Upload
surya-gayo
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 1/187
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 2/187
DAFTAR lSI
KATA PENGANTAR ..........................................................
DAFTARISI
BAB I PENDAHULUAN .................................................
A La tar Belakang .............................................. .
B Maksud dan Tujuan .......................................
C Metodologi ........ ............................................
D Jangka Waktu dan Biaya .............................. .
E. Keanggotaan l im .............................. ...........
BAB II PENGATURAN PEMBERANTASAN TIN OAK
PIDANA KORUPSI .............................. .............. .
A Pengaturan Substansi Hukum .......................
1. Hukum Nasional ..................................... .
1 1
Sebelum Tahun 1960 ........................ .
1.2 Setelah Tahun 1960 .......................... .
2 Hukum lnternasional ............................... .
B
Penyelidikan dan Penyidikan
lind k
Pidana
Korupsi ..........................................................
BAB Ill ANALISIS DAN EVALUASI ................................. .
A Permasalahan Permasalahan Dalam
Penyelidikan dan Penyidikan lind k Pidana
Korupsi ..........................................................
B
Solusi Permasalahan .................................... .
v
xi
1
1
7
7
9
9
9
12
13
20
4
31
31
38
xi
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 3/187
1.
Pemberlakukan Undang-Undang
Nomor
31
Tahun 1999 Jo. l Jndang-undang
No.
2
di Dalam dan
Luar Batas Teritorial
...
..
2 Kerjasama
Hukum Dalam
Pencegahan
dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
..
B B V PENUTUP ..
A Kesimpulan .. ... .... ....... ... .... .. .... ..
B Saran .. ..
..
...
..
...
..
.... ..
DAFTAR PUSTAKA .. .. .. .. .. ..
..
LAMP RAN
xii
40
44
49
49
49
51
53
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 4/187
Lampi
ran
· 1. United Nations Convention Against Corruption Tahun 2003
2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1999
Tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia
Dan Australia Mengenai Bantu
an
Timbal Balik Dalam Masalah
Pidana
Treaty Between
The
Republic
Of
Indonesia nd
Australia n Mutual Assistance In Criminal Matters).
3
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2001
Tentang Pengesahan Persetujuan ntara Pemerintah
Republik Indonesia Dan Pemerintah Hongkong Untuk
Penyerahan Pelanggar Hukum
Yang
Melarikan Diri
Agree-
ment Between
The
Government
Of The
Republic Of Indone-
sia nd The Government
Of
Hongkong For
The
Surrender
OfFugitive Offenders).
4. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1976
Tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik
Indonesia Dan Republik Philipina Serta Protokol
xiii
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 5/187
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 6/187
B SI
PEND HULU N
A Latar elakang
Pada saat ini pemberantasan korupsi tidak lagi hanya
menjadi permasalahan nasional satu negara saja akan tetapi
sudah menjadi permasalahan internasional yang melibatkan
banyak negara. Korupsi sudah menjadi transnational crime
yang pemberantasannya
membutuhk n
kerjasama d ri
berbagai negara. Kondisi tersebut ditegaskan dalam United
Convention Against Corruption yang berbunyi :
Convinced also that the globalization
of
the world s eco-
nomic
has
led to
a
situation where corruption
is
no longer
local metter but transnational phenomenon that af-
fects all societies nd economies, making international
cooperation to prevent
nd
control it essential
Banyak negara miskin dan berkembang diAsia dan Afrika
sebagai negara korban (victim states) yang sangat merasakan
dampak negatif akibat praktik-praktik korupsi di negara
mereka. Bahkan kemudian korupsi dianggap sebagai salah
satu penyebab lambannya pertumbuhan ekonomi yang
bermuara p d rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh lembaga donor IMF
pada
t hun
1996 meny t k n b hw korupsi d p t
memb w konsekuensi memperl mb t
pertumbuh n
ekonomi melalui berbagai dimensi sektor yang luas seperti:
1
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 7/187
a
corruption lowers invesment and retards economic growth
to a ::;ignificant extent.
b. telent
Will
be misallocated.
c
corruption might reduce the effectiveness
of
aid flows
through the diversion
of
funds.
d
corruption may bring abaout loss of tax revenue.
e
corruption may lead to adverse budgetary consequences.
f corrupt system may lead to lower quality of infrastruc
ture and public services.
g. corruption may distort the composition of government
expenditure
Pada perkembangan selanjutnya seringkali akibat dari
adanya tindak pidana korupsi juga akan memicu timbulnya
tindak pidana pencucian uang money foundering). Pencucian
u ng
money
foundering)
tersebut
dil kuk n
untuk
menyembunyikan asal usul uang hasil korupsi agar tidak dapat
dilacak oleh aparat penegak hukum. Sehingga setelah proses
pencucian uang tersebut selesai maka uang hasil korupsi
tersebut secara formil yuridis adalah merupakan uang yang
berasal dari sumber yang sa h. Upaya-upaya yang dilakukan
koruptor deng n mel kuk n pencucian uang money
foundering)
terhadap hasil korupsinya akan semakin membuat
panjang jalan yang harus dilalui oleh penyelidik dan penyidik
untuk mengungkap suatu ·kasus korupsi.
Sebagai negara ketiga paling korup
di
dunia Indonesia
adalah termasuk negara yang paling merasakan dampak
buruk dari pelaksanaan korupsi. Riwayat korupsi di Indone
sia tampaknya sudah mengakar dan melibatkan semua
kesemua lini kehidupan tidak saja dilingkungan publik saja
tetapi sudah merasuk ke dalam sektor swasta . Bahkan
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 8/187
parahnya lembaga legislatif yang nota bene adalah merupakan
wakil rakyat dan bertugas mengawasi jalannya pemerintahan
juga
sudah terjangkiti virus korupsi. Fakta tersebut ditandai
dengan banyaknya anggota-anggota dewan perwakilan rakyat
daerah periode 1999 2004 yang saat saat ini sedang
menghadapi sangkaan atau dakwaan korupsi.
Upaya pemberantasan korupsi adalah merupakan agenda
utama yang harus segera diwujudkan. Agar dapat berjalan
efektif, upaya tersebut harus bersifat preventif dan represif.
Kedua upaya tersebut harus dijalankan secara baik dan dapat
saling sinergis, atau diibaratkan keduanya adalah dua sisi
dalam satu mata uang . Tanpa ada upaya yang sifatnya
preventif, maka upaya yang bersifat represif akan mengalami
kegagalan dalam
menjalankan
misinya . Demikian juga
sebaliknya tanpa hal-hal yang bersifat represif, upaya preventif
hanyalah merupakan omong kosong belaka.
Dalam
pelaksanaan
upaya
yang
bersifat
represif
,
sebagaimana halnya penegakan hukum pidana di Indone
sia, dikenal adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh
penegak hukum untuk melaksanakan tugasnya.Tahapan awal
yang harus dilalui oleh penegak hukum adalah tahapan
penyelidikan dan penyidikan. Berdasarkan pasal1 angka 5)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud
dengan penyelidikan adalah:
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menenumukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang undang ini.
Sedangkan dalam angka 3) pasal yang sama disebutkan
bahwa penyidikan adalah:
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 9/187
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpu/kan bukti yang dengan bukti tu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.
Subyek pelaku) dari dua definisi mengenai penyelidikan
dan penyidikan tersebut adalah penyelidik dan penyidik .
Pertanyaannya kemudian adalah siapakah yang disebut
dengan penyelidik dan penyidik? Apabila hanya mendasarkan
pada ketentuan yang terdapat dalam angka 3) dan 4) pasal
1 Undang-Undang No. 8 Tahun
1981
tentang Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana, maka yang dapat bertindak
sebagai p n y i i k
P ~ n
penyelidik adalah Pejabat Kepol isian
Negara Republik Indonesia.Akan tetapi apabila mencermati
penjelasan pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang menyebutkan adanya pengecualian terhadap
pemberlakuan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana yaitu terhadap pelaksanaan Undang-Undang
No . 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-Undang
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lihat
penjelasan Pasal 284 UU No. 8 Tahun 1981 ,
maka dalam
tindak pidana khusus korupsi, selain polisi, jaksa juga berhak
untuk bertindak sebagai penyelidik dan penyidik. Dalam
perkembangan selanjutnya, penegakan hukum terhadap
tindak pidana korupsi tidak hanya ditangani oleh kepolisian
dan kejaksaan saja. Pada saat ini Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk dengan Undang
Undang No.
30
Tahun 2002 dan Tim Koordinasi Pembe
rantasan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk dengan
Keputusan Presiden No . 11 tahun 2005 juga mempunyai
kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana korupsi.
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 10/187
Dengan adanya 4 empat) institusi tersebut, seharusnya
akan diperoleh suatu kekuatan m.aksimal untuk melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Akan tetapi ternyata
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dimulai
dari
proses penyelidikan dan penyidikan tersebut
tidak
semudah yang digambarkan. Karakterisktik tindak pidana
korupsi sebagai kejahatan transnasional
transnational crimes)
dan kejahatan kerah putih white collar crime) menimbulkan
berbagai permasalahan yang tidak mudah dipecahkan yang
berakibat pada tidak maksimalnya kinerja keempat institusi
terse but.
ondisi
tersebut
harus segera mendapatkan
penyelesaian, karena apabila dibiarkan berlarut-larut akan
menyebabkan upaya preventif atau pencegahan yang selama
ini telah dilakukan menjadi omong kosong belaka yang
akhirnya dapat menciderai rasa keadilan masyarakat. Terlebih
lagi apabila mengingat kempleksitas pemberantasan korupsi
dengan mengkaitkannya terhadap tindak pidana pencucian
uang money foundering) .
Hal terse but tidak berlebihan karena sebagai suatu jenis
kejahatan transnasional transnational crime), Salah satu
modus operasi yang dilakukan dalam tindak pidana pencucian
uang adalah dengan nielakukan eksploitasi masalah-masalah
yang menyangkut yurisdiksi internasional exploiting inter-
nationaljurisdictional
issues). Selain modus tersebut, menurut
Egmont Training Working Group dalam Sjahdeini, 2004 :122),
modus-modus lain yang harus diwaspadai oleh penyidik dalam
rangka memberantas korupsi yang terkait dengan tindak
pidana pencucian uang adalah penyembunyian ke dalam
struktur bisnis concealment within businnes structure),
penyalahgunaan bisnis yang sah missuse
o
egitimate busi-
nesses), penggunaan identitas palsu, dokumen palsu atau
5
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 11/187
perantara use
of
false indentities, or
str w
men) , dan
penggunaan tipe-tipe harta kekayaan yang tanpa nama use
of anonymous asset types) dikategorikan sebagai salah
bentuk cara yang dilakukan dalam tindak pidana pencucian
uang.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut i atas maka
tidak dapat dihindari lagi bahwa penegakan hukum terhadap
tindak pidana korupsi i Indonesia harus bekerjasama dengan
negara-negara lain. Berdasarkan hal-hal tersebut
i
atas
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia memandang pe rlu
untuk mengadakan analisis dan evaluasi hukum mengenai
penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi.
B aksud dan Tujuan
Kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan analisis dan
evaluasi pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan dalam
perkara korupsi terutama yang berkaitan dengan perma
salahan pertentangan yurisdiksi antar negara. Dari perma
salahan tersebut kemudian akan dicarikan solusi untuk
penyelesaian permasalahan-permasalahan tersebut.
C
etodologi
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode
normatif deskriptif. Untuk itu dilakukan analisis atas substansi
norma hukum yang berkaitan dengan penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana korupsi dan kemudian dievaluasi
untuk mendapatkan rekomendasi untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada.
Untuk mendapatkan bahan masukan dilakukan dengan
studi kepustakaan melalui pengumpulan bahan-bahan berupa
peraturan perundang-undangan
uku uku
makalah
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 12/187
majalah
dan jurnal
i lmiah
yang
berkaitan
dengan
pemberantasan tipdak pidana korupsi.
D.
angka
Waktu dan Biaya
Kegiatan ini dilaksanakan selama 12 duabelas) bulan
terhitung mulai bulan Januari sampai dengan Desember 2005
dengan biaya yang sepenuhnya dibebankan pada anggaran
Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun Anggaran 2005.
E. Keanggotaan Tim
Kegiatan Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelidikan dan
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi , dilaksanakan suatu tim
yaitu:
Ketua
Sekretaris
Anggota
Asisten
Pengetik
: Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H. LL.M.
: Rahendro Jati, S.H.
1. Drs. Jusuf Syakir
2. Ramelan, S.H. M.H.
3. AKBP Drs. Budiman Paranginangin
4. Rooseno, S.H., M.Hum.
5. Ellyna Syukur, S.H.
6. Sri Mulyani, S.H.
:
1.
Giyanto, S.
H.
2. Ratio Bin Gimin, S.H.
1. Turdi
1.
Trimanto
7
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 13/187
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 14/187
B B
PENG TUR NPEMBER NT S N
TIND K PID N KORUPSI
A Pengaturan Substansi Hukum
1
Hukum Nasional
Sebagai sebuah gejala sosial, keberadaan korupsi
hampir seumur dengan keberadaan masyarakat i dunia
ini. Korupsi diidentikan dengan keserakahan, ketamakan
dan kesewenang-wenangan yang dicaci dan dikutuk oleh
semua orang karena berkaitan dengan penyalahgunaan
jabatan yang bermuara pada kesengsaraan rakyat.
Terdapat berbagai faktor yang dapat memicu terjadi
dan berkembangnya korupsi
i
dalam masyarakat. Salah
satunya adalah sifat kepemimpinan yang paternalistik
Atmasasmita, 2002:3). Sifat pemimpin yang paternalistik
dengan misi untuk mengejar keuntungan materialistik
tersebut akan dapat memunculkan masyarakat yang juga
materialistik dan berujung pada sikap-sikap koruptif
dikalangan masyarakat.
Oleh karena itu pemberantasan korupsi tidak hanya
merupakan persoalan dan penegakan hukum semata,
tetap juga harus dijalankan secara terpadu dan bersama
sama dengan penyelesaian persoalan-persoalan sosial
dan psikologi sosial.
Sebagai negara yang dikatagorikan paling korup di
dunia, permasalahan korupsi
i Indonesia telah banyak
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 15/187
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 16/187
2 Pendekatan moralistik dan keimanan
Pendekatari moralistik dan keimanan merupakan
rambu-rambu pembatas untuk meluruskan jalannya
langkah
penegakan hukum
dan
memperkuat
integritas penyelenggara
negara
untuk selalu
memegang teguh dan menjunjung tinggi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3
Pendekatan edukatif
Pendekatan edukatif berfungsi meningkatkan
daya nalar masyarakat sehingga dapat memahami
secara komprehensif Jatar belakang dan sebab-sebab
terjadinya korupsi serta langkah pencegahannya.
4. Pendekatan sosio kultural
Pendekatan sosio-kultural berfungsi membangun
kultur masyarakat untuk mengutuk dan mengecam
tindak pidana korupsi dengan melakukan kampanye
publik yang meluas dan merata diseluruh pelosok
tanah air. Pemberdayaan partisipasi publik bertujuan
menumbuhkan budaya anti korupsi dikalangan
masyarakat.
Secara nasional, pemerintah telah membuat Strategi
Nasional Pemberantasan Korupsi SNPK) yang bertumpu
pada 4 empat) pendekatan , yaitu pendekatan hukum,
pendekatan budaya, pendekatan
ekonomi
dan
pendekatan sumber daya manusia.
Dari segi hukum, di Indonesia telah banyak terdapat
peraturan perundang-undangan
yang
mengatur
mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut
Ramelan
2004
:6), apabila diamati
dalam
setiap
konsideran maupun penjelasan umum undang-undang,
pada setiap pergantian atau perubahan undang-undang
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 17/187
2
intinya didasarkan pada pertimbangan bahwa
korupsi
telah banyak merugikan keuangan dan perekonomian
negara perundang-undangan yang ada tidak /agi efektif
memberantas tindak pidana korupsi yang semakin
meningkat dan kompleks .
1 1 Sebelum Tahun 1960
Peraturan pertama yang dibentuk oleh pemerintah
dalam rangka pemberantasan korupsi adalah Peraturan
Penguasa Militer Nomor. Prt/PM-06/1957 tanggal9 April
1957. Dalam peraturan ini, rumusan mengenai korupsi
dikelompokan menjadi 2 dua) yaitu:
a. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga
baik untuk kepentingan sendiri kepentingan orang
lain, atau kepentingan suatu badan yang langsung
atau tidak langsung menyebabkan kerugian atau
perekonomian negara.
b. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat
yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang
menerima bantuan dan keuangan negara atau
daerah.
Selanjutnya diterbitkan peraturan Penguasa Perang
Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal16 April 1958
No
. Prt/Peperpu/013/1958 tertanggal 16 April 1958
.tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
Perbuatan Korupsi Pidana dan Pemilikan Harta Benda,
serta Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf
Angkatan Laut No. Prt/Z.I./7 tertanggal 17 April 1958.
Menu rut kedua peraturan terse but, perbuatan tindak
pidana korupsi pada saat itu digolongkan menjadi dua
macam, yaitu Perbuatan Korupsi Pidana dan Perbuatan
Korupsi Bukan Pidana.Akan tetapi dalam kedua peraturan
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 18/187
tersebut tidak dijelaskan secara lebih lanjut mengenai
pengertian kedua hal tersebut.
Oleh karena itu, dengan mengacu pada penjelasan
yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang Undang No . 24 Tahun 1960, yang dapat
dikatagorikan sebagai Perbuatan Korupsi Pidana adalah
perbuatan korupsi yang didalamnya terdapat unsur-unsur
kejahatan sehingga berdasarkan hal tersebut dapat
dipidana dengan hukuman badan dan/atau denda yang
cukup berat disamping perampasan harta benda hasil
korupsinya. Sedangkan yang dikatagorikan sebagai
Perbuatan Korupsi Bukan Pidana, adalah perbuatan
korupsi yang didalamnya terdapat unsur perbuatan
melawan hukum. Perbuatan korupsi ini tidak diancam
dengan hukuman pidana , melainkan Pengadilan Tinggi
yang mengadilinya atas gugatan Badan Koordinasi Penilik
Harta Benda, dapat merampas harta benda hasil korupsi
terse but.
Yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum
dalam penjelasan tersebut adalah ketentuan mengenai
onrechm tige d d dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Menurut Yurisprudensi, perbuatan melawan hukum dalam
ketentuan Pasal1365 KUH Perdata, dijabarkan sebagai
perbuatan seseorang yang oleh karenanya melanggar
hak orang lain ataupun bertentangan dengan keharusan
dalam pergaulan hid up untuk bertindak prihatin terhadap
orang lain atau barang
c.q
haknya Saleh, 1983 : 30).
1 2 Setelah Tahun 1960
Undang-Undang No. 1 Tahun 96 adalah undang
undang pertama yang diundangkan pasca tahun 1960.
Undang-Undang ini merupakan pengesahan dalam
13
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 19/187
4
bentuk
undang-undang dari Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 24 tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan
dan
Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi.
Dalam peraturan ini, ketentuan mengenai tata cara
pencegahan dan pemberantasan korupsi, dibedakan
antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana yang
diatur dalam KUHP. Pengaturan pemberantasan melalui
Perpu tersebut masih lemah
dan
tidak efektif, karena
korupsi dianggap sebagai tindak pidana yang tidak berdiri
sendiri, tetapi masih dikaitkan atau disamakan dengan
ketentuan-ketentuan dalam
KUHP.
Dengan kata lain,
menurut undang-undang ini tindak pidana korupsi masih
dianggap sebagai tindak pidana biasa ordinary crime) .
Pada waktu itu, ketentuan dalam Perpu tersebut
ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Koordinasi
Pemberantasan Korupsi TPK) yang berada dibawah
koordinasi Menteri Pertahanan. Sasaran kerja Tim
Koordinasi Pemberantasan Korupsi pada waktu itu
diarahkan pada pemberantasan penyelundupan yang
pada waktu itu menggoyahkan stabilitas perkonomian
Indonesia.
elanjutnya
untuk lebih mengefektifkan
pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah
mencabut Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 dan
kemudian menggantinya dengan Undang-Undang
No.
3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang diundangkan pada tanggal 29 Maret 1971 .
Perbedaan yang mencolok dari undang-undang yang
sebelumnya, dalam undang-undang ini tindak pidana
korupsi digolongk.an sebagai tindak pidana yang berdiri
sendiri dan bukan lagi merupakan salah satu kejahatan
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 20/187
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Selain itu, undang-undang ini juga rnenetapkan unsur
kerugian negara.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana
korupsi telah mulai dianggap sebagai kejahatan sangat
mempunyai potensi untuk merugikan negara. Walaupun
demik
ian, undang-undang No. 3 Tahun 1971 masih
mengandung beberapa kelemahan yaitu (Atmasasmita,
2004:
9
:
1. Ketentuan rumusan delik yang bersifat material.
Dalam praktiknya, kata dapat di depan kata-kata
merugikan keuangan
negara
atau kata kata
perekonomi
an
negara, sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal1 ayat (
1)
huruf a dan
b,
sering ditafsirkan
sebagai unsur yang harus dibuktikan oleh jaksa
penuntut umum di persidangan . Hal tersebut
memperlemah posisi jaksa dalam proses penuntutan
di persidangan , terlebih lagi dengan tidak adanya
penjelasan pasal yang menegaskan bahwa kalimat
tersebut harus dapat diartikan sebagai delik form
il.
Kondisi
ini diperparah
lagi dengan
adanya
pertimbangan Mahkamah Agung dalam Putusan
Mahkamah Agung Rl No .
42
K/Kr/1965 yang
menyatakan bahwa unsur perbuatan melawan hukum
tidak terbukti jika kepentingan umum t rl y ni,
negara tidak dirugikan dan terdakwa tidak menikmati
keuntungan
.
2. Sanksi pidana yang hanya menetapkan batas
maksimum pidana tanpa ada penetapan mengenai
batas minimum, seh
in
gga jaksa penuntut umum dan
hakim pemeriksa perkara memiliki diskresi yang luas
dalam menetapkan tuntutannya dan menetapkan
vonis mengenai pidananya
15
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 21/187
6
3 Tidak dijadikannya korporasisebagai subjek hukum.
Undang-undang ini hanya·menetapkan subjek hukum
yang dapat dijerat dengan ketentuan undang-undang
ini adalah perorangan.
4. Masih dipertahankannya sistem pembuktian nega-
tive wettelijke beginsel yang oleh sebagian ahli
hukum
dipandang sebagai ketentuan yang
mengedepankan asas praduga tidak bersalah
(presumtion o nnocent). Apabila as
as
ini diterapkan
dalam tindak pidana korupsi, maka hal tersebutjustru
melukai rasa keadilan didalam masyarakat , dan
negara.
Dengan sistem pembuktian negatif, jaksa penuntut
umum
akan
cenderung mengalami kesulitan
membuktikan kesalahan terdakwa dipersidangan
karen a minimal jaksa harus mempunyai 2 (dua) alat
bukti yang cukup. Hal tersebut ditambah dengan
adanya rumusan dalam pasal yang mengatur tata
cara penyidik, penuntut umum dan hakim untuk
mengetahui asal-usul harta kekayaan tersangka atau
terdakwa Kata dapat dalam rumusan pasal
tersebut, tidak cukup secara tegas mewajibkan (man-
datory) tersangka atu terdakwa untuk menerangkan
secara jelas asal usul kekayaan yang diduga berasal
dari tindak pidana korupsi. Keberadaan kata dapat
tersebut membuka diskresi yang luas bagi penyidik,
jaksa penuntut umum dan hakim untuk menerapkan
pasal tersebut.
5. Tidak ada aturan yang secara
tegas
memuat
ketentuan yang memperluas batasan mengenai
yurisdiksi keluar (extra territorial urisdiction) . Pad a
hal
dalam perkembangannya, tindak pidana korupsi
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 22/187
adalah sebuah kejahatan yang digolongkan sebagai
kejahatan
t r n ~ n s i o n l
transnational crime) .
Agar sesuai dengan perkembangan jaman, yang
dikaitkan dengan upaya pemberantasan tidak pidana
korupsi, maka Undang-Undang No. 3 Tahun
97
kemudian dicabut oleh pemerintah dan digantikan
dengan Undang Undang
No. 3 Tahun
1999
.
Undang-Undang ini dalam beberapa ketentuan
pasalnya telah dirubah dengan Undang-Undang No .
20 tahun 2001.
Apabila dibandingkan dengan ketentuan undang
undang sebelumnya, didalam Undang-Undang
No
.
3 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 , terdapat
beberapa
pembaharuan yang
mendasar, yaitu :
a. Tindak pidana korupsi telah dirumuskan secara
formil. Hal ini membawa konsekwensi , bahwa
walaupun hasil kejahatan korupsi terse but telah
dikembalikan kepada negara, pelaku tindak
pidana korupsi tetap dapat dituntut dan diajukan
kepersidangan
dan
tetap dapat dihukum.
Pengembalian harta tersebut hanya dianggap
sebagai faktor yang meringankan perbuatan
terdakwa.
b. Dianutnya sistem pembuktian terbalik terbatas
atau berimbang
balanced burden
o
proff)
yang
mewajibkan
kepada
terdakwa
didepan
persidangan untuk membuktikan bahwa harta
kekayaan yang dimilikinya tidak berasal dari hasil
korupsi . Dengan diterapkannya sistem ini, maka
telah terjadi perubahan yang sangat mendasar
dalam sistem peradilan pidana yang telah dianut
selama kurang lebih 20 dua puluh) tahun.
7
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 23/187
8
c. Dicantumkannya ketentuan mengenai yurisdiksi
keluar batas territorial extraterritorial urisdiction).
d. Dicantumkannya ancaman pidana minimum
disamping adanya ancaman pidana maksimum.
Selain itu juga dicantumkan adanya ancaman
hukuman mati sebagai pemberatan terhadap
korupsi yang dilakukan dalam keadaan bahaya,
bencana alam nasional, atau negara dalam krisis
ekonomi.
e Pemberian uang diatas jumlah tertentu Rp
10.000.000,-) harus dianggap sebagai suap
kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Dalam kaitan
ini maka perbuatan suap dapat dikatagorikan
sebagai tindak pidana formil.
f. Penyitaan seizure) dan pembekuan freezing)
atas harta kekayaan
terdakwa
dapat
dilaksanakan
baik sebelum
dan sesudah
dijatuhkannya putusan hakim dan tidak dibatasi
masa kadaluwarsa.
edangkan
spirit
moral
yang
hendak
disampaikan oleh Undang-Undang
No
. 31 Tahun
1999 Jo. Undang-Undang
No
. 20 Tahun 2001 dalam
rangka pemberantasan korupsi adalah :
1. Mengikis komunitas yang selalu mengedepankan
supremasi paternalistik yang tidak benar melalui
ketentuan larangan mengenai suap pasal 5 dan
6) .
2. Menghidupkan kern
bali
kpntrol internal sejak dini
yang dimulai dari lingkungan keluarga. Hal ini
diwujudkan dengan adanya ketentuan yang
memperbolehkan jaksa penuntut umum untuk
melakukan perampasan atas harta kekayaan
yang diduga berasal dari hasil korupsi pasal
33
34 dan 38).
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 24/187
3. Memberdayakan kontrol sosial ekonomi eksternal
melalui ketentuan tentang peran
s ~ r t
masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi. al ini dilakukan dengan memberikan
perlindungan
hukum kepada orang yang
melaporkan terjadinya tindak pidana korupsi
Pasal
41
dan 42).
4. Menumbuhkan budaya malu
shame culture) baik
dikalangan masyarakat maupun dikalangan
penyelenggara negara, melalui ketentuan yang
mewajibkan tersangka terdakwa
untuk
menerangkan asal usul harta kekayaannya ,
keluarga suami atau istri), korporasinya pasal
28 dan 37) .
5. Menimbulkan hambatan secara moral
moral
straits)
untuk melakukan tindak pidana korupsi
melalui ketentuan tentang ancaman pidana mini-
mum
dan maksimum yang tinggi, bahkan sampai
pada ancaman hukuman mati. Hal tersebut
ditambah dengan adanya ketentuan mengenai
hukuman pidana tambahan yang sangat berat
bagi pelaku tindak pidana korupsi Pasal 2, 3, 5
d
11 .
6. Melembagakan budaya anti korupsi secara terus
menerus dan berkesinambungan dikalangan
masyarakat maupun dikalangan penyelenggara
negara melalui ketentuan tentang perlunya
pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
Pasal43) .
7. Menumbuhkan budaya kooperatif dikalangan
penegak hukum, terutama kepolisian dan
kejaksaan melalui pembentukan tim penyidik
19
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 25/187
20
gabungan dibawah koordinasi
jaksa
Agung
Pasal27).
8. Melembagakan koordinasi horizontal dengan
instansi atau lembaga non penegak hukum
terutama dalam hal pelacakan uang hasil korupsi.
Selain undang-undang yang dibuat secara
khusus untuk melakukan pemberantasan terhadap
tindak pidana korupsi, ada beberapa undang-undang
lain yang mempunyai peranan yang sangat besar
dalam mendukung proses-proses pemeberantasan
tindak pidana korupsi. Undang-Undang tersebut
adalah:
Undang-Undang No 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas
Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.
Undang-undang
No
. 11 Tahun 1980 tentang
Tindak Pidana Suap.
Undang-Undang
No
30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang.
2 Hukum lnternasional
Tidak hanya Indonesia, semua negara-negara yang
ada di dunia ini telah sepakat menganggap korupsi
sebagai kejahatan luar biasa
extra ordinary crimes) yang
pemberantasannya memerlukan kerjasama dari berbagai
negara transnational crime). Centre for International
Crime Prevention CICP),
salah satu organ Perserikatan
Bangsa Bangsa
yang berkedudukan di Wina
mendefinisikan korupsi adalah tindakan penyalahgunaan
kekuasaan untuk keuntungan pribadi
misuse
o
public
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 26/187
power
for privat gain).
Menurut
CICP,
yang termasuk
dalam katagori korupsi (dalam Att nasasmita, 2004:4)
adalah tindak pidana suap
bribery),
penggelapan
em
bezzlement)
penipuan
fraud),
pemerasan yang berkaitan
dengan jabatan
extortion) ,
penyalahgunaan wewenang
abuse
of
discretion),
pemanfaatan kedudukan seseorang
dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan seseorang yang
bersifat illegal
exploiting
a
conflict interest, insider trad
ing),
nepotisme, komisi yang diterima pejabat publik dalam
kaitan bisnis
illegal commission)
dan kontribusi uang
secara illegal untuk partai politik.
emberantasan tindak pidana korupsi secara
internasional, tidak dapat dilepaskan dari Konvensi
Palermo mengenai
United Nation Convention Against
Transnational Organized Crime
pada tahun 2000. Dalam
konvensi tersebut, disebutkan bahwa korupsi adalah salah
satu bentuk
tr ns
org nized crime
.
Yang dapat
digolongkan dalam kejahatan transnasional menurut
konvensi ini adalah apabila:
1. perbuatan dilakukan di lebih dari satu negara.
2. perbuatan dilakukan di satu negara tetapi bagian
substansial dari persiapan, perencanaan, perintah
atau pengendalian terjadi di negara lain.
3. perbuatan dilakukan di satu negara tetapi melibatkan
suatu kelompok organisasi penjahat di lebih dari satu
negara, atau
4. perbuatan dilakukan di satu negara tetapi efek
substansinya terjadi di negara lain
Untuk menanggulangi permasalahan mengenai
korupsi, konvensi ini mensyaratkan agar setiap negara
tidak boleh melupakan pengaturan mengenai
obstruc-
2
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 27/187
22
tion of justice
perluasan yurisdiksi kerjasama
internasional dalam hal ekstradisi , mutual legal assis-
tance transfer
of
sentenced persons transfer
of
crimi-
nal proceedings
kerjasama penyidikan dan training serta
perlindungan saksi dan korban .
Selain konvensi Palermo mengenai
United Nation
Convention Against Transnational Organized Crime salah
satu payung hukum internasional dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi adalah Konvensi Persatuan Bangsa
Bangsa Mengenai Pemberantasan Korupsi yang disahkan
pada tanggal 7 Oktober 2003. Tujuan utama dari konvensi
ini adalah
untuk memperkuat langkah
-
langkah
pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan lebih
efisien dan efektif. Dari 8 delapan) bagian yang terdapat
dalam konvensi ini , bagian yang sangat signifikan
terhadap proses pembaharuan hukum nasional dalam
hal pemberantasan tindak pidana korupsi adaiah bab II
tentang
Preventive Measures
bab IV tentang
Interna-
tional Cooperation bab V tentang Asset Recovery dan
bab VII tentang Mechanism for Implementation.
Apabila disarikan dari bab-bab tersebut, ada 3 tiga)
substansi yang sangat penting yaitu :
1. Telah adanya persamaan antara konvensi tersebut
dengan Undang-Undang No.
31
tahun 1999 Jo.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2 1 yang sama
sama menyatakan bahwa korupsi adalah merupakan
pelanggaran hak ekonomi dan sosi
al
rakyat. Oleh
karena diperlukan komitmen dan kerjasama secara
aktif dari masyarakat internasiona dalam hal
pencegahan dan pemberantasannya.
2. Konvensi tersebut telah mengkrimina
li
sasi setiap
perbuatan suap dalam transaksi bisnis internasional
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 28/187
seperti
bribery of national public officials, bribery
of
foreign public officials and officials
of
public interna-
tional organizations, trading
n
influence, e IlJl zzle-
ment, misappropriation
or
other
i v r s i o
o
prop-
erty y public official, concealment, abuse
of
unc-
tion, illict enrichment, bribery in the private sector,
embezzlement
of
property in private sector, launder-
ing ofproceed of crime dan obstruction of ustice.
3. Adanya hak setiap negara peserta konvensi untuk
mengajukan klaim atas aset-aset hasil korupsi telah
memiliki dasar hukum internasional yang kuat dalam
r ngk bil ter l m upun
multil ter l
y ng
memperkuat efektivitas pemberantasan korupsi
Mengingat pentingnya kebutuhan Indonesia akan
adanya payung hukum internasional untuk mendukung
pemberantasan tindak pidana korupsi di dalam negeri,
maka pemerintah Indonesia tidak perlu ragu-ragu dalam
meratifikasi konvensi tersebut. Hal ini karena konvensi
tersebut bukan
non reserve binding convention,
sehingga
tidak perlu ada kekhawatiran negara-negara tertentu
hanya akan meratifikasi sebagian konvensi tersebut.
Hanya saja perlu kehati-hatian dan memperhatikan
sistem hukum yang selama ini telah dikembangkan dalam
praktik hukum yang selama ini ada
di
Indonesia.
Pertama, berkaitan dengan konsep dan sistem
hukum materiil yang selama ini dianut dalam sistem
hukum nasional, yaitu konsep standar mengenai unsur
unsur tindak pidana korupsi yang menitikberatkan sifat
melawan hukum dari suatu perbuatan dan konsep
daaddader strafrecht. Hal ini karena dalam konvensi P S
tahun 2003 tersebut menitikberatkan pada 3 tiga) unsur
perbuatan yaitu mengetahui (knowledge) kesengajaan
(intent) dan adanya tujuan {purpose).
23
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 29/187
Kedua,
ada 2 dua) pihak yang hendak dilindungi
oleh Konvensi PBS tahun 2003 yaitu kepentingan pihak
ketiga yang beritikad baik dan kepentingan nega·ra.
Sedangkan dalam undang-undang pemberantasan tindak
pidana di Indonesia UU No.
31
Tahun 1999 Jo No. 20
Tahun 2001) hanya menekankan pada kepentingan
kerugian) negara dengan unsur melawan hukum.
Ketiga dalam
konvensi
PBS tahun 2003
memasukkan istilah
bribery
yang diartikan sebagai
corruption
dalam kaitan hubungan swasta dan pejabat
publik
. Sedangkan
dalam undang undang pembe-
rantasan tindak pidana di Indonesia UU No.
31
Tahun
1999 Jo No.
20
Tahun 2001) pengertian suap be rasa I
dari ketentuan delik jabatan yang ada di KUHP tetapi
tidak ditujukan secara khusus kepada subjek yang terlibat
di dalamnya
B.
Penyelidikan dan Penyidikan Tindak
Pidana
Korupsi
24
Seperti halnya pengungkapan kasus tindak pidana pada
umumnya, sebelum sampai pada tahap penuntutan dan
pemeriksaan di persidangan, pengungkapan kasus tindak
pidana
korupsi juga melalui serangkain
proses
untuk
pencarian tersangka dan pengumpulan barang bukti. Menurut
ketentuan dalam hukum acara pidana, hal tersebut lazim
disebut sebagai tindakan penyelidikan dan penyidikan. Dalam
Pasal 1 angka 5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, yang dimaksud dengan penyelidikan adalah:
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menenumukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur da/am
undang-undang ini.
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 30/187
ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM
TENTANG
PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
- Hlt.
-
Disusun Oleh Tim
Di Bawah
Pimpinan
Prof. Dr.
Romli
Atmasasmita S.H., LL.M.
PERPUSTP
f<AA H:_ :-\JM
PUSAT DOKl.JMtf· TASI
DAN INFORMASI HUKJM NASiGNAL
BADAN PEMBINAAN HUKUt:l iJ S OrJAL
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
DEPARTEMEN HUKUM DAN
HAK
ASASI MAN USIA Rl
TAHUN 2007
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 31/187
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 32/187
BSTR K
Tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai kejahatan lua r
biasa
extra ordinary crimes)
yang tidak hanya menimbulkan
be
ncana bagi perkonomian nasional , tetapi juga merupakan
pe
langgaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat. Sebagai langkah awal pengungkapan tinda k pidana
korups i yang diken l seb g i kej h t n
tr
nsnas ional
transnational crime) dan kejahatan kerah putih white collar crime),
pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi
seringkali mengalami hambatan mengenai konflik yurisdiksi
an
tar
negara. Oleh karena itu diperlukan adanya kerjasama dan
dukungan dari negara-negara lain. Walaupun
di
Indonesia saat
ini
ada 4 empat) institusi yang berhak melakukan penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana korupsi , tetapi untuk dapat
memaksimalkan kinerja mereka pemberantasan tetap diperlukan
dukungan sumber daya manusia yang handal, hukum nasional
yang memadai, dan adanya suatu payung hukum internasional
dalam hal pemberantasan tindak pidana korups
i
Oleh karena
itu selain meratifikasi konvesi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengenai Korupsi, Indonesia juga harus rajin mengadakan
perjanjian secara bilateral dengan negara-negara lain dalam
bentuk
mutual/ega/
assistance dan perjanjian ekstradisi.
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 33/187
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 34/187
K T
PENG NT R
Korupsi sebagai
extr ordin ry crimes
yang tidak hanya
menimbulkan bencana bagi perekonomian nasional tetapi juga
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi masyarakat. Penangkapan tindak pidana korupsi sangat
sulit diungkap melal
ui
dari proses penyelidikan, penyidikan,
penuntuta
n
perad ilan, karen a aktor korupsi (koruptor) sejak
awal sudah memanfaatkan celah hukum yang berlaku dalam
melakukan korupsi .
Pemberantasan korupsi merupakan agenda utama pemerintah
harus mewujudkan melalui tindakan preventif dan represif secara
sinergis . Salah satu instrumen penegakan hukum di bidang korupsi
adalah peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan
korupsi, perlu dianalisis dan evaluasi apakah masih relevan atau
ada hambatan dalam penegakannya, sebagai rekomendasi untuk
penyusunan peraturan perundang-undangan yang baru.
Penerbitan hasil analisis dan evaluasi ini, dimaksudkan untuk
memperbanyak khazanah informasi hukum tentang tindak pidana
korupsi dan akan disebarluaskan oleh Pusat Jaringan Ookumen
tasi dan lnformasi Hukum Nasional kepada semua Ang gota
Jaringan di seluruh wilayah nusantara.
Akhirnya kepada Tim Analisis dan Evaluasi yang dipimpin
oleh Prof. Or. Romli Atmasasmita, S.H ., LL.M., dan semua pihak
yang ikut berperan sehingga penerbitan ini dapat terlaksana,
kami ucapkan terima kasih.
Nasional ,
vii
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 35/187
v
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 36/187
K T
PENG NT R
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT
yang dengan limpahan rahmat dan berkah-NYA kami dapat
menyelesaikan laporan akhir kegiatan tim Anal sis Dan Evaluasi
Hukum Tentang Penyelidikan Dan Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi.
Tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang dikategorikan
sebagai kejahatan luar biasa
extra ordinary crimes)
yang tidak
hanya menimbulkan bencana bagi perkonomian nasional tetapi
jug
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak
hak ekonomi masyarakat. Dalam pelaksanaan modus operasinya
pelaku tindak pidana korupsi seringkali memanfaatkan celah
berupa adanya batasan yurisdiksi antara negara yang satu dengan
negara yang lain. Hal ini tentu saja menimbulkan kesulitan bagi
aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana korupsi.
Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi sebagai
langkah awal dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
seringkali terhambat dengan adanya konflik yurisdiksi antar
negara. Oleh karena itu ruang lingkup bahasan dalam laporan
ini dikaitkan dengan penerapan hukum internasional dalam
kerangka pemberantasan tindak pidana korupsi baik yang berupa
kovensi internasional maupun perjanjian bilateral antara Indone
sia dengan negara-negara lain.
Dengan adanya laporan ini kami berharap dapat memberikan
sumbangan dan masukan-masukan dalam pengembangan ilmu
hukum dan dalam praktek-praktek yang terjadi
i
lapangan. Untuk
ix
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 37/187
dapat lebih menyempurnakan laporan ini kami senantiasa
mengharapkan kritikan dari berbagai pihak. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Pembinaan
Hukum Nasional yang telah memberikan kesempatan kapada
kami untuk melaksanakan kegiatan ini.
Ketua
tt
Prof. Dr Romli Atmasasmita S.H. LL.M
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 38/187
Sedangkan dalam angka 3) pasal yang sama disebutkan
bahwa penyidikan adalah:
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
ter ng
tentang tindak
pid n
y ng terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.
Apabila hanya
mendasarkan
pada ketentuan yang
terdapat dalam angka 3) dan 4) pasal 1 Undang-Undang
No. 8 Tahun
98
tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, maka yang dapat bertindak sebagai penyelidik
dan penyidik adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Akan tetapi apabila mencermati penjelasan pasal
284 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
menyebutkan adanya pengecualian terhadap pemberlakuan
ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
yaitu terhadap pelaksanaan Undang-Undang
No
. 7 Drt. Tahun
1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi
dan
Undang Undang
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lihat penje/asan Pasal
284 UU No. 8 ahun
1981),
maka dalam tindak pidana khusus
korupsi, selain polisi , jaksa juga berhak untuk bertindak
sebagai penyelidik dan penyid ik.
Selain dalam Kitab Undang-Undang HukumAcara Pidana ,
kewenangan polisi sebagai penyelidik dan penyidik untuk
mengungkap tindak pidana, ditegaskan kembali dalam Pasal
1 angka 8 dan 9, dan Pasal 14 ayat 1) huruf g Undang
Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik
Indonesia yang
menyatakan
:
mel kuk n
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang
undangan lainnya.
5
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 39/187
26
Kewenangan polisi sebagai penyelidik dan penyidik terse but
adalah sebagai bentuk perwujudan
t ~ r h d p
tugas pokok
kepolisian sebagai yang tercantum dalam
Pasal 3
Undang
Undang No. 2 Tahun 2002, yaitu untuk memelihara keamanan
dan ketertiban
masyarakat; menegakkan hukum
; dan
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.
Sedangkan kewenangan
jaksa
untuk melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi ditegaskan dalam Pasal
30 ayat 1) huruf d Undang-Undang No . 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan yang menyatakan bahwa di bidang pidana
jaksa mempunyai tug
as
dan wewenang melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
Menurut penjelasan umum dan Pasal 30 Undang-Undang
No. 16 Tahun 2004, pengertian tindak pi
dana tertentu dalam
Pasal 30 tersebut adalah dimaksudkan untuk menampung
beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan
kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan,
misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HakAsasi Manusia, Undang-Undang Nomor
31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 , dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam perkembangan selanjutnya, penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi tidak hanya ditangani oleh
kepolisian dan
kejaksaan
saja. Pada
saat
ini , Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk dengan
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 juga mempunyai tug as
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
korupsi, sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 6 huruf c
Undang-Undang No 30 Tahun 2002. Hanya saja terdapat
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 40/187
pembatasan terhadap kewenangan Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam hal penyelidikan dan penyidikan. Pembatasan
tersebut tercantum dalam Pasal
11
yang menyatakan :
Pasal
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf
c
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi yang :
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara
negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum atau penyelenggara negara;
b.
mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/
a au
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit p
.
1.000.000.000,00 satu milyar rupiah).
Walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi dianggap
sebagai garda depan dalam pemberantasan korupsi, akan
tetapi dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal
11
tersebut, terlihat masih ada kewenangan bagi kejaksaan
dan kepolisian untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus
kasus tindak pidana korupsi. Hanya saja apabila kinerja
kejaksaan dan kepolisian tersebut dianggap tidak maksimal
dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik korupsi ,
maka berdasar ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang
No
. 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat
mengambil alih penyidikan korupsi dari kepolisian dan
kejaksaan.
Menurut Pasal 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002,
pengangambilalihan penyidikan korupsi dari kepolisian dan
7
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 41/187
8
kejaksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dirakukan
deng n l s n :
a laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak
ditindaklanjuti;
b. proses pe nanganan tindak pidana kon 1ps i sscara berlarJt
larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan;
c penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk
melindung
i
pelaku
tindak
pidana korupsi
yang
sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur
korupsi;
e hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena
campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif;
a au
f. keadaan lain
yang
menurut pertimbangan kepolisianatau
kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit
dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggung
jawabkan.
Selain ketiga institusi tersebut, saat ini terdapat tim
gabungan yang keanggotaannya berasal dari kejaksaan,
kepolisian
dan adan
Pengawasan
Keuangan dan
Pembangunan juga berwenang untuk melakukan penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana korupsL Tim yang dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden
No
.
11
Tahun 2005 tentang
Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi Tastipikor) ini
bertugas untuk :
a. melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
sesuai ketentuan hukum acara pidana yang berlaku
terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi;
dan
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 42/187
b. mencari dan menangkap para pelaku yang diduga keras
melakukan. tindak pidana korupsi serta menelusuri dan
mengamankan seluruh aset-asetnya dalam rangka
pengembalian keuangan negara secara optim
yang
berkaitan dengan tugas sebagaimana dimaksud pada
huruf a.
9
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 43/187
3
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 44/187
BAB Ill
ANALISIS DAN EVALUASI
A Permasalahan Permasalahan Dalam Penyelidikan dan
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Tindak
pidana korupsi adalah jenis kejahatan yang
dikatagorikan sebagai salah satu bentuk kejahatan kerah putih
(white collar crime). Pad a dasarnya jenis kejahatan ini adalah
kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang terhormat, yang
mempunyai status sosial tinggi dan dilakukan dalam rangka
pekerjaannya umumnya merupakan pelanggaran
kepercayaan. Pengertian lain dari white collar crime antara
lain sebagai berikut
kejahatan yang dilakukan oleh orang yang duduk
dibelakang meja.
kejahatan yang dilakukan oleh
orang-orang
yang
berpangkat.
kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berilmu
pengetahuan.
ditafsirkan sebagai lawan kata
crime using force
atau
street crime kejahatan biasa).
kejahatan yang dilakukan dengan tehnologi canggih.
kejahatan yang non konvensional; dilakukan oleh orang
yang mempunyai keahlian atau mempunyai pengetahuan
teknologi canggih.
kejahatan terselubung.
3
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 45/187
3
Oleh karena itu, pengungkapan kasus jenis kejahatan
ini berbeda dengan pengungkapan kejat.latan konvensional.
Pelaku kejahatan kerah putih white collar crime) cenderung
berasal dari kalangan yang mempunyai tingkat intelektual
yang tinggi. Dengan kemampuan yang dimilikinya, pelaku
kejahatan kerah putih akan dapat memperhitungkan secara
cermat mengenai segala kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi berkaitan dengan kejahatan yang dilakukannya. Tujuan
utamanya adalah untuk mengaburkan atau menutupi agar
perbuatannya tidak terbongkar dan diperiksa oleh aparat
penegak hukum.
Akibatnya dalam pengungkapan kasus kejahatan kerah
putih, aparat penegak hukum harus bekerja ekstra keras
dib ndingk n deng n
pengungk p n kej h t n
konvensional. Aparat penegak hukum seolah-olah harus
terlebih dahulu beradu kepintaran dan kecerdikan dengan
pelaku kejahatan.
Kondisi tersebut juga terjadi dalam pengungkapan tindak
pidana korupsi, karena selain mempunyai tingkat intelektual
yang tinggi, biasanya pelaku tindak pidana korupsi adalah
pihak-pihak yang dekat atau bahkan memiliki kekuasaan dan
kekuatan sehingga mereka dapat melakukan korupsi secara
teroganisir dan tertutup.
Pada saat aparat penegak hukum bermaksud akan
memulai proses penegakan hukum yang dimulai dengan
tindakan penyelidikan terhadap suatu tindak pidana korupsi,
maka saat itu pula pelaku korupsi akan mulai juga melakukan
perlawanan terhadap upaya tersebut. Perlawanan itu dapat
berupa menghilangan barang bukti , mempengaruhi para
saksi, membentuk opini
di
masyarakat bahwa dirinya tidak
bersalah. Menurut Ramelan 2004 : 9 , kendala yang bersifat
non teknis yuridis dalam pengungkapan kasus-kasus tindak
pidana korupsi adalah:
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 46/187
1
kompleksitas perkara sering memerlukan pengetahuan
yang komprehensif. Sebagai
~ o n t o
dalam mengahadapi
kasus korupsi di bidang perbankan maka selain harus
mengatahui dan memahami pengetahuan di bidang
pidana aparat penegak hukum juga harus mengetahui
dan memahami pengetahuan di bidang keuangan dan
lalu lintas moneter. Dalam hal ini seringkali dibutuhkan
bantu
an
dari pihak yang ahli untuk dimintai pendapatnya
sebagai saksi ahli.
2. Tindak pidana korupsi pada umumnya
melib tk n
sekelompok orang yang saling menikmati keuntungan
dari tindak pidana tersebut. Dengan demikian mereka
akan saling
bekerj
s m
untuk s ling
menutup i
perbuatan mereka. Hal ini menyulitkan aparat penegak
hukum dalam mengungkap bukti-bukti yang ada .
3. Waktu terjadinya tindak pidana korupsi umumnya baru
terungkap setelah tenggang waktu yang cukup lama. Hal
ini menyulitkan pengumpulan atau
merekonstruksi
keberadaan bukti-bukti yang sudah terlanjur dihilangkan
atau dimusnahkan. Di samping itu para saksi atau
tersangka yang sudah terlanjur pindah ketempat lain juga
berperan untuk menghambat proses pemeriksaan .
4
Dengan berbagai upaya pelaku tindak pidana korupsi
telah menghabiskan uang hasil korupsi dengan cara
menggun k nny
sendiri
t u
deng n seng j
mengalihkannya dengan bentuk yan lain sehingga akan
mempersulit pelacakan uang hasil korupsi .
Kendala-kendala tersebut akan bersifat lebih kompleks
apabila ternyata dalam melakukan kejahatannya pelaku
tindak pidana korupsi melibatkan yurisdiksi negara lain untuk
mengalihkan atau menghilangkan hasil korupsinya . Hal inilah
33
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 47/187
34
yang sering menyebabkan tindak pidana korupsi dianggap
sebagai tindak pidana transnasional transnational crime).
Terlebih lagi apabila ternyata tindak pidana korupsi tersebut
dalam pengungkapannya harus dikaitkan dengan tindak
pidana pencucian uang money foundering), dengan cara
merubah legalitas uang hasil korupsi kedalam bentuk bentuk
usaha lain yang legal di luar negeri.
Pada dasarnya keberadaan tindak pidana transnasional
adalah sebagai efek negatif dari era globalisasi. Pelaku tindak
pidana dari satu negara akan dengan mudah memanfaatkan
kemajuan dan kecanggihan teknologi untuk mengalihkan uang
hasil korupsinya keluar yurisdiksi negara Indonesia.
enangkapan
tersangka tindak
pidana
korupsi dan
pengungkapan hasil hasil korupsi yang berada diluar negeri
lebih sulit karena disebabkan:
a. perbedaan sistem hukum antara Indonesia dengan
negara negara dimana pelaku tindak pidana korupsi atau
uang hasil tindak pidana korupsi itu berada. Sebagai
contoh perbedaan sistem hukum pidana antara Indone-
sia dengan Australia dalam kasus tindak pidana korupsi
Hendra Raharja. Selain itu perbedaan sistem hukum
pidana antara Indonesia dengan Swiss dalam kasus
tindak pidana korupsi Bank Global.
b. Belum adanya perjanjian ekstradisi atau perjanjian
kerjasama bantuan
di
bidang hukum
mutual legal
as-
sistance
n
criminal metters) antara Indonesia dengan
dengan negara negara dimana pelaku tindak pidana
korupsi atau uang hasil tindak pidana korupsi
itu
berada.
Sebagai contoh antara Indonesia dengan Singapura
dalam kasus Bank
BNI
Secara lebih lanjut permasalahan permasalahan dalam
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang
melibatkan yurisdiksi negara lain adalah sebagai berikut:
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 48/187
1. Pemeriksaan tersangka dan saksi yang berada diluar
negeri
Sebagai sarana untuk mengungkapkan suatu tindak
pidana, setiap pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi
oleh penyidik harus dibuat dalam format Berita Acara
Pemeriksaan SAP). Hal tersebut tidak terlalu sulit apabila
penyidik dapat
berhadapan bertatap muka dan
berkomunikasi secara langsung dengan tersangka dan
para saksi.
Akan tetapi kondisi tersebut tidak dapat diwujudkan
dalam hal pemeriksaan tersangka dan saksi tindak pidana
korupsi yang pada waktu pemeriksaan berada di luar
yurisdiksi negara Indonesia. Penyidik Kepolisian tidak
diperkenankan untuk melakukan pemeriksaan secara
langsung kepada tersangka atau saksi. Hal ini karena
pemeriksaan tersebut harus dilakukan oleh pihak penyidik
dari negara yang bersangkutan dengan format yang
berlaku di negara tersebut, sedangkan penyidik dari
Kepolisian hanya bertindak sebagai pendamping saja.
Selain itu pemeriksaan oleh penyidik diluar negeri
dilakukan tanpa melalui penyumpahan terlebih dahulu.
Kondisi ini patut dipertanyakan mengingat apakah for-
mat berita acara pemeriksaan negara tempat tersangka
atau saksi tindak pidana korupsi itu berada dapat
digunakan sebagai alat bukti di pengadilan Indonesia?
Untuk mendapatkan sworn st tement
yang
dikeluarkan oleh pihak pengadilan setempat, memerlukan
adanya pengajuan permohonan mutual ega assistance
yang prosesnya sangat birokratis dan menghabiskan
waktu yang lama. Hal ini tentunya menjadi permasalahan
apabila dikaitkan dengan batas waktu penahanan bagi
tersangka.
5
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 49/187
6
2. Pemanggilan saksi yang berada diluar negeri
Tidak adanya upaya paksa yang dapat dilakukan
apabila saksi yang berada
di
luar negeri tidak mau datang
ke Indonesia untuk memberikan keterangan . Selain itu
tidak ada kejelasan siapa yang berkewajiban bertanggung
jawab terhadap biaya transportasi akomodasi bagi saksi
yang berasal dari luar negeri.
3. Penangkapan dan Penahanan
Terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang
melarikan diri
keluar
negeri pihak kepolisian sering
melakukan
kerjasama dengan negara lain melalui
Interpol. Apabila ternyata kemudian tersangka tersebut
dapat tertangkap oleh kepolisian setempat dengan aturan
penangkapan dan penahanan menu rut yurisdiksi negara
tersebut apakah penyidik kepolisian Indonesia dapat di
praperadilankan dan apakah waktu penahanan di negara
lain tersebut dapat dikurangkan apabila ternyata kemudian
tersangkan dinyatakan bersalah oleh hakim dan dijatuhi
hukuman penjara.
4. Pembekuan dan pemblokiran rekening
Untuk mengajukan permohonan bantuan pembekuan
dan pemblokiran rekening bank y ng berada
di
luar negeri
diperlukan adanya lampiran berupa surat perintah
pemblokiran yang dikeluarkan oleh pengadilan
court
order). .
5. Penggeledahan dan penyitaan
ermintaan bantuan untuk melakukan peng-
geledahan dan penyitaan kepada negara lain harus
dilampiri dengan surat perintah penggeledahan dan
penyitaan dan pengadilan
court order).
Selain itu dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pelaksanaan
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 50/187
penggeledahan dan penyitaan mensyaratkan harus
9ibuatnya suatu berita acara. Akan tetapi ketentuan .
tersebut tidak ada di negara lain . Dengan demikian
apakah barang bukti yang diperoleh dari hasil pelak
sanaan penggeledahan dan penyitaan di luar negeri
tersebut dapat dinyatakan sah sebagai alat bukti di
hadapan pengadilan Indonesia.
Berkaitan dengan permasalahan tentang penyelidikan
dan penyidikan, salah satu permasalahan yang dihadapi
dalam penerapan Undang-Undang No . 30
Tahun
2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah mengenai sumber
daya manusia penyelidik dan penyidik. Sebagai organisasi
baru dengan beban tugas yang sangat berat , Komisi
Pemberantasan Korupsi membutuhkan sumber daya manusia
yang sudah
j
adi
, dalam arti sumber daya manusia tersebut
sudah memiliki keahlian dalam bidang tugas melakukan
penyelidikan dan penyidikan.
Ketentuan Pasal
39
ayat
3)
dapat ditafsirkan bahwa
Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum pada Komisi
Pemberantasan Korupsi hanya dapat diangkat dari anggota
Kepolisian
Rl
dan/atau Kejaksaan. Secara tidak langsung
kondisi ini dapat mempengaruhi independensi dari Komisi
Pemberantasan Korupsi terhadap Kepolisian maupun
Kejaksaan karena kekhawatiran adanya loyalitas ganda dari
Penyelidik dan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi
terhadap korpsnya .
Sela in itu perlindungan terhadap Penyelidik, Penyidik,
Jaksa Penuntut Komis i Pemberantasan Korupsi dari
perbuatan obstruction ofjustice tidak diatur dalam Undang
Undang Nomor 30 Tahun
2 2
tentang Komis i
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal tersebut sangat
disayangkan mengingat tugas yang be rat serta penuh resiko
7
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 51/187
yang dihadapi oleh penyelidik
dan
Penyidik omisi
Pemberantasan Korupsi dari ancaman orang-orang yang ingin
menggagalkan usaha pemberantasan tindak pidana korupsi
maka diperlukan perlindungan terhadap mereka padahal
United Nation Convention Against Transnational Organized
Crime
di
Palermo pada tahun 2000 telah mensyaratkan agar
setiap negara tidak boleh melupakan pengaturan menganai
obstaruction o ustice
B Solusi Permasalahan
38
Pada dasarnya proses penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi adalah merupakan langkah awal dari tindakan
represif dari upaya pemberatasan korupsi. Dengan adanya
permasalahan-permasalahan terse but di atas menunjukkan
bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi tidaklah
semudah yang dibayangkan orang awam. Banyak liku-liku
permasalahan yang harus dihadapi oleh aparat penegak
hukum
ba
ik permasalahan yang berkaitan dengan prosedur
dalam aturan hukum maupun permasalahan yang berkaitan
dengan sumber daya manusianya.
Akan tetapi hal tersebut adalah merupakan tantangan
yang harus dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum dan pemulihan citra penegak
hukum dimata masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya
strategi terhadap kasus-kasus korupsi yang diidentifikasi
memenuhi unsur-unsur pidana untuk segera diproses menurut
hukum secara cepat tepat dan tuntas. Strategi tersebut
adalah:
1
Penyelidikan dan penuntutan kasus-kasus korupsi yang
menarik perhatian atau yang melibatkan pelaku-pelaku
yang memiliki kedudukan sosial ekonomi yang tinggi atau
yang menimbulkan kerugian negara dalam jumlah yang
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 52/187
besar.Strategi ini dimaksudkan untuk membangun dan
memulihkan
kepercayaC n
masyarakat a 9 Y ' : ' : ? I J ~ e r ~ d [ l t a h
bersunguh-sungguh melakukan pemberantasan emadap
korupsi.
2. Meningkatkan pelaksanaan penerapan dan penegakan
hukum yang memberikan kepastian hukum dan keadilan
kepada masyarakat terutama pencari keadilan.Strategi
ini dimaksudkan agar proses penegakan hukum terhadap
tindak pidana korupsi berlangsung secara proporsional
dan professional serta menghindarkan aparat penegak
hukum dari kesalahan dalam proses penyidikan .
3. Menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi
dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.Strategi
ini dimaksudkan sebagai bentuk pertanggung jawaban
kepada masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut
diperlukan adanya publikasi penanganan perkara-perkara
tindak pidana korupsi yang sedang atau yang telah
diproses sehingga masyarakat dapat mengetahui dan
mengikuti penyelesaian perkara tersebut secara benar.
Diharapkan dengan hal tersebut masyarakat dapat
menentukan posisi partisipasinya dalam mencegah dan
memberantas korupsi.
4. Mengembangkan sistem manajemen dan organisasi
peneg k
hukum yang
m nt p seb g
i
peng yom
masyarakat. Strategi ini dimaksudkan agar masyarakat
dapat dengan mudah mengajukan laporan atau keluhan
atas kasus tindak pidana korupsi yang ada kepada apa rat
penegak hukum.
5. Mengembangkan sistem rekruitmen dan promosi yang
mendukung terwujudnya profesionalisme dan integritas
yang handal bagi aparat penegak hukum.
9
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 53/187
1 Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
40
Undang-Undang
No 20
Tahun 2001
di
Dalam dan Luar
Batas Teritorial
Payung hukum internasional
yang
tidak boleh ditinggalkan
dalam penyelesaian masalah perbedaan yurisdiksi antar
negara dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
korupsi adalah Konvensi Persatuan Bangsa Bangsa
Mengenai Pemberantasan Korupsi yang disahkan pada
tanggal 7 Oktober 2003. Dan
mengingat
pentingnya
kebutuhan Indonesia akan adanya payung hukum
internasional untuk mendukung pemberantasan tindak pidana
korupsi di dalam negeri, maka pemerintah Indonesia tidak
perlu ragu-ragu dalam meratifikasi konvensi terse but, terlebih
lagi dalam konvensi tersebut memberikan hak bagi setiap
negara peserta konvensi untuk mengajukan klaim atas aset
aset hasil korupsi.
Kekhawatiran untuk tidak meratifikasi konvensi tersebut,
tidak beralasan mengingat konvensi tersebut bukanlah
non
reserve binding convention
yang mempunyai konkwensi
bahwa negara-negara peserta konvensi harus meratifikasi
seluruh isinya. Tercatat ada 127 (seratus duapuluh tujuh)
negara peserta konvensi PBB tahun 2003, dan 99
diantaranya telah menyatakan kesediaanya
untuk
meratifikasinya. (Atmasasmita, 2004:80). Hanya saja
ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dan dikaji oleh
pemerintah Indonesia sebelum melaksanakan ratifikasi
tersebut, yaitu mengenai sistem hukum, kepentingan pihak
pihak yang dilindungi dan digunakannya istilah-istilah baru
dalam korupsi.
Undang-Undang No . 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang
No .
20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi adalah undang-undang yang bersifat khusus dan
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 54/187
sekaligus lex spicialis terh d p Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Konsekuensi hukum terhadap hal tersebut
adalah diperbolehkan d ny ketentu n khusus dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi yang menyimpang dari
ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan alasan pokok bahwa tindak pidana korupsi adalah
merupakan kejahatan luar biasa yang melanggar hak ekonomi
dan sosial rakyat. Akan tetapi penyimpangan ketentuan
tersebut di atas tidak dapat diberlakukan untuk ketentuan
yang terdapat dalam buku kesatu Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana karena di dalam buku kesatu tersebut berisi
asas-asas hukum pidana yang sudah diakui dan berlaku
dalam hukum pidana internasional seperti asas legalitas
dan asas n bis in idem.
Ketentuan ini mengandung makna bahwa hukum pidana
nasional dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam hukum
internasional akan tetapi ketentuan hukum internasional dapat
membatasi ketentuan hukum nasional sepanjang produk
hukum internasional tersebut sudah diakui dan diratifikasi
oleh pemerintah.
Dalam kaitan dengan yurisdiksi ketentuan dalam undang
undang No 31 Tahun 1999 Jo. undang-undang No. 20 tahun
2001 dapat diberlakukan ke luar batas teritorial dengan
berlandaskan kepada asas nasionalitas aktif sebagaimana
yang diatur dalam pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana apabila dalam kasus korupsi yang melibatkan warga
negara Indonesia yang bertempat tinggal di negara la in atau
melarikan diri ke negara lain .
lmplement si
ketentu n
ini
mem ng
di kui d p t
memunculkan konflik yurisdiksi hukum pidana antara Indo
nesia dengan negara yang bersangkutan. Dalam praktik
hukum internasional konflik ini sering terjadi dan sudah ada
41
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 55/187
42
beberapa yurisprudensi yang berhasil ditetapkan oleh Inter
national Court of Justice lJC) seperti dalam kasus Lotus
tahun 1927) yang menetapkan:
all
or
nearly all the system of w extend their action to
offences commited outside the territory of the state which
adapts them, nd they do
so
in ways which vary from
state to state
.
Dalam kaitan konflik yurisdiksi hukum pidana, dalam
praktiknya hukum internasional telah menyediakan beberapa
sarana hukum dan telah sering digunakan oleh negara-negara
yang mengalami konflik yurisdiksi . Sarana tersebut dapat
berupa ekstradisi dan
mutual assistance in criminal
matters.
elanda adalah salah satu negara
yang
telah
mengantisipasi permasalahan mengenai konflik yurisdiksi
tersebut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Belanda tahun 88 , Staatsblad 35 yang terakhir dirubah
dengan udang-undang tanggal 24
Me
i 1996, Staatsblad 276,
telah memasukkan ketentuan baru yang terdapat dalam titel
VIII Pasal 68) mengenai
extinction
of
the right to prosecure
and
of
punishment
yang dikenal dengan istilah
res judicata
foreign judgement.
Ada pun ketentuan dalam pasal
68
terse but
berbunyi Swart dan Klip, dalam Atmasasmita, 2004 : 77):
Ayat : except in cases in which judgement are sus-
ceptible to review, no person
m y
prosecuted again
for
an offence
n
respect of which a court in Netherlands,
the Netherlands Antilles orAruba has rendered final udge-
ment on the a substance of chargerd against him.
Ayat
if the final judgement has been rendered final
judgement by another court, new proceedings against
the person for the same offence may not take place
in
case of :
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 56/187
1.
acquittal
or
dismissal of the charges;
2.
conviction,
if
punishf 1ent has been imposed, followed
by
complete enforcement, pardon
or
lapse
of
time.
yat : No persom may be prosecuted for an offence
which has been inrrovocably disposes of
in relation to
him, by the fulfilment of condition set
by
the competent
authorities of foreign state to prevent prosecution.
Dengan mengambil contoh dan mendasarkan pada
ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Belanda tersebut, seharusnya pemerintah Indonesia guna
memudahkan dan memperlancar usaha usaha
pemberantasan tindak
pidana
korupsi yang
bers
if
at
transnasional , meninjau kembali ketentuan mengenai
pemberlakuan keluar batas teritorial (ekstrateritorial) dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia atau dalam
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No
20 tahun
2001
atau dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
Dalam pasal6 rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (tahun 2002) terdapat ketentuan yang berbunyi :
Perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang
yang penuntutannya diambil alih oleh Indonesia dari negara
asing berdasarkan
su tu
perj nji n
y ng memberik n
kewenangan kepada Indonesia untuk menuntut pidana. Agar
dapat berlaku efektif dan untuk mengantisipasi permasalahan
mengenai perbedaan yurisdiksi antar negara, seharusnya
ketentuan tersebut didukung
dengan
ketentuan yang
mengatur mengenai pengakuan putusan pengadilan negara
asing (recognation of foreign judgement) .
Ketentuan tersebut memungkinkan perluasan yurisdiksi
pengadilan nasional sehingga dapat menjangkau pelaku
tindak pidana korupsi yang berada di negara lain yang
43
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 57/187
melibatkan warga negara Indonesia atau warga negara dari
negara ketiga dan dapat menjangkau pengambilalihan
penyidikan penuntutan serta p e l ~ s n n putusan
pengadilan negara asing ke dalam yuridiksi hukum Indone
sia.
2
Kerjasama Hukum Dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Selain melakukan strategi-strategi tersebut di atas
penyelesaian permasalahan dalam penyelidikan dan
penyidikan tindak
pi
dana korupsi juga membutuhkan aturan
aturan yang berdimensi hukum internasional. Hal ini karena
sebagai kejahatan transnational hubungan bilateral dan
multilateral antara Indonesia dengan negara lain sangat
diperlukan dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.
Tujuannya adalah untuk menghilangkan batas-batas yurisdiksi
antar negara yang dapat menghambat pemberantasan
korupsi.
Upaya kerjasama secara bilateral menurut konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 2003 hanya dapat
berjalan efektif apabila didukung dengan kerjasama hukum
seperti ekstradisi transfer
o sentenced person mutallegal
assistance dan transfer o criminal proceedings.
Walaupun demikian penyelesaian masalah konfl ik
yurisdiksi antara dua negara yang belum mengadakan
perjanjian bilateral dalam hal penanganan perkara pidana
.tetap dapat dilakukan dengan itikad baik dari negara-negara
tersebut. Sebagai contoh dalam kasus antara Indonesia
dengan Swiss mengenai uang hasil kejahatan tindak pidana
korupsi Bank Global. Setelah menerima red notice dari
Interpol penyidik
di
negara Swiss mulai memblokir rekening
tersangka Bank Global yang berada
di
Swiss. Selanjutnya
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 58/187
untuk penyelesaian kasus tersebut, Pemerintah Swiss
m e n ~ r k n
2 dua) opsi kepada penyidik dari Indonesia
yaitu :
a. Indonesia mengajukan
mutual legal assistance
untuk
pelaksanaan penyitaan.
Tindakan hukum pemblokiran freezing)
memerlukan
pembukti n dan h rus dilampiri deng n perint h
pengadilan court order) . Selama proses itu uang hasil
korupsi tersebut akan tetap berada
di
Bank Swiss dan
tidak dapat dilakukan penyitaan/perampasan
forfoiture).
Untuk melakukan pemblokiran dan penyitaan tersebut
pemerintah Indonesia diharuskan melakukan dua kali
perjanjian
mutual/ega/ assistance.
b. Pemerintah Swis mengajukan perkara money launder-
ing
tanpa permintaan mutual legal assistance dari
pemerintah Indonesia.
Pemerintah Swiss dapat memperkarakan uang tersebut
sebagi hasil kejahatan pencucian uang money launder-
ing) . Dalam hal ini Pemerintah Swiss dapat meminta
kerjasama Pemerintah Indonesia untuk memberikan
informasi , hasil penyidikan yang diperlukan pemerintah
Swiss untuk memperkarakan uang tersebut. Apabila
menu rut putusan pengadilan Swiss di kemudian hari uang
tersebut dapat dirampas oleh penegak hukum Swiss,
maka pemerintah Indonesia kemudian dapat menyitanya
setelah ada putusan pekara di Pengadilan Indonesia.
Akan tetapi dengan mendasarkan pada kepastian hukum
dan didasarkan pada pembinaan hubungan bilateral yang
baik sebaiknya hal kerjasama tersebut dikukuhkan dalam
suatu bentuk perjanjian yang bersifat resmi dan sah
mengikat kedua belah pihak serta diakui oleh hukum
lntemasional.
45
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 59/187
6
••:
Sebagai contoh kerjasama bantuan hukum timbal
balik yang pernah dilakukan oleh Indonesia adalah
perjanjian bantuan hukum timbal balik dengan Australia.
Perjanjian tersebut sebenarnya telah ada sejak tanggal
27 Oktober 1995, tetapi baru disahkan dengan Undang
Undang
o
. 1 Tahun 1999 tentang Pengesahan Perjanjian
Antara Republik Indonesia Dan Australia Mengenai
Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Treaty
Between
The
Republic Of Indonesia nd Australia On
Mutual Assistance In Criminal Matters). Bantuan yang
dimaksud dalam perjanjian tersebut adalah berkaitan
dengan:
a) pengambilan alat bukti/barang bukti dan untuk
mendapatkan pernyataan dari orang, termasuk
pelaksanaan surat rogatoir;
b) pemberian dokumen dan catatan lain;
c) lokasi dan identifikasi dari orang;
d)
pel ks n n permint n
untuk
pencarian dan
penyitaan;
e) upaya-upaya untuk mencari , menahan dan menyita
hasil kejahatan;
f) mengusahakan persetujuan dari orang-orang yang
bersedia memberikan kesaksian atau membantu
penyidikan di Negara Peminta, dan jika orang itu
berada dalam tahanan ,
meng tur
pemindahan
sementara ke Negara tersebut;
g) penyampaian dokumen; dan .
h) bantuan lain yang sesuai dengan tujuan Perjanjian
ini yang tidak bertentangan dengan hukum negara
yang diminta.
Akan tetapi sayangnya e ~ n j i n bantuan timbal balik
antara pemerintah Indonesia dengan Autralia tersebut
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 60/187
tidak mencakup mengenai ekstradisi seseorang, pelak
sanaan
di negara diminta mengenai putusan pidana yang
dijatuhkan di negara peminta, kecuali dalam batas yang
diperbolehkan oleh hukum negara diminta dan oleh
Perjanjian
ini
;dan pemindahan orang dalam penjara untuk
menjalani pidana. Selain itu perjanjian tersebut tidak
secara jelas mencantumkan tindak pidana korupsi
sebagai salah satu item dari
35
tiga puluh lima) item
yang ada dalam daftar kejahatan yang dapat menjadi
objek pemberian bantuan. Justru kejahatan yang
melanggar undang-undang mengenai suap termasuk
dalam objek pemberian bantuan.
Selain pembuatan perjanjian mengenai bantuan
timbal balik dalam masalah pidana, hubungan bilateral
yang dapat dilakukan dalam rangka pemberantasan
tindak pidana korupsi adalah pembuatan perjanjian
mengenai ekstradisi. Tercatat Indonesia telah
mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara :
1. Malaysia, sebagaimana yang telah disahkan dengan
Undang Undang No . 9 Tahun 97 4
tentang
Pengesahan e ~ a n j i a n Antara Pemerintah Republik
Indonesia Dan Pemerintah Malaysia Mengenai
Ekstradisi.
2. Republik Philippina , sebagaimana yang telah
disahkan dengan Undang-Undang
No
.
1
tahun 1976
tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara
Republik Indonesia Dan Republik Philippina Serta
Protokol.
3. Kerajaan Thailand, sebagaimana yang telah disahkan
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1978
tentang Pengesahan Perjanjian Antara Pemerintah
Republik Indonesia
Dan
Pemerintah Kerajaan Thai
land Tentang Ekstradisi.
7
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 61/187
8
4. Australia sebagaimana yang telah disahkan dengan
Undang-Undang
Nomor
8 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik
Indonesia Dan Australia dan
5 Hongkong sebagaimana telah disahkan dengan
Undang Undang No. 1 Tahun 2000 tentang
Pengesahan
Persetujuan
Antara Pemerintah
Republik Indonesia Dan Pemerintah Hong kong Untuk
Penyerahan Pelanggar Hukum
Yang
Melarikan Diri
Agreement Between The Government
Of
he
Re-
public
Of
Indonesia nd The
Government Of
Hongkong For The
SurrenderOfFugitive Offenders)
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 62/187
A Kesimpulan
B B IV
PENUTUP
·1 Tindak pidana korupsi dikatogorikan sebagai kejahatan
luar biasa
extra ordinary crimes)
yang tidak hanya
menimbulkan bencana bagi perkonomian nasional tetapi
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan hak-hak ekonomi masyarakat.
2. Dalam pelaksanaan modus operasinya pelaku tindak
pidana korupsi seringkali memanfaatkan celah berupa
adanya batasan yurisdiksi dari satu negara dengan negara
yang lain.
3. Secara sistematis penyelidikan dan penyidikan sebagai
langkah awal pemberantasan tindak pidana korupsi harus
melibatkan kerjasama negara-negara lain.
4. Selain diperlukan sumber daya manusia yang handal
hukum nasional yang memadai juga diperlukan adanya
suatu payung hukum internasional dalam mendukung
pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
korupsi.
B
Saran
1
Diperlukan adanya suatu gerakan nasional dengan
pendekatan keimanan dan moral pendidikan serta sosio
kultural untuk menghilangkan dan memberantas budaya
korupsi yang ada di Indonesia.
9
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 63/187
5
2 Segera mengadakan perjanjian-perjanjian dalam hal
ekstradisi dan mutual ega assistance dengan negara
negara lain dalam rangka menjalin kerjasama di bidang
pengungkapan tindak pidana korupsi.
3 Dibutuhkan pelatihan-pelatihan untuk membentuk sumber
daya manusia penyelidik dan penyidik yang mempunyai
keahlian di bidang teknik investigatif hukum nasion a dan
internasional serta memahami dan mengetahui modus
modus operasi kejahatan kerah putih white collar crimes).
4
Dibutuhkan kajian dan penelitian-penelitian terhadap
konvensi-konvensi internasional yang dibutuhkan oleh
Indonesia serta kemungkinannya untuk dapat diterapkan
dalam sistem hukum Indonesia sehingga dapat
mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi.
5 Dibutuhkan adanya political will yang kuat dari pimpinan
pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi
yang
dimulai dengan penyempurnaan
peraturan
perundang-undangan yang ada di dalam negeri dan
melakukan ratifikasi terhadap konvensi-konvensi
internasional yang berkaitan dengan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 64/187
D FT R PUST K
Atmasasmita , Romli , 2004, Sekitar Masalah Korupsi spek
Nasiona dan Aspek lnternasional Mandar Maju, Bandung.
· 2002, Korupsi Good Governance dan
Komisi Anti Korupsi di Indonesia Percetakan Negara republik
Indonesia, 2002.
2004, spek
Hukum Nasi
onal
dan
/ntemasional Pemberantasan Korupsi
Badan Pembinaan Hukum
Nasional.
· 2004,
lmplementasi Undang-Undang
Nomor
3
Tahun
1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi, Badan
Pembinaan Hukum Nasional.
Sjahdeini, Sutan Remy, 2004, Seluk Beluk Tindak Pidana
Pencucian uang
dan
Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama
Grafiti , Jakarta
Makalah:
Ramelan, 2004,
Penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi dan
Upaya Kejaksaan Memenuhi Ekspetasi Publik
Makalah semi
nar dalam rangka Dies Natalis Universitas Sebelas Maret
ke
-
28, Surakarta
5
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 65/187
5
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 66/187
L MPIR N
5
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 67/187
Preamble
United Nations
onvention
against orruption
The States Parties to t is Convention
Concerned
about the seriousness o problems and threats
posed by corruption to the stability and security
o
societies un
dermining the institutions and values o democracy ethical val
ues and justice and jeopardizing sustainable development and
the rule of law
Concerned also about the links between corruption and other
forms of crime in particular organized crime and economic crime
including money-laundering
Concerned further
about cases
o
corruption that involve vast
quantities of assets. which may constitute a substantial propor
tion
o
the resources
o
States and that threaten the political
sta
bi lity nd
su
stainable development o those States
Convinced that corruption is no longer a local matter but a
transnational phenomenon that affects all societies and econo
mies. making international cooperation to prevent and control it
essential
Convinced also
that a comprehensive and multidisciplinary ap
proach
is
required to prevent and combat corruption effectively
Convinced further that the availability o technical assistance
can play n important role in enhancing the ability o States in
cluding by strengthening capacity and by institution-building to
prevent and combat corruption effectively
5
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 68/187
Convinced
that the illicit acquisition o personal wealth can
be particularly damaging to democratic institutions, national econo
mies and the rule of law,
Determined to prevent, detect and deter in a more effective
manner international transfers o illicitly acquired assets and to
strengthen international cooperation in asset recovery,
cknowledging
the fundamental principles of due process
o law
in
criminal proceedings and
in
civil or administrative proceedings
to adjudicate property rights,
Bearing
in
mind that the prevention and eradication of cor
ruption is a responsibility of all States and that they must cooper
ate
with
one
another, with the support and involvement
o
indi
viduals and groups outside the public sector, such as civil soci
ety non-governmental organizations and community-based or
ganizations, if their efforts
in
this area are to e effective,
Bearing also
in
mind the principles of proper management
o
public affairs and public property, fairness, responsibility and equal
ity before the law and the need to safeguard integrity and to fos
ter a culture o rejection of corruption,
Commending the work of the Commission on Crime Preven
tion and Criminal Justice and the United Nations Office on Drugs
and Crime
in
preventing and combating corruption,
Recalling the work carried out by other international and re
gional organizations
in
this field, including the activities
o
the
African Union, the Council of Europe, the Customs Cooperation
Council also known as the World Customs Organization), the
European Union, the League of Arab States, the Organisation
for Economic Cooperation and Development and the Organiza
tion of American States,
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 69/187
Taking note with appreciation ofmultilateral instruments to pre-
vent and combat corruption, including, inter alia, the Inter-Ameri-
can Convention against Corruption, adopted by the Organiza
tion
of
American States on 29 March 1996,
the Convention on
the Fight against Corruption involving Officials
of
the European
Communities or Officials
of
Member States
of
the European Union,
adopted by the Council of the European Union on 26 May 1997,
2
the Convention
on
Combating Bribery
of
Foreign Public Officials
in
International
Business
Transactions,
adopted
by
the
Organisation for Economic Cooperation and Development on
21
November 1997,
3
the Criminal Law Convention on Corruption,
adopted by the Committee of inisters
of
the Council
of
Europe
on 27 January 1999,
4
the Civil Law Convention n Corruption,
adopted by the Committee of Ministers of the Council
of
Europe
on
November 1999,
5
and the African Union Convention
on
Pre
venting and om bating Corruption, adopted by the Heads
of
State
and Government of the frican Union on 12 July 2003,
Welcoming the entry into force on 29 September 2003 of the
United Nations Convention against Transnational Organized
Crime,
6
Have
greed
as follows
See E/1996199.
2
Official Journal
of
the European Communities
C 195, 25 June 1997.
3
See Corruption nd Integrity Improvement Initiatives in Developing Countries
United Nations publication, Sales No. E.98.111 8.18).
• Council of Europe,
European Treaty
Series, No. 173.
5
Ibid., No. 174.
6
General Assembly resolution 55/25, annex I
6
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 70/187
hapter
I
General provisions
Article
Statement
o
purpose
he
purposes
o
this Convention are:
(a) To promote and strengthen measures to prevent and com-
bat corruption more efficiently and effectively;
(b)
To
promote, facilitate and support international cooperation
and technicalassistance in the prevention o and fight against
corruption , including
in
asset recovery;
(c)
To
promote integrity, accountability and proper management
o
public affairs and public property.
Article 2
Use
o
terms
For the purposes of this Convention:
(a) Public official shall mean: (i) any person holding a legisla-
tive, xecutive, administrative or judicial office of a State Party,
whether appointed or lected, whether permanent
or
tempo-
rary, whether paid or unpaid, irrespective o hat person's se-
niority; (ii) any other person who performs a public function,
ncluding for a public agency
or
public enterprise, or provides
a public service, as efined
in
the domestic law
o
the State
Party and as applied in the pertinent area o aw o that State
Party; (iii) any other person defined as a public official in
the omestic law of a State Party. However, for the purpose o
some specific measures ontained in chapter of this Con-
vention, public official may mean any person ho performs a
public function or provides a public service as defined in the
omestic law of the State Party and as applied
in
the pertinent
area o law of that tate Party;
7
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 71/187
(b) Foreign public official shall mean any person holding a leg-
islative, xecutive, administrative or judicial office of a foreign
country, whether appointed r elected; and any person exer-
cising a public function for a foreign country, including for a
public agency
or
public enterprise;
(c) Official o a public international organization shall mean an
international civil servant
or
any person who is authorized by
such an organization to act on behalf o that organization;
(d) Property shall mean assets o every kind, whether corpo-
real or incorporeal, movable
or
immovable, tangible or intan-
gible, and legal documents or instruments evidencing title to
or
interest in such assets;
(e) Proceeds o crime shall mean any property derived from
or
obtained, directly or indirectly, through the commission
o
an offence;
f)
Freezing• or seizure shall mean temporarily prohibiting the
transfer, conversion, disposition or movement o property or
temporarily assuming custody
or
control o property on the
basis o an order issued by a court or other competent au-
thority;
(g) Confiscation , which includes forfeiture where applicable,
shall mean the permanent deprivation o property by order
o
a court or other competent authority;
(h) Predicate offence shall mean any offence as a result o
which proceeds have been generated that may become the
subject o an offence as defined in article 23 o this Conven-
tion;
(i) Controlled delivery shall mean the technique of allowing
illicit or suspect consignments to pass out of, through or into
the territory o one or more States, with the knowledge and
8
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 72/187
under the supervision of their competent authorities with a
view to the investigation of an offence and the identification
of persons involved in th e commission of the offence.
Article
Scope o application
1. This Convention shall apply in accordance with its terms to
the prevention investigation and prosecution of corruption
and to the freezing seizure confiscation and return of the
proceeds of offences established
in
accordance with this Con-
vention.
2. For the purposes of implementing this Convention it shall
not be necessary except as otherwise stated herein for the
offences set forth in it to result in damage or harm to state
property.
Article 4
Protection o sovereignty
1. States Parties shall carry out their obligations under this Con-
vention
in
a manner consistent with the principles of sover-
eign equality and territorial integrity of States and that of non-
intervention in the domestic affairs of other States.
2.
Nothing
in
this Convention shall entitle a State Party to un-
dertake in theterritory of another State the exercise of juris-
diction and performance of functions that are reserved ex-
clusively
for
the
uthorities of th t other
State by its
domesticlaw.
9
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 73/187
Chapter II
Preventive Measures
Article 5
Preventive anti corruption policies and practices
1. Each State Party shall
in
accordance with the fundamental
principles o its legal system develop and implement or main-
tain effective coordinated anticorruptionpolicies that promote
the participation
o
society and reflect the principles
o
the
rule o law proper management o public affairs and public
property integrity transparency and accountability.
2. Each State Party shall endeavour to establish and promote
effective practices aimed at the prevention o corruption.
3. Each State Party shall endeavour to periodically evaluate rel-
evant legal instruments and administrative measures with a
view to determining their adequacy to prevent and fight cor-
ruption.
4. States Parties shall as appropriate and in accordance with
the fundamental principles o their legal system collaborate
with each other and with relevant international and regional
organizations in promoting and developing the measures
referred to in this article. That collaboration may include par-
ticipation in international programmes and projects aimed at
the prevention o
corruption.
Article 6
Preventive anti corruption body r
bodies
1. Each State Party shall in accordance with the fundamental
principles of its legal system ensure the existence of a body
or bodies as appropriate that prevent corruption
by
such
means as:
6
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 74/187
a) Implementing the policies referred to in article 5 of this
Cpnvention and, where appropriate, overseeing and co
ordinating the implementation of those policies;
b) Increasing and disseminating knowledge about the pre
vention of corruption.
2. Each State Party shall grant the body or bodies referred to in
paragraph 1 of this article the necessary independence, in
accordance with the fundamental principles o its legal sys
tem, to enable the body or bodies to carry out its or their
functions effectively and free from any undue influence. The
necessary material resources and specialized staff, as well
as the training that such staff may require to carry out their
functions, should be provided.
3. Each State Party shall inform the Secretary-General o the
United Nations of the name and address of the authority
or
authorities that may assist other States Parties
in
developing
and implementing specific measures for the prevention
o
corruption.
Article
Public sector
1. Each State Party shall, where appropriate and in accordance
with thefundamental principles
o its legal system, endeav
our to adopt, maintain and strengthen systems for the re
cruitment, hiring, retention, promotion and retirement o civil
servants and, where appropriate, other non-elected public
officials :
a)
That are based on principles of efficiency, transparency
and objective criteria such
as
merit, equity and aptitude;
6
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 75/187
b) That include adequate procedures for the selection and
training o individuals for public positions
o n s i d e r ~ d
es-
pecially vulnerable to corruption and the rotation, where
appropriate,
o
such individuals to other positions;
{c) That promote adequate remuneration and equitable pay
scales, taking into account the level o economic devel-
opment o the State Party;
d) That promote education and training programmes to en-
able them to meet the requirements or the correct,
honourable and proper performance
o
public functions
and that provide them with specialized and appropriate
training to enhance their awareness o the risks o cor-
ruption inherent in the performance of their functions .
Such programmes may make reference to codes or stan-
dards o conduct in applicable areas.
2.
Each State Party shall also consider adopting appropriate
legislative and administrative measures, consistent with the
objectives
o
this Convention and
in
accordance with the fun-
damental principles o its domestic law, to prescribe criteria
concerning candidature for and election to public office.
3.
Each State Party shall also consider taking appropriate leg-
islative and administrative measures, consistent with the ob-
jectives
o
this Convention and
in
accordance with the fun-
damental principles
o
its domestic
law
to enhance transpar-
ency in the funding o candidatures for elected public office
and, where applicable, the funding o political parties.
4.
Each State Party shall, in accordance with the fundamental
principles o its domestic
law
endeavour to adopt, maintain
and strengthen systems that promote transparency and pre-
vent conflicts o interest.
6
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 76/187
Article
Codes o conduct for public officials
1.
In
order
to
fight corruption each State Party shall promote
inter alia integrity honesty and responsibility among its pub-
lic officials
in
accordance with the fundamental principles of
its legal system.
2.
In
particular each State Party shall endeavour
to
apply within
its own institutional and legal systems codes or standards of
conduct for the correct honourable and proper performance
o
public functions .
3. For the purposes of implementing the provisions
o
this ar-
ticle each State Party shall where appropriate and
in
accor-
dance with the fundamental principles of its legal system
take note o the relevant initiatives of regional interregional
and multilateral organizations such
as
the International Code
o Conduct for Public Officials contained
in
the annex to
General Assembly resolution 51/59 of
2
December 1996.
4. Each State Party shall also consider
in
accordance with the
fundamental principles of its domestic law establishing mea-
sures and systems to facilitate the reporting by public offi-
cials o acts of corruption to appropriate authorities when
such acts come
to
their notice
in
the performance
o
their
functions.
5. Each State Party shall endeavour where appropriate and
in
accordance with the fundamental principles of its domestic
law to establish measures and systems requiring public offi-
cials to make declarations to appropriate authorities rega rd-
ing inter alia their outside activities employment invest-
ments assets and substantial gifts or benefits from which a
conflict of interest may result with respect to their functions
as public officials.
6
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 77/187
6. Each State Party shall consider taking, in accordance with
the fundamental principles
o
its domestic law, disciplinary
or
other measures against public officials who violate the codes
or
standards established in accordance with this article.
Article
Public procurement
nd
management
of
public finances
1. Each State Party shall , in accordance with the fundamental
principles o its legal system, take the necessary steps to
establish appropriate systems o procurement, based on trans
parency, competition and objective criteria
n
decision -mak
ing, that are effective, inter alia, n preventing corruption. Such
systems, which may take into account appropriate threshold
values
n
theirapplication, shall address, inter alia:
6
a) The public distribution o information relating to procure
ment procedures and contracts, including information
on
invitations to tender and relevant or pertinent informa
tion
on
the award
o
contracts, allowing potential tenderers
sufficient time to prepare and submit their tenders;
b) The establishment,
n
advance,
o
conditions for partici
pation, including selection and award criteria and ten
dering rules, and their publication;
c) The use
o
objective and predetermined criteria for pub
lic procurement decisions,
n
order to facilitate the sub
sequent verification
o
the correct application
o
the rules
or procedures;
d) An effective system of domestic review, including an ef
fective system
o
appeal , to ensure legal recourse and
remedies
n
the event that the rules or procedures es
tablished pursuant to this paragraph are not followed;
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 78/187
e) Where appropriate, measures to regulate matters regard
ing personnel responsible for procurement, such as dec
laration of interest in particular public procurements,
screening procedures and training requirements .
2. Each State Party shall , in accordance with the fundamental
principles of its legal system, take appropriate measures to
promote transparency and accountability in the management
o public finances. Such measures shall encompass, inter
alia:
a
) Procedures for the adoption of the national budget;
b) Timely reporting on revenue and expenditure;
c) A system of accounting and auditing standards and re
lated oversight;
d) Effective and efficient systems of risk management and
internal control; and
e) Where appropriate, corrective action
in
the case
o
fail
ure to comply with the requirements established in this
paragraph.
3.
Each State Party shall take such civil and administrative mea
sures
as
may be necessary,
in
accordance with the funda
mental principles o its domestic law, to preserve the integ
rity of accounting books, records , financial statements or other
documents related to public expenditure and revenue and to
prevent the falsification o such documents.
Article 1
Public reporting
Taking into account the need to combat corruption, each State
Party shall ,
in
accordance with the fundamental principles of its
domestic law, take such measures as may be necessary to en-
6
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 79/187
hance transparency
n
its public administration, including with
regard
to
its organization, functioning and decision-making pro
cesses, where appropriate. Such measures may include, inter
alia:
a) Adopting procedures
or
regulations allowing members o the
general public to obtain, where appropriate, information on
the organization, functioning and decision-making processes
o its public administration and, with due regard for the pro
tection o privacy and personal data,
on
decisions and legal
acts that concern members
o
the public;
b) Simplifying administrative procedures, where appropriate,
n
order to facilitate public access to the competent decision
making authorities; and
c) Publishing information, which may include periodic reports
on the risks
o
corruption in its public administration.
rticle
Measures
relating to the judiciary and prosecution
services
1. Bearing in mind the independence
o
the judiciary and its
crucial role in combating corruption, each State Party shall ,
n
accordance with the fundamental principles of its legal sys
tem and without prejudice to judicial independence, take
measures to strengthen integrity and to prevent opportuni
ties for corruption among members of the judiciary. Such mea
sures may include rules with respect to the conduct of mem
bers of the judiciary.
2. Measures to the same effect as those taken pursuant to para
graph 1
o
this article may be introduced and applied within
the prosecution service n those States Parties where it does
not form part
o
the judiciary but enjoys independence simi
lar to that o the judicial service.
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 80/187
Article 2
Private sector
1. Each State Party shall take measures,
in
accordance with
the fundamental principles of its domestic law to prevent cor-
ruption involving the private sector, enhance accounting and
auditing standards
in
the private sector and, where appropri-
ate, provide effective, proportionate and dissuasive civil , ad-
ministrative or criminal penalties for failure to comply with
such measures.
2. Measures to achieve these ends may include, inter alia:
a) Promoting cooperation between law enforcement agen-
cies and relevant private entities;
b) Promoting the development o standards and procedures
designed to safeguard the integrity of relevant private
entities , including codes
o
conduct for the correct,
honourable and proper performance of the activities o
business and all relevant professions and the preven-
tion of conflicts o interest, and for the promotion o the
use of good commercial practices among businesses and
in the contractual relations o businesses with the State;
c) Promoting transparency among private entities, includ-
ing, where appropriate, measures regarding the identity
o
legal and natural persons involved
in
the establishment
and management o corporate entities;
d) Preventing the misuse of procedures regulating private
entities, including procedures regarding subsidies and li-
cences granted by public authorities for commercial ac-
tivities;
e) Preventing conflicts o interest by imposing restrictions,
as
appropriate and for a reasonable period of time, on the
professional activities o former public officials or on the
7
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 81/187
employment o public officials by the private. sector after
their resignation or retirement, where such activities or
employment relate directly to the functions held or super
vised by those public officials during their tenure ;
f) Ensuring that private enterprises, taking into account their
structure and size, have sufficient internal auditing con
trols to assist in preventing and detecting acts
o
corrup
tion and that the accounts and required financial state
ments
o
such private enterprises are subject to appropri
ate auditing and certification procedures.
3. In order to prevent corruption, each State Party shall take
such measures as may be necessary, in accordance with its
domestic laws and regulations regarding the maintenance o
books and records, financial statement disclosures and ac
counting and auditing standards, to prohibit the following acts
carried out or the purpose o committing any of the offences
established in accordance with this Convention :
a)
The establishment
o
off-the-books accounts;
b) The making o off-the-books or inadequately identified
transactions;
c) The recording
o
non-existent expenditure;
d) The entry o liabilities with incorrect identification o their
objects;
e) The use of.false documents; and
f) The intentional destruction o bookkeeping documents
earlier than foreseen
by
the law.
4. Each State Party shall disallow the tax deductibility
o
ex
penses that constitute bribes, the latter being one
o the con
stituent elements
o
the offences established in accordance
with articles 15 and 16 of this Convention and, where appro
priate, other expenses incurred
in
furtherance
o
corrupt con
duct.
8
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 82/187
Article
3
Participation o society
.
1.
Each State Party shall take appropriate measures, within its
means and in accordance with fundamental principles of its
domestic law, to promote the active participation
o
individu
als and groups outside the public sector, such as civil soci
ety, non-governmental organizations and community-based
organizations, in the prevention of and the fight against cor
ruption and to raise public awareness regarding the exist
ence, causes and gravity
o
and the threat posed by corrup
tion. This participation should be strengthened by such mea
sures as:
a) Enhancing the transparency o and promoti
ng
the con
tribution of the public to decision-making processes;
b) Ensuring that the public has effective access to informa
tion;
c) Undertaking public information activities that contribute
to non-tolerance of corruption, as well as public educa
tion programmes, including school and university cur
ricula ;
d) Respecting, promoting and protecting the freedom to
seek, receive, publish and disseminate information con
cerning corruption. That freedom may be subject to cer
tain restrictions, but these shall only
be
such
as
are pro
vided for by law and are necessary:
i) For respect of the rights or reputations of others ;
ii) For the protecti
on
o national security or
ordre pub
lic or of public healthor morals.
2. Each State Party shall take appropriate measures to ensure
that the relevant anti-corruption bodies referred to
in
this Con
vention are known to the public and shall provide access to
9
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 83/187
such bodies, where appropriate. for the reporting, including
anon
ym
ously, of any incidents that may
e
considered to con
stitute an offence established
in c ~ o r d n c e
with this Conven
tion .
Article 4
Measures to prevent money laundering
1. Each State Party shall:
a)
Institute a comprehensive domestic regulatory and su
pervisory regime for banks and non-bank financial in
stitutions, including natural or legal persons that provide
formal or informal services for the transmission
o
money
or value and, where appropriate , other bodies particu
larly susceptible to money-laundering, within its compe
tence,
in
order to deter and detect all forms o money
laundering, which regime shall emphasize requirements
for customer and, where appropriate, beneficial owner
identification, record-keeping and the reporting o suspi
cious transactions;
b) Without prejudice to article 46 o this Convention, en
sure that administrative, regulatory, law enforcement and
other authorities dedicated to combating money-launder
i
ng i
ncluding, where appropriate under domestic law,
judicial authorities) have the ability to cooperate and ex
change information at the national and international lev
els w
it
hin the conditions prescribed
by
its domestic law
and, to that end, shall consider the establishment
o
a
financ·al intelligence unit to serve as a national centre
for the collection , analysis and dissemination o informa
tion regarding potential money-laundering .
2.
States Parties shall consider implementing feasible measures
to
detect and monitor the movement of cash and appropriate
7
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 84/187
negotiable instruments across their borders, subject to safe
guards to ensure proper use of information and without im
peding
in
any way the movement of legitimate capital. Such
measures may include a requirement that individuals and
businesses report the cross-border transfer of substantial
quantities of cash and appropriate negotiable instruments.
3
States Parties shall consider implementing appropriate and
feasible measures to require financial institutions, including
money remitters:
a)
To
include
on
forms for the electronic transfer
o
funds
and related messages accurate and meaningful infor
mation on the originator;
b)
To
maintain such information throughout the payment
chain; and
c) To apply enhanced scrutiny to transfers o funds that do
not contain complete information on the originator.
4
In
establishing a domestic regulatory and supervisory re-
gime under the terms of this article, and without prejudice to
any other article of this Convention, States Parties are called
upon to use as a guideline the relevant initiatives of regional,
interregional and multilateral organizations against money
laundering.
5
States Parties shall endeavour to develop and promote glo
bal, regional , subregional and bilateral cooperation among
judicial, law enforcement and financial regulatory authorities
in order to combat money-laundering.
7
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 85/187
hapter
Ill
riminalization and law enforcement
Article 5
Bribery o national public officials
Each State Party shall adopt such legislative and other mea-
sures as may be necessary to establish as criminal offences,
when committed intentionally:
a) The promise, offering or giving, to a public offici
al
, di rectly or
indirectly, of an undue advantage, for the official himself or
herself or another person or entity, in order that t
he
offici
al
act or refrain from acting in the exercise of his or
he
r official
duties;
b) The solicitation or acceptance by a public officia l directly or
indirectly, of an undue advantage, for the official himself or
herself or another person or entity,
in
order that the official
act or refrain from acting in the exercise of his or her official
duties.
Article 6
Bribery
o
foreign public officials and officials
o
public interna-
tional organizations
1. Each State Party shall adopt such legislative and other mea-
sures as may be necessary to establish as a criminal of-
fence, when committed intentionally, the promise, offeri
ng
or
giving to a foreign public official or an official of a public in-
ternational organization, directly or indirectly, of
an
undue
advantage, for the
7
official himself or herself or another person or entity, in order
that the official act or refrain from acting
in
the exercise of
his or her official duties, in order to obtain or retain business
or other undue advantage in relation to the conduct of inter-
national business.
/
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 86/187
2. Each State Party shall consider adopting such legislative
and other measures as may be necessary to establish as a
criminal offence, when committed intentionally, the solicita-
tion
or
acceptance by a foreign public official or an official
o
a public international organization, directly or indirectly,
o
an
undue advantage, for the official himself or herself
or
an-
other person or entity, in order that the official act or refrain
from acting
in
the exercise o his or her official duties.
Article 17
Embezzlement misappropriation
or
other diversion
ofproperty y public official
Each State Party shall adopt such legislative and other mea-
sures as may be necessary to establish as criminal offences,
when committed intentionally, the embezzlement, misappropria-
tion or other diversion by a public official for his or her benefit
or
or the benefit o another person or entity, o any property, public
or
private funds or securities or any other thing
o
value en-
trusted to the public official by virtue
o
his
or
her position.
Article 18
Trading in influence
Each State Party shall consider adopting such legislative and
other measures as may be necessary to establish as criminal
offences, when committed intentionally:
a) The promise, offering or giving to a public official or any other
person , directly or indirectly, o n undue advantage
in
order
that the public official or the person abuse his
or
her real or
supposed influence with a view to obtaining from
n
admin-
istration or public authority
o
the State Party n undue ad-
vantage for the original instigator of the act or for any other
person;
73
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 87/187
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 88/187
a) The promise, offering or giving, directly
or
indirectly, of an
undue advantage to any person who directs
or
works, in any
capacity, for a private sector entity, for the person himself or
herself or for another person, in order that he or she,
in
breach
of
his or her duties, act or refrain from acting;
b) The solicitation or acceptance, directly or indirectly, of
an
un-
due advantage by any person who directs or works, in any
capacity, for a private sector entity, for the person himself or
herself or for another person, in order that he or she, in breach
of
his or her duties, act or refrain from acting.
Article
Embezzlement
o
property in the private sector
Each State Party shall consider adopting such legislative and
other measures as may be necessary to establish as a criminal
offence, when committed intentionally in the course of economic,
financial or commercial activities, embezzlement by a person who
directs or works, in any capacity, in a private sector entity
of
any
property, private funds or securities or any other thing of value
entrusted to him or her by virtue of his
or
her position.
Article 23
Laundering
o
proceeds
o
crime
1 Each State Party shall adopt, in accordance with fundamen-
tal principles of its domestic law, such legislative and other
measures as may be necessary to establish as criminal of-
fences, when committed intentionally:
a) i) The conversion or transfer of property, knowing that
such property is the proceeds of crime, for the pur-
pose
of
concealing
or
disguising the illicit origin
of
the property or of helping any person who is involved
in the commission
of
the predicate offence to evade
the legal consequences
of
his
or
h r
action;
7
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 89/187
ii)
he concealment or disguise of
the true nature,
source, location, disposition, movement or owner-
ship of or rights with respect to property, knowing
that such property is
the
proceeds
of
crime;
b) Subject to the basic concepts of its legal system:
i) The acquisition, possession
or
use of property, know-
ing, at the time of receipt, that such property is the
proceeds
of crime;
ii) Participation in, association with or conspiracy to com-
mit, attempts to commit and aiding, abetting, facilitat-
ing and counselling the commission of any of the of-
fences established in accordance with this article.
2. For .purposes of implementing or applying paragraph 1 of
this article:
7
a) Each State Party shall seek to apply paragraph 1 of this
article to the widest range of predicate offences;
b) Each State Party shall include as predicate offences at a
minimum a comprehensive range of criminal offences
established in accordance with this Convention ;
c) For the purposes
of subparagraph b) above, predicate
offences shall include offences committed both within and
outside the jurisdiction of the State Party in question. How-
ever, offences committed outside the jurisdiction of a State
Party shall constitute predicate offences only when the
relevant conduct is a criminal offence under the domes-
tic law of the State where it is committed and would be a
criminal offence under the domestic law
of
the State Party
implementing or applying this article had it been commit-
ted there;
d) Each State Party shall furnish copies of its laws that give
effect to this article and of any subsequent changes
to
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 90/187
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 91/187
b) The use
o
physical force, threats or intimidation to interfere
with the exercise o official duties by a justice or. law enforce
ment official in relation to the commission
o
offences estab
lished
in
accordance with this Convention. Nothing
in
this sub
paragraph shall prejudice the right
o
States Parties to have
legislation that protects other categories o public official.
Article 6
Liability
o
legal persons
1. Each State Party shall adopt such measures as may be nec
essary, consistent with its legal principles, to establish the
liability
o
legal persons for participation in the offences es
tablished in accordance with this Convention.
2. Subject to the legal principles of the State Party, the liability
o legal persons may be criminal, civil or administrative.
3. Such liability shall be without prejudice to the criminal liability
o
the natural persons who have committed the offences.
4. Each State Party shall, in particular, ensure that legal per
sons held liable
in
accordance with this article are subject to
effective, proportionate and dissuasive criminal or non-crimi
nal sanctions, including monetary sanctions.
Article 27
Participation and attempt
1. Each State Party shall adopt such legislative and other mea
sures as may be necessary to establish
as
a criminal offence,
in accordance with its domestic law participation
in
any ca
pacity such as an accomplice, assistant or instigator
in
an
offence established
in
accordance with this Convention.
2.
Each State Party may adopt such legislative and other mea
sures as may be necessary to establish as a criminal offence,
8
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 92/187
in accordance with its domestic law any attempt to commit
an offence established in accordance with this Convention.
3. Each State Party may adopt such legislative and other mea-
sures as may be necessary to establish as a criminal of-
fence in accordance with its domestic law the preparation
for an offence established in accordance with this Conven-
tion.
Article 28
Knowledge intent and purpose as elements o an offence
Knowledge intent or purpose required as an element o an
offence established in accordance with this Convention may e
inferred from objective factual circumstances.
Article 29
Statute o imitations
Each State Party shall where appropriate establish under
its domestic law a long statute
o
limitations period in which to
commence proceedings for any offence established
in
accordance
with this Convention and establish a longer statute
o limitations
period or provide for the suspension o the statute o limitations
where the alleged offender has evaded the administration o us-
tice.
Article 30
Prosecution adjudication and n c t i o n ~
1. Each State Party shall make the commission
o
an offence
established
in
accordance with this Convention liable to sanc-
tions that take into account the gravity of that offence.
2 Each State Party shall take such measures as may be nec-
essary to establish or maintain in accordance with its legal
system and constitutional principles an appropriate balance
between any immunities or jurisdictional privileges accorded
to its public officials for the performance
o
their functions
9
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 93/187
and the possibility when necessary o effectively investigat-
ing prosecuting and adjudicating offences established in ac-
cordance with this Convention.
3. Each State Party shall endeavour to ensure that any discre-
tionary legal powers under its domestic law relating to the
prosecution o persons for offences established
in
accordance
with this Convention are exercised to maximize the effec-
tiveness o law enforcement measures in respect o those
offences and with due regard to the need to deter the com-
mission o such offences.
4. In the case o offences established in accordance with this
Convention each State Party shall take appropriate mea-
sures in accordance with its domestic law and with due re-
gard to the rights o the defence to seek to ensure that con-
ditions imposed in connection with decisions
on
release pend-
ing trial or appeal take into consideration the need to ensure
the presence
o
the defendant at subsequent criminal pro-
ceedings.
5. Each State Party shall take into account the gravity o the
offences concerned when considering the eventuality o early
release or parole o persons convicted o such offences.
6. Each State Party to the extent consistent with the funda-
mental principles o its legal system shall consider estab-
lishing procedures through which a public official accused
o
an offence established in accordance with this Convention
may where appropriate e removed suspended or reas-
signed by the appropriate authority bearing in mind respect
for the principle o the presumption o innocence.
7. Where warranted by the gravity of the offence each State
Party to the extent consistent with the fundamental principles
o
its legal system shall consider establishing procedures
8
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 94/187
for the d i s q u l i f i t i o n by court order or any other appropri-
ate means, for a period of time determined by its domestic
aw, of persons convicted o offences established
in
accor-
dance with this Convention from:
a) Holding public office; and
b) Holding office in an enterprise owned in whore or in part
by the State.
8. Paragraph 1 o this article shall be without prejudice to the
exercise of disciplinary powers by the competent authorities
against civil servants.
9. Nothing contained in this Convention shall affect the prin-
ciple that the description of the offences established in ac-
cordance with this Convention and of the applicable legal
defences or other legal principles controlling the lawfulness..
of conduct is reserved to the domestic law of a State Party
and that such offences shall be prosecuted
and
punished in
c c o r d n ~
with that law.
10. States Parties shall endeavour to promote the reintegration
into society of persons convicted of offences established
in
accordance with this Convention.
Article
3
Freezing, seizure and confiscation
1. Each State Party shall take, to the greatest extent possible
within its domestic legal system, such measures as may be
necessary to enable confiscation of:
a) Proceeds of crime derived from offences established
in
accordance with this Convention or property the value of
which corresponds to that of such proceeds;
b)
Property, equipment or other instrumentalities used in or
destined for use
in
offences established
in
accordance
with this Convention.
8
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 95/187
2. Each State Party shall take such measures as may be nec-
essary to enable the identification tracing freezing or sei-
zure of any
item
referred to
in
paragraph 1 of this article for
the purpose
of
eventual confiscation.
3. Each State Party shall adopt in accordance with its domes-
tic law such legislative and other measures as may
be
nec-
essary to regulate the administration by the competent au-
thorities of frozen seized or confiscated property covered in
paragraphs 1 and 2 of this article.
4. If such proceeds of crime have been transformed or con-
verted in part or
in
full into other property such property
shall be liable to the measures referred to
in
this article in-
stead of the proceeds.
5. f such proceeds of crime have been intermingled with prop-
erty acquired from legitimate sources such property shall
without prejudice to any powers relating to freezing or sei-
zure be liable to confiscation up to the assessed value of
the intermingled proceeds.
6. Income or other benefits derived from such proceeds of crime
from property into which such proceeds of crime have been
transformed or converted or from property with which such
proceeds
of crime have been intermingled shall also be li-
able to the measures referred to
in
this article
in
the same
manner and to the same extent as proceeds of crime.
7.
For the purpose
of
this
_prticle
and article 55 of this Conven-
tion each State Party shall empower its courts or other com-
petent authorities to order that bank financial or commercial
records be made available or seized. A State Party shall not
decline to act under the provisions of this paragraph on the
ground of bank secrecy.
8. States Parties may consider the possibility of requiring that
an
offender demonstrate the lawful origin of such alleged
proceeds
of
crime
or
other property liable to confiscation to
8
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 96/187
the extent that such a requirement is consistent with the fun-
damental principles o their domestic law and with the nature
o
judicial and other proceedings.
9. The provisions of this article shall not be so construed as to
prejudice the rights of bona fide third parties.
1 0. Nothing contained
in
this article shall affect the principle that
the measures to which it refers shall be defined and imple-
mented
in
accordance with and subject to the provisions
o
the
domestic law of a State Party.
Article 32
Protection
of
witnesses experts nd victims
1. Each State Party shall take appropriate measures
in
accor-
dance with its domestic legal system and within its means to
provide effective protection from potential retaliation or in-
timidation for witnesses and experts who give testimony con-
cerning offences established
in
accordance with this Con-
vention and, as appropriate, for their relatives and other per-
sons close to them .
2.
The measures envisaged in paragraph 1
o
this article may
include, inter alia, without prejudice to the rights
o
the de-
fendant , including the right to due process:
a) Establishing procedures for the physical protection of such
persons, such as to the extent necessary and feasible,
relocating them and permitting , where appropriate, non-
disclosure or limitations
on
the disclosure
o
information
concerning the identity and whereabouts
o
such per-
sons;
b) Providing evidentiary rules to permit witnesses and ex-
perts to give testimony
in
a manner that ensures the safety
o
such person.s, such as permitting testimony to
be
given
through the use of communications technology such as
video or other adequate means.
8
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 97/187
3. States Parties shall consider entering into agreements or ar
rangements with other States for the l elocation of persons
referred to
in
paragraph 1 of this article.
4. The provisions of this article shall also apply to victims inso
f r as they are witnesses.
5. Each State Party shall, subject to its domestic law enable
the views and concerns of victims to be presented and con
sidered at appropriate stages of criminal proceedings against
offenders in a manner not prejudicial to the rights of the de-
fence.
Article
Protection
of
reporting persons
Each State Party shall consider incorporating into its domes
tic legal system appropriate measures to provide protection against
any unjustified treatment for any person who reports in good faith
and on reasonable grounds to the competent authorities any facts
concerning offences established
in
accordance with this Con
vention.
Article 4
Consequences
of
acts
of
corruption
With due regard to the rights of third parties acquired in good
faith, each State Party shall take measures, in accordance with
the fundamental principles of its domestic law to address conse
quences
of
corruption.
In
this context, States Parties may con
sider corruption a relevant factor in legal proceedings to annul or
rescind a contract, withdraw a concession
or
other similar instru
ment or take any other remedial action.
Article
5
Compensation for damage
Each State Party shall take such measures as may be nec
essary, in accordance with principles
of
its domestic law, to en-
8
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 98/187
sure that entities or persons who have suffered damage as a
result o an act o corruption have the right to initiate legal pro-
ceedings against those responsible for that damage in order to
obtain compensation.
Article 6
Specialized authorities
Each State Party shall in accordance with the fundamental
principles of its legal system ensure the existence o a body or
bodies
or
persons specialized in combating corruption through
law enforcement. Such body or bodies or persons shall
be
granted
the necessary independence in accordance with the fundamen-
tal principles of the legal system o the State Party to be able to
carry out their functions effectively and without any undue influ-
ence. Such persons or staff of such body or bodies should have
the appropriate training and resources to carry out their tasks.
Article 7
Cooperation with aw enforcement authorities
1 Each State Party shall take appropriate measures to encour-
age persons who participate or who have participated
in
the
commission of an offence established in accordance with this
Convention to supply information useful to competent au-
thorities for investigative and evidentiary purposes and to
provide factual specific help to competent authorities that
may contribute to depriving offenders of the proceeds of crime
and to recovering such proceeds.
2. Each State Party shall consider providing for the possibility
in appropriate cases of mitigating punishment of an accused
person who provides substantial cooperation in the investi-
gation or prosecution of an offence established in accordance
with this Convention.
8
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 99/187
3. Each State Party shall consider providing for the possibility,
in
accordance with fundamental principles of its domestic
law
o granting immunity from prosecution to a person who pro-
vides substantial cooperation
in
the investigation
or
prosecu-
tion o an offence established in accordance with this Con-
vention.
4. Protection of such persons shall be, mutatis mutandis, as
provided for
in
article 32
o
this Convention.
5. Where a person referred to in paragraph 1 o this article lo-
cated
in
one State Party can provide substantial cooperation
to the competent authorities o another State Party, the States
Parties concerned may consider entering into agreements
or arrangements,
in
accordance with their domestic law, con-
cerning the potential provision by the other State Party o the
treatment set forth in
paragraphs 2 and 3 o this article.
Article 8
Cooperation between national authorities
Each State Party shall take such measures as may be nec-
essary to encourage,
in
accordance with its domestic law, coop-
eration between, on
the one hand, its public authorities, as well
as its public officials, and, on the other hand, its authorities re-
sponsible for investigating
and prosecuting criminal offences. Such
cooperation may include:
a) Informing the latter authorities,
on
their own initiative, where
there are reasonable grounds to believe that any
o
the of-
fences established
in
accordance with articles 15, 21 and 23
o this Convention has been committed; or
b) Providing, upon request, to the latter authorities all neces-
sary information.
8
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 100/187
Article 39
CooperaJion between national authorities
nd
the private sector
1
Each State Party shall take such measures as may be nec-
essary to encourage
in
accordance with its domestic law
cooperation between national investigating and prosecuting
authorities and entities o the private sector in particular fi-
nancial institutions relating to matters involving the commis-
sion
o
offences established in accordance with this Conven-
tion.
2. Each State Party shall consider encouraging its nationals and
other persons with a habitual residence in its territory to re-
port to the national investigating and prosecuting authorities
the commission o an offence established in accordance with
this Convention.
Article 4
Bank secrecy
Each State Party shall ensure that in the case
o
domestic
criminal investigations
o
offences established in accordance with
this Convention there are appropriate mechanisms available within
its domestic legal system to overcome obstacles that may arise
out o the application o bank secrecy laws.
Article 4
Criminal record
Each State Party may adopt such legislative or other mea-
sures as may be necessary to take into consideration under such
terms as and for the purpose that it deems appropriate any previ-
ous conviction
in
another State
o an
alleged offender for the
purpose
o
using such information
in
criminal proceedings relat-
ing to
an
offence established in accordance with this Conven-
tion.
87
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 101/187
Article 4
Jurisdiction
1. Each State Party shall adopt such measures as may be nec-
essary to establish its jurisdiction over the offences estab-
lished in accordance with this Convention when :
a) The offence is committed in the territory o that State
Party; or
b) The offence is committed on board a vessel that is flying
the flag of that State Party
or
an aircraft that is regis-
tered under the laws
o
that State Party at the time that
the offence is committed.
2. Subject to article 4 o this Convention, a State Party may
also establish its jurisdiction over any such offence when:
a) The offence is committed against a national o that State
Party; or
b) The offence is committed by a national of that State Party
or a stateless person who has his or her habitual resi-
dence in its territory; or
c) The offence is one of those established in accordance
with article 23, paragraph 1 b) ii),
o
this Convention
and is committed outside its territory with a view to the
commission o n offence established in accordance with
article 23, paragraph 1 a) i) or ii) or b) i), o this Con-
vention within its territory;
or
d) The offence is committed against the State Party.
3. For the purposes of article 44 o this Convention, each State
Party shall take such measures as may be necessary to es-
tablish its jurisdiction over the offences established
in
accor-
dance with this Convention when the alleged offender is
present
in
its territory and it does not extradite such person
solely
on the ground that he or she is one of its nationals.
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 102/187
4. Each State Party may also take such measures as may be
necessary to establish its jurisdiction over th.e offences es-
tablished in accordance with this Convention when the al-
leged offender
is
present
in
its territory and it does not extra-
dite him or her.
5.
If a State Party exercising its jurisdiction under paragraph 1
or 2 of this article has been notified or has otherwise learned
that any other States Parties are conducting an investiga-
tion prosecution or judicial proceeding in respect of the same
conduct the competent authorities of those States Parties
shall as appropriate consult one another with a view to co-
ordinating their actions.
6. Without prejudice to norms of general international law this
Convention shall not exclude the exercise of any criminal
jurisdiction established by a State Party in accordance with
its domestic
law.
hapter IV
International cooperation
Article 4
International cooperation
1. States Parties shall cooperate in criminal matters in accor-
dance with articles 44 to 50 of this Convention . Where ap-
propriate and consistent with their domestic legal system
States Parties shall consider assisting each other in investi-
gations of and proceedings in civil and administrative mat-
ters relating to corruption .
2. In matters of international cooperation whenever dual crimi-
nality is considered a requirement
it
shall be deemed ful-
filled irrespective of whether the laws of the requested State
9
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 103/187
Party place the offence within the same category o offence
or
denominate the offence by the same terminology as the
requesting State Party i the conduct underlying the offence
for which assistance is sought is a criminal offence under
the laws o both States Parties.
Article
Extradition
1. This article shall apply to the offences established in accor
dance with this Convention where the person who is the sub
ject of the request
or
extradition
is
present
in
the territory
o
the requested State Party provided that the offence for which
extradition is sought is punishable under the domestic law o
both the requesting State Party and the requested State Party.
2 Not with standing the provisions o paragraph 1 of this ar
ticle a State Party whose law so permits may grant the ex
tradition of a person for any of the offences covered by this
Convention that are not punishable under its own domestic
law
3 If the request for extradition includes several separate of-
fences at least one
o
which is extraditable under this article
and some o which are not extraditable by reason o their
period
o
imprisonment but are related to offences estab
lished
in
accordance with this Convention the requested State
Party may apply this article also
in
respect
o
those offences.
4 Each of the offences to which this article applies shall be
deemed to be included as an extraditable offence in any ex
tradition treaty existing between States Parties. States Par
ties undertake to include such offences as extraditable of
fences in every extradition treaty to be concluded between
them. A State Party whose law so permits in case it uses this
Convention as the basis for extradition shall not consider
9
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 104/187
any of the offences established in accordance with this Con
vention to be a political offence.
5
f
a State Party that makes extradition conditional on
thee
- ·
istence
of
a treaty receives a request for extraetition from
another State Party with which it has no extradition treaty, it
may consider this Convention the legal basis for extradition
in respect of any offence to which this article applies.
6. A State Party that makes extradition conditional on the exist
ence of a treaty shall :
a) At the time of deposit of its instrument of ratification, ac
ceptance or approval of or accession to this Convention,
inform the Secretary-General of the
l;; lnited
Nations
whether it will take this Convention as the legal basis for
cooperation
on
extradition with other States Parties to
this Convention; and
b)
f
it does not take this Convention as the legal basis for
cooperation
on
extradition, seek, where appropriate, to
conclude treaties
on
extradition with other States Parties
to this Convention in order to implement this article.
7. States Parties that do not make extradition conditional
on
the existence
of
a treaty shall recognize offences to which
this article applies as extraditable offences between them
selves.
8. Extradition shall be subject to the conditions provided for by
the domestic law of the requested State Party or by appli
cable extradition treaties, including, inter alia, conditions in
relation to the minimum penalty requirement for extradition
and the grounds upon which the requested State Party may
refuse extradition.
9. States Parties shall, subject to their domestic law, endeav
our to expedite extradition procedures and to simplify evi-
9
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 105/187
dentiary requirements relating thereto in respect o any of-
fence
to whi h
this article applies.
10
. Subject to the provisions
o
its domestic law and its extradi-
tion treaties the requested State Party
may
upon being sat-
isfied that the circumstances so warrant and are urgent and
at the request o the requesting State Party take a person
whose extradition is sought and who is present in its territory
into custody or take other appropriate measures to ensure
his or her presence at extradition proceedings.
11.
A State Party in whose territory an alleged offender
is
found
if it does not extradite such person in
respect o an offence
to which this article applies solely on the ground that he
or
she
is
one o its nationals shall at the request o the State
Party seeking extradition
be
obliged to submit the case without
undue delay to its competent authorities for the purpose o
prosecution. Those authorities shall take their decision and
conduct their proceedings in the same manner as
in
the case
o any other offence o a grave nature under the domestic
law o that State Party. The States Parties concerned shall
cooperate with each other in particular on procedural and
evidentiary aspects to ensure the efficiency o such pros-
ecution.
12
. Whenever a State Party is permitted under its domestic law
to extradite or otherwise surrender one of its nationals only
upon the condition that the person will be returned to that
State Party to serve the sentence imposed as a result o the
trial or proceedings for which the extradition or surrender o
the person was sought and that State Party and the State
Party seeking the extradition o the person agree with this
option and other terms that they may deem appropriate such
conditional extradition or surrender shall
be
sufficient to dis-
charge the obligation set forth
in
paragraph
11 o
this article.
9
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 106/187
13. f extradition, sought for purposes of enforcing a sentence,
is refused because the person sought is a national
of
the
requested State Party, the requested State Party shall, if its
domestic law
so
permits and
in
conformity with the require-
ments of such law upon application of the requesting State
Party, consider the enforcement of the sentence imposed
under the domestic law of the requesting State Party or the
remainder thereof.
14. Any person regarding whom proceedings are being carried
out in connection with any of the offences to which this ar-
ticle applies shall be guaranteed fair treatment at all stages
of the proceedings, including enjoyment of all the rights and
guarantees provided by the domestic law of the State Party
in the territory of which that person is present.
15. Nothing in this Convention shall be interpreted
as
imposing
an obligation to extradite if the requested State Party has
substantial grounds for believing that the request has been
made for the purpose of prosecuting or punishing a person
on account of that person s sex, race, religion, nationality,
ethnic origin or political opinions or that compliance with the
request would cause prejudice to that person s position for
any one of these reasons.
16. States Parties may not refuse a request for extradition on
the sole ground that the offence is also considered to involve
fiscal matters.
17. Before refusing extradition, the requested State Party shall ,
where appropriate, consult with the requesting State Party to
provide it with ample opportunity to present its opinions and
to provide information relevant to its allegation.
18. States Parties shall seek to conclude bilateral and multilat-
eral agreements or arrangements to carry out or to enhance
the effectiveness of extradition .
9
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 107/187
Article 45
Transfer
o
sentencef} persons
States Parties may consider entering into bilateral or multi-
lateral agreements or arrangements on the transfer to their terri-
tory of persons sentenced to imprisonment or other forms of dep-
rivation of liberty for offences established in accordance with this
Convention in order that they may complete their sentences there.
Article 46
Mutual ega assistance
1. States Parties shall afford one another the widest measure
of mutual legal assistance in investigations, prosecutions and
judicial proceedings in relation to the offences covered by
this Convention.
2. Mutual legal assistance shall be afforded to the fullest extent
possible under relevant laws, treaties , agreements and ar-
rangements of the requested State Party with respect to in-
vestigations, prosecutions and judicial proceedings in rela-
tion to the offences for which a legal person may be held
liable
in
accordance with article 26 of this Convention in the
requesting State Party.
3. Mutual legal assistance to be afforded in accordance with
this article may
be
requested for any of the following pur-
poses:
9
a) Taking evidence or statements from persons;
b) Effecting service of judicial documents;
c) Executing searches and seizures, and freezing;
d) Examining objects and sites;
e) Providing information, evidentiary items
nd
expert evalu-
ations;
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 108/187
f) Providing originals or certified copies o relevant docu
ments and records, including government, bank, finan
cial, corporate or business records;
g) Identifying or tracing proceeds o crime, property, instru
mentalities or other things for evidentiary purposes;
h) Facilitating the voluntary appearance o persons
in
the
requesting State Party;
i) Any other type of assistance that is not contrary to the
domestic law of the requested State Party;
0 Identifying, freezing and tracing proceeds o crime
in
ac
cordance with the provisions o chapter V
o
this Con
vention;
k) The recovery of assets, in accordance with the provi
sions of chapter V
o
this Convention.
4. Without prejudice to domestic
law
the competent authorities
o
a State Party
may
without prior request, transmit informa
tion relating to criminal matters to a competent authority
in
another State Party where they believe that such information
could assist the authority
in
undertaking or successfully con
cluding inquiries and criminal proceedings or could result in
a request formulated by the latter State Party pursuant to
this Convention.
5. The transmission of information pursuant to paragraph 4
o
this article shall be without prejudice to inquiries and criminal
proceedings in the State o the competent authorities provid
ing the information. The competent authorities receiving the
information shall comply with a request that said information
remain confidential, even temporarily, or with restrictions on
its use. However, this shall not prevent the receiving State
Party from disclosing
in
its proceedings information that
is
exculpatory to an accused person. In such a case, the re-
9
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 109/187
ceiving State Party shall notify the transmitting State Party
prior to the disclosure and, if so requested, consult with the
transmitting State Party. If, in an exceptional case, advance
notice is not possible, the receiving State Party shall inform
the transmitting State Party
of
the disclosure without delay.
6. The provisions
of
this article shall not affect the obligations
under any other treaty, bilateral or multilateral, that governs
or will govern, in whole or in part, mutual legal assistance.
7. Paragraphs 9 to 29 of this article shall apply to requests made
pursuant to this article
if
the States Parties
in
question are
not bound by a treaty of mutual legal assistance. f those
States Parties are bound by such a treaty, the corresponding
provisions
of
that treaty shall apply unless the States Parties
agree to apply paragraphs 9 to 29 of this article in lieu thereof.
States Parties are strongly encouraged to apply those para-
graphs if they facilitate cooperation .
8. States Parties shall not decline to render mutual legal assis-
tance pursuant to this article on the ground of
bank secrecy.
9 a) A requested State Party, in responding to a request for
assistance pursuant to this article in the absence of dual
criminality, shall take into account the purposes of this
Convention, as set forth in article 1;
9
b) States Parties may decline to render assistance pursu-
ant to this article on the ground of absence of dual crimi-
nality. However, a requested State Party shall, where con-
sistent with the basic concepts of its legal system, ren-
der assistance that does not involve coercive action. Such
assistance may be refused when requests involve mat-
ters
of a e minimis nature or matters for which the co-
operation
or assistance sought is available under other
provisions
of
this Convention;
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 110/187
c) Each State Party may consider adopting such measures
as may
e
necessary to enable it to provide a wider scope
o
assistance pursuant to this article in the absence
o
dual criminality.
10. A person who is being detained or is serving a sentence in
the territory o
one State Party whose presence in another
State Party is requested for purposes o identification, testi-
mony or otherwise providing assistance in obtaining evidence
or
investigations, prosecutions
or
judicial proceedings in
relation to offences covered by this Convention may be trans-
ferred if the following conditions are met:
a) The person freely gives his or her informed consent;
b) The competent authorities o both States Parties agree,
subject to such conditions as those States Parties may
deem appropriate.
. For the purposes of paragraph 10
o
this article:
a) The State Party to which the person is transferred shall
have the authority and obligation to keep the person trans-
ferred in custody, unless otherwise requested or autho-
rized by the State Party from which the person was trans-
ferred;
b) The State Party to which the person is transferred shall
without delay implement its obligation to return the per-
son to the custody
o
the State Party from which the per-
son was transferred as agreed beforehand, or as other-
wise agreed, by the competent authorities
o
both States
Parties;
c) The State Party to which the person is transferred shall
not require the State Party from which the person was
transferred to initiate extradition proceedings for the re-
turn of the person;
9
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 111/187
d) The person transferred shall receive credit for service
o
the sentence being served in the State from which he
or she was transferred for time spent
in
the custody o
the State Party to which he or she was transferred.
2
. Unless the State Party from which a person
is
to be trans
ferred
in
accordance with paragraphs 10 and of this ar
ticle
so
agrees, that person, whatever his or her nationality,
shall not
be prosecuted, detained, punished or subjected to
any other restriction o his or her personal liberty in the terri
tory o the State to which that person is transferred in re
spect
o
acts, omissions or convictions prior to his or her
departure from the territory o the State from which he or she
was transferred.
3
. Each State Party shall designate a central authority that shall
have the responsibility and power to receive requests for mu
tual legal assistance and either to execute them or to trans
mit them to the competent authorities for execution . Where
a State Party has a special region or territory with a separate
system of mutual legal assistance, it may designate a dis
tinct central authority that shall have the same function for
that region or territory. Central authorities shall ensure the
speedy and proper execution or transmission o the requests
received. Where the central authority transmits the request
to a competent authority for execution, it shall encourage the
speedy and proper execution
o
the request by the compe
tent authority. The Secretary-General of the United Nations
shall
be
notified of the central authority designated for this
purpose at the time each State Party deposits its instrument
of ratification, acceptance or approval of or accession
to
this
Convention. Requests for mutual legal assistance and any
communication related thereto shall
be
transmitted to the
central authorities designated by the States Parties. This re
quirement shall
be
without prejudice to the right o a State
9
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 112/187
Party to require that such requests and communications be
addressed to it through diplomatic channels and, in urgent
circumstances, where the States Parties agree, through the
International Criminal Police Organization, i possible.
14. Requests shall be made in writing
or
where possible, by any
means capable o producing a written record,
in
a language
acceptable to the requested State Party, under conditions
allowing that State Party to establish authenticity. The Sec
retary-General of the United Nations shall be notified o the
language or languages acceptable to each State Party at the
time it deposits its instrument o ratification, acceptance or
approval of or accession to this Convention. In urgent cir
cumstances and where agreed by the States Parties, requests
may be made orally but shall be confirmed in writing forth
with.
15. A request for mutual legal assistance shall contain:
a) The identity of the authority making the request;
b) The subject matter and nature of the investigation, pros
ecution or judicial proceeding to which the request re
lates and the name and functions o the authority con
ducting the investigation, prosecution or judicial proceed
ing;
c) A summary o the relevant facts, except in relation to
requests for the purpose of service
o
udicial documents;
d) A description o the assistance sought and details of any
particular procedure that the requesting State Party wishes
to be followed ;
e) Where possible, the identity, location and nationality of
any person concerned; and
f) The purpose for which the evidence, information or ac
tion is sought.
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 113/187
16. The requested State Party may request additional informa-
tion when it appears necessary o ~ the execution o the re-
quest
in
accordance with its domestic law or when it can
facilitate such execution.
17. A request shall
be
executed
in
accordance with the domes-
tic law o the requested State Party and to the extent not
contrary to the domestic law o the requested State Party
and where possible in accordance with the procedur
es
speci-
fied in the request.
18. Wherever possible and consistent with fundamental principles
o domestic law when an individual
is in
the territory o a
State Party and has to be heard as a witness or expert by the
judicial authorities of another State Party the first State Party
may at the request of the other permit the hearing to take
place by video conference if it
is
not possible or desirable for
the i
nd
ividual in question to appear in person in the territory
o the requesting State Party. States Parties may agree that
the hearing shall be conducted by a judicial authority of the
requesting State Party and attended by a judicial authority o
the requested State Party.
9 . The requesting State Party shall not transmit or use informa-
tion or evidence furnished by the requested State Party for
investigations prosecutions or judicial proceedings other than
those stated
in the request without the prior consent
o
the
requested State Party. Nothing in
th
is paragraph shall pre-
vent the requesting State Party from disclosing in its pro-
ceedings information or evidence that isexculpatory to an
accused person.
In
the latter case the requesting State Party
shall notify the requested State Party prior to the disclosure
and if so requested consult with the requested State Party.
If
in
an exceptional case advance notice
is
not possible the
requesting State Party shall inform the requested State Party
o the disclosure without delay.
1
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 114/187
20. The requesting State Party may require that the requested
State Party keep confidential the fact and s.ubstance
of
the
request, except to the extent necessary to execute the re-
quest.
f
the requested State Party cannot comply with the
requirement of confidentiality, it shall promptly inform the re-
questing State Party.
21 . Mutual legal assistance may e refused:
a) f the request is not made in conformity with the provi-
sions of this article;
b)
f
the requested State Party considers that execution
of
the request is likely to prejudice its sovereignty, security,
ordre pu lic
or other essential interests;
c) f the authorities of the requested State Party would be
prohibited by its domestic law from carrying out the ac-
tion requested with regard to any similar offence, had it
been subject to investigation, prosecution or judicial pro-
ceedings under their own jurisdiction;
d)
f
it would e contrary to the legal system of the requested
State Party relating to mutual legal assistance for the
request to
be
granted.
22. States Parties may not refuse a request for mutual legal as-
sistance on the sole ground that the offence is also consid-
ered to involve fiscal matters.
23. Reasons shall be given for any refusal
of
mutual legal assis-
tance.
24. The requested State Party shall execute the request for mu-
tual legal assistance
as
soon
as
possible and shall take as
full account as possible of any deadlines suggested by the
requesting State Party and for which reasons are given, pref-
erably in the request. The requesting State Party may make
reasonable requests for information
on
the status
and
progress
1 1
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 115/187
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 116/187
mained voluntarily in the territory of the requesting State Party
or, having left it,
h ~
returned of his
or her
own free will .
28.
The
ordinary costs
of
executing a request shall be borne by
the requested State Party, unless otherwise agreed by the
States Parties concerned.
f
expenses
of
a substantial
or
extraordinary nature are
or
will be required to fulfil the re-
quest, the States Parties shall consult to determine the terms
and conditions under which the request will be executed, as
well as the manner in which the costs shall
e
borne.
29. The
requested State Party:
a) Shall provide to the requesting State Party copies of gov-
ernment records, documents or information in its pos-
session that under its domestic law are available to the
general public;
b) May, at its discretion, provide to the requesting State Party
in whole, in part or subject to such conditions as it deems
appropriate, copies of any government records, docu-
ments or information in its possession that under its do-
mestic law are not available
to
the general public.
30. States Parties shall consider, as may e necessary, the pos-
sibility
of
concluding bilateral
or
multilateral agreements
or
arrangements that would serve the purposes of, give practi-
cal effect to
or
enhance the provisions
of
this article.
rticle
7
Transfer
of
criminal proceedings
States Parties shall consider the possibility
of
transferring to
one another proceedings for the prosecution
of
an offence es-
tablished in accordance with this Convention in cases where such
transfer is considered to be n the interests of the proper admin-
istration
of
justice,
n
particular
n
cases where several jurisdic-
tions are involved, with a view to concentrating the prosecution .
103
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 117/187
Article 8
aw enforcement cooperation
1
States Parties shall cooperate closely with one another, con-
sistent with their respective domestic legal and administra-
tive systems, to enhance the effectiveness o law enforce-
ment action to combat the offences covered by this Conven-
tion. States Parties shall, in particular, take effective mea-
sures:
1 4
a) To enhance and, where necessary, to establish chan-
nels of communication between their competent authori-
ties, agencies and services
in
order to facilitate the se-
cure and rapid exchange o information concerning all
aspects
o
the offences covered
by
this Convention, in-
cluding, if the States Parties concerneddeem it appropri-
ate, links with other criminal activities;
b) To
cooperate with other States Parties in conducting in-
quiries with respect to offences covered by this Conven-
tion concerning : ·
i) The identity, whereabouts and activities o persons
suspected
o
involvement in such offences or the
location o other persons concerned;
ii) The movement of proceeds
o
crime or property de-
rived from the commission o such offences;
iii) The movement o property, equipment or other in-
strumentalities used
or
intended for use in the com-
mission
o
such offences;
c)
To
provide, where appropriate, necessary items or quan-
tities of substances for analytical or investigative purposes;
d)
To
exchange, where appropriate, information with other
States Parties concerning specific means and methods
used to commit offences covered by this Convention, in-
cluding· he use of false identities, forged , altered or false
documents and other means of concealing activities;
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 118/187
e) To facilitate effective coordination between their compe
tent authorities, agencies and services and to promote
the exchange
o
personnel and other experts, including,
subject to bilateral agreements or arrangements between
the States Parties concerned, the posting
o
liaison offic
ers;
f) To exchange information and coordinate administrative
and other measures taken as appropriate for the pur
pose
o
early identification
o
the offences covered by
this Convention.
2. With a view to giving effect to this Convention, States Parties
shall consider entering into bilateral or mult
ilateral agreements
or
arrangements on direct cooperation between their law en
forcement agencies and, where such agreements or arrange
ments already exist, amending them.
n
the absence
o
such
agreements or arrangements between the States Parties con
cerned , the States Parties may consider this Convention to
be the basis for mutual
Jaw
enforcement cooperation in re
spect
o
the offences covered by this Convention. Whenever
appropriate, States Parties shall make full use
o
agreements
or
arrangements , including international or regional organi
zations, to enhance the cooperation between their law en
forcement agencies.
3. States Parties shall endeavour to cooperate within their means
to
respond to offences covered by this Convention commit
ted through the use
o
modern technology.
Article 9
Joint investigations
States Parties shall consider concluding bilateral or multilat
eral agreements
or
arrangements whereby, in relation to matters
that are the subject of investigations, prosecutions or judicial pro
ceedings in one
or
more States, the competent authorities con-
1 5
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 119/187
cerned may establish joint investigative bodies. In the absence
o such agreements or arrangements joint investigations may
be undertaken by agreement on a case-by-case basis. The States
Parties involved shall ensure that the sovereignty
o
the State
Party in whose territory such investigation is to take place is fully
respected.
rticle 5
Special investigative techniques
1. In order to combat corruption effectively each State Party
shall to the extent permitted by the basic principles o its
domestic legal system and in accordance with the conditions
prescribed by its domestic law take such measures as may
be necessary within its means to allow for the appropriate
use by its competent authorities o controlled delivery and
where it deems appropriate other special investigative tech
niques such as electronic or other forms of surveillance and
undercover operations within its territory and to allow for
the admissibility
in
court
o
evidence derived therefrom.
2. For the purpose of investigating the offences covered by this
Convention States Parties are encouraged to conclude when
necessary appropriate bilateral
or
multilateral agreements
or arrangements for using such special investigative tech
niques in the context of cooperation at the international level.
Such agreements or arrangements shall be concluded and
implemented
in
full compliance with the principle
o
sover
eign equality o States and shall be carried out strictly in ac
cordance with the terms o those agreements or arrange
ments.
3.
n
the absence of an agreement or arrangement
as
set forth
in paragraph 2 of this article decisions to use such special
investigative techniques at the international level shall be made
on
a case-by-case basis and may when necessary take into
1 6
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 120/187
consideration financial arrangements and understandings
with respect to the exercise of urisdiction by the States Parties
concerned.
4. Decisions to use controlled delivery at the international level
may with the consent of the States Parties concerned in
clude methods such as intercepting and allowing the goods
or funds to continue intact or be removed or replaced in
whole or in part.
ChapterV
sset recovery
Article
5
General provision
The return
of
assets pursuant to this chapter is a funda
mental principle of this Convention and States Parties shall af
ford one another the widest measure
of
cooperation and assis
tance in this regard.
Article 5
Prevention and detection o transfers o proceeds o crime
1. Without prejudice to article 14 of this Convention each State
Party shalltake such measures as may be necessary in ac
cordance with its domestic law to require financial institu
tions within its jurisdiction to verify the identity
of
custom
ers to take reasonable steps to determine the identity
of
beneficial owners of funds deposited into high-value accounts
and to conduct enhanced scrutiny
of
accounts sought or
maintained by or on behalf of individuals who are or have
been entrusted with prominent public functions and their
family members and close associates. Such enhanced scru-
1 7
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 121/187
tiny shall be reasonably designed to detect suspicious trans
actions for the purpose
o
reporting to competent authorities
and should not
be
so construed as to discourage·or prohibit
financial institutions from doing business with any legitimate
customer.
2. In order to facilitate implementation o the measures pro
vided for in paragraph 1 of this article , each State Party, in
accordance with its domestic law and inspired by relevant
initiatives o regional, interregional and multi1ateral organi
zations against money-laundering, shall:
a) Issue advisories regarding the types of natural or legal
person to whose accounts financial institutions within its
jurisdiction will be expected to apply enhanced scrutiny,
the types of accounts and transactions to which to pay
particular attention and appropriate account-opening,
maintenance and record-keeping measures to take con
cerning such accounts; and
b) Where appropriate, notify financial institutions within its
jurisdiction, at the request of another State Party or on
its own initiative, of the identity of particular natural or
legal persons to whose accounts such institutions will be
expected to apply enhanced scrutiny, in addition to those
whom the financial institutions may otherwise identify.
3.
In
the context of paragraph 2 a) of this article, each State
Party shall implement measures to ensure that its financial
institutions maintain adequate records, over an appropriate
period of time, of accounts and transactions involving the
persons mentioned in paragraph 1 of this article,which should,
as a minimum, contain information relating to the identity o
the customer
as
well
as
as far as possible, of the beneficial
owner.
108
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 122/187
4.
With the aim
o
preventing and detecting transfers of pro
ceeds o offences established in accordance with this Con
vention each State Party shall implement appropriate and
effective measures to prevent with the help of its regulatory
and oversight bodies the establishment o banks that have
no physical presence and that are not affiliated with a regu
lated financial group. Moreover States Parties may consider
requiring their financial institutions to refuse to enter into or
continue a correspondent banking relationship with such in
stitutions and to guard against establishing relations with for
eign financial institutions that permit their accounts to be used
by banks that have no physical presence and that are not
affiliated with a regulated financial group.
5.
Each State Party shall consider establishing in accordance
with its domestic law effective financial disclosure systems
for appropriate public officials and shall provide for appropri
ate sanctions for non-compliance. Each State Party shall also
consider taking such measures as may
be
necessary to per
mit its competent authorities to share that information with
the competent authorities in other States Parties when nec
essary to investigate claim and recover proceeds of offences
established in accordance with this Convention.
6. Each State Party shall consider taking such measures as
may be necessary
in
accordance with its domestic law to
require appropriate public officials having
an
interest
in
or
signature or other authority over a financial account in
a for
eign country to report that relationship to appropriate authori
ties and to maintain appropriate records related to such ac
counts. Such measures shall also provide for appropriate
sanctions for non-compliance.
1 9
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 123/187
Article 5
Measures for direct recovery o property
Each State Party shall, in accordance with its domestic law:
(a) Take such measures as may be necessary to permit an-
other State Party to initiate civil action in its courts to estab-
lish title to or ownership
o
property acquired through the
commission of an offence established in accordance with this
Convention;
b) Take such measures as may be necessary to permit its courts
to order those who have committed offences established in
accordance with this Convention to pay compensation or dam-
ages to another State Party that has been harmed by such
offences; and
(c) Take such measures as may be necessary to permit its courts
or competent authorities, when having to decide on confis-
cation, to recognize another State Party s claim as a legiti-
mate owner of property acquired through the commission o
an offence established in accordance with this Convention.
Article 54
Mechanisms for recovery
o
property through international
cooperation in confiscation
1. Each State Party, in order to provide mutual legal assistance
pursuant to article 55 of this Convention with respect to prop-
erty acquired through
or
involved
in
the commission
o
an
offence established in accordance with this Convention, shall,
in accordance with its domestic law:
110
a) Take such measures as may be necessary to permit its
competent authorities to give effect to an order o confis-
cation issued by a court
o
another State Party;
(b) Take such measures as may e necessary to permit its
competent authorities, where they have jurisdiction, to
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 124/187
order the confiscation o such property
o
foreign origin
by.adjudication
o
an offence
o
money-laundering or such·
other offence as may be within its jurisdiction or by other
procedures authorized under its domestic law; and
c) Consider taking such measures as may be necessary to
allow confiscation
o
such property without a criminal con
viction in cases in which the offender cannot be pros
ecuted by reason o death, flight or absence or in other
appropriate cases.
2 Each State Party, in order to provide mutual legal assistance
upon a request made pursuant to paragraph 2
o
article 55
o
this Convention, shall, in accordance with its domestic law:
a) Take such measures as may be necessary to permit its
competent authorities to freeze or seize property upon a
freezing or seizure order issued by a court or competent
authority o a requesting State Party that provides a rea
sonable basis or the requested State Party to believe
that there are sufficient grounds for taking such actions
and that the property would eventually be subject to an
order
o
confiscation
or
purposes o paragraph 1 a)
o
this article;
b) Take such measures as may be necessary to permit its
competent authorities to freeze or seize property upon a
request that provides a reasonable basis for the requested
State Party to believe that there are sufficient grounds
or
taking such actions and that the property would even
tually be subject to an order
o
confiscation for purposes
o
paragraph 1 a)
o
this article; and c) Consider taking
additional measures to permit its competent authorities
to preserve property for confiscation, such as on the basis
o
a foreign arrest or criminal charge related to the ac
quisition
o
such property.
111
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 125/187
rticle55
International cooperation for purposes
o
confiscation
1.
A State Party that has received a request from another State
Party having jurisdiction over an offence established in
ac-
cordance with this Convention for confiscation of proceeds
o crime, property, equipment or other instrumentalities re-
ferred to in article 31, paragraph 1 of this Convention situ-
ated in its territory shall, to the greatest extent possible within
its domestic legal system:
a) Submit the request to its competent authorities for the
purpose of obtaining an order
o
confiscation and, if such
an order is granted, give effect to it; or
b) Submit to its competent authorities, with a view to giving
effect to it to the extent requested, an order of confisca-
tion issued by a court in the territory of the requesting
State Party in accordance with articles 31, paragraph
1
and 54, paragraph 1 a), o this Convention insofar as it
relates to proceeds of crime, property, equipment or other
instrumentalities referred to
in
article 31, paragraph 1
situated
in
the territory
o
the requested State Party.
2. Following a request made by another State Party having
jurisdiction over an offence established in accordance with
this Convention, the requested State Party shall take mea-
sures to identify, trace and freeze or seize proceeds of crime,
property, equipment or other instrumentalities referred to in
article
31
paragraph
1
o
this Convention for the purpose
o
eventual confiscation to be ordered either
by
the requesting
State Party
or
pursuant to a request under paragraph 1 o
this article, by the requested State Party.
3. The provisions of article 46 o this Convention are applicable,
mutatis mutandis, to this article.
In
addition to the informa-
tion specified in article 46, paragraph 15 requests made
pursuant to this article shall contain:
2
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 126/187
a) In the case of a request pertaining to paragraph 1 a) of
this article, a description of the property to be confis
cated, including, to the extent possible, the location and,
where relevant, the estimated value of the property and
a statement of the facts relied upon by the requesting
State Party sufficient to enable the requested State Party
to
seek the order under its domestic law;
b) In the case of a request pertaining to paragraph 1 b)
of
this article, a legally admissible copy of an order of con
fiscation upon which the request is based issued by the
requesting State Party, a statement of the facts and in
formation as to the extent to which execution
of
the or
er
is requested, a statement specifying the measures
taken by the requesting State Party to provide adequate
notification to bona fide third parties and to ensure due
process and a statement that the confiscation order is
final;
c) In the case of a request pertaining to paragraph 2 of this
article, a statement
of
the facts relied upon by the re
questing State Party and a description of the actions re
quested and, where available, a legally admissible copy
of
an order on which the request is based.
4. The decisions or actions provided for
in
paragraphs 1 and 2
of
this article shall e taken by the requested State Party
in
accordance with and subject to the provisions of its domestic
aw
and its procedural rules or any bilateral or multilateral
agreement or arrangement to which it may be bound in rela
tion to the requesting State Party.
5. Each State Party shall furnish copies of its laws and regula
tions that give effect to this article and of any subsequent
changes to such laws and regulations or a description thereof
to the Secretary-General of the United Nations.
113
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 127/187
6 f a State Party elects to make the taking of the measures
referred to in paragraphs 1 and 2 of this article conditional
on the existence of a relevant treaty that State Party shall
consider this Convention the necessary and sufficient treaty
basis.
7. Cooperation under this article may also be refused or provi-
sional measures lifted if the requested State Party does not
receive sufficient and timely evidence or if the property
is
of
a de minimis value.
8
Before lifting any provisional measure taken pursuant to this
article the requested State Party shall wherever possible
give the requesting State Party
an
opportunity to present its
reasons
in
favour of continuing the measure.
9
The provisions of this article shall not
be
construed as preju-
dicing the rights
of
bona fide third parties.
Article 6
Special cooperation
Without prejudice to its domestic law each State Party shall
endeavour to take measures to permit it to forward without preju-
dice to its own investigations prosecutions or judicial proceed-
ings information on proceeds of offences established
in
accor-
dance with this Convention to another State Party without prior
request when it considers that the disclosure
of such informa-
tion might assist the receiving State Party
in
initiating or carrying
out investigations prosecutions or judicial proceedings or might
lead to a request by that State Party under this chapter of the
Convention.
Article 7
Return and disposal o assets
1. Property confiscated by a State Party pursuant to article
31
or
55
of this Convention shall
be
disposed of including by
114
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 128/187
return to its prior legitimate owners, pursuant to paragraph 3
o this article, by that State Party in accordance with the pro-
v ~
ions
o
this Convention and its domestic law.
2. Each State Party shall adopt such legislative and other mea-
sures,
in
accordance with the fundamental principles
o
its
domestic
law
as may be necessary to enable its competent
authorities to return confiscated property, when acting on the
request made by another State Party, in accordance with this
Convention, taking into account the rights
o
bona fide third
parties.
3. In accordance with articles 46 and 55
o
this Convention and
paragraphs 1 and 2 o this article, the requested State Party
shall:
a) In the case
o
embezzlement
o
public funds or
o
laun-
dering
o
embezzled public funds as referred to in ar-
ticles
17
and 23
o
this Convention, when confiscation
was executed in accordance with article 55 and on the
basis o a final judgement in the requesting State Party,
a requirement that can be waived by the requested State
Party, return the confiscated property to the requesting
State Party;
b) In the case
o
proceeds
o
any other offence covered by
this Convention, when the confiscation was executed in
accordance with article
55
o
this Convention and on the
basis
o
a final judgement
in
the requesting State Party,
a requirement that can be waived by the requested State
Party, return the confiscated property to the requesting
State Party, when the requesting State Party reasonably
establishes its prior ownership
o
such confiscated prop-
erty to the requested State Party or when the requested
State Party recognizes damage to the requesting State
Party as a basis for returning the confiscated property;
115
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 129/187
c)
In
all other cases, give priority consideration to return
ing confiscated property to the requesting State Party,
returning such property to its prior legitimate owners or
compensating the victims of the crime.
4. Where appropriate, unless States Parties decide otherwise,
the requested State Party may deduct reasonable expenses
incurred
in
investigations, prosecutions or judicial proceed
ings leading to the return or disposition of confiscated prop
erty pursuant to this article.
5
Where appropriate, States Parties may also give special con
sideration to concluding agreements or mutually acceptable
arrangements, on a case-by-case basis, for the final disposal
of confiscated property.
Article 8
Financial intelligence unit
States Parties shall cooperate with one another for the pur
pose of preventing and combating the transfer of proceeds of
offences established
in
accordance with this Convention and o
promoting ways and means of recovering such proceeds and, to
that end, shall consider establishing a financial intelligence unit
to be responsible for receiving, analysing and disseminating to
the competent authorities reports of suspicious financial trans
actions.
Article 9
Bilateral
nd
multilateral agreements
nd
arrangements
States Parties shall consider concluding bilateral or multilat
eral agreements or arrangements to enhance the effectiveness
of international cooperation undertaken pursuant to this chapter
of the Convention.
116
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 130/187
Chapter VI
Technical assistance and information exchange
·
Article 6
Training
nd
technical assistance
1 Each State Party shall, to the extent necessary, initiate, de-
velop or improve specific training programmes for its per-
sonnel responsible for preventing and combating corruption.
Such training programmes could deal, inter alia, with the fol-
lowing areas:
a) Effective measures to prevent, detect , investigate, pun-
ish and control corruption, including the use of evidence-
gathering and investigative methods;
b) Building capacity in the development and planning o stra-
tegic anticorruption policy;
c) Training competent authorities in the preparation of re-
quests for mutual legal assistance that meet the require-
ments of this Convention;
d) Evaluation and strengthening of institutions, public ser-
vice management and the management of public finances,
including public procurement, and the private sector;
e) Preventing and combating the transfer of proceeds of
offences established
in
accordance with this Convention
and recovering such proceeds;
f) Detecting and freezing of the transfer of proceeds
o
of-
fences established in accordance with this Convention;
g) Surveillance of the movement of proceeds of offences
established in accordance with this Convention and of
the methods used to transfer, conceal or disguise such
proceeds;
117
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 131/187
h) Appropriate and efficient legal and administrative mecha-
nisms and methods for facilitating the return of proceeds
of offences established in accordance with this Conven-
tion;
i) Methods used in protecting victims and witnesses who
cooperate with judicial authorities; and
0 Training in national and international regulations and in
languages.
2. States Parties shall, according to their capacity, consider af-
fording one another the widest measure of technical assis-
tance, especially for the benefit of developing countries, in
their respective plans and programmes to combat corrup-
tion, including material support and training
in
the areas re-
ferred to in paragraph 1 of this article , and training and as-
sistance and the mutual exchange of relevant experience
and specialized knowledge, which will facilitate international
cooperation between States Parties in the areas of extradi-
tion and mutual legal assistance.
3. States Parties shall strengthen, to the extent necessary, ef-
forts to maximize operational and training activities in
inter-
national and regional organizations nd in the framework of
relevant bilateral and multilateral agreements or arrangements.
4. States Parties shall consider assisting one another, upon re-
quest,
in
conducting evaluations, studies
nd
research relat-
ing to the types, causes, effects and costs of corruption in
their respective countries, with a view to developing, with the
participation
o
competent authorities nd society, strategies
and action plans to combat corruption.
5. In order to facilitate the recovery of proceeds of offences
established in accordance with this Convention, States Par-
ties may cooperate in providing each other with the names
of experts who could assist in achieving that objective.
118
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 132/187
6. States Parties shall consider using subregional regional and
international conferences and seminars to promote coopera-
tion and technical assistance and to stimulate discussion on
problems
o
mutual concern including the special problems
and needs of developing countries and countries with econo-
mies in transition.
7 States Parties shall consider establishing voluntary mecha-
nisms with a view to contributing financially to the efforts o
developing countries and countries with economies in transi-
tion to apply this Convention through technical. assistance
programmes and projects.
8. Each State Party shall consider making voluntary contribu-
tions to the United Nations Office on Drugs and Crime for
the purpose of fostering through the Office programmes
and projects in developing countries with a view to imple-
menting this Convention.
Article
6
Collection exchange and analysis o information on corruption
1. Each State Party shall consider analysing in consultation
with experts trends in corruption in its territory as well as the
circumstances
in which corruption offences are committed.
2. States Parties shall consider developing and sharing with each
other and through international and regional organizations
statistics analytical expertise concerning corruption and in-
formation with a view to developing insofar as possible com-
mon definitions standards and methodologies as well as
information on best practices to prevent and combat corrup-
tion.
3 Each State Party shall consider monitoring its policies and
actual measures to combat corruption and making assess-
ments of their effectiveness and efficiency.
119
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 133/187
Article 6
Other measures: implementation
o
the Convention through
economic development and tech nidal assistance
1 States Parties shall take measures conducive to the optimal
implementation
o
this Convention to the extent possible,
through international cooperation, taking into account the
negative effects
o
corruption on society in general, in par-
ticular on sustainable development.
2
States Parties shall make concrete efforts to the extent pos-
sible and in coordination with each other, as well as with in-
ternational and regional organizations:
120
a)
To
enhance their cooperation at various levels with de-
veloping countries, with a view to strengthening the ca-
pacity
o
the latter to prevent and combat corruption;
b)
To
enhance financial and material assistance to support
the efforts o developing countries to prevent and fight
corruption effectively and to help them implement this
Convention successfully;
c)
To
provide technical assistance to developing countries
and countries with economies
in
transition to assist them
in
meeting their needs
or
the implementation o this
Convention. To that end, States Parties shall endeavour
to make adequate and regular voluntary contributions to
an account specifically designated or that purpose in a
United Nations funding mechanism. States Parties may
also give special consideration, in accordance with their
domestic law and the provisions
o
this Convention, to
contributing to that account a percentage
o
the money
or
o
the corresponding value
o
proceeds
o
crime
or
property confiscated in accordance with the provisions
o
this Convention;
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 134/187
(d) To encourage and persuade other States and financial
institutions as appropriate to join them in efforts in ac
cordance with this article, in particular by providing more
training programmes and modern equipment to devel
oping countries in order to assist them in achieving the
objectives of this Convention.
3. To the extent possible, these measures shall be without preju
dice to existing foreign assistance commitments or to other
financial cooperation arrangements at the bilateral, regional
or international level.
4. States Parties may conclude bilateral or multilateral agree
ments or arrangements on material and logistical assistance,
taking into consideration the financial arrangements neces
sary for the means of international cooperation provided for
by this Convention to be effective and for the prevention,
detection and control of corruption.
hapter VII
Mechanisms for implementation
Article 6
Conference o the States Parties to the Convention
1. A Conference of the States Parties to the Convention
is
hereby
established to improve the capacity of and cooperation be-
tween States Parties to achieve the objectives set forth in
this Convention and to promote and review its implementa
tion.
2. The Secretary-General of the United Nations shall convene
the Conference of the States Parties not later than one year
following the entry into force of this Convention. Thereafter,
2
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 135/187
regular meetings of the Conference of the States Parties shall
be
held in accordance with the rules o procedure adopted
by the Conference. ·
3. The Conference of the States Parties shall adopt rules of
procedure and rules governing the functioning of the activi
ties set forth
in
this article, including rules concerning the
admission and participation o observers , and the payment
of expenses incurred in carrying out those activities.
4. The Conference of the States Parties shall agree upon activi
ties, procedures and methods of work to achieve the objec
tives set forth
in
paragraph 1 of this article, including:
122
a) Facilitating activities by States Parties under articles 60
and 62 and chapters II to V of this Convention, including
by encouraging the mobilization of voluntary contribu
tions;
b)
Facilitating the exchange of information among States
Parties on patterns and trends
in
corruption and
on
suc
cessful practices for preventing and combating it and for
the return of proceeds of crime,through, inter alia , the
publication of relevant information
as
mentioned
in
this
article;
c) Cooperating with relevant international and regional or
ganizations and mechanisms and non-governmental or
ganizations;
d)
Making appropriate use of relevant information produced
by
other international and regional mechanisms for com
bating and preventing corruption
in
order to avoid un
necessary duplication o work;
e) Reviewing periodically the implementation of this Con
vention by its States Parties;
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 136/187
f) Making recommendations to improve this Convention and
its implementation; •
g) Taking note
o
the technical assistance requirements
o
States Parties with regard to the implementation
o
this
Convention and recommending any action it may deem
necessary in that respect.
5. For the purpose
o
paragraph 4
o
this article, the Confer
ence
o
the States Parties shall acquire the necessary knowl
edge
o
the measures taken by States Parties
n
implement
ing this Convention and the difficulties encountered by them
in doing so through information provided by them and through
such supplemental review mechanisms as may be estab
lished by the Conference
o
the States Parties.
6. Each State Party shall provide the Conference
o
the States
Parties with information on its programmes, plans and prac
tices, as well as on legislative and administrative measures
to implement this Convention, as required by theConference
o
the States Parties. The Conference
o
the States Parties
shall examine the most effective way
o
receiving and acting
upon information, including, inter alia, information received
from States Parties and from competent international orga
nizations. Inputs received from relevant non-governmental
organizations duly accredited
n
accordance with procedures
to be decided upon by the Conference
o
the States Parties
may also be considered.
7. Pursuant to paragraphs 4 to 6
o
this article, the Conference
o
the States Parties shall establish, if it deems it necessary,
any appropriate mechanism or body to assist in the effective
implementation
o
the Convention .
123
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 137/187
Article 6
Secretariat
1. The Secretary-General
of
the United Nations shall provide
the necessarysecretariat services to the Conference
of
the
States Parties to the Convention.
2. The secretariat shall:
a) Assist the Conference
of
the States Parties
in
carrying
out the activities set forth
in
article 63 of this Convention
and make arrangements and provide the necessary ser
vices for the sessions
of
the Conference
of
the States
Parties;
b) Upon request, assist States Parties in
providing infor
mation to the Conference
of
the States Parties as envis
aged
in
article 63 paragraphs 5 and 6 of this Conven
tion; and
c) Ensure the necessary coordination with the secretariats
of
relevant international and regional organizations.
hapter
VIII
Final provisions
Article 65
Implementation
o
the Convention
1. Each State Party shall take the necessary measures, includ
ing legislative and administrative measures, in accordance
with fundamental principles of its domestic
law
to ensure the
implementation of its obligations under this Convention.
2. Each State Party may adopt more strict or severe measures
than those provided for by this Convention for preventing
and combating corruption.
24
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 138/187
Article 66
Settlement
~
disputes
I
States Parties shall endeavour to settle disputes concerning
the interpretation or application of this Convention through
negotiation.
2. Any dispute between two or more States Parties concerning
the interpretation or application of this Convention that can
not be settled through negotiation within a reasonable time
shall at the request of one of those States Parties be sub
mitted to arbitration. If six months after the date
o
the re
quest for arbitration those States Parties are unable to agree
on the organization of the arbitration any one
o
those States
Parties may refer the dispute to the International Court o
Justice by request in accordance with the Statute of the Court.
3. Each State Party may at the time of signature ratification
acceptance or approval
o
or accession to this Convention
declare that it does not consider itself bound by paragraph 2
o this article. The other States Parties shall not be bound by
paragraph 2 o this article with respect to any State Party
that has made such a reservation .
4. Any State Party that has made a reservation in accordance
with paragraph 3 of this article may at any time withdraw that
reservation by notification to the Secretary-General o the
United Nations.
Article
7
Signature ratification acceptance approval
and
accession
1. This Convention shall
be
open to all States for signature from
9 to December 2003 in Merida Mexico and thereafter at
United Nations Headquarters
in
New York until 9 December
2005.
125
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 139/187
2. This Convention shall also
be
open for signature by regional
economic integration organizations provided that at least one
member State o such organization has signed this Conven
tion
in
accordance with paragraph 1
o
this article.
3. This Convention
is
subject to ratification acceptance or ap
proval. Instruments of ratification acceptance or approval
shall be deposited with the Secretary-General of the United
Nations. A regional economic integration organization may
deposit its instrument o ratification acceptance or approval
i at least one o its member States has done likewise. In that
in
strument
o
ratification acceptance or approval such or
ganization shall declare the extent o its competence with
respect to the matters governed by this Convention. Such
organization shall also inform the depositary o any relevant
modification
in
the extent o its competence.
4. This Convention
is
open for accession
by
any State or any
regional economic integration organization o which at least
one member State
is
a Party to this Convention. Instruments
o accession shall
be
deposited with the Secretary-General
o
the United Nations.At the time of its accession a regional
economic integration organization shall declare the extent
o
its competence with respect to matters governed by this
Convention . Such organization shall also inform the deposi
tary o any relevant modification
in
the extent of its compe
tence.
Article 8
Entry into force
1
This Convention shall enter into force on the ninetieth day
after the date of deposit of the thirtieth instrument of ratifica
tion acceptance approval or accession. For the purpose o
this paragraph any instrument deposited by a regional eco-
126
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 140/187
nomic integration organization shall not be counted as addi
tional to those deposited by member States
o
s4ch organi
zation.
2 For each State or regional economic integration organiza
tion ratifying accepting approving or acceding to this Con
vention after the deposit o the thirtieth instrument o such
action this Convention shall enter into force on the thirtieth
day after the date
o
deposit by such State or organization
o
the relevant instrument or on the date this Conventionenters
into force pursuant to paragraph 1
o
this article whichever
is later.
Article 9
Amendment
1. After the expiry of five years from the entry into force o this
Convention a State Party may propose
an
amendment and
transmit it to the Secretary-General
o
the United Nations
who shall thereupon communicate the proposed amendment
to the States Parties and to the Conference
o
the States
Parties to the Convention for the purpose of considering and
deciding
on
the proposal. The Conference
o
the States Par
ties shall make every effort to achieve consensus on each
amendment. If all efforts at consensus have been exhausted
and no agreement has been reached the amendment shall
as a last resort require for its adoption a two-thirds majority
vote o
the States Parties present and voting at the meeting
o
the Conference
o
the States Parties.
2. Regional economic integration organizations in matters within
their competence shall exercise their right to vote under this
article with a number
o
votes equal to the number
o
their
member States that are Parties to this Convention. Such or
ganizations shall not exercise their right to vote if their mem
ber States exercise theirs and vice versa .
27
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 141/187
3. An amendment adopted in accordance with paragraph 1 o
this article is subject to ratification acceptance or approval
by States Parties.
4. An amendment adopted
in
accordance with paragraph 1 o
this article shall enter into force
in
respect of a State Party
ninety days after the date of the deposit with the Secretary
General of the United Nations of an instrument of ratifica
tion acceptance or approval of such amendment
5. When an amendment enters into force
it
shall
be
binding
on those States Parties which have expressed their consent
to
be
bound by it Other States Parties shall still
be
bound by
the provisions of this Convention and any earlier amendments
that they have ratified accepted or approved.
Article 7
Denunciation
1. A State Party may denounce this Convention
by
written noti
fication to the Secretary-General of the United Nations. Such
denunciation shall become effective one year after the date
o receipt of the notification by the Secretary-General.
2 A regional economic integration organization shall cease to
be a Party to this Convention when all of its member States
have denounced
it
Article 7
Depositary and languages
1. The Secretary-General of the United Nations is designated
depositary of this Convention.
2
The original of this Convention
o
which the Arabic Chinese
English French Russian and Spanish texts are equally au-
128
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 142/187
thentic, shall be deposited with the Secretary-General
o
the
United Nations.
IN WITNESS WHEREOF, the undersigned plenipoten
tiaries, being duly authorized thereto by their respective Gov
ernments, have signed this Convention.
Diambil dari http ://www.unodc.org/pdf/crime/
convention_corruption/signing/convention-e. pdf
tanggal 22 Desember 2005
129
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 143/187
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1999
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK
INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN
TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA
TREATY BETWEEN THE REPUBLIC O INDONESIA AND
AUSTRALIA
ON
MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL
MATTERS)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa pembangunan hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang asar 1945 harus dapat
mendukung dan menjamin kepastian ketertiban dan perlin
dungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran;
b bahwa hubungan luar negeri yang dilandasi politik bebas dan
aktif
ditujukan untuk
kepentingan
nasional
yang
dikembangkan dengan
meningkatkan
persahabatan dan
kerjasama baik bilateral maupun multilateral untuk me-
wujudkan tatanan dunia baru berdasarkan kemerdekaan
perdamaian abadi dan keadilan sosial ;
c bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya di bidang transportasi komunikasi dan informasi
selain mempunyai dampak positif bagi kehidupan manusia
juga dapat membawa dampak negatif yakni timbulnya tindak
pidana yang tidak lagi mengenal batas yuridiksi suatu negara
sehingga penanggulangan dan pemberantasannya diperlukan
kerjasama antar negara;
130
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 144/187
d. bahwa kerjasama antara Republik Indonesia dan Australia
di bidang pidana telah berjalan dengan baik yang dimulai
dengan
adanya Perjanjian Ekstradiksi
Undang-undang
Nomor
8 Tahun 1994) dan untuk lebih meningkatkan kerja
sama tersebut, maka pada tanggal27 Oktober 1995 di Jakarta
telah ditandatangani Perjanjian Antara Republik Indonesia
dan Australia Mengenai Bantu an Timbal Balik dalam Masalah
Pidana Treaty between the Republic
of
Indonesia and Aus
tralia on Mutual Assistance in Criminal Matters);
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, b, c, dan d dipandang perlu mengesahkan
Perjanjian Kerjasama Antara Republik Indonesia dan Aus
tralia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
Treaty between the Republic of Indonesia and Australia on
Mutual Assistance in Criminal Matters)
dengan
Undang
undang.
Mengingat : Pasal 5 ayat 1), Pasal , Pasal
20
ayat 1)
Undang-Undang Dasar 1945.
Oengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN
PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA
DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL
BALIK DALAM MASALAH PIDANA TREATY
BE
TWEEN THE REPUBLIC
OF
INDONESIA
ND
AUSTRALIA
ON
MUTUAL ASSISTANCE
IN
CRIMINAL MATTERS).
3
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 145/187
Pasal1
Mengesahkan Perjanjian Kerjasama Antara Rep'ublik Indonesia
dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah
Pidana
Treaty between the Republic
of
Indonesia and Australia
on
Mutual Assistance
in
Criminal Matters
yang
telah
ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta yang
salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia dan bahasa
lnggeris sebagaimana terlampir dan merupakan bag i n yang tidak
terpisahkan dari Undang-undang ini.
Pasal
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
132
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1999
MENTER NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
AKBAR TANJUNG
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 146/187
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESiA
TAHUN
1999 NOMOR
19
Salinan S suai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET
Rl
Kepala Biro Peraturan
Perundang undangan I
ttd.
Lambock V Nahattands
33
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 147/187
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1999
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA
REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI
BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA
TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA ND
AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN
CRIMINAL MATTERS)
I
UMUM
Pembangunan Hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan pad a terwujudnya Sistem
Hukum Nasional yang dilakukan dengan pembentukan hukum
baru khususnya produk hukum yang dibutuhkan
untuk
mendukung
tugas umum
pemerintahan
dan pembangunan
nasional. Produk hukum nasional menjamin kepastian ketertiban
penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan
dan kebenaran diharapkan
mampu mengamankan dan
mendukung penyelenggaraan politik luar negeri yang bebas dan
aktif untuk mewujudkan tatanan dunia baru berdasarkan
kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia dewasa ini telah
menyebabkan wilayah negara yang satu dengan lainnya hampir
34
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 148/187
tanpa ~ t s Keadaan ini di samping mempunyai dampak positif
juga m ~ m b w dampak negatif bagi kehidupan manusia. Salah
I
satu dampak negatifnya adalah semakin meningkatnya tindak
pidana yang tidak hanya berskala nasional tetapi juga trans
nasional serta global dengan modus operandi semakin canggih
sehingga dalam upaya penanggulangan dan pemberantasannya
perlu ditingkatkan kerjasama antar negara.
Menyadari kenyataan ini Pemerintah Republik Indonesia dan
Australia mengadakan perjanjian bantuan timbal balik dalam
masalah pidana yang telah ditandatangani pada tanggal 27
Oktober 1995 di Jakarta . Perjanjian tersebut bertujuan untuk
meningkatkan kerjasama yang efektif dalam rangka penegakan
hukum dan pelaksanaan peradilan antara kedua negara yang
meliputi:
a. pengambilan alat bukti/barang bukti dan untuk mendapatkan
pernyataan dari orang termasuk pelaksanaan surat rogatoir;
b. pemberian dokumen dan catatan lain ;
c. lokasi dan identifikasi dari orang ;
d. pelaksanaan permintaan untuk pencarian dan penyitaan;
e. u p a ~ a u p a y a untuk mencari menahan dan menyita hasil
kejahatan;
f. mengusahakan persetujuan dari orang-orang yang bersedia
memberikan kesaksian atau membantu penyidikan
di
Negara
Peminta dan jika orang itu berada dalam tahanan mengatur
pemindahan sementara
ke
Negara tersebut;
g. penyampaian dokumen; dan
h. bantuan lain yang sesuai dengan tujuan Perjanjian ini yang
tidak bertentangan dengan hukum Negara Diminta.
Untuk meningkatkan efektifitas kerjasama dalam penanggulangan
tindak pidana terutama yang bersifat transnasional maka pe
laksanaan prinsip-prinsip umum hukum internasional
y ng
menitik-
135
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 149/187
beratkan pada asas penghormatan kedaulatan hukum dan
kedaulatan negara harus mengacu pada asas tindak pidana ganda
double criminality). ·
Beberapa bagian penting dalam Perjanjian antara Republik In
donesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam
Masalah Pidana adalah :
1. Penolakan pemberian bantuan Pasal4)
Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
mengatur hak negara-negara pihak terutama Negara Diminta
untuk menolak permintaan bantuan. Hak Negara Diminta
untuk memberikan bantuan dapat bersifat mutlak dalam arti
harus menolak atau tidak mutlak dalam arti dapat menolak.
Hak negara untuk menolak yang bersifat mutlak dilandaskan
kepada prinsip-prinsip umum hukum internasional yang dalam
suatu perjanjian internasional yang berkaitan dengan proses
peradilan
pidana
antara lain yang berkaitan dengan
penuntutan atau pemidanaan tindak pidana yang berlatar
belakang politik, tindak pidana militer, penuntutan yang telah
kedaluarsa, dan ne bis in idem.
Hak Negara Diminta untuk menolak permintaan bantu n yang
bersifat tidak mutlak berlandaskan prinsip resiprositas. Prinsip
ini terutama sangat menentukan dalam menghadapi tindak
pidana yang disebut tindak pidana yang dilakukan di luar
wilayah Negara Peminta extraterritorial crime) dan tidak diatur
menu rut hukum Negara Diminta atau terhadap tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati.
2. Perlindungan terhadap
kerahasiaan
dan pembatasan
penggunaan alat-alat bukti dan barang bukti serta informasi
Pasal 8)
36
Dalam pelaksanaan perjanjian ini, permintaan bantuan harus
dijamin kerahasiaannya, baik oleh Negara Diminta maupun
Negara Peminta.
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 150/187
3. Menghadirkan tahanan, narapidana, atau orang lain untuk
memberikan kesaksian atau membantu penyidikan pasal12
dan Pasal 13)
Dalam hal adanya persetujuan dari tahanan, narapidana, atau
orang lain, maka tahanan, narapidana, atau orang lain
tersebut apabila diminta oleh Negara Peminta, dapat
dipindahkan sementara atau dihadirkan ke Negara Peminta
untuk membantu penyidikan dan memberikan kesaksian serta
harus dikembalikan pada saat selesai pelaksanaannya.
4. Jaminan perlindungan keselamatan Pasal 14)
Saksi atau ahli yang telah menyatakan persetujuan untuk
memberikan kesaksian harus mendapat jaminan perlindungan
keselamatan yang berupa
jaminan
untuk tidak ditahan,
dituntut, atau dipidana
di
Negara Peminta, atas tindak pidana
yang terjadi sebelum saksi atau ahli itu meninggalkan Negara
Diminta, apabila saksi atau ahli tersebut diminta dihadirkan
di Negara Peminta, kecuali saksi atau ahli tersebut melakukan
tindak pidana pada waktu memberikan kesaksian berupa
sumpah palsu, pernyataan palsu, atau penghinaan peradilan
contempt of court) .
5 Berlaku dan berakhirnya perjanjian Pasal 22)
a
Perjanjian mulai berlaku 30 tiga puluh) hari sesudah
masing-masing pihak memberitahukan secara tertulis
kepada pihak lainnya bahwa persyaratan masing-masing
pihak untuk berlakunya perjanjian terpenuhi.
b. Perjanjian berlaku juga bagi permintaan bantuan terhadap
perbuatan atau omisi yang relevan yang terjadi , baik
sebelum maupun sesudah berlakunya perjanjian .
c
Masing-masing pihak dapat mengakhiri perjanjian setiap
saat melalui pemberitahuan tertulis dan perjanjian berakhir
pada hari
ke
180 seratus delapan puluh) setelah tang gal
pemberitahuan disampaikan.
137
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 151/187
II P S L DEMI P S L
Pasal1
Cukup jelas
Pasal
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR3807
138
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 152/187
PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA
DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK
DALAM MASALAH PIDANA
TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND
AUSTRALIA O MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL
MATTERS)
PERJANJIAN ANTARA
REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA
MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH
PI
DANA
Republik Indonesia dan Australia
BERH SR T
untuk saling
mengadakan
kerjasama seluas-
luasnya dalam menanggulangi kejahatan.
TELAH MENYETUJUI hal hal sebagai berikut:
Pasal1
RUANG LINGKUP PENERAPAN PERJANJIAN
1. Kedua Pihak saling memberikan bantuan dalam penyidikan
atau
proses
acara yang
menyangkut masalah pidana
berdasarkan Perjanjian ini.
2. Masalah pidana ini meliputi hal hal yang berkaitan dengan
kejahatan yang tercantum dalam daftar seperti terlampir pada
Perjanjian ini.
3. Bantuan dapatjuga diberikan atas kebijaksanaan dari Negara
Diminta untuk
perbuatan
lain atau
suatu
omisi
yang
merupakan suatu kejahatan jika kejahatan
itu
menu rut hukum
139
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 153/187
4.
5
140
Kedua Selah Pihak,
adalah
kejahatan yang untuk penyi
dikannya dapat diberikan
bantuan
.
Bantuan semacam itu terdiri atas :
a)
pengambilan alat bukti/barang
bukti
dan
untuk
mendapatkan pernyataan dari orang
termasuk
pelaksanaan surat rogatoir;
b
pemberian
dokumen dan
catatan lain ;
c)
lokasi dan identifikasi dari orang ;
d) pelaksanaan permintaan untuk pencarian dan penyitaan;
e)
upaya-upaya untuk mencari , menahan dan menyita hasil
kejahatan ;
f)
mengusahakan
persetujuan dari orang-orang yang
bersed ia
memberikan
kesaksian atau membantu
penyidikan di Negara Peminta, dan jika orang itu berada
dalam tahanan ,
mengatur
pemindahan sementara ke
Negara tersebut;
g)
penyampaian
dokumen
; dan
h)
bantuan lain yang sesuai dengan tujuan Perjanjian ini
yang tidak bertentangan dengan hukum Negara Diminta.
Bantuan tidak meliputi :
a) ekstradisi seseorang;
b) pelaksanaan di Negara Diminta mengenai putusan pidana
yang dijatuhkan di Negara Peminta, kecuali dalam batas
yang diperbolehkan oleh hukum Negara Diminta dan oleh
Perjanjian ini; dan
c) pemindahan orang dalam penjara untuk menjalani pidana.
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 154/187
Pasal2
• BANTUAN LAIN
Perjanjian ini tidak menghapuskan kewajiban yang ada diantara
Kedua Pihak., baik itu berdasarkan persetujuan atau pengaturan
lain maupun cara lain, serta tidak menghalangi Kedua pihak untuk
saling memberikan bantuan baik itu berdasarkan persetujuan atau
pengaturan lain maupun cara lain.
Pasal3
KANTOR PUSAT
1
Kedua Pihak menunjuk Kantor Pusat untuk mengirim dan
menerima permintaan dalam rangka Perjanjian ini. Kantor
Pus at untuk Australia adalah Departemen Kejaksaan Agung
di Canberra dan Kantor Pusat untuk Republik Indonesia
adalah Departemen Kehakiman di Jakarta. Kedua pihak saling
memberitahukan jika ada perubahan Kantor Pusat masing-
masing.
2. Permintaan bantuan diajukan melalui Kantor Pusat yang akan
mengatur pelaksanaan permintaan itu dengan segera.
Pasa14
PENOLAKAN BANTUAN
1
Bantuan harus di tolak jika :
a) permintaan itu
berkaitan dengan
penuntutan atau
pemidanaan terhadap seseorang atas kejahatan yang
dianggap oleh Negara Diminta sebagai :
i) kejahatan yang bersifat politik kecuali pembunuhan
atau percobaan pembunuhan terhadap Kepala
Negara Kepala Pemerintahan
atau
anggota
keluarganya, atau
141
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 155/187
ii) kejahatan berdasarkan hukum militer dari Negara
Diminta yang bukan. merupakan kejahatan yang
termasuk dalam hukum pidana umum
di
Negara
Diminta.
b) permintaan itu berkaitan dengan penuntutan terhadap
seseor ng atas kej h t n yang
pel kuny tel h
dibebaskan atau diberi grasi atau telah selesai menjalani
pidana yang dijatuhkan;
c) permintaan itu berkaitan dengan
penuntut n
atau
pemidanaan terhadap seseorang atas suatu kejahatan
yang jika dilakukan di Negara Diminta tidak dapat dituntut
lagi karena alasan kadaluarsa, matinya tersangka, ne
bis in edem, atau tidak dapat dituntut lagi karena alasan
lain apapun;
d) Terdapat alasan kuat untuk menduga bahwa permintaan
bantuan itu dilakukan dalam rangka semata-mata untuk
menuntut atau memidana seseorang karena alasan suku,
jenis kelamin, agama, kewarganegaraan atau pandangan
politik atau bahwa posisi orang yang bersangkutan
mungkin dirugikan karena hal-hal tersebut; atau
e) Negara Diminta berpendapat bahwa permintaan itu, jika
dikabulkan, akan merugikan kedaulatan, keamanan,
kepentingan nasional atau kepentingan utama lainnya.
2. Bantuan dapat ditolak jika :
42
a) permintaan itu berkaitan dengan penuntutan atau pemi
danaan terhadap seseorang atas kejahatan dalam hal
perbuatan atau omisi yang disangkakan sebagai ke
jahatan itu, jika terjadi dalam yurisdiksi Negara Diminta,
tidak merupakan kejahatan;
b) permintaan itu berkaitan dengan penuntutan atau
pemidanaan terhadap seseorang atas kejahatan yang
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 156/187
dilakukannya di luar wilayah Negara Peminta, sedangkan
hukum
Negara Diminta tidak me lgatur pemidanaan
terhadap kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya di
dalam situasi yang sama;
c) pemberian bantuan itu akan merugikan penyidikan atau
proses
acara
di Negara
Diminta
membahayakan
keselamatan seseorang atau menimbulkan beban berat
terhadap kekayaan negara itu; atau
d) permintaan itu berkaitan dengan penuntutan atau
pemidanaan terhadap seseorang atas kejahatan yang
terhadapnya pidana mati dapat dijatuhkan atau
dilaksanakan.
3. Sebelum menolak untuk mengabulkan permintaan bantuan,
negara Diminta harus mempertimbangkan apakah bantuan
dapat diberikan berdasarkan syarat-syarat yang dianggapnya
perlu. Jika negara Peminta menerima bantuan dengan syarat
syarat itu, maka Negara Peminta wajib menaati syarat-syarat
tersebut
Pasal5
lSI PERMINTAAN
1 Permintaan bantuan harus memuat :
a) maksud permintaan dan uraian mengenai bantuan yang
diminta;
b) nama instansi yang berwenang melakukan penyidikan
atau proses acara yang berkaitan dengan permintaan
itu;
c) uraian mengenai sifat dari masalah pidana termasuk isi
dari undang-undang dan peraturan perundang-undangan
yang relevan;
143
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 157/187
d) kecuali dalam hal permintaan penyampaian dokumen,
uraian mengenai perbuatan atau omisi atau keadaan yang
disangkakan sebagai kejahatan;
e) putusan pengadilan, jika ada, yang diminta untuk
dilaksanakan dan suatu pernyataan bahwa putusan itu
telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
f) rincian mengenai prosedur khusus atau syarat-syarat
yang dikehendaki oleh Negara Peminta untuk dipenuh i
termasuk pernyataan apakah bukti atau pernyataan
pernyataan yang diperlukan dibuat dibawah sumpah atau
janji;
g) persyaratan, jika ada, mengenai kerahasiaan dan alasan
untuk itu; dan
h) spesifikasi mengenai batas waktu yang diinginkan untuk
melaksanakan permintaan.
2. Permintaan bantuan, sejauh
itu
perlu dan dimungkinkan, harus
memuat
juga
a) identitas, kewarganegaraan dan lokasi dari orang atau
orang yang menjadi subyek atau orang yang mungkin
memiliki informasi berkaitan dengan penyidikan atau
proses acara;
b) uraian dari informasi, pernyataan atau bukti yang diminta;
c) uraian dari dokumen, catatan atau barang bukti yang
harus diajukan demikian juga ura ian mengenai orang yang
tepat untuk diminta memberikan keterangan tersebut; dan
d) informasi mengenai tunjangan dan biaya yang menjadi
hak dari orang yang akan hadir
di
Negara Peminta.
3.
Permintaan, dokumen penunjang dan komunikasi lainnya
yang dibuat berdasarkan Perjanjian ini harus dalam bahasa
Negara Peminta dan disertai dengan terjemahan dalam
bahasa Negara Diminta.
44
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 158/187
4 Jika Negara Diminta menganggap bahwa informasi yang
terdapat dalam permintaan terse but berdasarl<an Perjanjiafl
ini tidak cukup untuk memenuhi permintaan bantuan, Negara
Diminta dapat meminta informasi tambahan.
Pasal6
PELAKSANAAN PERMINTAAN BANTUAN
1. Permintaan bantuan harus dilaksanakan menurut hukum
Negara Diminta, dan sejauh
hal itu
tidak bertentangan dengan
hukum negara tersebut, dilaksanakan dengan cara yang
dikehendaki oleh negara Peminta.
2. Negara Diminta dapat menangguhkan penyerahan barang
yang diminta jika barang itu diperlukan untuk proses acara
pidana atau perdata di Negara tersebut. Atas permintaan,
maka Negara Diminta harus memberikan salinan resmi
dokumen.
3
Negara Diminta harus memberitahukan dengan segera
kepada Negara Peminta mengenai keadaan-keadaan yang
pad a
sa
at hal itu diketahui oleh Negara Diminta, dapat .
menimbulk n
kel mb t n yang .cukup
ber rti
dalam
menjawab permintaan tersebut.
4
Negara Diminta harus memberitahukan dengan segera
kepada Negara Peminta mengenai keputusannya untuk tidak
memenuhi seluruh atau sebagian dari permintaan bantuan,
dan alasan dari keputusan tersebut.
Pasal7
PENGEMBALIAN BARANG KE NEGARA DIMINTA
Apabila diminta oleh Negara Diminta. Negara Peminta harus
mengembalikan barang yang diberikan berdasarkan Perjanjian
ini
, jika barang itu tidak dibutuhkan lagi untuk penyidikan atau
proses acara yang relevan .
145
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 159/187
Pasal
MELII JDUNGI KERAHASIAAN DAN
MEMBATASI PENGGUNAAN ALAT BUKTI DAN BARANG
BUKTI SERTA INFORMASI
1. Negara Diminta, jika diminta, harus merahasiakan adanya
permintaan bantuan, isi permintaan serta dokumen penun
jangnya, dan adanya pemberian bantuan tersebut. Jika
permintaan tidak dapat dilaksanakan tanpa melanggar keraha
siaan, Negara Diminta akan memberitahukan kepada Negara
Pecinta yang akan memutuskan apakah permintaan itu harus
tetap diajukan meskipun melanggar kerahasiaan .
2. Negara Peminta , jika diminta, harus merahasiakan informasi
dan alat bukti serta barang bukti yang diberikan oleh Negara
Diminta , kecuali jika alat bukti dan barang bukti serta informasi
tersebut diperlukan untuk penyidikan dan proses acara
sebagaimana diuraikan dalam permintaan.
3. Negara Peminta tidak akan menggunakan informasi atau alat
bukti dan barang bukti yang didapatnya , atau segala sesuatu
yang berasal dari itu, untuk tujuan-tujuan lain dari pada yang
dinyatakan di
dalam
permintaan , tanpa persetujuan
sebelumnya dari Negara Diminta.
Pasal9
PENYAMPAIAN DOKUMEN
1.
Negara
Diminta harus menyampaikan dokumen yang
dikirimkan kepadanya oleh Negara Peminta , untuk tujuan
penyampaian dokumen ini Negara Peminta.
2. Permintaan penyampaian dokumen yang memuat panggilan
kehadiran seseorang harus diajukan kepada Negara Diminta
sekurang-kurangnya m pat puluh lima hari sebelum tanggal
kehadirannya diperlukan. dalam keadaan mendesak, Negara
Diminta dapat mengesampingkan syarat ini.
46
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 160/187
3. Negara Diminta dapat menyainpaikan dokumen m ~ l a l u i pos
atau,jika Negara Peminta.memintanya, dengan cara lain yang
ditentukan oleh hukum Negara Peminta sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum Negara Diminta.
4 Negara Diminta harus rnenyampaikan ke Negara Peminta
bukti penyampaian dokumen. Jika penyampaian dokumen
tidak dapat dilakukan. Negara Peminta akan diberitahu
mengenai hal itu disertai alasannya.
Pasal10
PENGAMBILAN ALAT DAN BARANG BUKTI
1
Dalam hal permintaan diajukan untuk keperluan proses acara
yang berkaitan dengan masalah pidana di Negara Peminta,
Negara Diminta, atas permintaan
harus
mengambil
keterangan saksi untuk dikirim ke Negara Peminta.
2. Untuk keperluan Perjanjian ini pemberian atau pengambilan
alat bukti dan barang bukti harus meliputi pengadaan
dokumen, catatan atau barang-barang lainnya.
3. Untuk keperluan permintaan menurut Pasal ini Negara
Peminta harus merinci
h a l h ~ l
pokok mengenai siapa yang
harus diperiksa termasuk pertanyaan yang perlu diajukan.
4. Pihak-Pihak yang ada hubungannya dengan proses acara
di Negara Peminta, penasehat hukum dan wakil Negara
Peminta, dengan mengikuti ketentuan hukum Negara Diminta,
dapat hadir dan menanyai orang yang diperiksa .
5. Seseorang yang diminta untuk memberikan kesaksian di
Negara Diminta menurut Pasal
ini
dapat menolak memberikan
kesaksian dalam hal :
(a) hukum Negara Diminta membolehkan saksi itu menolak
memberikan kesaksian dalam keadaan yang sama dalam
proses acara yang berasal dari diminta; maupun
47
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 161/187
b) hukum Negara Peminta membolehkan saksi itu menolak
memberikan kesaksian dalam proses acara yang sama
di Negara Peminta .
6. Jika seseorang menyatakan bahwa terdapat hak untuk
menolak memberikan kesaksian menurut hukum Negara
Peminta , maka Kantor Pusat Negara tersebut , atas
permintaan, harus memberikan surat keterangan ke Kantor
Pusat Negara Diminta mengenai adanya hak itu. Jika tidak
ada bukti sebaliknya, surat keterangan itu merupakan bukti
yang cukup mengenai adanya hak tersebut.
Pasal11
MEMPEROLEH PERNYATAAN DARI ORANG
1. Negara Diminta atas permintaan , harus
berusaha
memperoleh pernyataan dari orang
untuk
keperluan
penyidikan atau proses acara yang berkaitan dengan masalah
pidana di Negara Peminta .
2. Untuk keperluan permintaan menurut Pasal ini Negara
Peminta harus merinci hal-hal pokok mengenai pernyataan
yang diperlukan dari orang termasuk pertanyaan yang akan
diajukan kepada orang tersebut.
Pasal 12
MENGHADIRKAN TAHANAN/NARAPIDANA UNTUK
MEMBERIKAN KESAKSIAN ATAU MEMBANTU PENYIDIKAN
1 Seseorang tahanan/narapidana di Negara Diminta, jika diminta
oleh Negara Peminta, dapat dipindahkan sementara ke
Negara Peminta untuk membantu penyidikan atau untuk
memberikan kesaksian.
2. Negara Diminta tidak boleh memindahkan tahanan/
narapidana
ke
Negara Peminta kecuali orang itu menyetujui
pemindahan tersebut.
48
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 162/187
3. Selama orang yang dipindahkan itu perlu tetap berada dalam
tahanan/penjara menurut hukum Negara Oiminta, Negara
Peminta harus menempatkan orang
itu
dalam tahanan/penjara
dan harus mengembalikan orang itu ke Negara Diminta pada
saat selesainya urusan yang berkaitan dengan pemindahan
yang diminta berdasarkan ayat 1) Pasal ini atau pada waktu
yang lebih awal apabila kehadiran orang itu tidak diperlukan
lag i
4. egara
Peminta
dapat meminta
perpanjangan
waktu
sebagaimana ditentukan dalam ayat 3) Pasal ini apabila
Negara Peminta masih memerlukan kehadiran orang tersebut,
j ika orang itu menyetujuinya.
5 Apabila Negara Diminta menyatakan kepada Negara Peminta
bahwa orang yang dipindahkan itu tidak perlu lagi ditahan
dalam tahanan atau penjara, orang itu harus dibebaskan dan
diperlakukan sebagai orang yang dimaksud dalam Pasal13.
Pasal 13
MENGHADIRKAN ORANG LAIN UNTUK MEMBERIKAN
KESAKSIAN ATAU UNTUK MEMBANTU PENYIDIKAN
1. Negara Peminta dapat meminta bantuan Negara Diminta
memperoleh persetujuan seseorang untuk :
a) hadir sebagai saksi dalam proses acara yang berkaitan
dengan masalah pidana di Negara Peminta kecuali or-
ang itu adalah orang yang didakwa; atau
b) membantu penyidikan yang berkaitan dengan masalah
pidana
di
Negara Peminta.
2. Jika Negara Diminta dapat menerima bahwa pengaturan yang
memuaskan akan dilakukan oleh Negara Peminta untuk
menjamin
keamanan orang itu , Negara Diminta harus
meminta persetujuan dari orang tersebut untuk hadir sebagai
saksi dalam proses acara atau untuk membantu penyidikan.
49
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 163/187
Pasal 14
TINDAKAN JAMINAN KESELAMATAN
1
Dengan memperhatikan ayat 2), apabila seseorang berada
di Negara Peminta berdasarkan permintaan yang diajukan
menurut Pasal 12 atau 13 :
a) orang tersebut tidak akan ditahan, dituntut atau dihukum
di
Negara Peminta, untuk pelanggaran apapun, atau tidak
menjadi pihak dalam perkara perdata apapun, menjadi
tergugat yang tidak dapat dikenakan padanya jika ia tidak
berada di Negara Peminta, berkenaan dengan perbuatan
atau omisi apapun yang dilakukannya sebelum orang itu
meninggalkan Negara Diminta ;
b) orang itu tidak boleh, tanpa persetujuannya, diminta untuk
memberikan kesaksian dalam suatu proses acara atau
membantu suatu penyidikan selain daripada proses acara
atau penyidikan yang berkaitan dengan permintaan itu;
dan
c) apabila orang yang diminta adalah warganegara dari
Negara
ketiga
maka Negara
Peminta
akan
memberitahukan Kantor Perwakilan Negara tersebut
mengenai masalah itu melalui saluran diplomatik.
2
Ayat 1) Pasal ini tidak berlaku lagi jika orang itu, setelah
bebas untuk pergi, tidak meninggalkan Negara Peminta dalam
jangka waktu tiga puluh hari setelah orang itu secara resmi
diberitahu bahwa kehadirannya tidak diperlukan lagi atau,
setelah meninggalkan negara itu, ternyata kembali lag
i
3
Seseorang yang tampil di Negara Peminta berdasarkan
permintaan yang diajukan menurut Pasal
12
atau
13
harus
tunduk
pada
hukum
yang berlaku di Negara Peminta
mengenai penghinaan terhadap peradilan, sumpah palsu dan
membuat pernyataan palsu.
150
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 164/187
4. eseorang yang tidak memberikan persetujuan atas
permintaan yang dimaksud dalam Pasal 12 atau 13 tidak
akan, karena alasan itu dianc;am dengan suatu pidana atau
dikenakan upaya paksa apapun, meskipun ada pernyataan
yang bertentangan didalam permintaan bantuan itu atau dalam
dokumen apapun yang menyertainya.
Pasal 15
PENYEDIAAN DOKUMEN UNTUK UMUM DAN DOKUMEN
RESMI
1 Jika diminta, Negara Diminta harus memberikan salinan dari
dokumen dan catatan yang dapat diperoleh secara bebas
oleh umum.
2. Jika diminta, Negara Diminta boleh memberikan salinan dari
dokumen dan catatan yang merupakan bagian dari daftar
umum atau daftar lain yang tidak dapat diperoleh secara bebas
oleh umum.
3. Jika diminta, Negara Diminta dapat memberikan salinan dari
dokumen atau catatan resmi sesuai dengan cara yang sam a,
dan dengan syarat-syarat yang sam a seperti kalau dokumen
atau catatan tersebut dapat diberikan kepada petugas
penegak hukum atau pejabat peradilannya sendiri.
Pasal 16
PENGUATAN DAN PENGESAHAN
1. Dokumen atau barang-barang yang menunjang permintaan
bantuan yang melibatkan penggunaan upaya paksa atau
penyitaan hasil kejahatan harus disahkan sesuai dengan ayat
2). Dokumen atau barang yang diberikan sebagai jawaban
atas permintaan harus disahkan dengan cara yang sama,
jika diminta.
151
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 165/187
~ ~ ~
..
2. Dokumen dan barang adalah sah untuk keperluan Perjanjian
ini jika
a) ditanda tang ani atau dikuatkan oleh hakim, atau pejabat
lain di atau dari Negara yang mengirimkan dokumen;
dan
b) dibubuhi dengan cap resmi dari
Negara
pengirim
dokumen, atau dari Menteri, atau dari Departemen atau
dari pejabat Pemerintah, dari Negara itu.
Pasal 17
PENCARIAN DAN PENYITAAN
1. Negara Diminta, sepanjang hukumnya mengizinkan, harus
melaksanakan permohonan untuk mencari dan menyita serta
menyerahkan barang ke Negara Peminta asalkan informasi
yang diberikan, termasuk informasi tambahan sebagaimana
dimaksudkan dalam ayat 4) Pasal5 , jika ada, membenarkan
tindakan itu menurut hukum Negara Diminta.
2. Negara Diminta harus memberikan informasi sebagaimana
diminta oleh Negara Peminta, mengenai hasil pencarian ,
tempat penyitaan , keadaan pada
saat
penyitaan, dan
penyimpanan selanjutnya barang sitaan tersebut.
3. Negara Peminta harus memperhatikan setiap syarat yang
ditetapkan oleh Negara Diminta dalam kaitannya dengan
barang sitaan yang diserahkan kepada Negara Pemi
nta
.
Pasal
18
HASIL KEJAHATAN
1. Negara Dimi
nta
atas permintaan, harus berusaha untuk
memastikan apakah hasil kejahatan berada di dalam
yurisdiksinya dan harus memberitahukan kepada Negara
Peminta mengenal hasil penyidikannya. Dalam mengajukan
permintaan, Negara Peminta harus memberitahukan kepada
152
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 166/187
Negara Diminta mengenai
l s ~
dari keyakinannya bahwa
hasil kejahatan itu mungkin berada dalam yurisdiksinya.
2 Dalam hal, menurut ayat
1),
hasil kejahatan yang dicurigai
itu diketemukan, Negara Diminta harus mengambil tindakan
yang diperbolehkan oleh hukumnya untuk mencegah jual beli,
pengalihan atau pemusnahan hasil kejahatan tersebut, sambil
menunggu penetapan akhir mengenai hasil kejahatan tersebut
oleh Pengadilan dari Negara Peminta.
3.
Negara Diminta sejauh diperbolehkan menurut hukumnya,
harus melaksanakan penetapan atau putusan akhir yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Negara Peminta untuk menyita
atau merampas hasil kejahatan .
4.
Dalam melaksanakan Pasal ini, hak dari pihak ketiga yang
beritikad baik harus dihormati menurut hukum Negara Diminta.
Dalam hal ada tuntutan dari pihak ketiga, Negara Diminta
harus menahan barang tersebut sampai ada penetapan akhir
dari pengadilan yang berwenang.
5.
Negara Diminta harus mengembalikan barang yang dimaksud
dalam ayat (3) Pasal ini, atau nilai dari barang itu kepada
Negara Peminta.
6 Dalam Pasal ini hasil kejahatan berarti setiap barang yang
dicurigai, atau dinyatakan oleh pengadilan, sebagai barang
yang berasal dari atau diperoleh,
l ngsung
atau tidak
langsung, sebagai hasil dari dilakukannya suatu kejahatan
atau harga lawan dari barang dan keuntungan lain yang
berasal dari dilakukannya suatu kejahatan.
Pasal 19
PENGATURANTAMBAHAN
Kantor Pusat masing-masing Pihak dapat membuat pengaturan
tambahan yang sesuai dengan tujuan Perjanjian ini dan dengan
hukum kedua belah Pihak dalam Perjanjian .
153
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 167/187
Pasal2
PERWAKILAN
DAN BIAYA
1.
Kecuali jika diatur lain dalam Perjanjian ini, Negara Diminta
harus menyiapkan hal-hal yang diperlukan agar Negara
Peminta diwakili secara hukum dalam setiap proses acara
yang timbul karena adanya permintaan bantuan dan dengan
demikian Negara Diminta akan mewakili kepentingan Negara
Peminta.
2. Negara Diminta harus menanggung biaya untuk memenuhi
permintaan bantuan kecuali biaya yang harus ditanggung
oleh Negara Peminta yaitu :
a) biaya yang berhubungan dengan pengangkutan orang
ke atau dari wilayah Negara Diminta, dan setiap upah,
tunjangan atau biaya yang wajib dibayar kepada orang
itu selama berada di Negara Peminta berdasarkan
permintaan menurut Pasal 9,
12 atau
13;
b) biaya yang berhubungan dengan pengangkutan petugas
tahanan/penjara atau petugas pengawal; dan
c) jika diminta oleh Negara Diminta, biaya khusus untuk
memenuhi permintaan bantuan itu.
Pasal21
KONSULTASI
Kedua Pihak harus mengadakan konsultasi dengan segera atas
permintaan Pihak lainnya, mengenai penafsiran, penerapan atau
pelaksanaan ketentuan
e ~ a n j i a n
ini baik secara umum maupun
dalam kaitannya dengan kasus tertentu melalui Kantor Pusat.
54
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 168/187
Pasal22
MULAI BERLAKU DAN BERAKHIRNYA PERJANJIAN
1. Perjanjian ini mulai berlaku tiga puluh hari sesudah tanggal
masing-masing Pihak saling memberitahu kepada Pihak
lainnya secara tertulis bahwa persyaratan masing-masing
Pihak untuk berlakunya Perjanjian ini telah terpenuh i
2. Perjanjian ini berlaku juga bagi permintaan bantuan terhadap
perbuatan atau omisi yang relevan yang terjadi baik sebelum
maupun sesudah berlakunya Perjanjian ini.
3
Masing-masing Pihak dapat mengakhiri Perjanjian ini setiap
saat melalui pemberitahuan tertulis dan e ~ a n j i a n ini berakhir
berlakunya pada hari ke seratus delapan puluh setelah hari
pemberitahuan disampaikan.
Sebagai bukti yang bertanda tangan dibawah ini yang diberi kuasa
oleh Pemerintah masing-masing telah menanda tangani e ~ a n j i a n
ini.
Dibuat di Jakarta tanggal dua puluh tujuh oktober seribu sembilan
ratus sembilan puluh lima dalam bahasa Indonesia dan bahasa
lnggris kedua Naskah mempunyai kekuatan sah yang sama.
UNTUK REPUBLIK INDONESIA UNTUK AUSTRALIA
ttd. ttd.
OETOJO OESMAN MICHAEL LAVARCH
55
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 169/187
L MP
RAN
DAFTAR KEJAHATAN YANG DIMAKSUD DALAM PASAL 1 AYAT
2)
1. pembunuhan berencana, pembunuhan;
2.
kejahatan yang menyebabkan kematian orang;
3. kejahatan yang melanggar undang-undang mengenai
pengguguran kandungan ;
4. .membantu atau membujuk atau menasehati atau
memberikan sarana kepada orang lain untuk melakukan
perbuatan bunuh diri;
5.
dengan
maksud jahat atau
berencana melukai
atau
mengakibatkan luka berat, penyerangan yang menyebabkan
luka;
6. penyerangan terhadap Hakim/Magistrat, pejabat polisi atau
pejabat umum;
7. penyerangan di kapal atau di pesawat udara dengan maksud
membunuh atau menyebabkan luka berat;
8. perkosaan atau penyerangan seks;
9. perbuatan cabul dengan kekerasan;
10 . memberi sarana, atau memperjualbelikan wanita atau orang
muda dengan maksud amoral, hidup dari hasil pelacuran;
setiap kejahatan lain yang melanggar undang-undang
mengenai pelacuran;
11. bigami;
12. penculikan, melarikan wanita atau anak dengan paksa,
memenjarakan secara tidak sah perdagangan budak;
13
. mencuri, menelantarkan, menawarkan atau menahan anak
secara melawan hukum;
56
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 170/187
14. kejahatan yang melanggar undang-undang mengenai suap;
15. memberikan
sumpah palsu
membujuk orang untuk
memberikan sumpah palsu menghalangi atau menggagalkan
jalannya peradilan;
16. perbuatan menimbulkan kebakaran;
17
. kejahatan yang berhubungan dengan pemalsuan uang dan
surat-surat berharga;
18. kejahatan yang melanggar undang-undang
mengenai
pemalsuan atau undang-undang mengenai penggunaan apa
yang dipalsukan;
19. kejahatan yang melanggar undang-undang mengenai pajak
bea cukai pengawasan devisa atau pendapatan negara
lainnya;
20. pencurian ; penggelapan; penukaran secara curang;
pembukuan palsu dan curang; mendapatkan barang uang
surat berharga atau kredit melalui upaya palsu atau cara
penipuan lainnya; penadahan barang curian setiap kejahatan
yang berhubungan dengan penipuan;
21 . pencurian dengan pemberatan; memasuki rumah orang lain
tanpa izin; setiap kejahatan yang sejenis;
22. perampokan;
23. pemerasan atau pemaksaan dengan ancaman atau dengan
penyalahgunaan wewenang;
24. kejahatan yang melanggar undang-undang mengenai
kebangkrutan dan kepailitan;
25. kejahatan yang
melanggar
undang-undang mengenai
perusahaan;
26 kejahatan yang melanggar undang-undang keimigrasian;
157
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 171/187
27
. kejahatan yang melanggar undang-undang ling kung
an
hidup;
28. pengrusakan barang deng1=m maksud jahat dan berencana;
29 . perbuatan yang dilakukan dengan maksud membahayakan
keselamatan orang-orang yang bepergian dengan kereta api
kendaraan darat kapal laut atau
pesawat
udara atau
membahayakan atau merusak kereta api kendaraan darat
kapal laut atau pesawat udara;
30
. pembajakan;
31
perbuatan yang melawan hukum
terhadap
kekuasaan
nahkoda kapal laut atau kapten pilot pesawat udara;
32 . merampas secara melawan hukum atau secara melawan
hukum menguasai pengendalian atas kapallaut atau pesawat
udara dengan paksaan atau ancaman kekerasan atau
dengan setiap bentuk intimidasi lainnya;
33
. perbuatan melawan hukum dari salah satu perbuatan yang
diatur
dalam ayat 1
Pasal
1 onvensi
mengenai
Pemberantasan Tindakan-Tindakan Melawan Hukum Yang
Mengancam Keamanan Penerbangan Sipil ;
34
. kejahatan yang melanggar undang-undang mengenai obat
obatan berbahaya atau narkotika ;
35
membantu membujuk menasehati atau memberikan sarana
menjadi pembantu laku sebelum atau sesudah sesuatu
perbuatan dilakukan atau mencoba atau berkomplot
melakukan suatu kejahatan yang disebutkan
di
atas.
58
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 172/187
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN.2001
TENTANG
PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN
PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI
AGREE-
MENT
BETWEEN THE GOVERNMENT
OF
THE
REPUBLIC
OF
iNDONESIA
ND
THE GOVERNMENT
OF
HONGKONG
FOR THE SURRENDEROF FUGITIVE OFFENDERS)
Menimbang :
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG M H ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
a. bahwa pembangunan hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 harus dapat
mendukung d n menjamin kepastian ketertiban penegakan
dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan
kebenaran ;
b. bahwa hubungan luar negeri yang dilandasi prinsip politik
bebas dan aktif diabdikan pada kepentingan nasional
dikembangkan dengan meningkatkan persahabatan kerja
sama bilateral d n
mu
ltilateral untuk mewujudkan tatanan
dunia baru berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi
dan keadilan sosial ;
159
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 173/187
c. bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya di bidang transportasi , komunikasi, Elan informasi
telah mempermudah orang melakukan kejahatan yang tidak
lagi mengenal batas yurisdiksi suatu negara, tetapi dapat
menyangkut beberapa negara sehingga penanggulangan dan
pemberantasannya diperlukan kerjasama internasional;
d. bahwa kerjasama antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Hongkong telah berkembang dengan baik dan
untuk lebih meningkatkan kerja sam a tersebut khususnya di
bid ang
penegakan hukum dan pelaksanaan perad
il
an
pidana,
m
aka pada
tanggal 5 Mei
997
di
Hongkong
telah
ditandatangani Persetujuan antara Pemerintah Republik In
donesia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan
Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri Agreement between
the Government o the Republic o Indonesia and the Gov-
ernment
o
Hongkong for the Surrender
o
Fugitive Offend-
ers) ;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, b, c, dan d dipandang perlu mengesahkan
Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Hong kong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum
yang Melarikan Diri Agreement between the Government o
the Republic o Indonesia and the Government o Hongkong
for the Surrender o Fugitive Offenders) dengan Undang
undang;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat 1 ), Pasal 11 , dan Pasal 20 ayat 2) Undang
Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi
Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun
1979 Nomor
2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3130) ;
160
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 174/187
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
l n t e r n ~ i o n l
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nom or 185, Tambahan Lembaran Negara Nom or 4012);
Dengan persetujuan bersama antara
DEW N PERW KIL N R KY T REPUBLIK INDONESI
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESI
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN
NT R PEMERINT H REPUBLIK INDONESI D N
PEMERINT H HONGKONG
UNTUK
PENYER H N
PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI AGREEMENT
ETWEEN
THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF IN-
DONESIA AND THE GOVERNMENT OF HONG KONG FOR THE
SURRENDER OF FUGITIVE OFFENDERS).
Pasal1
Mengesahkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indone
sia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar
Hukum yang Melarikan Diri Agreement between the Govern-
ment of the Republic of Indonesia and the Government of
Hongkong for the Surrender of Fugitive Offenders) yang telah
ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1997 di Hong kong yang salinan
naskah aslinya dalam bahasa Indonesia, bahasa lnggris, dan
bahasa China sebagaimana terlampir dan merupakan bag ian yang
tidak terpisahkan dari Undang-undang ini.
6
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 175/187
Pasal
Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Mei 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal Mei 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 2001
NOMOR43
162
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 176/187
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2001
TENTANG
PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG
UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG
MELARIKAN DIRI
AGREEMENT BETWEEN THE GOVERN-
MENT OF
THE REPUBLIC
OF
INDONESIA
ND
THE
GOVERNMENT OF HONGKONG FOR THE SURRENDER OF
FUGITIVE OFFENDERS)
I U U
Pembangunan Hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan pada terwujudnya Sistem
Hukum Nasional yang antara lain dilakukan dengan pembentukan
hukum baru khususnya produk hukum yang sangat dibutuhkan
untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan
nasional;
Produk hukum nasional tersebut harus dapat menjamin kepastian
ketertiban penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan
keadilan dan kebenaran yang diharapkan mampu mengamankan
dan mendukung penyelenggaraan politik luar negeri yang bebas
aktif untuk mewujudkan tatanan dunia berdasarkan kemerdekaan
perdamaian abadi dan keadilan sosial;
Dalam era globalisasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
baik dibidang transportasi komunikasi maupun informasi semakin
canggih telah menyebabkan wilayah negara yang satu dengan
wilayah negara yang lain seakan-akan tanpa batas sehingga
memudahkan lalu lintas manusia dari satu negara ke negara
lainnya.
163
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 177/187
Akibat kemajuan ilmu ·pengetahuan dan teknologi di samping
mempunyai
d mp k positif
bagi kehidupan
m nusi
jug
memb w
d mp k
neg tif
yang
d p t merugik n or ng
perorangan masyarakat dan atau negara. Hal ini ternyata dapat
dimanfaatkan pula secara tidak bertanggung jawab oleh para
pelaku tindak pidana dalam upaya meloloskan diri dari proses
peradilan dan menjalani pidana
di negara tempat seseorang
melakukan tindak pidana.
Bertitik tolak dari kenyataan tersebut Pemerintah Republik n
donesia dan Pemerintah Hongkong mengadakan Persetujuan
untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri
Agree-
ment between the Government of the Republic of Indonesia and
the Government of Hongkong for the Surrender of Fugitive f-
fenders) yang telah ditandatangani
di
Hongkong pada tanggal 5
Mei 1997.
Persetujuan tersebut bertujuan meningkatkan kerja sama dalam
penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan yaitu dengan
cara mencegah lolosnya pelanggar hukum dari proses peradilan
dan menjalani pidana.
Dengan adanya persetujuan penyerahan pelanggar hukum yang
melarikan diri tersebut diharapkan hubungan dan kerja sama
yang lebih baik antara kedua negara dalam bidang penegakan
hukum dan pemberantasan kejahatan dapat ditingkatkan.
Persetujuan ini selain dapat memenuhi tuntutan keadilan juga
dapat menghindari kerugian-kerugian yang disebabkan lolosnya
tersangka terdakwa terpidana atau narapidana.
Beberapa hal panting dari Persetujuan Penyerahan Pelanggar
Hukum yang Melarikan Diri adalah :
1 Bentuk dan Nama
64
Pada umumnya kesepakatan antar negara untuk saling
menyerahkan pelanggar hukum yang melarikan diri dibuat
dalam bentuk Perjanjian Ekstradisi
Extradition
Treaty
khusus
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 178/187
kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Hongkong untuk sa ing menyerahkan pelanggar
hukum yang melarikan di
ri
dibuat dalam bentuk Persetujuan
Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri
Surren-
er
of Fugitive Offenders Agreement) .
Hal terse but karena Hong kong bukan merupakan negara yang
berdaulat penuh, sehingga selama ini setiap kesepakatan
yang dibuat antara Hong kong dengan negara lain untuk sa ling
menyerahkan pelanggar hukum yang melarikan diri dibuat
dalam bentuk Persetujuan Penyerahan Pelanggar Hukum
yang Melarikan Diri
Surrender
of
Fugitive Offenders Agree-
ment) dan bukan dalam bentuk Perjanjian Ekstradisi Extra-
dition Treaty).
2. Pelanggaran Hukum yang Dapat Diserahkan Pasal
2
.
Di dalam Persetujuan ini ditegaskan bahwa pelanggaran
hukum yang dapat diserahkan adalah pelanggaran yang dapat
dihukum menurut hukum Indonesia dan hukum Hongkong
yakni berdasarkan asas tindak pidana ganda double crimi-
nality)
dan pelanggaran hukum tersebut diancam dengan
pidana penjara lebih dari 1 satu) tahun atau dengan pidana
lebih berat. Jenis pelanggaran hukum yang dapat diserahkan
berjumlah 44 em pat puluh em pat) jenis pelanggaran hukum.
3. Hak untuk Menolak Menyerahkan Warga Negaranya Pasal
4).
Masing-masing pihak dalam persetujuan berhak menolak
untuk menyerahkan warga negaranya. Dalam Persetujuan
ini, Pihak Diminta untuk melaksanakan penyerahan berhak
untuk mempertimbangkan apakah akan menyerahkan atau
tidak warga negaranya. Pihak Diminta harus menyerahkan
atau tidak warga negaranya . Pihak iminta harus
menyerahkan kasusnya kepada instansi yang berwenang di
wilayahnya .
65
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 179/187
4. Pelanggaran yang Diancam Dipidana Dengan Pidana Mati
Pasal
~ .
Persetujuan ini mengatur bahwa penyerahan pelanggar
hukum tidak akan dilaksanakan terhadap pelanggar hukum
yang diancam dengan pidana mati, kecuali jika Pihak Peminta
memberikan jaminan bahwa pidana mati tidak akan dijatuhkan
atau jika dijatuhkan tidak akan dilaksanakan.
5.
Pelanggar Hukum yang Berlatar Belakang Politik Pasal
7
.
Apabila
pelanggaran
hukum yang
didakwakan atau
dipersalahkan adalah pelanggaran politik atau pelanggaran
yang bersifat politik, maka pelanggar hukum tidak akan
diserahkan.
Mengambil nyawa atau percobaan mengambil nyawa Kepala
Negara dan seorang kerabat
de
kat Kepala Negara tidak akan
dianggap sebagai pelanggar politik atau suatu pelanggaran
yang bersifat politik karena itu pelakunya dapat diserahkan.
6. Tata Cara Penyerahan Pasal 17)
166
Dalam Persetujuan ini mengenai penyerahan pelanggar
hukum ditempuh dengan tata cara sebagai berikut :
a.
Pihak
Diminta harus, segera sesudah
mengambil
keputusan mengenai permintaan penyerahan
memberitahukan keputusan tersebut kepada Pihak
Peminta.
b. Jika seseorang akan diserahkan, orang itu harus dikirim
oleh
pejabat
dari
Pihak
Diminta ke suatu
tempat
pemberangkatan yang berada dalam yurisdiksinya .
c. Pihak Peminta harus mengambil orang tersebut dalam
waktu yang ditentukan oleh Pihak Diminta dan jika tidak
diambil dalam jangka waktu tersebut Pihak Diminta dapat
menolak penyerahan orang itu untuk pelanggaran yang
sama.
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 180/187
d. Jika ada keadaan yang berada i luar kuasa menghalangi
salah satu pihak untuk menyerahkan dan mengamb il
orang yang akan diserahkan pihak yang bersangkutan
harus memberitahukan pihak yang lain. Dalam kasus yang
demikian kedua belah pihak harus menyetujui suatu
t ngg l yang b ru untuk penyer h n yang tel h
ditentukan.
67
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 181/187
UNDANG-UNDANG RE PUBLIK INDONESIA
NOM
OR
10 TAHUN 1976
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI
ANTARA REPUB
LIK
INDONESIA DAN
REPUBLIK PHILIPINA SERTA PROTOKOL.
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUB
LIK
INDONESIA
Menimbang
a. bahwa untuk mengadakan kerjasama
yang
lebih efektif dalam
memberantas kejahatan dan terutama
mengatur
dan
meningkatkan hubungan antara Indonesia dan Philip
in
a dalam
masalah ekstradisi maka perlu diadakan perjanjian menge
nai
ekstradisi;
b bahwa pada tang gal 10 Pebruari 1976 di Jakarta telah
ditandatangani perjanjian Ekstradisi antara Republik Indo
nesia dan Republik Philipina dengan disertai Protokol ;
c. ba hwa Perjanjian serta Protokol tersebut perlu disahkan
dengan undang-undang;
68
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 182/187
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat 1 ), Pasal 11
I
can Pasal 20 ayat 1) Undang
Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indo
nesia Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indo
nesia,
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN
EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK
PHILIPINA SERTA PROTOKOL.
Pasal
Mengesahkan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia
dan Republik Philippina serta Protokol tertanggal 10 Pebruari
1976, yang salinan naskahnya dilampirkan pada undang-undang
ini.
Pasal
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
169
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 183/187
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juli 1976
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juli 1976
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO .
170
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 184/187
PENJELASAN
ATAS
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1976
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI
ANTARA REPUBLIK INDONESI DAN REPUBLIK
PHILIPPIN
SERTA PROTOKOL
tU U
Untuk mengembangkan kerjasama
yang efektif
dalam
penegakkan hukum dan pelaksanaan peradilan dalam rangka
pemberantasan kejahatan terutama dalam masalah ekstradisi,
perlu diadakan kerjasama dengan negara tetangga, agar orang-
orang yang dicari atau yang telah dipidana dan melarikan diri ke
luar negeri tidak dapat meloloskan diri dari hukuman yang
seharusnya diterima.
Kerjasama yang
efektif
itu hanya dapat dilakukan dengan
mengadakan perjanjian ekstradisi
dengan negara
yang
bersangkutan . danya suatu
perjanjian
ekstradisi akan
memperlancar pelaksanaan peradilan administration of justice)
yang baik. Hal ini perlu terutama dalam masa pembangunan nasi-
anal dewasa ini, karena kejahatan itu ada hubungannya dengan
ekonomi dan keuangan, maka akibat dari kejahatan tersebut besar
7
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 185/187
pengaruhnya
terhadap
pembangunan nasional tersebut
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka Pemerintah Indone
sia telah mengadakan Perjanjian Ekstradisi dengan Pemerintah
Malaysia, yang merupakan perjanjian yang pertama bagi Indo
nesia.
Disamping itu juga telah mengadakan pembicaraan/perundingan
dengan beberapa negara, khususnya negara-negara ASEAN
mengenai kemungkinan untuk mengadakan perjanjian ekstradisi.
Selain dengan Negara-negara ASEAN juga akan diadakan
Perjanjian Ekstradisi dengan Negara-negara lain.
Bagi Pemerintah Republik Indonesia, Perjanjian Ekstradisi dengan
Philipina ini merupakan perjanjian ekstradisi yang kedua. Dalam
Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini sudah dimasukkan azas
azas umum yang sudah diakui dan biasa dilakukan dalam hukum
internasional mengenai ekstradisi seperti :
a. Azas bahwa tindak pidana yang bersangkutan merupakan
tindak pidana, baik menurut sistim hukum Indonesia maupun
sistim hukum Philipina Double Criminality);
b. Kejahatan politik tidak diserahkan;
c. Hak untuk tidak menyerahkan warganegara sendiri , dan lain
lainnya.
Disamping itu di dalam
daftar
tindak pidana yang
dapat
diekstradisikan ditetapkan pula, bahwa kejahatan penerbangan
merupakan tindak pidana yang dapat diekstradisikan.
Prosedur penangkapan, penahanan, dan penyerahan akan tunduk
semata-mata pada hukum nasional masing-masing negara.
Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini disertai dengan Protokol
dimana ditegaskan bahwa Republik Indonesia adalah pemilik
tunggal dari pulau yang dikenal sebagai Las Palmas P. Miangas)
sebagai hasil dari putusan perwasitan tertanggal 4 April 1928
172
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 186/187
yang menyelesaikan sengketa antara Am erika Serikat dan Negeri
Belanda
Penegasan ini perlu untuk menghindari penafsiran yang berlainan
atas bagian dan Perjanjian Ekstradisi ini yang mengenai hal
wilayah
II P S L DEMI P S L
Pasal1
Cukup jelas
Pasal
Cukup jelas
73
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 187/187