15
 INFEKSI BAKTERI INTRASELULER PADA ANAK (  INTRACELLULAR BACTE RIAL INFECTION IN CHILDREN) Parwati Setiono Basuki Divisi infeksi dan Pediatri Tropik Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RSUD Dr Soetomo Surabaya  ABSTRACT Pediatricians are obliged to understand host responses to intracellular bacterial infection in children because the manifestations of infectious diseases are not only due to microbial pathogens but also to their interactions with the immune system of the host. Both the type of immune response and the pathogen dictates the outcome of the infection, whether it will be acute or prolonged. The immune responses of the child are age-related, manifestations and outcome of certain infections depend on the child’s development status.  In spite of a large array of antibiotics potentially active against those organisms in a-cellular systems, intracellular bacterial infections remain a medical as well as economical threat. Most of the failures may stem  from the inability of the antimicrobial agent to reach the offending microorganism(s), or to effectively act in the intracellular environment. Intracellular pathogens seem more or less protected to antibiotics. This explains why intracellular bacteria not only are harmful for the host but may also constitute a reservoir for recurrence and reinfection. Because antibiotics poorly act on intr acellular bacteria, selection of resistant mutants may also be  fostered. The choice of antibiotics should aim at efficacy of selected agents as determined by pharmacokinetics and pharmacodynamics of certain antibacterial agents, which are influenced by the chronological age of the child, underlying diseases, drug interaction and tissue distribution. The interaction between cytokines, produced during intracellular bacterial infection, and antibiotics seems promising, thus cytokines may give an additive effect to the activity of antibiotics. Keywords : intracellular bacteria, phagocytosis, cytokine, intracellular antibiotic  ABSTRAK  Infeksi bakteri intraseluler pada anak mengharuskan dokter anak untuk memahami respons pejamu terhadap infeksi bakteri intraseluler pada anak, mengingat manifestasi penyakit infeksi tidak hanya ditentukan oleh patogen mikrobial namun juga oleh interaksinya dengan sistem imun pejamu. Tipe respons imun dan patogen keduanya menentukan outcome infeksi, apakah akan menjadi akut atau berkepanjangan. Respons imun anak terkait pada usia, manifestasi serta outcome infeksi tertentu tergantung status perkembangan anak.  Meskipun sudah ada deretan panjang antibiotika yang potensial aktif terhadap organisme-organisme tersebut dalam sistem a-seluler, infeksi bakteri intraseluler tetap merupakan masalah medis dan ekonomi. Kebanyakan kegagalan berasal dari ketidakmampuan antibiotic mencapai mikroorganisme penyebab atau tidak dapat bekerja efektif dalam lingkungan intraseluler. Patogen intraseluler terlindung dari antibiotik. Hal ini menerangkan mengapa bakteria intraseluler tidak saja membahayakan pejamu, tetapi juga merupakan reservoir bagi terulangnya ininfeksi serta terjadinya re-infeksi. Oleh karena antibiotik tidak bisa bekerja secara optimal pada bakteri intraseluler, hal ini memberi peluang akan terjadinya mutant yang resisten. Pemilihan antibiotik harus ditujukan pada efikasi agen terpilih sebagaimana ditentukan oleh farmakokinetik dan farmakodinamik obat antibakterial tertentu, yang dipengaruhi oleh umur kronologi anak, penyakit dasar, interaksi obat dan distribusi dalam jaringan. Interaksi antara sitokin, yang dibentuk dalam proses infeksi bakteri intraseluler, dan antibiotic agaknya memberi hasil baik, dengan kata lain sitokin dapat memberikan efek tambahan pada aktivitas antibiotik Kata kunci : bakteri intraseluler, fagositosis, sitokin, antibiotika intraseluler Korespondensi : Hj. Parwati Setiono Basuki, dr, MSc, DTM&H, SpA(K) Divisi infeksi dan Pediatri Tropik Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RSUD Dr Soetomo Surabaya Jl. Mayjen Prof Moestopo 6-8 Surabaya 0315501697 email : [email protected]  

58368512-jurnal-infeksi

Embed Size (px)

Citation preview

5/14/2018 58368512-jurnal-infeksi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/58368512-jurnal-infeksi 1/15

 

INFEKSI BAKTERI INTRASELULER PADA ANAK

( INTRACELLULAR BACTERIAL INFECTION IN CHILDREN)

Parwati Setiono Basuki

Divisi infeksi dan Pediatri Tropik Bagian Ilmu Kesehatan AnakFK UNAIR/ RSUD Dr Soetomo Surabaya

 ABSTRACT Pediatricians are obliged to understand host responses to intracellular bacterial infection in children because the

manifestations of infectious diseases are not only due to microbial pathogens but also to their interactions with the

immune system of the host. Both the type of immune response and the pathogen dictates the outcome of the

infection, whether it will be acute or prolonged. The immune responses of the child are age-related, manifestations

and outcome of certain infections depend on the child’s development status.

  In spite of a large array of antibiotics potentially active against those organisms in a-cellular systems,

intracellular bacterial infections remain a medical as well as economical threat. Most of the failures may stem

 from the inability of the antimicrobial agent to reach the offending microorganism(s), or to effectively act in the

intracellular environment. Intracellular pathogens seem more or less protected to antibiotics. This explains why

intracellular bacteria not only are harmful for the host but may also constitute a reservoir for recurrence and 

reinfection. Because antibiotics poorly act on intracellular bacteria, selection of resistant mutants may also be

  fostered. The choice of antibiotics should aim at efficacy of selected agents as determined by pharmacokinetics

and pharmacodynamics of certain antibacterial agents, which are influenced by the chronological age of the child,

underlying diseases, drug interaction and tissue distribution. The interaction between cytokines, produced during

intracellular bacterial infection, and antibiotics seems promising, thus cytokines may give an additive effect to the

activity of antibiotics.

Keywords : intracellular bacteria, phagocytosis, cytokine, intracellular antibiotic

 ABSTRAK   Infeksi bakteri intraseluler pada anak mengharuskan dokter anak untuk memahami respons pejamu terhadap

infeksi bakteri intraseluler pada anak, mengingat manifestasi penyakit infeksi tidak hanya ditentukan oleh patogen

mikrobial namun juga oleh interaksinya dengan sistem imun pejamu. Tipe respons imun dan patogen keduanyamenentukan outcome infeksi, apakah akan menjadi akut atau berkepanjangan. Respons imun anak terkait pada

usia, manifestasi serta outcome infeksi tertentu tergantung status perkembangan anak.

  Meskipun sudah ada deretan panjang antibiotika yang potensial aktif terhadap organisme-organisme tersebut 

dalam sistem a-seluler, infeksi bakteri intraseluler tetap merupakan masalah medis dan ekonomi. Kebanyakan

kegagalan berasal dari ketidakmampuan antibiotic mencapai mikroorganisme penyebab atau tidak dapat bekerja

efektif dalam lingkungan intraseluler. Patogen intraseluler terlindung dari antibiotik. Hal ini menerangkan

mengapa bakteria intraseluler tidak saja membahayakan pejamu, tetapi juga merupakan reservoir bagi

terulangnya ininfeksi serta terjadinya re-infeksi. Oleh karena antibiotik tidak bisa bekerja secara optimal pada

bakteri intraseluler, hal ini memberi peluang akan terjadinya mutant yang resisten. Pemilihan antibiotik harus

ditujukan pada efikasi agen terpilih sebagaimana ditentukan oleh farmakokinetik dan farmakodinamik obat 

antibakterial tertentu, yang dipengaruhi oleh umur kronologi anak, penyakit dasar, interaksi obat dan distribusi

dalam jaringan. Interaksi antara sitokin, yang dibentuk dalam proses infeksi bakteri intraseluler, dan antibiotic

agaknya memberi hasil baik, dengan kata lain sitokin dapat memberikan efek tambahan pada aktivitas antibiotik 

Kata kunci : bakteri intraseluler, fagositosis, sitokin, antibiotika intraseluler 

Korespondensi :

Hj. Parwati Setiono Basuki, dr, MSc, DTM&H, SpA(K)

Divisi infeksi dan Pediatri Tropik Bagian Ilmu Kesehatan Anak 

FK UNAIR/ RSUD Dr Soetomo Surabaya

Jl. Mayjen Prof Moestopo 6-8 Surabaya 0315501697

email : [email protected]

 

5/14/2018 58368512-jurnal-infeksi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/58368512-jurnal-infeksi 2/15

 

PENDAHULUAN

Berbagai bentuk mikroorganisme penyebab infeksi dapat menimbulkan penyakit,

yang bila dibiarkan berkembang biak, bahkan dapat membunuh pejamu. Respons imun yang

dibutuhkan sangat bervariasi. Letak infeksi serta tipe patogen akan menentukan respons imun

mana yang efektif. Di antara patogen terdapat yang dapat mengadakan invasi ke dalam sel

 pejamu.1 

Manifestasi penyakit infeksi bukan hanya merupakan akibat langsung ulah patogen

mikrobial, namun juga interaksinya dengan sistem imun pejamu. Macam respons imun dan

  penyebab infeksi akan menentukan apakah penyakit menjadi akut atau berkepanjangan.

Respons imun pada anak terkait dengan usia, manifestasi serta outcome infeksi tertentu

tergantung pada status perkembangan anak. Status imun bayi dapat dimodifikasi oleh faktor-

faktor maternal yang ditransfer selama kehidupan intrauterine melalui placenta dan selama

masa bayi melalui kelenjar susu.2

Respons imun terhadap patogen ekstraselular dan intraseluler berbeda. Sistem imun

  pada patogen ekstraselular ditujukan untuk menghancurkan patogen serta menetralisir 

 produknya, pada patogen intraseluler sel T dapat menghancurkan sel yang terinfeksi, dalam

kata lain sitotoksik, atau dapat mengaktivasi sel untuk menghadapi patogen.3

Pada infeksi bakteri antibiotik digunakan secara luas sebagai obat-obat bakteriostatik 

atau bakteriosidik, namun infeksi bakteri intraseluler belum dapat tertangani dengan mantap.

Hal ini ini sebagian berasal dari ketidak-mampuan obat untuk mencapai organisme penyebabdan/atau bekerja secara efektif dalam lingkungan intraseluler.

4

Dalam usaha menyikapi infeksi bakteri intraseluler dan memilih antibiotik, perlu

  pemahaman tentang respons pejamu terhadap infeksi, pertimbangan usia, penyakit dasar,

farmakodinamik/farmakokinetik antimikroba yang diseleksi, distribusi dalam jaringan,

interaksi obat, lokasi patogen dalam kompartemen subseluler, sitokin serta keterkaitannya

dengan antibiotik, demi tercapainya efikasi obat tersebut. Memahami respons pejamu

merupakan juga cikal bakal imunisasi bila terjadi resistensi antibiotik.

BAKTERI INTRASELULER

Secara umum bakteri yang dapat masuk dan tetap hidup dalam sel eukariositik 

terlindung dari antibodi humoral dan hanya dapat dieliminasi oleh respons imun seluler.

Bakteri ini harus memiliki mekanisme khusus untuk memproteksi dirinya dari dampak ensim-

ensim lisosomal dalam sel.

Terdapat 3 kelompok bakteri dipandang dari sisi kemampuan invasi ke dalam sel

eukariositik yaitu bakteri intraseluler fakultatif, bakteri intraseluler obligat, dan bakteri

ekstraseluler. Termasuk dalam kelompok intraseluler fakultatif adalah Salmonella  spp,

Shigella spp, Legionella pneumophili, Invasive Escherichia coli, Neisseria spp,

2

5/14/2018 58368512-jurnal-infeksi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/58368512-jurnal-infeksi 3/15

 

  Mycobacterium spp, Listeria monocytogenes, Bordetella pertussis. Dalam kelompok 

intraseluler obligat termasuk  Rickettsia spp, Coxiella burnetti, Chlamydia spp. Sebagai contoh

  bakteri ekstraseluler adalah  Mycoplasma spp, Pseudomonas aeruginosa, Enterotoxigenic

  Escherichia coli, Vibrio cholerae, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes,

 Haemophylus influenzae, Bacillus anthracis.5

RESPONS PEJAMU TERHADAP INFEKSI

Pertahanan tubuh terhadap infeksi dengan mikroorganisme patogen terjadi dengan

 berbagai cara. Pertama, pertahanan non-spesifik (innate) dengan mengeluarkan agen infeksi

atau membunuhnya pada kontak pertama. Bilamana patogen menimbulkan infeksi, berbagai

respons non-adaptif dini penting untuk mengendalikan infeksi dan mempertahankan

  pengawasan terhadapnya, sampai terbentuk respons imun adaptif. Respons imun adaptif 

memerlukan waktu beberapa hari, mengingat limfosit T dan B harus menemukan antigen

spesifik untuk mengadakan proliferasi, dan berdiferensiasi menjadi sel efektor. Respons sel B

yang tergantung pada sel T (T-cell dependent B-cell responses) tidak akan dapat dimulai

sebelum sel mempunyai kesempatan untuk mengadakan proliferasi dan diferensiasi.6

Terdapat perbedaan mendasar antara respons imun terhadap patogen ekstraselular dan

intraseluler. Bagi patogen ekstraselular sistem imun ditujukan untuk menghancurkan

  pathogen-nya sendiri serta menetralisir produknya. Dalam merespons patogen intraseluler 

terdapat 2 pilihan, sel T dapat bersifat sitotoksik menghancurkan sel yang terinfeksi, ataudapat mengaktivasi sel untuk menghadapi patogen tersebut. Sebagai contoh, adalah sel

  penolong T (helper T cells) melepas sitokin yang akan mengaktivasi makrofag untuk 

menghancurkan organisme yang telah mengalami endositosis.

Banyak patogen memiliki fase infeksi intraseluler dan ekstraselular, dan mekanisme

respons imun yang efektif akan berbeda dari waktu ke waktu.1

Berikut akan dibicarakan sekilas tentang respons imun secara umum.

Imunitas Non-Spesifik (Innate Immune Response)

Respons ini terjadi segera tanpa memerlukan kontak dengan mikroba sebelumnya;

dengan kata lain merupakan pertahanan pertama bagi tubuh.

Respons innate tidak spesifik, dan berlaku bagi setiap patogen. Respons terhadap

 bakteri yang mengadakan invasi disertai proses inflamasi pada tempat infeksi dimana cairan,

sel, bahan-bahan yang terlarut merembes keluar dari darah menuju jaringan. Kejadian ini

disertai kemerahan setempat, pembengkakan, serta demam. Inflamasi bertujuan memusatkan

agen pertahanan tubuh ke lokasi yang membutuhkan. Selama inflamasi sel-sel fagosit seperti

neutrofil dan makrofag, meninggalkan aliran darah dan bermigrasi menuju tempat infeksi

sebagai respons tehadap kemikal (chemoattractants) yang dilepaskan di tempat tersebut.

3

5/14/2018 58368512-jurnal-infeksi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/58368512-jurnal-infeksi 4/15

 

Sesampainya pada tempat tersebut, sel-sel fagosit mengenali, menelan (engulf ), serta

menghancurkan patogen. Darah juga mengandung rangkaian protein terlarut yang dinamakan

komplemen, yang dapat melubangi membran plasma sel bakteri, dengan akibat lisis dan

kematian sel. Respons imun innate terutama efektif terhadap bakteri tertentu, yang pada

dinding selnya terdapat polisakharida unik sehingga segera dikenali sel pejamu sebagai asing.

Pada respons innate terhadap patogen intraseluler, seperti virus, sasaran utama adalah sel-sel

yang sudah terinfeksi. Sel terinfeksi virus tertentu dikenali oleh limfosit non-spesifik, disebut

sel natural killer (NK). Sesuai dengan namanya, sel NK mengakibatkan kematian sel yang

terinfeksi dengan menginduksi sel terinfeksi menuju apoptosis. Sel NK juga membunuh sel

kanker tertentu (in vitro) dan melengkapi dengan mekanisme menghancurkan sel sebelum sel

  berkembang menjadi tumor. Sel normal (tidak terinfeksi dan tidak ganas) mengandung

molekul permukaan yang melindungi terhadap serangan sel NK.7

Respons antivirus lain dimulai dalam sel yang terinfeksi sendiri. Sel terinfeksi virus

ini memproduksi interferon-α (IFN-α) yang disekresi ke dalam ruang ekstraseluler, dimana

akan terikat pada permukaan sel yang tidak terinfeksi sehingga kebal terhadap infeksi

  berikutnya. Cara kerja interferon ini adalah dengan cara mengaktivasi suatu sinyal

transduction pathway dengan akibat phosphorilasi yang diikuti translasi faktor elF2. Sel yang

mengalami respons ini tidak dapat mensintesa protein virus yang diperlukan untuk replikasi

virus.7

Respons Imun Adaptif 

Respons imun adaptif memerlukan waktu agar dapat mempersiapkan sistem imun

untuk menghadapi agen asing. Respons ini sangat spesifik, dan hanya ditujukan untuk 

molekul-molekul yang spesifik pada bahan-bahan asing. Sebagai contoh, darah seseorang

yang baru sembuh dari sakit campak mengandung antibodi yang mengadakan reaksi dengan

virus campak. Berbeda dengan imunitas innate terhadap mikroba dan parasit yang dimiliki

oleh semua binatang, hanya vertebrata yang dapat membentuk imunitas adaptif.

Respons imun didapat dibagi dalam 2 kategori yaitu imunitas humoral, yang

dilaksanakan oleh antibodi (protein dalam darah yang tergolong dalam superfamili

imunoglobulin), dan imunitas dimediasi sel, yang dilaksanakan oleh sel.

Kedua tipe imunitas didapat ini dimediasi oleh limfosit, yaitu leukosit berinti, yang

 beredar di antara darah dan organ limfoid. Imunitas humoral dimediasi oleh sel-B (limfosit-

B), yang setelah diaktivasi mengsekresi antibodi. Antibodi ditujukan terutama pada pada

 bahan asing di luar sel pejamu. Termasuk disini komponen protein dan polisakharida dinding

sel bakteri, toksin bakteri, dan protein sampul virus. Dalam beberapa kasus antibodi dapat

terikat pada toksin bakteri atau partikel virus, sekaligus mencegah nya umtuk masuk ke dalam

sel pejamu. Selain itu antibodi dapat berfungsi sebagai molecular tags yang terikat pada

4

5/14/2018 58368512-jurnal-infeksi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/58368512-jurnal-infeksi 5/15

 

 patogen yang masuk dan menandainya untuk dimusnahkan. Sel bakteri yang dilapisi molekul

antibodi cepat dicerna oleh makrofag yang berkeliling (wandering) atau dihancurkan molekul

komplemen yang diangkut dalam darah. Antibodi tidak efektif untuk patogen intraseluler,

sehingga diperlukan sistem senjata tipe ke dua.

Imunitas dimediasi sel dilaksanakan oleh limfosit T (sel-T), yang bila teraktivasi

dapat secara spesifik mengenal serta membunuh sel terinfeksi (atau asing).7

Sel Penolong T 1 (T Helper 1) / Sel Penolong T 2 (T Helper 2)

Berikut akan dibahas sekilas tentang sel-sel T yang berperan sebagai  penghantar  

imunitas yang dimediasi sel dalam respons imun adaptif yang digunakan untuk mengontrol

  patogen intraseluler serta meregulasi respons sel B. Dalam proses ini termasuk aktivasi sel

imun lainnya dengan pelepasan sitokin.8

Terdapat 2 subset utama limfosit, yang dibedakan dengan keberadaan molekul

(petanda) permukaan CD4 dan CD8. Limfosit T yang mengekspresikan CD4 juga dikenal

sebagai sel T penolong, penghasil sitokin terbanyak. Subset ini dibagi lagi menjadi Th1 dan

Th2, dan sitokin yang dihasilkan disebut sebagai sitokin tipe Th1 dan sitokin tipe Th2. Sitokin

tipe Th1 cenderung menghasilkan respons proinflamatori yang bertanggung jawab terhadap

killing parasit intraseluler dan mengabadikan respons autoimun. Termasuk dalam sitokin tipe

Th1 ini terutama interferon gamma, selain interleukin-2, serta limfotoksin-α yang

merangsang imunitas tipe 1, ditandai aktivitas fagositik yang kuat. Respons proinflamatoriyang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang tidak terkontrol. Tubuh

mempunyai suatu mekanisme untuk menetralkan aksi mikrobisidal berlebih yang dimediasi

Th1 ini, yaitu dengan respons Th2. Sitokin yang termasuk dalam mekanisme Th2 ini adalah

interleukin 4, 5, 9, dan 13, yang disertai IgE dan respons eosinofilik dalam atopi, dan juga

interleukin-10, dengan respons yang lebih bersifat anti-inflamatori. Imunitas tipe 2 yang

distimulasi Th2 ditandai dengan kadar antibodi tinggi.9,10

Bagi kebanyakan infeksi, imunitas tipe 1 bersifat protektif, sedang respons tipe 2

membantu resolusi inflamasi yang dimediasi sel. Stres sistemik yang berat, imunosupresi,

atau inokulasi mikrobial yang berlebihan (overwhelming) mengakibatkan sistem imun

meningkatkan respons tipe 2 terhadap infeksi yang seyogyanya dikendalikan oleh imunitas

tipe 1.9

Apakah prekursor sel-T penolong akan menjadi sel tipe 1 atau tipe 2 tergantung pada

 beberapa faktor, yaitu yang dipandang dari sudut patogen seperti sifat dan kuantitas patogen,

route infeksi, pengaruh komponen imunomodulator serta infeksi bersamaan, serta faktor 

  pejamu termasuk predisposisi genetik, jumlah sel-T yang merespon, kompleks

histokompatiliti mayor haplotype individu, sifat sel yang mempresentasikan antigen, serta

lingkungan sitokin sel-T selama dan pasca aktivasi.11,12

5

5/14/2018 58368512-jurnal-infeksi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/58368512-jurnal-infeksi 6/15

 

 

Cytokine-Signaling pada Respons Imun 

Sitokin diproduksi selama aktivasi imunitas innate dan didapat (adaptif), dan

merupakan alat komunikasi antar sel yang prinsipiil tentang adanya invasi bakteri. Sitokin

yang memulai repons inflamatori dan menentukan besaran serta sifat respons imun yang

didapat. Pada penderita sakit berat respons terhadap injuri / patogen yang mengadakan invasi

sebagian besar tergantung pada pola sitokin yang diproduksi. Respons imun bervariasi dari

respons proinflamatori yang hebat, ditandai dengan meningkatnya produksi TNF-α,

interleukin-1, interferon-γ, dan, IL-12, sampai keadaan anergi, ditandai peningkatan produksi

sitokin Th2, seperti IL-10 dan IL-4.

Regulasi cytokine signaling pada respons imun dapat diringkas sebagai berikut:

Gb.2. Regulasi cytokine signaling pada respons imun. (Dikutip dari : Oberholzer A, Oberholzer C,Moldawer LL. Cytokine signaling—regulation of the immune response in normal and critically ill

states Crit Care Med 2000(4);28: 3-12)

Respons imun spesifik diklasifikasikan berdasar komponen sistem imun yang memediasi:imunitas humoral dimediasi limfosit B, dan imunitas dimediasi sel terutama dimediasi

limfosit T. Selanjutnya sel T efektor dibagi menjadi sel T sitotoksik (CD8+) atau sel T helper  

(CD4+). Sel CD8

+melakukan killing terhadap sel sasaran (target ) yang terinfeksi dengan cara

melepas lytic granula (perforin, granzymes) atau dengan cara induksi produksi (FasL) atau

TNF-α, yang melalui ikatan dengan reseptornya memulai suatu kaskade bunuh diri sel

menuju apoptosis sel sasaran. Sel-sel CD4+

dapat berdiferensiasi menjadi 2 tipe sel efektor:

Th1 dan Th2, tergantung pada pola pelepasan sitokin. Sel Th2 mengsekresi IL-4, IL-5, dan

IL-10, kesemuanya mengaktivasi proliferasi sel B serta memacu respons imun humoral. Di

sisi lain sel Th1 mengsekresi IFN-γ, yang merupakan sitokin macrophage-activating primer.13

6

5/14/2018 58368512-jurnal-infeksi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/58368512-jurnal-infeksi 7/15

 

INFEKSI BAKTERI INTRASELULER

Bagaimana pejamu merespons terhadap patogen intraseluler antara lain tergantung

 pada lokasi bermukimnya patogen tersebut. Setelah terjadi fagositosis oleh makrofag, bakteri

  berada dalam fagosom, namun kejadian selanjutnya tergantung pada strategi untuk 

mempertahankan hidup bagi bakteri masing-masing. Penyesuaian aktivasi sel pejamu yang

diinduksi oleh efek mikrobisidal dapat berakibat bakteri intraseluler bertahan hidup atau mati.

Berbagai imunomodulator, yaitu sitokin, dapat meningkatkan kemampuan antimikrobial

fagosit, sehingga pembersihan bakteri intraseluler tejadi secara efisien dan cepat. Dalam hal

  bakteri tidak mempunyai mekanisme survival, fagosom yang mengandung bakteri akan

mengadakan fusi dengan kompartemen lisosom, dan bakteri dicerna dalam waktu 15-30

menit. Berbagai bakteri memiliki strategi yang berbeda-beda untuk memagari diri terhadap

intracellular killing oleh fagosit yang tidak teraktivasi (resting phagocytes). Patogen dapat

mengadakan replikasi dalam sitoplasma (cytosolic pathogens), termasuk di sini adalah

 Listeria. Selain itu terdapat patogen yang berada dalam endosom (endosomal pathogens),

seperti   Legionella pneumophila, Mycobacterium tuberculosis, Salmonella typhimurium,

 Listeria monocytogenes.14,15

Intracellular Killing

Aktivitas antimikrobial fagosit dimediasi oleh mediator-mediator yang bervariasi

secara luas, dan dapat dikelompokkan dalam mekanisme oksidatif dan non-oksidatif.Mekanisme oksidatif dimediasi oleh produksi reactive oxygen intermediates (ROIs) dan

reactive nitrogen intermediates (RNIs). Produksi ROIs dan RNIs membekali fagosit dengan

aktivitas sitostatik atau sitotoksik terhadap virus, bakteri, jamur, cacing, dan sel tumor. Dalam

mekanisme non-oksidatif termasuk asidifikasi fagosomal, perampasan nutrien (nutritional

deprivation ) dan perlakuan polipeptida mikrobisid (hidrolase lisosomal dan defensin). Jalur 

oksidatif dan non-oksidatif ini dapat berjalan sendiri-sendiri atau bersamaan demi

terwujudnya suatu lingkungan yang tidak menunjang bagi kehidupan patogen selanjutnya.

Fagosit harus diaktivasi, sedikitnya oleh sitokin, agar dapat mengekspresikan satu atau lebih

di antara mediator-mediator tersebut untuk mengendalikan infeksi intraseluler.16

Berbagai sitokin dan faktor-faktor terlarut yang dimediasi sitokin memegang peran

  penting dalam mengendalikan atau membunuh patogen intraseluler oleh fagosit, dalam

 pertahanan dini pejamu.

Cara kerja sitokin pada lalu lintas bakteri intraseluler belum diketahui dengan jelas.

Sitokin-sitokin tertentu dapat menyebabkan  Listeria monocytogenes, Mycobacterium avium,

 Legionella pneumophila, dan Chlamydia spp tidak dapat lolos dari sasaran dalam lisosom.17,18

 

Sebagai contoh, interferon-γ menghalangi  L. monocytogenes untuk melarikan diri ke dalam

7

5/14/2018 58368512-jurnal-infeksi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/58368512-jurnal-infeksi 8/15

 

sitosol dan mengurung bakteri dalam vakuol fagosom yang asidik,17

sehingga menjadi lebih

sensitif terhadap efek toksik ROIs dan RNIs. Interferon-γ juga mempercepat pematangan

sepenuhnya fagosom yang mengandung  M. avium,dan L. pneumophila dan fusinya dengan

lisosom. Ini terjadi melalui asidifikasi fagosom, yang berhubungan dengan peningkatan

 proton ATP-ase dalam fagosom, sehingga dapat membunuh bakteri lebih banyak.

Produk  respiratory burst  dan nitric oxide (NO) memegang peran penting dalam

  proses mikrobisidal oksidatif dan sitosidal dalam sel-sel fagositik. Jumlah produk oksigen

toksik dan NO yang dibebaskan oleh sel-sel fagositik tergantung pada derajat diferensiasi sel

dan sifat rangsangan yang diberikan. Pada umumnya sitokin Th1 menyesuaikan respiratory

burst dalam monosit, makrofag, dan neutrophil secara positif, sedang sitokin Th2 sebaliknya.

Interferon-γ (profil Th1) meningkatkan oxidative burst  dan produksi NO oleh sel-sel

fagositik, serta mempunyai peran dalam membunuh patogen intraseluler melalui produksi

ROIs dan RNIs yang toksik. Sebagai contoh, produksi ROIs yang diinduksi oleh interferon- γ,

oleh berbagai makrofag dan jajaran sel makrofag berperan serta dalam membunuh  Listeria

monocytogenes,17,19

  Leishmania infantum, Penicillium marneffei, dan Candida albicans.

Produksi NO yang diinduksi interferon-γ, oleh fagosit dan sel fagosit non-profesional bersifat

mikrobisidal terhadap   Listeria monocytogenes,17-19

    Brucella spp, Pneumocystis carinii,

  Bordetella pertussis,20

    Rickettsia prowazekii, Mycobacterium avium, Pseudomonas

aeruginosa, serta patogen fungi.

Sitokin lain seperti TNF-α,(19) IL-12,(10) TNF-β,(21) IL-21, granulocyte colony-

stimulating factor  dan granulocyte-macrophage colony- stimulating factor  dapat

meningkatkan kadar produk oksigen reaktif dan NO yang dilepaskan oleh sel-sel fagositik.

Di sisi lain, sitokin Th2 memegang peran penting dalam supresi oxidative burst dalam fagosit,

sehingga menunjang pertumbuhan patogen dalam sel serta patogenesis penyakit infeksi.

Sebagai contoh, IL-4 menghambat produksi anion hidrogen peroksida dan superoksida dalam

monosit (yang telah diaktivasi dengan IFN-γ atau TNF-α), dan menekan aktivitas antifungal

lekosit mononuklear terhadap Candida albicans. Interleukin-4 dan IL-13 meningkatkan

fagositosis yang dimediasi reseptor mannose,14 mekanisme yang dianut patogen untuk 

menyelamatkan diri dari ancaman intracellular killing. Interleukin-10 merupakan sitokin

lain yang meniadakan aktivasi makrofag, menghambat pembebasan hidrogen peroksida,

mengurangi imunitas antimycobacterial dan antilisterial, meningkatkan pertumbuhan

  Legionella pneumophila dalam fagosit manusia dan membalik efek protektif interferon-γ 

terhadap patogen ini. Interleukin-10 juga menekan aktivitas bakterisidal monosit manusia

terhadap Staphylococcus aureus dan C. albicans. Sitokin penghambat tersebut penting karena

mengurangi oxidative burst agar jaringan normal terlindung dari kerusakan yang disebabkan

ROIs serta RNIs yang toksik, namun dapat pula meningkatkan replikasi bakteri.

8

5/14/2018 58368512-jurnal-infeksi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/58368512-jurnal-infeksi 9/15

 

  Intracellular killing  patogen intraseluler dengan mekanisme perampasan nutrien

antara lain adalah cara pengosongan asam amino esensial dan zat besi, yang diinduksi oleh

sitokin. Ini merupakan cara efisien bagi fagosit untuk mengendalikan serta membunuh

 patogen. Dengan demikian sel-sel yang diaktivasi menghambat replikasi Chlamydia psittaci,

Chlamydia pneumoniae (22) dan enterococci dengan cara menginduksi katabolisme triptofan

melalui indolamin-2,3-dioxygenase. 

Pengosongan triptofan dalam makrofag secara aktivasi interferon-γ dan TNF-α juga

menghambat pertumbuhan Streptokokus grup B. Dengan suplementasi triptofan tidak terjadi

hambatan pertumbuhan bakteri. Pembunuhan yang dimediasi interferon-γ terhadap Bordetella

 pertussis oleh makrofag alveolar, terjadi sedikitnya sebagian melalui induksi tryptophan-

degrading enzymes dan pengosongan zat besi.20

Makrofag manusia yang telah diaktivasi

interferon membunuh Legionella pneumophila, antara lain dengan cara meregulasi ke bawah

(downregulate) reseptor transferrin, sehingga menurunkan kemampuan zat besi dalam sel

yang dibutuhkan untuk pertumbuhan  Legionella spp. Efek listerisidal juga berkaitan dengan

kadar zat besi dalam makrofag.15

Defensin, protein yang sudah kodratnya bersifat antimikrobial (natural antimicrobial

 protein), merupakan peptida kationik kecil dengan aktivitas anti-bakteri luas. Terdapat 2

kelas, α dan β, berperan dalam pertahanan tubuh antara lain dengan cara mematahkan struktur 

atau fungsi membran sitoplasma mikroba. Biasanya defensin diinduksi oleh sitokin dalam

respons terhadap infeksi atau inflamasi, interleukin-1β, interferon-γ, dan TNF-α. Defensin

mempunyai aktivitas antimikrobial pada bakteri  Escherichia coli, Salmonella typhimurium,

Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitica, Candida albicans,   jamur serta virus

 bersampul.23

Survival Bakteri Intraseluler

Di antara bakteria intraseluler, obligatori dan fakultatif, banyak yang lambat laun

memiliki mekanisme untuk menghindari atau melawan efek mikrobisidal fagosit, sehingga

dapat bertahan hidup di dalamnya. Mekanisme resistensi bakteri terhadap intracellular killing 

 bermacam-macam, antara lain dengan mengsekresi eksotoksin yang membunuh fagosit dan

membantu melawan atau mencegah fagositosis.24,25

Bakteria tertentu dapat memodifikasi

intracellular endocytic traffic yang mentargetkan bakteri pada destruksi fagolisosomal, untuk 

selanjutnya bermukim dalam fagosit profesional. Patogen yang memiliki  pore-forming

cytolysins dapat melarikan diri dari fagosom, dan terdapat patogen yang mengadakan

replikasi dalam fagosom yang tidak diasamkan (nonacidified ), serta terlindung dari fusi

dengan lisosom pada fagosit tidak teraktivasi (non-activated phagocytes). Bakteria

fagolisosomal tertentu menyesuaikan untuk melawan aktivitas antimikrobial hydrolase serta

9

5/14/2018 58368512-jurnal-infeksi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/58368512-jurnal-infeksi 10/15

 

keasaman (pH) yang rendah dalam lisosom.16

Bakteri tertentu mampu menekan produksi

metabolit sitotoksik sel fagosit, sedang bakteri lain dilengkapi dengan protein antioksidan

sehingga dapat melawan efek ROIs dan RNIs , selanjutnya mengganjal fungsi antimikrobial

fagosit. Mekanisme lain dengan menghambat produksi sitokin inflamatori yang terkait dengan

 pembersihan patogen, atau menginduksi produksi sitokin imunoregulatori seperti interleukin-

10 sehingga terjadi deaktivasi fagosit.26

Bakteri dapat pula meningkatkan survival dengan

mengubah ekspresi gen.16 

Atas dasar fakta-fakta tersebut, dalam keadaan tertentu pejamu tidak mampu

mengendalikan atau mengeradikasi agen infeksi, meskipun terdapat respons imun yang

efisien. Diperlukan antibiotik, terutama yang dapat bekerjasama dengan imunitas adaptif 

maupun non-adaptif.

PEMILIHAN ANTIMIKROBA PADA INFEKSI BAKTERI INTRASELULER

Pengobatan infeksi bakteri intraseluler merupakan tantangan dipandang dari segi

medis dan ekonomi. Patogen yang berkembang dan mempertahankan diri dalam sel, sedikit

 banyak terlindung dari pertahanan tubuh humoral dan seluler, bahkan demikian pula halnya

terhadap antibiotik. Kesemuanya ini dapat menerangkan mengapa bakteri intraseluler tidak 

hanya merugikan bagi sel pejamu, namun juga merupakan reservoir bagi terulangnya infeksi

dan terjadinya re-infeksi. Oleh karena dampak antibiotik pada bakteri intraseluler tidak dapat

dicapai secara maksimal, hal ini akan menunjang terjadinya mutan yang resisten.Pertimbangan-pertimbangan ini menekankan betapa pentingnya memahami apakah antibiotik 

dapat bekerja dan seberapa jauh efek tersebut pada bakteri intraseluler, parameter 

farmakokinetik serta farmakodinamik mana yang diperlukan untuk menunjang kerja

antibiotik, serta atas dasar kesemuanya bagaimana pemberian kemoterapi yang lebih baik.28

Perlu diingat pula bahwa pada anak variasi yang luas dalam hal usia dan tingkat

  perkembangan berhubungan erat dengan farmakokinetik serta farmakodinamik antibiotik.29

Hanya kadar antibiotik bebas dalam jaringan pada daerah target, biasanya lebih rendah dari

kadar plasma total, yang menentukan outcome klinik terapi anti-infeksi.30

Mekanisme Kerja Antimikroba

Antibiotika yang termasuk dalam masing-masing pengelompokan menurut

mekanisme kerja ini adalah sebagai berikut: sebagai inhibitor terhadap sintesis dinding sel

adalah penisilin dan sefalosporin, yang mempunyai struktur sama. Yang tidak sama

strukturnya adalah kelompok cycloserin, vancomycin, bacitracin, antifungus azole

(miconazole, ketoconazole, clotrimazole). Antibiotika yang langsung bekerja pada membran

sel mikroba, cenderung mempengaruhi permeabilitas serta mengakibatkan kebocoran isi sel

adalah detergen, polymyxin, antifungus polyene yaitu nystatin dan amphotericin B, yang

10

5/14/2018 58368512-jurnal-infeksi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/58368512-jurnal-infeksi 11/15

 

mengikat sterol dinding sel. Dalam kelompok yang mempengaruhi sintesis ribonukleat dibagi

menjadi dua, yaitu yang mempengaruhi fungsi subunit ribosome 30 S atau 50 S dengan akibat

hambatan pada sinesis protein yang reversibel (kloramfenikol, tetrasiklin, eritromisin, dan

klindamisin, pristinamycin), serta yang mengikat subunit ribosome 30 S dan merubah sintesis

  protein, bahkan dapat berakibat kematian sel (aminoglikosida). Antibiotik yang

mempengaruhi metabolisme asam nukleat adalah rifamycin (misalnya rifampin), yang

menghambat RNA polymerase, dan quinolone, yang menghambat topoisomerase. Kelompok 

antimetabolit adalah trimethoprim dan sulfonamid, yang memblokir ensim esensial bagi

metabolisme folat. Dalam kelompok antivirus termasuk analog asam nukleat adalah acyclovir 

dan ganciclovir, yang selektif menghambat DNA  polymerase virus, zidovudin atau

lamivudine, yang menghambat reverse transcriptase, serta nonnucleoside reverse

transcriptase inhibitors, seperti nevirapine atau efavirenz, dan inhibitor ensim virus lain

misalnya inhibitor HIV protease atau influenza neuraminidase.31

Pengamatan bahwa antibiotik tertentu mempunyai efek bakterisidal tinggi dalam

sistem aseluler, namun bila diterapkan pada bakteri intraseluler kemampuan membunuhnya

sangat rendah, membuat para peneliti bertanya-tanya apakah mediator respons imun dapat

  bekerja sama dengan antibiotik demi tercapainya pembersihan infeksi intraseluler secara

cepat. Dalam konsep ini, sitokin dapat memperbaiki efek bakterisidal intrinsik antibiotik.

Aktivitas Intrafagositik AntibiotikAntibiotik harus bisa mencapai dan berikatan dengan organ target, agar dapat

melakukan aktivitas kemoterapi; kontak antara bakteri dan antibiotik merupakan prasyarat.

Dari sisi aktivitas terhadap patogen intraseluler, antibiotik tergantung pada kemampuannya

untuk masuk dan berakumulasi dalam sel fagositik mencapai kadar yang cukup tinggi

(melebihi kadar hambat minimal -minimal inhibitory concentration-). Dari hasil studi

farmakokinetik seluler antibiotik berbeda dalam cara pengambilan oleh sel (cellular uptake),

kadar dalam sel, dan distribusi subseluler. Selain itu, dalam pemilihan penggunaan antibiotik 

intraseluler perlu diperhatikan pula faktor influx dan efflux, respons bakterial, serta kerjasama

dengan pertahanan tubuh.32

Antibiotik  β-lactam dan aminoglikosida mempunyai efek bakterisidal yang kuat

terhadap bakteria ekstraseluler yang sensitif, tetapi efek bakterisidal intraseluler rendah. Hal

ini erat hubungannya dengan cellular uptake yang lemah dan lambat. Antibiotik  β-lactam

tidak berakumulasi dalam fagosit, mungkin disebabkan oleh sifatnya yang asam.33

Sebaliknya,

makrolide seperti azithromycin dan clarithromycin terasingkan (sequestered ) dalam leukosit,

sehingga terdapat pada tempat infeksi dalam kadar yang tinggi, melebihi kadar dalam serum.

Makrolide mempertahankan kadar terapeutik pasca pemberhentian pengobatan. Obat-obat ini

11

5/14/2018 58368512-jurnal-infeksi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/58368512-jurnal-infeksi 12/15

 

secara efisien membunuh patogen berbeda-beda seperti Salmonella, Legionella, dan 

 Listeria.17,34

Fluoroquinolon seperti ofloxacin, ciprofloxacin, sparfloxacin dan levofloxacin

terpusat dalam sel fagositik dan secara efisien membunuh bakteria intraseluler yang tinggal di

kompartemen subseluler tertentu.17,34

Seiring dengan efek bakterisidal, antibiotik dapat pula

mengatur fungsi fagositik. Meskipun antibiotik tertentu (misalnya aminoglikosida) dapat

  bersifat toksik bagi sel pada kadar yang tinggi, antibiotik yang lain (misalnya makrolide)

dapat mengatur ke bawah (downregulate) respons anti-inflamatori, sehingga pada pejamu

terjadi mekanisme pertahanan terhadap injuri.35

Oleh karena itu digunakan strategi yang

 berbeda, keduanya untuk meningkatkan efek antimikrobial antibiotik serta mengurangi efek 

sitotoksiknya. Jadi, dengan menyelimuti (encapsulate) antibiotik seperti ampisilin di dalam

liposom yang sensitif terhadap keasaman ( pH-sensitive) akan meningkatkan pengambilan ke

dalam sel (cellular uptake) serta efek bakterisidalnya di dalam sel. Pendekatan ini juga

digunakan untuk mentargetkan gentamisin ke dalam sitosol , sebagai pilihan terhadap

lisosom, untuk mengurangi efek toksik dan meningkatkan aktivitas bakterisidal, terutama

ditujukan untuk patogen sitosolik.36

Minat untuk mendalami pengobatan infeksi intraseluler lebih dipusatkan pada

kerjasama antara sitokin dan antibiotik. Bentuk pengobatan seperti ini diharapkan dapat

memperpendek lama pemberian antibiotik dan mencegah timbulnya resistensi obat.

Pemilihan antibiotik intraseluler pada anak harus selalu memperhatikan faktor umur 

serta perkembangan anak, disamping farmakokinetik dan farmakodinamiknya yangmerupakan kunci untuk menentukan efikasi antimikroba yang diseleksi. Antibiotik 

intraseluler yang dapat diberikan kepada anak adalah penisilin, aminopenisilin (ampisilin,

amoksisilin), ampisilin-sulbaktam, amoksisilin-clavulanate, sefalosporin generasi ke tiga

(seftriakson, sefotaksim, seftazidim), dan sefalosporin generasi ke empat (sefepim) yang

kesemuanya termasuk kelompok  β-lactam. Selain itu macrolide (eritromisin, azithromisin,

clarithromisin), dan aminoglikosida juga bermanfaat pada infeksi bakteri intraseluler.28,29

 

Meskipun fluoroquinolone terbukti mempunyai aktivitas antibiotik intraseluler kuat, namun

  penggunaan pada anak masih terbatas terutama pada penderita dengan cystic fibrosis.29

Peneliti lain mengamati pemberian gatifloksasin untuk pengobatan otitis media akuta pada

kelompok anak usia 6 bulan-7 tahun dan 6 bulan-4 tahun. Meskipun hasil yang dicapai cukup

menggembirakan belum terdapat persetujuan Food and Drug Administration mengenai

 penggunaan fluoroquinolon pada anak.37

Dipandang dari sudut farmakodinamik seluler antibiotik β-lactam mempunyai cara

kerja lambat dan tidak tergantung pada kadar obat, namun menjadi efektif bila terjadi kontak 

lama. Lokalisasi antibiotik subseluler terutama dalam sitosol. Sebaliknya fluoro-quinolone

intraseluler bekerja cepat dengan cara tergantung pada kadar obat. Fluoroquinolone juga

12

5/14/2018 58368512-jurnal-infeksi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/58368512-jurnal-infeksi 13/15

 

terdapat dalam sitosol.28

Aminoglikosida mempunyai uptake lambat,sehingga memerlukan

waktu pengobatan lama. Di samping kadar obat, waktu merupakan parameter penting. Efek 

  bakterisidal tergantung kadar puncak yang adekuat.29

Efek aminoglikosida dapat menurun

karena suasana asam di dalam fagolisosom.28

Berbeda dengan antibiotik  β-lactam, hampir 

dalam setiap sel terjadi akumulasi makrolide. Makrolide mempunyai uptake dan efflux cepat,

kecuali azithromisin, yang terikat pada struktur sel, terutama phospholipid. Lokalisasi

antibiotik makrolide subseluler dua per tiganya terdapat dalam lisosom, sepertiganya dalam

sitosol.28

PENUTUP

Dalam usaha menyikapi infeksi bakteri intraseluler dan memilih antibiotik, perlu

  pemahaman tentang respons pejamu terhadap infeksi, pertimbangan usia, penyakit dasar,

farmakodinamik/farmakokinetik antimikroba yang diseleksi, distribusi dalam jaringan,

interaksi obat, lokasi patogen dalam kompartemen subseluler, sitokin serta keterkaitannya

dengan antibiotik, demi tercapainya efikasi obat tersebut.

Berbagai sitokin dan faktor-faktor terlarut yang dimediasi sitokin memegang peran

  penting dalam mengendalikan atau membunuh patogen intraseluler oleh fagosit, dalam

 pertahanan dini pejamu.

Pengobatan infeksi bakteri intraseluler merupakan tantangan dipandang dari segi

medis dan ekonomi. Patogen yang berkembang dan mempertahankan diri dalam sel, sedikit banyak terlindung dari pertahanan tubuh humoral dan seluler, bahkan demikian pula halnya

terhadap antibiotik. Kesemuanya ini dapat menerangkan mengapa bakteri intraseluler tidak 

hanya merugikan bagi sel pejamu, namun juga merupakan reservoir bagi terulangnya infeksi

dan terjadinya re-infeksi. Oleh karena dampak antibiotik pada bakteri intraseluler tidak dapat

dicapai secara maksimal, hal ini akan menunjang terjadinya mutan yang resisten. Dalam

memilih antibiotik pada anak diperlukan pertimbangan-pertimbangan untuk memperhatikan

faktor umur serta perkembangan anak, disamping farmakokinetik dan farmakodinamiknya

yang merupakan kunci untuk menentukan efikasi antimikroba yang diseleksi.

KEPUSTAKAAN

1.  Male DK, Roitt IM. Introduction to the Immune System. Dalam: Roitt IM, Brostoff J, Male DK eds.

Immunology 3rd Ed. London, Mosby-Year Book Europe Ltd; 1993: 1.1-1.122.  Goldman AS. Host responses to infection. Pediatrics in Rev 2000; 21(10): 342-9

3.  Male DK, Roitt IM. Introduction to the Immune System. Dalam: Roitt IM, Brostoff J, Male DK eds.Immunology 3rd Ed. London, Mosby-Year Book Europe Ltd; 1993: 1.1-1.12

4.  Sonveaux E, Tulkens PM, Van Bambeke F, Happaerts TH, et al. Chemotherapy of the intracellular infection. http://www.facm.ucl.ac.be/ intracellular_chemotherapy.htm diakses 29/10/2004

5.  Peterson JW. Bacterial pathogenesis. Dalam: Baron S ed. Medical Microbiology 4th edition.

http://gsbs.utmb.edu/microbook/ch007.htmdiakses 27/10/2004

13

5/14/2018 58368512-jurnal-infeksi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/58368512-jurnal-infeksi 14/15

 

6.  Gray D, Springer T. Host Defense Against Infection. dalam: Janeway CA, Travers P eds.Immunobiology. The Immune System In Health And Disease. London, Current Biology Ltd. Garland

Publishing Inc. 1994: 9.1-9.497.  Karp G ed. The Immune Response. Cell and Molecular Biology 2nd ed. New York, John Wiley

& Sons, Inc; 1999: 733-67

8.  Uzel G, Holland SV. Primary immune deficiencies: Presentation, Diagnosis, and Management. Th1 T-cell and monocyte defects. Pediatr Clin North Amer 2000; 47(6): 110-21 

9.  Spellberg B, Edwards JE, Jr. Type 1/ Type 2 Immunity in Infectious Diseases Clin Infect Dis2001; 32: 76-102. Abstrak 

10.  Berger A. Science commentary: Th1 and Th2 responses: what are they? BMJ 2000; 321: 424

11.   Nahid I, Bretscher PA. The Th1/Th2 Nature of Concurrent Immune Responses to Unrelated AntigensCan Be Independent. J Immunol 1999; 163: 4842-50

12.  Power CA. Factors that influence T helper cell response to infection. Current Opin Inf Dis 2000; 13:209-13

13.  Oberholzer A, Oberholzer C, Moldawer LL. Cytokine signaling—regulation of the immune response innormal and critically ill states Crit Care Med 2000(4);28: 3-12

14.  Davies DH, Halablab MA, Clarke J. eds. The Immune System. Infection and Immunity London,Taylor & Francis Ltd 1999: 1-31

15.  Ouadrhiri Y, Sibille Y. Phagocytosis and killing of intracellular pathogens: Interaction betweencytokines and antibiotiks. Curr Opin Infect Dis 2000; 13(3): 233-45 kutipan

16.  Ernst RK, Guinea T, Miller SI. How intracellular bacteria survive: surface modification that promotes

resistance to host innate immune response. J Infect Dis 1999; 179: 326-3017.  Ouadrhiri Y, Scorneaux B, Sibille Y, Tulkens PM. Mechanism of intracellular killing and modulation of 

antibiotik susceptibility of    Listeria monocytogenes in THP-1 macrophages activated by gammainterferon. Antimicrob Agents Chemother 1999; 43: 1242-51

18.  Ouadrhiri Y, Sibille Y, Tulkens PM. Modulation of intracellular growth of   Listeria monocytogenes in

human enterocyte Caco-2 cells by interferon-γ and interleukin-6: role of nitric oxide and cooperation

with antibiotiks. J Infect Dis 1999; 180: 1195-1204 Abstrak 19.  Muller M, Althaus R, Frohlish D, Frei K, Eugster HP. Reduced antilisterial activity of TNF-deficient

 bone marrow- derived macrophages is due to impaired superoxide production. Eur J Immunol 1999; 29:

3089-97 Abstrak 20.  Mahon BP, Mills KH. Interferon gamma mediated immune effector mechanisms against  Bordetella

 pertussis Immunol Lett 1999; 68: 213-1721.  Matsushima H, Shirai S, Ouchi K, Yamashita K, et al. T lymphotoxin inhibits Chlamydia pneumoniae

growth in Hep-2 cells. Infect Immun 1999; 67: 3175-9

22. 

Hammerschlag MR. The intracellular  life of chlamydiae. Seminars in Pediatric Infectious Diseases2002;13(4):23.  Rook G. Immunity to Viruses, Bacteria and Fungi. dalam: Roitt IM, Brostoff J, Male DK eds.

Immunology 3rd Ed. London, Mosby-Year Book Europe Ltd; 1993: 15.1-15.2224.  Kuo CF, Wu JJ, Tsal PJ, Lei HY, Lin MT, Lin YS. Streptococcal pyrogenic exotoxin B induces

apoptosis and reduces phagocyrtic activity in U937 cells. Infect Immun 1999; 67: 126-3025.  Visser LJ, Seymonsbergen E, Nibbering PH, Van den Broek PJ, Vn Furth R. Yops of Yersinia

enterocolitica inhibit receptor –dependent superoxide anion production by human granulocytes. InfectImmun 1999; 67: 1245-50

26.  Jiang Y, Magli L, Russo M. Bacterium-dependent induction of cytokines in mononuclear cells and their 

 pathologic consequences in vivo. Infect Immun 1999; 67: 2125-3027.  Kumar: Robbins and Cotran: Pathologic Basis of Disease, 7th ed., Copyright © 2005 Elsevier  

Bookmark URL: http://www.das/book/view/41912150-4/1249/79.html/topdiakses 27/10/200428.  Carryn S, Chanteux H, Seral C, Mingeot-Leclercq MP, Van Bambeke F, Tulkens PM. Intracellular 

 pharmacodynamics of antibiotiks. Inf Dis Clin N Am 2003;17(3):615-34

29.  Bowlware KL, Stull T. Antibacterial agents in pediatrics. Infect Dis Clin N Am 2004;18:513-3130.  Liu P, Derendorf H. Antimicrobial tissue concentrations. Inf Dis Clin N Am 2003;17:599-613

31.  Chambers HF, Sande MA. Chemotherapy of Microbial Diseases. Antimicrobial Agents. dalam:Hardman JG, Gilman AG, Limbird LE eds. Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of 

Therapeutics 10th ed. New York, Mc Graw-Hill; 2001:1143-117032.  Tulkens PM. Intracellular Antibiotiks: what does it (really) mean? 2d meeting of the Australian Society

of Antimicrobials, Melbourne, Victoria, April 6th, 2001

33.  Renard C, Vanderhaeghe HJ, Claes PJ, Zenebergh A, Tulkens PM. Influence of conversion of PenicillinG into a basic derivative on its accumulation and subcellular localization in cultured

macrophagesAntimocrob Agents Chemother 1987 ; 31(3): 410-6 Abstrak 34.  Scorneaux B, Ouadrhriri Y, Anzalone G, Tulkens PM. Effect of Recombinant human gamma interferon

on intracellular activities of antibiotiks against   Listeria monocytogenes in the human macrophage cellline THP-1. Antimicrob Agents Chemother 1996; 40: 1225-30

35.  Ianaro A, Ialenti A, Maffia P, Sautebin L, et al. Anti-inflammatory activity of macrolide antibiotiks. J

Pharmacol Exp Ther 2000; 292:156-63

14

5/14/2018 58368512-jurnal-infeksi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/58368512-jurnal-infeksi 15/15

 

36.  Lutwyche P, Cordeiro C, Wiseman DJ, St-Louis M, et al. Intracellular delivery and antibacterial  properties activity of gentamycin encapsulated in pH-sensitive liposomes. Antimicrob Agents

Chemother 1998; 42:2511-2037.  O’Donnell JA, Gelone SP. The newer fluoroquinolones. Infect Dis Clin N Am 2004; 18:691-716

15