Upload
voanh
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI
INISIATOR KERJA SAMA LANCANG-MEKONG
COOPERATION (LMC) PADA TAHUN 2015
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
oleh
Afriliani
1113113000032
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
iv
ABSTRAK
Skipsi ini menganalisa kerja sama Lancang Mekong Cooperation (LMC)
pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional
Mekong yang pertama kalinya diinisiasi oleh Tiongkok. Analisis terhadap
kebijakan Tiongkok tersebut dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara. Teori
yang digunakan yaitu konstruktivisme sebagai landasan pemikiran utama penelitian
ini. Konsep identitas dalam konstruktivis digunakan untuk menjelaskan kebijakan
Tiongkok, karena identitas merupakan preferensi dari kepentingan yang menjadi
penentu arah dan motivasi bagi sebuah tindakan atau kebijakan Tiongkok
khususnya, dalam menginisiasi mekanisme kerja sama LMC. Selain itu, analisis
penelitian ini juga semakin lengkap untuk menjelaskan alasan-alasan yang
melatarbelakangi kebijakan Tiongkok dalam menginisiasi kerja sama LMC dengan
kerangka pemikiran dari konsep geopolitik dan konsep kepentingan nasional.
Berdasarkan analisis asumsi-asumsi teori konstruktivis, konsep geopolitik, dan
konsep kepentingan nasional, penelitian ini menemukan bahwa tiga alasan yang
menjadi dorongan kebijakan Tiongkok menginisiasi LMC pada tahun 2015.
Pertama, logika identitas sosial Tiongkok, pemahaman terhadap peranan dan posisi
nya sebagai the rising power, the regional power, dan persepsi Tiongkok terhadap
kehadiran Jepang dalam kerja sama-kerja sama Subregional Mekong, menjadi dasar
logika identitas sosial Tiongkok terhadap ‘self’ dan ‘other’ yang terbentuk akibat
interaksi sosialnya. Kedua, situasi geopolitik di Subregional Mekong. Ketiga,
Collective Self-esteem (harga diri kolektif) sebagai kepentingan nasional Tiongkok.
Kata Kunci : Tiongkok, Lancang Mekong Cooperation (LMC), identitas,
Geopolitik, Collective Self-estem
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT atas berkah Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Analisis Kebijakan Tiongkok sebagai Inisiator Kerja sama
Lancang-Mekong Cooperation (LMC) pada Tahun 2015 ini. Shalawat serta
salam juga penulis curahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW
beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk yang teristimewa kedua orang tua
penulis, Almarhum Serma (Purn) Rizal M. Nur dan almarhumah Ibu Murtiyani
terima kasih kepada Papa dan Mama yang telah melimpahkan kasih sayang, doa,
dan dukungan serta telah menanamkan semangat berjuang kepada penulis untuk
menggapai cita-cita. Juga kepada saudara kandung penulis uni Devi, abang Rudi,
uni Rina, dan abang Romi, yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada
penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.
Selama masa studi hingga penyusunan dan selesainya skripsi ini, penulis
mendapatkan banyak bantuan dan dukungan baik secara spiritual, moral maupun
materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan segenap
hati penulis mengucapkan terima kasih kepada yang penulis hormati dan
banggakan:
1. Ketua Prodi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Bapak Ahmad Alfajri, M.A, dan sekretaris program studi,
Ibu Eva Mushoffa, MHSPS.
2. Bapak Irfan R. Hutagalung, LL.M, selaku dosen pembimbing skripsi dan
proposal skripsi yang dengan sabar telah mendedikasikan waktu dan pikiran
ditengah-tengah kesibukannya untuk membimbing, memberikan arahan,
motivasi, dukungan dan ilmu kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Ibu Rahmi Fitriyanti, M.si dan Bapak Ahmad Syaifuddin Zuhri, S.IP, LM selaku
dosen penguji dan seluruh jajaran staff dan pengajar di Prodi Hubungan
Internasional, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
4. Seluruh keluarga besar, Uni Hera, Pak etek Ivan, Etek nani, Etek nina, sepupu-
sepupu ka Natasya, dan Ikshan yang telah menjaga dan menjadi suporter penulis
selama masa kuliah.
5. Teman lebih dari saudara, Shabrina, Arini, Aly, Oji, Arip, Bimo, Ina, Ghifar, dan
Vanny. Terima kasih atas segala dukungan, motivasi, doa, canda tawa dan
pengalaman berharga kepada penulis yang membuat masa perkuliahan semakin
menyenangkan dan terima kasih selalu mengingatkan penulis untuk
menyelesaikan skripsi.
6. Teman-teman seperjuangan, Suci, Nadya, Hilda. Terima kasih telah
mendengarkan setiap keluh kesah dan membantu penulis dalam keadaan apapun.
Kalian terhebat.
7. Keluarga CBB, Zhafira, Indaha, Alfira, Riri, Sakinah, Cahyo, Fenin, Hendri,
Zahra, Aden, Abyan, dan Tami. Terima kasih atas dukungan dan doanya, serta
telah berbagi keseruan dan pengalaman berharga kepada penulis.
9. Teman-teman, HI UIN Jakarta angkatan 2013, Zida, Yusi, Vita, Revy, Auzan,
Zhafir, Iqbal, Andre, Melati, Etika, dan teman-teman lainya yang tidak bisa
disebutkan satu-persatu. Terimakasih atas pengalaman berjuang bersama selama
masa perkuliahan dan dukunganya dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Keluarga besar HMI Komfisip, Kohati Komfisip, KPU UIN Jakarta 2016,
SEMA-U 2016, dan DEMA-U 2017, DEMA-FISIP 2015, Terima kasih telah
memberikan ruang bagi aktualisasi peran penulis di lingkungan UIN Jakarta
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan masukan serta kritikan yang
membangun untuk menjadikan skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.
Jakarta, 20 Februari 2018
Afriliani
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .......................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ...................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ........................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ......................................... 9
D. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 10
E. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 17
1. Konstruktivisme ............................................................................. 17
2. Konsep Geopolitik ......................................................................... 24
3. Konsep Kepentingan Nasional....................................................... 28
F. Metode Penelitian ............................................................................ 32
G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 34
BAB II DINAMIKA KEBIJAKAN TIONGKOK TERHADAP
SUBREGIONAL MEKONG
A. Sungai Mekong ................................................................................ 36
1. Karasteristik Fisik Sungai Mekong................................................ 36
2. Karakteristik Sosial Sungai Mekong ............................................. 37
3. Isu Paling Berpengaruh di Sungai Mekong : Hydropower ............ 39
B. Kerja Sama Multilateral di Subregional Mekong ............................ 41
viii
1. Mekong River Commission (MRC) .............................................. 41
2. The Greater Mekong Sub-region (GMS) ....................................... 43
3. Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) ......................... 43
4. Agreement on Commercial Navigation on Lancang-Mekong River
...................................................................................................... 44
5. The Ayeyawady-Chao Phraya-Mekong Economic Cooperation
Strategy (ACMECS) ..................................................................... 44
6. Japan – Mekong Cooperation ........................................................ 45
7. Amerika Serikat –Mekong (Lower Mekong Initiative atau LMI) . 47
8. Kerja sama Republic of Korea (ROK) –Mekong .......................... 48
C. Kebijakan Tiongkok Terhadap Kawasan Subregional Mekong ...... 49
1. Dimensi Domestik : Western China Development strategy ......... 50
2. Dimensi Bilateral ........................................................................... 52
3. Dimensi Regional dan Internasional .............................................. 54
BAB III KERJA SAMA MULTILATERAL LANCANG-MEKONG
COOPERATION (LMC) TAHUN 2015
A. Latar Belakang Pembentukan Kerja Sama Multilateral Lancang
Mekong Cooperation (LMC) Tahun 2015 ....................................... 63
B. Mekanisme Lancang Mekong Cooperation (LMC) ......................... 69
C. Peran Tiongkok dalam Lancang Mekong Cooperation (LMC) ...... 70
BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK DALAM MENGINISIASI
KERJA SAMA LANCANG-MEKONG COOPERATION (LMC)
TAHUN 2015
A. Logika Identitas Sosial Tiongkok .................................................... 78
1. Tiongkok sebagai ‘The Rising Power’ ........................................... 80
2. Tiongkok sebagai ‘The Regional Power’ ...................................... 88
3. Persepsi Tiongkok terhadap Kehadiran Jepang dalam Kerja sama-
Kerja sama Subregional Mekong, terkait Logika Identitas Sosial
Tiongkok ....................................................................................... 95
B. Situasi Geopolitik di Kawasan Subregional Mekong .................... 102
C. Collective Self-esteem (Harga Diri Kolektif) sebagai Kepentingan
Nasional Tiongkok ......................................................................... 106
ix
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 109
B. Saran .............................................................................................. 112
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... xvi
LAMPIRAN ........................................................................................................ xxv
x
DAFTAR TABEL
Tabel II.A.1 Pekerjaan Terkait Air dan Non-Air di Zona 15 KM sepanjang
Arus Utama Mekong...........................................................37
Tabel II.C.1 Dam atau Mega Bendungan di Sungai Lancang
Tiongkok.............................................................................56
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar. II. A.1.1 Peta aliran Sungai Mekong..................................................36
Gambar III.A.1 Pertemuan Pertama Pimpinan Negara Anggota LMC, pada
23 Maret 2016 di Sanya, Tiongkok......................................67
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Sanya Declaration of the First Lancang-Mekong Cooperation
(LMC) Leaders' Meeting --For a Community of Shared
Future of Peace and Prosperity among Lancang-Mekong
Countries 2016/03/23........................................................xxv
Lampiran 2 Joint Press Communiqué of the First Lancang-Mekong
Cooperation Foreign Ministers’ Meeting 12 November 12,
2015 Jinghong, Yunnan, China.........................................xxx
Lampiran 3 Naskah Wawancara dengan Bapak Sandy Nur Ikhfal
Raharjo...........................................................................xxxii
xiii
DAFTAR SINGKATAN
ACMECS : Ayeyawady-Chao Phraya-Mekong Economic Cooperation
Strategy
ADB : Asian Development Bank
AIIB : Asian Infrastructure Investment Bank
AMBDC : ASEAN-Mekong Basin Development Cooperation
AMEICC : AEM-METI Economic and Industrial Cooperation Committee
APT : ASEAN Plus Three
ARF : ASEAN Regional Forum
ASEAN : Association of Southeast Asia Nations
BIMP-EAGA : Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia- East ASEAN Growt Area
CAFTA : China-ASEAN Free Trade Area
CCP : China Communist Party
CCTV : China Central Television
CHINCOLD : Chinese National Committee on Large Dams
CLMV : Cambodia, Laos, Myanmar, Vietnam
CNCP : China National Compehensive Power
DAS : Daerah Aliran Sungai
ECAFE : Economic Commission for Asia and the Far East
FCDI : Forum for Comprehensive Development of Indochina
FDI : Foreign Direct Investment
FLM : Friends of the Lower Mekong
FTA : Free Trade Area
GMS : Greater Mekong Subregion
GMS-ECP : The Greater Mekong Subregion Economic Cooperation Program
LMC : Lancang Mekong Cooperation
LMI : Lower Mekong Initiative
LTS : Laut Tiongkok Selatan
MRC : Mekong River Commision
xiv
OBOR : One Belt One Road
ODA : Official Development Assistance
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PDB : Produk Domestik Bruto
PLTA : Pembangkit Listrik Tenaga Air
ROK : Repubic Of Korea
SCO : Shanghai Cooperation Organization
SDM : Sumber Daya Manusia
SKRL : Singapore-Kunming Rail Link
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Penelitian ini akan menganalisis alasan kebijakan Tiongkok dalam
menginisasi kerja sama Lancang-Mekong Cooperation (LMC) di tahun 2015,
bersama lima negara Daerah Aliran Sungai (DAS) Mekong lainnya yaitu, Thailand,
Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam.
Sungai Mekong atau di Tiongkok dikenal dengan nama Sungai Lancang,
merupakan sungai terbesar ke-10 di dunia, dengan panjang 4909 km dan mengaliri
enam negara yaitu, tiga provinsi Tiongkok, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja,
dan Vietnam.1 Keberadaan sungai Mekong sangatlah vital bagi negara-negara yang
dialirinya, sungai ini telah menjadi penopang bagi kehidupan 80 juta orang atau
sekitar 90% dari total populasi penduduk negara-negara hilir.2
Sungai Mekong adalah salah satu dari banyaknya sungai-sungai yang
merupakan sungai utama internasional yang berhulu di wilayah Tiongkok,
terutama yang mengalir dari daratan tinggi Tibet ke daratan Asia bagian selatan dan
tenggara.3 Tiongkok setidaknya berbagi 110 sungai dan danau dengan 18 negara
1 Marko Keskinen, “Water Resources Development and Impact Assessment in the Mekong
Basin: Which Way to Go?” Ambio, Vol. 37, No. 3, Mekong at the Crossroads dipublikasi oleh
Springer on behalf of Royal Swedish Academy of Sciences, (Mei 2008), H.193 2 Evelyn Goh, “China In The Mekong River Basin: The Regional Security Implications Of
Resource Development On The Lancang Jiang”, Institute of Defence and Strategic Studies
Singapore, 2004, h. 1 3 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics : Lesson from
the Mekong”, Contemporary Southeast Asia, Vol.29, No.1 di pubilkasi oleh ISEAS- Yusof Ishak
Institute, (April 2007), h.101
2
Asia lainya.4 Posisi Tiongkok sebagai negara hulu menjadikannya negara yang
paling berpengaruh sehingga disebut sebagai “upstream superpower” dalam
hidropolitik.5
Posisi sebagai upstream superpower sangat menguntungkan Tiongkok
dalam pemanfaatan terhadap sumber daya air untuk memenuhi kepentingan
nasionalnya secara leluasa. Terlebih lagi Tiongkok adalah salah satu dari tiga
negara bersama Turki dan Burundi yang menentang draft “Konvensi tentang
Penggunaan Non-Navigasi dari Aliran Air Internasional” yang diadopsi oleh
Majelis Umum PBB pada tahun 1997.6 Pasal 5 dan 7 dalam konvensi ini mejadi
perdebatan antara negara-negara hulu dan hilir, yang menekankan pada kedaulatan
nasional, yaitu pertama hak untuk memanfaatkan potensi sumber daya nasional,
yang kedua menekankan pada prinsip integritas nasional, yaitu hak untuk tidak
terpengaruh secara merugikan dalam potensi pembangunan oleh aktivitas negara-
negara hulu, yang intinya mewajibkan negara-negara hulu untuk tidak
menyebabkan kerugian yang berarti.7
Menurut perwakilan Tiongkok dalam konvensi tersebut yaitu Gao Feng,
draft Konvensi yang diadopsi PBB tidak mencerminkan prinsip kedaulatan
teritorial sebuah negara dalam memanfaatkan aliran sumber air yang berada di
4 Daming He, “China's transboundary waters: new paradigms for water and ecological
security through applied ecology”, tersedia di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4278448/ diakses pada 21 Oktober 2017 pukul
21.27 wib 5 Sebastian Biba, “China Drives Water Cooperation with Mekong Countries”, (1 Februari
2016) tersedia di https://www.chinadialogue.net/article/show/single/en/8577-China-drives-water-
cooperation-with-Mekong-countries dikses pada 24 Oktober 2017, pukul 21.49 wib 6 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics, h.102 7 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics, h.102
3
wilayahnya sendiri.8 Selain itu, Tiongkok juga menarik komisarisnya yang
ditugaskan di Komisi Dunia untuk Bendungan atau World Commision on Dams,
karena dianggap dapat membahayakan pembangunan proyek Bendungan Tiga
Ngarai ( Three Gorges Dam).9
Pembangunan dam atau mega bendungan menjadi proyek yang sangat
penting bagi Tiongkok dalam memenuhi kebutuhan terhadap energi nasional yang
semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan industri Tiongkok
yang semakin maju. Topografi di hulu sungai sangat menguntungkan bagi
Tiongkok karena memiliki potensi selain sumber air juga sebagai sumber energi
listrik.10 Hal ini menyebabkan stereotip negatif terhadap Tiongkok, yaitu sebagai
negara hulu yang mengeruk sebesar-besarnya keuntungan dari transboundary
water rescource (sumber air lintas batas), dan mengekspor kerusakan yang
merugikan ke negara-negara hilir.11
Aktivitas hulu yang merugikan bagi negara hilir tentunya mempengaruhi
hubungan Tiongkok dengan negara-negara DAS Mekong lainya. Menurut Peter
Gleick, salah satu alasan sangat pentingnya menjaga keberlangsungan sumber air,
karena air adalah zat yang tidak bisa digantikan oleh zat lain.12 Oleh karenanya, air
8Alex Liebman, “Trickle-down Hegemony? China's "Peaceful Rise" and Dam Building on
the Mekong”, Contemporary Southeast Asia, Vol. 27, No. 2, dipublikasi oleh ISEAS- Yusof Ishak
Institute, (Agustus 2005), h.295 9Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics : Lesson from
the Mekong”, Contemporary Southeast Asia, Vol.29, No.1 di pubilkasi oleh ISEAS- Yusof Ishak
Institute, (April 2007), h.102 10Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.101 11 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, .h.101 12Alex Liebman, “Trickle-down Hegemony? China's "Peaceful Rise" and Dam Building
on the Mekong”, Contemporary Southeast Asia, Vol. 27, No. 2, dipublikasi oleh ISEAS- Yusof
Ishak Institute, (Agustus 2005), h.287
4
menjadi aspek yang sangat penting dalam menjaga keamanan suatu negara,
terutama yang sangat berdampak terhadap kemanan ekonomi dimana hampir
seluruh aktivitas ekonomi memerlukan air.13 Ia juga mengungkapkan, negara-
negara tidak akan segan untuk mengancam negara-negara lain bahkan
mendeklarasikan perang jika wilayah hulu sungai mereka terganggu.14
Upaya menghindari konflik terhadap pengelolaan air dan dalam upaya
menjaga keberlangsungan Sungai Mekong memerlukan kerja sama antar negara-
negara DAS. Kerangka kerja sama telah ada di wilayah Subregional Mekong sejak
lama. Pada tahun 1957, Kerja sama pertama dilakukan empat negara aliran Sungai
Mekong yaitu Kamboja, Laos, Vietnam, dan Thailand.15 Kerja sama ini
membentuk Mekong Committe yang didukung oleh PBB.16 Pada tahun 1995,
pemerintah Kamboja, Thailand, Laos, dan Vietnam sepakat untuk menjalin kerja
sama dalam pengelolaan air dan pembangunan Sungai Mekong yang bekelanjutan
dengan menandatangani perjanjian Mekong Agreement dan pembentukan Komisi
Sungai Mekong atau Mekong River Commission (MRC).17
Tiongkok dan Myanmar tidak bergabung dalam kerja sama tersebut,
keduanya hanya menjadi mitra dialog saja, padahal Tiongkok dan Myanmar adalah
negara hulu yang sangat penting menjadi bagian dari kerja sama tersebut.18 Hal ini
13 Alex Liebman, “Trickle-down Hegemony? China's "Peaceful Rise", h.287 14 Alex Liebman, “Trickle-down Hegemony? China's "Peaceful Rise", h.287 15 Jeffrey W. Jacobs, “Mekong Committee History and Lessons for River Basin
Development” The Geographical Journal, Vol. 161, No. 2, dipublikasi oleh Geographicalj, (Juli
1995), h.135 16 “The Story of Mekong cooperation” tersedia di http://www.mrcmekong.org/about-
mrc/history/ diakses pada 22 Oktober pukul 00.29 wib 17 “About MRC”, http://www.mrcmekong.org/about-mrc/ diakses pada 22 Oktober 2017
pukul 00.17 wib 18 “The Story of Mekong cooperation”
5
dikarenakan oleh posisi sebagai negara hulu yang tidak hanya kuat secara geofisika,
tapi juga kelebihan Tiongkok yang memiliki kapasitas politik, militer, dan ekonomi
yang jauh lebih kuat dibandingkan negara-negara DAS Mekong lainya, sehingga
menyebabkan kerja sama tidak diperlukan oleh Tiongkok untuk mencapai
kepentinganya di Sungai Mekong.19
Upaya negara hilir melakukan dialog lainya bersama Tiongkok yaitu
melalui kerja sama regional ASEAN dimana kelima negara subregional Mekong
merupakan anggota Association of Southeast Asia Nations (ASEAN), Asian
Development Bank (ADB) dan MRC. Hingga tahun 2013 tercatat negara-negara
Subregional Mekong telah ikut menjalin kerangka kerja sama di bidang ekonomi,
pembangunan, dan strategic partnership bersama Tiongkok melalui ASEAN, pada
tahun 1996 ASEAN-led Initiaves with China, dan tahun 2000 Agreement on
Commercial Navigation on Lancang-Mekong River yang diikuti tiga negara
ASEAN yaitu Laos, Myanmar, Thailand dengan Tiongkok.20
Kerja sama-kerja sama yang dilakukan Tiongkok bersama negara-negara
Subregional Mekong melalui ASEAN dikatakan oleh Hidetaka Yoshimatsu sebagai
kerja sama yang retorik dan bukan subtantantif.21 Kerja sama tersebut termasuk
banyak kerja sama lainya yaitu Initiative for ASEAN Integration (IAI), ASEAN-
Mekong Basin Development Cooperation (AMBDC), Brunei Darussalam-
Indonesia-Malaysia-Philippines-East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA), dan
19 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics, h.102 20 Apichai Sunchindah, “Policy Brief Lancang-Mekong River Basin Reflections on
Cooperation Mechanisms Pertaining to A Shared Watercourse”, S Rajaratnam School of
Internasional Studies, (2013), h.3 21 Apichai Sunchindah, “Policy Brief Lancang-Mekong River Basin Reflection”, hal 4
6
Ayeyawady-Chao Phraya-Mekong Economic Cooperation Strategy (ACMECS),
dan Tiongkok menjadi penyumbang terkecil dibandingkan Jepang, India, dan Korea
Selatan, yaitu hanya US$ 0,2 juta dalam satu proyek kepada IAI yaitu pembangunan
jalur air di CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar, Vietnam).22
Satu-satunya kerja sama dimana Tiongkok terlibat secara subtansional
bersama negara-negara Subregional Mekong yaitu kerja sama Greater Mekong
Subregion (GMS) program sejak 1992 yang didukung oleh ADB.23 GMS
merupakan program infrastruktur terbesar di kawasan Mekong dengan
mengintegrasikan kawasan melalui pembangunan, transportasi, dan komunikasi.24
Dalam program tersebut Tiongkok melibatkan dua provinsinya yaitu Provinsi
Yunnan dan Daerah Otonomi Guangzi Zhuang.25
Tiongkok ikut serta dalam kerja sama ini karena keuntungan yang didapat
akan sangat besar terutama program tersebut sejalan dengan upaya Tiongkok
menstransformasikan Yunnan menjadi pintu gerbang menuju Asia Tenggara.26
Meskipun melalui mekanisme kerja sama GMS tersebut, negara-negara hilir tidak
ada yang bisa bernegosiasi dengan Tiongkok terkait ambisi pembangunannya di
wilayah Lancang dan akan mengekspor dampak negatif terkait isu air, human
security, dan masalah lingkungan. Kegagalan dialog mencerminkan hubungan yang
22Hidetaka Yoshimatsu, “The Mekong Region, Regional Integration, And Political Rivalry
Among ASEAN”, China and Japan Asian Perspective Vol. 34, No. 3, , dipublikasi oleh Lynne
Rienner Publishers, (2010), h.88 23 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.111 24 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.111 25 “Overview of the Greater Mekong Subregion”
https://www.adb.org/countries/gms/overview diakses pada 22 Oktober 2017 pukul 13:22 wib 26 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.111
7
tidak setara antara Tiongkok dan negara-negara hilir dari segi power dan tidak
kondusifnya geopolitik di Subregional Mekong.27
Hal ini menyebabkan kebijakan Tiongkok di kawasan Subregional Mekong
mencerminkan aktor yang sangat realis, hanya berfokus pada keuntungan domestik,
kekuasaan, skeptisisme dan keuntungan timbal balik.28 Alex Liebman mengkritik
sikap Tiongkok yang sangat jauh dari “peaceful rise” seperti propaganda yang
dicitrakan selama ini, karena kebijakannya di Sungai Mekong hanyalah mencari
keuntungan bagi diri sendiri, kepentingan domestik adalah yang utama, tidak
mempratikan konsep “win-win” atau saling menguntungkan melalui kebijakanya
di Sungai Mekong.29
Kebijakan Tiongkok terhadap Subregional Mekong mulai berubah, pada
November 2015, untuk pertama kalinya Tiongkok menginisiasi mekanisme kerja
sama Lancang Mekong atau Lancang Mekong Cooperation (LMC) dengan lima
negara Subregional Mekong lainya, yaitu Myanmar, Laos, Thailad, Kamboja, dan
Vietnam, yang sebelumnya telah diajukan pada KTT ASEAN 2014 di Myanmar.30
Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi, menyampaikan makanisme kerja sama
baru tersebut akan mencakup lima bidang prioritas, interconnectivity, kapasitas
produksi, ekonomi lintas batas, sumber daya air, dan kerja sama dalam pertanian,
dan pengentasan kemiskinan.31
27 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.112 28 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.102 29 Alex Liebman, “Trickle-down Hegemony? China's "Peaceful Rise", .h.299 30 Sebastian Biba, “China Drives Water Cooperation with Mekong Countries” 31 “Lancang – Mekong Cooperation: MRC welcomes the New Initiative for Regional
Cooperation by six countries in the Mekong River Basin” tersedia dalam
http://www.mrcmekong.org/news-and events/news/lancang-mekong-cooperation-mrc-welcomes-
8
Pertemuan pertama pada November 2015, antar para Menteri Luar Negeri
dari enam negara LMC yang secara resmi mendukung Concept Paper LMC dan
meluncurkan kerangka kerja sama.32 Pertemuan kedua kerja sama LMC, dihadiri
pemimpin Tiongkok, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand dan Vietnam di
Vientiane Laos pada 31 Maret 2016, dan para pemimpin tersebut sepakat untuk
memperkuat dialog dan kerja sama regional dalam tiga bidang utama yaitu politik
dan keamanan, pembangunan ekonomi, pembangunan berkelanjutan, dan
pertukaran sosial-budaya.33
Terbentuknya kerja sama LMC tersebut memperlihatkan peran Tiongkok
semakin aktif dan positif dalam kerja sama dengan negara-negara DAS Mekong
lainya terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air.34 Padahal
sebelumnya, Kebijakan Tiongkok terhadap Subregional Mekong sangat realis dan
tidak kooperatif, hingga kemudian kebijakan Tiongkok berubah menjadi aktor
penggerak atau inisiator dari kerja sama LMC dengan negara-negara DAS Mekong
lainya. Hal ini menjadi penting untuk diteliti, melihat adanya perubahan peran
Tiongkok yang semakin signifikan terhadap kawasan Subregional Mekong dengan
hadir tidak hanya sebagai mitra dialog melainkan menjadi inisiator dalam kerangka
kerja sama baru yaitu Lancang Mekong Cooperation pada tahun 2015.
the-new-initiative-for-regional-cooperation-by-six-countries-in-the-mekong-river-basin/ diakses
pada 24 Oktober 2017, pukul 22.46 WIB 32 “Lancang – Mekong Cooperation: MRC welcomes the New Initiative for Regional
Cooperation..... 33 “Lancang – Mekong Cooperation: MRC welcomes the New Initiative for Regional
Cooperation..... 34 Sebastian Biba, “China Drives Water Cooperation with Mekong Countries”
9
B. Pertanyaan Penelitian
Berangkat dari peryataan masalah, sehingga memunculkan pertanyaan dan
akan dijawab oleh penelitian ini yaitu, mengapa Tiongkok menginisiasi kerja
sama Lancang Mekong Cooperation (LMC) pada tahun 2015?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui kepentingan Tiongkok terhadap Sungai Mekong terkait
pembangunan dan pengembangan ekonomi dan strategi “Develop the
West”
2. Mengetahui kebijakan Tiongkok sebagai negara hulu Sungai Mekong
terhadap isu air, human security, dan lingkungan
3. Mengetahui strategi dan pendekatan Tiongkok terhadap negara-negara
Subregional Mekong
4. Mengetahui alasan-alasan Tiongkok menginisiasi kerja sama Lancang
Mekong Cooperation (LMC) bersama negara-negara Subregional
Mekong.
Adapun manfaat penelitian ini:
1. Menguji teori dan konsep terkait analisa kepentingan Tiongkok dalam
menginisiasi kerja sama Lancang Mekong Cooperation (LMC)
bersama lima negara DAS Mekong lainya pada tahun 2015.
10
2. Memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya terkait kepentingan Tiongkok dalam menginisiasi kerja
sama LMC pada tahun 2015.
3. Dapat menjadi salah satu sumber rujukan penelitian selanjutnya
terkait dengan kepentingan Tiongkok dalam menginisiasi kerja sama
LMC pada tahun 2015.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian dan kajian mengenai kebijakan Tiongkok terhadap negara-negara
Subregional Mekong telah dilakukan banyak peneliti melalui sudut pandang dan
metodologi yang berebeda-beda. Tinjauan pustaka ini akan melihat bagaimana
penelitian-penelitian terdahulu membahas penelitianya serta perbedaanya dengan
penelitian ini, sehingga dapat dijadikan acuan serta memperlihatkan signifikansi
dari penelitian ini.
Penelitian pertama adalah sebuah artikel jurnal yang dimuat dalam Journal
of Mekong Societies, Vol.12 No.3 yang diterbitkan pada September-Desember
2016, artikel tersebut berjudul The Lancang-Mekong Cooperation (LMC) Viewed
in Light of the Potential Regional Leader Theory yang ditulis oleh Poowin
Bunyavejchewin seorang peneliti dari Institute of East Asian Studies, Thammasat
University. Artikel tersebut menganalisa kerja sama LMC dengan melihat formasi
keanggotaan dimana Tiongkok dan Thailand sebagai insiator dari kerja sama LMC
namun, Tiongkok yang kemudian memfasilitasi sepenuhnya LMC menjadi kerja
sama yang nyata. Posisi Tiongkok dianalisis menggunakan teori Potential Regional
Leader yang diadopsi dari Shintaro Hamanaka.
11
Artikel tersebut menganalisis strategi Tiongkok yang tidak memasukan
negara-negara asing sekaligus rival Tiongkok yang selama ini telah menjadi aktor
lama dalam kerja sama di kawasan Subregional Mekong seperti Jepang dan
Amerika Serikat kedalam kerja sama. Menurut Poowin Tiongkok merupakan aktor
baru dalam kerja sama di kawasan tersebut namun, dengan strategi formasi
keanggotaan tersebut akan efektif bagi Tiongkok untuk menjadi pemimpin dalam
sebuah kelompok regional yang diciptakanya.
Pembahasan dalam artikel tersebut juga menjelaskan alasan-alasan strategi
Tiongkok untuk tidak mengikutsertakan Jepang dan sedikit memberikan gambaran
terkait kepentingan Tiongkok terhadap pembentukan kerja sama LMC. Artikel
tersebut berbeda dengan penilitian ini, karena dari penggunaan teorinya bersifat
prediktif dengan formasi anggota kerja sama akan memberikan kemungkinan
kepada Tiongkok menjadi pemimpin dalam kerja sama LMC, hal ini merupakan
sedikit gambaran terhadap motif Tiongkok terhadap LMC. Sedangkan penelitian
ini akan menganalisis kepentingan Tiongkok lebih komprehensif yang menjelaskan
latar belakang atau alasan yang menjadi sebab utama Tiongkok menginisiasi kerja
sama tersebut, sehingga lebih menjelaskan keadaan yang terjadi di internal dan
eksternal dan tidak memprediksi keadaan selanjutnya yang akan terjadi, melalui
teori konstruktivisme, konsep geopolitik, dan konsep kepentingan nasional.
Sumber pustaka kedua yaitu, artikel jurnal yang berjudul China’s
Perfomance in International Resource Politics: Lessons from the Mekong yang
dimuat dalam jurnal Contemporary Southeast Asia, Vol.29, No. 1, dipublikasikan
oleh ISEAS – Yusof Ishak Institute pada April 2007. Artikel jurnal yang ditulis oleh
12
Timo Menniken tersebut meneliti kebijakan-kebijakan Tiongkok terhadap Sungai
Mekong yang memperlihatkan performa Tiongkok yang semakin eksploitatif.
Kebijakan Tiongkok yang eksploitatif tersebut adalah upaya Tiongkok
untuk memenuhi kebutuhan domestik terhadap sumber air dalam konteks ini adalah
Sungai Mekong yang dampaknya dirasakan secara internasional atau lintas batas
negara. Artikel ini memberikan penjelasan tentang kondisi sumber daya air
Tiongkok dan faktor-faktor yang mendorong kebijakan yang eksploitatif tersebut.
Diantaranya yaitu, sumber-sumber air yang mulai mengering seperti Sungai
Yangtze atau Sungai Kuning yang mengering, di tengah laju pertumbuhan ekonomi
yang semakin pesat, urbanisasi, pertambahan jumlah penduduk, yang menyebabkan
dampak spillover terhadap kebutuhan energi.
Kebutuhan dalam negeri yang meningkat tersebut menyebabkan Tiongkok
semakin bergantung terhadap sungai-sungai yang masih berfungsi seperti Sungai
Mekong. Dengan penjelasan keadaan domestik yang demikian, penelitian tersebut
memberi gambaran bahwa performa Tiongkok terhadap kawasan Mekong tidak
akan jauh berubah dari kebijakan-kebijakan Tiongkok sebelumnya.
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa kebijakan Tiongkok hingga
tahun 2007, terhadap kerja sama internasional mengenai air dengan komitmen
normatif, sangat dihindari. Tiongkok lebih memilih berkomitmen dalam kerja sama
di kawasan Mekong yang bersifat strategis. Penelitian tersebut menganalisis
Tiongkok sebagai aktor dalam politik air internasional menggunakan game theory.
Melalui teori tersebut penulis menggambarkan hubungan upstream-downstream
13
country secara umum seperti “Rambo-situations”, situasi yang dapat dilihat dari
perilaku Tiongkok dimana sebagai negara hulu Tiongkok tidak bergantung pada
kerja sama untuk mencapai kepentinganya. Selain kapasitas sebagai negara hulu
atau kelebihan secara geofisika, Tiongkok juga memiliki kapasitas politik, militer,
dan ekonomi yang jauh lebih kuat daripada negara-negara DAS Mekong lainya.
Situasi demikian, menurut penulis yang menyebabkan kerja sama tidak mungkin
terjadi.
Penelitian tersebut juga memberikan penjelasan bagaimana sikap Tiongkok
terhadap kerja sama-kerja sama kawasan Mekong yang dibentuk negara-negara
DAS lainya. Melalui kerja sama-kerja sama tersebut juga digunakan untuk
bernegosiasi dengan Tiongkok. Hal ini diungkapkan oleh penulis jika negara-
negara DAS tersebut menyatukan kekuatan dalam kerangka kerja sama seperti
MRC dan ASEAN akan sedikit dapat menekan Tiongkok, terbukti dengan akhirnya
Tiongkok memberikan data hidrologi dam miliknya di Sungai Mekong pada tahun
2002 yang kemudian digunakan untuk dapat medeteksi banjir.
Sejalan dengan pendapat Timo Meinneken, peneliti sebelumnya Alex
Liebman, sekaligus menjadi sumber pustaka ketiga yaitu artikel jurnalnya yang
berjudul “Trickle-down Hegemony? China’s ‘Peaceful Rise’ and Dam Building on
Mekong”, dimuat dalam jurnal Contemporary Southeast Asia, Vol. 27, No. 2 yang
dipublikasikan oleh ISEAS- Yusof Ishak Institute pada Agustus 2005, melalui
artikel tersbeut Alex Liebman mengkritik propaganda Tingkok sebagai negara yang
bangkit secara damai atau “Peaceful Rise”. Menurutnya kebijakan Tiongkok
terhadap Sungai Mekong yang merupakan sumber air yang harus dibagi
14
penggunaannya dengan negara-negara tetangga yang dialirinya, namun Tiongkok
seringkali bertindak sesuka hati tanpa memperhatikan dampaknya bagi negara
aliran sungai lainya, ditandai dengan pembangunan dam yang terus dilakukan
hingga tahun 2019. Sedangkan dalam propaganda tersebut, para akademisi besar
Tiongkok mengatakan, Tiongkok akan bersikap kooperatif, menciptakan peluang
dan keuntungan, bukan tantangan dan ancaman bagi negara-negara Asia Tenggara.
Pembangunan dam Tiongkok di Sungai Mekong, kemudian menjadi
pertanyaan besar penulis terhadap Tiongkok terkait propaganda yang
dicanangkannya. Melalui artikel tersebut penulis memberikan gambaran bahwa
kebijakan Tiongkok tidaklah kooperatif apalagi memberikan keuntungan bagi
negara-negara Asia Tenggara khususnya negara-negara DAS Mekong dengan
pembangunan dam tersebut, yang justru hanya mendatangkan bencana dan
kerugian bagi mereka.
Tiongkok hanya berfokus pada kepentingan pribadi tanpa memperhatikan
dampaknya yang mempengaruhi negara-negara DAS Mekong lainya. Liebman
mengatakan bahwa kerja sama adalah suatu hal yang dihindari Tiongkok di
kawasan Sungai Mekong karena akan menyebabkan Tiongkok harus mengeluarkan
cost untuk bekerja sama, tentu saja cost tersebut adalah pembatalan pembangunan
dam. Tiongkok sangat memerlukan dam, untuk membangun dan mengembangkan
daerah terbarat Tiongkok atau dikenal dengan program“Develop the West”. Oleh
karenanya, menurut Tiongkok kerja sama dengan negara-negara DAS Mekong
hanya akan berjalan “zero-sum” dan merugikan Tiongkok.
15
Artikel ini juga memberikan penjelasan bagaimana kebijakan-kebijakan
Tiongkok di Sungai Mekong dan terhadap kerja sama-kerja sama yang berjalan di
kawasan, serta peranan Tiongkok di kawasan tersebut. Kedua artikel tersebut sangat
bermanfaat dalam memberikan gambaran bagaimana sikap Tiongkok sebelumnya,
yang memperlihatkan bahwa Tiongkok cukup tidak kooperatif, hingga akhirnya
menjadi inisiator kerja sama baru di kawasan Subregional Mekong pada tahun
2015. Kehadiran kerja sama yang diinisasi Tiongkok menjadi fokus penelitian
skripsi ini akan memberikan pembaruan penemuan bagi artikel-artikel jurnal
tersebut.
Sumber pustaka keempat adalah sebuah Policy Report dengan judul “China
Seeks to Improve Mekong Subregional Cooperation: Causes and Policies” yang
dipublikasikan oleh Rajaratnam School of Internasional Studies yang terbit pada
Februari 2016 dan ditulis oleh Lu Guangsheng. Dalam laporan tersebut, dijelaskan
bahwa Tiongkok melakukan peningkatan kerja sama strategis di regional melalui
upgrading program kerja sama ekonomi Subregional GMS atau The Greater
Mekong Subregion Economic Cooperation Program (GMS-ECP) dan meluncurkan
kerja sama LMC pada 12 November 2015.
Laporan tersebut menganalisis penyebab Tiongkok meningkatan kerja sama
dan kebijakan terkait, dengan memberikan tiga alasan utama. Pertama, kerja sama
ekonomi Subregional telah mencapai tingkat yang lebih tinggi. Kedua, ada
kebutuhan mendesak bagi Subregional dalam kerja sama ekonomi untuk mencakup
bidang keamanan, politik, dan sosial, Tiongkok memiliki motivasi dalam
16
memainkan peranan yang lebih lengkap dan dominan dalam kerangka kerja sama
Subregional.
Ketiga, dalam uprading kerja sama GMS-ECP Tiongkok juga
mempertahankan strategi inisiatif “Belt and Road”, fokus kerja sama dengan Laos,
Thailand, dan Kamboja. Kemudian, Tiongkok aktif mempromosikan pembangunan
LMC, mekanisme kerja sama Subregional baru. Dalam kerja sama Tiongkok juga
mempercepat pembangunan infrastruktur perkeretaapian lintas batas dan berusaha
untuk mempromosikan pengembangan lebih lanjut kerja sama mengenai hukum
dan keamanan.
Faktor-faktor yang dijelaskan dalam laporan tersebut, dapat membantu
penulis dalam menjawab pertanyaan penelitian dalam skripsi ini. Penjabaran
mengenai kerja sama-kerja sama negara-negara DAS Mekong sebelumnya dengan
negara-negara di luar kawasan seperti Jepang yang medukung kerja sama GMS
melalui ADB dan Amerika Serikat membantu melaui kerja sama the Lower
Mekong Initiative (LMI). Sedikit memberikan gambaran bagi penulis tentang
situasi geopolitik kawasan bagi Tiongkok dan juga dampak dari visi Silk Road
Economic Belt and the 21st Century Maritime Silk Road terhadap perubahan
kebijakan Tiongkok terhadap kerja sama Subregional Mekong.
Laporan tersebut tidak secara komprehensif dan khusus mengungkapkan
alasan Tiongkok membentuk LMC, namun membahasnya secara lebih umum tanpa
analisa menggunakan teori Ilmu Hubungan Internasional. Oleh karenanya, laporan
tersebut berbeda dengan penelitian ini karena penelitian ini menggunakan teori HI
17
yaitu konstruktivisme, konsep geopolitik, dan konsep kepetingan nasional untuk
menjelaskan kepentingan Tiongkok secara lebih khusus dan ilmiah dalam
membentuk kerja sama baru yaitu LMC.
E. Kerangka Pemikiran
Pertanyaan penelitian ini akan dianilisis dan dipahami menggunakan salah
satu grand teori dalam Ilmu Hubungan Internasional yaitu konstruktivisme, konsep
geopolitik, dan konsep kepentingan nasional. Penelitian ini menggunakan teori
konstruktivisme dalam menganalisis penyebab Tiongkok bertindak sebagai
inisiator dalam kerangka kerja sama LMC pada tahun 2015 dengan analisa terhadap
identitas Tiongkok sebagai dasar sebuah kepentingan.
Konsep geopolitik untuk menganalisis kepentingan tiongkok dengan
melihat variabel geografi yang mempengaruhi kebijakan Tiongkok terhadap LMC.
Konsep kepentingan nasional menganalisis kepentingan yang menjadi motivasi
Tiongkok untuk membentuk LMC.
1. Konstruktivisme
Kegagalan dua teori mainstream HI dalam menjelaskan dan memprediksi akhir
dari Perang Dingin, dianggap telah memfasilitasi konstruktivisme masuk dalam
disiplin ilmu Hubungan Internasional.35 Kritik konstruktivis terhadap teori
mainstream HI dengan pandangan rasionalis hanya berfokus pada distribusi power
35 Trine Flockhart, “Constructivism and Foreign Policy” dimuat dalam Tim Dunne, Steve
Smith, dan Amelia Hadfield, “Foreign Policy: Theories, Actors, Cases”, (Oxford University Press,
2012), h. 80
18
yang bersumber dari kemampuan material berupa ekonomi dan militer. Sementara
itu, menurut konstrutivis selain distribusi power, sesungguhnya realitas dalam
hubungan internasional juga dibentuk oleh interaksi sosial.36
Interaksi sosial yang terjadi merupakan proses konstruksi struktur internasional,
karena konstruktivis berpendapat bahwa struktur internasional adalah bagian dari
struktur sosial, dan dunia sosial bukanlah sesuatu yang given, yang terjadi begitu
saja, namun sebaliknya, merupakan sebuah tatanan yang dikonstruksi melalui
interaksi sosial.37 Terdapat tiga hal penting menurut Alexander Wendt, yang terjadi
dalam interaksi sehingga membentuk struktur sosial yaitu, shared knowledge
(pengetahuan bersama), material resources (sumber materil), dan practices
(praktek).38
Unsur pertama yaitu shared knowledge berupa pemahaman, harapan,
pengetahuan ataupun struktur ide, dan norma yang dibangun bersama membentuk
struktur sosial, dan menentukan posisi aktor dalam situasi dan sifat hubungan antar
aktor, apakah kerja sama atau konflik. Misalnya, dilema keamanan, yang
merupakan struktur sosial akibat pemahaman bersama terhadap situasi dimana
negara-negara saling curiga, sehingga masing-masing aktor berasumsi paling buruk
terhadap perilaku dan kebijakan aktor lain, situasi demikian menyebabkan perilaku
36 Alexander Wendt, “Constructing International Politics”, International Security, Vol. 2,
No. 1 (Summer, 1995), h. 73. 37 Robert Jackson dan Georg Sorensen terj. Dadan Suryadipura, “Pengantar Studi, h. 307 38 Alexander Wendt, “Constructing International Politics”, International Security, Vol. 2,
No. 1 (Summer, 1995), h. 73.
19
aktor yang cenderung untuk tidak bergantung dengan siapapun dan berdaya sendiri
(self-help).
Unsur kedua yaitu, struktur sosial meliputi sumber daya material seperti
emas, nuklir, minyak dan sebagainya, menurut konstruktivis hanya memperoleh
makna terhadap tindakan aktor melalui struktur pengetahuan bersama yang
ditanamkan pada sumber material tersebut.39 Misalnya yaitu, lima senjata nuklir
yang dimiliki oleh Rusia jauh lebih mengancam Amerika Serikat daripada 500
senjata nuklir yang dimiliki Perancis. Hal ini disebabkan oleh adanya pemahaman
bersama yang ditanamkan oleh AS, dimana Rusia merupakan musuh dan Perancis
adalah teman.
Unsur ketiga yaitu, practice (praktik), struktur sosial tersebut ada dalam
praktik. Praktik sangatlah penting, karena melalui praktik struktur sosial tebentuk
dan eksis, sehingga aktor atau agen (subjek) adalah yang berkuasa mempengaruhi
dan membentuk struktur melalui praktik dan interaksi antar subjek, dan setelah
eksis struktur akan berbalik mempengaruhi subjek.40
Adapun proposisi dan konsep penting konstruktivis dalam menjelaskan
struktur internasional dirangkum oleh Trine Flockhart menjadi empat bagian,
yaitu,41 pertama, keyakinan akan konstruksi realitas sosial dan pentingnya fakta
39 Alexander Wendt, “Constructing International Politics”, International Security, Vol. 2,
No. 1 (Summer, 1995), h.73. 40 Cecep Zakarias El Bilad, “Konstruktivisme Hubungan Internasional: Meretas Jalan
Damai Perdebatan Antar Paradigma”, Jurnal Studi Hubungan Internasional, Vol. 1 No 2, (2011),
h.71 41 Trine Flockhart, “Constructivism and Foreign Policy” dimuat dalam Tim Dunne, Steve
Smith, dan Amelia Hadfield, “Foreign Policy: Theories, Actors, Cases”, (Oxford University Press,
2012), h. 82
20
sosial, proposisi utama dalam konstruktivis bahwa realitas berasal dari pengetahuan
subyektif dan sifat alami realitas untuk ditafsirkan, selanjutnya melalui interaksi
sosial pengetahuan tersebar luas dan menjadi pengetahuan atau pemahaman
bersama (intersubjective meaning) tentang dunia. Hal ini berdasarkan pandangan
Wendt, yaitu tentang unsur shared knowledge yang terjadi dalam interaksi sosial.
Adapun kemudian fakta sosial dan intersubjective meaning memiliki makna
yang berbeda namun, keduanya tidak bisa dipisahkan Flockhart berpandangan
bahwa sebuah fakta sosial hanya ada melalui kesepakatan manusia dan pengetahuan
bersama, selanjutnya diperteguh melalui praktik. Fakta-fakta sosial menjadi nyata
melalui hubungan sosial, peraturan, dan praktik rutin sehingga muncul sebagai
realitas obyektif dengan eksistensi independen dari mereka yang membangun fakta
sosial.42
Contohnya, pemahaman terhadap uang, yang dianalogikan oleh Searle (1995)
dikutip dalam artikel Stefano Guzinni (2000), pemahaman bersama terhadap uang
yang dalam bentuk fisik hanya selembar kertas dan logam, akan tidak bermakna
lagi ketika semua orang berhenti untuk meyakini dan tidak melakukan atau
mempratikkan tukar menukar dengan kertas dan logam tersebut.43
Kedua, konstruktivis berfokus pada struktur ideasional dan material serta
pentingnya norma dan peraturan. Pentingnya pengetahuan bersama terhadap faktor
ideasional seperti peraturan, simbol, dan bahasa, sama pentingnya terhadap faktor
42 Trine Flockhart, “Constructivism and Foreign Policy”, h. 83 43 Stefano Guzzini, “A Reconstruction of Constructivism in International Relations.
European Journal of International Relations”, European Journal of International Relations Vol.6(2),
147‐182 SAGE Publications, (2000), h.160
21
material. Hal ini berangkat dari pandangan Wendt dalam unsur material resource
bahwa struktur internasional sebagian terdiri dari faktor material, namun tidak akan
bermakna tanpa pemahaman terhadap konsteks sosial, pengetahuan bersama, dan
praktik.
Ketiga, konstruktivis berfokus pada peran identitas dalam membentuk tindakan
politik dan pentingnya ‘logics of action’. Identitas adalah pemahaman aktor dalam
mempersepsikan dirinya sendiri, dan persepsi tersebut akan memberikan
pengetahuan bagaimana aktor dapat memandang aktor lain, dan bagaimana aktor
lain memandang dirinya, sehingga dapat mengetahui kepentingan aktor lain
terhadapnya, singkatnya identitas dibentuk oleh struktur internal dan eksternal dari
aktor, dan identitas tidak hanya sebatas khayalan, karena dipahami oleh aktor lain
dengan cara yang sama.44
Identitas diyakini sangat menyiratkan serangkaian kepentingan atau preferensi
tertentu bagi sebuah tindakan maupun kebijakan aktor. Identitas aktor, diakui oleh
konstruktisvis dibangun oleh sejarah, budaya, politik, konteks sosial dan norma,
untuk itu konstruktivisme mengasumsikan bahwa tindakan aktor tidaklah
ditentukan oleh perhitungan cost-benefit semata yang menjadi ciri khas teori
rasionalis, namun pilihan tindakan aktor secara spontan berdasarkan pertimbangan
kesesuaian tindakan dengan identitasnya.45 ‘logics of action’ dalam perumusan
kebijakan luar negeri tidak selalu berjalan sesuai logika rasionalis, namun dalam
44 Ted Hopf, “The Promise of Constructivism in International Relations Theory”,
International Security, Vol. 23, No. 1 (Summer 1998), h. 175 45 Trine Flockhart, “Constructivism and Foreign Policy” h. 87
22
hal ini logics of action dipahami sebagai ‘logic of appropriateness’ atau ‘logika
kesesuaian’.46
Identitas nasional berperan dalam membentuk wacana keamanan dan
perilaku startegis aktor dan kaitanya dengan kebijakan luar negeri.47 Selain itu,
konteks historis, budaya, politik, dan konteks sosial dari aktor merupakan faktor
yang turut membangun dan mengkonseptualisasikan identitas aktor tersebut dalam
politik internasional.48 Identitas aktor tidaklah terbentuk begitu saja secara alami
(given) melainkan ditempa melalui pendidikan dan penanaman, sehingga harus
dipahami bahwa identitas sebagai proses yang berkelanjutan, dan bukanlah
seperangkat batas yang tetap, yang memiliki hubungan dengan berbagai hal dan
bukan entitas atau atribut yang berdiri bebas.49 Identitas aktor dapat berubah seiring
waktu dan lintas konteks, identitas diproduksi melalui interaksi sosial dengan aktor
lain, dan lebih dari sekedar kepentingan.50 Alexander Wendt menggambarkan
bahwa tanpa identitas kepentingan tidak memiliki kekuatan motivasional dan tanpa
kepentingan identitas tidak memiliki arah.51
Identitas dapat diidentifikasi dengan dua cara yaitu, pertama aktor akan
mencari tindakan yang menjadi kebiasaan dan sesuai interpretasinya terhadap
46 Trine Flockhart, “Constructivism and Foreign Policy” h. 88 47 Rex Li, “China’s Sea Power Aspirations and Strategic Behaviour in the South China Sea
from the Theoretical Perspective of Identity Construction”, dimuat dalam Enrico Fels dan Truong-
Minh Vu, “Power Politics in Asia’s Contested Waters Territorial Disputes in the South China Sea”,
(Switzerland : Springer International Publishing), 2016, h.119 48 Trine Flockhart, “Constructivism and Foreign Policy” dimuat dalam Tim Dunne, Steve
Smith, dan Amelia Hadfield, “Foreign Policy: Theories, Actors, Cases”, (Oxford University Press,
2012), h. 80 49 Rex Li, “China’s Sea Power Aspirations and Strategic Behaviour in the South”, h. 120 50Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, “Internasional Relations Theory 5th Edition”, (New
York: Pearson Education, Inc), 2012, h. 287 51 Rex Li, “China’s Sea Power Aspirations and Strategic Behaviour in the South”, h. 119
23
identitasnya yang disimpulkan sebagai praktik, seperti usaha AS selama Perang
Dingin untuk membendung pengaruh Uni Soviet terhadap negara dunia ketiga dan
Eropa Barat. Kedua, aktor akan memantau wacana atau kombinasi bahasa dan
teknik yang digunakan untuk mempertahankan praktiknya seperti bahasa
diplomatik yang menekankan keterlibatan konstruktif, keseimbangan kekuasaan,
memanfaatkan kekuatan, dan pencegahan.52 Praktik yang dilakukan dalam
berinteraksi juga akan dapat mengubah identitas menjadi positif atau negatif yang
akan menentukan sebuah hubungan apakah teman, rival, atau musuh.53
Keempat, keyakinan akan adanya pembentukan timbal balik aktor dan struktur
dan fokus pada praktik serta tindakan, seperti yang dijelaskan Wendt dalam unsur
praktik, bahwa aktor dan stuktur saling mempengaruhi. Konstruktivis berasumsi
bahwa sistem internasional adalah anarki yang dinamis, sehingga kebijakan luar
negeri berperan dalam menentukan perubahan, baik yang disebabkan oleh struktur
maupun yang berasal dari aktor itu sendiri. Oleh karena itu konstruktivis sangat
relevan sebagai kerangka analisis kebijakan luar negeri khususnya analisis terhadap
aktor yang dapat menjangkau pengaruh psikologis dan kognitif pada pengambil
keputusan.
Adapun dalam penelitian ini yang berfokus pada analisa kebjakan luar negeri
Tiongkok membentuk LMC dalam pandangan konstruktivis perlu dikategorikan
apakah kebijakan luar negeri yang bersifat kebijakan pratik rutinitas atau kebijakan
luar negeri sebagai tindakan, karena kebijakan luar negeri merupakan tindakan yang
52 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, “Internasional Relations Theory 5th Edition”, h. 287 53 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, “Internasional Relations Theory 5th Edition” h. 287
24
dirancang untuk mencapai tujuan tertentu yang mungkin merupakan perubahan dari
status quo.54 Kebijakan luar negeri Tiongkok tersebut dapat dikategorikan sebagai
kebijakan luar negeri sebagai tindakan yang merubah status quo, karena kerja sama
LMC merupakan kerja sama regional yang diinisiasi oleh Tiongkok di kawasan
Subregional Mekong, yang mengindikasikan perubahan dari praktik Tiongkok
yang sebelumnya tidak kooperatif kearah yang lebih kooperatif.
Perubahan tersebut akan dianalisis melalui konsep identitas dalam konstruktivis
yang dapat menyiratkan serangkaian kepentingan atau preferensi tertentu yang
melatar belakangi pilihan tindakan atau kebijakan luar negeri aktor, yang dalam hal
ini yaitu tindakan Tiongkok untuk membentuk LMC. Selain itu, penjelasan dalam
konstruktivis dalam memandang kondisi dan peristiwa yang mempengaruhi
struktur dan intersubjective meaning yang ada khususnya di kawasan Subregional
Mekong yang turut menjadi alasan bagi Tiongkok dalam merumuskan kebijakanya
terkait pembentukan LMC pada tahun 2015.
2. Konsep Geopolitik
Istilah geopolitik diciptakan Rudolf Kjellen seorang pemikir Swedia, ia
mendefinisikan geopolitik sebagai sebuah ilmu yang mempelajari perilaku negara
berdasarkan faktor demografi, ekonomi, politik, sosial dan geografis.55 Alan J.
Grygiel menegaskan “geopolitic is the human factor within geography” adanya
54 Trine Flockhart, “Constructivism and Foreign Policy” h. 88 55 Soren Scholvin, “Geopolitics: An Overview of Concepts and Empirical Examples from
International Relations”, FIIA Working Paper, (2016), h.8
25
faktor manusia dalam ilmu geografi, karena geografi merupakan suatu hal yang
terkait distribusi terhadap pusat sumber daya dan jalur komunikasi, sehingga
memberikan nilai terhadap wilayah tertentu dan menyebabkan kepentingan-
kepentingan negara akan tumbuh terhadap wilayah tersebut.56
Pengaruh geopolitik terhadap kehidupan negara telah sejak lama menjadi
salah satu alat analisa penting dalam Ilmu Hubungan Internasional. Graham Evans
dan Jeffrey Newnham mendefinisikan geopolitik sebagai instrumen analitis
kebiijakan luar negeri suatu negara yang berupaya memahami, menjelaskan dan
memperkirakan perilaku aktor yang dipengaruhi oleh variabel geografi yang
mencakup letak geografis, topografi wilayah, sumber daya alam, serta
perkembangan teknologi.57
Hasil interaksi teknologi meciptakan situasi geopolitik yang mengubah
kepentingan ekonomi, politik, dan strategi setiap negara. Misalnya, penemuan atas
rute baru yang didapatkan dari hasil memahat penggunungan atas kemajuan
teknologi, sehingga akan mengubah distribusi perdagangan yang berdampak pada
distribusi kekuatan ekonomi dunia, kemudian pengenalan teknologi produksi baru,
juga mengubah kebutuhan akan sumber daya alam.58 Jakub J. Grygiel
menyimpulkan bahwa geopolitik bukanlah konstanta namun variabel yang
menggambarkan distribusi geografis rute perdagangan, ekonomi dan sumber daya
56 Jakub J. Grygiel, “Great Powers and Geopolitic Change”, Baltimore : The Johns
Hopkins University Press, h. 21 57 Graham Evans dan Jeffrey Newnham, “The Penguin Dictonary of International
Relations”, London: Penguin Book, (1998) 58 Jakub J. Grygiel, “Great Powers and Geopolitic Change”, h. 21
26
alam.59 Pentingnya variabel geografi dalam hubungan internasional, menyebabkan
geografi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi politik global maupun politik
lokal.60
Konsep geopolitik dalam penelitian ini mengacu pada pandangan
konstruktivis yang melihat geopolitik sebagai security environments, dimana
negara tersebut berada dan diakui tidak hanya secara materil, namun juga diakui
peran dan budayanya.61 Geopolitik menjelaskan budaya yang kompleks, dimana
identitas dirumuskan, dipresentasikan, dan ditekan dalam wacana politik
kotemporer, selain itu geopolitik juga membangun pemahaman bersama tentang
ancaman, sehingga dapat menentukan tindakan dalam konteks menghadapi
ancaman sehingga tidak membahayakan eksistensi negara.62
Ancaman dalam kontstruktivis berkaitan erat dengan identitas nasional, dan
identitas nasional itu sendiri tidak hanya dibangun secara sosiologi dan sejarah,
namun juga dibetuk oleh perbatasan wilayah. Hal yang berada di dalam wilayah
negara seperti tanah, sungai, danau, gunung, laut, dan udara merupakan bagian
integral dari identitas nasional. Oleh karenanya, wilayah perbatasan menjadi sangat
59 Jakub J. Grygiel, “Great Powers and Geopolitic Change”, h. 21 60 Alan K. Henrikson, “Distance and Foreign Policy : a Political Geography approach”,
International Political Science Review, di publikasi oleh Sage Publications Ltd, (Oktober 2002), h.
1 61 Young Chul Cho, ”Conventional and Critical Constructivist Approaches to National
Security: An Analitycal Survey”, The Korean Journal of International Relations, Vol. 49, No. 3,
2009, h.79 62 Simon Dalby, “Geopolitics and Global Security : Culture, Identity, and the ‘Pogo’
Syndrome”, dimuat dalam Gearoid O Tuathail dan Simon Dalby, “Rethingking Geopolitics”,
(Routledge, 2002), h. 295
27
penting bagi suatu negara dan gangguan terhadapnya adalah ancaman terhadap
identitas negara.
Keberadaan sumber air lintas batas menjadi salah satu dilema besar bagi
identitas negara, geopolitik melihatnya sebagai sumber konflik sekaligus sumber
peluang kerja sama. dalam konstruktivis konflik dan kerja sama dalam hubungan
antar negara yang dilalui transboundary water resource (sumber air lintas batas)
ditentukan oleh peran identitas didalamnya, seperti yang dikutip dari Alloche dalam
artikel Julien bahwa konflik dan kerja sama terbentuk bukanlah didasarkan atas
kelangkaan akibat salah satu pihak memanfaatkan sungai lebih banyak dari yang
lain, melainkan adanya manifestasi masyarakat yang saling mengenal satu sama
lain sebagai musuh atau sebagai teman, seperti dalam hubungan Turki dan Suriah
terkait sungai Efrat.63
Geopolitik dalam penelitian ini menempatkan sumber air lintas batas yaitu
Sungai Mekong sebagai materil, namun dalam geopolitik dengan pandangan
konstruktivis analisa terhadap sumber materil tidak hanya direduksi dengan
perhitungan ekonomi atau rasio power antar negara, tentunya faktor budaya,
sejarah, ideologi, identitas, dan norma menjadi perhitungan penting64 sehingga
konsep geopolitik akan digunakan untuk melihat keamanan lingkungan di kawasan
Subregional Mekong terhadap identitas Tiongkok sehingga memutuskan untuk
menginisiasi kerja sama LMC pada tahun 2015.
63 Frédéric Julien, “Hydropolitics is What Societies Make of It (or Why We Need a
Constructivist Approach to the Geopolitics of Water),” International Journal of Sustainable Society
4, no.1-2 (2012), h. 62 64 Frédéric Julien, “Hydropolitics is What Societies Make of It”, h. 62
28
3. Konsep Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional adalah kategori yang diterapkan oleh pengambil
kebijakan sebagai arah dan tujuan tindakanya, oleh karena itu dalam realis konsep
kepentingan nasional digunakan untuk menjelaskan kebijakan luar negeri,
kepentingan nasional menjadi motivasi yang mendorong tindakan negara, dalam
realis kepentingan nasional dipengaruhi oleh kekuasaan, posisi geografis, sumber
daya alam, dan faktor lainya yang merupakan properti objektif dari sebuah negara.65
Adapun dalam penelitian ini, konsep kepentingan nasional mengacu pada
pandangan konstruktivisme. Martha Finnemore melihat kepentingan nasional
bukanlah hal yang given melainkan sebuah konstruksi sosial, berbeda dengan realis
yang memandang bahwa kepentingan nasional dengan kombinasi kekuatan,
keamanan, dan kekayaan adalah hal yang terjadi begitu saja.66
Dalam pandangan Alexander Wendt, negara adalah aktor yang setiap
perilakunya dimotivasi oleh berbagai kepentingan yang bersumber pada identitas
negara, identitas mengacu pada siapa dan apa aktor tersebut, sedangkan
kepentingan mengacu pada apa yang diinginkan aktor, yang merujuk pada motivasi
yang membantu menjelaskan perilaku aktor. Dengan kata lain, identitas dan
kepentingan tidak dapat dilepaskan karena untuk menjelaskan perilaku aktor
diperlukan identitas dan kepentingan, karena seorang aktor tidak dapat mengetahui
65 Jill Steans, Lloyd Pettiford, Thomas Diez and Imad El-Anis, “An Introduction to
International Relations Theory Perspectives and Themes Third edition”, (London: Pearson
Education Limited) 2010, h. 192 66 Steven Holloway, Review dari Martha Finnemore, “National Interests in International
Society”, Cornell University Press, 1996, pp. xi, 154, dipublikasi oleh Canadian Journal of Political
Science/Revue canadienne de science politique, h.155
29
apa yang diinginkanya tanpa mengetahui siapa dia.67 Tanpa identitas, kepentingan
tidak memiliki arah, karena identitas termasuk dalam sisi kepercayaan diri, Wendt
menjelaskanya dengan persamaan desire + belief = action, desire (keinginan dan
kepentingan) harus di dasari oleh keyakinan untuk kemudian aktor dapat
mengetahui apa yang harus dilakukan.68
Teori sosial membedakan kepentingan menjadi dua jenis yaitu, objektif dan
subjektif, kepentingan objektif adalah kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi
jika sebuah identitas direkonstruksi ulang, seperti Amerika Serikat tidak dapat
menjadi negara monopoli atas kekerasan teroganisir melalui korporasi yang
dilakukanya, sebuah negara kapitalis tanpa menegakan hak kepemilikan pribadi,
hegemon tanpa kliennya, dan negara Barat tanpa solidaritas dengan negara Barat
lainya, jika kepentingan objektif ini tidak disadari oleh AS maka identitas negara
seperti negara monopoli, negara kapitalis, negara hegemon, atau negara Barat tidak
akan bertahan.69
Kepentingan Subjektif mengacu pada keyakinan yang dimiliki aktor
tentang cara pemenuhan kebutuhan identitas mereka, yang menjadi motivasi
langsung untuk bertindak. Tindakan atau perilaku tidak hanya didasari oleh
keinginan (desire), tetapi juga oleh apa yang dia pikir mungkin untuk dapat
67Alexander Wendt, “Social Theory of International Politics” (Australia: Cambridge
University Press, 1999), h. 231 68 Alexander Wendt, “Social Theory of International Politics”, h. 231 69 Alexander Wendt, “Social Theory of International Politics”,h.232
30
mencapai tujuannya (keyakinan atau belief) sehingga dapat disimpulkan sebab
tindakan sebuah negara.70
Wendt mengindentifikasi kepentingan nasional dengan empat kategori yaitu
physical survival, otonomi, kesejahteraan ekonomi, dan Collective self-esteem
(harga diri kolektif).71 Physical survival merujuk pada keberlangsungan sebuah
negara yang didasari kedaulatan wilayah dari tantangan keberagaman identitas
karena negara adalah tatanan masyarakat kompleks yang dibentuk oleh individu-
individu. Otonomi, merujuk pada kebebasan negara untuk mengontrol alokasi
sumber daya dan kebebasan bagi pilihan pemerintahnya, untuk memproduksi
identitas negara tidak hanya bertahan, namun juga harus bebas untuk dapat
memenuhi tuntutan internal atau berperan dilingkungan eksternalnya.
Kesejahteraan ekonomi mengacu pada pemeliharaan mode produksi dalam
masyarakat dengan perluasan basis sumber daya negara, kepentingan nasional akan
kesejahteraan sangat penting karena diperlukan mencapai pertumbuhan negara,
namun setiap negara memiliki definisi berbeda terkait pertumbuhan dan
hubunganya dengan kesejahteraan yang disesuaikan dengan identitasnya.
Selanjutnya, Collective self-esteem atau harga diri kolektif mengacu pada
kebutuhan negara untuk merasa nyaman dengan dirinya sendiri, untuk dapat saling
menghormati dan juga status, harga diri adalah dasar kebutuhan manusia, sebagai
pengakuan atas keberadaanya dan merupakan kebutuhan yang wajib dipenuhi.
Faktor kunci dalam menjelaskan harga diri kolektif adalah terkait citra diri kolektif
70 Alexander Wendt, “Social Theory of International Politics”, h.232 71 Alexander Wendt, “Social Theory of International Politics”, h. 235
31
apakah positif atau negatif, yang mana akan bergantung pada hubungan dengan
orang lain yang signifikan, sehingga aktor dapat melihat dirinya sendiri. Citra diri
negatif muncul dari ketidak pedulian atau penghinaan yang dirasakan oleh negara
lain, yang sering terjadi dilingkungan internasional yang kompetitif, seperti yang
dialami Jerman pasca Perang Dunia II dan Rusia saat ini.
Namun, setiap negara cenderung tidak akan menolerir citra negatif yang
dilekatkan padanya, untuk itu negara harus memenuhi kebutuhan terhadap harga
dirinya dalam pergaulan internasional, negara dapat memberi kompensasi,
devaluasi, bahkan agresi terhadap yang lain. Untuk itu kerja sama dan saling
menghormati dibutuhkan negara untuk mampu mendapatkan citra positif, hal ini
menjadi penting bagi kedaulatan negara karena dengan begitu negara secara formal
akan memiliki status yang sama di dunia internasional. Dengan kata lain,
pengakuan status yang sama atas kedaulatan suatu negara akan membantu
menenangkan negara, hal ini menunjukan bahwa negara membutuhkan keamanan
psikis tidak hanya keamanan fisik.
Adapun dalam penelitian ini konsep kepentingan nasional dalam pandangan
konstruktivis membantu analisa terhadap kebijakan Tiongkok membentuk LMC,
berdasarkan kepentingan terhadap harga diri kolektif seperti yang dikemukakan
Alexander Wendt. Konsep tersebut paling signifikan karena secara fisik dan
otonomi telah terpenuhi dan tidak menjadi persoalan penting dalam pembentukan
LMC. Sedangkan kesejahteraan ekonomi dapat dicapai Tiongkok tidak hanya
melalui LMC namun, Tiongkok telah melakukan berbagai kerja sama dengan
negara-negara Subregional Mekong baik bilateral maupun multilateral, seperti FTA
32
China-ASEAN, dan infrastruktur melalui GMS, dan banyak kerja sama lainya. Oleh
karena itu, penelitian ini melihat alasan penting Tiongkok menginisiasi LMC untuk
pertama kalinya dalam sejarah kerja sama di kawasan Subregional Mekong adalah
terkait pemenuhan kebutuhan terhadap pengakuan harga dirinya.
F. Metode Penelitian
Peneltian ini menggunakan metode kualitatif, yang memiliki karakteristik
yaitu mengkonstruksi realitas dan memahami maknanya, dengan memperhatikan
proses peristiwa, dan otentisitas atau kualitas data.72 Hal ini menjadikan metode
kualitatif sangat memenuhi kriteria dalam membangun perspektif konstruktivisme
(yaitu, multiple meanings dari pengalaman individu, makna secara sosial dan
historis yang dibangun).73 Prosedur dalam penelitian ini menggunakan prosedur
penulusuran proses atau process tracing. Prosedur ini adalah teknik yang penting
dalam menjelaskan dan menangkap mekanisme sebab-akibat (kausal) dalam sebuah
tindakan.74
Oleh karenanya, process tracing sangat berguna untuk dapat menjelaskan
kondisi yang menyebabkan dikeluarkannya sebuah kebijakan yang berkaitan
dengan kepercayaan dan tindakan.75 Process tracing dapat dilakukan dengan
72 Gumilar Rusliwa Somantri, “Memahami Metode Kualitatif”, MAKARA Sosial
Humaniora, Vol. 9, No. 2, Desember 2005, h. 58 73 John W. Creswell, Research Design : Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches Third Edition, London : SAGE Publications, Inc, 2009, h.18 74 Andrew Bennet dan Jeffrey T. Checkel, “Process Tracing : From Philosophical Roots
to Best Practices”, dimuat dalam Andrew Bennet dan Jeffrey T. Checkel, “Process Tracing : From
Metaphor to Analytic Tool”, Cambridge : Cambridge University Press, 2015, h. 9 75 Pascal Venneson, “Case Studies and Process Tracing : Theories and Practices”, dimuat
dalam Donatella Della Porta dan Michael Keating, “Approaches and Methodologies in Social
Sciences : A Pluralist Perspective”, Cambridge : Cambridge University Press, 2008, h.224
33
kombinasi proses induksi dan deduksi.76 Selain itu, prosedur ini sering melibatkan
eksplorasi tentang apa yang diketahui aktor, kapan, dan bagaimana mereka
berperilaku, adakah risiko pengabaian terhadap konteks struktural normatif atau
faktor material.77
Pertanyaan penelitian akan dijawab dengan metode kualitatif secara
deskriptif analitis, yang dilakukan dengan mendeskripsikan, menggambarkan, dan
menganalisa data-data yang diperoleh dari proses penelitian. Penelitian ini
menggunakan teknik pengumpulan data berupa dokumen yang bersifat data primer
dan data sekunder dilakukan yakni melalui wawancara pihak-pihak yang relevan
dengan pertanyaan penelitian baik melalui media ataupun dengan melakukan
review hasil wawancara yang dilakukan oleh jurnalis berita, serta dokumentasi,
dengan tujuan mendapatkan data sekunder. Tunjangan data primer melalui studi
pustaka (Library Research) yang mendalam, dengan mencari berbagai informasi
yang relevan baik yang dimuat dalam buku, jurnal, artikel, berita, karya tulis ilmiah,
maupun internet. Informasi-informasi tersebut adalah data yang akan menjadi
bahan analisis bagi penulis.
Tunjangan data sekunder melalui wawancara langsung dilakukan peneliti
dengan Sandy Nur Ikhfal seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) Bidang Perkembangan Politik Internasional, yang menulis artikel tentang
LMC dengan judul China Challenging Subregionalism in Southeast Asia pada
76 Andrew Bennet dan Jeffrey T. Checkel, “Process Tracing : From Philosophical”, h.18 77 Andrew Bennet dan Jeffrey T. Checkel, “Process Tracing : From Philosophical”, h.23
34
tahun 2016 dan dipublikasi oleh http://www.politik.lipi.go.id yang relevan dengan
skripsi ini. Selain wawacara langsung, peneliti juga mengumpulkan data melalui
naskah wawancara yang dilakukan pihak lain yang tersedia di internet yaitu naskah
wawancara Prof. Zhiqun Zhu, PhD (Professor of Political science and international
Relations at Bucknell University, Bucknell Inaugural director of the China Institute)
dengan pihak Foreign Policy Journal.
G. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Pembahasan dalam bab pendahuluan mencakup penjelasan awal yang
menjadi dasar penelitian. Bab pendahuluan terdiri atas peryataan masalah,
pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjuan pustaka, kerangka
teoritis, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Dinamika Kebijakan Tiongkok terhadap Subregional Mekong
Dalam bab ini menjelaskan dinamika kebijakan dan performa Tiongkok
terhadap Kawasan Sungai Mekong sebelum Tiongkok menginisiasi kerja sama
LMC pada tahun 2015. Bab ini juga menjelaskan secara lebih mendalam kerja
sama-kerja sama multilateral yang telah terjalin antara negara-negara DAS Mekong
dan juga negara-negara non-kawasan, serta peranan lembaga-lembaga internasional
dalam kawasan tersebut.
BAB III Kerja sama Multilateral Lancang Mekong Cooperation (LMC)
35
Pada Bab ini penulis akan menjelaskan secara lebih rinci latar belakang dan
proses pembentukan kerja sama LMC pada tahun 2015, tujuan, mekanisme dan
keanggotaan kerja sama. Dalam bab ini juga akan menjelaskan bagaimana posisi
Tiongkok dalam kerja sama tersebut. Serta juga akan membahas mengenai
kebijakan Xi Jinping termasuk keputusan untuk menginisiasi LMC.
BAB IV Analisis Kebijakan Tiongkok dalam Menginisiasi Kerja Sama
Lancang Mekong Cooperation (LMC) Tahun 2015
Dalam bab ini menganalisis alasan yang melatar belakangi Tiongkok dalam
menginisiasi kerja sama LMC pada tahun 2015. Teori konstruktivisme, konsep
geopolitik, dan konsep kepentingan nasional digunakan untuk menganalisis alasan
Tiongkok dalam menginisiasi kerja sama LMC pada tahun 2015.
BAB V Penutup
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan pada
pembahasan sebelumnya bab ini juga merupakan jawaban dari pertanyaan
penelitian. Bab ini sekaligus menjadi penutup dan bagian akhir penelitian.
36
BAB II
DINAMIKA KEBIJAKAN TIONGKOK TERHADAP
SUBREGIONAL MEKONG
Bab ini menjelaskan kebijakan Tiongkok terhadap kawasan Subregional
Mekong sebelum dibentuknya kerangka kerja sama baru LMC pada tahun 2015.
Pembahasan akan dimulai dengan pengenalan karakteristik Sungai Mekong,
dinamika isu di kawasan, sejarah singkat terbentuknya kerja sama-kerja sama yang
pernah terbentuk baik antar negara-negara DAS Mekong, maupun yang terjalin
dengan negara-negara non-kawasan Mekong, seperti Jepang, Amerika Serikat, dan
Korea Selatan,
Kemudian, dalam pembahasan ini juga menjelaskan kebijakan Tiongkok
terhadap kawasan terkait kerja sama-kerja sama tersebut. Adapun tujuan dari bab
ini adalah melihat kebijakan Tiongkok yang mencerminkan sikap dan kepentingan
Tiongkok terhadap Sungai Mekong sebelum kerangka kerja sama LMC disahkan.
A. Sungai Mekong
1. Karasteristik Fisik Sungai Mekong
Sungai Mekong memiliki DAS seluas 795.000 km2 dan terdiri dari enam
negara, Sungai Mekong berasal atau berhulu dari dataran tinggi Tibet, di Tiongkok,
kemudian membentuk perbatasan antara Myanmar dan Laos, serta Thailand dan
Laos, mengalir ke Kamboja, berakhir di Vietnam sebagai Delta Mekong dan
37
bermuara di Laut Tiongkok Selatan (LTS).78 Aliran Sungai Mekong mencakup
berbagai wilayah dengan tujuh fisiografis yang luas dan iklim yang mengakibatkan
melimpahnya sumber daya alam.79
Gambar II.A.1.1 Peta aliran Sungai Mekong
Sumber : www.mekongriver.info, 2017
2. Karakteristik Sosial Sungai Mekong
Aliran Sungai Mekong telah menjadi “rumah” bagi lebih dari 80 juta orang,
yang bergantung terhadap sumber daya air minum, sumber protein (ikan),
78 Judith, Nijenhuis, “Complex Interdependencies In the Mekong River Basin: Explaining
Water Cooperation”, Radboud University, (2012), h. 20 79 “Physiography”, tersedia di http://www.mrcmekong.org/mekong-basin/physiography/
diakses pada 20 November 2017 pukul 14.21 WIB
38
transportasi, dan air untuk irigasi pertanian.80 Berdasarkan hasil survei terhadap 25
juta orang yang tinggal dalam 15 km dari arus utama Mekong, menunjukan 63%
dari populasi produktif secara ekonomi memiliki pekerjaan yang terkait dengan
Sungai Mekong sebagai sumber daya air.81
Tabel II.A.1 : Pekerjaan terkait air dan non-air di zona 15 km di
sepanjang arus utama Mekong
Economically active population Economically non-
active population Water related
occupations (%)
Non-water related
occupation (%)
Main occupation 62.6 12.7 24.7
Secondary
occupation
38.3 7.5 54.2
Sumber :Judith, Nijenhuis, (2012)
Dapat disimpulkan bahwa pentingnya Sungai Mekong bagi masyarakat yang
hidup di alirannya, dari makanan dan sumber air hingga mata pencaharian.
Masyarakat aliran Mekong masih banyak hidup dalam kemiskinan, selain itu
perubahan populasi yang semakin meningkat, urbanisasi, perekonomian negara-
negara DAS yang berkembang secara pesat menyebabkan disparitas yang
mencolok, antara daerah maju (perkotaan) dan daerah terbelakang (pedesaan),
sehingga keberadaan sumber air dan sumber daya lainya akan menjadi sumber
ketegangan akibat tingginya permintaan atas keduanya bagi pemenuhan kebutuhan
80 Evelyn Goh, “China in the Mekong River Basin : the Regional Security Implications of
Resource Development on the Lancang Jiang” , Institute of Defense and Strategic Studies
Singapore, (2004), tersedia di https://www.rsis.edu.sg/wp-content/uploads/rsis-pubs/WP69.pdf ,
diakses pada 17 November 2017 pukul 15.33 WIB, h.1 81 Judith, Nijenhuis, “Complex Interdependencies In the Mekong River Basin”, h.23
39
masyarakat.82 Keadaan yang demikian menyebabkan Mekong mejadi salah satu
sungai besar yang paling tidak berkembang di dunia.83
3. Isu Paling Berpengaruh di Sungai Mekong : Hydropower
Pembangunan hydropower atau Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)
merupakan isu yang sangat penting di kawasan DAS Mekong. Sungai Mekong
memiliki potensi tinggi untuk PLTA dengan total potensi mencapai 53.000 MW,
dimana 23.000 MW dapat dihasilkan oleh hulu dan di hilir sekitar 30,000 MW.84
Pembangunan PLTA sangat populer bagi pemerintah negara-negara DAS
Mekong dan lembaga pembangunan swasta karena dianggap sebagai sumber energi
yang bersih dan metode yang sangat baik untuk pembangunan ekonomi. PLTA
diharapkan dapat mengembangkan negara-negara DAS Mekong dan mengurangi
ketergantungan pada bahan bakar fosil untuk 80% pembangkit listrik dimana
seperempat dari jumlah tersebut harus diimpor.85 Hal ini juga didorong oleh harga
listrik yang tidak stabil di pasar energi internasional dan kekhawatiran atas emisi
karbon.86
Namun, proyek pembangunan PLTA menjadi perdebatan yang emosional,
tujuan negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dengan potensi
82Marko Keskinen, “Water Resources Development and Impact Assessment in the Mekong
Basin: Which Way toGo?”, Ambio, Vol. 37, No. 3, Mekong at the Crossroads, dipublikasi oleh
Springer on behalf of Royal Swedish Academy of Sciences, (2008), h. 193 83 Judith, Nijenhuis, “Complex Interdependencies In the Mekong River Basin: Explaining
Water Cooperation”, Radboud University, (2012), h.23 84 Judith, Nijenhuis, “Complex Interdependencies In the Mekong River Basin”, h.25 85 Judith, Nijenhuis, “Complex Interdependencies In the Mekong River Basin: Explaining
Water Cooperation”, Radboud University, (2012), h.24 86 “Sustainable Hydropower” tersedia di http://www.mrcmekong.org/topics/sustainable-
hydropower/ di akses pada 17 November 2017, pukul 14.46 wib
40
keuntungan ekonomi dan energi yang besar, sejalan dengan menigkatnya potensi
dampak kumulatif terhadap lingkungan, perikanan, dan mata pencaharian
masyarakat terutama di wilayah hilir Sungai Mekong.87 Dampak negatif yang
menyeluruh bagi berbagai aspek kehidupan dan bersifat lintas batas, menyebabkan
isu ini selalu menjadi topik dalam dialog-dialog multilateral antar negara DAS
Mekong.
Selain itu, sumber air bersama melambangkan dilema bersama dalam
pemanfaatan sumber daya bersama, yang mana penggunaanya oleh satu pihak
mengurangi potensi manfaatnya bagi orang lain.88 Konflik muncul akibat transfer
polusi, kerusakan kualitas dan ekosistem, serta kuantitas air bagi wilayah hilir,
permasalahan ketidak cocokan antara batas-batas hidro-ekologi dan politik juga
menyebabkan konflik antara prinsip kedaulatan yang bertentangan dengan masalah
sumber daya umum mengenai kepemilikan, alokasi, keamanan, dan degradasi
lingkungan.89
Seiring dengan semakin meningkatnya air menjadi sumber daya yang
penting, hal ini salah satu penyebab air sebagai sumber utama konflik akibat
transfer kerusakan yang dapat mendorong terjadinya peperangan namun, air juga
dapat mendorong terjalinya kerja sama. Keinginan negara-negara DAS Mekong
untuk menghindari konflik yang berkepanjangan dan ancaman perang, mereka
memilih melakukan kerja sama untuk meningkatkan perekonomian masing-masing
87 “Sustainable Hydropower” 88 Evelyn Goh, “China in the Mekong River Basin”, h.1 89 Evelyn Goh, “China in the Mekong River Basin, h.1
41
negara. Hal ini ditandai oleh banyaknya kerja sama yang terbentuk di kawasan
tersebut.
B. Kerja Sama Multilateral di Subregional Mekong
Sejak tahun 1957, negara-negara Sungai Mekong telah berupaya untuk
memaksimalkan pengembangan dan pembangunan demi mencapai kemakmuran,
hal ini ditandai dengan munculnya kerangka kerja sama dengan rencana
pembangunan yaitu pembentukan Komite Mekong yang terdiri dari Kamboja, Laos,
Thailand, dan Vietnam. Namun, ketegangan dan konflik terus berlanjut dalam skala
besar di seluruh wilayah, kemudian dibuatlah kesepakatan damai Kamboja pada
awal 1990-an yang mengizinkan proyek-proyek besar untuk dilanjutkan, hal ini
mendorong bermunculanya kerangka kerja sama pembangunan di Subregional
tersebut.90
1. Mekong River Commission (MRC)
MRC atau dahulu bernama Committee for Coordination of Investigations on the
Lower Mekong Basin (the Mekong Committee) dibentuk berdasarkan undang-
undang yang disahkan oleh PBB, merupakan kerja sama regional antara Kamboja,
Laos dan Vietnam yang didirikan pada tahun 1957, era pasca-kolonial di wilayah
Indocina.91 Kerja sama ini sepenuhnya didukung PBB melalui badan Economic
90 Apichai Sunchindah, “The Lancang-Mekong River Basin: Reflections on Cooperation
Mechanisms Pertaining to a Shared Watercours”, di publikasi oleh S. Rajaratnam School of
International Studies, (2013), h.3 91 “Mekong River Commission 20th Years of Cooperation”, tersedia di
www.mrcmekong.org diakses pada 20 November 2017, pukul 00.28 WIB, h. 13
42
Commission for Asia and the Far East, atau ECAFE (sekarang di kenal dengan
ESCAP) yang memiliki kantor sekretariat di Bangkok, Thailand.92
Kemudian, perang sipil Kamboja menyebabkan penarikan mundur dari kerja
sama, akibatnya pada 1978, Komite Sementara Mekong didirikan PBB dengan
anggota tersisa Laos, Thailand, dan Vietnam.93 Kamboja meminta kembali masuk
Komite Mekong pada tahun 1991, dan keempat negara mulai berfokus untuk
memperbarui kerja sama regional tersebut, yang puncaknya pada 5 April 1995,
dilaksanakan penandatanganan kerja sama untuk pembangunan berkelanjutan di
Sungai Mekong (Mekong Agreement) dan menciptakan MRC.
MRC adalah platform untuk diplomasi air dan kerja sama regional, dalam
platform ini negara-negara saling berbagi manfaat sumber daya air dan informasi
pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya air.94 MRC juga sekaligus menjadi
badan penasehat dan fasilitator dialog antar pemerintah di bawah naungan menteri
lingkungan di empat negara tersebut.95
Setelah 21 tahun terbentuk MRC telah mengadopsi serangkaian prosedur,
diantaranya Prosedur untuk Mutu Air, Prosedur Pertukaran Data dan berbagi
Informasi, Prosedur Pemantuan Penggunaan Air, dan Prosedur Pemberitahuan.96
Tiongkok dan Myanmar sepakat untuk menjadi mitra dialog MRC, dan pada tahun
92 Jeffrey W Jacobs, “Mekong Committee History and Lessons for River Basin
Development”, The Geographical Journal, Vol. 161, No. 2, dipubilkasi oleh Geographicalj, (1995),
h.138 93 “Mekong River Commission 20th Years of Cooperation”, h. 14 94“The Story of Mekong cooperation” 95 “Mekong River Commission 20th Years of Cooperation” 96 “The Story of Mekong cooperation”
43
2002, Tiongkok menandatangani kesepakatan penting mengenai pembagian data
hidrologi.97
2. The Greater Mekong Sub-region (GMS)
Kerangka kerja sama dengan nama resmi GSM yang beranggotakan Tiongkok
(khususnya Provinsi Yunnan dan daerah otonomi Guangxi Zhuang), Laos,
Myanmar, Thailand, dan Vietnam.98 Kerja sama ini didirikan pada tahun 1992
dengan bantuan ADB, dan bertujuan untuk meningkatkan hubungan ekonomi antar
negara-negara tersebut.99
Program GMS berfokus pada bantuan pelaksanaan proyek Subregional di
bidang transportasi, energi, telekomunikasi, lingkungan, pengembangan sumber
daya manusia, pariwisata, perdagangan, investasi, sektor swasta, dan pertanian
dengan dukungan dana ADB dan donor lainya.100 Kemajuan substansial yang telah
dicapai dalam hal pelaksanaan proyek GMS sejak berdirinya adalah proyek
infrastruktur prioritas senilai US$ 11 miliar yaitu peningkatan jalan raya Phnom
Penh (Kamboja) – kota Ho Chi Minh (Vietnam) dan the East-West Economic
Corridor yang terbentang dari Laut Andaman hingga Da Nang.101
3. Association of Southeast Asia Nations (ASEAN)
ASEAN dibentuk pada tahun 1967 merupakan kerja sama regional yang
berfokus pada integrasi regional dan perdagangan, yang terdiri dari sebelas negara
97 Judith, Nijenhuis, “Complex Interdependencies In the Mekong River Basin”, h. 28 98“Overview of the Greater Mekong Subregion” 99“Overview of the Greater Mekong Subregion” 100“Overview of the Greater Mekong Subregion” 101“Overview of the Greater Mekong Subregion”
44
anggota.102 Anggota ASEAN mencakup lima negara Subregional Mekong yaitu
Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand dan Vietnam. Negara-negara DAS Mekong
menjadi pemain penting yang kemudian mendorong berbagai mekanisme dan
inisiatif terkait isu kawasan di Subregional Mekong.103 Melalui ASEAN negara-
negara DAS Mekong membentuk forum dengan Tiongkok, dan pada tahun 1996
membentuk kerja sama pengembangan Sungai Mekong, China-ASEAN Free Trade
Area (CAFTA), serta berbagai rencana tindakan untuk memperkuat kemitraan
strategis ASEAN-Tiongkok.104
4. Agreement on Commercial Navigation on Lancang-Mekong River
Merupakan kesepakatan yang disepakati pada tahun 2000, antara negara-negara
yang berada di wilayah hulu Sungai Mekong yaitu Tiongkok, Laos, Myanmar, dan
Thailand.105 Kesepakatan ini bertujuan untuk mengembangkan sungai bersama
dalam bidang transportasi penumpang dan kargo internasional, yang dimaksudkan
untuk mempromosikan dan memfasilitasi perdagangan dan pariwisata serta untuk
memperkuat kerja sama navigasi komersial.106
5. The Ayeyawady-Chao Phraya-Mekong Economic Cooperation
Strategy (ACMECS)
ACMECS merupakan kerja sama strategi antara Kamboja, Laos, Myanmar,
Thailand, dan Vietnam untuk memanfaatkan kekuatan beragam dari negara anggota
102 Mutiara Pertiwi, “Pengenalan Dasar Hubungan Internasional di Asia Tenggara”, UIN
Jakarta Press, (2013), h.75 103 Apichai Sunchindah, “The Lancang-Mekong River Basin: Reflections”, h.4 104 Apichai Sunchindah, “The Lancang-Mekong River Basin: Reflections “,h.4 105 Apichai Sunchindah, “The Lancang-Mekong River Basin: Reflections”, h.4 106 Apichai Sunchindah, “The Lancang-Mekong River Basin: Reflections”, h.4
45
dan untuk mempromosikan pembangunan seimbang di Subregional Mekong.107
Kerja sama ini prakarsai oleh Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra pada
April 2003, dengan bidang kerja sama meliputi transportasi, serta memfasilitasi
perdagangan dan investasi.108 ACMECS bertindak sebagai katalisator untuk
membangun program kerja sama regional yang ada dan melengkapi kerja sama
bilateral, dan tidak hanya menguntungkan negara-negara yang berpartisipasi
namun, juga memberi nilai tambah dan meningkatkan solidaritas bagi ASEAN.109
6. Japan – Mekong Cooperation
Jepang telah menjadi pemodal terbesar bersama Amerika Serikat dalam ADB,
hal ini didasarkan pada keinginan Jepang untuk membantu pembangunan ekonomi
non-komunis di kawasan Asia Tenggara.110 Mekong telah menjadi wilayah penting
bagi diplomasi Jepang, yang ditandai oleh peluncuran sebuah program untuk
membantu pengembangan kawasan tersebut oleh Jepang yaitu Forum for
Comprehensive Development of Indochina (FCDI).111 Forum tersebut dihadiri oleh
24 negara dan tujuh organisasi internasional yang diadakan pada tahun 1995,
tujuannya adalah untuk menjadi kesempatan dalam bertukar informasi dan
pandangan mengenai perkembangan kawasan yang seimbang dan untuk
107 “Cross-border Infrastructure Ayeyawady-Chao Phraya-Mekong Economic Cooperation
Strategy (ACMECS)”, tersedia di https://aric.adb.org/initiative/ayeyawady-chao-phraya-mekong-
economic-cooperation-strategy di akses pada 21 November 2011 pukul 12.52 WIB. 108 “Cross-border Infrastructure Ayeyawady-Chao Phraya-Mekong” 109 Apichai Sunchindah, “The Lancang-Mekong River Basin: Reflections”, h.4 110 Maya Shiraishi, “Japan Toward the Indochina Sub-Region”, Journal of Asia-Pacific
Studies (Waseda University GSPAS) No. 13, (2009), h.17 111Hidetaka Yoshimatsu, “ The Mekong Region, Regional Integration, and Political
Rivalry Among ASEAN, China and Japan”, Asian Perspective, Vol. 34, No. 3, dipublikasi oleh
Lynne Rienner Publishers, (2010), h.96
46
memperkuat kemampuan pejabat yang terlibat dalam perumusan proyek
pembangunan.112
Krisis keuangan pada tahun 1997-1998, menyebabkan kerangka kerja sama
regional yang mendorong pengembangan Indocina, direvitalisasi dan melahirkan
kerja sama baru.113 Diantaranya terdapat proyek-proyek baru yang dibantu oleh
Jepang, seperti Inisiatif IAI, AEM-METI Economic and Industrial Cooperation
Committee (AMEICC), ACMECS, serta pembaruan kerja sama pembangunan
GMS yang diprakarsai ADB dengan menciptakan koridor ekonomi di wilayah
tersebut.114
Jepang kemudian kembali membangun kerja sama, pada tahun 2004, Perdana
Menteri Jepang Koizumi Junchiro mengadakan pertemuan dengan Kamboja, Laos,
dan Vietnam membahas program koperasi beton. Kemudian pada pertemuan
selanjutnya pada tahun 2007, Jepang mengusulkan Program Kemitraan Kawasan
Jepang-Mekong, dengan tiga pilar panduan yaitu promosi integrasi dan keterkaitan
regional, perluasan perdagangan, dan investasi antara Jepang dan kawasan Mekong,
sekaligus memperkuat komitmen utama untuk perluasan bantuan Jepang Official
Development Assistance (ODA), Jepang berjanji memberikan sebesar US$ 40 juta
untuk CLMV.115
Pada tahun 2008, pertemuan Menteri Luar Negeri Jepang dan negara CLMV
dan Thailand kembali diselenggarakan untuk pertama kalinya di Tokyo, dalam
112Hidetaka Yoshimatsu, “ The Mekong Region, Regional Integration”, h. 96 113Maya Shiraishi, “Japan Toward the Indochina Sub-Region”, h.16 114 Maya Shiraishi, “Japan Toward the Indochina Sub-Region”, h. 16 115Hidetaka Yoshimatsu, “ The Mekong Region, Regional Integration”, h.97
47
pertemuan ini Jepang berkomitmen untuk memberikan bantuan sebesar US$ 20 juta
untuk proyek logistik dan distribusi East-West Economic Corridor dan Second
East-West Economic Corridor in the Mekong region.116
Pertemuan para menteri tersebut juga mendukung 23 proyek spesifik untuk the
CLV Development Triangle, kemudian juga membahas isu-isu global terutama
yaitu isu keamanan terkait Korea Utara dan denuklirisasi, untuk menjaga
perdamaian dunia dan stabilitas Asia Timur dan Asia Pasifik, dan pihak Jepang
melalui pertemuan tersebut juga menyampaikan penghargaan kepada negara-
negara kawasan Mekong atas dukungan terus-menerus terhadap Jepang untuk
menjadi anggota tetap DK PBB. 117
7. Amerika Serikat –Mekong (Lower Mekong Initiative atau LMI)
LMI didirikan pada tahun 2009 yang merupakan kemitraan multinasional antara
negara-negara CLMV dan Amerika Serikat, dengan tujuan untuk menciptakan kerja
sama Subregional yang terintegrasi antara lima negara tersebut.118 LMI berfungsi
sebagai platform untuk mengatasi tantangan pembangunan dan kebijakan
transnasional yang kompleks di Subregional Sungai Bawah (Lower Basin).119 LMI
sekaligus menandai reengagement kerja sama AS di Asia Tenggara.120
116Hidetaka Yoshimatsu, “ The Mekong Region, Regional Integration”, h. 98 117Hidetaka Yoshimatsu, “ The Mekong Region, Regional Integration”, h.98 118“Lower Mekong Initiative”, tersedia di https://www.usaid.gov/vietnam/lower-mekong-
initiative-lmi diakses pada 17 November 2017, pukul 01.34 WIB 119“Lower Mekong Initiative” 120“ The US Lower Mekong Initiative”, tesedia di https://www.stimson.org/the-us-lower-
mekong-initiative diakses pada 21 November 2017 pukul 15.09 WIB.
48
Melalui LMI anggota kerja sama mengembangkan tanggapan bersama terhadap
tantangan lintas batas di sembilan pilar yaitu, pertanian dan ketahanan pangan,
konektivitas, pendidikan, kemanan, energi, lingkungan dan air, kesehatan, dan di
bidang lintas sektoral seperti isu gender.121Anggota LMI juga merupakan anggota
Friends of the Lower Mekong (FLM), yang merupakan sebuah platform pertemuan
penting tuntuk meningkatkan koordinasi dengan pendonor dalam bantuan program
pengembangan Subregional Lower Mekong, dan untuk mempromosikan dialog
mengenai kebijakan, koordinasi LMI menyintesis dan memperbaiki peluang akses
terhadap informasi untuk mengidentifikasi area tumpang tindih, jendela peluang,
dan potensi kolaborasi.122
FLM telah memasukan perwakilan negara-negara lain non-Lower Mekong
seperti Australia, Uni Eropa (UE), Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, ADB dan
Bank Dunia.123 Sedangkan Tiongkok menjadi satu-satunya negara DAS Mekong
yang tidak berpartisipasi dalam FLM tersebut.
8. Kerja sama Republic of Korea (ROK) –Mekong
Kerangka kerja sama antara Korea Selatan (ROK) dan Mekong telah terjalin
sejak tahun 2011. Tujuan dari kerja sama ini adalah upaya Korea Selatan untuk
berbagi pengalaman dan kebijakan pembangunan dengan kawasan Subregional
Mekong, karena Korea Selatan memiliki ambisi untuk berkonstribusi dalam usaha
internasional dan untuk mempersempit kesenjangan pembangunan tidak hanya
121Lower Mekong Initiative” 122“Lower Mekong Initiative” 123Apichai Sunchindah, “The Lancang-Mekong River Basin: Reflections”, h.4
49
dengan bantuan hibah dan bantuan kredit, tetapi juga dengan memanfaatkan the
Mekong-ROK Cooperation Fund yang didirikan pada tahun 2013.124
Kemitraan komprehensif untuk kemakmuran Korea Selatan–Mekong,
menekankan pada konektivitas pembangunan berkelanjutan, dan pembangunan
yang berorientasi pada Sumber Daya Manusia (SDM).125 Kerja sama ini membuat
Rencana Kerja sama Pembangunan atau Mekong-Korea Plan of Action (2014-2017)
yang memprioritaskan enam bidang yaitu, infrastruktur, teknologi informasi,
pertumbuhan hijau, pengembangan sumber daya air, pertanian, pembangunan
pedesaan, dan pengembangan.126
C. Kebijakan Tiongkok Terhadap Kawasan Subregional Mekong
Kebijakan Luar Negeri Tiongkok terhadap Subregional Mekong sebelum
menjadi inisiator kerja sama baru LMC pada tahun 2015, dapat dijelaskan melalui
tiga dimensi, yaitu dimensi domestik yang menjadi sumber bagi kepentingan
Tiongkok, kemudian peran dan posisi Tiongkok di kawasan Subregional Mekong
yang tergambar dari dinamika hubungan bilateral dan multilateral yang juga
mempengaruhi kebijakan Tiongkok.
124 Kang Hyo Sung, “Mekong-ROK Cooperation”, dimuat dalam Mekong Forum 2016
Sharing Responsibility For Common Prosperity, dipublikasi oleh Mekong Institute, (2016), h. 16
125 Chheang Vannarith, “The Mekong Region: From A Divided To A Connected Region”,
Konrad-adenauer-stiftung (KAS) Cambodia, 2016, tersedia di
http://www.kas.de/kambodscha/en/publications/48018/ diakses pada 21 November 2017, pukul
22.51 wib, h.4 126Chheang Vannarith, “The Mekong Region: From A Divided To A Connected”, h.4
50
1. Dimensi Domestik : Western China Development Strategy
Sungai Mekong dikenal di Tiongkok dengan nama Sungai Lancang, hulunya
terletak di kabupaten Zaduo, Prefektur Otonomi Yushi Tibet di Provinsi Qinghai,
barat laut Tiongkok merupakan daratan tinggi dengan ketinggian 5.200 m diatas
permukaan laut.127 Dengan panjang sungai yakni 4.909 km, 2198 km diantaranya
mengaliri wilayah Tiongkok dan 1247 km berada di Provinsi Yunnan.128 Provinsi
Yunnan merupakan wilayah terbarat Tiongkok yang berbatasan langsung dengan
negara-negara Asia Tenggara.
Sejak tahun 1985, pemerintah Tiongkok berupaya untuk mengembangkan
provinsi barat daratan Tiongkok termasuk Yunnan dengan strategi membuka
pembangunan perbatasan barat daya Tiongkok yang dilanda kemiskinan.129
Terdapat rencana ganda dalam pengembangan wilayah barat yaitu mengarahkan
sumber daya domestik ke daerah tersebut khususnya infrastruktur yang luas, dan
untuk menciptakan hubungan lintas batas dengaan negara-negara yang berbatasan
dengan Yunnan.130
Pada tahun 1999 program ekonomi untuk pengembangan wilayah barat dimulai.
Potensi yang cukup besar dimiliki oleh wilayah barat adalah listrik tenaga air
sungai, karena di wilayah tersebut terdapat sungai-sungai besar yaitu Nu, Mekong,
127 Zhu Zhenming, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation in the
Greater Mekong Subregion Cooperation”, Ritsumeikan International Affairs Vol.8, (2010), h. 2 128 Zhu Zhenming, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation”, h.2 129 Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic Interest in the Mekong
River Basin” tersedia di www.chathamhouse.org.uk , (2009), diakses pada 21 November 2017 pukul
15.01 WIB, h.3 130 Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic”, h.3
51
Jinsha dan Changjiang (Yangtze), menurut Chinese National Committee on Large
Dams (CHINCOLD) potensi listrik dari sungai-sungai tersebut diantaranya yaitu,
Yangtze 332 GW, Jinsha 586 GW, Nu 214 GW, dan Mekong 256 GW yang akan
terus dimaksimalkan dan dikembangkan hingga tahun 2020.131
Potensi yang sangat besar dihasilkan oleh sungai-sungai tersebut dapat
memenuhi kebutuhan akan energi bagi wilayah-wilayah terbarat Tiongkok untuk
mengangkat perekonomiannya. Kemudian dorongan untuk memenuhi kelangkaan
listrik di Tiongkok dan menstransformasikan listrik sebagai komoditas industri
untuk diekspor.132 Oleh karenanya, pembangunan dam yang masif tidak dapat
dihindari Tiongkok, setidaknya terdapat 13 rancangan proyek pembangunan dam
di Sungai Lancang (Mekong) dan Sungai Nu.133
Strategi selanjutnya untuk pengembangan wilayah terbarat Tiongkok, adalah
integrasi lintas batas. Tiongkok membutuhkan kerja sama internasional yang akan
menguntungkkan bagi program pembangunan tersebut. terutama wilayah Yunnan
yang berbatasan langsung dengan daratan Asia Tenggara, terdapat peluang sebagai
pasar ekspor bagi Tiongkok khususnya barang-barang manufaktur dari Provinsi
Yunnan, Guangxi, dan Sichuan.134
131 Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic”, h.5 132 Darrin Magee, “Yunnan Hydropower under Great Western Development”, The China
Quarterly No. 185, dipublikasi oleh Cambridge University Press on behalf of the School of Oriental
and AfricanStudies, (2006), h.24 133 Darrin Magee, “Yunnan Hydropower under Great Western Development”, h.24 134 Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic”, h.6
52
2. Dimensi Bilateral
Hubungan bilateral Tiongkok dengan negara-negara Asia Tenggara,
khususnya negara-negara Subregional Mekong dan Asia Tenggara pada umumnya,
mengalami permusuhan yang saling menguntuntungkan. Pada saat Perang Dingin,
hanya Myanmar (Burma) yang tidak memiliki ketegangan dengan Tiongkok.
Meskipun berdekatan secara geografis, negara-negara tersebut tidak memiliki
persepsi yang seragam terhadap Tiongkok.135 Masing-masing negara memiliki
urusan sendiri-sendiri dengan Tiongkok, mendapatkan keuntungan dan
menghadapi kesulitanya masing-masing.
Kamboja dan Laos, dua negara Subregional Mekong ini telah menjalin kerja
sama bilateral dengan Tiongkok, periode 1994-2006 Tiongkok telah berinvestasi
US$ 925 juta untuk pembangunan di Kamboja.136 Tiongkok telah mendominasi
investasi dan juga menjadi investor paling di terima oleh Kamboja dibandingkan
negara-negara lain.137 Demikian juga dengan Laos, Tiongkok juga berinvestasi di
Laos, terutama di salah satu sektor yang terpenting adalah investasi di sektor
PLTA.138
Kerja sama Tiongkok dengan Kamboja dan Laos, membantu pembangunan
insfrastruktur seperti jalan, jembatan dan sekolah, dan investasi lainya dalam
mengembangkan perekonomian kedua negara, memberi keuntungan bagi Tiongkok
135Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic”, h. 6 136 Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic”, h. 6 137 Sigfrido Burgos and Sophal Ear, “China's Strategic Interests in Cambodia: Influence
and Resources”, Asian Survey, Vol. 50, No. 3, dipublikasi oleh University of California Press,
(2010), h.625 138Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic”, h. 6
53
untuk menyediakan infrastruktur bagi ekspor-impor sumber daya alam ke Tiongkok
dan impor barang-barang manufaktur dari Tiongkok khususnya dari Yunnan,
Guangxi, dan Sichuan.139
Hubungan Myanmar dan Tiongkok sangat dekat dan terjalin sejak lama. Hal
ini disebabkan keduanya menghadapi kemarahan internasional selama periode
1989-1990 atas penindasan brutal yang dilakukan Tiongkok terhadap demonstrasi
Tiananmen dan Myanmar penindasan terhadap Liga Nasional untuk Demokrasi.
Kebijakan yang paling mencolok dari Myanmar dalam membantu Tiongkok adalah
mengizinkan akses militer Tiongkok ke Samudera Hindia, yang menjadi wilayah
sangat ketat di pantau oleh India, dan imbalanya Tiongkok menyediakan berbagai
bahan baku untuk Myanmar.140
Berbeda dengan negara-negara sebelumnya, hubungan politik dan ekonomi
Tiongkok dan Vietnam berjalan konfliktual. Selama 67 tahun hubungan diplomatik
keduanya, hanya memiliki hubungan normal pada tahun 1991, setelah permusuhan
yang terjadi sejak 1978 dimana pemerintah Vietnam menindas dan mengusir
banyak etnis Tionghoa dari Vietnam Selatan.141 Vietnam sangat kritis terhadap
Tiongkok dan berperan melawan kepentingan Tiongkok. Namun, kedekatan
geografis, ketergantungan ekonomi dan ditambah lagi dengan lingkungan strategis
regional yang berubah mengharuskan Vietnam menjaga hubungan yang damai
dengan Tiongkok. Sejak tahun 2013 Vietnam telah menjadikan Tiongkok sebagai
139Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic”, h. 7 140Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic”, h. 7 141 Murray Hiebert, “China & Southeast Asia Relations Testimony to USCC : China’s
Relations with Burma, Malaysia, and Vietnam”, dipublikasi oleh Center for Strategic and
International Studies”, (2015), h.2
54
mitra ideologis dan ekonomi namun, konflik Laut Tiongkok Selatan atau LTS
(klaim Vietnam atas Kepulauan Paracel), tetap menjadi hambatan terbesar dalam
hubungan keduanya.142
Hubungan Tiongkok dengan Thailand pun sangat penuh dinamika, sejak
penandatanganan pakta normalisasi diplomatik pada tahun 1975, Tiongkok dan
Thailand mengalami kemajuan dalam hubungan bilateral terutama dalam
mengahadapi isu Kamboja.143 Hubungan keduanya diperkuat ketika Tiongkok
menarik dukunganya terhadap gerakan komunis di Thailand, dengan begitu
ancaman dari dalam dan luar negeri Thailand terhapuskan.144 Tiongkok bukanlah
negara yang paling penting dan paling dekat bagi Thailand dalam hal pertahanan,
ekonomi ataupun pembangunan.145
3. Dimensi Regional dan Internasional
Kebangkitan Tiongkok dalam kapabilitas ekonomi dan militer, menjadi
keresahan global terutama negara-negara Asia. Keresahan tersebut tentunya akan
menghambat Tiongkok dalam mencapai kepentinganya. Tiongkok berpendapat
bahwa kebangkitanya akan menciptakan distribusi “win-win” atau saling
menguntungkan, oleh karenanya para scholars Tiongkok mengeluarkan teori
142 Murray Hiebert, “China & Southeast Asia Relations Testimony to, h.2 143 Yong Deng, “Sino –Thai Relations : From Strategic Co-opertaion to Economic
Diplomacy”, Contemporary Southeast Asia, Vol. 13, No. 4, di publikasi oleh ISEAS - Yusof Ishak
Institute, (1992), h.360 144 Sasiwan Chingchit, “The Curious Case of Thai-Chinese Relations: Best Friends
Forever?”, tersedia di https://asiafoundation.org/2016/03/30/the-curious-case-of-thai-chinese-
relations-best-friends-forever/ diakses pada 18 November 2017, pukul 22.11 WIB 145Sasiwan Chingchit, “The Curious Case of Thai-Chinese Relations”
55
kebangkitan Tiongkok sebagai “Peaceful Rise”, yang dimaksudkan bahwa
kebangkitan Tiongkok tidak akan agresif.146
Namun, evaluasi dari kebijakan Tiongkok terkait dengan kebangkitanya
secara damai, bertentangan dengan kebijakan yang dicerminkan Tiongkok terhadap
kawasan Subregional Mekong. Hal ini dapat dilihat dari kerja sama di kawasan,
yaitu setidaknya terdapat enam kerja sama multilateral dengan anggota yang
bervariasi, dimana Tiongkok hanya terlibat dalam satu kerja sama saja yaitu
GMS.147
Kerja sama tingkat regional lainya di kawasan Subregional Mekong, telah
ada sejak 1957, yaitu Mekong Agreement yang diprakarsai oleh PBB dan Amerika
Serikat, Tiongkok belum menjadi anggota PBB pada saat itu oleh karenanya
Tiongkok tidak ikut serta dalam kerja sama tersebut. Namun, pada tahun 1995,
setelah kerja sama Mekong Agreement diperbarui, Tiongkok diundang secara
eksplisit untuk bergabung, tapi Tiongkok hanya memilih menjadi mitra dialog
saja.148 Selama menjadi mitra dialog MRC hal yang paling signifikan Tiongkok
lakukan adalah pertukaran data hidrologi dengan negara hilir pada tahun 2002, yang
berguna bagi negara hilir untuk meramalkan aliran air, namun mereka tetap tidak
tahu sebab tingkat air menurun dan meningkat.149
Tiongkok memperlihatkan secara jelas bahwa pendekatan regulasi isu air
lintas batas di tingkat multilateral adalah hal yang dihindari Tiongkok. Dengan
146 Alex Liebman, “Trickle-down Hegemony? China's "Peaceful Rise", h.284 147 Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic, h. 9 148Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.105 149Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.109
56
begitu Tiongkok menggunakan strategi hulu, dimana Tiongkok juga melakukan
penolakan dalam perumusan konvensi PBB yaitu “Convention on the Law of the
Non-Navigational Use of International Watercourses” pada tahun 1998.150
Konvensi ini sangat mencerminkan perselisihan antara negara hulu dan hilir
terutama pada pasal 5 dan 7 dari konvensi tersebut, pasal 5 menekankan kedaulatan
nasional yaitu hak untuk memanfaatkan potensi sumber daya nasional, dan pasal 7
menekankan prinsip integritas nasional, yaitu hak untuk tidak terpengaruh secara
merugikan dalam potensi pembangunan dengan aktivitas negara hulu (mewajibkan
negara hulu untuk tidak menimbulkan kerugian yang berarti).
Selain itu, Tiongkok juga menarik perwakilanya di Komisi Dunia untuk
Bendungan (World Commission on Dams), sebuah badan internasional yang
ditugaskan untuk mengevaluasi peluang dan batasan bangunan bendungan besar.
Meskipun, Tiongkok merupakan negara terbanyak yang memiliki bendungan besar
yaitu 50% bendungan besar dunia, keputusan untuk menarik perwakilanya karena
kekhawatiran Tiongkok terhadap badan tersebut akan membahayakan pelaksanaan
pembangunan dam Tiga Ngarai (Three George Dams).151
Pembangunan dam adalah strategi nasional Tiongkok dalam meningkatkan
perekonomian terutama di wilayah Yunnan, sekaligus menjadi isu yang paling
dikritisi. Sejak 1993, proyek eksploitasi skala besar di Sungai Lancang/Mekong
telah dilaksanakan, ditandai dengan telah terselesaikannya dua dam dari delapan
150Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.102 151Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h. 102
57
stasiun PLTA yang dirancang untuk memaksimalkan hingga 60% aliran sungai.152
Dam-dam tersebut akan menghasilkan 15.000 MW listrik, jumlah ini setara dengan
80% potensi Dam Tiga Ngarai, potensi tersebut juga akan dimaksimalkan menjadi
komoditas ekspor terutama ke wilayah Laos dan Thailand.153
Tabel II. C.1 : Dam atau mega bendungan di Sungai Lancang Tiongkok
Elevation
(Matres above
sea level)
Storage
(Million
m2)
Power
(Megawatts)
Height
(m)
Status
Gongguoqiao 1,319 510 710 130 Design
Xiaowan 1,240 150 4,200 292 Under construction
(to be completed
2012-2017)
Manwan 994 9,2 1,500 126 Completed (1995)
Dachaoshan 899 8,9 1,350 110 Completed (2003)
Nuozhadu 812 227,4 3,500 254 Under construction
Jinghong 602 12,3 1,500 118 Design
Ganlanba 533 n.a 150 n.a Design
Mengsong 519 n.a 600 n.a Design
n.a : not available Sumber : Meinneken, 2007
Strategi hulu Tiongkok untuk terus maju dengan proyek pembangunan
bendunganya yang tentunya disebabkan oleh kemampuan untuk mengekspor
kerusakan kenegara-negara hilir, dengan kata lain Tiongkok tidak akan merasakan
dampak negatifnya sehingga, Tiongkok tidak terpengaruh oleh masalah human
security dan lingkungan akibat eksploitasi Sungai Mekong, karena dampak
negatifnya akan terekspor ke wilayah hilir.
Posisi sebagai negara hulu menguntungkan secara geografis, dimana
Tiongkok juga memiliki kendali penuh atas penggunaan air, selain itu Tiongkok
memiliki kapabilitas militer dan ekonomi yang jauh lebih kuat dari negara-negara
152 Evelyn Goh, “China in the Mekong River Basin”, h.2 153Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.106
58
hilir, yang menyebabkan kerja sama tidak dibutuhkan Tiongkok untuk mencapai
kepentinganya.154 Tiongkok juga beranggapan bahwa kerja sama dengan negara-
negara hilir hanya akan menghalangi Tiongkok untuk memanfaatkan Sungai
Mekong secara maksimal.
Kebijakan Tiongkok terhadap Subregional Mekong mencerminkan aktor
yang realis, dimana akan mengutamakan keuntungan pribadi sebesar-besarnya, dan
skeptis terhadap kerja sama.155 Posisinya yang kuat secara geopolitik, menyebabkan
Tiongkok mensyaratkan insentif untuk berkomitmen dalam sebuah kerangka kerja
sama dengan negara-negara hilir.156 Hal ini tercermin dari keikutsertaan Tiongkok
dengan kerjsama GMS yang diprakarsai oleh ADB. Forum kerja sama tersebut
sangat strategis bagi Tiongkok untuk mengurangi kemiskinan khususnya wilayah
barat dan sangat menunjang program ekonomi Tiongkok yaitu “develop the
west”.157
GMS yang merupakan dampak globalisasi dan ekonomi regional, telah
meluncurkan 100 proyek kerja sama sejak terbentuk pada 1992, yang mencakup
infrastruktur, sumber energi, perdagangan dan investasi, telekomunikasi,
lingkungan, pariwisata, pertanian dan pengembangan sumber daya alam.158
Tiongkok memperlihatkan posisi dan sikap yang sangat mendukung kerangka kerja
sama GMS tersebut, dan bersedia memperkuat kerja sama dengan negara lain untuk
pembangunan bersama. Hal ini disampaikan pada Konferensi Para Menteri dalam
154Alex Liebman, “Trickle-down Hegemony? China's "Peaceful Rise", h. 290 155Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.113 156Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.113 157 Oliver Hensengerth, “Money and Security : China”, h. 3 158Zhu Zhenming, “Mekong Development and China’s(Yunnan) Participation”, h. 2
59
rangka pertemuan GMS ke-6 yang diadakan di Kunming, Tiongkok menyatakan
pemerintah Tiongkok menekankan pentingnya kerja sama ekonomi dengan negara-
negara Subregional Mekong dan akan berpartisipasi secara positif.159
Partisipasi Tiongkok dalam GMS memiliki tujuan utama yaitu kerja sama
tersebut dapat menghubungkan jalur darat Tiongkok dengan semenanjung
Indocina, mewujudkan hubungan pasar antara Tiongkok khususnya wilayah barat
dan Asia Tenggara, memperkuat pertukaran dan membangun ikatan ekonomi,
mewujudkan pembangunan berkelanjutan, mendorong ekonomi dan teknologi,
multilevel, multiform, dan multiaspek.160 GMS juga sekaligus berfokus untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan, menghapus kemiskinan, menyediakan
kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan, mempromosikan kemajuan sosial
dan memperbaiki tingkat kehidupan masyarakat.
Tingginya insentif yang didapatkan Tiongkok dalam kerja sama GMS
sangatlah berdampak positif bagi pembangunan nasional Tiongkok, khususnya
Provinsi Yunnan dan Daerah Otonomi Guangxi Zhuang. Oleh karenanya,
memasukan Provinsi Yunnan dan Daerah Otonomi Guangxi Zhuang sebagai bagian
dari Tiongkok menjadi anggota kerangka kerja sama GMS tersebut adalah sangat
strategis bagi Tiongkok. Keterlibatan Daerah Otonomi Guangzi Zhuang, sempat
menjadi kritik karena bukanlah DAS Mekong. Hal ini sangat memperlihatkan
pengaruh Tiongkok yang semakin meningkat dalam kerja sama tersebut, sehingga
159Zhu Zhenming, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation”, h.5 160Zhu Zhenming, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation”, h.6
60
menyebabkan ketidak nyamanan lima anggota lainya.161 Namun, Tiongkok
mendapat dukungan dari Vietnam yang memiliki perbatasan nasional dengan
Guangzhi Zhuang.162
Terdapat empat alasan Tiongkok dalam menyertakan kedua wilayah
baratnya dalam kerja sama GMS yaitu : 163 pertama, Yunnan merupakan wilayah
aliran Sungai Mekong. Kedua, Provinsi Yunnan dan daerah otonomi Guangzi
Zhuang adalah wilayah barat yang tekurung daratan dan terbelakang sehingga perlu
membuka jalan menuju Asia Tenggara dan Asia Selatan, terutama sebagai sarana
transportasi yang menjadi kendala dalam pembangunan kedua wilayah tersebut.
Ketiga, keikutsertaan dalam GMS akan lebih mudah mengakses pasar internasional
dan memperkuat pertumbuhan ekonomi. Keempat, wilayah terbarat perlu
mempertahankan hubungan yang damai dan stabilitas di perbatasan barat daya
Tiongkok , dan Yunnan Khususnya memiliki perbatasan dengan tiga negara.
Dampak positif selanjutnya bagi geopolitik Tiongkok khususnya hubungan
dengan ASEAN yang semakin komprehensif. Pada tahun 1997, Presiden Jiang
Zemin dan para pemimpin ASEAN mendatangani Pernyataan Bersama (joint
statement) yang menunjukan bahwa Tiongkok dan ASEAN menganggap
pengembangan kemitraan akan membangun kebaikan dan rasa saling percaya
antara Tiongkok dan negara-negara anggota ASEAN sangat penting.164 Salah satu
upaya kemitraan dengan ASEAN, yaitu melalui pengembangan Sungai Mekong
161Hidetaka Yoshimatsu, “The Mekong Region, Regional Integration”, h.88 162Hidetaka Yoshimatsu, “The Mekong Region, Regional Integration”, h.89 163 Zhu Zhenming, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation”, h. 11 164Zhu Zhenming, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation”, h.5
61
secara bersama-sama antar negara DAS dengan mempromosikan kegiatan di bidang
perdagangan, pariwisata dan transportasi.165 Tiongkok menjadi partner dialog
ASEAN sejak tahun 1996 dan Tiongkok telah mendorong berbagai program
pembangunan dan integrasi ASEAN. Diantaranya IAI, BIMP-EAGA, dan
berpartisipasi dalam ACMECS.166
Namun, kerja sama Tiongkok dan ASEAN tersebut hanyalah kerja sama
retorik dan bukan subtantif.167 Berdasarkan pernyataan ketua KTT ASEAN-
Tiongkok kesembilan, dimana data pada proyek IAI menunjukan bahwa Tiongkok
menyumbangkan US$ 0,2 juta, hanya satu proyek untuk pengembangan proyek
jalur air CLMV. Hal ini menunjukann kontribusi sangat kecil dibandingkan dengan
sumbangan Jepang US$ 6,89 juta untuk 35 proyek, India senilai US$ 3,1 juta untuk
empat proyek, dan Korea Selatan senilai US$ 5 juta untuk lima proyek. Pada kerja
sama AMBDC pun, Tiongkok merupakan penerima manfaat paling besar dari
pengembangan program Singapore-Kunming Rail Link (SKRL) pada tahun 2002,
yang merupakan salah satu strategi Tiongkok dalam mengembangkan wilayah
barat.168
Sikap Tiongkok yang diperlihatkan selama ini di kawasan Subregional
Mekong cukup tidak kooperatif terutama terhadap isu air, hal ini diperngaruhi oleh
kepentingan nasional Tiongkok yang tinggi terhadap Sungai Mekong dan juga
dipengaruhi oleh situasi regional yang tidak kondusif untuk menekan Tiongkok.
165Zhu Zhenming, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation”, h. 5 166Hidetaka Yoshimatsu, “The Mekong Region, Regional Integration And Political”, h.88 167Hidetaka Yoshimatsu, “The Mekong Region, Regional Integration, And Political”, h. 88 168Hidetaka Yoshimatsu, “The Mekong Region, Regional Integration, And Political”, h.88
62
Namun, sikap Tiongkok yang tidak kooperatif mulai mengindikasikan perubahan
yang signifikan pasca Tiongkok menjadi insiator LMC pada tahun 2015. Kerangka
kerja sama LMC dan peran Tiongkok akan lebih dalam dijelaskan pada bab
selanjutnya.
63
BAB III
KERJA SAMA MULTILATERAL LANCANG-MEKONG
COOPERATION (LMC) TAHUN 2015
Bab ini menjelaskan kerja sama LMC yang merupakan kerja sama pertama
kali diinisiasi oleh Tiongkok di wilayah Subregional Mekong. Penjelasan dimulai
dengan memaparkan pembentukan kerja sama LMC, tujuan, kerangka kerja sama,
dan formasi anggota. Serta dalam bab ini juga dijelaskan peran dan posisi Tiongkok
dalam kerja sama LMC tersebut, dan respon negara-negara Subregional Mekong
terhadap kerja sama LMC. Tujuanya adalah untuk mengidentifikasi kerja sama
LMC sebagai kerja sama baru serta peran dan posisi Tiongkok di dalamnya, serta
reaksi negara-negara Subregional Mekong dengan adanya kerja sama ini.
A. Latar Belakang Pembentukan Kerja Sama Multilateral Lancang
Mekong Cooperation (LMC) Tahun 2015
Kerja sama LMC merupakan inisiatif kerangka kerja sama baru yang
dibentuk pada 12 November 2015. Kerangka kerja sama LMC pertama kali
diajukan oleh Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang satu tahun sebelumnya, pada
bulan 13 November 2014 pada KTT ASEAN-Tiongkok ke-17, yang diadakan di
Nay Pyu Taw, Myanmar.169 Pengajuan tersebut berasal dari usulan Thailand pada
Conference on Sustainable Development in the Lancang-Mekong subregion,
dengan tujuan untuk mempererat hubungan negara-negara Subregional Mekong
169 “Lancang – Mekong Cooperation: MRC welcomes the New Initiative for Regional
Cooperation by six countries in the Mekong River Basin”, (31 Maret 2016),
http://www.mrcmekong.org/news-and-events/news/lancang-mekong-cooperation-mrc-welcomes-
the-new-initiative-for-regional-cooperation-by-six-countries-in-the-mekong-river-basin/ diakses
pada 24 Oktober 2017, pukul 22.46 WIB
64
agar terbangunya sebuah komunitas di masa depan dengan terus mengeksplorasi
kemungkinan kerja sama untuk pembangunan berkelanjutan sehingga menciptakan
kedamaian dan kemakmuran bersama.170
Hal tersebut semakin memperlihatkan tumbuhnya kesadaran keenam negara
yaitu Tiongkok, Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar, atas
keterhubungan mereka dari segi geografis terutama sungai, kesamaan budaya,
persahabatan yang kuat, kepentingan keamanan dan pembangunan yang saling
terkait erat, mendorong pembentukan kerja sama strategis baik bilateral maupun
multilateral yang komprehensif, dalam upaya meningkatkan perdamaian, stabilitas
serta pembangunan kawasan dan dunia pada umumnya.171
Selain itu, Subregional Mekong mengakui adanya tugas bersama dalam
mengembangkan ekonomi dan memperbaiki taraf hidup masyarakat, dimana pada
saat yang sama menghadapi tantangan bersama yaitu, tren ekonomi global dan
regional yang terus mengalami penurunan, ancaman keamanan non-tradisional
seperti terorisme, bencana alam, perubahan iklim dan pandemik.172
Berangkat dari alasan-alasan tersebut yang kemudian menjadi visi dari
terbentuknya LMC. Melalui kerangka kerja sama tersebut, anggota LMC akan
berkonstribusi terhadap pembangunan ekonomi dan sosial di negara-negara
170Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC) Viewed in Light
of the Potential Regional Leader Theory”, Journal of Mekong Societies Vol.12 No.3, (2016), h. 55 171“Sanya Declaration of the First Lancang-Mekong Cooperation (LMC) Leaders'
Meeting--For a Community of Shared Future of Peace and Prosperity among Lancang-Mekong
Countries” tersedia di
http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjdt_665385/2649_665393/t1350039.shtml diakses pada 24
November 2017, pukul 15.22 WIB. 172“Sanya Declaration of the First Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”
65
Subregional Mekong, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempersempit
kesenjangan pembangunan dan mendukung pembangunan Komunitas ASEAN
serta mempromosikan pelaksanaan Agenda Pembangunan Berkelanjutan PBB
2030 dan memajukan “south-south cooperation”.173
Kemudian, setelah mendapatkan respon yang positif dari negara-negara
Mekong, maka diadakanlah Pertemuan Pejabat Tinggi dalam Lancang Mekong
Cooperation Dialogue yang pertama di Beijing pada tanggal 6 April 2015, yang
diketuai oleh Tiongkok dan Thailand. Pertemuan tersebut membahas Concept
Paper untuk menciptakan kerangka kerja, termasuk tujuan, arahan, dan bidang
prioritas, dalam pertemuan tersebut Menteri Luar Negeri Tiongkok Chang Wang
Yi mengajukan komunitas bersama, negara-negara Mekong harus berkomitmen
untuk membangun tiga komunitas, yaitu komunitas tanggung jawab bersama,
komunitas yang memiliki kepentingan bersama, dan komunitas pertukaran people-
to-people.174
Pada tanggal 21 Agustus 2015, diadakan Pertemuan Pejabat Tinggi LMC
kedua di Chiang Rai, Thailand, yang dipimpin oleh Tiongkok dan Thailand.
Pembahasan dalam pertemuan tersebut melanjutkan pembahasan Concept Paper
LMC, selain itu membahas Early Harvest Project (merupakan pengaturan
perdagangan bebas di bawah kerangka Tiongkok-ASEAN Free Trade Area yaitu
khususnya pengurangan tarif produk pertanian),175 pengaturan Pertemuan Menteri
173“Sanya Declaration of the First Lancang-Mekong Cooperation (LMC)” 174Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”, h. 56 175“Is the Early Harvest good for RP?” Tersedia di http://ph.china-
embassy.org/eng/sgdt/t171568.htm diakses pada 27 November 2017, pukul 08.21 WIB
66
Luar Negeri pertama, dan kemudian dalam kesempatan tersebut Wakil Menteri
Luar Negeri Tiongkok mengemukakan tiga poin proposal LMC, secara singkat
yaitu176 :
1. Untuk memperkuat rasa memiliki masyarakat, menjaga perdamaian dan
stabilitas jangka panjang di kawasan, mempromosikan pembangunan
berkelanjutan semua negara, mendukung terciptannya masyarakat ASEAN,
dan mendorong perkembangan hubugan Tiongkok-ASEAN.
2. Untuk meningkatkan keseluruhan desain dan perencanan jangka panjang,
membangun struktur kerja sama dan mekanisme lainya yang berlapis-lapis,
dan saat ini, terutama membahas kerja sama praktis
3. Mengikuti filosofi keterbukaan atau inklusif, dan untuk melengkapi,
mengkoordinasikan pembangunan, dan mengintensifkan pertukaran
pengalaman dengan mekanisme yang ada pada kerja sama Subregional
Proposal ini selanjutnya yang akan disahkan dalam Pertemuan Pertama
tingkat Menteri Luar Negeri LMC. Pertemuan tersebut meluncurkan kerangka
kerja sama LMC setelah satu tahun mempersiapkan, tepat pada 12 November 2015
di Jinghong, prefektur Xishuangbanna, Provinsi Yunnan, Tiongkok.177 Pertemuan
tersebut juga secara resmi mendukung Concept Paper LMC, yang dapat dijelaskan
secara ringkas dalam lima poin utama yaitu178:
1. Mengumumkan pembentukan resmi LMC
176Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”, h. 56 177 Lu Guangsheng, “China Seeks To Improve Mekong Subregional Cooperation Causes
and Policies”, Policy Report Rajaratnam School of International Studies, (2016), h.9 178Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”, h. 57
67
2. Mengadopsi Concept Paper LMC, yang menentukan tujuan, prinsip,
mekanisme kerangka kerja dan bidang kerja sama utama
3. Setuju untuk melaksanakan Early Harvest Project LMC sesegera
mungkin sehingga proyek dapat memberikan manfaat bagi masyarakat
di Subregional
4. Setuju untuk membangun struktur LMC multi-layer dan mengadakan
Pertemuan Pemimpin LMC Pertama tahun 2016 pada waktu yang tepat
yang disetujui oleh negara-negara LMC
5. Menerbitkan press communiqué gabungan dari Pertemuan Menteri Luar
Negeri LMC Pertama, yang menunjukkan konsensus dan hasil yang
dicapai dalam pertemuan tersebut
Selain itu, dalam pertemuan tersebut juga disampaikan, LMC akan
mematuhi semangat keterbukaan atau inklusif dan saling melengkapi, serta bekerja
bersamaan dengan kerangka kerja Subregional lainnya seperti Program GMS,
AMBDC dan MRC untuk bersama-sama mempromosikan proses integrasi
regional.179 Selain itu, Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi, juga
menyampaikan mekanisme kerja sama baru tersebut akan mencakup lima bidang
prioritas, interconnectivity, kapasitas produksi, ekonomi lintas batas, sumber daya
air, dan kerja sama dalam pertanian, dan pengentasan kemiskinan.180
Pertemuan kerja sama LMC selanjutnya, merupakan pertemuan pertama
para Pemimpin dari keenam negara anggota di Sanya, Tiongkok pada 31 Maret
179“Lancang – Mekong Cooperation: MRC welcomes the New Initiative for “ 180 “Lancang – Mekong Cooperation: MRC welcomes the New Initiative for”
68
2016, yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Tiongkok Li Keqiang dan Perdana
Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, dengan tema "Shared River, Shared
Future."181 Para pemimpin tersebut membuat kesepakatan “Sanya Declaration”
untuk memperkuat dialog dan kerja sama regional di tiga bidang utama yaitu
politik, keamanan, pembangunan ekonomi, pembangunan berkelanjutan, dan
pertukaran sosial-budaya .182
Gambar. III.A.1 Pertemuan Pertama Pimpinan Negara Anggota LMC, pada
23 Maret 2016 di Sanya, Tiongkok
Hal ini merupakan, inovasi dan kelebihan yang dimiliki oleh LMC
dibandingkan dengan platform kerja sama lainya yang ada di Subregional Mekong.
Prinsip-prinsip yang tercermin dalam LMC menghubungkan dengan tiga pilar
Komunitas ASEAN, hal ini menjadi peluang penting untuk mendapatkan manfaat
181Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”, h. 58 182“Lancang – Mekong Cooperation: MRC welcomes the New Initiative for”
69
bersama dengan mempromosikan kolaborasi dan aksi bersama.183 Selain itu, dalam
pertemuan tersebut Tiongkok juga berencana memberikan pinjaman lunak sebesar
10 miliar yuan dan batas kredit hingga US$ 10 miliar untuk mendanai insfrastruktur
dan memperbaiki konektivitas negara-negara di sepanjang Sungai Lancang-
Mekong.184
B. Mekanisme Lancang Mekong Cooperation (LMC)
Adapun kerja sama LMC memiliki prinsip-prinsip diantaranya konsensus,
kesetaraan, konsultasi bersama dan koordinasi, volunterisme, konstribusi bersama
dan keuntungan bersama, penghormatan terhadap Piagam PBB dan Undang-
undang internasional.185 Berbagi pandagan dalam LMC akan dilakukan dalam
kerangka kerja sama multilevel termasuk pertemuan pemimpin, pertemuan menteri
luar negeri, pertemuan pejabat senior, dan pertemuan kelompok kerja departemen
terkait dan wajib melakukan pertemuan sekali dalam dua tahun.186
Tindakan negara-negara diatur dalam kerangka kerja sama LMC tercermin
dari hasil kesepakatan LMC yaitu “Sanya Declaration” yang memiliki 26 poin
kesepakatan yang mengacakup bidang politik, keamanan, sosio-ekonomi,
keuangan, lingkungan, teknis, dan budaya. Diantara 26 poin tersebut terdapat
183 Lu Guangsheng, “China Seeks To Improve Mekong Subregional”, h.9 184Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”, h. 58 185“Lancang-Mekong Cooperation Mechanism”, tersedia di
http://www.chinaaseanenv.org/lmecc/strategy_and_mechanism/cooperation_mechanism/201711/t
20171107_425953.html diakses pada 21 November 2017, pada pukul 15.37 WIB. 186 “Lancang-Mekong Cooperation Mechanism”
70
tindakan yang unik dari LMC dan merupakan inovasi baru bagi kerja sama yang
pernah ada di Subergional Mekong, yaitu :187
1. Mendukung dan memfasilitasi pembentukan lembaga kerja sama
penegakan hukum dan semacamnya.
2. Meningkatkan kerja sama melawan ancaman keamanan non-tradisional,
seperti terorisme, kejahatan transnasional, dan bencana alam, serta
mempromosikan kerja sama dalam menangani dampak perubahan iklim dan
bantuan kemanusian, memastikan kemanan makanan, air, dan keamanan
energi.
3. Memajukan kemitraan strategis Tiongkok-ASEAN, dan memperkuat kerja
sama dibawah kerangka ASEAN + 3, KTT Asia Timur, ASEAN Regional
Forum, dan mekanisme kerja sama regional lainya.
4. Menekankan pentingnya pasar keuangan yang stabil dan keuangan yang
baik dari struktur, pengawasan, peraturan keuangan, penggunaan swap mata
uang bilateral, settlement mata uang lokal, dan kerja sama antar lembaga
keuangan.
C. Peran Tiongkok dalam Lancang Mekong Cooperation (LMC)
187Tuyet L. CosslettPatrick D. Cosslett, “Sustainable Development of Rice and Water
Resources in Mainland Southeast Asia and Mekong River Basin”, dipublikasi oleh Singapore:
Springer, 2017, h. 137
71
Tiongkok memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk kerja sama
LMC tahun 2015 yaitu sebagai inisiator. Sebelumnya, klaim kepemilikan inisiatif
tersebut memperlihatkan persaingan antara Tiongkok dan Thailand.188 Thailand
merupakan inisiator asli dari kerja sama LMC, namun hal ini disangkal oleh
Tiongkok, karena Tiongkok yang membuat LMC menjadi nyata dan secara terbuka
mengklaim atas kepemilikan insiatif, dan Thailand hampir tidak menentang,
Thailand mengakui kerja sama LMC diprakarsai oleh Thailand dan disahkan oleh
Tiongkok.189
Tiongkok sebagai negara hulu dan negara paling kuat, tidak segan untuk
menandatangani kerja sama air, perjanjian air, dan mendirikan organisasi wilayah
aliran sungai. Dengan begitu, Tiongkok semakin memperlihatkan keseriusan dan
komitmennya dalam kerja sama LMC terutama dalam isu air yang menjadi suatu
hal yang mengganjal dalam hubungan Tiongkok dengan negara-negara Subregional
Mekong sebelumnya. Komitmen Tiongkok tersebut memperlihatkan bahwa LMC
merupakan strategi diplomasi Tiongkok dalam membangun kepercayaan negara-
negara Subregional Mekong terhadap Tiongkok.
Negara-negara Subregional Mekong sangat menyambut posistif terhadap
komitmen Tiongkok tersebut. Hal ini disampaikan Trinh Le Nguyen, direktur
eksekutif People and Nature Reconciliation, merupakan sebuah organisasi nirlaba
dari Vietnam, yang mana ia melihat sikap pro-aktif Tiongkok melalui LMC dapat
mendorong adanya forum diskusi lebih luas mengenai pembagian keuntungan,
188Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”, h. 55 189Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”, h. 55
72
pengelolaan bersama, dan pemerintahan bersama air Sungai Mekong, dan
penggunaan air yang setara di kawasan tersebut.190
Respon positif, juga ditunjukan Kamboja melalui Menteri Luar Negerinya
yang menyampaikan, bahwa melalui lima bidang prioritas dalam kerja sama LMC
dan sinergisitas bersama ASEAN, akan memberikan keuntungan bagi Kamboja,
karena mekanisme kerja sama LMC akan membantu Kamboja meningkatkan
pembangunan ekonomi dan sosial, mendukung Kebijakan Pembangunan Industri
Kamboja 2015-2025, meningkatkan konektivitas, kapasitas produksi, kerja sama
ekonomi lintas sektoral, sumber daya air, pertanian, pengurangan kemiskinan, dan
membantu dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.191
Sambutan positif dari negara-negara Subregional Mekong dan harapan yang
besar terhadap peran Tiongkok, semakin meyakinkan Tiongkok untuk leluasa
dalam mengembangkan kerangka kerja LMC yang semakin komprehensif tanpa
adanya pertentangan dari negara-negara anggota. Terbukti sejak pertemuan-
pertemuan dari awal pembentukan dan setelah diluncurkannya kerja sama LMC,
Tiongkok menjadi negara yang sangat aktif, ditandai dengan pengajuan proposal
mekanisme kerja sama yang kemudian disepakati oleh negara-negara anggota dan
menjadi perjanjian bersama dalam kerangka LMC yaitu “Sanya Declaration”.
190Zhang Jianfeng,“China to play vital role in development of Lancang-Mekong
cooperation framework: Vietnamese expert”, tersedia di http://english.cntv.cn/2016/03/15/
ARTIGyawPwCe8mQa71TvPsp2160315.shtml diakses pada 27 November 2017 pukul 23.48 WIB 191 Xinhua, “LancangMekong Cooperation vital to regional stability, boosting economic
development: Cambodia”, tersedia di
http://www.chinadaily.com.cn/bizchina/201603/19/content_23964710.htm, diakses pada 28
November 2017, pukul 02.00 WIB
73
Dalam “Sanya Declaration”, poin ke-14 negara-negara anggota sepakat
“mendukung operasi AIIB yang efisien sebagai anggota AIIB dan mencari
dukungan dari AIIB dalam mengatasi kesenjangan pembiayaan dalam
pembangunan infrastruktur”.192 Secara impilisit, melalui poin tersebut, Tiongkok
yang merupakan pendonor utama dalam AIIB (Asian Infrastructure Investment
Bank), ingin memberikan lebih banyak dukungan finansial dan teknis untuk
mendorong pembangunan ekonomi dan sosial negara-negara Subregional
Mekong.193 Tidak hanya melalui AIIB, Tiongkok juga berinvestasi di kawasan
Subregional Mekong melalui Silk Road Fund, seperti yang disampaikan Chen
Fengying, seorang peneliti senior dari China Institute of Contemporary
International Relations, LMC membuka peluang kerja sama antara lembaga
pembangunan multilateral lainya termasuk dua lembaga seperti AIIB dan Silk Road
Fund yang pendukung atau pendonor utamanya adalah Tiongkok.194
Hal ini menjadikan Tiongkok sebagai investor terbesar dalam kerja sama
LMC melalui AIIB dan Silk Road Fund. Meskipun, Tiongkok merupakan
pendatang yang relatif baru di kawasan Subregional Mekong namun, hal tersebut
memperlihatkan Tiongkok telah memainkan peran yang lebih aktif dan
komprehensif yaitu memproyeksikan inisiatif, agenda, dan kekuasaan pembuat
peraturan dalam LMC.195 Selain itu, Tiongkok semakin memperlihatkan peran
192 “Sanya Declaration of the First Lancang-Mekong Cooperation (LMC)” 193 Lu Guangsheng, “China Seeks To Improve Mekong Subregional”, h.8 194 Huaxia, “China Focus: China says Lancang-Mekong Cooperation to bridge
development gaps within ASEAN”, tersedia di http://news.xinhuanet.com/english/2016-
03/17/c_135198837.htm diakses pada 28 November 2017, pukul 00.51 WIB. 195Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”, h. 60
74
penting lainya yaitu, menjadi donatur utama dalam mendukung kerangka kerja
sama LMC tersebut melalui AIIB dan Silk Road Fund.
Adapun peran-peran Tiongkok yang dicerminkannya melalui LMC
memberikan indikasi perubahan yang drastis dari sikap Tiongkok terhadap kawasan
Subregional Mekong yang sangat tidak kooperatif sebelumnya, hingga memainkan
peran yang sangat penting pada kerja sama LMC yaitu sebagai inisiator dan juga
donatur utama. Perubahan tersebut juga memperlihatkan bahwa isu air dalam kerja
sama di kawasan, tidak lagi menjadi hal yang dihindari Tiongkok. Perubahan-
perubahan sikap dan pandangan Tiongkok terhadap Subregional Mekong, tentu
terjadi tanpa alasan. Adapun alasan-alasan dan tujuan Tiongkok meningkatkan
performanya dan membangun eksistensi yang positif di kawasan Subregional
Mekong akan dibahas dalam bab selanjutnya.
75
BAB IV
ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK DALAM MENGINISIASI KERJA
SAMA LANCANG-MEKONG COOPERATION (LMC) TAHUN 2015
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan peran Tiongkok dalam kerja sama
LMC yaitu sebagai inisiator, hal ini menunjukan perubahan sikap Tiongkok
terhadap negara-negara Subregional Mekong yang sebelumnya cukup tidak
kooperatif. Anomali tersebut menjadi alasan yang mendasari perlunya dilakukan
analisis sebagai upaya untuk menemukan latar belakang dan alasan-alasan yang
menjadi dasar perumusan kebijakan Tiongkok tersebut.
Sebelum melakukan analisis alasan Tiongkok menginisiasi kerja sama LMC
pada tahun 2015, perlu digaris bawahi, bahwa secara eksplisit kebijakan Tiongkok
membentuk LMC adalah terkait proyek ‘One Belt One Road’ (OBOR) yang
sebelumnya dikenal sebagai ‘Belt and Road Iniative’ dan pengoptimalan peran
AIIB, hal ini tercantum dalam Sanya Declaration sebagai kesepakatan bersama
dalam kerja sama LMC pada poin 6. Fakta ini menyebabkan dalam berbagai
literatur menyebutkan kepentingan Tiongkok dalam LMC terkait dengan proyek
OBOR dan AIIB.
OBOR merupakan kumpulan transaksi perdagangan dan proyek
infrastrukur antar wilayah Eurasia dan Pasifik.196 Merupakan salah satu kebijakan
luar negeri pemerintahan Presiden Xi Jinping pada tahun 2013, dengan visi sebagai
196 James Griffiths,”Just what is this One Belt, One Road thing anyway?” dipublikasi oleh
CNN, (12 Mei 2017), tersedia di http://edition.cnn.com/2017/05/11/asia/china-one-belt-one-road-
explainer/index.html diakses pada 27 Desember 2017 pukul 23.00 WIB.
76
program pembangunan insfrastruktur menghubungkan daerah perbatasan Tiongkok
yang kurang berkembang dengan negara-negara tetangga,197 dan adanya over-
produksi dalam bidang industri dalam negeri.198 OBOR terdiri dari dua rencana
utama yaitu pertama, menghubungkan daerah pedalaman Tiongkok yang
terbelakang menuju Eropa melalui Asia Tengah, kedua, membangun 21st Century
Maritime Silk Road yang menghubungkan wilayah Asia Tenggara yang bekembang
pesat ke provinsi-provinsi Selatan dan Barat Tiongkok melalui pelabuhan dan jalur
kereta api.199
Namun, dalam analisis penelitian ini melihat bahwa alasan Tiongkok yang
utama dalam membentuk LMC bukanlah terkait proyek OBOR dan peningkatan
peran AIIB. Hal ini dibuktikan dengan membandingkan LMC dan kerja sama
sebelumnya yang diikuti Tiongkok secara substansial yaitu GMS. Pada bab
sebelumnya telah dijelaskan terdapat berbagai kerja sama yang telah terbentuk di
kawasan Subregional Mekong sejak tahun 1957. Tiongkok hanya mengikuti salah
satu di antara kerja sama tersebut yaitu GMS pada tahun 1992. GMS kerja sama
yang berdiri atas inisiasi dan bantuan ADB dan merupakan kerja sama yang
bertujuan untuk menghadapi globalisasi dan integrasi ekonomi regional.200 Sejak
197 Peter Cai, “Undestanding China’s Belt and Road Initiative”, dipublikasi oleh Lowy
Institute for International Policy, (Maret 2017), tersedia di
https://www.lowyinstitute.org/sites/default/files/documents/Understanding%20China%E2%80%9
9s%20Belt%20and%20Road%20Initiative_WEB_1.pdf diakses pada 17 Desember 2017, pukul
12.22 WIB, h.1. 198 James Griffiths,”Just what is this One Belt, One Road thing anyway?” 199 Peter Cai, “Undestanding China’s Belt and Road Initiative”, h.2. 200 Zhenming Zhu, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation in the
Greater Mekong Subregion Cooperation”, Ritsmueikan International Affairs Vol.8 (2010),
dipublikasi oleh Institute of International Relations and Area Studies Ritsumeikan University, h. 4
77
berdiri GMS telah meluncurkan sekitar 100 proyek kerja sama yang mencakup
berbagai bidang.201
Program prioritas utama GMS diantaranya bidang transportasi, energi,
telekomunikasi, lingkungan, pengembangan sumber daya manusia, pariwisata,
perdagangan, investasi, dan pertanian.202 Sedangkan, lima bidang prioritas utama
LMC yaitu konektivitas, kapasitas produksi, kerja sama ekonomi lintas batas,
sumber daya air, pertanian dan pengurangan kemiskinan.203
Terdapat beberapa kesamaan bidang prioritas yaitu salah satunya
konektivitas atau keterhubungan yang relevan dengan proyek OBOR, juga terdapat
dalam bidang prioritas GMS yaitu transportasi melaui pengembangan insfrastruktur
untuk meningkatkan konektivitas antar negara, dan telah mencapai kemajuan yang
substansial baik yang telah selesai maupun yang sedang telaksana, diantaranya
yaitu peningkatan jalan raya Phnom Penh di Kamboja menuju Ho Chi Minh City di
Vietnam, dan Koridor Ekonomi Timur-Barat yang pada akhirnya akan terbentang
dari Laut Andaman ke Da Nang,204 yaitu Mawlamyine Myanmar di Barat dan
201 Zhenming Zhu, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation”, h.4 202“Overview of the Greater Mekong Subregion” tersedia di
https://www.adb.org/countries/gms/overview diakses pada 16 November 2017, pukul 17.14 wib 203 “Sanya Declaration of the First Lancang-Mekong Cooperation (LMC) Leaders'
Meeting --For a Community of Shared Future of Peace and Prosperity among Lancang-Mekong
Countries” terdapat di
http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjdt_665385/2649_665393/t1350039.shtml diakses pada 04
Januari 2018, pukul 23.36 WIB. 204 “Overview of the Greater Mekong Subregion”
78
pelabuhan Da Nang, di Vietnam Timur, serta koridor ekonomi Utara-Selatan yang
menghubungkan Tiongkok di Utara dan Bangkok di Selatan205.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa, jika OBOR menjadi
alasan utama Tiongkok membentuk LMC, tentu hal ini sangat tidak rasional, sangat
besar cost untuk membangun sebuah kerja sama yang baru dan tentu sangat tidak
efisien, dan menyebabkan overlapping, karena sesuai dengan teori rasionalis,
sejatinya Tiongkok telah dapat memenuhi kepentingan terkait OBOR melalui kerja
sama GMS.206 Berangkat dari hal tersebut, alasan terkait OBOR dan AIIB tidak
relevan sebagai alasan utama dalam kebijakan Tiongkok menginisasi LMC,
melainkan melihat OBOR dan AIIB sebagai strategi dalam mencapai kepentingan
yang lebih besar.
Berangkat dari dasar tersebut penelitian ini melihat alasan Tiongkok dalam
membentuk LMC di latar belakangi oleh faktor non-material atau ideational factor
dalam pandangan konstruktivis yaitu konsep identitas, serta konsep geopolitik, dan
konsep kepentingan nasional. Hasil analisis dari penelitian ini, tentunya akan
menjadi jawaban atas pertanyaan dalam penelitian ini.
A. Logika Identitas Sosial Tiongkok
Konstruktivis sangat menekankan pentingnya konsep identitas dalam
menjelaskan struktur internasional. Dalam pandangan konstruktivis struktur
205Khanisa Krisman dan Sandy Raharjo, “China Challenging Subregionalism in Southeast
Asia”, tersedia di http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/politik-internasional/1081-china-
challenging-Subregionalism-in-southeast-asia diakses pada 14 Januari 2018, pukup 16.03 wib. 206 Hasil wawancara dengan Sandy Nur Ikfal Raharjo
79
internasional adalah konstruksi sosial akibat adanya interaksi sosial dan terjadinya
pemahaman bersama (shared meaning), melalui faktor ideasional seperti aturan,
norma, prinsip kepercayaan, pengetahuan bersama, praktik dan juga unsur
material.207 Interaksi sosial telah menciptakan struktur yang kompetitif terutama di
kawasan Subregional Mekong, ditandai dengan berbagai kerja sama yang hadir atas
dorongan negara-negara asing yang bukan merupakan bagian dari kawasan dan
juga merupakan musuh tradisional Tiongkok yaitu Jepang dan AS, serta aliansi
Barat lainya. Faktor ideasional dalam interaksi tersebut telah mempengaruhi
Tiongkok untuk bertindak sesuai logika identitas sosialnya.
Melalui interaksi sosial yang terjadi di dalam struktur internasional akan
timbul pemahaman dan harapan spesifik dari peran tentang diri aktor dan definisi
diri dalam kaitanya dengan yang aktor lain (other) yang merupakan faktor eksternal
pembentuk identitas.208 Selain itu, identitas nasional adalah identitas kolektif,
sebuah negara yang merupakan kumpulan dari beberapa identitas kelompok
maupun individu yang mendefinisikan dan dibentuk oleh faktor internalnya, dan
kombinasi dari faktor eksternal dan juga faktor internalnya dapat disimpulkan
sebagai identitas nasional.209
Identitas nasional yang dimiliki Tiongkok tentu beragam, sebagaimana
yang telah dijelaskan bahwa identitas sangat dinamis, bukan sesuatu yang berdiri
207Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, “Internasional Relations Theory 5th Edition”, (New
York: Pearson Education, Inc), 2012, h. 284 208 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, “Internasional Relations Theory 5th ”, h. 287 209 Rex Li, “China’s Sea Power Aspirations and Strategic Behaviour in the South China
Sea from the Theoretical Perspective of Identity”, dimuat dalam Enrico Fels dan Truong-Minh Vu,
“Power Politics in Asia’s Contested Waters Territorial Disputes in the South China Sea
Construction”, (Switzerland : Springer Internasional Publishin), 2006, h. 119
80
sendiri, dan identitas aktor dapat berubah seiring waktu dan lintas konteks, identitas
diproduksi melalui interaksi sosial dengan aktor lain, dan lebih dari sekedar
kepentingan.210 Alexander Wendt menggambarkan bahwa tanpa identitas
kepentingan tidak memiliki kekuatan motivasional dan tanpa kepentingan identitas
tidak memiliki arah.211
Adapun dalam skripsi ini analisa terhadap latar belakang kebijakan
Tiongkok menginisiasi kerja sama LMC pada tahun 2015 layak untuk dilihat dari
sudut pandang konstruktivis disebabkan oleh logika identitas Tiongkok memahami
peranannya dalam struktur internasional di kawasan Subregional Mekong.
Berdasarkan pandangan Flockhart bahwa kategori kebijakan Tiongkok tersebut
merupakan kebijakan yang merubah status quo, yang mengindikasikan adanya
perubahan terhadap identitas Tiongkok. Hal ini disebabkan oleh peningkatan
kapasitas Tiongkok yang telah memproduksi identitas sosial baru, yaitu sebagai
‘rising power’ dan ‘regional power’, yang turut merubah pemahaman Tiongkok
terhadap dirinya dan apa yang diinginkanya dalam struktur internasional yang ada.
1. Tiongkok sebagai ‘The Rising Power’
Tiongkok telah mengalami transformasi yang komprehensif sejak tahun
1970 yang diperkenalkan oleh Deng Xiaoping dengan melakukan reformasi
ekonomi dan politik. Dalam kurun waktu yang sangat cepat ekonomi Tiongkok
telah berhasil menduduki posisi kedua terbesar di dunia pada tahun 2010 menurut
IMF, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai US$ 10. 380 miliar dengan
210Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, “Internasional Relations Theory 5th”, h. 287 211Rex Li, “China’s Sea Power Aspirations and Strategic Behaviour in the South”, h. 119
81
PDB AS di tahun yang sama mencapai US$ 17.418 miliar.212 Mencakup 15 persen
pertumbuhan global pada tahun 2014, tidak hanya itu Tiongkok saat ini menjadi
negara pemegang devisa terbesar di dunia (US$ 3,7 triliun), terbesar konsumen
energi, memiliki tingkat pertumbuhan tahunan tertinggi di dunia selama tiga
dekade yaitu 8,4 persen.213 Memiliki anggaran militer terbesar kedua di dunia dan
anggaran keamanan internal terbesar, pada tahun 2015, Tiongkok memiliki
anggaran militer mencapai US$ 145,8 miliar peringkat kedua dengan posisi pertama
yaitu AS mencapai US$ 597,5 miliar.214
Transformasi komprehensif yang dilakukan Tiongkok, turut mengubah
pandanganya terhadap dunia, dan Tiongkok tidak lagi memandang dirinya sebagai
negara dunia ketiga melainkan the rising power dengan peningkatan signifikan baik
secara ekonomi dan militer. Hal tersebut merupakan dorongan dari kepemimpinan
China Communist Party (CCP), yang melihat kekuatan ekonomi yang kuat akan
mendukung kekuatan militernya, selanjutnya akan menjadi penentu penting bagi
status Tiongkok dalam politik internasional.215
Setelah menjalani keterisolasian dari masyarakat internasional selama 40
tahun, dalam masa kepemimpinan Mao Zedong, menjadi catatan kelam karena
membuat Tiongkok tidak makmur dan terpuruk secara ekonomi. Oleh karena itu,
setelah Mao Zedong meninggal dunia dan diambil alih oleh kepemimpinan Deng
212 Paul SN Lee, “The rise of China and its contest for discursive power”, Global Media
and China 2016, Vol. 1(1–2) 102-120, dipublikasi oleh SAGE Publication, 2016, h. 102 213 David Sambaugh, “The Complexities of a Rising China”, dimuat dalam David
Shambaugh, “The China Reader Rising Power Sixth Edition”, United Kingdom: Oxford University
Press, 2016, h. 2 214 Paul SN Lee, “The rise of China and its contest for discursive power”,h. 102 215 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h.93
82
Xiaoping, Tiongkok mengubah arah kebijakan yaitu reformasi dan keterbukaan
sebagai hasil dari keputusan Third Plenum of the Eleventh Central Committee of
the Chinese Communist. Kertebukaan Tiongkok sangat penting dalam membuka
peluang bagi peningkatan ekonomi yang stabil, yang juga akan berdampak pada
peningkatan di bidang lain yaitu militer dan politik.
Seiring dengan peningkatan kapabilitas ekonomi dan politik, di bidang
diplomasi Tiongkok juga ikut meningkat. Tercatat hingga 2015, Tiongkok sedang
menjalani hubungan diplomatik dengan 175 negara, menjadi anggota 150
organisasi internasional, dan menjalani 300 perjanjian multilateral.216 Menerima
sejumlah besar pejabat asing yang berkunjung setiap tahun, dan pemimpin
Tiongkok rutin berkeliling dunia dalam agenda diplomasi, menjadi anggota tetap
DK PBB dan peserta dalam semua pertemuan besar internasional, meskipun masih
seringkali pendiam akibat pengaruh diplomatiknya yang masih terbatas.217
Meski pada awal topik kebangkitan Tiongkok menghadapi kesulitan,
sebagian pejabat sangat berhati-hati dalam membicarakan hal tersebut, karena
pemerintah tidak ingin dunia melihat kebangkitanya sebagai ancaman, namun sejak
kepemimpinan Hu Jiantao pada tahun 2002, kebangkitan Tiongkok bukan lagi
menjadi sesuatu yang disembunyikan dan kepercayaan diri Tiongkok pun terus
meningkat. Hu Jiantao telah memasukan agenda mempromosikan Tiongkok ke
dunia internasional, kesadaran akan kekuatanya yang meningkat menjadi
pembahasan pada kongres CCP ke-17 pada tahun 2007, yang menekankan
216 David Sambaugh, “The Complexities of a Rising China”, h. 2 217 David Sambaugh, “The Complexities of a Rising China”, h. 2
83
pentingnya strategi “soft-power” yaitu penekanan budaya sebagai sebuah “source
of national cohesion and creativity and a factor of growing significance in the
competition in overall national strength” untuk meredakan kekhawatiran
tetangganya dan Barat atas kebangkitan Tiongkok (the rising power) dengan
berkonstribusi pada lingkungan eksternal yang ramah terhadap pembangunan
ekonomi dan pemerintahannya.218
Hal tersebut mengindikasikan keadaan psikologis negara yang semakin
memiliki ambisi dalam mewujudkan impian, termasuk pemimpin Tiongkok
selanjutnya yaitu, Presiden Xi Jinping yang telah memproklamirkan “China’s
Dream” (rejuvenation).219 China’s Dream mencakup empat hal yaitu,220 pertama,
meningkatkan kekuatan Tiongkok dalam bidang ekonomi, politik, diplomatik, ilmu
pengetahuan, dan militer. Kedua, meningkatkan peradaban Tiongkok yang
mencakup kesetaraan dan keadilan, kekayaan budaya, dan bermoral tinggi. Ketiga,
keharmonisan Tiongkok yaitu persahabatan antar kelas sosial. Keempat, keindahan
Tiongkok dari kualitas lingkungan yang sehat dan rendah polusi.
Ambisi untuk memperkuat dan kembali membangun Tiongkok menjadi
sebuah kekuatan besar salah satunya tergambar melalui pidato pertama Presiden
Xi Jinping ketika menjabat sebagai umum CCP pada November tahun 2012,
“Our responsibility is to united and lead people of the entire party and of all
ethnic groups around the country while accepting the baton of history and
218 Paul SN Lee, “The rise of China and its contest for discursive power”, Global Media
and China 2016, Vol. 1(1–2) 102-120, dipublikasi oleh SAGE Publication, 2016, h. 104 219 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 90 220 Lidya C. Sinaga, “China's Assertive Foreign Policy in South China Sea Under Xi
Jinping: Its Impact on United States and Australian Foreign Policy”, dimuat dalam Journal of
ASEAN Studies 3 (2015), 2, pp. 133-149. Tersedia di http://dx.doi.org/10.21512/jas.v3i2.770
diakes pada 22 Maret 2018 pukul 15.04 WIB, h. 136
84
continuing to work for realizing the great revival of the Chinese nation in
order to let the Chinese nation stand more firmly and powerfully among all
nations around the world and make a greater contribution to mankind.”
“Tanggung jawab kita adalah untuk menyatukan dan memimpin rakyat dari
seluruh partai dan semua kelompok etnis di seluruh negeri sambil menerima
tongkat sejarah dan terus bekerja untuk mewujudkan kebangkitan besar
bangsa Tiongkok agar terus berdiri teguh dan kuat di antara bangsa di seluruh
dunia dan memberi konstribusi besar kepada umat manusia”.221
Hal tersebut memperlihatkan ambisinya untuk mengembalikan Tiongkok
kepada masa kejayaannya di masa lalu. Tom Miller dalam bukunya “China Asian
Dream: Empire Building Along the New Silk Road”, menilai bahwa kebijakan Xi
Jinping terkait OBOR-pun merupakan salah satu dari rencana Tiongkok yang
berfokus pada “memulihkan” status historisnya sebagai kekuatan dominan Asia.222
Hal ini seperti yang digambarkan Presiden Xi Jinping dalam pidato berikutnya
setelah ia resmi menjadi pemimpin CCP,
“We have led the people to advance and struggle tenaciously, trans-
forming the impoverished and Old China into the New China that has become
prosperous and strong gradually. The great revival of the Chinese nation has
demonstrated unprecedented bright prospects.”
“Kami telah membuat rakyat maju dan berjuang dengan gigih,
mentransformasikan Tiongkok yang miskin dan tua menuju Tiongkok yang baru
yang telah makmur dan kuat secara bertahap. Kebangkitan besar bangsa Tiongkok
telah menunjukan prospek cerah yang belum pernah terjadi sebelumnya”.223
221 Andreas Bøje Forsby, “The Logic of Social Identity in IR: China’s Identity and Grand
Strategy in the 21st Century”, (Disertasi) Departement of Political Science University of
Copenhagen, 2015, tersedia di https://www.diis.dk/files/media/documents/activities/
phd_dissertation.pdf diakses pada 19 Februari 2018, pukul 09.23 WIB , h. 261
222 James Griffiths,”Just what is this One Belt, One Road thing anyway?” 223Andreas Bøje Forsby, “The Logic of Social Identity in IR: China’s Identity”, h. 263
85
Setiap pemimpin Tiongkok memimiliki tujuan untuk mempertahankan
legitimasi pemulihan status Tiongkok sebagai bangsa yang kuat, begitu juga dengan
‘China’s dream’ memiliki fungsi politik yang penting dalam memobilisasi
dukungan domestik.224 ‘China’ dream’ adalah bentuk pengakuan pemerintah
Tiongkok atas kebangkitanya atau yang dikenal dengan istilah the rising power
dalam bahasa mandarin jueqi guo.225 Hal yang ditutupi oleh pemerintah Tiongkok
sebelumnya. Pemerintah Tiongkok secara eksplisit mengakui statusnya sebagai the
rising power pada tahun 2013 dan 2014, dengan menyoroti Thucydides Trap
sebagai analogi dengan tantangan hubungan Sino-Amerika, dimana Presiden Xi
Jinping mengusulkan membangun sebuah ‘New Type of Great Power Relations’
dengan AS, yang disimpulkan sebagai upaya atas desakan posisi Tiongkok sebagai
kekuatan nomor dua di dunia setelah AS.226
Identitas sebagai ‘the rising power’ tentu tidak terbentuk begitu saja, selain
dari peningkatan kapabilitas materi, terdapat konstruksi sosial bedasarkan interaksi
sosial pada abad penghinaan (century of humiliation) dan juga faktor sejarah
tentang kehebatan masa lalu Tiongkok, sehingga ‘the rising power’ dinarasikan
sebagai kisah yang menceritakan kenaikan Tiongkok merebut kembali posisi
historisnya setelah menjalani masa kelam sebagai negara status rendah.227 Rasa
bangga atas pencapaian Tiongkok dari identitas sebagai ‘the rising power’ semakin
meningkat pada masa kepemimpinan pemerintah Presiden Xi Jinping melalui
224 Pu Xiaoyu, “Controversial Identity of a Rising China”, dimuat dalam The Chinese
Journal of International Politics, 2017, Vol. 10, No. 2, pp. 131–149, dipublikasi oleh Oxford
University Press, 2017, h. 132 225 Pu Xiaoyu, “Controversial Identity of a Rising China”, h. 139 226 Pu Xiaoyu, “Controversial Identity of a Rising China”, h. 139 227Andreas Bøje Forsby, “The Logic of Social Identity in IR: China’s Identity”, h. 263
86
kebijakan ‘China’s dream’ yang menyiratkan pengakuan pemerintah Tiongkok
akan kenaikanya. dimana pemerintah dalam konstruktivis mewakili konsensus ide-
ide masyarakat yang disatukan dalam sebuah negara, hal ini menandai bahwa
identitas sebagai ‘the rising power’ dibentuk secara internal dan eksternal.
Selanjutnya, melalui pemahaman terhadap identitas Tiongkok sebagai ‘the
rising power’ akan menyiratkan serangkaian kepentingan Tiongkok, terutama di
Subregional Mekong dengan struktur kompetitif. Eksistensi Tiongkok di kawasan
Mekong yang dihadapkan pada musuh-musuh tradisionalnya telah membuat
Tiongkok sulit dalam mencapai cita-citanya (China’s Dream) untuk
mengembalikan posisi historisnya tersebut. Pembentukan LMC adalah strategi
Tiongkok untuk menjalin kemitraan yang lebih komprehensif dengan negara-
negara Subregional Mekong yang sulit dicapai selama ini akibat posisi Tiongkok
yang lemah dikawasan dan dianggap sebagai ancaman, dengan identitas barunya
sebagai ‘the rising power’.
Oleh karenanya, dalam upaya untuk meningkatkan kepercayaan negara-negara
DAS Mekong terhadap Tiongkok adalah dengan terlibat aktif dalam kerja sama
yang berkaitan dengan Sungai Mekong, sekaligus menghapus stigma negatif atas
kenaikan Tiongkok yang erat dengan kehausan untuk memanfaatkan sumber daya
alam sebesar-besarnya ditandai dengan pembangunan dam-dam di wilayah tersebut
yang telah dianggap sebagai penyebab bencana kekeringan di Vietnam, para ahli
pun menyatakan Tiongkok bertanggung jawab atas bencana tersebut.228 Isu tersebut
228 Laura Zhou, “Five things to know about the Lancang-Mekong Cooperation summit
87
selama ini yang telah menyudutkan posisi dan sekaligus semakin menguatkan
ancaman kenaikan Tiongkok dalam pandangan negara-negara Asia Tenggara.
Perubahan sikap Tiongkok dengan membentuk LMC adalah implementasi
strategi Tiongkok yaitu assertive diplomacy yang dirumuskan oleh Xi Jinping
dalam menjaga low profile Tiongkok dengan menjalankan diplomasi yang lebih
proaktif. Prinsip low profile dalam urusan internasional sangat ditekankan oleh
Tiongkok.229 Hal ini tercermin dalam tujuan utama pemikiran politik Tiongkok
kontemporer dalam memaksimalkan China National Compehensive Power
(CNCP), konsep kekuatan yang sesuai dengan pemahaman kekuasaan tradisional
Tiongkok yaitu “Wang dao (王道)” didefinisikan sebagai “kingcraft” atau seni
dalam memerintah lebih bernilai tinggi daripada “ba dao (霸道)” yaitu memerintah
dengan paksa atau memerintah dengan kekuatan, oleh sebab itu, saat ini pemerintah
Tiongkok menekankan dan mempromosikan soft power Tiongkok dengan
semangat yang besar.230
Tiongkok telah mendirikan Institut Konfisius di berbagai negara untuk
mengajar bahasa Mandarin, kemudian mendirikan Saluran berita global setara CNN
dengan berbahasa Tiongkok yaitu China Central Television (CCTV) CCTV-9 guna
menyuarakan lebih banyak perspektif dari Tiongkok.231 Pada tahun 2009 dan 2010,
Five-year development plan, including construction of hydropower dams, is expected to top agenda
at Mekong River nations’ conference in Cambodia”, tersedia di
http://www.scmp.com/news/china/diplomacy-defence/article/2127387/five-things-know-about-
lancang-mekong-cooperation, diakses pada 3 Januari 2018, pukul 18.51 WIB 229 Kourosh Ziabari,”China’s Role in International Affairs: an Interview with Prof. Zhiqun
Zhu”, tersedia di https://www.foreignpolicyjournal.com/2012/05/31/chinas-role-in-international-
affairs-an-interview-with-prof-zhiqun-zhu/ diakses pada 3 Januari 2018, pukul 19.00 WIB 230 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 96 231 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 96
88
Tiongkok menginvestasikan US$ 8,7 miliar dalam pekerjaan publisitas eksternal
yang dilakukan oleh CCTV, China Radio International (CRI), Kantor Berita
Xinhua, dan China Daily.232 Dalam hal ini, kerangka kerja sama LMC juga
merupakan salah satu upaya Tiongkok untuk menyediakan wadah shared
knowledge bagi Tiongkok dalam meningkatkan “soft power”-nya untuk meredam
serangan diplomatik di Asia Tenggara, khususnya negara-negara Subregional
Mekong sebagai upaya untuk meningkatkan pengaruhnya dan peranannya di
kawasan yang didorong oleh persepsinya sebagai ‘the rising power’.
2. Tiongkok sebagai ‘the Regional Power’
Telah menjadi pemahaman bersama, bahwa Tiongkok mendominasi Asia
secara fisik, hal ini disebabkan wilayah teritorial Tiongkok yang sangat luas dan
berlokasi tepat di sentral benua Asia, sehingga menyebabkan Tiongkok berbatasan
dengan negara-negara di Asia Selatan, Asia Tenggara, Asia Timur Laut, dan Asia
Tengah, sehingga Tiongkok dapat memberi pengaruh pada semua Subregional yang
ada di Asia.233 Termasuk Subregional Mekong, yang tidak hanya memiliki
hubungan sebagai negara tetangga namun, juga berbagi bersama sumber air yaitu
Sungai Mekong. Tiongkok merupakan negara hulu yang perannya sangat penting
dalam kawasan tersebut.
Posisi Tiongkok sebagai negara dominan di Asia telah berlangsung sejak
masa kekaisaran. Hal ini disebabkan oleh pengaruh terhadap negara-negara perifer
secara budaya maupun dengan sistem upeti telah menarik mereka masuk dalam
232 Paul SN Lee, “The rise of China and its contest for discursive power”, h. 107 233Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 96
89
sistem internasional yang Sino-sentris, namun posisi dominannya sebagai kekuatan
regional berakhir pada abad ke-19 oleh konfrontasi milter Tiongkok dengan Barat
dan seiring dengan munculnya kekaisaran Jepang sebagai kekuatan dominan di
Asia, dan mempromosikan kepentingannya dalam konsep “Greater East Asia Co-
Prosperity Sphere”, pada tahun 1930-an sampai akhir Perang Dunia II dan selama
Perang Dingin dilanjutkan dengan aliansi militer AS dan Jepang, kemudian AS
menetapkan hegemoninya secara de facto terhadap wilayah Asia.234
Akibatnya, pengaruh Tiongkok menjadi tidak terlalu signifikan di Asia.235
Hal ini tentu saja sangat mengancam bagi wacana historis dan geopolitik Tiongkok.
Situasi kawasan yang demikian mengkhawatirkan para pemimpin Tiongkok.
Mereka melihat negara-negara Asia telah dimanfaatkan oleh kekuataan besar
lainnya untuk bertindak melawan kepentingan Tiongkok, misalnya masyarakat
Tiongkok percaya bahwa teori “ancaman Tiongkok” (China’s threat) yang
berkembang di Asia Tenggara dihasilkan oleh AS dan Jepang untuk memunculkan
kecurigaan negara-negara tetangga terhadap Tiongkok.236
Situasi demikian sangat merugikan Tiongkok dalam fokus mencapai
pembangunan ekonominya, karena memerlukan dukungan dari lingkungan yang
stabil. Seiring dengan reformasi terhadap arah kebijakan dan keterbukaan pada
masa Deng Xiaoping, Tiongkok menerapkan kebijakan regional baru untuk
mendapat posisi strategis dalam pergaulan dengan tetangganya, yaitu menggunakan
234 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity, h. 96 235 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 96 236 Rex li, “A Rising China and Security inEast Asia Identity construction and security
discourses” di muat dalam Michael Leifer, “Politics in Asia series”, (London School of Economic :
New York), 2008, h.185
90
regionalisme yang terbukti berhasil meningkatkan kepentingan ekonomi, politik,
kemanan Tiongkok di kawasan.237 Sehingga, Tiongkok kini telah menjadi aktor
regional yang aktif dan penting.
Tiongkok telah memulai peran aktif dengan strategi regionalisme dan
kebijakan ‘good neighbourly policy’, Tiongkok menjalankan langkah pertama yang
ditandai dengan keikutsertaannya dalam APEC di awal tahun 1990, APEC
dianggap dapat memenuhi agenda pembangunan ekonomi Tiongkok, dan
pembentukan APEC juga membantu mengembangkan identitas regional Tiongkok
di Asia Pasifik. Kemudian Tiongkok juga terlibat dalam ASEAN Regional Forum
(ARF) pada tahun 1994, yang merupakan mekanisme dengan tujuan untuk
mempromosikan kerja sama keamanan regional. Tindakan penting lainya yaitu
pada Asian Financial Crisis pada tahun 1997-1998, Tiongkok secara bertanggung
jawab untuk tidak mendevaluasi mata uangnya serta menawarkan paket bantuan
dan pinjaman berbunga rendah ke beberapa negara Asia Tenggara.238
Penerapan kebijakan ‘good neighbourly policy’ oleh Tiongkok yang
bertujuan untuk membangun dan memperbaiki hubungan dengan negara-negara
tetanganya mampu mengubah citra Tiongkok.239 Tahun-tahun berikutnya peran
aktif Tiongkok semakin meningkat ditandai dengan keterlibatan aktif dalam ASEAN
Plus Three (APT) dan mekanisme ASEAN Plus China, Tiongkok juga mulai
mendirikan kerja sama regional seperti Shanghai Cooperation Organization (SCO)
237 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 96 238 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 96 239 Rex li, “A Rising China and Security inEast Asia Identity”, h. 185
91
pada tahun 2001, sebagai alat untuk memerangi terorisme dan memperluas
pengaruhnya di Asia Tengah.240 Termasuk kerja sama Subregional di kawasan
Sungai Mekong yaitu LMC, untuk mendukung pembangunan kawasan negara-
negara Mekong dan memperkuat pengaruhnya di kawasan Subregional Mekong
khususnya dan Asia Tenggara pada umumnya.
Subregional Mekong merupakan wilayah penting bagi Tiongkok saat ini,
ketegangan hubungan yang terjadi akibat perselisihan terkait LTS telah
menyebabkan kehadiran Tiongkok menjadi ancaman bagi negara-negara Asia
Tenggara, dan khususnya negara-negara Subregional Mekong. Tiongkok sebagai
negara hulu dengan kapabilitas yang jauh lebih tinggi dari negara DAS Mekong
lainya baik secara ekonomi dan militer, sekaligus pertumbuhan diberbagai aspek
menjadikan Tiongkok negara yang haus akan energi, termasuk juga dalam
mengembangkan potensi air sungai, Tiongkok juga mendukung peningkatan daya
navigasi sungai yang penting bagi ekspor Tiongkok, yang mendapat kritik negara-
negara DAS lainya karena akan merusak keberlangsungan sungai dengan dampak
paling mengerikan yang akan dirasakan oleh negara hilir.241
Oleh karenanya, posisi Tiongkok sangat tidak menguntungkan dan semakin
kuatnya wacana “ancaman Tiongkok” di kawasan, untuk itu LMC dimaksudkan
untuk mendapatkan kepercayaan negara-negara DAS Mekong kepada Tiongkok,
dan merupakan tindakan Tiongkok yang meyakinkan bahwa Tiongkok bukanlah
240 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 97 241Judith, Nijenhuis, “Complex Interdependencies In the Mekong River Basin: Explaining
Water Cooperation”, Radboud University, (2012), h. 26
92
negara yang ekspansionis, perusak, dan tidak kooperatif. Tema dalam pertemuan
pertama para pimpinan LMC “we share river, we share future” memperkuat
pembuktian bahwa melalui kerja sama LMC Tiongkok ingin memperlihatkan
sikapnya yang kooperatif dan tidak ekspansionis dengan berkembang bersama demi
mencapai masa depan yang lebih baik. LMC juga sebagai pembuktian bahwa
Tiongkok dapat menginiasi kerja sama dikawasan Subregional Mekong sehingga
Tiongkok akan kembali mendapatkan kepercayaan dan meningkatkan pengaruhnya
dikawasan dan menjaga identitasnya sebagai ‘the regional power’.
Selain aktif dalam organisasi multilateral regional, Tiongkok juga
melakukan tidakan nyata untuk mengurangi ketidakpercayaan dan kecemasan di
bidang keamanan, Tiongkok aktif dalam misi penjagaan perdamaian PBB, dan
partisipasi masalah keamanan tradisional dan non-tradsional, seperti telibat dalam
pembuatan mekanisme keamanan multilateral, memainkan peran utama dalam
SCO dan perundingan Six-Party Talks mengenai krisis nuklir Korea Utara, dan
melakukan latihan militer gabungan dengan negara-negara tetangga.242
Dalam bidang ekonomi Tiongkok semakin memperluas Foreign Direct
Investment (FDI) di Asia. Seperti menyepakati perdagangan bebas regional dan
bilateral yaitu FTA China-ASEAN, FTA China-Pakistan, FTA China-Singapore,
dan beberapa kesepakatan lainya yang sedang dalam pembahasan, dengan demikian
hubungan ekonomi Tiongkok dengan negara-negara di kawasan Asia semakin
dalam.243
242 Rex li, “A Rising China and Security inEast Asia Identity”, h. 185 243 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 98
93
Perubahan arah kebijakan Tiongkok telah mampu membuat Tiongkok
kembali menjadi kekuatan regional meskipun bukanlah satu-satunya. Tiongkok
berbagi pengaruh dengan AS, Jepang, Rusia, ASEAN, dan India, namun Tiongkok
dan AS adalah dua kekuatan terbesar di kawasan Asia. Kehadiran AS dan aliansinya
di Asia Pasifik ( AS, Australia, Jepang, Filipina, Korea Selatan, dan Thailand)
masih menjadi ketidak nyamanan Tiongkok namun, banyak negara Asia Selatan
yang cenderung bekerja sama dengan Tiongkok, dan menjadikan Tiongkok sebagai
penyeimbang pengaruh AS sehingga dapat mempertahankan stabilitas regional.
Situasi demikian mendorong Tiongkok untuk tetap melaksanakan strateginya
terhadap lingkungan eksternal agar dapat berkonsentrasi pada pertumbuhan
ekonomi dan mengumpulkan kekuatan relatif tanpa memprovokasi AS sehingga
menyebabkan ketidak stabilan kawasan yang dapat merugikan negara-negara di
kawasan Asia.244
Kehadiran Tiongkok sebagai penyeimbang regional telah memperlihatkan
praktik yang terus-menerus dilakukan Tiongkok khususnya di kawasan Asia
termasuk di kawasan Subregional Mekong. Adapun pembentukan LMC juga
merupakan upaya Tiongkok untuk memelihara identitasnya sebagai “the regional
power” dan menstabilkan keseimbangan kekuasaan di kawasan Subregional
Mekong. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa AS dan aliansinya terutama Jepang,
telah hadir terlebih dahulu di Subregional Mekong dan membentuk berbagai kerja
sama di kawasan tersebut.
244Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”,h.99
94
Sehingga, dapat dikatakan LMC sebagai praktik balance of power Tiongkok
terhadap kerja sama-kerja sama sebelumnya yang ada di Subregional Mekong dan
didominasi oleh AS dan aliansinya, hal ini didasarkan pada interpretasi Tiongkok
terhadap identitasnya yang kemudian mempengaruhi struktur internasional, dan
dipengaruhi oleh interaksi sosialnya dengan aktor lain dalam hal ini terutama
dengan AS dan aliansinya Jepang. Pemahaman identitas sosialnya membentuk
persepsi Tiongkok terhadap aktor lain (others) dan bagaimana aktor lain
memandang dirinya sehingga akan mempengaruhi hubugan Tiongkok dengan
aktor lain tersebut apakah teman, rival, ataupun musuh. Persepsi Tiongkok terhadap
aktor lain sangat mempengaruhi kebijakan Tiongkok dalam hal ini yaitu
menginisiasi LMC dan tidak memaksimalkan kerja sama yang telah diikuti
sebelumnya yaitu GMS dimana memiliki bidang prioritas yang mirip dengan LMC.
Adapun GMS adalah kerja sama yang didukung oleh ADB, dan terdapat
peran dominan Jepang sebagai donor terbesar sekaligus menjadi pimpinan ADB.245
Kehadiran Jepang sebagai aktor lain, tentu menjadi pengaruh penting bagi
Tiongkok untuk memaksimalkan peranya dalam GMS. Hal ini terkait dengan
persepsi Tiongkok terhadap dirinya (self) dan orang lain (other) dalam hal ini yaitu
Jepang.
245 Min Wan, “Japan and the Asian Development Bank”, Pacific Affairs, Vol. 68, No,
dipublikasi oleh Pacific Affairs, University of British Columbia, 1995-1996 , h. 509
95
3. Persepsi Tiongkok terhadap Kehadiran Jepang dalam Kerja sama-
Kerja sama Subregional Mekong, terkait Logika Identitas Sosial
Tiongkok
Jepang telah hadir dan terlibat aktif dalam kerangka kerja sama di kawasan
Subregional Mekong dan Indocina sejak tahun 1980-an, di antaranya yaitu GMS
yang difasilitasi dan didorong oleh ADB dan didominasi oleh Jepang, selain itu
MRC juga didominasi oleh Jepang dan negara-negara Barat lainya.246
Adapun dominasi Jepang dalam kerja sama-kerja sama Subregional
Mekong dalam persepsi Tiongkok sangat dipengaruhi oleh konsep identitas yang
menentukan hubungan antara Tiongkok dan Jepang. Hubungan Tiongkok dan
Jepang mengalami beragam dinamika yang kompleks dan seringkali terjadi
pertentangan. Sebagai dua negara dengan status great power di Asia, hubungan
Tiongkok dan Jepang sangatlah penting karena memiliki dampak global.
Secara historis, Jepang telah menorehkan peran negatif terhadap Tiongkok
pada masa imperialisme di Abad ke-20, yaitu disebabkan kekejaman yang
dilakukan oleh tentara Kekaisaran Jepang, yang menjadi penghinaan dan kebencian
bagi masyarakat Tiongkok. Selama periode tersebut terdapat dua perang yaitu
pertama, Perang Opium, Tiongkok dikalahkan dan dipaksa memberi konsesi
kepada imperealis Barat, kedua, Perang Sino-Jepang ketika sebagian Tiongkok
diserang dan dikenai penjajahan secara brutal, peristiwa ini menyebabkan
246 Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC) Viewed in Light
of the Potential Regional Leader Theory”, Journal of Mekong Societies, Vol.12 No.3, 2016, h. 61
96
Tiongkok kehilangan posisinya sebagai negara dominan Asia.247 Kaufmann,
menyebut peristiwa tersebut sebagai the Century of Humiliation yang berfungsi
sebagai “a historical touchstone for China’s aspirations” dan terus mempengaruhi
hubungan luar negeri Tiongkok sampai saat ini.248
Hal tersebut menjadi pukulan psikologis yang sangat pahit bagi Tiongkok,
karena Tiongkok menganggap dirinya lebih unggul dari Jepang, terdapat dua alasan
untuk menjelaskan persepsi Tiongkok tersebut,249 pertama, segala peradaban
manusia diperkenalkan Tiongkok ke Jepang baik kultural dan agama. Modernisasi
yang terjadi di Jepang dalam kurun waktu yang cepat pada abad ke-19 mampu
menggantikan Tiongkok sebagai kekuatan terbesar di Asia. Kedua, ketidak setaraan
dan kebrutalan Jepang terhadap Tiongkok, khususnya setelah Perang Sino-Jepang
dan perjanjian Shimonoseki, sejak saat itu Jepang mulai secara sistematis
mengeksploitasi Tiongkok, selain itu kebrutalan tentara Jepang selama perang
dengan melakukan pembantaian terhadap penduduk sipil adalah contoh nyata
kekejaman Jepang terhadap Tiongkok.
Perasaan sentimen Tiongkok terhadap Jepang sangat tinggi, Jepang menjadi
musuh terburuk, hingga orang-orang Tiongkok menyebut Jepang sebagai setan
(guizi) dengan tertanamnya rasa permusuhan dan dendam. Meski akhir-akhir ini,
247 Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity and policy towards
Diaoyu/Senkaku islands”, (Master thesis, Lingnan University, Hong Kong), 2013, Tersedia di
http://dx.doi.org/10.14793/pol_etd.11, diakses pad 14 Januari 2013, pukul 23.20 WIB, h. 31 248 Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity and policy, h.31 249 Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity and policy, h.35
97
secara resmi hubungan Tiongkok dan Jepang mulai meningkat, tapi bagi orang-
orang Tiongkok, kesalahan Jepang tidak bisa dilupakan.250
Berangkat dari peristiwa besar Perang Opium dan Sino-Jepang tidak hanya
mempengaruhi persepsi Tiongkok kepada Jepang sebagai musuh namun juga
terjadi evolusi monumental terhadap identitas Tiongkok. Kekalahan pada Perang
Opium menyebabkan penghapusan terhadap sistem pemerintahan Kekaisaran
Tiongkok dan mulai dipimpin oleh pemerintahan modern dengan konsep negara
Barat pada tahun 1949 dengan ideologi komunisme yang terbentuk dari
pengalaman pahit dua Perang Opium yang menimbulkan semangat nasionalime
anti-imperalisme yang menjadi ciri pemerintahan Mao-Zedong.251
Anti-imperalisme telah menyebabkan Tiongkok menjadi negara yang
terisolasi dari sistem internasional selama Perang Dingin akibat dominasi negara-
negara kapitalis saat itu. Keterkurungan dan kebijakan menutup diri (isolasionis),
semakin membuat Tiongkok mengalami keterbelakangan dan kemiskinan, pada
saat bersamaan ekonomi negara-negara kapitalis barat sedang mengalami
pembangunan yang sangat cepat.252 Meskipun mengalami masa sulit, kebijakan
Tiongkok tidak berubah hal ini karena pada masa Perang Dingin tersebut, kebijakan
Tiongkok ditentukan oleh identitas sosialisnya.
250 Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity”, h. 36 251 Edward Friedman, “Reconstructing China’s National Identity: A Southern Alternative
to Mao-Era Anti-Imperialist Nationalism.” The Journal of Asian Studies Vol.53, no. 1 (February,
1994), h. 67 252 Edward Friedman, “Reconstructing China’s National Identity:”, h. 67
98
Identitas sosialis Tiongkok turut menyumbangkan hubungan permusuhan
dengan Jepang, hal ini karena aliansi Jepang dan AS pada masa itu. Pada tahun
1950, Tiongkok menandatangani Perjanjian Persahabatan dan Aliansi Sino-Soviet
serta pecahnya perang Korea, menandai dimulainya masa konflik antara komunis
Uni Soviet dengan kapitalisme AS dan sekutunya termasuk Jepang.253 Pada tahun
1959, hubungan Sino-Soviet pun mulai berubah akibat kematian Stalin dan identitas
Uni Soviet ikut berubah, berdasarkan hal tersebut Tiongkok mulai berjalan sendiri
ke arah yang berlawanan dengan Uni Soviet, dengan reformasi ekonomi dan
keterbukaan setelah tahun 1970-an dan kemudian bergabung mejadi anggota
PBB.254
Namun, reformasi yang dilakukan Tiongkok belum mampu merubah stigma
masyarakat internasional pada pasca Perang Dingin, kekuatan pengaruh Barat telah
menjadikan Tiongkok ‘Pihak lain’ (other) yang negatif, Tiongkok dianggap sebagai
“the last bastion of communism” atau “the last Leninist state”, selain itu kritik
terhadap Tiongkok atas catatan hak asasi manusia yang buruk, pemerintahan
otokrasi, dan ‘the rising power’ yang berpotensi menjadi ancaman karena dianggap
sulit untuk berintegrasi dengan peraturan masyarakat internasional. 255 oleh karena
itu, identitas demokrasi Barat kemudian memposisikan diri mereka melawan
Tiongkok, dan melahirkan perasaan tidak adil dan penindasan bagi Tiongkok
sendiri.
253 Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity, h. 38 254 Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity, h. 40 255 Shogo Suzuki,“The Importance of ‘Othering’ in China’s National Identity: Sino-
Japanese Relations as a Stage of Identity Conflicts.” The Pacific Review 20 (March, 2007), h. 34
99
Posisi Tiongkok yang demikian kemudian menimbulkan “The narrative of
victimhood”, yang terdapat dalam laporan Jiang Zemin pada Kongres Nasional
Partai Komunis Tiongkok yang ke-15 pada tahun 1997, dalam pidatonya ia
menyampaikan tugas masa depan CCP dan Tiongkok adalah membangun negara
yang kuat dan makmur untuk mencegah korban selanjutnya dari wacana Barat, hal
ini di latar belakangi oleh sejarah Tiongkok modern yang menderita dengan
penghinaan Barat dan aliansinya Jepang, hal serupa juga disampaikan oleh Hu
Jiantao, bahwa aliansi Barat belum melepaskan ambisi untuk menaklukan
Tiongkok, kemudian Xi Jinping pada tahun 2009, melihat keterlibatan asing dalam
urusan kawasan Asia dengan komentar "Some foreigners with full bellies and
nothing better to do engage in finger-pointing at us [China]"256
Jepang sebagai aliansi Barat, turut menjadi tema penting bagi
kepemimpinan CCP, bahkan sejak 1921, Jepang selalu menjadi pembahasan dalam
pertemuan-pertemuan penting, namun perlawanan terhadap Jepang semakin
mencuat sejak era reformasi, pemahaman bersama masyarakat Tiongkok telah
membentuk sentimen nasional yang menumbuhkan ‘othering’ terhadap Jepang dan
citra yang semakin negatif sejak berakhirnya Perang Dingin. Jepang sendiri telah
menjadi aktor aktif dalam memperkuat ‘othering’ Jepang di Tiongkok, sebuah surat
kabar berjudul “Japan’s military ambition” mengkritik penyalahgunaan teori
“ancaman Tiongkok” oleh Jepang untuk meningkatkan pembangunan militernya,
wacana tersebut memperlihatkan posisi antagonisme Jepang terhadap Tiongkok
256 Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity”, h. 49
100
sebagai target kambing hitam untuk agresi Jepang, hal ini semakin memperkuat
identitas Tiongkok dalam hubungan internasional sebagai korban.257
Hal itu akan menyebabkan semakin besarnya potensi Jepang untuk lebih
tidak manusiawi terhadap Tiongkok, seiring dengan itu tingkat kepercayaan
Tiongkok akan semakin menurun terhadap Jepang, dan persepsi ancaman semakin
meningkat, sehingga hubungan antara Jepang dan Tiongkok dilihat berjalan sebagai
musuh dan bertindak seakan-akan didorong oleh ketakutan.258
Adapun hubungan Tiongkok dan Jepang tersebut reflektif dari identitas
yang kemudian menjadi preferensi terhadap tindakan dan kebijakan Tiongkok
termasuk membentuk kerja sama LMC. Hubungan keduanya yang berjalan secara
konfliktual telah membentuk persepsi Tiongkok akan identitas Jepang, hubungan
yang memandang satu sama lain sebagai musuh yang dibentuk identitas
menyebabkan Tiongkok tidak ingin melaksanakan proyek OBOR dengan kerja
sama GMS. Peran dominan Jepang di dalam GMS menjadi alasan utama Tiongkok,
karena adanya ketidakpercayaan pada Jepang yang dianggap sebagai musuh.
Sejak berakhirnya Perang Dingin, Tiongkok telah melirik wilayah Mekong
karena kebutuhan dan kesempatan, kerja sama telah menjadi pilihan strategis bagi
Tiongkok, hubungan bilateral tidaklah cukup untuk menjamin kepentingan
nasionalnnya dan juga merupakan zona yang dapat dimanfaatkan Tiongkok untuk
meningkatkan pengaruhnya karena hubungannya dengan negara-negara hilir yang
bebas dari konflik kecuali Vietnam, dan kawasan tersebut juga merupakan pintu
257Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity”, h. 52 258 Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity”, h. 53
101
gerbang Asia Tenggara dan merupakan pasar penting bagi ekspor barang-barang
manufaktur Tiongkok.259 Namun, kerja sama LMC lebih kepada upaya diplomatik
Tiongkok untuk memenangkan pengaruh sesuai dengan identitasnya terhadap
negara-negara DAS Mekong, daripada keuntungan ekonomi yang absolut.
Adapun LMC selain bentuk pemenuhan terhadap kebutuhan Tiongkok akan
kerja sama multilateral, LMC juga adalah bentuk pembuktian kepada semua pihak
bahwa Tiongkok mampu untuk membuat sebuah kerja sama multilateral di kawasan
Subregional Mekong tanpa melibatkan negara-negara yang telah terlebih dahulu
memainkan peran penting dalam kerja sama di kawasan tersebut terutama Jepang.
Hal ini dapat dilihat dari nomenklatur yang digunakan dalam nama LMC yaitu
“Lancang-Mekong” yang merupakan strategi Tiongkok menggunakan label
geografi sungai Lancang di Tiongkok dan Mekong bagi lima negara hilir lainya,
yang sangat jelas siapa yang harus diikutsertakan dan yang dikecualikan, dan sangat
efektif mencegah permintaan Jepang dan negara asing lainya dalam keanggotaan
kerja sama LMC tersebut.260
Selain itu, dalam kerja sama LMC juga dimanfaatkan sebagai mekanisme
bagi pengoptimalan fungsi AIIB. Merupakan sebuah bank pembangunan
multilateral yang memiliki misi untuk meningkatkan pendapatan ekonomi dan
tatanan sosial di Asia dan sekitarnya, diprakarsai oleh Tiongkok dan memiliki
259 Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic Interest in the Mekong
River Basin” tersedia di www.chathamhouse.org.uk , (2009), h. 11 260Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC) Viewed in Light
of the Potential Regional Leader Theory”, Journal of Mekong Societies, Vol.12 No.3, 2016, h. 61
102
kantor pusat di Beijing, dan beroperasi sejak Januari 2016. 261 Pengoptimalan AIIB
dimaksudkan untuk dapat membatasi pengaruh Jepang dan AS masuk dalam kerja
sama LMC melalui ADB, sebagaimana telah dijelaskan bahwa Jepang merupakan
pendonor terbesar dalam ADB.
B. Situasi Geopolitik di Kawasan Subregional Mekong
Kebijakan Tiongkok untuk menginsiasi kerja sama LMC dalam pandangan
geopolitik dipengaruhi oleh adanya situasi politik di kawasan, atau dalam istilah
konstruktivis dikatakan sebagai security envorinment yang terjadi di Subregional
Mekong dan didefinisikan oleh Tiongkok sesuai dengan identitasnya. Tiongkok
sebagai the rising power yang dipahami bersama sebagai identitas baru Tiongkok
secara geopolitik, menyebabkan keresahan bagi tetangganya, kecerugiaan besar
terhadap niat strategisnya, masih melekat dalam ingatan hubungan Tiongkok
dengan negara-negara Asia Tenggara yang cukup buruk dalam akhir-akhir ini
akibat kasus sengketa wilayah perairan LTS. Adapun dampak signifikan dari kasus
tersebut sangat mengkhawatirkan Tiongkok, sehingga mampu menjadi ancaman
bagi wacana keamanan Tiongkok dan eksistensinya di kawasan.
Dampak tersebut akan memberikan hal negatif dan ketidak percayaan
negara-negara Subregional Mekong yang notabene adalah negara-negara kawasan
Asia Tenggara terhadap Tiongkok. Hal ini akan dimanfaatkan oleh negara-negara
great power lainya untuk bertindak melawan kepentingan Tiongkok, terutama
keberadaan pengaruh ‘other’ yaitu AS dan Jepang yang dalam persepsi Tiongkok
261 “introduction AIIB”, terdapat di https://www.aiib.org/en/about-aiib/index.html, diakses
pada 04 Januari 2018, pukul 13.45 WIB
103
adalah musuh tradisionalnya. Tiongkok percaya bahwa teori ‘ancaman Tiongkok’
telah dikembangkan oleh AS dan Jepang di kawasan Asia Tenggara untuk
memunculkan kecurigaan di antara tetangga Tiongkok sehingga hal ini akan
memberikan dampak buruk bagi Tiongkok dalam mencapai kepentingannya.262
Selama 20 tahun terakhir, Tiongkok telah memainkan peran sebagai peserta
penting di Subregional Mekong sebagai negara hulu. Namun, Tiongkok memiliki
kekurangan terkait peranya tersebut dalam memproyeksikan dominasi, kemampuan
membuat keputusan dan kemampuan mengembangkan wacana. Hal ini sebagai
dampak kekuatan ekonomi Tiongkok di masa lalu yang masih relatif lemah dan
juga keterisolasian Tiongkok. Untuk itu, strategi yang digunakan Tiongkok
menekankan pada pembangunan ekonomi dan diplomasi untuk mendorong
lingkungan eksternal yang paling menguntungkan bagi pembangunan dalam
negeri.263
Namun, secara rasional asumsi bahwa pembangunan dan kerja sama
ekonomi mungkin tidak dapat menyelesaikan masalah politik dan keamanan.
Perkembangan pesat Tiongkok tidak dapat dihindari oleh negara-negara DAS
Mekong untuk terus-menerus merasa cemas dan curiga. Hal ini semakin
berkembang seiring dengan posisi Tiongkok menjadi ekonomi terbesar kedua di
dunia, masalah dan konflik selama ini akan terakumulasi dan muncul. Ditambah
262 Rex li, “A Rising China and Security in East Asia Identity construction and security
discourses” di muat dalam Michael Leifer, “Politics in Asia series”, (London School of Economic :
New York), 2008, h. 185 263 Lu Guangsheng, “China Seeks to Improve Mekong Subregional Cooperation: Causes
and Policies”, China Seek to improve”, dipublikasi oleh Rajaratnam School of Internasional
Studies, 2016, h. 6
104
lagi adanya kehadiran campur tangan asing dalam Subregional Mekong yang
menjadi gangguan, dan mulai mengembangkan wacana yang merugikan Tiongkok,
salah satu dampaknya dapat dilihat dari kecaman terhadap investasi Tiongkok di
Myanmar melalui LSM, sehingga Tiongkok mengalami kesulitan menuju kerja
sama yang lebih dalam antara Tiongkok dan negara-negara Suregional Mekong
lainya.264
Kembali diliriknya kawasan Asia Tenggara dan Subregional Mekong
khususnya oleh AS, ditandai oleh kebijakan ‘pivot to Asia’ dan mendirikan kerja
sama di kawasan Mekong yaitu LMI dan Jepang sebagai aktor lama dalam kerja
sama di kawasan Subregional Mekong, semakin komprehensif menjalin kemitraan
di kawasan ditandai dengan Japan-Mekong Summit yang rutin diadakan sejak tahun
2008.
Hal tersebut menjadi indikasi bahwa strategi kerja sama ekonomi yang
dilakukan Tiongkok secara bilateral maupun regional melalui ASEAN dengan
negara-negara Subregional Mekong khususnya dan Asia Tenggara umumnya, tidak
lagi efektif, karena tidak seimbangnya biaya ekonomi dan keuntungan politik yang
didapat Tiongkok.265 Terbukti AS dan Jepang dapat terus meningkatkan hubungan
dengan negara-negara di kawasan sehingga dapat mengembangkan wacana yang
merugikan Tiongkok, disisi lain Tiongkok juga terus melakukan kemitraan strategis
264Lu Guangsheng, “China Seeks to Improve Mekong Subregional Cooperation: Causes
and Policies”, China Seek to improve”, dipublikasi oleh Rajaratnam School of Internasional
Studies, 2016, h. 7
105
di kawasan namun, sulit untuk mencapai kerja sama yang lebih dalam. Hal tersebut
menjadi gangguan penting dalam security enviroment Tiongkok.
Tiongkok perlu menggeser pendekatan kooperatifnya untuk
menyeimbangkan tuntutan terhadap security invorenment-nya yang sesuai dengan
identitas dan kepentingan Tiongkok dalam aspek ekonomi, politik, dan keamanan
di Subregional Mekong dan memainkan peran yang lebih konstruktif dan aktif
secara lebih komprehensif. Inilah sebabnya mengapa Tiongkok perlu memiliki
strategi regional dengan membentuk LMC yang efektif untuk meningkatkan
security environment-nya. Jika Tiongkok tidak dapat mengamankan wilayahnya,
khususnya untuk terus dapat memanfaatan sungai tanpa gangguan yang berarti, dan
juga tidak dapat memberikan pengaruh besar di kawasan Subregional Mekong, hal
tersebut benar-benar akan melemahkan identitas Tiongkok sebagai regional power
yang akan berdampak negatif untuk mencapai kepentingan Tiongkok di kawasan.
Untuk mencapai kepentinganya, Tiongkok membentuk LMC sebagai
bagian dari penerapan kebijakan ‘good neighbourly policy’ yang bertujuan untuk
membangun dan memperbaiki hubungan dengan negara-negara Subregional
Mekong sebagai tetangga tradisional Asia bagi Tiongkok yang sangat bernilai
strategis dan politis.
Tiongkok, dalam LMC meletakan dasar yang baik dengan nilai-nilai yang
sesuai dengan kultur di Asia Tenggara. LMC didominasi dan dikoordinasi bersama
oleh enam negara, LMC lebih terbuka dan infklusif, dengan adanya kerja sama
praktis dalam tiga bidang utama yaitu keamanan, politik, pembangunan
106
berkelanjutan, dan sosial budaya yang secara komprehensif dihubungkan dengan
tiga pilar ASEAN.266 Hal tersebut merupakan inovasi terhadap platform kerja sama
yang belum pernah ada di Subregional Mekong sebelumnya yang menjadi nilai
tambah bagi LMC.
C. Collective Self-esteem (Harga Diri Kolektif) sebagai Kepentingan
Nasional Tiongkok
Berdasarkan konstruktivis, kepentingan nasional terbentuk berdasarkan
identitas. Merujuk pada konsep kepentingan nasional Alexander Wendt yang sangat
mempengaruhi kebijakan Tiongkok dalam membentuk LMC adalah terkait
Collective self-esteem sesuai dengan identitas Tiongkok yaitu ‘the rising power’
dan ‘the regional power’ serta persepsi terhadap ‘other’ terkait hubunganya dengan
Aliansi AS dan Jepang di Subregional Mekong.
Beradasarkan penjelasan Wendt harga diri adalah kebutuhan dasar manusia,
dan salah satu hal yang dicari individu atau negara dalam keberadaanya sebagai
aktor dalam tatanan sistem internasional.267 Positif atau negatif citra diri seseorang
atau negara bergantung pada hubungan yang dibangunya dengan orang lain,
melalui perspektif orang lain maka seorang aktor akan dapat melihat dirinya
sendiri.268
266 Lu Guangsheng, “China Seeks to Improve Mekong Subregional Cooperation: Causes
and Policies”, China Seek to improve”, dipublikasi oleh Rajaratnam School of Internasional
Studies, 2016 , h.10 267 Alexander Wendt, “Social Theory of International Politics” (Australia: Cambridge
University Press, 1999), h.236 268 Alexander Wendt, “Social Theory of International Politics”, h.236
107
Identitasnya sebagai the rising power sejak reformasi ekonomi yang
dilakukan di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping di akhir tahun 1970-an, dengan
pertumbuhan kapabilitas Tiongkok, baik dalam bidang ekonomi dan militer, serta
keterlibatanya dalam tatanan sistem internasional yang mulai diperhitungkan telah
membuat kepercayaan diri Tiongkok semakin meningkat. Elit politik Tiongkok
percaya kekuatan komprehensif Tiongkok akan terus meningkat dan mereka belum
puas dengan status internasional Tiongkok saat ini.269
Namun, identitasnya sebagai the rising power, sebagaimana yang telah
dijelaskan, menantang kekuatan besar lainya di dunia khususnya AS dan Jepang,
mereka mempersepsikan Tiongkok sebagai ancaman dan mengembangkan wacana
“ancaman Tiongkok” dengan negara-negara tetangganya di kawasan Asia,
termasuk Asia Tenggara. Dominasi Barat telah menjadikan Tiongkok selalu
tersisihkan dalam sistem internasional, meskipun secara kapabilitas materinya
termasuk yang perhitungkan. Ditambah lagi tidak adanya kesesuaian identitas yang
dibangun dari norma dan nilai-nilai Tiongkok dengan negara-negara Barat
mengakibatkan Tiongkok melekat dengan status out-group yang tidak
menguntungkan sama sekali bagi Tiongkok dalam hal kepentingan secara
keseluruhan.270
Seperti yang dipahami oleh Wendt, kepentingan nasional tentang harga diri
secara kolektif terdiri dari positif atau negatif, adanya wacana “ancaman Tiongkok”
yang dikembangkan oleh AS dan Jepang terhadap Tiongkok menjadi citra negatif
269 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 103 270 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 103
108
sehingga merugikan Tiongkok. Wendt juga melihat negara akan cenderung tidak
akan menolerir citra negatif semacam itu, negara membutuhkan kepememilikan
akan citra yang positif agar mendapatkan status yang sama di mata dunia
internasional yang muncul dari rasa saling menghormati dan kerja sama.271
Oleh karena itu, untuk mencapai kepentinganya terkait citra positif di mata
internasional, Tiongkok beralih untuk aktif, bertanggung jawab, dan kooperatif di
masyarakat global dan regional, salah satunya membentuk kerja sama multilateral
LMC di wilayah Subregional Mekong. Tiongkok hadir sebagai inisiator dalam kerja
sama LMC untuk mematahkan wacana yang berkembang di kawasan tersebut
sebelumnya, bahwa Tiongkok adalah aktor realis yang mementingkan
keuntungannya sendiri, tidak kooperatif, dan agresif. Melalui pembentukan kerja
sama LMC Tiongkok bermaksud untuk memperbaiki citra sosialnya di masyarakat
internasional dengan mempromosikan citra bertanggung jawab dan tidak
mengancam, sehingga dapat menciptakan kawasan Subregional Mekong yang
dapat mendukung perkembangan dan peremajaan (rejuvenation) nasionalnya.
271 Alexander Wendt, “Social Theory of International Politics” , h. 104
109
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada November 2015, Tiongkok menginsiasi sebuah kerja sama regional di
Subregional Mekong yaitu LMC. Kerja sama LMC menjadi kerja sama multilateral
pertama kali yang diinisasi oleh Tiongkok di kawasan tersebut, hal ini
memperlihatkan perubahan peran Tiongkok yang lebih aktif dan kooperatif dari
sebelumnya. Indikasi perubahan sikap Tiongkok tersebut menjadi dasar penelitian
ini, untuk mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan Tiongkok menginiasi kerja
sama LMC tersebut.
Teori konstruktivisme yang disertai dengan konsep geopolitik dan konsep
kepentingan nasional mampu menjelaskan alasan yang mendorong Tiongkok untuk
membentuk kerja sama LMC, yang menjadi pertanyaan penelitian, sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat beberapa
alasan yang berkaitan dan menjadi latar belakang Tiongkok menginisiasi kerja
sama LMC di Subregional Mekong, adapun alasan-alasan Tiongkok yaitu:
Pertama, persepsi Tiongkok akan identitas barunya sebagai ‘the rising
power’ dan ‘the regional power’, sebagaimana dasar asumsi teori konstruktivis,
identitas adalah preferensi dari kepentingan. Adapun ‘the rising power’ adalah
identitas yang melekat kepada Tiongkok akibat kapabilitas materilnya yang terus
meningkat. ‘The regional power’adalah identitas Tiongkok yang merujuk pada
110
posisi Tiongkok di kawasan Asia yang memiliki pengaruh di setiap Subregional
yang ada di Asia, termasuk wilayah Subregional Mekong.
Oleh karena itu, kedua identitas barunya tersebut memberikan kepercayaan
diri bagi Tiongkok untuk membuat kerja sama Subregional Mekong dalam upaya
mempertahankan statusnya sebagai negara yang dominan di kawasan Asia, dan juga
merupakan pembuktian kepada masyarakat internasional bahwa Tiongkok mampu
membuat sebuah kerja sama multilateral, yang sekaligus mematahkan wacana
ancaman terhadap kenaikan Tiongkok yang diasumsikan akan sulit untuk
kooperatif dan sulit melebur dalam regulasi internasional akibat identitasnya di
masa lalu yang terisolasi atau out of the group.
Pemahaman Tiongkok terhadap siapa dirinya tersebut turut dipengaruhi
oleh pandagannya terhadap ‘other’, dalam hal ini kehadiran Jepang dan AS yang
menjadi ancaman bagi identitas Tiongkok di wilayah Subregional Mekong. Hal ini
memberikan jawaban mengapa Tiongkok harus membuat kerja sama yang baru.
Karena salah satunya adanya pengaruh kehadiran orang lain atau other yaitu Jepang
dan AS dalam kerja sama yang telah ada dikawasan sebelumnya seperti GMS, LMI,
dan MRC.
Oleh karena itu, Tiongkok tidak ingin memaksimalkan peranya dalam kerja
sama yang telah ada karena hubungannya dengan Jepang sebagai musuh tradisional
dan ditambah lagi dengan bergabungnya Jepang dengan aliansi AS yang telah
mengucilkan Tiongkok dari masyarakat internasional pasca Perang Dingin.
Tiongkok membuat kerja sama LMC dan mengeluarkan cost yang tidak sedikit
111
untuk itu karena berkaitan pemahaman ‘othering’ Jepang tersebut sebagai musuh,
sehingga hal ini akan memberikan logika tindakan sesuai identitas Tiongkok,
bahwa kehadiran Jepang dan Aliansinya akan senantiasa menentang kepentingan
Tiongkok.
Kedua, kondisi geopolitik Subregional Mekong dengan kehadiran Jepang
dan AS yang dipersepsikan Tiongkok sebagai musuh akan memberikan ancaman
bagi security environment Tiongkok, sehingga akan mengganggu Tiongkok dalam
mencapai kepentingannya di kawasan tersebut. Seperti pengembangan wacana
“ancaman Tiongkok” yang telah menyebabkan kesulitan bagi Tiongkok mencapai
kerja sama yang lebih dalam dengan negara-negara DAS Mekong lainya.
Untuk itu Tiongkok membuat kerja sama LMC untuk dapat membuktikan
kepada negara-negara Subregional Mekong bahwa Tiongkok sebagai ‘rising
power’ dan ‘regional power’ tidaklah mengancam, namun sebaliknya sangat
kooperatif dan mengutamakan keuntungan bersama, hal ini dapat dilihat dari tema
pertemuan pertama para pemimpin negara DAS Mekong di kota Sanya Tiongkok,
yaitu “Shared River, Shared Future”, Tiongkok ingin membangun komitmen yang
lebih besar tidak hanya kedekatan secara geografi namun, hubungan yang lebih
dalam dengan kebersamaan memanfaatkan sungai untuk mendapatkan kejayaan
bersama dimasa depan.
Ketiga, konsep kepentingan nasional yang didasarkan pada identitas
Tiongkok dan persepsinya terhadap orang lain yaitu Jepang dan AS telah
menyebabkan Tiongkok tidak nyaman dengan dirinya akibat wacana “ancaman
112
Tiongkok” yang dikembangkan oleh musuhnya yaitu Jepang dan AS di wilayah
DAS Mekong. Hal tersebut sangat merugikan Tiongkok sehingga, Tiongkok
membutuhkan pengembalian citra positifnya khususnya di wilayah Subregional
Mekong sebagai upaya untuk mempertahankan identitasnya sebagai sebagai harga
diri kolektif yang harus dicapai untuk mendapatkan kenyamanan dirinya sendiri dan
terbebas dari ancaman. LMC dimaksudkan untuk memperlihatkan citra positif
Tiongkok untuk dapat mencapai harga diri kolektifnya.
B. Saran
Berdasarkan penelitian ini dapat dilihat strategi Tiongkok untuk lebih
kooperatif dan aktif secara komperehensif di kawasan Subregional Mekong, secara
otomatis akan meningkatkan pengaruhnya di wilayah tersebut. Dengan kapabilitas
yang dimilikinya melalui LMC, yang merupakan platform kerja sama bagi
koordinasi negara-negara DAS Mekong dan memiliki prioritas-prioritas kerja sama
yang didasari pada prinsip-prinsip ASEAN, hal ini tentu bukan tidak mungkin
kemudian dengan kapabilitas Tiongkok melalui LMC untuk dapat memenuhi
kepentingan-kepentingan negara-negara DAS Mekong. Sehingga negara-negara
DAS Mekong lainya yang notabene adalah negara-negara penting di ASEAN akan
memiliki ketergantungan yang besar terhadap Tiongkok. Hal ini dapat menjadi
ancaman bagi ASEAN. Oleh karenanya, menjadi hal penting untuk ada penelitian
selanjutnya tentang bagaimana pengaruh kerja sama LMC tersebut terhadap
ASEAN.
xvi
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Bennet, Andrew dan Jeffrey T. Checkel. 2015. “Process Tracing : From Metaphor
to Analytic Tool”, Cambridge : Cambridge University Press
Boas, Marten and Desmon McNeill. 2004. Global Institusions and Development
Framing the World. London: Routledge
Clad, James and Sean M. McDonald, and Bruce Vaughn. 2011. The Borderlands of
Southeast Asia: Geopolitics, Terrorism, and Globalization. Washington D.C:
National Defense University Press
Creswell, John W. 2009. “Research Design : Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches Third Edition, London : SAGE Publications, Inc.
Dunne, Tim, Milja Kurki , and Steve Smith. 2007. International Relations Theories
Discipline and Diversity Third Edition. United Kingdom: Oxford University
Press
Dunne, Tim. Steve Smith, dan Amelia Hadfield. 2012. Foreign Policy: Theories,
Actors, Cases. United Kingdom: Oxford University Press
Evan, G. dan J. Newnham. The Penguin Dictionary of International Relations.
London: Penguin Books.
Fels, Enrico, dan Truong-Minh Vu. 2016. Power Politics in Asia’s Contested
Waters Territorial Disputes in the South China Sea Construction.
Switzerland : Springer International Publishing
Goh, Evelyn and Sheldon W. Simon. 2008. China, the United States, and Southeast
Asia Contending perspectives on politics, security, and economics. London:
Routledge
Grygiel, Jakub J. 1972. Great Powers and Geopolitic Change. Baltimore : The
Johns Hopkins University Press
Jackson, Robert dan Georg Sorensen terj. Dadan Suryadipura. 2009. Pengantar
Studi Hubungan Internasional. Yogyakata: Pustaka Pelajar.
Kang, David C. 2007. China rising : peace, power, and order in East Asia. New
York: Columbia University Press
Porta, Donatella Della dan Michael Keating. 2008.“Approaches and
Methodologies in Social Sciences : A Pluralist Perspective”, Cambridge :
Cambridge University Press
Shambaugh, David. 2016. The China Reader Rising Power Sixth Edition. United
Kingdom: Oxford University Press
xvii
Steans, Jill, Lloyd Pettiford, dan Thomas Diez and Imad El-Anis. 2010. An
Introduction to International Relations Theory Perspectives and Themes
Third edition. London Pearson Education Limited
Tuathail, Gearóid Ó and Simon Dalby. 1998. Rethinking Geopolitics. London:
Routledge
Viotti, Paul R dan Mark V. Kauppi. 2012. Internasional Relations Theory 5th
Edition. New York : Pearson Education Inc.
Viotti, Paul R, dan Mark V. Kauppi. 2012. Internasional Relations Theory 5th
Edition. New York : Pearson Education Inc
Wendt, Alexander. 1999. Social Theory of International Politics. Cambridge:
Cambridge University Press
Zehfuss, Maja. 2004. Constructivism in International Relations: The Politics of
Reality. Cambridge: Cambridge University Press
Jurnal dan Artikel Jurnal:
Alexandrov, Maxym . 2003. The Concept of State Identity in International
Relations: A Theoretical Analysis. Journal of International Development and
Cooperation, Vol.10, No.1. Hiroshima University Japan
Bunyavejchewin, Poowin. 2016. The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)
Viewed in Light of the Potential Regional Leader Theory. Journal of Mekong
Societies Vol.12 No.3
Burgos, Sigfrido and Sophal Ear. 2010. China's Strategic Interests in Cambodia:
Influence and Resources. Asian Survey, Vol. 50, No. 3. University of
California Press
Chul Cho, Young. 2009. Conventional and Critical Constructivist Approaches to
National Security: An Analitycal Survey. The Korean Journal of International
Relations, Vol. 49, No. 3
Cosslett, Tuyet L,dan Patrick D. Cosslett. 2017. Sustainable Development of Rice
and Water Resources in Mainland Southeast Asia and Mekong River Basin.
Dipublikasi oleh Singapore: Springer
Deng, Yong. 1992. Sino –Thai Relations : From Strategic Co-opertaion to
Economic Diplomacy, Contemporary Southeast Asia, Vol. 13, No. 4, di
publikasi oleh ISEAS - Yusof Ishak Institute
Deng, Yong. 1992. Sino –Thai Relations : From Strategic Co-opertaion to
Economic Diplomacy. Contemporary Southeast Asia, Vol. 13, No. 4. oleh
ISEAS - Yusof Ishak Institute
Dessler, David. 1997. Review of National Interests in International Society by
Martha Finnemore. American Journal of Sociology, Vol. 103, No. 3. The
University of Chicago Press
xviii
El Bilad, Cecep Zakarias. 2011. Konstruktivisme Hubungan Internasional: Meretas
Jalan Damai Perdebatan Antar Paradigma. Jurnal Studi Hubungan
Internasional, Vol. 1 No 2
Friedman, Edward. 1994. Reconstructing China’s National Identity: A Southern
Alternative to Mao-Era Anti-Imperialist Nationalism. The Journal of Asian
Studies Vol. 53, no. 1
Goh, Evelyn. 2004. China In The Mekong River Basin: The Regional Security
Implications Of Resource Development On The Lancang Jiang. Institute of
Defence and Strategic Studies Singapore
Guzzini, Stefano. 2000. “A Reconstruction of Constructivism in International Relations.
European Journal of International Relations”. European Journal of International
Relations Vol.6(2) p.147‐182. SAGE Publications.
Henrikson, Alan K. 2002. Distance and Foreign Policy : a Political Geography
approach”, International Political Science Review. Sage Publications
Hiebert, Murray. 2015.“China & Southeast Asia Relations Testimony to USCC :
China’s Relations with Burma, Malaysia, and Vietnam”, dipublikasi oleh
Center for Strategic and International Studies
Holloway, Steven. 1996. Review dari Martha Finnemore, National Interests in
International Society. Cornell University Press, 1996, pp. xi, 154. Canadian
Journal of Political Science/Revue canadienne de science politique
Hopf, Ted. 1998. The Promise of Constructivism in International Relations Theory.
International Security Vol. 23, No. 1. President and Fellows of Harvard
College and the Massachusetts Institute of Technology
Jacobs, Jeffrey W. 1995. Mekong Committee History and Lessons for River Basin
Development. The Geographical Journal, Vol. 161, No. 2. Geographicalj
Julien, Frédéric. 2012. “Hydropolitics is What Societies Make of It (or Why We
Need a Constructivist Approach to the Geopolitics of Water)”. International
Journal of Sustainable Society 4, no.1-2. Inderscience Enterprises Ltd
Keskinen, Marko. 2008. Water Resources Development and Impact Assessment in
the Mekong Basin: Which Way to Go?. Ambio, Vol. 37 No. 3. Mekong at the
Crossroads. Springer on behalf of Royal Swedish Academy of Sciences
Lee, Paul SN. 2016.“The rise of China and its contest for discursive power”, Global
Media and China 2016, Vol. 1(1–2) 102-120, dipublikasi oleh SAGE
Publication.
Liebman, Alex. 2005. Trickle-down Hegemony? China's "Peaceful Rise" and Dam
Building on the Mekong. Contemporary Southeast Asia, Vol. 27, No. 2.
ISEAS- Yusof Ishak Institute
Magee, Darrin. 2006. “Yunnan Hydropower under Great Western Development”,
dimuat dalam The China Quarterly No. 185, dipublikasi oleh Cambridge
University Press on behalf of the School of Oriental and AfricanStudies
xix
Magee, Darrin. 2006. Yunnan Hydropower under Great Western Development, The
China Quarterly No. 185. Cambridge University Press on behalf of the School
of Oriental and AfricanStudies
Shiraishi, Maya. 2009. Japan Toward the Indochina Sub-Region. Journal of Asia-
Pacific Studies No. 13. Waseda University GSPAS
Sinaga, Lidya C. 2015. “China's Assertive Foreign Policy in South China Sea
Under Xi Jinping: Its Impact on United States and Australian Foreign
Policy”, dimuat dalam Journal of ASEAN Studies 3, 2, pp. 133-149. Tersedia
di http://dx.doi.org/10.21512/jas.v3i2.770 diakes pada 22 Maret 2018 pukul
15.04 WIB
Somantri, Gumilar Rusliwa. 2005. Memahami Metode Kualitatif. MAKARA Sosial
Humaniora, Vol. 9, No. 2
Sunchindah, Apichai. 2013. “The Lancang-Mekong River Basin: Reflections on
Cooperation Mechanisms Pertaining to a Shared Watercours”, di publikasi
oleh S. Rajaratnam School of International Studies
Sunchindah, Apichai. 2013. Policy Brief Lancang-Mekong River Basin Reflections
on Cooperation Mechanisms Pertaining to A Shared Watercourse. S
Rajaratnam School of Internasional Studies
Sung, Kang Hyo. 2016. “Mekong-ROK Cooperation”, dimuat dalam Mekong
Forum 2016 Sharing Responsibility For Common Prosperity, dipublikasi
oleh Mekong Institute
Suzuki, Shogo. 2007. “The Importance of ‘Othering’ in China’s National Identity:
Sino-Japanese Relations as a Stage of Identity Conflicts.” Dipublikasi oleh
The Pacific Review 20, h. 34
Wan, Min. 1995-1196. “Japan and the Asian Development Bank”, Pacific Affairs,
Vol. 68, No, dipublikasi oleh Pacific Affairs, University of British Columbia
Wan, Min. 1995-1996. “Japan and the Asian Development Bank”. Pacific Affairs,
Vol. 68, No, Pacific Affairs University of British Columbia
Wendt, Alexander. 1992. “Anarchy is what states make of it”. International
Organisation, Vol. 46, No. 2. The MIT Press
Wendt, Alexander. 1994. Collective Identity Formation and the International State.
The American Political Science Review Vol. 88, No. 2. American Political
Science Association
Wendt, Alexander. 1995. Constructing International Politics. International
Security, Vol. 2, No. 1. MIT Press
Wouters,Patricia dan Huiping Chen. China’s ‘Soft-Path’ to Transboundary Water
Cooperation Examined in The Light of Two UN Global Water Conventions
– Eploring The ‘Chinese Way’. The Journal of Water Law. Lawtext
Publishing Limited
xx
Xiaoyu, Pu. 2017. “Controversial Identity of a Rising China”. dimuat dalam The
Chinese Journal of International Politics, 2017, Vol. 10, No. 2, pp. 131–149.
dipublikasi oleh Oxford University Press.
Yoshimatsu, Hidetaka. 2010. The Mekong Region, Regional Integration, And
Political Rivalry Among ASEAN. China and Japan Asian Perspective Vol. 34,
No. 3. Lynne Rienner Publishers
Zhenming, Zhu, 2010. Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation
in the Greater Mekong Subregion Cooperation, Ritsumeikan International
Affairs Vol.8
Tesis dan Disertasi :
Forsby, Andreas Bøje. 2015. “The Logic of Social Identity in IR: China’s Identity
and Grand Strategy in the 21st Century” (Disertasi Departement of Political
Science University of Copenhagen) tersedia di
https://www.diis.dk/files/media/documents/activities/phd_dissertation.pdf
diakses pada 19 Februari 2018, pukul 09.23 WIB
Lu, Yang, 2013, “Dynamics of National Interest and National Identity : A
Constructivist Approach to the India-China Relations (2003-2012)”,
dipublikasi oleh Fakultät für Wirtschafts- und Sozialwissenschaften der
Ruprecht-Karls-Universität Heidelberg, terdapat di http://archiv.ub.uni-
heidelberg.de/volltextserver/17000/ diakses pada 8 Januari 2017, pukul
Artikel dari Website Internet:
“About MRC”, tersedia dalam http://www.mrcmekong.org/about-mrc/ diakses
pada 22 Oktober 2017 pukul 00.17 WIB
“China's Initiation of the Five Principles of Peaceful Co-Existence” tersedia di
http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/ziliao_665539/3602_665543/3604_6655
47/t18053.shtml diakses pada 13 November 2017, pukul 10.01 WIB
“Cross-border Infrastructure Ayeyawady-Chao Phraya-Mekong Economic
Cooperation Strategy (ACMECS)”, tersedia dalam
https://aric.adb.org/initiative/ayeyawady-chao-phraya-mekong-economic-
cooperation-strategy di akses pada 21 November 2011 pukul 12.52 WIB
“introduction AIIB”, terdapat di https://www.aiib.org/en/about-aiib/index.html
diakses pada 04 Januari 2018, pukul 13.45 WIB
“Is the Early Harvest good for RP?” Tersedia di http://ph.china-
embassy.org/eng/sgdt/t171568.html diakses pada 27 November 2017, pukul
08.21 WIB
“Lancang – Mekong Cooperation: MRC welcomes the New Initiative for Regional
Cooperation by six countries in the Mekong River Basin”, tersedia dalam
http://www.mrcmekong.org/news-and events/news/lancang-mekong-
xxi
cooperation-mrc-welcomes-the-new-initiative-for-regional-cooperation-by-
six-countries-in-the-mekong-river-basin/ diakses pada 24 Oktober 2017,
pukul 22.46 WIB.
“Lancang-Mekong Cooperation Mechanism”, tersedia dalam
http://www.chinaaseanenv.org/lmecc/strategy_and_mechanism/cooperation
_mechanism/201711/t20171107_425953.html diakses pada 21 November
2017, pada pukul 15.37 WIB
“Lower Mekong Initiative”, tersedia dalam https://www.usaid.gov/vietnam/lower-
mekong-initiative-lmi diakses pada 17 November 2017, pukul 01.34 WIB
“Mekong Mainstream Dams”, tersedia dalam
https://www.internationalrivers.org/campaigns /mekong-mainstream-dams
diakses pada 23 oktober 2017, pukul 21.34 WIB
“Mekong River Commission 20th Years of Cooperation”, tersedia dalam
www.mrcmekong.org diakses pada 20 November 2017 pukul 00.28 WIB
“Overview of the Greater Mekong Subregion”, tersedia dalam
https://www.adb.org/countries/gms/overview diakses pada 22 Oktober 2017
pukul 13:22 WIB.
“Physiography”, tersedia dalam http://www.mrcmekong.org/mekong-
basin/physiography/ diakses pada 20 November 2017 pukul 14.21 WIB.
“President Xi Jinping Delivers Important Speech and Proposes to Build a Silk Road
Economic Belt with Central Asian Countries” tersedia di
http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/topics_665678/xjpfwzysiesgjtfhshzzfh_6
65686/t1076334.shtml diakses pada 11 Januari 2018, pukul 18.28 WIB
“Sanya Declaration of the First Lancang-Mekong Cooperation (LMC) Leaders'
Meeting--For a Community of Shared Future of Peace and Prosperity among
Lancang-Mekong Countries” tersedia di
http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjdt_665385/2649_665393/t1350039.sh
tml diakses pada 24 November 2017, pukul 15.22 WIB.
“Sustainable Hydropower”, tersedia dalam
http://www.mrcmekong.org/topics/sustainable-hydropower/ di akses pada 17
November 2017, pukul 14.46 WIB
“The Story of Mekong cooperation”, tersedia dalam
http://www.mrcmekong.org/about-mrc/history/ diakses pada 22 Oktober
pukul 00.29 WIB
“The US Lower Mekong Initiative” tersedia di https://www.stimson.org/the-us-
lower-mekong-initiative diakses pada 17 November 2017, pukul. 21 54 WIB
Biba, Sebastian. 2016. “China Drives Water Cooperation with Mekong Countries”,
tersedia dalam https://www.chinadialogue.net/article/show/single/en/8577-
China-drives-water-cooperation-with-Mekong-countries dikses pada 24
Oktober 2017, pukul 21.49 WIB
xxii
Cai, Peter. 2017.“Undestanding China’s Belt and Road Initiative”, dipublikasi
oleh Lowy Institute for International Policy, tersedia dalam
https://www.lowyinstitute.org/sites/default/files/documents/Understanding
%20China%E2%80%99s%20Belt%20and%20Road%20Initiative_WEB_1.
pdf diakses pada 17 Desember 2017, pukul 12.22 WIB
Chingchit, Sasiwan, “The Curious Case of Thai-Chinese Relations: Best Friends
Forever?”, tersedia dalam https://asiafoundation.org/2016/03/30/the-
curious-case-of-thai-chinese-relations-best-friends-forever/ diakses pada 18
November 2017, pukul 22.11 WIB
Curtis, Lisa. 2008. “China's Expanding Global Influence: Foreign Policy Goals,
Practices, and Tools” tersedia di https://www.heritage.org/testimony/chinas-
expanding-global-influence-foreign-policy-goals-practices-and-tools diakses
pada 23 November 2017, pukul 16.34 WIB
French, Howard W, dkk. 2017. “How China’s History Shapes, and Warps, its
Policies Today For Beijing, the past is exceptionally useful, and usefully
exceptional” tersedia dalam http://foreignpolicy.com/2017/03/22/how-
chinas-history-shapes-its-foreign-policy-empire-humiliation/ diakses pada
11 Desember 2017, pukul 22.52 WIB
French, Howard W. 2017. “How China’s History Shapes, and Warps, its Policies
Today For Beijing, the past is exceptionally useful, and usefully exceptional”
tersedia di http://foreignpolicy.com/2017/03/22/how-chinas-history-shapes-
its-foreign-policy-empire-humiliation/ diakses pada 16 Januari 2018 pukul
21.55 WIB
Gitter, David. 2017. “China Sells Socialism to the Developing World Expect China
to become more assertive in pushing its alternative development model to
other countries”. Tersedia di https://thediplomat.com/2017/10/china-sells-
socialism-to-the-developing-world/ diakses pada 20 November 2017, pukul
10.12 WIB
Goh, Brenda dan Andrew R.C. Marshall. 2017. “China's Silk Road push in Thailand
may founder on Mekong River row”, tersedia di
https://www.reuters.com/article/us-china-silkroad-mekong/chinas-silk-road-
push-in-thailand-may-founder-on-mekong-river-row-idUSKBN17Y2N9
diakses pada 2 Desember 2017, pukul 13.22 WIB
Goh, Evelyn. 2004. “China in the Mekong River Basin : the Regional Security
Implications of Resource Development on the Lancang Jiang”, Institute of
Defense and Strategic Studies Singapore, tersedia dalam
https://www.rsis.edu.sg/wp-content/uploads/rsis-pubs/WP69.pdf diakses
pada 17 November 2017 pukul 15.33 WIB, h.1
Griffiths, James. 2017. ”Just what is this One Belt, One Road thing anyway?”
dipublikasi oleh CNN, tersedia dalam
http://edition.cnn.com/2017/05/11/asia/china-one-belt-one-
roadexplainer/index.html diakses pada 27 Desember 2017 pukul 23.00 WIB.
xxiii
He, Daming. 2014. “China's transboundary waters: new paradigms for water and
ecological security through applied ecology”, tersedia dalam
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4278448/ diakses pada 13
November 2017, pukul 15.02 WIB
Hensengerth, Oliver. 2009. “Money and Security : China Strategic Interest in the
Mekong River Basin” tersedia dalam www.chathamhouse.org.uk diakses
pada 21 November 2017 pukul 15.01 WIB
Huaxia, “China Focus: China says Lancang-Mekong Cooperation to bridge
development gaps within ASEAN”, tersedia di
http://news.xinhuanet.com/english/2016-03/17/c_135198837.htm diakses
pada 28 November 2017, pukul 00.51 WIB
Jianfeng, Zhang,“China to play vital role in development of Lancang-Mekong
cooperation framework: Vietnamese expert”, tersedia dalam
http://english.cntv.cn/2016/03/15/ARTIGyawPwCe8mQa71TvPsp2160315.
shtml diakses pada 27 November 2017 pukul 23.48 WIB
Krisman, Khanisa dan Sandy Raharjo. 2016. “China Challenging Subregionalism
in Southeast Asia”, tersedia di http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-
1/politik-internasional/1081-china-challenging-Subregionalism-in-
southeast-asia diakses pada 14 Januari 2018, pukup 16.03 WIB
Li, Xue dan Li Yongke. 2017. “The Belt and Road Initiative and China's Southeast
Asia Diplomacy Ranking China’s potential BRI partners in Southeast Asia.”
Tersedia di https://thediplomat.com/2017/11/the-belt-and-road-initiative-
and-chinas-southeast-asia-diplomacy/ diakses pada 17 Desember 2017, pukul
15.12 WIB
Neugebauer , Max. 2016. “China’s Cooperation on the Mekong River in the Realm
of Complex Interdependence” tersedia di http://www.e-
ir.info/2016/12/04/chinas-cooperation-on-the-mekong-river-in-the-realm-of-
complex-interdependence/ di akses 23 November 2017, pukul 23.35 WIB
Neusner, Gabriella. 2016. “Why the Mekong River Commission Matters Despite
its limitations, the body is key to ongoing efforts to save one of the world’s
largest and longest rivers” tersedia dalam
https://thediplomat.com/2016/12/why-the-mekong-river-commission-
matters/ diakses pada 17 Desember 2017, pukul 13.41 WIB
Son, Johanna. “Mekong Cooperation, China-style” tersedia dalam
http://www.aseannews.net/mekong-cooperation-china-style/ diakses pada 28
Desember 2017, pukul 23.35 WIB
Son, Johanna. “Mekong Cooperation, China-style” tersedia di
http://www.aseannews.net/mekong-cooperation-china-style/ diakses pada 20
Januari 2018 pukul 15.45 WIB
Tolentino, JR, Amado S. 2013. “Asean and China: Cooperation in the Mekong
River?”, tersedia di http://www.manilatimes.net/asean-and-china-
xxiv
cooperation-in-the-mekong-river/45892/ diakses pada 24 November 2017,
pukul 09.47 WIB
Vannarith, Chheang. 2016. “The Mekong Region: From A Divided To A Connected
Region”, dipublikasi oleh Konrad-adenauer-stiftung (KAS) Cambodia,
tersedia dalam http://www.kas.de/kambodscha/en/publications/48018/
diakses pada 21 November 2017, pukul 22.51 WIB
Xinhua, “LancangMekong Cooperation vital to regional stability, boosting
economic development: Cambodia”, tersedia dalam
http://www.chinadaily.com.cn/bizchina/201603/19/content_23964710.htm
diakses pada 28 November 2017, pukul 02.00 WIB
Yee, Tan Hui. 2016. “Beijing sweetens ground for China-led regional initiative Its
offer to hasten water flow from Yunnan dam eases concerns of drought-hit
Mekong River nations” tersedia dalam http://www.straitstimes.com/asia/se-
asia/beijing-sweetens-ground-for-china-led-regional-initiative diakses pada
12 Desember 2017, pukul 15.05 WIB
Yi, Yang. “China on the Lancang/Mekong: ‘We Share the Water, We Share the
River”, tersedia dalam http://www.aseannews.net/china-lancangmekong-
share-water-share-river/ diakses pada 28 Desember 2017, pukul 23.22 WIB
Zhen, Liu. 2016. “China pledges billions to Mekong River countries in bid to boost
influence and repair reputation amid tensions in South China Sea” tersedia di
http://www.scmp.com/news/china/diplomacy-
defence/article/1929881/china-pledges-billions-mekong-river-countries-bid-
boost diakses pada 20 November 2017, pukul 14.17 WIB
Zhou, Laura. 2018. “Five things to know about the Lancang-Mekong Cooperation
summit Five-year development plan, including construction of hydropower
dams, is expected to top agenda at Mekong River nations’ conference in
Cambodia”, tersedia di http://www.scmp.com/news/china/diplomacy-
defence/article/2127387/five-things-know-about-lancang-mekong-
cooperation , diakses pada 3 Januari 2018, pukul 18.51 WIB
Ziabari, Kourosh. 2012. ”China’s Role in International Affairs: an Interview with
Prof. Zhiqun Zhu”, tersedia di
https://www.foreignpolicyjournal.com/2012/05/31/chinas-role-in-
international-affairs-an-interview-with-prof-zhiqun-zhu/ diakses pada 3
Januari 2018, pukul 19.00 WIB
xxv
LAMPIRAN
Lampiran 1
Sanya Declaration of the First Lancang-Mekong Cooperation (LMC)
Leaders' Meeting
--For a Community of Shared Future of Peace and Prosperity among
Lancang-Mekong Countries
2016/03/23
We, the Heads of State/Government of the Kingdom of Cambodia, the People's
Republic of China, Lao People's Democratic Republic, the Republic of the Union
of Myanmar, the Kingdom of Thailand, and the Socialist Republic of Viet Nam, on
the occasion of the First Lancang Mekong Cooperation (LMC) Leaders' Meeting in
Sanya, China on 23 March 2016;
Recognizing that our six countries are linked by mountains and rivers, share cultural
similarities and enjoy good neighborliness and strong friendship, and that our
security and development interests are closely inter-connected;
Noting with pleasure that our six countries enjoy deepening political trust and sound
cooperation through establishment of bilateral comprehensive strategic
partnerships, and multilateral coordination in regional and international
frameworks in boosting peace, stability and development of the region and the
world at large;
Acknowledging that our six countries, all located in the Lancang-Mekong area, face
common tasks of developing the economy and improving people's living standards
while, at the same time, face common challenges such as the increasing downward
trend of the global and regional economy and non-traditional security threats such
as terrorism, natural disasters, climate change, environmental problems, and
pandemics;
Recalling that, H.E. Li Keqiang, Premier of the State Council of the People's
Republic of China, proposed the establishment of the Lancang-Mekong
Cooperation Framework at the 17th China – ASEAN Summit, echoing Thailand's
initiative on sustainable development of the Lancang–Mekong Sub-region;
Affirming the shared vision of the six member countries that the LMC would
contribute to the economic and social development of Subregional countries,
enhance well-being of our people, narrow the development gap among regional
countries and support ASEAN Community building as well as promoting the
xxvi
implementation of the UN 2030 Agenda for Sustainable Development and
advancing South - South cooperation;
Welcoming the successful convening of the First LMC Foreign Ministers' Meeting
on 12 November 2015 in Jinghong, Yunnan Province, China, which issued the
Concept Paper on the Framework of the Lancang-Mekong Cooperation and the
Joint Press Communique of the First Lancang-Mekong Cooperation Foreign
Ministers' Meeting;
Reaffirming our commitment to peace, stability, sustainable development and
prosperity of the sub-region and our resolve to strengthen mutual trust and
understanding and join forces in addressing economic, social and environmental
challenges faced by the sub-region to realize its enormous potentials for
development;
Stressing that LMC shall follow the spirit of openness and inclusiveness, tally with
the priority areas of ASEAN Community building and ASEAN – China
cooperation, and complement and develop in synergy with existing Subregional
cooperation mechanisms;
Further Stressing that LMC will be based on the principles of consensus, equality,
mutual consultation and coordination, voluntarism, common contribution and
shared benefits, and respect for the United Nations Charter and international laws;
Sharing the view that LMC will be conducted within a framework featuring leaders'
guidance, all-round cooperation and broad participation, and follow a government-
guided, multiple-participation, and project-oriented model and that the LMC is
aimed at building a community of shared future of peace and prosperity and
establishing the LMC as an example of a new type of international relations,
featuring win–win cooperation;
Agreeing that LMC practical cooperation will be carried out through the three
cooperation pillars, namely (1) political and security issues, (2) economic and
sustainable development, and (3) social, cultural and people -to-people exchanges;
Endorsing the view that practical cooperation will start with five key priority areas
during the initial stage of the LMC, namely connectivity, production capacity,
cross-border economic cooperation, water resources, agriculture and poverty
reduction, as agreed upon at the First LMC Foreign Ministers' Meeting;
Hereby agree to take the following measures:
1. Promote high-level exchanges, dialogue and cooperation to enhance trust and
understanding in the sub-region with a view to strengthening sustainable security;
xxvii
2. Encourage parliaments, government officials, defense and law enforcement
personnel, political parties and civil societies to enhance exchanges and cooperation
and increase mutual trust and understanding. Support activities such as LMC policy
dialogue and officials' exchange programs;
3. Deepen law enforcement and security cooperation through information
exchange, capacity building and coordination of joint operations, in accordance
with rules, regulations and procedures of each member country; support the
establishment of a law enforcement cooperation institution to facilitate such
cooperation;
4. Enhance cooperation against non–traditional security threats, including
terrorism, transnational crimes, and natural disasters; promote cooperation in
addressing climate change impacts, humanitarian assistance, ensuring food, water
and energy security;
5. Advance the China–ASEAN strategic partnership, and strengthen cooperation
under the framework of ASEAN+3, East Asia Summit, ASEAN Regional Forum
and other regional cooperation mechanisms;
6. Encourage synergy between China's Belt and Road initiative and LMC activities
and projects, as well as relevant development programs of the Mekong countries,
including the Master Plan on ASEAN Connectivity (MPAC);
7. Step up both hardware and software connectivity among the LMC countries.
Improve the Lancang-Mekong rivers, roads and railways network, push forward
key infrastructure projects to build a comprehensive connectivity network of
highway, railway, waterway, ports and air linkages in the Lancang-Mekong region;
expedite the construction of network of power grids, telecommunication and the
Internet; implement trade facilitation measures, promote trade and investment and
facilitate business travel;
8. Expand production capacity cooperation in areas such as engineering, production
of the building materials, supporting industries, machinery and equipment, power,
renewable energy to build a Subregional comprehensive industrial link in a joint
endeavor to tackle challenges faced by members' economies, as reflected in the
Joint Statement on Production Capacity Cooperation among Lancang-Mekong
Countries adopted at this Meeting;
9. Support enhanced economic and technological cooperation and the development
of economic zones in border areas, industrial zones and sci-tech parks;
10. Enhance cooperation among LMC countries in sustainable water resources
management and utilization through activities such as the establishment of a center
in China for Lancang-Mekong water resources cooperation to serve as a platform
for LMC countries to strengthen comprehensive cooperation in technical
xxviii
exchanges, capacity building, drought and flood management, data and information
sharing, conducting joint research and analysis related to Lancang-Mekong river
resources;
11. Carry out technical exchanges and capacity building cooperation in agriculture,
establish more agricultural technology centers and high-quality, high-yield
demonstration stations (bases) in Mekong countries, strengthen cooperation in
fishery and animal husbandry, and food security and elevate the level of agricultural
development;
12. Implement the "Cooperation Initiative on Poverty Reduction in East Asia",
establish poverty reduction model bases in the Mekong countries, enhance
experience sharing and implement relevant projects;
13. Emphasize the importance of a stable financial market and sound financial
structure to the development of real economy; support efforts to enhance capacity
for and coordination on financial supervision and regulations; continue studies and
exchange experiences in order to facilitate the use of bilateral currency swap, local
currency settlement and cooperation among financial institutions;
14. Support efficient operation of AIIB as members of AIIB and seek support from
AIIB in addressing the financing gap in infrastructure development;
15. Encourage sustainable and green development, enhance environmental
protection and natural resources management; develop and utilize sustainably and
efficiently clean energy sources, develop regional power market, and enhance
exchange and transfer of clean energy technologies;
16. Work together to push forward the Regional Comprehensive Economic
Partnership (RCEP) negotiations and look forward to the conclusion of the
negotiations in 2016, and promote trade and investment facilitation in East Asia;
17. Strengthen cultural exchanges among member countries, support exchanges and
cooperation among cultural organizations and artists, explore the possibility of
building a Lancang-Mekong cultural exchange platform, give full play to the role
of cultural centers set up by governments and carry out various forms of cultural
exchanges;
18. Advance cooperation and experience sharing in science and technology; deepen
cooperation in human resource development, educational policy and professional
training, exchanges among educational authorities, universities and colleges;
19. Expand cooperation in public health, particularly the areas of epidemic
monitoring, joint prevention and control, technology and equipment, and personnel
training, work for the establishment of a Lancang-Mekong tropical disease
xxix
monitoring and early warning platform. Promote cooperation in traditional
medicine;
20. Increase tourism exchanges and cooperation, improve tourism environment,
enhance regional tourism facilitation, and strive to establish a Lancang-Mekong
tourist cities cooperation alliance;
21. Encourage exchanges among the mass media, think tanks, women and youth,
build a think tank network and media forum of the six countries, and continue to
carry out Lancang-Mekong youth exchange events;
22. Hold LMC Leaders' Meeting once every two years, and ad hoc or informal
leaders meetings as needed, to map out strategic planning for long-term LMC
development; hold LMC Foreign Ministers' Meeting once a year to conduct policy
planning and coordination for cooperation; hold senior diplomatic officials'
meetings and working group meetings as necessary to discuss cooperation in
specific fields; improve LMC institutional building in accordance with future
cooperation needs;
23. Welcome China's commitment to establish a LMC Fund, provide concessional
loans and special loans, and provide 18,000 person-year scholarships and 5,000
training opportunities to candidates from Mekong countries in the next 3 years to
support closer cooperation among Lancang-Mekong countries;
24. Endorse the joint list of "early harvest" projects, and look forward to their early
implementation for the benefits of all member countries. Joint working groups shall
be established by the line agencies of member countries to develop and implement
LMC projects;
25. Strengthen cooperation in personnel training in various fields to improve
capacity building of the Lancang-Mekong countries, and provide intellectual
support to the long-term development of LMC;
26. Encourage closer exchanges among government agencies, local provinces and
districts, business associations and non-governmental organizations of our six
countries to discuss and carry out relevant cooperation.
Diunduh di :
http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjdt_665385/2649_665393/t1350039.shtml
xxx
Lampiran 2
Joint Press Communiqué of the First Lancang-Mekong Cooperation Foreign
Ministers’ Meeting 12 November 12, 2015 Jinghong, Yunnan, China
1. The First Lancang-Mekong Cooperation (LMC) Foreign Ministers’ Meeting was
held in Jing Hong City, Yunan Province of China on 12 November 2015. H.E.
Wang Yi, Minister of Foreign Affairs of the People’s Republic of China, H.E. Don
Pramudwinai, Minister of Foreign Affairs of the Kingdom of Thailand, H.E. Hor
Namhong, Deputy Prime Minister and Minister of Foreign Affairs and International
Cooperation of the Kingdom of Cambodia, H.E. Thongloun Sisoulith, Deputy
Prime Minister and Minister of Foreign Affairs of the Lao People’s Democratic
Republic, H.E. U Wunna Maung Lwin, Union Minister for Foreign Affairs of the
Republic of the Union of Myanmar and H.E. Pham Binh Minh, Deputy Prime
Minister and Minister of Foreign Affairs of the Socialist Republic of Viet Nam
attended the meeting. The Ministers had an in-depth exchange of views on
promoting cooperation under the framework of the LMC and reached extensive
consensus.
2. The Ministers noted that the six countries along the Lancang-Mekong River are
closely linked geographically, socially and culturally and are endowed with
abundant natural and human resources with huge potentials for development and
immense prospects for cooperation. Closer cooperation among the six countries will
help promote economic and social development, enhance sustainable development,
narrow development gaps among countries in the Mekong sub-region which will
contribute to ASEAN community building and regional integration and enhance the
well-being of the people in this region.
3. The Ministers noted with satisfaction that, as a follow-up to the initiative put
forward at the 17th China-ASEAN Summit, the First and Second LMC Senior
Officials’ Meetings were held in April and August 2015 respectively with fruitful
discussions on establishing the LMC framework.
4. The Ministers expressed commitment to deepening mutual trust and good-
neighborliness, promoting economic and sustainable development, and advancing
social, cultural and people-to-people Final 2 exchanges, including expanding trade
and investment, improving connectivity and enhancing water resources cooperation
of the sub-region and developing the LMC framework into a platform of
Subregional cooperation featuring extensive consultation, joint contribution and
shared benefits based on the principles of consensus, equality, coordination, mutual
benefits, and respect for the United Nations Charter and international laws.
5. The Ministers agreed that LMC will adhere to the spirit of openness and
inclusiveness and complement and work in tandem with other Subregional
frameworks such as the Greater Mekong Subregion (GMS) Economic Cooperation
xxxi
Program, ASEAN Mekong Basin Development Cooperation (AMBDC) and the
Mekong River Commission (MRC) to jointly promote regional integration process.
6. The Ministers welcomed the LMC Concept Paper and decided to carry out
practical cooperation in the three priority areas, namely, (1) Political and Security
Issues, (2) Economic and Sustainable Development, and (3) Social, Cultural, and
People-to-People Exchanges, so as to build a closer Lancang-Mekong Community
of mutually beneficial cooperation.
7. The Ministers suggested the establishment of a multi-layer LMC structure in the
future and suggested that the First LMC Leaders’ meeting be held in 2016 at an
appropriate time as will be agreed upon by the six LMC countries.
8. The Ministers discussed the LMC Early Harvest Projects proposed by China and
the Mekong countries, which covers cooperation projects in such areas as water
resources management, poverty alleviation, public health, infrastructure, science
and technology and personnel exchanges and expected to see an early
implementation of these projects so as to deliver benefits to the people in the region.
9. The Ministers agreed that projects within the LMC framework and their funding
shall be agreed upon by the Governments concerned through consultation, without
prejudice to support by other financial mechanisms and international institutions.
10. The Ministers were pleased with the launching of the LMC framework. Mekong
countries’ Ministers expressed their sincere thanks to the People’s Republic of
China for the warm hospitality extended to the Mekong countries’ delegations and
for the excellent arrangements for the Meeting.
Diunduh di :
http://www.mfa.go.th/main/contents/files/media-center-20151117-123745-
981913.pdf.
xxxii
Lampiran 3 : Naskah Wawancara dengan Bapak Sandy Nur Ikhfal Raharjo
Interviewee : Shandy Nur Ikhfal
Raharjo272
Interviewer : Afriliani
Date : 20-12-2017 Source : Wawancara langsung di
Gedung Wanabhakti LIPI (direkam)
Mengapa Tiongkok menginisiasi LMC?, Apakah terkait dengan proyek
OBOR dan pengoptimalan AIIB? Atau sebenarnya Tiongkok memiliki
kepentingan yang lain?
Ini juga menjadi pertanyaan kami ketika meneliti tentang LMC yang establishment
pada tahun 2015 akhir di Tiongkok, pertanyaan kamu sama dengan pertanyaan saya
yang sampai sekarang masih bikin penasaran kenapa Tiongkok mau membuat kerja
sama Subregional yang baru, kenapa tidak memaksimalkan GMS atau MRC.
Menurut saya satu sih yang paling kentara dari kepentingan Tiongkok, salah
satunya BRI yang berubah lagi menjadi OBOR pada tahun 2017 dalam kongres
PKC, terkait dengan OBOR yang merupakan sektor utama dalam OBOR adalah
interconnectivity, sektor itu sendiri di LMC menjadi salah satu sektor yang
diprioritaskan kalau kita liat dia GMS juga mereka fokus terhadap konektivitas.
Coba kamu perhatikan, dalam GMS itu ada program North-South Corridor ya,
North-South Corridor itu bahkan menghubungkan Tiongkok di bagian selatan
provinsinya itu sampai ke Bangkok, jadi masalahnya kalau hanya konektivitas
sepertinya tanpa membuat LMC pun Tiongkok sudah mendapatkan kepentinganya
terkait pembangunan konektivitas bukan hanya menghubungkan dengan Bangkok
di Thailand, tapi juga bahkan di sisi yang Vietnam itu juga ada, kemudian
Myanmar, bahkan nanti ujungnya itu kalo disambungkan bisa sampai ke Kamboja
dan Vietnam di bagian bawah di Ho Chi min City. Jadi oke, kepentingan OBOR itu
ada tetapi apakah itu jadi faktor yang paling menentukan untuk Tiongkok membuat
LMC, menurut saya tidak karena kepentingan pembuatan konektivitas itu sudah ada
di GMS. Selain itu, dalam konteks kerja sama Subregional LMC pertama kalinya
272 Sandy Nur Ikhfal Raharjo merupakan Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) beliau pernah menulis artikel tentang Tiongkok dan LMC di website LIPI.
xxxiii
Tiongkok membentuk kerja sama meskipun sebelumnya sudah ada SCO, tapi untuk
konteks subregional ini pertama kalinya. LMC adalah signature nya Tiongkok, oh
saya bisa menginisiasi dan bisa membiayai satu kerja sama subregional dalam
rangka menunjukan apa dan kepada siapa, itu yang mungkin yang harus jadi analisis
skripsi mu gitu, buat apasih Tiongkok show of bahwa dia juga bisa bangun sendiri.
Terkait dengan AIIB, ini sebenarnya salah satu jawaban saya, setelah memabanding
kan LMC dengan GMS. GMS sekretariatnya dipegang oleh ADB, ADB itu investor
utamanya adalah Jepang. Nah, sementara ada saingan juga dari ADB yang sekarang
di bentuk Tiongkok yaitu AIIB yang mana investor utamanya adalah Tiongkok.
Jadi, dari situ saja kelihatan bahwa kenapa Tiongkok membentuk LMC,
kemungkinan besar adalah dalam rangka untuk menyaingi atau memenangkan
kompetisi dengan Jepang, yang sama-sama menjadi negara yang berpengaruh di
kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Jadi, persaingan diantara dua negara itu,
mungkin menjadi faktor utama mengapa LMC itu dibentuk Tiongkok. Dan ketika
bicara kompetisi kepentingan antara Tiongkok dan Jepang pasti kita harus
mengaitkanya dengan dukungan yang besar dari AS terhadap Jepang dalam rangka
menghadapi Tiongkok. Itu juga faktor yang perlu kamu pertimbangkan. Misalnya
persaingan itu juga tidak hanya kentara di LMC dan GMS saja tetapi kamu juga
bisa lihat dikasus-kasus lain, misalnya di investasi kedua negara tersebut di
Indonesia antara kereta cepat Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya, itu juga
menunjukan dan semakin menguatkan bahwa persaingan itu terjadi seperti itu.
Mungkin itu menurut saya jawaban utamanya.