Ambulatory

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pelayanan kesehatan Rawat Jalan

Citation preview

  • BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Pelayanan Kesehatan

    Menurut Levey dan Lomba (1973), yang kemudian dikutip oleh Azwar

    (1996), pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau

    secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan

    kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan

    perseorangan, keluarga, kelompok, dan ataupun masyarakat.

    2.1.1 Strata Pelayanan Kesehatan

    Strata pelayanan kesehatan yang dianut oleh setiap negara tidaklah sama,

    namun secara umum, pelayanan kesehatan di Indonesia dapat dikelompokkan

    menjadi tiga macam, yaitu:

    a) Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

    Pelayanan tingkat pertama adalah pelayanan kesehatan yang bersifat pokok,

    yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat serta mempunyai

    nilai strategis untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pada

    umumnya pelayanan tingkat pertama ini bersifat pelayanan rawat jalan.

    b) Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua

    Pelayanan kesehatan tingkat kedua adalah pelayanan kesehatan yang lebih

    lanjut, telah bersifat rawat inap dan untuk menyelenggarakannya telah

    dibutuhkan tersedianya tenaga-tenaga spesialis.

    9

    Universitas Sumatera Utara

  • c) Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga

    Pelayanan tingkat ketiga adalah pelayanan kesehatan yang bersifat lebih

    kompleks dan umumnya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga subspesialis

    2.1.2 Rawat Jalan

    Pelayanan rawat jalan (ambulatory service) adalah salah satu bentuk dari

    pelayanan kedokteran. Secara sederhana, yang dimaksud dengan pelayanan

    kesehatan rawat jalan adalah pelayanan kedokteran yang disediakan untuk pasien

    tidak dalam bentuk rawat inap (hospitalization). Pelayanan rawat jalan tidak hanya

    yang diselenggarakan oleh sarana pelayanan kesehatan yang telah lazim dikenal

    seperti Rumah Sakit atau Klinik, tetapi juga dilaksanakan di rumah pasien (home

    care) serta di rumah perawatan (nursing homes) (Muninjaya, 2005).

    Dibandingkan dengan pelayanan rawat inap, pelayanan rawat jalan ini

    memang tampak lebih berkembang. Romer (1981) mencatat bahwa peningkatan

    angka utilisasi pelayanan rawat jalan di rumah sakit adalah dua sampai tiga kali

    leibh tinggi dari peningkatan angka utilisasi pelayanan rawat inap. Hal yang sama

    juga ditemukan pada fasilitas pelayanannya. Menurut laporan Prospective Payment

    Assessment Commision, di Amerika Serikat, peningkatan jumlah sarana pelayanan

    tersebut untuk periode 1983-1988 tidak kurang dari 41% (Azwar, 1996).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.1.2.1 Bentuk Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan

    Sesuai dengan perkembangan yang dialami, maka pada saat ini berbagai

    bentuk pelayanan kesehatan rawat jalan banyak diselenggarakan dalam beberapa

    bentuk, antara lain (Muninjaya, 2005):

    a. Pelayanan rawat jalan oleh klinik rumah sakit

    Bentuk pertama dari pelayanan rawat jalan adalah yang

    diselenggarakan oleh klinik yang ada kaitannya dengan rumah sakit. Pada

    saat ini, berbagai jenis pelayanan rawat jalan banyak diselenggarakan oleh

    klinik rumah sakit, yang secara umum dapat dibedakan atas empat jenis,

    yaitu:

    - Pelayanan gawat darurat (emergency services), yaitu untuk

    menangani pasien yang membutuhkan pertolongan segera dan

    mendadak.

    - Pelayanan rawat jalan paripurna (comprehensive hospital outpatient

    services), yaitu yang memberikan pelayanan kesehatan paripurna

    sesuai dengan kebutuhan pasien.

    - Pelayanan rujukan (referral services), yaitu hanya melayani pasien-

    pasien yang dirujuk oleh sarana kesehatan lain. Biasanya untuk

    diagnosis atau terapi, sedangkan perawatan selanjutnya tetap

    ditangani oleh sarana kesehatan yang merujuk

    Universitas Sumatera Utara

  • - Pelayanan bedah jalan (ambulatory surgery services), yaitu yang

    memberikan pelayanan bedah yang dipulangkan pada hari yang

    sama.

    b. Pelayanan rawat jalan oleh klinik mandiri

    Bentuk kedua dari pelayanan rawat jalan adalah diselenggarakan oleh

    klinik yang mandiri, yakni yang tidak ada hubungan organisatoris dengan

    rumah sakit (free standing ambulatory centers). Bentuk klinik mandiri ini

    banyak macamnya yang secara umum dapat dibedakan atas dua macam, yaitu:

    - Klinik mandiri sederhana

    Bentuk klinik mandiri sederhana (simple free standing ambulatory

    centers) yang populer adalah praktek dokter umum dan praktek dokter

    spesialis secara perseorangan.

    - Klinik mandiri institusi

    Bentuk klinik institusi (institutional free standing ambulatory centers)

    banyak macamnya. Mulai dari praktek berkelompok, poliklinik,

    BKIA, dan Puskesmas.

    Puskesmas sebagai bagian dari sarana kesehatan juga melaksanakan

    program pelayanan rawat jalan.

    2.1.3 Rawat Inap

    Rawat inap adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi observasi,

    pengobatan, keperawatan, rehabilitasi medik dengan menginap di ruang rawat inap

    Universitas Sumatera Utara

  • pada sarana kesehatan rumah sakit pemerintah dan swasta, serta Puskesmas

    perawatan dan rumah bersalin yang oleh karena penyakitnya penderita harus

    menginap (Muninjaya, 2005).

    Penderita adalah seseorang yang mengalami/menderita sakit atau mengidap

    suatu penyakit. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah Rumah Sakit baik milik

    pemerintah maupun swasta, dan Puskesmas. Setiap pasien sebelum mendapat

    perawatan inap pada RSU atau Puskesmas, terlebih dahulu mendapatkan

    persetujuan rawat inap. Dan bagi yang mendapatkan pelayanan khusus diluar paket

    Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) terlebih dahulu mendapatkan persetujuan

    pemberian pelayanan khusus dan ditandatangani oleh Kepada Unit dan serta

    persetujuan dari Badan Pelayanan Jaminan Kesehatan Daerah (Bapel Jamkesda),

    kecuali pelayanan pada malam hari atau darurat.

    Paket pelayanan rawat inap di Puskesmas dan RS, meliputi:

    - Perawatan Kelas II

    - Persalinan Normal atau Patologis

    - Tindakan Pembedahan sesuai kebutuhan medis

    Pelayanan Penunjang, meliputi:

    - Radiologi

    - USG

    - EKG

    - Laboratorium

    - Fisioterapi (Muninjaya, 2004).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.2 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

    Hakekat dasar penyelenggaraan pelayanan kesehatan adalah untuk memenuhi

    kebutuhan dan tuntutan para pemakai jasa pelayanan kesehatan terhadap kesehatan

    (health needs and demands) sedemikian rupa sehingga kesehatan para pemakai jasa

    pelayanan kesehatan tersebut tetap terpelihara, bertitik tolak dari hakikat dasar ini,

    maka pelayanan kesehatan dapat dikategorikan sempurna bila memenuhi kebutuhan

    dan tuntutan di setiappasien yang terkait dengan timbulnya rasa puas terhadap

    pelayanan kesehatan (Azwar, 1994).

    Pemanfaatan (utilisasi) pelayanan kesehatan sangat erat kaitannya dengan

    waktu, kapan kita memerlukan pelayanan kesehatan, dan seberapa jauh efektifitas

    pelayanan tersebut, menurut Arrow yang dikutip Tjiptoherijanto (1994), hubungan

    antara keinginan sehat dengan permintaan akan pelayanan kesehatan hanya

    kelihatannya saja sederhana, tetapi sebenarnya sangat komplit. Penyebab utamanya

    adalah karena persoalan kesenjangan informasi. Adanya keinginan sehat menjadi

    konsumsi perawatan kesehatan melibatkan berbagai informasi, yaitu aspek yang

    menyangkut status kesehatan saat ini, informasi tentang status kesehatan yang baik,

    informasi tentang jenis perawatan yang tersedia. Dari informasi inilah masyarakat

    kemudian terpengaruh untuk melakukan permintaan dan penggunaan (utilisasi)

    terhadap suatu pelayanan kesehatan.

    Menurut Anderson yang dikutip Notoatmodjo (2003), bahwa faktor-faktor

    yang menentukan pemanfaatan pelayanan kesehatan dibagi menjadi tiga bagian,

    yaitu:

    Universitas Sumatera Utara

  • 1. Karakteristik Predisposisi (predisposing characteristics), karakteristik ini

    digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai

    kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda. Hal

    ini disebabkan karena adanya ciri-ciri individu yang digolongkan ke dalam

    ciri-ciri:

    a) Demografi (umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah keluarga)

    b) Struktur Sosial (tingkat pendidikan, pekerjaan, ras, kesukuan, agama,

    tempat tinggal)

    c) Sikap, keyakinan, persepsi, pandangan individu terhadap pelayanan

    kesehatan.

    2. Karakteristik pendukung (enabling characteristics), karakteristik ini

    mencerminkan bahwa meskipun mempunyai predisposisi untuk

    menggunakan pelayanan kesehatan, ia tidak akan bertindak

    menggunakannya, kecuali jika ia mampu untuk menggunakan. Penggunaan

    pelayanan kesehatan yang ada tergantung kemampuan konsumen untuk

    membayar. Termasuk dalam karakteristik ini adalah: sumber keluarga

    (pendapatan keluarga, cakupan asuransi kesehatan, dan pembiayaan

    pelayanan kesehatan, keterjangkauan, dan tarif).

    3. Karakteristik kebutuhan (need characteristics), faktor predisposisi dan faktor

    yang memungkinkan untuk mencapai pengobatan dapat terwujud di dalam

    tindakan itu dirasakan sebagai kebutuhan.

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.3 Puskesmas

    2.3.1 Pengertian

    Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) adalah salah satu unit

    pelaksana fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat

    pembinaan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan, serta pusat pelayanan

    kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan kegiatan yang meyeluruh,

    terpadu, dan berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal

    dalam suatu wilayah tertentu (Azwar, 1996).

    Pusat Kesehatan Masyarakat, disingkat Puskesmas, adalah Organisasi

    fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh,

    terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta

    aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan

    teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan

    masyarakat. Upaya kesehatan tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan

    kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajad kesehatan yang

    optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan (Depkes RI, 2005).

    2.3.2 Fungsi

    Dalam Kebijakan Dasar Puskesmas, ada tiga fungsi Puskesmas, yaitu: (1)

    Puskesmas sebagai Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan. Dalam

    hal ini, Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan

    pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah

    Universitas Sumatera Utara

  • kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Upaya

    yang dilakukan Puskesmas adalah mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan

    pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan

    kesehatan. (2) Puskesmas sebagai Pusat Pemberdayaan Masyarakat. Puskesmas

    selalu berupaya agar perorangan, keluarga, masyarakat terutama pemuka

    masyarakat dan dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan, dan kemampuan

    melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam

    memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk sumber pembiayaan, serta ikut

    menetapkan menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan. (3)

    Puskesmas sebagai Pusat Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama secara

    menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Dalam hal ini, pelayanan yang

    diberikan adalah pelayanan rawat jalan dan rawat inap dan untuk rawat inap untuk

    beberapa Puskesmas tertentu. Pelayanan promosi kesehatan, pemberantasan

    penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga,

    keluarga berencana, dan kesehatan jiwa (Azwar, 1996).

    2.3.3 Azas Pengelolaan

    Sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama di Indonesia,

    pengelolaan kerja di Puskesmas berpedoman pada 4 (empat) azas pokok, yakni

    (Azwar, 1996):

    Universitas Sumatera Utara

  • 1. Azas Pertanggungjawaban Wilayah

    Dalam melakukan program kerjanya, Puskesmas harus melakukan

    pertanggungjawaban wilayah. Artinya, Puskesmas harus bertanggung jawab atas

    semua masalah yang terjadi di wilayah kerjanya. Akibat adanya azas ini, maka

    program kerja Puskesmas tidak dilaksanakan secara pasif saja, dalam arti hanya

    menanti kunjungan masyarakat ke Puskesmas, melainkan harus secara aktif, yakni

    memberi pelayanan kesehatan sedekat mungkin dengan masyarakat. Lebih daripada

    itu, karena Puskesmas harus bertanggung jawab atas semua masalah kesehatan yang

    terjadi dalam wilayah kerjanya, maka banyak dilakukan program pemeliharaan

    kesehatan dan pencegahan penyakit yang merupakan bagian dari pelayanan

    kesehatan masyarakat.

    2. Azas Peran Serta Masyarakat

    Dalam melakukan program kerjanya, Puskesmas harus melaksanakan azas

    peran serta masyarakat. Artinya, berupaya melibatkan masyarakat dalam

    menyelenggarakan program kerja tersebut. Bentuk peran serta masyarakat dalam

    pelayanan kesehatan dapat dilihat dalam berbagai macam, seperti Posyandu.

    3. Azas Keterpaduan

    Dalam melakukan program kerjanya, Puskesmas harus melaksanakan

    keterpaduan. Artinya, berupaya memadukan kegiatan tersebut bukan saja dengan

    program kerja kesehatan lain (lintas program), tetapi juga dengan program dari

    sektor lain (lintas sektoral). Pelaksanaan azas tersebut, berbagai manfaat akan dapat

    Universitas Sumatera Utara

  • diperoleh. Bagi Puskesmas dapat menghemat sumber daya, sedangkan bagi

    masyarakat, lebih mudah memperoleh pelayanan kesehatan.

    4. Azas Rujukan

    Dalam menyelenggarakan program kerjanya, Puskesmas harus melaksanakan

    rujukan. Artinya, jika tidak mampu menangani suatu masalah kesehatan harus

    merujukkannya ke sarana kesehatan yang lebih mampu. Untuk pelayanan

    kedokteran jalur rujukannya adalah Rumah Sakit, sedangkan untuk pelayanan

    kesehatan masyarakat rujukannya adalah pelbagai kantor kesehatan.

    2.3.4 Jenis Pelayanan Puskesmas

    Jenis pelayanan yang dilaksanakan oleh Puskesmas merupakan indikator

    tingkat kepuasan pasien yaitu:

    a. Pelayanan Masuk Puskesmas

    1. Lama waktu pelayanan sebelum dikirim ke ruang perawatan

    2. Pelayanan petugas yang memproses masuk ke ruang perawatan

    3. Kondisi tempat menunggu sebelum dikirim ke ruang perawatan

    4. Pelayanan petugas Unit Gawat Darurat (UGD)

    5. Lama pelayanan di ruang UGD

    6. Kelengkapan perawatan di ruang UGD

    b. Pelayanan Dokter

    1. Sikap dan perilaku dokter saat melakukan pemeriksaan

    2. Penjelasan dokter terhadap pengobatan yang akan dilakukan

    Universitas Sumatera Utara

  • 3. Ketelitian dokter memeriksa pasien

    4. Kesungguhan dokter dalam menangani penyakit pasien

    5. Penjelasan dokter tentang obat yang harus diminum

    6. Penjelasan dokter tentang makanan yang harus dipantangkan

    7. Kemanjuran obat yang diberikan dokter

    8. Tanggapan dan jawaban dokter atas keluhan pasien

    9. Pengalaman dan senioritas dokter

    c. Pelayanan Perawat

    1. Keteraturan pelayanan perawat setiap hari (pemeriksaan nadi, tekanan darah,

    suhu tubuh dan lain-lain)

    2. Tanggapan perawat terhadap keluhan pasien

    3. Kesungguhan perawat melayani kebutuhan pasien

    4. Ketrampilan perawat dalam melayani (menyuntik, mengukur tensi dan lain-

    lain)

    5. Pertolongan yang sifatnya pribadi (mandi, menyuapi makanan, pemberian

    obat)

    6. Sikap perawat terhadap keluarga dan pengunjung pasien

    7. Pemberian obat dan penjelasan tentang cara meminumnya.

    8. Penjelasan perawat tentang tindakan yang akan dilakukan

    d. Sarana Medis dan Obat-obatan

    1. Ketersediaan obat-obatan di apotik puskesmas

    2. Pelayanan petugas apotik puskesmas

    Universitas Sumatera Utara

  • 3. Lama waktu pelayanan apotik puskesmas

    4. Kelengkapan peralatan medis sehingga tidak perlu dikirim ke puskesmas lain

    untuk pemakaian suatu alat

    5. Kelengkapan peralatan laboratorium puskesmas

    6. Sikap dan perilaku petugas pada fasilitas penunjang medis

    7. Lama waktu mendapatkan kepastian hasil dari pemeriksaan penunjang

    e. Kondisi Fasilitas Puskesmas (Fisik Puskesmas)

    1. Keterjangkauan letak puskesmas

    2. Keadaan halaman dan lingkungan puskesmas

    3. Kebersihan dan kerapian gedung, koridor, dan bangsal rawat inap puskesmas

    4. Keamanan pasien dan pengunjung.

    5. Penerangan lampu pada bangsal dan halaman di waktu malam

    6. Tempat parker kendaraan di puskesmas

    f. Kondisi Fasilitas Ruang Perawatan

    1. Kebersihan dan kerapian ruang perawatan

    2. Penerangan lampu pada ruang perawatan

    3. Kelengkapan perabot ruang perawatan

    4. Ruang perawatan bebas dari serangga ( semut, lalat, nyamuk)

    g. Pelayanan Administrasi Keluar Puskesmas

    1. Pelayanan administrasi tidak berbelit-belit dan menyulitkan

    2. Peraturan keuangan sebelum masuk ruang perawatan

    3. Cara pembayaran ruang perawatan selama di rawat

    Universitas Sumatera Utara

  • 4. Penyelesaian administrasi menjelang pulang

    5. Sikap dan perilaku petugas administrasi menjelang pulang

    2.4 Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

    Dalam Pedoman Penyelenggaraan Puskesmas di Era Desentralisasi 2001 yang

    tersusun oleh Tim Reformasi Puskesmas Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan

    Sosial, disebutkan bahwa salah satu kelompok indikator pencapaian Kecamatan Sehat

    2010 yang dipantau tahunan adalah indikator pelayanan kesehatan yang meliputi

    pemanfaatan pelayanan kesehatan di puskesmas dan mutu pelayanan (Depkes RI,

    2005).

    Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemanfaatan fasillitas kesehatan,

    seperti umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan berbagai faktor lainnya. Umur

    berkaitan dengan kelompok umur tertentu yang lebih banyak memanfaatkan

    pelayanan kesehatan karena pertimbangan tingkat kerentanan. Tingkat pendidikan

    mempunyai hubungan yang eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi

    tingkat pendidikan, semakin mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri,

    kreatif, dan berkesinambungan. Tingkat pendapatan mempunyai kontribusi yang

    besar dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan, karena semakin tinggi tingkat

    pendapatan, semakin leluasa untuk memilih pelayanan kesehatan (Sutanto, 2002).

    Menurut Azwar (1996), pemanfaatan seseorang terhadap pelayanan kesehatan

    dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, sosial budaya, dan sosial ekonomi orang

    Universitas Sumatera Utara

  • tersebut. Bila tingkat pendidikan, sosial budaya, dan sosial ekonomi baik, maka

    secara relatif pemanfaatan pelayanan kesehatan akan tinggi.

    Pemanfaatan pelayanan kesehatan melibatkan berbagai informasi, antara lain:

    status kesehatan saat ini, informasi tentang status kesehatan yang membaik, informasi

    tentang berbagai macam perawatan yang tersedia, dan informasi tentang efektivitas

    pelayanan kesehatan yang dipengaruhi oleh interaksi antar konsumen dan penyedia

    layanan (provider) (Azwar, 1996).

    Pemanfaatan pelayanan kesehatan juga dipengaruhi kelas sosial, perbedaan

    suku bangsa dan budaya. Ancaman-ancaman kesehatan yang sama (yang ditentukan

    secara klinik), tergantung dari variabel-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi

    yang berbeda dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Koos (1954) misalnya telah

    menunjukkan bagaimana tingkah laku sakit berbeda secara menyolok sesuai dengan

    kelas sosial dan ekonomi dalam populasi yang sekurang-kurangnya homogen. Ia

    menemukan bahwa para warga lapisan sosial atas dalam suatu masyarakat kecil di

    bilangan kota New York lebih cepat menginterpretasi gejala khusus sebagai indikasi

    sakit, dibanding dengan warga kelas sosial bawah; karena itu mereka akan lebih

    cenderung untuk segera mencari perawatan dokter (Anderson, 1986).

    Perbedaan budaya dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan lebih menonjol dari

    pada perbedaan ekonomi. Dalam suatu studi yang dilakukan pada sebuah rumah sakit

    veteran di New York City, Zborowski menemukan bahwa orang Yahudi dan Italia

    lebih emosional dalam respon mereka terhadap rasa sakit daripada orang Eropa Utara.

    Meskipun sejumlah dokter merasakan bahwa warga dari kelompok-kelompok

    Universitas Sumatera Utara

  • tersebut seharusnya memiliki ambang sakit yang lebih rendah dibanding dengan

    warga dari kelompok-kelompok lain; perbedaanya tak diragukan lagi, bersifat

    budaya. Kebudayaan Yahudi dan Italia membolehkan pengungkapan bebas perasaan

    dan emosi melalui kata-kata, bunyi, dan syarat-isyarat, maka baik orang Yahudi

    maupun orang Italia merasa bebas berbicara mengenai rasa sakit mereka, mengeluh

    dan menunjukkan penderitaan mereka dengan mengaduh, menangis dan sebagainya.

    Mereka tidak merasa malu dengan ekspresi tersebut. Mereka dengan sukarela

    mengakui bahwa bila kesakitan, mereka memang sangat banyak mengeluh, minta

    tolong dan mengharapkan simpati serta bantuan dari warga kelompoknya dalam

    lingkungan sosialnya yang langsung (Anderson, 1986).

    2.5 Karakteristik Masyarakat

    Karakteristik individu berbeda dengan karakteristik masyarakat dimana

    karakteristik individu meliputi keahlian, pendidikan, pengalaman kerja. Sedangkan

    karakteristik masyarakat meliputi identitas budaya, struktur masyarakat, aspek sosial,

    ekonomi, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, faktor-faktor karakteristik dalam hal

    ini adalah faktor-faktor yang berkembang dalam masyarakat.

    Menurut Roucek & Warren (1962), masyarakat desa memiliki karakteristik

    sebagai berikut: (1) peranan kelompok primer sangat besar; (2) faktor geografik

    sangat menentukan pembentukan kelompok masyarakat; (3) hubungan lebih bersifat

    intim dan awet; (4) struktur masyarakat bersifat homogen; (5) tingkat mobilitas sosial

    Universitas Sumatera Utara

  • rendah; (6) keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi; (7) proporsi

    jumlah anak cukup besar dalam struktur kependudukan (Ihromi, 1999).

    Pitirim A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman mengemukakan sejumlah faktor

    yang menjadi dasar dalam menentukan karakteristik desa dan kota, yaitu mata

    pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan penduduk, lingkungan,

    differensiasi sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial, dan solidaritas sosial

    (Koetjaraningrat, 1993).

    2.6 Karakteristik Masyarakat Tionghoa

    Orang Tionghoa adalah mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang

    Tionghoa, mempunyai darah Tionghoa (walaupun sudah banyak bercampur) dan

    mempunyai nama Tionghoa (namun banyak Tionghoa Indonesia yang lahir di masa

    Orba tidak lagi mempunyai nama Tionghoa). Satu hal yang khas dari Tionghoa

    peranakan dari Indonesia (khususnya Jawa), bahwa mereka sudah tidak bisa lagi

    berbahasa Mandarin (Setiono, 2003).

    Kebanyakan orang Indonesia asli telah banyak bergaul dengan orang

    Tionghoa Indonesia; tetapi sebagian besar belum mengenal golongan penduduk ini

    dengan wajar. Orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan

    suatu kelompok yang berasal dari satu daerah di Negara China, tetapi terdiri dari

    beberapa suku bangsa yang berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwantung,

    yang terpencar di daerah-daerahnya. Setiap imigran ke Indonesia membawa

    kebudayaan sukunya sendiri-sendiri bersama dengan perbedaan bahasanya. Ada

    Universitas Sumatera Utara

  • empat bahasa China yang dipergunakan di Indonesia yaitu: Hokkien, Teo-Chiu,

    Hakka dan Kanton yang masing-masing memiliki perbedaan sehingga penggunaan

    bahasa yang satu belum tentu diketahui atau dipahami suku yang lain (Somers, 2003).

    Karakteristik etnis masyarakat Tionghoa yang cenderung lebih mengutamakan

    faktor material (makanan) dari faktor kesehatan, mengingat latar belakang

    kedatangan mereka ke Indonesia yang saat itu dilanda kelaparan di negerinya sendiri.

    Hal ini menciptakan sebuah nilai budaya yang unik dalam bidang kesehatan. Setiap

    kali bertemu, masyarakt Tionghoa umumnya bertanya sudah makan atau belum.

    Berbeda dengan masyarakat etnis Jawa yang lebih mengutamakan faktor kesehatan

    sehingga setiap bertemu, lebih cenderung mempertanyakan sehat apa tidak (Wahid,

    2006).

    Di sisi entitas kelompok, penduduk keturunan Tionghoa bukan hanya terlihat

    sebagai orang luar (out group), tetapi juga menempatkan dirinya sebagai orang luar.

    Umumnya, badan-badan usaha-usaha milik etnik Cina hampir tidak pernah

    mempercayakan jabatan-jabatan puncak manajemen kepada tenaga profesional yang

    bukan etnik Cina demikian pula, perkawinan campuran antara Cina dan yang bukan

    Cina amat jarang terjadi. Dengan demikian, baik dalam sistem ekonomi maupun

    dalam sistem sosio-budaya, secara umum etnik Cina tampak terpisah dari masyarakat

    lingkungan sekitarnya. Hal ini menambah sulitnya masyarakat Tionghoa

    membaurkan diri dengan masyarakat pribumi. Semua ini berakibat terhadap tingkat

    partisipasi masyarakat Tionghoa terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan sangat

    Universitas Sumatera Utara

  • rendah, khususnya fasilitas kesehatan yang dijalankan oleh orang pribumi (Wahid,

    2006).

    Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan pemanfaatan

    pelayanan kesehatan pada masyarakat etnis Tionghoa tidak jauh berbeda dengan

    masyarakat lain. Beberapa faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

    2.6.1 Umur

    Umur dapat didefiniskan sebagai jumlah waktu kehidupan yang telah

    dijalani oleh seseorang. Umur sering dihubungkan dengan kemungkinan terjangkit

    penyakit. Kelompok umur usia muda (anak-anak) ternyata lebih rentan terhadap

    penyakit infeksi (diare, infeksi saluran pernafasan). Usia-usia produktif lebih

    cenderung berhadapan dengan masalah kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan kerja dan

    penyakit akibat gaya hidup (life style). Usia yang relatif lebih tua sangat rentan

    dengan penyakit-penyakit kronis (hipertensi, jantung koroner atau kanker)

    (Notoatmodjo, 2005).

    Resiko kesakitan akibat faktor umur ini menyebabkan tingkat pemanfaatan

    pelayanan kesehatan juga sangat dipengaruhi oleh umur. Menurut Feldstein (2004)

    semakin bertambah umur seseorang, maka semakin bertambah pula permintaannya

    terhadap pelayanan kesehatan (Razak, 2004).

    2.6.2 Jenis Kelamin

    Jenis kelamin adalah ciri khas tertentu yang dimiliki oleh mahluk hidup,

    dalam hal ini manusia. Jenis kelamin sering dibagi ke dalam dua kategori, dengan

    Universitas Sumatera Utara

  • menggunakan istilah masing-masing; laki-laki dan perempuan atau pria dan wanita.

    Dalam studi epidemiologi, jenis kelamin juga menjadi salah satu bagian dari

    karakteristik yang memiliki pengaruh terhadap kejadian kesakitan. Sebagai contoh,

    penyakit kanker serviks hanya dijumpai pada wanita, sedangkan kanker prostat hanya

    dijumpai pada pria (Notoatmodjo, 2005).

    Tingkat kerentanan manusia yang bersumber dari jenis kelamin tersebut

    menjadikan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan juga berbeda pada masing-

    masing jenis kelamin. Perempuan cenderung lebih rentan terhadap penyakit-penyakit

    infeksi. Hal ini disebabkan oleh tahap-tahap kehidupan yang dilaluinya, mulai dari

    remaja (haid), dewasa (mengandung dan melahirkan) sampai masa tua (menopause).

    Secara umum, kaum perempuan lebih peduli dengan keadaan kesehatannya sehingga

    lebih banyak memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah

    kesehatannya (Notoatmodjo, 2005).

    2.6.3 Tingkat Pendapatan

    Kemauan masyarakat Tionghoa untuk mengakses pelayanan kesehatan di

    Puskesmas juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan. Rata-rata tingkat

    pendapatan perkapita masyarakat Tionghoa lebih tinggi dari rata-rata pendapatan

    perkapita penduduk lainnya, sehingga cenderung lebih memilih mengakses fasilitas

    kesehatan yang lebih bermutu dan mempunyai fasilitas kesehatan yang lebih lengkap,

    seperti: rumah sakit, praktek dokter, dan laboratorium mandiri (Wang, 1991).

    Universitas Sumatera Utara

  • Menurut Rafael yang dikutip Tarigan (2002), tingkat penghasilan (income)

    seseorang berhubungan kuat dengan permintaan pelayanan kesehatan. Semakin tinggi

    tingkat pendapatan seseorang, semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan fasilitas

    kesehatan yang lebih baik dan lengkap secara sarana dan prasarana.

    Menurut data Susenas 2001, penduduk miskin lebih banyak memanfaatkan

    pelayanan Puskesmas untuk rawat inap, sedangkan penduduk kaya lebih akses pada

    RS Swasta. Sedangkan untuk tingkat nasional, RS Pemerintah lebih banyak

    dimanfaatkan penduduk kawasan timur Indonesia yang relatif memiliki tingkat

    pendapatan perkapitan lebih rendah dari kawasan barat Indonesia.

    Menurut Saadah (1999), yang dikutip oleh Lukito (2003), tingkat sosial

    ekonomi sangat mempengaruhi seseorang terhadap pemilihan media, sumber

    informasi, dan kemampuan dalam membeli alat yang dibutuhkan dalam menunjang

    kesehatannya.

    2.6.4 Tingkat Pendidikan

    Menurut Notoatmodjo (2002), kesehatan merupakan interaksi berbagai

    faktor, baik internal (dalam diri manusia) maupun eksternal (di luar diri manusia).

    Faktor internal terdiri dari faktor fisik dan psikis, sedangkan faktor eksternal terdiri

    dari kondisi sosial, budaya masyarakat, lingkungan fisik, politik, ekonomi,

    pendidikan, dan sebagainya. Menurut, Lukito (2003), pemanfaatan masyarakat

    terhadap berbagai fasilitas pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat

    pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin mudah

    Universitas Sumatera Utara

  • seseorang untuk memahami sebuah perubahan dan manfaat sebuah perubahan,

    khususnya dalam bidang kesehatan.

    Menurut penelitian Prihardjo (2005), rendahnya pemanfaatan kesehatan

    Puskesmas dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang. Tingkat pendidikan

    yang dimaksud bisa bersifat dualis. Disatu sisi, rendahnya pemanfaatan pelayanan

    kesehatan Puskesmas dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang rendah. Masyarakat

    tidak banyak mengerti tentang fasilitas dan pelayanan kesehatan yang diberikan

    oleh Puskesmas. Disisi lain, tingkat pengetahuan yang tinggi juga bisa

    menyebabkan rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan Puskesmas. Hal ini

    dilihat masyarakat yang telah mengetahui kualitas pelayanan dan fasilitas kesehatan

    yang masih rendah di Puskesmas.

    2.6.5 Pekerjaan

    Sebagain besar etnis Tionghoa di Indonesia memliki mata pencaharian

    sebagai pedagang terutama di wilayah Jawa. Sebagian besar mereka adalah orang

    Hokkien. Namun, berbeda dengan etnis Tionghoa yang berada di Jawa Barat dan di

    bagian Pantai Barat Sumatera. Etnis Tionghoa yang berada di wilayah ini lebih

    banyak bekerja sebagai petani dan penanam sayur-mayur, sedangkan di Bagan

    Siapiapi (Riau) orang Hokkien umumnya menjadi nelayan (Puspa, 2005)

    Pekerjaan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat

    pemanfaatan pelayanan kesehatan pada masyarakat etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa

    yang berada di wilayah kerja Puskesmas Panipahan Kecamatan Pasir Limau Kapas

    Universitas Sumatera Utara

  • merupakan bagian dari etnis Tionghoa yang menyebar ke Bagan Siapapi (Riau) yang

    memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Berbeda dengan etnis Tionghoa lainnya yang

    cenderung memiliki pekerjaan sebagai pedagang. Jenis pekerjaan kasar/lepas yang

    memiliki resiko kecelakaan inilah yang menyebabkan Puskesmas dimanfaatkan oleh

    masyarakat etnis Tionghoa yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan (Puspa, 2005).

    2.6.6 Tingkat Pengetahuan

    Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang

    terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan

    sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan

    pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi

    terhadap obyek (Notoatmodjo, 2005).

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan itu berasal dari kata

    tahu yang berarti: mengerti sesudah (melihat, mengalami). Pengetahuan dapat

    diperoleh dari pengalaman langsung, maupun dari pengalaman orang lain yang

    sampai kepadanya. Selain itu, dapat juga melalui media komunikasi, seperti: radio,

    televisi, majalah, atau surat kabar (Poerwadarminta, 1976).

    Menurut Benjamin Bloom (1908), yang dikutip oleh Notoatmodjo (2005)

    pengetahuan dibagi menjadi beberapa tingkatan yang selanjutnya disebut dengan

    Taksonomi Bloom. Menurut Bloom, pengetahuan dibagi atas: tahu (know),

    memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis

    (synthesis), dan evaluasi (evaluation).

    Universitas Sumatera Utara

  • Menurut beberapa ahli, pengetahuan merupakan salah satu penyebab utama

    timbulnya tindakan atau perubahan perilaku. Menurut Fritz Heider, perubahan

    perilaku terjadi karena disposisi internal, misalnya pengetahuan, motif, sikap, dan

    sebagainya. Sedangkan menurut Finer (1957) timbulnya tindakan terjadi akibat

    ketidakseimbangan kognisi (cognitive dissonance). Ketidakseimbangan ini terjadi

    karena dalam diri individu terdapat dua elemen kognisi (pengetahuan, pendapat, atau

    keyakinan) yang bertentangan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus atau

    obyek, dan stimulus tersebut menimbulkan keyakinan bertentangan di dalam diri

    individu sendiri, maka terjadilah ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan inilah yang

    menyebabkan lahirnya sebuah perilaku baru. Menurut Rogers (1962), tindakan dapat

    timbul melalui kesadaran. Kesadaran yang dimaksud berawal dari tingkat

    pengetahuan seseorang. Kesadaran tersebut kemudian akan berlanjut mengikuti

    empat tahap berikutnya, yaitu keinginan, evaluasi, mencoba, dan menerima

    (penerimaan) atau dikenal juga dengan AIETA (Awareness, Interest, Evaluation,

    Trial, and Adoption) (Nursalam, 2007).

    2.6.7 Sikap

    Sikap (attitude), adalah evaluasi positip-negatip-ambivalen individu terhadap

    objek, peristiwa, orang, atau ide tertentu. Sikap merupakan perasaan, keyakinan, dan

    kecenderungan perilaku yang relatip menetap. Unsur-unsur sikap meliputi kognisi,

    afeksi, dan kecenderungan bertindak. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya

    Universitas Sumatera Utara

  • sikap adalah pengalaman khusus, komunikasi dengan orang lain, adanya model, iklan

    dan opini, lembaga-lembaga sosial dan lembaga keagamaan (Makmun, 2005).

    Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek

    tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan

    (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik dan sebagainya). Dengan

    demikian, dapat dijelaskan bahwa sikap merupakan sindrom atau kumpulan gejala

    dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan,

    perhatian dan gejala kejiwaan yang lain (Notoatmodjo, 2005).

    Dalam bidang kesehatan, yang dimaksud dengan sikap terhadap kesehatan

    adalah pendapat atau penilaian orang terhadap hal-hal yang berkaitan dengan

    pemeliharaan kesehatan, yang mencakup sekurang-kurangnya empat variabel, yaitu:

    1. Sikap terhadap penyakit menular dan tidak menular (jenis penyakit dan tanda-

    tandanya atau gejalanya, penyebabnya, cara penularannya, cara pencegahannya,

    cara mengatasi atau menanganinya sementara)

    2. Sikap terhadap faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi kesehatan,

    antara lain: gizi makanan, sarana air bersih, pembuangan air limbah, pembuangan

    kotoran manusia, pembuangan sampah, perumahan sehat, polusi udara, dan

    sebagainya.

    3. Sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang professional maupun tradisional.

    4. Sikap untuk menghindari kecelakaan, baik kecelakaan rumah tangga, maupun

    kecelakaan lalulintas, dan kecelakaan di tempat-tempat umum (Notoatmodjo,

    2005).

    Universitas Sumatera Utara

  • Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa sikap masyarakat etnis Tionghoa

    cenderung lebih mengutamakan faktor material (makanan) dari faktor kesehatan,

    mengingat latar belakang kedatangan mereka ke Indonesia yang saat itu dilanda

    kelaparan di negerinya sendiri. Hal ini menciptakan sebuah nilai budaya yang unik

    dalam bidang kesehatan. Setiap kali bertemu, masyarakat Tionghoa umumnya

    bertanya sudah makan atau belum. Berbeda dengan masyarakat etnis Jawa yang

    lebih mengutamakan faktor kesehatan sehingga setiap bertemu, lebih cenderung

    mempertanyakan sehat apa tidak (Wahid, 2006).

    2.6.8 Persepsi

    Ada banyak definisi tentang persepsi sebagaimana yang dikemukakan para

    ahli. Atkinson (1991), menyatakan bahwa persepsi timbul karena adanya respons

    terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat kompleks, stimulus

    masuk kedalam otak, kemudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui

    proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi. Definisi yang hampir sama

    dikemukakan oleh Gibson (1986). Menurut Gibson persepsi mencakup penerimaan

    stimulus (input), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran

    stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi prilaku dan

    membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain

    sesuai dengan keadaannya (Notoatmodjo, 2005).

    Persepsi adalah suatu proses otomatis yang terjadi dengan sangat cepat dan

    terkadang tidak kita sadari, dimana kita mengenali stimulus yang kita terima. Persepsi

    Universitas Sumatera Utara

  • yang kita miliki dapat mempengaruhi tindakan kita. Menurut Robbin (2003), yang

    dikutip Notoatmodjo (2005), mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana

    seseorang mengorganisasikan dan menginterpretasikan sensasi yang dirasakan

    dengan tujuan untuk memberikan makna terhadap lingkungannya.

    Menurut Anderson yang dikutip Notoatmodjo (2003), persepsi merupakan

    salah satu faktor yang mempengaruhi tindakan seseorang dalam memanfaatkan

    pelayanan kesehatan. Persepsi termasuk dalam faktor predisposisi (predisposing

    factors), karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap

    individu mempunyai kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang

    berbeda-beda.

    2.6.9 Solidaritas Komunal

    Salah satu karakteristik masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah memiliki

    solidaritas komunal yang tinggi sehingga menyebabkan sulitnya proses pembauran

    etnis. Hal ini terlihat dari sikap mereka yang menganggap dirinya sebagai pihak

    luar sehingga nasionalismenya sangat diragukan untuk mendorong proses pembauran.

    Sehingga tidak ada pilihan lain mereka selain untuk bertahan dengan solidaritas

    komunal mereka sebagai kelompok minoritas yang tertindas (Ihromi, 1999).

    Demikian juga dalam penggunaan bahasa, walaupun mereka menjalankan

    integrasi lokal dalam beberapa kehidupan keseharian etnis Cina, terutama yang belum

    atau tidak melakukan pernikahan asimilasi dengan pihak pribumi, tetapi mereka tetap

    mempertahankan kemampuan baca dan berbicara bahasa Mandarin dan atau Kanton.

    Universitas Sumatera Utara

  • Etnis Cina yang tidak atau belum berasimilasi melalui perkawinan dengan kaum

    pribumi, biasanya hanya mengambil kebiasaan-kebiasaan budaya lokal terutama

    dalam hal makanan (Ihromi, 1999).

    2.7 Landasan Teori

    Menurut Anderson yang dikutip Notoatmodjo (2003), bahwa faktor-faktor

    yang menentukan pemanfaatan pelayanan kesehatan dibagi menjadi tiga bagian,

    yaitu:

    1. Karakteristik Predisposisi (predisposing characteristics), karakteristik ini

    digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai

    kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda. Hal

    ini disebabkan karena adanya ciri-ciri individu yang digolongkan ke dalam

    ciri-ciri:

    a) Demografi (umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah keluarga)

    b) Struktur Sosial (tingkat pendidikan, pekerjaan, ras, kesukuan, agama,

    tempat tinggal)

    c) Sikap, keyakinan, persepsi, pandangan individu terhadap pelayanan

    kesehatan.

    2. Karakteristik pendukung (enabling characteristics), karakteristik ini

    mencerminkan bahwa meskipun mempunyai predisposisi untuk

    menggunakan pelayanan kesehatan, ia tidak akan bertindak

    menggunakannya, kecuali jika ia mampu untuk menggunakan. Penggunaan

    Universitas Sumatera Utara

  • pelayanan kesehatan yang ada tergantung kemampuan konsumen untuk

    membayar. Termasuk dalam karakteristik ini adalah: sumber keluarga

    (pendapatan keluarga, cakupan asuransi kesehatan, dan pembiayaan

    pelayanan kesehatan, keterjangkauan, dan tarif).

    3. Karakteristik kebutuhan (need characteristics), faktor predisposisi dan faktor

    yang memungkinkan untuk mencapai pengobatan dapat terwujud di dalam

    tindakan itu dirasakan sebagai kebutuhan.

    2.8 Kerangka Konsep

    Berdasarkan pada masalah dan tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam

    penelitian ini, maka kerangka konsep dalam penelitian ini digambarkan sebagai

    berikut:

    Gambar 2.1 Kerangka Konsep

    Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

    Struktur Sosial: 1. Tingkat Pendapatan 2. Tingkat Pendidikan 3. Pekerjaan 4. Solidaritas Komunal

    Demografi: 1. Umur 2. Jenis Kelamin 3. Jumlah Anggota Keluarga

    Perilaku: 1. Tingkat Pengetahuan 2. Sikap 3. Persepsi

    Universitas Sumatera Utara