Administrasi Dexametason Dan Resiko Perdarahan Post Operativ Pada Anak

Embed Size (px)

Citation preview

Administrasi dexametason dan risiko perdarahan post operativ pada anak-anak menempuh tonsillectomyTujuan : untuk menilai apakah administrasi dexametason saat tonsillectomy yang dihubungkan dengan peningkatan kejadian perdarahan post operativ yang tergantung dosis. Desain : review retrospektif pada 2788 anak dan remaja yang menjalani tonsillectomy dengan atau tanpa adenoidektomi dengan gangguan nafas saat tidur atau tonsillitis yang infeksius dan menerima deksametason perioperativ antara 1 januari 2002 dan 3 maret 2009. Pasien menjalani 1 dari 3 metode tonsillectomy termasuk tonsillectomy elektrosurgikal ekstracapsular, extracapsular radiofrequency ablation tonsillectomy, dan intracapsular microdebrider tonsillectomy. Setting : Rumah sakit mata dan telinga massachusets Pasien : 2788 anak dan remaja berusia 2 sampai 18 tahun yang menjalanu tonsillectomy dengan atau tanpa adenoidektomi Intervensi : masing-masing anak menerima 1 dari 2 dosis intravena deksametason perioperativ (0,5 mg/kgbatau 1 mg/kg) berdasarkan protocol dari dokter bedah yang melakukan tonsillectomy; beberapa aspek lain seperti teknik anestesi, analgesic perioperativ, dan pelayanan posoperativ, adalah ekuivalen di antara anak-anak. Pengukuran outcome yang berdasarkan 3 level keparahan. utama : Kejadian perdarahan posoperativ

Hasil : 94 dari 2788 anak-anak mengalami 104 episode perdarahan posoperativ. Setelah mngetahui usia, jenis kelamin, diagnosis utama, dan teknik bedah, rasio odd perdarahan posoperativ berbagai tingkat keparahan pada anak yang menerima 1 mg/kg dibandingkan dengan 0,5 mg/kg adalah 0.66 (95% confidence interval, 0,42-1,05). Anak-anak membutuhkan readmission dengan atau tanpa kebutuhan untuk intervensi operasi menunjukkan odd ratio adjusted 0.83(95% CI, 0.51-1.36). Odd Ratio adjusted sebesar 0.71 (95% CI, 0.39-1.28) didapat pada anak-anak yang membutuhkan intervensi operativ. Kesimpulan : Pada review observasional anak-anak yang menjalani tonsillectomy atau adenoidektomi, dexamethason perioperativ tidak ada kaitannya dengan meningkatnya perdarahan postoperative tergantung dosis setelah mempertimbangkan usia, jenis kelamin, diagnosis utama, dan teknik pembedahan.

Tonsillectomy saat ini adalah salah satu prosedur pembedahan yang paling sering dilakukan pada anak-anak, dan insidensinya memiliki trend yang meningkat. Prosedur ini, dengan atau tanpa adenoidektomi, secara rutin dilakukan pada anakanak dengan gangguan nafas saat tidur atau infeksi tonsil berulang. Anak-anak yang menjalani tonsillectomy secara rutin mengalami mual, muntah dan nyeri postoperative. Efek untuk mengurangi morbiditas tonsillectomy telah termasuk pengguanaan agen farmakologik yang bervariasi dan perubahan pada teknik pembedahan. Beberapa studi telah meneliti keuntungan administrasi steroid semenjak 35 tahun lamanya. Keuntungan yang tercatat adalah menurunnya mual muntah postoperative, lebih cepat masuknya makanan seperti biasa, control nyeri yang lebih baik, dan berkurangnya bengkak pada saluran nafas. Mual muntah postoperative memiliki banyak ketertarikan oleh para peneliti sebagai outcome penelitina yang utama dalam berbagai randomized trial. Dua meta-analisis telah dilakukan dan berkesimpulan bahwa dosis tunggal dexametason sangat mungkin bermanfaat dalam mencegah muntah pasca operasi. Selanjutnya, review dari Cochrane menyimpulkan bahwa dosis tunggal dexametason tidak memiliki efek yang merugikan dan direkomendasikan secara rutin penggunaannya. Dan akhirnya penggunaan steroid menjadi sangat luas. Penggunaan dexametason telah dianjurkan oleh Society for ambulatory Anesthesia untuk pencegahan mual muntah postoperative pada anak. Selanjutnya, data survey menyarankan bahwa steroid perioperativ digunakan secara luas, diantara anggota American Society of pediatric Otolaryngology dengan banyak dokter bedah melaporkan penggunaan steroid perioperative setiap tonsillectomy. Di united kingdom, survey oleh anestesiologis, melaporkan bahwa terdapat 61% penggunaan dexametason dalam tonsillectomy . Oleh karena itu, administrasi dexametason perioperativ saat tonsillectomy telah menjadi standard dalam berbagai institusi, termasuk kota saya. Secara minimal, dexametason perioperativ saat tonsillectomy adalah praktik yang dapat diterima. Pada konteks ini, Randomized trial yang baru-baru ini dipublikasikan oleh Czarnetski berkaitan dengan dexametason perioperativ pada anak dengan tonsillectomy adalah ketertarikan yang besar. Terminasi yang premature pada trial ini karena meningkatnya kejadian perdarahan postoperative yang kontradiktif dengan opini yang beredar bahwa administrasi dexametason yang tidak memiliki kerugian. Trial ini menimbulkan banyak pertanyaan tanpa mengurangi respek pada standard pelayanan kami sendiri dan norma internasional. Trial yang dilakukan Czarnetzki didesain untuk menginvestigasi efek dexametason perioperativ pada kejadian mual muntah postoperative(PONV=postoperative Nausea Vomiting). Analisis interim menyimpulkan bahwa outcome utama dengan peningkatan dosis menunjukkan penurunan kejadian PONV. Namun, data juga menunjukkan peningkatan kejadian perdarahan postoperative pada anan yang mendapat dexametason perioperativ, sehingga berakibat penghentian studi. Perdarahan dilaporkan 2% sampai 24% pada anak-anak yang mendapat

dexametason perioperativ, dibandingkan dengan 2% sampai 6% pada anak-anak yang mendapat placebo. Penulis menyimpulkan bahwa dexametason perioperative mungkin ada kaitannya dengan meningkatnya kejadian perdarahan postoperative dan membutuhkan trial yang lebih besar untuk mengevaluasi hubungan ini; mereka menilai ada berbagai kesulitan dalam menjalankan trial ini. Disamping banyaknya data pada terapi steroid perioperativ tonsillectomy, atensi minimal juga harus diberikan pada tingkat kejadian perdarahan. Review pada perdarahan post tonsillectomy di antara anak-anak USA menunjukkan bahwa 2.2% sampai 7.8% pasien yang menjalani tonsillectomy mengalami perdarahan yang membutuhkan evaluasi departemen emergensi, dengan 1.3% sampai 3.3% membutuhkan intervensi operativ. Data dari United Kingdom, Jerman, dan Selandia Baru, menunjukkan bahwa diluar USA, 1% sampai 3.7% anak-anak yang menjalani tonsilektomy membutuhkan intervensi operasi untuk control perdarahan postoperative. Penemuan ini, jelas disparate dengan penemuan Czarnetzski walaupun ditemukan penggunaan steroid pada audit ini. Walaupun kita mengetahui arti dari suatu randomized controlled trial, kita mempercayai bahwa informasi penting berkaitan dengan kejadian perdarahan post tonsillectomy dapat didapatkan dari data observasional. Sebuah trial didesai untuk mengevaluasi hipotesis peningkatan kejadian perdarahan post tonsillectomy tergantung dosis berkaitan dengan dexametason perioperativ yang akan membutuhkan ukuran sampel yang besar dan dapat saja sulit atau rumit dalam hal etis, dimana terdapat keuntungan dalam hal penurunan PONV versus perdarahan yang mengancam jiwa. Oleh karena itu, database data pembedahan yang besar dan terperinci mungkin terbukti bermanfaat bukan saja untuk menjawab pertanyaan yang ada tetapi juga membantu menjalankan penelitian tersebut. Terjadinya diskordansi antara literature dan hasil trial, kita harus mengerti peranan dexametason perioperativ pada anak-anak yang menjalani tonsillectomy. Pada institusi kami, 2 penulis senior, (M.J.C dan C.J.H) memiliki banyak pengalaman tentang administrasi dexametason perioperativ, dimana masing-masing dokter menggunakan dosis yang berbeda (0.5 dan 1 mg/kg). Banyak aspek dalam pelayanan perioperativ kami yang telah menjadi protocol, berdasarkan informasi yang diperoleh dari kombinasi pelayanan operativ pediatric otolaryngology high volume dan partisipasi dalam studi tonsillectomy sebelumnya. Oleh karena itu, sedikit perbedaan muncul berkaitan dengan seleksi pasien, teknik anestesi dan manajemen post operativ. Satu dari sedikit perbedaan antara operasi tonsillectomy adalah dosis dexametason yang diberikan. Karena hal yang unik tersebut, kami melakukan review terhadap pengalaman kami dalam administrasi dexametason perioperativ dan tonsillectomy dengan harapan lebih baik dalam mengevaluasi outcome dan menilai kembali keamanan dalam praktik saat ini berdasarkan penemuan Czartneski. Desain dan ekstraksi data

Untuk menjalankan review retrospektif tentang pengalaman kami dalam administrasi dexametason perioperativ untuk tonsillectomy, sebuah database dibuat untuk mengidentifikasi semua anak-anak dan remaja (yang juga dikategorikan sebagai anak) yang menjalani tonsillectomy pada Rumah sakit mata dan telnga Massachusets antara 1 januari 2002 sampai 3 Maret 2009. Pembuatan database ini diamati dan disetujui oleh institusi kami. Database yang terbentuk dibuat dalam berbagai tahapan. Pertama-tama, pasien yang menjalani tonsillectomy diidentifikasi dari billing data menggunakan kode Current Procedural Technology yang berkorespodensi dengan tonsillectomy (42820, 42821, 42824, dan 42826), dengan tempat servis terbatas dan juga kehadiran dokter bedah. Tanggal servis atau pelayanan dibatasi antara 1 januari 2002 ketika kedua staf dokter bedah dipilih sebagai anggota fakultas. Dari query ini, database yang utama mengidentifikasi semua anak-anak yang menjalani tonsillectomy selama masa itu dicatat dan termasuk juga demografi, tanggal pelayanan, dokter bedah yang menangani, prosedur yang dilakukan, begitu juga diagnosis utama dan penyerta juga ikut dicatat secara lengkap. Kemudian , Nomor rekam medis pada semua anak yang menjalani tonsillectomy dicocokkan dengan nomor rekam medis anak anak dengan kode diagnosis (international Classification of Diagnosis, ninth ed) yaitu dengan perdarahan post operativ atau perdarahan yang berasal dari tenggorokan (998.11 dan 84.8) atau kode Current Procedural Terminology konsisten dengan control perdarahan (42960, 42961, dan 42962) untuk mengidentifikasi semua anak-anak dengan perdarahan postoperative. Masing-masing rekam medis anak-anak yang menjalani tonsillectomy dicari untuk evaluasi pada departemen emergensi ataupun pada admisi bangsal pada setiap waktu setelah dilakukan operasi. Pada anak-anak kelompok ini, apabila tidak terdapat kode perdarahan ditemukan, pencarian secara manual dilakukan pada rekam medis anak tersebut untuk mengetahui apakah terjadi perdarahan post operativ. Elemen terkhir dari database termasuk mengidentifikasikan teknik operasi yang diperoleh dari keraguan akan biaya fasilitas yang berkaitan dengan item sekali pakai pada prosedur tonsillectomy. Populasi Studi Populasi studi kami terdiri dari pasien yang berusia 2 sampai 18 tahun yang menjalani tonsillectomy dengan atau tanpa adenoidectomy pada rumah sakit mata dan telinga massachusets antara 1 Januari 2002 sampai 3 Maret 2009 oleh 2 orang dokter bedah (C.J.H dan M.J.C) Prosedur Semua anak yang menjalani tonsillectomy di bawah institusi kami dilakukan dengan anestesi umum. Praktek standar untuk anestesi pada anak-anak di institusi kami termasuk medikasi preoperative dengan benzodiazepine oral, induksi dengan propofol, dan pemeliharaan dengan anestetik volatile. Anak-anak dilakukan

pemasangan ET dengan atau tanpa relaksan otot. Analgesia intraoperativ dan postoperative didapatkan melalui narkotika intravena. Masing-masing anak menerima dosis perioperativ dexametason intravena yang diberikan oleh anestesiologis. Besarnya dosis ditentukan oleh dokter bedah. Masingmasing dokter bedah dalam laporan ini dengan ketat mengacu pada protocol berdasarkan kombinasi bukti terkini dan pengalaman. Seorang dokter bedah menggunakan dosis tunggal 0.5 mg/kg massa tubuh dengan dosis maksimum 10 mg dimasukkan setelah induksi anestesi. Seorang dokter bedah yang lainnya menggunakan 1 mg/kg massa tubuh dengan dosis maksimum 40 mg dibagi dalam 2 dosis, 0.5 mg/kg massa tubuh dengan dosis maksimum 20 mg per dosis setelah induksi anesthesia, dan 0.5 mg/kg massa tubuh dengan dosis maksimum 20 mg per dosis 6 sampai 12 jam post operativ tergantung rencana pemulangan pasien anak. Selama masa studi ini, 3 metode tonsillectomy telah dilakukan oleh 2 orang dokter bedah. Tonsillectomy ekstracapsular dilakukan dengan standard spatula tip monopolar electrocautery pada daya 20 watt atau dengan radiofrequency plasma wand yang didesain untuk prosedur tonsillectomy. Didapatkan hemostasis pada elektrokauter monopolar atau elektrokauter bipolar dari plasma wand. Tonsilotomi intrakapsular dilakukan dengan teknik mikrodebrider menggunakan sejenis blade (pisau) yang telah didesain khusus untuk tujuan ini dari 1 diantara 2 sistem microdebrider; hemostasis pada kasus-kasus ini didapatkan pada suction monopolar electrocautery. Semua anak dipasangi NGT ketika selesai proses pembedahan. Pada aspek kedaruratan anestesi dan ekstubasi, anak-anak tersebut dibawa ke unit perawatan post anestesi untuk rekoveri tahap awal, sampai mereka memiliki kriteria untuk dipindahkan ke bangsal pediatrik. Berdasarkan banyak faktor, termasuk usia dan diagnosis pre-operativ, anak-anak tersebut dipulangkan pada hari pembedahan itu juga ataupun setelah dalam observasi semalaman.dan mendapatkan obat penahan nyeri yang adekuat dan minuman-minuman yang dibolehkan. Semua anak yang dipulangkan pada hari pembedahan diamati minimal 6 jam post operativ. Narkotik oral dan asetaminofen oral atau rektal digunakan untuk analgetik di bangsal dan di rumah. Tidak ada anak yang memperoleh NSAID selama perawatan. Pada saat pemulangan pasien, masing-masing keluarga pasien menerima instruksi yang disampaikan secara verbal oleh dokter bedah dan staf perawat mengenai perawatan postoperativ. Poin yang menonjol atau ditekankan termasuk menghindari NSAID dan instruksi khusus untuk menghubungi institusi kami atau melapor pada pusat emergensi jika terdapat perdarahan. Hasil Utama (Primary outcome) Hasil utama dari penelitian ini adalah jumlah anak-anak yang mengalami perdarahan post tonsillectomy. Hasil ini dibagi dalam 3 level keparahan. Level 1 termasuk semua anak yang dilaporkan memiliki riwayat perdarahan post-operativ,

baik ada atau tidak bukti klinis dari perdarahan. Level ini termasuk semua anak dengan riwayat perdarahan post-operativ yang memperoleh evaluasi/penanganan oleh dokter di pusat emergensi, unit rawat inap, atau ruang operasi. Level 2 termasuk semua anak yang membutuhkan rawat inap untuk perawatan postoperativ tanpa memperhatikan kebutuhan intervensi operativ. Level keparahan ini mengeksklusi anak-anak yang dievaluasi di departemen emergensi karena dilaporkan terjadi perdarahan postoperativ yag tidak memiliki bukti klinis perdarahan atau pembekuan darah dan dianggap aman untuk dipulangkan. Level 3 termasuk anak-anak yang membutuhkan kembali ke ruang operasi untuk kontrol perdarahan post-tonsillectomy. Hasil ini dipilih karena dari metode yang digunakan menampilkan tingkat keparahan. Bertentangan dengan banyak sistem pelaporan tingkat perdarahan post-operativ, pelaporan tingkat keparahan seperti ini menunjukkan relevansi klinis tambahan dengan adanya derajat perdarahan yang biasanya terjadi dan apa yang digunakan oleh clinical resources. Lebih jauh lagi, stratifikasi ini memperlihatkan framework observasional untuk melayani sebagai proxy pada kategori yag dilaporkan oleh Czarnetzki pada penelitiannya. Analisis Statistik Karakteristik baseline membandingkan kelompok yang menerima 0.5 mg/kg dexametason dengan 1 mg/kg menggunakan tes pearson x. 2-sided P < 0.5 ditetapkan sebagai signifikan secara statistik. Tujuan utama dari penelitian ini adalah membandingkan pengalaman observasi kami dengan penemuan randomized trial yang terkini. Kami harus mengidentifikasi dan mengontrol segala kemungkinan faktor pengganggu pada data yang tersedia. Model regresi logostik digunakan pada masing-masing level keparahan perdarahan post-operativ. Oleh karena itu, 3 mode digunakan sesuai 3 tingkat keparahan yang ada. Mode yang digunakan awalnya ditentukan secara mentah(sederhana) berhubungan dengan analisis univariat yang sederhana dari dosis dexametason dan hasilnya. Pada langkah selanjutnya, variabel individu dimasukkan ke dalam mode regresi logistik bivariat. Variabel kategorikal dan continue dinilai dari tren linear menggunakan tes likelihood ratio dari mode regresi logistik mempertimbangkan juga variabel ini yang dibandingkan dengan mode yang menggunakan variabel indikator. Hubungan yang linear diasumsikan jika P> .10. Faktor confounding(pengganggu) diidentifikasikan dengan pembandingan sederhana dan estimasi. Variabel diperkirakan sebagai pengganggu jika estimasi berbeda 10% atau lebih. Mode efek utama multivariat kemudian digunakan dengan memasukkan faktor-faktor pengganggu tadi. Untuk mode dimana teknik dan diagnosis keduanya dinyatakan sebagai pengganggu, dilakukan interaction term. Hal ini ditahan pada mode jika mode fit telah berkembang. Mode fit dinilai dengan likelihood ratio test termasuk interaction term to the nested model(P0.5 untuk test Wald pada the final multivariate logistic regression model coefficient. Semua analisis statistik dilakukan menggunakan software komersial yang tersedia (Stata IC, version 10; StataCorp, College Station, Texas). Tabel 1. Karakteristik Baseline (a) Dosis Dexametason Karakteristik Jumlah kasus Overall 2788 0.5 mg/kg 1237 43.65 5(2-17) 1 mg/kg 1561 45.58 5(2-18) .31 .72 P value (b)

Jenis kelamin 44.72 perempuan,% Usia, median(range) ,y Diagnosis,% Sleep-disorded breathing Tonsillitis infeksi Teknik surgikal,jumlah kasus Monopolar electrosurgical tonsillectomy Intracapsular tonsillotomy Radiofrequenc y ablation tonsillectomy 1577 84.36 15.28 5(2-18)

90.30 9.38

79.63 20.00