View
2.462
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Analisis Kebijakan Pembangunan Jepang
dalam Krisis 2008
Bernadette Aderi Puspaningrum 1006694315
Ujian Akhir Mata Kuliah Pembangunan Asia Timur
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONALFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Sejak terhubungnya ekonomi Jepang dengan pasar internasional, Jepang telah
menempatkan diri sebagai negara maju. Industri manufaktur berteknologi tinggi tidak
lain menjadi keunggulan ekonomi negara ini. Hingga di tahun 1960an Jepang disebut-
sebut sebagai Asian Miracle dengan rata-rata pertumbuhan ekonominya mencapai 10%.
Sayangnya siklus 10 tahunan menunjukan adanya penurunan rata-rata pertumbuhan
ekonomi menjadi 5% dan 4% pada periode 1970an dan 1980an.1 Dalam
perkembangannya, penurunan rata-rata pertumbuhan ekonomi ini bahkan terus berlanjut
hingga selama 10 tahun Jepang mengalami stagnansi ekonomi yang berlangsung sejak
tahun 1990-2010.2
Berbagai penelitian telah mengungkapkan penyebab stagnansi Jepang dalam kurun
waktu 10 tahun terakhir. Umumnya, pengamat menilai peningkatan jumlah populasi
dependen, peningkatan beban hutang pemerintah Jepang, termasuk kuranngya faktor
kepemimpinan dalam sepuluh tahun terakhir, menjadi penyebab dari stagnansi ekonomi
tersebut.3 Akan tetapi, stagnansi ekonomi Jepang sendiri mulai mendapatkan perhatian
dunia internasional di tahun 2000an. Hal ini pada dasarnya tidak terlepas dari adanya
penurunan share ekonomi Jepang yang terus menerus menurun dalam periode tersebut.4
Dalam kondisi ekonomi yang demikian, dinamika ekonomi internasional
menempatkan Jepang dalam krisis financial global terjadi ditahun 2008. Krisis yang
menimpa Amerika Serikat ini jelas juga berdampak luas bahkan juga menempatkan
Eropa dalam krisis. Negara-negara seperti Yunani, Italy, dan Portugal, yang bersama-
sama dengan Jepang masuk dalam list 20 negara dengan presentasi hutang pemerintah
terhadap GDP terburuk di dunia, pun jatuh dalam krisis ekonomi yang sangat parah.5
Berkaca dari kondisi tersebut, maka makalah ini akan melihat bagaimana dampak krisis
2008 terhadap perekonomian Jepang yang dalam periode tersebut masih mengalami 1 Japan: Patterns of Development". January 1994. Dipublikasikan pada 2006-12-28. Diakses dari http://www.country-data.com/cgi-bin/query/r-7176.html, pada tanggal 3 Juni 2013 pukul 19.22 WIB.2Nobuhide Hatasa, “Japan’s Stagnant Economy: Ways to Move Ahead” diakses dari www.mercury.ethz.ch/serviceengine/Files/ISN/...3830.../Ch_1_Hatasa.pdf pada tanggal 26 Mei 2013 pukul 14:38 WIB3 Ibid.4 The World Bank, World Development indicators, diakses dari http://dataworldbank.org/indicator/ pada tanggal 5 Juni 2013 pukul 17.34 WIB. 5 Source: Ministry of Finance, www.mof.go.jp. OECD “Economic Outlook 89" (June, 2011) seperti yang tertera pada Nobuhide Hatasa, “Japan’s Stagnant Economy: Ways to Move Ahead” hlm.19.
2
stagnansi ekonomi. Respon pemerintah terhadap kondisi itupun akan dibahas untuk
melihat bagaimana kebijakan ekonomi pembangunan Jepang ketika itu.
1.2. Pertanyaan permasalahan
Makalah ini akan berusaha menjawab pertanyaan terkait masalah Bagaimana
Jepang menghadapi krisis financial global di tahun 2008, dalam kondisi ekonominya yang
sedang mengalami stagnansi?
1.3. Kerangka Teori
East asian Model6
Peran fundamental pemerintah di Asia Timur dibedakan menjadi dua tahap. Pada
tahap pertama pemerintah membentuk fondasi kelembagaan dan kebijakan yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan pertanian dan penyebaran primer pendidikan untuk memungkinkan fase
take-off ekonomi berjalan dalam masyarakat ekonomi agraris yang miskin dan masyarakat
tradisional menjadi jalur pembangunan berkelanjutan dan modernisasi. Pemindahan surplus
pertanian ke bidang pendidikan menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan di luar
pertanian untuk memasuki tahap kedua, ditandai dengan pemantapan terus menerus dan hati-
hati dari segi ekonomi untuk mendukung adanya pengembangan teknologi. Sehingga pada
akhirnya meningkatkan dan memodernisasi ekonomi dan agar dapat mengejar ketertiinggalan
dengan Dunia Barat.
Disisi lain, peran spesifik pemerintah bervariasi dari satu negara ke negara lainnya.
Namun dapat mengklaim bahwa Negara bertindak tidak sebagai perencana pusat (tidak
termasuk China selama Revolusi Kebudayaan), maupun sebagai pendorong, tetapi sebagai
pengkomando, atau konduktor yang akan menjalankan dua tugas, yaitu: untuk mengatur
“panggung” untuk lepas landas ke dunia perdagangan, dan untuk terus melakukan
peningkatan struktural di dalam negeri. Tugas pertama pada dasarnya berkaitan dengan tahap
pertama di atas dengan penambahan akan diperlukannya manajemen ekonomi makro yang
bijaksana, pragmatis bagi tenaga kerja, dan pembiayaan investasi infrastruktur dari surplus
pertanian. Tugas kedua, dalam fase pasca-take-off, terdiri dari mengatasi kegagalan
koordinasi yang dapat menghentikan ekonomi pasar untuk berkembang.
Selanjutnya, secara garis besar kerangka kebijakan dan lembaga alternatif yang
diadopsi oleh berbagai pemerintah daerah dan bagaimana mereka mempengaruhi unsur-unsur
6 Erik Thorbecke, and Henry Wan Jr, Revisiting East (and South East) Asia’s Development Model, dalam Paper prepared for the Cornell Conference on “Seventy Five Years of Development”, Ithaca, NY, May 7-9, 2004.
3
karakteristik inti dari Asia Timur model pembangunan adalah sebagai berikut: 1.
Pemeliharaan sektor pertanian dan pendidikan (sebagai persiapan dari take-off fase) 2.
Manajemen ekonomi makro dan penciptaan stabilitas; 3. keterbukaan dan orientasi kebijakan
keluar negara; 4. Persaingan teknologi, dan 5. Membangun koneksi dengan Asia Timur dan
Asia Tenggara.
Beberapa kebijakan dan lembaga yang yang digunakan dalam model pembangunan
ini pada dasarnya terdiri dari lebih dari satu elemen. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa
beberapa contoh akan menggambarkan kesamaan yang baik dari rezim pembangunan yang
diikuti oleh negara-negara di bawahnya sebagai pertimbangan dan digunakan kelak dalam
mengejar kemajuan yang dialami oleh rezim sebelumnya.
BAB II
ANALISIS
4
Krisis 2008 merupakan krisis yang kedua kalinya dialami oleh Jepang setelah krisis
global pertama di tahun 1990an. Pada dasarnya kedua krisis tersebut memiliki karakteristik
yang berbeda. Menurut Dr. Takafumi Sato, efek yang ditimbulkan dari krisis 2008 jauh lebih
kecil dibandingkan dengan krisis di tahun 1990an.7 Hal ini disebabkan oleh factor pemicu
utama krisis 2008 yang datang dari luar Jepang (exogenous shock), berbeda dengan krisis
1990an. Bab ini kemudian juga akan memperlihatkan bagaimana krisis 1990an memberikan
pengalaman berharga bagi Jepang sehingga dapat menyelamatkan Jepang dari krisis seperti
yang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan EU
1.1 Dampak Stagnansi Ekonomi Jepang
Untuk dapat memahami masalah ekonomi yang dihadapi Jepang di tahun 2008,
pemahaman mengenai dampak stagnansi ekonomi yang telah berlangsung sejak tahun
1990an menjadi hal yang penting. Secara umum, grafik di bawah ini menggambarkan
kondisi GDP Jepang selama masa stagnansi ekonomi.8
Sejak tahun 1990an GDP Jepang hanya mengalami fluktuasi dan kemudian terkena
dampak krisis glonal hingga mengalami penurunan kurang lebih sebanyak 2% di tahun
2008. Selanjutnya ekonomi Jepang kembali ke kondisi semula di tahun 2010.
Stagnansi ekonomi pada dasarnya juga memberikan dampak yang negatif dalam
ekonomi Jepang. Secara garis besar, stagnansi tersebut tidak hanya berdampak secara
nasional namun juga internasional. Di tingkat nasional stagnansi ekonomi berdampak
7 Dr. Takafumi Sato , Global financial crisis – Japan’s experience and policy response”, diakses dari www.frbsf.org/economics/conferences/aepc/2009/09_Sato.pdf, pada tanggal 9 Juni 2013 pukul 21.11 WIB. hlm. 38Tokyo Takes from Japan Investor, diakses dari http://www.japaninvestor.net/2011/01/japan-nominal-gdp-growth-in-2011-big.html, pada tanggal 9 Juni 2013 pukul 22.12 WIB.
5
pada minimnya kesempatan kerja bagi Jepang.9 Disamping jumlah kesempatan kerja yang
minim, kondisi ekonomi yang bertahan selama 10 tahun berturut-turut tersebut
berdampak pada adanya perubahan dalam system tenaga kerja di Jepang. Beberapa
peluang kerja hanya menyediakan kesempatan kerja paruh waktu ataupun kontrak dengan
upah yang minim.
Penurunan kesempatan kerja di Jepang sendiri disinyalir terjadi sebagai dampak dari
jatuhnya nilai saham Jepang di tingkat global yang sempat mencapai punjangnya 18%
menjadi 10% di tahun 1994.10 Penurunan nilai saham tersebut kemudian berdampak pada
tingkat investasi ke Jepang.
Data di atas menunjukan bagaimana FDI ke Jepang mengalami peningkatan di awal tahun
90an namun kemudian mengalami penurunan terus-menerus. Hal inilah yang menjadi
penyebab minimnya kesempatan kerja di Jepang dalam stagnansi ekonomi. Disisi lain,
ditingkat internasional stagnansi ekonomi Jepang berdampak pada menurunnya share GDP
Jepang di tingkat global.
9 Charles Hugh Smith, Japan's Economic Stagnation Is Creating a Nation of Lost Youths, diakses dari http://www.dailyfinance.com/2010/08/06/japans-economic-stagnation-is-creating-a-nation-of-lost-youths/ , pada tanggal 10 Juni 2013 pukul 14.22 WIB.10 Ibid.
6
Dalam grafik di atas, secara jelas diperlihatkan bagaimana tahun1994 menjadi titik balik
penurunan kontribusi Jepang di tingkat internasional yang cenderung terus mengalami
penurunan hingga tahun 2010.
1.2 Dampak Krisis Financial Global Terhadap Jepang
Data-data yang telah dipaparkan sebelumnya pada umumnya juga telah
memperlihatkan kecenderungan terjadinya penurunan aktifitas ekonomi Jepang di tahun
2008. Hal ini dengan jelas menunjukan bagaimana Jepang juga turut terkena dampak dari
krisis financial global di tahun tersebut. Krisis 2008 terjadi karena pengaruh permainan
pasar obligasi yang kini telah menjadi subjek yang diperdagangkan lintas batas negara.
Akibatnya, gejolak dalam pasar modal secara cepat dapat mempengaruhi kondisi pasar
secara global. Oleh sebab itu, Jepang pun tidak terlepas dari imbas krisis ini.
Menurut analisis data yang dikeluarkan IMF terkait kondisi global pasca krisis 2008,
tercatat pertumbuhan GDP dunia di tahun 2009 bergerak negative, yaitu sebesar -1,1%.11
Resesi global tersebut telah
menyebabkan terjadinya pelemahan
pada nilai riil ekonomi Jepang melalui
kontraksi parah dalam permintaan
eksternal. GDP Jepang mencatat
pertumbuhan negatif 12,4 persen pada
kuartal pertama tahun 2009. Resesi global secara eksplisit mengungkap adanya
ketergantungan ekonomi Jepang pada sektor ekspor. Dengan demikian dapat terlihat
11 Dr. Takafumi Sato, Log.cit.
7
bagaimana krisis telah mengurangi permintaan luar negeri untuk produk Jepang,
memusnahkan banyak keuntungan Jepang yang pada dasarnya telah mengalami
pengurangan sebagai ibas dari stagnansi panjang ekonomi domestik.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, krisis 2008 sesungguhnya tidak
memberikan dampak yang sangat buruk terhadap ekonomi Jepang. Hal ini terlihat dari
data-data sebelumnya yang memperlihatkan recovery dari ekonomi Jepang ke kondisi
sebelum krisis. Takafumi Sato dalam tulisannya melihat recovery yang cepat dari krisis
2008 sebagai keberhasilan pemerintah dalam memperbaiki struktur financial Jepang
pasca krisis di tahun 1990an.12 Meskipun memiliki beberapa masalah di sektor keuangan,
ekonomi Jepang terpukul keras oleh krisis saat ini, dengan tingkat pertumbuhan 2009
jatuh menjadi minus 5,2%. Disamping itu, dampak krisis pada dasarnya baru terasa
setelah Lehman Brother akhirnya dinyatakan bangkrut. Hal ini terjadi karena pasca krisis
1990an Jepang memperbaharui struktur finansialnya sehingga memberikan peraturan
yang lebih ketat terkait sektor kredit. Oleh karena itu, tidak ada bank besar Jepang yang
runtuh selama krisis berlangsung.13
1.3 Kebijakan ekonomi pemerintah pasca krisis 2008
Meskipun dampak krisis 2008 tidak berpengaruh lama terhadap perekonomian
Jepang. Pemerintah Jepang secara umum masih banyak memiliki tugas untuk menjaga
stabilitas ekonomi Jepang dan berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi Jepang
kembali.14
Pasca krisis, perhatian pemerintah banyak tertuju pada rasio hutang negara pada GDP
yang telah mencapai 220% dari GDP Jepang. Masalah ini banyak menimbulkan masalah
terutama terkait penguatan nilai Yen dalam pasar internasional. Akan tetapi, sebenarnya
masyarakat Jepang masih hidup makmur. Hal ini terlihat dari posisi Jepang yang masih
menjadi penyumbang terbesar di IMF bahkan kini akibat krisis financial global, Jepang
menjadi pemberi pinjaman bagi EU dan AS. Kodisi tersebut pada dasarnya didukung
oleh besarnya nilai ekspor Jepang. Oleh karena itu, pemerintah Jepang terus
menggencarkan ekspansi produksinya diluar Jepang.
12 Takehiko NAKAO1, Response to the Global Financial Crisis and Future Policy ChallengesKeynote address at the symposium co-hosted by Harvard Law School and the International House of JapanHakone, October 23, 2010.13 Issue Guide: Japan and the Global Financial Crisis, diakses dari http://www.cfr.org/japan/issue-guide-japan-global-financial-crisis/p19519, pada tanggal 10 Juni 2013 pukul 17.34 WIB.14 Japan Repositioning in Face of a Challenging World Economy, diakses daro http://www.surveymonkey.com/s/SLB7SYW pada tanggal 10 Juni 2013 pukul 19.20 WIB.
8
Masalah lain muncul dari kondisi pasar yang kini telah berubah. Hadirnya competitor
baru dalam perdagangan manufaktur yaitu China dan Korea Selatan mendorong Jepang
untuk terus melakukan inovasi dan menekan biaya produksi. Ekspansi pasar tersebut
dasarnya tidak hanya dilakukan untuk memperluas lapangan kerja namun juga untuk
memperluas pasar Jepang sendiri. Disamping itu, menurut analisis dari Japan External
Trade Organization (Jetro), ekspansi produksi Jepang ini pada akhirnya dapat
menempatkan Jepang sebagai penentukan arah sumber-sumber pertumbuhan ekonomi
dikemuadian hari. Hal ini terjadi karena ekspansi produksi mendorong adanya
pertumbuhan masyarakat kelas menengah di negara berkembang yang kemudian
menaikan demand negara itu sendiri. Naik demand akibat gaya konsumsi yang berubah
dalam masyarakat turut membantu pergerakan ekonomi di suatu negara yang kemudian
mendorong terjadinya inflasi yang memaksa adanya kenaikan terhadap upah pekerja di
negara tersebut.
Jika dilihat dari peta persebaran
ekspansi produksi Jepang seperti pada
peta di samping.15 Pada dasarnya
Jepang mempersiapkan Asia Tengah
sebagai emerging power baru dunia.
Pendekatan Jepang terhadap negara-
negara disamping tidak hanya
dilakukan melalui pendekatan
ekonomi namun juga melalui cara
diplomasi. Jepang dalam hal ini
masih menjalankan pola
diplomasinya yang lama dengan memberikan bantuan dan pengembangan infrastruktur di
negara-negar tersebut.
Foreign Direct Investment (FDI) juga menjadi cara bagi Jepang untuk
mempertahankan long term competitiveness –nya. FDI menjadi cara Jepang untuk
membangun kerjasama dengan perusahaan dalam Jepang maupun di luar Jepang. Jika
dilihat dari sifatnya, FDI dipandang cukup efektif dalam mendorong perusahaan untuk
terus melakukan inovasi sehingga terus mendapatkan keuntungan dari pasar.
1.4 Analisis kebijakan terhadap kondisi global
15 Ibid.
9
Melihat respon yang dilakuka pemerintah Jepang pasca krisis financial global tahun
2008 pada dasarnya menunjukan kembali digunakannya East Asia Model dalam ekonomi
Jepang seperti yang telah di paparkan sebelumnya. Tentunya dalam masa ini Jepang
sudah tidak lagi memerlukan tahapan pertama yaitu fase take-off karena Jepang kini telah
berkembang menjadi negara industry berbeda dengan kondisinya dulu dimasa
pemerintahan Meiji tahun 1868.
Kebijakan pertama yang diambil pemerintah Jepang, yang kemudian juga berhasil
menyelamatkan Jepang dari krisis financial global 2008 adalah reformasi system financial
pasca krisis 1990an. Reformasi financial Jepang yang kini lebih ketat dalam memberikan
pinjaman dan melakukan investasi dalam bentuk obligasi terbukti dapat menyelamatkan
Jepang dari krisis ekonomi seperti yang dialami oleh AS dan negara-negara EU. Hal ini
menunjukan bagaimana pemerintah Jepang telah melakukan manajemen ekonomi di
tingkan makro yang juga mendorong tetap adanya stabilitas ekonomi di Jepang pada
waktu krisis.
Keterbukaan dan orientasi ke luar terlihat dari kebijakan ekonomi ekspansi produksi
yang dilakukan pemerintah Jepang. Ekspansi ekonomi Jepang tidak hanya memberikan
kesempatan untuk negara-neagra lain dapat menggerakan roda ekonominya, namun juga
bagi Jepang menjadi upaya untuk perluasan pasar yang pada akhirnya dapat menutupi
hutang negara Jepang yang sangat besar. Di lain sisi, penggunaan FDI sebagai salah satu
alat penghubung Jepang dengan berbagai perusahaan di dunia, juga merupakan upaya
Jepang mendorong adanya inovasi-inovasi teknologi itu sendiri.
Sifat FDI yang adalah profit oriented, secara tidak langsung memaksa perusahaan
untuk terus melakukan inovasi sehingga dapat berkompetisi di pasar global. Tidak hanya
itu, untuk tetap mempertahankan keberadaan FDI itu sendiri, perusahaan harus berusaha
mengejar profit sebesar-besarnya agar dipandang menjanjikan bagi investor. Oleh sebab
itu, FDI secara tidah langsung kini menjadi pendorong terciptanya inovasi dalam pasar
internasional.
Jika dilihat dari peta persebaran ekspansi produksi Jepang di kawasan Asia Tenggara,
merupakan cerminan dari East Asia Model itu sendiri terkait konektifitas ke wilayah Asia
Tenggara itu sendiri. Hal ini pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa alasan. Dari sektor
ekonomi, Asia Tengah sangat berpotensi sebagai pasar Jepang yang telah
mengembangkan barang-barang berteknologi tinggi dan memerlukan adanya comparative
advantage berupa pengurangan biaya produksi. Upaya tersebut perlu dilakukan karena
untuk meningkatkan daya saing Jepang yang kini mendapat saingan dari China dan Korea
10
Selatan. Di samping itu, pada dasarnya negara-negara Asia Tenggara sendiri memberikan
peluang terhadap masuknya Jepang karena kecenderungan negara-neagra di kawasan ini
yang masih belum mengalami proses industrialisasi. Faktor pendorong lainnya adalah
factor geopolitik dimana ambisi Jepang untuk menjadi pemimpin Asia sejak masa Perang
Dunia silam yang belum dapat terwujud. Asia Tenggara menjadi tempat yang sangat
strategis karena masih menjadi kawasan yang realtif netral dan belum terlihat adanya
dominasi dari negara tertentu dalam kawasan. Berbeda dengan kawasan Asia Timur –
yang berisikan emerging power dunia –, Asia Selatan – yang rentan konflik dan memiliki
ketimpangan yang cukup besar dari segi ekonomi antara negara yang satu dengan yang
lain, ataupun Arab – yang jelas memiliki pandangan berbeda dengan Jepang karena
nasionalismenya –.
BAB III
KESIMPULAN
11
Dengan demikian pengalam Jepang dalam menghadapi krisis financial global pada
dasarnya menggambarkan kembalinya Jepang pada model utama pembangunannya yaitu East
Asia Model. Dalam hal ini, model pembangunan tersebut nyatanya masih dipandang relevan
untuk menangani berbagai tantangan yang dihadapi Jepang di masa ini. Akan tetapi, Jepang
yang sekarang tentunya berbeda dengan Jepang di awal masa pembangunannya dulu.
Akibatnya, dalam pengaplikasian East Asia Model dimasa sekarang ini pada dasarnya hanya
menjadi kerangka besar dari kebijakan pembangunan ekonomi Jepang dan bukan menjadi
landasan dari kebijakan ekonominya. Hal ini terjadi karena system internasional yang telah
jauh berbeda dengan masa pengaplikasiannya dulu. Dalam system internasional yang telah
sangat terintegrasi dengan pasar bebas peranan negara kini tidak dapat bekerja seleluasa dulu.
Tekanan internasional sewaktu-waktu dapat dilakukan karena adanya interdependensi Jepang
dengan system internasional itu sendiri. Di tambah lagi rasio hutang negara yang sangat besar
terhadap GDP juga menjadi hambatan bagi Jepang untuk bertindak proteksionis. Hal tersebut
terjadi karena Jepang memerlukan koneksi dagangnya dalam system internasional untuk
membantunya menutupi tanggung jawab negara yang besar karena masalah demografi
kependudukan di dalam negerinya.
DAFTAR PUSTAKA
12
Japan: Patterns of Development". January 1994. Dipublikasikan pada 2006-12-28. Diakses
dari http://www.country-data.com/cgi-bin/query/r-7176.html.
Nobuhide Hatasa, “Japan’s Stagnant Economy: Ways to Move Ahead” diakses dari
www.mercury.ethz.ch/serviceengine/Files/ISN/...3830.../Ch_1_Hatasa.pdf pada tanggal 26
Mei 2013 pukul 14:38 WIB
The World Bank, World Development indicators
Ministry of Finance, www.mof.go.jp. OECD “Economic Outlook 89" (June, 2011) seperti
yang tertera pada Nobuhide Hatasa, “Japan’s Stagnant Economy: Ways to Move Ahead”
Erik Thorbecke, and Henry Wan Jr, Revisiting East (and South East) Asia’s Development
Model, dalam Paper prepared for the Cornell Conference on “Seventy Five Years of
Development”, Ithaca, NY, May 7-9, 2004.
Dr. Takafumi Sato , Global financial crisis – Japan’s experience and policy response”,
diakses dari www.frbsf.org/economics/conferences/aepc/2009/09_Sato.pdf.
Tokyo Takes from Japan Investor, diakses dari http://www.japaninvestor.net/2011/01/japan-
nominal-gdp-growth-in-2011-big.html.
Charles Hugh Smith, Japan's Economic Stagnation Is Creating a Nation of Lost Youths,
diakses dari http://www.dailyfinance.com/2010/08/06/japans-economic-stagnation-is-
creating-a-nation-of-lost-youths/.
Takehiko NAKAO1, Response to the Global Financial Crisis and Future Policy Challenges
Keynote address at the symposium co-hosted by Harvard Law School and the International
House of Japan Hakone, October 23, 2010.
Issue Guide: Japan and the Global Financial Crisis, diakses dari
http://www.cfr.org/japan/issue-guide-japan-global-financial-crisis/p19519.
Japan Repositioning in Face of a Challenging World Economy, diakses daro
http://www.surveymonkey.com/s/SLB7SYW.
13