4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    1/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 59

    BAB III

    SUHU DAN SALINITASSuhu merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam pertumbuhan dan

    kehidupan organisme. Suhu optimal untuk pertumbuhan organisme di tambak yaitu

    berkisar antara 27 29 oC (Cholik, 1988). Organisme akan hidup baik pada kisaran suhu

    optimal. Suhu air berpengaruh langsung pada metabolisme kultivan dan secara tidak

    langsung berpengaruh pada kelarutan oksigen.

    3.1. Variabilitas SPL di Laut Jawa

    Untuk melalukan analisis spasial dan temporal data Suhu Permukaan Laut (SPL),maka didahului dengan menghitung rerata SPL bulanan dari masing masing titik grid.

    Secara matematis rerata SPL bulanan dapat ditulis sebagi berikut (diadopsi dari DKP,

    2004) :

    n

    T ij

    Ti = __j=1__

    n

    Dimana Ti = data suhu pada bulan ke i

    j = indeks data tahun ke j

    n = jumlah tahun yang digunakan (1971 2000)

    Setelah diperoleh hasil rerata bulanan SPL pada masing masing titik, selanjutnya

    dilakukan analisis spasial dengan SIG. Hasil analisis tahapan ini adalah peta rerata SPL

    bulanan di atas Laut Jawa. Dengan cara yang sama dapat dilakukan analisis rerata SPL

    musim. Berdasarkan analisis pola distribusi spasial SPL dari bulan Januari sampai

    Desember, dapat diidentifikasi perubahan SPL dari waktu ke waktu (musim). Lebih dari

    itu dapat difahami pola penyebaran massa air Laut Jawa dan interkasi dengan perairan

    sekitarnya dari waktu ke waktu (Widodo et.al, 2008).

    Salah satu parameter penting yang dapat dipakai sebagai indikator sifat masa air

    secara vertikal adalah hubungan antara parameter suhu dan kedalaman. Terutama untuk

    mengetahui kedalaman lapisan termoklin, karena kedalaman lapisan termoklin ini bisa

    sebagai indikator daya tembus sinar matahari dalam pemanasan lapisan air laut, maupun

    sebagai indikator adanya proses percampuran dan distribusi masa air baik secara vertikal

    maupun horizontal. Kedalaman lapisan termoklin juga dapat dipakai sebagai panduan

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    2/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 60

    dalam usaha penangkapan ikan tuna (Thunnus.sp) karena sangat erat berhubungan,

    maupun terhadap biota laut dalam lainnya. Pengukuran parameter lain yang

    diperlukan untuk mengetahui karakter masa air adalah : suhu (C), salinitas (psu :

    promil salinity unit), kedalaman (m) dilakukan dengan sensor CTD dan direkam langsung

    secara vertikal dari permukaan laut hingga kedalaman 300 m dengan interval perekaman

    2 m seperti dilakukan pada KAL. BARUNA JAYA IV seperti Gb 3.1. Hasil pengolahan suhu

    vertikal perairan laut utara Papua dapat dilihat pada Gb 3.2; 3.3; 3.4 dan 3.5.

    3.2. Pengukuran Suhu Air Laut in-situ Dengan Sensor Current-Temperature-

    Depth (CTD)

    Gambar 3.1. CTD - Vertical Water Profiler - GMI/Aanderaa Dalam PengukuranHorizontal dan Vertical Suhu, Salinitas dan Kedalaman 0 - 300 m,

    dan Interval = 2m, Ketelitian = 0,01 C, Alur Pelayaran dan PosisiStasiun Pengukuran di Utara Papua. Ekspedisi KAL.BARUNA JAYA IV

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    3/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 61

    Profil Suhu dan Salinitas Vertikal di Laut Dalam

    Gambar 3.2. Profil sebaran suhu vertikal penampang lintasan di St. 5,8,11,12(atas) dan St. 5, 8, 11, 15 (bawah) di perairan Utara Irja, Juli-Agustus 1997 (A.Hartoko, Ekspedisi KAL.BARUNA JAYA IV)

    0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00

    -300.00

    -250.00

    -200.00

    -150.00

    -100.00

    -50.00

    9.00

    10.00

    11.00

    12.00

    13.0014.00

    15.00

    16.00

    17.00

    18.00

    19.00

    20.00

    21.00

    22.00

    23.00

    24.00

    25.00

    26.00

    27.00

    28.00

    29.00

    0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00

    -300.00

    -250.00

    -200.00

    -150.00

    -100.00

    -50.00

    0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00

    -300.00

    -250.00

    -200.00

    -150.00

    -100.00

    -50.00

    11.00

    12.00

    13.00

    14.00

    15.00

    16.00

    17.00

    18.00

    19.00

    20.00

    21.00

    22.0023.00

    24.00

    25.00

    26.00

    27.00

    28.00

    29.00

    0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00

    -300.00

    -250.00

    -200.00

    -150.00

    -100.00

    -50.00

    Suhu (oC)

    Suhu (oC)

    St. 12St. 5 St. 8 St. 11

    St.15St. 5 St. 8 St. 11

    Kedalaman

    (m)

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    4/40

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    5/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 63

    Berdasarkan analisa data sebaran vertikal suhu perairan Utara Irja di atas dapat

    diketahui bahwa umumnya lapisan atas yaitu dari permukaan sampai kedalaman 80 m

    adalah lapisan masa air dengan suhu yang sama yaitu 29 C atau merupakan lapisan

    homogen. Baik pada stasiun yang terletak pada lintang 2 LU, 1 LU dan pada garis

    equator 0. Berdasarkan analisa profil vertikal ini nampak pula bahwa pada stasiun

    4,5,6,7,8 lapisan termoklin pada kedalaman antara 60 80 m, sedang stasiun 9 - 20

    umumnya lapisan termoklin antara kedalaman 100 120 m seperti diketahui dari plot

    suhu dan kedalaman seperti pada Gb 3.2; 3.3 dan 3.4 dan 3.5. Dapat diartikan bahwa

    masa air dari perairan Timur Utara Irian Jaya yang lebih tinggi suhunya (mempunyai

    densitas rendah) mengalir menuju perairan Halmahera, membentuk dua putaran arus

    masa air yang berputar kembali ke arah St.12 di lepas pantai Utara Irja dan yang

    mengalir memasuki perairan koridor P. Halmahera dan Papua menuju L. Seram yang

    lebih rendah suhunya.

    Gambar 3.4. Profil vertikal suhu pada lintasan 1LU (St. 6,9,13,16,18) di per-airan Utara Irja, Juli - Agustus 1997

    0 .00 50 .00 1 00 .00 1 50. 00 20 0. 00 25 0. 00 3 00 .00 3 50 .00 4 00 .00 4 50 .00

    -300.00

    -250.00

    -200.00

    -150.00

    -100.00

    -50.00

    12.00

    13.00

    14.00

    15.00

    16.00

    17.00

    18.00

    19.00

    20.00

    21.00

    22.00

    23.00

    24.00

    25.00

    26.00

    27.00

    28.00

    29.00

    0. 00 50 .00 1 00 .00 1 50. 00 2 00 .00 2 50. 00 30 0. 00 35 0. 00 4 00 .00 4 50 .00

    -300.00

    -250.00

    -200.00

    -150.00

    -100.00

    -50.00

    St. 6 St. 9 St. 13 St. 16 St. 18

    Kedalaman

    (m)

    Suhu(oC)

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    6/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 64

    Gambar 3.5. Profil vertikal suhu sepanjang garis Equator 0di perairan UtaraIrja, Juli - Agustus 1997.

    Hal penting yang dapat diketahui dari profil vertikal suhu perairan ini adalah

    indikasi adanya 'up-welling' dimana masa air dengan suhu 28 C dari st.5 di utara Papua

    menuju permukaan laut di st.3 dekat P.Halmahera, juga naik ke arah permukaan di st.12

    dan 15 di lepas pantai Utara Irja seperti pada Gb. 3.2 dan Gb 3.6 namun tidak

    menunjukkan indikasi tersebut pada Gb. 3.4 dan Gb.3.5. Sebagai akibat adanya proses

    percampuran masa air yang signifikan ini maka diduga juga berpengaruh pada proses

    percampuran dan sebaran parameter hidro-biologis. Seperti sebaran vertikal zat hara

    nitrat dan fosfat dari lapisan kedalaman 80 m ke permukaan laut dan mendorong

    tingginya fotosintesis, kandungan klorofil dan biomasa plankton diduga juga akan

    terpengaruh.

    0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00 450.00 500.00 550.00 600.00

    -300.00

    -250.00

    -200.00

    -150.00

    -100.00

    -50.00

    12.00

    13.00

    14.00

    15.00

    16.00

    17.00

    18.00

    19.00

    20.00

    21.00

    22.00

    23.00

    24.00

    25.00

    26.00

    27.00

    28.00

    29.00

    30.00

    0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00 450.00 500.00 550.00 600.00

    -300.00

    -250.00

    -200.00

    -150.00

    -100.00

    -50.00

    St. 4 St. 7 St. 10 St. 14 St. 17 St. 20

    Suhu (oC)

    Kedalaman

    (m)

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    7/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 65

    Gambar 3.6. Profil suhu vertikal di St.3 (L.Seram), St.4 (L. Halmahera) dan St. 5(utara Papua) Juli 1997. (A.Hartoko Ekspedisis BARUNA JAYA IV, BPPT)

    Berdasarkan plot data suhu permukaan laut (SPL) seperti Gb. 3.7 nampak

    adanya suatu pola aliran masa air bersuhu tinggi dari Pasifik ke arah P. Halmahera dan

    adanya penurunan SPL yang signifikan dari perairan ke arah L. Seram. Sebagaimana

    juga dibuktikan dengan adanya plot data suhu vertikal pada Gb 3.6 yang membuktikan

    adanya 'up-welling'. Disamping terlihat juga adanya pusaran masa air dengan suhu

    tinggi (warm core) di teluk Cenderawasih, pada st. 10,13,14 dan 16 dengan suhu antara

    29,8 - 30C.

    0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00-300.00

    -250.00

    -200.00

    -150.00

    -100.00

    -50.00

    0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00-300.00

    -250.00

    -200.00

    -150.00

    -100.00

    -50.00

    St.3 St.4 St.5

    Jarak antar stasiun ( mil )

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    8/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 66

    Suhu Permukaan Laut Perairan (SPL) Utara Irian Jaya (Musim Timur/Kemarau).

    Gambar 3.7. Plot suhu permukaan laut data pengukuran lapangan di perairanUtara Irja (Juli - Agustus 1997)

    Profil suhu vertikal di laut dangkal seperti di laut Natuna, timur Sumatra, selat

    Malaka dan utara Jawa dapat dipakai untuk mempelajari adanya kemungkinan proses

    percampuran masa air laut, terutama proses horizontal-mixing atau percampuran masa

    air secara horizontal. Karena proses percampuran masa air dengan fenomena up-

    welling tidak dimungkinkan terjadi di perairan dangkal (kurang dari 100 m). Diantaranya

    adalah profil suhu vertikal di laut Natuna seperti pada Gambar. 3.8 berikut. Dimana

    adanya bentuk kolom masa air tersebut dapat terdeteksi dengan cara plot profil suhu

    vertikal ini. Dengan profil suhu dan atau salinitas vertikal ini telah dapat mendeteksi

    adanya fenomena horizontal-mixing di Kep Kangean. Dimana masa air dari L. Jawa,

    Selat Makasar dan Laut Banda bertemu di wilayah perairan ini (Gambar 3.9 dan 3.10)

    dan dari profil vertikal salinitas dapat diketahui bahwa terdapat adanya masa air laut

    dengan salinitas lebih rendah (33 ) dari laut Jawa, masuk menuju laut Banda.

    129.00 130.00 131.00 132.00 133.00 134.00 135.00 136.00 137.00 138.00 139.00 140.00

    -1.00

    0.00

    1.00

    2.00

    3.00

    St. 20

    St. 19

    St. 18

    St. 17St. 21

    St. 16

    St. 15

    St. 14

    St. 13

    St. 12

    St. 11

    St. 10

    St. 9

    St. 8

    St. 7

    St. 6

    St. 5

    St. 4

    St. 3

    IRIAN JAYA

    L . S e ra m

    L . B a n d a

    L . A r a f u r a

    U129.00 130.00 131.00 132.00 133.00 134.00 135.00 136.00 137.00 138.00 139.00 140.00

    -1.00

    0.00

    1.00

    2.00

    3.00

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    9/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 67

    Gambar 3.8. Profil suhu vertikal di laut Natuna. Diolah dari data BARUNA JAYA I, Juli1994, BPPT (A.Hartoko)

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    10/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 68

    Gambar 3.9. Plot suhu permukaan (atas) dan profil suhu vertical di Kep KangeanAgustus 1997. Sumber : Data in-situ CTD Ekspedisi KAL. BARUNA JAYA IV (A.Hartoko)

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    11/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 69

    Gambar 3.10. Profil vertikal salinitas di sekitar Kep. Kangean, Juli 1997

    Suatu fenomena adanya strata lapisan masa air dengan interval kedalaman yang relativ

    sama yaitu dari kedalaman 300 m sampai ke permukaan perairan, dapat diketahui dari

    profil vertikal suhu di Selat Makasar seperti pada Gambar 3. 11. Diduga hal ini berkaitan

    dengan fenomena gaya berat masa air akibat gradasi densitas dan masa air yang tenang

    secara horizontal dan tidak tedapat adanya gerakan masa air secara vertikal.

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    12/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 70

    Gambar 3.11. Profil Suhu vertikal di Selat Makasar, Sulawesi (diolah dari data EkspedisiKAL. BARUNA JAYA I. 1994. BPPT)

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    13/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 71

    Gambar 3.12. Profil vertikal suhu di perairan L. Sulu (diolah dari data KAL. BARUNA JAYAI, 1994. BPPT).

    Suatu fenomena terindikasi adanya pergerakan masa air dari kedalaman 100m ke arah

    permukaan perairan pada posisi antara St.18 dan St.19 di laut Sulu. Namun juga pada

    saat yang bersamaan terindikasi adanya fenomena down-welling dimana terjadi

    pergerakan masa air dari kedalaman 100m ke arah dasar laut sampai kedalaman 500m,

    pada lokasi yang sama di laut Sulu seperti pada Gambar 3.12. Sedang pada Gambar

    3.13 nampak dengan jelas berdasarkan profil vertikal suhu perairan, terjadinya

    fenomena up-welling dimana masa air laut naik dari kedalaman 8,5m ke permukaan dan

    juga dari kedalaman 70m di samudra Hindia naik ke permukaan laut di sekitar kep.

    Mentawai (Barat Sumatra).

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    14/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 72

    Gambar 3.13. Profil vertikal suhu di Samudra Hindia Barat Sumatra (diolah dari dataKAL. BARUNA JAYA I, 1990. BPPT)

    Kep Mentawai

    Kep Mentawai

    Samudra Hindia

    Samudra Hindia

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    15/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 73

    Tabel 3.1. Contoh tabulasi data suhu dan kedalaman in-situ hasil pengukuran CTD KAL.

    BARUNA JAYA I, Barat Sumatra Samudra Hindia. 1990. BPPT

    Gambar 3.14. Grafik vertikal suhu dan kedalaman di samudra Hindia (Barat Sumatra).Diolah dari data BARUNA JAYA I. BPPT. 1990

    -1200

    -1000

    -800

    -600

    -400

    -200

    0

    0 5 10 15 20 25 30

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    16/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 74

    Gambar 3.15. Profil vertikal suhu dan salinitas dari permukaan sampai kedalaman 1000mdi samudra Hindia (Barat Sumatra). Diolah dari data BARUNA JAYA I. BPPT.1990

    Berdasarkan plot vertikal suhu dan salinitas dari permukaan laut sampai kedalaman

    1000m (Gambar 3.15) dan dari permukaan sampai kedalaman 500m (Gambar 3.16) di

    samudra Hindia Barat Sumatra dapat diketahui bahwa kedalaman lapisan termoklin

    terdapat pada kedalaman sekitar 200m (Gambar 3.15) dan sekitar kedalaman 75m pada

    lokasi lainnya (Gambar 3.16).

    050

    100150200250300350400450500550600650700750800850900950

    10001050

    0 5 10 15 20 25 30

    temperature (C)

    depth(m)

    0

    200

    400

    600

    800

    1000

    1200

    34,2 34,4 34,6 34,8 35 35,2

    salinity

    depth

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    17/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 75

    Gambar 3.16. Profil vertikal suhu dan salinitas dari permukaan laut sampai kedalaman500m di samudra Hindia (Barat Sumatra). Diolah dari data BARUNA JAYAI. BPPT. 1990.

    PROFIL VERTIKAL TEMPERATUR

    dan KEDALAMAN. Barat

    Sum atra.Samudra Hindia

    0

    50

    100

    150

    200

    250

    300

    350

    400

    450

    500

    0 5 10 15 20 25 30 35

    TEMPERATUR (CELCIUS)

    DEPTH(M)

    ST 5

    ST 6

    ST 7

    ST 8

    PROFIL VERTIKAL SALINITAS dan

    KEDALAMAN.

    Barat Sum atra.Samudra Hindia

    0

    50

    100

    150

    200

    250

    300

    350

    400

    450

    500

    34 34,5 35 35,5

    SALINITAS (PSU)

    DEPTH(M)

    ST 5

    ST 6

    ST 7

    ST 8

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    18/40

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    19/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 77

    Gambar 3.17. Posisi dan contoh TRITON Buoy di sepanjang ekuator samudra PasificSumber : JAMSTEC, Japan

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    20/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 78

    Gambar 3.18. Skema Rangkaian Sensor Suhu Triton BuoySumber : JAMSTEC, Japan

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    21/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 79

    Analisis plot horizontal dan vertical data suhu air laut in-stu utara Papua dan

    Pasifik (West End Pacific) dari pengukuran CTD tahun1997 dan 2007 pada event El Nino

    La Nina tahun 2002 (Data TRITON Buoy ) seperti pada Gambar 3.19 dan 3.20.

    Gambar 3.19. Grafik suhu permukaan laut (SPL) harian utara Papua musim Timurantahun 2002 dan 2007. Diolah dari data TRITON Buoy, Jamstec.

    Daily SST East Monsoon : July - Nov 2002

    y = 0.0112x + 28.369

    R2 = 0.0733

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    35

    1 8 15 22 29 36 43 50 57 64 71 78 85 92 9 9 1 06 113 120 127 134 1 41 148 155 16 2 169 17 6 183 1 90

    Daily SST

    oC

    Daily SST East Monsoon: July - Sept 2007

    y = 0.0502x + 27.624

    R2 = 0.0807

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    35

    1 4 7 10 13 16 19 2 2 25 2 8 31 34 37 4 0 43 4 6 49 5 2 55 58 6 1 64 67 7 0 73

    Daily SST

    oC

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    22/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 80

    Gambar 3.20. Grafik gabungan suhu permukaan laut (SPL) harian utara Papua musimTimuran tahun 2002 dan 2007. Diolah dari data TRITON Buoy, Jamstec

    Daily SST 2002 and 2007 Triton Data

    26

    27

    28

    29

    30

    31

    32

    1 13 25 37 49 61 73 85 97 109 121 133 145 157 169 181

    Daily SST

    oC

    TRITON (oC)2002

    TRITON (oC)2007

    Daily SST 2002 and 2007

    26

    27

    28

    29

    30

    31

    32

    1 5 9 13 1 7 21 2 5 29 3 3 37 41 45 49 53 5 7 61 6 5 69

    Daily SST

    oC

    TRITON (oC)2002

    TRITON (oC)2007

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    23/40

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    24/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 82

    Komponen dari ARGO Float :

    Antena satelit

    Sensor CTD

    Transmiter Satelit (menggunakansatelit GTS untuk transmisi datadari float ke stasiun bumi)

    Pompa udara

    Pompa Hidrolik

    Oli Hidrolik

    Kantong Pneumatik

    Baterai Lithium

    Gambar 3.21. Komponen dari ARGO Float

    Gambar 3.21 seperti di atas menunjukkan komponen dari sebuah ARGO Float

    yang terdiri dari antena satelit, sensor CTD, transmiter satelit, pompa udara, pompa

    hidrolik, oli hidrolik, kantong pneumatik, baterai lithium. Saat ini, ada tiga model ARGO

    Float yang secara ekstensif digunakan, serupa tetapi diantara ketiganya sedikit banyak

    terdapat perbedaan pada karakteristik desainnya. Ketiga model pelampung yang

    digunakan adalah PROVOR yang dibangun oleh MARTEC di Perancis kerjasama erat

    dengan IFREMER, pelampung APEX yang diprouksi oleh Webb Research Corporation, AS

    dan pelampung SOLO yang dirancang dan dibangun oleh Scripps Institution of

    Oceanography, Amerika Serikat. Dua sensor temperatur/salinitas yang digunakan ialah

    SBE dan FSI. Pelampung menggunakan tenaga baterai yang telah dipertimbangkan masa

    habisnya (http://www.argo.ucsd.edu).

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    25/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 83

    Gambar 3.22. Siklus dari ARGO Float

    Siklus ARGO float berlangsung seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.22 di atas.

    ARGO Float dijatuhkan dari atas kapal atau pesawat terbang kemudian secara perlahan

    akan turun hingga kedalaman 2000 meter (parking depth) dengan waktu 6 jam pada

    kecepatan 10 cm/s. Selanjutnya, ARGO Float akan mengapung selama 9 hari mengikuti

    arus bawah laut. Setelah proses itu, oli dipompakan dari reservoir internal untuk

    memompa eksternal bladder atau kantong pneumatik, sehingga pelampung akan naik

    (http://www.argo.ucsd.edu).

    Sewaktu ARGO Float naik ke permukaan, maka pada saat itu juga alat tersebut merekam

    profil temperatur dan salinitas sampai ke permukaan. Kemudian data profil tersebut

    dipancarkan ke satelit ketika ARGO Float menjangkau permukaan. Transmisi data ARGO

    Float menghabiskan antara 6 12 jam di permukaan untuk menjamin kesalahan

    penempatan dan p enerimaan data dalam semua kondisi cuaca. Posisi akurat sampai ~100 m yang tergantung pada banyaknya satelit di dalam cakupan dan distribusi geometri

    mereka. Setelah transmisi data selesai dikirim ke stasiun bumi, oli dipompakan kembali

    ke reservoir internal, blader kemudian mengosong dan pelampung kembali ke kepadatan

    aslinya dan tenggelam untuk mengapung dan melakukan siklus yang sama seterusnya.

    ARGO Float dirancang untuk melakukan sekitar 150 siklus seperti itu

    (http://www.argo.ucsd.edu). Contoh pembanding SPL data satelit MODIS seperti pada

    Gambar 3.23 dan 3.24.

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    26/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 84

    Gambar 3.23. SPL Indonesia Bulan Februari dan Juli dan Wind Stress VectorSumber : J. Sprintall and W.T. Liu, 2005

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    27/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 85

    Gambar 3.24. SPL Indonesia Data Aqua-MODISSumber : Gordon, 2005

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    28/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 86

    Variasi kondisi perairan di wilayah pesisir merupakan hasil interaksi dari perbagai

    proses yang terjadi di pesisir. Salah satunya adalah interaksi laut udara. Interaksi laut

    - udara yang sering disebut hidrosfer terdiri dari pertukaran energi (bahang) dan

    pertukaran air tawar (Ilahude, 1999). Selain itu juga terjadi pertukaran momentum

    antara atmosfer dan permukaan laut. Pertukaran energi dapat mempengaruhi variasi

    suhu permukaan laut (SPL) atau lazim dikenal Sea Surface Temperature (SST).

    sementara pertukaranan air tawar dapat mempengaruhi salinitas, sedangkan pertukaran

    momentum yang disebabkan angin dapat mempengaruhi transport massa air (Schlesinger

    , 1988). Pada skema pada Gambar 3.25 di bawah menggambar hubungan timbak balik

    antar proses yang terjadi di atmosfer dan pengaruhnya pada proses yang terjadi di laut

    atau sebaliknya. Perubahan gerak atmosfer (angin) dekan permukaan laut akan

    menimbulkan gerak (sirkulasi) di laut. Selanjut sirkulasi masa air laut akan

    mengakibatkan perubahan suhu permukaan laut.

    Gambar 3.25. Interaksi Timbak balik antara Laut - Udara(Kawasaki dan Teramoto, 1981 dalam Widada Sulistya, 2009).

    L A U T

    ATMOSFIR

    PERUBAHANKONDISI ATMOSFIR

    (ATMOSPHERIC CONDITIONS)

    PERUBAHANGERAK ATMOSFIR

    (ATMOSPHERIC MOTIONS}

    PERUBAHANFLUX BAHANG

    (HEAT FLUX)

    PERUBAHANTEGANGAN ANGIN

    (WIND STRESS)

    PERUBAHAN

    SUHU PERMUKAAN LAUT(SEA SURFACE TEMPERATURE)

    PERUBAHAN

    SIRKULASI LAUT(OCEANIC SIRCULATION)

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    29/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 87

    Kondisi fisis laut yang ditunjukkan oleh variasi suhu permukaan laut (SPL) akan

    menghasilkan perubahan pasokkan energi ke atmosfer (Heat Flux) dan pengaruh suhu

    udara di atas permukaan laut seperti pada Gambar 3.26 dan 3.27. Selanjutnya pasokan

    energi tersebut akan menyebabkan perubahan pada kondisi atmosfer. Perubahan kondisi

    atmosfer dapat menghasilkan sirkulasi atmosfer (angin). Siklus tersebut akan terus

    berlangsung, saling mempengaruhi antar gerak atmosfer (angin) dengan suhu

    permukaan laut (SPL) (Kawasaki dan Teramoto, 1981). Temperatur laut merupakan hasil

    proses fisis akibat perubahan arah dan kecepatan angin yang mempengaruhi perubahan

    arus laut. Perubahan arus laut dapat mengakibatkan adukan, sehingga masa air dalam

    yang kaya nutrien akan terangkat. Proses ini dapat menghasilkan kelimpahan plankton

    yang merupakan makanan ikan. Beberapa jenis ikan mempunyai toleransi suhu tertentu

    bagi metabolisme dan kelimpahan makanan.

    3.5. Iklim di Jawa Tengah

    Fluktuasi atau variabilitas cuaca dan iklim di kawasan tropis, termasuk Indonesia,

    dapat direpresentasikan oleh variabilitas curah hujan (Kurniaty, 2003), Hal ini dapat

    difahami karena di kawasan tropis seperti Indonesia parameter iklim yang lain (selain

    curah hujan dan angin) relative tetap sepanjang tahun. Pada wilayah yang terpengaruh

    aktivitas monsun seperti Indonesia akan memiliki pola distribusi curah hujan yang dapat

    menggambaran dengan jelas beda musim hujan dan kemarau (Istiyanto , 2003). Hal ininampak dari pola curah hujan di Jawa Tengah yang terletak dikawasan selatan

    katulistiwa, umumnya mengalami dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau

    (Sudaryatno , 2003).

    Sementara menurut Sulistya (2003), berdasarkan hasil pengolahan data curah

    hujan stasiun terpilih di Jawa Tengah selama 30 tahun (1971 - 2000) dengan metode PCA

    (Principal Component Analysis) diperoleh hasil yang menunjukkan perbedaan yang cukup

    signifikan antara pola hujan di wilayah pesisir utara Jawa Tengah dibanding dengah

    wilayah lain, utamanya wilayah Jawa Tengah bagian tengah. Wilayah pesisir utara Jawa

    Tengah umumnya mempunyai musim kemarau lebih panjang dibanding musim hujan.

    Awal musim hujan di wilayah pesisir utara Jawa Tengah umumnya terjadi pada bulan

    Nopember, sementara musim kemarau umumnya mulai pada bulan April (Sudaryatno,

    2003). Pertukaran air tawar merupakan hasil interaksi antara penguapan dan curah

    hujan. Jika penguapan lebih tinggi dari curah hujan disuatu tempat maka salinitas di

    tempat tersebut akan naik, sedang jika curah hujan lebih tinggi dari penguapan maka

    salinitas akan turun (Ilahude, 1999). Salah satu cara pertukaran air tawar selain

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    30/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 88

    lansung dari atmosfer juga dapat melalui sungai yang bermuara ke laut. Potensi pasokan

    air tawar ke laut erat hubungannya dengan besarnya curah hujan di kawasan pantai.

    Sulistya et.al (2008) telah memetakan zonasi potensi curah hujan di sepanjang pantai

    utara Jawa Tengah. Zonasi potensi curah hujan di kawasan pantai utara Jawa Tengah

    tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran potensi air tawar yang ada di

    sepanjang pantai utara Jawa Tengah.

    3.6. Suhu di kabupaten Karimun, Batam, dan Riau

    Rerata suhu udara di Kabupaten Karimun pada tahun 2002 (Gambar 3.26)

    berkisar antara 27 C sampai dengan 28.5 C, masing - masing terjadi pada bulan

    September dan Maret 2002. Pada bulan - bulan musim panas yaitu antara bulan Junisampai dengan September suhu udara lebih rendah dibandingkan pada musim - musim

    basah Nopember sampai dengan Desember 2002. Pada bulan Maret sampai dengan May

    2002 dan Oktober sampai dengan Desember 2002 menunjukkan bulan - bulan yang lebih

    panas dibandingkan dengan bulan lainnya.

    Gambar 3.26. Rerata Suhu Udara yang Terjadi di Kabupaten Karimun padaTahun 2002. (Sumber: BPS, 2002).

    25,50

    26,00

    26,50

    27,00

    27,50

    Jan

    M

    ar

    M

    ay

    Jul

    S

    ep

    N

    op

    Suhu Udara (C)

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    31/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 89

    Gambar 3.27. Rerata Suhu Udara yang Terjadi di Kota Batam pada Tahun 2002(Sumber: BPS, 2002)

    Rerata suhu udara di Kota Batam pada tahun 2002 berkisar antara 26.3 C sampai

    dengan 27.3 C (Gambar 3.27), masing - masing terjadi pada bulan Januari dan Mei

    2002. Pada bulan - bulan musim panas yaitu antara bulan Juni sampai dengan

    September suhu udara lebih tinggi dibandingkan p ada musim - musim basah Nopember

    sampai dengan Desember 2002. Rerata suhu udara di Kabupaten Kepulauan Riau pada

    tahun 2000 berkisar antara 25.5 C sampai dengan 26.5 C, masing - masing terjadi

    pada bulan Januari, Desember dan Juni 2000 (Gambar 3.28). Pada bulan - bulan musim

    panas yaitu antara bulan Juni sampai dengan September suhu udara berkisar antara 25.9

    - 26,5 C. Pada bulan-bulan basah menunjukkan kejadian suhu rendah, yaitu di bawah

    25.5 C.

    Gambar 3.28. Rerata Suhu Udara yang Terjadi di Kabupaten Kepulauan Riaupada Tahun 2000. (Sumber: Anonymous, 2001)

    26,00

    26,50

    27,00

    27,50

    28,00

    28,50

    Jan Mar May Jul Sep Nop

    SuhuUdara (C)

    25,00

    25,50

    26,00

    26,50

    Jan

    Mar

    May

    Jul

    Sep

    Nop

    Suhu Udara (C)

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    32/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 90

    3.7. Salinitas/ Kadar Garam.

    Definisi Salinitas :

    Adalah jumlah garam yang terdapat dalam 1 liter atau 1 kg air laut.

    Asal-usul salinitas/ kadar garam di laut adalah akibat terkumpulnya atau terakumulasinya

    masukan limpasan semua jenis mineral dari daratan yang terbawa aliran masa air sungai

    ke laut. Pengetahuan mengenai salintas air laut diantaranya adalah untuk mengetahui

    derajad keasinan atau kadar garam yang terkandung pada setiap lokasi di laut. Hal ini

    dapat mengetahui arah aliran masa air laut, proses percampuran masa air laut dan air

    tawar, interaksi antara kadar garam dan suhu air laut menjadi d ensitas air laut. Serta

    pengaruh kadar garam/ salinitas terhadap siklus kehidupan organisme di laut, sejak fase

    telur, larva, anakan/ juvenil, dewasa, migrasi, memijah, dan seterusnya. Salah satu

    manuskrip tertua yang tercatat hingga kini yang memberikan gambaran fenomena

    percampuran masa air di lautan adalah dalam kitab suci Al Quran sejak abad ke 6, yaitu

    dalam surat Surat Al Rahman (55) ayat 19 dan 20 sebagai berikut :

    ))1919. Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu,

    ))2020. antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing

    Di perairan laut di Indonesia, fenomena ini salah satunya dapat dijumpai di estuari S

    Ketaping dan estuari batang Gasan Sumatra Barat, dimana masa air tawar dari muara

    sungai dan air laut pantai Samudra Hindia (Barat Sumatra) tidak terjadi percampuran.

    Yaitu dibuktikan dengan pengukuran kadar garam/ salinitas adalah 0 (nul) permil di

    muara sungai dan 30 permil pada pantai di sebelahnya. Kondisi ini ditinjau dari aspek

    ekosistem bahwa pada masa air laut dengan salinitas berbeda dan berdampingan ini akan

    mempunyai dua kelompok organisme yang sangat berbeda. Dimana organisme dalam

    masa air tawar akan sangat berbeda dengan organisme pada masa air laut dengan

    salinitas 30 permil. Sebagai contoh organisme berbeda tersebut adalah plankton, jenis

    ikan dan jenis hewan endemik Crustacea di muara S. Ketaping.

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    33/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 91

    Gambar 3.29. Laguna dan habitat Crustacea endemic di Sungai Kataping, pertemuan airtawar dan air laut secara frontal

    Dalam konteks fenomena ekosistem laut banyak hal penting yang harus diketahui

    peran salinitas yaitu mulai sejak fase kehidupan telur ikan di laut yang biasanya

    dilindungi dalam suatu kantong placenta dan akan terjadi suatu proses interaksi dengan

    kadar garam disekitarnya, yang dikenal dengan fenomena osmosis atau perbedaan

    densitas masa air lautnya. Biasanya telur ikan diletakkan induknya pada perairan dengan

    garam yang sesuai sehingga dapat menetas bila mempunyai tekanan osmosis yang

    sesuai. Terutama telur Copepoda, ikan terbang (Cypsilurus.sp), telur cumi (Loligo.sp),

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    34/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 92

    telur gurita (Octopus) seperti pada Gambar 3.30 dan 3.31. Dalam hal ini secara umum

    telur telur tersebut terlindung dalam sistem kantung placenta, yang mempunyai tekanan

    osmosis berbeda beda antar jenis organisme laut. Demikian juga kehidupan pada tingkat

    larva, juvenil sampai dewasa biasanya akan mencari tingkat kadara garam yang sesuai,

    contohnya adalah ikan sidat (Anguila.sp) yang dalam siklus hidupnya bermigrasi dari air

    tawar di muara sungai hingga laut dalam samudra dengan kadar garam yang tinggi.

    Gambar 3.30. Pengaruh Suhu dan Salinitas pada migrasi ikan sidat (Anguila.sp) di LautDalam, pola makan ikan terbang (Cypsilurus.sp) di permukaan laut danperkembangan reproduksi plankton

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    35/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 93

    Gambar 3.31. Telur cumi (Loligo.sp, kiri) dan telur sotong (Sephia.sp, kanan)

    3.8. Salinitas dan Jenis Plankton.

    Spirulina sp adalah salah contoh fitoplankton yang khas pada kondisi salinitas rendah dan

    juga jenis Microcystis.sp. Namun jenis Microcystis.sp ini mampu beradaptasi dari salinitas

    0 sampai salinitas 200 seperti telah diteliti dalam ekosistem tambak garam di

    Rembang dan Lasem. Contoh lain adalahArtemia salina yaitu jenis plankton yang dapat

    bertahan hidup sampai kadar garam/ salinitas tinggi yaitu sekitar 150 dan akan

    membentuk cangkang silica sebagai bentuk pelindung luar atau cyst sehingga dapat

    bertahan hidup secara dormant pada kadar garam 200 seperti pada Gambar 3.32

    dan 3.33. Akibat terjadinya proses sedimentasi dan erosi maka dapat menimbulkan juga

    fenomena intrusi air laut terutama di perairan pantai dangkal seperti di Kab Demak. Yaitu

    terjadinya fenomena pembentukan ekosistem payau baru dari ekosistem tawar (salinitas

    0 ) persawahan menjadi ekosistem pertambakan (salinitas 5 10 ) seperti terjadi

    di pantai Kab Demak seperti pada Gambar 3.34.

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    36/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 94

    Gambar 3.32. Tambak garam di Lasem dan Surabaya

    Gambar 3.33. Aplikasi teknologi budidaya Artemia salina di tambak Lasem. KerjasamaLemlit Undip dan Ristek

    Sedang fenomena lain yang cukup fenomenal adalah fenomena terjadinya

    delta Mahakam Kaltim akibat sangat tingginya sedimen yang dibawa oleh masa air sungai

    Mahakam sehingga menimbulkan daratan/ delta seluas kurang lebih 100.000 Ha (Gambar

    3.35). Pada ekosistem kanal kanal disini yang pernah diukur kadar garam/ salinitasnya

    adalah 2 5 maka disebut sebagai fresh water dominated delta-ecosistem. Maka

    vegetasi yang sangat dominan adalah jenis nipah (Nypa fruticans).

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    37/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 95

    Gambar 3.34. Evolusi Ekosistem Sawah Menjadi Tambak Akibat Intrusi Air Laut

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    38/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 96

    Gambar 3.35. Ekosistem vegetasi nipah (Nypa fruticans) di kanal delta Mahakam

    Analisis lain yang dapat ditelaah lebih jauh untuk mengetahui sebaran salinitas,

    atau densitas masa air, atau sifat suatu lokasi perairan di laut atau terutama pada kasus

    terjadinya proses percampuran masa air secara vertikal karena fenomena 'up-welling',

    yaitu melalui plot data (a). salinitas - kedalaman. dan (b). suhu salinitas seperti pada

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    39/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    A_Hartoko 97

    Gambar 3.36 dan 3.37. Diikuti beberapa uji regresi antar ke dua parameter tersebut,

    untuk mengetahui hubungan empiris yang paling mendekati, yaitu yang mempunyai nilai

    koefisien regresi polinomal/ kurvatrik dengan nilai R2

    terbesar. Selanjutnya uji variabel

    parameter secara vertikal ini akan dibandingkan dengan uji serupa pada variabel

    parameter secara horizontal. Sehingga akan diperoleh gambaran proses percampuran

    masa air secara horizontal dipermukaan dan secara vertikal, terutama di daerah dimana

    terjadi proses percampuran masa air secara aktif akibat adanya 'up-welling'.

    Gambar 3.36. Grafik hubungan (a). salinitas kedalaman (b). suhu - salinitas dan diperairan Utara Irian Jaya.juli 1997.

    Gambar 3.37. Grafik hubungan (a). suhu - salinitas dan (b). salinitas kedalaman diperairan Utara Irian Jaya.juli 1997.

    Kedalaman dan sal :st. 5

    y = -3E-05x2 + 0.0103x + 33.43

    R2 = 0.516833.00

    33.50

    34.00

    34.50

    35.00

    0 100 200 300

    Suhu x sal : st.5

    y = -0.0075x 2 + 0.3001x + 31.419

    R2 = 0.63433.00

    33.50

    34.00

    34.50

    35.00

    0.00 10.00 20.00 30.00

    0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00-300.00

    -250.00

    -200.00

    -150.00

    -100.00

    -50.00

    33.20

    33.30

    33.40

    33.50

    33.60

    33.70

    33.80

    33.90

    34.00

    34.10

    34.20

    34.30

    34.40

    34.50

    34.60

    34.70

    0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00-300.00

    -250.00

    -200.00

    -150.00

    -100.00

    -50.00

    Salinitas( psu )

    St.3 St.4 St.5

    Kedalaman

    (m)

  • 8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4

    40/40

    Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia

    Berdasarkan data lapangan yang diplotkan seperti Gambar 3.37 di atas profil

    salinitas vertikal jelas memperlihatkan adanya masa air dengan salinitas 33,6 dan 33,7

    psu (promil salinity unit) dari kedalaman 80 m di st. 5 (kedalaman laut di St.5 di utara

    Papua adalah 2.635 m) dan bergerak ke permukaan perairan di St.3 laut Seram

    (kedalaman laut Seram 1.629 m) dan adanya kolom masa air dengan salinitas tinggi

    yaitu 34.6 psu pada kedalaman 100 m atau di bawah lapisan termoklin di St.4

    (kedalaman 4.070 m) dan menjadi 'down-welling effect' mengalir kembali ke arah St.5. di

    L. Halmahera dan menuju ke dasar perairan.

    Gambar 3.38. Plot data salinitas permukaan (Psu) Utara Irja, Juli -Agustus 1997

    Plot sebaran salinitas di permukaan laut utara Papua adalah seperti pada Gambar

    3.38, dimana pada St. 4,5,6,7,8 sebagai mana juga terbukti pada analisis suhu

    permukaan dan vertikal, merupakan suatu pusaran masa air yang mengalir memasuki

    perairan L. Seram. Serta pusaran masa air lainnya dengan St.17 sebagai pusatnya.

    Diduga dari pola sebaran suhu dan salinitas permukaan ini juga akan berpengaruh pada

    sebaran permukaan zat hara N, P, serta klorofil-a dan plankton. Untuk ini perlu

    dibandingkan dengan plot data permukaan parameter tersebut pada bahasan berikut.

    Hal ini berdasarkan asumsi dasar bahwa pola pergerakan suhu - salinitas juga merupakan

    indikator pola pergerakan masa air baik secara vertikal maupun horizontal di perairan

    tersebut.

    129.00 130.00 131.00 132.00 133.00 134.00 135.00 136.00 137.00 138.00 139.00 140.00

    -1.00

    0.00

    1.00

    2.00

    3.00

    St. 20

    St. 19

    St. 18

    St. 17St. 21

    St. 16

    St. 15

    St. 14

    St. 13

    St. 12

    St. 11

    St. 10

    St. 9

    St. 8

    St. 7

    St. 6

    St. 5

    St. 4

    St. 3

    IRIAN JAYA

    L. Ser am

    L . B a n d a

    L . A r a f u r a

    U129.00 130.00 131.00 132.00 133.00 134.00 135.00 136.00 137.00 138.00 139.00 140.00

    -1.00

    0.00

    1.00

    2.00

    3.00

    Ke

    34.50

    35.00

    34.50

    35.00