Adsorben Tanah Liat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kimia

Citation preview

AKTIVASI TANAH LIAT DENGAN ASAM KLORIDA DAN PENERAPANNYA SEBAGAI ADSORBEN PADA ION Cu2+

Oleh:I Made SudarmayasaNIM. 1013031012

JURUSAN PENDIDIKAN KIMIAFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHASINGARAJA2014

A. JUDUL PENELITIANAktivasi tanah liat dengan asam klorida dan penerapannya sebagai adsorben pada ion cu2+ B. IDENTITAS PENELITINama: I Made SudarmayasaNIM: 1013031012Semester: VIIIJurusan: Pendidikan Kimia

C. PENDAHULUANC.1 Latar BelakangPembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan.Salah satu pencemaran lingkungan yang terjadi adalah pencemaran perairan. Pencemaran di perairan dapat terjadi karena limbah industri maupun limbah domestik dibuang ke perairan tanpa diolah terlebih dahulu, atau diolah tetapi kadar polutannya masih di atas baku mutu yang ditetapkan. Sesuai Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada pasal 1 ayat 14 disebutkan bahwa pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia, sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.Salah satu bentuk pencemaran lingkungan adalah adanya limbah logam berat pada perairan. Hal ini disebabkan karena banyak pabrik mengalirkan limbah cair industrinya langsung ke sungai ataupun melalui saluran air menuju ke sungai. Logam-logam yang digolongkan sebagai logam berat adalah merkuri (Hg), timbal (Pb), arsen (As), kadmium (Cd), krom (Cr), tembaga (Cu) dan nikel (Ni) (Petersen, F, Aldrich, Esau, dan Qi, 2005). Salah satu logam berat yang sering mencemari lingkungan adalah logam tembaga (Cu). Keberadaan ion tembaga (II) dalam lingkungan dapat bersumber dari pembuangan air limbah industri kimia yang berasal dari industri penyamakan kulit, pelapisan logam, tekstil, maupun industri cat. Menurut Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001 jumlah maksimum tembaga yang diperbolehkan dalam air minum adalah sebesar 1 ppm. Konsentrasi tembaga yang melebihi 1 ppm dalam air minum yang dikonsumsi dapat menyebabkan keracunan bagi manusia. Menurut Darmono dalam Dewi 2011, adanya jumlah tembaga yang besar di dalam tubuh manusia dapat menyebabkan gangguan pencernaan seperti sakit perut, mual, muntah, diare, dan gangguan pada peredaran darah, serta beberapa kasus yang parah dapat menyebabkan gagal ginjal dan kematian. Mengingat bahaya limbah tembaga bagi kesehatan maka perlu dilakukan penanganan untuk mengatasi pencemaran akibat logam berat.Upaya untuk menanggulangi pencemaran logam berat pada perairan telah banyak dilakukan. Soemirat 2006, menyatakan bahwa untuk mengatasi pencemaran logam berat telah dilakukan dengan menerapkan metode fisika dan kimia seperti presipitasi kimia, osmosis balik, pertukaran ion, maupun bioreduksi. Namun, penggunaan metode tersebut membutuhkan biaya yang mahal dan memiliki kekurangan karena tidak efektif terutama pada konsentrasi 1-100 ppm. Sebagai solusi alternatif dari kendala yang dihadapi tersebut, maka dapat digunakan metode adsorpsi.Adsorpsi merupakan gejala yang hanya terjadi dipermukaan absorben berupa terjadinya penyerapan atau penarikan molekul-molekul gas atau cairan (Syazana, 2009). Menurut Ramadan dan Hamdajani dalam Linda, 2011, beberapa adsorben yang dapat digunakan dalam penanganan limbah adalah serbuk gergaji, hasil samping pertanian, limbah industri makanan, bakteri, miroalga, kitosan, arang aktif, rumput laut dan tanah liat. Dari beberapa jenis sumber adsorben tersebut, tanah lempung (tanah liat) jumlahnya lebih melimpah sehingga lebih mudah diperoleh dan mudah diregenerasi (Marsidi, 2001). Tanah liat atau lempung merupakan mineral yang dihasilkan melalui peristiwa pelapukan mineral primer oleh air dan panas. Lempung sering digunakan sebagai pendukung untuk katalis, sebagai zat pengisi dalam cat, dan sebagai wahana penukar ion (Oxtoby, 1999). Mineral lempung terdiri atas berbagai jenis, antara lain kaolinite, illite dan monmorilonite. Diantara ketiga mineral ini, monmorilonite yang paling halus sehingga mempunyai luas permukaan paling besar dan sangat mudah menyerap air dalam jumlah banyak. Penelusuran terhadap material baru yang lebih murah, mudah didapat serta mempunyai daya adsorpsi besar sangat diperlukan.Menurut penelitian Halaby (2011) yang menggunakan tanah liat untuk adsorpsi logam Cu pada limbah cair industri kerajinan perak di Sekarbela menunjukkan bahwa tanah liat tanpa diaktivasi dapat menurunkan kadar logam Cu pada limbah cair kerajinan perak sebesar 62% dengan massa tanah liat 4 gram per liter limbah. Selain itu Deliana (2013), memanfaatkan tanah liat dari Tanak Awu sebagai adsorben untuk menurunkan bilangan asam pada minyak goreng bekas. Dari hasil penelitiannya diperoleh penurunan bilangan asam setelah diadsorpsi berkisar antara 6,25% sampai 61,45%.Dari hasil yang diperoleh meskipun tanah liat tanpa diaktivasi dapat dijadikan adsorben untuk menurunkan bilangan asam pada minyak maupun sebagai adsorben logam, namun hasilnya belum maksimal. Hal inilah yang dijadikan dasar dalam penelitian ini untuk melakukan aktivasi tanah liat tersebut sehingga daya adsorpsinya meningkat.Adsorben yang baik memiliki kemampuan mengadsorpsi ion logam berat yang lebih banyak. Kemampuan mengadsorpsi ion logam berat dapat ditingkatkan dengan melakukan aktivasi terhadap adsorben. Tujuan dari dilakukannya aktivasi yaitu untuk menghilangkan pengotor pengotor yang ada di permukaan tanah liat tersebut dan juga dapat memperluas pori pori tanah liat sehingga daya adsorpsinya lebih maksimal. Proses aktivasi dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu konsentrasi aktivator, diameter partikel tanah liat atau ukuran ayakan, dan waktu aktivasi (Darmawan dalam Afriawan, 2013). Aktivasi dapat dilakukan dengan asam maupun basa. Aktivasi secara asam dapat dilakukan dengan bahan bahan kimia seperti HCl, HNO3, dan H2SO4. Sedangkan aktivasi basa dapat dilakukan dengan bahan bahan kimia seperti NaOH maupun KOH.Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian dengan judul Aktivasi tanah liat dengan asam klorida dan penerapannya sebagai adsorben pada ion cu2+ .C.2 Rumusan MasalahDari latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Berapakah konsentrasi HCl dan waktu aktivasi dalam aktivasi adsorben tanah liat pada proses adsorpsi ion Cu2+? 2. Berapakah waktu kontak optimum adsorben tanah liat teraktivasi asam pada proses adsorpsi ion Cu2+? 3. Berapakah kapasitas adsorpsi tanah liat teraktivasi asam terhadap ion Cu2+?C.3 Tujuan PenelitianTujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah 1. Untuk menentukan konsentrasi HCl dan waktu aktivasi dalam aktivasi adsorben tanah liat pada proses adsorpsi ion Cu2+.2. Untuk menentukan waktu kontak optimum adsorben tanah liat teraktivasi asam pada proses adsorpsi ion Cu2+.3. Untuk menentukan kapasitas adsorpsi tanah liat teraktivasi asam terhadap ion Cu2+.C.4 Manfaat PenelitianHasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Dapat memberikan informasi mengenai konsentrasi HCl dan waktu aktivasi optimum dalam aktivasi adsorben tanah liat.2. Dapat memberikan informasi mengenai konsentrasi optimum ion tembaga (Cu2+) yang dapat diadsorpsi oleh adsorben tanah liat yang telah teraktivasi asam klorida.C.5 Keterbatasan PenelitianKeterbatasan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.1. Aktivasi tanah liat hanya menggunakan HCl. 2. Penentuan aktivasi optimum hanya ditinjau dari konsentrasi HCl yang digunakan dan waktu aktivasi.3. Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai adsorben adalah tanah liat yang berasal dari kawasan Desa Melaya.D. TINJAUAN PUSTAKAD.1 Tanah LiatTanah liat atau lempung merupakan tanah yang mempunyai mineral-mineral tertentu yang menghasilkan sifat-sifat plastis pada tanah bila dicampur dengan air (Grim dalam Halaby, 2011). Mineral liat dapat didefinisikan sebagai bahan alam homogen dari senyawa anorganik asli, mempunyai susunan kimia tetap dan susunan molekul tertentu dalam bentuk geometrik (Mulyani dan Kartasapoetra, 2005). Mineral lempung terdiri dari berbagai jenis, antara lain: kaolinite, montmorillonit, dan illite. Di antara ketiga mineral ini, montmorillonit yang paling halus sehingga mempunyai luas permukaan paling besar dan sangat mudah menyerap air dalam jumlah banyak. Lempung alam di Indonesia didominasi oleh kelompok montmorillonit yang mudah menyerap air. Mineral ini memiliki luas permukaaan yang besar dan kapasitas penukar kation yang baik (Wijaya dalam Halaby, 2011).Hardiyatmo (2002) menjelaskan bahwa mineral lempung adalah pelapukan tanah akibat reaksi kimia menghasilkan susunan kelompok partikel berukuran koloid dengan diameter butiran lebih kecil dari 0.002 mm. Partikel lempung berbentuk seperti lembaran yang mempunyai permukaan khusus, sehingga lempung mempunyai sifat sangat dipengaruhi oleh gaya gaya permukaan. Sutedjo dan kartasapoetra (2005) mengulas berdasarkan teori tentang pembentukan Mineral Liat yang dikembangkan oleh NOLL, pada dasarnya mengenai perbedaan hasil pembentukannya adalah ditentukan oleh reaksi lingkungan pembentukannya, yang dalam hal ini pada lingkungan yang bereaksi masam akan terbentuk mineral liat Kaolinit sedangkan pada lingkungan yang bereaksi netral sampai basa dan mengandung banyak magnesium akan terbentuk mineral liat Monmorillonit. Keduanya memiliki sifat sifat yang berbeda. Notodarmojo (2005) mengatakan selain mineral liat (silikat), pembentuk fraksi tanah liat yang penting adalah oksida logam dan hidroksida logam. Dilihat dari stuktur kristalnya mineral liat mempunyai struktur kristal yang baik, sedangkan oksida logam dan hidroksida logam tidak mempunyai struktur kristal yang baik.Beberapa kelompok yang penting dari tanah liat antara lain terdiri dari kelompok kaolinite, montmorilonite, dan illite.

a. KaolinitMineral kaolinit adalah dioktahedral silikat yang tersusun dari 1 lapisan Si4+ tetrahedral dan 1 lapisan Al3+ oktahedral, sehingga disebut mineral liat 1 : 1 ( Barchia, 2009). Mulyani dan Kartasapoetra (2005) menjelaskan kaolinit tersusun dari hidroksida alumina dan 1 lapisan tetrahedral silika. Struktur kaolinit dapat dilihat pada Gambar 1(a) (b)Gambar 1 (a) Diagram skematik struktur kaolinit (Hardiyatmo,2002)(b) Stuktur atom kaolinit (Mulyani dan Kartasapoetra, 2005)Dengan terdapatnya ikatan hidrogen yang kuat antar lapisanlapisan dapat menyebabkan kaolinit tidak mengembang. Kemampuannya dalam menyerap basa akan sangat terpengaruh oleh keadaan tersebut. Dalam kombinasi lembaran silika dan alumunium, keduanya terikat oleh ikatan hidrogen. Karena itu mineral ini stabil dan air tidak dapat masuk diantara lempengan (Hardiyatmo, 2002).b. MontmorillonitMontmorillonit disebut juga smectite, adalah mineral yang dibentuk oleh dua lembar silika dan satu lembar alumunium. Lembaran oktahedral terletak diantara dua lembaran silika dengan ujung tetrahedral tercampur dengan hidroksil dari lembaran oktahedral untuk membentuk satu lapisan alumunium oleh magnesium (Hardiyatmo, 2002). Monmorilonit mempunyai struktur tiga lapis dengan lapisan oktahedral alumina sebagai pusat tertumpuk diantara dua lapisan tetrahedral silika (Van dalam Istighfaro, 2010). Struktur montmorillonit dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:

(a) (b)

Gambar 2 (a) diagram skematik struktur montmorillonit (Hardiyatmo, 2002), (b) struktur atom montmorillonit (Grim dalam Anonim)Karena adanya gaya ikatan Van der Walls yang lemah diantara lembaran ujung silica dan terdapat kelebihan muatan negatif pada kristal oktahedral, maka air (nH2O) dan kation yang berpindah pindah dapat masuk dengan mudah dan memisahkan lapisannya, akibatnya terjadi sifat kembang susut yang tinggi (Hardiyatmo, 2002).Mulyani dan Kartasapoetra (2005), menjelaskan bahwa montmorillonit termasuk kelompok mineral liat tipe 2 : 1, tersusun atas lapisan oktaeder dengan Al, Fe, Mg, atau Ni dan 2 lapisan asam silikat berkonfigurasi tetrahedral. Mineral ini lazimnya berukuran kecil, akan tetapi sehubungan dengan sifatnya yang hidrofil dan mempunyai daya pertukaran basa yang tinggi maka mineral ini berkemampuan mengembang dan mengerut yang besar. Tingginya daya mengembang atau mengkerut dari montmorilonit menjadi alasan kuat, mengapa mineral ini dapat menjerap dan memfiksasi ion ion logam dalam persenyawaan organik. Jerapan persenyawaan organik menjurus pada pembentukan kompleks organo-mineral. Ion ion organik dipercaya dapat menggantikan kedudukan kation organik di dalam ruang antar misel. Tingginya daya plastis, mengembang dan mengkerut mineral ini menyebabkan tanah menjadi plastis jika basah dan keras jika kering. Retakan retakan pada permukaan tanah akan terlihat jika permukaan tanah mengering (Supeno, 2007).c. Illite Illite merupakan golongan mineral yang termasuk dalam mineral mika (2 : 1) yang tidak mengembang. Mineral illite mengandung ion kalium (K+) dalam ruang diantara lapisan, maka unit lapisan terikat lebih kuat dibandingkan dengan monmorilonit. Plastisitas, pengerutan dan pengembangan mineral illite jauh lebih kecil dibandingkan dengan montmorilonit sehingga sifat mineral ini lebih mirip kaolinit daripada montmorilonit (Supeno, 2007). Struktur illite dapat dilihat pada Gambar 3

Gambar 3 Diagram skematik struktur illite (Hardiyatmo, 2002)Bentuk susunan dasar dari mineral illite terdiri dari sebuah lembaran alumunium oktahedral yang terikat diantara dua lembaran silika tetrahedral. Dalam lembaran oktahedral, terdapat subsitusi parsial alumunium oleh magnesium dan besi, dan dalam lembaran tetrahedral terdapat pula subsitusi slika dan alumunium. Lembaran alumunium oktahedral dan lembaran silika tetrahedral terikat bersama sama oleh ikatan lemah ion ion kalium yang terdapat diantara lembaran-lembarannya. Ikatan ikatan dengan ion kalium (K+) lebih lemah daripada ikatan hidrogen yang mengikat satuan kristal kaolinit, tapi lebih kuat daripada ikatan ionik yang membentuk kristal montmorilonit. Susunan illite tidak mudah mengembang oleh air diantara lembaran-lembarannya (Hardiyatmo, 2002).D.2 Tembaga (Cu)Tembaga atau Cupprum (Cu) merupakan unsur logam yang berbentuk kristal dengan warna kemerahan. Tembaga memiliki nomor atom 29 serta mempunyai bobot atom 63,546. Di alam, tembaga dapat ditemukan dalam bentuk persenyawaan padat dalam bentuk mineral (Balaram, et al, 2012).Tembaga (Cu) mempunyai sistem kristal kubik, secara fisik berwarna kuning dan apabila dilihat dengan menggunakan mikroskop bijih akan berwarna pink kecoklatan sampai keabuan. Di perairan, tembaga dapat ditemukan dalam bentuk persenyawaan ion seperti CuCO3, CuOH, dan sebagainya. Unsur tembaga terdapat pada hampir 250 mineral, tetapi hanya sedikit saja yang komersial. Kandungan tembaga yang terbesar terdapat pada endapan sulfida primer, kalkopirit (CuFeS2), diikuti oleh kalkosit (Cu2S), bornit (Cu5FeS4), kovelit (CuS), dan enargit (Cu3AsS4). Mineral tembaga utama dalam bentuk persenyawaan yang mengandung oksida adalah krisokola (CuSiO3.2H2O), malasit (Cu2(OH)2CO3), dan azurit (Cu3(OH)2(CO3)2) (Balaram, et al, 2012).D.2.1 Persenyawaan TembagaTembaga dapat membentuk senyawa dengan tingkat oksidasi +1 dan +2, namun hanya tembaga (II) yang stabil dan lebih sering ditemukan dalam larutan air. Dalam larutan air, hampir semua garam tembaga(II) berwana biru, yang karakteristik dari warna ion kompleks koordinasi 6, [Cu(H2O)6)]2+. Pengecualian terhadap tembaga (II) klorida yang berwarna kehijauan oleh karena ion kompleks [CuCl4]2- yang mempunyai bangun geometri dasar tetrahedral atau bujursangkar bergantung pada kation pasangannya. Dalam larutan encer tembaga (II) klorida menjadi berwarna biru oleh karena pendesakan logam Cl- oleh ligan H2O. Oleh karena itu, jika warna hijau ingin dipertahankan, kedalam larutan pekat CuCl2 dalam air tambahkan ion senama Cl- dengan menambahkan padatan NaCl pekat atau gas. Reaksinya adalah sebagai berikut (Balaram, et al, 2012):[CuCl4]2- (aq) + 6H2O (l) [Cu(H2O)6]2+ (aq) + 4Cl- (aq)

D.2.2 Dampak Kandungan Ion Tembaga (Cu2+) di PerairanKeberadaan ion tembaga (II) dalam lingkungan tidak terlepas dari berkembangnya industri kimia. Ion tembaga (II) ini berasal dari air limbah penyamakan kulit, pelapisan logam, tekstil, industri cat dan lain-lain. Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 2011 Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan Eksplorasi Dan Eksploitasi Gas Metana Batubara air limbah yang dihasilkan maksimal mengandung 1 ppm tembaga. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001 jumlah maksimum tembaga yang diperbolehkan dalam air minum adalah sebesar 1 ppm. Konsentrasi tembaga yang melebihi 1 ppm dalam air minum yang dikonsumsi dapat menyebabkan keracunan bagi manusia. Menurut Darmono dalam Dewi 2011, adanya jumlah tembaga yang besar di dalam tubuh manusia dapat menyebabkan gangguan pencernaan seperti sakit perut, mual, muntah, diare, dan gangguan pada peredaran darah, serta beberapa kasus yang parah dapat menyebabkan gagal ginjal dan kematian.D.3 AdsorpsiSalah satu metode yang digunakan untuk menghilangkan zat pencemar dari air limbah adalah adsorpsi. Adsorpsi merupakan suatu gejala permukaan dimana terjadi penyerapan atau penarikan molekul-molekul gas atau cairan pada permukaan adsorben (Yun et al. 2001 dalam Linda 2011). Secara umum proses adsorpsi merupakan proses pemisahan suatu senyawa (adsorbat) dari campuran gas atau cairan dengan menggunakan bahan penyerapa berupa padatan (adsorben). Bahan yang akan dipisahkan ditarik oleh permukaan adsorben dan diikat oleh gaya gaya yang bekerja dipermukaan adsorben tersebut, sehingga akan mengubah komposisi larutan tersebut (Drastinawati dkk,2010). Berdasarkan kuat atau lemahnya interaksi antara adsorben dan adsorbat, maka adsorpsi dapat dibedakan menjadi dua tipe (Treybal dalam Drastinawati dkk,2010) yakni : a. Adsorpsi Fisika Adsorpsi fisika adalah adsorpsi yang terjadi akibat gaya interaksi tarik menarik antara molekul adsorben dengan molekul adsorbat. Adsorpsi ini melibatkan gaya gaya Van Der Walls (sebagai kondensasi uap). Jenis proses ini cocok intuk proses adsorpsi yang membutuhkan proses regenerasi karena zat yang teradsorpsi tidak larut dalam adsorben tapi hanya sampai permukaan saja. Adamson dalam Nurhayati (2010) menambahkan adsorpsi fisika umumnya terjadi pada temperature rendah dan dengan bertambahnya temperatur jumlah adsorpsi mengalami penurunan.Panas adsorpsi yang menyertai adsorpsi fisika adalah rendah yaitu kurang dari 20,92 kj/mol.b. Adsorpsi Kimia Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang terjadi akibat interaksi kimia antara molekul adsorben dengan molekul adsorbat. Proses ini pada umumnya menurunkan kapasitas dari adsorben karena gaya adhesinya yang kurang kuat sehingga proses ini tidak reversible. Adamson dalam Nurhayati (2010) menambahkan pada adsorpsi kimia, molekul molekul yang terdadsorpsi pada permukaan bereaksi secara kimia, karena terjadi pemutusan ikatan maka panas adsorpsinya mempunyai kisaran yang sama seperti reaksi kimia yaitu diatas 20.92 kj/mol.Menurut Sembiring dan Sinaga (2003) dalam Linda (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi adalah sifat fisik dan kimia adsorben, sifat fisik dan kimia adsorbat dalam fase cair, karakteristik fasa cair seperti pH dan suhu, serta kondisi operasi adsorpsi. Adsorben terbagi menjadi adsorben yang bersifat polar (hidrofilik) dan nonpolar (hidrofobik). Adsorben polar antara lain silika gel, alumina yang diaktivasi dan beberapa jenis tanah liat (clay). Adsorben nonpolar antara lain arang (karbon dan batu bara) dan arang aktif. Mekanisme adsorpsi berlangsung sebagai berikut : molekul adsorbat berdifusi melalui suatu lapisan batas ke permukaan luar adsorben (disebut difusi eksternal), sebagian ada yang teradsorpsi di permukaan luar dan sebagian besar terdifusi lanjut ke dalam pori-pori adsorben (disebut difusi internal). Bila kapasitas adsorpsi masih sangat besar, sebagian akan teradsorpsi terikat di permukaan, namun bila permukaan sudah jenuh atau mendekati jenuh dengan adsorbat, dapat terbentuk lapisan adsorpsi kedua dan seterusnya di atas adsorbat yang telah terikat pada permukaan.

D.4 AdsorbenAdsorben merupakan suatu bahan (padatan) yang dapat mengadsorpsi adsorbat. Biosorben merupakan biomassa yang dimanfaatkan dalam proses biosorpsi (Fransiscus et al. 2007, dalam Linda 2011). Bahan yang dapat digunakan sebagai adsorben harus mempunyai sifat resistensi yang tinggi, stabil pada suhu tinggi dan ukuran diameter pori yang kecil (mikro) yang menghasilkan luas permukaan yang besar sehingga mempunyai kapasitas adsorpsi yang tinggi (Anonim 2007, dalam Linda 2011). Berikut beberapa karakteristik adsorben yang dibutuhkan untuk adsorpsi yang baik, antara lain:1) Luas permukaan adsorbenSemakin besar luas permukaan maka semakin besar pula daya adsorpsinya, karena proses adsorpsi terjadi pada permukaan adsorben.2) Tidak ada perubahan volume yang berarti selama proses adsorpsi dan desorpsi.3) Kemurnian adsorbenAdsorben yang memiliki tingkat kemurnian tinggi, daya adsorpsinya lebih baik.4) Jenis atau gugus fungsi atom yang ada permukaan adsorbenSifat-sifat atom di permukaan berkaitan dengan interaksi molekuler antara adsorbat dan adsorben yang lebih besar pada adsorbat (Ginting, 2008).D.5 AktivasiAktivasi merupakan suatu perlakuan yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga adsorben mengalami perubahan fisik maupun kimia, yaitu luas permukaan bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorpsi (Salamah, 2008). Proses aktivasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu aktivasi fisika dan aktivasi kimia.a. Aktivasi FisikaAktivasi fisika merupakan proses pemutusan rantai hidrokarbon dari senyawa organik dengan bantuan panas, uap dan CO2. Umumnya adsorben dipanaskan dalam tanur pada temperatur 800-900C. Meskipun dengan semakin bertambahnya temperatur menyebabkan daya serap adsorben semakin baik, namun masih diperlukan pembatasan temperatur yaitu tidak melebihi 950oC, karena banyak terbentuk abu yang dapat menutupi pori-pori yang berfungsi untuk mengadsorpsi. Sebagai akibatnya daya serap adsorben akan menurun (Sembiring dan Sinaga, 2003).Aktivasi secara fisika dapat dilakukan dengan pemanasan secara langsung dengan oksidasi gas. Gas-gas yang sering digunakan antara lain: uap air, karbon dioksida, O2 dan N2. Gas-gas tersebut berfungsi untuk mengembangkan struktur rongga yang ada pada adsorben, sehingga memperluas permukaannya dan menghilangkan konstituen yang mudah menguap serta membuang produksi tar atau hidrokarbon-hidrokarbon pengotor pada arang. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam aktivasi secara fisika adalah jenis gas yang digunakan, suhu aktivasi dan laju alir gas pengoksida (Wiyaningsih, 2010).b. Aktivasi Kimiaaktivasi secara kimia dilakukan dengan cara asam, basa, atau garam. Bahan-bahan pengaktif tersebut antara lain: HNO3, H3PO4, NaOH, KOH, H2SO4, HCl, ZnCl2, (NH4)HCO3, CaCl2, Ca3(PO4) (Salamah, 2008). Masing-masing jenis aktivator akan memberikan efek atau pengaruh yang berbeda-beda terhadap daya serap adsorben (Suherman dkk, 2009). Aktivasi kimia dilakukan dengan cara merendam bahan baku dalam larutan aktivator. Aktivasi adsorben dengan asam mineral (misalnya HCl atau H2SO4) akan mempengaruhi daya serap karena asam mineral tersebut larut atau bereaksi dengan komponen berupa tar, garam Ca dan Mg yang menutupi pori-pori adsorben. Di samping itu asam mineral melarutkan Al2O3 sehingga dapat menaikan perbandingan jumlah SiO2 dan Al2O3 dari (2-3) : 1 menjadi (5-6) : 1 (Ketaren, 2008).Dalam Ketaren (2008) aktivasi menggunakan asam mineral akan menimbulkan 3 macam reaksi, sebagai berikut: 1) Mula-mula asam akan melarutkan komponen Fe2O3, Al2O3, CaO, dan MgO yang mengisi pori-pori adsorben, hal ini mengakibatkan terbukanya pori-pori yang tertutup sehingga menambah luas permukaan adsorben.2) Selanjutnya ion-ion Ca2+ dan Mg2+ yang berada pada permukaaan kristal adsorben secara berangsur-angsur digantikan oleh ion H+ dari asam mineral.3) Sebagian ion H+ yang telah menggantikan ion Ca2+ dan Mg2+ akan ditukar oleh ion Al3+ yang telah larut dalam larutan asam.D.6 Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)Spektrofotometri serapan atom merupakan metode analisis instrumentasi yang didasarkan atas serapan radiasi elektromagnetik oleh atom-atom bebas dari unsur yang dianalisis. Umumnya unsur yang dianalisis adalah unsur logam dan metalloida. Prinsip analisis dengan metode ini adalah penguraian cuplikan menjadi atom-atom bebas dari molekulnya dengan bantuan nyala api yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar yang dikenal sebagai proses atomisasi. Atom-atom bebas ini kemudian diberikan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang tertentu yang dihasilkan dari sumbernya untuk mempromosikan elektron valensi ke tingkat energi yang lebih tinggi yang dikenal dengan eksitasi. Intensitas radiasi elektromagnetik yang diserap oleh atom-atom yang ada dalam cuplikan dalam proses eksitasi ini dapat ditentukan secara kuantitatif dengan hukum Lambert-Beer berikut: A= -log T = abCDimana, T = transmitasi, A = absorbansi, a = absorpsivitas (L/gcm), b = lebar nyala (cm), dan C = konsentrasi sampel (g/L). Dari persamaan tersebut, tampak bahwa absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi sampel (Muderawan, 2009).Dalam spektrofotometer serapan atom, larutan sampel yang mengadung ion atau molekul harus terlebih dahulu diubah menjadi atom-atom bebas dalam keadaan dasar (ground state). Untuk dapat menghasilkan atom-atom bebas tersebut, dilakukan proses atomisasi. Secara umum, peristiwa atomisasi hingga eksitasi dan ionisasi dapat digambarkan sebagai berikut.

M+(aq) + A-(aq)MA Aerosol (padat dalam gas)MA(s)MA(l)MA(g)M0(g) + A0(g)M*(g)M+(g) + eNebulizationDesolvationLiquefactionVaporizationAtomizationExcitationIonization(Sumber: Muderawan, 2009).Gambar 4. Proses yang terjadi selama atomisasiNebulization: Sampel yang dilewatkan mengalami perubahan menjadi kabut halus atau kabut kasar yang dapat dibawa oleh gas menuju nyala.Desolvation: Desolvasi memecah kabut kering dari partikel padat. Proses desolvasi biasanya dimulai pada tahap nebulasi.Vaporization : Partikel padat setelah desolasi diuapkan menjadi atom-atom bebas dalam keadaan gas. Efisiensi vaporisasi sangat tergantung dari energi disosiasi dari senyawanya, kondisi nyala dimana pada temperatur tinggi cenderung meningkatkan efisiensi volatilitas dan menurunkan pembentukan dari oksida-oksida refraktor. Suatu atom dikatakan dalam keadaan tingkat energi dasar apabila atom ini terdapat pada tingkat energi paling rendah. Atom pada keadaan ini dapat pindah ke tingkat energi yang lebih tinggi bila atom tersebut menyerap energi atau sinar. Bila atom kembali ke tingkat energi yang lebih rendah maka akan memancarkan energi dalam bentuk cahaya (proses eksitasi). Proses eksitasi dan cara memperoleh garis resonansi yang tepat sangat mempengaruhi keberhasilan analisis ini. Temperatur nyala harus tinggi, karena semakin tinggi temperatur efisiensi atomisasi juga akan semakin tinggi. Oleh karena itu, kecepatan pembakaran merupakan parameter yang mendasar dari campuran gas dan merupakan bagian yang sangat penting dalam penentuan bentuk dan kestabilan nyala. Untuk mendapatkan pemanasan yang bagus dari nyala maka digunakan bahan bakar yang mampu menghasilkan panas pembakaran yang tinggi. Bahan bakar yang biasa digunakan adalah gas asetilen dan nitrogen oksida (Muderawan, 2009). Besarnya intensitas cahaya yang diserap tergantung dari kadar atom yang terkandung dalam sampel yang akan dianalisis. Dalam hal ini berlaku hukum Lambert-Beer yang dapat dirumuskan sebagai berikut:Log It/Io = - . b . Cdimana, C adalah konsentrasi larutan dalam molar. Jika konsentrasi larutan dalam bentuk gram/liter maka rumus diatas akan menjadi:Log It/Io = -a . b . Cdimana It/Io disebut transmitan (T), maka:log T = -a. b. C atau log T = a.b.C. Harga log T = adsorben (A), sehingga:A = a. b. CKeterangan:Io = intensitas cahaya datang C = konsentrasiA = Absorbansib = tebal kuveta = absorptivitas = absorptivitas molarDari persamaan tersebut, tampak bahwa absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi sampel. Metode ini dapat digunakan untuk analisis kuantitatif unsur-unsur dalam jumlah yang sangat kecil. Konsentrasi larutan sampel ditentukan dengan cara membuat kurva kalibrasi hubungan antara absorbansi (A) terhadap konsentrasi (C) larutan standar yang berupa garis lurus, seperti yang terlihat pada gambar 2. Selanjutnya larutan sampel diukur absorbansinya yang diperoleh diplot ke dalam kurva kalibrasi/kurva standar, sehingga diperoleh konsentrasi sampel.

CGambar 5. Kurva Hukum Lambert-Beer (kurva kalibrasi)AHukum Beer mengatakan bahwa serapan radiasi dari spesi yang menyerap sebanding dengan konsentrasi spesi tersebut. Syarat agar hukum Beer dapat digunakan dengan baik adalah konsentrasi harus rendah, zat yang diukur harus stabil, cahaya yang dipakai harus monokromatis, dan larutan yang diukur harus jernih (Muderawan, 2009).

E. METODE PENELITIANE.1 Jenis PenelitianJenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen, yang bertujuan untuk mengetahui konsentrasi larutan HCl optimal yang digunakan untuk melakukan aktivasi, mengetahui waktu optimum pada proses aktivasi, serta konsentrasi ion tembaga (Cu2+) yang terabsorpsi oleh adsorben tanah liat yang telah teraktivasi. E.2 Subyek dan Obyek PenelitianDalam penelitian penentuan konsentrasi asam klorida dan waktu aktivasi optimum adsorben tanah liat pada proses adsorpsi ion cu2+, subyek di dalam penelitian ini adalah tanah liat, sedangkan obyek di dalam penelitian ini adalah konsentrasi HCl dan waktu aktivasi. E.2 Lokasi PenelitianPenelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Analitik dan Laboratorium Kimia Organik Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja.E.3 Variabel PenelitianPenelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan variasi terhadap konsentrasi HCl dan waktu aktivasi adsorben. Untuk mempermudah memahami antara variabel di setiap variasi maka digunakan pengkodean, untuk sub-penelitian 1 merupakan penelitian konsentrasi HCl, untuk sub-penelitian 2 merupakan penelitian dengan variasi waktu aktivasi adsorben dan untuk sub-penelitian 3 merupakan penelitian variasi waktu kontak adsoben terhadap ion Cu2+.E.3.1 Variabel BebasDalam sub-penelitian 1 variabel bebasnya adalah konsentrasi HCl, dalam sub-penelitian 2 variabel bebasnya adalah waktu aktivasi adsorben sedangkan dalam sub-penelitian 3 variabel bebasnya adalah waktu kontak adsorben terhadap ion Cu2+.E.3.2 Variabel TerikatDari sub-penelitian 1, sub-penelitian 2 dan sub-penelitian 3, variabel terikatnya adalah konsentrasi (Cu2+) setelah diadsorpsi oleh adsorben tanah liat yang telah teraktivasi.E.3.3 Variabel KontrolDalam sub-penelitian 1 variabel kontrolnya adalah konsentrasi larutan ion tembaga (Cu2+), pH larutan Cu2+, waktu aktivasi, waktu kontak, kuat pengocokan, dan tekanan udara, dalam sub-penelitian 2 variabel kontrolnya adalah konsentrasi HCl, pH larutan Cu2+, waktu kontak, konsentrasi larutan ion tembaga (Cu2+), kuat pengocokan, dan tekanan udara, sedangkan dalam sub-penelitian 3 variabel kontrolnya adalah konsentrasi ion tembaga (Cu+2), konsentrasi HCl, pH larutan Cu2+, waktu aktivasi, kuat pengocokan, dan tekanan udara.

E.4 Jenis DataData yang diperoleh di dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, berupa data konsentrasi HCl, data waktu aktivasi dan data konsentrasi Cu2+ setelah dilakukan kontak antara adsorben tanah liat yang telah diaktivasi, E.5 Rancangan PenelitianLangkah-langkah yang akan dilakukan di penelitian ini digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

25

Tanah liat

Dikeringkan

Digerus

Diayak dengan ayakan 100 mesh

+ 100 gr tanah liat302520Disaring, residu dicuci dengan aquades panas hingga netralDiambil masing-masing 1 gramDioven Dioven 11111,5 M0,5 M1 MDikocok dengan shaker selama 60 menit+ 25 mL CuSO4.5H2O 50 ppmDisaring, dan filtrat diukur dengan SSAPenentuan Konsentrasi HCl+ 100 gr tanah liatDisaring, residu dicuci dengan aquades panas hingga netralDikocok dengan shaker selama 60 menit250 mL HCl ( 0,5 M, 1 M, 1,5 M) dimasukkan ke gelas kimia1,5 M0,5 M250 mL HCl dengan konsentrasi optimal dimasukkan ke gelas kimia1 M

Penentuan waktu aktivasi optimumPenentuan waktu kontak optimum

1 gram tanah liat yang telah teraktivasi

+ 25 mL CuSO4.5H2O 50 ppm

Diaduk selama 30 menit, kemudian didiamkan selama (jam)Dikocok dengan shaker selama (menit)

906030120

Diaduk selama 30 menit, kemudian didiamkan selama 20 jam35

Disaring, dan filtrat diukur dengan SSA

Data

Diambil masing-masing 1 gram

+ 25 mL CuSO4.5H2O 50 ppm

Disaring, dan filtrat diukur dengan SSA

Gambar 6. Bagan PenelitianAnalisis DataDataDataE.6 Teknik Pengumpulan DataDalam penelitian ini dilakukan tiga tahap yaitu tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian, dan tahap pengumpulan data.E.6.1 Tahap Persiapana. Pembuatan Larutan AktivasiLarutan aktivasi yang digunakan yaitu HCl. Dalam penelitian ini digunakan larutan HCl dengan konsentrasi 0,5 M, 1 M, dan 1,5 M dibuat dengan cara mengencerkan HCl pekat (32%) masing masing sebanyak 49,2 ml, 98,4 ml, dan 147,6 ml. Kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 1L yang berisi sedikit aquades dan selanjutnya ditambahkan aquades sampai tanda batas.b. Preparasi Tanah LiatTanah liat diambil dari tanah di Desa Melaya pada kedalaman 40 cm kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama 1 minggu. Setelah proses pengeringan, tanah liat tersebut ditumbuk hingga halus. Tanah liat yang telah ditumbuk dilakukan pengayakan dengan ukuran ayakan 100 mesh sehingga diperoleh tanah liat dengan ukuran 100 mesh.c. Pembuatan Larutan Ion Tembaga (Cu2+) Induk (50 ppm)Larutan induk dibuat dengan cara melarutkan 0,19646 gram kristal Tembaga (II) sulfat (CuSO4.5H2O) dalam aquades hingga 1000 mL. Setelah pembuatan larutan induk, lalu diencerkan hingga konsentrasi 0 ppm, 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm dan 50 ppm.E.6.2 Tahap Pelaksanaan Penelitiana) Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan Standar Ion Tembaga (Cu2+)Larutan standar ion tembaga (Cu2+) dengan konsentrasi 0 ppm, 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm dan 50 ppm diukur adsorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom, dari data adsorbansi setiap konsentrasi dibuat kurva kalibrasi larutan standar ion tembaga (Cu2+).b) Pengaruh Konsentrasi Larutan HCl Pada Aktivasi Tanah Liat Ke dalam 3 erlenmeyer 500 mL dimasukkan sebanyak 100 gram tanah liat, kemudian masing-masing ditambahkan 250 mL larutan HCl 0,5 M; 1,0 M; dan 1,5 M, kemudian diaduk secara perlahan selama 30 menit dan ditutup. Campuran ini selanjutnya didiamkan dalam waktu 20 jam. Tanah liat yang telah diaktivasi selanjutnya didekantasi dan dicuci dengan aquades, lalu disaring. Hal ini terus dilakukan hingga didapatkan pH netral. Tanah liat yang telah bebas basa tersebut dikeringkan selama 3 jam dalam oven pada suhu 1050C. Masing-masing tanah liat yang telah selesai diaktivasi kemudian diambil 1 gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 25 mL larutan tembaga (Cu2+) dengan konsentrasi 50 mg/L. Campuran dikocok dengan shaker selama 60 menit. Setelah dikocok larutan dan adsorben disaring hingga diperoleh filtratnya. Masing-masing filtrat yang diperoleh kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan SSA.c) Pengaruh Variasi Waktu Pada Aktivasi Tanah Liat Masing-masing 250 mL larutan HCl dengan konsentrasi optimal dimasukkan ke dalam 4 erlenmeyer 500 mL. Kemuadian 100 gram tanah liat ditambahkan ke dalam masing-masing tabung erlenmeyer tersebut. Campuran tersebut kemudian dikocok dengan shaker dengan selama 30 menit, kemudian didiamkan dengan variasi waktu 20 jam, 25 jam, 30 jam dan 35 jam. Tanah liat yang telah diaktivasi selanjutnya didekantasi dan dicuci dengan aquades, lalu disaring. Hal ini terus dilakukan hingga didapatkan pH netral. Tanah liat yang telah bebas basa tersebut dikeringkan selama 3 jam dalam oven pada suhu 1050C. Masing-masing tanah liat yang telah selesai diaktivasi kemudian diambil 1 gram dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer dan ditambahkan 25 mL larutan tembaga (Cu2+) dengan konsentrasi 50 mg/L. Campuran dikocok dengan shaker selama 60 menit. Setelah dikocok larutan dan adsorben disaring hingga diperoleh filtratnya. Masing-masing filtrat yang diperoleh kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan SSA.d) Pengaruh Variasi Waktu KontakMasing-masing 25 mL larutan tembaga (Cu2+) dengan konsentrasi 50 mg/L dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL. Kemuadian 1 gram tanah liat yang telah diaktivasi ditambahkan ke dalam masing-masing erlenmeyer. Campuran dikocok dengan shaker dengan variasi waktu 30 menit, 60 menit, 90 menit, dan 120 menit. Setelah dikocok larutan dan adsorben disaring hingga diperoleh filtrat. Masing-masing filtrat yang diperoleh kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan SSA.E.6.3 Tahap Pengumpulan DataDari tahap pelaksanaan penelitian diperoleh data-data yaitu sebagai berikut:1) Data penelitian pengaruh konsentrasi Dari penelitian yang dilaksanakan dengan memvariasikan konsentrasi HCl diperoleh data konsentrasi HCl, konsentrasi larutan tembaga (Cu2+) sebelum adsorpsi, dan konsentrasi larutan tembaga (Cu2+) setelah adsorpsi pada variasi konsentrasi HCl masing-masing yang diperoleh dari pengukuran menggunakan SSA. Data variasi konsentrasi HCl, konsentrasi sebelum adsorpsi, dan konsentrasi sesudah adsorpsi dibuatkan dalam sebuah tabel.2) Data penelitian pengaruh waktu aktivasiDari penelitian yang dilaksanakan dengan memvariasikan waktu aktivasi diperoleh data waktu aktivasi, konsentrasi larutan tembaga (Cu2+) sebelum adsorpsi, dan konsentrasi larutan tembaga (Cu2+) setelah adsorpsi pada variasi waktu aktivasi masing-masing yang diperoleh dari pengukuran menggunakan SSA. Data variasi waktu aktivasi, konsentrasi larutan tembaga (Cu2+) sebelum adsorpsi, dan konsentrasi larutan tembaga (Cu2+) sesudah adsorpsi dibuatkan dalam sebuah tabel.3) Data penelitian pengaruh waktu kontakDari penelitian yang dilaksanakan dengan memvariasikan waktu kontak diperoleh data berupa waktu kontak, konsentrasi larutan tembaga (Cu2+) sebelum adsorpsi, dan konsentrasi larutan tembaga (Cu2+) setelah adsorpsi pada variasi waktu kontak masing-masing yang diperoleh dari pengukuran menggunakan SSA. Data variasi waktu kontak, konsentrasi larutan tembaga (Cu2+) sebelum adsorpsi, dan konsentrasi larutan tembaga (Cu2+) sesudah adsorpsi dimasukkan dalam sebuah tabel.

E.7 Analisis DataData yang diperoleh berupa data kuantitatif yang selanjutnya dianalisis untuk memperoleh tujuan penelitian. Analisis data dilakukan dengan cara sebagai berikut:1) Analisis data untuk memperoleh konsentrasi HCl optimumKonsentrasi optimum dapat ditentukan dengan membandingkan persentase konsentrasi ion Cu2+ yang terserap pada masing-masing konsentrasi aktivasi . Konsentrasi yang memiliki persentase konsentrasi ion Cu2+ yang terserap paling besar, menunjukkan konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi optimum.2) Analisis data untuk memperoleh waktu aktivasi optimumWaktu aktivasi optimum dapat ditentukan dengan membandingkan persentase konsentrasi ion Cu2+ yang terserap pada masing-masing waktu aktivasi . Waktu aktivasi yang memiliki persentase konsentrasi ion Cu2+ yang terserap paling besar, menunjukkan waktu tersebut merupakan waktu aktivasi optimum.3) Analisis data untuk memperoleh waktu kontak optimumwaktu kontak optimum dapat ditentukan dengan membandingkan persentase konsentrasi ion Cu2+ yang terserap pada masing-masing waktu kontak . Waktu kontak yang memiliki persentase konsentrasi ion Cu2+ yang terserap paling besar, menunjukkan waktu kontak optimum.

F. DAFTAR PUSTAKAAfriawan, R. 2013. Pengaruh Konsentrasi HCl Pada Aktivasi Arang Tongkol Jagung Terhadap Kemampuannya Menurunkan Kadar COD Pada Limbah Industri Tempe Tahu. Skirpsi : FPMIPA IKIP MataramAryanti, Linda.2011.Pemanfaatan Rumput Laut Sargassum sp. sebagai Adsorben Limbah Cair Industri Rumah Tangga Perikanan.Skripsi.Bogor:Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor.Balaram Sahoo, Nimain C. Nayak, Asutosh Samantaray, Prafulla K. Pujapanda, Sahoo Balaram, nayak Nimai Charan, samantaray Asutosh, pujapanda Prafulla Kumar.2012.Inorganic Chemistry. India: PHI Learning Pvt. Ltd.Barchia, M.F. 2009. Agroekosistem Tanah Mineral Masam. Yogyakarta : Gajah Mada University PressDrastinawati, Ida zhrina, Yelmida. 2010. Optimasi Kondisi Proses Aktivasi Bentonit Lokal Menggunakan H2SO4 Sebagai Adsorben Pada Proses Dehidrasi Etanol Dengan Surface Methode. Pekanbaru : Seminar Nasional Fakultas Teknik UR Hallaby. 2011. Adsorpsi Cu Pada Limbah Cair Industri Kerajinan Perak Sekarbella Dengan Menggunakan Tanah Liat Dari Tanak Awu. Skripsi : FPMIPA IKIP MataramHardiyatmo, H.C. 2002. Mekanika Tanah 1. Jakarta : Gramedia pustaka utamaIstighfaro, N. 2010. Peningkatan Minyak Goreng Bekas Dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Bentonit-Karbon Aktif Biji Kelor. Skripsi : UIN MalangKetaren, S.2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia.Marsidi, R. 2001. Zeolit Untuk mengurangi kesadahan Air. Jurnal Teknologi Lingkungan. Vol 2 no. 1Muderawan, I Wayan. 2009. Analisis Instrumen. Singaraja: Undiksha PressMuliyani, S dan Kartasapoetra. 2005. Pengantar Ilmu Tanah. Jakarta : Rineka Cipta Notodarmojo, S. 2005. Pencemaran Tanah dan Air Tanah. Bandung : ITBNurhayati, H. 2010. Pemanfaatan Bentonit teraktivasi Dalam Pengolahan Limbah cair Tahu. Skripsi : FPMIPA Universitas Sebelas Maret Oxtoby, Gillis, Nachtrieb, Suminar. 1999. Prinsip Prinsip Kimia Modern edisi 4 jilid 2. Jakarta : ErlanggaPetersen, F, Aldrich, C, Esau, A, Qi, BC. 2005. Biosorptions of Heavy Metals from Aqueous Solutions. Cape Peninsula University of Technology.Salamah, Siti.2008. Pembuatan Karbon Aktif Dari Kulit Buah Mahoni Dengan Perlakuan Perendaman Dalam Larutan KOH. Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2008 Bidang Teknik Kimia dan Tekstil ISBN : 978-979-3980-15-7Soemirat, J. 2005. Toksikologi Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.Supeno, M. 2007. Bentonit Alam Terpilar Sebagai Material Katalis / Co-Katalis Pembuatan Gas Hidrogen dan Oksigen dari Air. Disertasi Program Doktor (S-3) Ilmu Kimia : Universitas Sumatra UtaraSutedjo, M. dan Kartasapoetra. 2005. Pengantar Ilmu Tanah. Jakarta : Rineka CiptaUndang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan HidupWardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi, Yogyakarta.