40
RINGKASAN PENGARUH BUDAYA BIROKRASI EWUH-PAKEWUH TERHADAP EFEKTIVITAS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DISERTASI Program Studi Kebijakan Oleh : Harry Indradjit Soeharjono 08/277139/SMU/590 Diajukan Kepada SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA

3200 RD 201302004 Harryindradjits

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

RINGKASAN

PENGARUH BUDAYA BIROKRASI EWUH-PAKEWUH TERHADAP

EFEKTIVITAS SISTEM PENGENDALIAN INTERN

DISERTASI Program Studi Kebijakan

Oleh :

Harry Indradjit Soeharjono 08/277139/SMU/590

Diajukan Kepada

SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA

 

Page 2: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

i

DAFTAR ISI

Hal

DAFTAR ISI ............................................................................................................ i

INTISARI ................................................................................................................ ii

1. Latar Belakang ................................................................................................ 1

2. Rumusan Masalah ........................................................................................... 6

3. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 8

4. Keaslian Penelitian........................................................................................... 8

5. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 8

6. Landasan Teori.................................................................................................. 9

7. Hipotesis............................................................................................................ 19

8. Desain Penelitian ............................................................................................. 22

9. Obyek Penelitian dan Pengukuran Variabel..................................................... 23

10. Subyek Penelitian dan Penarikan Sampel ....................................................... 25

11. Pengumpulan Data............................................................................................ 26

12. Simpulan.......................................................................................................... 26

13. Saran................................................................................................................ 29

Daftar Pustaka

Page 3: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

ii

INTISARI

Sebagaimana diketahui suatu organisasi meliputi kultur dan struktur. Selama ini pembenahan lebih difokuskan pada struktur organisasi daripada kultur yang terdapat dalam organisasi. Padahal dalam kenyataannya kultur dapat mempengaruhi struktur organisasi. Kultur yang diteliti dalam disertasi ini adalah budaya birokrasi ewuh-pakewuh, sedangkan struktur yang diteliti adalah sistem pengendalian intern. Melihat kemungkinan ada korelasi antara pengaruh budaya birokrasi ewuh-pakewuh dengan efektivitas sistem pengendalian intern, penelitian ini penting untuk dilakukan guna membuat pemetaan seberapa signifikan budaya birokrasi ewuh-pakewuh dapat berpengaruh terhadap efektivitas sistem pengendalian intern.

Penelitian ini menggunakan penggabungan metode, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif (mixed methods). Dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, peneliti melakukan survei menggunakan instrumen kuesioner kepada pejabat struktural eselon 2, eselon 3, eselon 4, pegawai non struktural, dan pejabat fungsional auditor sebagai unit analisis dengan lokasi (locus) di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Di samping itu digunakan pendekatan kualitatif sebagai fasilitator pendekatan kuantitatif, dengan melakukan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta wawancara mendalam (in-depth interview) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dengan pejabat struktural eselon 2, eselon 3, eselon 4, pegawai non struktural, dan pejabat fungsional auditor sebagai unit analisis.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) merupakan unit budaya (cultural units) yang merupakan representasi dari 67 unit budaya kementerian/lembaga. Dengan demikian, analisis yang dilakukan adalah atas tingkat budaya (culture level), tidak atas tingkat individu. Berdasarkan hasil analisis atas data kuantitatif dengan dukungan data kualitatif diperoleh pemaknaan secara empirik bahwa budaya ewuh-pakewuh terbukti dapat membahayakan eksistensi organisasi birokrasi untuk melaksanakan tata kelola kepemerintahan yang baik karena memunculkan risiko penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat birokrat untuk melakukan perbuatan korupsi sebagai dampak dari aktivitas risk assessment dan monitoring yang tidak efektif. Budaya birokrasi ewuh-pakewuh dapat diminimalisasi atau direduksi dengan mengembangkan kepemimpinan yang kondusif dan pembinaan sumber daya manusia yang sehat oleh para atasan terhadap para bawahan mereka disertai dengan implementasi regulasi berupa kebijakan, aturan, dan prosedur yang formal, impersonal dan rasional.

Kata kunci: Budaya Birokrasi dan Sistem Pengendalian Intern

Page 4: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

1  

  

PENGARUH BUDAYA BIROKRASI EWUH-PAKEWUH TERHADAP EFEKTIVITAS SISTEM PENGENDALIAN INTERN

1. Latar Belakang

Menurut Kuntowijoyo (1994: 184 dan 185), birokrasi sebagai sebuah

struktur teknis dalam masyarakat mempunyai kaitan erat dengan struktur sosial

dan struktur budaya. Bagaimana kedudukan birokrasi terhadap struktur sosial dan

struktur budaya pada suatu kurun sejarah tertentu disebut sebagai budaya

birokrasi.

Budaya birokrasi abdi dalem, priyayi dan pegawai negeri mencerminkan

evolusi sejarah birokrasi di Indonesia, yaitu sesuai dengan sistem sosial

patrimonial, kolonial, dan nasional secara kronologis. Kuntowijoyo (1994:186-

191) menguraikan bahwa mereka yang membantu raja dalam penyelenggaraan

kekuasaan disebut sebagai abdi dalem. Abdi dalem itulah yang duduk dalam

lembaga yang disebut birokrasi kerajaan. Mereka menjadi perantara antara raja

dengan kawulanya. Kedudukan birokrasi sebagai abdi dalem yang melayani raja

dalam hubungan atas-bawah yang bersifat konsentris membuat kedudukan

birokrasi dalam negara patrimonial hanya merupakan kepanjangan tangan dari

kekuasaan raja. Birokrasi tidak melayani kepentingan masyarakatnya, tetapi

melayani kepentingan raja.

Perubahan sebenarnya sudah terjadi sejak masuknya pemerintah kolonial

di Jawa. Sebagai sebuah usaha ekonomi dan politik, pemerintah kolonial

mengangkat pejabat-pejabatnya sendiri. Pada umumnya orang-orang pribumi

Page 5: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

2  

  

yang diangkat dalam jajaran birokrasi kolonial, termasuk semua saja yang

mendapat imbalan berupa gaji besar maupun kecil dapat disebut sebagai priyayi.

Priyayi tidak diangkat berdasarkan kualifikasi genealogis, tetapi berdasar kriteria

rasional, satu hal yang berbeda dengan para abdi dalem yang diangkat karena

kemurahan raja. Negara nasional yang muncul sejak kemerdekaan memberikan

definisi baru pada birokrasi, yaitu sekaligus sebagai penyelenggara kekuasaan dan

penyelenggara pelayanan. Sama seperti halnya priyayi yang berlapis-lapis,

pegawai negeri terdiri dari berbagai pangkat, golongan dan eselon.

Dalam semboyannya pegawai negeri adalah abdi negara, sebuah

ungkapan yang masih menyarankan betapa orientasi ke atas merupakan ciri utama

pegawai negeri. Artinya berorientasi pada kekuasaan, sebab negara adalah nama

lain dari kekuasaan. Kalau priyayi dapat disebut sebagai elite, pegawai negeri

lebih mirip dengan orang kebanyakan yang posisi sosialnya ditentukan oleh

ukuran-ukuran pelapisan yang berlaku umum.

Dengan berorientasi kepada kekuasaan maka budaya patron-klien dapat

timbul karena saling kebergantungan antara atasan (patron) dan bawahan (klien)

baik karena kedekatan kesukuan dan kekerabatan (ikatan primordial) maupun

saling pengertian dalam memandang nilai-nilai dan prinsip kehidupan. Menurut

Kausar (2009:221), budaya patron-klien sangat memengaruhi kinerja birokrasi

dan memperlemah kinerja birokrasi apabila diterapkan secara mutlak. Hubungan

antar elemen yang terkait dalam sistem organisasi birokrasi menjadi tidak

proporsional, tidak profesional, dan tidak rasional.

Page 6: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

3  

  

Dalam perkembangan selanjutnya, budaya patron-klien menimbulkan

pola perilaku ewuh-pakewuh dalam hubungan antara bawahan dan atasan. Diakui

atau tidak, dalam lingkungan birokrasi di Indonesia, budaya ketimuran dalam

konteks kesantunan Jawa ewuh-pakewuh, yaitu sikap sungkan atau rasa segan

serta menjunjung tinggi rasa hormat terhadap atasan atau senior, masih ada yang

melekat pada aparat birokrasi terutama aparat pengawas bila menghadapi pejabat

birokrat atau kepentingan tertentu (Martojo, 2008).

Menurut Nordholt (1987:48), perilaku ewuh-pakewuh yang telah

membudaya dalam lingkungan birokrasi di Indonesia dapat membuat para pejabat

birokrat pemegang posisi kunci berada dalam posisi kehilangan kontrol atau

kontrol yang lemah baik oleh pejabat birokrat bawahannya maupun oleh aparat

pengawas. Ketiadaan kontrol atau kontrol yang lemah terhadap para pejabat

birokrat pemegang posisi kunci tersebut mengakibatkan mereka yakin bahwa

semua instruksinya tidak akan dibantah oleh bawahan mereka. Kondisi tersebut

dimanfaatkan oleh atasan untuk menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya

dan melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu korupsi.

Kasus korupsi yang terjadi di lingkungan birokrasi sebagaimana gencar

diberitakan baik oleh media cetak maupun media elektronik, merugikan keuangan

negara milyaran rupiah. Berdasarkan hasil pengusutan oleh aparat penegak

hukum, ternyata perbuatan korupsi tersebut ada yang dilakukan oleh beberapa

oknum pejabat birokrat setingkat eselon 1 (satu) dan para oknum pejabat birokrat

bawahan mereka.

Page 7: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

4  

  

Sistem pengendalian intern yang merupakan elemen dari struktur

birokrasi yang diandalkan untuk mengamankan aset negara dan mengawal tata

kelola kepemerintahan yang baik, dalam kenyataannya tidak mampu untuk

mencegah penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang dilakukan oleh para

oknum pejabat birokrat pemegang posisi kunci tersebut. Hal ini terjadi karena

para oknum pejabat birokrat pemegang posisi kunci yang seharusnya memiliki

komitmen untuk melaksanakan sistem pengendalian intern dengan baik, justru

terlibat dalam penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya, dan melakukan

perbuatan korupsi.

Akuntabilitas pengelolaan keuangan negara sebagai salah satu pilar dari

tata kelola kepemerintahan yang baik, direkayasa untuk menutupi penyimpangan-

penyimpangan yang mereka lakukan. Secanggih apapun sistem pengendalian

intern, tentu tidak akan berarti bila sumber daya manusia yang harus

melaksanakannya ternyata memiliki itikad tidak baik yaitu berperilaku korup.

Perilaku korup yang dilakukan oleh para oknum pejabat birokrat ini tidak

semata-mata merupakan kemauan mereka sendiri, namun dapat juga dipengaruhi

oleh kultur dalam organisasi di mana mereka berada (cultural determinants of

behaviour). Sikap birokrat yang asertif dan bertindak obyektif serta berpegang

pada aturan-aturan normatif (formal impersonality) yang menurut Weber (1947)

dalam Masdiana (2004:1) adalah nilai-nilai dari budaya birokrasi rasional,

ternyata diabaikan oleh para oknum pejabat birokrat tersebut.

Melihat kemungkinan ada korelasi antara kultur dalam hal ini budaya

birokrasi ewuh-pakewuh dengan struktur birokrasi yang menyangkut sistem

Page 8: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

5  

  

pengendalian intern, maka penelitian ini penting untuk dilakukan guna membuat

pemetaan seberapa signifikan budaya birokrasi ewuh-pakewuh dapat berpengaruh

terhadap efektivitas sistem pengendalian intern dalam lingkungan birokrasi di

Indonesia.

Instansi pemerintah yang menjadi lokus penelitian terkait dengan budaya

birokrasi ewuh-pakewuh dan korelasinya dengan efektivitas sistem pengendalian

intern adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Tenaga

Kerja dan Transmigrasi, serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN).

Pemilihan lokus penelitian ini didasarkan pada daya tarik permasalahan

(fenomena) terkait kasus korupsi yang menonjol atau menarik perhatian publik,

yaitu kasus korupsi Automatic Fingerprint Identification System (AFIS) yang

ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2008 dengan

kerugian negara sebesar Rp 6 milyar. Kasus tersebut melibatkan seorang oknum

pejabat eselon 1 (satu) dan seorang bawahannya di Direktorat Jenderal

Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang

notabene merupakan instansi pemerintah pemegang amanah untuk menunjang

penegakan hukum dan hak asasi manusia.

Di samping itu, kasus korupsi yang menarik perhatian publik di

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi selaku pengawas dan regulator di

bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian adalah kasus Pengadaan

Peningkatan Fasilitas Mesin dan Peralatan Latihan di Direktorat Jenderal

Pembinaan Pelatihan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri dengan kerugian

negara sebesar Rp 1.965.398.255, kasus Pekerjaan Pemeriksaan Penggunaan

Page 9: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

6  

  

Tenaga Kerja Asing/Audit Investigasi pada 46 (empat puluh enam)

Kabupaten/Kota di Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan

dengan kerugian negara sebesar Rp 980.000.250, dan kasus Pengembangan

Sistem Pelatihan dan Pemagangan di Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan

Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri dengan kerugian negara sebesar Rp

613.291.319, yang kesemuanya dilakukan oleh Pemimpin Proyek. Kasus-kasus

tersebut ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2009.

Selanjutnya, kasus korupsi yang menarik perhatian publik di Badan

Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) selaku pengawas dan regulator di bidang

aplikasi tenaga nuklir adalah kasus Pengadaan Tanah pada Proyek Peningkatan

Kelembagaan dan Sarana yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) pada tahun 2009 dengan kerugian negara sebesar Rp 955.854.880. Kasus

tersebut melibatkan seorang oknum pejabat birokrat eselon 1 (satu) dan seorang

bawahannya (sumber: www.TRAKTUS.com)

2. Rumusan Masalah

Kasus korupsi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Badan Pengawas Tenaga

Nuklir (BAPETEN) yang dilakukan oleh oknum pejabat birokrat eselon 1 (satu)

dan para oknum pejabat birokrat bawahan mereka menimbulkan kerugian

keuangan negara dengan total besaran Rp 10.514.544.704 (sepuluh milyar lima

ratus empat belas juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus empat

rupiah).

Page 10: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

7  

  

Sistem pengendalian intern yang seharusnya mampu mencegah perbuatan

korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat birokrat pemegang posisi kunci di

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Tenaga Kerja dan

Transmigrasi, serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dengan

mengedepankan sistem peringatan dini (early warning system) dan sistem

pendeteksian dini (early detection system) dalam kenyataannya tidak berjalan

dengan baik atau tidak dapat diandalkan.

Aparat pengawasan intern dan pejabat birokrat selaku bawahan serta staf

birokrat sebagai bagian dari sistem pengendalian intern yang seharusnya

melakukan aktivitas pengendalian (kontrol) dalam kenyataannya tidak

melaksanakan tugasnya dengan baik karena ada kemungkinan terkendala oleh rasa

sungkan dan menjunjung tinggi rasa hormat terhadap atasan atau senior (budaya

birokrasi ewuh-pakewuh). Di sisi lain, para oknum pejabat birokrat pemegang

posisi kunci yang seharusnya memiliki komitmen untuk melaksanakan sistem

pengendalian intern dengan baik, justru terlibat dalam penyalahgunaan wewenang

yang dimilikinya, dan melakukan perbuatan korupsi.

Dengan demikian, permasalahan atau problematika yang dirumuskan

dalam penelitian ini (research problem) adalah sebagai berikut:

Seberapa signifikan pengaruh budaya birokrasi ewuh-pakewuh

terhadap efektivitas sistem pengendalian intern?

Page 11: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

8  

  

3. Tujuan Penelitian

Masalah utama yang ingin didalami dalam penelitian ini adalah

sejauhmana budaya ewuh-pakewuh di lingkungan birokrasi mempunyai pengaruh

terhadap efektivitas sistem pengendalian intern.

4. Keaslian Penelitian 

Penelitian ini difokuskan untuk mengeksplanasi pengaruh budaya

birokrasi ewuh-pakewuh terhadap efektivitas sistem pengendalian intern. Dalam

penelitian ini, variabel-variabel budaya birokrasi ewuh-pakewuh diteliti

signifikansi pengaruhnya terhadap variabel-variabel efektivitas sistem

pengendalian intern.Sebelum dilakukan penelitian ini, telah banyak dilakukan

penelitian–penelitian terdahulu terkait dengan pengaruh budaya terhadap

lingkungan akuntansi (struktur dan praktik akuntansi).

Dari penelitian-penelitian terdahulu terlihat bahwa para peneliti

memfokuskan pada korelasi perspektif budaya dengan lingkungan akuntansi

(struktur dan praktik akuntansi) baik dalam lingkup nasional maupun

internasional, namun demikian penelitian atas pengaruh budaya birokrasi ewuh-

pakewuh terhadap efektivitas sistem pengendalian intern dalam lingkup birokrasi

di Indonesia sejauh yang diketahui belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti

yang lain.

5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat kepada para pihak

sebagai berikut:

Page 12: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

9  

  

a. Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan masukan-masukan

bagi jajaran pimpinan kementerian negara dan lembaga pemerintah

nonkementerian, terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dirumuskan

dalam implementasi sistem pengendalian intern untuk mengawal tata

kelola kepemerintahan yang baik (good governance)

b. Peneliti Lain

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi teoretis

dan menjadi model analisis bagi peneliti-peneliti berikutnya dalam

melaksanakan penelitian-penelitian dengan topik yang relevan.

6. Landasan Teori

Menurut Tylor, seorang antropologis, dalam Brown (1998:4) definisi

budaya adalah:

That complex whole which includes knowledge, beliefs, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society,

Abdullah (2007:51), seorang antropolog, menjelaskan pengertian

kebudayaan sebagai berikut:

Kebudayaan bagi suatu masyarakat bukan sekedar sebagai frame of reference yang menjadi pedoman tingkah laku dalam berbagai praktik sosial, tetapi lebih sebagai “barang” atau materi yang berguna dalam proses identifikasi diri dan kelompok. Sebagai kerangka acuan, kebudayaan telah merupakan serangkaian nilai yang disepakati dan yang mengatur bagaimana sesuatu yang bersifat ideal diwujudkan.

Hofstede (1980:21), seorang organizational psychologist, mendefinisikan

budaya sebagai berikut:

Page 13: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

10  

  

Culture is the collective programming of the mind which distinguishes the members of one human group from another. This definition highlights three important points about culture,

Culture is collective, rather than being a characteristic of any one individual.

It is not directly observable, but it can be inferred from people’s behaviour.

It is of interest only to the extent that it helps to differentiate between groups – due to cultural differences, groups will behave in different and definable ways.

Menurut Hofstede et al. (2010:8), budaya dibedakan dalam 4 (empat)

tingkatan sebagai berikut:

a. symbols are the most superficial of the four: they comprise words, gestures, pictures or objects that carry a particular meaning that is recognized as such only by those who share the culture;

b. heroes are persons, alive or dead, real or imaginary who possess characteristics that are highly prized in a culture and thus serve as models for behavior;

c. rituals are collective activities that are technically superfluous to reach desired ends but that, within a culture, are considered socially essential;

d. values are broad tendencies to prefer certain states of affairs over others.

Menurut Koentjaraningrat (2004:5), wujud kebudayaan adalah sebagai

berikut:

kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Brown (1998:34) menguraikan pengertian tentang budaya organisasi

sebagai berikut:

Page 14: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

11  

  

The pattern of beliefs, values and learned ways of coping with experience that have developed during the course of an organisation’s history, and which tend to be manifested in its material arrangements and in the behaviours of its members.

Schein (1985:9) menjelaskan pengertian atau definisi tentang budaya

organisasi sebagai berikut:

A pattern of basic assumptions-invented,discovered, or developed by a given group as it learns to cope with its problems of external adaption and internal integration-that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to those problems.

Menurut Vecchio (2006:342), pengertian tentang budaya organisasi

sebagai berikut:

The shared values and norms that exist in an organization and that are taught to incoming employees. It involves common beliefs and feelings, regularities in behavior, and a historical process for transmitting values and norms.

Susanto (2008:7) menguraikan definisi tentang budaya organisasi sebagai

berikut:

Budaya organisasi adalah suatu nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam organisasi, sehingga masing-masing anggota organisasi harus menyerap nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku.

Menurut Luthans dan Doh (2009:158), definisi budaya organisasi sebagai

berikut:

The shared values and beliefs that enable members to understand their roles and the norms of the organization.

Page 15: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

12  

  

Selanjutnya, Robbins (1996:687) menjelaskan budaya organisasi sebagai

berikut:

Organizational culture enhances organizational commitment and increases the consistency of employee behavior. But it shouldn’t ignore the potentially disfunctional aspects of culture, especially the strong one, on an organization’s effectiveness. Untuk dapat memahami budaya birokrasi, maka konsep budaya birokrasi

menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:

Budaya organisasi birokrasi (budaya birokrasi) merupakan kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi birokrasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan. Budaya organisasi birokrasi menciptakan jati diri para anggota organisasi dan dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian tercipta pola pedoman perilaku para anggota organisasi (Siagian, 1995:10).

Kausar (2009:10) menjelaskan bahwa budaya birokrasi dapat

digambarkan sebagai sebuah sistem atau seperangkat nilai yang memiliki simbol,

orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang

terinternalisasi ke dalam pikiran. Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan

dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota dari

sebuah organisasi birokrasi dan selalu bersinggungan dengan aspek budaya

masyarakat setempat.

Kuntowijoyo (1994:184) menguraikan budaya birokrasi pegawai negeri

sebagai berikut:

Birokrasi sebagai sebuah struktur teknis dalam masyarakat mempunyai kaitan erat dengan struktur sosial dan struktur budaya. Bagaimana kedudukan birokrasi terhadap struktur sosial dan struktur budaya pada suatu kurun sejarah tertentu kita sebut sebagai budaya birokrasi.

Page 16: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

13  

  

Untuk dapat mengartikan atau memberikan makna tentang konsep

budaya birokrasi ewuh-pakewuh, maka konsep tersebut didefinisikan secara

konseptual atau teoretis oleh Nordholt (1987:48) sebagai berikut:

Apabila yang berkedudukan sosial lebih tinggi, dalam sikap dan perkataannya dengan lebih jelas memperlihatkan bahwa dia adalah atasan, maka mereka yang berkedudukan sosial lebih rendah akan merasa begitu tertekan serta merasa terdesak. Dalam situasi tertekan dan terdesak, tak ada cara apapun yang dapat digunakan oleh bawahan untuk menyatakan pendapatnya yang mungkin bersifat bertentangan. Dalam keadaan demikian orang akan tutup mulut, apabila yang berasal dari lapisan sosial yang lebih tinggi itu jelas melakukan kesalahan.

Berdasarkan definisi konseptual tersebut di atas, maka dirumuskan

definisi operasional dari budaya birokrasi ewuh-pakewuh, yaitu pola sikap sopan

santun di lingkungan birokrasi yang dilakukan oleh pegawai atau pejabat selaku

bawahan yang segan atau sungkan menyatakan pendapatnya yang mungkin

bersifat bertentangan, demi menghindari konflik dan menjaga jalinan hubungan

baik dengan para atasan atau senior mereka yang dianggap lebih tinggi

kedudukan sosialnya.

Berdasarkan survei budaya yang ekstensif dan dilanjutkan dengan

analisis statistik, Hofstede (1980) telah menguraikan 4 (empat) dimensi preferensi

sosial untuk mengukur nilai-nilai dasar (the base values) dari individu-individu

dan mengukur perilaku dalam suatu masyarakat. Dimensi budaya Hofstede (1980)

tersebut adalah:

a. Individualism/IDV (individualitas), yaitu suatu preferensi sosial

dalam suatu komunitas atau instansi untuk menjalin hubungan sosial

yang longgar di mana individu-individu hanya memperhatikan diri

mereka dan keluarganya saja. Dimensi ini memiliki nilai atau

Page 17: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

14  

  

parameter: derajat interdependensi di antara individu-individu dalam

suatu komunitas atau instansi;

b. Power Distance/PD (rentang kekuasaan), yaitu suatu preferensi

sosial dalam suatu komunitas atau instansi di mana kekuasaan atau

kewenangan dalam suatu komunitas atau instansi didistribusikan

secara berjenjang (hierarki). Dimensi ini memiliki nilai atau

parameter: komunitas dalam suatu instansi dapat menerima

ketidaksamaan (inequality) yang terjadi di antara mereka;

c. Uncertainty Avoidance/UA (penghindaran ketidakpastian), yaitu

suatu preferensi sosial dalam suatu komunitas atau instansi untuk

menghindari ketidakpastian atau ambiguitas dengan nilai atau

parameter: tidak bersedia memberikan toleransi terhadap kondisi

ketidakpastian atau kondisi ambiguitas (mendua);

d. Masculinity/MAS (maskulinitas), yaitu suatu preferensi sosial dalam

suatu komunitas atau instansi untuk menonjolkan sikap keterbukaan

atau apa adanya dengan nilai-nilai atau parameter-parameter:

membuat prestasi, memompa semangat heroik, bersikap asertif, dan

keberhasilan secara materi.

Selain empat dimensi budaya Hofstede tersebut di atas, Schwartz (1994)

telah mendefinisikan 6 (enam) dimensi budaya, yaitu:

a. Mastery (penguasaan)

Mastery mempunyai pengertian sebagai upaya aktif dari seseorang

untuk menguasai, mengeksploitasi dan mengubah lingkungan sosial

untuk mencapai tujuan pribadi atau tujuan kelompok. Ambisi,

kompetensi, keberanian, dan sukses adalah nilai-nilai atau

parameter-parameter yang terkait dengan mastery;

Page 18: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

15  

  

b. Harmony (keselarasan)

Harmony mempunyai pengertian sebagai menjaga lingkungan secara

harmonis di mana perdamaian dan menyatu dengan alam merupakan

nilai-nilai atau parameter-parameter yang terkait;

c. Embeddedness (keterikatan)

Embeddednes mempunyai pengertian sebagai partisipasi dan

mengikuti cara hidup kelompoknya (the group’s way of life) serta

mengidentifikasikan dirinya dengan kelompoknya. Nilai-nilai atau

parameter-parameter dari dimensi ini adalah keamanan, tradisi,

tingkatan sosial (social order), dan kearifan (wisdom);

d. Autonomy (otonomi)

Autonomy mempunyai pengertian sebagai pernyataan yang terkait

dengan nilai-nilai atau parameter-parameter: atribut-atribut individu,

dan keunikan (uniqueness).

Menurut Schwartz dan Sagiv (2000), autonomy meliputi:

(1) Intellectual Autonomy, memotivasi individu untuk mengikuti

ide dan jalan mereka sendiri dengan nilai-nilai atau parameter-

parameter: cakrawala pandang yang luas (broadmindedness),

kreativitas, dan rasa ingin tahu (curiosity);

(2) Affective Autonomy, memotivasi individu untuk mencari

pengalaman positif dengan nilai-nilai atau parameter-

parameter: kegembiraan (excitement), dan kesenangan

(pleasure).

e. Hierarchy (hierarki)

Hierarchy mempunyai pengertian sebagai memberikan legitimasi

atas ketidaksamaan dalam membagi kekuasaan, sumber daya dan

peran. Nilai-nilai atau parameter-parameter yang terkait dengan

Page 19: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

16  

  

dimensi ini adalah: otoritas (authority), kekuasaan sosial (social

power), kekayaan (wealth), dan kerendahan hati (humility);

f. Egalitarianism (kesamaan kedudukan)

Egalitarianism mempunyai pengertian sebagai mendorong individu-

individu untuk mempertimbangkan satu sama lain sebagai kesamaan

moral (moral equals) untuk membagi kepentingan dan kebutuhan

dasar sebagai manusia. Kesamaan, kejujuran, tanggung jawab, dan

keadilan sosial merupakan nilai-nilai atau parameter-parameter yang

terkait dengan dimensi ini.

Selanjutnya, Gray (1988) telah mendefinisikan 4 (empat) nilai-nilai sub

budaya akuntansi (accounting sub culture values atau accounting values), yaitu:

a. Professionalism (profesionalitas)

Professionalism mempunyai pengertian sebagai suatu preferensi

sosial untuk melaksanakan pertimbangan profesional dan

memelihara aturan-aturan atau regulasi profesional yang dibuat

untuk kalangan sendiri, dengan nilai-nilai atau parameter-parameter:

melaksanakan keputusan individu secara profesional (individual

professional judgement), dan memelihara aturan-aturan profesional

(professional self-regulation);

b. Uniformity (keseragaman)

Uniformity mempunyai pengertian sebagai sebagai suatu preferensi

sosial dengan nilai atau parameter: menyelenggarakan keseragaman

praktik-praktik akuntansi di antara perusahaan-perusahaan, di mana

praktik-praktik ini digunakan secara konsisten sepanjang waktu;

c. Conservatism (konservatifitas)

Conservatism mempunyai pengertian sebagai sebagai suatu

preferensi sosial dengan nilai atau parameter: pendekatan kehati-

hatian (cautious approach), karena menghadapi kejadian-kejadian di

masa mendatang yang belum pasti;

Page 20: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

17  

  

d. Secrecy (kerahasiaan)

Secrecy mempunyai pengertian sebagai sebagai suatu preferensi

sosial dengan nilai-nilai atau parameter-parameter: menjaga

kerahasiaan, dan pembatasan informasi tentang bisnis, yaitu hanya

kepada mereka yang sangat terkait dengan manajemen.

Terkait dengan sistem pengendalian intern, The Committee of Sponsoring

Organization/COSO (1992) yang dibentuk di bawah kepemimpinan the Treadway

Commission telah mengembangkan suatu kerangka kerja di mana organisasi-

organisasi dapat memperbaiki pengendalian intern mereka, dan telah menerbitkan

suatu laporan yang berjudul Internal Control-Integrated Framework.

The COSO Framework of Internal Control meliputi lima komponen,

yaitu:

a. Control Environment (lingkungan pengendalian), yang menentukan

nada keseluruhan pengendalian dari suatu organisasi (the overall

controls tone of an organization), dan menjadi landasan (platform)

untuk empat komponen lainnya;

b. Entity’s Risk Assessment (penilaian risiko entitas) adalah melakukan

identifikasi dan analisis risiko dalam rangka mencapai tujuan entitas;

c. Control Activities (aktivitas pengendalian), adalah proses-proses,

kebijakan-kebijakan, dan prosedur-prosedur untuk memastikan

bahwa arahan manajemen (management directive) telah

diimplementasikan dengan benar;

d. Information and Communication (informasi dan komunikasi), adalah

sistem-sistem dan laporan-laporan yang memungkinkan manajemen

dan staf untuk melaksanakan tanggung jawabnya;

Page 21: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

18  

  

e. Monitoring (pemantauan) adalah suatu proses untuk mengawasi

kinerja pengendalian intern.

Konsep sistem pengendalian intern dalam lingkungan birokrasi

pemerintahan di Indonesia telah dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor

60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang berlandaskan The

COSO Framework of Internal Control meliputi 5 (lima) unsur, yaitu:

a. Lingkungan pengendalian (control environment)

Nilai-nilai atau parameter-parameter yang terkait dengan dimensi ini

adalah penegakan integritas dan nilai etika, komitmen terhadap

kompetensi, kepemimpinan yang kondusif, struktur organisasi yang

sesuai dengan kebutuhan, pendelegasian wewenang dan tanggung

jawab yang tepat, kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber

daya manusia, peran aparat pengawasan intern pemerintah yang

efektif, dan hubungan kerja yang baik dengan instansi pemerintah

terkait;

b. Penilaian risiko (risk assessment)

Nilai-nilai atau parameter-parameter yang terkait dengan dimensi ini

adalah identifikasi risiko, dan analisis risiko;

c. Aktivitas pengendalian (control activities)

Nilai-nilai atau parameter-parameter yang terkait dengan dimensi ini

adalah reviu atas kinerja, pengendalian sistem informasi,

pengendalian fisik atas aset, pemisahan fungsi, otorisasi atas

transaksi, pencatatan yang akurat dan tepat waktu, akuntabilitas

sumber daya, dan dokumentasi;

Page 22: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

19  

  

d. Informasi dan komunikasi (information and communication)

Nilai-nilai atau parameter-parameter yang terkait dengan dimensi ini

adalah menyediakan dan memanfaatkan berbagai sarana komunikasi,

serta mengelola dan mengembangkan sistem informasi;

e. Pemantauan (monitoring).

Nilai-nilai atau parameter-parameter yang terkait dengan dimensi ini

adalah pemantauan berkelanjutan, evaluasi, tindak lanjut

rekomendasi hasil audit, dan reviu lainnya.

Agar pengendalian intern (internal control) berjalan dengan efektif, maka

5 (lima) komponen tersebut harus diimplementasikan secara integral dan

berkesinambungan.

7. Hipotesis

Untuk melihat seberapa jauh signifikansi pengaruh budaya birokrasi

ewuh-pakewuh terhadap efektivitas sistem pengendalian intern, maka dirumuskan

hipotesis-hipotesis penelitian berdasarkan landasan teori dimensi budaya Hofstede

(1980), Gray (1988), Schwartz (1994), dan The COSO Framework of Internal

Control (1992).

Dengan variabel independen Budaya Birokrasi Ewuh-Pakewuh maka

dirumuskan indikator-indikator yang diambil dari dimensi budaya Hofstede,

Schwartz, dan Gray. Nilai-nilai dimensi budaya Hofstede, Schwartz, dan Gray

tersebut berkaitan dengan lingkup kerja (work-related cultural dimensions of

values),yaitu:

a. Individualism (individualitas)=X1;

b. Power Distance (rentang kekuasaan)=X2;

c. Uncertainty Avoidance (penghindaran ketidakpastian)=X3;

Page 23: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

20  

  

d. Masculinity (maskulinitas)=X4;

e. Mastery (penguasaan)=X5;

f. Harmony (keselarasan)=X6;

g. Embeddedness (keterikatan)=X7;

h. Autonomy (otonomi)=X8;

i. Professionalism (profesionalitas)=X9.

Indikator-indikator tersebut merupakan non actionable indicators, yaitu

indikator yang bersifat persepsi atau preferensi, tidak langsung dapat dipengaruhi,

dan untuk menunjukkan suatu kondisi ewuh-pakewuh diperoleh dari gabungan

dari berbagai indikator (composite index).

Di lain pihak, indikator-indikator dari variabel dependen Efektivitas

Sistem Pengendalian Intern dirumuskan dari dimensi The COSO Framework of

Internal Control yang merupakan actionable indicators, yaitu indikator yang

dapat dipengaruhi dan dicapai secara langsung melalui berbagai usaha, meliputi:

a. Control Environment (lingkungan pengendalian)=Y1;

b. Risk Assessment (penilaian risiko)=Y2;

c. Control Activities (kegiatan pengendalian)=Y3;

d. Information and Communication (informasi dan komunikasi)=Y4;

e. Monitoring (pemantauan)=Y5.

Berdasarkan indikator-indikator dimensi budaya Hofstede, Schwartz, dan

Gray, budaya birokrasi ewuh-pakewuh memiliki dimensi individualism rendah,

power distance tinggi, uncertainty avoidance tinggi, masculinity rendah, mastery

rendah, harmony tinggi, embeddedness rendah, autonomy rendah, dan

professionalism rendah. Dalam penelitian ini, budaya birokrasi ewuh-pakewuh

diduga mengakibatkan efektivitas sistem pengendalian intern rendah dalam

Page 24: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

21  

  

dimensi control environment rendah, risk assessment rendah, control activities

rendah, information and communication rendah, dan monitoring rendah.

Selanjutnya, korelasi variabel independen, yaitu budaya birokrasi ewuh-

pakewuh terhadap variabel dependen, yaitu efektivitas sistem pengendalian intern

dirumuskan dalam hipotesis-hipotesis sebagai berikut:

H1 Jika mastery rendah, professionalism rendah, sedangkan uncertainty avoidance tinggi, maka control environment rendah.

H2 Jika professionalism rendah, mastery rendah, sedangkan power

distance tinggi, maka risk assessment rendah. H3 Jika masculinity rendah, embeddedness rendah, sedangkan

harmony tinggi, maka control activities rendah. H4 Jika mastery rendah, individualism rendah, sedangkan uncertainty

avoidance tinggi, maka information and communication rendah.

H5 Jika autonomy rendah, mastery rendah, sedangkan uncertainty avoidance tinggi, maka monitoring rendah.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa 2 (dua) hipotesis yang

dirumuskan ternyata dapat diterima, yaitu:

H2 Jika professionalism rendah, mastery rendah, sedangkan power distance tinggi, maka risk assessment rendah;

H5 Jika autonomy rendah, mastery rendah sedangkan uncertainty avoidance tinggi, maka monitoring rendah,

sedangkan 3 (tiga) hipotesis lainnya ternyata tidak dapat diterima atau

ditolak, yaitu:

H1 Jika mastery rendah, professionalism rendah, sedangkan uncertainty avoidance tinggi, maka control environment rendah;

Page 25: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

22  

  

H3 Jika masculinity rendah, embeddedness rendah, sedangkan harmony tinggi, maka control activities rendah;

H4 Jika mastery rendah, individualism rendah, sedangkan uncertainty avoidance tinggi, maka information and communication rendah.

8. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan penggabungan metode atau pendekatan

kuantitatif dan kualitatif (mixed methods). Dengan menggunakan pendekatan

kuantitatif, peneliti melakukan survei menggunakan instrumen kuesioner kepada

pejabat struktural eselon 2, eselon 3, eselon 4, pegawai non struktural, dan

pejabat fungsional auditor sebagai unit analisis dengan lokasi (locus) di

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kementerian Tenaga Kerja dan

Transmigrasi

Di samping itu digunakan metode kualitatif sebagai fasilitator metode

kuantitatif, dengan melakukan diskusi kelompok terfokus (focus group

discussion) di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta wawancara

mendalam (in-depth interview) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,

dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dengan pejabat struktural

eselon 2, eselon 3, eselon 4, pegawai non struktural, dan pejabat fungsional

auditor sebagai unit analisis.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Tenaga Kerja

dan Transmigrasi, dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) merupakan

unit budaya (cultural units). Dengan demikian, analisis dilakukan atas tingkat

budaya (culture level), tidak atas tingkat individu.

Page 26: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

23  

  

9. Obyek Penelitian dan Pengukuran Variabel

A. Variabel Obyek Penelitian

Variabel-variabel obyek penelitian yang dirumuskan meliputi:

a. Budaya Birokrasi Ewuh-Pakewuh sebagai variabel independen

(independent variable)=X

b. Efektivitas Sistem Pengendalian Intern sebagai variabel dependen

(dependent variable)=Y

Persamaan umum dari penelitian ini sebagai berikut:

Efektivitas Sistem Pengendalian Intern=f(Budaya Birokrasi

Ewuh-Pakewuh).

B. Pengukuran Variabel

Indikator-indikator untuk mengukur variabel independen Budaya

Birokrasi Ewuh-Pakewuh sebagai berikut:

a. Individualism (invidualitas)=X1;

b. Power Distance (rentang kekuasaan)=X2;

c. Uncertainty Avoidance (penghindaran ketidakpastian)=X3;

d. Masculinity (maskulinitas)=X4;

e. Mastery (penguasaan)=X5;

f. Harmony (keselarasan)=X6;

g. Embeddedness (keterikatan)=X7;

h. Autonomy (otonomi)=X8;

i. Professionalism (profesionalitas)=X9.

Di lain pihak, indikator-indikator untuk mengukur variabel dependen

Efektivitas Sistem Pengendalian Intern sebagai berikut:

Page 27: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

24  

  

a. Control Environment (lingkungan pengendalian)=Y1;

b. Risk Assessment (penilaian risiko)=Y2;

c. Control Activities (aktivitas pengendalian)=Y3;

d. Information and Communication (informasi &komunikasi)=Y4;

e. Monitoring (pemantauan)=Y5;

Mengingat peneliti melakukan pengamatan (observasi) secara

simultan terhadap lebih dari satu karakteristik pada subyek penelitian

yaitu manusia, sesuai dengan tujuan penelitiannya: mengukur

pengaruh budaya birokrasi ewuh-pakewuh terhadap efektivitas sistem

pengendalian intern, maka analisis yang digunakan adalah Analisis

Multivariat. Suatu teknik statistik yang menganalisis variabel

indikator, variabel laten dan kekeliruan pengukuran adalah Model

Persamaan Struktural (Structural Equation Model/SEM).

C. Instrumen Pengukuran Indikator

Instrumen yang digunakan untuk mengukur indikator-indikator dari

variabel-variabel yang diteliti adalah skala Likert (Likert scale).

Penggunaan skala Likert ini terkait dengan kebutuhan analisis atas

sikap dan persepsi responden yang dikategorikan dalam bentuk data

ordinal (skala pengukuran kualitatif), yaitu:

1=sangat tidak setuju;

2=tidak setuju;

3=setuju;

4=sangat setuju.

Page 28: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

25  

  

10. Subyek Penelitian dan Penarikan Sampel

Populasi target (target population) dari penelitian dengan metode

kuantitatif adalah seluruh pegawai Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

sebanyak 39.024 (tiga puluh sembilan ribu dua puluh empat) orang. Pemilihan

sampel sebanyak 620 (enam ratus dua puluh) responden di Kementerian Hukum

dan Hak Asasi Manusia dilakukan dengan teknik random sampling.

Di samping itu, untuk mendukung penelitian dengan metode kuantitatif,

dilakukan eksplorasi data dengan kuesioner sebanyak 100 (seratus) orang pegawai

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta 100 (seratus) orang pegawai

Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Untuk mendukung data kuantitatif,

dilakukan wawancara mendalam terhadap responden dengan teknik purposive

sampling = pemilihan siapa subyek yang ada dalam posisi terbaik untuk

memberikan informasi yang dibutuhkan (key informan) di Kementerian Tenaga

Kerja dan Transmigrasi, serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), dan

diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) di Kementerian Hukum dan

Hak Asasi Manusia sebagai data kualitatif.

Subyek penelitian (responden/unit analisis) kuantitatif di Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) meliputi pejabat struktural

eselon 2, eselon 3, eselon 4, pegawai non struktural, dan pejabat fungsional

auditor.

Page 29: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

26  

  

11. Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data primer dalam penelitian ini, digunakan metode

survei dengan menggunakan instrumen pengumpulan data berupa kuesioner, di

samping melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) dan diskusi

kelompok terfokus (focus group discussion) dengan responden yang dipilih secara

sampel (purposive dan random sample). Data primer yang berasal dari jawaban

kuesioner dalam penelitian ini berupa data ordinal atau data non-metrik,

sedangkan data primer yang berasal dari wawancara mendalam, dan diskusi

kelompok terfokus berupa data kualitatif.

Untuk menjadikan instrumen kuesioner valid (benar-benar mengukur apa

yang seharusnya diukur) dan reliabel (mengukur dengan stabil dan konsisten)

dilakukan pengujian validitas instrumen dengan uji Validitas Internal (Internal

Validity) melalui uji Validitas Konstruk dengan metode Validitas Diskriminan

(Discriminant Validity) dan pengujian reliabilitas instrumen melalui uji

Reliabilitas Konsistensi Internal (Internal Consistency Reliability) dengan

menggunakan metode Cronbach’s Alpha.

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: hasil

penelitian terdahulu, jurnal, literatur dan data lainnya yang relevan dengan topik

penelitian ini. Dokumen-dokumen tersebut dikaji untuk memperoleh data dan

informasi yang relevan dengan topik penelitian guna melengkapi hasil penelitian.

12. Simpulan

Berdasarkan pembuktian secara empirik atas 5 (lima) hipotesis penelitian

diperoleh hasil 2 (dua) hipotesis terpenuhi, yaitu budaya birokrasi ewuh-pakewuh

Page 30: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

27  

  

menjadikan sistem pengendalian intern dalam konteks risk assessment, dan

monitoring tidak efektif. Dengan risk assessment dan monitoring tidak efektif

sebagai dampak dari perilaku ewuh-pakewuh maka terbuka peluang terjadinya

penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang oleh para birokrat pemegang

posisi kunci yang memiliki kewenangan.

Kasus korupsi yang terjadi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Badan Pengawas

Tenaga Nuklir (BAPETEN) dengan total besaran kerugian keuangan negara Rp

10.514.544.704 (sepuluh milyar lima ratus empat belas juta lima ratus empat

puluh empat ribu tujuh ratus empat rupiah) sesungguhnya merupakan bukti

adanya peluang yang dimanfaatkan oleh para oknum pejabat birokrat pemegang

posisi kunci dengan menyalahgunakan kewenangan yang mereka miliki untuk

melakukan perbuatan korupsi. Hal ini tidak akan terjadi sekiranya risk assessment,

yaitu pemetaan risiko dan analisis risiko, serta monitoring, yaitu pemantauan

berkelanjutan, evaluasi, tindak lanjut rekomendasi hasil audit, dan reviu lainnya,

dilakukan sesuai dengan ketentuan sehingga setiap pejabat berada di bawah

pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin

sebagai tipe ideal birokrasi rasional menurut Max Weber dalam Thoha (2009:18).

Di sisi lain, 3 (tiga) hipotesis lainnya tidak terbukti secara empirik

berpengaruh terhadap sistem pengendalian intern dalam konteks control

environment, control activities, dan information and communication.Terkait

dengan 3 (tiga) hipotesis yang tidak terbukti tersebut, terdapat fenomena yang

perlu digaribawahi, yaitu budaya birokrasi ewuh-pakewuh justru menjadikan

Page 31: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

28  

  

control environment berjalan dengan efektif dengan mengedepankan

kepemimpinan yang kondusif dan kebijakan yang sehat tentang pembinaan

sumber daya manusia.

Fenomena lain yang perlu digarisbawahi, yaitu control activities secara

empirik tidak dapat dipengaruhi oleh budaya birokrasi ewuh-pakewuh karena

pada hakikatnya control activities mengedepankan aturan-aturan, prosedur-

prosedur, dan kebijakan-kebijakan untuk mengendalikan aktivitas organisasi,

sedangkan fenomena berikutnya yang perlu digarisbawahi, yaitu budaya birokrasi

ewuh-pakewuh tidak memberikan pengaruh terhadap information and

communication, karena pada hakikatnya information and communication lebih

mengedepankan komitmen terhadap kompetensi pegawai yang tinggi.

Di samping itu, dari hasil survei di Kementerian Tenaga Kerja dan

Transmigrasi serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), hasil diskusi

terfokus di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan hasil wawancara di

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Badan Pengawas Tenaga

Nuklir (BAPETEN) terdapat bawahan (pejabat struktural, pejabat fungsional

auditor, dan staf) yang memiliki preferensi untuk bersikap lugas, yaitu berani dan

tegas untuk mengatakan yang sebenarnya, bila kebijakan atasan atau tindakan

rekan sejawat tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, menyimpang dari

aturan atau mengandung risiko. Meskipun demikian, sikap lugas tersebut

bergantung kepada kondisi dan situasi yang terjadi (kondisional dan situasional),

yaitu melihat kondisi dan situasi yang berkenaan dengan atasan sebelum

menyampaikan pendapat, masukan atau bahkan kritik, dan hal tersebut dilakukan

Page 32: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

29  

  

dengan cara yang elegan atau sopan, dan penuh kehati-hatian (tepo seliro atau

tenggang rasa). Sikap lugas ini dimaknai sebagai komitmen pegawai untuk

melaksanakan tata kelola kepemerintahan yang baik melalui sistem pengendalian

intern yang efektif.

Dengan demikian, diperoleh pemaknaan secara empirik bahwa budaya

ewuh-pakewuh dapat membahayakan eksistensi organisasi birokrasi untuk

melaksanakan tata kelola kepemerintahan yang baik karena terdapat risiko

penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat birokrat untuk

melakukan perbuatan korupsi sebagai dampak dari aktivitas risk assessment dan

monitoring yang tidak efektif.

13. Saran

Berdasarkan hasil penelitian di mana budaya ewuh-pakewuh terbukti

dapat membahayakan eksistensi organisasi dalam melaksanakan tata kelola

kepemerintahan yang baik sebagai dampak dari aktivitas risk assessment dan

monitoring yang tidak efektif, maka disarankan kepada Pimpinan

Kementerian/Lembaga pada tataran eselon 1 (satu) mengambil langkah-langkah

sebagai berikut:

1. Membentuk gugus tugas/unit budaya kerja yang beranggotakan

personil lintas unit kerja, lintas eselon mulai dari eselon 4 (empat)

sampai dengan eselon 2 (dua), pejabat fungsional auditor, dan staf,

dengan lingkup tugas sebagai berikut:

Page 33: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

30  

  

1) Mengembangkan budaya kerja yang berwawasan

kepemimpinan demokratis dengan model panutan (role model)

pejabat eselon 1 (satu) atau pejabat eselon 2 (dua);

2) Menyusun Sasaran Kerja Individu (SKI) untuk mengukur

kinerja individu pegawai dalam mengawal tata kelola

kepemerintahan yang baik;

3) Mengembangkan Performance Skill Management yang

menekankan pada hubungan antara budaya dan kinerja serta

hubungan antara kompetensi dan kinerja dengan tujuan untuk

membangun pemahaman bersama tentang apa yang ingin

dicapai oleh organisasi baik dalam jangka pendek maupun

jangka panjang.

4) Mengembangkan manajemen konflik yang bertujuan untuk

mengatasi konflik dalam komunikasi antar budaya, dan

menjadikan komunikasi antar budaya lebih efektif.

2. Membentuk gugus tugas/unit manajemen risiko yang beranggotakan

personil lintas unit kerja, lintas eselon mulai dari eselon 4 (empat)

sampai dengan eselon 2 (dua), pejabat fungsional auditor, dan staf,

dengan lingkup tugas sebagai berikut:

1) Melakukan pemetaan risiko aspek perencanaan, penganggaran,

pelaksanaan, dan pelaporan, dengan mekanisme pemetaan

risiko secara berjenjang mulai dari unit kerja eselon 4 (empat)

Page 34: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

31  

  

sampai dengan unit kerja eselon 1 (satu) (bottom-up link

mechanism).

2) Menyusun program kerja pengelolaan (mitigating) risiko aspek

perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan.

3) Melakukan analisis risiko yang muncul berkaitan dengan aspek

perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan.

3. Membentuk gugus tugas/unit monitoring dan evaluasi yang

beranggotakan personil lintas unit kerja, lintas eselon mulai dari

eselon 4 (empat) sampai dengan eselon 2 (dua), pejabat fungsional

auditor, dan staf, dengan lingkup tugas sebagai berikut:

1) Menyusun program kerja monitoring dan evaluasi aspek

perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan.

2) Menyusun program kerja tindak lanjut rekomendasi hasil audit

baik internal maupun eksternal.

3) Menyusun program kerja reviu atas aspek perencanaan,

penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan

4. Membentuk gugus tugas/unit Fraud Control yang beranggotakan

personil lintas unit kerja, lintas eselon mulai dari eselon 4 (empat)

sampai dengan eselon 2 (dua), pejabat fungsional auditor, dan staf,

dengan lingkup tugas mencegah, menangkal dan memudahkan

pengungkapan kejadian yang berindikasi korupsi dengan penguatan

sistem tata kelola (sistem pengendalian intern) yang sudah ada.

Page 35: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

32  

  

5. Perlu dikembangkan penelitian oleh peneliti berikutnya tentang

dimensi lain di luar budaya birokrasi ewuh-pakewuh, antara lain

sumber daya manusia, dan ketersediaan sarana dan prasarana yang

berpotensi mempunyai pengaruh terhadap efektivitas sistem

pengendalian intern dalam lingkungan birokrasi.

Page 36: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ali, Fachry. 1986. Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia Modern”. Jakarta: Gramedia.

Alwasilah, A. Chaedar. 2011. Pokoknya Kualitatif, Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Ansari, Khizar Humayun dan Jackson, June. 1996. Managing Cultural Diversity at Work-Mengelola Keragaman Budaya Di Lingkungan Kerja.alih bahasa. M. Prihmanto Widodo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bachrudin, Achmad dan Harapan L. Tobing. 2003. Analisis Data Untuk Penelitian Survai Dengan Menggunakan LISREL 8. Bandung.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Deputi Bidang Investigasi. 2007. Fraud Control Plan. Jakarta.

Brannen,Julia. 2005. Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research, alih bahasa:Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif oleh H.Nuktah Arfawie Kurde et.al.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Brown, D. Andrew. 1998. Organizational Culture. Great Britain: Pearson Education Limited.

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Collins, and Mc Laughlin. 1996. Effective Management. (Second Edition). Sydney: CCH.

Creswell, John W.1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. California: SAGE Publications, Inc.

“Data Korupsi 2008 dan 2009” Dari KPK <http://www.traktus.com/2012/03/2012 /data-korupsi-2008/>

Denzin, Norman K. 2009. The Research Act. New Jersey: Prentice Hall.

Direktorat Aparatur Negara Bappenas. 2004. Kajian Rencana Tindak Reformasi Birokrasi. Jakarta.

Effendi, Sofian. 2005. Membangun Budaya Birokrasi untuk Good Governance. Makalah.Yogyakarta: Lokakarya Nasional ReformasiBirokrasi.http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/MEMBANGUN-BUDAYA-BIROKRASI.pdf.

Page 37: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

Graham, Lynford. 2008. Internal Controls: Guidance for Private, Government, and Non Profit Entities. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Gray, Sidney J. and Hazel M. Vint. 1995. “The Impact of Culture on Accounting Disclosures: Some International Evidence.” Asia-PacificJournal of Accounting: 33-43.

Gray, Sidney J. 1988. Towards a Theory of Cultural Influence on the Development of Accounting Systems Internally. Abacus 24: 1-15.

Harrison, Graeme L. and Jill L. McKinnon. 1986. “Culture and Accounting Change: A New Perspective on Corporate Reporting Regulation and Accounting Policy Formulation.” Accounting Organizations and Society 11 (3):233-252.

Hill, Michael J. 2005. The Public Policy Process. Essex: Pearson Education Limited.

Hofstede, Geert. 1980. Culture’s Consequenses: International Differences in Work-Related Values. California: SAGE Publications, Inc.

1984. Cultural Dimensions In Management And Planning. Asia Pacific Journal of Management: 81-99

Hofstede, Geert, Gert Jan Hofstede, and Michael Minkov. 2010. Cultures and Organizations-3rd edition. New York: Mc Graw Hill.

Hope, Ole-Kristian. 2003. “Firm-level Disclosures and the Relative Roles of Culture and Legal Origin.” Journal of International Financial Management and Accounting 14 (3): 218-248.

Ikhsan, Arfan danMuhammadIshak. 2005. Akuntansi Keperilakuan. Jakarta: Salemba Empat.

Jaggi, Bikki and Pek YeeLow. 2000. “Impact of Culture, Market Forces, and Legal System on Financial Disclosures.” The International Journal of Accounting 35 (4):495-519.

Jeddawi, Murtir. 2008. Reformasi Birokrasi, Kelembagaan, dan Pembinaaan PNS. Yogyakarta: Kreasi Total Media.

Kausar. 2009. Sistem Birokrasi Pemerintahan Di Daerah Dalam Bayang-Bayang Budaya Patron-Klien, Bandung: Alumni.

Kim, Uichol, Harry C. Triandis, Cigdem Kagitcibasi, Sang-Chin Choi, and Gene Yoon.1994. Individualism and Collectivism, Theory, Method, and Applications. California: SAGE Publications, Inc.

Koentjaraningrat. 1975. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.

Page 38: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

2004. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kuntowijoyo. 1994. Demokrasi dan Budaya Birokrasi. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Luthans, Fred dan Jonathan P. Doh. 2009. International Management-Culture, Strategy, and Behavior.New York: McGraw-Hill/Irwin.

Martojo, Hendro. 2008. Kinerja Aparat Pemerintah Masih Diwarnai Budaya Negatif dan Ketimuran.http://www.bpkp.go.id

Masdiana, Erlangga. 2004. Nepotisme dan “Bureaumania” dalam Birokrasi. Makalah.

Mas’oed, Mochtar. 1997. Politik, Birokrasi, dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muhtar, Entang Adhy. 2008. Pelayanan Publik Di Indonesia Dalam Perspektif Kultural Dan Etika. Makalah.

Nordholt, Nico Schulte. 1987. Ojo Dumeh, Perilaku Kepemimpinan Lokal dalam Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang, Model-Model Perumusan, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2007. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Uraian Sederhana tentang Gaya Bahasa atau Majas.Yogyakarta: Indonesia Tera.

Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ratminto, dan Atik Septi Winarsih. 2007. Manajemen Pelayanan, Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Revida, Erika. 2007. Penataan Ulang Birokrasi dan Kualitas Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Administrasi Kepegawaian Negara pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) – Universitas Sumatra Utara. http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb 2007 erika revida.pdf.

Page 39: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

Robbins, Stephen P. 1996. Organizational Behavior. alih bahasa: Perilaku Organisasi. Hadyana Pujaatmaka. 1996. Jakarta: Prenhallindo.

Root, Steven J. 1998. Beyond COSO: Internal Control to Enhance Corporate Governance. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Salter, Stephen B. and FrederickNiswander. 1994. “Cultural Influence on The Development of Accounting Systems Internationally: A Test of Gray’s (1988) Theory.” Journal of International Business Studies: 379-397.

Schein, Edgar H. 1985. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco, California: The Josses-Bass Business & Management Series.

Schwartz, S.H. 1994. Beyond Individualism/Collectivism: New Cultural Dimensions of Values. California: SAGE Publications.

Schwartz, S.H. 2004. Mapping and Interpreting Cultural Differences around the World appear in Comparing Cultures, Dimensions of Culture in a Comparative Perspective by H. Vinken, J. Soeters & P. Ester (Eds). Leiden, The Netherlands: Brill.

Siagian, Sondang P. 1995. Patologi Birokrasi Analisis, Identifikasi, dan Terapinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Statement of Accounting Standards (SAS) No. 99. 2002. “Consideration of Fraud in A Financial Statement Audit.”

Sudarwan, M. and Fogarty, Timothy J. 1996. ”Culture and Accounting in Indonesia: An Empirical Examination.” The International Journal of Accounting 31 (4): 463-481.

Sugiyono.2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Supranto, J. 2004. Analisis Multivariat, Arti dan Interprestasi. Jakarta: Rineka Cipta.

Susanto, A.B.,et al. 2008. Corporate Culture & Organization Culture. Jakarta: Divisi Penerbitan The Jakarta Consulting Group.

Suseno, Franz Magnis.2001. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sutardjo, Imam. 2006. Mutiara Budaya Jawa. Surakarta: Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret

Syafiie, Inu Kencana. 2004. Birokrasi Pemerintahan Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

The Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission. 1992. Internal Control-Integrated Framework. Jersey City, New Jersey: COSO.

Page 40: 3200 RD 201302004 Harryindradjits

Thoha,Miftah.1991. Perspektif Perilaku Birokrasi. Jakarta: Rajawali Pers.

2009. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Umar, Husein. 1997. Metodologi Penelitian : Aplikasi dalam Pemasaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Vecchio, Robert P. 2006. Organizational Behavior: Core Concepts.Ohio: South-Western, part of the Thomson Corporation.

Violet, William J. 1983. “The Development of International Accounting Standards: An Anthropological Perspective.” The International Journal of Accounting 18 (2): 1-12.

Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik ( Teori, Proses, dan Studi Kasus).Yogyakarta: CAPS

Zarzeski, Marilyn Taylor. 1996. “Spontaneous Harmonization Effects of Culture and Market Forces on Accounting Disclosure Practices.” Accounting Horizons 10 (1): 18-37.

Zuhro,Siti, Umar Juoro dan AndrinofChaniago. 2007. Profesionalitas dan Netralitas Birokrasi: Menuju Daya Saing Ekonomi Daerah (Studi di Empat Provinsi). Jakarta: The Habibie Center.