Upload
others
View
29
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5 Universitas Kristen Petra
2. TEORI PENUNJANG
2.1. Pengertian dan Ciri-Ciri Konflik
Ada beberapa pengertian konflik dan ciri-ciri konflik yang dapat diuraikan
seperti berikut:
2.1.1. Pengertian Konflik
Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik merupakan kondisi
terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik
yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain.
Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat
tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja
(Wijono,1993, p.4).
Konflik (Nardjana, 1994, pp.9-10) adalah akibat situasi dimana keinginan
atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain,
sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Konflik, perselisihan,
percekcokan, pertentangan merupakan pengalaman hidup yang cukup mendasar,
yang merupakan hal yang formal, karena tanpa konflik kehidupan kehidupan akan
membosankan.
Nardjana juga mengungkapkan bahwa konflik dapat timbul karena ada
kondisi yang mendukungnya, seperti dari adanya perbedaan penerimaan, gaya,
atau opini, argumentasi yang panas, tergantung oleh seberapa pentingnya pokok
masalah dan jumlah energi dalam suatu pembicaraan atau diskusi. Semakin
seseorang mengerti tentang konflik, semakin besar kesempatan orang tersebut
untuk menghadapi dan mengatur langkah di masa depan dengan pasti. Karena
dampak dan nilai dari konflik itu sendiri dapat melahirkan dampak negatif
maupun keuntungan yang berguna dan positif.-
Daniel Webster dikutip dari Pickering (2001, p.1) mendefinisikan konflik sebagai:
1. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama
lain.
2. Keadaan atau perilaku yang bertentangan.
Universitas Kristen Petra
6
3. Perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan yang
bertentangan.
4. Perseteruan.
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa konflik
merupakan suatu kondisi yang dapat mengganggu bahkan menghambat
tercapainya tujuan organisasi dan dapat menimbulkan ketegangan emosi atau stres
yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja.
2.1.2. Ciri-ciri Konflik
Ciri-ciri konflik (Wijono, 1993, p.37), antara lain:
1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang
terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan
maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius
atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang
direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap
pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan,
tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang-
pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil,
rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman,
kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat
pertentangan yang berlarut-larut.
5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang
terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan,
kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.
Universitas Kristen Petra
7
Konflik adalah proses yang dinamis dan bukan statis, maka sekuen
(sequence) dari peristiwa konflik dapat dilukiskan dalam diagram berikut ini
(Wijono, 1993, pp.38-41):
Gambar 2.1. Sequence of Conflict
Diagram di atas menggambarkan proses perkembangan konflik yang
meliputi enam tahapan, yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain,
sehingga menimbulkan berbagai kemungkinan terjadinya konflik.
1. Konflik masih tersembunyi (laten)
Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan
tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition)
Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum
mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti
timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
Konflik masih tersembunyi
(a)
Kondisi yang mendahului
(b)
Konflik yang dirasakan
(c)
Konflik yang dapat diamati
(g)
Konflik terlihat secara
terbuka melalui
perilaku (d)
Penyelesaian atau tekanan
(e)
Akibat penyelesaian
konflik (f)
Konflik mulai
dihayati
Universitas Kristen Petra
8
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat
dirasakan (felt conflict)
Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior)
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang
ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan
berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
5. Penyelesaian atau tekanan konflik
Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik,
yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah
ditekan.
6. Akibat penyelesaian konflik
Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat
memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila
tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga
mempengaruhi produkivitas kerja.
2.2. Sumber-Sumber Konflik
Dalam setiap organisasi, tidak terlepas oleh adanya konflik, karena pada
dasarnya konflik itu muncul melalui tiga sumber (Fred Luthans, 1984, pp.367-
383), Richard M & Steven, 1979, pp.343-353), yaitu:
2.2.1. Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
1. Konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.7-15), ada tiga jenis konflik yang berkaitan dengan
tujuan yang hendak dicapai (goal conflict), yaitu:
1) Approach-approach conflict, dimana orang didorong untuk melakukan
pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi tujuan-tujuan
yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
2) Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk melakukan
pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuan
dan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan terhadap persoalan-
Universitas Kristen Petra
9
persoalan tersebut dan tujuannya dapat mengandung nilai positif dan
negatif bagi orang yang mengalami konflik tersebut.
3) Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk menghindari
dua atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling
terpisah satu sama lain.
Dalam hal ini, approach-approach conflict merupakan jenis konflik
yang mempunyai resiko paling kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak
begitu fatal.
2. Konflik yang berkaitan dengan peran dan ambigius
Di dalam organisasi, konflik seringkali terjadi karena adanya perbedaan
peran dan ambigius dalam tugas dan tanggung jawab terhadap sikap-sikap,
nilai-nilai dan harapan-harapan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi.
Filley and House memberikan kesimpulan atas hasil penyelidikan
kepustakaan mengenai konflik peran dalam organisasi, yang dicatat melalui
indikasi-indikasi yang dipengaruhi oleh empat variabel pokok yaitu :
1) Mempunyai kesadaran akan terjadinya konflik peran.
2) Menerima kondisi dan situasi bila muncul konflik yang bisa membuat
tekanan-tekanan dalam pekerjaan.
3) Memiliki kemampuan untuk mentolelir stres.
4) Memperkuat sikap/sifat pribadi lebih tahan dalam menghadapi konflik
yang muncul dalam organisasi (Wijono, 1993, p.15).
Menurut Wijono (1993, pp.4-6), konflik dalam diri individu muncul
karena individu merasa dalam dirinya sendiri mengalami:
1) Adanya suatu pertentangan antara perasaan-perasaan: senang dan kecewa,
gagal dan berhasil, berharap dan putus asa. Munculnya perasaan-perasaan
tersebut terjadi tidak seimbang, karena muncul dua kepentingan atau
kekuatan yang bergerak ke arah tertentu dalam waktu yang bersamaan.
2) Adanya dua gagasan atau lebih yang berupa pertentangan, gerakan hati
(implus), saling berlawanan dan terjadi ketegangan emosi akibatnya tidak
Universitas Kristen Petra
10
menyenangkan (impuls tertekan), stres dan mempengaruhi perilaku baik
kognitif maupun psikomotoriknya.
3) Adanya suatu perjuangan antara keinginan dan pertentangan yang ada
dalam diri individu berupa pertentangan psikis seperti merasa stres dan
berusaha melawan terhadap stres tersebut. Situasi ini terjadi bisa
disebabkan oleh pikiran-pikiran, ide-ide, tindakan-tindakan, cita-cita,
tujuan yang berlawanan atau peran-peran yang bertentangan sehingga
mempengaruhi perilaku.
2.2.2. Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)
Menurut Wijono (1993, p.16), ada beberapa faktor yang mendasari
munculnya konflik antar pribadi dalam organisasi misalnya adanya:
1. Kesalahan dalam persepsi (misperception)
2. Kesalahan dalam pendapat (misopinion)
3. Kesalahan dalam memahami (misunderstanding)
4. Kesalahan komunikasi (miscommunication)
5. Perbedaaan tujuan (goal different)
6. Nilai-nilai (values)
7. Latar belakang kebudayaan (culture background)
8. Sosial-ekonomi (social & economic)
9. Sifat-sifat pribadi (personality traits) antara karyawan dengan karyawan,
atasan-bawahan, atasan dengan atasan atau antar kelompok.
Lebih lanjut menurut Stevenin (2000, pp.132-133), ada beberapa faktor
yang mendasari munculnya konflik antar pribadi dalam organisasi misalnya
adanya:
1. Pemecahan masalah secara sederhana. Fokusnya tertuju pada penyelesaian
masalah dan orang-orangnya tidak mendapatkan perhatian utama.
2. Penyesuaian/kompromi. Kedua pihak bersedia saling memberi dan menerima,
namun tidak selalu langsung tertuju pada masalah yang sebenarnya.
Waspadailah masalah emosi yang tidak pernah disampaikan kepada manajer.
Kadang-kadang kedua pihak tetap tidak puas.
Universitas Kristen Petra
11
3. Tidak sepakat. Tingkat konflik ini ditandai dengan pendapat yang
diperdebatkan. Mengambil sikap menjaga jarak. Sebagai manajer, manajer
perlu memanfaatkan dan menunjukkan aspek-aspek yang sehat dari
ketidaksepakatan tanpa membiarkan adanya perpecahan dalam kelompok.
4. Kalah/menang. Ini adalah ketidaksepakatan yang disertai sikap bersaing yang
amat kuat. Pada tingkat ini, sering kali pendapat dan gagasan orang lain
kurang dihargai. Sebagian di antaranya akan melakukan berbagai macam cara
untuk memenangkan pertarungan.
5. Pertarungan/penerbangan. Ini adalah konflik “penembak misterius”. Orang-
orang yang terlibat di dalamnya saling menembak dari jarak dekat kemudian
mundur untuk menyelamatkan diri. Bila amarah meledak, emosi pun
menguasai akal sehat. Orang-orang saling berselisih.
6. Keras kepala. Ini adalah mentalitas “dengan caraku atau tidak sama sekali”.
Satu-satunya kasih karunia yang menyelamatkan dalam konflik ini adalah
karena biasanya hal ini tetap mengacu pada pemikiran yang logis. Meskipun
demikian, tidak ada kompromi sehingga tidak ada penyelesaian.
7. Penyangkalan. Ini adalah salah satu jenis konflik yang paling sulit diatasi
karena tidak ada komunikasi secara terbuka dan terus-terang. Konflik hanya
dipendam. Konflik yang tidak bisa diungkapkan adalah konflik yang tidak
bisa diselesaikan.
Menurut Johari Window ada empat tipe munculnya konflik interpersonal:
(Wijono, 1993, pp.16-24)
1. Open self
Interaksi antara dirinya dengan orang lain bisa tercermin melalui bagaimana
orang mengetahui tentang dirinya sendiri dan juga mengetahui tentang orang
lain. Umumnya interaksi ini dapat menciptakan adanya keterbukaan dan
kesesuaian antara dirinya dengan orang lain, serta sedikit sekali terjadi
mekanisme pertahanan diri seperti menghindari, menyerang ataupun
kompromi. Tipe ini memegang peranan penting bila dalam organisasi dan
industri terjadi konflik antar pribadi (interpersonal conflict) karena
keterbukaan memegang peran.
Universitas Kristen Petra
12
2. Hidden self
Dalam interaksi ini, orang mengetahui dirinya sendiri tetapi tidak mengetahui
orang lain. Interaksi kedua orang tersebut menjadi terhambat karena orang
tersebut tidak ingin mengetahui orang lain sebaliknya malah bersembunyi
(remains hidden) dalam dirinya sendiri. Sikap ini dilakukan karena dirinya
takut mendapat gangguan-gangguan terutama yang berhubungan dengan
perasaan-perasaan takut kalah, iri hati, curiga, tidak aman atau merasa
terancam oleh orang lain.
3. Blind self
Konflik timbul dalam situasi seperti ini, karena dirinya mengetahui tentang
orang lain, sedangkan dia tidak mengetahui dirinya sendiri. Bisa terjadi bahwa
seringkali dirinya tanpa menyadari mengganggu bahkan menjengkelkan orang
lain. Hal ini merupakan pencerminan diri perasaan-perasaan orang yang sering
disakiti hatinya oleh orang lain.
4. Undiscovered self
Bila situasi undiscovered self ini terjadi dalam organisasi dan industri, maka
situasi seperti ini amat potensial untuk meledak menjadi konflik interpersonal.
Karena dalam konflik seperti ini orang tidak mengetahui tentang dirinya
sendiri dan juga tidak mengetahui tentang orang lain. Dengan kata lain bahwa
seringkali terjadi kesalahpahaman (misunderstanding) yang juga berakibat
memprihatinkan.
Menurut Robbins (1974), Walton dan Dutton (1969) ada enam kategori
penting terjadinya konflik melalui kondisi-kondisi pemula (antecendent
conditions) meliputi:
1. Persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources)
Disebabkan oleh persaingan atau kompetisi terhadap semakin langkanya
sumber-sumber, seperti dana anggaran, ruangan, pengadaan bahan baku,
pemrosesan data dan pemeliharaan peralatan kerja; maka akan semakin besar
kemungkinan terjadinya konflik dalam organisasi.
Universitas Kristen Petra
13
2. Ketergantungan terhadap tugas (Task Interdependence)
Disebabkan oleh ketergantungan, baik arus satu arah maupun timbal balik
dalam mencapai keberhasilan tugasnya, karena adanya perbedaan tujuan dan
prioritas antara yang satu dengan lainnya.
3. Kekaburan deskripsi tugas (Jurisdictional Ambiguity)
Terjadi bila deskripsi tugas masing-masing dirasa tidak jelas, tumpang-tindih
(overlapping) dalam tanggung jawab atau ketimpangan tanggung jawab.
4. Masalah status (Status Problem)
Muncul karena adanya persepsi atau ketidakseimbangan atau ketidakadilan
dalam hal memberikan ganjaran, penugasan kerja, kondisi-kondisi kerja serta
status simbol dan susunan hirarki status dalam organisasi.
5. Rintangan-rintangan komunikasi (Communication Barries)
Karena komunikasi yang kurang memadai, sarana-sarana komunikasi yang
menyusut dapat menimbulkan konflik semu yang merintangi ketergantungan
antara kelompok-kelompok yang saling melengkapi.
6. Sifat-sifat individu (Individual Traits)
Biasanya diakibatkan oleh kurang matangnya (immature) pola-pola sifat
pribadi; seperti emosional, sulit mengendalikan diri, tidak fleksible, cenderung
menutup diri dari masukan orang lain dan lain-lain (Wijono, 1993. pp.25-31).
2.2.3. Konflik Organisasi (Organisational Conflict)
Konflik organisasi muncul karena individu merasa bahwa dirinya
mengalami:
1. Adanya antagonistis yang menyangkut perilaku lahiriah antara dia dengan
orang lain berupa tindakan-tindakan seperti merusak dan memperbaiki, antara
menekan dan menetralisir, acuh tak acuh dan mengacuhkan, menyendiri dan
berteman.
2. Adanya tarik-menarik antara kepentingan diri sendiri dengan kepentingan
orang lain, seperti: memperoleh kesempatan menduduki jabatan dan
merugikan orang lain, memperluas wilayah pasar dan merugikan kelompok
lain.
Universitas Kristen Petra
14
3. Adanya ketidakcocokan antara kepentingan diri dengan kepentingan orang
atau kelompok lain dengan tujuan yang sama. Misalnya meningkatkan
produktivitas kerja dengan merugikan produktivitas kelompok lain,
meningkatkan kesejahteraan dan menekan kesejahteraan kelompok lain.
Menurut Wijono (1993, pp.32-33), ada empat alternatif yang mendasari
munculnya konflik organisasi disebabkan oleh adanya :
1. Situasi-situasi yang tidak sesuai dalam mencapai tujuan
Konflik organisasi bisa muncul karena adanya situasi-situasi tertentu yang
kurang menguntungkan bahkan tidak sesuai dalam mencapai tujuan
organisasi.
2. Maksud-maksud atau alokasi yang tidak sesuai untuk mencapai tujuan
Konflik organisasi bisa muncul karena adanya maksud-maksud atau alokasi
yang tidak sesuai untuk mencapai tujuan organisasi.
3. Masalah ketidakpastian dalam status pekerjaan
Konflik organisasi semacam ini bisa muncul karena seringnya terjadi masalah
ketidakpastian dalam status pekerjaan.
4. Perbedaan persepsi
Konflik organisasi semacam ini bisa muncul karena seringkali terjadi
perbedaan-perbedaan persepsi atau pandangan antara departemen yang satu
dengan departemen yang lain, kelompok satu dengan kelompok yang lainnya.
Menurut Wijono (1993, pp.33-34), ada empat komponen yang bisa
menjadi dasar munculnya konflik organisasi yaitu:
1. Konflik hirarki (Hierarchical Conflict)
Konflik semacam ini bisa muncul dalam organisasi sebagai akibat adanya
tingkat struktural. Semakin kompleks tingkat strukturalnya, semakin sering
terjadi konflik dalam organisasi tersebut.
2. Konflik fungsional (Functional Conflict)
Konflik semacam ini bisa muncul dalam organisasi sebagai akibat berbagai
fungsi manajemen seperti: perencanaan, pengontrolan, pengawasan,
pemeliharaan dan pengembangan.
Universitas Kristen Petra
15
3. Konflik Staf lini (Line – Staf Conflict)
Konflik semacam ini bisa muncul bila hubungan garis wewenang dan
tanggung Jawab diantara keduanya tidak jelas, tumpang tindih atau semrawut.
4. Konflik kelompok formal dengan non formal (Formal-non formal Conflict)
Konflik semacam ini bisa muncul karena adanya perbedaan kepentingan dan
tujuan antara kelompok formal dan kelompok non formal.
Menurut Wijono (1993, pp.34-37), ada dua pandangan yang berbeda
dalam menanggapi konflik organisasi. Masing-masing pandangan mempunyai
argumentasi serta ciri-ciri yang berbeda satu sama lain, antara lain:
1. Pandangan tradisional
Menurut pandangan tradisional terjadinya konflik organisasi dipandang
sebagai suatu proses yang sangat sederhana dan optimistik.
2. Pandangan modern
Menurut pandangan ini, konflik dianggap baik artinya dalam kehidupan
organisasi konflik perlu ada, namun memerlukan beberapa strategi
penanganan tertentu.
Selanjutnya Wijono (1993, p.38) menyatakan bahwa berdasarkan
pandangan tradisional dan pandangan modern, setiap konflik umumnya adalah
1. Bisa dipahami dan dipelajari, jika konflik tersebut dipandang sebagai suatu
proses yang dinamis.
2. Tidak bisa dipahami dan dipelajari, jika konflik tersebut dipandang sebagai
suatu yang sifatnya statis dan kaku.
3. Cenderung melibatkan intervensi diantara berbagai pihak yang saling
bertentangan baik secara individual (intraindividual conflict), antar
pribadi/kelompok (interpersonal conflict), dan konflik organisasi
(organizational conflict).
Ray Pneuman dari Alban Institute di Washington, DC (Stevenin, 2000,
pp.133-134) mengidentifikasi sumber-sumber konflik berikut ini:
1. Setiap orang/organisasi memiliki nilai-nilai dan keyakinan yang saling
berbeda.
Universitas Kristen Petra
16
2. Peranan dan tanggung jawab manajer tidak diuraikan dengan cermat.
3. Struktur perusahaan menjadi lebih besar.
4. Gaya manajerial dan anak buah tidak berpadu dengan baik.
5. Terlalu cepat mengangkat manajer baru.
6. Jalur komunikasi terhambat.
7. Manajer tidak mengantisipasi konflik. Tidak mengerti bahwa konflik adalah
sesuatu yang tidak dapat dihindari.
8. Para pengikut yang tidak terpengaruh tidak mau berpartisipasi dan
mendukung.
9. Manajer yang baru berusaha mengikuti manajer sebelumnya yang menjabat
dengan kesombongan.
2.3. Dampak Konflik
Konflik dapat berdampak positif dan negatif yang rinciannya adalah
sebagai berikut :
2.3.1. Dampak Positif Konflik
Menurut Wijono (1993, p.3), bila upaya penanganan dan pengelolaan
konflik karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif akan
muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya
manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:
1. Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja,
seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas,
masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap
karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik
kuantitas maupun kualitasnya.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara
pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan
masing-masing.
3. Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar
pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya
peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran,
inisiatif dan kreativitas.
Universitas Kristen Petra
17
4. Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat
stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan
memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam
keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi
dirinya secara optimal.
5. Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan
potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan
konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua
ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja
meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2.3.2. Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya disebabkan oleh
kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan
konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya muncul
keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir
pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam
sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan
diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang
terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.
2. Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya
yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing
kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan,
kondisi psikis dan keluarganya.
3. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam
pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh
teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres
yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag
ataupun yang lainnya.
Universitas Kristen Petra
18
4. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh
teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya
produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan
provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang
lain.
5. Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut
“labor turn-over”. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan
kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet,
kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan
memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.
Sedangkan menurut Stevenin (2000, pp.131-132), konflik yang tidak
terselesaikan dapat merusak lingkungan kerja sekaligus orang-orang di dalamnya.
Bahkan usaha penyelesaian yang tampaknya gagal adalah lebih baik daripada
tidak berusaha sama sekali, karena setidaknya manajer dapat menggunakan
pengaruh terhadap mereka yang gagal. Konflik harus mendapat perhatian. Jika
tidak, maka seorang manajer akan terjebak pada hal-hal seperti:
1. Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian teknis. Dapat saja
mereka mengundurkan diri. Manajer harus menugaskan mereka kembali, dan
contoh yang paling buruk adalah karena mungkin Manajer harus memecat
mereka.
2. Menahan atau mengubah informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang
lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi.
3. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim karena
mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya.
4. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali
dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat membuat
pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.
5. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip
dan kabar burung. Segera setelah orang tidak memusatkan perhatian pada
tujuan perubahan, tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka perhatian
mereka akan terus terpusatkan ke sana.
Universitas Kristen Petra
19
6. Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang
jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian
dapat meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang, manajer
akan sulit sekali mengobarkannya kembali.
7. Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari
efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos kerja.
2.4. Strategi Mengatasi Konflik
Menurut Stevenin (2000, pp.134-135), terdapat lima langkah meraih
kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut ini
bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan:
1. Pengenalan
Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan
yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan
dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada
masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis
Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai
siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna.
Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
3. Menyepakati suatu solusi
Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak
dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan
cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
4. Pelaksanaan
Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan
biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.
5. Evaluasi
Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika
penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah
sebelumnya dan cobalah lagi.
Universitas Kristen Petra
20
Dalam salah satu bukunya, Stevenin (1993, pp.145-146) memaparkan
bahwa semua perusahaan besar memiliki serangkaian nilai-nilai utama yang tidak
dapat ditawar-tawar. Mungkin perusahaan itu membutuhkan seluruh nilai tersebut
ketika sedang terjadi konflik. Berikut ini ada beberapa saran:
1. Perusahaan akan meluangkan waktu dan tenaga bersama-sama untuk
menghasilkan penyelesaian yang saling menguntungkan.
2. Perusahaan akan menyerang masalahnya, bukan orangnya. Perusahaan akan
memperbaiki masalahnya, bukan kesalahannya.
3. Perusahaan memberi diri untuk mendengarkan pihak lain di samping
mengambil langkah-langkah yang perlu.
4. Adalah hal tidak pernah bisa diterima bila perusahaan menyerang seseorang
dari belakang atau dari depan sekalipun.
5. Perusahaan akan mencari komunikasi yang terbuka, langsung, dan dapat
dipercaya. Yang pasti perusahaan tidak akan membiarkan konflik dipendam
begitu saja.
6. Tidak apa-apa bila dalam konflik perusahaan merasa marah, takut, tidak
cakap, dan berbagi emosi lain yang sulit kemudian mengekspresikannya,
dengan syarat ada pengendalian yang penuh tanggung jawab dan saling
memikirkan.
7. Jangan pernah menyerang orang lain melalui ucapan atau fisik dalam konflik.
8. Tidak apa-apa mengalami konflik. Perusahaan percaya bahwa konflik dapat
bermanfaat, membantu, berharga, dan penting. Janganlah menyembunyikan
atau memendam masalah.
Stevenin (1993, pp.139-141) juga memaparkan bahwa ketika mengalami konflik,
ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan di tengah-tengah konflik, yaitu:
1. Jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan dengan orang lain. Ada pepatah
dalam masyarakat yang tidak dapat dipungkiri, bunyinya: bila wewenang
bertambah maka kekuasaan pun berkurang, demikian pula sebaiknya.
2. Jangan terlalu terpisah dari konflik. Dinamika dan hasil konflik dapat
ditangani secara paling baik dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga.
Universitas Kristen Petra
21
3. Jangan biarkan visi dibangun oleh konflik yang ada. Jagalah cara pandang
dengan berkonsentrasi pada masalah-masalah penting. Masalah yang paling
mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar.
Sedangkan Wijono (1993, pp.42-125) mengidentifikasikan strategi
mengatasi konflik, yaitu:
1. Strategi Mengatasi Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.42-66), untuk mengatasi konflik dalam diri
individu diperlukan paling tidak tujuh strategi yaitu:
1) Menciptakan kontak dan membina hubungan
2) Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan
3) Menumbuhkan kemampuan /kekuatan diri sendiri
4) Menentukan tujuan
5) Mencari beberapa alternatif
6) Memilih alternatif
7) Merencanakan pelaksanaan jalan keluar
2. Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.66-112), untuk mengatasi konflik dalam
diri individu diperlukan paling tidak tiga strategi yaitu:
1) Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Beorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah.
Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah
(berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam
konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai
penengah.
Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara
melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka
pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang
berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe
utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:
Universitas Kristen Petra
22
a. Arbitrasi (Arbitration)
Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan
kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai
hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui
suatu perjanjian yang mengikat.
b. Mediasi (Mediation)
Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik
tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator
tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak
yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.
2) Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)
Dalam strategi saya menang anda kalah (win lose strategy), menekankan
adanya salah satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi
yang lain memperoleh kemenangan.
Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan win-lose strategy (Wijono, 1993, p.44), dapat melalui:
a. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih
pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task
independence).
b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan
tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari
terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-
batas bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).
c. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah
posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang
relevan dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi
(communication barriers).
d. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal
dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena
dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).
e. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran
persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima
Universitas Kristen Petra
23
oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan
dengan persaingan terhadap sumber-sumber (competition for
resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
3) Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian yang dipandang manusiawi, karena menggunakan segala
pengetahuan, sikap dan keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan
interaksi yang dapat membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa
aman dari ancaman, merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan
memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing
dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan
masalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar
memojokkan orang.
Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan
industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan
sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
a. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problema Solving)
Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan
kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.
b. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation)
Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh
konsultan proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan
untuk menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi
salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik.
3. Strategi Mengatasi Konflik Organisasi (Organizational Conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.113-125), ada beberapa strategi yang bisa
dipakai untuk mengantisipasi terjadinya konflik organisasi diantaranya adalah:
1) Pendekatan Birokratis (Bureaucratic Approach)
Konflik muncul karena adanya hubungan birokratis yang terjadi secara
vertikal dan untuk menghadapi konflik vertikal model ini, manajer
cenderung menggunakan struktur hirarki (hierarchical structure) dalam
hubungannya secara otokritas. Konflik terjadi karena pimpinan berupaya
Universitas Kristen Petra
24
mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh
bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini
biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan
birokratis untuk mengontrol pribadi bawahannya. Pendekatan birokratis
(Bureaucratic Approach) dalam organisasi bertujuan mengantisipasi
konflik vertikal (hirarkie) didekati dengan cara menggunakan hirarki
struktural (structural hierarchical).
2) Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konflik Lateral (Authoritative
Intervention in Lateral Conflict)
Bila terjadi konflik lateral, biasanya akan diselesaikan sendiri oleh pihak-
pihak yang terlibat konflik. Kemudian jika konflik tersebut ternyata tidak
dapat diselesaikan secara konstruktif, biasanya manajer langsung
melakukan intervensi secara otoratif “kedua belah pihak”.
3) Pendekatan Sistem (System Approach)
Model pendekatan perundingan menekankan pada masalah-masalah
kompetisi dan model pendekatan birokrasi menekankan pada kesulitan-
kesulitan dalam kontrol, maka pendekatan sistem (system Approach)
adalah mengkoordinasikan masalah-masalah konflik yang muncul.
Pendekatan ini menekankan pada hubungan lateral dan horizontal antara
fungsi-fungsi pemasaran dengan produksi dalam suatu organisasi.
4) Reorganisasi Struktural (Structural Reorganization)
Cara pendekatan dapat melalui mengubah sistem untuk melihat
kemungkinan terjadinya reorganisasi struktural guna meluruskan
perbedaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai kedua belah pihak,
seperti membentuk wadah baru dalam organisasi non formal untuk
mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai akibat adanya saling
ketergantungan tugas (task interdependence) dalam mencapai kepentingan
dan tujuan yang berbeda sehingga fungsi organisasi menjadi kabur.
Universitas Kristen Petra
25
2.5. Kerangka Pemikiran
Dalam kerangka pemikiran tersebut, penulis menggambarkan adanya
konflik kemitraan antara Food And Beverage Manager dengan Outlets Manager
di Departemen Food And Beverage Surabaya Plaza Hotel. Penyebab konflik
kemitraan tersebut dapat disebabkan karena koflik dalam diri individu (intra
individual conflict), konflik antar pribadi (interpersonal conflict), atau konflik
dalam organisasi (organizational conflict). Ketiga penyebab konflik tersebut dapat
berdampak positif dan negatif, tetapi kesemuanya itu bisa diselesaikan dengan
cara-cara tertentu yang akan diuraikan penulis dalam bab pembahasan.
Konflik kemitraan
Penyebab konflik kemitraan antara FBM dan OM di Departemen F&B
Surabaya Plaza Hotel
Cara mengatasi konflik
Konflik antar pribadi (interpersonal
conflict)
Konflik dalam diri individu (intraindividual
conflict)
Konflik dalam organisasi (organizational conflict)
Dampak positif dan negatif