini merupakan salah satu bagian epidemioloi yang
mempelajari serta mnganalisis keadaan kesehatan tenaga kerja akibat
pengaruh keterpaparan pada lingkubngan kerja, baik yang bersifat fisik
kimiawo biologis maupun social budaya, serta kebiasaan hidup para
pekerja. Bentuk ini sangat berguna dalam analisis tingkat kesehatan
ekerja serta untuk menilai keadaan dan lingkungan kerja serta penyakit
akibat kerja.
7. Epidemiologi kesehatan jiwa
Merupakan salah satu dasar pendekatan dan analisis masalah
gangguan jiwa dalam masyarakat, baik mengenai keadan kelainan jiwa
kelompok penduduk tertentu, maupun analisis berbagai factor yang
mempengaruhi timbulnya gangguan jiwa dalam masyarakat. Dengan
meningkatnya berbagai keluhan anggota masyarakat ang lebih banyak
mengarah ke masalah kejiwaan disertai dengan perubahan sosial
masyarakat menuntut suatu cara pendekatan melalui epidemilogi sosial
masyarakat menuntu suatu cara pendekatan melalui epidemiologi sosial
yang berkaitan dengan epidemiologi kesehatan jiwa, mengingat bahwa
dewasa ini gangguan kesehatan jiwa tidak lagi merupakan masalah
kesehaan individu saja, tetau telah merupakan masalah sosial
masyarakat.
8. Epidemiologi gizi
Dewasa ini banyak digunakan dalm analisis masalah gizi
masyarakat dimana masalah ini erat hubungannya dengan berbagai
faktor yang menyangkut pola hidup masyarakat. Pendekatan masalah
gizi masyarakat melaui epidemiologi gizi bertujuan untuk menganalisis
berbagai factor yang berhubungan erat dengan timbulnya masalah gizi
masyarakat, baik yang bersifat biologis, dan terutama yang berkaitan
9
dengan kehidupan social masyarakat. Penanggulangan maslah gizi
masyarakat yang disertai dengan surveilans gizi lebih mengarah kepad
penanggulangan berbagai faktor yang berkaitan erat dengan timbulnya
masalah tersebut dalam masyarakat dan tidak hanya terbatas pada
sasaran individu atau lingkungan kerja saja.
2.1.4. Jangkauan Epidemiologi
Dari pengetahuan tentang jangkauan epidemiologi, kita dapat mengetahui
apa saja yang termasuk dalam epidemiologi karena jangkauan epidemiologi terus
berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat.
Perkembangan jangkauan epidemiologi dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Mula-mula epidemiologi hanya mempelajari penyakit yang dapat
menimbulkan wabah melalui temuan-temuan tentang :
a. Jenis penyakit wabah seperti cacar, pes, kolera, dan lain-lain.
b. Cara penularan dan penyebab penyakit wabah.
c. Cara-cara penanggulangan dan pencegahan penyakit wabah.
2. Tahap berikutnya, epidemiologi mempelajari penyakit infeksi non-
wabah.
3. Dalam perkembangan selanjutnya, epidemiologi mempelajari penyakit
non-infeksi, misalnya penyakit jantung, karsinoma, hipertensi, dan
penyakit gangguan hormon (diabetes melitus dan lain-lain).
4. Pada tahap akhir, epidemiologi mempelajari hal-hal yang bukan
penyakit, misalnya fertilitas, menopause, kecelakaan, kenakalan remaja,
dan penyalahgunaan obat.
Perkembangan epidemiologi yang sedemikian pesat merupakan tantangan
yang sangat berat bagi tenaga kesehatan karena keadaan tersebut tidak dapat
diatasi hanya dengan perbaikan sanitasi dan perbaikan ekonomi, tetapi merupakan
masalah yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dan
berbagai instansi atau institusi.
Jangkauan epidemiologi kini telah sedemikan luasnya hingga mempelajari
semua hal yang menimpa masyarakat. Makin luasnya jangkauan tersebut antara
lain disebabkan hal-hal berikut :
10
1. Kemajuan teknologi yang sangat pesat pada beberapa dasawarsa
terakhir.
2. Kebutuhan dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan dan
kehidupan masyarakat menjadi semakin kompleks.
3. Metode epidemiologi yang digunakan untuk penyakit menular dapat
digunakan untuk penyakit non-infeksi dan non-penyakit.
4. Meningkatnya kebutuhan penelitian terhadap penyakit non-infeksi dan
non-penyakit.
5. Metode epidemiologi dapat digunakan untuk mempelajari asosiasi
sebab-akibat, misalnya : asosisasi antara rokok dengan karsinoma paru-
paru; asosiasi antara pelayanan kesehatan dengan status kesehatan
masyarakat.
2.1.5. Proses Terjadinya Penyakit Infeksi
Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi antara agent atau
faktor penyebab penyakit, manusia sebagai host, dan faktor lingkungan yang
mendukung. Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai Trias Penyebab Penyakit.
Proses interaksi ini disebabkan adanya agen penyebab penyakit kontak dengan
manusia sebagai pejamu yang rentan didukung oleh keadaan lingkungan. Proses
interaksi ini dapat terjadi secara individu atau kelompok, misalnya proses
terjadinya penyakit TBC karena adanya mycobacterium tuberculosa yang kontak
dengan manusia sebagai pejamu yang rentan, daya tahan tubuh yang rendah dan
perumahan yang tidak sehat sebagai faktor lingkungan yang menunjang. Proses
terjadinya penyakit sebenarnya telah dikenal sejak zaman Romawi yaitu pada
masa Galenus (205 – 130 SM) yang mengungkapkan bahwa penyakit dapat terjadi
karena adanya faktor predisposisi, faktor penyebab, dan faktor lingkungan.
2.1.5.1. Faktor Agen
Agen sebagai faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati
yang terdapat dalam jumlah yang berlebih atau kekurangan. Agen berupa unsur
hidup terdiri dari virus, bakteri, jamur, parasit, protozoa, dan metazoa. Sedangkan
agen berupa unsur mati dapat berupa fisika (sinar radioaktif), kimia (CO, Hg, Cd,
Ar, obat-obatan, pestidida), dan fisik (benturan dan tekanan).
11
2.1.5.2. Faktor Pejamu
Pejamu ialah keadaan manusia yang sedemikian rupa sehingga menjadi
faktor risiko untuk terjadinya penyakit. Faktor ini disebut faktor intrinsik. Faktor
pejamu dan agen dapat diumpamakan sebagai tanah dan benih. Tumbuhnya benih
tergantung keadaan tanah yang dianalogikan dengan timbulnya penyakit yang
tergantung keadaan pejamu. Faktor pejamu yang merupakan faktor risiko untuk
timbulnya penyakit adalah sebagai berikut :
1. Genetik, misalnya penyakit herediter seperti hemofilia, sickle cell
anemia, dan gangguan glukosa-6-fosfatase.
2. Umur. Usia lanjut mempunyai risiko untuk terkena karsinoma, penyakit
jantung, dll.
3. Jenis kelamin. Beberapa penyakit memiliki kecenderungan terjadi pada
wanita, misalnya : penyakit diabetes mellitus, sedangkan pada laki-laki
penyakit jantung dan hipertensi.
4. Keadaan fisiologi. Kehamilan dan persalinan memudahkan terjadinya
berbagai penyakit, seperti keracunan kehamilan, anemia, dan psikosis
pasca-partum.
5. Kekebalan. Orang-orang yang tidak mempunyai kekebalatn terhadap
suatu penyakit akan mudah terserang penyakit tersebut.
6. Penyakit yang diderita sebelumnya, misalnya : reumatoid artritis yang
mudah kambuh.
7. Sifat-sifat manusia. Faktor kebersihan perorangan yang jelek akan
mudah terserang penyakit infeksi, misalnya : balanitis, karsinoma penis
bagi orang yang tidak sirkumsisi.
2.1.5.3. Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan faktor ketiga sebagai penunjang terjadinya
penyakit. Faktor ini disebut faktor ekstrinsik. Faktor lingkungan dapat berupa
lingkungan fisik, lingkungan biologis, atau lingkungan sosial ekonomi.
1. Lingkungan fisik
Yang termasuk lingkungan fisik antara lain geografik dan
keadaan musim, misalnya negara yang beriklim tropis mempunyai pola
penyakit yang berbeda dengan negara yang beriklim dingin atau
12
subtropis. Demikian pula antara negara maju dengan negara
berkembang. Dalam satu negara pun dapat terjadi perbedaan pola
penyakit, misalnya antara daerah pantai dan daerah pegunungan atau
antara kota dan desa.
2. Lingkungan biologis
Lingkungan biologis ialah semua makhluk hidup yang berada di
sekitar manusia, yaitu flora dan fauna, termasuk manusia. Contohnya,
wilayah dengan flora yang berbeda akan mempunyai pola penyakit
yang berbeda. Faktor lingkungan biologis ini selain bakteri dan virus
patogen, ulah manusia juga mempunyai peran yang penting dalam
terjadinya penyakit, bahkan dapat dikatakan penyakit timbul karena
ulah manusia.
3. Lingkungan sosial ekonomi
Yang termasuk dalam faktor sosial ekonomi adalah pekerjaan,
urbanisasi, perkembangan ekonomi, dan bencana alam.
a. Pekerjaan. Pekerjaan yang berhubungan dengan zat kimia seperti
pestisida atau zat fisika seperti zat radioaktif atau zat yang bersifat
karsinogen seperti asbes akan memudahkan terkena penyakit akibat
pemaparan terhadap zat-zat tersebut.
b. Urbanisasi. Urbanisasi dapat menimbulkan berbagai masalah sosial
seperti kepadatan penduduk dan timbulnya daerah kumuh,
perumahan, pendidikan, dan sampah, dan tinja yang akan mencemari
air minum, dan lingkungan. Lingkungan demikian merupakan
penunjang terjadinya berbagai macam penyakit infeksi.
c. Perkembangan ekonomi. Peningkatan ekonomi rakyat akan
mengubah pola konsumsi yang cenderung memakan makanan yang
mengandung banyak kolesterol. Keadaan ini memudahkan timbulnya
penyakit hipertensi dan penyakit jantung sebagai akibat kadar
kolesterol darah yang meningkat. Sebaliknya, bila tingkat ekonomi
rakyat yang rendah akan timbul masalah perumahan yang tidak
sehat, kurang gizi, dan lain-lain yang memudahkan timbulnya
penyakit infeksi.
13
d. Bencana alam. Terjadinya bencana alam akan mengubah sistem
ekologi yang tidak dapat diramalkan sebelumnya, misalnya gempa
bumi, banjir, meletusnya gunung berapi, dan perang yang akan
menyebabkan kehidupan penduduk yang terkena bencana menjadi
tidak teratur. Keadaan ini memudahkan timbulnya berbagai penyakit
infeksi.
2.2 Kanker Serviks
Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari
metaplasia epitel di daerah skuamokolumner junction yaitu
daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis.
Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau
leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang
merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim
(uterus) dan liang senggama atau vagina. Kanker leher rahim
biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90%
dari kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi
serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir
pada saluran servikal yang menuju ke rahim (WHO, 2008).
Kanker serviks adalah hasil akhir perubahan progresif epitel
serviks, paling sering sekitar 90% terjadi pada sambungan
skuamokolumner atau sel skuamosa. Sel skuamosa dibagi lagi
menjadi tipe keratinisasi, non keratinisasi, dan tipe small cell
berdasarkan gambaran histologinya. Adenokarsinoma dan
karsinoma adenoskuamosa menempati bagian terbesar dari
kanker serviks (11%-16%), terutama pada wanita berusia di
bawah 35 tahun (Otto, 2003).
Ketidaknyamanan atau disfungsi kandung kemih atau
rektum dan fistula merupakan manifestasi lanjut kanker serviks.
Rasa sakit, seringkali satu sisi dan menjalas ke panggul dapat
terjadi pada kanker lanjut ketika ureter tersumbat sebagian atau
nervus sakralis terkena tumor. Anemia, anoreksia dan kehilangan
14
berat badan merupakan tanda-tanda penyakit keganasan lanjut.
(Benson, 2008) Gejala Klinis lainnya yaitu perdarahan abnormal
pada vagina, urgensi berkemih, disuria, dan hematuria (Otto,
2003).
Untuk menentukan stadium atau perkiraan kemungkinan
penyebaran penyakit keganasan serviks penting untuk
pengobatan dan prognosis. Data diperoleh dari pemeriksaan
klinis (inspeksi, palpasi, dan kolposkopi)., pemeriksaan radiologi
(paru, tulang, ginjal, kolon sigmoid, dan rektum), dan evaluasi
patologi dari biopsi dan bahan kuretase yang digunakan untuk
menentukan perkembangan penyakit dan rencana terapinya.
(Otto, 2003) International Classification of Cancer of the Cervix
merupakan salah satu klasifikasi yang paling umum digunakan
(Benson, 2008).
2.2.1 Penyebab
Penyebab utama timbulnya kanker serviks adalah infeksi
HPV risiko tinggi atau HPV onkogenik yaitu HPV yang
mengandung protein yang menyebabkan terjadinya kanker
(onkoprotein). Telah diidentifikasi sebanyak 20 tipe yang menjadi
penyebab kanker serviks, tetapi paling banyak (70%) kanker
serviks disebabkan tipe 16 dan 18 (Hartanti, 2010).
Virus Human Papilloma (HPV) adalah kelompok virus yang
terdiri dari 150 jenis virus yang dapat menginfeksi sel-sel pada
permukaan kulit. Ada 30-40 jenis HPV yang menyebabkan
penyakit kelamin. Bebebrapa jenis HPV yang menyebabkan
penyakit kelamin. Beberapa jenis HPV menyebabkan kutil pada
kelamin. Jenis lainnya menyebabkan kanker serviks. Jenis HPV
(16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, dan 69) yang
menyebabkan kanker disebut HPV “risiko tinggi” yang ditularkan
melalui hubungan seks. Sedangkan HPV yang tidak
menyebabkan penyakit kanker disebut HPV “risiko rendah”
15
ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui hubungan
seksual (kulit ke kulit) seperti vaginal, anal, ataupun oral
(Hartanti, 2010).
Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV
risiko rendah adalah satu asam amino saja. Asam amino tersebut
adalah aspartat pada HPV risiko tinggi dan glisin pada HPV risiko
rendah dan sedang. Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri
menyebabkan lebih dari 50% kanker leher rahim. Seseorang
yang sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki risiko kemungkinan
terkena kanker leher rahim sebesar 5%.
Dinyatakan pula bahwa tidak terdapat perbedaan
probabilitas terjadinya kanker serviks pada infeksi HPV-16 dan
infeksi HPV-18 baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan
(Bosch et al, 2002). Akan tetapi sifat onkogenik HPV-18 lebih
tinggi daripada HPV-16 yang dibuktikan pada sel kultur dimana
transformasi HPV-18 adalah 5 kali lebih besar dibandingkan
dengan HPV-16. Selain itu, didapatkan pula bahwa respon imun
pada HPV-18 dapat meningkatkan virulensi virus dimana
mekanismenya belum jelas. HPV-16 berhubungan dengan
skuamous cell carcinoma serviks sedangkan HPV-18
berhubungan dengan adenocarcinoma serviks. Prognosis dari
adenocarcinoma kanker serviks lebih buruk dibandingkan
squamous cell carcinoma. Peran infeksi HPV sebagai faktor risiko
mayor kanker serviks telah mendekati kesepakatan, tanpa
mengecilkan arti faktor risiko minor seperti umur, paritas,
aktivitas seksual dini/prilaku seksual, dan meroko, pil
kontrasepsi, genetik, infeksi virus lain dan beberapa infeksi
kronis lain pada serviks seperti klamidia trakomatis dan HSV-2
(Hacker, 2000).
Penelitian telah banyak dilakukan untuk menentukan
penyebab apa saja dari kanker serviks. Sejauh ini, Human
Papilloma Virus tipe 16 dan 18 diduga kuat sebagai etiologi
16
utama melalui mekanisme mutasi gen yang diakibatkannya.
Faktor risiko lain yang diketahui antara lain multiparitas,
berganti-ganti pasangan seksual, kemampuan imunitas tubuh,
usia pertama saat berhubungan seksual, pengaruh kontrasepsi
oral, rokok, riwayat sosial ekonomi, dan riwayat keganasan
kanker serviks pada keluarga (Greer B E et al, 2002).
2.2.2 Gejala Klinis
Etiologi pasti belum diketahui tetapi faktor risiko terjadinya
kanker serviks adalah memiliki banyak mitra seksual, koitus
pertama sangat dini (<20 tahun), menikah usia muda, hamil
pertama pada usia muda, paritas tinggi, status ekonomi rendah
dan merokok (Benson, 2008).
Tidak ada tanda-tanda atau gejala pada kanker serviks non
invasif. Namun, harus dilakukan pemeriksaan berkala seperti
penilaian sitologi dengan apusan Pap, kolposkopsi, dan biopsi
serta kecurigaan tinggi. Perdarahan bercak pasca koitus atau
leukorea yang bercampur darah sering merupakan awal kanker
serviks ulseratif. Karena itu metroragi merupakan tanda
keganasan serviks invasif yang paling sering (Benson, 2008).
Menurut Dalimartha (2004), gejala kanker serviks pada kondisi
pra-kanker ditandai dengan Fluor albus (keputihan) merupakan gejala
yang sering ditemukan getah yang keluar dari vagina ini makin lama
akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal
demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang
dialami segera setelah bersenggama (disebut sebagai perdarahan
kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 -80%). Pada tahap
awal, terjadinya kanker serviks tidak ada gejala-gejala khusus.
Biasanya timbul gejala berupa ketidak teraturannya siklus haid,
amenorhea, hipermenorhea, dan penyaluran sekret vagina yang sering
atau perdarahan intermenstrual, post koitus serta latihan berat.
Perdarahan yang khas terjadi pada penyakit ini yaitu darah yang keluar
berbentuk mukoid.
17
2.2.3 Metastasis
Kanker serviks merupakan kanker yang tumbuh secara
lambat yang menginvasi langsung jaringan yang berdekatan
dengan uterus, vagina, rektum, kandung kemih, dan jaringan
parametrium. Invasi limfatik juga terjadi baik regional maupun
yang lebih jauh. Kanker serviks jarang mengalami metastasis
secara hematologi walaupun demikian, dapat timbul juga di paru
atau hati (Otto, 2003). Metastasis ke nodus limfe regional
meningkat sesuai peningkatan stadium penyakit dari sekitar 15%
pada stadium I hingga paling sedikit 60% pada stadium IV. Nyeri
dan pembengkakan pada tungkai bawah terutama paha atas
dapat menunjukkan adanya sumbatan limfatik atau aliran darah
balik vena oleh karsinoma. Nyeri punggung dan penyebarannya
melalui pleksus lumbosakral menunjukkan infeksi kronis atau
keterlibatan neurologis karena perluasan kanker. Invasi ke
rektum melalui perluasan ke posterior dari serviks sepanjang
ligamentum uerosakrum, dan perkembangan ke anterior diikuti
invasi ke kandung kemih terjadi pada stadium III dan IV. Ureter di
samping serviks seringkali tersumbat. Hidroureter dan
hidronefrosis mengganggu fungsi ginjal. Hampir dua per tiga
pasien dengan karsinoma serviks meninggal karena uremia
ketika terjadi obstruksi ureter bilateral. Kematian karena
perdarahan terjadi sekitar 10%-20% kasus karsinoma serviks
dengan invasi luas. Fistula vagina pada saluran cerna dan kemih
sangat merugikan. Inkontinensia urin dan alvi merupakan
komplikasi utama terutama pada pasien yang lemah. Saluran
perivaskular, perineural dan saluran limfe mempermudah
penyebaran kanker. Metastasis ke hati sering terjadi, tetapi
penyebaran ke paru atau otak jarang (Benson 2008).
2.2.4 Jenis Histopatologis
18
Jenis skuamosa merupakan jenis yang paling sering
ditemukan, yaitu ± 90% merupakan karsinoma sel skuamosa
(KSS), adenokarsinoma 5% dan jenis lain sebanyak 5%.
Karsinoma skuamosa terlihat sebagai jalinan kelompok sel-sel
yang berasal dari skuamosa dengan pertandukan atau tidak, dan
kadang-kadang tumor itu sendiri berdiferensiasi buruk atau dari
sel-sel yang disebut small cell, berbentuk kumparan atau kecil
serta bulat seta mempunyai batas tumor stroma tidak jelas. Sel
ini berasal dari sel basal atau reserved cell. Sedang
adenokarsinoma terlihat sebagai sel-sel yang berasal dari epitel
torak endoserviks, atau dari kelenjar endoserviks yang
mengeluarkan mukus (Notodiharjo, 2002). Klasifikasi histologik
kanker serviks ada beberapa, di antaranya :
1. Skuamous carcinoma
a. Keratinizing
b. Large cell non keratinizing
c. Small cell non keratinizing
d. Verrucous
2. Adeno carcinoma
a. Endocervical
b. Endometroid (adenocanthoma)
c. Clear cell - paramesonephric
d. Clear cell - mesonephric
e. Serous
f. Intestinal
3. Mixed carcinoma
a. Adenosquamous
b. Mucoepidermoid
c. Glossy cell
d. Adenoid cystic
4. Undifferentiated carcinoma
5. Carcinoma tumor
19
6. Malignant melanoma
7. Maliganant non-epithelial tumors
a. Sarcoma : mixed mullerian, leiomysarcoma,
rhabdomyosarcoma
b. Lymphoma
2.2.5 Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit kanker serviks didahului dengan infeksi
HPV onkogenik,virus HPV menyebabkan sel prakanker
berkembang menjadi sel kanker. Biasanya diperlukan waktu
bertahun-tahun untuk kanker serviks atau kanker leher rahim
berkembang, tetapi prosesnya juga dapat terjadi dalam waktu
kurang dari 12 bulan. Sebagai bentuk sel-sel kanker, sel-sel
abnormal ukuran dan bentuknya muncul di permukaan leher
rahim dan mulai berkembang biak (Hartanti, 2010).
Displasia serviks atau kondisi pra-kanker adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan awal sel-sel
abnormal pada leher rahim yang bisa berkembang menjadi
kanker. Displasia serviks biasanya merupakan tahap pertama
dari kanker serviks. Tetapi perempuan yang memiliki displasia
yang rendah dan ringan di leher rahimnya tidak selalu
berkembang menjadi kanker serviks, karena dapat hilang dan
lenyap dengan sendirinya tergantung sistem kekebalan tubuh.
Sebaliknya jika kondisi displasia tidak diketahui dan diberi
perawatan maka akan berkembang menjadi kanker serviks.
“Displastik” sel-sel seperti sel-sel kanker, tidak dianggap ganas
karena mereka tetap pada permukaan serviks dan tidak
menginvasi jaringan sel yang normal atau sehat (Hartanti, 2010).
Jika infeksi ini persisten maka akan terjadi integrasi genom
dari virus ke dalam genom sel manusia, menyebabkan hilangnya
kontrol normal dari pertumbuhan sel serta ekspresi onkoprotein
E6 atau E7 yang bertanggung jawab terhadap perubahan
20
maturasi dan differensiasi dari epitel serviks (Edianto, 2006).
Lokasi awal dari terjadinya karsinoma serviks biasanya pada atau
dekat dengan pertemuan epitel kolumner di endoserviks dengan
epitel skuamous di ektoserviks atau yang juga dikenal dengan
squamocolumnar junction.
Terjadinya karsinoma serviks yang invasif berlangsung
dalam beberapa tahap. Tahapan pertama dimulai dari lesi pre-
invasif, yang ditandai dengan adanya abnormalitas dari sel yang
biasa disebut dengan displasia. Displasia ditandai dengan
adanya anisositosis (sel dengan ukuran yang berbeda-beda),
poikilositosis (bentuk sel yang berbeda-beda), hiperkromatik sel,
dan adanya gambaran sel yang sedang bermitosis dalam jumlah
yang tidak biasa. Displasia ringan bila ditemukan hanya sedikit
sel-sel abnormal, sedangkan jika abnormalitas tersebut
mencapai setengah ketebalan sel, dinamakan displasia sedang.
Displasia berat terjadi bila abnormalitas sel pada seluruh
ketebalan sel, namun belum menembus membrana basalis.
Perubahan pada displasia ringan sampai sedang ini masih
bersifat reversibel dan sering disebut dengan Cervical
Intraepithelial Neoplasia (CIN) derajat 1-2. Displasia berat (CIN 3)
dapat berlanjut menjadi karsinoma in situ. (Greer B E et al, 2002)
Perubahan dari displasia ke karsinoma in situ sampai karsinoma
invasif berjalan lambat (10 sampai 15 tahun). Gejala pada CIN
umumnya asimptomatik, seringkali terdeteksi saat pemeriksaan
kolposkopi. Sedangkan pada tahap invasif, gejala yang dirasakan
lebih nyata seperti perdarahan intermenstrual dan post koitus,
discharge vagina purulen yang berlebihan berwarna kekuning-
kuningan terutama bila lesi nekrotik, berbau dan dapat
bercampur dengan darah, sistisis berulang, dan gejala akan lebih
parah pada stadium lanjut di mana penderita akan mengalami
cachexia, obstruksi gastrointestinal dan sistem renal (HT Ng et
al, 2002).
21
2.2.6 Prognosis
Prognosis ditentukan oleh saat dimulainya penyakit tersebut.
Harapan hidup 5 tahun bagi pasien dengan diagnosis karsinoma
in situ mendekati 100 %, dengan kanker terbatas secara lokal
88%, penyakit berkembang ke area regional 52%, dan metastasi
jauh 14% (Otto, 2003).
Semakin awal penegakkan diagnosis stadium kanker,
semakin baik prognosisnya. Kanker pre invasif biasanya
terdiagnosis pada wanita <30 tahun tetapi sebagian besar
pasien dengan karsinoma invasif terdiagnosis pada umur 40-50
tahun. Karena itu perlu waktu 5-10 tahun untuk karsinoma
menembus membran basalis dan menjadi invasif. Angka
kelangsungan hidup dilaporkan menurut stadium penyakit ketika
ditemukan sangat bervariasi. Gabungan angka kelangsungan
hidup 5 tahun di pusat-pusat kanker yang besar di seluruh dunia
dimana radioterapi merupakan metode pengobatan utama yaitu:
stadium I 86%-89%, stadium II 43%-70%. Stadium III 27%-43%,
stadium IV 0%-12% (Benson, 2008).
2.2.7 Epidemiologi Penyakit Kanker Serviks
Kanker serviks merupakan keganasan yang sering dijumpai pada wanita.
Kanker serviks menempati urutan ketiga didunia untuk jenis kanker yang sering
terjadi pada wanita setelah kanker payudara dan kanker endometrium. Kejadian
kanker serviks terhitung 10% dari semua jenis kanker. Pada negara berkembang,
kanker serviks menempati urutan kedua, dengan kejadian sebanyak 15% dari
semua jenis kanker. Pada tahun 2008, estimasi kasus kanker serviks di dunia
mencapai 529.800 kasus dan lebih dari 85% terjadi di negara berkembang. Risiko
tertinggi kanker serviks terdapat di Amerika Selatan, Afrika Timur dan Afrika
Selatan, dan India. Kejadian yang sangat tinggi pada negara berkembang
dikarenakan kurangnya pelayanan kesehatan dan sedikitnya tindakan deteksi dini
pada wanita.
22
Gambar 2.1 Peta penyebaran kanker serviks (Globocan, 2008).
Kanker serviks juga merupakan urutan keempat penyebab utama kematian
pada wanita dengan estimasi 275.100 kematian terjadi di dunia pada tahun 2008.
Lebih dari 90% kematian terjadi di negara berkembang (Bray F, et al, 2005).
Kejadian kenker serviks paling tinggi terjadi pada usia dekade 5-7. Kematian yang
terjadi akibat kanker serviks mencapai 73% pada usia diatas 50 tahun.
23
Gambar 2.2 Grafik kasus dan kematian kanker serviks pada tahun 2008 (Globocan, 2008).
Tabel 2.1 Jumlah kasus dan kematian kanker serviks pada tahun 2008 (dalam ribu) (Globocan,
2008).
Estimated numbers (thousands) Cases Deaths
World 530 275
More developed regions 76 32
24
Less developed regions 453 242
WHO Africa region (AFRO) 75 50
WHO Americas region (PAHO) 80 36
WHO East Mediterranean region (EMRO) 18 11
WHO Europe region (EURO) 61 28
WHO South-East Asia region (SEARO) 188 102
WHO Western Pacific region (WPRO) 105 46
IARC membership (22 countries) 193 96
United States of America 11 3
China 75 33
India 134 72
European Union (EU-27) 31 13
Untuk wilayah ASEAN, insidens kanker serviks di Singapore sebesar 25,0
pada ras Cina; 17,8 pada ras Melayu; dan Thailand sebesar 23,7 per 100.000
penduduk. Insidens dan angka kematian kanker serviks menurun selama beberapa
dekade terakhir di AS. Hal ini karena skrining Pap menjadi lebih populer dan lesi
serviks pre-invasif lebih sering dideteksi daripada kanker invasif. Diperkirakan
terdapat 3.700 kematian akibat kanker serviks pada 2006.
Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker mulut rahim
setiap tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium
patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah
penderita terbanyak di Indonesia, yaitu lebih kurang 36%. Dari data 17 rumah
sakit di Jakarta 1977, kanker serviks menduduki urutan pertama, yaitu 432 kasus
di antara 918 kanker pada perempuan.
Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks sebesar
76,2% di antara kanker ginekologi.Terbanyak pasien datang pada stadium lanjut,
yaitustadium IIB-IVB, sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium IIIB, yaitu
stadium dengan gangguan fungsi ginjal, sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga
kasus.2 Relative survival pada wanita dengan lesi pre-invasif hampir 100%.
Relative 1 dan 5 years survival masingmasing sebesar 88% dan 73%. Apabila
dideteksi pada stadium awal, kanker serviks invasif merupakan kanker yang
paling berhasil diterapi, dengan 5 YSR sebesar 92% untuk kanker lokal.
25
Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker serviks saat ini
menempati urutan pertama kanker yang diderita oleh kaum wanita Indonesia. Saat
ini ada 100 kasus per 100.000 penduduk atau 200.000 kasus setiap tahunnya
dengan usia antara 45-54 tahun dan menempati urutan teratas dari 10 kanker yang
banyak pada wanita dan sekitar 65% berada pada stadium lanjut.
Data yang dikumpulkan dari 13 laboratorium patologi anatomi di Indonesia
menunjukkan bahwa frekuensi kanker serviks tertinggi di antara kanker yang ada
di Indonesia maupun Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr.
Ciptomangunkusumo. Akumulasi penyebaran kanker serviks sendiri terdapat di
Jawa-Bali yakni 92,44%.
Untuk wilayah kota medan terdapat 62 kasus kanker seviks sepanjang tahun
2010. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari berbagai rumah sakit di
Sumatera Utara ditemukan bahwa di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Medan dalam kurun waktu 1998-2002 dari 802 kasus kanker ginekologik dan 421
(52,5%) diantaranya adalah kanker leher rahim. Di Rumah Sakit St. Elisabeth
Medan selama kurun waktu 1998-2004 dari 1.672 kasus kanker ditemukan 195
kasus (11,66%) diantaranya didiagnosis sebagai kanker leher rahim (Zai Elwin,
2009). Dan data dari RSUD dr.Pirngadi Kota Medan pada tahun 2006, jumlah
penderita kanker serviks sebanyak 28, tahun 2007 sebanyak 32 orang,tahun 2008
sebanyak 35 orang, tahun 2009 sebanyak 25 orang, dan pada tahun 2010 sebanyak
40 orang. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa kasus kanker leher
rahim mengalami peningkatan setiap tahunnya (Universitas Sumatera Utara,
2012).
Untuk daerah dengan penderita kanker terbanyak di Indonesia adalah di
Yogyakarta. Di daeerah tersebut, tingkat prevalensi tumor mencapai 9,6 per 1000
orang. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari nilai rata-rata prevalensi nasional
yang sebesar 4,3 per 1.000 orang (Jerry, 2009).
Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah,
status sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana
dan prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam
menentukan prognosis dari penderita (Imam, 2009).
26
Saat ini telah diketahui di beberapa negara bahwa puncak insidensi lesi
prakanker serviks terjadi pada kelompok usia 30-39 tahun, sedangkan kejadian
kanker serviks terjadi pada usia di atas 60 tahun. Di Indonesia, telah dilakukan
penelitian pada tahun 2002 mengenai puncak insidensi kanker serviks yaitu pada
kelompok usia 45-55 tahun. Penelitian lain di RSCM (1997-1998) menunjukkan
insidens kanker serviks meningkat sejak usia 25-34 tahun dan puncaknya pada
usia 35-44 tahun, sementara di Indonesia pada usia 45-55 tahun.
Pada penelitian lain secara retrospektif yang dilakukan oleh Schellekens dan
Ranti di Rumah Sakit dr.Hasan Sadikin Bandung untuk periode Januari tahun
2000 sampai Juli 2001 dengan interval umur mulai 21 sampai 85 tahun (N=307),
didapatkan usia rata-rata dari pasien karsinoma serviks yaitu 32 tahun (Lestari,
2009).
Tingginya kasus kanker leher rahim disebabkan minimnya kesadaran untuk
melakukan deteksi dini, dikarenakan upaya promosi dan preventif dalam
pencegahan terhadap kasus kanker leher rahim masih kurang digalakkan oleh
pemerintah yang mengakibatkan masyarakat menjadi kurang informasi mengenai
bahaya kanker leher rahim dan berbagai upaya pencegahannya. Selain itu, rasa
keingintahuan masyarakat Indonesia juga dinilai masih rendah, khususnya ibu-
ibu. Ditambah lagi masih berkembangnya persepsi di setiap masyarakat kita
bahwa sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit hanya
sebagai tempat untuk berobat saja, itu artinya masyarakat hanya datang ke pusat
pelayanan kesehatan jika mereka sudah sakit. Akibatnya, sebagian besar kasus
yang ditemukan sudah masuk pada stadium lanjut dan menyebabkan kematian
karena kanker leher rahim tidak menunjukkan gejala (Universitas Sumatera Utara,
2012).
2.2.7.1 Faktor Risiko
Terdapat banyak faktor risiko dari penyakit kanker serviks. Beberapa faktor
tersebut yaitu:
1. Hubungan Seksual
27
Karsinoma serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan
secara seksual. Beberapa bukti menunjukkan adanya hubungan antara
riwayat hubungan seksual danrisiko penyakit ini. Sesuai dengan etiologi
infeksinya, wanita dengan partner seksual yang banyak dan wanita yang
memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko
terkena kanker serviks. Karena sel kolumnar serviks lebih peka
terhadap metaplasia selama usia dewasa maka wanita yang
berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena
kanker serviks lima kali lipat. Keduanya, baik usia saat pertama
berhubungan maupun jumlah partner seksual, adalah faktor risiko kuat
untuk terjadinya kanker serviks (Imam, 2009).
2. Karakteristik Partner
Sirkumsisi pernah dipertimbangkan menjadi faktor pelindung,
tetapi sekarang hanya dihubungkan dengan penurunan faktor risiko.
Studi kasus kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan kanker serviks
lebih sering menjalani seks aktif dengan partner yang melakukan seks
berulang kali. Selain itu, partner dari pria dengan kanker penis atau
partner dari pria yang istrinya meninggal terkena kanker serviks juga
akan meningkatkan risiko kanker serviks (Imam, 2009).
3. Riwayat Ginekologis
Walaupun usia menarke atau menopause tidak mempengaruhi
risiko kanker serviks, hamil di usia muda dan jumlah kehamilan atau
manajemen persalinan yang tidak tepat dapat pula meningkatkan risiko
(Imam, 2009).
4. Dietilstilbesterol (DES)
Hubungan antara clear cell adenocarcinoma serviksdan paparan
DES in utero telah dibuktikan. Agen Infeksius Mutagen pada umumnya
berasal dari agen-agen yang ditularkan melalui hubungan seksual
seperti Human Papilloma Virus (HPV) dan Herpes Simpleks Virus Tipe
2 (HSV 2) (Imam, 2009).
5. Human Papilloma Virus (HPV)
28
Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa Human
Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab neoplasia servikal.
Karsinogenesis pada kanker serviks sudah dimulai sejak seseorang
terinfeksi HPV yang merupakan faktor inisiator dari kanker serviks
yang menyebabkan terjadinya gangguan sel serviks. Ada bukti lain
yaitu onkogenitas virus papilom ahewan; hubungan infeksi HPV serviks
dengan kondiloma dan atipik koilositotik yang menunjukkan displasia
ringan atau sedang; serta deteksi antigen HPV dan DNA dengan lesi
servikal. HPV tipe 6 dan 11 berhubungan erat dengan diplasia jaringan
yang sering regresi. HPV tipe 16 dan 18 dihubungkan dengan diplasia
berat yang jarang regresi dan seringkali progresif menjadi karsinoma
insitu. Infeksi Human Papilloma Virus persisten dapat berkembang
menjadi neoplasia intraepitel serviks (NIS). Seorang wanita dengan
seksual aktif dapat terinfeksi oleh HPV risiko-tinggi dan 80% akan
menjadi transien dan tidak akan berkembang menjadi NIS. HPV akan
hilang dalam waktu 6-8 bulan. Dalam hal ini, respons antibodi terhadap
HPV risiko-tinggi yang berperan. Dua puluh persen sisanya
berkembang menjadi NID dan sebagian besar, yaitu 80%, virus
menghilang, kemudian lesi juga menghilang. Oleh karena itu, yang
berperan adalah cytotoxic T-cell. Sebanyak 20% dari yang terinfeksi
virus tidak menghilang dan terjadi infeksi yang persisten. NIS akan
bertahan atau NIS 1 akan berkembang menjadi NIS 3, dan pada
akhirnya sebagiannya lagi menjadi kanker invasif. HPV risiko rendah
tidak berkembang menjadi NIS 3 atau kanker invasif, tetapi menjadi
NIS 1 dan beberapa menjadi NIS 2. Infeksi HPV risiko-rendah
sendirian tidak pernah ditemukan pada NIS 3 atau karsinoma invasif.
Berdasarkan hasil program skrining berbasis populasidi Belanda,
interval antara NIS 1 dan kanker invasif diperkirakan 12,7 tahun dan
kalau dihitung dari infeksi HPV risiko-tinggi sampai terjadinya kanker
adalah 15 tahun. Waktu yang panjang ini, di samping terkait dengan
infeksi HPV risiko-tinggi persisten dan faktor imunologi (respons HPV-
specific T-cell, presentasi antigen), juga diperlukan untuk terjadinya
29
perubahan genom dari sel yang terinfeksi. Dalam hal, ini faktor
onkogen E6 dan E7dari HPV berperan dalam ketidakstabilan genetik
sehingga terjadi perubahan fenotipe ganas. Oncoprotein E6 dan E7 yang
berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi
keganasan. Oncoprotein E6 akan mengikat p53 sehingga TSG p53 akan
kehilangan fungsinya. Sementara itu, oncoprotein E7 akan mengikat
TSG Rb. Ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F yang merupakan
faktor transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol (Imam,
2009).
6. Virus Herpes Simpleks
Walaupun semua virus herpes simpleks tipe 2 (HPV-2) belum
didemonstrasikan pada sel tumor, teknik hibridisasi insitu telah
menunjukkan bahwa terdapat HSVRNA spesifik pada sampel jaringan
wanita dengan displasia serviks. DNA sekuens juga telah diidentifikasi
pada sel tumor dengan menggunakan DNA rekombinan Diperkirakan,
90% pasien dengan kanker serviks invasif dan lebih dari 60% pasien
dengan neoplasia intraepitelial serviks (CIN) mempunyai antibodi
terhadap virus (Imam, 2009).
7. Lain-lain
Infeksi trikomonas, sifilis, dan gonokokus ditemukan
berhubungan dengan kanker serviks. Namun, infeksi ini dipercaya
muncul akibat hubungan seksual dengan multipel partner dan tidak
dipertimbangkan sebagai faktor risiko kanker serviks secara langsung
(Imam, 2009).
8. Merokok
Saat ini terdapat data yang mendukung bahwa rokok sebagai
penyebab kanker serviks dan hubungan antara merokok dengan kanker
sel skuamosa pada serviks (bukan adenoskuamosa atau
adenokarsinoma). Mekanisme kerja bisa langsung (aktivitas mutasi
mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek
imunosupresif dari merokok. Bahan karsinogenik spesifik dari
tembakau dapat dijumpai dalam lendir dari mulut rahim pada wanita
30
perokok. Bahan karsinogenik ini dapat merusak DNA sel epitel
skuamosa dan bersama infeksi HPV dapat mencetuskan transformasi
keganasan (Imam, 2009).
9. Faktor risiko yang diperkirakan.
a. Kontrasepsi Oral
Risiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah menunjukkan
hubungan dengan kontrasepsi oral. Bagaimanapun, penemuan ini
hasilnya tidak selalu konsisten dan tidak semua studi dapat
membenarkan perkiraan risiko dengan mengontrol pengaruh
kegiatan seksual. Beberapa studi gagal dalam menunjukkan
beberapa hubungan dari salah satu studi, bahkan melaporkan
proteksi terhadap penyakit yang invasif. Hubungan yang terakhir
ini mungkin palsu dan menunjukkan deteksi adanya bias karena
peningkatan skrining terhadap pengguna kontrasepsi. Beberapa
studi lebih lanjut kemudi memerlukan konfirmasi atau menyangkal
observasi ini mengenai kontrasepsi oral.
b. Diet
Diet rendah karotenoid dan defisiensi asam folat juga dimasukkan
dalam faktor risiko kanker serviks.
c. Etnis dan Faktor Sosial
Wanita di kelas sosioekonomi yang paling rendah memiliki faktor
risiko lima kali lebih besar daripada wanita di kelas yang paling
tinggi. Hubungan ini mungkin dikacaukan oleh hubungan seksual
dan akses ke sistem pelayanan kesehatan. Amerika Serikat, ras
negro, hispanik, dan wanita Asia memiliki insiden kanker serviks
yang lebih tinggi daripada wanita ras kulit putih. Perbedaan ini
mungkin mencerminkan pengaruh sosioekonomi.
d. Pekerjaan
Sekarang ini, ketertarikan difokuskan pada pria yang pasangannya
menderita kanker serviks. Diperkirakan bahwa paparan bahan
31
tertentu dari suatu pekerjaan (debu, logam, bahan kimia, tar, atau
oli mesin) dapat menjadi faktor risiko kanker serviks.
Faktor risiko lain menurut American Cancer Society
karangan Marcovic tahun 2008 yaitu: (Hartanti, 2010)
a. Riwayat keluarga: terutama yang mempunyai ibu
atau saudara perempuan yang telah menderita
kanker serviks. Beberapa ilmuwan percaya bahwa
mereka membawa kondisi genetik sehingga
membuat lebih rentan terinfeksi HPV.
b. Usia: kanker ini lebih sering terjadi pada usia 40
tahun keatas dan sangat jarang terjadi pada wanita
kurang dari usia 15 tahun.
c. Diet yang tidak sehat: jenis asupan makanan sehari-
hari yang tidak sehat dapat meningkatkan risiko
terjadinya kanker serviks, begitu juga jika
kekurangan gizi, maka tubuh menjadi lemah dan
tidak dapat melawan viru.
d. Adanya sel abnormal: sel seperti diskaryosis
meningkatkan tingkat risiko kanker.
e. Sering hamil: melahirkan anak banyak dan sering
hamil juga dapat meningkatkan risiko kanker serviks
pada wanita.
f. Pil KB: penggunaan pil KB dapat meningkatkan risikio
terjadinya kanker serviks, terutama yang sudah
positif terhadap HPV. Fakta menunjukkan bahwa
penggunaan kontrasepsi oral (pil KB) sedikitnya 5
tahun ada hubungannya dengan peningkatan risiko
kanker serviks. Analisis data oleh International
Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun
2003 menemukan bahwa ada peningkatan kanker
serviks dengan penggunaan pil KB. Menurut hipotesis
Gustav et al (2009), kekentalan lendir pada serviks
32
akibat penggunaan pil KB menyokong terjadinya
kanker serviks, karena dengan kekentalan lendir ini
akan memperlama keberadaan suatu agen
karsinogenik (penyebab kanker) di serviks yang
terbawa melalui hubungan seksual termasuk adanya
HPV (Imam, 2009).
2.3 Pencegahan Kanker Serviks
Umumnya virus HPV tertular melalui kontak seksual. Kondom dapat
mencegah penyebaran berbagai penyakit seksual, tetapi tidak HPV. HPV
ditemukan pada semua jaringan genitalia dan kondom pada penis tidak dapat
mencegah transmisi HPV. Virus dapat tinggal dengan masa dorman pada serviks
selama sekitar 20 tahun sebelum ia menyebabkan perubahan pada sel, yang
biasanya ditemukan pada pemeriksaan rutin pap smear (Stoppler, 2013).
Kanker serviks dimulai dengan perubahan abnormal pada jaringan serviks.
Infeksi dengan human papillomavirus (HPV) adalah penyebab pada hampir semua
kasus kanker serviks. Faktor risiko lain yang dikenal untuk kanker serviks
meliputi kontak seksual dini, banyak pasangan seksual, merokok, infeksi HIV dan
sistem kekebalan tubuh yang lemah, dan menggunakan kontrasepsi oral (pil KB)
(Stoppler, 2013).
1. Karena HPV dapat ditularkan melalui hubungan seksual, kontak seksual
dini dan memiliki banyak pasangan seksual telah diidentifikasi sebagai
faktor risiko untuk perkembangan lesi serviks yang dapat berkembang
menjadi kanker. Cara ini cara paling sering untuk penularan kanker
serviks.
2. Merokok merupakan faktor risiko untuk perkembangan kanker serviks.
Bahan kimia dalam asap rokok berinteraksi dengan sel-sel leher rahim,
menyebabkan perubahan prakanker yang mungkin suatu saat akan
menjadi kanker.
3. Kontrasepsi oral dapat meningkatkan risiko untuk kanker serviks,
terutama pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral selama lebih
dari lima tahun.
33
4. Wanita yang sistem kekebalan tubuhnya lemah, seperti perempuan yang
terinfeksi HIV, juga berisiko lebih besar untuk kanker serviks (Stoppler,
2013).
Infeksi HPV sangat umum dan tidak menyebabkan kanker pada sebagian
besar kasus. Infeksi kelamin dengan HPV biasanya tidak menimbulkan gejala dan
sembuh dengan sendirinya, walaupun terkadang infeksi sebenarnya terus
berlanjut. Perubahan pra-kanker atau kanker serviks pada akhirnya hanya muncul
ketika ada infeksi persisten oleh salah satu jenis HPV yang terkait dengan kanker
serviks dan lainnya (Stoppler, 2013).
Kanker serviks dimulai pada sel-sel pada permukaan serviks. Seiring waktu,
kanker serviks dapat menyerang lebih dalam ke dalam serviks dan jaringan di
dekatnya. Sel-sel kanker serviks dapat menyebar dengan memecah dari tumor
serviks. Mereka dapat melakukan perjalanan melalui pembuluh getah bening ke
kelenjar getah bening di dekatnya. Juga, sel-sel kanker dapat menyebar melalui
pembuluh darah ke paru-paru, hati, atau tulang (Anonim, 2011).
2.3.1 Deteksi Dini Kanker Serviks
Karena deteksi dini memprediksi prognosis yang lebih baik, salah satu cara
yang paling efektif untuk mencegah dan mengendalikan kanker serviks adalah
skrining rutin dan diagnosis dini. Terlepas dari kenyataan bahwa lebih dari 80%
kasus kanker serviks di negara berkembang, hanya 5% dari wanita setiap satu
sampai tiga tahun, pernah diperiksa untuk kelainan serviks. (Duraisamy, 2011 cit.
WHO, 2006) Berikut merupakan berbagai jenis pemeriksaan sebagai bentuk
deteksi dini kanker serviks:
1. Papanicolaou Test (Pap Smear)
Bentuk yang paling umum dari diagnosis untuk mendeteksi
kanker serviks pada tahap awal adalah prosedur yang disebut tes Pap
Smear atau Papanicolaou. Tes ini tidak menimbulkan rasa sakit,
biasanya memakan waktu kurang dari 5 menit untuk menyelesaikan dan
dapat dilakukan di tempat praktik dokter. Wanita yang berusia 18 atau
lebih tua atau yang sudah aktif secara seksual disarankan untuk
menjalani tes Pap smear tahunan. Prosedur ini dilakukan dengan
seorang wanita berbaring telentang di atas meja. Dokter akan
34
memasukkan alat yang disebut spekulum dalam vaginanya sebelum
mengeluarkan beberapa sel dari leher rahim menggunakan kapas atau
sikat kecil. Sel-sel tersebut kemudian dikirim ke laboratorium dan akan
diamati di bawah mikroskop untuk menentukan apakah terdapat sel-sel
prakanker atau kanker. Jika hasil tes menunjukkan kelainan, pasien
akan diminta untuk kembali ke dokter sehingga tes tambahan dapat
dilakukan. Jika hasil tes negatif, perempuan dapat menjadwalkan janji
tahunan untuk melakukan tes Pap smear secara rutin.
Nilai dari tes Pap smear pada kanker serviks metode ini telah
menghasilkan penurunan angka kematian akibat kanker serviks
mendekati 60% pada wanita berusia 30 dan lebih tua. Namun,dari hasil
identifikasi beberapa keterbatasan Pap smear konvensional, sensitivitas
untuk mendeteksi tanda awal kanker serviks kurang dari 50%, transfer
yang tidak memadai memadai sel untuk slide, distribusi yang tidak
homogen dari sel-sel abnormal, adanya lapisan darah, peradangan atau
daerah yang tebal sehingga mengakibatkan sel-sel epitel menjadi
tumpang tindih. Terjadinya Pap smear yang palsu dan tidak
memuaskan telah mendorong pengembangan perangkat skrining LBC
dan otomatis.
2. Pemeriksaan Panggul
Pemeriksaan panggul juga merupakan metode yang penting untuk
mendeteksi kanker serviks. Pemeriksaan ini sangat mirip dengan Pap
smear. Seorang wanita dalam posisi berbaring sementara dokter
memasukkan spekulum ke dalam vagina. Dokter kemudian akan
memeriksa vagina dan organ sekitarnya baik secara visual dan manual.
Dia akan memasukkan jari bersarung dan lembut merasakan leher
rahim dan organ sekitarnya dengan jari-jarinya, sementara tangan
lainnya menekan lembut pada perut pasien.
3. Kolposkopi
Kolposkopi diperbesar pemeriksaan visual dari ektoserviks, SCJ
dan kanal endoserviks menggunakan alat khusus yang disebut
colposcope. Ini dapat disertai dengan biopsi dari setiap jaringan
35
abnormal yang tampak sangat mirip dengan Pap smear. Seorang wanita
akan berbaring telentang sementara dokter memasukkan spekulum ke
dalam vagina. Dia juga akan menerapkan anestesi lokal untuk leher
rahim serta cairan khusus yang akan mewarnai setiap sel abnormal
putih. Dokter kemudian dapat melihat sel-sel dengan menggunakan
mikroskop bertenaga tinggi untuk mendeteksi sel-sel kanker yang
abnormal. Hal ini digunakan bukan sebagai tes skrining, tetapi sebagai
tes diagnostik. Konisasi atau Cone Biopsi, kuretase Edocervical,
LLETZ/ LEEP dan prosedur pencitraan adalah teknik lebih lanjut yang
dapat diterapkan ketika mendiagnosis kanker serviks.
4. Liquid-Based Cytology (LBC)
Semua teknologi sitologi yang tersedia saat ini bergantung pada
analisis visual sel yang dikelupas dari serviks uterus. Peningkatan
skrining sitologi konvensional telah diusulkan oleh pengenalan penanda
berbasis molekuler diterapkan untuk sitologi berbasis cairan (LBC). Hal
ini dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan Pap smear dan
mewakili perubahan besar pada persiapan sampel skrining serviks.
Alih-alih sel yang diusapkan ke slide kaca, tetapi sel dicuci ke dalam
botol cair dan disaring dan sampel acak disajikan dalam lapisan tipis
pada slide kaca. Perubahan metilasi DNA terjadi pada awal
karsinogenesis dan identifikasi penanda metilasi DNA yang sesuai
dalam sampel tersebut harus dapat membedakan lesi squamous
intraepithelial (HSIL) tingkat tinggi dari perubahan sitologi spesifik dan
leher rahim yang normal. Sitologi berbasis cairan (LBC) sesuai dengan
sampling dimana sel-sel yang dimasukkan ke dalam suspensi dalam
cairan. Untuk dokter, sampel dibuat dengan cara yang sama seperti
yang dari smear konvensional dengan menggunakan sikat plastik, yang
dapat mengambil persimpangan squamo-kolumnar dan endoserviks,
atau dengan mengkombinasikan penggunaan spatula dan sikat
endoserviks. Yang diambil material kemudian segera dibilas dalam
botol, yang berisi fixative sehingga memungkinkan dikirim ke
laboratorium. Sebuah bagian dari sikat yang cukup besar dapat
36
dibiarkan dalam botol. Dokter tidak harus berurusan dengan spreading,
yang dilakukan di laboratorium. Saat ini, dua metode teknis, yang
menggunakan automatis, telah divalidasi oleh Food and Drug
Administration (FDA) dan sering digunakan.
Salah satunya adalah melanjutkan dengan filtrasi dan
mengumpulkan sel vakum yang dikemas pada membran dengan
mentransfer sel pada kaca (ThinPrep®, Cytyc®). Yang lainnya adalah
melanjutkan dengan sentrifugasi dan sedimentasi melalui kepadatan
gradien (SurePath®, Tripath Pencitraan®). Cytoscreen Sistem®
(SEROA®), Turbitec® (Labonord®), CellSlide® (Menarini®) dan
Papspin® (Shandon®) adalah teknik sentrifugasi dan teknik panduan
sedimentasi, yang tidak menggunakan mengotomatisasi dan tidak
memerlukan perjanjian FDA.
5. SurePath (AutoCytePREP atau CytoRich LBC)
Metode SurePath mensyaratkan bahwa perangkat koleksi
ditempatkan dalam botol koleksi proprietary SurePath, yang berisi
cairan transportasi, sehingga semua sel serviks yang dikumpulkan
dikirim ke laboratorium. Botol di-vortex dan disentrifugasi oleh
pegawai laboratorium, semua persiapan berikutnya dari sampel dan
slide otomatis menggunakan mesin Prepstain, yang memproses 48
sampel pada suatu waktu.
6. Cytoscreen
Cytoscreen adalah metode manual persiapan sampel
menggunakan sampel koleksi perangkat proprietary (CYTOPREP) dan
cairan transportasi (CYTeasy). Sampel vortexed dan pembacaan
fotometri diambil untuk memperkirakan cellularity sampel. Sebuah
alikuot sampel disentrifugasi ke slide kaca yang kemudian diwarnai
dengan menggunakan prosedur laboratorium normal.
7. Labonard Easy Prep
Labonard Easy Prep adalah metode manual persiapan sampel
yang menggunakan perangkat koleksi sampel proprietary (CYTOPREP
sikat) dan fiksatif (CYTOscreen). Cairan sampel aliquot ditempatkan
37
dalam ruang pemisahan melekat pada slide kaca yang berisi kertas
penyerap.
Sedimen sel serviks diletakan di atas slide dalam lapisan tipis dan
slide diberi warna menggunakan prosedur laboratorium umum.
8. ThinPrep
ThinPrep menyediakan metode persiapan sampel semi-otomatis
(T2000) atau otomatis (T3000). Sampel serviks dibilas dengan media
transportasi PreservCyt proprietary ke dalam botol, yang kemudian
diolah dengan metode ThinPrep menggunakan mesin T2000 atau
T3000. Proses slide untuk mesin T2000 dilakukan secara individual,
sementara mesin T3000 adalah perangkat otomatis yang dapat
memproses sampai dengan 80 spesimen per siklus. Pewarnaan
berikutnya dan evaluasi mikroskopis slide dilakukan dengan cara yang
mirip dengan pemeriksaan Pap smear konvensional.
Kualitas evaluasi kinerja teknologi ini sering buruk dan jarang
atas dasar hasil yang didefinisikan secara histologis menggunakan
desain studi acak. Secara umum, proporsi sampel tidak memuaskan
lebih rendah dibandingkan dengan di LBC sitologi konvensional dan
penafsiran LBC membutuhkan waktu yang relative lebih sebentar.
Biaya tes LBC individu jauh lebih tinggi, tapi pengujian molekuler
tambahan, seperti pengujian HPV risiko tinggi dalam kasus sel
skuamosa atipikal yang signifikansinya belum ditentukan (ASC-US),
dapat dilakukan pada sampel yang sama. Keuntungan ekonomi LBC
karena berkurangnya pengambilan kembali sampel baru. Keuntungan
dari LBC termasuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas sejak
fiksasi lebih baik dan rincian nuklir terjaga dengan baik. Selain itu tarif
yang lebih rendah untuk sampel serviks yang lebih memuaskan.
Keuntungan lain utama dari LBC adalah bahwa spesimen sisa dapat
digunakan untuk ancillarytesting seperti imunohistokimia dan deteksi
HPV DNA.
9. Automated Screening Technology
38
Efektivitas program skrining kanker serviks yang mengandalkan
sitologi serviks adalah kontrol kualitas dari tinjauan sitologi Pap smear.
Hal ini penting untuk mengurangi positif dan negatif yang salah yang
dihasilkan dari variasi inter-dan intra-pengamat. Teknik penyaringan
otomatis baru-baru ini telah dikembangkan yang tidak hanya dapat
melakukan ini kontrol kualitas skrining kembali tetapi juga dapat
digunakan untuk penyaringan utama pada hapusan serviks. Autopap300
(Tripath Imaging, Burlington NC) dan PAPNET (sistem Neuromedical)
adalah dua teknik penyaringan otomatis yang sebagian besar
bergantung pada jaringan saraf dan didasarkan pada pencitraan
terkomputerisasi dan identifikasi sel serviks yang abnormal. Diantara
ini hanya Autopap300 disetujui oleh USFDA untuk skrining serviks
primer dan sekunder sedangkan PAPNET ini hanya disetujui untuk
skrining sekunder.
10. HPV-DNA Testing
Peran etiopathological HPV dalam perkembangan kanker serviks
telah dibuktikan. HPV tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39 45, 51, 52, 56, 59 dan
68 yang diketahui sering dikaitkan dengan HSIL dan kanker invasif
serviks. Pemeriksaan untuk memeriksa adanya HPV-DNA dalam sel-sel
serviks sehingga metode skrining berpotensi berguna, yang dapat
dimasukkan dalam program skrining kanker serviks. Ada berbagai
teknik yang tersedia untuk tes HPV-DNA yang Southern Blot
hibridisasi dianggap sebagai standar laboratorium. Namun ini tidak
cocok untuk penggunaan klinis karena melelahkan, membosankan dan
membutuhkan jaringan yang segar. Spesimen untuk pengujian HPV-
DNA dapat diperoleh dengan dua cara, baik dengan menggunakan
suspensi sel dari sitologi berbasis cairan atau dengan menggunakan
Cytobrush endoserviks.
11. Visual Inspection of the Cervix with Acetic Acid (VIA)
Teknik ini sangat sederhana dan terdiri dari pemeriksaan leher
rahim setelah aplikasi asam asetat. Setelah mendapatkan catatan klinis
dan melakukan pemeriksaan umum, serviks dibuka menggunakan
39
spekulum. Asam asetat 4% kemudian diaplikasikan pada leher rahim
dan kelebihan cairan disedot dari forniks posterior vagina. Leher rahim
diperiksa setelah dua menit. Lesi yang memberi warna acetowhite
dianggap sebagai positif untuk VIA. Lesi dengan plak putih kusam dan
perbatasan samar dianggap kelas rendah VIA sementara mereka dengan
batas tajam dianggap kelas tinggi VIA. Tes ini dianggap sebagai negatif
jika tidak ada lesi acetowhite terdeteksi. Penelitian telah menunjukkan
bahwa VIA merupakan pemeriksaan yang akurat, sensitif dan biaya
yang efektif merupakan alternatif untuk pengujian Pap smear
konvensional, terutama dalam pengaturan sumber daya yang rendah.
VIA lebih baik daripada Pap smear untuk mengidentifikasi ini CIN-
terutama jika seorang wanita diuji hanya sekali dalam masa
hidupnya.VIA sederhana untuk dilakukan dan memberikan hasil
langsung tanpa peralatan mahal.
12. Visual Inspection with Lugol’s Iodine (VILI)
VILI juga merupakan metode visual untuk skrining kanker
serviks. Setelah serviks wanita diperiksa menggunakan VIA, serviks
dicat dengan larutan yodium lugol dan diperiksa lagi dengan mata
telanjang. Lesi kecil dengan tingkatan yang lebih tinggi lebih mudah
untuk dilihat dalam wilayah tingkat yang lebih rendah yang luas. Sel
epitel skuamosa normal memiliki penyimpanan untuk glikogen.
Glikogen akan memberi warna cokelat kemerahan dengan larutan
yodium. Daerah abnormal dari epitel skuamosa (CIN atau peradangan)
tidak mengandung glikogen pada tingkat yang sama dan tidak noda
coklat. VILI lebih akurat dan lebih dapat direproduksi dari VIA dan
lebih baik daripada Pap smear untuk mengidentifikasi CIN. VILI lebih
sederhana untuk dilakukan dan memberikan hasil langsung tanpa
peralatan mahal.
13. Speculoscopy
Speculoscopy melibatkan pemeriksaan leher rahim setelah
aplikasi asam asetat 5% dengan cahaya chemiluminescent dan sedikit
perbesaran.
40
14. Servikografi
Servikografi melibatkan mengambil foto serviks menggunakan
kamera khusus setelah aplikasi asam asetat 5% selama pemeriksaan
panggul rutin dan pada koleksi Pap smear. Foto-foto tersebut kemudian
dikembangkan dan slide diproyeksikan pada layar 2x2 meter dan dibaca
oleh seorang ahli kolposkopi.
15. Polar Probe
Teknologi ini didasarkan pada fakta bahwa impedansi jaringan
pada stimulasi listrik berbeda antara jaringan normal dan abnormal.
Ilmuwantelah mencoba untuk memanfaatkan rangsangan spektral dan
listrik dari jaringan serviks sebagai tambahan untuk pengujian Pap
smear konvensional.
16. Laser Induced Fluorescence
Berbagai peneliti telah menunjukkan bahwa pencahayaan laser
bertenaga rendah dapat menginduksi fluoresensi jaringan endogen. Hal
ini tergantung pada komposisi kimia dan morfologi jaringan individu.
Jika perbedaan spektroskopik terdeteksi maka dapat digunakan untuk
membedakan jaringan normal dan abnormal.
17. Computer Imaging
Diagnosis perubahan prakanker dapat dilakukan dengan
pemilahan informasi grafis. Baru-baru ini banyak pemeriksaan dengan
fokus pada penggunaan komputer untuk membantu proses pemeriksaan.
Ini sangat mirip dengan teknik cervicographic dengan komputer
menggantikan ahli kolposkopi. Namun banyak penelitian perlu
dilakukan untuk mengevaluasi teknologi ini sebelum dapat dimasukkan
ke dalam program skrining (Duraisamy, 2011).
2.3.2 Vaksin Human Papilloma Virus (HPV)
Vaksin HPV adalah vaksin yang memberi kekebalan tubuh terhadap virus
HPV yang menjadi penyebab dari sebagian besar kanker serviks. Vaksin HPV
terdiri dari HPV yang dilemahkan sehingga tidak akan menginfeksi tubuh ketika
vaksin diberikan. Kehadiran virus yang dilemahkan ke dalam tubuh membuat
tubuh secara alami membuat antibodinya sehingga ketika suatu hari orang tersebut
41
terinfeksi virus HPV dari luar maka didalam tubuhnya sudah ada antibodinya
sehingga virus tidak menganggu sistem imun orang yang teinfeksi.
Vaksin diberikan kepada para anak perempuan berusia 10-15 tahun,
perempuan usia 15-55 tahun, dan anak laki-laki usia 10-26 tahun. Untuk
perempuan, vaksin HPV tipe 16 dan 18 berpotensi mencegah lebih 70 persen
kanker serviks dan tipe 6 dan 11 untuk kutil kelamin. Vaksin HPV merupakan era
baru dalam pencegahan kanker serviks bagi remaja putri dan perempuan dewasa.
Vaksinasi yang dilengkapi dengan skrining akan mengurangi risiko kanker serviks
dibanding dengan skrining saja (Koran Jakarta, 2013).
Vaksinasi virus Human Papilloma (HPV) untuk mencegah kanker rahim
ternyata belum populer dilakukan di Indonesia. Padahal, vaksinasi ini berhasil
mencegah hingga 70 persen kanker rahim. Salah satu penyebabnya adalah
tingginya harga vaksinasi ini. Harga vaksinasi memerlukan biaya Rp600.000,00
hingga Rp1.200.000,00. Vaksin ini harus diberikan tiga kali, yakni pada bulan
nol, satu, dan lima. Penyebab lain kurang populernya vaksin ini karena masih baru
dan perlindungan patennya masih cukup lama (National Geographic Indonesia,
2012).
2.3.2.1 Mekanisme Kerja Vaksin HPV
Vaksin mengandung antigen spesifik yang dapat meningkatkan respon imun
tubuh dengan cara menstimulasi fungsi sel memori. Sel-sel leukosit memegang
peranan penting dalam melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme ataupun
terhadap keberadaan sel yang abnormal, terutama limfosit. Sekelompok sel
limfosit yang berperan dalam respon imun spesifik ini adalah sel B dan sel T-
sitotoksik. Sel B memproduksi antibodi, yang dapat mengenali dan mencegah
terjadinya infeksi. Sel T sitotoksik yang juga dikenal killer T cells, akan
melisiskan sel yang terinfeksi dengan cara menginduksi apoptosis. Vaksin kanker
bekerja dengan cara mengaktifasi sel B dan sel T sitotoksik dan mensensitisasi sel
kanker. Pada umumnya sel kanker mengandung self antigens dan non-self
antigens atau cancer-associated antigens. Keberadaan cancer-associated antigens
tersebut dapat memicu sel B dan sel T-sitotoksik untuk bekerja menghancurkan
sel-sel kanker. Vaksin kanker merupakan sediaan farmasi yang termasuk dalam
senyawa biological response modifiers, yang bekerja untuk menstimulasi respon
42
imun sehingga mampu mencegah terjadinya penyakit kanker. Terdapat dua jenis
vaksin kanker yaitu cancer prophylactic vaccines, yang digunakan untuk
mencegah terjadinya kanker dan cancer therapeutic vaccines, yang digunakan
untuk mengobati penyakit kanker dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap
kanker (Maksum, 2009).
Vaksin HPV merupakan hasil pengembangan virus-like particles (VLPs).
DNA rekombinan digunakan untuk menghasilkan VLPs yang mampu menyerupai
virus asli dan memunculkan antibodi untuk mengeliminasi virus. VLP merupakan
substansi bersifat imunogenik yang dapat menginduksi antibodi untuk
menetralisasi L1 dengan konsentrasi tinggi, serta memiliki kemampuan untuk
mengaktifkan sistem imun bawaan. (Mariani et al, 2010; Stanley, 2010) VLP juga
menstimulasi respon imun poliklonal (Mariani et al, 2010). HPV berikatan dengan
reseptornya yang terdapat di membran basal sebelum memasuki keratosit. Vaksin
HPV dapat menginduksi terbentuknya Virus Neutralising Antibodies yang mampu
berikatan dengan reseptor HPV atau berikatan dengan kapsid untuk mencegah
viral entry (Stanley, 2008).
Infeksi HPV pada umumnya terjadi pada intraepitel. Antigen viral kemudian
masuk ke saluran limfatik dan lymphnodes yang merupakan tempat inisiasi respon
imun, Vaksin VLP diberikan melalui injeksi intra muskuler akan masuk ke
sirkulasi darah dan saluran limfe yang kemudian akan mengaktifkan sel T helper.
VLP yang berikatan dengan Antigen Presenting Cells (APC) maupun sel-sel
imunokompeten lainnya akan merangsang kaskade dan sel B yang terdapat pada
folikel sehingga terjadi proteksi oleh sistem imun (Stanley, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Adeodata (2010), menunjukkan bahwa
serum IgG dapat bersifat melindungi terhadap infeksi HPV dan kadar IgG yang
tinggi dalam darah disebabkan oleh adanya vaksin L1 HPV yang telah diberikan
sebelumnya. Pada prinsipnya IgG pada cairan yang keluar dari mulut rahim
bersifat melindungi terhadap infeksi HPV dan hal ini diperantarai oleh serum IgG
yang biasa melakukan transudasi pada epitel mulut rahim terutama pada daerah
squamo-columnar junction dan dalam konsentrasi tinggi mengikat partikel virus
yang akhirnya mencegah infeksi. Kadar sistemik dari IgG secara substansial lebih
tinggi dibandingkan pada cairan mulut rahim, sehingga biasanya menimbulkan
43
kekebalan sistemik terhadap infeksi virus HPV pada lokasi lain seperti kulit dan
selaput lendir permukaan epitel lainnya. Kadar antibodi menurun setelah
mencapai puncaknya setelah imunisasi dan kemudian menetap, tetapi masih lebih
tinggi dibandingkan dengan respon kekebalan tubuh yang timbul pada infeksi
alami HPV dan kadar tersebut menetap pada 48 bulan setelah vaksinasi. Infeksi
HPV dapat berulang setelah beberapa tahun dan risiko mendapat infeksi baru
sangat bergantung ada perilaku seksual dari individu tersebut. Kadar antibodi
kapsid pada infeksi alami HPV biasanya stabil pada beberapa tahun dan apabila
diikuti, sebesar 50% dari wanita akan menghasilkan seropositif pada 10 tahun
setelah ditemukannya infeksi virus HPV pada daerah cervico vaginal.
2.3.2.2 Jenis Vaksin HPV
1. Gardasil®
Gardasil® merupakan salah satu vaksin HPV yang dibuat dibuat
oleh Merck Sharp & Dohme. Ada 4 tipe HPV yang dilawan oleh
Gardasil, yakni tipe 6, 11, 16, dan 18. Indikasi Gardasil adalah
mencegah high-grade cervical dysplasia (CIN 2/3), karsinoma serviks,
high-grade vulvar dysplastic lesions (VIN 2/3), dan kutil kelamin
eksternal (condyloma acuminata) yang disebabkan oleh HPV tipe 6, 11,
16 dan 18 (Anonim, 2011).
Gardasil® adalah vaksin quadrivalent yang melindungi tubuh dari
Human Papilloma Virus (HPV). Gardasil® merupakan cairan steril
yang dibuat dari seperti partikel virus yang sangat murni atau highly
purified virus like particles (VLPs). Cairan ini merupakan rekombinan
dari protein kapsid utama (L1) dari HPV tipe 6, 11, 16, dan 18. Protein
L1 dihasilkan dengan fermentasi terpisah dalam rekombinan dari
Saccharomyces cerevisiae (ragi) (Anonim, 2011).
Gardasil® adalah preparat steril untuk pemberian secara
intramuskular. Tiap dosis 0,5 ml mengandung kurang lebih 20 mcg
protein L1 HPV 6, 40 mcg protein L1 HPV 11, 40 mcg protein L1 HPV
16, dan 20 mcg protein L1 HPV 18 (Anonim, 2011).
Gardasil® dijual dalam kemasan yang berisi tiga buah tabung
masing 0,5 ml. satu tabung digunakan untuk satu kali vaksin pada
44
periode tertentu. Pada kotak kemasan Gardasil juga disediakan syringe.
Untuk vaksinasi, dibutuhkan tiga kali penyuntikan, yaitu pada saat:
a. Dosis penyuntikkan pertama kali
b. Dua bulan setelah dosis pertama diberikan
c. Enam bulan setelah dosis pertama diberikan (Akhmad, 2011).
Harga vaksin Gardasil di pasaran beragam dengan rentang harga
antara Rp2.000.000,00 hingga Rp3.000.000,00 untuk tiga kali suntik
atau satu rangkaian vaksinasi (Anonim, 2011).
2. Cervarix®
Cervarix® (Human Papillomavirus Bivalent Vaccine) yang
digunakan untuk HPV tipe 16 dan 18 adalah vaksin rekombinan yang
tidak menginfeksi. Cervarix® dibuat dari partikel mirip virus yang
sangat murni atau highly purified virus-like particles (VLPs) dari
protein kapsid utama L1 dari HPV tipe 16 dan 18 yang dibantu oleh
sistem pembantu dari AS04. Cervarix ini mengandung 3-O-desacyl-4’
monophosphoryl lipid A (MPL), aluminum hidroksida, natrium klorida,
dan natrium dihidrogen fosfat dehidrat (Anonim, 2009).
Cervarix® diindikasikan untuk pencegahan penyakit-penyakit
yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) tipe 16 dan 18,
yaitu:
a. Kanker serviks
b. Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) grade 2 atau yang lebih
buruk dan adenocarcinoma in situ
c. Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) grade 1. (Akhmad, 2011)
Vaksinasi dengan Cervarix terdiri dari tiga dosis masing-masing
sebanyak 0.5 ml, dengan penyuntikkan intramuskular. Penyuntikan
dilakukan pada saat penyuntikan pertama, satu bulan setelah
penyuntikan pertama, dan yang terakhir enam bulan setelah
penyuntikan yang pertama. Penyuntikan pada regio deltoid pada lengan
atas (Akhmad, 2011).
Harga vaksin Cervarix® lebih murah jika dibandingkan dengan
Gardasil®. Cervarix® di pasaran dijual dengan rentang harga antara
45
Rp1.500.000,00 hingga Rp1.900.000,00 untuk tiga kali suntik atau satu
rangkaian vaksinasi (Anonim, 2009).
2.3.2.3 Penyebaran Vaksin HPV di Indonesia
Kanker menjadi pembunuh utama perempuan di Indonesia, terutama kanker
leher rahim dan kanker payudara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat,
terdapat 490.000 perempuan terkena kanker leher rahim tiap tahun, dan 240.000
di antaranya meninggal dunia. Sementara itu, sebanyak 80 persen kasus terjadi di
negara berkembang (National Geographic Indonesia, 2012).
Di Indonesia, ada 15.000 kasus baru tiap tahun dan 8.000 diantaranya
meninggal. 70 persen penderita kanker serviks datang dalam stadium lanjut
sehingga tingkat kesintasan (survival rate) rendah dan biaya perawatan mahal
(National Geographic Indonesia, 2012).
Sekitar 70 persen kanker serviks disebabkan virus HPV tipe 16 dan tipe 18.
HPV sendiri ditularkan lewat hubungan seksual. Untuk itu, perempuan perlu rutin
melakukan deteksi dini dan pap smear di fasilitas pelayanan kesehatan. Sebab,
kemunculan infeksi dan kanker biasanya terjadi pada rentang durasi agak panjang,
yakni 3 hingga 14 tahun (National Geographic Indonesia, 2012).
46
BAB 3
PEMBAHASAN
Kanker serviks adalah pertumbuhan abnormal dari sel-sel pada leher rahim
(serviks), yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) yang bersifat
onkogenik (penyebab kanker). Di Indonesia, kanker serviks merupakan jenis
kanker yang paling sering dijumpai pada wanita. Setiap hari diperkirakan 20
orang wanita Indonesia meninggal karena kanker serviks.Setiap tahun 200.000
orang Indonesia yang didiagnosis dengan kanker, 20% dari mereka (40.000 orang)
divonis menderita kanker serviks. Penyakit ini terutama tersebar luas di
masyarakat tradisional di daerah pedesaan, di mana beberapa faktor risiko
berkontribusi terhadap peluang peningkatan kanker serviks.
Sayangnya, banyak masyarakat khususnya perempuan yang belum
mengenal penyebab kanker serviks. Padahal kanker serviks
telahmenjadi pembunuh nomor satu yang mengintai perempuan. Menurut
Badan Kesehatan Dunia (WHO), 630 juta perempuan terjangkit penyakit ini. Di
mana Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah kasus kanker serviks
tertinggi di dunia. Setiap harinya kanker ini merenggut 600 nyawa wanita di
dunia.
Menurut dr Ayu Muhajiroh dari yayasan Kanker Indonesia (YKI)
Wonosobo, kanker saat ini merupakan salah satu penyebab kematian utama di
Indonesia. Jumlah penderita kanker di Indonesia dari tahun-ketahun kian
meningkat, pada tahun 2011 penderita kanker mencapai 1 per-1000 penduduk,
sedangkan tahun 2012 meningkat menjadi 4,3 per-1000 penduduk.
Dua per tiga dari penderita kanker di dunia berada di negara-negara yang
sedang berkembang termasuk Indonesia. Data Kementerian Kesehatan Republik
Indonesiamenunjukkanjumlah penderita kanker di Indonesia mencapai 6% dari
populasi.
47
Pakar penanganan kanker, dr. Dimyati, mengatakan, survei jumlah penderita
kanker yang dilakukan WHO terhadap negara berkembang juga menunjukkan,
bahwa penyebab kematian akibat kanker yang paling besar dialami oleh
perempuan yaitu kanker serviks dan payudara. Sementara kaum perempuan
sendiri mendominasi penderita kanker di Indonesia.
Menurut dr. Laila Nuranna, seorang Obstetrik-ginekologik, konsultan
onkologi ginekologi yang merupakan salah satu pengajar di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia menyatakan, “hal ini disebabkan mayoritas penderita datang
untuk berobat ketika keadaan kesehatannya telah kritis atau ketika penyakitnya
sudah stadium lanjut”. Kurangnya pengetahuan tentang kanker serviks
mengakibatkan kesadaran masyarakat untuk deteksi dini pun masih rendah,
sehingga cenderung terlambat memeriksakan diri. Padahal keberhasilan
pengobatan kanker serviks besar jika diketahui pada stadium dini.
Sampai saat ini 99.7% penyebab kanker serviks yaitu Human Papilloma
Virus (HPV). “Bak musuh dalam selimut”, infeksi HPV tidak menimbulkan
gejala, sehingga banyak orang tidak menyadari bahwa dirinya sudah terinfeksi
bahkan sudah menularkannya kepada orang lain. Pada stadium awal (prekanker)
tidak ada gejala yang jelas, setelah berkembang menjadi kanker timbul gejala-
gejala keputihan yang tidak kunjung sembuh meskipun sudah diobati, keputihan
yang keruh dan berbau busuk, perdarahan setelah berhubungan seks, perdarahan
di luar siklus haid dan lain-lain. Pada stadium lanjut dimana sudah terjadi
penyebaran ke organ-organ sekitar mungkin terdapat keluhan nyeri daerah
panggul, sulit membuang air kemih dan bahkan juga mengeluarkan darah.
Dapat dilihat bahwa kesadaran masyarakat akan bahay kanker serviks masih
kurang, hal ini dapat disebabkan karena kurangnya informasi tentang kanker
serviks dan kurangnya sosialisasi pencegahan kanker serviks. Oleh karena itu,
diperlukannya informasi yang cukup bagi masyarakat agar dapat mencegah
kanker serviks dan menurunkan angkata kematian akibat kanker serviks.
Pertama-tama, sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dokter dan
wanita. Ini adalah titik awal untuk deteksi dini dan untuk saran lebih lanjut terkait
dengan risiko gaya hidup. Sementara itu, kerjasama ini telah diperluas untuk
semua Rumah Sakit Universitas di Indonesia.
48
Di negara-negara maju jumlah penderita kanker mulut rahim tidaklah
sebanyak di negara berkembang. Hal ini disebabkan tingginya kesadaran
masyarakat untuk mengikuti program pendeteksian dini dan pencegahan.
Biasanya penderita kanker datang berobat ketika telah ada gejala-gejala dan ini
berarti kanker sudah mulai menyebar sehingga penanganannya akan lebih sulit
(Menczer, 2003).
Pencegahan dan deteksi dini terhadap kanker mulut rahim dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan pap smear. Pap smear adalah tes kesehatan untuk
memeriksa sel-sel di sekitar mulut rahim. Pemeriksaan pap smear sebaiknya
dilakukan setahun sekali oleh wanita yang telah melakukan hubungan intim.
Cara lain adalah melakukan vaksinasi terhadap virus HPV. Vaksinasi
merupakan metode deteksi dini sebagai upaya pencegahan kanker serviks.
Langkah ini dapat membantu memberikan perlindungan terhadap beberapa tipe
HPV yang dapat menyebabkan masalah dan komplikasi seperti kanker serviks dan
genital warts. Vaksin ini sebaiknya diberikan pada perempuan muda sedini
mungkin, karena kondisi imun tubuh serta pertumbuhan dan reproduksi sel di area
serviks masih sangat baik (Lethinen, Diller, 2002).
Secara umum, pencegahan kanker serviks dapat dibagi menjadi tiga area
yaitu primer, sekunder, dan tersier (Peto, et al, 2004).
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan menurunkan angka kejadian suatu
penyakit dan seluruh populasi adalah targetnya. Untuk kanker serviks,
pencegahan primer dapat dilakukan melalui perubahan pola diet,
melaksanakan pola hidup sehat, penggunaan vaksin HPV dan reduksi
faktor-faktor risiko.
Cara untuk menurunkan risiko adalah dengan setia pada satu
pasangan atau tidak memiliki banyak partner hubungan seksual, serta
menunda aktivitas seksual sampai usia 20 tahun. Selain itu, faktor
nutrisi juga dapat mengatasi masalah kanker mulut rahim. Penelitian
mendapatkan hubungan yang terbalik antara konsumsi sayuran
berwarna hijau tua dan kuning yang banyak mengandung betha karoten
atau vitamin A, vitamin C dan vitamin E, dengan kejadian neoplasia
49
intra epithelial, termasuk kanker serviks. Artinya semakin banyak
makan sayuran berwarna hijau tua dan kuning, maka akan semakin
kecil risiko terkena penyakit kanker serviks.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi deteksi dini atau penapisan yang
bertujuan menurunkan kejadian penyakit dengan menemukan penyakit
sebelum menimbulkan gejala dan memulai pengobatan sedini mungkin.
Pencegahan sekunder dilakukan dengan berdasarkan pada risiko
pasiennya yaitu pasien dengan risiko sedang dan tinggi.
Pada kanker serviks pencegahannya dapat dilakukan melalui tes
Pap (pap smear), deteksi adanya virus papiloma manusia dan teknik
baru yang dapat meningkatkan kemampuan tes Pap dan deteksi virus
papiloma manusia.
Proses dari sel normal menjadi kanker membutuhkan waktu yang
cukup lama. Tes Pap dilakukan setelah usia 25 tahun atau setelah aktif
berhubungan seksual sebagai usaha pencegahan. Pada pasien dengan
risiko sedang, sangat dianjurkan untuk melakukan tes Pap hingga
mendapatkan hasil tes Pap yang negatif sebanyak 3 kali berturut-turut
dengan selisih waktu antar pemeriksaan 1 tahun.
Pasien atau partner hubungan seksual dengan level aktivitas yang
tidak diketahui, dianjurkan untuk melakukan tes Pap tiap tahun. Pada
pasien dengan risiko tinggi yakni bagi yang memulai hubungan seksual
di bawah usia 20 tahun dan wanita yang mempunyai banyak partner
hubungan seksual seharusnya melakukan tes Pap setiap tahun dan setiap
6 bulan sekali terutama untuk pasien dengan risiko khusus, seperti
mereka yang mempunyai riwayat penyakit seksual berulang.
50
Gambar 3.1 Tes Pap Smear
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan kepada penderita yang sudah
menunjukkan adanya penyakit atau gejala penyakit. Tujuannya adalah
menurunkan kekambuhan atau menemukan kekambuhan seawal
mungkin. Pencegahan tersier meliputi pelayanan di rumah sakit seperti
diagnosis dan pengobatan, serta pelayanan paliatif untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien. Tindakannya dapat berupa tindakan psikologis,
fisik, spiritual. Semakin dini kanker mulut rahim terdeteksi maka
semakin mudah penangannya dan semakin besar harapan hidup yang
dimiliki.
Masyarakat dapat ikut berperan menekan kasus kanker serviks dengan
memulai dari diri sendiri dan hal atau kebiasaan yang sederhana. Kebiasaan
sederhana tersebut dapat berupa pola hidup sehat dengan mengonsumsi makanan
yang bergizi seimbang atau nutrisi yang cukup, terutama sayuran yang
mengandung beta karoten (vitamin A), vitamin C dan vitamin E. Selain itu,
sanitasi lingkungan dan kebersihan tubuh juga harus senantiasa diperhatikan,
salah satunya dengan menghindari pembersihan bagian genital dengan air yang
kotor. Program KB juga dapat mendukung penekanan kasus kanker serviks
dengan menghindari berhubungan intim saat usia dini.
51
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Kesadaran masyarakat akan kanker serviks dan pencegahannya sejak dini
masih tergolong rendah.
2. Beberapa acara deteksi dini kanker serviks antara lain pap smear,
pemeriksaan panggul, kolposkopi, liquid based cytology, sure path,
cytoscreen, labornard easy prep, thinprep, automated screening
technology, HPV-DNA testing, VIA, VILI, speculoscopy, servikografi,
polar probe, laser induced fluorescence dan computer imaging.
3. Membiasakan masyarakat dengan pola hidup sehat, mengonsumsi
makanan yang bergizi seimbang atau nutrisi yang cukup, sanitasi
lingkungan, menghindari pembersihan bagian genital dengan air yang
kotor untuk peningkatan kasus kanker serviks.
4. Program KB dari pemerintah juga dapat mendukung penekanan kasus
kanker serviks dengan menghindari berhubungan intim saat usia dini.
4.2 Saran
Masih diperlukan sosialisasi lebih lanjut serta dukungan program
pemerintahterhadap pencegahan dini kanker serviks.
52
DAFTAR PUSTAKA
Adeodata, LW 2010, Gambaran Pengetahuan Mahasiswa Sarjana Kedokteran Universitas Sumatera Utara Mengenai Vaksin HPV. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. pp. 16-17.
Akhmad, S 2011, Infeksi Human Papillomavirus Dan Cara Pencegahannya. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma. p. 2.
Anonim 2011, What You Need to know About Cervical Cancer. National Cancer Institute Publications. Diakses pada 12 April 2013, tersedia dari http://www.cancer.gov/cancertopics/wyntk/cervix/cervix.pdf.
Anonim 2011. GARDASIL® [Quadrivalent Human Papillomavirus (Types 6, 11, 16, 18) Recombinant Vaccine] Suspension for injectionActive Immunizing Agent. Canada: Merck Canada Inc. pp: 3, 21.
Anonim 2009, CERVARIX Human Papillomavirus Bivalent (Types 16 and 18) Vaccine, Recombinant Vaccines and Related Biological Products Advisory Committee (VRBPAC). p.14
Anonim 2011, CERVARIX [Human Papillomavirus Bivalent (Types 16 and 18) Vaccine, Recombinant]. Belgia: GlaxoSmithKline Biologicals. pp. 22, 27.
Benson, Ralph C, Martin L. 2008. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC. Pp. 533-539.
Bosch, et.al., 2001. Gangguan Sistem Reproduksi Perempuan. In: Hartanto, H., et al, eds. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1294-1296Dalimartha, S, 2004. Deteksi Dini Kanker dan Diplasia Anti Kanker. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.
Bray F, Loos AH, McCarron P, et al. 2005. Trends in cervical squamous cell carcinoma incidence in 13 European countries: changing risk and the effects of screening. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 14(3):677-686.
53
Budiarto, Eko.2003. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Bustan MN. 2002. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta
Canavan TP, Doshi NR. Cervical cancer. Am Fam Physician. 2000
Carr, Katherine Camacho, Sellor, John W. 2004. Cervikal Cancer Screening in Low Resource Setting: Using Visual Inspection With Acetic Acid. J Midwifery Womens Health 49(4):329-337. Available from http://www.medscape.com/viewarticle/484034. [Accessed 20 April 2013].
Edianto Deri. 2006. Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. In: Aziz M Farid, Adrijojo, Saifuddin Abdul Bari, editors. Kanker Sserviks. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2006. p. 442-455.
Edianto, Deri. 2006. Kanker Serviks, Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Jakarta : 442-54
Epidemiology of Cervical Cancer. Available from: http://www.phac-aspc.gc.ca/publicat/ccsic-dccuac/pdf/chap_2_e.pdf. Accessed on April 12, 2013.
Globocan. 2008. Cervical Cancer Incidence and Mortality Worldwide in 2008. Available from: http://globocan.iarc.fr/factsheets/cancers/cervix.asp. Accessed on April 12, 2013.
Greer B E, Koh W J. Diagnosis and treatment of cervical carcinomas. American College of Obstetricians and Gynecologists 2002; 99(5): 855–866.
Hacker, N.F., 2005. Cervical Cancer. In: Weinberg, R. ed Practical Gynecologist Oncolog. 4th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 337-342
Hamid, TB 2011, Interactive thinking: student review, Dental Journal, vol. 62, no. 3, pp. 15-18, accessed 20 May 2011, available from http://journals.unair.ac.id/ejournal/332- 037-53.pdf
Hartanti N., Andrijono, H. K. Suhelmi. 2010. cegah dan Deteksi Kanker Serviks. Jakarta: Elex Media Komputindo. Pp. 27-38.
H T Ng, S K Shyu, Y K Chen, C C Yuan, K C Chao, Y Y Kan. A scoring system for predicting recurrence of cervical cancer. International Journal of Gynecological Cancer 2002; 2: 75 – 78.
Imam Rasjidi. 2009. Epidemiologi Kanker Serviks. Indonesian Journal of Cancer Vol. III, No. 3 Juli - September 2009.
Jerry. 2009. Intisari Kanker Serviks. Universitas Satya Dharm. Available from http://www.library.usd.ac.id/Data%20PDF/F.%20Farmasi/Farmasi/058114085.pdf Accessed on Thursday, April 12 2013 at 7:14 AM
Koran Jakarta. Minggu, 17 Maret 2013. Era Baru Vaksinasi HPV. Digital Ed. Jakarta Pusat. Diakses pada 12 April 2013, tersedia dari http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/114752.
Lehtinen M, Dillner J. Preventive HPV vaccination. Sex Transm Infect. 2002
Lestari Mustika Rini. 2009. Analisa Faktor Risiko Pada Penderita Kanker Serviks. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Available from http://www.lontar.ui.ac.id/ Accessed on Thursday, April 11 2013 at 6:40 AM
54
Mac Mahon B dan TF Pugh. Epidemiology, Principle and Methods. Boston : Little Brown, 1970.
Maksum, R 2009, Vaksin Kanker. Majalah Ilmu Kefarmasian, vol. VI, no. 3, pp. 109 – 118.
Mariani, L & Venuti, A 2010, HPV Vaccine: An Overview of Immune Response, Clinical Protection, and New Approaches for The Future. Journal of Translational Medicine 2010, vol 8, no. 105. pp. 1-8.
Menczer J. The low incidence of cervical cancer in Jewish women. 2003
National Geographic Indonesia. Selasa, 3 April 2012. Pencegahan Kanker Lewat Vaksinasi HPV. Diakses pada 12 April 2013, tersedia dari http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/04/pencegahan-kanker-lewat-vaksinasi-hpv.
Notodiharjo., R. 2002. Reproduksi Kontrasepsi dan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Kinicius Press.
Otto, Shirley E. 2003. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta: EGC. 159-162.
Peto J, Gilham C, Fletcher O, Matthews FE. The cervical cancer epidemic that screening has prevented in the UK. Lancet. 2004
Rahmawan, Ahmad. 2009. Perkembangan Lanjutan Metode Skrining Kanker Serviks dan Antisipasinya dengan Vaksinasi HPV di Indonesia. One-cardio. Avalaible from: http://ahmadrahmawan.blogspot.com/2009/10/perkembangan-lanjutan-metode-skrining.html. [Accessed 21 April 2013]
Rasjidi, Imam. 2007a. Panduan Penatalaksanaan Kanker Ginekologis Berdasarkan Evidence Base. Jakarta: EGC
Snijders PJ, Steenbergen RD, Heideman DA, Meijer CJ. HPV-mediated cervical carcinogenesis. J Pathol. 2006
Stanley, M 2008, Immunobiology of HPV and HPV Vaccines. Gynecologic Oncology, no. 109, pp. 15–21.
Stanley, M 2010, HPV – Immune Response to Infection and Vaccination. Infectious Agents and Cancer, vol. 5, no. 19. pp. 1-6.
Stoppler, MC 2013, Cervical Cancer. Diakses pada 12 April, tersedia dari http://www.emedicinehealth.com/cervical_cancer/page5_em.htm#cervical_cancer_abnormal_cells.
Sutopo, TB 2011, Cariology: a new start, Airlangga University Press, Surabaya, pp. 17-20, accessed 20 May 2011, available from http://pub.library.unair.ac.id/ebooks/33 9-0327-39
Universitas Sumatera Utara. 2012. Kanker Serviks. Available from http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33681/5/Chapter%20I.pdf Accessed on Thursday, April 11 2013 at 7:03 AM
World Health Organization. World Cancer Report 2008. WHO Press, 2008.
Zeller, John L. 2007. Carsinoma of The Cervix. JAMA: 298 (19): 2336. Avalaible from:http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/298/19/2336. [Accessed 23 April 2013].
55
56