187
8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 1/187

Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 1/187

Page 2: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 2/187

DAFTAR lSI

KATA PENGANTAR ..........................................................

DAFTARISI

BAB I PENDAHULUAN .................................................

A La tar Belakang .............................................. .

B Maksud dan Tujuan .......................................

C Metodologi ........   ............................................

D Jangka Waktu dan Biaya .............................. .

E. Keanggotaan l im ..............................   ...........

BAB II PENGATURAN PEMBERANTASAN TIN OAK

PIDANA KORUPSI ..............................  .............. .

A Pengaturan Substansi Hukum .......................

1. Hukum Nasional ..................................... .

1 1

Sebelum Tahun 1960 ........................ .

1.2 Setelah Tahun 1960 .......................... .

2 Hukum lnternasional ............................... .

B

Penyelidikan dan Penyidikan

lind k

Pidana

Korupsi ..........................................................

BAB Ill ANALISIS DAN EVALUASI ................................. .

A Permasalahan Permasalahan Dalam

Penyelidikan dan Penyidikan lind k Pidana

Korupsi ..........................................................

B

Solusi Permasalahan .................................... .

v

xi

1

1

7

7

9

9

9

12

13

20

4

31

31

38

xi

Page 3: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 3/187

1.

Pemberlakukan Undang-Undang

Nomor

31

Tahun 1999 Jo. l Jndang-undang

No.

2

di Dalam dan

Luar Batas Teritorial

...

 

..

2 Kerjasama

Hukum Dalam

Pencegahan

dan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

..

B B V PENUTUP .. 

A Kesimpulan .. ...  .... .......   ... .... .. .... .. 

B Saran .. ..

.. 

...

 .. 

...

 ..

.... ..

 

DAFTAR PUSTAKA .. ..   ..   ..   .. ..  

..

LAMP RAN

xii

40

44

49

49

49

51

53

Page 4: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 4/187

Lampi

ran

· 1. United Nations Convention Against Corruption Tahun 2003

2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1999

Tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia

Dan Australia Mengenai Bantu

an

Timbal Balik Dalam Masalah

Pidana

Treaty Between

The

Republic

Of

Indonesia nd

Australia n Mutual Assistance In Criminal Matters).

3

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2001

Tentang Pengesahan Persetujuan ntara Pemerintah

Republik Indonesia Dan Pemerintah Hongkong Untuk

Penyerahan Pelanggar Hukum

Yang

Melarikan Diri

Agree-

ment Between

The

Government

Of The

Republic Of Indone-

sia nd The Government

Of

Hongkong For

The

Surrender

OfFugitive Offenders).

4. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1976

Tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik

Indonesia Dan Republik Philipina Serta Protokol

xiii

Page 5: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 5/187

Page 6: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 6/187

B SI

PEND HULU N

A Latar elakang

Pada saat ini pemberantasan korupsi tidak lagi hanya

menjadi permasalahan nasional satu negara saja  akan tetapi

sudah menjadi permasalahan internasional yang melibatkan

banyak negara. Korupsi sudah menjadi transnational crime

yang pemberantasannya

membutuhk n

kerjasama d ri

berbagai negara. Kondisi tersebut ditegaskan dalam United

Convention Against Corruption yang berbunyi :

Convinced also that the globalization

of

the world s eco-

nomic

has

led to

a

situation where corruption

is

no longer

local metter but transnational phenomenon that af-

fects all societies nd economies, making international

cooperation to prevent

nd

control it essential

Banyak negara miskin dan berkembang diAsia dan Afrika

sebagai negara korban (victim states) yang sangat merasakan

dampak negatif akibat praktik-praktik korupsi di negara

mereka. Bahkan kemudian korupsi dianggap sebagai salah

satu penyebab lambannya pertumbuhan ekonomi yang

bermuara p d rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh lembaga donor IMF

pada

t hun

1996 meny t k n b hw korupsi d p t

memb w konsekuensi memperl mb t

pertumbuh n

ekonomi melalui berbagai dimensi sektor yang luas seperti:

1

Page 7: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 7/187

 

a

corruption lowers invesment and retards economic growth

to a ::;ignificant extent.

b. telent

Will

be misallocated.

c

corruption might reduce the effectiveness

of

aid flows

through the diversion

of

funds.

d

corruption may bring abaout loss of tax revenue.

e

corruption may lead to adverse budgetary consequences.

f corrupt system may lead to lower quality of infrastruc

ture and public services.

g. corruption may distort the composition of government

expenditure

Pada perkembangan selanjutnya seringkali akibat dari

adanya tindak pidana korupsi juga akan memicu timbulnya

tindak pidana pencucian uang money foundering). Pencucian

u ng

money

foundering)

tersebut

dil kuk n

untuk

menyembunyikan asal usul uang hasil korupsi agar tidak dapat

dilacak oleh aparat penegak hukum. Sehingga setelah proses

pencucian uang tersebut selesai maka uang hasil korupsi

tersebut secara formil yuridis adalah merupakan uang yang

berasal dari sumber yang sa h. Upaya-upaya yang dilakukan

koruptor deng n mel kuk n pencucian uang money

foundering)

terhadap hasil korupsinya akan semakin membuat

panjang jalan yang harus dilalui oleh penyelidik dan penyidik

untuk mengungkap suatu ·kasus korupsi.

Sebagai negara ketiga paling korup

di

dunia  Indonesia

adalah termasuk negara yang paling merasakan dampak

buruk dari pelaksanaan korupsi. Riwayat korupsi di Indone

sia tampaknya sudah mengakar dan melibatkan semua

kesemua lini kehidupan tidak saja dilingkungan publik saja

tetapi sudah merasuk ke dalam sektor swasta . Bahkan

Page 8: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 8/187

parahnya lembaga legislatif yang nota bene adalah merupakan

wakil rakyat dan bertugas mengawasi jalannya pemerintahan

juga

sudah terjangkiti virus korupsi. Fakta tersebut ditandai

dengan banyaknya anggota-anggota dewan perwakilan rakyat

daerah periode 1999 2004 yang saat saat ini sedang

menghadapi sangkaan atau dakwaan korupsi.

Upaya pemberantasan korupsi adalah merupakan agenda

utama yang harus segera diwujudkan. Agar dapat berjalan

efektif, upaya tersebut harus bersifat preventif dan represif.

Kedua upaya tersebut harus dijalankan secara baik dan dapat

saling sinergis, atau diibaratkan keduanya adalah dua sisi

dalam satu mata uang . Tanpa ada upaya yang sifatnya

preventif, maka upaya yang bersifat represif akan mengalami

kegagalan dalam

menjalankan

misinya . Demikian juga

sebaliknya tanpa hal-hal yang bersifat represif, upaya preventif

hanyalah merupakan omong kosong belaka.

Dalam

pelaksanaan

upaya

yang

bersifat

represif

,

sebagaimana halnya penegakan hukum pidana di Indone

sia, dikenal adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh

penegak hukum untuk melaksanakan tugasnya.Tahapan awal

yang harus dilalui oleh penegak hukum adalah tahapan

penyelidikan dan penyidikan. Berdasarkan pasal1 angka 5)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud

dengan penyelidikan adalah:

serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menenumukan suatu peristiwa yang diduga sebagai

tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya

dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam

undang undang ini.

Sedangkan dalam angka 3) pasal yang sama disebutkan

bahwa penyidikan adalah:

Page 9: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 9/187

 

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari

serta mengumpu/kan bukti yang dengan bukti tu membuat

terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya.

Subyek pelaku) dari dua definisi mengenai penyelidikan

dan penyidikan tersebut adalah penyelidik dan penyidik .

Pertanyaannya kemudian adalah siapakah yang disebut

dengan penyelidik dan penyidik? Apabila hanya mendasarkan

pada ketentuan yang terdapat dalam angka 3) dan 4) pasal

1 Undang-Undang No. 8 Tahun

1981

tentang Kitab Undang

Undang Hukum Acara Pidana, maka yang dapat bertindak

sebagai p n y i i k

P ~ n

penyelidik adalah Pejabat Kepol isian

Negara Republik Indonesia.Akan tetapi apabila mencermati

penjelasan pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana yang menyebutkan adanya pengecualian terhadap

pemberlakuan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana yaitu terhadap pelaksanaan Undang-Undang

No . 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan

Peradilan Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-Undang

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lihat

penjelasan Pasal 284 UU No. 8 Tahun 1981 ,

maka dalam

tindak pidana khusus korupsi, selain polisi, jaksa juga berhak

untuk bertindak sebagai penyelidik dan penyidik. Dalam

perkembangan selanjutnya, penegakan hukum terhadap

tindak pidana korupsi tidak hanya ditangani oleh kepolisian

dan kejaksaan saja. Pada saat ini Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk dengan Undang

Undang No.

30

Tahun 2002 dan Tim Koordinasi Pembe

rantasan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk dengan

Keputusan Presiden No . 11 tahun 2005 juga mempunyai

kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan

tindak pidana korupsi.

Page 10: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 10/187

Dengan adanya 4 empat) institusi tersebut, seharusnya

akan diperoleh suatu kekuatan m.aksimal untuk melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi. Akan tetapi ternyata

upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dimulai

dari

proses penyelidikan dan penyidikan tersebut

tidak

semudah yang digambarkan. Karakterisktik tindak pidana

korupsi sebagai kejahatan transnasional

transnational crimes)

dan kejahatan kerah putih white collar crime) menimbulkan

berbagai permasalahan yang tidak mudah dipecahkan yang

berakibat pada tidak maksimalnya kinerja keempat institusi

terse but.

ondisi

tersebut

harus segera mendapatkan

penyelesaian, karena apabila dibiarkan berlarut-larut akan

menyebabkan upaya preventif atau pencegahan yang selama

ini telah dilakukan menjadi omong kosong belaka yang

akhirnya dapat menciderai rasa keadilan masyarakat. Terlebih

lagi apabila mengingat kempleksitas pemberantasan korupsi

dengan mengkaitkannya terhadap tindak pidana pencucian

uang money foundering) .

Hal terse but tidak berlebihan karena sebagai suatu jenis

kejahatan transnasional transnational crime), Salah satu

modus operasi yang dilakukan dalam tindak pidana pencucian

uang adalah dengan nielakukan eksploitasi masalah-masalah

yang menyangkut yurisdiksi internasional exploiting inter-

nationaljurisdictional

issues). Selain modus tersebut, menurut

Egmont Training Working Group dalam Sjahdeini, 2004 :122),

modus-modus lain yang harus diwaspadai oleh penyidik dalam

rangka memberantas korupsi yang terkait dengan tindak

pidana pencucian uang adalah penyembunyian ke dalam

struktur bisnis concealment within businnes structure),

penyalahgunaan bisnis yang sah missuse

o

egitimate busi-

nesses), penggunaan identitas palsu, dokumen palsu atau

5

Page 11: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 11/187

perantara use

of

false indentities, or

str w

men) , dan

penggunaan tipe-tipe harta kekayaan yang tanpa nama use

of anonymous asset types) dikategorikan sebagai salah

bentuk cara yang dilakukan dalam tindak pidana pencucian

uang.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut i atas  maka

tidak dapat dihindari lagi bahwa penegakan hukum terhadap

tindak pidana korupsi i Indonesia harus bekerjasama dengan

negara-negara lain. Berdasarkan hal-hal tersebut

i

atas

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan

Hak Asasi Manusia Republik Indonesia memandang pe rlu

untuk mengadakan analisis dan evaluasi hukum mengenai

penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi.

B aksud dan Tujuan

Kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan analisis dan

evaluasi pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan dalam

perkara korupsi terutama yang berkaitan dengan perma

salahan pertentangan yurisdiksi antar negara. Dari perma

salahan tersebut kemudian akan dicarikan solusi untuk

penyelesaian permasalahan-permasalahan tersebut.

C

etodologi

Metode pendekatan yang digunakan adalah metode

normatif deskriptif. Untuk itu dilakukan analisis atas substansi

norma hukum yang berkaitan dengan penyelidikan dan

penyidikan tindak pidana korupsi dan kemudian dievaluasi

untuk mendapatkan rekomendasi untuk menyelesaikan

permasalahan yang ada.

Untuk mendapatkan bahan masukan dilakukan dengan

studi kepustakaan melalui pengumpulan bahan-bahan berupa

peraturan perundang-undangan  

uku uku

  makalah

Page 12: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 12/187

majalah

dan jurnal

i lmiah

yang

berkaitan

dengan

pemberantasan tipdak pidana korupsi.

D.

angka

Waktu dan Biaya

Kegiatan ini dilaksanakan selama 12 duabelas) bulan

terhitung mulai bulan Januari sampai dengan Desember 2005

dengan biaya yang sepenuhnya dibebankan pada anggaran

Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun Anggaran 2005.

E. Keanggotaan Tim

Kegiatan Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelidikan dan

Penyidikan Tindak Pidana Korupsi , dilaksanakan suatu tim

yaitu:

Ketua

Sekretaris

Anggota

Asisten

Pengetik

: Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H. LL.M.

: Rahendro Jati, S.H.

1. Drs. Jusuf Syakir

2. Ramelan, S.H. M.H.

3. AKBP Drs. Budiman Paranginangin

4. Rooseno, S.H., M.Hum.

5. Ellyna Syukur, S.H.

6. Sri Mulyani, S.H.

:

1.

Giyanto, S.

H.

2. Ratio Bin Gimin, S.H.

1. Turdi

1.

Trimanto

7

Page 13: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 13/187

 

Page 14: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 14/187

B B

PENG TUR NPEMBER NT S N

TIND K PID N KORUPSI

A Pengaturan Substansi Hukum

1

Hukum Nasional

Sebagai sebuah gejala sosial, keberadaan korupsi

hampir seumur dengan keberadaan masyarakat i dunia

ini. Korupsi diidentikan dengan keserakahan, ketamakan

dan kesewenang-wenangan yang dicaci dan dikutuk oleh

semua orang karena berkaitan dengan penyalahgunaan

jabatan yang bermuara pada kesengsaraan rakyat.

Terdapat berbagai faktor yang dapat memicu terjadi

dan berkembangnya korupsi

i

dalam masyarakat. Salah

satunya adalah sifat kepemimpinan yang paternalistik

Atmasasmita, 2002:3). Sifat pemimpin yang paternalistik

dengan misi untuk mengejar keuntungan materialistik

tersebut akan dapat memunculkan masyarakat yang juga

materialistik dan berujung pada sikap-sikap koruptif

dikalangan masyarakat.

Oleh karena itu pemberantasan korupsi tidak hanya

merupakan persoalan dan penegakan hukum semata,

tetap juga harus dijalankan secara terpadu dan bersama

sama dengan penyelesaian persoalan-persoalan sosial

dan psikologi sosial.

Sebagai negara yang dikatagorikan paling korup di

dunia, permasalahan korupsi

i Indonesia telah banyak

Page 15: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 15/187

Page 16: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 16/187

2 Pendekatan moralistik dan keimanan

Pendekatari moralistik dan keimanan merupakan

rambu-rambu pembatas untuk meluruskan jalannya

langkah

penegakan hukum

dan

memperkuat

integritas penyelenggara

negara

untuk selalu

memegang teguh dan menjunjung tinggi keadilan

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

3

Pendekatan edukatif

Pendekatan edukatif berfungsi meningkatkan

daya nalar masyarakat sehingga dapat memahami

secara komprehensif Jatar belakang dan sebab-sebab

terjadinya korupsi serta langkah pencegahannya.

4. Pendekatan sosio kultural

Pendekatan sosio-kultural berfungsi membangun

kultur masyarakat untuk mengutuk dan mengecam

tindak pidana korupsi dengan melakukan kampanye

publik yang meluas dan merata diseluruh pelosok

tanah air. Pemberdayaan partisipasi publik bertujuan

menumbuhkan budaya anti korupsi dikalangan

masyarakat.

Secara nasional, pemerintah telah membuat Strategi

Nasional Pemberantasan Korupsi SNPK) yang bertumpu

pada 4 empat) pendekatan , yaitu pendekatan hukum,

pendekatan budaya, pendekatan

ekonomi

dan

pendekatan sumber daya manusia.

Dari segi hukum, di Indonesia telah banyak terdapat

peraturan perundang-undangan

yang

mengatur

mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut

Ramelan

2004

:6), apabila diamati

dalam

setiap

konsideran maupun penjelasan umum undang-undang,

pada setiap pergantian atau perubahan undang-undang

Page 17: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 17/187

  2

intinya didasarkan pada pertimbangan bahwa

korupsi

telah banyak merugikan keuangan dan perekonomian

negara perundang-undangan yang ada tidak /agi efektif

memberantas tindak pidana korupsi yang semakin

meningkat dan kompleks .

1 1 Sebelum Tahun 1960

Peraturan pertama yang dibentuk oleh pemerintah

dalam rangka pemberantasan korupsi adalah Peraturan

Penguasa Militer Nomor. Prt/PM-06/1957 tanggal9 April

1957. Dalam peraturan ini, rumusan mengenai korupsi

dikelompokan menjadi 2 dua) yaitu:

a. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga

baik untuk kepentingan sendiri kepentingan orang

lain, atau kepentingan suatu badan yang langsung

atau tidak langsung menyebabkan kerugian atau

perekonomian negara.

b. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat

yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang

menerima bantuan dan keuangan negara atau

daerah.

Selanjutnya diterbitkan peraturan Penguasa Perang

Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal16 April 1958

No

. Prt/Peperpu/013/1958 tertanggal 16 April 1958

.tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan

Perbuatan Korupsi Pidana dan Pemilikan Harta Benda,

serta Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf

Angkatan Laut No. Prt/Z.I./7 tertanggal 17 April 1958.

Menu rut kedua peraturan terse but, perbuatan tindak

pidana korupsi pada saat itu digolongkan menjadi dua

macam, yaitu Perbuatan Korupsi Pidana dan Perbuatan

Korupsi Bukan Pidana.Akan tetapi dalam kedua peraturan

Page 18: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 18/187

tersebut tidak dijelaskan secara lebih lanjut mengenai

pengertian kedua hal tersebut.

Oleh karena itu, dengan mengacu pada penjelasan

yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang Undang No . 24 Tahun 1960, yang dapat

dikatagorikan sebagai Perbuatan Korupsi Pidana adalah

perbuatan korupsi yang didalamnya terdapat unsur-unsur

kejahatan sehingga berdasarkan hal tersebut dapat

dipidana dengan hukuman badan dan/atau denda yang

cukup berat disamping perampasan harta benda hasil

korupsinya. Sedangkan yang dikatagorikan sebagai

Perbuatan Korupsi Bukan Pidana, adalah perbuatan

korupsi yang didalamnya terdapat unsur perbuatan

melawan hukum. Perbuatan korupsi ini tidak diancam

dengan hukuman pidana , melainkan Pengadilan Tinggi

yang mengadilinya atas gugatan Badan Koordinasi Penilik

Harta Benda, dapat merampas harta benda hasil korupsi

terse but.

Yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum

dalam penjelasan tersebut adalah ketentuan mengenai

onrechm tige d d dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Menurut Yurisprudensi, perbuatan melawan hukum dalam

ketentuan Pasal1365 KUH Perdata, dijabarkan sebagai

perbuatan seseorang yang oleh karenanya melanggar

hak orang lain ataupun bertentangan dengan keharusan

dalam pergaulan hid up untuk bertindak prihatin terhadap

orang lain atau barang

c.q

haknya Saleh, 1983 : 30).

1 2 Setelah Tahun 1960

Undang-Undang No. 1 Tahun 96 adalah undang

undang pertama yang diundangkan pasca tahun 1960.

Undang-Undang ini merupakan pengesahan dalam

13

Page 19: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 19/187

  4

bentuk

undang-undang dari Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang No. 24 tahun 1960 tentang

Pengusutan, Penuntutan

dan

Pemeriksaan Tindak Pidana

Korupsi.

Dalam peraturan ini, ketentuan mengenai tata cara

pencegahan dan pemberantasan korupsi, dibedakan

antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana yang

diatur dalam KUHP. Pengaturan pemberantasan melalui

Perpu tersebut masih lemah

dan

tidak efektif, karena

korupsi dianggap sebagai tindak pidana yang tidak berdiri

sendiri, tetapi masih dikaitkan atau disamakan dengan

ketentuan-ketentuan dalam

KUHP.

Dengan kata lain,

menurut undang-undang ini tindak pidana korupsi masih

dianggap sebagai tindak pidana biasa ordinary crime) .

Pada waktu itu, ketentuan dalam Perpu tersebut

ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Koordinasi

Pemberantasan Korupsi TPK) yang berada dibawah

koordinasi Menteri Pertahanan. Sasaran kerja Tim

Koordinasi Pemberantasan Korupsi pada waktu itu

diarahkan pada pemberantasan penyelundupan yang

pada waktu itu menggoyahkan stabilitas perkonomian

Indonesia.

elanjutnya

untuk lebih mengefektifkan

pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah

mencabut Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 dan

kemudian menggantinya dengan Undang-Undang

No.

3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang diundangkan pada tanggal 29 Maret 1971 .

Perbedaan yang mencolok dari undang-undang yang

sebelumnya, dalam undang-undang ini tindak pidana

korupsi digolongk.an sebagai tindak pidana yang berdiri

sendiri dan bukan lagi merupakan salah satu kejahatan

Page 20: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 20/187

yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Selain itu, undang-undang ini juga rnenetapkan unsur

kerugian negara.

Hal tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana

korupsi telah mulai dianggap sebagai kejahatan sangat

mempunyai potensi untuk merugikan negara. Walaupun

demik

ian, undang-undang No. 3 Tahun 1971 masih

mengandung beberapa kelemahan yaitu (Atmasasmita,

2004:

9

:

1. Ketentuan rumusan delik yang bersifat material.

Dalam praktiknya, kata dapat di depan kata-kata

merugikan keuangan

negara

  atau kata kata

perekonomi

an

negara, sebagaimana yang tercantum

dalam Pasal1 ayat (

1)

huruf a dan

b,

sering ditafsirkan

sebagai unsur yang harus dibuktikan oleh jaksa

penuntut umum di persidangan . Hal tersebut

memperlemah posisi jaksa dalam proses penuntutan

di persidangan , terlebih lagi dengan tidak adanya

penjelasan pasal yang menegaskan bahwa kalimat

tersebut harus dapat diartikan sebagai delik form

il.

Kondisi

ini diperparah

lagi dengan

adanya

pertimbangan Mahkamah Agung dalam Putusan

Mahkamah Agung Rl No .

42

K/Kr/1965 yang

menyatakan bahwa unsur perbuatan melawan hukum

tidak terbukti jika kepentingan umum t rl y ni,

negara tidak dirugikan dan terdakwa tidak menikmati

keuntungan

 .

2. Sanksi pidana yang hanya menetapkan batas

maksimum pidana tanpa ada penetapan mengenai

batas minimum, seh

in

gga jaksa penuntut umum dan

hakim pemeriksa perkara memiliki diskresi yang luas

dalam menetapkan tuntutannya dan menetapkan

vonis mengenai pidananya

15

Page 21: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 21/187

  6

3 Tidak dijadikannya korporasisebagai subjek hukum.

Undang-undang ini hanya·menetapkan subjek hukum

yang dapat dijerat dengan ketentuan undang-undang

ini adalah perorangan.

4. Masih dipertahankannya sistem pembuktian nega-

tive wettelijke beginsel yang oleh sebagian ahli

hukum

dipandang sebagai ketentuan yang

mengedepankan asas praduga tidak bersalah

(presumtion o nnocent). Apabila as

as

ini diterapkan

dalam tindak pidana korupsi, maka hal tersebutjustru

melukai rasa keadilan didalam masyarakat , dan

negara.

Dengan sistem pembuktian negatif, jaksa penuntut

umum

akan

cenderung mengalami kesulitan

membuktikan kesalahan terdakwa dipersidangan

karen a minimal jaksa harus mempunyai 2 (dua) alat

bukti yang cukup. Hal tersebut ditambah dengan

adanya rumusan dalam pasal yang mengatur tata

cara penyidik, penuntut umum dan hakim untuk

mengetahui asal-usul harta kekayaan tersangka atau

terdakwa Kata dapat dalam rumusan pasal

tersebut, tidak cukup secara tegas mewajibkan (man-

datory) tersangka atu terdakwa untuk menerangkan

secara jelas asal usul kekayaan yang diduga berasal

dari tindak pidana korupsi. Keberadaan kata dapat

tersebut membuka diskresi yang luas bagi penyidik,

jaksa penuntut umum dan hakim untuk menerapkan

pasal tersebut.

5. Tidak ada aturan yang secara

tegas

memuat

ketentuan yang memperluas batasan mengenai

yurisdiksi keluar (extra territorial urisdiction) . Pad a

hal

dalam perkembangannya, tindak pidana korupsi

Page 22: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 22/187

adalah sebuah kejahatan yang digolongkan sebagai

kejahatan

t r n ~ n s i o n l

transnational crime) .

Agar sesuai dengan perkembangan jaman, yang

dikaitkan dengan upaya pemberantasan tidak pidana

korupsi, maka Undang-Undang No. 3 Tahun

97

kemudian dicabut oleh pemerintah dan digantikan

dengan Undang Undang

No. 3 Tahun

1999

.

Undang-Undang ini dalam beberapa ketentuan

pasalnya telah dirubah dengan Undang-Undang No .

20 tahun 2001.

Apabila dibandingkan dengan ketentuan undang

undang sebelumnya, didalam Undang-Undang

No

.

3 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun

2001 , terdapat

beberapa

pembaharuan yang

mendasar, yaitu :

a. Tindak pidana korupsi telah dirumuskan secara

formil. Hal ini membawa konsekwensi , bahwa

walaupun hasil kejahatan korupsi terse but telah

dikembalikan kepada negara, pelaku tindak

pidana korupsi tetap dapat dituntut dan diajukan

kepersidangan

dan

tetap dapat dihukum.

Pengembalian harta tersebut hanya dianggap

sebagai faktor yang meringankan perbuatan

terdakwa.

b. Dianutnya sistem pembuktian terbalik terbatas

atau berimbang

balanced burden

o

proff)

yang

mewajibkan

kepada

terdakwa

didepan

persidangan untuk membuktikan bahwa harta

kekayaan yang dimilikinya tidak berasal dari hasil

korupsi . Dengan diterapkannya sistem ini, maka

telah terjadi perubahan yang sangat mendasar

dalam sistem peradilan pidana yang telah dianut

selama kurang lebih 20 dua puluh) tahun.

7

Page 23: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 23/187

  8

c. Dicantumkannya ketentuan mengenai yurisdiksi

keluar batas territorial extraterritorial urisdiction).

d. Dicantumkannya ancaman pidana minimum

disamping adanya ancaman pidana maksimum.

Selain itu juga dicantumkan adanya ancaman

hukuman mati sebagai pemberatan terhadap

korupsi yang dilakukan dalam keadaan bahaya,

bencana alam nasional, atau negara dalam krisis

ekonomi.

e Pemberian uang diatas jumlah tertentu Rp

10.000.000,-) harus dianggap sebagai suap

kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Dalam kaitan

ini maka perbuatan suap dapat dikatagorikan

sebagai tindak pidana formil.

f. Penyitaan seizure) dan pembekuan freezing)

atas harta kekayaan

terdakwa

dapat

dilaksanakan

baik sebelum

dan sesudah

dijatuhkannya putusan hakim dan tidak dibatasi

masa kadaluwarsa.

edangkan

spirit

moral

yang

hendak

disampaikan oleh Undang-Undang

No

. 31 Tahun

1999 Jo. Undang-Undang

No

. 20 Tahun 2001 dalam

rangka pemberantasan korupsi adalah :

1. Mengikis komunitas yang selalu mengedepankan

supremasi paternalistik yang tidak benar melalui

ketentuan larangan mengenai suap pasal 5 dan

6) .

2. Menghidupkan kern

bali

kpntrol internal sejak dini

yang dimulai dari lingkungan keluarga. Hal ini

diwujudkan dengan adanya ketentuan yang

memperbolehkan jaksa penuntut umum untuk

melakukan perampasan atas harta kekayaan

yang diduga berasal dari hasil korupsi pasal

33

34 dan 38).

Page 24: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 24/187

3. Memberdayakan kontrol sosial ekonomi eksternal

melalui ketentuan tentang peran

s ~ r t

masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana

korupsi. al ini dilakukan dengan memberikan

perlindungan

hukum kepada orang yang

melaporkan terjadinya tindak pidana korupsi

Pasal

41

dan 42).

4. Menumbuhkan budaya malu

shame culture) baik

dikalangan masyarakat maupun dikalangan

penyelenggara negara, melalui ketentuan yang

mewajibkan tersangka terdakwa

untuk

menerangkan asal usul harta kekayaannya ,

keluarga suami atau istri), korporasinya pasal

28 dan 37) .

5. Menimbulkan hambatan secara moral

moral

straits)

untuk melakukan tindak pidana korupsi

melalui ketentuan tentang ancaman pidana mini-

mum

dan maksimum yang tinggi, bahkan sampai

pada ancaman hukuman mati. Hal tersebut

ditambah dengan adanya ketentuan mengenai

hukuman pidana tambahan yang sangat berat

bagi pelaku tindak pidana korupsi Pasal 2, 3, 5

d

  11 .

6. Melembagakan budaya anti korupsi secara terus

menerus dan berkesinambungan dikalangan

masyarakat maupun dikalangan penyelenggara

negara melalui ketentuan tentang perlunya

pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi

Pasal43) .

7. Menumbuhkan budaya kooperatif dikalangan

penegak hukum, terutama kepolisian dan

kejaksaan melalui pembentukan tim penyidik

19

Page 25: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 25/187

20

gabungan dibawah koordinasi

jaksa

Agung

Pasal27).

8. Melembagakan koordinasi horizontal dengan

instansi atau lembaga non penegak hukum

terutama dalam hal pelacakan uang hasil korupsi.

Selain undang-undang yang dibuat secara

khusus untuk melakukan pemberantasan terhadap

tindak pidana korupsi, ada beberapa undang-undang

lain yang mempunyai peranan yang sangat besar

dalam mendukung proses-proses pemeberantasan

tindak pidana korupsi. Undang-Undang tersebut

adalah:

Undang-Undang No 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas

Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.

Undang-undang

No

. 11 Tahun 1980 tentang

Tindak Pidana Suap.

Undang-Undang

No

30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang.

2 Hukum lnternasional

Tidak hanya Indonesia, semua negara-negara yang

ada di dunia ini telah sepakat menganggap korupsi

sebagai kejahatan luar biasa

extra ordinary crimes) yang

pemberantasannya memerlukan kerjasama dari berbagai

negara transnational crime). Centre for International

Crime Prevention CICP),

salah satu organ Perserikatan

Bangsa Bangsa

yang berkedudukan di Wina

mendefinisikan korupsi adalah tindakan penyalahgunaan

kekuasaan untuk keuntungan pribadi

misuse

o

public

Page 26: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 26/187

power

for privat gain).

Menurut

CICP,

yang termasuk

dalam katagori korupsi (dalam Att nasasmita, 2004:4)

adalah tindak pidana suap

bribery),

penggelapan

em

bezzlement)

penipuan

fraud),

pemerasan yang berkaitan

dengan jabatan

extortion) ,

penyalahgunaan wewenang

abuse

of

discretion),

pemanfaatan kedudukan seseorang

dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan seseorang yang

bersifat illegal

exploiting

a

conflict interest, insider trad

ing),

nepotisme, komisi yang diterima pejabat publik dalam

kaitan bisnis

illegal commission)

dan kontribusi uang

secara illegal untuk partai politik.

emberantasan tindak pidana korupsi secara

internasional, tidak dapat dilepaskan dari Konvensi

Palermo mengenai

United Nation Convention Against

Transnational Organized Crime

pada tahun 2000. Dalam

konvensi tersebut, disebutkan bahwa korupsi adalah salah

satu bentuk

tr ns

org nized crime

.

Yang dapat

digolongkan dalam kejahatan transnasional menurut

konvensi ini adalah apabila:

1. perbuatan dilakukan di lebih dari satu negara.

2. perbuatan dilakukan di satu negara tetapi bagian

substansial dari persiapan, perencanaan, perintah

atau pengendalian terjadi di negara lain.

3. perbuatan dilakukan di satu negara tetapi melibatkan

suatu kelompok organisasi penjahat di lebih dari satu

negara, atau

4. perbuatan dilakukan di satu negara tetapi efek

substansinya terjadi di negara lain

Untuk menanggulangi permasalahan mengenai

korupsi, konvensi ini mensyaratkan agar setiap negara

tidak boleh melupakan pengaturan mengenai

obstruc-

2

Page 27: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 27/187

22

tion of justice

perluasan yurisdiksi kerjasama

internasional dalam hal ekstradisi , mutual legal assis-

tance transfer

of

sentenced persons transfer

of

crimi-

nal proceedings

kerjasama penyidikan dan training serta

perlindungan saksi dan korban .

Selain konvensi Palermo mengenai

United Nation

Convention Against Transnational Organized Crime  salah

satu payung hukum internasional dalam pemberantasan

tindak pidana korupsi adalah Konvensi Persatuan Bangsa

Bangsa Mengenai Pemberantasan Korupsi yang disahkan

pada tanggal 7 Oktober 2003. Tujuan utama dari konvensi

ini adalah

untuk memperkuat langkah

-

langkah

pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan lebih

efisien dan efektif. Dari 8 delapan) bagian yang terdapat

dalam konvensi ini , bagian yang sangat signifikan

terhadap proses pembaharuan hukum nasional dalam

hal pemberantasan tindak pidana korupsi adaiah bab II

tentang

Preventive Measures 

bab IV tentang

Interna-

tional Cooperation  bab V tentang Asset Recovery dan

bab VII tentang Mechanism for Implementation.

Apabila disarikan dari bab-bab tersebut, ada 3 tiga)

substansi yang sangat penting yaitu :

1. Telah adanya persamaan antara konvensi tersebut

dengan Undang-Undang No.

31

tahun 1999 Jo.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2 1 yang sama

sama menyatakan bahwa korupsi adalah merupakan

pelanggaran hak ekonomi dan sosi

al

rakyat. Oleh

karena diperlukan komitmen dan kerjasama secara

aktif dari masyarakat internasiona dalam hal

pencegahan dan pemberantasannya.

2. Konvensi tersebut telah mengkrimina

li

sasi setiap

perbuatan suap dalam transaksi bisnis internasional

Page 28: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 28/187

seperti

bribery of national public officials, bribery

of

foreign public officials and officials

of

public interna-

tional organizations, trading

n

influence, e IlJl zzle-

ment, misappropriation

or

other

i v r s i o

o

prop-

erty y public official, concealment, abuse

of

unc-

tion, illict enrichment, bribery in the private sector,

embezzlement

of

property in private sector, launder-

ing ofproceed of crime dan obstruction of ustice.

3. Adanya hak setiap negara peserta konvensi untuk

mengajukan klaim atas aset-aset hasil korupsi telah

memiliki dasar hukum internasional yang kuat dalam

r ngk bil ter l m upun

multil ter l

y ng

memperkuat efektivitas pemberantasan korupsi

Mengingat pentingnya kebutuhan Indonesia akan

adanya payung hukum internasional untuk mendukung

pemberantasan tindak pidana korupsi di dalam negeri,

maka pemerintah Indonesia tidak perlu ragu-ragu dalam

meratifikasi konvensi tersebut. Hal ini karena konvensi

tersebut bukan

non reserve binding convention,

sehingga

tidak perlu ada kekhawatiran negara-negara tertentu

hanya akan meratifikasi sebagian konvensi tersebut.

Hanya saja perlu kehati-hatian dan memperhatikan

sistem hukum yang selama ini telah dikembangkan dalam

praktik hukum yang selama ini ada

di

Indonesia.

Pertama, berkaitan dengan konsep dan sistem

hukum materiil yang selama ini dianut dalam sistem

hukum nasional, yaitu konsep standar mengenai unsur

unsur tindak pidana korupsi yang menitikberatkan sifat

melawan hukum dari suatu perbuatan dan konsep

daaddader strafrecht. Hal ini karena dalam konvensi P S

tahun 2003 tersebut menitikberatkan pada 3 tiga) unsur

perbuatan yaitu mengetahui (knowledge) kesengajaan

(intent) dan adanya tujuan {purpose).

23

Page 29: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 29/187

Kedua,

ada 2 dua) pihak yang hendak dilindungi

oleh Konvensi PBS tahun 2003 yaitu kepentingan pihak

ketiga yang beritikad baik dan kepentingan nega·ra.

Sedangkan dalam undang-undang pemberantasan tindak

pidana di Indonesia UU No.

31

Tahun 1999 Jo No. 20

Tahun 2001) hanya menekankan pada kepentingan

kerugian) negara dengan unsur melawan hukum.

Ketiga dalam

konvensi

PBS tahun 2003

memasukkan istilah

bribery

yang diartikan sebagai

corruption

dalam kaitan hubungan swasta dan pejabat

publik

. Sedangkan

dalam undang undang pembe-

rantasan tindak pidana di Indonesia UU No.

31

Tahun

1999 Jo No.

20

Tahun 2001) pengertian suap be rasa I

dari ketentuan delik jabatan yang ada di KUHP tetapi

tidak ditujukan secara khusus kepada subjek yang terlibat

di dalamnya

B.

Penyelidikan dan Penyidikan Tindak

Pidana

Korupsi

24

Seperti halnya pengungkapan kasus tindak pidana pada

umumnya, sebelum sampai pada tahap penuntutan dan

pemeriksaan di persidangan, pengungkapan kasus tindak

pidana

korupsi juga melalui serangkain

proses

untuk

pencarian tersangka dan pengumpulan barang bukti. Menurut

ketentuan dalam hukum acara pidana, hal tersebut lazim

disebut sebagai tindakan penyelidikan dan penyidikan. Dalam

Pasal 1 angka 5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, yang dimaksud dengan penyelidikan adalah:

serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menenumukan suatu peristiwa yang diduga sebagai

tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya

dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur da/am

undang-undang ini.

Page 30: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 30/187

ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM

TENTANG

PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN

TINDAK PIDANA KORUPSI

- Hlt.

-

 

Disusun Oleh Tim

Di Bawah

Pimpinan

Prof. Dr.

Romli

Atmasasmita S.H., LL.M.

PERPUSTP

f<AA H:_ :-\JM

PUSAT DOKl.JMtf· TASI

DAN INFORMASI HUKJM NASiGNAL

BADAN PEMBINAAN HUKUt:l iJ S OrJAL

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

DEPARTEMEN HUKUM DAN

HAK

ASASI MAN USIA Rl

TAHUN 2007

Page 31: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 31/187

Page 32: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 32/187

  BSTR K

Tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai kejahatan lua r

biasa

extra ordinary crimes)

yang tidak hanya menimbulkan

be

ncana bagi perkonomian nasional , tetapi juga merupakan

pe

langgaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi

masyarakat. Sebagai langkah awal pengungkapan tinda k pidana

korups i yang diken l seb g i kej h t n

tr

  nsnas ional

transnational crime) dan kejahatan kerah putih white collar crime),

pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi

seringkali mengalami hambatan mengenai konflik yurisdiksi

an

tar

negara. Oleh karena itu diperlukan adanya kerjasama dan

dukungan dari negara-negara lain. Walaupun

di

Indonesia saat

ini

ada 4 empat) institusi yang berhak melakukan penyelidikan

dan penyidikan tindak pidana korupsi , tetapi untuk dapat

memaksimalkan kinerja mereka pemberantasan tetap diperlukan

dukungan sumber daya manusia yang handal, hukum nasional

yang memadai, dan adanya suatu payung hukum internasional

dalam hal pemberantasan tindak pidana korups

i

Oleh karena

itu selain meratifikasi konvesi Perserikatan Bangsa-Bangsa

Mengenai Korupsi, Indonesia juga harus rajin mengadakan

perjanjian secara bilateral dengan negara-negara lain dalam

bentuk

mutual/ega/

assistance dan perjanjian ekstradisi.

Page 33: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 33/187

Page 34: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 34/187

K T

PENG NT R

Korupsi sebagai

extr ordin ry crimes

yang tidak hanya

menimbulkan bencana bagi perekonomian nasional tetapi juga

merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak

ekonomi masyarakat. Penangkapan tindak pidana korupsi sangat

sulit diungkap melal

ui

dari proses penyelidikan, penyidikan,

penuntuta

n

perad ilan, karen a aktor korupsi (koruptor) sejak

awal sudah memanfaatkan celah hukum yang berlaku dalam

melakukan korupsi .

Pemberantasan korupsi merupakan agenda utama pemerintah

harus mewujudkan melalui tindakan preventif dan represif secara

sinergis . Salah satu instrumen penegakan hukum di bidang korupsi

adalah peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan

korupsi, perlu dianalisis dan evaluasi apakah masih relevan atau

ada hambatan dalam penegakannya, sebagai rekomendasi untuk

penyusunan peraturan perundang-undangan yang baru.

Penerbitan hasil analisis dan evaluasi ini, dimaksudkan untuk

memperbanyak khazanah informasi hukum tentang tindak pidana

korupsi dan akan disebarluaskan oleh Pusat Jaringan Ookumen

tasi dan lnformasi Hukum Nasional kepada semua Ang gota

Jaringan di seluruh wilayah nusantara.

Akhirnya kepada Tim Analisis dan Evaluasi yang dipimpin

oleh Prof. Or. Romli Atmasasmita, S.H ., LL.M., dan semua pihak

yang ikut berperan sehingga penerbitan ini dapat terlaksana,

kami ucapkan terima kasih.

Nasional ,

vii

Page 35: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 35/187

v

Page 36: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 36/187

K T

PENG NT R

Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT

yang dengan limpahan rahmat dan berkah-NYA kami dapat

menyelesaikan laporan akhir kegiatan tim Anal sis Dan Evaluasi

Hukum Tentang Penyelidikan Dan Penyidikan Tindak Pidana

Korupsi.

Tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang dikategorikan

sebagai kejahatan luar biasa

extra ordinary crimes)

yang tidak

hanya menimbulkan bencana bagi perkonomian nasional tetapi

jug

merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak

hak ekonomi masyarakat. Dalam pelaksanaan modus operasinya

pelaku tindak pidana korupsi seringkali memanfaatkan celah

berupa adanya batasan yurisdiksi antara negara yang satu dengan

negara yang lain. Hal ini tentu saja menimbulkan kesulitan bagi

aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana korupsi.

Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi sebagai

langkah awal dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi

seringkali terhambat dengan adanya konflik yurisdiksi antar

negara. Oleh karena itu ruang lingkup bahasan dalam laporan

ini dikaitkan dengan penerapan hukum internasional dalam

kerangka pemberantasan tindak pidana korupsi baik yang berupa

kovensi internasional maupun perjanjian bilateral antara Indone

sia dengan negara-negara lain.

Dengan adanya laporan ini  kami berharap dapat memberikan

sumbangan dan masukan-masukan dalam pengembangan ilmu

hukum dan dalam praktek-praktek yang terjadi

i

lapangan. Untuk

ix

Page 37: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 37/187

dapat lebih menyempurnakan laporan ini kami senantiasa

mengharapkan kritikan dari berbagai pihak. Tidak lupa kami

mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Pembinaan

Hukum Nasional yang telah memberikan kesempatan kapada

kami untuk melaksanakan kegiatan ini.

Ketua

tt

Prof. Dr Romli Atmasasmita S.H. LL.M

Page 38: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 38/187

Sedangkan dalam angka 3) pasal yang sama disebutkan

bahwa penyidikan adalah:

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari

serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat

ter ng

tentang tindak

pid n

y ng terjadi dan guna

menemukan tersangkanya.

Apabila hanya

mendasarkan

pada ketentuan yang

terdapat dalam angka 3) dan 4) pasal 1 Undang-Undang

No. 8 Tahun

98

tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, maka yang dapat bertindak sebagai penyelidik

dan penyidik adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia. Akan tetapi apabila mencermati penjelasan pasal

284 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang

menyebutkan adanya pengecualian terhadap pemberlakuan

ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

yaitu terhadap pelaksanaan Undang-Undang

No

. 7 Drt. Tahun

1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak

Pidana Ekonomi

dan

Undang Undang

Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lihat penje/asan Pasal

284 UU No. 8 ahun

1981),

maka dalam tindak pidana khusus

korupsi, selain polisi , jaksa juga berhak untuk bertindak

sebagai penyelidik dan penyid ik.

Selain dalam Kitab Undang-Undang HukumAcara Pidana ,

kewenangan polisi sebagai penyelidik dan penyidik untuk

mengungkap tindak pidana, ditegaskan kembali dalam Pasal

1 angka 8 dan 9, dan Pasal 14 ayat 1) huruf g Undang

Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik

Indonesia yang

menyatakan

:

mel kuk n

penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana

sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang

undangan lainnya.

5

Page 39: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 39/187

26

Kewenangan polisi sebagai penyelidik dan penyidik terse but

adalah sebagai bentuk perwujudan

t ~ r h d p

tugas pokok

kepolisian sebagai yang tercantum dalam

Pasal 3

Undang

Undang No. 2 Tahun 2002, yaitu untuk memelihara keamanan

dan ketertiban

masyarakat; menegakkan hukum

; dan

memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

kepada masyarakat.

Sedangkan kewenangan

jaksa

untuk melakukan

penyidikan tindak pidana korupsi ditegaskan dalam Pasal

30 ayat 1) huruf d Undang-Undang No . 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan yang menyatakan bahwa di bidang pidana

jaksa mempunyai tug

as

dan wewenang melakukan penyidikan

terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.

Menurut penjelasan umum dan Pasal 30 Undang-Undang

No. 16 Tahun 2004, pengertian tindak pi

dana tertentu dalam

Pasal 30 tersebut adalah dimaksudkan untuk menampung

beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan

kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan,

misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan HakAsasi Manusia, Undang-Undang Nomor

31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 , dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam perkembangan selanjutnya, penegakan hukum

terhadap tindak pidana korupsi tidak hanya ditangani oleh

kepolisian dan

kejaksaan

saja. Pada

saat

ini , Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk dengan

Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 juga mempunyai tug as

untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana

korupsi, sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 6 huruf c

Undang-Undang No 30 Tahun 2002. Hanya saja terdapat

Page 40: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 40/187

pembatasan terhadap kewenangan Komisi Pemberantasan

Korupsi dalam hal penyelidikan dan penyidikan. Pembatasan

tersebut tercantum dalam Pasal

11

yang menyatakan :

Pasal

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 huruf

c

Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak

pidana korupsi yang :

a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara

negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak

pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum atau penyelenggara negara;

b.

mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/

a au

c. menyangkut kerugian negara paling sedikit p

.

1.000.000.000,00 satu milyar rupiah).

Walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi dianggap

sebagai garda depan dalam pemberantasan korupsi, akan

tetapi dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal

11

tersebut, terlihat masih ada kewenangan bagi kejaksaan

dan kepolisian untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus

kasus tindak pidana korupsi. Hanya saja apabila kinerja

kejaksaan dan kepolisian tersebut dianggap tidak maksimal

dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik korupsi ,

maka berdasar ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang

No

. 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat

mengambil alih penyidikan korupsi dari kepolisian dan

kejaksaan.

Menurut Pasal 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002,

pengangambilalihan penyidikan korupsi dari kepolisian dan

7

Page 41: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 41/187

  8

kejaksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dirakukan

deng n l s n :

a laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak

ditindaklanjuti;

b. proses pe nanganan tindak pidana kon 1ps i sscara berlarJt

larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan;

c penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk

melindung

i

pelaku

tindak

pidana korupsi

yang

sesungguhnya;

d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur

korupsi;

e hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena

campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif;

a au

f. keadaan lain

yang

menurut pertimbangan kepolisianatau

kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit

dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggung

jawabkan.

Selain ketiga institusi tersebut, saat ini terdapat tim

gabungan yang keanggotaannya berasal dari kejaksaan,

kepolisian

dan adan

Pengawasan

Keuangan dan

Pembangunan juga berwenang untuk melakukan penyelidikan

dan penyidikan tindak pidana korupsL Tim yang dibentuk

berdasarkan Keputusan Presiden

No

.

11

Tahun 2005 tentang

Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi Tastipikor) ini

bertugas untuk :

a. melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

sesuai ketentuan hukum acara pidana yang berlaku

terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi;

dan

Page 42: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 42/187

b. mencari dan menangkap para pelaku yang diduga keras

melakukan. tindak pidana korupsi serta menelusuri dan

mengamankan seluruh aset-asetnya dalam rangka

pengembalian keuangan negara secara optim

 

yang

berkaitan dengan tugas sebagaimana dimaksud pada

huruf a.

9

Page 43: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 43/187

3

Page 44: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 44/187

BAB Ill

ANALISIS DAN EVALUASI

A Permasalahan Permasalahan Dalam Penyelidikan dan

Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

Tindak

pidana korupsi adalah jenis kejahatan yang

dikatagorikan sebagai salah satu bentuk kejahatan kerah putih

(white collar crime). Pad a dasarnya jenis kejahatan ini adalah

kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang terhormat, yang

mempunyai status sosial tinggi dan dilakukan dalam rangka

pekerjaannya umumnya merupakan pelanggaran

kepercayaan. Pengertian lain dari white collar crime antara

lain sebagai berikut

kejahatan yang dilakukan oleh orang yang duduk

dibelakang meja.

kejahatan yang dilakukan oleh

orang-orang

yang

berpangkat.

kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berilmu

pengetahuan.

ditafsirkan sebagai lawan kata

crime using force  

atau

street crime kejahatan biasa).

kejahatan yang dilakukan dengan tehnologi canggih.

kejahatan yang non konvensional; dilakukan oleh orang

yang mempunyai keahlian atau mempunyai pengetahuan

teknologi canggih.

kejahatan terselubung.

3

Page 45: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 45/187

3

Oleh karena itu, pengungkapan kasus jenis kejahatan

ini berbeda dengan pengungkapan kejat.latan konvensional.

Pelaku kejahatan kerah putih white collar crime) cenderung

berasal dari kalangan yang mempunyai tingkat intelektual

yang tinggi. Dengan kemampuan yang dimilikinya, pelaku

kejahatan kerah putih akan dapat memperhitungkan secara

cermat mengenai segala kemungkinan-kemungkinan yang

terjadi berkaitan dengan kejahatan yang dilakukannya. Tujuan

utamanya adalah untuk mengaburkan atau menutupi agar

perbuatannya tidak terbongkar dan diperiksa oleh aparat

penegak hukum.

Akibatnya dalam pengungkapan kasus kejahatan kerah

putih, aparat penegak hukum harus bekerja ekstra keras

dib ndingk n deng n

pengungk p n kej h t n

konvensional. Aparat penegak hukum seolah-olah harus

terlebih dahulu beradu kepintaran dan kecerdikan dengan

pelaku kejahatan.

Kondisi tersebut juga terjadi dalam pengungkapan tindak

pidana korupsi, karena selain mempunyai tingkat intelektual

yang tinggi, biasanya pelaku tindak pidana korupsi adalah

pihak-pihak yang dekat atau bahkan memiliki kekuasaan dan

kekuatan sehingga mereka dapat melakukan korupsi secara

teroganisir dan tertutup.

Pada saat aparat penegak hukum bermaksud akan

memulai proses penegakan hukum yang dimulai dengan

tindakan penyelidikan terhadap suatu tindak pidana korupsi,

maka saat itu pula pelaku korupsi akan mulai juga melakukan

perlawanan terhadap upaya tersebut. Perlawanan itu dapat

berupa menghilangan barang bukti , mempengaruhi para

saksi, membentuk opini

di

masyarakat bahwa dirinya tidak

bersalah. Menurut Ramelan 2004 : 9 , kendala yang bersifat

non teknis yuridis dalam pengungkapan kasus-kasus tindak

pidana korupsi adalah:

Page 46: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 46/187

1

kompleksitas perkara sering memerlukan pengetahuan

yang komprehensif. Sebagai

~ o n t o

dalam mengahadapi

kasus korupsi di bidang perbankan maka selain harus

mengatahui dan memahami pengetahuan di bidang

pidana  aparat penegak hukum juga harus mengetahui

dan memahami pengetahuan di bidang keuangan dan

lalu lintas moneter. Dalam hal ini seringkali dibutuhkan

bantu

an

dari pihak yang ahli untuk dimintai pendapatnya

sebagai saksi ahli.

2. Tindak pidana korupsi pada umumnya

melib tk n

sekelompok orang yang saling menikmati keuntungan

dari tindak pidana tersebut. Dengan demikian mereka

akan saling

bekerj

s m

untuk s ling

menutup i

perbuatan mereka. Hal ini menyulitkan aparat penegak

hukum dalam mengungkap bukti-bukti yang ada .

3. Waktu terjadinya tindak pidana korupsi umumnya baru

terungkap setelah tenggang waktu yang cukup lama. Hal

ini menyulitkan pengumpulan atau

merekonstruksi

keberadaan bukti-bukti yang sudah terlanjur dihilangkan

atau dimusnahkan. Di samping itu para saksi atau

tersangka yang sudah terlanjur pindah ketempat lain juga

berperan untuk menghambat proses pemeriksaan .

4

Dengan berbagai upaya pelaku tindak pidana korupsi

telah menghabiskan uang hasil korupsi dengan cara

menggun k nny

sendiri

t u

deng n seng j

mengalihkannya dengan bentuk yan lain sehingga akan

mempersulit pelacakan uang hasil korupsi .

Kendala-kendala tersebut akan bersifat lebih kompleks

apabila ternyata dalam melakukan kejahatannya pelaku

tindak pidana korupsi melibatkan yurisdiksi negara lain untuk

mengalihkan atau menghilangkan hasil korupsinya . Hal inilah

33

Page 47: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 47/187

34

yang sering menyebabkan tindak pidana korupsi dianggap

sebagai tindak pidana transnasional transnational crime).

Terlebih lagi apabila ternyata tindak pidana korupsi tersebut

dalam pengungkapannya harus dikaitkan dengan tindak

pidana pencucian uang money foundering), dengan cara

merubah legalitas uang hasil korupsi kedalam bentuk bentuk

usaha lain yang legal di luar negeri.

Pada dasarnya keberadaan tindak pidana transnasional

adalah sebagai efek negatif dari era globalisasi. Pelaku tindak

pidana dari satu negara akan dengan mudah memanfaatkan

kemajuan dan kecanggihan teknologi untuk mengalihkan uang

hasil korupsinya keluar yurisdiksi negara Indonesia.

enangkapan

tersangka tindak

pidana

korupsi dan

pengungkapan hasil hasil korupsi yang berada diluar negeri

lebih sulit karena disebabkan:

a. perbedaan sistem hukum antara Indonesia dengan

negara negara dimana pelaku tindak pidana korupsi atau

uang hasil tindak pidana korupsi itu berada. Sebagai

contoh perbedaan sistem hukum pidana antara Indone-

sia dengan Australia dalam kasus tindak pidana korupsi

Hendra Raharja. Selain itu perbedaan sistem hukum

pidana antara Indonesia dengan Swiss dalam kasus

tindak pidana korupsi Bank Global.

b. Belum adanya perjanjian ekstradisi atau perjanjian

kerjasama bantuan

di

bidang hukum

mutual legal

as-

sistance

n

criminal metters) antara Indonesia dengan

dengan negara negara dimana pelaku tindak pidana

korupsi atau uang hasil tindak pidana korupsi

itu

berada.

Sebagai contoh antara Indonesia dengan Singapura

dalam kasus Bank

BNI

Secara lebih lanjut permasalahan permasalahan dalam

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang

melibatkan yurisdiksi negara lain adalah sebagai berikut:

Page 48: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 48/187

1. Pemeriksaan tersangka dan saksi yang berada diluar

negeri

Sebagai sarana untuk mengungkapkan suatu tindak

pidana, setiap pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi

oleh penyidik harus dibuat dalam format Berita Acara

Pemeriksaan SAP). Hal tersebut tidak terlalu sulit apabila

penyidik dapat

berhadapan bertatap muka dan

berkomunikasi secara langsung dengan tersangka dan

para saksi.

Akan tetapi kondisi tersebut tidak dapat diwujudkan

dalam hal pemeriksaan tersangka dan saksi tindak pidana

korupsi yang pada waktu pemeriksaan berada di luar

yurisdiksi negara Indonesia. Penyidik Kepolisian tidak

diperkenankan untuk melakukan pemeriksaan secara

langsung kepada tersangka atau saksi. Hal ini karena

pemeriksaan tersebut harus dilakukan oleh pihak penyidik

dari negara yang bersangkutan dengan format yang

berlaku di negara tersebut, sedangkan penyidik dari

Kepolisian hanya bertindak sebagai pendamping saja.

Selain itu pemeriksaan oleh penyidik diluar negeri

dilakukan tanpa melalui penyumpahan terlebih dahulu.

Kondisi ini patut dipertanyakan mengingat apakah for-

mat berita acara pemeriksaan negara tempat tersangka

atau saksi tindak pidana korupsi itu berada dapat

digunakan sebagai alat bukti di pengadilan Indonesia?

Untuk mendapatkan sworn st tement

yang

dikeluarkan oleh pihak pengadilan setempat, memerlukan

adanya pengajuan permohonan mutual ega assistance

yang prosesnya sangat birokratis dan menghabiskan

waktu yang lama. Hal ini tentunya menjadi permasalahan

apabila dikaitkan dengan batas waktu penahanan bagi

tersangka.

5

Page 49: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 49/187

  6

2. Pemanggilan saksi yang berada diluar negeri

Tidak adanya upaya paksa yang dapat dilakukan

apabila saksi yang berada

di

luar negeri tidak mau datang

ke Indonesia untuk memberikan keterangan . Selain itu

tidak ada kejelasan siapa yang berkewajiban bertanggung

jawab terhadap biaya transportasi  akomodasi bagi saksi

yang berasal dari luar negeri.

3. Penangkapan dan Penahanan

Terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang

melarikan diri

keluar

negeri   pihak kepolisian sering

melakukan

kerjasama dengan negara lain melalui

Interpol. Apabila ternyata kemudian tersangka tersebut

dapat tertangkap oleh kepolisian setempat dengan aturan

penangkapan dan penahanan menu rut yurisdiksi negara

tersebut apakah penyidik kepolisian Indonesia dapat di

praperadilankan dan apakah waktu penahanan di negara

lain tersebut dapat dikurangkan apabila ternyata kemudian

tersangkan dinyatakan bersalah oleh hakim dan dijatuhi

hukuman penjara.

4. Pembekuan dan pemblokiran rekening

Untuk mengajukan permohonan bantuan pembekuan

dan pemblokiran rekening bank y ng berada

di

luar negeri

diperlukan adanya lampiran berupa surat perintah

pemblokiran yang dikeluarkan oleh pengadilan

court

order). .

5. Penggeledahan dan penyitaan

ermintaan bantuan untuk melakukan peng-

geledahan dan penyitaan kepada negara lain harus

dilampiri dengan surat perintah penggeledahan dan

penyitaan dan pengadilan

court order).

Selain itu dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pelaksanaan

Page 50: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 50/187

penggeledahan dan penyitaan mensyaratkan harus

9ibuatnya suatu berita acara. Akan tetapi ketentuan .

tersebut tidak ada di negara lain . Dengan demikian

apakah barang bukti yang diperoleh dari hasil pelak

sanaan penggeledahan dan penyitaan di luar negeri

tersebut dapat dinyatakan sah sebagai alat bukti di

hadapan pengadilan Indonesia.

Berkaitan dengan permasalahan tentang penyelidikan

dan penyidikan, salah satu permasalahan yang dihadapi

dalam penerapan Undang-Undang No . 30

Tahun

2002 tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah mengenai sumber

daya manusia penyelidik dan penyidik. Sebagai organisasi

baru dengan beban tugas yang sangat berat , Komisi

Pemberantasan Korupsi membutuhkan sumber daya manusia

yang sudah

j

adi

 , dalam arti sumber daya manusia tersebut

sudah memiliki keahlian dalam bidang tugas melakukan

penyelidikan dan penyidikan.

Ketentuan Pasal

39

ayat

3)

dapat ditafsirkan bahwa

Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum pada Komisi

Pemberantasan Korupsi hanya dapat diangkat dari anggota

Kepolisian

Rl

dan/atau Kejaksaan. Secara tidak langsung

kondisi ini dapat mempengaruhi independensi dari Komisi

Pemberantasan Korupsi terhadap Kepolisian maupun

Kejaksaan karena kekhawatiran adanya loyalitas ganda dari

Penyelidik dan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi

terhadap korpsnya .

Sela in itu perlindungan terhadap Penyelidik, Penyidik,

Jaksa Penuntut Komis i Pemberantasan Korupsi dari

perbuatan obstruction ofjustice tidak diatur dalam Undang

Undang Nomor 30 Tahun

2 2

tentang Komis i

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal tersebut sangat

disayangkan mengingat tugas yang be rat serta penuh resiko

7

Page 51: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 51/187

yang dihadapi oleh penyelidik

dan

Penyidik omisi

Pemberantasan Korupsi dari ancaman orang-orang yang ingin

menggagalkan usaha pemberantasan tindak pidana korupsi

maka diperlukan perlindungan terhadap mereka  padahal

United Nation Convention Against Transnational Organized

Crime

di

Palermo pada tahun 2000 telah mensyaratkan agar

setiap negara tidak boleh melupakan pengaturan menganai

obstaruction o ustice 

B Solusi Permasalahan

38

Pada dasarnya proses penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana korupsi adalah merupakan langkah awal dari tindakan

represif dari upaya pemberatasan korupsi. Dengan adanya

permasalahan-permasalahan terse but di atas menunjukkan

bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi tidaklah

semudah yang dibayangkan orang awam. Banyak liku-liku

permasalahan yang harus dihadapi oleh aparat penegak

hukum 

ba

ik permasalahan yang berkaitan dengan prosedur

dalam aturan hukum  maupun permasalahan yang berkaitan

dengan sumber daya manusianya.

Akan tetapi hal tersebut adalah merupakan tantangan

yang harus dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam

rangka penegakan hukum dan pemulihan citra penegak

hukum dimata masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya

strategi terhadap kasus-kasus korupsi yang diidentifikasi

memenuhi unsur-unsur pidana untuk segera diproses menurut

hukum secara cepat tepat dan tuntas. Strategi tersebut

adalah:

1

Penyelidikan dan penuntutan kasus-kasus korupsi yang

menarik perhatian atau yang melibatkan pelaku-pelaku

yang memiliki kedudukan sosial ekonomi yang tinggi atau

yang menimbulkan kerugian negara dalam jumlah yang

Page 52: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 52/187

besar.Strategi ini dimaksudkan untuk membangun dan

memulihkan

kepercayaC n

masyarakat a 9 Y ' : ' : ? I J ~ e r ~ d [ l t a h

bersunguh-sungguh melakukan pemberantasan emadap

korupsi.

2. Meningkatkan pelaksanaan penerapan dan penegakan

hukum yang memberikan kepastian hukum dan keadilan

kepada masyarakat terutama pencari keadilan.Strategi

ini dimaksudkan agar proses penegakan hukum terhadap

tindak pidana korupsi berlangsung secara proporsional

dan professional  serta menghindarkan aparat penegak

hukum dari kesalahan dalam proses penyidikan .

3. Menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi

dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.Strategi

ini dimaksudkan sebagai bentuk pertanggung jawaban

kepada masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut

diperlukan adanya publikasi penanganan perkara-perkara

tindak pidana korupsi yang sedang atau yang telah

diproses sehingga masyarakat dapat mengetahui dan

mengikuti penyelesaian perkara tersebut secara benar.

Diharapkan dengan hal tersebut   masyarakat dapat

menentukan posisi partisipasinya dalam mencegah dan

memberantas korupsi.

4. Mengembangkan sistem manajemen dan organisasi

peneg k

hukum yang

m nt p seb g

i

peng yom

masyarakat. Strategi ini dimaksudkan agar masyarakat

dapat dengan mudah mengajukan laporan atau keluhan

atas kasus tindak pidana korupsi yang ada kepada apa rat

penegak hukum.

5. Mengembangkan sistem rekruitmen dan promosi yang

mendukung terwujudnya profesionalisme dan integritas

yang handal bagi aparat penegak hukum.

9

Page 53: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 53/187

1 Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

40

Undang-Undang

No 20

Tahun 2001

di

Dalam dan Luar

Batas Teritorial

Payung hukum internasional

yang

tidak boleh ditinggalkan

dalam penyelesaian masalah perbedaan yurisdiksi antar

negara dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana

korupsi adalah Konvensi Persatuan Bangsa Bangsa

Mengenai Pemberantasan Korupsi yang disahkan pada

tanggal 7 Oktober 2003. Dan

mengingat

pentingnya

kebutuhan Indonesia akan adanya payung hukum

internasional untuk mendukung pemberantasan tindak pidana

korupsi di dalam negeri, maka pemerintah Indonesia tidak

perlu ragu-ragu dalam meratifikasi konvensi terse but, terlebih

lagi dalam konvensi tersebut memberikan hak bagi setiap

negara peserta konvensi untuk mengajukan klaim atas aset

aset hasil korupsi.

Kekhawatiran untuk tidak meratifikasi konvensi tersebut,

tidak beralasan mengingat konvensi tersebut bukanlah

non

reserve binding convention

yang mempunyai konkwensi

bahwa negara-negara peserta konvensi harus meratifikasi

seluruh isinya. Tercatat ada 127 (seratus duapuluh tujuh)

negara peserta konvensi PBB tahun 2003, dan 99

diantaranya telah menyatakan kesediaanya

untuk

meratifikasinya. (Atmasasmita, 2004:80). Hanya saja

ada

beberapa hal yang harus diperhatikan dan dikaji oleh

pemerintah Indonesia sebelum melaksanakan ratifikasi

tersebut, yaitu mengenai sistem hukum, kepentingan pihak

pihak yang dilindungi dan digunakannya istilah-istilah baru

dalam korupsi.

Undang-Undang No . 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang

No .

20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi adalah undang-undang yang bersifat khusus dan

Page 54: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 54/187

sekaligus lex spicialis terh d p Kitab Undang-undang

Hukum Pidana. Konsekuensi hukum terhadap hal tersebut

adalah diperbolehkan d ny ketentu n khusus dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi yang menyimpang dari

ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 

dengan alasan pokok bahwa tindak pidana korupsi adalah

merupakan kejahatan luar biasa yang melanggar hak ekonomi

dan sosial rakyat. Akan tetapi penyimpangan ketentuan

tersebut di atas tidak dapat diberlakukan untuk ketentuan

yang terdapat dalam buku kesatu Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana  karena di dalam buku kesatu tersebut berisi

asas-asas hukum pidana yang sudah diakui dan berlaku

dalam hukum pidana internasional   seperti asas legalitas

dan asas n bis in idem.

Ketentuan ini mengandung makna bahwa hukum pidana

nasional dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 

tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam hukum

internasional akan tetapi ketentuan hukum internasional dapat

membatasi ketentuan hukum nasional sepanjang produk

hukum internasional tersebut sudah diakui dan diratifikasi

oleh pemerintah.

Dalam kaitan dengan yurisdiksi   ketentuan dalam undang

undang No 31 Tahun 1999 Jo. undang-undang No. 20 tahun

2001 dapat diberlakukan ke luar batas teritorial dengan

berlandaskan kepada asas nasionalitas aktif sebagaimana

yang diatur dalam pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana  apabila dalam kasus korupsi yang melibatkan warga

negara Indonesia yang bertempat tinggal di negara la in atau

melarikan diri ke negara lain .

lmplement si

ketentu n

ini

mem ng

di kui d p t

memunculkan konflik yurisdiksi hukum pidana antara Indo

nesia dengan negara yang bersangkutan. Dalam praktik

hukum internasional konflik ini sering terjadi dan sudah ada

41

Page 55: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 55/187

42

beberapa yurisprudensi yang berhasil ditetapkan oleh Inter

national Court of Justice lJC) seperti dalam kasus Lotus

tahun 1927) yang menetapkan:

all

or

nearly all the system of w extend their action to

offences commited outside the territory of the state which

adapts them, nd they do

so

in ways which vary from

state to state

 .

Dalam kaitan konflik yurisdiksi hukum pidana, dalam

praktiknya hukum internasional telah menyediakan beberapa

sarana hukum dan telah sering digunakan oleh negara-negara

yang mengalami konflik yurisdiksi . Sarana tersebut dapat

berupa ekstradisi dan

mutual assistance in criminal

matters.

elanda adalah salah satu negara

yang

telah

mengantisipasi permasalahan mengenai konflik yurisdiksi

tersebut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Belanda tahun 88 , Staatsblad 35 yang terakhir dirubah

dengan udang-undang tanggal 24

Me

i 1996, Staatsblad 276,

telah memasukkan ketentuan baru yang terdapat dalam titel

VIII Pasal 68) mengenai

extinction

of

the right to prosecure

and

of

punishment

yang dikenal dengan istilah

res judicata

foreign judgement.

Ada pun ketentuan dalam pasal

68

terse but

berbunyi Swart dan Klip, dalam Atmasasmita, 2004 : 77):

Ayat : except in cases in which judgement are sus-

ceptible to review, no person

m y

prosecuted again

for

an offence

n

respect of which a court in Netherlands,

the Netherlands Antilles orAruba has rendered final udge-

ment on the a substance of chargerd against him.

Ayat

if the final judgement has been rendered final

judgement by another court, new proceedings against

the person for the same offence may not take place

in

case of :

Page 56: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 56/187

1.

acquittal

or

dismissal of the charges;

2.

conviction,

if

punishf 1ent has been imposed, followed

by

complete enforcement, pardon

or

lapse

of

time.

yat : No persom may be prosecuted for an offence

which has been inrrovocably disposes of

in relation to

him, by the fulfilment of condition set

by

the competent

authorities of foreign state to prevent prosecution.

Dengan mengambil contoh dan mendasarkan pada

ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Belanda tersebut, seharusnya pemerintah Indonesia guna

memudahkan dan memperlancar usaha usaha

pemberantasan tindak

pidana

korupsi yang

bers

if

at

transnasional , meninjau kembali ketentuan mengenai

pemberlakuan keluar batas teritorial (ekstrateritorial) dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia atau dalam

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No

20 tahun

2001

atau dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana.

Dalam pasal6 rancangan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (tahun 2002) terdapat ketentuan yang berbunyi :

Perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang

yang penuntutannya diambil alih oleh Indonesia dari negara

asing berdasarkan

su tu

perj nji n

y ng memberik n

kewenangan kepada Indonesia untuk menuntut pidana. Agar

dapat berlaku efektif dan untuk mengantisipasi permasalahan

mengenai perbedaan yurisdiksi antar negara, seharusnya

ketentuan tersebut didukung

dengan

ketentuan yang

mengatur mengenai pengakuan putusan pengadilan negara

asing (recognation of foreign judgement) .

Ketentuan tersebut memungkinkan perluasan yurisdiksi

pengadilan nasional sehingga dapat menjangkau pelaku

tindak pidana korupsi yang berada di negara lain yang

43

Page 57: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 57/187

melibatkan warga negara Indonesia atau warga negara dari

negara ketiga dan dapat menjangkau pengambilalihan

penyidikan penuntutan serta p e l ~ s n n putusan

pengadilan negara asing ke dalam yuridiksi hukum Indone

sia.

2

Kerjasama Hukum Dalam Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Selain melakukan strategi-strategi tersebut di atas

penyelesaian permasalahan dalam penyelidikan dan

penyidikan tindak

pi

dana korupsi juga membutuhkan aturan

aturan yang berdimensi hukum internasional. Hal ini karena

sebagai kejahatan transnational hubungan bilateral dan

multilateral antara Indonesia dengan negara lain sangat

diperlukan dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.

Tujuannya adalah untuk menghilangkan batas-batas yurisdiksi

antar negara yang dapat menghambat pemberantasan

korupsi.

Upaya kerjasama secara bilateral menurut konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 2003 hanya dapat

berjalan efektif apabila didukung dengan kerjasama hukum

seperti ekstradisi transfer

o sentenced person mutallegal

assistance dan transfer o criminal proceedings.

Walaupun demikian penyelesaian masalah konfl ik

yurisdiksi antara dua negara yang belum mengadakan

perjanjian bilateral dalam hal penanganan perkara pidana

.tetap dapat dilakukan dengan itikad baik dari negara-negara

tersebut. Sebagai contoh dalam kasus antara Indonesia

dengan Swiss mengenai uang hasil kejahatan tindak pidana

korupsi Bank Global. Setelah menerima red notice dari

Interpol penyidik

di

negara Swiss mulai memblokir rekening

tersangka Bank Global yang berada

di

Swiss. Selanjutnya

Page 58: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 58/187

untuk penyelesaian kasus tersebut, Pemerintah Swiss

m e n ~ r k n

2 dua) opsi kepada penyidik dari Indonesia

yaitu :

a. Indonesia mengajukan

mutual legal assistance

untuk

pelaksanaan penyitaan.

Tindakan hukum pemblokiran freezing)

memerlukan

pembukti n dan h rus dilampiri deng n perint h

pengadilan court order) . Selama proses itu uang hasil

korupsi tersebut akan tetap berada

di

Bank Swiss dan

tidak dapat dilakukan penyitaan/perampasan

forfoiture).

Untuk melakukan pemblokiran dan penyitaan tersebut

pemerintah Indonesia diharuskan melakukan dua kali

perjanjian

mutual/ega/ assistance.

b. Pemerintah Swis mengajukan perkara money launder-

ing

tanpa permintaan mutual legal assistance dari

pemerintah Indonesia.

Pemerintah Swiss dapat memperkarakan uang tersebut

sebagi hasil kejahatan pencucian uang money launder-

ing) . Dalam hal ini Pemerintah Swiss dapat meminta

kerjasama Pemerintah Indonesia untuk memberikan

informasi , hasil penyidikan yang diperlukan pemerintah

Swiss untuk memperkarakan uang tersebut. Apabila

menu rut putusan pengadilan Swiss di kemudian hari uang

tersebut dapat dirampas oleh penegak hukum Swiss,

maka pemerintah Indonesia kemudian dapat menyitanya

setelah ada putusan pekara di Pengadilan Indonesia.

Akan tetapi dengan mendasarkan pada kepastian hukum

dan didasarkan pada pembinaan hubungan bilateral yang

baik sebaiknya hal kerjasama tersebut dikukuhkan dalam

suatu bentuk perjanjian yang bersifat resmi dan sah

mengikat kedua belah pihak serta diakui oleh hukum

lntemasional.

45

Page 59: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 59/187

  6

••:

Sebagai contoh kerjasama bantuan hukum timbal

balik yang pernah dilakukan oleh Indonesia adalah

perjanjian bantuan hukum timbal balik dengan Australia.

Perjanjian tersebut sebenarnya telah ada sejak tanggal

27 Oktober 1995, tetapi baru disahkan dengan Undang

Undang

o

. 1 Tahun 1999 tentang Pengesahan Perjanjian

Antara Republik Indonesia Dan Australia Mengenai

Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Treaty

Between

The

Republic Of Indonesia nd Australia On

Mutual Assistance In Criminal Matters). Bantuan yang

dimaksud dalam perjanjian tersebut adalah berkaitan

dengan:

a) pengambilan alat bukti/barang bukti dan untuk

mendapatkan pernyataan dari orang, termasuk

pelaksanaan surat rogatoir;

b) pemberian dokumen dan catatan lain;

c) lokasi dan identifikasi dari orang;

d)

pel ks n n permint n

untuk

pencarian dan

penyitaan;

e) upaya-upaya untuk mencari , menahan dan menyita

hasil kejahatan;

f) mengusahakan persetujuan dari orang-orang yang

bersedia memberikan kesaksian atau membantu

penyidikan di Negara Peminta, dan jika orang itu

berada dalam tahanan ,

meng tur

pemindahan

sementara ke Negara tersebut;

g) penyampaian dokumen; dan .

h) bantuan lain yang sesuai dengan tujuan Perjanjian

ini yang tidak bertentangan dengan hukum negara

yang diminta.

Akan tetapi sayangnya e ~ n j i n bantuan timbal balik

antara pemerintah Indonesia dengan Autralia tersebut

Page 60: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 60/187

tidak mencakup mengenai ekstradisi seseorang, pelak

sanaan

di negara diminta mengenai putusan pidana yang

dijatuhkan di negara peminta, kecuali dalam batas yang

diperbolehkan oleh hukum negara diminta dan oleh

Perjanjian

ini

;dan pemindahan orang dalam penjara untuk

menjalani pidana. Selain itu perjanjian tersebut tidak

secara jelas mencantumkan tindak pidana korupsi

sebagai salah satu item dari

35

tiga puluh lima) item

yang ada dalam daftar kejahatan yang dapat menjadi

objek pemberian bantuan. Justru kejahatan yang

melanggar undang-undang mengenai suap termasuk

dalam objek pemberian bantuan.

Selain pembuatan perjanjian mengenai bantuan

timbal balik dalam masalah pidana, hubungan bilateral

yang dapat dilakukan dalam rangka pemberantasan

tindak pidana korupsi adalah pembuatan perjanjian

mengenai ekstradisi. Tercatat Indonesia telah

mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara :

1. Malaysia, sebagaimana yang telah disahkan dengan

Undang Undang No . 9 Tahun 97 4

tentang

Pengesahan e ~ a n j i a n Antara Pemerintah Republik

Indonesia Dan Pemerintah Malaysia Mengenai

Ekstradisi.

2. Republik Philippina , sebagaimana yang telah

disahkan dengan Undang-Undang

No

.

1

tahun 1976

tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara

Republik Indonesia Dan Republik Philippina Serta

Protokol.

3. Kerajaan Thailand, sebagaimana yang telah disahkan

dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1978

tentang Pengesahan Perjanjian Antara Pemerintah

Republik Indonesia

Dan

Pemerintah Kerajaan Thai

land Tentang Ekstradisi.

7

Page 61: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 61/187

  8

4. Australia sebagaimana yang telah disahkan dengan

Undang-Undang

Nomor

8 Tahun 1994 tentang

Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik

Indonesia Dan Australia dan

5 Hongkong sebagaimana telah disahkan dengan

Undang Undang No. 1 Tahun 2000 tentang

Pengesahan

Persetujuan

Antara Pemerintah

Republik Indonesia Dan Pemerintah Hong kong Untuk

Penyerahan Pelanggar Hukum

Yang

Melarikan Diri

Agreement Between The Government

Of

he

Re-

public

Of

Indonesia nd The

Government Of

Hongkong For The

SurrenderOfFugitive Offenders)

Page 62: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 62/187

A Kesimpulan

B B IV

PENUTUP

·1 Tindak pidana korupsi dikatogorikan sebagai kejahatan

luar biasa

extra ordinary crimes)

yang tidak hanya

menimbulkan bencana bagi perkonomian nasional tetapi

juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial

dan hak-hak ekonomi masyarakat.

2. Dalam pelaksanaan modus operasinya pelaku tindak

pidana korupsi seringkali memanfaatkan celah berupa

adanya batasan yurisdiksi dari satu negara dengan negara

yang lain.

3. Secara sistematis penyelidikan dan penyidikan sebagai

langkah awal pemberantasan tindak pidana korupsi harus

melibatkan kerjasama negara-negara lain.

4. Selain diperlukan sumber daya manusia yang handal

hukum nasional yang memadai  juga diperlukan adanya

suatu payung hukum internasional dalam mendukung

pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana

korupsi.

B

Saran

1

Diperlukan adanya suatu gerakan nasional dengan

pendekatan keimanan dan moral pendidikan serta sosio

kultural untuk menghilangkan dan memberantas budaya

korupsi yang ada di Indonesia.

9

Page 63: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 63/187

5

2 Segera mengadakan perjanjian-perjanjian dalam hal

ekstradisi dan mutual ega assistance dengan negara

negara lain dalam rangka menjalin kerjasama di bidang

pengungkapan tindak pidana korupsi.

3 Dibutuhkan pelatihan-pelatihan untuk membentuk sumber

daya manusia penyelidik dan penyidik yang mempunyai

keahlian di bidang teknik investigatif  hukum nasion a dan

internasional serta memahami dan mengetahui modus

modus operasi kejahatan kerah putih white collar crimes).

4

Dibutuhkan kajian dan penelitian-penelitian terhadap

konvensi-konvensi internasional yang dibutuhkan oleh

Indonesia serta kemungkinannya untuk dapat diterapkan

dalam sistem hukum Indonesia sehingga dapat

mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi.

5 Dibutuhkan adanya political will yang kuat dari pimpinan

pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi

yang

dimulai dengan penyempurnaan

peraturan

perundang-undangan yang ada di dalam negeri dan

melakukan ratifikasi terhadap konvensi-konvensi

internasional yang berkaitan dengan pemberantasan

tindak pidana korupsi.

Page 64: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 64/187

D FT R PUST K

Atmasasmita , Romli , 2004, Sekitar Masalah Korupsi spek

Nasiona dan Aspek lnternasional  Mandar Maju, Bandung.

· 2002, Korupsi  Good Governance  dan

Komisi Anti Korupsi di Indonesia  Percetakan Negara republik

Indonesia, 2002.

2004, spek

Hukum Nasi

onal

dan

/ntemasional Pemberantasan Korupsi 

Badan Pembinaan Hukum

Nasional.

· 2004,

lmplementasi Undang-Undang

Nomor

3

Tahun

1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi, Badan

Pembinaan Hukum Nasional.

Sjahdeini, Sutan Remy, 2004, Seluk Beluk Tindak Pidana

Pencucian uang

dan

Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama

Grafiti , Jakarta

Makalah:

Ramelan, 2004,

Penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi dan

Upaya Kejaksaan Memenuhi Ekspetasi Publik 

Makalah semi

nar dalam rangka Dies Natalis Universitas Sebelas Maret

ke

-

28, Surakarta

5

Page 65: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 65/187

5

Page 66: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 66/187

L MPIR N

5

Page 67: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 67/187

Preamble

United Nations

onvention

against orruption

The States Parties to t is Convention

Concerned

about the seriousness o problems and threats

posed by corruption to the stability and security

o

societies  un

dermining the institutions and values o democracy  ethical val

ues and justice and jeopardizing sustainable development and

the rule of law

Concerned also about the links between corruption and other

forms of crime  in particular organized crime and economic crime

including money-laundering

Concerned further

about cases

o

corruption that involve vast

quantities of assets. which may constitute a substantial propor

tion

o

the resources

o

States and that threaten the political

sta

bi lity nd

su

stainable development o those States 

Convinced that corruption is no longer a local matter but a

transnational phenomenon that affects all societies and econo

mies. making international cooperation to prevent and control it

essential 

Convinced also

that a comprehensive and multidisciplinary ap

proach

is

required to prevent and combat corruption effectively

Convinced further that the availability o technical assistance

can play n important role in enhancing the ability o States  in

cluding by strengthening capacity and by institution-building  to

prevent and combat corruption effectively

5

Page 68: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 68/187

Convinced

that the illicit acquisition o personal wealth can

be particularly damaging to democratic institutions, national econo

mies and the rule of law,

Determined to prevent, detect and deter in a more effective

manner international transfers o illicitly acquired assets and to

strengthen international cooperation in asset recovery,

cknowledging

the fundamental principles of due process

o law

in

criminal proceedings and

in

civil or administrative proceedings

to adjudicate property rights,

Bearing

in

mind that the prevention and eradication of cor

ruption is a responsibility of all States and that they must cooper

ate

with

one

another, with the support and involvement

o

indi

viduals and groups outside the public sector, such as civil soci

ety non-governmental organizations and community-based or

ganizations, if their efforts

in

this area are to e effective,

Bearing also

in

mind the principles of proper management

o

public affairs and public property, fairness, responsibility and equal

ity before the law and the need to safeguard integrity and to fos

ter a culture o rejection of corruption,

Commending the work of the Commission on Crime Preven

tion and Criminal Justice and the United Nations Office on Drugs

and Crime

in

preventing and combating corruption,

Recalling the work carried out by other international and re

gional organizations

in

this field, including the activities

o

the

African Union, the Council of Europe, the Customs Cooperation

Council also known as the World Customs Organization), the

European Union, the League of Arab States, the Organisation

for Economic Cooperation and Development and the Organiza

tion of American States,

Page 69: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 69/187

Taking note with appreciation ofmultilateral instruments to pre-

vent and combat corruption, including, inter alia, the Inter-Ameri-

can Convention against Corruption, adopted by the Organiza

tion

of

American States on 29 March 1996,

 

the Convention on

the Fight against Corruption involving Officials

of

the European

Communities or Officials

of

Member States

of

the European Union,

adopted by the Council of the European Union on 26 May 1997,

2

the Convention

on

Combating Bribery

of

Foreign Public Officials

in

International

Business

Transactions,

adopted

by

the

Organisation for Economic Cooperation and Development on

21

November 1997,

3

the Criminal Law Convention on Corruption,

adopted by the Committee of inisters

of

the Council

of

Europe

on 27 January 1999,

4

the Civil Law Convention n Corruption,

adopted by the Committee of Ministers of the Council

of

Europe

on

November 1999,

5

and the African Union Convention

on

Pre

venting and om bating Corruption, adopted by the Heads

of

State

and Government of the frican Union on 12 July 2003,

Welcoming the entry into force on 29 September 2003 of the

United Nations Convention against Transnational Organized

Crime,

6

Have

greed

as follows

See E/1996199.

2

Official Journal

of

the European Communities

C 195, 25 June 1997.

3

See Corruption nd Integrity Improvement Initiatives in Developing Countries

United Nations publication, Sales No. E.98.111 8.18).

• Council of Europe,

European Treaty

Series, No. 173.

5

Ibid., No. 174.

6

General Assembly resolution 55/25, annex I

6

Page 70: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 70/187

  hapter

I

General provisions

Article

Statement

o

purpose

he

purposes

o

this Convention are:

(a) To promote and strengthen measures to prevent and com-

bat corruption more efficiently and effectively;

(b)

To

promote, facilitate and support international cooperation

and technicalassistance in the prevention o and fight against

corruption , including

in

asset recovery;

(c)

To

promote integrity, accountability and proper management

o

public affairs and public property.

Article 2

Use

o

terms

For the purposes of this Convention:

(a) Public official  shall mean: (i) any person holding a legisla-

tive, xecutive, administrative or judicial office of a State Party,

whether appointed or lected, whether permanent

or

tempo-

rary, whether paid or unpaid, irrespective o hat person's se-

niority; (ii) any other person who performs a public function,

ncluding for a public agency

or

public enterprise, or provides

a public service, as efined

in

the domestic law

o

the State

Party and as applied in the pertinent area o aw o that State

Party; (iii) any other person defined as a public official  in

the omestic law of a State Party. However, for the purpose o

some specific measures ontained in chapter of this Con-

vention, public official  may mean any person ho performs a

public function or provides a public service as defined in the

omestic law of the State Party and as applied

in

the pertinent

area o law of that tate Party;

7

Page 71: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 71/187

(b) Foreign public official shall mean any person holding a leg-

islative, xecutive, administrative or judicial office of a foreign

country, whether appointed r elected; and any person exer-

cising a public function for a foreign country, including for a

public agency

or

public enterprise;

(c) Official o a public international organization shall mean an

international civil servant

or

any person who is authorized by

such an organization to act on behalf o that organization;

(d) Property shall mean assets o every kind, whether corpo-

real or incorporeal, movable

or

immovable, tangible or intan-

gible, and legal documents or instruments evidencing title to

or

interest in such assets;

(e) Proceeds o crime shall mean any property derived from

or

obtained, directly or indirectly, through the commission

o

an offence;

f)

Freezing• or seizure shall mean temporarily prohibiting the

transfer, conversion, disposition or movement o property or

temporarily assuming custody

or

control o property on the

basis o an order issued by a court or other competent au-

thority;

(g) Confiscation , which includes forfeiture where applicable,

shall mean the permanent deprivation o property by order

o

a court or other competent authority;

(h) Predicate offence  shall mean any offence as a result o

which proceeds have been generated that may become the

subject o an offence as defined in article 23 o this Conven-

tion;

(i) Controlled delivery shall mean the technique of allowing

illicit or suspect consignments to pass out of, through or into

the territory o one or more States, with the knowledge and

8

Page 72: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 72/187

under the supervision of their competent authorities with a

view to the investigation of an offence and the identification

of persons involved in th e commission of the offence.

Article

Scope o application

1. This Convention shall apply in accordance with its terms to

the prevention investigation and prosecution of corruption

and to the freezing seizure confiscation and return of the

proceeds of offences established

in

accordance with this Con-

vention.

2. For the purposes of implementing this Convention it shall

not be necessary except as otherwise stated herein for the

offences set forth in it to result in damage or harm to state

property.

Article 4

Protection o sovereignty

1. States Parties shall carry out their obligations under this Con-

vention

in

a manner consistent with the principles of sover-

eign equality and territorial integrity of States and that of non-

intervention in the domestic affairs of other States.

2.

Nothing

in

this Convention shall entitle a State Party to un-

dertake in theterritory of another State the exercise of juris-

diction and performance of functions that are reserved ex-

clusively

for

the

uthorities of th t other

State by its

domesticlaw.

9

Page 73: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 73/187

Chapter II

Preventive Measures

Article 5

Preventive anti corruption policies and practices

1. Each State Party shall

in

accordance with the fundamental

principles o its legal system develop and implement or main-

tain effective coordinated anticorruptionpolicies that promote

the participation

o

society and reflect the principles

o

the

rule o law proper management o public affairs and public

property integrity transparency and accountability.

2. Each State Party shall endeavour to establish and promote

effective practices aimed at the prevention o corruption.

3. Each State Party shall endeavour to periodically evaluate rel-

evant legal instruments and administrative measures with a

view to determining their adequacy to prevent and fight cor-

ruption.

4. States Parties shall as appropriate and in accordance with

the fundamental principles o their legal system collaborate

with each other and with relevant international and regional

organizations in promoting and developing the measures

referred to in this article. That collaboration may include par-

ticipation in international programmes and projects aimed at

the prevention o

corruption.

Article 6

Preventive anti corruption body r

bodies

1. Each State Party shall in accordance with the fundamental

principles of its legal system ensure the existence of a body

or bodies as appropriate that prevent corruption

by

such

means as:

6

Page 74: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 74/187

 a) Implementing the policies referred to in article 5 of this

Cpnvention and, where appropriate, overseeing and co

ordinating the implementation of those policies;

b) Increasing and disseminating knowledge about the pre

vention of corruption.

2. Each State Party shall grant the body or bodies referred to in

paragraph 1 of this article the necessary independence, in

accordance with the fundamental principles o its legal sys

tem, to enable the body or bodies to carry out its or their

functions effectively and free from any undue influence. The

necessary material resources and specialized staff, as well

as the training that such staff may require to carry out their

functions, should be provided.

3. Each State Party shall inform the Secretary-General o the

United Nations of the name and address of the authority

or

authorities that may assist other States Parties

in

developing

and implementing specific measures for the prevention

o

corruption.

Article

Public sector

1. Each State Party shall, where appropriate and in accordance

with thefundamental principles

o its legal system, endeav

our to adopt, maintain and strengthen systems for the re

cruitment, hiring, retention, promotion and retirement o civil

servants and, where appropriate, other non-elected public

officials :

a)

That are based on principles of efficiency, transparency

and objective criteria such

as

merit, equity and aptitude;

6

Page 75: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 75/187

 b) That include adequate procedures for the selection and

training o individuals for public positions

o n s i d e r ~ d

es-

pecially vulnerable to corruption and the rotation, where

appropriate,

o

such individuals to other positions;

{c) That promote adequate remuneration and equitable pay

scales, taking into account the level o economic devel-

opment o the State Party;

d) That promote education and training programmes to en-

able them to meet the requirements or the correct,

honourable and proper performance

o

public functions

and that provide them with specialized and appropriate

training to enhance their awareness o the risks o cor-

ruption inherent in the performance of their functions .

Such programmes may make reference to codes or stan-

dards o conduct in applicable areas.

2.

Each State Party shall also consider adopting appropriate

legislative and administrative measures, consistent with the

objectives

o

this Convention and

in

accordance with the fun-

damental principles o its domestic law, to prescribe criteria

concerning candidature for and election to public office.

3.

Each State Party shall also consider taking appropriate leg-

islative and administrative measures, consistent with the ob-

jectives

o

this Convention and

in

accordance with the fun-

damental principles

o

its domestic

law

to enhance transpar-

ency in the funding o candidatures for elected public office

and, where applicable, the funding o political parties.

4.

Each State Party shall, in accordance with the fundamental

principles o its domestic

law

endeavour to adopt, maintain

and strengthen systems that promote transparency and pre-

vent conflicts o interest.

6

Page 76: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 76/187

Article

Codes o conduct for public officials

1.

In

order

to

fight corruption each State Party shall promote 

inter alia integrity  honesty and responsibility among its pub-

lic officials 

in

accordance with the fundamental principles of

its legal system.

2.

In

particular each State Party shall endeavour

to

apply  within

its own institutional and legal systems  codes or standards of

conduct for the correct  honourable and proper performance

o

public functions .

3. For the purposes of implementing the provisions

o

this ar-

ticle  each State Party shall where appropriate and

in

accor-

dance with the fundamental principles of its legal system  

take note o the relevant initiatives of regional   interregional

and multilateral organizations  such

as

the International Code

o Conduct for Public Officials contained

in

the annex to

General Assembly resolution 51/59 of

2

December 1996.

4. Each State Party shall also consider 

in

accordance with the

fundamental principles of its domestic law  establishing mea-

sures and systems to facilitate the reporting by public offi-

cials o acts of corruption to appropriate authorities when

such acts come

to

their notice

in

the performance

o

their

functions.

5. Each State Party shall endeavour  where appropriate and

in

accordance with the fundamental principles of its domestic

law  to establish measures and systems requiring public offi-

cials to make declarations to appropriate authorities rega rd-

ing   inter alia their outside activities  employment  invest-

ments assets and substantial gifts or benefits from which a

conflict of interest may result with respect to their functions

as public officials.

6

Page 77: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 77/187

6. Each State Party shall consider taking, in accordance with

the fundamental principles

o

its domestic law, disciplinary

or

other measures against public officials who violate the codes

or

standards established in accordance with this article.

Article

Public procurement

nd

management

of

public finances

1. Each State Party shall , in accordance with the fundamental

principles o its legal system, take the necessary steps to

establish appropriate systems o procurement, based on trans

parency, competition and objective criteria

n

decision -mak

ing, that are effective, inter alia, n preventing corruption. Such

systems, which may take into account appropriate threshold

values

n

theirapplication, shall address, inter alia:

6

a) The public distribution o information relating to procure

ment procedures and contracts, including information

on

invitations to tender and relevant or pertinent informa

tion

on

the award

o

contracts, allowing potential tenderers

sufficient time to prepare and submit their tenders;

b) The establishment,

n

advance,

o

conditions for partici

pation, including selection and award criteria and ten

dering rules, and their publication;

c) The use

o

objective and predetermined criteria for pub

lic procurement decisions,

n

order to facilitate the sub

sequent verification

o

the correct application

o

the rules

or procedures;

d) An effective system of domestic review, including an ef

fective system

o

appeal , to ensure legal recourse and

remedies

n

the event that the rules or procedures es

tablished pursuant to this paragraph are not followed;

Page 78: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 78/187

 e) Where appropriate, measures to regulate matters regard

ing personnel responsible for procurement, such as dec

laration of interest in particular public procurements,

screening procedures and training requirements .

2. Each State Party shall , in accordance with the fundamental

principles of its legal system, take appropriate measures to

promote transparency and accountability in the management

o public finances. Such measures shall encompass, inter

alia:

a

) Procedures for the adoption of the national budget;

b) Timely reporting on revenue and expenditure;

c) A system of accounting and auditing standards and re

lated oversight;

d) Effective and efficient systems of risk management and

internal control; and

e) Where appropriate, corrective action

in

the case

o

fail

ure to comply with the requirements established in this

paragraph.

3.

Each State Party shall take such civil and administrative mea

sures

as

may be necessary,

in

accordance with the funda

mental principles o its domestic law, to preserve the integ

rity of accounting books, records , financial statements or other

documents related to public expenditure and revenue and to

prevent the falsification o such documents.

Article 1

Public reporting

Taking into account the need to combat corruption, each State

Party shall ,

in

accordance with the fundamental principles of its

domestic law, take such measures as may be necessary to en-

6

Page 79: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 79/187

hance transparency

n

its public administration, including with

regard

to

its organization, functioning and decision-making pro

cesses, where appropriate. Such measures may include, inter

alia:

a) Adopting procedures

or

regulations allowing members o the

general public to obtain, where appropriate, information on

the organization, functioning and decision-making processes

o its public administration and, with due regard for the pro

tection o privacy and personal data,

on

decisions and legal

acts that concern members

o

the public;

b) Simplifying administrative procedures, where appropriate,

n

order to facilitate public access to the competent decision

making authorities; and

c) Publishing information, which may include periodic reports

on the risks

o

corruption in its public administration.

rticle

Measures

relating to the judiciary and prosecution

services

1. Bearing in mind the independence

o

the judiciary and its

crucial role in combating corruption, each State Party shall ,

n

accordance with the fundamental principles of its legal sys

tem and without prejudice to judicial independence, take

measures to strengthen integrity and to prevent opportuni

ties for corruption among members of the judiciary. Such mea

sures may include rules with respect to the conduct of mem

bers of the judiciary.

2. Measures to the same effect as those taken pursuant to para

graph 1

o

this article may be introduced and applied within

the prosecution service n those States Parties where it does

not form part

o

the judiciary but enjoys independence simi

lar to that o the judicial service.

Page 80: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 80/187

Article 2

Private sector

1. Each State Party shall take measures,

in

accordance with

the fundamental principles of its domestic law to prevent cor-

ruption involving the private sector, enhance accounting and

auditing standards

in

the private sector and, where appropri-

ate, provide effective, proportionate and dissuasive civil , ad-

ministrative or criminal penalties for failure to comply with

such measures.

2. Measures to achieve these ends may include, inter alia:

a) Promoting cooperation between law enforcement agen-

cies and relevant private entities;

b) Promoting the development o standards and procedures

designed to safeguard the integrity of relevant private

entities , including codes

o

conduct for the correct,

honourable and proper performance of the activities o

business and all relevant professions and the preven-

tion of conflicts o interest, and for the promotion o the

use of good commercial practices among businesses and

in the contractual relations o businesses with the State;

c) Promoting transparency among private entities, includ-

ing, where appropriate, measures regarding the identity

o

legal and natural persons involved

in

the establishment

and management o corporate entities;

d) Preventing the misuse of procedures regulating private

entities, including procedures regarding subsidies and li-

cences granted by public authorities for commercial ac-

tivities;

e) Preventing conflicts o interest by imposing restrictions,

as

appropriate and for a reasonable period of time, on the

professional activities o former public officials or on the

7

Page 81: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 81/187

employment o public officials by the private. sector after

their resignation or retirement, where such activities or

employment relate directly to the functions held or super

vised by those public officials during their tenure ;

f) Ensuring that private enterprises, taking into account their

structure and size, have sufficient internal auditing con

trols to assist in preventing and detecting acts

o

corrup

tion and that the accounts and required financial state

ments

o

such private enterprises are subject to appropri

ate auditing and certification procedures.

3. In order to prevent corruption, each State Party shall take

such measures as may be necessary, in accordance with its

domestic laws and regulations regarding the maintenance o

books and records, financial statement disclosures and ac

counting and auditing standards, to prohibit the following acts

carried out or the purpose o committing any of the offences

established in accordance with this Convention :

a)

The establishment

o

off-the-books accounts;

b) The making o off-the-books or inadequately identified

transactions;

c) The recording

o

non-existent expenditure;

d) The entry o liabilities with incorrect identification o their

objects;

e) The use of.false documents; and

f) The intentional destruction o bookkeeping documents

earlier than foreseen

by

the law.

4. Each State Party shall disallow the tax deductibility

o

ex

penses that constitute bribes, the latter being one

o the con

stituent elements

o

the offences established in accordance

with articles 15 and 16 of this Convention and, where appro

priate, other expenses incurred

in

furtherance

o

corrupt con

duct.

8

Page 82: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 82/187

Article

3

Participation o society

.

1.

Each State Party shall take appropriate measures, within its

means and in accordance with fundamental principles of its

domestic law, to promote the active participation

o

individu

als and groups outside the public sector, such as civil soci

ety, non-governmental organizations and community-based

organizations, in the prevention of and the fight against cor

ruption and to raise public awareness regarding the exist

ence, causes and gravity

o

and the threat posed by corrup

tion. This participation should be strengthened by such mea

sures as:

a) Enhancing the transparency o and promoti

ng

the con

tribution of the public to decision-making processes;

b) Ensuring that the public has effective access to informa

tion;

c) Undertaking public information activities that contribute

to non-tolerance of corruption, as well as public educa

tion programmes, including school and university cur

ricula ;

d) Respecting, promoting and protecting the freedom to

seek, receive, publish and disseminate information con

cerning corruption. That freedom may be subject to cer

tain restrictions, but these shall only

be

such

as

are pro

vided for by law and are necessary:

i) For respect of the rights or reputations of others ;

ii) For the protecti

on

o national security or

ordre pub

lic or of public healthor morals.

2. Each State Party shall take appropriate measures to ensure

that the relevant anti-corruption bodies referred to

in

this Con

vention are known to the public and shall provide access to

9

Page 83: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 83/187

such bodies, where appropriate. for the reporting, including

anon

ym

ously, of any incidents that may

e

considered to con

stitute an offence established

in c ~ o r d n c e

with this Conven

tion .

Article 4

Measures to prevent money laundering

1. Each State Party shall:

a)

Institute a comprehensive domestic regulatory and su

pervisory regime for banks and non-bank financial in

stitutions, including natural or legal persons that provide

formal or informal services for the transmission

o

money

or value and, where appropriate , other bodies particu

larly susceptible to money-laundering, within its compe

tence,

in

order to deter and detect all forms o money

laundering, which regime shall emphasize requirements

for customer and, where appropriate, beneficial owner

identification, record-keeping and the reporting o suspi

cious transactions;

b) Without prejudice to article 46 o this Convention, en

sure that administrative, regulatory, law enforcement and

other authorities dedicated to combating money-launder

i

ng i

ncluding, where appropriate under domestic law,

judicial authorities) have the ability to cooperate and ex

change information at the national and international lev

els w

it

hin the conditions prescribed

by

its domestic law

and, to that end, shall consider the establishment

o

a

financ·al intelligence unit to serve as a national centre

for the collection , analysis and dissemination o informa

tion regarding potential money-laundering .

2.

States Parties shall consider implementing feasible measures

to

detect and monitor the movement of cash and appropriate

7

Page 84: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 84/187

negotiable instruments across their borders, subject to safe

guards to ensure proper use of information and without im

peding

in

any way the movement of legitimate capital. Such

measures may include a requirement that individuals and

businesses report the cross-border transfer of substantial

quantities of cash and appropriate negotiable instruments.

3

States Parties shall consider implementing appropriate and

feasible measures to require financial institutions, including

money remitters:

a)

To

include

on

forms for the electronic transfer

o

funds

and related messages accurate and meaningful infor

mation on the originator;

b)

To

maintain such information throughout the payment

chain; and

c) To apply enhanced scrutiny to transfers o funds that do

not contain complete information on the originator.

4

In

establishing a domestic regulatory and supervisory re-

gime under the terms of this article, and without prejudice to

any other article of this Convention, States Parties are called

upon to use as a guideline the relevant initiatives of regional,

interregional and multilateral organizations against money

laundering.

5

States Parties shall endeavour to develop and promote glo

bal, regional , subregional and bilateral cooperation among

judicial, law enforcement and financial regulatory authorities

in order to combat money-laundering.

7

Page 85: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 85/187

  hapter

Ill

riminalization and law enforcement

Article 5

Bribery o national public officials

Each State Party shall adopt such legislative and other mea-

sures as may be necessary to establish as criminal offences,

when committed intentionally:

a) The promise, offering or giving, to a public offici

al

, di rectly or

indirectly, of an undue advantage, for the official himself or

herself or another person or entity, in order that t

he

offici

al

act or refrain from acting in the exercise of his or

he

r official

duties;

b) The solicitation or acceptance by a public officia l directly or

indirectly, of an undue advantage, for the official himself or

herself or another person or entity,

in

order that the official

act or refrain from acting in the exercise of his or her official

duties.

Article 6

Bribery

o

foreign public officials and officials

o

public interna-

tional organizations

1. Each State Party shall adopt such legislative and other mea-

sures as may be necessary to establish as a criminal of-

fence, when committed intentionally, the promise, offeri

ng

or

giving to a foreign public official or an official of a public in-

ternational organization, directly or indirectly, of

an

undue

advantage, for the

7

official himself or herself or another person or entity, in order

that the official act or refrain from acting

in

the exercise of

his or her official duties, in order to obtain or retain business

or other undue advantage in relation to the conduct of inter-

national business.

/

Page 86: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 86/187

2. Each State Party shall consider adopting such legislative

and other measures as may be necessary to establish as a

criminal offence, when committed intentionally, the solicita-

tion

or

acceptance by a foreign public official or an official

o

a public international organization, directly or indirectly,

o

an

undue advantage, for the official himself or herself

or

an-

other person or entity, in order that the official act or refrain

from acting

in

the exercise o his or her official duties.

Article 17

Embezzlement misappropriation

or

other diversion

ofproperty y public official

Each State Party shall adopt such legislative and other mea-

sures as may be necessary to establish as criminal offences,

when committed intentionally, the embezzlement, misappropria-

tion or other diversion by a public official for his or her benefit

or

or the benefit o another person or entity, o any property, public

or

private funds or securities or any other thing

o

value en-

trusted to the public official by virtue

o

his

or

her position.

Article 18

Trading in influence

Each State Party shall consider adopting such legislative and

other measures as may be necessary to establish as criminal

offences, when committed intentionally:

a) The promise, offering or giving to a public official or any other

person , directly or indirectly, o n undue advantage

in

order

that the public official or the person abuse his

or

her real or

supposed influence with a view to obtaining from

n

admin-

istration or public authority

o

the State Party n undue ad-

vantage for the original instigator of the act or for any other

person;

73

Page 87: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 87/187

Page 88: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 88/187

 a) The promise, offering or giving, directly

or

indirectly, of an

undue advantage to any person who directs

or

works, in any

capacity, for a private sector entity, for the person himself or

herself or for another person, in order that he or she,

in

breach

of

his or her duties, act or refrain from acting;

b) The solicitation or acceptance, directly or indirectly, of

an

un-

due advantage by any person who directs or works, in any

capacity, for a private sector entity, for the person himself or

herself or for another person, in order that he or she, in breach

of

his or her duties, act or refrain from acting.

Article

Embezzlement

o

property in the private sector

Each State Party shall consider adopting such legislative and

other measures as may be necessary to establish as a criminal

offence, when committed intentionally in the course of economic,

financial or commercial activities, embezzlement by a person who

directs or works, in any capacity, in a private sector entity

of

any

property, private funds or securities or any other thing of value

entrusted to him or her by virtue of his

or

her position.

Article 23

Laundering

o

proceeds

o

crime

1 Each State Party shall adopt, in accordance with fundamen-

tal principles of its domestic law, such legislative and other

measures as may be necessary to establish as criminal of-

fences, when committed intentionally:

a) i) The conversion or transfer of property, knowing that

such property is the proceeds of crime, for the pur-

pose

of

concealing

or

disguising the illicit origin

of

the property or of helping any person who is involved

in the commission

of

the predicate offence to evade

the legal consequences

of

his

or

h r

action;

7

Page 89: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 89/187

 ii)

he concealment or disguise of

the true nature,

source, location, disposition, movement or owner-

ship of or rights with respect to property, knowing

that such property is

the

proceeds

of

crime;

b) Subject to the basic concepts of its legal system:

i) The acquisition, possession

or

use of property, know-

ing, at the time of receipt, that such property is the

proceeds

of crime;

ii) Participation in, association with or conspiracy to com-

mit, attempts to commit and aiding, abetting, facilitat-

ing and counselling the commission of any of the of-

fences established in accordance with this article.

2. For .purposes of implementing or applying paragraph 1 of

this article:

7

a) Each State Party shall seek to apply paragraph 1 of this

article to the widest range of predicate offences;

b) Each State Party shall include as predicate offences at a

minimum a comprehensive range of criminal offences

established in accordance with this Convention ;

c) For the purposes

of subparagraph b) above, predicate

offences shall include offences committed both within and

outside the jurisdiction of the State Party in question. How-

ever, offences committed outside the jurisdiction of a State

Party shall constitute predicate offences only when the

relevant conduct is a criminal offence under the domes-

tic law of the State where it is committed and would be a

criminal offence under the domestic law

of

the State Party

implementing or applying this article had it been commit-

ted there;

d) Each State Party shall furnish copies of its laws that give

effect to this article and of any subsequent changes

to

Page 90: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 90/187

Page 91: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 91/187

 b) The use

o

physical force, threats or intimidation to interfere

with the exercise o official duties by a justice or. law enforce

ment official in relation to the commission

o

offences estab

lished

in

accordance with this Convention. Nothing

in

this sub

paragraph shall prejudice the right

o

States Parties to have

legislation that protects other categories o public official.

Article 6

Liability

o

legal persons

1. Each State Party shall adopt such measures as may be nec

essary, consistent with its legal principles, to establish the

liability

o

legal persons for participation in the offences es

tablished in accordance with this Convention.

2. Subject to the legal principles of the State Party, the liability

o legal persons may be criminal, civil or administrative.

3. Such liability shall be without prejudice to the criminal liability

o

the natural persons who have committed the offences.

4. Each State Party shall, in particular, ensure that legal per

sons held liable

in

accordance with this article are subject to

effective, proportionate and dissuasive criminal or non-crimi

nal sanctions, including monetary sanctions.

Article 27

Participation and attempt

1. Each State Party shall adopt such legislative and other mea

sures as may be necessary to establish

as

a criminal offence,

in accordance with its domestic law participation

in

any ca

pacity such as an accomplice, assistant or instigator

in

an

offence established

in

accordance with this Convention.

2.

Each State Party may adopt such legislative and other mea

sures as may be necessary to establish as a criminal offence,

8

Page 92: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 92/187

in accordance with its domestic law  any attempt to commit

an offence established in accordance with this Convention.

3. Each State Party may adopt such legislative and other mea-

sures as may be necessary to establish as a criminal of-

fence in accordance with its domestic law  the preparation

for an offence established in accordance with this Conven-

tion.

Article 28

Knowledge  intent and purpose as elements o an offence

Knowledge intent or purpose required as an element o an

offence established in accordance with this Convention may e

inferred from objective factual circumstances.

Article 29

Statute o imitations

Each State Party shall   where appropriate establish under

its domestic law a long statute

o

limitations period in which to

commence proceedings for any offence established

in

accordance

with this Convention and establish a longer statute

o limitations

period or provide for the suspension o the statute o limitations

where the alleged offender has evaded the administration o us-

tice.

Article 30

Prosecution  adjudication and n c t i o n ~

1. Each State Party shall make the commission

o

an offence

established

in

accordance with this Convention liable to sanc-

tions that take into account the gravity of that offence.

2 Each State Party shall take such measures as may be nec-

essary to establish or maintain   in accordance with its legal

system and constitutional principles an appropriate balance

between any immunities or jurisdictional privileges accorded

to its public officials for the performance

o

their functions

9

Page 93: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 93/187

and the possibility when necessary  o effectively investigat-

ing  prosecuting and adjudicating offences established in ac-

cordance with this Convention.

3. Each State Party shall endeavour to ensure that any discre-

tionary legal powers under its domestic law relating to the

prosecution o persons for offences established

in

accordance

with this Convention are exercised to maximize the effec-

tiveness o law enforcement measures in respect o those

offences and with due regard to the need to deter the com-

mission o such offences.

4. In the case o offences established in accordance with this

Convention each State Party shall take appropriate mea-

sures in accordance with its domestic law and with due re-

gard to the rights o the defence  to seek to ensure that con-

ditions imposed in connection with decisions

on

release pend-

ing trial or appeal take into consideration the need to ensure

the presence

o

the defendant at subsequent criminal pro-

ceedings.

5. Each State Party shall take into account the gravity o the

offences concerned when considering the eventuality o early

release or parole o persons convicted o such offences.

6. Each State Party to the extent consistent with the funda-

mental principles o its legal system  shall consider estab-

lishing procedures through which a public official accused

o

an offence established in accordance with this Convention

may  where appropriate e removed  suspended or reas-

signed by the appropriate authority bearing in mind respect

for the principle o the presumption o innocence.

7. Where warranted by the gravity of the offence  each State

Party  to the extent consistent with the fundamental principles

o

its legal system  shall consider establishing procedures

8

Page 94: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 94/187

for the d i s q u l i f i t i o n by court order or any other appropri-

ate means, for a period of time determined by its domestic

aw, of persons convicted o offences established

in

accor-

dance with this Convention from:

a) Holding public office; and

b) Holding office in an enterprise owned in whore or in part

by the State.

8. Paragraph 1 o this article shall be without prejudice to the

exercise of disciplinary powers by the competent authorities

against civil servants.

9. Nothing contained in this Convention shall affect the prin-

ciple that the description of the offences established in ac-

cordance with this Convention and of the applicable legal

defences or other legal principles controlling the lawfulness..

of conduct is reserved to the domestic law of a State Party

and that such offences shall be prosecuted

and

punished in

c c o r d n ~

with that law.

10. States Parties shall endeavour to promote the reintegration

into society of persons convicted of offences established

in

accordance with this Convention.

Article

3

Freezing, seizure and confiscation

1. Each State Party shall take, to the greatest extent possible

within its domestic legal system, such measures as may be

necessary to enable confiscation of:

a) Proceeds of crime derived from offences established

in

accordance with this Convention or property the value of

which corresponds to that of such proceeds;

b)

Property, equipment or other instrumentalities used in or

destined for use

in

offences established

in

accordance

with this Convention.

8

Page 95: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 95/187

2. Each State Party shall take such measures as may be nec-

essary to enable the identification  tracing  freezing or sei-

zure of any

item

referred to

in

paragraph 1 of this article for

the purpose

of

eventual confiscation.

3. Each State Party shall adopt in accordance with its domes-

tic law  such legislative and other measures as may

be

nec-

essary to regulate the administration by the competent au-

thorities of frozen seized or confiscated property covered in

paragraphs 1 and 2 of this article.

4. If such proceeds of crime have been transformed or con-

verted  in part or

in

full into other property  such property

shall be liable to the measures referred to

in

this article in-

stead of the proceeds.

5. f such proceeds of crime have been intermingled with prop-

erty acquired from legitimate sources such property shall 

without prejudice to any powers relating to freezing or sei-

zure be liable to confiscation up to the assessed value of

the intermingled proceeds.

6. Income or other benefits derived from such proceeds of crime

from property into which such proceeds of crime have been

transformed or converted or from property with which such

proceeds

of crime have been intermingled shall also be li-

able to the measures referred to

in

this article

in

the same

manner and to the same extent as proceeds of crime.

7.

For the purpose

of

this

_prticle

and article 55 of this Conven-

tion each State Party shall empower its courts or other com-

petent authorities to order that bank  financial or commercial

records be made available or seized. A State Party shall not

decline to act under the provisions of this paragraph on the

ground of bank secrecy.

8. States Parties may consider the possibility of requiring that

an

offender demonstrate the lawful origin of such alleged

proceeds

of

crime

or

other property liable to confiscation  to

8

Page 96: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 96/187

the extent that such a requirement is consistent with the fun-

damental principles o their domestic law and with the nature

o

judicial and other proceedings.

9. The provisions of this article shall not be so construed as to

prejudice the rights of bona fide third parties.

1 0. Nothing contained

in

this article shall affect the principle that

the measures to which it refers shall be defined and imple-

mented

in

accordance with and subject to the provisions

o

the

domestic law of a State Party.

Article 32

Protection

of

witnesses experts nd victims

1. Each State Party shall take appropriate measures

in

accor-

dance with its domestic legal system and within its means to

provide effective protection from potential retaliation or in-

timidation for witnesses and experts who give testimony con-

cerning offences established

in

accordance with this Con-

vention and, as appropriate, for their relatives and other per-

sons close to them .

2.

The measures envisaged in paragraph 1

o

this article may

include, inter alia, without prejudice to the rights

o

the de-

fendant , including the right to due process:

a) Establishing procedures for the physical protection of such

persons, such as to the extent necessary and feasible,

relocating them and permitting , where appropriate, non-

disclosure or limitations

on

the disclosure

o

information

concerning the identity and whereabouts

o

such per-

sons;

b) Providing evidentiary rules to permit witnesses and ex-

perts to give testimony

in

a manner that ensures the safety

o

such person.s, such as permitting testimony to

be

given

through the use of communications technology such as

video or other adequate means.

8

Page 97: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 97/187

3. States Parties shall consider entering into agreements or ar

rangements with other States for the l elocation of persons

referred to

in

paragraph 1 of this article.

4. The provisions of this article shall also apply to victims inso

f r as they are witnesses.

5. Each State Party shall, subject to its domestic law enable

the views and concerns of victims to be presented and con

sidered at appropriate stages of criminal proceedings against

offenders in a manner not prejudicial to the rights of the de-

fence.

Article

Protection

of

reporting persons

Each State Party shall consider incorporating into its domes

tic legal system appropriate measures to provide protection against

any unjustified treatment for any person who reports in good faith

and on reasonable grounds to the competent authorities any facts

concerning offences established

in

accordance with this Con

vention.

Article 4

Consequences

of

acts

of

corruption

With due regard to the rights of third parties acquired in good

faith, each State Party shall take measures, in accordance with

the fundamental principles of its domestic law to address conse

quences

of

corruption.

In

this context, States Parties may con

sider corruption a relevant factor in legal proceedings to annul or

rescind a contract, withdraw a concession

or

other similar instru

ment or take any other remedial action.

Article

5

Compensation for damage

Each State Party shall take such measures as may be nec

essary, in accordance with principles

of

its domestic law, to en-

8

Page 98: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 98/187

sure that entities or persons who have suffered damage as a

result o an act o corruption have the right to initiate legal pro-

ceedings against those responsible for that damage in order to

obtain compensation.

Article 6

Specialized authorities

Each State Party shall in accordance with the fundamental

principles of its legal system  ensure the existence o a body or

bodies

or

persons specialized in combating corruption through

law enforcement. Such body or bodies or persons shall

be

granted

the necessary independence in accordance with the fundamen-

tal principles of the legal system o the State Party to be able to

carry out their functions effectively and without any undue influ-

ence. Such persons or staff of such body or bodies should have

the appropriate training and resources to carry out their tasks.

Article 7

Cooperation with aw enforcement authorities

1 Each State Party shall take appropriate measures to encour-

age persons who participate or who have participated

in

the

commission of an offence established in accordance with this

Convention to supply information useful to competent au-

thorities for investigative and evidentiary purposes and to

provide factual   specific help to competent authorities that

may contribute to depriving offenders of the proceeds of crime

and to recovering such proceeds.

2. Each State Party shall consider providing for the possibility 

in appropriate cases of mitigating punishment of an accused

person who provides substantial cooperation in the investi-

gation or prosecution of an offence established in accordance

with this Convention.

8

Page 99: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 99/187

3. Each State Party shall consider providing for the possibility,

in

accordance with fundamental principles of its domestic

law

o granting immunity from prosecution to a person who pro-

vides substantial cooperation

in

the investigation

or

prosecu-

tion o an offence established in accordance with this Con-

vention.

4. Protection of such persons shall be, mutatis mutandis, as

provided for

in

article 32

o

this Convention.

5. Where a person referred to in paragraph 1 o this article lo-

cated

in

one State Party can provide substantial cooperation

to the competent authorities o another State Party, the States

Parties concerned may consider entering into agreements

or arrangements,

in

accordance with their domestic law, con-

cerning the potential provision by the other State Party o the

treatment set forth in

paragraphs 2 and 3 o this article.

Article 8

Cooperation between national authorities

Each State Party shall take such measures as may be nec-

essary to encourage,

in

accordance with its domestic law, coop-

eration between, on

the one hand, its public authorities, as well

as its public officials, and, on the other hand, its authorities re-

sponsible for investigating

and prosecuting criminal offences. Such

cooperation may include:

a) Informing the latter authorities,

on

their own initiative, where

there are reasonable grounds to believe that any

o

the of-

fences established

in

accordance with articles 15, 21 and 23

o this Convention has been committed; or

b) Providing, upon request, to the latter authorities all neces-

sary information.

8

Page 100: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 100/187

Article 39

CooperaJion between national authorities

nd

the private sector

1

Each State Party shall take such measures as may be nec-

essary to encourage

in

accordance with its domestic law 

cooperation between national investigating and prosecuting

authorities and entities o the private sector  in particular fi-

nancial institutions relating to matters involving the commis-

sion

o

offences established in accordance with this Conven-

tion.

2. Each State Party shall consider encouraging its nationals and

other persons with a habitual residence in its territory to re-

port to the national investigating and prosecuting authorities

the commission o an offence established in accordance with

this Convention.

Article 4

Bank secrecy

Each State Party shall ensure that in the case

o

domestic

criminal investigations

o

offences established in accordance with

this Convention there are appropriate mechanisms available within

its domestic legal system to overcome obstacles that may arise

out o the application o bank secrecy laws.

Article 4

Criminal record

Each State Party may adopt such legislative or other mea-

sures as may be necessary to take into consideration under such

terms as and for the purpose that it deems appropriate any previ-

ous conviction

in

another State

o an

alleged offender for the

purpose

o

using such information

in

criminal proceedings relat-

ing to

an

offence established in accordance with this Conven-

tion.

87

Page 101: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 101/187

Article 4

Jurisdiction

1. Each State Party shall adopt such measures as may be nec-

essary to establish its jurisdiction over the offences estab-

lished in accordance with this Convention when :

a) The offence is committed in the territory o that State

Party; or

b) The offence is committed on board a vessel that is flying

the flag of that State Party

or

an aircraft that is regis-

tered under the laws

o

that State Party at the time that

the offence is committed.

2. Subject to article 4 o this Convention, a State Party may

also establish its jurisdiction over any such offence when:

a) The offence is committed against a national o that State

Party; or

b) The offence is committed by a national of that State Party

or a stateless person who has his or her habitual resi-

dence in its territory; or

c) The offence is one of those established in accordance

with article 23, paragraph 1 b) ii),

o

this Convention

and is committed outside its territory with a view to the

commission o n offence established in accordance with

article 23, paragraph 1 a) i) or ii) or b) i), o this Con-

vention within its territory;

or

d) The offence is committed against the State Party.

3. For the purposes of article 44 o this Convention, each State

Party shall take such measures as may be necessary to es-

tablish its jurisdiction over the offences established

in

accor-

dance with this Convention when the alleged offender is

present

in

its territory and it does not extradite such person

solely

on the ground that he or she is one of its nationals.

Page 102: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 102/187

4. Each State Party may also take such measures as may be

necessary to establish its jurisdiction over th.e offences es-

tablished in accordance with this Convention when the al-

leged offender

is

present

in

its territory and it does not extra-

dite him or her.

5.

If a State Party exercising its jurisdiction under paragraph 1

or 2 of this article has been notified or has otherwise learned

that any other States Parties are conducting an investiga-

tion  prosecution or judicial proceeding in respect of the same

conduct  the competent authorities of those States Parties

shall  as appropriate  consult one another with a view to co-

ordinating their actions.

6. Without prejudice to norms of general international law this

Convention shall not exclude the exercise of any criminal

jurisdiction established by a State Party in accordance with

its domestic

law.

hapter IV

International cooperation

Article 4

International cooperation

1. States Parties shall cooperate in criminal matters in accor-

dance with articles 44 to 50 of this Convention . Where ap-

propriate and consistent with their domestic legal system 

States Parties shall consider assisting each other in investi-

gations of and proceedings in civil and administrative mat-

ters relating to corruption .

2. In matters of international cooperation   whenever dual crimi-

nality is considered a requirement 

it

shall be deemed ful-

filled irrespective of whether the laws of the requested State

9

Page 103: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 103/187

Party place the offence within the same category o offence

or

denominate the offence by the same terminology as the

requesting State Party i the conduct underlying the offence

for which assistance is sought is a criminal offence under

the laws o both States Parties.

Article

Extradition

1. This article shall apply to the offences established in accor

dance with this Convention where the person who is the sub

ject of the request

or

extradition

is

present

in

the territory

o

the requested State Party provided that the offence for which

extradition is sought is punishable under the domestic law o

both the requesting State Party and the requested State Party.

2 Not with standing the provisions o paragraph 1 of this ar

ticle a State Party whose law so permits may grant the ex

tradition of a person for any of the offences covered by this

Convention that are not punishable under its own domestic

law

3 If the request for extradition includes several separate of-

fences at least one

o

which is extraditable under this article

and some o which are not extraditable by reason o their

period

o

imprisonment but are related to offences estab

lished

in

accordance with this Convention the requested State

Party may apply this article also

in

respect

o

those offences.

4 Each of the offences to which this article applies shall be

deemed to be included as an extraditable offence in any ex

tradition treaty existing between States Parties. States Par

ties undertake to include such offences as extraditable of

fences in every extradition treaty to be concluded between

them. A State Party whose law so permits in case it uses this

Convention as the basis for extradition shall not consider

9

Page 104: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 104/187

any of the offences established in accordance with this Con

vention to be a political offence.

5

f

a State Party that makes extradition conditional on

thee

- ·

istence

of

a treaty receives a request for extraetition from

another State Party with which it has no extradition treaty, it

may consider this Convention the legal basis for extradition

in respect of any offence to which this article applies.

6. A State Party that makes extradition conditional on the exist

ence of a treaty shall :

a) At the time of deposit of its instrument of ratification, ac

ceptance or approval of or accession to this Convention,

inform the Secretary-General of the

l;; lnited

Nations

whether it will take this Convention as the legal basis for

cooperation

on

extradition with other States Parties to

this Convention; and

b)

f

it does not take this Convention as the legal basis for

cooperation

on

extradition, seek, where appropriate, to

conclude treaties

on

extradition with other States Parties

to this Convention in order to implement this article.

7. States Parties that do not make extradition conditional

on

the existence

of

a treaty shall recognize offences to which

this article applies as extraditable offences between them

selves.

8. Extradition shall be subject to the conditions provided for by

the domestic law of the requested State Party or by appli

cable extradition treaties, including, inter alia, conditions in

relation to the minimum penalty requirement for extradition

and the grounds upon which the requested State Party may

refuse extradition.

9. States Parties shall, subject to their domestic law, endeav

our to expedite extradition procedures and to simplify evi-

9

Page 105: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 105/187

dentiary requirements relating thereto in respect o any of-

fence

to whi h

this article applies.

10

. Subject to the provisions

o

its domestic law and its extradi-

tion treaties the requested State Party

may

upon being sat-

isfied that the circumstances so warrant and are urgent and

at the request o the requesting State Party take a person

whose extradition is sought and who is present in its territory

into custody or take other appropriate measures to ensure

his or her presence at extradition proceedings.

11.

A State Party in whose territory an alleged offender

is

found

if it does not extradite such person in

respect o an offence

to which this article applies solely on the ground that he

or

she

is

one o its nationals shall at the request o the State

Party seeking extradition

be

obliged to submit the case without

undue delay to its competent authorities for the purpose o

prosecution. Those authorities shall take their decision and

conduct their proceedings in the same manner as

in

the case

o any other offence o a grave nature under the domestic

law o that State Party. The States Parties concerned shall

cooperate with each other in particular on procedural and

evidentiary aspects to ensure the efficiency o such pros-

ecution.

12

. Whenever a State Party is permitted under its domestic law

to extradite or otherwise surrender one of its nationals only

upon the condition that the person will be returned to that

State Party to serve the sentence imposed as a result o the

trial or proceedings for which the extradition or surrender o

the person was sought and that State Party and the State

Party seeking the extradition o the person agree with this

option and other terms that they may deem appropriate such

conditional extradition or surrender shall

be

sufficient to dis-

charge the obligation set forth

in

paragraph

11 o

this article.

9

Page 106: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 106/187

13. f extradition, sought for purposes of enforcing a sentence,

is refused because the person sought is a national

of

the

requested State Party, the requested State Party shall, if its

domestic law

so

permits and

in

conformity with the require-

ments of such law upon application of the requesting State

Party, consider the enforcement of the sentence imposed

under the domestic law of the requesting State Party or the

remainder thereof.

14. Any person regarding whom proceedings are being carried

out in connection with any of the offences to which this ar-

ticle applies shall be guaranteed fair treatment at all stages

of the proceedings, including enjoyment of all the rights and

guarantees provided by the domestic law of the State Party

in the territory of which that person is present.

15. Nothing in this Convention shall be interpreted

as

imposing

an obligation to extradite if the requested State Party has

substantial grounds for believing that the request has been

made for the purpose of prosecuting or punishing a person

on account of that person s sex, race, religion, nationality,

ethnic origin or political opinions or that compliance with the

request would cause prejudice to that person s position for

any one of these reasons.

16. States Parties may not refuse a request for extradition on

the sole ground that the offence is also considered to involve

fiscal matters.

17. Before refusing extradition, the requested State Party shall ,

where appropriate, consult with the requesting State Party to

provide it with ample opportunity to present its opinions and

to provide information relevant to its allegation.

18. States Parties shall seek to conclude bilateral and multilat-

eral agreements or arrangements to carry out or to enhance

the effectiveness of extradition .

9

Page 107: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 107/187

Article 45

Transfer

o

sentencef} persons

States Parties may consider entering into bilateral or multi-

lateral agreements or arrangements on the transfer to their terri-

tory of persons sentenced to imprisonment or other forms of dep-

rivation of liberty for offences established in accordance with this

Convention in order that they may complete their sentences there.

Article 46

Mutual ega assistance

1. States Parties shall afford one another the widest measure

of mutual legal assistance in investigations, prosecutions and

judicial proceedings in relation to the offences covered by

this Convention.

2. Mutual legal assistance shall be afforded to the fullest extent

possible under relevant laws, treaties , agreements and ar-

rangements of the requested State Party with respect to in-

vestigations, prosecutions and judicial proceedings in rela-

tion to the offences for which a legal person may be held

liable

in

accordance with article 26 of this Convention in the

requesting State Party.

3. Mutual legal assistance to be afforded in accordance with

this article may

be

requested for any of the following pur-

poses:

9

a) Taking evidence or statements from persons;

b) Effecting service of judicial documents;

c) Executing searches and seizures, and freezing;

d) Examining objects and sites;

e) Providing information, evidentiary items

nd

expert evalu-

ations;

Page 108: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 108/187

 f) Providing originals or certified copies o relevant docu

ments and records, including government, bank, finan

cial, corporate or business records;

g) Identifying or tracing proceeds o crime, property, instru

mentalities or other things for evidentiary purposes;

h) Facilitating the voluntary appearance o persons

in

the

requesting State Party;

i) Any other type of assistance that is not contrary to the

domestic law of the requested State Party;

0 Identifying, freezing and tracing proceeds o crime

in

ac

cordance with the provisions o chapter V

o

this Con

vention;

k) The recovery of assets, in accordance with the provi

sions of chapter V

o

this Convention.

4. Without prejudice to domestic

law

the competent authorities

o

a State Party

may

without prior request, transmit informa

tion relating to criminal matters to a competent authority

in

another State Party where they believe that such information

could assist the authority

in

undertaking or successfully con

cluding inquiries and criminal proceedings or could result in

a request formulated by the latter State Party pursuant to

this Convention.

5. The transmission of information pursuant to paragraph 4

o

this article shall be without prejudice to inquiries and criminal

proceedings in the State o the competent authorities provid

ing the information. The competent authorities receiving the

information shall comply with a request that said information

remain confidential, even temporarily, or with restrictions on

its use. However, this shall not prevent the receiving State

Party from disclosing

in

its proceedings information that

is

exculpatory to an accused person. In such a case, the re-

9

Page 109: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 109/187

ceiving State Party shall notify the transmitting State Party

prior to the disclosure and, if so requested, consult with the

transmitting State Party. If, in an exceptional case, advance

notice is not possible, the receiving State Party shall inform

the transmitting State Party

of

the disclosure without delay.

6. The provisions

of

this article shall not affect the obligations

under any other treaty, bilateral or multilateral, that governs

or will govern, in whole or in part, mutual legal assistance.

7. Paragraphs 9 to 29 of this article shall apply to requests made

pursuant to this article

if

the States Parties

in

question are

not bound by a treaty of mutual legal assistance. f those

States Parties are bound by such a treaty, the corresponding

provisions

of

that treaty shall apply unless the States Parties

agree to apply paragraphs 9 to 29 of this article in lieu thereof.

States Parties are strongly encouraged to apply those para-

graphs if they facilitate cooperation .

8. States Parties shall not decline to render mutual legal assis-

tance pursuant to this article on the ground of

bank secrecy.

9 a) A requested State Party, in responding to a request for

assistance pursuant to this article in the absence of dual

criminality, shall take into account the purposes of this

Convention, as set forth in article 1;

9

b) States Parties may decline to render assistance pursu-

ant to this article on the ground of absence of dual crimi-

nality. However, a requested State Party shall, where con-

sistent with the basic concepts of its legal system, ren-

der assistance that does not involve coercive action. Such

assistance may be refused when requests involve mat-

ters

of a e minimis nature or matters for which the co-

operation

or assistance sought is available under other

provisions

of

this Convention;

Page 110: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 110/187

 c) Each State Party may consider adopting such measures

as may

e

necessary to enable it to provide a wider scope

o

assistance pursuant to this article in the absence

o

dual criminality.

10. A person who is being detained or is serving a sentence in

the territory o

one State Party whose presence in another

State Party is requested for purposes o identification, testi-

mony or otherwise providing assistance in obtaining evidence

or

investigations, prosecutions

or

judicial proceedings in

relation to offences covered by this Convention may be trans-

ferred if the following conditions are met:

a) The person freely gives his or her informed consent;

b) The competent authorities o both States Parties agree,

subject to such conditions as those States Parties may

deem appropriate.

. For the purposes of paragraph 10

o

this article:

a) The State Party to which the person is transferred shall

have the authority and obligation to keep the person trans-

ferred in custody, unless otherwise requested or autho-

rized by the State Party from which the person was trans-

ferred;

b) The State Party to which the person is transferred shall

without delay implement its obligation to return the per-

son to the custody

o

the State Party from which the per-

son was transferred as agreed beforehand, or as other-

wise agreed, by the competent authorities

o

both States

Parties;

c) The State Party to which the person is transferred shall

not require the State Party from which the person was

transferred to initiate extradition proceedings for the re-

turn of the person;

9

Page 111: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 111/187

 d) The person transferred shall receive credit for service

o

the sentence being served in the State from which he

or she was transferred for time spent

in

the custody o

the State Party to which he or she was transferred.

2

. Unless the State Party from which a person

is

to be trans

ferred

in

accordance with paragraphs 10 and of this ar

ticle

so

agrees, that person, whatever his or her nationality,

shall not

be prosecuted, detained, punished or subjected to

any other restriction o his or her personal liberty in the terri

tory o the State to which that person is transferred in re

spect

o

acts, omissions or convictions prior to his or her

departure from the territory o the State from which he or she

was transferred.

3

. Each State Party shall designate a central authority that shall

have the responsibility and power to receive requests for mu

tual legal assistance and either to execute them or to trans

mit them to the competent authorities for execution . Where

a State Party has a special region or territory with a separate

system of mutual legal assistance, it may designate a dis

tinct central authority that shall have the same function for

that region or territory. Central authorities shall ensure the

speedy and proper execution or transmission o the requests

received. Where the central authority transmits the request

to a competent authority for execution, it shall encourage the

speedy and proper execution

o

the request by the compe

tent authority. The Secretary-General of the United Nations

shall

be

notified of the central authority designated for this

purpose at the time each State Party deposits its instrument

of ratification, acceptance or approval of or accession

to

this

Convention. Requests for mutual legal assistance and any

communication related thereto shall

be

transmitted to the

central authorities designated by the States Parties. This re

quirement shall

be

without prejudice to the right o a State

9

Page 112: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 112/187

Party to require that such requests and communications be

addressed to it through diplomatic channels and, in urgent

circumstances, where the States Parties agree, through the

International Criminal Police Organization, i possible.

14. Requests shall be made in writing

or

where possible, by any

means capable o producing a written record,

in

a language

acceptable to the requested State Party, under conditions

allowing that State Party to establish authenticity. The Sec

retary-General of the United Nations shall be notified o the

language or languages acceptable to each State Party at the

time it deposits its instrument o ratification, acceptance or

approval of or accession to this Convention. In urgent cir

cumstances and where agreed by the States Parties, requests

may be made orally but shall be confirmed in writing forth

with.

15. A request for mutual legal assistance shall contain:

a) The identity of the authority making the request;

b) The subject matter and nature of the investigation, pros

ecution or judicial proceeding to which the request re

lates and the name and functions o the authority con

ducting the investigation, prosecution or judicial proceed

ing;

c) A summary o the relevant facts, except in relation to

requests for the purpose of service

o

udicial documents;

d) A description o the assistance sought and details of any

particular procedure that the requesting State Party wishes

to be followed ;

e) Where possible, the identity, location and nationality of

any person concerned; and

f) The purpose for which the evidence, information or ac

tion is sought.

Page 113: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 113/187

16. The requested State Party may request additional informa-

tion when it appears necessary o ~ the execution o the re-

quest

in

accordance with its domestic law or when it can

facilitate such execution.

17. A request shall

be

executed

in

accordance with the domes-

tic law o the requested State Party and  to the extent not

contrary to the domestic law o the requested State Party

and where possible  in accordance with the procedur

es

speci-

fied in the request.

18. Wherever possible and consistent with fundamental principles

o domestic law  when an individual

is in

the territory o a

State Party and has to be heard as a witness or expert by the

judicial authorities of another State Party  the first State Party

may  at the request of the other  permit the hearing to take

place by video conference if it

is

not possible or desirable for

the i

nd

ividual in question to appear in person in the territory

o the requesting State Party. States Parties may agree that

the hearing shall be conducted by a judicial authority of the

requesting State Party and attended by a judicial authority o

the requested State Party.

9 . The requesting State Party shall not transmit or use informa-

tion or evidence furnished by the requested State Party for

investigations prosecutions or judicial proceedings other than

those stated

in the request without the prior consent

o

the

requested State Party. Nothing in

th

is paragraph shall pre-

vent the requesting State Party from disclosing in its pro-

ceedings information or evidence that isexculpatory to an

accused person.

In

the latter case  the requesting State Party

shall notify the requested State Party prior to the disclosure

and  if so requested  consult with the requested State Party.

If 

in

an exceptional case  advance notice

is

not possible  the

requesting State Party shall inform the requested State Party

o the disclosure without delay.

1

Page 114: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 114/187

20. The requesting State Party may require that the requested

State Party keep confidential the fact and s.ubstance

of

the

request, except to the extent necessary to execute the re-

quest.

f

the requested State Party cannot comply with the

requirement of confidentiality, it shall promptly inform the re-

questing State Party.

21 . Mutual legal assistance may e refused:

a) f the request is not made in conformity with the provi-

sions of this article;

b)

f

the requested State Party considers that execution

of

the request is likely to prejudice its sovereignty, security,

ordre pu lic

or other essential interests;

c) f the authorities of the requested State Party would be

prohibited by its domestic law from carrying out the ac-

tion requested with regard to any similar offence, had it

been subject to investigation, prosecution or judicial pro-

ceedings under their own jurisdiction;

d)

f

it would e contrary to the legal system of the requested

State Party relating to mutual legal assistance for the

request to

be

granted.

22. States Parties may not refuse a request for mutual legal as-

sistance on the sole ground that the offence is also consid-

ered to involve fiscal matters.

23. Reasons shall be given for any refusal

of

mutual legal assis-

tance.

24. The requested State Party shall execute the request for mu-

tual legal assistance

as

soon

as

possible and shall take as

full account as possible of any deadlines suggested by the

requesting State Party and for which reasons are given, pref-

erably in the request. The requesting State Party may make

reasonable requests for information

on

the status

and

progress

1 1

Page 115: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 115/187

Page 116: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 116/187

mained voluntarily in the territory of the requesting State Party

or, having left it,

h ~

returned of his

or her

own free will .

28.

The

ordinary costs

of

executing a request shall be borne by

the requested State Party, unless otherwise agreed by the

States Parties concerned.

f

expenses

of

a substantial

or

extraordinary nature are

or

will be required to fulfil the re-

quest, the States Parties shall consult to determine the terms

and conditions under which the request will be executed, as

well as the manner in which the costs shall

e

borne.

29. The

requested State Party:

a) Shall provide to the requesting State Party copies of gov-

ernment records, documents or information in its pos-

session that under its domestic law are available to the

general public;

b) May, at its discretion, provide to the requesting State Party

in whole, in part or subject to such conditions as it deems

appropriate, copies of any government records, docu-

ments or information in its possession that under its do-

mestic law are not available

to

the general public.

30. States Parties shall consider, as may e necessary, the pos-

sibility

of

concluding bilateral

or

multilateral agreements

or

arrangements that would serve the purposes of, give practi-

cal effect to

or

enhance the provisions

of

this article.

rticle

7

Transfer

of

criminal proceedings

States Parties shall consider the possibility

of

transferring to

one another proceedings for the prosecution

of

an offence es-

tablished in accordance with this Convention in cases where such

transfer is considered to be n the interests of the proper admin-

istration

of

justice,

n

particular

n

cases where several jurisdic-

tions are involved, with a view to concentrating the prosecution .

103

Page 117: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 117/187

Article 8

aw enforcement cooperation

1

States Parties shall cooperate closely with one another, con-

sistent with their respective domestic legal and administra-

tive systems, to enhance the effectiveness o law enforce-

ment action to combat the offences covered by this Conven-

tion. States Parties shall, in particular, take effective mea-

sures:

1 4

a) To enhance and, where necessary, to establish chan-

nels of communication between their competent authori-

ties, agencies and services

in

order to facilitate the se-

cure and rapid exchange o information concerning all

aspects

o

the offences covered

by

this Convention, in-

cluding, if the States Parties concerneddeem it appropri-

ate, links with other criminal activities;

b) To

cooperate with other States Parties in conducting in-

quiries with respect to offences covered by this Conven-

tion concerning : ·

i) The identity, whereabouts and activities o persons

suspected

o

involvement in such offences or the

location o other persons concerned;

ii) The movement of proceeds

o

crime or property de-

rived from the commission o such offences;

iii) The movement o property, equipment or other in-

strumentalities used

or

intended for use in the com-

mission

o

such offences;

c)

To

provide, where appropriate, necessary items or quan-

tities of substances for analytical or investigative purposes;

d)

To

exchange, where appropriate, information with other

States Parties concerning specific means and methods

used to commit offences covered by this Convention, in-

cluding· he use of false identities, forged , altered or false

documents and other means of concealing activities;

Page 118: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 118/187

 e) To facilitate effective coordination between their compe

tent authorities, agencies and services and to promote

the exchange

o

personnel and other experts, including,

subject to bilateral agreements or arrangements between

the States Parties concerned, the posting

o

liaison offic

ers;

f) To exchange information and coordinate administrative

and other measures taken as appropriate for the pur

pose

o

early identification

o

the offences covered by

this Convention.

2. With a view to giving effect to this Convention, States Parties

shall consider entering into bilateral or mult

ilateral agreements

or

arrangements on direct cooperation between their law en

forcement agencies and, where such agreements or arrange

ments already exist, amending them.

n

the absence

o

such

agreements or arrangements between the States Parties con

cerned , the States Parties may consider this Convention to

be the basis for mutual

Jaw

enforcement cooperation in re

spect

o

the offences covered by this Convention. Whenever

appropriate, States Parties shall make full use

o

agreements

or

arrangements , including international or regional organi

zations, to enhance the cooperation between their law en

forcement agencies.

3. States Parties shall endeavour to cooperate within their means

to

respond to offences covered by this Convention commit

ted through the use

o

modern technology.

Article 9

Joint investigations

States Parties shall consider concluding bilateral or multilat

eral agreements

or

arrangements whereby, in relation to matters

that are the subject of investigations, prosecutions or judicial pro

ceedings in one

or

more States, the competent authorities con-

1 5

Page 119: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 119/187

cerned may establish joint investigative bodies. In the absence

o such agreements or arrangements joint investigations may

be undertaken by agreement on a case-by-case basis. The States

Parties involved shall ensure that the sovereignty

o

the State

Party in whose territory such investigation is to take place is fully

respected.

rticle 5

Special investigative techniques

1. In order to combat corruption effectively each State Party

shall to the extent permitted by the basic principles o its

domestic legal system and in accordance with the conditions

prescribed by its domestic law take such measures as may

be necessary within its means to allow for the appropriate

use by its competent authorities o controlled delivery and

where it deems appropriate other special investigative tech

niques such as electronic or other forms of surveillance and

undercover operations within its territory  and to allow for

the admissibility

in

court

o

evidence derived therefrom.

2. For the purpose of investigating the offences covered by this

Convention States Parties are encouraged to conclude  when

necessary appropriate bilateral

or

multilateral agreements

or arrangements for using such special investigative tech

niques in the context of cooperation at the international level.

Such agreements or arrangements shall be concluded and

implemented

in

full compliance with the principle

o

sover

eign equality o States and shall be carried out strictly in ac

cordance with the terms o those agreements or arrange

ments.

3.

n

the absence of an agreement or arrangement

as

set forth

in paragraph 2 of this article decisions to use such special

investigative techniques at the international level shall be made

on

a case-by-case basis and may  when necessary take into

1 6

Page 120: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 120/187

consideration financial arrangements and understandings

with respect to the exercise of urisdiction by the States Parties

concerned.

4. Decisions to use controlled delivery at the international level

may with the consent of the States Parties concerned in

clude methods such as intercepting and allowing the goods

or funds to continue intact or be removed or replaced in

whole or in part.

ChapterV

sset recovery

Article

5

General provision

The return

of

assets pursuant to this chapter is a funda

mental principle of this Convention and States Parties shall af

ford one another the widest measure

of

cooperation and assis

tance in this regard.

Article 5

Prevention and detection o transfers o proceeds o crime

1. Without prejudice to article 14 of this Convention each State

Party shalltake such measures as may be necessary in ac

cordance with its domestic law to require financial institu

tions within its jurisdiction to verify the identity

of

custom

ers to take reasonable steps to determine the identity

of

beneficial owners of funds deposited into high-value accounts

and to conduct enhanced scrutiny

of

accounts sought or

maintained by or on behalf of individuals who are or have

been entrusted with prominent public functions and their

family members and close associates. Such enhanced scru-

1 7

Page 121: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 121/187

tiny shall be reasonably designed to detect suspicious trans

actions for the purpose

o

reporting to competent authorities

and should not

be

so construed as to discourage·or prohibit

financial institutions from doing business with any legitimate

customer.

2. In order to facilitate implementation o the measures pro

vided for in paragraph 1 of this article , each State Party, in

accordance with its domestic law and inspired by relevant

initiatives o regional, interregional and multi1ateral organi

zations against money-laundering, shall:

a) Issue advisories regarding the types of natural or legal

person to whose accounts financial institutions within its

jurisdiction will be expected to apply enhanced scrutiny,

the types of accounts and transactions to which to pay

particular attention and appropriate account-opening,

maintenance and record-keeping measures to take con

cerning such accounts; and

b) Where appropriate, notify financial institutions within its

jurisdiction, at the request of another State Party or on

its own initiative, of the identity of particular natural or

legal persons to whose accounts such institutions will be

expected to apply enhanced scrutiny, in addition to those

whom the financial institutions may otherwise identify.

3.

In

the context of paragraph 2 a) of this article, each State

Party shall implement measures to ensure that its financial

institutions maintain adequate records, over an appropriate

period of time, of accounts and transactions involving the

persons mentioned in paragraph 1 of this article,which should,

as a minimum, contain information relating to the identity o

the customer

as

well

as

as far as possible, of the beneficial

owner.

108

Page 122: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 122/187

4.

With the aim

o

preventing and detecting transfers of pro

ceeds o offences established in accordance with this Con

vention each State Party shall implement appropriate and

effective measures to prevent with the help of its regulatory

and oversight bodies the establishment o banks that have

no physical presence and that are not affiliated with a regu

lated financial group. Moreover States Parties may consider

requiring their financial institutions to refuse to enter into or

continue a correspondent banking relationship with such in

stitutions and to guard against establishing relations with for

eign financial institutions that permit their accounts to be used

by banks that have no physical presence and that are not

affiliated with a regulated financial group.

5.

Each State Party shall consider establishing in accordance

with its domestic law  effective financial disclosure systems

for appropriate public officials and shall provide for appropri

ate sanctions for non-compliance. Each State Party shall also

consider taking such measures as may

be

necessary to per

mit its competent authorities to share that information with

the competent authorities in other States Parties when nec

essary to investigate  claim and recover proceeds of offences

established in accordance with this Convention.

6. Each State Party shall consider taking such measures as

may be necessary

in

accordance with its domestic law to

require appropriate public officials having

an

interest

in

or

signature or other authority over a financial account in

a for

eign country to report that relationship to appropriate authori

ties and to maintain appropriate records related to such ac

counts. Such measures shall also provide for appropriate

sanctions for non-compliance.

1 9

Page 123: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 123/187

Article 5

Measures for direct recovery o property

Each State Party shall, in accordance with its domestic law:

(a) Take such measures as may be necessary to permit an-

other State Party to initiate civil action in its courts to estab-

lish title to or ownership

o

property acquired through the

commission of an offence established in accordance with this

Convention;

b) Take such measures as may be necessary to permit its courts

to order those who have committed offences established in

accordance with this Convention to pay compensation or dam-

ages to another State Party that has been harmed by such

offences; and

(c) Take such measures as may be necessary to permit its courts

or competent authorities, when having to decide on confis-

cation, to recognize another State Party s claim as a legiti-

mate owner of property acquired through the commission o

an offence established in accordance with this Convention.

Article 54

Mechanisms for recovery

o

property through international

cooperation in confiscation

1. Each State Party, in order to provide mutual legal assistance

pursuant to article 55 of this Convention with respect to prop-

erty acquired through

or

involved

in

the commission

o

an

offence established in accordance with this Convention, shall,

in accordance with its domestic law:

110

a) Take such measures as may be necessary to permit its

competent authorities to give effect to an order o confis-

cation issued by a court

o

another State Party;

(b) Take such measures as may e necessary to permit its

competent authorities, where they have jurisdiction, to

Page 124: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 124/187

order the confiscation o such property

o

foreign origin

by.adjudication

o

an offence

o

money-laundering or such·

other offence as may be within its jurisdiction or by other

procedures authorized under its domestic law; and

c) Consider taking such measures as may be necessary to

allow confiscation

o

such property without a criminal con

viction in cases in which the offender cannot be pros

ecuted by reason o death, flight or absence or in other

appropriate cases.

2 Each State Party, in order to provide mutual legal assistance

upon a request made pursuant to paragraph 2

o

article 55

o

this Convention, shall, in accordance with its domestic law:

a) Take such measures as may be necessary to permit its

competent authorities to freeze or seize property upon a

freezing or seizure order issued by a court or competent

authority o a requesting State Party that provides a rea

sonable basis or the requested State Party to believe

that there are sufficient grounds for taking such actions

and that the property would eventually be subject to an

order

o

confiscation

or

purposes o paragraph 1 a)

o

this article;

b) Take such measures as may be necessary to permit its

competent authorities to freeze or seize property upon a

request that provides a reasonable basis for the requested

State Party to believe that there are sufficient grounds

or

taking such actions and that the property would even

tually be subject to an order

o

confiscation for purposes

o

paragraph 1 a)

o

this article; and c) Consider taking

additional measures to permit its competent authorities

to preserve property for confiscation, such as on the basis

o

a foreign arrest or criminal charge related to the ac

quisition

o

such property.

111

Page 125: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 125/187

  rticle55

International cooperation for purposes

o

confiscation

1.

A State Party that has received a request from another State

Party having jurisdiction over an offence established in

ac-

cordance with this Convention for confiscation of proceeds

o crime, property, equipment or other instrumentalities re-

ferred to in article 31, paragraph 1 of this Convention situ-

ated in its territory shall, to the greatest extent possible within

its domestic legal system:

a) Submit the request to its competent authorities for the

purpose of obtaining an order

o

confiscation and, if such

an order is granted, give effect to it; or

b) Submit to its competent authorities, with a view to giving

effect to it to the extent requested, an order of confisca-

tion issued by a court in the territory of the requesting

State Party in accordance with articles 31, paragraph

1

and 54, paragraph 1 a), o this Convention insofar as it

relates to proceeds of crime, property, equipment or other

instrumentalities referred to

in

article 31, paragraph 1

situated

in

the territory

o

the requested State Party.

2. Following a request made by another State Party having

jurisdiction over an offence established in accordance with

this Convention, the requested State Party shall take mea-

sures to identify, trace and freeze or seize proceeds of crime,

property, equipment or other instrumentalities referred to in

article

31

paragraph

1

o

this Convention for the purpose

o

eventual confiscation to be ordered either

by

the requesting

State Party

or

pursuant to a request under paragraph 1 o

this article, by the requested State Party.

3. The provisions of article 46 o this Convention are applicable,

mutatis mutandis, to this article.

In

addition to the informa-

tion specified in article 46, paragraph 15 requests made

pursuant to this article shall contain:

2

Page 126: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 126/187

 a) In the case of a request pertaining to paragraph 1 a) of

this article, a description of the property to be confis

cated, including, to the extent possible, the location and,

where relevant, the estimated value of the property and

a statement of the facts relied upon by the requesting

State Party sufficient to enable the requested State Party

to

seek the order under its domestic law;

b) In the case of a request pertaining to paragraph 1 b)

of

this article, a legally admissible copy of an order of con

fiscation upon which the request is based issued by the

requesting State Party, a statement of the facts and in

formation as to the extent to which execution

of

the or

  er

is requested, a statement specifying the measures

taken by the requesting State Party to provide adequate

notification to bona fide third parties and to ensure due

process and a statement that the confiscation order is

final;

c) In the case of a request pertaining to paragraph 2 of this

article, a statement

of

the facts relied upon by the re

questing State Party and a description of the actions re

quested and, where available, a legally admissible copy

of

an order on which the request is based.

4. The decisions or actions provided for

in

paragraphs 1 and 2

of

this article shall e taken by the requested State Party

in

accordance with and subject to the provisions of its domestic

aw

and its procedural rules or any bilateral or multilateral

agreement or arrangement to which it may be bound in rela

tion to the requesting State Party.

5. Each State Party shall furnish copies of its laws and regula

tions that give effect to this article and of any subsequent

changes to such laws and regulations or a description thereof

to the Secretary-General of the United Nations.

113

Page 127: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 127/187

6 f a State Party elects to make the taking of the measures

referred to in paragraphs 1 and 2 of this article conditional

on the existence of a relevant treaty that State Party shall

consider this Convention the necessary and sufficient treaty

basis.

7. Cooperation under this article may also be refused or provi-

sional measures lifted if the requested State Party does not

receive sufficient and timely evidence or if the property

is

of

a de minimis value.

8

Before lifting any provisional measure taken pursuant to this

article   the requested State Party shall wherever possible

give the requesting State Party

an

opportunity to present its

reasons

in

favour of continuing the measure.

9

The provisions of this article shall not

be

construed as preju-

dicing the rights

of

bona fide third parties.

Article 6

Special cooperation

Without prejudice to its domestic law  each State Party shall

endeavour to take measures to permit it to forward   without preju-

dice to its own investigations  prosecutions or judicial proceed-

ings  information on proceeds of offences established

in

accor-

dance with this Convention to another State Party without prior

request  when it considers that the disclosure

of such informa-

tion might assist the receiving State Party

in

initiating or carrying

out investigations prosecutions or judicial proceedings or might

lead to a request by that State Party under this chapter of the

Convention.

Article 7

Return and disposal o assets

1. Property confiscated by a State Party pursuant to article

31

or

55

of this Convention shall

be

disposed of including by

114

Page 128: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 128/187

return to its prior legitimate owners, pursuant to paragraph 3

o this article, by that State Party in accordance with the pro-

v ~

ions

o

this Convention and its domestic law.

2. Each State Party shall adopt such legislative and other mea-

sures,

in

accordance with the fundamental principles

o

its

domestic

law

as may be necessary to enable its competent

authorities to return confiscated property, when acting on the

request made by another State Party, in accordance with this

Convention, taking into account the rights

o

bona fide third

parties.

3. In accordance with articles 46 and 55

o

this Convention and

paragraphs 1 and 2 o this article, the requested State Party

shall:

a) In the case

o

embezzlement

o

public funds or

o

laun-

dering

o

embezzled public funds as referred to in ar-

ticles

17

and 23

o

this Convention, when confiscation

was executed in accordance with article 55 and on the

basis o a final judgement in the requesting State Party,

a requirement that can be waived by the requested State

Party, return the confiscated property to the requesting

State Party;

b) In the case

o

proceeds

o

any other offence covered by

this Convention, when the confiscation was executed in

accordance with article

55

o

this Convention and on the

basis

o

a final judgement

in

the requesting State Party,

a requirement that can be waived by the requested State

Party, return the confiscated property to the requesting

State Party, when the requesting State Party reasonably

establishes its prior ownership

o

such confiscated prop-

erty to the requested State Party or when the requested

State Party recognizes damage to the requesting State

Party as a basis for returning the confiscated property;

115

Page 129: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 129/187

 c)

In

all other cases, give priority consideration to return

ing confiscated property to the requesting State Party,

returning such property to its prior legitimate owners or

compensating the victims of the crime.

4. Where appropriate, unless States Parties decide otherwise,

the requested State Party may deduct reasonable expenses

incurred

in

investigations, prosecutions or judicial proceed

ings leading to the return or disposition of confiscated prop

erty pursuant to this article.

5

Where appropriate, States Parties may also give special con

sideration to concluding agreements or mutually acceptable

arrangements, on a case-by-case basis, for the final disposal

of confiscated property.

Article 8

Financial intelligence unit

States Parties shall cooperate with one another for the pur

pose of preventing and combating the transfer of proceeds of

offences established

in

accordance with this Convention and o

promoting ways and means of recovering such proceeds and, to

that end, shall consider establishing a financial intelligence unit

to be responsible for receiving, analysing and disseminating to

the competent authorities reports of suspicious financial trans

actions.

Article 9

Bilateral

nd

multilateral agreements

nd

arrangements

States Parties shall consider concluding bilateral or multilat

eral agreements or arrangements to enhance the effectiveness

of international cooperation undertaken pursuant to this chapter

of the Convention.

116

Page 130: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 130/187

Chapter VI

Technical assistance and information exchange

·

Article 6

Training

nd

technical assistance

1 Each State Party shall, to the extent necessary, initiate, de-

velop or improve specific training programmes for its per-

sonnel responsible for preventing and combating corruption.

Such training programmes could deal, inter alia, with the fol-

lowing areas:

a) Effective measures to prevent, detect , investigate, pun-

ish and control corruption, including the use of evidence-

gathering and investigative methods;

b) Building capacity in the development and planning o stra-

tegic anticorruption policy;

c) Training competent authorities in the preparation of re-

quests for mutual legal assistance that meet the require-

ments of this Convention;

d) Evaluation and strengthening of institutions, public ser-

vice management and the management of public finances,

including public procurement, and the private sector;

e) Preventing and combating the transfer of proceeds of

offences established

in

accordance with this Convention

and recovering such proceeds;

f) Detecting and freezing of the transfer of proceeds

o

of-

fences established in accordance with this Convention;

g) Surveillance of the movement of proceeds of offences

established in accordance with this Convention and of

the methods used to transfer, conceal or disguise such

proceeds;

117

Page 131: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 131/187

 h) Appropriate and efficient legal and administrative mecha-

nisms and methods for facilitating the return of proceeds

of offences established in accordance with this Conven-

tion;

i) Methods used in protecting victims and witnesses who

cooperate with judicial authorities; and

0 Training in national and international regulations and in

languages.

2. States Parties shall, according to their capacity, consider af-

fording one another the widest measure of technical assis-

tance, especially for the benefit of developing countries, in

their respective plans and programmes to combat corrup-

tion, including material support and training

in

the areas re-

ferred to in paragraph 1 of this article , and training and as-

sistance and the mutual exchange of relevant experience

and specialized knowledge, which will facilitate international

cooperation between States Parties in the areas of extradi-

tion and mutual legal assistance.

3. States Parties shall strengthen, to the extent necessary, ef-

forts to maximize operational and training activities in

inter-

national and regional organizations nd in the framework of

relevant bilateral and multilateral agreements or arrangements.

4. States Parties shall consider assisting one another, upon re-

quest,

in

conducting evaluations, studies

nd

research relat-

ing to the types, causes, effects and costs of corruption in

their respective countries, with a view to developing, with the

participation

o

competent authorities nd society, strategies

and action plans to combat corruption.

5. In order to facilitate the recovery of proceeds of offences

established in accordance with this Convention, States Par-

ties may cooperate in providing each other with the names

of experts who could assist in achieving that objective.

118

Page 132: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 132/187

6. States Parties shall consider using subregional regional and

international conferences and seminars to promote coopera-

tion and technical assistance and to stimulate discussion on

problems

o

mutual concern including the special problems

and needs of developing countries and countries with econo-

mies in transition.

7 States Parties shall consider establishing voluntary mecha-

nisms with a view to contributing financially to the efforts o

developing countries and countries with economies in transi-

tion to apply this Convention through technical. assistance

programmes and projects.

8. Each State Party shall consider making voluntary contribu-

tions to the United Nations Office on Drugs and Crime for

the purpose of fostering through the Office programmes

and projects in developing countries with a view to imple-

menting this Convention.

Article

6

Collection  exchange and analysis o information on corruption

1. Each State Party shall consider analysing  in consultation

with experts trends in corruption in its territory as well as the

circumstances

in which corruption offences are committed.

2. States Parties shall consider developing and sharing with each

other and through international and regional organizations

statistics  analytical expertise concerning corruption and in-

formation with a view to developing insofar as possible com-

mon definitions  standards and methodologies as well as

information on best practices to prevent and combat corrup-

tion.

3 Each State Party shall consider monitoring its policies and

actual measures to combat corruption and making assess-

ments of their effectiveness and efficiency.

119

Page 133: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 133/187

Article 6

Other measures: implementation

o

the Convention through

economic development and tech nidal assistance

1 States Parties shall take measures conducive to the optimal

implementation

o

this Convention to the extent possible,

through international cooperation, taking into account the

negative effects

o

corruption on society in general, in par-

ticular on sustainable development.

2

States Parties shall make concrete efforts to the extent pos-

sible and in coordination with each other, as well as with in-

ternational and regional organizations:

120

a)

To

enhance their cooperation at various levels with de-

veloping countries, with a view to strengthening the ca-

pacity

o

the latter to prevent and combat corruption;

b)

To

enhance financial and material assistance to support

the efforts o developing countries to prevent and fight

corruption effectively and to help them implement this

Convention successfully;

c)

To

provide technical assistance to developing countries

and countries with economies

in

transition to assist them

in

meeting their needs

or

the implementation o this

Convention. To that end, States Parties shall endeavour

to make adequate and regular voluntary contributions to

an account specifically designated or that purpose in a

United Nations funding mechanism. States Parties may

also give special consideration, in accordance with their

domestic law and the provisions

o

this Convention, to

contributing to that account a percentage

o

the money

or

o

the corresponding value

o

proceeds

o

crime

or

property confiscated in accordance with the provisions

o

this Convention;

Page 134: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 134/187

(d) To encourage and persuade other States and financial

institutions as appropriate to join them in efforts in ac

cordance with this article, in particular by providing more

training programmes and modern equipment to devel

oping countries in order to assist them in achieving the

objectives of this Convention.

3. To the extent possible, these measures shall be without preju

dice to existing foreign assistance commitments or to other

financial cooperation arrangements at the bilateral, regional

or international level.

4. States Parties may conclude bilateral or multilateral agree

ments or arrangements on material and logistical assistance,

taking into consideration the financial arrangements neces

sary for the means of international cooperation provided for

by this Convention to be effective and for the prevention,

detection and control of corruption.

hapter VII

Mechanisms for implementation

Article 6

Conference o the States Parties to the Convention

1. A Conference of the States Parties to the Convention

is

hereby

established to improve the capacity of and cooperation be-

tween States Parties to achieve the objectives set forth in

this Convention and to promote and review its implementa

tion.

2. The Secretary-General of the United Nations shall convene

the Conference of the States Parties not later than one year

following the entry into force of this Convention. Thereafter,

2

Page 135: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 135/187

regular meetings of the Conference of the States Parties shall

be

held in accordance with the rules o procedure adopted

by the Conference. ·

3. The Conference of the States Parties shall adopt rules of

procedure and rules governing the functioning of the activi

ties set forth

in

this article, including rules concerning the

admission and participation o observers , and the payment

of expenses incurred in carrying out those activities.

4. The Conference of the States Parties shall agree upon activi

ties, procedures and methods of work to achieve the objec

tives set forth

in

paragraph 1 of this article, including:

122

a) Facilitating activities by States Parties under articles 60

and 62 and chapters II to V of this Convention, including

by encouraging the mobilization of voluntary contribu

tions;

b)

Facilitating the exchange of information among States

Parties on patterns and trends

in

corruption and

on

suc

cessful practices for preventing and combating it and for

the return of proceeds of crime,through, inter alia , the

publication of relevant information

as

mentioned

in

this

article;

c) Cooperating with relevant international and regional or

ganizations and mechanisms and non-governmental or

ganizations;

d)

Making appropriate use of relevant information produced

by

other international and regional mechanisms for com

bating and preventing corruption

in

order to avoid un

necessary duplication o work;

e) Reviewing periodically the implementation of this Con

vention by its States Parties;

Page 136: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 136/187

 f) Making recommendations to improve this Convention and

its implementation; •

g) Taking note

o

the technical assistance requirements

o

States Parties with regard to the implementation

o

this

Convention and recommending any action it may deem

necessary in that respect.

5. For the purpose

o

paragraph 4

o

this article, the Confer

ence

o

the States Parties shall acquire the necessary knowl

edge

o

the measures taken by States Parties

n

implement

ing this Convention and the difficulties encountered by them

in doing so through information provided by them and through

such supplemental review mechanisms as may be estab

lished by the Conference

o

the States Parties.

6. Each State Party shall provide the Conference

o

the States

Parties with information on its programmes, plans and prac

tices, as well as on legislative and administrative measures

to implement this Convention, as required by theConference

o

the States Parties. The Conference

o

the States Parties

shall examine the most effective way

o

receiving and acting

upon information, including, inter alia, information received

from States Parties and from competent international orga

nizations. Inputs received from relevant non-governmental

organizations duly accredited

n

accordance with procedures

to be decided upon by the Conference

o

the States Parties

may also be considered.

7. Pursuant to paragraphs 4 to 6

o

this article, the Conference

o

the States Parties shall establish, if it deems it necessary,

any appropriate mechanism or body to assist in the effective

implementation

o

the Convention .

123

Page 137: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 137/187

Article 6

Secretariat

1. The Secretary-General

of

the United Nations shall provide

the necessarysecretariat services to the Conference

of

the

States Parties to the Convention.

2. The secretariat shall:

a) Assist the Conference

of

the States Parties

in

carrying

out the activities set forth

in

article 63 of this Convention

and make arrangements and provide the necessary ser

vices for the sessions

of

the Conference

of

the States

Parties;

b) Upon request, assist States Parties in

providing infor

mation to the Conference

of

the States Parties as envis

aged

in

article 63 paragraphs 5 and 6 of this Conven

tion; and

c) Ensure the necessary coordination with the secretariats

of

relevant international and regional organizations.

hapter

VIII

Final provisions

Article 65

Implementation

o

the Convention

1. Each State Party shall take the necessary measures, includ

ing legislative and administrative measures, in accordance

with fundamental principles of its domestic

law

to ensure the

implementation of its obligations under this Convention.

2. Each State Party may adopt more strict or severe measures

than those provided for by this Convention for preventing

and combating corruption.

24

Page 138: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 138/187

Article 66

Settlement

~

disputes

I

States Parties shall endeavour to settle disputes concerning

the interpretation or application of this Convention through

negotiation.

2. Any dispute between two or more States Parties concerning

the interpretation or application of this Convention that can

not be settled through negotiation within a reasonable time

shall at the request of one of those States Parties be sub

mitted to arbitration. If six months after the date

o

the re

quest for arbitration  those States Parties are unable to agree

on the organization of the arbitration  any one

o

those States

Parties may refer the dispute to the International Court o

Justice by request in accordance with the Statute of the Court.

3. Each State Party may  at the time of signature  ratification  

acceptance or approval

o

or accession to this Convention 

declare that it does not consider itself bound by paragraph 2

o this article. The other States Parties shall not be bound by

paragraph 2 o this article with respect to any State Party

that has made such a reservation .

4. Any State Party that has made a reservation in accordance

with paragraph 3 of this article may at any time withdraw that

reservation by notification to the Secretary-General o the

United Nations.

Article

7

Signature  ratification  acceptance approval

and

accession

1. This Convention shall

be

open to all States for signature from

9 to December 2003 in Merida  Mexico  and thereafter at

United Nations Headquarters

in

New York until 9 December

2005.

125

Page 139: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 139/187

2. This Convention shall also

be

open for signature by regional

economic integration organizations provided that at least one

member State o such organization has signed this Conven

tion

in

accordance with paragraph 1

o

this article.

3. This Convention

is

subject to ratification acceptance or ap

proval. Instruments of ratification acceptance or approval

shall be deposited with the Secretary-General of the United

Nations. A regional economic integration organization may

deposit its instrument o ratification acceptance or approval

i at least one o its member States has done likewise. In that

in

strument

o

ratification acceptance or approval such or

ganization shall declare the extent o its competence with

respect to the matters governed by this Convention. Such

organization shall also inform the depositary o any relevant

modification

in

the extent o its competence.

4. This Convention

is

open for accession

by

any State or any

regional economic integration organization o which at least

one member State

is

a Party to this Convention. Instruments

o accession shall

be

deposited with the Secretary-General

o

the United Nations.At the time of its accession a regional

economic integration organization shall declare the extent

o

its competence with respect to matters governed by this

Convention . Such organization shall also inform the deposi

tary o any relevant modification

in

the extent of its compe

tence.

Article 8

Entry into force

1

This Convention shall enter into force on the ninetieth day

after the date of deposit of the thirtieth instrument of ratifica

tion acceptance approval or accession. For the purpose o

this paragraph any instrument deposited by a regional eco-

126

Page 140: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 140/187

nomic integration organization shall not be counted as addi

tional to those deposited by member States

o

s4ch organi

zation.

2 For each State or regional economic integration organiza

tion ratifying  accepting approving or acceding to this Con

vention after the deposit o the thirtieth instrument o such

action this Convention shall enter into force on the thirtieth

day after the date

o

deposit by such State or organization

o

the relevant instrument or on the date this Conventionenters

into force pursuant to paragraph 1

o

this article whichever

is later.

Article 9

Amendment

1. After the expiry of five years from the entry into force o this

Convention a State Party may propose

an

amendment and

transmit it to the Secretary-General

o

the United Nations

who shall thereupon communicate the proposed amendment

to the States Parties and to the Conference

o

the States

Parties to the Convention for the purpose of considering and

deciding

on

the proposal. The Conference

o

the States Par

ties shall make every effort to achieve consensus on each

amendment. If all efforts at consensus have been exhausted

and no agreement has been reached  the amendment shall 

as a last resort require for its adoption a two-thirds majority

vote o

the States Parties present and voting at the meeting

o

the Conference

o

the States Parties.

2. Regional economic integration organizations  in matters within

their competence shall exercise their right to vote under this

article with a number

o

votes equal to the number

o

their

member States that are Parties to this Convention. Such or

ganizations shall not exercise their right to vote if their mem

ber States exercise theirs and vice versa .

27

Page 141: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 141/187

3. An amendment adopted in accordance with paragraph 1 o

this article is subject to ratification acceptance or approval

by States Parties.

4. An amendment adopted

in

accordance with paragraph 1 o

this article shall enter into force

in

respect of a State Party

ninety days after the date of the deposit with the Secretary

General of the United Nations of an instrument of ratifica

tion  acceptance or approval of such amendment

5. When an amendment enters into force

it

shall

be

binding

on those States Parties which have expressed their consent

to

be

bound by it Other States Parties shall still

be

bound by

the provisions of this Convention and any earlier amendments

that they have ratified accepted or approved.

Article 7

Denunciation

1. A State Party may denounce this Convention

by

written noti

fication to the Secretary-General of the United Nations. Such

denunciation shall become effective one year after the date

o receipt of the notification by the Secretary-General.

2 A regional economic integration organization shall cease to

be a Party to this Convention when all of its member States

have denounced

it

Article 7

Depositary and languages

1. The Secretary-General of the United Nations is designated

depositary of this Convention.

2

The original of this Convention

o

which the Arabic Chinese

English French Russian and Spanish texts are equally au-

128

Page 142: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 142/187

thentic, shall be deposited with the Secretary-General

o

the

United Nations.

IN WITNESS WHEREOF, the undersigned plenipoten

tiaries, being duly authorized thereto by their respective Gov

ernments, have signed this Convention.

Diambil dari http ://www.unodc.org/pdf/crime/

convention_corruption/signing/convention-e. pdf

tanggal 22 Desember 2005

129

Page 143: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 143/187

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 1999

TENTANG

PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK

INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN

TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

TREATY BETWEEN THE REPUBLIC O INDONESIA AND

AUSTRALIA

ON

MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL

MATTERS)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa pembangunan hukum nasional yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang asar 1945 harus dapat

mendukung dan menjamin kepastian ketertiban   dan perlin

dungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran;

b bahwa hubungan luar negeri yang dilandasi politik bebas dan

aktif

ditujukan untuk

kepentingan

nasional

yang

dikembangkan dengan

meningkatkan

persahabatan dan

kerjasama baik bilateral maupun multilateral untuk me-

wujudkan tatanan dunia baru berdasarkan kemerdekaan

perdamaian abadi dan keadilan sosial ;

c bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

khususnya di bidang transportasi komunikasi dan informasi

selain mempunyai dampak positif bagi kehidupan manusia

juga dapat membawa dampak negatif yakni timbulnya tindak

pidana yang tidak lagi mengenal batas yuridiksi suatu negara

sehingga penanggulangan dan pemberantasannya diperlukan

kerjasama antar negara;

130

Page 144: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 144/187

d. bahwa kerjasama antara Republik Indonesia dan Australia

di bidang pidana telah berjalan dengan baik yang dimulai

dengan

adanya Perjanjian Ekstradiksi

Undang-undang

Nomor

8 Tahun 1994) dan untuk lebih meningkatkan kerja

sama tersebut, maka pada tanggal27 Oktober 1995 di Jakarta

telah ditandatangani Perjanjian Antara Republik Indonesia

dan Australia Mengenai Bantu an Timbal Balik dalam Masalah

Pidana Treaty between the Republic

of

Indonesia and Aus

tralia on Mutual Assistance in Criminal Matters);

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud

dalam huruf a, b, c, dan d dipandang perlu mengesahkan

Perjanjian Kerjasama Antara Republik Indonesia dan Aus

tralia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana

Treaty between the Republic of Indonesia and Australia on

Mutual Assistance in Criminal Matters)

dengan

Undang

undang.

Mengingat : Pasal 5 ayat 1), Pasal , Pasal

20

ayat 1)

Undang-Undang Dasar 1945.

Oengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA

DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL

BALIK DALAM MASALAH PIDANA TREATY

BE

TWEEN THE REPUBLIC

OF

INDONESIA

ND

AUSTRALIA

ON

MUTUAL ASSISTANCE

IN

CRIMINAL MATTERS).

3

Page 145: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 145/187

Pasal1

Mengesahkan Perjanjian Kerjasama Antara Rep'ublik Indonesia

dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah

Pidana

Treaty between the Republic

of

Indonesia and Australia

on

Mutual Assistance

in

Criminal Matters

yang

telah

ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta yang

salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia dan bahasa

lnggeris sebagaimana terlampir dan merupakan bag i n yang tidak

terpisahkan dari Undang-undang ini.

Pasal

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia.

132

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 27 Januari 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 27 Januari 1999

MENTER NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

ttd.

AKBAR TANJUNG

Page 146: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 146/187

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESiA

TAHUN

1999 NOMOR

19

Salinan S suai dengan aslinya

SEKRETARIAT KABINET

Rl

Kepala Biro Peraturan

Perundang undangan I

ttd.

Lambock V Nahattands

33

Page 147: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 147/187

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 1999

TENTANG

PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA

REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI

BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA ND

AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN

CRIMINAL MATTERS)

I

UMUM

Pembangunan Hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan pad a terwujudnya Sistem

Hukum Nasional yang dilakukan dengan pembentukan hukum

baru khususnya produk hukum yang dibutuhkan

untuk

mendukung

tugas umum

pemerintahan

dan pembangunan

nasional. Produk hukum nasional menjamin kepastian ketertiban

penegakan  dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan

dan kebenaran diharapkan

mampu mengamankan dan

mendukung penyelenggaraan politik luar negeri yang bebas dan

aktif untuk mewujudkan tatanan dunia baru berdasarkan

kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia dewasa ini telah

menyebabkan wilayah negara yang satu dengan lainnya hampir

34

Page 148: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 148/187

tanpa ~ t s Keadaan ini di samping mempunyai dampak positif

juga m ~ m b w dampak negatif bagi kehidupan manusia. Salah

I

satu dampak negatifnya adalah semakin meningkatnya tindak

pidana yang tidak hanya berskala nasional tetapi juga trans

nasional serta global dengan modus operandi semakin canggih

sehingga dalam upaya penanggulangan dan pemberantasannya

perlu ditingkatkan kerjasama antar negara.

Menyadari kenyataan ini  Pemerintah Republik Indonesia dan

Australia mengadakan perjanjian bantuan timbal balik dalam

masalah pidana yang telah ditandatangani pada tanggal 27

Oktober 1995 di Jakarta . Perjanjian tersebut bertujuan untuk

meningkatkan kerjasama yang efektif dalam rangka penegakan

hukum dan pelaksanaan peradilan antara kedua negara yang

meliputi:

a. pengambilan alat bukti/barang bukti dan untuk mendapatkan

pernyataan dari orang termasuk pelaksanaan surat rogatoir;

b. pemberian dokumen dan catatan lain ;

c. lokasi dan identifikasi dari orang ;

d. pelaksanaan permintaan untuk pencarian dan penyitaan;

e. u p a ~ a u p a y a untuk mencari   menahan dan menyita hasil

kejahatan;

f. mengusahakan persetujuan dari orang-orang yang bersedia

memberikan kesaksian atau membantu penyidikan

di

Negara

Peminta  dan jika orang itu berada dalam tahanan mengatur

pemindahan sementara

ke

Negara tersebut;

g. penyampaian dokumen; dan

h. bantuan lain yang sesuai dengan tujuan Perjanjian ini yang

tidak bertentangan dengan hukum Negara Diminta.

Untuk meningkatkan efektifitas kerjasama dalam penanggulangan

tindak pidana  terutama yang bersifat transnasional maka pe

laksanaan prinsip-prinsip umum hukum internasional

y ng

menitik-

 

135

Page 149: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 149/187

beratkan pada asas penghormatan kedaulatan hukum dan

kedaulatan negara harus mengacu pada asas tindak pidana ganda

double criminality). ·

Beberapa bagian penting dalam Perjanjian antara Republik In

donesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam

Masalah Pidana adalah :

1. Penolakan pemberian bantuan Pasal4)

Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana

mengatur hak negara-negara pihak terutama Negara Diminta

untuk menolak permintaan bantuan. Hak Negara Diminta

untuk memberikan bantuan dapat bersifat mutlak dalam arti

harus menolak atau tidak mutlak dalam arti dapat menolak.

Hak negara untuk menolak yang bersifat mutlak dilandaskan

kepada prinsip-prinsip umum hukum internasional yang dalam

suatu perjanjian internasional yang berkaitan dengan proses

peradilan

pidana

antara lain yang berkaitan dengan

penuntutan atau pemidanaan tindak pidana yang berlatar

belakang politik, tindak pidana militer, penuntutan yang telah

kedaluarsa, dan ne bis in idem.

Hak Negara Diminta untuk menolak permintaan bantu n yang

bersifat tidak mutlak berlandaskan prinsip resiprositas. Prinsip

ini terutama sangat menentukan dalam menghadapi tindak

pidana yang disebut tindak pidana yang dilakukan di luar

wilayah Negara Peminta extraterritorial crime) dan tidak diatur

menu rut hukum Negara Diminta atau terhadap tindak pidana

yang diancam dengan pidana mati.

2. Perlindungan terhadap

kerahasiaan

dan pembatasan

penggunaan alat-alat bukti dan barang bukti serta informasi

Pasal 8)

36

Dalam pelaksanaan perjanjian ini, permintaan bantuan harus

dijamin kerahasiaannya, baik oleh Negara Diminta maupun

Negara Peminta.

Page 150: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 150/187

3. Menghadirkan tahanan, narapidana, atau orang lain untuk

memberikan kesaksian atau membantu penyidikan pasal12

dan Pasal 13)

Dalam hal adanya persetujuan dari tahanan, narapidana, atau

orang lain, maka tahanan, narapidana, atau orang lain

tersebut apabila diminta oleh Negara Peminta, dapat

dipindahkan sementara atau dihadirkan ke Negara Peminta

untuk membantu penyidikan dan memberikan kesaksian serta

harus dikembalikan pada saat selesai pelaksanaannya.

4. Jaminan perlindungan keselamatan Pasal 14)

Saksi atau ahli yang telah menyatakan persetujuan untuk

memberikan kesaksian harus mendapat jaminan perlindungan

keselamatan yang berupa

jaminan

untuk tidak ditahan,

dituntut, atau dipidana

di

Negara Peminta, atas tindak pidana

yang terjadi sebelum saksi atau ahli itu meninggalkan Negara

Diminta, apabila saksi atau ahli tersebut diminta dihadirkan

di Negara Peminta, kecuali saksi atau ahli tersebut melakukan

tindak pidana pada waktu memberikan kesaksian berupa

sumpah palsu, pernyataan palsu, atau penghinaan peradilan

contempt of court) .

5 Berlaku dan berakhirnya perjanjian Pasal 22)

a

Perjanjian mulai berlaku 30 tiga puluh) hari sesudah

masing-masing pihak memberitahukan secara tertulis

kepada pihak lainnya bahwa persyaratan masing-masing

pihak untuk berlakunya perjanjian terpenuhi.

b. Perjanjian berlaku juga bagi permintaan bantuan terhadap

perbuatan atau omisi yang relevan yang terjadi , baik

sebelum maupun sesudah berlakunya perjanjian .

c

Masing-masing pihak dapat mengakhiri perjanjian setiap

saat melalui pemberitahuan tertulis dan perjanjian berakhir

pada hari

ke

180 seratus delapan puluh) setelah tang gal

pemberitahuan disampaikan.

137

Page 151: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 151/187

II P S L DEMI P S L

Pasal1

Cukup jelas

Pasal

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR3807

138

Page 152: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 152/187

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA

DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK

DALAM MASALAH PIDANA

TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND

AUSTRALIA O MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL

MATTERS)

PERJANJIAN ANTARA

REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH

PI

DANA

Republik Indonesia dan Australia

BERH SR T

untuk saling

mengadakan

kerjasama seluas-

luasnya dalam menanggulangi kejahatan.

TELAH MENYETUJUI hal hal sebagai berikut:

Pasal1

RUANG LINGKUP PENERAPAN PERJANJIAN

1. Kedua Pihak saling memberikan bantuan dalam penyidikan

atau

proses

acara yang

menyangkut masalah pidana

berdasarkan Perjanjian ini.

2. Masalah pidana ini meliputi hal hal yang berkaitan dengan

kejahatan yang tercantum dalam daftar seperti terlampir pada

Perjanjian ini.

3. Bantuan dapatjuga diberikan atas kebijaksanaan dari Negara

Diminta untuk

perbuatan

lain atau

suatu

omisi

yang

merupakan suatu kejahatan jika kejahatan

itu

menu rut hukum

139

Page 153: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 153/187

4.

140

Kedua Selah Pihak,

adalah

kejahatan yang untuk penyi

dikannya dapat diberikan

bantuan

.

Bantuan semacam itu terdiri atas :

a)

pengambilan alat bukti/barang

bukti

dan

untuk

mendapatkan pernyataan dari orang

termasuk

pelaksanaan surat rogatoir;

b

pemberian

dokumen dan

catatan lain ;

c)

lokasi dan identifikasi dari orang ;

d) pelaksanaan permintaan untuk pencarian dan penyitaan;

e)

upaya-upaya untuk mencari , menahan dan menyita hasil

kejahatan ;

f)

mengusahakan

persetujuan dari orang-orang yang

bersed ia

memberikan

kesaksian atau membantu

penyidikan di Negara Peminta, dan jika orang itu berada

dalam tahanan ,

mengatur

pemindahan sementara ke

Negara tersebut;

g)

penyampaian

dokumen

; dan

h)

bantuan lain yang sesuai dengan tujuan Perjanjian ini

yang tidak bertentangan dengan hukum Negara Diminta.

Bantuan tidak meliputi :

a) ekstradisi seseorang;

b) pelaksanaan di Negara Diminta mengenai putusan pidana

yang dijatuhkan di Negara Peminta, kecuali dalam batas

yang diperbolehkan oleh hukum Negara Diminta dan oleh

Perjanjian ini; dan

c) pemindahan orang dalam penjara untuk menjalani pidana.

Page 154: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 154/187

Pasal2

• BANTUAN LAIN

Perjanjian ini tidak menghapuskan kewajiban yang ada diantara

Kedua Pihak., baik itu berdasarkan persetujuan atau pengaturan

lain maupun cara lain, serta tidak menghalangi Kedua pihak untuk

saling memberikan bantuan baik itu berdasarkan persetujuan atau

pengaturan lain maupun cara lain.

Pasal3

KANTOR PUSAT

1

Kedua Pihak menunjuk Kantor Pusat untuk mengirim dan

menerima permintaan dalam rangka Perjanjian ini. Kantor

Pus at untuk Australia adalah Departemen Kejaksaan Agung

di Canberra dan Kantor Pusat untuk Republik Indonesia

adalah Departemen Kehakiman di Jakarta. Kedua pihak saling

memberitahukan jika ada perubahan Kantor Pusat masing-

masing.

2. Permintaan bantuan diajukan melalui Kantor Pusat yang akan

mengatur pelaksanaan permintaan itu dengan segera.

Pasa14

PENOLAKAN BANTUAN

1

Bantuan harus di tolak jika :

a) permintaan itu

berkaitan dengan

penuntutan atau

pemidanaan terhadap seseorang atas kejahatan yang

dianggap oleh Negara Diminta sebagai :

i) kejahatan yang bersifat politik kecuali pembunuhan

atau percobaan pembunuhan terhadap Kepala

Negara Kepala Pemerintahan

atau

anggota

keluarganya, atau

141

Page 155: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 155/187

 ii) kejahatan berdasarkan hukum militer dari Negara

Diminta yang bukan. merupakan kejahatan yang

termasuk dalam hukum pidana umum

di

Negara

Diminta.

b) permintaan itu berkaitan dengan penuntutan terhadap

seseor ng atas kej h t n yang

pel kuny tel h

dibebaskan atau diberi grasi atau telah selesai menjalani

pidana yang dijatuhkan;

c) permintaan itu berkaitan dengan

penuntut n

atau

pemidanaan terhadap seseorang atas suatu kejahatan

yang jika dilakukan di Negara Diminta tidak dapat dituntut

lagi karena alasan kadaluarsa, matinya tersangka, ne

bis in edem, atau tidak dapat dituntut lagi karena alasan

lain apapun;

d) Terdapat alasan kuat untuk menduga bahwa permintaan

bantuan itu dilakukan dalam rangka semata-mata untuk

menuntut atau memidana seseorang karena alasan suku,

jenis kelamin, agama, kewarganegaraan atau pandangan

politik atau bahwa posisi orang yang bersangkutan

mungkin dirugikan karena hal-hal tersebut; atau

e) Negara Diminta berpendapat bahwa permintaan itu, jika

dikabulkan, akan merugikan kedaulatan, keamanan,

kepentingan nasional atau kepentingan utama lainnya.

2. Bantuan dapat ditolak jika :

42

a) permintaan itu berkaitan dengan penuntutan atau pemi

danaan terhadap seseorang atas kejahatan dalam hal

perbuatan atau omisi yang disangkakan sebagai ke

jahatan itu, jika terjadi dalam yurisdiksi Negara Diminta,

tidak merupakan kejahatan;

b) permintaan itu berkaitan dengan penuntutan atau

pemidanaan terhadap seseorang atas kejahatan yang

Page 156: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 156/187

dilakukannya di luar wilayah Negara Peminta, sedangkan

hukum

Negara Diminta tidak me lgatur pemidanaan

terhadap kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya di

dalam situasi yang sama;

c) pemberian bantuan itu akan merugikan penyidikan atau

proses

acara

di Negara

Diminta

membahayakan

keselamatan seseorang atau menimbulkan beban berat

terhadap kekayaan negara itu; atau

d) permintaan itu berkaitan dengan penuntutan atau

pemidanaan terhadap seseorang atas kejahatan yang

terhadapnya pidana mati dapat dijatuhkan atau

dilaksanakan.

3. Sebelum menolak untuk mengabulkan permintaan bantuan,

negara Diminta harus mempertimbangkan apakah bantuan

dapat diberikan berdasarkan syarat-syarat yang dianggapnya

perlu. Jika negara Peminta menerima bantuan dengan syarat

syarat itu, maka Negara Peminta wajib menaati syarat-syarat

tersebut

Pasal5

lSI PERMINTAAN

1 Permintaan bantuan harus memuat :

a) maksud permintaan dan uraian mengenai bantuan yang

diminta;

b) nama instansi yang berwenang melakukan penyidikan

atau proses acara yang berkaitan dengan permintaan

itu;

c) uraian mengenai sifat dari masalah pidana termasuk isi

dari undang-undang dan peraturan perundang-undangan

yang relevan;

143

Page 157: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 157/187

 d) kecuali dalam hal permintaan penyampaian dokumen,

uraian mengenai perbuatan atau omisi atau keadaan yang

disangkakan sebagai kejahatan;

e) putusan pengadilan, jika ada, yang diminta untuk

dilaksanakan dan suatu pernyataan bahwa putusan itu

telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

f) rincian mengenai prosedur khusus atau syarat-syarat

yang dikehendaki oleh Negara Peminta untuk dipenuh i

termasuk pernyataan apakah bukti atau pernyataan

pernyataan yang diperlukan dibuat dibawah sumpah atau

janji;

g) persyaratan, jika ada, mengenai kerahasiaan dan alasan

untuk itu; dan

h) spesifikasi mengenai batas waktu yang diinginkan untuk

melaksanakan permintaan.

2. Permintaan bantuan, sejauh

itu

perlu dan dimungkinkan, harus

memuat

juga

a) identitas, kewarganegaraan dan lokasi dari orang atau

orang yang menjadi subyek atau orang yang mungkin

memiliki informasi berkaitan dengan penyidikan atau

proses acara;

b) uraian dari informasi, pernyataan atau bukti yang diminta;

c) uraian dari dokumen, catatan atau barang bukti yang

harus diajukan demikian juga ura ian mengenai orang yang

tepat untuk diminta memberikan keterangan tersebut; dan

d) informasi mengenai tunjangan dan biaya yang menjadi

hak dari orang yang akan hadir

di

Negara Peminta.

3.

Permintaan, dokumen penunjang dan komunikasi lainnya

yang dibuat berdasarkan Perjanjian ini harus dalam bahasa

Negara Peminta dan disertai dengan terjemahan dalam

bahasa Negara Diminta.

44

Page 158: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 158/187

4 Jika Negara Diminta menganggap bahwa informasi yang

terdapat dalam permintaan terse but berdasarl<an Perjanjiafl

ini tidak cukup untuk memenuhi permintaan bantuan, Negara

Diminta dapat meminta informasi tambahan.

Pasal6

PELAKSANAAN PERMINTAAN BANTUAN

1. Permintaan bantuan harus dilaksanakan menurut hukum

Negara Diminta, dan sejauh

hal itu

tidak bertentangan dengan

hukum negara tersebut, dilaksanakan dengan cara yang

dikehendaki oleh negara Peminta.

2. Negara Diminta dapat menangguhkan penyerahan barang

yang diminta jika barang itu diperlukan untuk proses acara

pidana atau perdata di Negara tersebut. Atas permintaan,

maka Negara Diminta harus memberikan salinan resmi

dokumen.

3

Negara Diminta harus memberitahukan dengan segera

kepada Negara Peminta mengenai keadaan-keadaan yang

pad a

sa

at hal itu diketahui oleh Negara Diminta, dapat .

menimbulk n

kel mb t n yang .cukup

ber rti

dalam

menjawab permintaan tersebut.

4

Negara Diminta harus memberitahukan dengan segera

kepada Negara Peminta mengenai keputusannya untuk tidak

memenuhi seluruh atau sebagian dari permintaan bantuan,

dan alasan dari keputusan tersebut.

Pasal7

PENGEMBALIAN BARANG KE NEGARA DIMINTA

Apabila diminta oleh Negara Diminta. Negara Peminta harus

mengembalikan barang yang diberikan berdasarkan Perjanjian

ini

, jika barang itu tidak dibutuhkan lagi untuk penyidikan atau

proses acara yang relevan .

145

Page 159: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 159/187

Pasal

MELII JDUNGI KERAHASIAAN DAN

MEMBATASI PENGGUNAAN ALAT BUKTI DAN BARANG

BUKTI SERTA INFORMASI

1. Negara Diminta, jika diminta, harus merahasiakan adanya

permintaan bantuan, isi permintaan serta dokumen penun

jangnya, dan adanya pemberian bantuan tersebut. Jika

permintaan tidak dapat dilaksanakan tanpa melanggar keraha

siaan, Negara Diminta akan memberitahukan kepada Negara

Pecinta yang akan memutuskan apakah permintaan itu harus

tetap diajukan meskipun melanggar kerahasiaan .

2. Negara Peminta , jika diminta, harus merahasiakan informasi

dan alat bukti serta barang bukti yang diberikan oleh Negara

Diminta , kecuali jika alat bukti dan barang bukti serta informasi

tersebut diperlukan untuk penyidikan dan proses acara

sebagaimana diuraikan dalam permintaan.

3. Negara Peminta tidak akan menggunakan informasi atau alat

bukti dan barang bukti yang didapatnya , atau segala sesuatu

yang berasal dari itu, untuk tujuan-tujuan lain dari pada yang

dinyatakan di

dalam

permintaan , tanpa persetujuan

sebelumnya dari Negara Diminta.

Pasal9

PENYAMPAIAN DOKUMEN

1.

Negara

Diminta harus menyampaikan dokumen yang

dikirimkan kepadanya oleh Negara Peminta , untuk tujuan

penyampaian dokumen ini Negara Peminta.

2. Permintaan penyampaian dokumen yang memuat panggilan

kehadiran seseorang harus diajukan kepada Negara Diminta

sekurang-kurangnya m pat puluh lima hari sebelum tanggal

kehadirannya diperlukan. dalam keadaan mendesak, Negara

Diminta dapat mengesampingkan syarat ini.

46

Page 160: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 160/187

3. Negara Diminta dapat menyainpaikan dokumen m ~ l a l u i pos

atau,jika Negara Peminta.memintanya, dengan cara lain yang

ditentukan oleh hukum Negara Peminta sepanjang tidak

bertentangan dengan hukum Negara Diminta.

4 Negara Diminta harus rnenyampaikan ke Negara Peminta

bukti penyampaian dokumen. Jika penyampaian dokumen

tidak dapat dilakukan. Negara Peminta akan diberitahu

mengenai hal itu disertai alasannya.

Pasal10

PENGAMBILAN ALAT DAN BARANG BUKTI

1

Dalam hal permintaan diajukan untuk keperluan proses acara

yang berkaitan dengan masalah pidana di Negara Peminta,

Negara Diminta, atas permintaan

harus

mengambil

keterangan saksi untuk dikirim ke Negara Peminta.

2. Untuk keperluan Perjanjian ini pemberian atau pengambilan

alat bukti dan barang bukti harus meliputi pengadaan

dokumen, catatan atau barang-barang lainnya.

3. Untuk keperluan permintaan menurut Pasal ini Negara

Peminta harus merinci

h a l h ~ l

pokok mengenai siapa yang

harus diperiksa termasuk pertanyaan yang perlu diajukan.

4. Pihak-Pihak yang ada hubungannya dengan proses acara

di Negara Peminta, penasehat hukum dan wakil Negara

Peminta, dengan mengikuti ketentuan hukum Negara Diminta,

dapat hadir dan menanyai orang yang diperiksa .

5. Seseorang yang diminta untuk memberikan kesaksian di

Negara Diminta menurut Pasal

ini

dapat menolak memberikan

kesaksian dalam hal :

(a) hukum Negara Diminta membolehkan saksi itu menolak

memberikan kesaksian dalam keadaan yang sama dalam

proses acara yang berasal dari diminta; maupun

47

Page 161: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 161/187

 b) hukum Negara Peminta membolehkan saksi itu menolak

memberikan kesaksian dalam proses acara yang sama

di Negara Peminta .

6. Jika seseorang menyatakan bahwa terdapat hak untuk

menolak memberikan kesaksian menurut hukum Negara

Peminta , maka Kantor Pusat Negara tersebut , atas

permintaan, harus memberikan surat keterangan ke Kantor

Pusat Negara Diminta mengenai adanya hak itu. Jika tidak

ada bukti sebaliknya, surat keterangan itu merupakan bukti

yang cukup mengenai adanya hak tersebut.

Pasal11

MEMPEROLEH PERNYATAAN DARI ORANG

1. Negara Diminta atas permintaan , harus

berusaha

memperoleh pernyataan dari orang

untuk

keperluan

penyidikan atau proses acara yang berkaitan dengan masalah

pidana di Negara Peminta .

2. Untuk keperluan permintaan menurut Pasal ini Negara

Peminta harus merinci hal-hal pokok mengenai pernyataan

yang diperlukan dari orang termasuk pertanyaan yang akan

diajukan kepada orang tersebut.

Pasal 12

MENGHADIRKAN TAHANAN/NARAPIDANA UNTUK

MEMBERIKAN KESAKSIAN ATAU MEMBANTU PENYIDIKAN

1 Seseorang tahanan/narapidana di Negara Diminta, jika diminta

oleh Negara Peminta, dapat dipindahkan sementara ke

Negara Peminta untuk membantu penyidikan atau untuk

memberikan kesaksian.

2. Negara Diminta tidak boleh memindahkan tahanan/

narapidana

ke

Negara Peminta kecuali orang itu menyetujui

pemindahan tersebut.

48

Page 162: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 162/187

3. Selama orang yang dipindahkan itu perlu tetap berada dalam

tahanan/penjara menurut hukum Negara Oiminta, Negara

Peminta harus menempatkan orang

itu

dalam tahanan/penjara

dan harus mengembalikan orang itu ke Negara Diminta pada

saat selesainya urusan yang berkaitan dengan pemindahan

yang diminta berdasarkan ayat 1) Pasal ini atau pada waktu

yang lebih awal apabila kehadiran orang itu tidak diperlukan

lag i

4. egara

Peminta

dapat meminta

perpanjangan

waktu

sebagaimana ditentukan dalam ayat 3) Pasal ini apabila

Negara Peminta masih memerlukan kehadiran orang tersebut,

j ika orang itu menyetujuinya.

5 Apabila Negara Diminta menyatakan kepada Negara Peminta

bahwa orang yang dipindahkan itu tidak perlu lagi ditahan

dalam tahanan atau penjara, orang itu harus dibebaskan dan

diperlakukan sebagai orang yang dimaksud dalam Pasal13.

Pasal 13

MENGHADIRKAN ORANG LAIN UNTUK MEMBERIKAN

KESAKSIAN ATAU UNTUK MEMBANTU PENYIDIKAN

1. Negara Peminta dapat meminta bantuan Negara Diminta

memperoleh persetujuan seseorang untuk :

a) hadir sebagai saksi dalam proses acara yang berkaitan

dengan masalah pidana di Negara Peminta kecuali or-

ang itu adalah orang yang didakwa; atau

b) membantu penyidikan yang berkaitan dengan masalah

pidana

di

Negara Peminta.

2. Jika Negara Diminta dapat menerima bahwa pengaturan yang

memuaskan akan dilakukan oleh Negara Peminta untuk

menjamin

keamanan orang itu , Negara Diminta harus

meminta persetujuan dari orang tersebut untuk hadir sebagai

saksi dalam proses acara atau untuk membantu penyidikan.

49

Page 163: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 163/187

Pasal 14

TINDAKAN JAMINAN KESELAMATAN

1

Dengan memperhatikan ayat 2), apabila seseorang berada

di Negara Peminta berdasarkan permintaan yang diajukan

menurut Pasal 12 atau 13 :

a) orang tersebut tidak akan ditahan, dituntut atau dihukum

di

Negara Peminta, untuk pelanggaran apapun, atau tidak

menjadi pihak dalam perkara perdata apapun, menjadi

tergugat yang tidak dapat dikenakan padanya jika ia tidak

berada di Negara Peminta, berkenaan dengan perbuatan

atau omisi apapun yang dilakukannya sebelum orang itu

meninggalkan Negara Diminta ;

b) orang itu tidak boleh, tanpa persetujuannya, diminta untuk

memberikan kesaksian dalam suatu proses acara atau

membantu suatu penyidikan selain daripada proses acara

atau penyidikan yang berkaitan dengan permintaan itu;

dan

c) apabila orang yang diminta adalah warganegara dari

Negara

ketiga

maka Negara

Peminta

akan

memberitahukan Kantor Perwakilan Negara tersebut

mengenai masalah itu melalui saluran diplomatik.

2

Ayat 1) Pasal ini tidak berlaku lagi jika orang itu, setelah

bebas untuk pergi, tidak meninggalkan Negara Peminta dalam

jangka waktu tiga puluh hari setelah orang itu secara resmi

diberitahu bahwa kehadirannya tidak diperlukan lagi atau,

setelah meninggalkan negara itu, ternyata kembali lag

i

3

Seseorang yang tampil di Negara Peminta berdasarkan

permintaan yang diajukan menurut Pasal

12

atau

13

harus

tunduk

pada

hukum

yang berlaku di Negara Peminta

mengenai penghinaan terhadap peradilan, sumpah palsu dan

membuat pernyataan palsu.

150

Page 164: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 164/187

4. eseorang yang tidak memberikan persetujuan atas

permintaan yang dimaksud dalam Pasal 12 atau 13 tidak

akan, karena alasan itu dianc;am dengan suatu pidana atau

dikenakan upaya paksa apapun, meskipun ada pernyataan

yang bertentangan didalam permintaan bantuan itu atau dalam

dokumen apapun yang menyertainya.

Pasal 15

PENYEDIAAN DOKUMEN UNTUK UMUM DAN DOKUMEN

RESMI

1 Jika diminta, Negara Diminta harus memberikan salinan dari

dokumen dan catatan yang dapat diperoleh secara bebas

oleh umum.

2. Jika diminta, Negara Diminta boleh memberikan salinan dari

dokumen dan catatan yang merupakan bagian dari daftar

umum atau daftar lain yang tidak dapat diperoleh secara bebas

oleh umum.

3. Jika diminta, Negara Diminta dapat memberikan salinan dari

dokumen atau catatan resmi sesuai dengan cara yang sam a,

dan dengan syarat-syarat yang sam a seperti kalau dokumen

atau catatan tersebut dapat diberikan kepada petugas

penegak hukum atau pejabat peradilannya sendiri.

Pasal 16

PENGUATAN DAN PENGESAHAN

1. Dokumen atau barang-barang yang menunjang permintaan

bantuan yang melibatkan penggunaan upaya paksa atau

penyitaan hasil kejahatan harus disahkan sesuai dengan ayat

2). Dokumen atau barang yang diberikan sebagai jawaban

atas permintaan harus disahkan dengan cara yang sama,

jika diminta.

151

Page 165: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 165/187

~ ~ ~

..

2. Dokumen dan barang adalah sah untuk keperluan Perjanjian

ini jika

a) ditanda tang ani atau dikuatkan oleh hakim, atau pejabat

lain di atau dari Negara yang mengirimkan dokumen;

dan

b) dibubuhi dengan cap resmi dari

Negara

pengirim

dokumen, atau dari Menteri, atau dari Departemen atau

dari pejabat Pemerintah, dari Negara itu.

Pasal 17

PENCARIAN DAN PENYITAAN

1. Negara Diminta, sepanjang hukumnya mengizinkan, harus

melaksanakan permohonan untuk mencari dan menyita serta

menyerahkan barang ke Negara Peminta asalkan informasi

yang diberikan, termasuk informasi tambahan sebagaimana

dimaksudkan dalam ayat 4) Pasal5 , jika ada, membenarkan

tindakan itu menurut hukum Negara Diminta.

2. Negara Diminta harus memberikan informasi sebagaimana

diminta oleh Negara Peminta, mengenai hasil pencarian ,

tempat penyitaan , keadaan pada

saat

penyitaan, dan

penyimpanan selanjutnya barang sitaan tersebut.

3. Negara Peminta harus memperhatikan setiap syarat yang

ditetapkan oleh Negara Diminta dalam kaitannya dengan

barang sitaan yang diserahkan kepada Negara Pemi

nta

.

Pasal

18

HASIL KEJAHATAN

1. Negara Dimi

nta

atas permintaan, harus berusaha untuk

memastikan apakah hasil kejahatan berada di dalam

yurisdiksinya dan harus memberitahukan kepada Negara

Peminta mengenal hasil penyidikannya. Dalam mengajukan

permintaan, Negara Peminta harus memberitahukan kepada

152

Page 166: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 166/187

Negara Diminta mengenai

l s ~

dari keyakinannya bahwa

hasil kejahatan itu mungkin berada dalam yurisdiksinya.

2 Dalam hal, menurut ayat

1),

hasil kejahatan yang dicurigai

itu diketemukan, Negara Diminta harus mengambil tindakan

yang diperbolehkan oleh hukumnya untuk mencegah jual beli,

pengalihan atau pemusnahan hasil kejahatan tersebut, sambil

menunggu penetapan akhir mengenai hasil kejahatan tersebut

oleh Pengadilan dari Negara Peminta.

3.

Negara Diminta sejauh diperbolehkan menurut hukumnya,

harus melaksanakan penetapan atau putusan akhir yang

dikeluarkan oleh Pengadilan Negara Peminta untuk menyita

atau merampas hasil kejahatan .

4.

Dalam melaksanakan Pasal ini, hak dari pihak ketiga yang

beritikad baik harus dihormati menurut hukum Negara Diminta.

Dalam hal ada tuntutan dari pihak ketiga, Negara Diminta

harus menahan barang tersebut sampai ada penetapan akhir

dari pengadilan yang berwenang.

5.

Negara Diminta harus mengembalikan barang yang dimaksud

dalam ayat (3) Pasal ini, atau nilai dari barang itu kepada

Negara Peminta.

6 Dalam Pasal ini hasil kejahatan berarti setiap barang yang

dicurigai, atau dinyatakan oleh pengadilan, sebagai barang

yang berasal dari atau diperoleh,

l ngsung

atau tidak

langsung, sebagai hasil dari dilakukannya suatu kejahatan

atau harga lawan dari barang dan keuntungan lain yang

berasal dari dilakukannya suatu kejahatan.

Pasal 19

PENGATURANTAMBAHAN

Kantor Pusat masing-masing Pihak dapat membuat pengaturan

tambahan yang sesuai dengan tujuan Perjanjian ini dan dengan

hukum kedua belah Pihak dalam Perjanjian .

153

Page 167: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 167/187

Pasal2

PERWAKILAN

DAN BIAYA

1.

Kecuali jika diatur lain dalam Perjanjian ini, Negara Diminta

harus menyiapkan hal-hal yang diperlukan agar Negara

Peminta diwakili secara hukum dalam setiap proses acara

yang timbul karena adanya permintaan bantuan dan dengan

demikian Negara Diminta akan mewakili kepentingan Negara

Peminta.

2. Negara Diminta harus menanggung biaya untuk memenuhi

permintaan bantuan kecuali biaya yang harus ditanggung

oleh Negara Peminta yaitu :

a) biaya yang berhubungan dengan pengangkutan orang

ke atau dari wilayah Negara Diminta, dan setiap upah,

tunjangan atau biaya yang wajib dibayar kepada orang

itu selama berada di Negara Peminta berdasarkan

permintaan menurut Pasal 9,

12 atau

13;

b) biaya yang berhubungan dengan pengangkutan petugas

tahanan/penjara atau petugas pengawal; dan

c) jika diminta oleh Negara Diminta, biaya khusus untuk

memenuhi permintaan bantuan itu.

Pasal21

KONSULTASI

Kedua Pihak harus mengadakan konsultasi dengan segera atas

permintaan Pihak lainnya, mengenai penafsiran, penerapan atau

pelaksanaan ketentuan

e ~ a n j i a n

ini baik secara umum maupun

dalam kaitannya dengan kasus tertentu melalui Kantor Pusat.

54

Page 168: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 168/187

Pasal22

MULAI BERLAKU DAN BERAKHIRNYA PERJANJIAN

1. Perjanjian ini mulai berlaku tiga puluh hari sesudah tanggal

masing-masing Pihak saling memberitahu kepada Pihak

lainnya secara tertulis bahwa persyaratan masing-masing

Pihak untuk berlakunya Perjanjian ini telah terpenuh i

2. Perjanjian ini berlaku juga bagi permintaan bantuan terhadap

perbuatan atau omisi yang relevan yang terjadi baik sebelum

maupun sesudah berlakunya Perjanjian ini.

3

Masing-masing Pihak dapat mengakhiri Perjanjian ini setiap

saat melalui pemberitahuan tertulis dan e ~ a n j i a n ini berakhir

berlakunya pada hari ke seratus delapan puluh setelah hari

pemberitahuan disampaikan.

Sebagai bukti yang bertanda tangan dibawah ini yang diberi kuasa

oleh Pemerintah masing-masing telah menanda tangani e ~ a n j i a n

ini.

Dibuat di Jakarta tanggal dua puluh tujuh oktober seribu sembilan

ratus sembilan puluh lima dalam bahasa Indonesia dan bahasa

lnggris  kedua Naskah mempunyai kekuatan sah yang sama.

UNTUK REPUBLIK INDONESIA UNTUK AUSTRALIA 

ttd. ttd.

OETOJO OESMAN MICHAEL LAVARCH

55

Page 169: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 169/187

L MP

RAN

DAFTAR KEJAHATAN YANG DIMAKSUD DALAM PASAL 1 AYAT

2)

1. pembunuhan berencana, pembunuhan;

2.

kejahatan yang menyebabkan kematian orang;

3. kejahatan yang melanggar undang-undang mengenai

pengguguran kandungan ;

4. .membantu atau membujuk atau menasehati atau

memberikan sarana kepada orang lain untuk melakukan

perbuatan bunuh diri;

5.

dengan

maksud jahat atau

berencana melukai

atau

mengakibatkan luka berat, penyerangan yang menyebabkan

luka;

6. penyerangan terhadap Hakim/Magistrat, pejabat polisi atau

pejabat umum;

7. penyerangan di kapal atau di pesawat udara dengan maksud

membunuh atau menyebabkan luka berat;

8. perkosaan atau penyerangan seks;

9. perbuatan cabul dengan kekerasan;

10 . memberi sarana, atau memperjualbelikan wanita atau orang

muda dengan maksud amoral, hidup dari hasil pelacuran;

setiap kejahatan lain yang melanggar undang-undang

mengenai pelacuran;

11. bigami;

12. penculikan, melarikan wanita atau anak dengan paksa,

memenjarakan secara tidak sah perdagangan budak;

13

. mencuri, menelantarkan, menawarkan atau menahan anak

secara melawan hukum;

56

Page 170: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 170/187

14. kejahatan yang melanggar undang-undang mengenai suap;

15. memberikan

sumpah palsu

membujuk orang untuk

memberikan sumpah palsu menghalangi atau menggagalkan

jalannya peradilan;

16. perbuatan menimbulkan kebakaran;

17

. kejahatan yang berhubungan dengan pemalsuan uang dan

surat-surat berharga;

18. kejahatan yang melanggar undang-undang

mengenai

pemalsuan atau undang-undang mengenai penggunaan apa

yang dipalsukan;

19. kejahatan yang melanggar undang-undang mengenai pajak

bea cukai pengawasan devisa atau pendapatan negara

lainnya;

20. pencurian ; penggelapan; penukaran secara curang;

pembukuan palsu dan curang; mendapatkan barang uang

surat berharga atau kredit melalui upaya palsu atau cara

penipuan lainnya; penadahan barang curian setiap kejahatan

yang berhubungan dengan penipuan;

21 . pencurian dengan pemberatan; memasuki rumah orang lain

tanpa izin; setiap kejahatan yang sejenis;

22. perampokan;

23. pemerasan atau pemaksaan dengan ancaman atau dengan

penyalahgunaan wewenang;

24. kejahatan yang melanggar undang-undang mengenai

kebangkrutan dan kepailitan;

25. kejahatan yang

melanggar

undang-undang mengenai

perusahaan;

26 kejahatan yang melanggar undang-undang keimigrasian;

157

Page 171: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 171/187

27

. kejahatan yang melanggar undang-undang ling kung

an

hidup;

28. pengrusakan barang deng1=m maksud jahat dan berencana;

29 . perbuatan yang dilakukan dengan maksud membahayakan

keselamatan orang-orang yang bepergian dengan kereta api

kendaraan darat kapal laut atau

pesawat

udara atau

membahayakan atau merusak kereta api kendaraan darat 

kapal laut atau pesawat udara;

30

. pembajakan;

31

perbuatan yang melawan hukum

terhadap

kekuasaan

nahkoda kapal laut atau kapten pilot pesawat udara;

32 . merampas secara melawan hukum atau secara melawan

hukum menguasai pengendalian atas kapallaut atau pesawat

udara   dengan paksaan atau ancaman kekerasan atau

dengan setiap bentuk intimidasi lainnya;

33

. perbuatan melawan hukum dari salah satu perbuatan yang

diatur

dalam ayat 1

Pasal

1 onvensi

mengenai

Pemberantasan Tindakan-Tindakan Melawan Hukum Yang

Mengancam Keamanan Penerbangan Sipil ;

34

. kejahatan yang melanggar undang-undang mengenai obat

obatan berbahaya atau narkotika ;

35

membantu membujuk  menasehati atau memberikan sarana 

menjadi pembantu laku sebelum atau sesudah sesuatu

perbuatan dilakukan atau mencoba atau berkomplot

melakukan suatu kejahatan yang disebutkan

di

atas.

58

Page 172: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 172/187

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN.2001

TENTANG

PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH

REPUBLIK INDONESIA

DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN

PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI

AGREE-

MENT

BETWEEN THE GOVERNMENT

OF

THE

REPUBLIC

OF

iNDONESIA

ND

THE GOVERNMENT

OF

HONGKONG

FOR THE SURRENDEROF FUGITIVE OFFENDERS)

Menimbang :

DENGAN RAHMAT TUHAN

YANG M H ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

a. bahwa pembangunan hukum nasional yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 harus dapat

mendukung d n menjamin kepastian  ketertiban  penegakan 

dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan

kebenaran ;

b. bahwa hubungan luar negeri yang dilandasi prinsip politik

bebas dan aktif diabdikan pada kepentingan nasional  

dikembangkan dengan meningkatkan persahabatan  kerja

sama bilateral d n

mu

ltilateral untuk mewujudkan tatanan

dunia baru berdasarkan kemerdekaan  perdamaian abadi 

dan keadilan sosial ;

159

Page 173: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 173/187

c. bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

khususnya di bidang transportasi , komunikasi, Elan informasi

telah mempermudah orang melakukan kejahatan yang tidak

lagi mengenal batas yurisdiksi suatu negara, tetapi dapat

menyangkut beberapa negara sehingga penanggulangan dan

pemberantasannya diperlukan kerjasama internasional;

d. bahwa kerjasama antara Pemerintah Republik Indonesia dan

Pemerintah Hongkong telah berkembang dengan baik dan

untuk lebih meningkatkan kerja sam a tersebut khususnya di

bid ang

penegakan hukum dan pelaksanaan perad

il

an

pidana,

m

aka pada

tanggal 5 Mei

997

di

Hongkong

telah

ditandatangani Persetujuan antara Pemerintah Republik In

donesia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan

Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri Agreement between

the Government o the Republic o Indonesia and the Gov-

ernment

o

Hongkong for the Surrender

o

Fugitive Offend-

ers) ;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud

dalam huruf a, b, c, dan d dipandang perlu mengesahkan

Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan

Pemerintah Hong kong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum

yang Melarikan Diri Agreement between the Government o

the Republic o Indonesia and the Government o Hongkong

for the Surrender o Fugitive Offenders) dengan Undang

undang;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat 1 ), Pasal 11 , dan Pasal 20 ayat 2) Undang

Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi

Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun

1979 Nomor

2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3130) ;

160

Page 174: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 174/187

3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

l n t e r n ~ i o n l

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2000 Nom or 185, Tambahan Lembaran Negara Nom or 4012);

Dengan persetujuan bersama antara

DEW N PERW KIL N R KY T REPUBLIK INDONESI

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESI

MEMUTUSKAN

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN

NT R PEMERINT H REPUBLIK INDONESI D N

PEMERINT H HONGKONG

UNTUK

PENYER H N

PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI AGREEMENT

ETWEEN

THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF IN-

DONESIA AND THE GOVERNMENT OF HONG KONG FOR THE

SURRENDER OF FUGITIVE OFFENDERS).

Pasal1

Mengesahkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indone

sia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar

Hukum yang Melarikan Diri Agreement between the Govern-

ment of the Republic of Indonesia and the Government of

Hongkong for the Surrender of Fugitive Offenders) yang telah

ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1997 di Hong kong yang salinan

naskah aslinya dalam bahasa Indonesia, bahasa lnggris, dan

bahasa China sebagaimana terlampir dan merupakan bag ian yang

tidak terpisahkan dari Undang-undang ini.

6

Page 175: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 175/187

Pasal

Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan

Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 8 Mei 2001

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

ttd

ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal Mei 2001

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA 

ttd

DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA

REPUBLIK

INDONESIA TAHUN 2001

NOMOR43

162

Page 176: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 176/187

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 2001

TENTANG

PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH

REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG

UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG

MELARIKAN DIRI

AGREEMENT BETWEEN THE GOVERN-

MENT OF

THE REPUBLIC

OF

INDONESIA

ND

THE

GOVERNMENT OF HONGKONG FOR THE SURRENDER OF

FUGITIVE OFFENDERS)

I U U

Pembangunan Hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan pada terwujudnya Sistem

Hukum Nasional yang antara lain dilakukan dengan pembentukan

hukum baru khususnya produk hukum yang sangat dibutuhkan

untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan

nasional;

Produk hukum nasional tersebut harus dapat menjamin kepastian

ketertiban penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan

keadilan dan kebenaran yang diharapkan mampu mengamankan

dan mendukung penyelenggaraan politik luar negeri yang bebas

aktif untuk mewujudkan tatanan dunia berdasarkan kemerdekaan

perdamaian abadi dan keadilan sosial;

Dalam era globalisasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

baik dibidang transportasi komunikasi maupun informasi semakin

canggih telah menyebabkan wilayah negara yang satu dengan

wilayah negara yang lain seakan-akan tanpa batas sehingga

memudahkan lalu lintas manusia dari satu negara ke negara

lainnya.

163

Page 177: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 177/187

Akibat kemajuan ilmu ·pengetahuan dan teknologi di samping

mempunyai

d mp k positif

bagi kehidupan

m nusi

jug

memb w

d mp k

neg tif

yang

d p t merugik n or ng

perorangan  masyarakat dan atau negara. Hal ini ternyata dapat

dimanfaatkan pula secara tidak bertanggung jawab oleh para

pelaku tindak pidana dalam upaya meloloskan diri dari proses

peradilan dan menjalani pidana

di negara tempat seseorang

melakukan tindak pidana.

Bertitik tolak dari kenyataan tersebut Pemerintah Republik n

donesia dan Pemerintah Hongkong mengadakan Persetujuan

untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri

Agree-

ment between the Government of the Republic of Indonesia and

the Government of Hongkong for the Surrender of Fugitive f-

fenders) yang telah ditandatangani

di

Hongkong pada tanggal 5

Mei 1997.

Persetujuan tersebut bertujuan meningkatkan kerja sama dalam

penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan yaitu dengan

cara mencegah lolosnya pelanggar hukum dari proses peradilan

dan menjalani pidana.

Dengan adanya persetujuan penyerahan pelanggar hukum yang

melarikan diri tersebut diharapkan hubungan dan kerja sama

yang lebih baik antara kedua negara dalam bidang penegakan

hukum dan pemberantasan kejahatan dapat ditingkatkan.

Persetujuan ini selain dapat memenuhi tuntutan keadilan juga

dapat menghindari kerugian-kerugian yang disebabkan lolosnya

tersangka terdakwa terpidana atau narapidana.

Beberapa hal panting dari Persetujuan Penyerahan Pelanggar

Hukum yang Melarikan Diri adalah :

1 Bentuk dan Nama

64

Pada umumnya kesepakatan antar negara untuk saling

menyerahkan pelanggar hukum yang melarikan diri dibuat

dalam bentuk Perjanjian Ekstradisi

Extradition

Treaty

khusus

Page 178: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 178/187

kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dan

Pemerintah Hongkong untuk sa ing menyerahkan pelanggar

hukum yang melarikan di

ri

dibuat dalam bentuk Persetujuan

Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri

Surren-

  er

of Fugitive Offenders Agreement) .

Hal terse but karena Hong kong bukan merupakan negara yang

berdaulat penuh, sehingga selama ini setiap kesepakatan

yang dibuat antara Hong kong dengan negara lain untuk sa ling

menyerahkan pelanggar hukum yang melarikan diri dibuat

dalam bentuk Persetujuan Penyerahan Pelanggar Hukum

yang Melarikan Diri

Surrender

of

Fugitive Offenders Agree-

ment) dan bukan dalam bentuk Perjanjian Ekstradisi Extra-

dition Treaty).

2. Pelanggaran Hukum yang Dapat Diserahkan Pasal

2

.

Di dalam Persetujuan ini ditegaskan bahwa pelanggaran

hukum yang dapat diserahkan adalah pelanggaran yang dapat

dihukum menurut hukum Indonesia dan hukum Hongkong

yakni berdasarkan asas tindak pidana ganda double crimi-

nality)

dan pelanggaran hukum tersebut diancam dengan

pidana penjara lebih dari 1 satu) tahun atau dengan pidana

lebih berat. Jenis pelanggaran hukum yang dapat diserahkan

berjumlah 44 em pat puluh em pat) jenis pelanggaran hukum.

3. Hak untuk Menolak Menyerahkan Warga Negaranya Pasal

4).

Masing-masing pihak dalam persetujuan berhak menolak

untuk menyerahkan warga negaranya. Dalam Persetujuan

ini, Pihak Diminta untuk melaksanakan penyerahan berhak

untuk mempertimbangkan apakah akan menyerahkan atau

tidak warga negaranya. Pihak Diminta harus menyerahkan

atau tidak warga negaranya . Pihak iminta harus

menyerahkan kasusnya kepada instansi yang berwenang di

wilayahnya .

65

Page 179: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 179/187

4. Pelanggaran yang Diancam Dipidana Dengan Pidana Mati

Pasal

~ .

Persetujuan ini mengatur bahwa penyerahan pelanggar

hukum tidak akan dilaksanakan terhadap pelanggar hukum

yang diancam dengan pidana mati, kecuali jika Pihak Peminta

memberikan jaminan bahwa pidana mati tidak akan dijatuhkan

atau jika dijatuhkan tidak akan dilaksanakan.

5.

Pelanggar Hukum yang Berlatar Belakang Politik Pasal

7

.

Apabila

pelanggaran

hukum yang

didakwakan atau

dipersalahkan adalah pelanggaran politik atau pelanggaran

yang bersifat politik, maka pelanggar hukum tidak akan

diserahkan.

Mengambil nyawa atau percobaan mengambil nyawa Kepala

Negara dan seorang kerabat

de

kat Kepala Negara tidak akan

dianggap sebagai pelanggar politik atau suatu pelanggaran

yang bersifat politik karena itu pelakunya dapat diserahkan.

6. Tata Cara Penyerahan Pasal 17)

166

Dalam Persetujuan ini mengenai penyerahan pelanggar

hukum ditempuh dengan tata cara sebagai berikut :

a.

Pihak

Diminta harus, segera sesudah

mengambil

keputusan mengenai permintaan penyerahan

memberitahukan keputusan tersebut kepada Pihak

Peminta.

b. Jika seseorang akan diserahkan, orang itu harus dikirim

oleh

pejabat

dari

Pihak

Diminta ke suatu

tempat

pemberangkatan yang berada dalam yurisdiksinya .

c. Pihak Peminta harus mengambil orang tersebut dalam

waktu yang ditentukan oleh Pihak Diminta dan jika tidak

diambil dalam jangka waktu tersebut Pihak Diminta dapat

menolak penyerahan orang itu untuk pelanggaran yang

sama.

Page 180: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 180/187

d. Jika ada keadaan yang berada i luar kuasa menghalangi

salah satu pihak untuk menyerahkan dan mengamb il

orang yang akan diserahkan pihak yang bersangkutan

harus memberitahukan pihak yang lain. Dalam kasus yang

demikian  kedua belah pihak harus menyetujui suatu

t ngg l yang b ru untuk penyer h n yang tel h

ditentukan.

67

Page 181: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 181/187

UNDANG-UNDANG RE PUBLIK INDONESIA

NOM

OR

10 TAHUN 1976

TENTANG

PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI

ANTARA REPUB

LIK

INDONESIA DAN

REPUBLIK PHILIPINA SERTA PROTOKOL.

DENGAN RAHMAT TUHAN

YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUB

LIK

INDONESIA

Menimbang

a. bahwa untuk mengadakan kerjasama

yang

lebih efektif dalam

memberantas kejahatan dan terutama

mengatur

dan

meningkatkan hubungan antara Indonesia dan Philip

in

a dalam

masalah ekstradisi maka perlu diadakan perjanjian menge

nai

ekstradisi;

b bahwa pada tang gal 10 Pebruari 1976 di Jakarta telah

ditandatangani perjanjian Ekstradisi antara Republik Indo

nesia dan Republik Philipina dengan disertai Protokol ;

c. ba hwa Perjanjian serta Protokol tersebut perlu disahkan

dengan undang-undang;

68

Page 182: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 182/187

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat 1 ), Pasal 11

I

can Pasal 20 ayat 1) Undang

Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indo

nesia Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan

Negara.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indo

nesia,

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN

EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK

PHILIPINA SERTA PROTOKOL.

Pasal

Mengesahkan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia

dan Republik Philippina serta Protokol tertanggal 10 Pebruari

1976, yang salinan naskahnya dilampirkan pada undang-undang

ini.

Pasal

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia.

169

Page 183: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 183/187

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 26 Juli 1976

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 26 Juli 1976

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

SUDHARMONO .

170

Page 184: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 184/187

PENJELASAN

ATAS

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 10 TAHUN 1976

TENTANG

PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI

ANTARA REPUBLIK INDONESI DAN REPUBLIK

PHILIPPIN

SERTA PROTOKOL

tU U

Untuk mengembangkan kerjasama

yang efektif

dalam

penegakkan hukum dan pelaksanaan peradilan dalam rangka

pemberantasan kejahatan terutama dalam masalah ekstradisi,

perlu diadakan kerjasama dengan negara tetangga, agar orang-

orang yang dicari atau yang telah dipidana dan melarikan diri ke

luar negeri tidak dapat meloloskan diri dari hukuman yang

seharusnya diterima.

Kerjasama yang

efektif

itu hanya dapat dilakukan dengan

mengadakan perjanjian ekstradisi

dengan negara

yang

bersangkutan . danya suatu

perjanjian

ekstradisi akan

memperlancar pelaksanaan peradilan administration of justice)

yang baik. Hal ini perlu terutama dalam masa pembangunan nasi-

anal dewasa ini, karena kejahatan itu ada hubungannya dengan

ekonomi dan keuangan, maka akibat dari kejahatan tersebut besar

7

Page 185: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 185/187

pengaruhnya

terhadap

pembangunan nasional tersebut

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka Pemerintah Indone

sia telah mengadakan Perjanjian Ekstradisi dengan Pemerintah

Malaysia, yang merupakan perjanjian yang pertama bagi Indo

nesia.

Disamping itu juga telah mengadakan pembicaraan/perundingan

dengan beberapa negara, khususnya negara-negara ASEAN

mengenai kemungkinan untuk mengadakan perjanjian ekstradisi.

Selain dengan Negara-negara ASEAN juga akan diadakan

Perjanjian Ekstradisi dengan Negara-negara lain.

Bagi Pemerintah Republik Indonesia, Perjanjian Ekstradisi dengan

Philipina ini merupakan perjanjian ekstradisi yang kedua. Dalam

Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini sudah dimasukkan azas

azas umum yang sudah diakui dan biasa dilakukan dalam hukum

internasional mengenai ekstradisi seperti :

a. Azas bahwa tindak pidana yang bersangkutan merupakan

tindak pidana, baik menurut sistim hukum Indonesia maupun

sistim hukum Philipina Double Criminality);

b. Kejahatan politik tidak diserahkan;

c. Hak untuk tidak menyerahkan warganegara sendiri , dan lain

lainnya.

Disamping itu di dalam

daftar

tindak pidana yang

dapat

diekstradisikan ditetapkan pula, bahwa kejahatan penerbangan

merupakan tindak pidana yang dapat diekstradisikan.

Prosedur penangkapan, penahanan, dan penyerahan akan tunduk

semata-mata pada hukum nasional masing-masing negara.

Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini disertai dengan Protokol

dimana ditegaskan bahwa Republik Indonesia adalah pemilik

tunggal dari pulau yang dikenal sebagai Las Palmas P. Miangas)

sebagai hasil dari putusan perwasitan tertanggal 4 April 1928

172

Page 186: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 186/187

yang menyelesaikan sengketa antara Am erika Serikat dan Negeri

Belanda

Penegasan ini perlu untuk menghindari penafsiran yang berlainan

atas bagian dan Perjanjian Ekstradisi ini yang mengenai hal

wilayah

II P S L DEMI P S L

Pasal1

Cukup jelas 

Pasal

Cukup jelas

73

Page 187: Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

8/20/2019 Analisa_dan_Evaluasi_Tentang_Hukum_Penyelidikan_dan_Penyidikan_Tindak_Pidana_Korupsi_-_2005.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/analisadanevaluasitentanghukumpenyelidikandanpenyidikantindakpidanakorupsi-2005pdf 187/187