Upload
riska-apriliana
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
1/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 59
BAB III
SUHU DAN SALINITASSuhu merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam pertumbuhan dan
kehidupan organisme. Suhu optimal untuk pertumbuhan organisme di tambak yaitu
berkisar antara 27 29 oC (Cholik, 1988). Organisme akan hidup baik pada kisaran suhu
optimal. Suhu air berpengaruh langsung pada metabolisme kultivan dan secara tidak
langsung berpengaruh pada kelarutan oksigen.
3.1. Variabilitas SPL di Laut Jawa
Untuk melalukan analisis spasial dan temporal data Suhu Permukaan Laut (SPL),maka didahului dengan menghitung rerata SPL bulanan dari masing masing titik grid.
Secara matematis rerata SPL bulanan dapat ditulis sebagi berikut (diadopsi dari DKP,
2004) :
n
T ij
Ti = __j=1__
n
Dimana Ti = data suhu pada bulan ke i
j = indeks data tahun ke j
n = jumlah tahun yang digunakan (1971 2000)
Setelah diperoleh hasil rerata bulanan SPL pada masing masing titik, selanjutnya
dilakukan analisis spasial dengan SIG. Hasil analisis tahapan ini adalah peta rerata SPL
bulanan di atas Laut Jawa. Dengan cara yang sama dapat dilakukan analisis rerata SPL
musim. Berdasarkan analisis pola distribusi spasial SPL dari bulan Januari sampai
Desember, dapat diidentifikasi perubahan SPL dari waktu ke waktu (musim). Lebih dari
itu dapat difahami pola penyebaran massa air Laut Jawa dan interkasi dengan perairan
sekitarnya dari waktu ke waktu (Widodo et.al, 2008).
Salah satu parameter penting yang dapat dipakai sebagai indikator sifat masa air
secara vertikal adalah hubungan antara parameter suhu dan kedalaman. Terutama untuk
mengetahui kedalaman lapisan termoklin, karena kedalaman lapisan termoklin ini bisa
sebagai indikator daya tembus sinar matahari dalam pemanasan lapisan air laut, maupun
sebagai indikator adanya proses percampuran dan distribusi masa air baik secara vertikal
maupun horizontal. Kedalaman lapisan termoklin juga dapat dipakai sebagai panduan
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
2/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 60
dalam usaha penangkapan ikan tuna (Thunnus.sp) karena sangat erat berhubungan,
maupun terhadap biota laut dalam lainnya. Pengukuran parameter lain yang
diperlukan untuk mengetahui karakter masa air adalah : suhu (C), salinitas (psu :
promil salinity unit), kedalaman (m) dilakukan dengan sensor CTD dan direkam langsung
secara vertikal dari permukaan laut hingga kedalaman 300 m dengan interval perekaman
2 m seperti dilakukan pada KAL. BARUNA JAYA IV seperti Gb 3.1. Hasil pengolahan suhu
vertikal perairan laut utara Papua dapat dilihat pada Gb 3.2; 3.3; 3.4 dan 3.5.
3.2. Pengukuran Suhu Air Laut in-situ Dengan Sensor Current-Temperature-
Depth (CTD)
Gambar 3.1. CTD - Vertical Water Profiler - GMI/Aanderaa Dalam PengukuranHorizontal dan Vertical Suhu, Salinitas dan Kedalaman 0 - 300 m,
dan Interval = 2m, Ketelitian = 0,01 C, Alur Pelayaran dan PosisiStasiun Pengukuran di Utara Papua. Ekspedisi KAL.BARUNA JAYA IV
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
3/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 61
Profil Suhu dan Salinitas Vertikal di Laut Dalam
Gambar 3.2. Profil sebaran suhu vertikal penampang lintasan di St. 5,8,11,12(atas) dan St. 5, 8, 11, 15 (bawah) di perairan Utara Irja, Juli-Agustus 1997 (A.Hartoko, Ekspedisi KAL.BARUNA JAYA IV)
0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00
-300.00
-250.00
-200.00
-150.00
-100.00
-50.00
9.00
10.00
11.00
12.00
13.0014.00
15.00
16.00
17.00
18.00
19.00
20.00
21.00
22.00
23.00
24.00
25.00
26.00
27.00
28.00
29.00
0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00
-300.00
-250.00
-200.00
-150.00
-100.00
-50.00
0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00
-300.00
-250.00
-200.00
-150.00
-100.00
-50.00
11.00
12.00
13.00
14.00
15.00
16.00
17.00
18.00
19.00
20.00
21.00
22.0023.00
24.00
25.00
26.00
27.00
28.00
29.00
0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00
-300.00
-250.00
-200.00
-150.00
-100.00
-50.00
Suhu (oC)
Suhu (oC)
St. 12St. 5 St. 8 St. 11
St.15St. 5 St. 8 St. 11
Kedalaman
(m)
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
4/40
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
5/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 63
Berdasarkan analisa data sebaran vertikal suhu perairan Utara Irja di atas dapat
diketahui bahwa umumnya lapisan atas yaitu dari permukaan sampai kedalaman 80 m
adalah lapisan masa air dengan suhu yang sama yaitu 29 C atau merupakan lapisan
homogen. Baik pada stasiun yang terletak pada lintang 2 LU, 1 LU dan pada garis
equator 0. Berdasarkan analisa profil vertikal ini nampak pula bahwa pada stasiun
4,5,6,7,8 lapisan termoklin pada kedalaman antara 60 80 m, sedang stasiun 9 - 20
umumnya lapisan termoklin antara kedalaman 100 120 m seperti diketahui dari plot
suhu dan kedalaman seperti pada Gb 3.2; 3.3 dan 3.4 dan 3.5. Dapat diartikan bahwa
masa air dari perairan Timur Utara Irian Jaya yang lebih tinggi suhunya (mempunyai
densitas rendah) mengalir menuju perairan Halmahera, membentuk dua putaran arus
masa air yang berputar kembali ke arah St.12 di lepas pantai Utara Irja dan yang
mengalir memasuki perairan koridor P. Halmahera dan Papua menuju L. Seram yang
lebih rendah suhunya.
Gambar 3.4. Profil vertikal suhu pada lintasan 1LU (St. 6,9,13,16,18) di per-airan Utara Irja, Juli - Agustus 1997
0 .00 50 .00 1 00 .00 1 50. 00 20 0. 00 25 0. 00 3 00 .00 3 50 .00 4 00 .00 4 50 .00
-300.00
-250.00
-200.00
-150.00
-100.00
-50.00
12.00
13.00
14.00
15.00
16.00
17.00
18.00
19.00
20.00
21.00
22.00
23.00
24.00
25.00
26.00
27.00
28.00
29.00
0. 00 50 .00 1 00 .00 1 50. 00 2 00 .00 2 50. 00 30 0. 00 35 0. 00 4 00 .00 4 50 .00
-300.00
-250.00
-200.00
-150.00
-100.00
-50.00
St. 6 St. 9 St. 13 St. 16 St. 18
Kedalaman
(m)
Suhu(oC)
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
6/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 64
Gambar 3.5. Profil vertikal suhu sepanjang garis Equator 0di perairan UtaraIrja, Juli - Agustus 1997.
Hal penting yang dapat diketahui dari profil vertikal suhu perairan ini adalah
indikasi adanya 'up-welling' dimana masa air dengan suhu 28 C dari st.5 di utara Papua
menuju permukaan laut di st.3 dekat P.Halmahera, juga naik ke arah permukaan di st.12
dan 15 di lepas pantai Utara Irja seperti pada Gb. 3.2 dan Gb 3.6 namun tidak
menunjukkan indikasi tersebut pada Gb. 3.4 dan Gb.3.5. Sebagai akibat adanya proses
percampuran masa air yang signifikan ini maka diduga juga berpengaruh pada proses
percampuran dan sebaran parameter hidro-biologis. Seperti sebaran vertikal zat hara
nitrat dan fosfat dari lapisan kedalaman 80 m ke permukaan laut dan mendorong
tingginya fotosintesis, kandungan klorofil dan biomasa plankton diduga juga akan
terpengaruh.
0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00 450.00 500.00 550.00 600.00
-300.00
-250.00
-200.00
-150.00
-100.00
-50.00
12.00
13.00
14.00
15.00
16.00
17.00
18.00
19.00
20.00
21.00
22.00
23.00
24.00
25.00
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00 450.00 500.00 550.00 600.00
-300.00
-250.00
-200.00
-150.00
-100.00
-50.00
St. 4 St. 7 St. 10 St. 14 St. 17 St. 20
Suhu (oC)
Kedalaman
(m)
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
7/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 65
Gambar 3.6. Profil suhu vertikal di St.3 (L.Seram), St.4 (L. Halmahera) dan St. 5(utara Papua) Juli 1997. (A.Hartoko Ekspedisis BARUNA JAYA IV, BPPT)
Berdasarkan plot data suhu permukaan laut (SPL) seperti Gb. 3.7 nampak
adanya suatu pola aliran masa air bersuhu tinggi dari Pasifik ke arah P. Halmahera dan
adanya penurunan SPL yang signifikan dari perairan ke arah L. Seram. Sebagaimana
juga dibuktikan dengan adanya plot data suhu vertikal pada Gb 3.6 yang membuktikan
adanya 'up-welling'. Disamping terlihat juga adanya pusaran masa air dengan suhu
tinggi (warm core) di teluk Cenderawasih, pada st. 10,13,14 dan 16 dengan suhu antara
29,8 - 30C.
0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00-300.00
-250.00
-200.00
-150.00
-100.00
-50.00
0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00-300.00
-250.00
-200.00
-150.00
-100.00
-50.00
St.3 St.4 St.5
Jarak antar stasiun ( mil )
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
8/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 66
Suhu Permukaan Laut Perairan (SPL) Utara Irian Jaya (Musim Timur/Kemarau).
Gambar 3.7. Plot suhu permukaan laut data pengukuran lapangan di perairanUtara Irja (Juli - Agustus 1997)
Profil suhu vertikal di laut dangkal seperti di laut Natuna, timur Sumatra, selat
Malaka dan utara Jawa dapat dipakai untuk mempelajari adanya kemungkinan proses
percampuran masa air laut, terutama proses horizontal-mixing atau percampuran masa
air secara horizontal. Karena proses percampuran masa air dengan fenomena up-
welling tidak dimungkinkan terjadi di perairan dangkal (kurang dari 100 m). Diantaranya
adalah profil suhu vertikal di laut Natuna seperti pada Gambar. 3.8 berikut. Dimana
adanya bentuk kolom masa air tersebut dapat terdeteksi dengan cara plot profil suhu
vertikal ini. Dengan profil suhu dan atau salinitas vertikal ini telah dapat mendeteksi
adanya fenomena horizontal-mixing di Kep Kangean. Dimana masa air dari L. Jawa,
Selat Makasar dan Laut Banda bertemu di wilayah perairan ini (Gambar 3.9 dan 3.10)
dan dari profil vertikal salinitas dapat diketahui bahwa terdapat adanya masa air laut
dengan salinitas lebih rendah (33 ) dari laut Jawa, masuk menuju laut Banda.
129.00 130.00 131.00 132.00 133.00 134.00 135.00 136.00 137.00 138.00 139.00 140.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
St. 20
St. 19
St. 18
St. 17St. 21
St. 16
St. 15
St. 14
St. 13
St. 12
St. 11
St. 10
St. 9
St. 8
St. 7
St. 6
St. 5
St. 4
St. 3
IRIAN JAYA
L . S e ra m
L . B a n d a
L . A r a f u r a
U129.00 130.00 131.00 132.00 133.00 134.00 135.00 136.00 137.00 138.00 139.00 140.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
9/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 67
Gambar 3.8. Profil suhu vertikal di laut Natuna. Diolah dari data BARUNA JAYA I, Juli1994, BPPT (A.Hartoko)
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
10/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 68
Gambar 3.9. Plot suhu permukaan (atas) dan profil suhu vertical di Kep KangeanAgustus 1997. Sumber : Data in-situ CTD Ekspedisi KAL. BARUNA JAYA IV (A.Hartoko)
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
11/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 69
Gambar 3.10. Profil vertikal salinitas di sekitar Kep. Kangean, Juli 1997
Suatu fenomena adanya strata lapisan masa air dengan interval kedalaman yang relativ
sama yaitu dari kedalaman 300 m sampai ke permukaan perairan, dapat diketahui dari
profil vertikal suhu di Selat Makasar seperti pada Gambar 3. 11. Diduga hal ini berkaitan
dengan fenomena gaya berat masa air akibat gradasi densitas dan masa air yang tenang
secara horizontal dan tidak tedapat adanya gerakan masa air secara vertikal.
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
12/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 70
Gambar 3.11. Profil Suhu vertikal di Selat Makasar, Sulawesi (diolah dari data EkspedisiKAL. BARUNA JAYA I. 1994. BPPT)
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
13/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 71
Gambar 3.12. Profil vertikal suhu di perairan L. Sulu (diolah dari data KAL. BARUNA JAYAI, 1994. BPPT).
Suatu fenomena terindikasi adanya pergerakan masa air dari kedalaman 100m ke arah
permukaan perairan pada posisi antara St.18 dan St.19 di laut Sulu. Namun juga pada
saat yang bersamaan terindikasi adanya fenomena down-welling dimana terjadi
pergerakan masa air dari kedalaman 100m ke arah dasar laut sampai kedalaman 500m,
pada lokasi yang sama di laut Sulu seperti pada Gambar 3.12. Sedang pada Gambar
3.13 nampak dengan jelas berdasarkan profil vertikal suhu perairan, terjadinya
fenomena up-welling dimana masa air laut naik dari kedalaman 8,5m ke permukaan dan
juga dari kedalaman 70m di samudra Hindia naik ke permukaan laut di sekitar kep.
Mentawai (Barat Sumatra).
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
14/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 72
Gambar 3.13. Profil vertikal suhu di Samudra Hindia Barat Sumatra (diolah dari dataKAL. BARUNA JAYA I, 1990. BPPT)
Kep Mentawai
Kep Mentawai
Samudra Hindia
Samudra Hindia
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
15/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 73
Tabel 3.1. Contoh tabulasi data suhu dan kedalaman in-situ hasil pengukuran CTD KAL.
BARUNA JAYA I, Barat Sumatra Samudra Hindia. 1990. BPPT
Gambar 3.14. Grafik vertikal suhu dan kedalaman di samudra Hindia (Barat Sumatra).Diolah dari data BARUNA JAYA I. BPPT. 1990
-1200
-1000
-800
-600
-400
-200
0
0 5 10 15 20 25 30
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
16/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 74
Gambar 3.15. Profil vertikal suhu dan salinitas dari permukaan sampai kedalaman 1000mdi samudra Hindia (Barat Sumatra). Diolah dari data BARUNA JAYA I. BPPT.1990
Berdasarkan plot vertikal suhu dan salinitas dari permukaan laut sampai kedalaman
1000m (Gambar 3.15) dan dari permukaan sampai kedalaman 500m (Gambar 3.16) di
samudra Hindia Barat Sumatra dapat diketahui bahwa kedalaman lapisan termoklin
terdapat pada kedalaman sekitar 200m (Gambar 3.15) dan sekitar kedalaman 75m pada
lokasi lainnya (Gambar 3.16).
050
100150200250300350400450500550600650700750800850900950
10001050
0 5 10 15 20 25 30
temperature (C)
depth(m)
0
200
400
600
800
1000
1200
34,2 34,4 34,6 34,8 35 35,2
salinity
depth
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
17/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 75
Gambar 3.16. Profil vertikal suhu dan salinitas dari permukaan laut sampai kedalaman500m di samudra Hindia (Barat Sumatra). Diolah dari data BARUNA JAYAI. BPPT. 1990.
PROFIL VERTIKAL TEMPERATUR
dan KEDALAMAN. Barat
Sum atra.Samudra Hindia
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
0 5 10 15 20 25 30 35
TEMPERATUR (CELCIUS)
DEPTH(M)
ST 5
ST 6
ST 7
ST 8
PROFIL VERTIKAL SALINITAS dan
KEDALAMAN.
Barat Sum atra.Samudra Hindia
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
34 34,5 35 35,5
SALINITAS (PSU)
DEPTH(M)
ST 5
ST 6
ST 7
ST 8
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
18/40
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
19/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 77
Gambar 3.17. Posisi dan contoh TRITON Buoy di sepanjang ekuator samudra PasificSumber : JAMSTEC, Japan
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
20/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 78
Gambar 3.18. Skema Rangkaian Sensor Suhu Triton BuoySumber : JAMSTEC, Japan
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
21/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 79
Analisis plot horizontal dan vertical data suhu air laut in-stu utara Papua dan
Pasifik (West End Pacific) dari pengukuran CTD tahun1997 dan 2007 pada event El Nino
La Nina tahun 2002 (Data TRITON Buoy ) seperti pada Gambar 3.19 dan 3.20.
Gambar 3.19. Grafik suhu permukaan laut (SPL) harian utara Papua musim Timurantahun 2002 dan 2007. Diolah dari data TRITON Buoy, Jamstec.
Daily SST East Monsoon : July - Nov 2002
y = 0.0112x + 28.369
R2 = 0.0733
0
5
10
15
20
25
30
35
1 8 15 22 29 36 43 50 57 64 71 78 85 92 9 9 1 06 113 120 127 134 1 41 148 155 16 2 169 17 6 183 1 90
Daily SST
oC
Daily SST East Monsoon: July - Sept 2007
y = 0.0502x + 27.624
R2 = 0.0807
0
5
10
15
20
25
30
35
1 4 7 10 13 16 19 2 2 25 2 8 31 34 37 4 0 43 4 6 49 5 2 55 58 6 1 64 67 7 0 73
Daily SST
oC
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
22/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 80
Gambar 3.20. Grafik gabungan suhu permukaan laut (SPL) harian utara Papua musimTimuran tahun 2002 dan 2007. Diolah dari data TRITON Buoy, Jamstec
Daily SST 2002 and 2007 Triton Data
26
27
28
29
30
31
32
1 13 25 37 49 61 73 85 97 109 121 133 145 157 169 181
Daily SST
oC
TRITON (oC)2002
TRITON (oC)2007
Daily SST 2002 and 2007
26
27
28
29
30
31
32
1 5 9 13 1 7 21 2 5 29 3 3 37 41 45 49 53 5 7 61 6 5 69
Daily SST
oC
TRITON (oC)2002
TRITON (oC)2007
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
23/40
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
24/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 82
Komponen dari ARGO Float :
Antena satelit
Sensor CTD
Transmiter Satelit (menggunakansatelit GTS untuk transmisi datadari float ke stasiun bumi)
Pompa udara
Pompa Hidrolik
Oli Hidrolik
Kantong Pneumatik
Baterai Lithium
Gambar 3.21. Komponen dari ARGO Float
Gambar 3.21 seperti di atas menunjukkan komponen dari sebuah ARGO Float
yang terdiri dari antena satelit, sensor CTD, transmiter satelit, pompa udara, pompa
hidrolik, oli hidrolik, kantong pneumatik, baterai lithium. Saat ini, ada tiga model ARGO
Float yang secara ekstensif digunakan, serupa tetapi diantara ketiganya sedikit banyak
terdapat perbedaan pada karakteristik desainnya. Ketiga model pelampung yang
digunakan adalah PROVOR yang dibangun oleh MARTEC di Perancis kerjasama erat
dengan IFREMER, pelampung APEX yang diprouksi oleh Webb Research Corporation, AS
dan pelampung SOLO yang dirancang dan dibangun oleh Scripps Institution of
Oceanography, Amerika Serikat. Dua sensor temperatur/salinitas yang digunakan ialah
SBE dan FSI. Pelampung menggunakan tenaga baterai yang telah dipertimbangkan masa
habisnya (http://www.argo.ucsd.edu).
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
25/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 83
Gambar 3.22. Siklus dari ARGO Float
Siklus ARGO float berlangsung seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.22 di atas.
ARGO Float dijatuhkan dari atas kapal atau pesawat terbang kemudian secara perlahan
akan turun hingga kedalaman 2000 meter (parking depth) dengan waktu 6 jam pada
kecepatan 10 cm/s. Selanjutnya, ARGO Float akan mengapung selama 9 hari mengikuti
arus bawah laut. Setelah proses itu, oli dipompakan dari reservoir internal untuk
memompa eksternal bladder atau kantong pneumatik, sehingga pelampung akan naik
(http://www.argo.ucsd.edu).
Sewaktu ARGO Float naik ke permukaan, maka pada saat itu juga alat tersebut merekam
profil temperatur dan salinitas sampai ke permukaan. Kemudian data profil tersebut
dipancarkan ke satelit ketika ARGO Float menjangkau permukaan. Transmisi data ARGO
Float menghabiskan antara 6 12 jam di permukaan untuk menjamin kesalahan
penempatan dan p enerimaan data dalam semua kondisi cuaca. Posisi akurat sampai ~100 m yang tergantung pada banyaknya satelit di dalam cakupan dan distribusi geometri
mereka. Setelah transmisi data selesai dikirim ke stasiun bumi, oli dipompakan kembali
ke reservoir internal, blader kemudian mengosong dan pelampung kembali ke kepadatan
aslinya dan tenggelam untuk mengapung dan melakukan siklus yang sama seterusnya.
ARGO Float dirancang untuk melakukan sekitar 150 siklus seperti itu
(http://www.argo.ucsd.edu). Contoh pembanding SPL data satelit MODIS seperti pada
Gambar 3.23 dan 3.24.
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
26/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 84
Gambar 3.23. SPL Indonesia Bulan Februari dan Juli dan Wind Stress VectorSumber : J. Sprintall and W.T. Liu, 2005
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
27/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 85
Gambar 3.24. SPL Indonesia Data Aqua-MODISSumber : Gordon, 2005
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
28/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 86
Variasi kondisi perairan di wilayah pesisir merupakan hasil interaksi dari perbagai
proses yang terjadi di pesisir. Salah satunya adalah interaksi laut udara. Interaksi laut
- udara yang sering disebut hidrosfer terdiri dari pertukaran energi (bahang) dan
pertukaran air tawar (Ilahude, 1999). Selain itu juga terjadi pertukaran momentum
antara atmosfer dan permukaan laut. Pertukaran energi dapat mempengaruhi variasi
suhu permukaan laut (SPL) atau lazim dikenal Sea Surface Temperature (SST).
sementara pertukaranan air tawar dapat mempengaruhi salinitas, sedangkan pertukaran
momentum yang disebabkan angin dapat mempengaruhi transport massa air (Schlesinger
, 1988). Pada skema pada Gambar 3.25 di bawah menggambar hubungan timbak balik
antar proses yang terjadi di atmosfer dan pengaruhnya pada proses yang terjadi di laut
atau sebaliknya. Perubahan gerak atmosfer (angin) dekan permukaan laut akan
menimbulkan gerak (sirkulasi) di laut. Selanjut sirkulasi masa air laut akan
mengakibatkan perubahan suhu permukaan laut.
Gambar 3.25. Interaksi Timbak balik antara Laut - Udara(Kawasaki dan Teramoto, 1981 dalam Widada Sulistya, 2009).
L A U T
ATMOSFIR
PERUBAHANKONDISI ATMOSFIR
(ATMOSPHERIC CONDITIONS)
PERUBAHANGERAK ATMOSFIR
(ATMOSPHERIC MOTIONS}
PERUBAHANFLUX BAHANG
(HEAT FLUX)
PERUBAHANTEGANGAN ANGIN
(WIND STRESS)
PERUBAHAN
SUHU PERMUKAAN LAUT(SEA SURFACE TEMPERATURE)
PERUBAHAN
SIRKULASI LAUT(OCEANIC SIRCULATION)
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
29/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 87
Kondisi fisis laut yang ditunjukkan oleh variasi suhu permukaan laut (SPL) akan
menghasilkan perubahan pasokkan energi ke atmosfer (Heat Flux) dan pengaruh suhu
udara di atas permukaan laut seperti pada Gambar 3.26 dan 3.27. Selanjutnya pasokan
energi tersebut akan menyebabkan perubahan pada kondisi atmosfer. Perubahan kondisi
atmosfer dapat menghasilkan sirkulasi atmosfer (angin). Siklus tersebut akan terus
berlangsung, saling mempengaruhi antar gerak atmosfer (angin) dengan suhu
permukaan laut (SPL) (Kawasaki dan Teramoto, 1981). Temperatur laut merupakan hasil
proses fisis akibat perubahan arah dan kecepatan angin yang mempengaruhi perubahan
arus laut. Perubahan arus laut dapat mengakibatkan adukan, sehingga masa air dalam
yang kaya nutrien akan terangkat. Proses ini dapat menghasilkan kelimpahan plankton
yang merupakan makanan ikan. Beberapa jenis ikan mempunyai toleransi suhu tertentu
bagi metabolisme dan kelimpahan makanan.
3.5. Iklim di Jawa Tengah
Fluktuasi atau variabilitas cuaca dan iklim di kawasan tropis, termasuk Indonesia,
dapat direpresentasikan oleh variabilitas curah hujan (Kurniaty, 2003), Hal ini dapat
difahami karena di kawasan tropis seperti Indonesia parameter iklim yang lain (selain
curah hujan dan angin) relative tetap sepanjang tahun. Pada wilayah yang terpengaruh
aktivitas monsun seperti Indonesia akan memiliki pola distribusi curah hujan yang dapat
menggambaran dengan jelas beda musim hujan dan kemarau (Istiyanto , 2003). Hal ininampak dari pola curah hujan di Jawa Tengah yang terletak dikawasan selatan
katulistiwa, umumnya mengalami dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau
(Sudaryatno , 2003).
Sementara menurut Sulistya (2003), berdasarkan hasil pengolahan data curah
hujan stasiun terpilih di Jawa Tengah selama 30 tahun (1971 - 2000) dengan metode PCA
(Principal Component Analysis) diperoleh hasil yang menunjukkan perbedaan yang cukup
signifikan antara pola hujan di wilayah pesisir utara Jawa Tengah dibanding dengah
wilayah lain, utamanya wilayah Jawa Tengah bagian tengah. Wilayah pesisir utara Jawa
Tengah umumnya mempunyai musim kemarau lebih panjang dibanding musim hujan.
Awal musim hujan di wilayah pesisir utara Jawa Tengah umumnya terjadi pada bulan
Nopember, sementara musim kemarau umumnya mulai pada bulan April (Sudaryatno,
2003). Pertukaran air tawar merupakan hasil interaksi antara penguapan dan curah
hujan. Jika penguapan lebih tinggi dari curah hujan disuatu tempat maka salinitas di
tempat tersebut akan naik, sedang jika curah hujan lebih tinggi dari penguapan maka
salinitas akan turun (Ilahude, 1999). Salah satu cara pertukaran air tawar selain
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
30/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 88
lansung dari atmosfer juga dapat melalui sungai yang bermuara ke laut. Potensi pasokan
air tawar ke laut erat hubungannya dengan besarnya curah hujan di kawasan pantai.
Sulistya et.al (2008) telah memetakan zonasi potensi curah hujan di sepanjang pantai
utara Jawa Tengah. Zonasi potensi curah hujan di kawasan pantai utara Jawa Tengah
tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran potensi air tawar yang ada di
sepanjang pantai utara Jawa Tengah.
3.6. Suhu di kabupaten Karimun, Batam, dan Riau
Rerata suhu udara di Kabupaten Karimun pada tahun 2002 (Gambar 3.26)
berkisar antara 27 C sampai dengan 28.5 C, masing - masing terjadi pada bulan
September dan Maret 2002. Pada bulan - bulan musim panas yaitu antara bulan Junisampai dengan September suhu udara lebih rendah dibandingkan pada musim - musim
basah Nopember sampai dengan Desember 2002. Pada bulan Maret sampai dengan May
2002 dan Oktober sampai dengan Desember 2002 menunjukkan bulan - bulan yang lebih
panas dibandingkan dengan bulan lainnya.
Gambar 3.26. Rerata Suhu Udara yang Terjadi di Kabupaten Karimun padaTahun 2002. (Sumber: BPS, 2002).
25,50
26,00
26,50
27,00
27,50
Jan
M
ar
M
ay
Jul
S
ep
N
op
Suhu Udara (C)
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
31/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 89
Gambar 3.27. Rerata Suhu Udara yang Terjadi di Kota Batam pada Tahun 2002(Sumber: BPS, 2002)
Rerata suhu udara di Kota Batam pada tahun 2002 berkisar antara 26.3 C sampai
dengan 27.3 C (Gambar 3.27), masing - masing terjadi pada bulan Januari dan Mei
2002. Pada bulan - bulan musim panas yaitu antara bulan Juni sampai dengan
September suhu udara lebih tinggi dibandingkan p ada musim - musim basah Nopember
sampai dengan Desember 2002. Rerata suhu udara di Kabupaten Kepulauan Riau pada
tahun 2000 berkisar antara 25.5 C sampai dengan 26.5 C, masing - masing terjadi
pada bulan Januari, Desember dan Juni 2000 (Gambar 3.28). Pada bulan - bulan musim
panas yaitu antara bulan Juni sampai dengan September suhu udara berkisar antara 25.9
- 26,5 C. Pada bulan-bulan basah menunjukkan kejadian suhu rendah, yaitu di bawah
25.5 C.
Gambar 3.28. Rerata Suhu Udara yang Terjadi di Kabupaten Kepulauan Riaupada Tahun 2000. (Sumber: Anonymous, 2001)
26,00
26,50
27,00
27,50
28,00
28,50
Jan Mar May Jul Sep Nop
SuhuUdara (C)
25,00
25,50
26,00
26,50
Jan
Mar
May
Jul
Sep
Nop
Suhu Udara (C)
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
32/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 90
3.7. Salinitas/ Kadar Garam.
Definisi Salinitas :
Adalah jumlah garam yang terdapat dalam 1 liter atau 1 kg air laut.
Asal-usul salinitas/ kadar garam di laut adalah akibat terkumpulnya atau terakumulasinya
masukan limpasan semua jenis mineral dari daratan yang terbawa aliran masa air sungai
ke laut. Pengetahuan mengenai salintas air laut diantaranya adalah untuk mengetahui
derajad keasinan atau kadar garam yang terkandung pada setiap lokasi di laut. Hal ini
dapat mengetahui arah aliran masa air laut, proses percampuran masa air laut dan air
tawar, interaksi antara kadar garam dan suhu air laut menjadi d ensitas air laut. Serta
pengaruh kadar garam/ salinitas terhadap siklus kehidupan organisme di laut, sejak fase
telur, larva, anakan/ juvenil, dewasa, migrasi, memijah, dan seterusnya. Salah satu
manuskrip tertua yang tercatat hingga kini yang memberikan gambaran fenomena
percampuran masa air di lautan adalah dalam kitab suci Al Quran sejak abad ke 6, yaitu
dalam surat Surat Al Rahman (55) ayat 19 dan 20 sebagai berikut :
))1919. Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu,
))2020. antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing
Di perairan laut di Indonesia, fenomena ini salah satunya dapat dijumpai di estuari S
Ketaping dan estuari batang Gasan Sumatra Barat, dimana masa air tawar dari muara
sungai dan air laut pantai Samudra Hindia (Barat Sumatra) tidak terjadi percampuran.
Yaitu dibuktikan dengan pengukuran kadar garam/ salinitas adalah 0 (nul) permil di
muara sungai dan 30 permil pada pantai di sebelahnya. Kondisi ini ditinjau dari aspek
ekosistem bahwa pada masa air laut dengan salinitas berbeda dan berdampingan ini akan
mempunyai dua kelompok organisme yang sangat berbeda. Dimana organisme dalam
masa air tawar akan sangat berbeda dengan organisme pada masa air laut dengan
salinitas 30 permil. Sebagai contoh organisme berbeda tersebut adalah plankton, jenis
ikan dan jenis hewan endemik Crustacea di muara S. Ketaping.
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
33/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 91
Gambar 3.29. Laguna dan habitat Crustacea endemic di Sungai Kataping, pertemuan airtawar dan air laut secara frontal
Dalam konteks fenomena ekosistem laut banyak hal penting yang harus diketahui
peran salinitas yaitu mulai sejak fase kehidupan telur ikan di laut yang biasanya
dilindungi dalam suatu kantong placenta dan akan terjadi suatu proses interaksi dengan
kadar garam disekitarnya, yang dikenal dengan fenomena osmosis atau perbedaan
densitas masa air lautnya. Biasanya telur ikan diletakkan induknya pada perairan dengan
garam yang sesuai sehingga dapat menetas bila mempunyai tekanan osmosis yang
sesuai. Terutama telur Copepoda, ikan terbang (Cypsilurus.sp), telur cumi (Loligo.sp),
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
34/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 92
telur gurita (Octopus) seperti pada Gambar 3.30 dan 3.31. Dalam hal ini secara umum
telur telur tersebut terlindung dalam sistem kantung placenta, yang mempunyai tekanan
osmosis berbeda beda antar jenis organisme laut. Demikian juga kehidupan pada tingkat
larva, juvenil sampai dewasa biasanya akan mencari tingkat kadara garam yang sesuai,
contohnya adalah ikan sidat (Anguila.sp) yang dalam siklus hidupnya bermigrasi dari air
tawar di muara sungai hingga laut dalam samudra dengan kadar garam yang tinggi.
Gambar 3.30. Pengaruh Suhu dan Salinitas pada migrasi ikan sidat (Anguila.sp) di LautDalam, pola makan ikan terbang (Cypsilurus.sp) di permukaan laut danperkembangan reproduksi plankton
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
35/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 93
Gambar 3.31. Telur cumi (Loligo.sp, kiri) dan telur sotong (Sephia.sp, kanan)
3.8. Salinitas dan Jenis Plankton.
Spirulina sp adalah salah contoh fitoplankton yang khas pada kondisi salinitas rendah dan
juga jenis Microcystis.sp. Namun jenis Microcystis.sp ini mampu beradaptasi dari salinitas
0 sampai salinitas 200 seperti telah diteliti dalam ekosistem tambak garam di
Rembang dan Lasem. Contoh lain adalahArtemia salina yaitu jenis plankton yang dapat
bertahan hidup sampai kadar garam/ salinitas tinggi yaitu sekitar 150 dan akan
membentuk cangkang silica sebagai bentuk pelindung luar atau cyst sehingga dapat
bertahan hidup secara dormant pada kadar garam 200 seperti pada Gambar 3.32
dan 3.33. Akibat terjadinya proses sedimentasi dan erosi maka dapat menimbulkan juga
fenomena intrusi air laut terutama di perairan pantai dangkal seperti di Kab Demak. Yaitu
terjadinya fenomena pembentukan ekosistem payau baru dari ekosistem tawar (salinitas
0 ) persawahan menjadi ekosistem pertambakan (salinitas 5 10 ) seperti terjadi
di pantai Kab Demak seperti pada Gambar 3.34.
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
36/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 94
Gambar 3.32. Tambak garam di Lasem dan Surabaya
Gambar 3.33. Aplikasi teknologi budidaya Artemia salina di tambak Lasem. KerjasamaLemlit Undip dan Ristek
Sedang fenomena lain yang cukup fenomenal adalah fenomena terjadinya
delta Mahakam Kaltim akibat sangat tingginya sedimen yang dibawa oleh masa air sungai
Mahakam sehingga menimbulkan daratan/ delta seluas kurang lebih 100.000 Ha (Gambar
3.35). Pada ekosistem kanal kanal disini yang pernah diukur kadar garam/ salinitasnya
adalah 2 5 maka disebut sebagai fresh water dominated delta-ecosistem. Maka
vegetasi yang sangat dominan adalah jenis nipah (Nypa fruticans).
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
37/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 95
Gambar 3.34. Evolusi Ekosistem Sawah Menjadi Tambak Akibat Intrusi Air Laut
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
38/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 96
Gambar 3.35. Ekosistem vegetasi nipah (Nypa fruticans) di kanal delta Mahakam
Analisis lain yang dapat ditelaah lebih jauh untuk mengetahui sebaran salinitas,
atau densitas masa air, atau sifat suatu lokasi perairan di laut atau terutama pada kasus
terjadinya proses percampuran masa air secara vertikal karena fenomena 'up-welling',
yaitu melalui plot data (a). salinitas - kedalaman. dan (b). suhu salinitas seperti pada
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
39/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
A_Hartoko 97
Gambar 3.36 dan 3.37. Diikuti beberapa uji regresi antar ke dua parameter tersebut,
untuk mengetahui hubungan empiris yang paling mendekati, yaitu yang mempunyai nilai
koefisien regresi polinomal/ kurvatrik dengan nilai R2
terbesar. Selanjutnya uji variabel
parameter secara vertikal ini akan dibandingkan dengan uji serupa pada variabel
parameter secara horizontal. Sehingga akan diperoleh gambaran proses percampuran
masa air secara horizontal dipermukaan dan secara vertikal, terutama di daerah dimana
terjadi proses percampuran masa air secara aktif akibat adanya 'up-welling'.
Gambar 3.36. Grafik hubungan (a). salinitas kedalaman (b). suhu - salinitas dan diperairan Utara Irian Jaya.juli 1997.
Gambar 3.37. Grafik hubungan (a). suhu - salinitas dan (b). salinitas kedalaman diperairan Utara Irian Jaya.juli 1997.
Kedalaman dan sal :st. 5
y = -3E-05x2 + 0.0103x + 33.43
R2 = 0.516833.00
33.50
34.00
34.50
35.00
0 100 200 300
Suhu x sal : st.5
y = -0.0075x 2 + 0.3001x + 31.419
R2 = 0.63433.00
33.50
34.00
34.50
35.00
0.00 10.00 20.00 30.00
0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00-300.00
-250.00
-200.00
-150.00
-100.00
-50.00
33.20
33.30
33.40
33.50
33.60
33.70
33.80
33.90
34.00
34.10
34.20
34.30
34.40
34.50
34.60
34.70
0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00-300.00
-250.00
-200.00
-150.00
-100.00
-50.00
Salinitas( psu )
St.3 St.4 St.5
Kedalaman
(m)
8/14/2019 4_BAB_ 3_Suhu_Salinitas_v4
40/40
Oseanografi dan Sumberdaya Perikanan Kelautan Indonesia
Berdasarkan data lapangan yang diplotkan seperti Gambar 3.37 di atas profil
salinitas vertikal jelas memperlihatkan adanya masa air dengan salinitas 33,6 dan 33,7
psu (promil salinity unit) dari kedalaman 80 m di st. 5 (kedalaman laut di St.5 di utara
Papua adalah 2.635 m) dan bergerak ke permukaan perairan di St.3 laut Seram
(kedalaman laut Seram 1.629 m) dan adanya kolom masa air dengan salinitas tinggi
yaitu 34.6 psu pada kedalaman 100 m atau di bawah lapisan termoklin di St.4
(kedalaman 4.070 m) dan menjadi 'down-welling effect' mengalir kembali ke arah St.5. di
L. Halmahera dan menuju ke dasar perairan.
Gambar 3.38. Plot data salinitas permukaan (Psu) Utara Irja, Juli -Agustus 1997
Plot sebaran salinitas di permukaan laut utara Papua adalah seperti pada Gambar
3.38, dimana pada St. 4,5,6,7,8 sebagai mana juga terbukti pada analisis suhu
permukaan dan vertikal, merupakan suatu pusaran masa air yang mengalir memasuki
perairan L. Seram. Serta pusaran masa air lainnya dengan St.17 sebagai pusatnya.
Diduga dari pola sebaran suhu dan salinitas permukaan ini juga akan berpengaruh pada
sebaran permukaan zat hara N, P, serta klorofil-a dan plankton. Untuk ini perlu
dibandingkan dengan plot data permukaan parameter tersebut pada bahasan berikut.
Hal ini berdasarkan asumsi dasar bahwa pola pergerakan suhu - salinitas juga merupakan
indikator pola pergerakan masa air baik secara vertikal maupun horizontal di perairan
tersebut.
129.00 130.00 131.00 132.00 133.00 134.00 135.00 136.00 137.00 138.00 139.00 140.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
St. 20
St. 19
St. 18
St. 17St. 21
St. 16
St. 15
St. 14
St. 13
St. 12
St. 11
St. 10
St. 9
St. 8
St. 7
St. 6
St. 5
St. 4
St. 3
IRIAN JAYA
L. Ser am
L . B a n d a
L . A r a f u r a
U129.00 130.00 131.00 132.00 133.00 134.00 135.00 136.00 137.00 138.00 139.00 140.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
Ke
34.50
35.00
34.50
35.00