Upload
arthya-riezvan-syarief
View
946
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Beberapa Tinjauan Tentang Hukum Pidana Dan Hukum Acara Pidana oleh R Achmad S Soeman di Pradja, S.H
Citation preview
RESENSI BUKU
BEBERAPA TINJAUAN TENTANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM ACARA PIDANA
Oleh : R. Achmad S.Soema di Pradja, S.H
Bandung, 1983
NAMA : Arthya Riezvan Syarief
NPM : 110113080135
KELAS : B (SORE)
UNIVERSITAS PADJADJARANFAKULTAS HUKUM
2009BANDUNG
I. PERUBAHAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN AGRARIA JO. UNDANG-UNDANG No. 5
TAHUN 1960 dan PENGARUHNYA TERHADAP PASAL 385 KUHP
Hukum Pidana, seperti yang termuat di dalam WETBOEK VAN STRAFRECHT VOOR NEDERLANDSCH
Stbl. 1915-732 jis 1917 – 497, 645 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918 dan kini berdasarkan
Undang Undang RI No.1 tahun 1946 jo. Undang Undang No. 73 tahun 1958 diberi nama KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM PIDANA dan disingkat menjadi KUHP bukan merupakan copy-an dan W.v.s Belanda
saja, karena ternyata telah banyak perubahan pasala sebanyak 259 pasala dan memuat 92 pasal baru.
Pada tanggal 24 September 1960 telah mulai berlaku Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang
PERATURAN DASAR POKOK POKOK AGRARIA dan menurut undang-undang ini, tidak lagi dikenal hak atas
tanah berupa : “Indonesisvhe gebruiksrechten op het landsmein” seperti dimuat dalam pasal 385 KUHP
melainkan berupa “hak milik” dan lain lain hak jo. Pasal 16.
1. Tentang obyek terhadap perbuatan dimaksud dalam pasal 385 KUHP dilarang dilakukan orang.
Dengan adanya Pasal 385 KHUP yang dimuat dalam Bab tentang “penipuan” (Bedrog) dan
berada di bawah pasal 378 KUHP yang memuat perumusan mengenai perbuatan “penipuan”.
Lebih-lebih lagi apabila diingat bahwa ancaman pidana tertinggi bagi delick jo. Pasal 378 adalah
sama dengan ancaman pidanan tertinggi bagi tindak pidanan yang dimaksud dalam pasal 385
KUHP, yaitu 4 (empat) tahun.
Kenyataanya bahawa pasal VIII Undang-Undang No.I tahun 1946 telah tidak mengalami
perubahan apapun terhadap pasal 385 WvSNI. Sehingga sesuai dengan yang dicantumkan dalam
pasal III yang dimana harus dibaca “Indonesia” atau “Indonesisch (e) (en)” oleh karena itu dalam
pasal 385 KUHP tercantum istilah “Inlandsch” harus pula dibaca sebagai “Indonesisch (e)”.
Maka dalam menterjemahkan pasal 385 KUHP kedalam bahasa Indonesia, status-status tanah
tidak usah turut diterjemahkan dan pasal tersebut akan berbunyi sebagai berikut:
Diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 4 tahun :
1. Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, menjual, menukarkan, atau mempertanggungkan di bawah credit verband, sesuatu
Indonesisch gebruiksrecht atas domein-negara atau atas particuliere landerijen atas sesuatu
dengan bangunan, tanaman atau perbenihan atas tanah dengan Indonesish gebruiksrecht,
sedangkan ia mengetahui bahwa ada orang lain yang berhak atau turut berhak atas tanah itu.
2. Barang siapa dengan maksud yang sama, menjual, menukarakan atau mempertanggungkan di
bwah credit verband, sesuatu Indonesisch gebruiksrecht atas domein-negara atau atas
particuliere landerijen atas sesuatu dengan bangunan, tanaman atau perbenihan atas tanah
dengan Indonesish gebruiksrech yang telah dibebani dengan credit verband dengan tidak
memberitahukan adanya credit verband kepada pihak lain.
3. Barang siapa yang dengan maksud yang sama mempertanggungkan di bawah credit verband,
sesuatu Indonesisch gebruiksrecht atas domein-negara atau atas particuliere landerijen
dengan tidak memberitahukan kepada pihak lain, bahwa tanah-tanah itu telah digadaikan.
4. Barang siapa dengan maksud yang sama menggadaikan atau menyewa sebidang tanah atas
nama berlaku sesuatu Indonesisch gebruiksrecht sedangkan ia mengetahui bahwa ada orang
lain yang berhak atau turut berhak atas tanah itu.
5. Barang siapa dengan maksud yang sama, menjual atau menukarkan sebidang tanah atas mana
berlaku sesuatu Indonesisch gebruiksrecht yang sudah digadaikan, dengan tidak
memberitahukan kepada pihak lain tentang adanya gadaian itu.
6. Barang siapa yang dengan maksud yang sama, menyewakan sebidang tanah atas mana
berlaku sesuatu Indonesisch gebruiksrecht untuk satu masa, sedangkan ia mengetahui bahwa
untuk masa itu telah disewakan kepada orang lain.
Dengan demikian, yang dilarang dilakukan orang dalam pasal 385 KUHP bukan saja berupa
perbuatan-perbuatan: menjual, mneyawakan, menggadaikan ataupun mempertanggungkan
sebidang tanah saja, melainkan perbuatan-perbuatan tersebut haruslah ditujukan pada suatu
obyek tertentu yakni berupa: “Indonesisch gebruiksrecht op het landsdomein” atau “op
particuliere landerijen”.
Sedangkan kesengajaan yang disyaratkan dalam delik 385 KUHP, haruslah berupa:
“Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum”
Mengenai bentuk kesengajaan sedemikian ini, disyaratkan pula dalam delik 378 KUHP, yakni
mengenia perbuatan “penipuan”.
2. Tentang Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dalam hubungan nya dengan hak-hak ataupun status
tanah dimaksud dalam pasal 385 KUHP .
Perlu ditegaskan lagi disini, bahwa obyek terhadap perbuatan orang dilarang dalam pasal 385
KUHP harus lah tertuju kepada:
“enig Indonesisch gebruiksrecht op het landsdomein of op particuliere landerijen”.
Sedangkan undang-undang yang memungkinkan terciptanya status tanah berupa: “Landsdomein”
dan “Particuliere Landerijen” dimaksud, adalah:
1. Agrarisch Wet Stbl. No 1870-55 ;
2. Agrarisch Besluit Stbl. 1870-188 ;
3. Agrarisch Domein Verkl. Stbl. 1875-119 a
Yang kesemuanya itu, oleh Undang-Undang No. 5 tahun 1960 dinyatakan dicabut, dengan demikian
sejak berlakunya undang-undang tersebut yaitu semenjak tanggal 24 September 1960, status tanah
berupa “landsdomein” dan “particuliere landerijen” sudah dibuang dari kamus agrarian kita.
Dengan kata lain, sistem agraris yang telah ada sejak pada zaman Hindia Belanda telah dihapuskan
dan diganti dengan Hukum Agraria baru dilandaskan kepada hukum adat, yakni hukum asli
Indonesia yang telah disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat masa kini
3. Tentang arti dari perubahan perundang-undangan dalam Hukum-Pidana
Pasal 1 (2) KUHP mengatur tentang “peraturan-peraturan” apabila terjadinya “perubahan”
dalam perundang-undangan setelah seorang melakukan tindak-pidana, akan tetapi, sebelum ia
mulai diadili dan ternyata peraturan yang baru memuat hal-hal yang dapat menguntungkan bagi
tertuduh harus ditetapkan peraturan baru.
Mengenai hal ini terdapat 3 ajaran, yaitu ajaran formal, ajaran meteril terbatas dan ajaran meteril
tidak terbatas.
1. Menurut ajaran formal
Dianut oleh simons, baru dapat dikatakan ada “perubahan” jika diadakan “perubahan” dalam
perundang-undangan pidana sendiri. Ajaran ini sudah lama ditinggalakan orang.
2. Menurut ajaran materil terbatas
Dianut oleh Van Geuns dengan “perubahan” dimaksudkan bukan tiap-tiap perubahan dalam
perundang-undangan, melainkan perubahan yang dialirkan dari perubahan keyakinan hukum
dan bukan sebagai akibat karena keadaan yang berubah.
3. Menurut ajaran materil tak terbatas
Dianut oleh Van Genus dan Hoge Raad dalam kasus “Huurcommissie” Arrest 5-12-1921 N.J
1922 W 10850 dinyatakan bahwa “perubahan” dalam perundang-undangan berarti: “tiap-tiap
perubahan dalam perundang-undangan, yaitu dapat menguntungkan bagi diri tertuduh”.
Mahkamah Agung Indonesia dalam beberapa putusannya mensyaratkan adanya
“perubahan” dalam perundang-undangan hanya dalam hal, apabila terjadi “perubahan” dalam
“grondiee” nya (dasar pemikiran) lihat saja putusan tanggal 7-1-1964 No.143/K/Kr/1963 atau
dalam hal terjadi “perubahan” No.114 K/Kr/1963 dan 22-12-1964 L/Kr/1964
Jika kita telaah kembali kembali Penjelasan Umum dari Memori penjelasan UUPA
mengenai “Tujuan Undang-undang Pokok Agraria”, maka yang menjadi alas an-utama
dibentuknya UUPA ini adalah bahwa hukum agrarian yang berlaku selama ini (sebelum
dibentuknya UUPA) didasarkan pada tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan
sehingga karena itu bertentangan dengan kepentingan Rakyat dan Negara pada dewasa ini
dalam melaksanakan pembangunan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, setelah berlakunya UUPA di mana “grondidee” dari
Hukum Agraria dari zaman Hindia Belanda telah berubah sama sekali, maka dengan sendirinya,
“norm”-nya pun dalam pasal 385 KUHP harus turut berubah/diubah, sehingga sejalan dengan
putusan-putusan Mahkamah Agung sepertitelah dikemukakan di atas, telah terjadi
“perubahan” dalam perundang-undangan.
Ditinjau dari sudut asas-asas seperti ditentukan dalam pasal V Undang-undang No.1
tahun 1964 maka dengan terbentuknya UUPA, pasal 385 KUHP merupakan peraturan, yang:
1. Seluruhnya atau sebagian tidak dapat dijalankan;
2. Tidak merupakan arti lagi.
Kesimpulan:
UUPA member pengaruh terhadap berlakunya pasal 385 KUHP, yaitu sebagai penghapusan
berlakunya pasal 385 KUHP, singga dalam terjadinya perbuatan-perbuatan yang ditunjukan
orang terhadap/mengenai tanah milik stijl baru atau lama penuntutannya harus didasarkan
pada penuduhan pelanggara pasal-pasal KUHP tentang perbuatan “penipuan” (bedrog) jo. 385
KUHP dan tidak lagi mengenai pelanggaran dari pasal 385 KUHP.
II. PERWUJUDAN “IN CONCERTO” DARI PRINSIP YANG DIAMBIL SEMINAR HUKUM NASIONAL
1963 DALAM HUKUM PIDANA
Pada tahun 1963, Prof. Oemar Seno Adji S.H di dalam sebuah seminar di Jakarta,
mengemukakan prinsipnya dengan judul: “ASAS ASAS TATA HUKUM NASIONAL DALAM BIDANG
HUKUM PIDANA”. Dalam BAB ini akan di bahsa jawaban dari pertanyaan, apakah suatu prinsip yang
telah diambil oleh suatu seminar hukum dan dituangkan dalam sebuah Resolusi, dalam praktek
peradilan telah juga diterapkan dan apakah penerapan dari prinsip tersebut tidak bertentangan
dengan asas-asas hukm yang berlaku dalm Hukum Pidana.
1. Prinsip “Nullum Delictum” dan “Penafsiran” Hukum Pidana
Tiang utama dari Hukum Pidanan adalah asas yang termuat dalam KUHP dan dapat ditarik dari
perumusan pasal 1 ayat (1) KUHP dan dalam ilmu pengetahuan lebih dikenal dengan sebutan
“nullum delictum”. Yang menggariskan secara mutlak bahwa seseorang baru dapat dinyatakan
telah melakukan “perbuatan pidana”, yaitu apabila pebuatan yang telah diperbuat tadi terlebih
dahulu, dalam satu undang-undang, dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dilakukan
orang diancam pidana barang siapa yang melakukanya.
Apakah sesuatu ketentuan pidana jelas atau tidak, udang-undang pidan sendiri tidak dapat
menentukannya, sesuai dengan tugas dan kewajibannya. Oleh karena tidak dapat dipungkiri bahwa
Hakim berwenang dan berhak penuh untuk menafsirkan Undang-undang Pidana. Akan tetapi pada
umumnya para sarjana berpendapat, bahwa Hakim dilarang untuk menerapkan ketentuan pidana
secara analogi.
Bagaimanakah pendapat para sarjana mengenai kemungkinan penerapan analogi dalam bidang
lain daripada pengancaman pidana? Jika kita teliti pendapat Hoge Raad dalam arrestnya pada
tanggal 4 Februari 1916 N.J. 1916 yang mengintrodusir asas baru ke dalam Hukum Pidana pada
saat-saat tersebut, yaitu “Green stra zonder schuld”“tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.
Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa penciptaan alas an penghapusan pidana baru
adalah diperkenankan dan tidak melanggar asas seperti tercantum pada pasal 1 ayat (1) KUHP.
Karena menurut sifatnya, alasan penghapusan pidana diadakan demi keadilan, jadi mengabdi
kepada keadilan yaitu apabila suatu ketentuan pidana dilaksanakan secara “kaku”, justru akan
menimbulkan ketidak-adilan.
Penulis buku ini berpendapat bahwa asas “green straf zonder schuld” ini, kini bukan lagi
merupakan asas yang berada di luar perundang-undangan, karena pasal 6 ayat (2) dari Undang-
undang No. 14 tahun 1970 tentang KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN,
menentukan:
“ Tiada seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan, karena alat bukti yang syah
menurut undang-undang, mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.”
2. Pasal V Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 Dalam
Hubunganya Dengan Hukum Pidana yang Berlaku Sekarang.
Pemerintah Republik Indonesia yang pada masa itu berpusat di Yogyakarta dalam keadaan
agresi militer Belanda membentuk Undang-undang baru, yaitu “Undang-Undang NO. 1 tahun 1964”
tentang “PERATURAN HUKUM PIDANA”
Tujuan yang utama dari pembentukan undang-undang tersebut adalah bagi seluruh wilayah
Republik Indonesia, berdasarkan pasal II “Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar berhubungan
dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No.2”. Bahwa bagi
seluruh wilayah Republik Indonesia hanya berlaku satu kitab Undang-undang Pidana. Oleh karena
itu dalam pasal I ditentukan:
“Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10
Oktober 1945 No.2, menetapkan, bahwa peraturan-peraturan hukum pidana sekarang berlaku,
ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942”.
Mengingat keadaan Republik Indonesia pada masa-masa tersebut, maka perubahan atau
penambahan yang diadakan oleh Undang-undang No.1 tahun 1946 menurut sifatnya adalah tidak
tetap dan menyeluruh, melainkan “temporer” yaitu sambil menunggu terbentuknya Undang-
undang Pidana baru yang sesuai dengan cita-cita serta pandangan hidup bangsa Indonesia.
Karena alasan-alasan tersebut diatas tadi, diadakanlah ketentuan seperti yang termuat dalam
pasal V, dalam Undang-undang No.1 tahun 1946, sebagai “Jalan keluar” kalau-kalau masih ada
pasal-pasal KUHP yang selayaknya harus dicabut, akan tetapi belum sempat dinyatakan tidak
berlaku.
Untuk jelasnya pasal V tersebut menentukan:
“Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarangtidak dapat dijalankan atau
bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak
mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku.”
3. Tugas dan Kewenangan Hakim-Pidana pada masa pembangunan sekarang ini.
Pasal 292 ayat (1) HIR, menentukan “De pengadilan negeri zal nar aanleiding van de akte van
verwizing en van hetgeen uit het onderzoek op de terrechztting is gebleken .....................................”
Dengan demikian, Pengadilan Negeri akan memutus perkara pidana terutama berdasarkan “Akte
pelimpahan perkara” dan “berdasarkan segala sesuatu yang terbukti di depan persidangan.”
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas tadi, jelaslah bagi kita sekalian, bahwa menurut HIR yang
menuduh, melimpahkan, dan memberi atau mengambil keputusan tentang perkara yang
dikemukakan ke sidang Pengadilan Negeri, adalah hakim.
1. Kini telah dengan dibentuk dan diundangkanya Undang-Undang No.15 tahun 1961 tentang
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEDJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA yang dalam pasal 12 ayat
(1) secara tegas dan jelas menentukan:
“Jaksa membuat surat tuduhan”
2. Adapun dalam KUHAP, Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang tugas dan kewenangan Jaksa
mengaturnya dalam BAGIAN KETIGA pasal 13 berbunyi:
“Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.”
3. Pasal 114 sub. d :
“membuat surat dakwaan”
4. Pasal 144 :
“Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari
sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan
penuntutannya.”
5. Pasal 230 :
Ayat (3) : "Ruang sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditata menurut ketentuan
sebagai berikut :
a. Tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari temapt penuntut umum, terdakwa,
penasihat hukum, dan pengunjung;
b. Tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan tempat hakim;
c. Tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri depan dari tempat hakim dan
tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat hukum “
6. Pasal 143 KUHAP ;
“Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :
a. Nama lengakap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka;
b. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.”
7. Pasal 57 KUHAP ;
Terdakwa atau penuntut umum behak untuk meminta banding terhadap putusan pengadilan
tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara
cepat.”
4. Penerapan Dari Prinsip Yang Diambil Seminar Hukum Nasional 1963 Ke Dalam Hukum Pidana
Salah satu sumber hukum adalah “jurisprudentie”, hukum yang diciptakan oleh dan karena
putusan Hakim. Hakim di dalam putusannya merumuskan lebih lanjut secara terperinci dari apa
yang di dalam masyarakat sudah dipandang sebagai hukum dan lalu merumuskannya sebagai
hukum.
Tidak dapat disangkal bahwa sebuah resolusi yang telah diambil dalam sebuah Seminar n.b
berupa SEMINAR HUKUM NASIONAL yang dihadiri oleh lebih-kurang 500 orang Sarjana Hukum dari
berbagai kalangan, merupakan pencerminan dari kehendak dan cita-cita yang hidup di dalam
masyarakat, karena mana, timbulah hasrat pada kami untuk meneliti, apakah hasil yang telah
diperoleh Seminar tadi juga ada pengaruhnya dalam pembentukan hukum di Negara kita, terutama
dalam putusan badan-badan peradilan.
III. HUKUM –PIDANA, HAKIM DAN MASALAH PEMIDANAAN PARA “PENGEMIS” dan
“GELANDANGAN”
Bulan November 1974 oleh beberapa surat kabar yang terbit di Jakarta diberitakan, bahwa
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur telah mengadili para “pengemis dan “gelandangan”
atas tuduhan melakukan perbuatan – perbuatan seperti dimaksud dalam pasal – pasal 504 dan 505
dan kepada mereka telah pula dijatuhkan pidana berupa “kurungan”, beberapa hari
Berita yang tersebar menimbulkan banyak tanggapan dan sorotan dari berbagai kalangan antara
lain dari Muladi, S.H Fakultas Hukum UNDIP yang di muat dalam Koran Kompas tanggal 25
November 1964 dengan Judul “Haruskan Pengemis di Hukum?”
Dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menentukan : “ Fakir miskin dan anak –
anak yang terlantar, dipelihara oleh Negara”. Juga Pasal V dari Undang-Undang No.1 Tahun 1946
menegaskan hal yang sama.
Sekedar untuk menambah pengetahuan, perlu rasanya disini diberitakan bahwa dalam
Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960/ tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional
Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969, II, Bidang Kesejahteraan, Sub. Kesejahteraan
Sosial-angka 9. Telah ditentukan :
a) Melarang dengan Perundangan :
1. Pengemisan
2. Pelacuran
3. Perjudian
4. Pemadatan
5. Perdagangan Manusia
6. Penghisapan (Woeker)
7. Pergelandangan
b) Mengatur dengan Perundangan :
1. Perlindungan anak
2. Pemeliharan anak terlantar , baik segi preventif maupaun kuratif nya.
3. Pemeliharan fakir miskin
4. Pemeliharaan orang tua / jompo
c) Mendirikan kamp pendidikan dan latihan kerja untuk :
1. Mendidik dan melatih bekerja anak nakal
2. Mendidik dan melatih pemuda – pemuda / pemudi – pemudi yang menganggur sesuai
dengan dabak – bakatnya untuk kemudian di salurkan sebagai tenaga pembangunan ke
berbagai sector.
Kesimpulan:
Walaupun Rancangan Undang-Undang dimaksud tadi dengan dicabutnya Ketetapan MPRS
No.II/MPRS/1960 yang menjadi landasananya kini telah tidak menjadi undang-undang, namun
mengingat adanya Pasal V Undang-undang No.1 Yahun 1946 dapat disimpulkan, bahwa pasal-pasal
504 dan 505 KUHP termasuk pula ke dalam penggolongan yang:
“ Seleuruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan” ataupun “tidak mempunyai arti lagi”.
Jika kita mau meninjau masalah penghukuman “pengemis” dan “gelandangan” dari sudut dan
usaha pemasyarakatan, pada dewasa ini. Apakah dengan hukuman pidana yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur kepada mereka, berupa kurungan atau hukuman pidana
kurungan selama 7 dan 13 hari, akan bermanfaat untuk dapat membina mereka sehingga kelak
mereka “ke luar” dan “tidak akan mengulangi lagi praktek” tersebut? Bukan dikarenakan mereka
telash merasa “kapok” namun ini dirasakan paling penting dikarenakan mereka telah mendapat
kesempatan untuk mendapatkan suatu keterampilan sehingga mereka dapat berusaha di berbagai
lapangan sesuai dengan bakat dan kemampuannya dan mereka dapat pula menyumbangkan
tenaga nya secara positif dan efektif bagi usaha pembangunan, setidak-tidaknya memperoleh
kesempatan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan untuk member sekedar jaminan hidup bagi
dirinya sendiri atau keluarganya.