42
ABSTRAK PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALI PERSAINGAN TIDAK SEHAT DALAM PENYEDIAAN JASA AKOMODASI PONDOK WISATA Banyaknya usaha pondok wisata menyebabkan adanya persaingan yang menuntut usaha pondok wisata untuk memenuhi kebutuhan konsumen dari segi mutu, nilai maupun kepuasan konsumen. Namun pertumbuhan pondok wisata tersebut melampaui kebutuhan pasar yang mengakibatkan persaingan tidak sehat sehingga terjadi perang tarif antar usaha pondok wisata. Berdasarkan latar belakang tersebut maka ditulis tesis yang berjudul Perizinan sebagai Instrumen Persaingan Tidak Sehat dalam Penyediaan Jasa Akomodasi Pondok Wisata. Rumusan masalahnya adalah bagaimanakah pengaturan penyediaan jasa akomodasi pondok wisata dan bagaimanakah pengaturan perizinan sebagai instrumen pengendali persaingan tidak sehat dalam penyediaan jasa akomodasi pondok wisata. Tesis ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan jenis pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik deskriptif-analisis secara sistematisasi dan interpretasi. Hasil penelitian tesis ini menunjukkan bahwa pengaturan mengenai penyediaan jasa akomodasi pondok wisata terdapat pada Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Menteri Ekonomi Kreatif Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di bidang pariwisata dan yang bersumber dari Pasal 14 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Kemudian pengaturan perizinannya bersifat pencegahan persaingan usaha tidak sehat dalam penyediaan jasaakomodasi pondok wisata, tidak sebagai pemulihan atas dampak persaingan usaha tersebut. Kata Kunci : Perizinan, Persaingan tidak sehat, Pondok wisata

ABSTRAK PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALI PERSAINGAN ... fileKompetensi dan Sertifikasi Usaha di bidang pariwisata dan yang bersumber dari Pasal 14 ayat (1) huruf f Undang-Undang

  • Upload
    vandiep

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

ABSTRAK

PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALI PERSAINGAN

TIDAK SEHAT DALAM PENYEDIAAN JASA AKOMODASI PONDOK

WISATA

Banyaknya usaha pondok wisata menyebabkan adanya persaingan yang

menuntut usaha pondok wisata untuk memenuhi kebutuhan konsumen dari segi mutu,

nilai maupun kepuasan konsumen. Namun pertumbuhan pondok wisata tersebut

melampaui kebutuhan pasar yang mengakibatkan persaingan tidak sehat sehingga

terjadi perang tarif antar usaha pondok wisata. Berdasarkan latar belakang tersebut

maka ditulis tesis yang berjudul Perizinan sebagai Instrumen Persaingan Tidak Sehat

dalam Penyediaan Jasa Akomodasi Pondok Wisata. Rumusan masalahnya adalah

bagaimanakah pengaturan penyediaan jasa akomodasi pondok wisata dan

bagaimanakah pengaturan perizinan sebagai instrumen pengendali persaingan tidak

sehat dalam penyediaan jasa akomodasi pondok wisata.

Tesis ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan jenis

pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum. Teknik

analisis data yang dipakai adalah teknik deskriptif-analisis secara sistematisasi dan

interpretasi.

Hasil penelitian tesis ini menunjukkan bahwa pengaturan mengenai

penyediaan jasa akomodasi pondok wisata terdapat pada Pasal 5 dan Pasal 6

Peraturan Menteri Ekonomi Kreatif Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi

Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di bidang pariwisata dan yang bersumber dari

Pasal 14 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan. Kemudian pengaturan perizinannya bersifat pencegahan persaingan

usaha tidak sehat dalam penyediaan jasaakomodasi pondok wisata, tidak sebagai

pemulihan atas dampak persaingan usaha tersebut.

Kata Kunci : Perizinan, Persaingan tidak sehat, Pondok wisata

ABSTRACT

LICENSING AS AN UNFAIR COMPETITION INSTRUMENT IN THE

PROVISION OF HOMESTAYS ACCOMMODATION SERVICES

The great number of homestay businesses lead to a competition that demands

them to meet the needs of consumers. City in terms of quality, value and customer

satisfaction. But their growth surpasses the market needs leading to an unfair

competition resulting in a tariff war among them. Based on the background the writer

writes a thesis entitled Licensing as an Unfair Competition Instrument in the

Provision of Homestays Accommodation Services. The formulation of the problem:

How the provision of homestay accommodation services is arranged and how the

licensing as an instrument of unfair competition control in the provision of homestay

accommodation services is arranged.

This thesis used normative legal research with a legislation approach and a

legal concept analysis approach. The data analysis techniques used were descriptive-

analysis techniques in systematization and interpretation.

The results of this thesis research indicate that the regulation concerning the

provision of homestay accommodation services is found in the Article 5 and Article 6

of the Regulation of the Minister of Creative Economy Number 52 of 2012 on

Certification of Competence and Business Certification in Tourism and which is

sourced from Article 14 paragraph 1 letter f Act Number 10 of 2009 on Tourism.

Then the licensing arrangement is contained is the prevention of unfair business

competition in the provision of cottage tourism accommodation services, not as a

recovery from the impact of business competition.

Keywords: Licensing, Unfair competition, Homestay

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN…………………………………. i

HALAMAN SAMPUL DALAM………………………………….. ii

HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER .………… iii

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………... iv

HALAMAN PENETAPAN……………………………………...... v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .………………….. vi

UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………... vii

HALAMAN ABSTRAK……...…………………………………… x

HALAMAN ABSTRACT………………………………………… xi

RINGKASAN……………………………………………………… xii

DAFTAR ISI……………………………………………………… xiv

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LatarBelakang Masalah…………………………………… 1

1.2. RumusanMasalah…………………………………………. 10

1.3. RuangLingkup Masalah…………………………………... 11

1.4. TujuanPenelitian………………………………………….. 11

1.4.1. Tujuan Umum………………………………………….. 11

1.4.2. TujuanKhusus…………………………………………. 11

1.5. Manfaat Penelitian……………………………………………. 12

1.5.1. Manfaat Teoritis………………………………………… 12

1.5.2. ManfaatPraktis………………………………………… 12

1.6. Orisinalitas Penelitian………………………………………… 13

1.7. Landasan Teroritis …….……………………………………... 15

1.8. Metode Penelitian……………………………………………. 33

1.8.1. Jenis Penelitian…………………………………………. 33

1.8.2. Jenis Pendekatan………………………………………… 34

1.8.3. Sumber Bahan Hukum…………………………………. 35

1.8.4. TeknikPengumpulan Bahan Hukum……………........... 37

1.8.5. Teknik Analisis………………………..……………….. 38

BAB II TINJAUAN UMUM

2.1. Konsep Jasa Akomodasi Wisata………………………………… 39

2.2. Konsep Persaingan Usaha……..………………………………… 49

2.3. Konsep Perizinan……………………………………………….. 56

BAB III PENGATURAN PENYEDIAAN JASA DAN AKOMODASI

WISATA

3.1. Pengertian dan Jenis Peraturan Perundang-undangan………. 63

3.2. Pengaturan Jasa Pariwisata dan Akomodasi Wisata..……….. 73

3.2.1. Pariwisata……………………………………………... 73

3.2.2. Akomodasi Wisata …………………………………… 76

3.3. Pengaturan Standarisasi Akomodasi Wisata Di Indonesia……. 81

BAB IV PENGATURAN PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN

PENGENDALI PERSAINGAN TIDAK SEHAT DALAM

PENYEDIAAN JASA AKOMODASI PONDOK WISATA

4.1. Pengaturan Jasa Akomodasi Pondok Wisata………………… 96

4.2. Pengaturan Standarisasi Jasa Akomodasi Pondok Wisata…… 103

4.3.Kebijakan Perizinan Sebagai Instrumen PengendalianTerhadap

Persaingan Usaha Penyediaan Pondok Wisata……………… 112

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan…………………………………………………………. 126

5.2. Saran……………………………………………………………... 127

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada dasawarsa terakhir negara-negara berkembang menaruh perhatian

lebih pada sektor pariwisata, dapat dilihat dengan semakin maraknya program

pengembangan kepariwisataan.1 Pariwisata merupakan sebuah bisnis yang besar.

Jutaan orang mengeluarkan triliunan dolar Amerika meninggalkan rumah dan

pekerjaan untuk memuaskan atau membahagiakan diri (pleasure) dan untuk

menghabiskan waktu luang (leisure).2

Baik di tingkat nasional maupun daerah, pariwisata adalah salah satu

andalan bagi pembangunan dalam perolehan devisa. Oleh karena itu, pembangunan

pariwisata Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing secara berkelanjutan

serta menciptakan inovasi baru untuk mempertahankan.3 Sebagai Negara Kepulauan

terbesar di Dunia, sesungguhnya Indonesia dapat dijadikan modal dasar sekaligus

keunggulan kompratif guna pengembangan sektor pariwisata karena memiliki

potensi alam dan budaya yang sangat luar biasa. Potensi yang dimiliki dapat

1 I Gusti Ngurah Parikesit Widieatedja, 2010, Liberalisasi Jasa Dan Masa Depan

Pariwisata Kita, Udayana University Press, Denpasar, h. 9. 2 I Gede Pitana, Ketut Surya Diarta, 2009, Pengantar Ilmu Pariwisata, Andi,

Yogyakarta, h.32. 3 Made Metu Dhana, 2012, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap Wisatawan,

Paramita, Surabaya, h. 1.

dikonversi menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi dengan nilai kompetitif yang

tinggi.

Bali sebagai ikon dan figurasi pariwisata di Indonesia menjadi satu

destinasi wisata dunia yang sangat populer. Pariwisata yang tak ubahnya sebagai

generator penggerak pembangunan perekonomian masyarakat. Berbagai pengamatan

secara empiris tidak kurang dari 80% dari seluruh masyarakat di Bali baik secara

langsung maupun tidak langsung menggantungkan hidupnya pada pariwisata.4

Pemerintah Provinsi Bali sebagai pemegang otoritas dan legitimasi berinteraksi

langsung di tataran implematif konsep pengembangan pariwisata.

Bisnis pariwisata merupakan aspek kegiatan kepariwisataan yang

orientasinya pada penyedian jasa pariwisata. Bisnis Pariwisata tersebut antara lain

jasa pariwisata (service) yang dibutuhkan wisatawan. Kegiatan ini meliputi jasa

perjalanan (travel) dan transportasi (transportation), penginapan (accomodation),

jasa boga (restaurant), reakreasi (recreation), dan jasa-jasa lain yang terkait seperti

jasa informasi telekomunikasi, penyediaan fasilitas dan tempat untuk kegiatan

tertentu, penukaran uang (money changer) serta jasa hiburan (entertaiment).5

Badan Pusat Statistik (BPS) Bali mencatat jumlah wisatawan mancanegara

yang berkunjung ke Bali selama bulan Januari-Desember 2013 paling banyak adalah

kebangsaan Australia sejumlah 826.388 orang, Cina sejumlah 387.533 orang, Jepang

4 I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata

Konstruksi Konsep Ragam Masalah dan Alternatif Solusi Udayana University Press, Denpasar,

h. 21. 5 Ida Bagus Wyasa Putra. et.al, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, PT Refika Afitama,

Bandung, h.18.

sejumlah 208.116 orang, Malaysia sejumlah 199.232 orang, Singapura sejumlah

138.388 orang, New Zealand sejumlah 48.749 orang, Thailand sejumlah 34.728

orang.6 Selama tahun 2014 hingga bulan agustus sudah tercatat 2,4 juta orang atau

bertambah 15,51 persen jika dibandingkan periode sama tahun 2013 sebanyak 2,1

juta orang.7 Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Bali terhitung sejak Januari 2015

hingga Desember 2015 kunjungan wisatawan ke Bali sejumlah 4,002 juta orang.

Wisatawan mancanegara yang berasal dari Australia masih menempati posisi nomor

satu yaitu sejumlah 965.330 orang, kemudian China sebanyak 687.633 orang, Jepang

sebanyak 228.035 orang, Malaysia sebanyak 190.317 orang, dan Inggris sebanyak

167.527 orang.8 Kemudian pada periode Januari – Desember tahun 2016, secara

kumulatif wisatawan mancanegara yang datang ke Bali sejumlah 4.927.937

kunjungan. Untuk periode tersebut asal wisatawan mancanegara yang paling banyak

datang ke Bali adalah berkebangsaan Australia, Tiongkok, Jepang, Inggris, dan India

dengan persentase masing-masing sebesar 23,20 persen, 20,11 persen, 4,77 persen,

4,50 persen,dan 3,80 persen.9

Lebih cermat melihat perkembangan dari kepariwisataan dunia yang terus

bergerak dinamis dan cendrung dari pihak wisatawan tersebut untuk melakukan

wisata dalam berbagai pola yang berbeda yang merupakan peluang maupun

6 Parwata; 2014, Pariwisata Bali Minim Anggaran Promosi, Majalah Bali Post, Vol. 33,

Bali. 7 Radar Bali, Sampai September, Turis Asing Capai 2,4 Juta, Tgl. 16 September 2014, h.

16 8 http://industri.bisnis.com/read/20160202/12/515410/tahun-lalu-tercapai-bali-naikkan-

target-wisman-pada-2016, diakses tgl 7 Maret 2017 9 https://bali.bps.go.id/webbeta/website/brs_ind/brsInd-20170217073547.pdf, diakses tgl 7

Maret 2017

tantangan bagi pengembangan kepariwisataan di Indonesia. Sejumlah pelaku

pariwisata yang bergerak dalam bidang travel agent mengeluhkan berbagai persoalan

klasik. Minimnya koordinasi investasi antara dunia bisnis, investasi dan pariwisata

menyebabkan pembangunan pariwisata tidak terpadu dan bergerak tercerai berai.10

Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyebutkan di dalam

pembukaannya bahwa salah satu tujuan Negara Indonesia adalah untuk memajukan

kesejahteraan umum ditegaskan pada pasal 33 ayat 4 perekonomian Nasional

diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kemandirian

serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi Nasional,

kebersamaan, dan efisiensi berkeadilan berkelanjutan berwawasan lingkungan.

Pemerintah telah meluncurkan sederet kebijakan yang berujung pada penempatan

pariwisata sebagai salah satu yang berpotensial menghasilkan devisa. Tak ayal

terjadi akselerasi perkembangan usaha jasa pariwisata, di satu sisi diwarnai oleh

berbagai macam bentuk kebijakan pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar

menjadi terdistorsi. Disisi lain, perkembangan jasa pariwisata pada kenyataannya

sebagian besar adalah perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.

Salah satu faktor penyebab ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak

mampu bersaing adalah karena munculnya konglomerasi serta sekelompok kecil

pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati. Agar dunia

usaha jasa pariwisata dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar,

sehingga tercipta iklim persaingan usaha jasa pariwisata yang sehat, serta

10 Otto R Payangan,2014, Pemasaran Jasa Pariwisata, IPBPress, Makasar, h.1

terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu,

antara lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha jasa tidak sehat

yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.

Dalam penulisan karya tulis ini penulis akan membahas mengenai jasa

pariwisata khususnya pada jasa akomodasi dalam bentuk pondok wisata. Usaha jasa

pariwisata adalah suatu bisnis yang kegiatan utamanya menjual jasa-jasa pariwisata

kepada para wisatawan baik domestik maupun mancanegara.11 Salah satu yang

termasuk usaha jasa pariwisata adalah usaha jasa akomodasi. Usaha akomodasi

memberikan pelayanan kepada tamu yang menginginkan penyewaan penginapan

(tempat tinggal) baik dalam jangka waktu pendek maupun agak lama.12 Sedangkan

akomodasi adalah suatu sarana yang menyediakan jasa pelayanan penginapan yang

dapat dilengkapi dengan pelayanan makanan dan minuman serta jasa lainnya.13

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pada

pasal 14 ayat (1) huruf f yang dimaksud dengan usaha penyediaan akomodasi

adalah usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi

dengan pelayanan pariwisata lainnya. Usaha penyediaan berupa hotel villa,

pondok wisata, bumi perkemahan, pesinggahan caravan dan akomomodasi lainnya

yang digunakan untuk tujuan pariwisata. Dari berbagai jenis sarana akomodasi

yang disediakan oleh destinasi wisata di dunia, Indonesia di daerah Bali khususnya

11 Bagyono, 2012, Pariwisata dan Perhotelan, Alfabeta, Bandung, h. 25 12 Ibid, h. 27 13 Muljadi A.J., 2012, Kepariwisataan dan Perjalanan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

h. 60

Denpasar sangat familiar dengan sarana akomodasi dalam bentuk hotel dan pondok

wisata.14

Hadirnya berbagai macam jenis sarana akomodasi tersebut, memunculkan

dampak terhadap persaingan yang cukup ketat diantara usaha jasa yang sejenis.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Pasal 54

menyebutkan bahwa, usaha pariwisata harus memiliki standar yang di dalamnya

terdiri dari produk, pelayanan, dan pengelolaan yang baik. Usaha jasa yang dimaksud

dalam undang-undang tersebut salah satunya adalah sarana akomodasi pariwisata.

Standar yang harus ditekankan dalam usaha jasa akomodasi pariwisata, yaitu

mengenai pelayanan.

Usaha pondok wisata atau homestay adalah suatu usaha perorangan dengan

menggunakan sebagian dari rumah tinggal untuk penginapan bagi setiap orang

dengan perhitungan pembayaran perhari.15 Kegiatan usaha pondok wisata tersebut

meliputi: penyediaan kamar tempat menginap; penyediaan tempat atau pelayanan

makan dan minum; pelayanan pencucian pakaian/binatu.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepariwisataan) Pasal 19 ayat

(1) huruf b yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk melakukan usaha

pariwisata. Konstruksi ini yang menjadikan masyarakat sekitar tidak lagi menjadi

komunitas marginal dan memiliki daya tawar (bargaining position) yang lebih baik

14 Ismayanti, 2010, Pengantar Pariwisata, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h.

135. 15 Ibid, h. 61.

untuk dapat menentukan sendiri dan menikmati keuntungan pariwisata yang terdapat

di wilayahnya.16 Sebagai sampel penulis mengkaji Peraturan Daerah serta Peraturan

Bupati yang ada di Bali. Sebagaimana hal tersebut terdapat dalam Peraturan Daerah

Kota Denpasar Nomor 9 Tahun 2002 tentang Usaha Pondok Wisata Pasal 2 ayat 2

modal pondok wisata dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) sehingga dapat

disimpulkan bahwa usaha pondok wisata diperkenalkan dan diizinkan untuk didirikan

oleh pemerintah untuk menunjang dan menjamin hak-hak WNI khususnya

masyarakat wilayah Denpasar atau pengusaha yang ingin berusaha di wilayah

Denpasar Bali dengan permodalan yang minim untuk membuka usaha di bidang

kepariwisataan.

Banyaknya usaha pondok wisata menyebabkan adanya persaingan, hal ini

menuntut pengusaha pondok wisata di Bali untuk lebih aktif dan kreatif berusaha

memenuhi kebutuhan konsumennya, baik dari segi mutu, nilai maupun kepuasan

konsumen. Persaingan tersebut ditunjukkan dengan semakin banyaknya pondok

wisata yang ada. Hal ini disebabkan karena Kota Denpasar merupakan barometernya

Bali sehingga banyak objek wisata yang menarik bagi wisatawan. Namun

pertumbuhan pondok wisata tersebut melampaui kebutuhan pasar, yang

mengakibatkan persaingan tidak sehat dalam bentuk penawaran tarif yang tidak

sesuai dengan standar tarif, sehingga terjadi perang tarif dan juga terjadinya

penyimpangan fungsi dari tujuan usaha pondok wisata tersebut. Penyimpangan fungsi

dari tujuan awal usaha tersebut terlihat dari banyaknya orang yang berkunjung ke

16 IGN Parikesit Widiatedja, op.cit, h. 76.

pondok wisata digunakan untuk hal-hal yang negatif.

Berbicara mengenai pasar, pasar memiliki sekurang-kurangnya tiga fungsi

utama, yaitu sebagai fungsi distribusi, pasar tersebut berperan sebagai penyalur

barang dan juga jasa dari produsen ke konsumen melalui transaksi jual beli,

kemudian sebagai fungsi pembentukan harga, dari penjual yang melakukan

permintaan atas barang yang dibutuhkan, dan sebagai fungsi promosi, pasar juga

dapat dipergunakan untuk memperkenalkan produk baru dari produsen kepada calon

konsumennya.17

Mengutip pernyataan Gubernur Bali I Made Mangku Pastika

menyatakan bahwa perang tarif hotel diyakini akan menurunkan kualitas

pariwisata Bali, menentukan harga dasar hotel untuk menghindari perang tarif

hotel perlu dibuat PERDA tentang pengaturan tarif hotel/pondok wisata karena

banyak dijumpai mengenai tarif yang dijual murah dan tidak masuk akal. Tarif yang

semestinya Rp 5.000.000 per malam tetapi dijual hanya Rp 500.000.18

Salah satu fakta hukum yang tercermin dari kasus ini, banyaknya

pendirian bangunan pondok wisata yang berada di kawasan Gatot Subroroto

khususnya wilayah Jalan Pidada mendirikan Pondok wisata dengan

memberlakukan tarif tidak sesuai dengan standar tarif pondok wisata antara

17 M.Fuad, Christine H, Nurlela, Sugiarto, dan Paulus Y.E.F., 2000, Pengantar Bisnis,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 18

http://travel.kompas.com/read/2015/01/23/082056127/Ini.Langkah.Gubernur.Bali.Atasi. Perang.Tarif.Hotel, diakses tanggal 20 juli 2015

pondok wisata yang satu dengan yang lain berbeda-beda harganya ada yang

Rp. 150.000 - Rp. 300.000 bahkan dalam hal penyewaan pondok wisata bisa perjam,

harian, mingguan dan bulanan tergantung permintaan wisatawan. Sehingga tujuan

penyediaan akomodasi tidak sesuai dengan peruntukan izin yang diberikan. Ini

merupakan faktor yang memicu pengunjung menyewa kamar pondok wisata untuk

keperluan yang tidak sesuai, karena aturan tentang kriteria waktu menginap tidak

jelas ditentukan. Kondisi seperti inilah yang dinilai memprihatinkan sehingga

menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Jika kondisi ini berlangsung secara

terus menerus maka dapat menurunkan kualitas pariwisata yang berpengaruh

terhadap citra pariwisata. Tarif yang murah dapat mengurangi kualitas fasilitas dan

pelayanan karena disesuaikan dengan tarif yang diturunkan.

Kekosongan norma yang mengatur jumlah pondok wisata pada kawasan

tertentu sehingga perizinan tidak berfungsi sebagai instrumen pengendali persaingan

usaha. Solusinya adalah perlu diatur mengenai pembatasan jumlah pondok wisata

pada kawasan tertentu berdasarkan kebutuhan pasar, sehingga perizinan dapat

berfungsi sebagai instrumen pengendali persaingan usaha.

Pentingnya penulisan hukum ini dilakukan karena melihat kasus hukum

di atas berkaitan dengan jasa akomodasi wisata terdapat beberapa masalah yang

dihadapi terhadap pendirian pondok wisata tidak memenuhi standar pondok wisata,

terjadi perang tarif antara penyedia jasa akomodasi wisata dan perang tarif

mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat. Salah satu instrumen yang

dapat dipergunakan untuk mengendalikan usaha atau kegiatan tersebut adalah melalui

instrumen perizinan. Izin merupakan instrumen yang banyak digunakan dalam hukum

administrasi. Pemerintah mengeluarkan izin untuk mengatur segala tindakan-tindakan

yang terdapat didalam masyarakat, agar tidak bertentangan dengan ketentuan serta

perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pola pikir tersebut, maka pada kesempatan ini penulis sangat

berminat mengkaji lebih dalam mengenai pengaturan penyediaan jasa akomodasi

pondok wisata dan pengaturan perizinan sebagai instrumen pengendali persaingan

tidak sehat dalam penyediaan jasa akomodasi pondok wisata. Kajian tersebut

dituangkan ke dalam karya tulis yang berjudul PERIZINAN SEBAGAI

INSTRUMEN PENGENDALI PERSAINGAN TIDAK SEHAT DALAM

PENYEDIAAN JASA AKOMODASI PONDOK WISATA.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas maka dapat diperoleh rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan penyediaan jasa akomodasi pondok wisata?

2. Bagaimanakah pengaturan perizinan sebagai instrumen pengendali

persaingan tidak sehat dalam penyediaan jasa akomodasi pondok wisata?

1.3 Ruang lingkup Masalah

Adapun ruang lingkup masalah dalam tulisan ini adalah mencangkup

mengenai pengaturan penyediaan jasa akomodasi pondok wisata serta pengaturan

perizinan sebagai instrumen pengendali persaingan tidak sehat dalam penyediaan jasa

akomodasi pondok wisata.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum,

khususnya Hukum Kepariwisataan yang membahas mengenai persaingan tidak sehat

dalam penyediaan jasa akomodasi pondok wisata.

1.4.2 Tujuan Khusus

Disamping tujuan umum tersebut diatas, penelitian ini secara spesifik

diharapkan mampu:

1. Untuk menganalisis pengaturan penyediaan jasa akomodasi pondok wisata.

2. Untuk menganalisis pengaturan perizinan sebagai instrumen pengendali

persaingan tidak sehat dalam penyediaan jasa akomodasi pondok wisata.

1.5 Manfaat Penelitian

Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya

sehingga penelitan ini bermanfaat secara teoritis dan praktis.

1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan

pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum kepariwisataan,

khususnya tentang perizinan sebagai pengendali persaingan tidak sehat dalam

penyediaan akomodasi pondok wisata.

1.5.2 Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis yaitu

memberi sumbangan pemikiran terhadap Pemerintah, agar dapat menindaklanjuti dari

permasalahan yang muncul akibat dari adanya persaingan tidak sehat dalam

penyediaan jasa pondok wisata.

1.6 Orisinalitas Penelitian

Originalitas penelitian adalah bagian penting dalam penelitian hukum dan

tentunya penelitian-penelitian bidang ilmu lainnya. Masalah originalitas menjadi

sangat penting seperti dikatakan Ruus VerSteeg “In order to be copyrightable, a

work must be original”.19

19 Ruus Versteeg dalam Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi,2014, Penelitian Hukum

(Legal Research), Sinar Grafika, Jakarta, h. 26

Dalam penulisan tesis ini, saya menemukan tulisan-tulisan yang kajiannya

mirip dengan karya tulis ini, adapun tulisan tersebut antara lain :

1. PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALIAN USAHA PONDOK

WISATA PADA KAWASAN TAMAN WISATA ALAM DI PROVINSI BALI

Oleh Dewa Ayu Widya Sari, Magister Hukum Universitas Udayana 2013.

Rumusan masalahnya :

1. Dapatkah pengusahaan pondok wisata dilakukan pada kawasan taman

wisata yang digolongkan sebagai kawasan lindung di Provinsi Bali?

2. Upaya apakah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau

Pemerintah Daerah untuk member kepastian hukum terkait adanya konflik

norma dalam pengaturan izin pengusahaan bagi pondok wisata pada

kawasan taman wisata alam?

Perbedaan tesis Dewa Ayu Widya Sari dengan karya tulis ini dapat dilihat

dari pembahasannya, Dewa Ayu lebih membahas mengenai pengaturan izin usaha

pondok wisata yang dilakukan pada kawasan taman wisata alam yang merupakan

bagian dari kawasan lindung. Sedangkan tesis ini membahas tentang pengaturan

perizinan sebagai instrumen pengendali persaingan tidak sehat dalam penyediaan jasa

akomodasi pondok wisata. Dewa Ayu lebih menitik beratkan pada kepastian hukum

yang dapat diberikan oleh pemerintah terkait didirikannya usaha pondok wisata pada

kawasan lindung. Sedangkan tesis ini lebih membahas tentang pengaturan penyediaan

jasa akomodasi pondok wisata.

Persamaan tesis Dewa Ayu dengan tesis ini adalah sama-sama membahas

tentang perizinan yang berkaitan dengan usaha pondok wisata.

2. PERLINDUNGAN HUKUM HAK ATAS MEREK TERDAFTAR DALAM

PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Oleh Gatot Ismono, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro 2005.

Rumusan masalahnya :

1. Bagaimanakah perlindungan hukum hak atas merek terdaftar dalam

persaingan usaha tidak sehat?

2. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum hak atas merek terdaftar

dalam persaingan usaha tidak sehat?

Perbedaan tesis Gatot Ismono dengan karya tulis ini terletak pada objek

kajiannya, Gatot Ismono menggunakan hak atas merek, sedangkan tesis ini

menekankan pada penyediaan jasa akomodasi pondok wisata.

Persamaannya adalah sama-sama membahas tentang persaingan tidak sehat

dan sama-sama membahas tentang konstruksi hukum yang mengatur.

3. PENGATURAN RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU PADA

PEMERINTAHAN KOTA DENPASAR

Oleh Komang Lestari Kusuma Dewi, Magister Hukum Universitas

Udayana 2010.

Rumusan masalahnya :

1. Bagaimanakah kriteria dan tolok ukur untuk menentukan retribusi

perizinan tertentu pada pemerintahan Kota Denpasar?

2. Bagaimanakah pengaturan retribusi perizinan tertentu pada pemerintahan

Kota Denpasar?

Perbedaan tesis Komang Lestari dengan karya tulis ini adalah: Komang

Lestari membahas mengenai tolok ukur retribusi perizinan, sedangkan tesis ini

membahas tentang kontruksi norma hukum apa yang dapat mencegah terjadinya

persaingan usaha tidak sehat.

Persamaannya adalah sama-sama membahas tentang perizinan.

1.7 Landasan Teoritis

Fred N. Kerlinger mengemukakan pengertian teori sebagai seperangkat

konstruk (konsep), batasan, dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis

mengenai fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variable, dengan

tujuan untuk memprediksikan dan menjelaskan gejala itu.20

Teori hukum jelas berbeda antara apa yang dipahami dengan hukum

positif, hal ini perlu dipahami untuk menghindari kesalahpahaman, bahwa seolah-

olah tidak dibedakan diantara keduanya. Ada kajian filosofis di dalam teori hukum

sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch bahwa tugas teori hukum adalah

membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan

20 Fred N. Kerlinger dalam Salim Hs dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori

Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 6

filosofisnya tertinggi.21 Adapun teori yang digunakan dalam karya tulis ini adalah

sebagai berikut:

1. Teori Perundang Undangan

Teori Perundang-undangan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai

pisau analisa untuk menjawab rumusan masalah pertama pengaturan penyediaan

jasa akomodasi pondok wisata bagaimana dalam membuat suatu aturan hukum

dapat menjawab dan mengakomodir permasalahan yang ada sehingga aturan

hukum dapat berlaku efektif dan diterima dalam masyarakat. Dalam pengaturan

penyedian jasa akomodasi wisata berdasarkan Undang-Undang tentang

Kepariwisatan Pasal 14 ayat (1) huruf f yang dimaksudkan dengan usaha

penyediaan akomodasi adalah usaha yang menyediakan pelayanan penginapan

yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya. Usaha penyediaan

akomodasi dapat berupa hotel, villa, pondok wisata, bumi perkemahan caravan

dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata. Merujuk pada

pengertian jasa pariwisata terdapat beberapa masalah terdapatnya perang tarif

harga antar penyedia jasa akomodasi wisata dan terdapat penyediaan jasa yang

tidak sesuai dengan standar jasa akomodasi wisata sehingga diperlukan suatu

aturan hukum untuk menindak jelas permasalahan yang terjadi sehingga

dipergunakan teori perundang-undangan untuk membedah masalah pengaturan

21 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum :Mengingat, Mengumpulkan

dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, h. 45.

jasa akomodasi wisata aturan hukum yang dibuat berlandaskan yuridis,

sosiologis dan filosofis.

Teori Perundang Undangan (Gesetzgebungstheorie), yang berorientasi

pada mencari kejelasan serta kejernihan makna atau pengertian-pengertian

(begripsvorming dan begripsverheldering), dan bersifat kognitif

(erklarungsorientiert).22 Dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan (LN No.82 Tahun 2011-

TLN No.5234) selanjutnya disingkat Undang-Undang Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang Undangan “Peraturan Perundang-undangan merupakan

peraturan tertulis yang mengandung norma hukum yang mengikat secara umum dan

dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui

prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”.

Menurut Bagir Manan, agar pembentukan peraturan perundang-undangan

menghasilkan suatu aturan yang tangguh dan berkualitas maka harus terdapat tiga

landasan dalam menyusun undang-undang23:

1. Landasan yuridis (juridische gelding) yakni pertama, harus ada kewenangan

dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-

undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Apaila tidak

maka peraturan perundang-undangan tersebut batal demi hukum (van

rechtswegenietig) dan dianggap tidak pernah ada sehingga segala akibatnya

batal secara hukum. Misalnya, undang-undang dalam arti formal (wet in

22 Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi

Muatan, PT Kanisius, Yogyakarta, h.8. 23 Yuliandri, 2013, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:

Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, dikutip dari Bagir Manan, Dasar-Dasar

Konstitusional Peraturan Perundang Undangan Nasional, Cetakan ke IV, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta, h. 29.

formelezin) dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Setiap undang-

undang yang tidak merupakan produk bersama antara Presiden dan DPR

adalah batal demi hukum. Begitu pula Keputusan Menteri, Peraturan Daerah

dan sebagainya harus juga menunjukkan kewenangan dari pembuatnya.

Kemudian yang kedua, harus adanya kesesuaian dari bentuk atau jenis

peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama apabila

merupakan perintah turunan dari peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi atau sederajat. Ketidaksesuaian bentuk ini dapat menjadi alasan untuk

membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut. Selanjutnya yang

ketiga adalah harus mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut

tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau

tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat. Peraturan Daerah dibuat

oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD. Apabila ada Peraturan Daerah

tanpa (mencantumkan) persetujuan DPRD maka batal demi hukum. Dalam

undang-undang tentang pengundangan (pengumuman) bahwa setiap undang-

undang harus diundangkan dalam Lembaran Negara sebagai satu-satunya cara

untuk mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selama pengundangan tersebut

belum dilakukan, maka undang-undang tersebut belum mengikat. Keempat

adalah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung

kaidah yang bertentangan dengan UUD. Demikian pula seterusnya sampai

pada peraturan perundang-undangan tingkat lebih bawah.

2. Landasan sosiologis (sociologische gelding), yaitu mencerminkan kenyataan

yang hidup dalam masyarakat. Dalam satu masyarakat industri,

hukum/peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan kenyataan-

kenyataan yang ada di dalam masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu

dapat berupa kebutuhan maupun tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi

seperti masalah perburuhan, hubungan majikan-buruh, dan lain-lain.

3. Landasan filosofis, bahwa setiap masyarakat selalu mempunyai cita-cita

hukum (rechtsidee) yaitu hukum yang diharapkan, misalnya untuk menjamin

keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya. Rechtidee tersebut tumbuh

dari sistem penilaian mereka tentang baik dan buruk pandangan mereka terkait

hubungan individual dan kemasyarakatan, mengenai kebendaan, kedudukan

wanita, dunia gaib dan lain sebagainya yang bersifat filosofis. Ini berarti

menyangkut pandangan tentang inti atau hakekat sesuatu. Hukum diharapkan

mencerminkan sistem nilai tersebut baik sebagai sarana yang melindungi

nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku

masyarakat. Nilai-nilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat sehingga

setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan harus dapat

menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum/peraturan perundang-

undangan. Tetapi ada kalanya sistem nilai tersebut telah terangkum secara

sistematik dalam satu rangkuman baik berupa teori-teori filsafat maupun

dalam doktrin-doktrin filsafat resmi seperti yang tercantum pada Pancasila.

Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-

undangan sudah seharusnya memperhatikan sungguh-

sungguh rechtsidee yang terkandung dalam Pancasila.24

Pentingnya ketiga unsur landasan pembentukan peraturan perundang-

undang tersebut, agar undang-undang yang dibentuk memiliki kaidah yang sah secara

hukum (legal validity) serta mampu berlaku efektif karena dapat atau akan diterima

masyarakat secara wajar, dan berlaku untuk waktu yang panjang.

Dalam tataran pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori

penjenjangan hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam

teori tersebut Hans Kelsen mengemukakan bahwa ”The unity of thesenorm is

constituted by the fact that the creation of one norm-the lower one-is determined by

another-the higher-the creation of which is determined by a still higher norm, and

that this regressus is terminated by a highest,....”25 yang artinya adalah kesatuan

norma-norma ini ditunjukan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu yaitu

norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi dan bahwa

24 Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill. Co, Jakarta,

1992, h. 13 - 18.

25 Hans Kelsen, Op.cit, h. 124.

regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh norma dasar

tertinggi.

Norma dasar (Grundnorm) yang merupakan norma tertinggi dalam suatu

sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi,

tetapi norma dasar tersebut ditetapkan lebih dulu oleh masyarakat sebagai norma

dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya.

Adolf Merkl mengilhami ajaran teori penjenjangan norma hukum dari

Hans Kelsen tersebut dengan mengatakan bahwa suatu norma hukum itu selalu

mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechsantlitz). Menurutnya, suatu norma hukum

itu ke atas bersumber dan berdasarkan pada norma yang ada di atasnya, akan tetapi ke

bawah juga menjadi dasar dan sumber bagi norma hukum yang berada di bawahnya

sehingga suatu norma hukum itu memiliki masa berlaku (rechtskraht) yang relatif

oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum

yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang berada di atasnya

dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya akan

tercabut atau terhapus pula.26

Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

26 Maria Farida Indrati Soeprapto, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius,

Yogyakarta, 1998, hal 25.

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam Pasal 7 ayat (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai

dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam penjelasan umum Pasal

7 ayat (2) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” ialah penjenjangan

setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa

Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan

Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pada pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah (LN No. 244-TLN No. 5587) selanjutnya disingkat Undang

Undang Pemerintah Daerah “Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur

penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom”. Dalam menyelenggarakan

unsur pemerintahan di daerah, maka dilaksanakan melalui 3 (tiga) asas yaitu:

1. Asas Desentralisasi, merupakan penyerahan wewenang pemerintahan

oleh pemerintah kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam sistem NKRI.

2. Asas Dekonentrasi, merupakan pelimpahan wewenang pemerintahan

oleh pemerintah pada Gubernur sebagai wakil pemerintah kepada

instansi vertial di wilayah tertentu.

3. Asas Tugas Pembantuan, merupakan penugasan dari pemerintah kepada

daerah dan/desa; dari pemerintah provinsi kepada pemerintah

kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.27

2. Teori Persaingan Usaha

Teori persaingan usaha digunakan dalam penulisan tesis ini sebagai

pisau analisa untuk menjawab rumusan masalah kedua pengaturan perizinan

sebagai instrumen pengendali persaingan tidak sehat dalam penyediaan jasa

akomodasi pondok wisata dengan teori Michael Porter yang terkenal dengan

dengan menganalisis persaingan atau competition analysis lebih dikenal istilah

Porter Five Forces Model sebagai alat analisa agar tidak terjadi persaingan

usaha. Pendekatan dan penggunaan analisis ini harus disusun dengan

pertimbangan-pertimbangan dengan tidak menghilangkan keadilan sehingga

keadilan menjadikan ekonomi standar yang didasari oleh tiga elemen dasar

yaitu, nilai, kegunaan dan efsiensi. Porter Five Force Model menjadi acuan

undang-undang guna menilai sampai sejauh mana dampak dari pemberlakuan

suatu ketentuan hukum/ peraturan perundang-undangan kepada masyarakat. Dari

sini dapat lebih mudah diketahui reaksi masyarakat dan kemanfaatan yang

mampu diberikan oleh ketentuan hukum. Dapat dikatakan bahwa analisis

keekonomian hukum merupakan analisa hukum yang dibangun dengan

27 Siswanto Sunarno, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 7.

menggunakan pendekatan dasar-dasar ekonomi sekaligus mengedepankan analisa

hukum dengan alasan pertimbangan alasan ekonomi. Sehingga permasalahan yang

dihadapi oleh hukum terjawab dengan baik terutama dalam pemenuhan

kepuasaan masyarakat yang terkena dampak aturan tersebut.

Persaingan menurut Organization for Economic Co-operation and

Development (EOCD) utama adalah sebagai berikut :

A situation in a market in which firms or sellers independently strive for

the patronage of buyers in order to achieve a particular bussines objective,

e.g. profits, saales, and/or market shares. Competition in this context is

often equated with rivalry. Competitive rivalry between firms can occur

when there are two firms or many firms. This is rivalry may take place in

term of price, quality, service, or combination of these and the other

factors, which customers may value. Competition is viewed as an important

process by which firms are forced to become efficient and offer greater

choice of products and services at lower prices. It gives rise to increased

consumer wefare and allocative efficiency. It includes the concept to

“dynamic efficiency” by which firms engage in innovation and foster

technological change and progress.28

Dari pengertian tersebut di atas jelas disebutkan bahwa situasi di sebuah

pasar dimana perusahaan atau penjual secara independen berusaha untuk memberikan

perlindungan kepada pembeli untuk mencapai tujuan bisnis tertentu, misalnya

keuntungan, penjualan saham, dan / atau pangsa pasar. Persaingan dalam konteks ini

sering disamakan dengan pertandingan. Pertandingan kompetitif antara perusahaan

dapat terjadi ketika ada dua perusahaan atau banyak perusahaan. Pertandingan ini

dapat terjadi dalam hal harga, kualitas, layanan, atau kombinasi dari ini dan faktor-

faktor lainnya, yang pelanggan dapat menghargai. Persaingan dipandang sebagai

28 OECD dalam Ridho Jusmadi, 2014, Konsep Hukum Persaingan Usaha : Sejarah,

Kaidah Perdagangan Bebas, dan Pengaturan Merger-Aquisi, Setara Press, Malang, h. 34

proses penting dimana perusahaan dipaksa untuk menjadi efisien dan menawarkan

pilihan yang lebih besar dari produk dan jasa dengan harga yang lebih rendah. Ini

menimbulkan peningkatan kesejahteraan konsumen dan efisiensi alokatif. Ini

mencakup konsep untuk "efisiensi dinamis" dimana perusahaan terlibat dalam inovasi

dan mendorong perubahan dan kemajuan teknologi.

Persaingan adalah satu karakter kehidupan manusia yang mengarah untuk

saling mengalahkan dalam berbagai macam hal. Sesungguhnya persaingan dalam

dunia usaha merupakan suatu syarat mutlak (condition sine qua non) agar

terselenggaranya suatu perekonomian yang berorientasi pasar (market economy).

Hukum sangat berperan dalam persaingan usaha yaitu untuk terlaksananya suatu

persaingan yang sehat dan adil (fair competition) sekaligus mencegah timbulnya

persaingan tidak sehat (unfair competition) sebab persaingan yang tidak sehat hanya

akan timbul ketika matinya persaingan usaha yang pada gilirannya akan

menimbulkan monopoli.29

Persaingan merupakan suatu elemen yang melekat dalam perekonomian

modern. Pelaku usaha sadar bahwa dalam dunia perbisnisan sangat wajar untuk

mencari keuntungan usaha yang jujur. Sehingga kebutuhan akan hukum persaingan

merupakan kebutuhan prinsipil mengenai code of conduct yang dapat mengarahkan

pelaku usaha untuk bersaing secara sehat dan jujur.30

29 Johny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha : Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya

di Indonesia, Malang, Bayu Media Publishing, 2007, h. 40 30 Hikmahanto Juwana, Sekaligus Tentang Hukum Persaingan dan UU No. 5 Tahun 1999,

Depok, Jurnal Magister Hukum 1, 2005, h. 27.

Makna harga sangat berhubungan erat dengan penetapan harga, berawal

dari hal sederhana, bahwa harga (price) dan manfaat merupakan konsep yang saling

berkaitan. Manfaat (utility) adalah atribut sebuah item/barang yang mempunyai

kemampuan untuk memuaskan keinginan. Penetapan harga yang dimaksud sering

tidak mencerminkan kondisi persaingan antara yang satu dengan yang lainnya,

persaingan tidak untuk mematikan pelaku usaha lain, namun membangkitkan

keinginan untuk lebih berinovasi dan unggul dalam memberikan pelayanan.

Menurut Adam Smith persaingan akan menjadi sebuah sistem ekonomi

yang bisa mengatur diri sendiri dan kemakmuran. Kemakmuran terjadi jika semua

kebutuhan dan fasilitas untuk hidup tersedia dengan harga murah.Melalui persaingan

berarti pula harga rendah dan lebih banyak pekerjaan yang mempunyai standar hidup

tinggi.

Maka dari itu negara sebagai as regulator mempunyai kewenangan untuk

membentuk suatu kebijakan mengenai aturan-aturan tarif. Aturan-aturan tarif yang

tinggi, kewajiban, kuota, dan aturan-aturan lainnya yang ditunjukan untuk membatasi

perdagangan, produksi, dan pada akhirnya membatasi standar hidup.31

Di dalam teori persaingan kita mengenal adanya suatu teori dari Michael

Porter yang sangat terkenal pada saat menganalisis persaingan atau competition

analysis. Teori tersebut sangat terkenal dengan istilah Porter Five Forces Model.

Intinya adalah Porter menilai bahwa perusahaan secara nyata tidak hanya bersaing

31 Mark Skousen, 2006, Sang Maestro ”Teori-teori Ekonomi Modern”: Sejarah Pemikiran

Ekonomi, Cet ke. 2, Prenada Media, Jakarta, h. 20.

dengan perusahaan yang ada dalam industri saat ini. Analisis yang biasa digunakan

sebuah perusahaan adalah siapa pesaing langsung perusahaan tersebut dan akhirnya

mereka terjebak dalam “competitor oriented”, sehingga tidak mempunyai visi pasar

yang jelas. Dalam five forces model digambarkan bahwa kita juga bersaing dengan

pesaing potensial kita, yaitu mereka yang akan masuk, para pemasok atau suplier,

para pembeli atau konsumen, dan produsen produk-produk pengganti. Dengan hal

tersebut, kita harus mengetahui bahwa ada lima kekuatan yang menentukan

karakteristik suatu industri, yaitu :

1) Intensitas persaingan antar pemain yang ada saat ini

Kekuatan pertama yang biasanya menjadi fokus dari para pemasar ialah

tentang intensitas rivalitas atau persaingan antar pemain dalam industri.

Biasanya intensitas persaingan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor,

misalnya struktur biaya produk. Semakin besar porsi biaya tetap dalam

struktur biaya, maka semakin tinggi intensitas persaingan. Hal ini disebabkan,

setiap penjual memiliki tingkat break even point yang tinggi sehingga pada

umumnya harus menjual produk dalam jumlah yang besar, dan bila perlu

dilakukan “banting harga” agar bisa mencapai tingkat break even tersebut.

2) Ancaman masuk pendatang baru

Kekuatan ini biasanya dipengaruhi oleh besar kecilnya hambatan masuk ke

dalam industri. Hambatan masuk kedalam industri itu contohnya antara lain :

besarnya biaya investasi yang dibutuhkan, perizinan, akses terhadap bahan

mentah, akses terhadap saluran distribusi, ekuitas merek dan masih banyak

lagi. Biasanya semakin tinggi hambatan masuk, semakin rendah ancaman yg

masuk dari pendatang baru.

3) Kekuatan tawar menawar pemasok

Ketiga ialah kekuatan tawar pemasok atau supplier. Biasanya sedikit jumlah

pemasok, semakin penting produk yang dipasok, dan semakin kuat pula posisi

tawarnya.

4) Kekuatan tawar pembeli

Kekuatan keempat yaitu kekuatan tawar pembeli, dimana kita bisa melihat

bahwa semakin besar pembelian, semakin banyak pilihan yang tersedia bagi

pembeli dan pada umumnya akan membuat posisi pembeli semakin kuat.

5) Ancaman produk pengganti

Kekuatan yang terakhir ialah soal produk-produk substitusi, seberapa banyak

produk substitusi di pasar. Ketersedian produk substitusi yg banyak akan

membatasi keleluasaan pemain dalam industri untuk menentukan harga jual

produk.

Kelima kekuatan bersaing menurut Porter tersebut diatas dapat

dikategorikan sebagai faktor eksternal. Definisi dari faktor eksternal perusahaan itu

sendiri ialah lingkungan bisnis yang melengkapi operasi perusahaan yang

memunculkan peluang dan ancaman. Faktor ini mencakup lingkungan industri dan

lingkungan bisnis makro, yang membuat keadaan dalam organisasi tersebut hidup.

Elemen-elemen dari faktor eksternal tersebut ialah pemasok, pemegang saham,

komunitas lokal, pemerintah, pesaing, kreditur, pelanggan, serikat buruh, kelompok

kepentingan khusus, dan asosiasi perdagangan. Lingkungan kerja perusahaan

umumnya ialah industri dimana perusahaan tersebut dioperasikan.

3. Konsep Perizinan

Konsep Perizinan yang digunakan dalam penulisan tesis ini sebagai pisau

analisa untuk menjawab rumusan masalah kedua pengaturan perizinan sebagai

instrumen pengendali persaingan tidak sehat dalam penyediaan jasa akomodasi

pondok wisata. Perizinan salah satu wujud keputusan pemerintah yang banyak

dipergunakan untuk mempengaruhi dan mengendalikan tindakan masyarakat.

Instrumen perizinan diperlukan pemerintahuntuk mengkongkretisasi wewenang

yang mengaturnya dengan beberapa tujuan atau motif tertentu seperti tujuan

utama instrumen perizinan yang dimaksud dapat bersifat alternatif atau komulatif

dari hal-hal berikut : keinginan mengarahkan, mengendalikan aktivitas- aktivitas

tertentu dan pengarahan dengan menyelesaikan orang-orang dan aktivitas. Hal

diatas menunjukan penetapan perizinan sebagai salah satu instrumen hukum dari

pemerintah guna mengendalikan kehidupan masyarakat agar tidak menyimpang

dengan ketentuan hukum yang berlaku serta membatasi aktifitas masyarakat agar

tidak merugikan orang lain dengan demikian instrumen perizinan lebih

merupakan instrumen pencegahan atau berkarakter sebagai preventif instrumental.

Menurut Sjachran Basah, izin ialah perbuatan hukum administrasi negara

bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dengan hal konkret berdasarkan

persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh kententuan peraturan

perundang-undangan.32

NM.Spelt dan JBJM.Ten Berge membedakan penggunaan istilah perizinan

dan izin, dimana perizinan merupakan pengertian izin dalam arti luas, sedangkan

istilah izin digunakan untuk pengertian izin dalam arti sempit. Pengertian perizinan

(izin dalam arti luas) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-

undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari

ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa

memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan

tertentu yang sebenarnya dilarang.33

Sedangkan yang paling pokok dari izin dalam arti sempit (izin) adalah

bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam

ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan teliti

diberikan batas-batas tertentu bagi tiap-tiap kasus. Jadi yang menjadi masalah bukan

hanya memberikan perkenaan dalam keadaan khusus, tetapi agar tindakan-tindakan

yang diperkenankan tersebut dilakukan dengan cara-cara tertentu (dicantumkan

berbagai persyaratan dalam ketentuan-ketentuan yang bersangkutan). Terkait dengan

uraian tersebut Michael Faure and Nicole Niessen mengartikan izin sebagai berikut :

32 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada : Ed. Revisi-7-

Jakarta Rajawali Pers, 2014. h. 198 33 NM Spelt, dan JBJM Ten Berge, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh

Philipus M.Hadjon, Yuridika, Surabaya, h. 2

“The basic idea of a permit system is that the law explicitly forbids a certain

activity, and subsequently rules that this activity is only allowed when a

competent authority has issued permit”.34

Izin merupakan “Keputusan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara”.

Ini menyimpulkan bahwa dengan izin dapat dibentuk suatu hubungan hukum tertentu.

Dalam hubungan ini oleh administrasi negara/pemerintah dicantumkan syarat-syarat

serta kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati dan harus dilaksanakan oleh

pihak yang memperoleh izin. Penolakan izin hanya dilakukan apabila kriteria yang

ditetapkan oleh penguasa tidak terpenuhi atau jika disebabkan oleh suatu alasan

tertentu tidak mungkin memberi izin kepada semua orang.35

Hal tersebut menunjukkan bahwa penetapan perizinan sebagai salah satu

instrumen hukum dari pemerintah adalah untuk mengendalikan kehidupan

masyarakat agar tidak menyimpang dari ketentuan peraturan yang berlaku, serta

membatasi aktifitas masyarakat agar tidak merugikan orang lain.36

Menurut Amrah Muslimin, bahwa izin tersebut dibaginya ke dalam tiga

bagian bentuk perizinan (vergunning) yaitu :37

34 Marjan Peeters, “Elaborting on Integration of Environmental Legislation: the case of

Indonesia” dalam Faure, Michael and Niessen, Nicole, Editor, 2006, Environmental Law in

Development, Lessons from the Indonesian Experience, Edward Eglar Publishing, USA, h. 107 35 NM Spelt, dan JBJM Ten Berge,Op.Cit., h. 3 36 Tatik Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, dalam I Made

Arya Utama, h. 24 37 Adrian Sutedi, 2010, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 25

a. Lisensi, ini melambangkan izin yang sebenarnya (Deiegenlyke). Dasar

pemikiran untuk mengadakan penetapan yang merupakan lisensi ini

adalah bahwa hal-hal yang diliputi oleh lisensi diletakkan di bawah

pengawasan pemerintah, untuk mengadakan penertiban. Misalnya : Izin

perusahaan bioskop.

b. Dispensasi, ini merupakan suatu pengecualian dari ketentuan yang

sifatnya umum, dalam hal mana pembuat undang-undang sebenarnya

dalam prinsipnya tidak berniat mengadakan pengecualian.

c. Konsesi, dari sisi pemerintah yang menginginkan sendiri serta

menganjurkan adanya usaha-usaha.

Dilihat dari sudut pandang hukum administrasi negara, izin termasuk salah

satu wujud tindak pemerintahan. Izin sebagai suatu ketetapan yang pada hakikatnya

ialah tindakan hukum sepihak berdasarkan kewenangan publik yang

memperbolehkan atau memperkenankan menurut hukum bagi seseorang/badan

hukum untuk melakukan suatu kegiatan.38

Objek dari izin tersebut ialah suatu perbuatan yang sebenarnya dilarang,

namun untuk melakukan perbuatan itu diperlukan persetujuan dari pemerintah atau

pejabat yang berwenang mengeluarkan izin.39

1.8 Metode Penelitian

38 I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan

Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung. 39 Helmi, 2013, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta, h. 28

Pada intinya penelitian hukum merupakan komponen yang penting

dari praktek hukum. Hal ini merupakan proses penemuan hukum yang mengatur

aktivitas serta bahan-bahan yang menjelaskan atau menganalisa hukum tersebut..

Menurut F. Sugeng Susanto penelitian hukum ialah penelitian yang

diterapkan atau diberlakukan khusus pada ilmu hukum.40

Legal research is an essential component of legal practice. It is the

process of finding the law that governs an activity and materials that explain or

analyze that law.41

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini ialah penelitian

hukum normatif yang mana dengan mengkaji melalui peraturan perundang-

undangan dan literatur-literatur yang terkait dengan permasalahan. Pada

penelitian hukum normatif, hukum tersebut dikonsepkan sebagai suatu yang tertulis

dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai norma yang

merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.42 Penelitian hukum

40 F. Sugeng Susanto, 2007, Penelitian Hukum, CV Ganda, Yogyakarta, h. 29. 41Morris L Cohen and Kent C Olson, 2000, Legal Research in a Nutshell, West Group ,

Amerika, h. 1. 42Amiruddin dan H. Zainal Aaikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 118.

normatif dapat diartikan mengkaji adanya kekosongan norma, kekaburan norma dan

kontradiksi norma.43

Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa penelitian hukum normatif

merupakan:44

“… suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip prinsip

hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan

hukum yang dihadapi. … Penelitian hukum normatif ini dilakukan agar

menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi….”

1.8.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan diartikan sebagai usaha dalam rangka aktifitas penelitian untuk

mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti atau metode-metode untuk

mencapai pengertian tentang masalah penelitian.45

Adapun jenis pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah

pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan analisis

konsep hukum (Analytical and Conceptual Approach).

Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approcah) dilakukan dengan

cara menelaah peraturan perundang-undangan. Pendekatan ini digunakan untuk

mengkaji adanya permasalahan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang

43Jimly.com/pemikiran/getbuku/12, Diakses 17 Februari 2016. 44 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, h. 35. 45 Salim Hs dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian

Tesis dan Disertasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.17

berhubungan dengan permasalahan yang akan di bahas dalam tesis ini.

Pendekatan analisis konsep hukum (analytical and Conceptual Approach)

yang beranjak dari peraturan perundang-undangan maupun pandangan-pandangan

serta doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan belajar

memahami pandangan-pandangan serta doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum,

peneliti akan menemukan ide-ide yang relevan dengan isu yang dihadapi.46

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini yaitu

dengan dua jenis sumber bahan hukum antara lain bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder.47

Menurut Stephen Elias, bahan hukum primer ialah ”the law found in

primary source can take many different forms. The include cases, statues,

administrative regulations, local ordinances, state and federal constitutions, and

more”48.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan

mengikat.49

Bahan hukum primer yang digunakan adalah :

46 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, h.93 47 Ibid. 48 Stephen Elias, 2009, Legal Research How to Find & Understand the Law, Free Legal

Update at Nolo.com, USA, p.23. 49 Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta. h. 113.

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan;

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

4. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia

Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor PM.53/HM.001/MPEK/2013

tentang Standar Usaha Hotel

5. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 9 Tahun 2002 Tentang Usaha

Pondok Wisata.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan

penjelasan tentang bahan hukum primer yang akan memperkuat penjelasan

di dalam suatu penelitian. Bahan hukum sekunder juga termasuk publikasi

tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.50

Bahan hukum sekunder terdiri dari :

1. Buku-buku terkait hukum yang menjelaskan tentang perizinan sebagai

pengendali persaingan usaha tidak sehat dalam penyediaan jasa akomodasi

pondok wisata;

2. Jurnal-jurnal hukum yang menjelaskan tentang perizinan sebagai

pengendali persaingan usaha tidak sehat dalam penyediaan jasa akomodasi

50 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, h. 35

pondok wisata;

3. Karya tulis terkait hukum atau pandangan para ahli hukum yang dimuat

dalam media massa;

4. Kamus dan ensiklopedia hukum;

5. Internet.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan

penelitian ini ialah dengan melakukan pencatatan secara sistematis dari bahan-

bahan yang telah didapatkan melalui studi kepustakaan/studi dokumen. Penelitian

ini dilakukan terhadap berbagai jenis dokumen serta bahan-bahan hukum kepustakaan

yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yang mana

bahan-bahan hukum tersebut seperti peraturan perundang-undangan serta buku-buku

literatur dikaji dan ditelaah. Selanjutnya, hasil pengkajian tersebut dibuat resume

secara sistematis sebagai inti sari dari hasil kajian.

1.8.5 Teknik Analisis

Analisis diartikan sebagai proses mengorganisasikan serta mengurutkan

data ke dalam pola, kategori, dan juga satuan uraian dasar sehingga menemukan tema

serta dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.51

51 Salim Hs dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian

Tesis dan Disertasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.

Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik deskriptif-analisis, secara

sistematisasi dan interpretasi. Dilanjutkan dengan menyeleksi semua data dan

mengolahnya, kemudian dianalisis dengan teknik deskripsi52 yang mana menguraikan

apa adanya dari suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non

hukum serta menggambarkan secara tepat sifat atau individu, keadaan, gejala, atau

kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi gejala53. Selanjutnya menggunakan

teknik interpretasi yang mana analisis ini menggunakan penafsiran ilmu hukum

seperti penafsiran gramatika, historis dan sistimatis.

52 M Syamsudin,2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, h. 133. 53 Sri Mamudji, Dkk, 2005, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 4.