Upload
dwitadwita
View
68
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
uterus endometrium
Citation preview
4 FAKTOR UTERUS DAN ENDOMETRIUM
Ruswana Anwar, Duddy S Nataprawira, Anita Rachmawati
PENDAHULUAN
Uterus dan endometrium berperan penting sebagai sarana implantasi dan perkembangan
fetus. Kelainan uterus dan endometrium dengan sendirinya akan mengganggu proses
implantasi. Lebih lanjut, evaluasi faktor uterus dan endometrium terutama ditujukan untuk
mengenali kelainan yang bersifat anatomik dan dapat dikoreksi.
IMPLANTASI
Implantasi embrio pada manusia merupakan proses yang masih sulit dipahami. Ovum di
buahi di ampulla, dekat persimpangan ampullari-isthmic, dan terjadi selama 72 jam.1 Selama
periode ini terjadi pembelahan dan pemadatan sel menjadi morula. Morula ditransportasikan
melalui isthmus menuju uterus dibawah pengaruh steroid ovarium, sistem saraf autonomik
dan perkembangan embrio itu sendiri.2 Setelah morula masuk kedalam uterus dan terjadi
diferensiasi, maka blastokist akan terbentuk. Blastokist yang aktif ini dikeluarkan dari zona
pelusida rata-rata 72 jam setelah memasuki rongga uterin. Lubang kecil akan terbentuk pada
kutub anembrionik pada zona pelusida dimana blastokist akan lepas dan memulai implantasi.3
Implantasi dimulai 6 sampai 7 hari setelah fertilisasi.4 Implantasi terjadi dalam 3 tahap:
aposisi, adhesi, dan penetrasi.5 Uterus berperan sangat kritis bagi keberhasilan setiap tahapan
implantasi. Pada tahap aposisi kutub embrioik blastokist berorientasi kearah endometrium.
Lokasi aposisi dan adhesi ditentukan oleh ekspresi aposisi blastokist dan molekul adhesi seperti
integrins, laminin, fibronektin, dan MUC-I dibawah pengaruh sitokin lokal dan derivat
blastokist.6, 7
Setelah adhesi blastokist pada endometrium sempurna, terjadi invasi dan penetrasi
trofoblast kedalam epithelium uterin. Setelah hari ke 10, pascafertilisasi, blastokist menempel
sempurna pada jaringan stroma subepitel dan epithelium uterin tumbuh menyelimuti area
implantasi.8 Penetrasi trofoblast diikuti dengan proses desidualisasi endometrium. Setelah
implantasi sempurna, terjadi perkembangan plasenta.
74
KEGAGALAN IMPLANTASI
Kegagalan implantasi pada umumnya berhubungan dengan kelainan embrio dan daya
penerimaan endometrium yang tidak mencukupi.9 Secara morfologi dan fungsional,
endometrium seharusnya merupakan tempat terbaik untuk pembentukan blastokist. Ketika
implantasi gagal terjadi, meskipun embrio memiliki kualitas transfer kromosom yang bagus,
faktor lain mungkin dapat mengganggu dan mempengaruhi implantasi. Endometritis, kelainan
endokrin, trombopilia, faktor imunologi, kongenital dan faktor anatomi dapat memperbesar
kegagalan implantasi. Kelainan kongenital dan penyakit uterin bawaan dapat mempengaruhi
daya penerimaan endometrium, menyebabkan kegagalan implantasi dan mengakibatkan
keguguran berulang atau infertilitas.
Teknik Diagnostik Kelainan Uterus.
1. Saline infusion sonohysterography (SIS).
Dilakukan dengan menempatkan kateter kedalam lubang servik dengan menggunakan kateter
nomor CH10 atau CH12. Sebelumnya dilakukan tindakan disinfeksi kemudian spekulum
dimasukkan dan bibir atas servik di jepit dengan tenakulum. Dilakukan traksi ringan agar
kanalis servik dan rongga uterus lurus untuk memudahkan masuknya kateter kedalam kavum
uteri terutama bila ada stenosis servik. Kateter kemudian di fiksasi dengan memasukkan cairan
saline steril di dalam spuit melalui kanalis servik sebanyak 2cc untuk mengembangkan balon.
Perhatian terhadap adanya gelembung udara di dalam spuit agar tidak mengganggu gambaran
ekogenik saat dilakukan USG. Tenakulum kemudian dilepaskan, spekulum juga dilepas
kemudian probe USG dimasukkan. Uterus dievaluasi pada bidang sagital dan transversal.
Gambaran SIS yang baik akan memperlihatkan mulai dari servik sampai ke fundus. Biasanya
hanya dibutuhkan beberapa mili larutan saline untuk mengembangankan uterus. Pada kasus
dimana terjadi reflux cairan melalui kanalis servik dapat digunakan ukuran kateter yang lebih
besar atau menggunakan kateter Foley. Kateter tersebut relatif murah dan tidak perlu
menggunakan alat yang lebih mahal.
Pemeriksaan ini tidak memerlukan peralatan yang mahal seperti yang dibutuhkan pada
tindakan histeroskopi rawat jalan. Tingkat nyeri pemeriksaan ini juga lebih rendah dibanding
HSG atau histeroskopi. Pada kasus dengan dugaan adanya patologi uterus, sebagai contoh
adanya massa ekogenik kecil yang terlihat di kavum uterus dan timbul keraguan apakah suatu
bekuan darah atau hal lain, bisa dilakukan pemeriksaan yang sama pada hari lain. Teknik ini
75
sangat berguna sebagai evaluasi terhadap pasien yang diduga beresiko tinggi mempunyai
kelainan uterus. Visualisasi yang baik terhadap mioma intramural juga dapat dilakukan dengan
ukuran yang lebih pasti, dan apabila ditemukan adanya mioma submukosa juga dapat diukur
ketebalan dari miometrium di belakang miomnya. Membedakan adanya polip dan miom cukup
sulit, akan tetapi dengan menggunakan USG doppler dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Doppler dapat memberi gambaran arus darah pada tangkai polip, sementara miom biasanya
mempunyai tangkai yang lebih heterogen dan vaskularisasi yang lebih perifier.
Tidak dilaporkan adanya infeksi setelah dilakukan SIS. Sehingga pada sebagian besar kasus
tidak diberikan antibiotik secara rutin. Pada kasus dengan dugaan penyakit PID atau
Hidrosalping tidak dilakukan SIS. Ada dugaan penyebaran retrograde pada sel adeno
karsinoma. Alcazar menemukan satu kasus dari 14 kasus dimana ditemukan adanya spill
dengan positif sel ganas pada karsinoma endometrial. Akan tetapi tidak memberikan dampak
pada prognosis dari neoplasia tersebut. Pada kasus dengan servik incompetence sehingga
sering terjadi reflux dapat digunakan Foley kateter.
Indikasi
Saline infusion sonohysterography diindikasikan pada keadaan :
* Penilaian infertilitas adanya malformasi uterus, mioma submukosa, polip atau sinekia
* Menoragia yang gagal dengan terapi
* Metroragia
* Follow-up jaringan endometrium dengan resiko tinggi terjadinya neoplasia seperti
hipertensi, diabetes, pasien yang sedang diobati dengan tamoxifen atau pasien-pasien
dengan obese.
* Ketebalan endometrium lebih dari 5mm pada wanita menopause
* Saat dilakukan USG ditemukan gambaran ekogenitas yang mencurigakan
USG transvaginal merupakan alat diagnostik yang akurat untuk mengevaluasi wanita dengan
perdarahan uterus abnormal. Dengan SIS ketebalan endometrium dapat diukur, demikian juga
status ovulasi dan hormonalnya. USG transvaginal dapat mendeteksi penebalan endometrium
dan heterogenitasnya terhadap terjadinya suatu massa; akan tetapi tidak dapat mendeteksi
lokasi yang pasti dari massa tersebut. Saline Infusion Sonohysterography dapat meningkatkan
visualisasi dari permukaan endometrium dan adanya dugaan massa intrakaviter.
76
Kontraindikasi
Saline Infusion Sonohysterography tidak digunakan pada wanita dengan :
* Pelvic inflammatory disease
* Hasil tes kehamilan positif
* Dugaan adanya neoplasia endometrial
2. Histeroskopi
Histeroskopi merupakan tindakan endoskopi untuk mengevaluasi kavum uteri. Pada prinsipnya
dilakukan instilasi cairan pendistensi kavum uteri yang memungkinkan dilakukannya
pengamatan langsung. Saat ini metode histeroskopi diagnostik telah amat berkembang. Dikenal
metode office hysteroscopy dengan menggunakan histeroskop ukuran kecil tanpa perlu
melakukan anestesi. Dengan melakukan histeroskopi diagnostik, berbagai kelainan seperti
massa intrauterin, kelainan kongenital uterus dapat diketahui.
KELAINAN KONGENITAL UTERUS
Sebagian besar kelainan uterin disebabkan oleh cacat perkembangan atau proses fusi
dari pasangan saluran Mullerian selama embriogenesis. American Fertility Society
mengklasifikasikan kelainan Mullerian pada Gambar 2.10
Gambar 1. Klasifikasi kelainan Mullerian
77
Uterus Bersepta
Uterus Bersepta merupakan kelainan struktur uterin yang paling sering terjadi,11 dan
disebabkan oleh kegagalan sekat antara gabungan kedua saluran Mullerian untuk menghisap
(resorb). Sekat antara saluran diperkirakan resorb dari arah caudal menuju cranial. Kegagalan
resapan dalam (resorption) mengakibatkan septum fibromucular membagi rongga uterin dan
kanal servik menjadi dua bagian.
Beberapa cara diagnostik dapat membantu diagnosis uterus bersepta. Meskipun
histerosalpingografi (HSG) dapat memperlihatkan dua hemicavities, tanpa visualisasi fundus
uterin tetapi dalam hal ini uterus bersepta tidak dapat dibedakan dari uterus bicornu. Akurasi
diagnostik pada pasien uterin bersepta dilaporkan berkisar antara 20% dan 60% (25-27).12-14
Ultrasonografi transvaginal diketahui lebih akurat dalam mendiagnosis septa uterus dengan
sensivitas 100% dan spesivisitas 80%.13 Pada serangkaian data yang telah dipublikasikan
sonografi tiga dimensi memiliki akurasi diagnostik 92% dan histerosonografi 100%. Magnetic
resonance imaging (MRI) juga dilaporkan dapat mendeteksi adanya uterin bersepta tetapi tidak
cukup akurat; diagnosa uteri berseptat hanya 50%.13, 15, 16 Meskipun kombinasi berbagai cara
diagnostik dapat meningkatkan akurasi diagnostik, histeroskopi dan laparoskopi merupakan
standar emas untuk diagnosis uterus bersepta.
Diantara kelainan Mullerian lainnya, uterus bersepta merupakan penyebab kegagalan
reproduksi paling tinggi. Terlebih lagi uterus bersepta dapat menyebabkan keguguran pada
trismester pertama dan kedua11 dan menyebabkan infertilitas.17, 18
Sebelum teknik histeroskopi operatif diperkenalkan, pembelahan uterin bersepta
dilakukan melalui laparotomi. Histeroskopi dapat mempermudah penanganan uterus bersepta
dan lesi intrauterin lainnya. Metroplasty histeroskopi dilakukan dengan anastesi total atau
spinal. Prosedur operatif biasanya dijadwalkan pada awal fase proliferasi atau setelah pasien
diberi progestin, danazol atau agonis GnRH. Pembelah histeroskopi uterin berseptum
dilakukan dengan menggunakan microscissors, electrosurgery, atau laser dan dapat dilakukan
dibawah kontrol ultrasonografi atau laparoskopi. Tanpa menghiraukan metode penyayatan
septa, terdapat dua teknik penanganan septum: penyayatan berulang melewati bagian atas
septum, sehingga sedikit demi sedikit memendek, atau penyayatan berulang sepanjang septum
pada setiap sisinya, sehingga menipiskan septum sampai akhirnya memendek.19
78
Metroplasty memberikan keuntungan bagi wanita yang memiliki uterus bersepta dan
mengalami infertil tak terjelaskan, meskipun peningkatan angka kelahiran relatif rendah jika
dibandingkan dengan mereka yang mengalami keguguran berulang. Pada serangkaian data
yang dipublikasikan, 29,5% wanita yang mengalami infertilitas tak terjelaskan berhasil
mendapatkan kelahiran hidup setelah menjalani metroplasti histeroskopi (tindak lanjut setelah
15 bulan).18
Uterus Unicornu
Kegagalan saluran Mullerian baik secara keseluruhan ataupun sebagian dapat
menyebabkan uterus unicornu. Terdapat empat tipe uteri unicornu: uterus unicornu dengan
tanduk yang belum sempurna dan saling beruhubungan, uterus unicornu dengan tanduk yang
belum sempurna namun tidak saling beruhubungan, uterus unicornu dengan atau tanpa rongga
dan uterus unicornu yang terisolasi. Perbedaan tipe uterus unicornu berkaitan dengan
perbedaan tingkat keberhasilan reproduksi. Tingkat keberhasilan tergantung pada beberapa
faktor yaitu: variasi kontribusi pembuluh darah dari arteri uterin dan arteri utero-ovarian pada
bagian sisi kontralateral, luasnya reduksi masa otot uterus unicornu, derajat kompetensi servik,
dan keberadaan serta keluasan penyakit pelvik yang sebelumnya sudah ada seperti
endometriosis.
Pada kebanyakan wanita dengan uterus unicornu yang infertil atau pernah mengalami
keguguran berulang, tingkat kelahiran hidup dengan uterus unicornu bertanduk yang belum
sempurna dan tidak saling berhubungan adalah 15%, sedangkan pada uterus unicornu dengan
tanduk yang belum sempurna namun tidak saling beruhubungan adalah 28% dan uterus
unicornu tanpa rongga adalah 35%. Hanya satu wanita yang memiliki uterus unicornu tanpa
tanduk belum sempurna dan tidak terjadi kelahiran hidup.20 Angka tertinggi kelahiran hidup
terjadi pada wanita dengan uterus unicornu dengan atau tanpa rongga.21
Kelainan unicornu kompleks dapat ditangani dengan kombinasi laparoskopi dan
histeroskopi22 atau intervensi radiologi.23 Intervensi radiologi dapat meminimalisasi invasi
operasi pada kelainan uterin yang kompleks atau tidak biasa. Uterus unicornu dengan tanduk
yang belum sempurna perlu ditangani dengan pertimbangan dapat mengurangi dismenore,
mencegah atau mengurangi endometriosis akibat aliran menstruasi berbalik, dan menghindari
tanduk atau tuba selama masa kehamilan.
Uterus Bicornu
Uterus bicornu disebabkan oleh kegagalan saluran Mϋllerian untuk berdifusi dengan
sempurna. Miometrium dapat meluas sampai pada internal cervical os (bicornuate unicolis)
79
atau external cervical os (bicornuate bicollis). Bicornuate bicollis dibedakan dari uterus
didelphys karena bentuk kedua tanduknya menunjukkan sedikit penggabungan, sedangkan
kedua tanduk pada uterus diadelphys dan servik terpisah sepenuhnya.
Uterus bicornu merupakan kelainan umum yang sering terjadi, mewakili 46.3% dari
kelainan uterin lainnya. Meskipun 25% wanita dengan keguguran berulang atau infertilitas
dapat memiliki uterus bicornu, kebanyakan wanita dengan kelainan ini tidak merasa kesulitan
untuk hamil.24 Wanita dengan uterus bicornu memiliki risiko tinggi keguguran dan kelahiran
sebelum waktunya pada trimester kedua.
Uterus bicornu jarang memerlukan tindakan operatif. Metroplasty tersedia bagi wanita
yang mengalami aborsi spontan berulang, keguguran pada trismester kedua, kelahiran
premature dan penyebab lainnya. Metroplasti transabdominal diketahui dapat meningkatkan
kehamilan secara signifikan pada wanita dengan uterin bicornu yang telah mengalami abortus
spontan berulang atau kelahiran prematur.
Uterus didelphys
Uterus didelphys disebabkan oleh kegagalan pasangan saluran Mullerian untuk berdifusi
sehingga mengakibatkan duplikasi korpus uterin dan servik. Kelainan ini mewakili 11.1% dari
kelainan uterin lainnya.25 Sebuah septum vagina terdapat pada sebagian besar wanita dengan
uterus didelphys dan dapat terditeksi pada diagnosis awal saat dilakukan pemeriksaan rutin
spekulum.26
Secara historis, reunifikasi Strassman, hemihisterektomi digunakan untuk menangani
uterus didelphys; tetapi prosedur tersebut secara teknis sulit dilakukan dan sepertinya tidak
meningkatkan reproduksi. Terlebih lagi teknik ini dapat menyebabkan incompetence servik
atau stenosis servik.
Reseksi septum vagina, merupakan penanganan yang sesuai jika berkaitan dengan
gangguan (obstruction), dispareunia, atau infertilitas, jika hubungan seksual terjadi pada bagian
kontralateral vagina pada sisi ovulasi atau jika septum menghalangi sperma untuk masuk
kedalam servik.
80
Gambar 2. Septum uterus yang tampak dengan histeroskopi
POLIP ENDOMETRIUM
Polip endometrium bersifat jinak dan dapat tumbuh didalam entometrium. Polip
endometrium biasanya terdeteksi saat dilakukan pemeriksaan pendarahan uterin abnormal
dan infertilitas. Sangat sedikit informasi yang diketahui mengenai keterkaitan antara polip
endometrium dengan fertilitas. Mekanisme mengenai bagaimana polip mempengahuri
fertilitas juga tidak diketahui dengan jelas tetapi mungkin berhubungan dengan mekanisme
gangguan transportasi sperma, implantasi embrio, atau melalui peningkatan produksi faktor
inhibitor seperti glikodelin yang dapat menghambat fungsi sel NK.27
Polip endometrium terditeksi melalui histeroskopi pada 16.5% sampai 26.5% wanita
dengan infertilitas yang tidak terjelaskan. Persentasi mencapai lebih tinggi (46.7%) pada wanita
infertil yang menderita endometriosis28 dan lebih rendah (0.6% sampai 5%) pada wanita yang
mengalami keguguran berulang.29
Histerosalpingografi memiliki sensitifitas 50% sampai 98% untuk lesi intrauterin dan tidak
dapat digunakan untuk membedakan antara mioma submukosa dengan polip endometrium.
Sonohisterografi dan HSG memiliki keakuratan diagnostik yang serupa (52% vs. 60%).30 Standar
emas untuk diagnosis polip endometrium adalah histeroskopi. Histeroskopi memungkinkan
untuk dilakukan polipektomi dibawah penglihatan langsung secara bersamaan.
81
Meskipun polip endometrium diamati lebih sering pada wanita yang mengalami
keguguran berulang tetapi pengaruh pengobatan yang telah dilakukan belum diteliti. Jika pada
kasus lain keguguran berulang telah dikesampingkan, histeroskopik polipektomi dapat
dilakukan.
Polipektomi dapat dilakukan tanpa penglihatan langsung melalui kuret tajam secara
transservik; tetapi lebih baik melakukan polipektomi histeroskopi terarah menggunakan
gunting, loop electrode, electric probe atau morcellator untuk meminimalisir kerusakan di
sekitar endometrium dan memastikan polip telah diangkat secara keseluruhan. Resectoskopi
operatif menggunakan loop electrode tampaknya merupakan teknik pilihan untuk menangani
polip endometrium berukuran > 2 cm atau untuk implantasi pada daerah fundus, sedangkan
pembelahan tangkai polip menggunakan bipolar electrode tampaknya lebih baik digunakan
untuk ukuran polip yang lebih kecil, nonfundal polyps.31 Baru-baru ini morcellator intrauterine
diketahui dapat digunakan untuk eksisi polip (dan mioma); pendekatan ini telah terbukti dapat
mengurangi waktu operasi dibandingkan dengan eksisi menggunakan loop electrode.32
Gambar 3. Polip intrauterin yang tampak dari pemeriksaan sonohisterografi
ADHESI INTRAUTERIN
Adhesi intrauterin disebabkan oleh luka pada endometrium yang menimbulkan
perlengketan miometrium pada dinding uterin. Kejadian yang paling sering adalah akibat
kuretase uterine pada gravida uterus. Pembentukan adesi tercatat pada 7% sampai 30% pasien
yang menjalani pemeriksaan histeroskopi setelah D&C abortus spontan.33-35 Infeksi uterin juga
82
dapat menyebabkan adhesi uterin, terutama tuberculosis genital, yang berkaitan dengan
hilangnya rongga uterin pada lebih dari setengah jumlah kasus pasien36.
Angka kejadian adhesi intrauterin (IUA) pada populasi umum diperkirakan mencapai
1.5%.37 Angka kejadian dapat bervariasi tergantung studi populasi dan cara diagnostik yang
dilakukan. Adhesi intrauterin dideteksi melalui saline sonografi saat pemeriksaan pada 0.3%
wanita infertil.38 Ultrasonografi transvaginal menditeksi adanya IUA pada 13.5% kelompok
wanita, beberapa diantaranya diketahui mengalami infertilitas primer atau sekunder dan
beberapa lainnya telah tiga kali gagal melakukan IVF. Histeroskopi, standar emas untuk
diagnosis IUA, dapat mendeteksi IUA pada 3% sampai 16% wanita yang menjalani histeroskopi
sebelum percobaan pertama IVF.39, 40 Histeroskopi mendeteksi IUA pada 7% sampai 21.8%
wanita yang mengalami keguguran berulang.41, 42
Adhesi intrauterin dapat ditangani melalui lisis yang dilakukan tanpa penglihatan secara
langsung melalui kuret atau alat lain yang dapat masuk melalui leher rahim. Karena
penanganan tersebut dapat menyebabkan trauma pada lapisan dasar endometrium dan dapat
menimbulkan pembentukan kembali adhesi, maka penggunaan histeroskopi adheolisis lebih
dianjurkan. Histeroskopi adheolisis dapat dilakukan menggunakan ujung forceps histeroskopi
untuk pembedahan tumpul, gunting histeroskopi untuk pembedahan tajam atau menggunakan
pisau berelektroda.
Gambar 4. Adhesi intrauterin yang tampak dengan histeroskopi
Korelasi antara luasnya adhesi uterin dan kehamilan setelah terapi telah ditinjau pada
penelitian yang mengklasifikasikan IUA.43 Penelitian tersebut melaporkan bahwa tingkat
83
kehamilan mencapai 81.3% pada wanita yang mengalami adhesi ringan, 66% pada wanita yang
mengalami adhesi sedang, dan 31.9% pada wanita yang mengalami adhesi berat.
Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kembali IUA, penggunaan terapi hormon
(estrogen dengan atau tanpa progestin), intrauterine stants, IUD, dan antibiotik sangat
dianjurkan. Tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan adjuvant tersebut.
MIOMA
Mioma uterin atau fibroid merupakan penyakit yang biasa terjadi pada uterus dan
bersifat jinak. Mioma timbul dari sebuah sel otot lunak uterin, dan dapat tumbuh pada
beberapa bagian uterus dibawah pengaruh faktor pertumbuhan, sitokin, dan hormon seks
termasuk estrogen dan progesterone.44, 45
Kebanyakan mioma tidak terdeteksi pada pemeriksaan klinis atau penggambaran
diagnostik. Angka kejadian mioma uterin bervariasi tergantung usia, ras, dan cara diagnostik.
Meskipun kebanyakan mioma terjadi tanpa menunjukkan gejala, mioma dapat dikaitkan
dengan terjadinya menorrhagia, nyeri pelvik, gangguan kandung kemih dan usus besar,
infertilitas, dan keguguran berulang. Rata-rata 5% sampai 10% wanita infertil memiliki
setidaknya satu mioma dan mioma merupakan satu-satunya faktor etiologi pada 1% sampai
2.4% wanita infertil.46 Terdapat berbagai macam mekanisme potensial dimana mioma dapat
menyebabkan infertilitas. Hal ini termasuk, inflamasi endometrium kronis, vaskularisasi
abnormal, peningkatan kontraktilitas uterin, dan pola abnormal endokrin lokal, semuanya
dapat mengganggu transportasi sperma atau implantasi embrio.46-48
Mioma dapat berupa lesi di satu tempat atau berupa lesi yang tersebar dalam uterus; lesi
dapat tumbuh di seluruh bagian uterus. Meskipun mioma bervariasi dalam bentuk dan
ukuran, mioma diklasifikasikan sebagai submukosa jika mengubah rongga uterin, intramural
jika terletak dalam dinding miometrium uterin, dan subserosal jika menonjol keluar dari
permukaan uterin. Jumlah dan keberadaan mioma beruhubungan dengan symptomatology
dan fertilitas. Penelitian retrospektif dan kontrol menunjukkan bahwa mioma submukosa dan
intramural yang menonjol kedalam rongga endometrium berkaitan dengan penurunan angka
kehamilan dan tingkat implantasi pada pasien yang mencoba menjalani IVF atau kehamilan
secara spontan49-52 dan angka kehamilan meningkat setelah mioma diangkat.53-55
84
Gambar 5. Mioma submukosa yang tampak dengan pemeriksaan sonohisterografi
Gambar 6. Mioma submukosa yang tampak dengan histeroskopi
Tindakan-tindakan nonoperatif yang digunakan untuk mengobati gejala mioma atau
digunakan sebelum operasi untuk mengembalikan kadar normal hemoglobin atau untuk
menurunkan ukuran tumor jarang digunakan pada pasien infertil. Terapi GnRH agonis,
mifepriston dan embolisasi atreri uterin memainkan peranan penting dalam menurunkan gejala
terkait mioma.
85
MIOMEKTOMI
Penanganan mioma bagi pemeliharaan atau peningkatan fertilitas saat ini adalah melalui
operasi pengangkatan baik dengan laparotomi, laparoskopi, atau histeroskopi. Tujuan
miomektomi adalah : memperbaiki morfologi uterin, mengembalikan fungsi normal menstruasi,
dan meningkatkan fertilitas.
Miomektomi Abdominal
Penyayatan miomektomi melalui laparoskopi atau minilaparotomi (miomektomi
abdominal) merupakan teknik pilihan bagi wanita yang memiliki banyak mioma atau besar
(misalnya, berukuran > 14 minggu atau mioma > 8 cm).56, 57 Setelah dokter dapat menjangkau
rongga peritoneal, perlu dilakukan penilaian ukuran, lokasi dan jumlah mioma. Konservasi
suplai darah uterus dan minimalisasi kehilangan darah merupakan hal yang diprioritaskan.
Tujuan teknik ini adalah mengurangi jumlah insisi uterin dan menempatkan mioma pada lokasi
yang memungkinkan pengangkatan beberapa mioma berdekatan secara bersamaan. Mioma
yang terpencil dan berukuran besar lebih baik dilakukan penyayatan pada miometrium yang
paling tipis.
Komplikasi miomektomi abdominal dapat terjadi pada intraoperasi atau pascaoperasi.
Komplikasi intraoperasi dapat berupa luka pada usus besar atau saluran kencing dan kehilangan
darah. Jumlah kehilangan darah selama miomektomi abdominal bervariasi tergantung ukuran
dan lokasi mioma. Mioma sering dikelilingi pembuluh darah besar yang berasal dari sekeliling
miometrium. Pembuluh darah ini harus dijaga sebelum pengangkatan mioma karena
pembuluh darah tersebut dapat mengeluarkan banyak darah dan jika hal itu terjadi perlu
dilakukan histerektomi. Sejumlah metode telah digunakan untuk meminimalisir kehilangan
darah selama operasi berlangsung. Teknik mekanik seperti turniket dan kelem untuk menutup
uterin dan arteri ovarium merupakan teknik yang efektif. GnRH agonis juga sampai saat ini
masih digunakan untuk meminimalisasi kehilangan darah dengan cara mengurangi volume
uterin sebelum operasi.
Sebuah meta analisis tahun 1998 mengenai kehamilan setelah miomektomi abdominal
telah dilakukan pada wanita infertil. Hasil keseluruhan menunjukkan terjadi kehamilan setelah
miometomi abdominal dengan presentasi 57%. Sejak saat itu, beberapa penelitian lain
menunjukkan hasil yang serupa mengenai peningkatan angka kehamilan pada wanita setelah
menjalani miomektomi abdominal.58-60
86
Miomektomi Laparoskopi
Laparoskopi miomektomi memerlukan pendekatan pemikiran dan prinsipil yang sama
seperti pada miomektomi abdominal. Following the introduction of the principal trocar and the
laparoscope, ancillary ports are placed under direct vision avoiding the epigastric vessels.
Pedunculated mioma dipotong menggunakan bipolar forceps dan gunting, atau koagulasi
terbaru dan alat pemotong seperti EnSeal® atau LigaSure®. Mioma intramural dihilangkan
melalui insisi pertama serosa uterin oleh gunting atau jarum monopolar.
Mioma diambil lalu ditarik, kemudian dibedah dari sekeliling miometrium, untuk menjaga
kestabilan hemostasis sepanjang prosedur tersebut. Kestabilan hemostasis dapat dilakukan
dengan elektrodesikasi, dengan meminimalisasi kerusakan miometrium yang berdekatan.
Mioma dapat diangkat melalui jalur transabdominal atau transvaginal. Pengangkatan melalui
transabdominal dapat dilakukan dengan menggunakan morcellator laparoskopi.60
Beberapa ahli bedah menggunakan kombinasi pendekatan laparoskopi dan laparotomi
(miomektomi dibantu laparoskopi) untuk menangani mioma intramural yang berukuran besar.
Insisi minilaparotomi dilakukan setelah eksisi laparoskopi mioma. Minilaparotomi
memungkinkan pengangkatan mioma dengan tepat dan efektif memulihkan kerusakan uterin.61
Miomektomi Abdominal versus Laparoskopi
Percobaan random pertama pada tahun 1996 membandingkan miomektomi laparoskopi
dan abdominal.62 Hasil menunjukkan bahwa laparoskopi operatif memberikan keuntungan
diantaranya lebih sedikit nyeri yang dirasakan, rawat inap yang lebih singkat dan pemulihan
yang lebih cepat. Percobaan random lain membandingkan miomektomi abdominal dan
laparoskopi terkait fertilitas.63 Diketahui bahwa tidak ditemukan adanya perbedaan yang
signifikan pada kedua kelompok tesebut terkait dengan hasil kehamilan.
Meskipun tingkat kekambuhan mioma sulit dinilai dengan pasti, diperkirakan bahwa 10%
wanita secara klinis mengalami kembali mioma setelah 10 tahun menjalani miomektomi
abdominal.64 Tampaknya tidak ada perbedaan tingkat kekambuhan mioma pada pasien yang
menjalani laparoskopi atau miomektomi laparotomi setelah 40 bulan di observasi
menggunakan ultrasonografi.65
Keuntungan miometkomi laparoskopi dibandingkan miomektomi abdominal adalah:
nyeri pascaoperasi dan keperluan analgesik yang lebih sedikit, rawat inap dan masa pemulihan
87
yang lebih singkat, dan dari segi kecantikan hanya sedikit bekas luka yang terjadi pada
abdomen.
Miomektomi Vaginal
Untuk melakukan miomektomi melalui jalur vagina dengan kolpotomi, harus terdapat
jalur masuk yang memadai, mobilitas uterin yang baik, dan ukuran mioma maksimum 11 cm .66
Kolpotomi anterior atau posterior dirancang untuk menjangkau mioma, tergantung lokasi
mioma itu sendiri. Teknik penyayatan mioma ini serupa dengan teknik laparoskomi atau
miomektomi abdominal, tetapi keamanan dan keperluan miektomi vaginal masih belum
ditetapkan.
Miomektomi Histeroskopi
Miomektomi histeroskopi biasanya dilakukan dibawah anastesi total atau anastesi spinal.
Serviks didilatasi (misalnya Pratt 29-30) dan histeroresektoskop dimasukkan secara transservik.
Uterus digembungkan menggunakan larutan bebas elektrolit dan rendah viskositas seperti 1.5%
glisin, 3% D-sorbitol, 5% manitol dan sitosol. Tetapi, perkembangan terbaru sistem histeroskopi
bipolar (VersaPoint®), gunting bipolar dan penggunaan morcellator special untuk memotong
mioma submukosa memungkinkan dilakukan operasi pada media yang mengandung banyak
elektrolit seperti saline normal.32
Tingkat komplikasi meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran dan jumlah mioma.
Sebanyak 6.6% wanita akan mengalami komplikasi miomektomi histeroskopi seperti
pendarahan, luka servik, infeksi, perforasi uterin atau cairan berlebih. Penanganan mioma
submukosa yang dalam dan luas lebih sulit ditangani, dan berbagai prosedur mungkin
diperlukan untuk reseksi keseluruhan.
RANGKUMAN
1. Evaluasi faktor uterus dan endometrium penting untuk dilakukan bila terdapat
kecurigaan kelainan yang bersifat anatomik
2. Saline-infusion sonohysterogaphy merupakan teknik evaluasi kavum uteri yang dapat
diterapkan secara luas dalam praktik klinik sehari-hari
88
DAFTAR PUSTAKA
1. Croxatto HB, Ortiz ME, Diaz S, Hess R, Balmaceda J, Croxatto HD. Studies on the duration of egg transport by the human oviduct. II. Ovum location at various intervals following luteinizing hormone peak. Am J Obstet Gynecol. 1978;132:629–34.
2. Croxatto HB. Physiology of gamete and embryo transport through the fallopian tube. Reprod Biomed Online. 2002;4:160–9.
3. Sawada H, Yamazaki K, M MH. Trypsin-like hatching protease from mouse embryos: evidence for the presence in culture media and it enzymatic properties. J Exp Zool. 1990;254:83-7.
4. Vigano P, Mangioni S, Pompei F, Chiodo I. Maternal-conceptus cross talk-a review. Placenta. 2003;24:S56-61.
5. Enders AC, Schlafke S. A morphological analysis of the early implantation stages in the rat. Am J Anat. 1967;120:185-226.
6. Giudice LC. Potential biochemical markers of uterine receptivity. Hum Reprod. 1999;14(Suppl 2):3-16.
7. Thathiah A, Carson DD. MT1-MMP mediates MUC1 shedding independent of TACE/ADAM17. Biochem J. 2004;382:363-73.
8. Benirschke K, Kaufmann P. Early development of the human placenta. In: Benirschke K, Kaufmann P, eds. Pathology of the human placenta. New York: Springer-Verlag. 1991:13-21.
9. Simon C, Moreno C, Remohi J, Pellicer A. Cytokines and embryo implantation. J Reprod Immunol. 1998;39:117-31.
10. American Fertility Society. The American Fertility Society classifications of Mullerian anomalies and intrauterine adhesions. Fertil Steril.
11. Raga F, Bauset C, Remohi J, Bonilla-Musoles F, Simon C, Pellicer A. Reproductive impact of congenital Mullerian anomalies. Hum Reprod. 1997;12:2277-81.
12. Reuter KL, Daly DC, Cohen SM. Septate versus bicornuate uteri: errors in imaging diagnosis. Radiology 1989;172:749-52.
13. Pellerito JS, McCarthy SM, Doyle MB, Glickman MG, DeCherney AH. Diagnosis of uterine anomalies: relative accuracy of MR imaging, endovaginal sonography, and hysterosalpingography. Radiology 1992;183:795-800.
14. Braun P, Grau FV, Pons RM, Enguix DP. Is hysterosalpingography able to diagnose all uterine malformations correctly? A retrospective study. Eur J Radiol. 2005;53:274-9.
15. Fischetti SG, Politi G, Lomeo E, Garozzo G. Magnetic resonance in the evaluation of Mullerian duct anomalies. Radiol Med (Torino). 1995;89:105-11.
16. Letterie GS, Haggerty M, Lindee G. A comparison of pelvic ultrasound and magnetic resonance imaging as diagnostic studies for mullerian tract abnormalities. Int J Fertil Menopausal Stud. 1995;40:34-8.
17. Fedele L, Arcaini L, Parazzini F, Vercellini P, Nola GD. Reproductive prognosis after hysteroscopic metroplasty in 102 women: life-table analysis. Fertil Steril. 1993;59:768-72.
18. Pabuccu R, Gomel V. Reproductive outcome after hysteroscopic metroplasty in women with septate uterus and otherwise unexplained infertility. Fertil Steril. 2004;81:1675-8.
89
19. Homer HA, Li TC, Cooke ID. The septate uterus: a review of management and reproductive outcome. Fertil Steril. 2000;73:1-14.
20. Akar ME, Bayar D, Yildiz S, Ozel M, Yilmaz Z. Reproductive outcome of women with unicornuate uterus. Aust N Z J Obstet Gynaecol. 2005;45:148-50.
21. Fedele L, Bianchi S, Tozzi L, Marchini M, Busacca M. Fertility in women with unicornuate uterus. Br J Obstet Gynaecol. 1995;102:1007-9.
22. Nezhat F, Nezhat C, Bess O, Nezhat CH. Laparoscopic amputation of noncommunicating rudimentary horn after hystcroscopic diagnosis: a case study. Surg Laparosc Eudosc. 1994;4:155-6.
23. Sanders BH, Machan LS, Gomel V. Complex uterine surgery: a cooperative role for interventional radiology with hysteroscopic surgery. Fertil Steril. 1998;70:952-5.
24. Grimbizis GF, Camus M, Tarlatzis BC, Devroey P. Clinical implications of uterine malformations and hysteroscopic treatment results. Hum Reprod Update. 2001;7:161-74.
25. Acien P. Incidence of Mullerian defects in fertile and infertile women. Hum Reprod. 1997;12:1372-6.
26. Heinonen PK. Longitudinal vaginal septum. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 1982;13:253-8.
27. Richlin S, Ramachandran S, Shanti A, Murphy AA, Parthasarathy S. Glycodelin levels in uterine flushings and in plasma of patients with leiomyomas and polyps: implications and implantation. Hum Reprod. 2002;17:2742-7.
28. Kim MR, Kim YA, Jo MY, Hwang KJ, Ryu HS. High frequency of endometrial polyps in endometriosis. J Am Assoc Gynecol Laparosc. 2003;10:46-8.
29. Valli E, Zupi E, Marconi D, Vaquero E, Giovannini P, Lazzarin N, et al. Hysteroscopic findings in 344 women with recurrent spontaneous abortion. J Am Assoc Gynecol Laparosc. 2001;8:398-401.
30. Brown T, Coddington DC, Schnorr J, Toner JP, Gibbons W, Oehninger S. Evaluation of outpatient hysteroscopy, saline infusion hysterosonography, and hysterosalpingography in infertile women: a prospective, randomised study. Fertil Steril. 2000;74:1029-34.
31. Muzii L, Bellati F, Pernice M, Manci N, Angioli R, Panici PB. Resectoscopic versus bipolar electrode excision of endometrial polyps: a randomized study. Fertil Steril. 2007;87:909-17.
32. Emanuel MH, Wamsteker K. The Intra Uterine Morcellator: a new hysteroscopic operating technique to remove intrauterine polyps and myomas. J Minim Invasive Gynecol. 2005;12:62-6.
33. Adoni A, Palti Z, Milwidsky A, Dolberg M. The incidence of intrauterine adhesions following spontaneous abortion. Int J Fertil Menopausal Stud. 1982;27:117-8.
34. Friedler S, Margalioth EJ, Kafka I, Yaffe H. Incidence of post-abortion intrauterine adhesions evaluated by hysteroscopy-a prospective study. Hum Reprod. 1993;8:442-4.
35. Tam WH, Lau WC, Cheung LP, Pong MY, Chung TK. Intrauterine adhesions after conservative and surgical management of spontaneous abortion. J Am Assoc Gynecol Laparosc. 2002;9:182-5.
36. Bukulmez O, Yarali H, Gurgan T. Total corporal synechiae due to tuberculosis carry a very poor prognosis following hysteroscopic synechialysis. Hum Reprod. 1999;14:1960-1.
37. Al-Inany H. Intrauterine adhesions. An update. Acta Obstet Gynecol Scand. 2001;80:986-93.
90
38. Tur-Kaspa I, Gal M, Hartman M, Hartman J, Hartman A. A prospective evaluation of uterine abnormalities by saline infusion sonohysterography in 1,009 women with infertility or abnormal uterine bleeding. Fertil Steril. 2006;86:1731-5.
39. de Sa Rosa e de Silva AC, Rosa e Silva JC, dos Reis FJ, Nogueira AA, Ferriani RA. Routine office hysteroscopy in the investigation of infertile couples before assisted reproduction. J Reprod Med. 2005;50:501-6.
40. Hinckley MD, Milki AA. 1000 office-based hysteroscopies prior to in vitro fertilization: feasibility and findings. JSLS. 2004;8:103-7.
41. Ventolini G, Zhang M, Gruber J. Hysteroscopy in the evaluation of patients with recurrent pregnancy loss: a cohort study in a primary care population. Surg Endosc. 2004;18:1782-4.
42. Weiss A, Shalev E, Romano S. Hysteroscopy may be justified after two miscarriages. Hum Reprod. 2005;20:2628-31.
43. Valle RF, Sciarra JJ. Intrauterine adhesions: hysteroscopic diagnosis, classification, treatment, and reproductive outcome. Am J Obstet Gynecol. 1988;158:1459-70.
44. Sozen I, Arici A. Interactions of cytokines, growth factors, and the extracellular matrix in the cellular biology of uterine leiomyomata. Fertil Steril. 2002;78:1-12.
45. Cook JD, Walker CL. Treatment strategies for uterine leiomyoma: the role of hormonal modulation. Semin Reprod Med. 2004;22:105-11.
46. Donnez J, Jadoul P. What are the implications of myomas on fertility?A need for a debate? Hum Reprod. 2002;17:1424-30.
47. Hunt JE, Wallach EE. Uterine factors in infertility-an overview. Clin Obstet Gynecol. 1974;17:44-64.
48. Buttram VCJr, Reiter RC. Uterine leiomyomata: etiology, symptomatology, and management. Fertil Steril. 1981;36:433-45.
49. Varasteh NN, Neuwirth RS, Levin B, Keltz MD. Pregnancy rates after hysteroscopic polypectomy and myomectomy in infertile women. Obstet Gynecol. 1999;94:168-71.
50. Narayan R, Rajat K, Goswamy K. Treatment of submucous fibroids and outcome of assisted conception. J Am Assoc Gynecol Laparosc. 1994;1:307-11.
51. Bernard G, Darai E, Poncelet C, Benifla JL, Madelenat P. Fertility after hysteroscopic myomectomy: effect of intramural myomas associated. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2000;88:85-90.
52. Farhi J, Ashkenazi J, Feldberg D, Dicker D, Orvieto R, Rafael ZB. The effects of uterine leiomyomata on in-vitro fertilization treatment. Hum Reprod. 1995;10:2576-8.
53. Fernandez H, Sefrioui O, Virelizier C, Gervaise A, Gomel V, Frydman R. Hysteroscopic resection of submucosal myomas in patients with infertility. Hum Reprod. 2001;16:1489-92.
54. Garcia CR, Tureck RW. Submucosal leiomyomas and infertility. Fertil Steril. 1984;42:16-9.55. Goldenberg M, Sivan E, Sharabi Z, Bider D, Rabinovici J, Seidman DS. Outcome of
hysteroscopic resection of submucous myomas for infertility. Fertil Steril. 1995;64:714-6.56. Hillis SD, Marchbanks PA, Peterson HB. Uterine size and the risk of complications among
women undergoing abdominal hysterectomy for leiomyomas. Obstet Gynecol. 1996;87:415-9.
57. Dubuisson JB, Fauconnier A, Babaki-Fard K, Chapron C. Laparoscopic myomectomy: a current view. Hum Reprod Update. 2000;6:588-94.
91
58. Connolly G, Doyle M, Barrett T, Byrne P, Mello MD, Harrison RF. Fertility after abdominal myomectomy. J Obstet Gynaecol. 2000;20:418-20.
59. Campo S, Campo V, Gambadauro P. Reproductive outcome before and after laparoscopic or abdominal myomectomy for subserous or intramural myomas. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2003;110:215-9.
60. Sinclair D, Gaither K, Mason TC. Fertility outcomes following myomectomy in an urban hospital setting. J Natl Med Assoc. 2005;97:1346-8.
61. Gomel V, Taylor PJ. In: Diagnostic and operative gynecologic laparoscopy. St. Louis, MO: Mosby. 1995:225-6.
62. Mais V, Ajossa S, Guerriero S, Mascia M, Solla E, Melis GB. Laparoscopic versus abdominal myomectomy: a prospective, randomized trial to evaluate benefits in early outcome. Am J Obstet Gynecol. 1996;175:654-8.
63. Seracchioli R, Rossi S, Govoni F, Rossi E, Venturoli S, Bulletti C, et al. Fertility and obstetric outcome after laparoscopic myomectomy of large myomata: a randomized comparison with abdominal myomectomy. Hum Reprod. 2000;15:2663-8.
64. Fauconnier A, Chapron C, Babaki-Fard K, Dubuisson JB. Recurrence of leiomyomata after myomectomy. Hum Reprod Update. 2000;6:595-602.
65. Rossetti A, Sizzi O, Soranna L, Cucinelli F, Mancuso S, Lanzone A. Long-termresults of laparoscopicmyomectomy: recurrence rate in comparison with abdominal myomectomy. Hum Reprod. 2001;16:770-4.
66. Davies A, Hart R, Magos A. The excision of uterine fibroids by vaginal myomectomy: a prospective study. Fertil Steril. 1999;71:961-4.
92