Upload
vonhi
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecemasan pra Operasi
1. Pengertian Kecemasan pra Operasi
Musfir (2005) mengemukakan kecemasan sebagai kondisi kejiwaan
yang penuh dengan kekhawatiran dan ketakutan akan apa yang mungkin
terjadi, baik berkaitan dengan permasalahan yang sedang dihadapi atau hal-hal
yang lain, umumnya hal ini dirasakan sebagai perasaan tertekan dan tidak
tenang serta berpikiran kacau dengan disertai banyak penyesalan, hal ini sangat
berpengaruh pada kondisi fisiologis karena menimbulkan beberapa gejala yang
umumnya ditemukan seperti tubuh terasa menggigil, banyak berkeringat,
jantung berdegup cepat, lambung terasa mual, tubuh terasa lemas, dan
kemampuan berproduktivitas berkurang. Menurut Kaplan dan Sadock (1997)
kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan
merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan,
pengalaman baru atau yang belum pernah di lakukan, serta dalam menemukan
identitas diri dan arti hidup.
American Psychiatric Association (APA) memberikan definisi pada
kecemasan sebagai rasa takut atau prihatin, perasaan tegang, dan rasa gelisah
terhadap antisipasi suatu keadaan bahaya yang terjadi pada seseorang
(Edelman, 1992). Kecemasan merupakan manifestasi dari proses-proses emosi
yang terjadi ketika seseorang mengalami tekanan perasaan dan pertentangan
batin (Derajat, 2001). Nevid, Rathus, dan Greene (2003) menjelaskan
9
kecemasan sebagai suatu keadaan khawatir atau aprehensif yang dialami di
mana seseorang mengeluhkan sesuatu yang buruk akan terjadi, yang
mempunyai ciri keterangsangan fisiologis dan perasaan tegang yang tidak
menyenangkan.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas dapat dijelaskan bahwa
kecemasan adalah sebuah reaksi ketika seseorang berada pada sebuah kondisi
tertentu dengan keyakinan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada dirinya
dan disertai perasaan menakutkan dan tidak menyenangkan yang memiliki ciri-
ciri fisiologis dan psikologis.
Operasi merupakan tindakan dokter untuk mengobati kondisi yang sulit
atau tidak mungkin disembuhkan hanya dengan obat-obatan sederhana (Potter
dan Perry, 1996). Menurut R. Syamsuhidajat dan Win de Jong (2005),
pembedahan atau operasi adalah semua tindakan pengobatan yang
menggunakan cara invasif yaitu membuka atau menampilkan bagian tubuh
yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya menggunakan
sayatan. Setelah bagian yang ditangani ditampilkan, dilakukan tindakan
perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka atau bekas
sayatan. Ada beberapa tahap dalam operasi, yaitu:
1. Tahap pra bedah (pra operasi)
2. Tahap pembedahan (intra operasi)
3. Tahap pasca bedah (post operasi)
Pra operasi adalah masa yang dimulai ketika keputusan untuk menjalani
operasi dibuat dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi, pada
10
fase ini ada beberapa persiapan yang harus disiapkan oleh pasien sebelum
dilakukan tindakan operasi (Dorland, 1994). Dalam masa pra operasi
partisipan mengalami kecemasan yang disebut dengan kecemasan pra operasi
yang terjadi pada masa ketika partisipan diputuskan akan menjalani operasi
sampai ketika partisipan berada di ruang operasi untuk intervensi bedah,
kecemasan ini digambarkan sebagai keadaan yang tidak menyenangkan dan
ketidak nyamanan atau ketegangan pada partisipan yang menghadapi suatu
penyakit, rawat inap, anestesi dan operasi (Ramsay, 1972). Kecemasan pra
operasi biasanya terjadi pada partisipan yang menunggu prosedur pembedahan
(McCleane, 1992). Menurut penjelasan Long (1996), terjadinya kecemasan pra
operasi ketika partisipan melewati sebuah proses di mana penyakitnya susah
sembuh dan diinformasikan oleh tenaga medis bahwa harus menjalani tindakan
pembedahan sebagai tindakan medis dalam usaha proses penyembuhan.
Dengan melihat beberapa pengertian yang telah dijelaskan di atas maka
dapat didefinisikan bahwa kecemasan pra operasi adalah perasaan yang
dialami seseorang sebagai sebuah reaksi ketika seseorang berada pada sebuah
kondisi tertentu yaitu ketika menjalani proses operasi dengan keyakinan bahwa
sesuatu yang buruk akan terjadi pada dirinya dan disertai perasaan menakutkan
dan tidak menyenangkan yang memiliki ciri-ciri fisiologis dan psikologis
tertentu.
2. Gejala-gejala Kecemasan Pra Operasi
Menurut Long (1996), gejala-gejala kecemasan pra operasi pada pasien
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
11
a. Kecemasan ringan : Waspada, gerakan mata, ketajaman bertambah,
kesadaran meningkat.
b. Kecemasan sedang : Berfokus pada dirinya (penyakit yang diderita),
menurunnya perhatian terhadap lingkungan secara
terperinci.
c. Kecemasan berat : Perubahan pola pikir, ketidakselarasan pikiran,
lapang persepsi menyempit.
d. Kecemasan panik : Persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi,
ketidakmampuan memahami situasi, respon tidak
dapat diduga, aktivitas motorik tidak menentu.
Smeltzer dan Bare (2002) memisahkan gejala-gejala kecemasan pra
operasi secara fisiologis, emosional dan kognitif, penjelasan gejala-gejala
kecemasan tersebut sebagai berikut:
a. Gejala fisiologis adalah reaksi pertama yang berasal dari syaraf otonom
yang berupa kenaikan denyut jantung, adanya pergerakan tekanan darah
yang kurang teratur, palpitasi, mual, peningkatan respirasi dan dilatasi pupil,
dan mulut kering.
b. Gejala emosional dapat berupa kehilangan percaya diri, kehilangan kontrol
atas dirinya, tidak dapat relax, mudah menangis dan menjadi reaktif.
c. Gejala kognitif adalah kurangnya kemampuan konsentrasi, terjadi
disorientasi lingkungan, sering termenung, pemikiran berorientasi pada
masa lalu, adanya perhatian yang berlebihan pada sesuatu.
12
Dari dua uraian gejala kecemasan pra operasi di atas dapat
disimpulkan bahwa gejala kecemasan menurut Long (1996) dibagi ke dalam
empat klasifikasi yaitu, kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan
berat dan kecemasan panik. Sementara itu Smeltzer dan Bare (2002)
memisahkan gejala-gejala kecemasan pra operasi yaitu secara fisiologis,
emosional dan kognitif. Dari dua pendapat tersebut peneliti memilih teori yang
dikemukakan oleh Smeltzer dan Bare, hal ini dikarenakan sesuai dengan
kondisi pasien yang akan diteliti.
3. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Trismiati (2006) menjelaskan bahwa kecemasan dipengaruhi oleh dua
faktor dengan beberapa sub-faktor sebagai berikut:
a. Faktor Internal
1) Usia. Semakin matang usia seseorang diharapkan semakin baik dalam
berpikir dan bersikap. Seseorang yang berusia lebih muda dikatakan
lebih mudah mengalami kecemasan daripada yang lebih tua, namun ada
pula yang berpendapat sebaliknya bahwa orang dengan usia tua juga
mudah mengalami kecemasan terkait hal yang dihadapinya. Usia yang
lebih muda mengalami cemas terhadap masa depan kehidupannya
sedangkan pada usia tua mengalami kecemasan pada orang-orang di
sekitarnya (Stuart dan Sundeen, 2006).
2) Pengalaman. Seseorang yang telah memiliki pengalaman menjalani
suatu tindakan maka dirinya lebih dapat beradaptasi dan tidak timbul
kecemasan yang besar, lain hal jika seseorang yang minim pengalaman
13
dalam suatu tindakan atau kejadian maka kurang dapat beradaptasi dan
mudah mengalami kecemasan.
3) Pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka diharapkan
memiliki kemampuan berpikir secara rasional, adaptif terhadap
informasi baru, dan mampu mengurai masalah dengan lebih baik.
Sebaliknya, pendidikan yang kurang pada seseorang dapat
menghalangi sikapnya untuk adaptif dan berpikir serta bertindak
terhadap masalah yang ada sehingga rentan terhadap kecemasan
(Nursalam, 2003).
4) Kemampuan respons terhadap stimulus. Kemampuan seseorang untuk
mengelola stimulus yang diterima dapat mempengaruhi kecemasan
yang ditimbulkan. Semakin rendah kemampuannya maka semakin
besar kecemasan yang akan dirasakannya.
b. Faktor Eksternal
1) Keluarga. Peran keluarga dapat membuat seseorang lebih siap dalam
menghadapi masalah. Namun keluarga dapat pula menjadi penyebab
kecemasan seseorang menjadi semakin besar karena sikap tidak peduli,
tidak pengertian, atau salah memberikan respons yang dibutuhkan.
2) Keuangan. Kemampuan keuangan seseorang yang terbatas bahkan
kurang, dapat menyebabkan kecemasan terutama dalam pembiayaan
terkait masalah yang dialami, kondisi keuangan yang cukup dapat
mengurangi bahkan menghilangkan kemungkinan terjadinya
14
kecemasan khususnya dalam hal pembiayaan penyelesaian masalahnya
(Erich, 2003).
3) Kondisi Lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar seseorang yang baik
dapat membuat seseorang menjadi lebih kuat menghadapi masalah,
namun akan sangat berbeda jika lingkungan seseorang kurang baik
sehingga memberi pengaruh negatif yang dapat melemahkan seseorang
dalam menghadapi masalah sehingga kecemasan semakin mudah
dirasakan.
Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang menurut
Trismiati mempengaruhi kecemasan antara lain, faktor internal berupa usia,
pengalaman operasi, pendidikan dan kemampuan respons terhadap stimulus,
sedangkan faktor eksternal berupa keluarga, keuangan dan kondisi lingkungan.
Faktor-faktor ini berperan dalam menimbulkan kecemasan pada pasien.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan pra Operasi
Long (2001) menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan
kecemasan pada pasien dalam masa pra operasi yaitu ketakutan akan rasa sakit
atau nyeri setelah operasi, cemas akan terjadi perubahan fisik karena ada organ
yang diangkat atau dikeluarkan dari tubuh, tidak berfungsinya tubuh atau organ
tubuh lain seperti sebelum dilakukan operasi, deskripsi tubuh yang terganggu,
takut adanya keganasan penyakit yang diderita jika diagnosa yang ditegakkan
belum benar-benar pasti, cemas akan mengalami kondisi yang sama dengan
pasien lain yang memiliki kesamaan penyakit, cemas menghadapi ruang
15
operasi, takut terhadap alat-alat bedah yang akan digunakan selama operasi,
takut mengalami kematian saat dibius atau tidak dapat sadar lagi, dan adanya
ketakutan bahwa operasi akan gagal. Menurut Perry dan Potter (2005) ada
berbagai alasan yang dapat menyebabkan kecemasan pasien dalam
menghadapi tindakan pembedahan antara lain takut nyeri setelah
pembedahan, takut terjadi perubahan fisik (menjadi buruk rupa dan tidak
berfungsi) mengalami kondisi yang sama seperti sebelum operasi, takut
menghadapi ruang operasi, cemas peralatan bedah dan petugas, takut mati
saat dilakukan anestesi, dan takut operasi akan gagal.
Kiyohara, Kayano & Oliviera (2004) menjelaskan bahwa salah satu
faktor yang dapat menyebabkan kecemasan dalam masa pra operasi adalah
masa rawat inap untuk prosedur bedah yang dirasakan sebagai ancaman atau
stresor sehingga dapat menimbulkan kecemasan pada pasien; kecemasan
terjadi dalam masa ini pada fase pra operasi adalah ketika pasien
mengantisipasi peristiwa yang tidak diketahui yang berpotensi memberi rasa
sakit dan perubahan citra tubuh, serta peningkatan ketergantungan pada
keluarga dan perubahan kehidupan lainnya. Menurut Masood, Haider, Jawaid
& Nadeem (2009) bahwa takut akan keberlangsungan hidupnya termasuk
kesembuhan diri, perubahan lingkungan, waktu tunggu operasi, rasa sakit
pasca operasi, kekhawatiran tentang keluarga, transfusi darah, rasa takut yang
muncul tanpa diketahui, tindakan bahaya dari kesalahan dokter atau perawat,
takut tertusuk jarum suntik dan tiba-tiba sadar selama operasi adalah beberapa
16
faktor signifikan yang bertanggung jawab atas terjadinya kecemasan pra
operasi.
Gruendemann dan Fernsebner (2006) juga menjabarkan faktor-faktor
yang menjadi penyebab kecemasan pra operasi pada pasien yaitu:
a. Keluarga
Faktor keluarga terhadap seseorang yang akan menjalani
operasi sangat berpengaruh pada tingkat kecemasan yang dialaminya.
Sebagian keluarga atau sahabat dapat meningkatkan rasa cemas pasien
karena terjadi transmisi cemas dari keluarga yang memperlihatkan
perilaku cemas, berbeda dengan keinginan keluarga yang menginginkan
pasien lebih tenang terhadap situasi tersebut di mana kemudian pasien
menganggap dukungan tersebut palsu sehingga mengalami kecemasan.
Namun demikian, dukungan keluarga dapat dianggap sebagai hubungan
interpersonal yang dapat mendukung pasien terhadap penurunan
kecemasan yang dialaminya, semakin kuat sistem dukungan keluarga
maka semakin rendah kerentanan pasien mengalami kecemasan (Kaplan
& Sadock, 1997).
b. Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan yang kurang mampu menumbuhkan kepercayaan
pasien yang dirawatnya akan berakibat pada sikap pasien menjadi kurang
tenang dan bersikap kurang kooperatif terhadap rencana keperawatan
maupun tindakan pembedahan yang akan diberikan. Petugas kesehatan
diharapkan dapat menumbuhkan kepercayaan/keyakinan pasien dan
17
keluarganya dalam rangka pemenuhan kebutuhan fisik/fisiologis pasien
sehingga pasien percaya bahwa para tenaga medis yang terlibat dalam
perawatannya benar-benar mampu menangani permasalahannya.
c. Tingkat pengetahuan pasien mengenai informasi operasi.
Pasien yang belum mengetahui informasi dan prosedur
operasi/pembedahan yang akan dihadapinya dapat mengalami kecemasan
yang ditandai dengan perilaku seperti kesal, marah, menangis serta
menarik diri. Kecemasan ini terjadi karena banyak pertanyaan seputar
operasi yang akan dihadapi belum dijelaskan atau terjawab sepenuhnya.
Dalam hal ini tenaga kesehatan mempunyai peran penting dalam
meningkatkan pengetahuan dan sikap pasien terhadap tindakan yang akan
dialaminya. Pengetahuan yang lengkap dan jelas mengenai prosedur
operasi yang akan dijalani sangat diperlukan untuk mengurangi kecemasan
pra operasi yang dialami pasien sehingga proses operasi dapat berjalan
baik.
d. Kekhawatiran akan nyeri
Kekhawatiran akan nyeri mempengaruhi pasien dalam menjalani
operasi. Nyeri merupakan perasaan yang tidak menyenangkan dan bersifat
subjektif. Pasien memerlukan penjelasan mengenai nyeri yang akan
dirasakannya setelah operasi. Perawat bertugas menjelaskan nyeri yang
akan dirasakan pasien baik pada saat pembedahan maupun pasca
pembedahan. Apabila pasien mencapai harapan yang realistis terhadap
nyeri dan mengetahui cara mengatasinya maka rasa cemas akan berkurang.
18
Menurut Zalon (2004) nyeri dan kelelahan adalah masalah dan gejala yang
paling umum dirasakan selama pemulihan pasca operasi dan dapat
mengakibatkan kurangnya kenyamanan diri pasca operasi; dimana masa
pasca operasi adalah waktu pemulihan untuk fungsi fisik, psikologis,
sosial sehingga pasien dapat kembali ke aktivitas kehidupan sehari-hari
sama seperti sebelum operasi dan meningkatnya tingkat kesehatan
psikologis.
e. Persepsi pasien terhadap hasil bedah.
Persepsi hasil bedah ialah pasien memiliki gambaran tersendiri
mengenai hasil yang mungkin terjadi setelah pembedahan. Pasien
mungkin memikirkan aktivitasnya akan terganggu, terjadi kecacatan,
terjadi kegagalan terhadap operasi, terjadi kesalahan oleh petugas
kesehatan, kematian dan lain-lain. Semakin sering pasien memikirkan
kemungkinan hasil pembedahan maka semakin tinggi tingkat
kecemasan. Perawat bertugas membantu klien dan keluarga untuk
mencapai harapan yang realistis terhadap hasil pembedahan. Dalam masa
pasca operasi Stuart & Laraia (2001) menjelaskan bahwa faktor pencetus
kecemasan pada masa tersebut dari sisi internal, yaitu ancaman terhadap
integritas fisik dan terhadap sistem diri. Ancaman terhadap integritas fisik
meliputi ketidak mampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya
kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
Berdasarkan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari sekian
banyak faktor yang muncul, tentu bergantung pada pengalaman pasien dalam
19
menjalani operasi yang pasti berbeda-beda seperti yang telah dijelaskan dengan
singkat oleh Perry dan Potter, bahwa ada berbagai alasan yang dapat
menyebabkan kecemasan pasien dalam menghadapi tindakan operasi yang
akan dijalaninya. Hal ini yang kemudian membuat peneliti tertarik untuk
mencari gambaran kecemasan menjalani operasi pada pasien kanker ovarium.
B. Pasien Kanker Ovarium
1. Pengertian Pasien Kanker Ovarium
Dalam Kamus Psikologi, Reber dan Reber (2010) menjelaskan
bahwa pasien adalah seseorang yang menerima perawatan medis karena
terdiagnosis tengah menderita penyakit atau luka, yang mencakup juga bahwa
seseorang yang penyakitnya tak terlihat dari luar namun hasil tes menunjukkan
orang tersebut kemungkinan menderita suatu penyakit. Pendapat lain datang
dari Yuwono (2003) yang menjelaskan bahwa pasien adalah orang sakit yang
dirawat dokter dan tenaga kesehatan lainnya di tempat praktik. Jika
berdasarkan pengertian dari Pasal 1 ayat 10 Undang-undang No. 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran (UU 29/2004), pasien adalah setiap orang
yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak
langsung kepada dokter atau dokter gigi. Selanjutnya berdasarkan pasal 1
ayat 4 Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pasien
adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara
langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.
20
Dari pengertian mengenai pasien di atas dapat disimpulkan bahwa
pasien adalah seseorang yang sedang memperoleh pelayanan kesehatan yang
diperlukan secara langsung maupun tidak langsung di rumah sakit dimana
sebelumnya terdiagnosis menderita suatu penyakit atau luka baik terlihat dari
luar atau tidak.
Kanker ovarium adalah perkembangan tidak normal pada sel di
ovarium yang mulai berkembang dengan tidak terkendali dan membentuk
tumor yang kemudian menjadi ganas dengan mulai menyebar ke bagian-bagian
tertentu pada tubuh. Tumor ganas di ovarium yang disebut kanker ovarium
adalah tumor ganas yang berasal dari ovarium dengan berbagai tipe histologi,
yang dapat mengenai semua umur. Tumor sel germinal lebih sering dijumpai
pada penderita berusia kurang dari dua puluh tahun, sementara tumor ovarium
epitelial (Epithelial Ovarium Carcinoma-EOC) lebih sering pada wanita
berusia lebih dari 50 tahun (Rasjidi, Irwanto, & Nurseta, 2007).
Dalam pengklasifikasian kondisi penyakit untuk kasus kanker ovarium
maka kita harus merujuk ke buku ICD-O (International Classification of
Diseases for Oncology , WHO, 1990). Dalam buku klasifikasi tersebut tumor
ovarium diberikan kode C56.9. Kode tersebut adalah kode nomor untuk
neoplasma yang berada di ovarium, sedangkan .9 di belakangnya untuk
menunjukkan stadium atau tingkat perilaku dari neoplasma tersebut. Pada
halaman xxvii terdapat tabel yang menjelaskan kode .9 sebagai kode untuk
neoplasma yang sudah dalam kondisi ganas dan belum tentu apakah masih
dalam kondisi statis atau sudah menyebar (malignant, uncertain whether
21
primary or metastatic site). Dari kajian buku ICD-O bisa kita klasifikasikan
bahwa tumor ovarium dapat disebut sebagai kanker.
Kanker ovarium di Indonesia menduduki urutan keenam terbanyak dari
keganasan pada wanita dengan urutan setelah kanker serviks (karsinoma
serviks uteri), payudara, kolorektal, kulit, dan limfoma. Kanker ovarium
merupakan salah satu keganasan yang sering ditemukan pada genitalia wanita
dan menempati urutan kedua setelah kanker serviks (Aziz dalam Saifuddin,
1995). Kanker ovarium menduduki peringkat kedua terbanyak setelah kanker
serviks dan angka kejadian kasus kanker ovarium di Indonesia pada tahun
2012 sekitar 354 kasus (Indonesian Society of Gynecologic Oncology, 2012).
Pada kasus kanker ovarium pembedahan memegang peranan penting
dalam penatalaksanaan tahap penanganan medis. Operasi ini dilakukan dengan
penentuan diagnosis pra operasi, tingkatan penyakit (stadium), dan perluasan
penyakit (metastase). Ketiga hal tersebut diperlukan dan dilakukan dengan
cermat untuk mendapatkan hasil penanganan medis yang baik (Rasjidi,
Irwanto, & Nurseta, 2007).
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai pasien dan kanker ovarium,
dapat disimpulkan bahwa pasien kanker ovarium adalah seseorang yang
sedang menerima perawatan medis karena sebuah penyakit dimana penyakit
tersebut tak terlihat dari luar namun hasil tes menunjukkan orang tersebut
kemungkinan menderita suatu penyakit yaitu kanker ovarium. Penyakit ini
merupakan perkembangan tidak normal pada sel di ovarium yang mulai
berkembang dengan tidak terkendali dan mulai menyebar ke bagian-bagian
22
tertentu pada tubuh dengan berbagai tipe histologi yang dapat mengenai semua
umur.
2. Faktor-faktor Risiko Kanker Ovarium
Penyebab dari Kanker ovarium tidak diketahui secara pasti namun
faktor-faktor berikut ini dapat meningkatkan risikonya, yaitu:
a. Riwayat keluarga dengan kanker ovarium.
b. Mutasi genetik pada gen yang berhubungan dengan tumor ovarium, seperti
BRCA1 atau BRCA2.
c. Riwayat pasien seperti tumor/kanker payudara, uterus, atau kolon (usus
besar).
d. Obesitas (kegemukan).
e. Penggunaan beberapa obat fertilitas atau terapi-terapi hormon.
f. Tidak ada riwayat kehamilan.
g. Endometriosis (radang yang terkait dengan hormon estradiol/estrogen
berupa pertumbuhan jaringan endometrium yang disertai perambatan
pembuluh darah, hingga menonjol keluar dari rahim (pertumbuhan
ectopic) dan menyebabkan pelvic pain).
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai faktor-faktor risiko kanker
ovarium dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor risiko penyakit ini mencakup
riwayat penyakit kanker di keluarga, kondisi fisik pasien dan peradangan yang
terkait dengan hormon estrogen.
23
3. Gejala Kanker Ovarium
Gejala kanker ovarium pada kebanyakan pasien adalah simtomatis
(95%), tetapi gejalanya non spesifik—keluhan/rasa tidak enak/rasa tertekan di
abdomen, dispareunia, dan bertambahnya berat badan karena asites atau massa
(Rasjidi, Irwanto, & Nurseta, 2007). British Medical Journal dan Target
Ovarium Center menjelaskan bahwa dibutuhkan waktu satu bulan untuk
mengetahui gejala tumor ovarium. Terdapat beberapa gejala umum yang dapat
dengan mudah dikenali, beberapa gejala umum kanker ovarium adalah sebagai
berikut:
a. Sering merasakan nyeri di perut.
b. Ukuran perut semakin besar.
c. Susah makan atau tidak nafsu makan.
d. Sering merasa kekenyangan.
e. Sering muntah dan buang air besar.
f. Kembung terus-menerus.
g. Terjadi pendarahan pada vagina.
h. Berat badan turun secara signifikan.
i. Sering merasa lelah dan sakit kepala.
Kanker ovarium juga dapat menyebabkan gejala-gejala lain seperti:
a. Kelelahan.
b. Gangguan pencernaan.
c. Mulas.
d. Sembelit.
24
e. Sakit punggung.
f. Ketidak beraturan menstruasi.
g. Hubungan seksual yang menyakitkan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kanker ovarium
menunjukkan gejala-gejala fisik yang umum di wilayah perut dan kelamin
yang sangat menganggu pasien yang mengidap penyakit ini dan dibutuhkan
waktu satu bulan untuk mengetahui gejala tumor ovarium pada pasien.
4. Diagnosis Kanker Ovarium
Penanganan medis terhadap kanker ovarium bisa dilakukan setelah
ditegakkan diagnosis kanker ovarium yang meliputi prosedur penentuan lewat
cara-cara berikut:
a. Anamnesa lengkap dan pemeriksaan fisik.
b. Penanda tumor untuk kanker epitelial (CA-125), germ cell tumors (CEA,
hCG, AFP), Sex cord stromal tumor (inhibin untuk sel granulosa).28
c. Kimia darah, darah lengkap, tes fungsi hati.
d. Toraks x-ray untuk evaluasi efusi pleura & metastase paru.
e. CT-Scan abdomen dan pelvis.
f. Jika simptomatis, dapat dilakukan IVP dan/atau barium enema untuk
evaluasi keterlibatan kandung kemih dan usus
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk
melakukan diagnosis kanker ovarium dilakukan banyak pemeriksaan dalam
tes penunjang untuk mengetahui dengan pasti kondisi penyakit yang diderita
25
pasien, setelah itu penanganan medis yang sesuai dengan stadium dari hasil
pemeriksaan tersebut dapat dilakukan.
5. Stadium Kanker Ovarium
Cancer Research UK (2016) mengklasifikasikan stadium pada kanker
ovarium sebagai berikut:
a. Stadium I. Kanker ovarium stadium 1 berarti kanker hanya di ovarium.
Stadium ini terbagi dalam 3 kelompok:
1) Stadium IA. Kanker benar-benar di dalam satu ovarium
2) Stadium IB. Kanker benar-benar ada di dalam kedua ovarium
3) Stadium IC. Selain berada di salah satu atau kedua ovarium, ada
beberapa sel kanker di permukaan ovarium, ada sel kanker dalam
cairan yang diambil dari dalam perut pasien selama operasi, atau
pecahnya ovarium (semburan) sebelum atau selama operasi.
b. Stadium II. Kanker ovarium stadium 2 artinya kanker telah tumbuh di luar
indung telur atau ovarium di mana pertumbuhan terdapat pada area sekitar
tulang panggul (pelvis). Kemungkinan ada sel kanker pada abdomen,
stadium 2 terbagi dalam 3 kelompok:
1) Stadium IIA. Kanker telah tumbuh di dalam tuba falopi atau rahim.
2) Stadium IIB. Kanker telah tumbuh ke jaringan lain di panggul seperti
kandung kemih atau rektum.
3) Stadium IIC. Kanker telah tumbuh ke jaringan lain di panggul dan ada
sel kanker dalam cairan yang diambil dari perut pasien.
26
c. Stadium III. Pada tahap ini kanker telah menyebar dari panggul ke rongga
perut. Disebut juga stadium 3 jika kanker ditemukan pada kelenjar getah
bening di abdomen bagian atas, selangkangan atau di belakang rahim.
Terbagi menjadi 3 kelompok yaitu:
1) Stadium IIIA. Sel kanker ditemukan pada sampel jaringan yang diambil
dari lapisan perut.
2) Stadium IIIB. Terdapat pertumbuhan kanker yang berukuran 2 cm atau
lebih kecil pada lapisan perut.
3) Stadium IIIC. Terdapat pertumbuhan kanker dengan ukuran lebih dari
2 cm yang ditemukan pada lapisan perut, atau di kelenjar getah bening
di lapisan perut atas, selangkangan dan/atau bagian belakang rahim.
d. Stadium IV. Kanker ovarium pada tahap ini dapat diartikan bahwa kanker
tersebut telah menyebar ke organ tubuh lain yang berjauhan dari ovarium
seperti hati dan paru-paru. Stadium ini terbagi menjadi 2 kelompok:
1) Stadium IVA. Kanker telah menyebabkan terbentuknya cairan di
lapisan paru-paru (pleura) yang disebut dengan efusi pleura.
2) Stadium IVB. Penyebaran kanker telah mencapai bagian dalam hati
atau limpa ke kelenjar getah bening di selangkangan atau di luar perut
dan/atau ke organ lain seperti paru-paru.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kanker ovarium memiliki
stadium tertentu dimana setiap stadium terdiri dari kelompok-kelompok
stadium di dalamnya dan memiliki kekhasan ukuran kanker, kondisi kanker
dan jangkauan lokasi penyebaran kanker tersebut pada tubuh pasien.
27
6. Penanganan Medis Kanker Ovarium
Terdapat lima tindakan dalam penanganan kasus kanker ovarium yaitu:
pembedaan, kemoterapi, terapi hormon, terapi target dan terapi radiasi.
Tindakan yang paling umum dilakukan dalam kasus kanker ovarium adalah
pembedahan (American Cancer Society, 2014). Pada kasus kanker ovarium,
operasi dilakukan dengan penentuan diagnosis pra operasi, tingkatan penyakit
(stadium), dan perluasan penyakit (metastasis). Ketiga hal tersebut diperlukan
dan dilakukan dengan cermat untuk mendapatkan hasil penanganan medis
yang baik. Agar pembedahan yang dilakukan dapat memenuhi Surgical
Staging dan dapat mengangkat tumor seoptimal mungkin, dilakukan insisi
mediana atau paramedian, ovarium sedapat mungkin diangkat dalam keadaan
utuh. Bila hasil potong beku ternyata ganas, pembedahan sesuai prosedur
Surgical Staging kanker ovarium harus dilakukan. Sementara itu, bila tumor
sudah menyebar ke organ lain, prinsip sitoreduksi harus dikerjakan dengan
meninggalkan residu tumor seminimal mungkin (Rasjidi, Irwanto, & Nurseta,
2007).
Operasi dan langkah perawatan selanjutnya pada kasus kanker ovarium
dilakukan berdasarkan stadium dari kanker yang diderita oleh pasien namun
semua operasi yang dilakukan memiliki tujuan awal untuk penentuan staging
atau stadium, American Cancer Society (2014) telah membuat susunannya
sebagai berikut:
28
a. Stadium 1 (1A dan 1B).
Tindakan pada stadium ini adalah dengan melakukan operasi
untuk mengeluarkan jaringan kanker. Sebagian besar uterus, kedua
fallopian tube (saluran ke indung telur) dan kedua indung telur
(ovarium) diangkat. Tindakan ini disebut sebagai histerektomi dengan
bilateral salpingo-ooforektomi.
b. Stadium II (IIA dan IIB).
Untuk kanker ovarium pada stadium 2, tindakan dimulai dengan
pembedahan histerektomi seperti pada stadium 1. Perawatan lanjutan
dilakukan lewat kemoterapi yang direkomendasikan sebanyak 6 kali,
dan yang sering digunakan adalah kombinasi karboplatin dan
paclitaksel. Ada pula pasien yang menggunakan kemoterapi intra-
abdominal/intraperitoneal (IP) selain kemoterapi infus.
c. Stadium III (IIIA1, IIIA2, IIIB, dan IIIC).
Tindakan yang diberikan sama seperti kanker stadium II yaitu
operasi untuk staging kemudian dilakukan operasi lanjutan yaitu
pengangkatan jaringan yang terkena sel kanker. Uterus, kedua fallopian
tubes, kedua ovarium, dan omentum (jaringan lemak dari bagian
abdomen atas dekat perut dan usus) ikut diangkat. Tujuan dari
pembedahan ini adalah tidak ada jaringan kanker lebih dari 1 cm yang
tertinggal. Terkadang ditemukan kanker tumbuh di dalam usus dan
dalam hal ini sebagian usus harus diangkat, begitu pula sebagian organ
lain yang terdapat kanker. Setelah operasi diberikan kombinasi
29
kemoterapi yaitu karboplatin dan taxane, seperti paclitaxel lewat infus
sebanyak 6 kali. Selama kemoterapi dilakukan pemeriksaan darah
dengan CA-125, juga dilakukan CT scan, PET scan, atau MRI untuk
mengevaluasi respon pasien terhadap perawatan yang dilakukan.
d. Stadium IV.
Pada stadium ini kanker telah menyebar ke organ yang lebih jauh
jaraknya seperti di hati (liver), paru-paru, atau tulang. Kanker pada
stadium ini sangat susah untuk disembuhkan namun perawatan
diberikan agar pasien merasa lebih baik dan memperlama masa hidup
(paliatif, tanpa melawan kanker). Perawatannya mirip dengan stadium
III namun pemberian kemoterapi bisa dilakukan di awal perawatan, di
mana 3 kali kemoterapi diberikan sebelum operasi dan sekurangnya 3
kali kemoterapi lagi setelah operasi.
Berdasarkan uraian penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa
dalam kasus kanker ovarium operasi dilakukan dengan penentuan diagnosis
pra operasi, tingkatan penyakit (stadium), dan perluasan penyakit (metastasis),
hal ini diperlukan dan dilakukan dengan cermat untuk mendapatkan hasil
penanganan medis yang baik, agar pembedahan yang dilakukan dapat
memenuhi Surgical Staging dan dapat mengangkat tumor seoptimal mungkin
sesuai dengan kondisi kanker pada stadium yang diketahui lewat pemeriksaan.
C. Dinamika Psikologis Menjalani Operasi Pada Pasien Kanker Ovarium
Pra operasi adalah suatu masa yang dimulai ketika keputusan untuk operasi
dibuat dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi. Dalam fase pra
30
operasi ini ada beberapa persiapan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan kepada
pasien sebelum tindakan operasi dilakukan padanya untuk mempersiapkan pasien
dalam tindakan pembedahan dalam menjamin keselamatan pasien intra operasi.
Persiapan yang dilakukan meliputi persiapan fisik maupun pemeriksaan penunjang
serta persiapan psikis atau mental pasien yang sangat diperlukan, karena
keberhasilan tindakan pembedahan pasien bergantung pada keberhasilan persiapan
yang dilakukan dalam tindakan pada tahap persiapan pra operatif (Rothrock, 1999).
Hal ini perlu dilakukan karena prosedur pembedahan dapat menimbulkan gangguan
fisiologis maupun psikologis, gangguan tersebut dapat mengakibatkan pasien pra
operasi memiliki berbagai masalah karena berpengaruh pada kondisi fisik pasien
ketika persiapan operasi dan kesembuhan pasien di mana semakin cemas pasien
sebelum operasi maka semakin sulit penyesuaian dan pemulihan pasca operasi
(Aderson, Masur, & Johnson, dalam Sarafino, 1998). Penjelasan lebih rinci dari
Fernsebner (2005) adalah sebagai berikut:
1. Fase pra operasi. Merupakan masa sebelum dilakukannya tindakan
pembedahan, dimulai sejak persiapan pembedahan dan berakhir sampai
pasien di meja bedah. Beberapa hal yang dikaji dalam tahap pra operasi
adalah pengetahuan tentang persiapan pembedahan, pengalaman masa lalu
dan kesiapan psikologis. Pada periode pra operasi yang lebih diutamakan
adalah persiapan psikologis dan fisik sebelum operasi.
2. Fase intra operasi. Dimulai ketika pasien masuk ke bagian atau ruang bedah
dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan, dimana pada fase
31
ini pasien dipantau secara menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan
untuk menjaga keselamatan pasien.
3. Fase pasca operasi. Dimulai pada saat pasien masuk ke ruang pemulihan
dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di
rumah. Pada fase ini dilakukan peningkatan penyembuhan pasien dan
penyuluhan, termasuk perawatan lanjutan dan rehabilitasi kondisi pasien
untuk berhasilnya proses penyembuhan dan diikuti dengan pemulangan
pasien.
Kindler dkk. (2000) mengatakan bahwa tindakan operasi yang harus dijalani
oleh pasien kanker ovarium dapat menyebabkan kecemasan pada masa pra operasi
yang dapat berdampak buruk pada masa intra operasi dan pasca operasi. Kecemasan
pra operasi ini dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya seperti yang
dijabarkan oleh Gruendemann dan Fernsebner (2006) yaitu: keluarga, petugas
kesehatan, tingkat pengetahuan pasien mengenai informasi operasi, kekhawatiran
akan nyeri dan persepsi pasien terhadap hasil bedah. Pendapat mengenai faktor
penyebab kecemasan pra operasi lainnya juga disebutkan oleh Long (2001) yang
menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan kecemasan dalam masa pra
operasi yaitu: takut adanya keganasan penyakit yang diderita jika diagnosa yang
ditegakkan belum benar-benar pasti, cemas akan mengalami kondisi yang sama
dengan pasien lain yang memiliki kesamaan penyakit, cemas menghadapi ruang
operasi, takut terhadap alat-alat bedah yang akan digunakan selama operasi, takut
mengalami kematian saat dibius atau tidak dapat sadar lagi, adanya ketakutan
bahwa operasi akan gagal, ketakutan akan rasa sakit atau nyeri setelah operasi,
32
cemas akan terjadi perubahan fisik karena ada organ yang diangkat atau
dikeluarkan dari tubuh, tidak berfungsinya tubuh atau organ tubuh lain seperti
sebelum dilakukan operasi dan deskripsi tubuh yang terganggu.
Terdapat begitu banyak pendapat yang menjelaskan berbagai macam faktor
yang menyebabkan kecemasan pada pasien pada masa pra operasinya. Dari
beragamnya faktor-faktor tersebut tentunya bergantung pada pengalaman yang
dirasakan oleh masing-masing pasien dalam persiapan menjalani operasi di masa
pra operasi dimana hal yang dirasakan tersebut pasti memiliki persamaan dan
perbedaan. Dalam pikiran peneliti, munculnya kecemasan dalam masa pra operasi
adalah sebagai reaksi dari ketakutan dan kekhawatiran pasien ketika masuk untuk
dirawat inap pada masa pra operasi, ketika menghadapi masa intra operasi saat
operasi dilakukan dan ketika pada masa pasca operasi yang merupakan saat
penyembuhan dan pemulihan pasien setelah dioperasi. Berdasarkan dinamika
tersebut, peneliti mencoba untuk mengetahui dan memahami apa saja yang
dicemaskan oleh pasien dalam menjalani operasinya, sehingga peneliti dapat
memperoleh gambaran kecemasan menjalani operasi pada pasien kanker ovarium.
D. Pertanyaan Penelitian
Dalam menjalani operasi kanker ovarium di masa pra operasi yang
dialaminya, pasien mengalami kecemasan terkait situasi yang dihadapi yang
disebut sebagai kecemasan pra operasi. Pasien dengan kecemasan pra operasi
mencemaskan beberapa hal seperti kondisinya ketika dirawat inap sebelum operasi,
kondisi intra operasi, dan kondisi pasca operasi di mana kecemasan tersebut
ditakutkan dapat mengganggu jalannya proses operasi dan masa pasca operasi