94
203 ANALISIS KEMAMPUAN KOGNITIF TENTANG FUNGSI LABORATORIUM PADA DIKLAT PEMBENTUKAN KEPALA LABORATORIUM Rr Sri Sukarni Katamwatiningsih Balai Diklat Keagamaan Semarang, Jawa Tengah Email: [email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Diklat Pembekalan Penugasan Tambahan Kepala Laboratorium di Balai Diklat Keagamaan Semarang, dalam upaya meningkatkan kemampuan kognitif tentang fungsi Laboratorium. Selain itu penelitian ini untuk menemukan cara yang tepat dalam mengembangkan fungsi laboratorium pada pembelajaran IPA. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu memberikan gambaran keadaan pada saat berlangsungnya pelaksanaan diklat. Hasil tes sebanyak 23 orang (76,67%) telah memiliki kemampuan kognitif yang baik, dan 7 orang (23,33%) masih di bawah standar baik. Nilai yang didapat rata- rata 79,67. Hasil angket yang dengan 7 indikator kategori baik, ada 3 indikator respon peserta diklat masih di bawah standar. Rata-rata respon peserta diklat tentang fungsi laboratorium 81%. Hal ini menunjukkan kemampuan kognitif tentang fungsi laboratorium secara teoritis dan aplikatifnya sudah baik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kemampuan kognitif guru tentang fungsi laboratorium sudah baik. Kata kunci: kemampuan kognitif, fungsi laboratorium Abstract: This study aimed to analyze the laboratory head additional assignment training at the Semarang Religious Training Center, an effort to improve the cognitive abilities of the laboratory function. This research also aimed to find the suitable way to develop laboratory functions in learning science. This research is descriptive qualitative, that described the training implementation process. The results of the test participants, 23 people (76.67%) had good cognitive abilities, and 7 (23.33%) was still below the standard. The score average was 79.67. The results of a questionnaire with 7 indicators in each category, there were three indicators of response training participants were below the standard. The average of training participants’ response on the function of the laboratory was 81%. This showed that cognitive abilities of laboratory functions theory and practice was good. The study showed cognitive abilities of teachers about the laboratory function was good. Keywords: cognitive abilities, laboratory functions Pendahuluan Salah satu standar yang memegang peran penting dan strategis dalam peningkatan mutu pendidikan yaitu meningkatkan standar pendidik dan tenaga kependidikan. Standar tenaga laboratorium berdasarkan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing tenaga laboratorium sesuai dengan kualifikasi yang ditetapkan oleh Permendiknas Nomor 26 Tahun 2008. Pengelolaan laboratorium di sekolah/madrasah, meliputi: mengkoordinasikan kegiatan praktikum, menyusun jadwal kegiatan laboratorium, memantau pelaksanaan dan mengevaluasi kegiatan laboratorium serta menyusun laporan kegiatan laboratorium. Berbagai

ANALISIS KEMAMPUAN KOGNITIF TENTANG FUNGSI …lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2018/02/Des-16-Isi.pdf · Hasil angket yang dengan 7 indikator kategori baik, ada 3 indikator

  • Upload
    vukhanh

  • View
    228

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

203

ANALISIS KEMAMPUAN KOGNITIF TENTANG FUNGSI LABORATORIUM PADA DIKLAT PEMBENTUKAN

KEPALA LABORATORIUM

Rr Sri Sukarni KatamwatiningsihBalai Diklat Keagamaan Semarang, Jawa Tengah

Email: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Diklat Pembekalan Penugasan Tambahan Kepala Laboratorium di Balai Diklat Keagamaan Semarang, dalam upaya meningkatkan kemampuan kognitif tentang fungsi Laboratorium. Selain itu penelitian ini untuk menemukan cara yang tepat dalam mengembangkan fungsi laboratorium pada pembelajaran IPA. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu memberikan gambaran keadaan pada saat berlangsungnya pelaksanaan diklat. Hasil tes sebanyak 23 orang (76,67%) telah memiliki kemampuan kognitif yang baik, dan 7 orang (23,33%) masih di bawah standar baik. Nilai yang didapat rata-rata 79,67. Hasil angket yang dengan 7 indikator kategori baik, ada 3 indikator respon peserta diklat masih di bawah standar. Rata-rata respon peserta diklat tentang fungsi laboratorium 81%. Hal ini menunjukkan kemampuan kognitif tentang fungsi laboratorium secara teoritis dan aplikatifnya sudah baik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kemampuan kognitif guru tentang fungsi laboratorium sudah baik.

Kata kunci: kemampuan kognitif, fungsi laboratorium

Abstract: This study aimed to analyze the laboratory head additional assignment training at the Semarang Religious Training Center, an effort to improve the cognitive abilities of the laboratory function. This research also aimed to find the suitable way to develop laboratory functions in learning science. This research is descriptive qualitative, that described the training implementation process. The results of the test participants, 23 people (76.67%) had good cognitive abilities, and 7 (23.33%) was still below the standard. The score average was 79.67. The results of a questionnaire with 7 indicators in each category, there were three indicators of response training participants were below the standard. The average of training participants’ response on the function of the laboratory was 81%. This showed that cognitive abilities of laboratory functions theory and practice was good. The study showed cognitive abilities of teachers about the laboratory function was good.

Keywords: cognitive abilities, laboratory functions

Pendahuluan

Salah satu standar yang memegang peran penting dan strategis dalam peningkatan mutu pendidikan yaitu meningkatkan standar pendidik dan tenaga kependidikan. Standar tenaga laboratorium berdasarkan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing tenaga laboratorium sesuai dengan kualifikasi

yang ditetapkan oleh Permendiknas Nomor 26 Tahun 2008. Pengelolaan laboratorium di sekolah/madrasah, meliputi: mengkoordinasikan kegiatan praktikum, menyusun jadwal kegiatan laboratorium, memantau pelaksanaan dan mengevaluasi kegiatan laboratorium serta menyusun laporan kegiatan laboratorium. Berbagai

204

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

keterampilan pengelolaan laboratorium telah diperoleh guru melalui kegiatan pelatihan yang diselenggarakan instansi terkait.

Pelatihan bagi personil laboratorium IPA merupakan salah satu prioritas kegiatan untuk membentuk pengelola tenaga laboratorium yang terampil. Dengan demikian, perlu dipersiapkan tenaga pelatihan dan narasumber yang berkualitas sebagai sumber belajar yang dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap para pengelola laboratorium.

Keberhasilan penyelenggaraan kediklatan pengelolaan laboratorium tidak sekedar ditentukan dari nilai akhir yang diperoleh peserta diklat, karena terdapat aspek psikomotor dan sikap yang harus dikembangkan dalam kediklatan. Oleh karena itu, untuk mendukung keberhasilan pencapaian tujuan kediklatan pengelolaan laboratorium perlu diberdayakan fungsi laboratorium. Beberapa fungsi penting laboratorium yaitu 1) laboratorium menjadi tempat bagi guru untuk mendalami konsep, mengembangkan metode pembelajaran, memperkaya pengetahuan dan keterampilan; 2) sebagai tempat bagi peserta didik untuk belajar memahami karakteristik alam dan lingkungan melalui optimalisasi keterampilan proses serta mengembangkan sikap ilmiah. Jadi laboratorium sangat diperlukan dalam pembentukan sikap ilmiah peserta diklat.

Berdasarkan refleksi yang telah dilakukan widyaiswara di Balai Diklat Keagamaan Semarang yang telah melakukan proses pembelajaran pada

Diklat Pembentukan Kepala Laboratorium bahwa pemanfaatan laboratorium IPA di sekolah/madrasah, teridentifikasi beberapa permasalahan yaitu guru mengalami kesulitan memecahkan permasalahan kemampuan kognitif dalam strategi pengembangan laboratorium sebagai bentuk inovasi pengelolaan laboratorium. Kegiatan laboratorium yang dilakukan seorang guru dalam pembimbingan terhadap peserta didik telah diperoleh dalam proses pembelajaran untuk membuktikan suatu konsep. Namun demikian, usaha nyata untuk memberdayakan laboratorium dalam pembelajaran masih dirasa kurang optimal. Guru belum secara maksimal dalam mendalami konsep dan menggunakan metode pembelajaran.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan kemampuan kognif dalam strategi pengembangan laboratorium untuk pemanfaatan fungsi laboratorium. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kemampuan kognitif strategi pengembangan laboratorium dalam pemanfaatan fungsi laboratorium.

Fungsi Laboratorium di Sekolah/Madrasah

Peningkatan mutu masih merupakan prioritas pembangunan pendidikan di Indonesia dengan sasaran perbaikan mutu proses belajar mengajar di kelas dengan berorientasi pada setiap aspek perkembangan peserta didik. Secara naluriah, peserta didik menginginkan pengalaman belajar yang konkret, menyenangkan, dan mencakup semua aspek perkembangan dirinya (Joseph, 2010).

205

Sesuai dengan karakteristik pembelajaran IPA di sekolah/madrasah yang mengutamakan kerja ilmiah sehingga peserta didik dapat bersikap ilmiah dan selanjutnya konsep yang telah dikuasai akan diterapkan dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Tuntutan pembelajaran IPA tidak mungkin dapat terpenuhi apabila tidak didukung oleh kemampuan guru dalam menyelenggarakan kegiatan praktikum di laboratorium sebagai kunci keberhasilan pembelajaran IPA. Guru di sekolah/madrasah secara umum tidak didampingi oleh seorang laboran atau teknisi ketika memfasilitasi kegiatan praktikum, mengingat sebagian besar sekolah/madrasah saat ini belum memiliki kedua tenaga teknis pendukung di laboratorium, namun demikian ini bukan berarti kegiatan praktikum tidak dilaksanakan, justru guru harus mengambil peran sebagai guru dan sekaligus laboran.

Fungsi laboratorium yaitu sebagai tempat bagi guru untuk mendalami konsep, mengembangkan metode pembelajaran, memperkaya pengetahuan dan keterampilan, dan sebagainya, serta sebagai tempat bagi peserta didik untuk belajar memahami karakteristik alam dan lingkungan melalui optimalisasi keterampilan proses serta mengembangkan sikap ilmiah. Jadi, laboratorium sangat diperlukan dalam pembentukan sikap ilmiah peserta didik.

Dalam kenyataannya, pemanfaatan keberadaan laboratorium IPA di sekolah/madrasah masih sangat minim. Tdak sedikit sekolah/madrasah yang memiliki laboratorium lengkap, tetapi tidak digunakan dengan maksimal. Berbagai hal menjadi

kendalanya, antara lain tidak adanya petugas laboratorium (laboran) yang berfungsi untuk mengelola laboratorium tersebut. Kurangnya perhatian pengelolaan laboratorium menyebabkan minimnya pengetahuan peserta didik tentang pelajaran yang diterima di dalam kelas sehingga mereka hanya sebatas mengetahui teori tanpa mengerti bagaimana mempraktikkan secara ilmiah. Oleh sebab itu, diperlukan usaha dari pihak terkait untuk memberdayakan dan mengaktifkan kembali fungsi laboratorium di sekolah/madrasah demi meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu upaya untuk memberdayakan dan mengaktifkan kembali fungsi laboratorium tersebut yaitu dengan menyediakan tenaga pengelola laboratorium (laboran). Tanggung jawab pengelola laboratorium yaitu melaksanakan administrasi laboratorium berupa pengadministrasian buku inventaris alat/bahan, blanko permintaan alat, blanko permintaan bahan, program kegiatan laboratorium, buku harian kegiatan laboratorium, jadwal kegiatan laboratorium, serta menyusun/menata alat menurut jenis dan bahan menurut sifatnya. Dari uraian tugas tersebut, terlihat bahwa pengelola laboratorium (laboran) dapat membantu guru dan peserta didik dalam proses belajar demi terciptanya pembelajaran IPA yang maksimal (Erwanti, 2010).

Dalam pembelajaran IPA, kegiatan laboratorium merupakan bagian integral dari kegiatan belajar mengajar. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan kegiatan laboratorium untuk mencapai tujuan pendidikan IPA. Terdapat empat

Rr Sri Sukarni Katamwatiningsih- ANALISIS kEMAMPUAN KOGNITIF

206

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

alasan mengenai pentingnya praktikum IPA yaitu 1) praktikum membangkitkan motivasi belajar sains; 2) praktikum mengembangkan keterampilan dasar melakukan eksperimen; 3) praktikum menjadi wahana belajar pendekatan ilmiah; 4) praktikum menunjang materi pelajaran.

Program kerja laboratorium IPA yang realistis dan disusun sesuai dengan kondisi sekolah/madrasah merupakan syarat utama untuk mencapai tujuan pengajaran IPA yang berbasis laboratorium. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, rencana kegiatan yang dibuat harus menitikberatkan pada ruang lingkup: 1) perencanaan, pelaksanaan kegiatan, dan evaluasi program. Dalam pelaksanaan kegiatan laboratorium perlu dilakukan evaluasi program. Evaluasi program kegiatan dilakukan untuk melihat sejauhmana tingkat keberhasilan dan kendala yang dialami dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan program (Gunay, 2010). Evaluasi program kerja ini dapat disusun dalam bentuk laporan kegiatan yang dibuat oleh kepala atau koordinator laboratorium setiap 6 bulan (1 semester) dan disampaikan kepada kepala sekolah/madrasah. Laporan tersebut digunakan sebagai rujukan untuk perencanaan kegiatan pada tahun berikutnya, supaya berjalan dengan lebih baik.

Laporan kegiatan laboratorium IPA merupakan penentu pengambilan tindak lanjut kegiatan mendatang (Susantini, 2010). Dengan laporan yang akurat dapat digunakan untuk mengevaluasi kegiatan yang sudah dilaksanakan, memecahkan masalah yang timbul, serta langkah-langkah apa yang

perlu dilakukan untuk masa mendatang. Laporan ini dapat dilakukan dalam bentuk matrik yang kegiatannya disesuaikan dengan rencana dan pelaksanaan program kerja laboratorium IPA.

Perencanaan Pengembangan Laboratorium di Sekolah/Madrasah

Pengembangan laboratorium merupakan bagian dari Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah (RPS/M). Perencanaan Sekolah/Madrasah adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan sekolah/madrasah yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. RPS adalah dokumen tentang gambaran kegiatan sekolah/madrasah di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan sekolah/madrasah yang telah ditetapkan. Adapun program-program dan kegiatan yang dapat dikembangkan mengenai standar prasarana dan sarana baik secara kuantitas maupun kualitas terkait laboratorium antara lain 1) peningkatan dan pengembangan serta inovasi-inovasi peralatan pembelajaran untuk semua mata pelajaran; 2) pengembangan prasarana (ruang, laboratorium) pendidikan dan atau pembelajaran; 3) peningkatan dan pengembangan peralatan laboratorium komputer, IPA, Bahasa, dan laboratorium lainnya.

Metode Penelitian dan PembahasanPenelitian ini merupakan penelitian

deskriptif kualitatif dengan mengukur kemampuan kognitif guru. Kemampuan kognitif dalam penelitian ini diketahui

207

berdasarkan hasil hasil tes peserta diklat dan pengisian kuesioner yang diberikan pada peserta diklat pembentukan kepala laboratorium. Subjek dalam penelitiann ini yaitu peserta Diklat Pembentukan Kepala Laboratorium, waktu penelitian tanggal 27 April sampai dengan 6 Mei 2015. Lokasi penelitian di Balai Diklat Keagamaan Semarang.

Tahapan awal penelitian yaitu persiapan meliputi 1) mengkaji teori fungsi-fungsi laboratorium pada mata diklat konsep pengelolaan laboratorium; 2) menentukan aspek-aspek yang dapat dijadikan indikator fungsi laboratorium; 3) menyusun instrumen untuk mengukur kemampuan kognitif guru terhadap fungsi-fungsi laboratorium; 4) menyusun instrumen kuesioner persepsi guru tentang fungsi laboratorium di sekolah/madrasah; 5) validasi instrumen untuk aspek konten oleh widyaiswara; 6) merevisi instrumen hasil validasi widyaiswara; 7) mengandakan instrumen untuk pengambilan data penelitian. Pelaksanaan penelitian meliputi 1) melakukan tatap muka dengan peserta diklat; 2) memberikan tes untuk mengukur pengetahuan peserta diklat tentang fungsi-fungsi laboratorium; 3) memberikan kuesioner tentang pemahaman guru terhadap fungsi laboratorium.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi 1) pengetahuan guru

tentang pengelolaan laboratorium di sekolah/madrasah yang dikumpulkan melalui hasil tes peserta diklat; 2) pemahaman peserta diklat tentang pengelolaan laboratorium di sekolah/madrasah yang dikumpulkan melalui kuesioner.

Analisis data dalam penelitian ini: 1) hasil tes pemahaman guru tentang fungsi laboratorium dianalisis dengan menghitung nilai akhir yang diperoleh, guru dinyatakan memiliki kemampuan yang baik bila mendapatkan nilai ≥ 75; 2) pemahaman peserta diklat tentang fungsi laboratorium, dianalisis dengan rumus sebagai berikut:

Pengambilan data kemampuan kognitif guru tentang fungsi laboratorium IPA diketahui dengan menganalisis hasil tes yang dilaksanakan pada Diklat Teknis Substantif Pembekalan Penugasan Tambahan Kepala Laboratorium. Soal tes yang telah digunakan dalam bentuk uraian sebanyak 4 butir, nilai maksimal tiap butir dicantumkan dalam soal sehingga peserta tes mengetahui nilai maksimal tiap butir. Tes digunakan untuk mengukur pengetahuan awal yang telah dimiliki guru tentang pengelolaan laboratorium. Jumlah guru sebagai peserta tes sebanyak 30 orang. Guru dinyatakan memiliki kemampuan yang baik bila hasil tes mendapatkan nilai ≥ 75. Kategori hasil tes pemahaman fungsi laboratorium dapat dilihat pada Tabel 1.

Rr Sri Sukarni Katamwatiningsih- ANALISIS kEMAMPUAN KOGNITIF

208

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

Jumlah peserta tes yang mendapatkan nilai ≥ 75 sebanyak 23 orang (76,67%), sedangkan nilai < 75 diperoleh 7 orang (23,33%). Nilai ≥ 75 mengandung arti bahwa peserta sudah memiliki pemahaman yang baik tentang fungsi laboratorium IPA di madrasah. Sebaran nilai rata-rata peserta diklat, untuk tiap butir soal disajikan pada Tabel 2.

Tes dilakukan setelah peserta diklat menerima penjelasan materi fungsi laboratorium, karena peserta diklat dianggap telah memiliki pengetahuan tentang fungsi laboratorium sebagai bagian dari tugas guru. Sebaran nilai rata-rata untuk tiap butir soal, mengambarkan pemahaman guru yang dapat dikategorikan “baik”, walaupun untuk jumlah rerata kurang dari 80. Keempat butir soal, berbobot nilai berbeda-beda, aspek pemahaman tentang pengembangan laboratorium memiliki bobot tertinggi sedangkan definisi laboratorium sekolah berbobot paling kecil.

Setelah pengambilan data peserta diklat tentang fungsi laboratorium diketahui, dilanjutkan dengan mengisi angket untuk mengetahui respon peserta diklat terhadap fungsi laboratorium IPA di sekolah/madarasah. Jumlah peserta diklat yang mengisi angket 30 orang. Angket bersifat terbuka sehingga peserta diklat dapat

memberikan penjelasan terhadap pilihan jawaban yang tersedia yaitu setuju atau tidak setuju. Hasil isian angket respon peserta diklat untuk tiap butir disajikan pada Tabel 3. Nomor butir pernyataan 1 bersifat negatif artinya jika responden memilih jawaban tidak setuju merupakan jawaban yang baik atau yang diharapkan. Apabila dirata-rata, persentase yang menjawab setuju setelah nomor butir 1 juga dimasukkan menjadi 81%.

Hasil pengambilan data peserta diklat pengelola laboratorium yang menjadi sasaran penelitian, sebanyak 23 orang atau 76,67% telah memiliki kemampuan tentang fungsi laboratorium dengan kategori ”baik”. Kemampuan tentang laboratorium telah dimiliki selama mengajar di sekolah/madrasah. Guru yang memiliki wawasan laboratorium mencerminkan kompetensi yang dimiliki sesuai dengan tuntutan profesi. Dorongan untuk memfasilitasi peserta didik, biasanya dimiliki oleh guru yang telah memiliki pemahaman yang ”cukup” tentang pentingnya kegiatan di laboratorium. Tanpa menguasai pemahaman kelaboratoriuman, seorang guru akan sangat sulit untuk memfasilitasi peserta didik dalam bekerja ilmiah.

209

Berdasarkan hasil tes diklat pembentukan kepala laboratorium, terdapat 7 orang guru atau 23,33% mendapatkan nilai kurang dari 75. Setelah dilakukan tes pada akhir pembelajaran dilaksanakan wawancara. Hasil wawancara dengan peserta diklat yang mendapat nilai kurang ternyata sebelumnya belum pernah diberikan penjelasan tentang fungsi laboratorium. Sebagai pertimbangan, guru telah mendapatkan pemahaman tentang

laboratorium yang menjadi bagian dari pekerjaan sehari-hari. Berdasarkan hasil tes, sebanyak 7 orang guru yang pengetahuan tentang fungsi laboratorium masih minim. Sebagai guru tentu keadaan tersebut mencerminkan kondisi yang kurang baik, diprediksi guru yang pemahaman tentang laboratorium minim akan kesulitan ketika memfasilitasi kegiatan belajar mengajar. Guru dengan tingkat pemahaman fungsi

Rr Sri Sukarni Katamwatiningsih- ANALISIS kEMAMPUAN KOGNITIF

210

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

laboratorium yang kurang, akan berdampak pada kualitas proses pembelajaran. Berbagai inovasi dan kreativitas selama mengajar juga diperkirakan kurang berkembang.

Ketika guru menjawab tentang ”apa definisi laboratorium di sekolah?” sebagian besar mampu menjawab dengan benar, namun penjelasan kurang lengkap. Pertanyaan tentang komponen penyusun laboratorium di sekolah, nilai maksimal 20 sedangkan rata-rata peserta mendapatkan nilai 17,5. Kelemahan guru ketika menjawab pertanyaan butir satu ini yaitu; belum menyinggung tentang fungsi laboratorium sebagai tempat riset ilmiah. Secara umum jawaban sudah benar karena menyinggung tentang tempat dan kegiatan percobaan. Pemahaman definisi laboratorium sekolah menjadi sangat penting karena sebagai pengetahuan dasar untuk mengerti pengembangan fungsi laboratorium. Sesuai hasil yang diperoleh, guru perlu lebih mendalami konsep dasar laboratorium sekolah yang dapat dilakukan melalui pelatihan atau forum diskusi ilmiah dalam komunitas guru IPA.

Pertanyaan butir 2 tentang fungsi laboratorium di sekolah, peserta tes diminta untuk menyebutkan 5 fungsi laboratorium. Nilai rata-rata 21 dari nilai maksimal 25. Guru telah memahami bahwa laboratorium sebagai tempat kegiatan praktikum peserta didik, dan menjadi tempat mencari jawaban dari rasa ingin tahu peserta didik ketika mengkaji teori. Fungsi laboratorium yang belum tampak dari jawaban guru yaitu sebagai tempat meneliti bagi guru dan

peserta didik sehingga dihasilkan karya tulis yang berbasis laboratorium. Pengetahuan yang dimiliki secara umum sebagai tempat praktikum, pemahaman ini tentu dapat menghambat daya kreatifitas dalam mengembangkan profesi sebagai guru IPA. Laboratorium tidak sekedar sebagai tempat praktikum, melainkan perlu dibudayakan sebagai pusat kegiatan ilmiah warga sekolah terutama guru dan siswa.

Ketika ditanya tentang usaha apa yang perlu dilakukan untuk menguatkan keberadaan laboratorium. Peserta tes menjawab: kelengkapan sarana dan prasarana, serta pengelolaan laboratorium yang terencana dengan baik. Rata-rata peserta tes mendapatkan nilai 23,3 dari nilai maksimal 25. Guru berangapan kelengkapan alat dan bahan sangat menunjang kegiatan di laboratorium. Sesuai jawaban yang diberikan, keberadaan kelengkapan pengelola laboratorium seperti teknisi dan laboran menjadi faktor penting dalam menunjang keberhasilan kerja di laboratorium. Keberadaan teknisi dan laboran memang menjadi komponen penting, namun demikian mengingat ketiadaan laboran dan teknisi maka pendayagunaan potensi yang ada pada guru dan peserta didik akan lebih baik. Peserta didik yang diberi kesempatan oleh guru untuk membantu dalam menyiapkan kegiatan praktikum, sekaligus dapat melatih kerja ilmiah peserta didik. Berdasarkan jawaban peserta tes, belum muncul jawaban pentingnya fungsi laboratorium yang terprogram. Pemahaman guru masih seputar laboratorium sebagai

211

bagian dari pembelajaran. Secara keseluruhan pemaham guru tentang fungsi laboratorium secara teoritik sudah baik jika dilihat dari hasil evaluasi diklat pembentukan kepala laboratorium.

Hasil dari evaluasi dikonfirmasi dengan peserta diklat pengampu diklat konsep fungsi laboratorium, kemudian peserta diklat dibagikan angket untuk diisi tentang pentingnya fungsi laboratorium di sekolah/madrasah. Sesuai jawaban peserta diklat, tidak ada satupun yang menjawab bahwa praktikum dapat menghambat ketuntasan penyampaian materi pelajaran. Pemahaman peserta diklat mencerminkan laboratorium dan mata pelajaran IPA tidak bisa dipisahkan, melainkan sebagai satu paket dalam pembelajaran. Tidak terdapat kekhawatiran bahwa praktikum akan membuat materi pelajaran tidak selesai dalam kurang waktu tertentu. Terdapat 66,7% peserta diklat yang menjawab bahwa aktivitas laboratorium akan mendukung perolehan nilai ujian nasional. Terdapat permasalahan serius tentang hubungan aktivitas laboratorium dengan ujian nasional. Apabila dicermati, soal-soal ujian nasional lebih menekankan pada kemampuan peserta didik menganalisis suatu peristiwa ilmiah.

Terdapat 76,7% guru yang meyakini bahwa laboratorium di sekolah dapat mendukung karya tulis peserta didik dan guru. Pemahaman ini tentu merupakan potensi yang besar untuk mendorong agar dapat dihasilkan banyak karya ilmiah dari kegiatan di laboratorium. Keyakinan peserta diklat perlu direspon oleh berbagai pihak

terutama kepala madrasah, untuk dapat memprogramkan kegiatan pendampingan bagi guru dan peserta agar dapat menghasilkan karya tulis yang berkualitas untuk menunjang profesionalisme dan mutu lulusan. Karya ilmiah guru yang dapat mengembangkan profesionalisme secara berkelanjutan, misalnya penelitian tindakan kelas mengambil tema seputar aktivitas di laboratorium.

Berkaitan dengan pemahaman tentang laboratorium yang dapat difungsikan untuk melayani kebutuhan masyarakat, 63,3% peserta diklat menganggap bahwa laboratorium sekolah/madrasah dapat difungsikan untuk melayani kebutuhan masyarakat. Melayani yang dimaksud peserta melalui wawancara, misalnya: masyarakat umum ingin belajar di laboratorium, menguji berbagai bahan makanan, meminjam berbagai alat ukur, dan sebagai tempat memberdayakan masyarakat. Melalui program pengembangan fungsi laboratorium, keberadaan dan aktivitas laboratorium tidak sekedar untuk mendukung keberhasilan proses belajar mengajar, melainkan dibutuhkan inovasi agar keberadaan laboratorium semakin bermakna.

Kemampuan seorang guru dalam membimbing kegiatan praktikum, telah diperoleh ketika menjadi guru melalui berbagai kegiatan pelatihan. Namun demikian, usaha nyata untuk memberdayakan laboratorium dalam pembelajaran masih dirasa kurang optimal. Tingkat pengetahuan tentang fungsi laboratorium dan

Rr Sri Sukarni Katamwatiningsih- ANALISIS kEMAMPUAN KOGNITIF

212

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

pengembangannya masih perlu ditingkatkan karena akan mempengaruhi kinerja guru dalam melaksanakan tugas mengajar IPA di sekolah. Guru di sekolah secara umum tidak didampingi oleh seorang laboran atau teknisi ketika memfasilitasi kegiatan di laboratorium, mengingat sebagian besar sekolah saat ini belum memiliki kedua tenaga teknis pendukung, namun demikian ini bukan berarti kegiatan praktikum tidak dilaksanakan, justru guru harus mengambil peran sebagai guru sekaligus sebagai laboran. Pembelajaran yang menekankan aktivitas di laboratorium, menuntut guru memiliki kreativitas dan kemauan yang kuat.

Simpulan Sesuai hasil penelitian pada Diklat

Pembentukan Kepala Laboratorium yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa peserta diklat memiliki kemampuan kognitif yang baik tentang fungsi laboratorium dalam pembelajaran IPA. Guru berkeyakinan bahwa apabila laboratorium dapat difungsikan dengan baik, akan mendukung keberhasilan proses belajar mengajar di sekolah dan membantu guru serta peserta didik dalam menghasilkan karya ilmiah sebagai bentuk penerapan konsep.

Guru IPA perlu selalu mempelajari konsep dan pengembangan laboratorium sekolah/madrasah sehingga memiliki keterampilan merancang pengembangan laboratorium untuk mendukung keberhasilan proses belajar mengajar. Pengambil kebijakan yang terkait dengan pendidikan, perlu memberikan dukungan kuat dan

nyata terhadap keberadaan dan fungsi laboratorium di sekolah, mengingat fungsi strategis laboratorium dalam mewujudkan peserta yang berkarakter, cerdas dan unggul. Balai Diklat Keagamaan Semarang sebagai tempat pendidikan dan pelatihan guru, perlu melakukan pendampingan terhadap kelompok guru untuk memastikan bahwa laboratorium telah dioptimalkan.

Daftar Rujukan

Erwanti, N. 2010. Pentingnya Mengelola Laboratorium Sekolah sesuai Permendiknas Nomor 26 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Pengelola Laboratorium Sekolah/ Madrasah. Sumber: http://disdik.padang.go.id. Diunduh, 12 Mei 2013.

Gunay, A. 2010. The Effects of Using Problem-Based Learning in Science and Technology Teaching Upon Students. Apf. Journal, 11 (2): 129-139.

Joseph, J. 2010. Science Teaching Efficacy Beliefs of Pre-Service Teachers as Compared to the General Students Population. Electronic Journal of Science Education, 14 (1).

Susantini, E. 2010. Pengembangan Petunjuk Praktikum Genetika untuk Melatih Keterampilan Berpikir Kritis. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia, 1 (2): 1-8

213

PENINGKATAN PENGELOLAAN SEKOLAH MELALUI PENDAMPINGAN KEMITRAAN KEPALA SEKOLAH

DI SDN INPRES WEKATIMUN ATAMBUA

Wendhie PrayitnoLPMP D.I.Yogyakarta

Email: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi kegiatan pengelolaan kurikulum, supervisi pembelajaran dan pengelolaan ekosistem sekolah berdasarkan komponen dan indikator yang telah ditentukan pada peraturan-peraturan pemerintah. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan mengambil sumber data SDN Inpres Wekatimun Atambua Kabupaten Belu Provinsi NTT dan Kepala Sekolah SDN Sawojajar 4 Kota Malang yang sebagai kepala sekolah mitra. Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner, wawancara, dan kajian dokumen. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan adanya keterlaksanaan atau ketercapaian indikator pada komponen rumusan kompetensi RPP pada aspek pengelolaan kurikulum, komponen pertemuan awal dan pertemuan inti pada aspek supervisi pembelajaran yang masing-masing komponen memiliki ketercapaian sebesar 75%, komponen dokumen pengelolaan ekosistem sekolah pada aspek pengelolaan ekosistem sekolah yang memiliki ketercapaian sangat rendah yaitu 25%. Hal ini disebabkan masih kurangnya kesadaran sekolah untuk melakukan tertib administrasi pada setiap kegiatan yang terkait dengan pengelolaan ekosistem sekolah.

Kata kunci: pendampingan, kemitraan kepala sekolah, pengelolaan sekolah.

Abstract: This study aimed to describe the implementation of the curriculum management, instructional supervision and ecosystem management schools based on components and indicators specified in government regulations. This research was a descriptive study which took the data source SDN PI Atambua, Belu Regency Wekatimun NTT Province and Sawojajar 4 Elementary School Malang City as the principal partner. Data was collected using questionnaires, interviews, and a review of documents. Data were analyzed using quantitative descriptive analysis techniques. The results showed achievement indicators on component formulation competence lesson plan on the curriculum management aspects, the components of the initial meeting and the core meeting on learning supervision aspects, each component achieved 75%. The component document ecosystem management schools on aspects of ecosystem management school had 25%, a very low achievement. This was due to lack of school good administration awareness to perform in any activities related to ecosystem management school.

Keywords: mentoring, principal partnerships, school management

214

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

Pendahuluan

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia salah satunya adalah dengan dikeluarkannya Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang Undang Nomor14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan peraturan-peraturan lain yang mendukung, menjadi pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.

Kualitas pendidikan di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, masih rendahnya pemerataan akses untuk memperoleh pendidikan, baik karena faktor ekonomi, kultural, maupun faktor geografis. Kedua, mutu proses dan keluaran pendidikan nasional untuk sebagian besar belum dapat diandalkan jika dilihat dari capaian prestasi belajar peserta didik baik keterampilan yang diperoleh maupun relevansinya dalam dunia kerja. Ketiga, manajemen pendidikan yang masih lemah. Keempat, inovasi atau pembaharuan pendidikan yang dilakukan selama ini belum dapat diimplementasikan secara optimal.

Kualitas atau mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Goetsch dan Davis, 1994: 4). Kualitas atau mutu pendidikan berkaitan dengan penilaian sejauhmana suatu produk memenuhi kriteria atau standar tertentu melalui pengukuran konkret atau pengamatan kualitatif. Mutu pendidikan

dalam arti luas ditentukan oleh tingkat keberhasilan keseluruhan upaya pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, mutu pendidikan ditentukan oleh sejauhmana tercapainya upaya pendidikan diukur dari tujuan pendidikan sebagaimana dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang sistem pendidikan nasional (Bahrul Hayat & Suhendra Yusuf, 2010:21- 22).

Manajemen Berbasis Sekolah merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan, yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik (E. Mulyasa, 2007: 24). Artinya bahwa melalui manajemen berbasis sekolah dapat memberikan layanan pendidikan yang lebih baik, sehingga akan berdampak pada hasil penyelenggaraan pendidikan itu sendiri yaitu peserta didik yang memiliki kualitas pendidikan yang baik.

Kondisi nyata di negara Republik Indonesia ini yaitu negara Indonesia yang memiliki wilayah yang sangat luas baik daratan dan lautan. Di samping itu kondisi geografis yang sangat berbeda antara daerah satu dengan yang lain. Kondisi yang demikian itu yang menyebabkan terjadinya kesenjangan-kesenjangan yang salah satunya kesenjangan mutu atau kualitas dalam penyelenggaraan pendidikan. Kesenjangan pendidikan menyebabkan terjadinya perbedaan kualitas pendidikan antara daerah satu dengan yang lain terutama perbedaan yang signifikan antara perkotaan dan daerah

215

pelosok atau yang saat ini disebut daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).

Pada kenyataaannya, kemampuan kepala sekolah berdasarkan kompetensi yang harus dimiliki belum sepenuhnya dimiliki oleh sebagian besar kepala sekolah khususnya para kepala sekolah yang berada di daerah 3T. Oleh karena itu, perlu dilakukan penguatan terhadap para kepala sekolah di daerah 3T tersebut.

Kesenjangan kualitas pendidikan yang terjadi saat ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah dan semua penggiat pendidikan. Salah satunya perlu adanya pendampingan yang intensif terhadap penyelenggara-penyelenggara pendidikan khususnya sekolah-sekolah yang berada di daerah 3T. Pendampingan yang diperlukan dapat berupa tindakan pendampingan langsung dari penyelenggara pendidikan tingkat pusat. Dalam hal ini tingkat kementerian pendidikan hingga pendampingan yang dilakukan oleh sekolah-sekolah yang dinyatakan sebagai sekolah yang memiliki peringkat baik akademik maupun manajerial yang sangat baik. Hal ini salah satunya ditandai dengan status akrediasi sekolah yang dimiliki yaitu sekolah dengan status akreditasi A, serta memiliki niai rata-rata ujian nasional dan indeks ujian nasional yang tinggi.

Indikator keberhasilan suatu penyelenggaraan pendidikan di sekolah salah satunya yaitu kemampuan kepala sekolah dalam mengelola sekolah yang dipimpinnya. Kemampuan kepala sekolah dalam mengelola sekolah yang meliputi

kemampuan dalam beberapa aspek seperti pengelolaan kurikulum sekolah, pengawasan terhadap pelaksanaan pembelajaran di sekolah melalui program supervisi akademik dan pengelolaan ekosistem sekolah yang meliputi sumber daya manusia dan fasilitas penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

Kemampuan kepala sekolah terhadap beberapa aspek itu tertuang dalam peraturan pemerintah pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah menyatakan bahwa kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi di sekolah dituntut memiliki lima dimensi kompetensi, yaitu dimensi-dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial.

Dede Rosyada (2015) menyebutkan tugas kepala sekolah sebagai seorang manajer, sangat kompleks, tidak sekedar mengelola kurikulum dan buku ajar, tapi juga sumber daya manusia guru, staf tata usaha dan juga mengelola serta mengembangkan aset dan mengelola keuangan institusi. Oleh karena itu, kompetensi kepala sekolah seperti yang tertuang dalam Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 mutlak harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah.

Pendampingan kemitraan kepala sekolah yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan di tempat kerja kepala sekolah imbas (sekolah daerah 3T) dengan tujuan untuk mengimplementasikan

Wendhie Prayitno - PENINGKATAN PENGELOLAAN SEKOLAH

216

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

kegiatan pengelolaan kurikulum, supervisi pembelajaran dan pengelolaan ekosistem sekolah berdasarkan komponen dan indikator yang telah ditentukan pada peraturan-peraturan pemerintah. Kepala sekolah imbas merupakan kepala sekolah yang berasal dari sekolah di daerah (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) dengan kondisi pengelolaan sekolah yang masih di bawah standar pelaksanaan pendidikan yang sudah diatur dalam peraturan pemerintah, dan kepala sekolah mitra merupakan kepala sekolah yang berasal dari sekolah-sekolah yang memiliki akreditasi A, memiliki peringkat hasil Ujian Nasional (UN), dan indeks ujian nasional yang tinggi.

Pendampingan kemitraan kepala sekolah untuk meningkatkan kompetensi kepala sekolah imbas terkait pengelolaan sekolah. Kegiatan yang dilakukan melalui langkah persiapan, pelaksanaan, evaluasi, dan pelaporan dilaksanakan dalam rentang waktu selama enam bulan di tempat kerja kepala sekolah imbas dengan memperhatikan waktu efektif bekerja kepala sekolah imbas di tempat kerja, sehingga dapat memberikan kesempatan yang cukup kepada kepala sekolah imbas untuk dapat memenuhi indikator-indikator pada komponen-komponen yang meliputi komponen pengelolaan kurikulum, supervisi pembelajaran, dan pengelolaan eksostem sekolah.

Salah satu sekolah yang terlibat dalam program kemitraan kepala sekolah yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui

Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan yaitu sekolah dasar SDN Inpres Wekatimun Atambua Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sekolah yang terletak di daerah perbatasan Negara Timor Leste ini merupakan salah satu sekolah di daerah 3T yang menjadi sasaran program kemitraan kepala sekolah. SDN Inpres Wekatimun Atambua mendapatkan pendampingan oleh kepala sekolah mitra yang berasal dari SD N Sawojajar 4 Kota Malang dan fasilitator (penulis) yang ditunjuk oleh penyelenggara program dalam hal ini yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. Pendampingan yang dilakukan terhadap sekolah imbas SDN Inpres Wekatimun Atambua Kab. Belu ini terkait pengelolaan sekolah pada aspek pengelolaan kurikulum, supervisi pembelajaran (akademik) dan pengelolaan ekosistem sekolah. Hasil yang diharapkan pada kegiatan pendampingan ini yaitu terjadinya perubahan peningkatan mutu pendidikan di SDN Inpres Wekatimun Atambua dengan terpenuhinya indikator-indikator ketercapaian setiap komponen pada ketiga aspek pengelolaan kurikulum, supervisi pembelajaran dan pengelolaan ekosistem sekolah.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian tentang implementasi pengelolaan kurikulum, supervisi pembelajaran dan pengelolaan ekosistem sekolah ini yaitu dengan menggunakan metode monitoring dan evaluasi pada Sekolah Dasar (SD)

217

Wendhie Prayitno - PENINGKATAN PENGELOLAAN SEKOLAH

Negeri Wekatimun Atambua Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dilakukan pada saat proses pendampingan kemitraan sekolah dilaksanakan pada tanggal 16 sampai dengan 22 Oktober 2016.

Pengumpulan data pada penelitian ini dengan menggunakan angket, observasi langsung dan wawancara. Pada pengumpulan data dengan angket menggunakan instrumen Evaluasi Diri Kepala Sekolah. Obervasi

218

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

219

Wendhie Prayitno - PENINGKATAN PENGELOLAAN SEKOLAH

220

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

221

Wendhie Prayitno - PENINGKATAN PENGELOLAAN SEKOLAH

222

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

langsung pada pengumpulan data dengan menggunakan angket kajian dokumen dan observasi, sedangkan wawancara dengan menggunakan angket pedoman wawancara yang didalammnya tertuang substansi-substansi yang akan ditanyakan pada kepala sekolah.

Pengumpulan data melalui evaluasi diri yang dilakukan kepala sekolah imbas berdasarkan angket evaluasi diri yang memuat tiga komponen yaitu pengelolaan kurikulum, supervisi pembelajaran dan pengelolaan ekosistem sekolah. Setiap komponen terdiri dari beberapa indikator yang akan dicapai. Adapun komponen-komponen dan indikator pada instrumen evaluasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1,2, dan 3 mendeskripsikan komponen dan indikator yang harus dicapai dalam pengelolaan sekolah yang terdiri dari Tabel 1 pada pengelolaan kurikulum di sekolah, Tabel 2 pada supervisi pembelajaran dan Tabel 3 pada pengelolaan ekosistem sekolah. Kepala sekolah dalam mengelola kurikulum sekolah, supervisi pembelajaran dan ekosistem sekolah mengacu pada Tabel 1, 2, dan 3 merupakan standar minimal harus memenuhi indikator-indikator yang berdasarkan kriteria yang ditentukan dan diikuti bukti fisik terkait keterlaksanaannya.

Komponen dan indikator pada ketiga aspek tersebut dikembangkan menjadi instrumen-instrumen pada pendampingan kemitraan kepala sekolah yang meliputi instrumen evaluasi diri, instrumen kajian dokumen, dan observasi serta pedoman

wawancara. Instrumen evaluasi diri yang digunakan oleh kepala sekolah imbas untuk melakukan evaluasi sejauhmana keterlaksaan komponen dan indikator pada setiap aspeknya dengan memberikan skor YA jika satu indikator sudah terlaksana sesuai kriteria dan diikuti bukti fisiknya dan skor TIDAK jika tidak terlaksana sesuai kriteria atau tidak ada bukti fisik.

Instrumen kajian dokumen dan observasi digunakan untuk melakukan kajian terhadap pemenuhan dokumen-dokumen setiap komponen dan indikator pada setiap aspek. Teknik penskoran seperti pada instrumen evaluasi diri dengan memberikan skor YA jika satu indikator sudah terlaksana sesuai kriteria dan diikuti bukti fisiknya dan skor TIDAK jika tidak terlaksana sesuai kriteria atau tidak ada bukti fisik. Pengkajian dokumen dan observasi dilakukan oleh peneliti yang berperan sebagai petugas monitoring dan evaluasi.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil pendampingan yang dilakukan oleh kepala sekolah mitra terhadap kepala sekolah imbas SDN Inpres Wekatimun Atambua Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dilaksanakan di SDN Inpres Wekatimun Kab. Belu menunjukkan adanya ketercapaian komponen dan indikator pada setiap aspeknya. Beberapa hal yang dicapai cukup jelas dan mendasar seperti terjadinya perubahan perilaku warga sekolah khususnya siswa dan guru yang menjadi lebih baik dari pada sebelumnya yang merupakan indikator pada pengelolaan

223

ekosistem sekolah. Kepala Sekolah sangat fokus pada penanaman karakter kepada siswa. Perubahan perilaku dan kebiasaan yang terjadi seperti kebiasaan memberikan salam pada setiap tamu yang hadir, mencium tangan, menjaga kebersihan lingkungan dengan baik yang dibuktikan dengan

kondisi lingkungan yang bersih dan tersedia beberapa tempat sampah yang layak.

Ketercapaian lain SDN Inpres Wekatimun yaitu pada administrasi pembelajaran yang merupakan indikator pada aspek pengelolaan kurikulum khususnya pada penerapan KTSP. Para

Wendhie Prayitno - PENINGKATAN PENGELOLAAN SEKOLAH

224

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

225

Wendhie Prayitno - PENINGKATAN PENGELOLAAN SEKOLAH

226

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

guru SDN Inpres Wekatimun sudah mampu membuat perangkat pembelajaran dengan baik dan lengkap, walaupun masih ditulis secara manual tanpa bantuan teknologi komputer.

Tabel 4 berikut merupakan rangkuman hasil analisis pendampingan terhadap masing-masing komponen pada semua aspek.

Berdasarkan hasil pengolahan data pendampingan kemitraan kepala sekolah di SDN Inpres Wekatimun Atambua Kabupaten Belu ini menghasilkan grafik analisis indikator terhadap seluruh indikator pada semua komponen dapat dilihat pada Gambar 1.

Pada grafik Gambar 1 menunjukkan kondisi ketercapaian setiap indikator yang lebih rinci. Berdasarkan grafik yang dihasilkan terdapat 6 (enam) indikator yang masih di bawah standar minimal ketercapaian kriteria (60%) yaitu pada indikator rumusan indikator pencapaian pembelajaran (58%), rumusan rencana pembelajaran (50%), rumusan pengalaman belajar (50%), penilaian (60%), dokumen pengembangan supervisi pembelajaran (40%), dokumen penguatan ekosistem sekolah (25%), pertemuan akhir (45%) pada pelaksanaan supervisi pembelajaran.

Simpulan

Hasil pendampingan yang telah dilaksanakan menunjukkan beberapa indikator yang ketercapaiannya masih di bawah 60% yang meliputi rumusan indikator

pencapaian pembelajaran, rumusan rencana pembelajaran, rumusan pengalaman belajar, penilaian, dokumen pengembangan supervisi pembelajaran, dokumen penguatan ekosistem sekolah, dan pertemuan akhir pada supervisi akademik yang masih perlu dilakukan peningkatan.

Ketercapaian pada indikator dokumen pengelolaan ekosistem Sekolah (25%) masih jauh dari target ketercapaian minimal 60%. Hal ini dikarenakan sekolah tidak membiasakan dalam melakukan pendokumentasian dengan tertib.

Daftar Rujukan

Hayat, Bahrul & Suhendra Yusuf. 2010. Benchmark Internasional Mutu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Kemdiknas. 2007. Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Kepala Sekolah/Madrasah. Jakarta: Kemdiknas.

-------------. 2013. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.

Mulyasa, E. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rosyada, Dede. 2015. Peran Kelapa Sekolah dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. http://www.uinjkt.ac.id/id/peran-kepala-sekolah-dalam-peningkatan-mutu-pendidikan/. Diakses tanggal 20 Januari 2017.

227

PENINGKATAN KOMPETENSI GURU DALAM MENYUSUN SOAL ULANGAN MELALUI DISKUSI DAN

PEMBIMBINGAN DI SMK

Kendarti SatitiBalai Pendidikan Menengah Kabupaten Kulon Progo

Email: [email protected]

Abstrak: Tujuan penelitian untuk meningkatkan kompetensi guru matematika dalam menyusun soal ulangan melalui diskusi dan pembimbingan. Subyek penelitian adalah 13 guru matematika di SMK binaan. Penelitian dilakukan selama 3 (tiga) bulan, mulai bulan Maret sampai bulan Mei 2015, dilakukan dalam 2 (dua) siklus. Hasil penelitian menunjukkan kemampuan guru dalam menyusun ulangan mengalami peningkatan. Kesiapan guru dalam menyusun soal 35,54 % pada siklus 1 meningkat menjadi 78,46 % pada siklus 2. Kompetensi guru dalam menyusun soal ulangan meningkat dari 50,00 % pada siklus 1 menjadi 88,46 % pada siklus 2. Hasil tersebut menunjukkan bahwa instrumen soal yang disusun guru sahih karena setiap soal yang dibuat guru sudah mengukur satu aspek kompetensi dan handal dalam arti soal yang disusun guru memberikan hasil pengukuran yang tepat, cermat dan ajeg.

Kata kunci: kompetensi guru, soal ulangan, diskusi dan pembimbingan

Abstract: The purpose of research to improve the competence of mathematics teachers in preparing the test questions through discussion and coaching. Subjects were 13 mathematics teachers at VHS target. The study was conducted for three months, from March to May 2015, conducted in two cycles. The results showed the ability of teachers in preparing students exam increased. Teachers’ readiness in preparing about 35.54% in the first cycle increased to 78.46% in cycle 2. Competence of teachers in preparing the test questions increased from 50.00% in cycle 1 to 88.46% in cycle 2. These results indicated that instrument about which teachers are prepared valid since any questions that the teacher made has measured one aspect of competence and reliable. It means test questions composed by teachers provide precise measurement results, careful and steady.

Keywords: competence of teachers, test questions, discussion and coaching

Pendahuluan

Proses pembelajaran kurang lengkap jika guru tidak melakukan ulangan. Ulangan merupakan suatu bagian kegiatan pembelajaran yang wajib dilakukan oleh guru. Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan, melakukan perbaikan pembelajaran, dan menentukan keberhasilan

belajar peserta didik (Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007). Ada beberapa jenis ulangan yang digunakan untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik, yaitu ulangan harian (UH), ulangan tengah semester UTS), ulangan akhir semester (UAS) dan ulangan kenaikan kelas (UKK). Pelaksanaan ulangan harian dilakukan oleh pendidik terintegrasi dengan proses pembelajaran dalam bentuk ulangan atau penugasan. Pelaksanaan UTS, UAS dan UKK dilakukan oleh guru di bawah

228

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

koordinasi satuan pendidikan/sekolah.Selanjutnya dijelaskan bahwa

perencanaan ulangan oleh guru harus sesuai dengan silabus dan dijabarkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Ulangan yang baik dilakukan secara berkesinambungan, bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik dan untuk meningkatkan efektifitas kegiatan pembelajaran. Intrumen ulangan yang disusun guru harus memenuhi persyaratan (a) substansi, yaitu merepresentasikan kompetensi yang dinilai, (b) konstruksi, dalam arti memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan bentuk instrumen yang digunakan, dan (c) bahasa, adalah menggunakan bahasa yang baik dan benar serta komunikatif sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik, serta memiliki bukti validitas empirik (Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007).

Idealnya semua guru melakukan serangkaian kegiatan dalam melaksanakan ulangan. Rangkaian kegiatan tersebut meliputi menyusun kisi-kisi soal, mengembangkan instrumen (soal ulangan) dan pedoman penilaian sesuai dengan bentuk dan teknik penilaian yang dipilih, melaksanakan tes, melakukan koreksi hasil ulangan dengan memberi komentar sebagai balikan yang mendidik, menganalisa hasil ulangan untuk mengetahui kemampuan kompetensi yang dikuasai peserta didik, mengetahui kesulitan belajar peserta didik, melakukan remidi/perbaikan dan pengayaan. Hasil ulangan yang sudah dikoreksi dikembalikan kepada peserta didik disertai balikan (feedback)

berupa komentar yang mendidik (sebagai bentuk penguatan) yang dilaporkan kepada pihak terkait dan dimanfaatkan untuk perbaikan pembelajaran.

Berdasar hasil supervisi akademik terhadap guru di sekolah binaan pada umumnya menunjukkan bahwa kemampuan dalam menulis soal ulangan rendah. Banyak guru tidak menyusun kisi-kisi dalam menyusun soal ulangan. Kalau ada kisi-kisi soalpun kadang tidak sesuai dengan soal yang dibuatnya. Ada beberapa guru dalam menyusun intrumen ulangan asal ada dan belum sesuai dengan kaidah penyusunan soal. Ada guru dalam menyusun soal ulangan sesaat sebelum ulangan berlangsung, sehingga ada soal yang tidak dapat dikerjakan peserta didik saat pelaksanaan ulangan berlangsung. Hasil ulangan jarang dianalisis oleh sebagian besar guru. Bahkan ada sementara guru yang tidak mengembalikan hasil ulangan siswa, sehingga peserta didik tidak tahu pada bagian mana mengalami kesulitan dalam menguasai kompetensi tertentu. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa, kompetensi guru matematika SMK di Kabupaten Kulon Progo dalam menyusun soal ulangan perlu ditingkatkan, sehingga perlu penanganan khusus. Untuk menangani masalah tersebut penulis menggunakan metode diskusi dan pembimbingan. Dipilihnya metode ini karena penulis anggap lebih cocok, lebih mudah dan lebih tepat dalam mengatasi masalah yang ada. Diskusi dan pembimbingan penulis dan guru lakukan di ruang guru atau ruang kepala sekolah. Dalam diskusi guru

229

Kendarti Satiti - PENINGKATAN KOMPETENSI GURU

diminta untuk mengemukakan pendapat dan kesulitan yang dihadapi dalam menyusun soal ulangan, kemudian dilakukan diskusi untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi guru. Sedangkan pembimbingan dilakukan oleh penulis pada guru yang benar-benar mengalami kesulitan dalam menyusun perangkat ulangan tersebut.

Dilaksanakan diskusi dan pembimbingan guru dengan tujuan agar guru mampu menyusun soal ulangan dengan benar secara mandiri sesuai dengan keperluan dan kompetensi yang akan ditagih, sehingga tidak akan dijumpai lagi soal yang disfungsi. Rumusan masalah pada penelitian ini yakni bagaimana diskusi dan pembimbingan dapat digunakan untuk meningkatkan kompetensi guru matematika dalam menyusun soal ulangan? Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tindakan antara lain meningkatkan kompetensi guru matematika dalam menyusun soal ulangan melalui diskusi dan pembimbingan di Kabupaten Kulon Progo. Seorang guru dikatakan meningkat kompetensinya apabila guru tersebut mampu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, melakukan evaluasi hasil belajar dan melakukan tindak lanjut hasil evaluasi. Jika guru mampu menguasai sejumlah kompetensi tersebut baik secara teori maupun secara praktik maka tampaklah abilitasnya. Abilitas adalah karakteristik umum dari seseorang yang berhubungan dengan pengetahuan dan keterampilan yang diwujudkan melalui tindakan (Depdiknas, 2008:18).

Kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh seseorang dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab dibidangnya. Seorang guru sebaiknya mempunyai kompetensi dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya, karena kompetensi yang dimiliki guru tidak dapat dimiliki oleh orang lain. Salah satu bentuk kompetensi yang harus dimiliki guru yaitu mengembangkan instrumen penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar. Dalam mengembangkan intrumen penilaian ini guru harus mampu menyusun instrumen penilaian yang sering disebut sebagai perangkat ulangan yang terdiri dari kisi-kisi, soal, kunci dan pedoman penilaian.

Kompetensi guru diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya (Usman, 2006:14). Menurut Nana Sudjana (2002: 17), kompetensi guru merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki guru. Sedangkan menurut Piet A. Sahertian (1994, 73) menjelaskan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan melakukan tugas mengajar dan mendidik yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan. Sementara menurut Abdul Majid (2005:6) kompetensi guru adalah kemampuan atau kualitas guru dalam mengajar, sehingga terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru.

230

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan dasar dan kewenangan yang harus dimiliki dalam melaksanakan tugas profesionalnya sebagai seorang guru.

Bagi guru menyusun soal ulangan merupakan tugas wajib yang harus dilakukan selain mengajar. Dalam menyusun soal ulangan diperlukan kompetensi khusus agar soal yang disusun sesuai tujuan sehingga dapat mengukur tingkat kompetensi siswa. Guru perlu mempunyai kompetensi tertentu dalam menyusun soal yang baik. Kompetensi ini ada pada salah satu komponen kompetensi inti pada kompetensi pedagosis, yaitu menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar dalam mengembangkan instrumen penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar (Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007).

Soal ulangan merupakan soal yang digunakan guru untuk mengukur kompetensi yang dikuasai peserta didik, sehingga peserta didik dapat melanjutkan mempelajari kompetensi berikutnya. Soal ulangan harus sesuai dengan tujuannya, dalam arti soal ulangan tersebut digunakan untuk mengukur kompetensi yang harus dikuasai peserta didik. Penyusunan soal ulangan bisa dalam bentuk lisan dan tertulis. Soal ulangan tertulis dalam bentuk esai, menjodohkan maupun pilihan ganda. Jenis soal tersebut mempunyai kriteria tertentu. Agar soal yang disusun guru menghasilkan soal ulangan yang sahih dan handal, maka

dalam menyusun soal melalui langkah-langkah berikut, yaitu (1) menentukan tujuan tes, (2) menentukan kompetensi yang akan diujikan, (3) menentukan materi yang diujikan, (4) menetapkan penyebaran butir soal berdasarkan kompetensi, materi, dan bentuk penilaiannya (tes tertulis berbentuk pilihan ganda, uraian, dan tes praktik), (5) menyusun kisi-kisinya, (6) menulis butir soal, (7) memvalidasi butir soal atau menelaah secara kualitatif, (8) merakit soal menjadi perangkat tes, (9) menyusun pedoman penskorannya (10) uji coba butir soal, (11) analisis butir soal secara kuantitatif dari data empirik hasil uji coba, dan (12) perbaikan soal berdasarkan hasil analisis (Depdiknas, 2008:15).

Guru harus mampu menyusun soal yang baik dan bermutu. Soal yang baik dan bermutu adalah soal yang sahih (valid), dan handal. Sahih maksudnya bahwa setiap alat ukur hanya mengukur satu dimensi/aspek. Handal maksudnya bahwa setiap alat ukur harus dapat memberikan hasil pengukuran yang tepat, cermat, dan ajeg. Untuk dapat menghasilkan soal yang sahih dan handal, penulis soal harus merumuskan kisi-kisi dan menulis soal berdasarkan kaidah penulisan soal yang baik (kaidah penulisan soal bentuk objektif/pilihan ganda, uraian, atau praktik).

Soal yang baik dan bermutu dapat membantu guru meningkatkan pembelajaran dan memberikan informasi secara tepat tentang kondisi peserta didik yang belum atau sudah mencapai kompetensi. Salah satu ciri soal yang baik dan bermutu

231

apabila soal itu dapat membedakan setiap kemampuan peserta didik. Semakin tinggi kemampuan peserta didik dalam memahami materi pembelajaran, semakin tinggi pula kemampuan peserta dalam menjawab benar soal atau mencapai kompetensi yang ditetapkan. Makin rendah kemampuan peserta didik dalam memahami materi pembelajaran, makin kecil pula peluang menjawab benar soal untuk mengukur pencapaian kompetensi yang ditetapkan.

Diskusi atau sering dikenal dengan istilah tukar pikiran merupakan suatu kegiatan tanya tawab atau tukar informasi atau tukar pendapat tentang suatu topik atau masalah yang ingin dicari jawaban/penyelesaian masalah tersebut dari berbagai segi dan kemungkinan yang ada. Diskusi menurut Hasibuan dan Moedjiono (2006:10) merupakan proses pengelihatan dua atau lebih individu yang berinteraksi secara verbal dan saling berhadapan muka mengenai tujuan atau sasaran yang sudah tertentu melalui cara menukar informasi, mempertahankan pendapat atau pemecahan masalah. Menurut Dewa Ketut Sukardi (2008:220) diskusi adalah suatu pertemuan dua orang atau lebih untuk saling tukar pengalaman dan pendapat, dan biasanya menghasilkan suatu keputusan bersama. Dalam diskusi terdapat unsur percakapan orang-orang yang bertemu, tujuan yang ingin dicapai, proses saling tukar pengalaman dan pendapat, dan keputusan atau kemufakatan bersama.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa diskusi adalah suatu bentuk kegiatan tukar pikiran/informasi/gagasan antara dua orang atau lebih untuk mencari keputusan atau kemufakatan gagasan atau pendapat yang dikomunikasikan. Diskusi dapat dilaksanakan dalam bentuk kelompok kecil atau kelompok besar. Diskusi dapat memperluas pengetahuan dan menambah banyak pengalaman. Diskusi bertujuan untuk mendapatkan suatu kesepakatan dan keputusan bersama tentang suatu masalah yang dibicarakan. Selama proses diskusi berlangsung ada kegiatan tanya jawab atau komunikasi. Kegiatan diskusi pada penelitian ini dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi guru dalam menyusun soal ulangan agar soal yang disusun oleh guru lebih baik dan bermutu, sehingga dapat digunakan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik.

Diskusi sebagai salah satu teknik untuk meningkatkan kompetensi guru lebih cocok diperlukan apabila pengawas akan memanfaatkan berbagai kemampuan yang dimiliki guru, memberi kesempatan guru untuk menyampaikan kemampuannya, membantu guru agar lebih kritis dalam menghadapi masalah, membantu guru menilai kemampuan dan peranan dirinya maupun orang lain, membantu guru menyadari dan mampu merumuskan berbagai masalah yang dilihat dan mengembangkan motivasi untuk belajar lebih lanjut. Pada kegiatan penelitian ini diskusi dilakukan untuk memecahkan masalah tentang menyusun soal yang baik dan bermutu.

Kendarti Satiti - PENINGKATAN KOMPETENSI GURU

232

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

Pembimbingan atau bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga individu sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan keluarga serta masyarakat. Dengan demikian individu tersebut dapat mengecap kebahagiaan hidupnya serta dapat memberikan sumbangan yang berarti (Winkel dan Sri Hastuti 2004:29). Menurut Bimo Walgito (2005:5) pembimbingan atau bimbingan diartikan sebagai bantuan yang diberikan kepada individu atau kelompok dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya. Sedangkan menurut Willis (2009:13) bimbingan adalah proses bantuan terhadap individu atau kelompok yang membutuhkannya. Bantuan tersebut diberikan secara berencana dan sistematis, tanpa paksaan melainkan atas kesadaran individu tersebut, sehubungan dengan masalahnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembimbingan atau bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan seseorang kepada individu atau kelompok dalam mengembangkan kemampuannya atau mengatasi kesulitan yang dihadapi agar mampu mengatasi masalah tersebut, sehingga lebih mandiri.

Pembimbingan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu membimbing guru yang

kurang tepat dalam menyusun soal ulangan sehingga guru menyadari kesalahan dalam menyusun soal ulangan, memperbaiki soal yang disusunnya sehingga menghasilkan soal ulangan yang baik dan bermutu.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah diskusi dan pembimbingan. Teknik yang digunakan dalam pengumpul data yaitu studi dokumen. Dokumen yang diteliti merupakan hasil pekerjaan guru yang berupa kisi-kisi soal dan intrumen ulangan. Untuk melengkapi data yang sudah diperoleh juga melakukan wawancara dengan guru. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan Mei 2015 pada guru matematika berjumlah 13 orang di SMK N 1 Nanggulan, SMK N 1 Pengasih, dan SMK BOPKRI Wates. Dalam pelaksanaan penelitian guru diberi kode secara acak dengan cara memasukkan nama-nama guru ke dalam kotak tertutup. Kemudian dari kotak dikeluarkan satu persatu. Nama guru yang keluar pertama diberi kode A, yang keluar kedua diberi kode B dan seterusnya. Hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis kualitatif, yaitu mendeskrepsikan data yang ada sesuai keadaan yang sebenarnya. Penelitian dilaksanakan dalam 2 siklus, tiap siklus dilaksanakan dalam 3 pertemuan.

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian tindakan sekolah menunjukkan bahwa kompetensi guru dalam menyusun soal ulangan mengalami

233

peningkatan. Berdasarkan kesiapan guru dalam menyusun soal, dari 13 guru matematika yang diteliti menunjukkan ada 35,54 % mampu menyiapkan soal dengan baik pada siklus I dan 78,46 % pada siklus II. Kesiapan guru dalam menyusun soal memperhatikan aspek tujuan tes, kompetensi yang akan dicapai siswa, kisi-kisi soal yang disusun guru, validasi soal oleh sesama guru matematika dalam satu sekolah, dan perakitan soal dengan memperhatikan kontruksi dan bahasa yang digunakan. Secara lengkap hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat

pada Tabel 1.

Setelah dilakukan diskusi dan pembimbingan pada siklus II kesiapan guru dalam menyusun soal mengalami perubahan. Hasil penelitian pada siklus II dapat dibaca pada Tabel 2.

Data Tabel 1 menunjukkan kesiapan guru dalam menyusun soal pada siklus I sebesar 35,54 %. Hasil kesiapan guru dalam menyusun soal pada siklus I belum 50 % dari jumlah guru mampu menyiapkan soal dengan baik dan benar, maka dilanjutkan

Kendarti Satiti - PENINGKATAN KOMPETENSI GURU

234

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

penelitian siklus II. Pada siklus II, diskusi dan pembimbingan dilakukan secara intensif dan berkesinambungan. Hasil penelitian pada siklus II (Tabel 2) menunjukkan kesiapan guru dalam menyusun soal ulangan sebesar 78,46 %.

Kompetensi guru dalam menyusun soal dapat dibaca pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa kelemahan guru pada penyusunan soal terletak pada menentukan tujuan tes. Guru membuat soal setelah satu kompetensi dasar selesai dipelajari siswa karena kebiasaan. Setelah dilakukan diskusi dan pembimbingan pada siklus II ada perubahan hasil kompetensi guru dalam menyusun soal ulangan. Kompetensi guru mengalami peningkatan dalam aspek menentukan tujuan ulangan, menentukan materi ulangan, menyusun kontruksi soal, dan bahasa dalam menyusun soal ulangan. Hasil diskusi dan pembimbingan terhadap guru dalam menyusun soal ulangan dapat dilihat pada Tabel 4.

Pada Tabel 4 terlihat bahwa kompetensi guru dalam menyusun soal ulangan menjadi 88,46 %. Kompetensi ini meliputi aspek menentukan tujuan tes 100 %, aspek materi ada 92,31 %, aspek kontruksi

ada 84,62 %, dan aspek bahasa ada 76,92 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Tabel 1, kesiapan guru dalam menyusun soal ulangan sebesar 35,54 %. Hasil tersebut rendah pada semua aspek, disebabkan karena guru kurang memahami cara dan tujuan ulangan tersebut disusun. Sedangkan pada komponen penyusunan soal ulangan menunjukkan hasil 50,00 %, aspek terendah pada menentukan tujuan tes dan konstruksi soal. Guru masih beranggapan bahwa ulangan disampaikan pada peserta didik asal 1 (satu) kompetensi dasar (KD) selesai dipelajari tanpa melihat tujuan tes. Kisi-kisi soal, kunci jawaban, dan pedoman penilaian tidak disusun guru karena soal dibuat dan dikomsumsi oleh guru sendiri.

Mencermati hasil penelitian yang masih sangat rendah, maka penelitian dengan terus melakukan diskusi, pembimbingan dan penyadaran pada guru bahwa dalam menyusun soal harus melalui langkah-langkah yang benar dengan menentukan tujuan soal tersebut dibuat, materi penting yang harus dikuasai siswa, konstruksi penyusunan soal, dan bahasa yang digunakan dalam menyusun soal sehingga soal tersebut valid, sahih dan handal, sehingga mampu

235

memberi hasil pengukuran yang tepat, cermat dan ajeg.

Pembimbingan dan diskusi yang dilakukan oleh peneliti dilakukan secara individual dan/atau kelompok. Individual dilakukan pada guru yang dirasa kemampuannya sangat kurang, yaitu pada guru B dan E. Sementara pada guru kode lain dilakukan pembimbingan dan diskusi kelompok. Pendampingan dan diskusi dilakukan dengan cara mencermati kesiapan guru dan soal ulangan yang disusun guru. Guru diajak mencermati kisi-kisi soal, tujuan soal tersebut disusun, kompetensi yang harus dikuasai siswa, validasi, dan membimbing guru dalam merakit soal dengan memperhatikan materi, konstruksi dan bahasa yang digunakan agar soal yang disusun guru mempunyai keterbacaan yang jelas, mudah, dan tidak mempunyai penafsiran ganda.

Setelah mendapat pembimbingan dan melakukan diskusi pada siklus II hasil yang diperoleh menunjukkan kesiapan guru 78,46 % dan kemampuan guru dalam menyusun soal 88,46 %. Mencermati hasil tersebut menunjukkan bahwa kompetensi guru dalam menyusun soal ulangan baik. Soal ulangan yang disusun guru sudah sesuai dengan aturan penulisan soal, sehingga menghasilkan soal yang sahih dan handal. Adapun langkah-langkah yang dilakukan guru dalam menyusun soal sudah sesuai dengan aturan penulisan butir soal oleh

Depdiknas (2008), yaitu (1) menentukan tujuan tes, (2) menentukan kompetensi yang akan diujikan, (3) menentukan materi yang diujikan, (4) menetapkan penyebaran butir soal berdasarkan kompetensi, materi, dan bentuk penilaiannya (tes tertulis: bentuk pilihan ganda, uraian; dan tes praktik), (5) menyusun kisi-kisinya, (6) menulis butir soal, (7) memvalidasi butir soal atau menelaah secara kualitatif, (8) merakit soal menjadi perangkat tes, (9) menyusun pedoman penskorannya (10) uji coba butir soal, (11) analisis butir soal secara kuantitatif dari data empirik hasil uji coba, dan (12) perbaikan soal berdasarkan hasil analisis.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa 1) diskusi dan pembimbingan dapat meningkatkan kompetensi guru matematika dalam menyusun soal ulangan, karena diskusi dan pendampingan sangat efektif dan efisien memahamkan guru untuk menguasai materi penyusunan soal; 2) setelah dilakukan pendampingan terhadap guru, terjadi perubahan kesiapan dalam menyusun soal ulangan dengan memperhatikan tujuan, materi, kontruksi dan bahasa, sehingga diperoleh soal yang baik, valid, dan handal; 3) hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah dilakukan diskusi dan pembimbingan ada peningkatan kesiapan guru dalam menyusun soal ulangan dari 35,54 % menjadi 78,46 %; dan 4) kompetensi guru dalam hal menyusun

Kendarti Satiti - PENINGKATAN KOMPETENSI GURU

236

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

soal ulangan mengalami peningkatan dari 50,00 % menjadi 88,46 %. Soal yang disusun guru sudah sesuai dengan tujuan, materi, konstruksi dan bahasa sehingga tidak menimbulkan penafsiran ganda oleh peserta didik.

Daftar Rujukan

Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.

Depdiknas. 2008. Panduan Penulisan Butir Soal. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas.

Depdiknas. 2008. Pedoman penyusunan soal. Jakarta.

Hasibuan dan Moedjiono. 2006. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya

Kamilah. 2008. Upaya Peningkatan Kinerja Guru Melalui Supervisi Akademik Model Lesson Study di SD Kaliboyo 1 dan 2 Kecamatan Tulis Kabupaten Batang. Penelitian Tindakan Sekolah. Tidak Diterbitkan.

Majid, Abdul. 2005. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 Tanggal 4 Mei 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.

Sahertian, Piet A. 1994. Profil Pendidik Profesional. Yogyakarta: Andi Offset.

Sudjana, Nana. 2002. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya

Sukardi, Dewa Ketut. 2008. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta

Sutarman. 2008. Upaya Meningkatkan Kemampuan Guru dalam Mengembangkan Instrumen Penilaian Kelas Melalui Supervisi Klinis Mata Pelajaran IPA di SMP Kota Surakarta. Surakarta. Penelitian Tindakan Kelas. Tidak Diterbitkan.

Usman, Moh. Uzer. 2006. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Rosda Karya.

Willis, Sofyan S. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktik. Bandung: Alfabeta.

Winkel dan Sri Hastuti 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan.Yogyakarta: Media Abadi.

237

PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI )MENGGUNAKAN METODE BERMAIN PUZLE

Heni Wahyu WidayatiPengawas Kementerian Agama Kabupaten Sleman

Email: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar PAI dengan menggunakan permainan puzzle pada siswa kelas VII A SMP Diponegoro Depok. Peningkatan keaktifan difokuskan pada perhatian, menjawab dan bertanya, sedang hasil belajar dilihat dari peningkatan nilai hasil ulangan. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 2 siklus. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi pembelajaran dan tes hasil belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui pembelajaran menggunakan metode bermain puzzle dapat meningkatkan keaktifan siswa pada siklus I dan II yaitu sebesar 56,25% dan 75%. Peningkatan hasil belajar pada siklus I dan II, yaitu 47,8% dan 61, %. Penerapan metode bermain puzzle dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa kelas VII di SMP Diponegoro Depok.

Kata kunci: keaktifan, hasil belajar, bermain puzzle

Abstract: This classroom action research aimed to enhance the activity and “PAI” learning outcomes by using a puzzle game in class VII A Diponegoro junior high school Depok. The improvement was focused on the activity, asking and answering, while learning outcomes seen from the increasing of test results score. This research was performed in 2 cycles. Data collected through observation of learning and achievement test. The results showed that through learning using the puzzle game method enhanced the activity of students in cycle I and II in the amount of 56.25% and 75%. The increasing of learning outcome cycle I and II were 47.8% and 61%. Implementation of playing puzzle method enhanced the activity and student learning outcomes in class VII SMP Diponegoro Depok.

Keywords: activeness, learning outcomes, puzzle game

Pendahuluan

Profesi guru dalam dunia pendidikan memiliki fungsi, kedudukan dan peran yang sangat strategis, sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Guru dan Dosen Pasal 1 ayat 1, Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,

melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Undang Undang Guru dan Dosen, 2007:3).

Guru PAI adalah guru yang memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,

238

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

menilai dan mengevaluasi peserta didik pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Guru PAI sebagai komponen penting dalam proses pendidikan, tidak boleh putus asa menghadapi berbagai macam tantangan yang kian kompleks serta keadaan peserta didik yang sangat heterogen. Upaya dan strategi baru harus selalu dikaji agar proses pembelajaran yang dilakukan benar-benar memberi kontribusi bagi perkembangan tahapan berfikirnya, sehingga kelak mampu menghadapi kehidupan pada zamannya dengan segala tantangan yang ada.

Proses globalisasi akan membawa dampak bagi anak-anak bangsa, baik secara langsung atau tidak langsung, serta berpengaruh pada berbagai bidang mulai dari segi perkembangan science, bidang ekonomi, sosial politik, budaya, dan pendidikan. Informasi dan ilmu pengetahuan demikian mudah diakses, sehingga peserta didik kaya dengan berbagai informasi, di sisi lain juga mudah terjejali dengan informasi yang kurang berguna dan banyak anak usia sekolah kecanduan game online sehingga tidak bersemangat ketika berada pada jam pembelajaran.

Mendidik adalah mengembangkan nilai-nilai hidup peserta didik, mengajar adalah mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi peserta didik, melatih merupakan usaha mengembangkan keterampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi masa depan (Syaiful Bahri, 2005: 37). Dalam upaya meraih tujuan pendidikan nasional, pendidik pada setiap

satuan pendidikan hendaknya mampu melaksanakan tugas mendidik, mengajar sekaligus melatih. Peserta didik yang memperoleh pendidikan dan pengajaran serta latihan dari para guru, mendapatkan pengalaman belajar lebih banyak, yang pada gilirannya bermanfaat bagi hidupnya.

Bab IV Pasal 19 ayat (1) Standar Nasional Pendidikan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Berdasarkan pasal tersebut semestinya GPAI merespon secara aktif sehingga mampu menyajikan pembelajaran yang mengaktifkan siswa dan mengembangkan pengetahuan dan sikap positip.

Mata pelajaran PAI mengandung lima unsur penting yaitu keimanan, Alquran, fiqih, perilaku terpuji/akhlak, dan sejarah Islam. Kelima unsur tersebut akan disampaikan dalam kegiatan pembelajaran pada setiap semester yang merupakan bagian dari aktivitas penyelenggaraan Pendidikan. Guru PAI harus mampu mengembangkan tiga ranah yang saling terkait yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor (Kemenag, 2011:2).

Kegiatan pembelajaran PAI di SMP Diponegoro Depok menghadapi permasalahan khususnya pada kelas VII A, diantaranya yaitu rendahnya motivasi dan

239

Heni Wahyu Widayati - PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN PRESTASI

partisipasi peserta didik dalam kegiatan pembelajaran (Sri Astuti, 2014). Peserta didik kelas VII A rata-rata kurang bisa memusatkan perhatian pada pembelajaran, tempat duduk sering berpindah, dan perhatian peserta didik sulit difokuskan pada materi yang sedang dibahas. Selain masalah tersebut, prestasi belajar siswa pada UTS dan Ulangan Akhir Semster masih sangat rendah, yaitu 100 persen siswa belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), padahal dengan soal yang sama kelas lain yaitu kelas C dan D persentase siswa yang meraih KKM cukup besar.

Rendahnya KKM kelas VII A, bisa ditelusuri dari pemetaan kelas, bahwa kelas VII A memang diperuntukkan bagi siswa dengan nilai ujian nasional SD terendah seluruh kelas VII di SMP Diponegoro tahun 2014. Pemberian nama kelas A diharapkan meningkatkan kepercayaan diri siswa yang nota bene peringkat terbawah dalam ranah kognitifnya, sekaligus bertujuan agar siswa dalam kelas VII A lebih homogen kemampuannya, dan lebih mudah mengatur pencapaian materi pembelajaran.

Kompetensi Dasar (KD) yang didalamnya mengandung pembahasan ayat Alquran merupakan KD yang paling rumit bagi siswa kelas VII A, didalamnya mengajarkan ilmu tajwid. Kendala utama dalam materi tajwid yaitu 50 persen peserta didik belum dapat membaca Alqur’an dengan baik. Berdasarkan hasil pemetaan 30 persen peserta didik pada kelas VII A belum menghafal seluruh nama huruf hijaiyah. Hal

ini merupakan masalah bagi GPAI dalam menyampaikan materi tajwid terutama hukum nun sukun atau tanwin dan mim sukun.

Permasalahan rendahnya prestasi belajar dan keaktifan mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas VII A sangat kompleks dan harus segera diperbaiki sesuai prioritas, karena kemampuan membaca Alquran sangat penting bagi umat Islam, begitu pula kompetensi dasar pada semester berikutnya akan berkaitan erat dengan ayat-ayat dan Hadits. Hal ini dipandang penting untuk memprioritaskan peningkatan keaktifan dan prestasi belajar siswa. Keaktifan peserta didik menunjukkan bahwa peserta didik terlibat secara fisik dan psikis terhadap proses pembelajaran, sehingga diharapkan akan meningkatkan intensitas perhatian terhadap materi yang sedang dipelajari. Prestasi belajar menjadi tolok ukur keberhasilan kegiatan pembelajaran di sekolah.

Hasil refleksi yang dilakukan terhadap proses kegiatan pembelajaran, dirasa perlu memulai perubahan ini dari perbaikan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik, menyenangkan dan menantang akan menarik perhatian peserta didik dan diharapkan pemahaman akan lebih meningkat. Peserta didik yang aktif mengikuti proses kegiatan pembelajaran, lebih fokus dan intensitas perhatiannya tinggi. Berdasarkan karakteristik peserta didik kelas VII yang masih berada pada masa transisi dari sekolah dasar ke jenjang SMP yaitu suka bermain, dan banyak berbicara

240

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

dengan teman di sekitar tempat duduknya, maka guru memutuskan untuk menerapkan strategi pembelajaran pendekatan kolaboratif dengan metode bermain puzzle untuk meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar di kelas VII A.

Ada berbagai strategi pembelajaran aktif, seperti jigsaw, peer teaching, picture and picture, namun ditetapkan bermain puzzle untuk mengatasi meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar di kelas VII A. Bermain puzzle merupakan strategi pembelajaran kooperatif yang berhasil meningkatkan skill-skill dasar, pencapaian, interaksi positif antar siswa, harga diri, dan sikap penerimaan pada siswa-siswa lain yang berbeda, yang semua ini untuk membantu siswa mereview dan menguasai materi pelajaran. Prosedur penerapan metode bermain puzzle ini diilhami oleh model pembelelajaran Teams Games Tournament (TGT). TGT merupakan salah satu strategi pembelajaran kolaboratif yang mendorong siswa untuk mampu memiliki dan melakukan hal-hal yaitu menerima orang lain, membantu orang lain, menghadapi tantangan, dan bekerja dalam tim (Miftahul Huda, 2013: 197).

Dengan metode bermain puzzle bisa dengan cara sederhana, yaitu menyusun gambar saja, sekedar agar membuat anak aktif. Bermain puzzle yang dilakukan dikemas dengan game yang mendekati kesamaan dengan model TGT yaitu dilombakan dan diberi skor agar peserta didik lebih tertantang dan menguasai pelajaran PAI dengan hasil yaitu prestasi belajar

PAI meningkat. Dengan dasar pemikiran tersebut dilakukan penelitian tindakan yang berupa penelitian tindakan kelas dengan judul “Peningkatan Keaktifan dan Prestasi Belajar PAI Menggunakan Metode Bermain Puzzle pada Siswa kelas VII A”.

Rumusan masalah dalam penelitian tindakan kelas ini yaitu 1) Bagaimana proses pembelajaran PAI yang menggunakan metode bermain puzzle pada siswa kelas VII A SMP Diponegoro Depok Kabupaten Sleman; 2) Apakah pembelajaran dengan metode bermain puzzle dapat meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar PAI pada siswa kelas VII A SMP Diponegoro Depok tahun 2014.

Tujuan penelitian tindakan ini yaitu untuk mengetahui proses pembelajaran PAI dengan metode bermain puzzle serta untuk menigkatkan keaktifan dan prestasi belajar PAI pada siswa kelas VII A SMP Diponegoro Depok Kabupaten Sleman.

Pentingnya mengaktifkan siswa dalam belajar

Menurut teoritikus eksperiental semacam Dewey dan Kolb, pembelajaran hanya akan terjadi ketika siswa memiliki kesempatan untuk menunjukkan performanya, baik secara mental maupun fisik, dan kemudian berefleksi tentang makna tindakan atau performa tersebut. Selama proses refleksi ini, individu menghubungkan tindakannya dengan informasi yang telah dimiliki berdasarkan pengalaman sebelumnya. Dengan demikian, proses pengajaran haruslah mampu meningkatkan

241

proses alamiah pembelajaran itu sendiri (Miftahul Huda, 213:40-41). Keaktifan siswa dalam pembelajaran berdasarkan teori tersebut mengaktifkan kerja otak dalam merekam informasi sehingga mempermudah proses pemahaman materi yang diajarkan.

Lebih jelas lagi Dewey mengatakan bahwa tindakan pembelajaran, melibatkan baik komponen sensorik, eksperiental dan mental atau kognitif. Penganut teori pembelajaran eksperiental, akan melaksanakan pembelajaran dengan mengonstruksi pelajaran yang dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar melalui eksperimen, melalui tindakan, atau melalui usaha menciptakan sesuatu (learning by experiment, learning by doing, learning by construction) ( Miftahul Huda, 2013).

Menurut teori Konektionisme, (Syaiful Bahri, 2002: 24-25) ada tiga hukum belajar bagi manusia yaitu hukum efek, hukum latihan dan hukum kesiapan. Hukum efek adalah keadaan yang memuaskan menyusul respon, memperkuat antara stimulus dan tingkah laku, Hukum Latihan menjelaskan bahwa pengulangan memperbesar peluang timbulnya respons (tanggapan) yang benar, tetapi jika pengulangan tidak disertai keadaan yang memuaskan, tidak akan meningkatkan belajar. Hukum kesiapan, bahwa pelaksanaan tindakan sebagai respons terhadap suatu impuls yang kuat menimbulkan kepuasan, sedang menghalang-halangi pelaksanaan menimbulkan kejengkelan. Jadi jika pembelajaran disajikan secara menarik, akan

menimbulkan kesenangan yang berakibat pada peningkatan keaktifan. Dalam perkembangannya, beberapa ahli pendidikan melakukan inovasi metode pembelajaran yang disebut dengan strategi pembelajaran aktif, yaitu suatu pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk belajar secara aktif, baik mental maupun fisik (Hisyam Zaini, 2010:xvi). Salah satu teori tentang aktivitas belajar manusia, yaitu tentang proses informasi ketika manusia belajar.

Muhammad Asrori berpendapat bahwa informasi yang ada mulanya tidak bermakna, menjadi dikenal oleh indra kita berdasarkan pola-pola yang ada dan dipindah pada ingatan jangka pendek. Selanjutnya ada empat proses utama dalam pemrosesan informasi pada manusia, yaitu a) pengkodean, b) penyimpanan, c) mengingat kembali, yaitu proses yang dilakukan adalah menyimpan informasi ke dalam ketiga memori, yaitu perekam deria, ingatan jangka pendek, dan ingatan jangka panjang, d) lupa, yaitu informasi sulit diingat kembali dari ingatan jangka pendek dan jangka panjang. Keaktifan siswa dalam belajar menurut guru antara lain berupa, kemampuan untuk memperhatikan, mengajukan pertanyaan, mengerjakan tugas dan kerjasama.

Berdasarkan uraian tersebut, dipahami bahwa mengaktifkan siswa pada proses pembelajaran sangat membantu proses transfer informasi dalam diri siswa, dan akan bertahan lebih lama dalam memori siswa. Asumsi ini selaras dengan konsep belajar aktif yang dikembangkan Melvin

Heni Wahyu Widayati - PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN PRESTASI

242

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

L. Siberman, (2004: 15), yaitu “ Yang saya dengar saya lupa, yang saya dengar dan lihat saya sedikit ingat. Yang saya dengar, lihat dan pertanyakan atau diskusikan dengan orang lain, saya mulai pahami. Dari yang saya dengar dan lihat, bahas, dan terapkan, saya dapatkan pengetahuan dan keterampilan. Yang saya ajarkan kepada orang lain, saya kuasai”.

Prestasi Belajar

Prestasi belajar adalah perubahan tingkah laku yang meliputi ranah kognitif, afektif maupun psikomotor, yang merupakan ukuran keberhasilan siswa (E. Mulyasa, 2007:26). Prestasi belajar yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu angka yang diperoleh oleh siswa sebagai simbol kemampuan kognitif peserta didik terhadap materi pelajaran setelah menerima pembelajaran dengan metode bermain puzzle. Lebih spesifik lagi bahwa angka-angka tersebut hanya mengungkapkan kemampuan kognitif atau pemahaman konsep saja, bukan hasil pengukuran terhadap aspek psikomotor dan afektif peserta didik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar ada dua yaitu unsur luar dan unsur dalam (Syaiful Bahri Djamarah, 2001: 142) , sedang sumber lain menyebut dengan faktor internal dan eksternal. Faktor tersebut antara lain faktor internal terdiri dari 1) kesehatan, baik fisik maupun mental; 2) intelegensi dan bakat; 3) minat dan motivasi; 4) cara belajar. Adapun faktor eksternal yang berpengaruh terhadap hasil belajar yaitu 1) keluarga, 2) sekolah, 3) masyarakat, (4) lingkungan

sekitar (M. Dalyono, 2005: 55-56).

Hakekat PAI

Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu komponen penting dalam struktur kurikulum nasional, termasuk dalam rumpun akhlak mulia. Ahmad D. Marimba menjelaskan pengertian pendidikan agama Islam yaitu,” Suatu bimbingan baik jasmani maupun rohani yang berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran dalam Islam. Berdasarkan pasal 37 ayat I Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa serta berakhlak mulia.

Adapun ruang lingkup bahan pelajaran PAI di sekolah menengah pertama terfokus pada aspek 1) keimanan didalamnya menjelaskan iman kepada Allah, malaikat, rasul, kitab hari kiamat, serta iman kepada qadla dan qadar, serta implementasi dari keimanan tersebut; 2) Al-Qur’an dan Hadist, didalamnya menjelaskan beberapa surat pendek dan ayat pilihan yang berisi ajaran toleransi, bersungguh-sungguh dalam mencari kebaikan; 3) akhlak, mengajarkan kepada peserta didik untuk berperilaku kerja keras, tekun giat teliti, sabar tawakal dan qonaah, serta ajaran untuk menghindari dendam, takabur iri dan sebagainya; 4) fiqih/ibadah, mengajarkan bersuci sebagai syarat sah ibadah baik bersuci dari hadast maupun dari najis. Dalam ilmu fiqih juga menjelaskan

243

tentang sholat, zakat, haji; 5) tarikh/sejarah Islam mengajarkan sejarah lahirnya nabi Muhammad Saw, perjuangan di Mekah, perjuangan di Madinah, Khulafaur Rasyidin, perkembangan ilmu pengetahuan masa Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah.

Metode Bermain Puzle Menurut Patmonodewo (Misbach,

Muzamil, 2010) kata puzzle berasal dari bahasa Inggris yang berarti teka-teki atau bongkar pasang, media puzzle merupakan media sederhana yang dimainkan dengan bongkar pasang. Metode bermain puzzle merupakan salah satu metode pembelajaran yang menggunakan media puzzle. Menurut Adenan (1989:9) dalam Muh Syukron (2011:1), puzzle dan games merupakan materi untuk memotivasi diri secara nyata dan merupakan daya penarik yang kuat, karena menawarkan sebuah tantangan yang dapat secara umum dilaksanakan dengan berhasil.

Puzzle memiliki banyak ragam contohnya puzzle konstruksi, puzzle batang, puzzle angka, puzzle transportasi serta puzzle logika. Dalam penelitian tindakan ini digunakan puzzle susunan huruf hijaiyah yang sesuai dengan pengelompokkan hukum nun sukun. Hukum nun sukun terdiri dari idhar, idghom bilaghunah, idghom bighunnah, iklab dan ikhfa. Masing masing memiliki huruf yang termasuk didalam jenis hukum tersebut. Sedang hukum mim sukun terdiri dari idghom mutamasilain, Ikhfa Syafawi dan Idhar syafawi, masing-masing juga memiliki beberapa huruf hijaiyah atau huruf Arab. Bermain puzzle jika

hanya disajikan dengan cara biasa, seperti memberikan puzzle kemudian peserta didik diberi kesempatan melihat, membongkar dan memasang, kemungkinan jika permainan puzzle tanpa tantangan dan tidak dipertandingkan, akan kurang menarik. Oleh karena itu, dicoba diterapkan permainan puzzle ini dengan strategi Teams Games Tournament (TGT). Strategi TGT menurut Miftahul Huda (2013: 197) pembelajaran yang dikembangkan oleh Slavin, dapat membantu siswa mereview dan menguasai materi pelajaran. Slavin juga menemukan bahwa TGT berhasil meningkatkan skill-skill dasar, pencapaian, interaksi positif antar siswa, harga diri, dan sikap penerimaan pada siswa-siswa lain yang berbeda.

Bermain puzzle dengan strategi yang menantang akan meningkatkan interaksi antar peserta didik, karena secara langsung akan menyelesaikan tugas membongkar dan memasang puzzle. Harga diri peserta didik juga akan dipertaruhkan ketika bongkar pasang puzzle itu dilombakan atau ditandingkan. Untuk memenangkan pertandingan ini secara otomatis peserta didik berjuang untuk memahami pasangan-pasangan puzzle yang sudah tersedia. Dengan peningkatan pemahaman peserta didik melalui pertandingan ini, secara tidak langsung meningkatkan kemampuan kognitifnya. Dengan demikian dengan bermain puzzle ini akan meningkatkan keaktifan fisik dan psikis serta prestasi belajar peserta didik.

Prosedur dalam TGT yaitu pembentukan terdiri dari tiga yaitu

Heni Wahyu Widayati - PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN PRESTASI

244

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

pembentukan tim, turnamen, dan scoring. Pertama, pembentukan tim siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen kemampuannya, jumlah tim maksimal 4 orang. Setiap kelompok diberi nama dengan nomor misalnya kelompok 1, 2, 3, dan seterusnya. Setiap tim diberi tugas mempelajari materi secara berkelompok dan mereview materi tersebut.

Kedua, turnamen. Turnamen dilakukan setelah kelompok terbentuk, dan setiap kelompok telah mempelajari materi dalam KD yang akan disampaikan. Turnamen dalam penelitian ini mempergunakan alat puzzle yang berkaitan dengan KD yang dipelajari. Turnamen dibagi dua yaitu turnamen intern kelompok dan turnamen antar kelompok. Pemenang dalam game puzzle setiap kelompok diikutkan dalam turnamen game puzzle antar kelompok. Turnamen antar kelompok dibagi dua yaitu mempertandingkan puzzle yang sederhana dan puzzle yang rumit. Bentuk permainan puzzle dalam setiap kelompok adalah bertanya jawab tentang isi pelajaran dalam puzzle, dan game adu cepat merangkai puzzle secara tepat sesuai materi pembelajaran. Bentuk turnamen yang semula hanya bertanya jawab dan merangkai puzzle, pada pertemuan berikutnya ditingkatkan menjadi membuat puzzle dan melombakan baik intern kelompok maupun antar kelompok. Ketika salah satu anggota kelompok bermain game puzzle, siswa lain dalam kelompok membaca sumber jawaban dari LKS untuk mengetahui kebenaran jawaban dari anggota kelompoknya.

Ketiga, Scoring. Penskoran adalah proses memberi skor atau penilaian baik secara individu maupun kelompok. Dalam pelaksanaan model TGT dengan alat puzzle ini, penilaian dilakukan oleh kelompoknya sendiri, kemudian diambil nilai oleh kelompok lain pada saat bertanding menyusun puzzle. Pada akhir pertemuan dilakukan penilaian oleh guru untuk mengetahui regu yang paling tinggi skornya.

Metode penelitian Penelitian ini merupakan Penelitian

Tindakan Kelas yang dilakukan melalui 4 tahap dalam setiap siklusnya yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi serta refleksi. Setiap siklus dalam penelitian tindakan ini terdiri dari dua pertemuan, setiap pertemuan sebanyak 3 jam pelajaran atau 3 x 40 menit. Siklus I dilaksanakan pada tanggal 7 sampai dengan 21 Februari 2014. Siklus II pada tanggal 28 Februari sampai dengan 7 Maret 2014.

Setting penelitian terdiri dari perencanaan obyek penelitian, subyek penelitian, waktu dan lama penelitian, serta lokasi penelitian. Obyek penelitian adalah situasi sosial yang dirumuskan dalam rumusan masalah. Obyek penelitian ini yaitu keaktifan peserta didik, prestasi belajar peserta didik dan penggunaan metode bermain puzzle. Subyek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu yang memiliki data mengenai variabel-variabel yang diteliti (Azhar, 20015: 35). Subjek Penelitian Tindakan Kelas ini yaitu kelas VII A SMP Diponegoro Depok tahun

245

pelajaran 2013/2014, yang berprestasi paling rendah diantara rombel kelas VII, jumlah peserta didik 23 orang laki-laki semua. Waktu penelitian selama satu bulan, dimulai pada tanggal 7 Februari sampai dengan 7 Maret 2014. Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan pada kelas VII A SMP diponegoro Depok kabupaten Sleman.

Observasi dari segi proses dibagi dua yaitu observasi partisipan, peneliti mengamati sambil ikut melakukan apa yang dikerjakan sumber data, dan observasi non partisipan yaitu apabila peneliti hanya sebagai pengamat independen. Dari segi instrumen yang disediakan observasi dibagi dua yaitu observasi terstruktur, telah dirancang apa yang akan diamati dan observasi tidak terstruktur yaitu observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis apa yang akan diamati (Sugiyono, 2006: 204-205). Observasi dalam penelitian ini menerapkan kolaborasi observasi partisipan, observasi terstruktur, dengan lembar instrumen yang penyusun siapkan.

Observasi dalam penelitian ini dilakukan oleh observer selama KBM, dengan membawa instrumen observasi yang diisi dengan berupa cheklist. Data dianalisa secara kuantitatif dan kualitatif. Kuantitatif dilakukan untuk mengetahui prestasi belajar, dan dilakukan pengelompokan peserta yang telah mencapai target dan belum mencapai target, kemudian dipersentase.

Adapun kriteria keberhasilan dalam PTK ini yaitu jika 60 % lebih siswa meningkat keaktifan dan prestasi belajarnya. Wawancara dilakukan untuk refleksi pada

akhir siklus. Alat dan bahan yang dipakai yaitu kertas, gunting, spidol, dan kamera untuk mendokumentasikan kegiatan.

Hasil PenelitianMetode bermain puzzle dalam

penelitian ini dirancang mirip strategi TGT, meskipun tidak sepenuhnya sama, tetapi kombinasi ini diharapkan lebih mampu mengaktifkan siswa, karena siswa SMP akan lebih tertantang jika dilombakan mulai pertandingan individu pada setiap kelompok, kemudian menandingkan pemenang tiap-tiap kelompok.

Siklus ISesuai dengan prosedur dalam PTK

diawali dengan perencanaan. Pada tahap perencanaan, diawali dengan memilih prioritas masalah pembelajaran pada kelas yang sangat memerlukan tindakan yaitu karena sangat rendah prestasi belajarnya serta sangat pasif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran pada mata pelajaran PAI. Guru menganalisis beberapa metode pembelajaran mengujicobakan pada kelas lain serta menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, menyiapkan media serta instrumen observasi. Pada tahap pelaksanaan tindakan, peserta didik dibagi dalam kelompok kecil, dengan mempertimbangkan kesamaan komposisi kemampuan setiap kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 4 orang peserta didik. Peserta didik pada setiap kelompok mengamati puzzle hukum nun sukun atau tanwin. Dengan motivasi dari guru peserta didik bertanya

Heni Wahyu Widayati - PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN PRESTASI

246

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

tentang isi puzzle tersebut. Guru memberi penjelasan singkat dan menuliskan rumus hukum nun sukun di papan tulis. Peserta didik pada setiap kelompok diarahkan agar memperhatikan puzzle dan membongkar pasang puzzle tersebut secara bergantian sesuai arah jarum jam. Ketika salah satu anggota kelompok bermain, peserta lain menghitung kecepatan proses merangkai puzzle. Anggota kelompok yang paling cepat menjadi pemenang dalam kelompok. Langkah berikutnya, game dilaksanakan antar pemenang dalam kelompok tersebut. Anggota kelompok yang tidak dilombakan memberi support bagi wakil kelompoknya yang sedang dilombakan. Guru mencatat pemenang dalam permaian puzzle tersebut. Menjelang akhir pembelajaran guru

beserta peserta didik menyimpulkan materi pembelajaran yang dilaksanakan pada hari tersebut, dan memberi pertanyaan. Pada akhir pertemuan guru mengajak peserta didik melakukan refleksi kegiatan pembelajaran yang baru saja dilaksanakan menyenangkan atau tidak, memudahkan peserta didik memahami atau tidak.

Observer melakukan observasi atau pengamatan di dalam kelas, hasil observasi siklus I dapat dilihat pada Tabel 1.

Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa pada siklus I, sebanyak 56 % peserta didik menunjukkan keaktifan dalam pembelajaran. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan jika dibandingkan dengan sebelum adanya tindakan.

247

Perubahan yang tampak pada siklus I ini yaitu kerjasama diantara peserta didik dalam kelompoknya, sedangkan keaktifan menjalankan tugas masih cukup. Hal yang masih kurang yaitu kemauan bertanya dan menjawab pertanyaan.

Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa ada peningkatan prestasi belajar, namun belum mencapai 50 persen.

Tabel 4 menunjukkan bahwa pada siklus pertama dalam kondisi persiapan yang cukup, kesesuaian dengan perencanaan masih kurang demikian pula dalam penguatan jawaban.

Pada tahap refleksi, siklus I sudah ada peningkatan keaktifan siswa terlibat dalam proses pembelajaran serta prestasi

belajarnya seperti pada Tabel 1, 2 dan 3, namun masih perlu ditingkatkan keaktifan dan prestasi belajar peserta didik, karena jika keaktifan belum ditunjukkan oleh seluruh peserta didik, besar kemungkinan prestasi belajar yang diraih masih rendah. Pada siklus pertama, peserta didik masih merasa asing dengan permainan puzzle ini, beberapa peralatan disiapkan ada yang masih yang kurang, serta puzzle yang dipakai bermain yaitu puzzle yang dibuat oleh orang lain. Berdasarkan hasil refleksi maka direncanakan ada perubahan strategi pembelajarannya meskipun masih mempergunakan metode bermain puzzle. Guru tidak lagi membawa puzzle hukum nun sukun, melainkan menggunakan puzzle hasil karya masing-masing kelompok yang telah dipersiapkan dari rumah.

Heni Wahyu Widayati - PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN PRESTASI

248

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

Manfaat memberi tugas di rumah untuk membuat puzzle hukum nun sukun dan mim sukun secara berkelompok agar terjadi diskusi dan interaksi positif diantara anggota kelompok. Dengan bekerja berkelompok masing-masing anggota akan merasa bertanggung jawab terhadap kemenangan kelompoknya. Pemberian tugas membuat puzzle secara berkelompok diharapkan peserta didik lebih memahami konsep.

Siklus II

Perencanaan pada siklus II disusun berdasarkan hasil refleksi dari siklus I, maka dilakukan persiapan penelitian tindakan kelas yaitu antara lain memilih prioritas masalah pembelajaran yang akan diperbaiki yaitu keaktifan peserta didik dan prestasi belajar peserta didik, menentukan strategi yang akan digunakan, menyusun skenario dan strategi untuk melaksanakan tindakan, menyusun perencanaan pembelajaran dan menyiapkan instrumen observasi keaktifan peserta didik.

Pada pelaksanaan pada siklus II model pembelajaran yang diterapkan tetap menggunakan metode bermain puzzle dengan pendekatan kolaboratif tipe TGT, namun

puzzle sudah dibuat oleh peserta didik secara berkelompok di rumah. KD yang dibahas yaitu menerapkan hukum bacaan nun mati dan mim mati dalam Alquran, yaitu Alquran Surat Al Fil dan Al Qodar. menjelaskan hukum bacaan nun mati dan mim mati. Peserta didik dibagi dalam kelompok kecil, masing-masing kelompok terdiri dari 4 orang peserta didik untuk bertanding bongkar pasang puzzle yang berisi hukum bacaan nun sukun dan mim sukun secara satu persatu didalam setiap kelompok berurutan searah jarum jam, kemudian skor dicatat bagi yang tercepat dalam membongkar dan memasang, para pemenang dari setiap kelompok ditandingkan, sehingga diperoleh skor tertinggi didalam kelas. Peraih skor tertinggi diberi penghargaan. Sementara itu anggota kelompok yang tidak dilombakan memberi support terhadap wakil kelompoknya yang sedang bertanding atau turnamen. Sementara turnamen berjalan, observer mengisi instrumen observasi dengan mengisi cheklist.

Menjelang akhir pembelajaran guru beserta peserta didik menyimpulkan materi pembelajaran yang dilaksanakan pada hari tersebut, dan refleksi pembelajaran

249

yang dilakukan menyenangkan atau tidak, lebih mudah dipahami atau tidak? Diluar dugaan peserta didik menjawab dengan serentak “menyenangkan”. Adapun jawaban terhadap pertanyaan pertama, selain secara lisan diakui peserta didik mudah dipahami, dikuatkan dengan hasil evaluasi yang dapat dilihat pada Tabel 5. Pada akhir pertemuan dilakukan tes untuk mengetahui apakah ada peningkatan prestasi belajar siswa, dengan mengacu KKM yang telah ditentukan, dan standar keberhasilan penelitian.

Tabel 6 menunjukkan bahwa peserta didik sudah semakin aktif merasa senang dengan permainan puzzle ini, sehingga berani menjawab, mengerjakan tugas dan kerjasama tinggi, sedang kegiatan bertanya dan menyampaikan kesimpulan dalam kategori sedang.

Tabel 7 menunjukkan bahwa 81,25% peserta didik meningkat prestasinya, hal ini sudah melampaui target ketercapaian yang ditetapkan, sehingga dapat dikatakan tindakan yang dilakukan dapat meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar peserta didik.

Pada siklus II peneliti lebih siap, lebih mampu memberikan motivasi dan lebih menguasai materi, sedang melaksanakan penelitian sesuai dengan rencana pada kategori cukup, namun demikian tidak mengurangi hasil penelitian tindakan ini.

Pembahasan

Prestasi pada siklus II jika dibandingkan dengan siklus satu mengalami kenaikan dari 47,8 % menjadi 81,25% atau meningkat sebesar 33,45% . Dengan demikian hasil dari siklus I dan II merupakan bukti nyata peningkatan prestasi siswa dari

Heni Wahyu Widayati - PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN PRESTASI

250

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

nilai semula rata-rata 4,4, menjadi rata-rata 6,75. Selain itu jika dilihat dari awalnya, dari seluruh kelas VII A yang semula tidak ada yang mampu mencapai KKM hasil siklus II sebanyak 13 anak atau 81,25% telah mencapai KKM. Dengan demikian untuk kelas VII A yang selama ini pemahamannya terhadap pelajaran rendah, pada UTS dan UAS semester I belum mencapai KKM, ternyata meningkat sebesar 13 siswa dari 24 siswa.

Peningkatan pada siklus II disebabkan keaktifan peserta didik meningkat, tampak gembira dan bersemangat. Peserta didik lebih memahami strategi pembelajaran yang diterapkan. Dalam setiap kelompok sudah makin kompak dan siap. Suasana pembelajaran yang aktif tersebut ternyata diiringi dengan prestasi belajar yang meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat John Dewey bahwa pembelajaran hanya akan terjadi ketika siswa memiliki kesempatan

251

untuk menunjukkan performanya, baik secara mental maupun fisik, dan kemudian berefleksi tentang makna tindakan atau performa tersebut. Jika dikaitkan dengan teori koneksionisme, kondisi pembelajaran sesuai hukum efek yaitu keadaan yang memuaskan menyusul respon juga akan memperkuat antara stimulus dan tingkah laku.

Pada teori konektionisme (Syaiful Bahri, 2002: 24-25) disebutkan ada tiga hukum belajar bagi manusia yaitu hukum efek, hukum latihan dan hukum kesiapan. Hukum efek adalah keadaan yang memuaskan menyusul respon, memperkuat antara stimulus dan tingkah laku, Hukum latihan menjelaskan bahwa pengulangan terhadap proses yang menyenangkan dalam hal ini pertandingan atau tournament permainan puzzle memperbesar timbulnya respon. Metode bermain puzzle yang dikemas tahapannya seperti TGT menimbulkan efek senang bagi peserta didik, oleh karena itu memudahkan munculnya respon. Latihan yang diulang memberi peluang timbulnya respons (tanggapan) yang benar. Maka wajar jika prestasi belajar peseta didik meningkat.

Jumlah peserta didik yang keaktifannya rendah menurun dari 13% menjadi 6,25%, sebaliknya peserta didik yang keaktifannya tinggi meningkat dari 56,25% menjadi 75%.

Perubahan keaktifan dan prestasi belajar dari sebelum tindakan dengan setelah melalui siklus I dan siklus II sangat baik, melampaui batas kriteria keberhasilan.

Di samping itu, suasana KBM sangat menggembirakan, di samping peserta didik yang semula dan selalu mengantuk dalam KBM dengan tindakan ini menjadi bersemangat dan aktif.

Simpulan

Penelitian tindakan yang dilakukan selama dua siklus ini menghasilkan simpulan yaitu pertama, pembelajaran dengan metode bermain puzzle dilakukan melalui langkah-langkah: pembentukan kelompok, pemberian tugas kelompok, melakukan game dan menilai. Pembelajaran ini memberi kesempatan kepada siswa untuk memproses informasi melalui aktifitas interaksi positif antar siswa, penerimaan siswa lain yang berbeda, menghadapi tantangan, bekerja dalam tim dan membantu siswa mereview dan menguasai materi pelajaran. Kedua, pembelajaran dengan bermain puzzle dapat meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar siswa kelas VII A SMP Diponegoro Depok Kabupaten Sleman tahun pelajaran 2013/2014. Peningkatan keaktifan sangat signifikan karena 90% siswa yang hadir terlibat aktif dan senang mengikuti pembelajaran. Peningkatan prestasi belajar juga mengalami peningkatan dari siklus I ke II persentase siswa mencapai KKM sebesar 13,3 %. Jika perubahan atau peningkatan dilihat dari sebelum adanya tindakan, maka peningkatan prestasi belajar PAI kelas VII A sangat besar dari 0% menjadi 61,1%.

Heni Wahyu Widayati - PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN PRESTASI

252

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

Daftar RujukanArikunto, Suharsimi. 2006. Penelitian

Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.

Azwar, S. 2005. Tes Prestasi Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. Edisi II. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Dalyono, M. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Djamarah, Syaiful. 2005. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif: suatu Pendekatan Teoritis Psikologis. Jakarta: Rineka Cipta.

Huda, Miftahul. 2013. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran Isu-isu Metodis dan Paradigmatis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Zaini, Hisyam dkk. 2010. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta:CTSD.

M.L Silberman. 2004. Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung: Nusa Media dan Nuansa.

Munthe, bermawy. 2014. Strategi Mengajar Aktif Kreatif Inovatif. Yogyakarta: Suka Pers.

Soemanto, Wasty. 2003. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Suhardjono. 2011. Pertanyaan dan Jawaban di Sekitar Penelitian Tindakan Kelas & Penelitian Tindakan Sekolah. Malang: Cakrawala Indonesia bekerjasama dengan LP3 UM.

Syukron, Muh. 2011. Penggunaan Media Games Puzle. S y u k r o n s a h a r a b l o g s p o t .co.id/2011/05

Trimo, Lavyanto. 2006 Model-Model Pembelajaran Inovatif. Bandung: Cipta Praya.

http://arminayen.blogspot.com/2011/06/m p d p - p e n g e r t i a n - d a n - r u a n g -lingkup-pai.html.diaksespada tanggal 14 Maret 2014 jam 05.30.

(http://kuliah.itb.ac.id/course/info.php?id=435 Diunduh pada tgl 27 nop pukul 02.38.)

253

DAMPAK CYBER BULLYING TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER PADA KALANGAN PELAJAR MADRASAH

FailasufahMAN Yogyakarta III

Email: [email protected]

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku cyberbullying yang tejadi di kalangan pelajar di madrasah, dan bagaimana dampaknya bagi pembentukan karakter siswa. Penelitian ini merupakan penelitian mix method (perpaduan antara kualitatif dan kuantitatif) dengan pengumpulan data melalui observasi, wawancara kepada guru, siswa dan angket terbuka dari siswa yang dianalisis dengan mereduksi data, menyajikan dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku cyberbullying sangat marak di kalangan pelajar di madrasah, dengan berbagai indikator yang dipersepsikan oleh pelajar sebagai perilaku yang dianggap wajar tidak ada unsur kekerasan dan menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Pelajar yang mengalami cyberbullying ada sejumlah 66 % dari jumlah sampel dengan indikator paling banyak berupa sindiran-sindiran yang diunggah di Facebook sebanyak 23 %, Instagram 15 %, Whatshap 13 % dan Line 13%. Adapun dampak yang dialami bagi korban yaitu korban merasa sakit hati, malu , cemas, malas bergaul, kurang percaya diri, tidak bisa konsentrasi, menghindari kontak mata, menutup diri dari pergaulan, marah-marah, membalas melakukan cyberbully, prestasi belajar menurun. Sedangkan bagi pelaku, setelah melakukan cyberbully pelaku mencari materi yang lain untuk melakukan cyberbully lagi.

Kata Kunci: cyberbullying, karakter siswa

Abstract: This study aimed to determine the behavior of cyber bullying that occured among madrasah students, and how the impact on student character building. This research was a mix method (a combination of qualitative and quantitative) with the data collection through observation, interviews with teachers, students and open questionnaire from students that was analyzed with reducing data, presentation, and drawing conclusions. The results showed that cyber bullying behavior was rampant among students at the school, with indicators perceived by students as a behavior that was considered reasonable, not a violence and became a habit in daily life. There 66% of sampling students who experience cyber bullying. Most indicators in the form of allusions were uploaded on Facebook 23%, Instagram15%, Whatsapp 13% and Line 13%. As the impact, the victim was suffer, hurt, shames, anxiety, hang lazy, lacking in confidence, cannot concentrate, avoid eye contact, and close themselves from the association, grumpy, replying cyber bully, declining school performance. As for the perpetrators, after a cyber-bully they seek other material to cyber bully again.

Keyword: cyber bullying, student character

254

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

PendahuluanMaraknya kasus-kasus kekerasan

yang terjadi di kalangan remaja dan anak-anak sangat memprihatinkan dan meresahkan orangtua. Orangtua sering merasa khawatir terhadap keselamatan anaknya, terlebih ketika anaknya berangkat ke sekolah. Hal ini disebabkan oleh keluhan dari anak, anak terlihat murung tidak semangat berangkat sekolah, dan ada kecemasan yang mendalam yang nampak di wajah anak. Sekolah merupakan tempat berinteraksinya anak-anak dan remaja dengan teman sebayanya. Suka dan gembira ingin dihabiskan anak dan remaja di sekolah bersama dengan teman sebayanya. Namun keinginan tersebut akan sirna seiring maraknya perilaku bully dikalangan teman sebayanya. Perilaku bully merupakan bentuk-bentuk perilaku pemaksaan atau usaha menyakiti fisik maupun psikis terhadap seseorang/kelompok yang dianggap lebih lemah oleh seseorang/sekelompok orang yang mempersepsikan dirinya kuat.

Budaya kekerasan/bully sudah dirasakan sejak dahulu, seperti saling mengejek, memanggil dengan panggilan yang bukan nama aslinya, misalnya si “kampret”, si “unyil”, si “ambon”, si “papua”, si “bima” dan lain sebagainya yang dilakukan oleh anak-anak di lingkungan bermain baik di rumah maupun di sekolah dalam berinteraksi dengan teman sebayanya, bahkan sikap “under estimate” atau meremehkan/menyepelekan orang lain dengan menunjukkan sikap tubuh yang kurang mengenakkan pada teman sebayanya

lain yang dianggap rendah/lemah. Masih banyak bentuk kekerasan/bully yang lainnya. Pelaku bully merasa puas dengan apa yang dilakukan terhadap korban kekerasan/bully, merasa senang ketika korban kekerasan/bully merasa malu, takut, tertekan dan kalah. Namun perilaku bully tersebut akan menjadi serius karena sudah dirasa menyakitkan dan berdampak pada psikis korban bully, seperti menjadi murung, minder, marah dan bisa berakibat agresif bahkan malas sekolah karena merasa ditindas (bully) oleh teman-temannya di sekolah. Sebagai contoh di Jepang, foto seorang anak yang kelebihan berat badan saat ia berganti pakaian disebarkan melalui telepon genggam kepada teman-teman yang lainnya. Walaupun sebagian masyarakat menganggap perilaku bully sebagai hal yang biasa dalam kehidupan remaja dan anak-anak yang tak perlu dipermasalahkan. Bullying hanyalah bagian dari cara anak-anak bermain (Detik.Com. diunduh September 2016).

Di Kansas, seorang gadis sekolah menengah yang telah ditolak oleh teman laki-lakinya membalas dendam dengan membuat webpage yang memasukkan kata-kata yang mengandung unsur ancaman fisik dan fitnah serta desas desus palsu (Forrest W. Parkay & Baverly Hardcastle Stanford, 2011: 454). Di Inggris, seorang gadis cantik bernama Katie Webb mengakhiri hidupnya pada usia 12 tahun. Dia ditemukan tewas gantung diri di rumahnya Evesham, Worcestershire, Inggris, karena tidak kuat menerima cacian dari teman-temannya melalui akun facebook. Dia dihina karena memiliki rambut yang

255

tidak keren dan baju yang bukan bermerk. Di Yogyakarta, pria bernama Yoga Cahyadi nekat menabrakkan diri ke kereta api pada Sabtu, 26 Mei 2013. Dia melakukan tindakan nekat tersebut karena tidak kuat menahan tekanan dan hujatan akibat gagalnya acara music Loestock Fest 2. Sebagai ketua event organizer acara tersebut, Yoga dianggap orang yang bertanggung jawab atas gagalnya acara tersebut. Dalam ungkapan terakhir di twitter dia mengatakan “Trimakasih atas segala caci maki @locstockfest2..ini gerakan..gerakan menuju Tuhan..salam”(Azmil Feronika, 2013). Kondisi yang sama dialami salah satu siswa di madrasah, akhirnya memilih pindah sekolah karena beberapa kali dibully di kelas, dikarenakan siswa yang bersangkutan termasuk siswa yang pendiam jarang ngobrol dengan temanya di kelas (Indarti, 2016).

Bullying bermakna penindasan (bahasa Inggris: bullying) yaitu penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain. Perilaku ini dapat menjadi suatu kebiasaan dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan sosial atau fisik. Hal ini dapat mencakup pelecehan secara lisan atau ancaman, kekerasan fisik atau paksaan dan dapat diarahkan berulang kali terhadap korban tertentu, mungkin atas dasar ras, agama, gender, seksualitas, atau kemampuan. Tindakan penindasan terdiri atas empat jenis, yaitu secara emosional, fisik, verbal, dan cyber. Budaya penindasan dapat berkembang dimana saja selagi terjadi interaksi antar manusia, dari mulai di sekolah, tempat kerja, rumah tangga, dan

lingkungan (https://id.wikipedia.org/wiki, 19 Oktober 2016).

Bullying dapat juga berarti tindakan agresif dan menekan dari seseorang yang lebih dominan kepada yang lebih lemah dimana seorang siswa atau sekelompok siswa menekan seorang siswa lain secara terus menerus yang menyebabkan siswa tersebut menderita (Margaret dkk, 2009 : 15). Perkembangan bullying di tengah arus globalisasi yang sarat dengan kemajuan teknologi, dimana era globalisasi mengubah pola hidup masyarakat dan mengalami kemajuan teknologi yang sangat pesat dari tahun ke tahun yang telah mengubah struktur masyarakat yang bersifat lokal menuju kearah yang berstruktur global (Ach.Tahir, 2011: 1). Demikian juga dengan bullying, yang tidak hanya bersifat verbal (mengejek, menyoraki, memanggil dengan nama-nama lain seperti “si unyil”, si kriwil, si gendut dan lain sebagainya, namun sudah merambah ke dunia maya (cyber) seperti pada sosial media (fb, BBM, instagram, twitter, dan lain sebagainya).

CYBER BULLYING merupakan kegiatan mengintimidasi, mengusik atau mengancam individu atau kelompok dengan menggunakan teknologi, informasi dan komunikasi. Pelaku mengirimkan email atau SMS yang mengandung unsur pelecehan, pesan yang dikirim mengandung unsur cabul, menghina, dan memfitnah ke papan bulletin online atau membuat website untuk mendorong dan menyebarkan konten-konten fitnah (Forrest W. Parkay & Beverly Hardcastle Stanford, 20011: 107). Selain itu

Failasufah - DAMPAK CYBER BULLYING

256

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

cyberbullying merupakan salah satu dampak negatif dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang terlalu intensif. Tindakan tersebut merupakan kejahatan dunia maya yang sangat membahayakan dan lebih berbahaya daripada bullying pada umumnya yang dilakukan secara langsung baik fisik maupun psikis yang mengakibatkan seseorang sering menjadi depresi, gila bahkan hingga membuat korban mampu mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya.

Dampak dari perilaku cyberbullying kurang dipahami oleh kebanyakan remaja. Secara psikososial dampak yang dapat dirasakan dari cyberbullying bagi korban, akan mengalami gangguan psikologis, bisa tertekan, stres, depresi, dan bahkan bisa mengasingkan diri dari pergaulan sosial. Dampak lain cyberbullying sangat membahayakan terhadap emosional siswa, diantaranya yaitu 1) penurunan kepercayaan diri; 2) penurunan konsentrasi belajar; 3) mengganggu pola tidur anak-anak dan bahkan menyebabkan mimpi buruk pada anak; 4) anak-anak sering menghindari kontak mata dengan teman lainnya di sekolah; 5) dapat mengidap anoreksia dan mengalami depresi. (http://www.antaranews.com/berita

/579799/dampak-negatif-cyberbullying, pada tanggal 7 September 2016, pukul 15.16 WIB).

Sedangkan dampak pada pelaku akan dikenakan sanksi pelanggaran Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) pasal 27 ayat (3) yang menyatakan bahwa: “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” (UU ITE Nomor 11 Tahun 2008:18) Dengan demikian undang-undang tersebut secara jelas melarang penyalahgunaan media sosial sebagai alat untuk menghina atau mencaci maki dan merugikan orang lain. Dengan adanya undang-undang tersebut pemerintah berharap kepada masyarakat untuk menggunakan media sosial secara bijaksana, tidak menggunakan sarana tersebut untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat merusak nama baik, mengganggu, atau merugikan pihak tertentu.

Dalam agama Islam, umat islam dilarang untuk melakukan berbagai macam tindakan pelecehan, penghinaan dan pencemoohan, seperti pada Al Quran Surat

257

Al-Hujarat ayat :11,

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Dari ayat tersebut sangat jelas bahwa manusia dilarang mengolok-olok, melecehkan, merendahkan, dan menghina orang lain. Sebab belum tentu orang menghina lebih baik dari orang yang dihina. Karena sesungguhnya kedudukan manusia di mata Allah SWT sama, yang membedakan hanyalah amal dan perbuatannya, dan hendaknya setiap manusia tidak saling menebar keburukan dan kebencian terhadap sesamanya serta mencatat kekurangan dan menyebarkan aib saudaranya.

Beberapa penelitian psikologi mengatakan bahwa tindakan bullying dan cyberbullyng lebih rentan terjadi di lingkungan pendidikan formal daripada di luar pendidikan formal. Di sekolah atau madrasah sangat rentan terjadi cyberbullying, terlebih lagi saat ini hampir semua siswa di madrasah sudah mendapatkan fasilitas smartphone dari orang tuanya. Smartphone ini tujuan awal penggunaannya yaitu untuk

memudahkan komunikasi antara anak dan orang tua. Namun begitu, siswa belum bisa menggunakan smartphone secara bijak, sehingga penggunaan smartphone ini disalahgunakan, sehingga tanpa disadari siswa alat ini digunakan untuk mem-bully teman sebayanya. Terlebih saat ini perilaku cyberbullying ini sudah dianggap menjadi hal yang lumrah dengan dalih untuk mengakrabkan diri dengan teman sebaya dan sebagai cara untuk meramaikan kelompok-kelompok remaja (seperti di kelas, di kelompok bermain, kelompok belajar bersama, kelompok organisai). Pada akhirnya, perilaku cyberbullying ini akan menjadi habit atau kebiasaan yang tidak dirasakan akibatnya saat sekarang tetapi jika tidak diselesaikan atau dihentikan dengan diberi bimbingan maka kebiasaan tersebut akan berdampak negatif bagi pelaku cyberbullying. Ketika pelaku cyberbully melakukan kepada orang lain yang bukan kelompoknya maka akan berakibat konflik atau permusuhan. Berbicara tentang pembentukan karakter atau juga disebut sebagai habit (kebiasaan), Bourdieu merumuskan suatu konsep Habitus, yang dibuat melalui proses sosial bukan individu yang mengarah pada pola yang abadi dan ditransfer dari satu konteks ke konteks lainnya, tetapi juga bergeser dalam kaitannya dengan konteks tertentu dan dari waktu ke waktu. Habitus tidak tetap atau permanen, dan dapat berubah di bawah situasi yang tak terduga atau selama periode sejarah panjang.(http://myardilaya.blogspot.co.id/2013/06/review-

Failasufah - DAMPAK CYBER BULLYING

258

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

pemikiran-pierre-bourdieu.html, diakses tanggal 5 Desember 2015).

Menurut Beurdieu (dalam George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2003 :522), habitus adalah struktur mental atau kognitif, yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosialnya. Habitus menggambarkan serangkaian kecenderungan yang mendorong pelaku sosial atau aktor untuk beraksi dan bereaksi dengan cara-cara tertentu. Kebiasaan individu tertentu diperoleh melalui pengalaman hidupnya dan mempunyai fungsi tertentu dalam sejarah dunia sosial dimana kebiasaan itu terjadi. Pengalaman hidup individu yang didapat dari hasil sejarah tersebut, kemudian terinternalisasi dalam dirinya, untuk kemudian mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah individu memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya (habitus mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan individu).

Oleh karenanya jika perilaku cyberbullying dibiarkan di kalangan pelajar, maka pelajar akan mendapatkan pengalaman-pengalaman hidup yang bersifat bully/penindasan. Pengalaman tersebut akan terinternalisasi dalam diri siswa yang akan digunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosialnya. Dikhawatirkan jika bully/cyberbully dibiarkan, pelajar atau remaja akan memproduksi perilaku-perilaku yang mem-bully orang-orang yang ada disekitarnya atau dunia sosialnya. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran agama, dimana seseorang

dilarang mengolok-olok kepada orang atau kelompok lain. Sebagaimana yang tersurat dalam QS Al-Hujurat Ayat 11.

Perilaku cyberbullying beragam jenis dan bentuknya. Adapun jenis-jenis cyberbullying yaitu 1) flaming (perselisihan yang menyebar), yaitu tindakan yang berupa mengirimkan pesan teks yang isinya merupakan kata-kata penuh amarah dan bersifat frontal; 2) harrassment (pelecehan), pesan-pesan yang berisi gangguan pada e-mail, sms, maupun pesan di jejaring sosial; 3) denigration (fitnah), proses mengumbar keburukan seseorang di internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang tersebut; 4) impersonation (meniru), berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan atau status yang tidak baik; 5) outing (penipuan), menyebarkan rahasia, data atau foto-foto pribadi orang lain; 6) Trickery, membujuk seseorang dengan tipudaya agar mendapatkan rahasia atau foto pribadi orang tersebut; 7) exclusion (pengucilan),mengeluarkan secara sengaja dan kejam seseorang dari online; 8) cyberstalking (penguntitan di dunia maya), mengganggu dan mencemarkan nama baik seseorang secara intens, sehingga membuat ketakutan pada orang tersebut. Namun demikian data di lapangan menunjukkan bahwa jenis-jenis cyberbullying yang dilakukan oleh siswa madrasah yaitu jenis outing, menyebarkan rahasia, data atau foto-foto pribadi orang lain , dengan menyebarkan aib atau rahasia temannya kepada yang lainnya, sehingga membuat hati si korban menderita. Cyberbullying

259

jenis outing atau menyebarkan rahasia temannya dilakukan dengan menggunakan cara membuat meme (foto yang direkayasa dan ada maknanya) selanjutnya dikirim ke berbagai sosial media yang dampaknya akan mengucilkan (exclusion) korban dari komunitasnya. Korban cyberbully akan mendapatkan malu. Jika berlanjut, maka korban akan mengasingkan diri dari lingkungan sebayanya.

Selanjutnya seseorang melakukan cyber bullying dengan kategori beberapa bentuk, diantaranya yaitu 1) direct Attacks yaitu tindakan cyberbullying dengan mengirimkan pesan-pesan melalui media elektronik yang mengandung hinaan dan caci maki secara langsung terhadap si anak; 2) posted and public attacks yaitu tindakan yang dirancang untuk mempermalukan target dengan memposting atau menyebarkan informasi atau gambar-gambar yang memalukan ke publik; 3) cyberbullying by proxy yaitu tindakan dengan memanfaatkan orang lain untuk membantu mengganggu korban, baik dengan sepengetahuan orang lain tersebut atau tidak (Flourensia Sapty Rahayu, 2012: 24).

Demikian pesatnya perkembangan cyberbullying yang terjadi saat ini sehingga mendorong dilakukannya penlitian untuk mengetahui lebih dalam tentang cyberbullying di MAN Yogyakarta III, sebuah lembaga pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama dimana pendidikan jelas-jelas berbasis islam dan siswa-siswinya beragama islam semua. Sedangkan dalam ajaran islam melarang mengolok-olok mengejek dan

menindas orang lain, sebagaimana dalam QS Al Hujarat Ayat 11.

Penelitian ini akan difokuskan kepada bagaimana bentuk-bentuk perilaku cyberbullying di MAN Yogyakarta III dan bagaimana dampak negatifnya serta pengaruh terhadap pembentukan karakter siswa di MAN Yogyakarta III, Jika siswa selalu mendapatkan bully maka siswa akan merasa minder, cemas, perasaan tertekan dan tidak bahagia sehingga siswa mengalami kesulitan belajar dan pada akhirnya mengalami prestasi rendah (underachiever). Sedangkan tujuan penelitian ini untuk mengetahui perilaku cyberbullying dan dampaknya terhadap pembentukan karakter siswa di madrasah.

Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di MAN

Yogyakarta III dengan menggunakan penelitian mixed metode (perpaduan antara kualitatif dan kuantitatif). Menurut pendapat Sugiyono (2011: 404) metode penelitian kombinasi (mixed method) yaitu suatu metode penelitian dengan mengkombinasikan dan menggabungkan antara metode kualitatif dengan metode kuantitatif untuk digunakan bersama sama dalam kegiatan penelitian, sehingga diperoleh data yang komprehensif, valid, reliabel, dan objektif. Subjek penelitian yaitu siswa kelas X yang berjumlah 264 siswa, dua orang guru BK , satu orang wali kelas. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2016. Teknik pengambilan data yaitu melalui wawancara dan angket terbuka. Analisis

Failasufah - DAMPAK CYBER BULLYING

260

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

data dilakukan dengan cara mereduksi data yang telah diperoleh di lapangan. Mereduksi berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting. Dengan demikian data yang telah direduksikan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah untuk mengumpulkan data selanjutnya (Sugiyono, 2013: 338).

Hasil Penelitian dan PembahasanMAN Yogyakarta III (Mayoga)

merupakan salah satu madrasah unggulan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah bersetifikat ISO 9001:2008 dan terakreditasi A, terletak di Jl. Magelang KM 4 Sinduadi Mlati Sleman. Letak geografisnya berada di perbatasan Kota Yogyakarta dengan wilayah Sleman. Latar belakang siswa-siswinya berasal dari berbagai daerah baik dari wilayah Yogyakarta, Jawa tengah, Jawa Timur, Lampung, Aceh, Bengkulu, Kalimantan, dan beberapa provinsi lain. Dengan demikian kultur yang ada di Mayoga merupakan kultur nusantara, artinya siswa-siswinya sudah terbiasa berinteraksi dengan berbagai asal daerah baik dari pulau Jawa maupun luar Jawa, sehingga dituntut untuk mampu beradaptasi dengan budaya yang beraneka ragam. Hal ini berimplikasi pada terjadinya kompetisi yang tinggi di kalangan siswa. Apabila siswa memiliki keinginan untuk survive dengan kultur di Mayoga maka siswa perlu memiliki jiwa kompetisi yang kuat. Dengan demikian siswa akan mampu meraih prestasi. Namun demikian dalam berkompetisi dengan teman sebaya

terkadang ada beberapa siswa yang belum dapat menyesuaikan diri dengan kompetisi yang sehat dan sportif. Disinyalir ada keinginan-keinginan dari siswa untuk bersaing secara tidak sehat dengan melakukan cyberbullying (berupa sindiran-sindiran di sosmed) pada teman sebaya (competitor), sehingga kompetitornya merasa down atau sakit hati. Namun demikian bully di madrasah juga tidak semata-mata dilakukan utuk melemahkan kompetiter /pesaing di kalangan siswa, namun justru dilakukan untuk mengakrabkan diri dengan teman sebaya dalam kelompok sosial siswa. Pada akhirnya tanpa disadari bully (terutama secara verbal) yang disampaikan melalui sosmed (cyber) menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh siswa di MAN Yogyakarta III.

Hasil wawancara dan angket terbuka yang dibagikan kepada siswa pada bulan September untuk mengetahui ada tidaknya atau pernah tidaknya siswa mengalami cyberbullying. Angket dibagikan kepada seluruh siswa kelas X yang berjumlah 264 siswa. Siswa yang mengisi angket ada sebanyak 255 siswa dan 9 siswa tidak mengisi angket dikarenakan sedang tidak masuk sekolah dan sedang mengikuti kegiatan di luar madrasah., dapat dilihat pada Tabel 1.

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 264 siswa yang mengisi angket sebanyak 255 siswa dimana 175 siswa menyatakan pernah mengalami cyberbullying dan 80 siswa tidak pernah mengalami cyberbullying. Hal ini menunjukkan bahwa

261

68 % siswa madrasah menyatakan pernah mengalami cyberbullying dengan berbagai macam bentuk, dan 32 % menyatakan tidak mengalami cyberbullying. Adapun bentuk-bentuk cyberbullying yang dialami siswa dapat dicermati pada Tabel 2.

Berdasarkan data indikator perilaku cyber bullying pada Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa bentuk-bentuk cyberbullying yang dialami siswa di media sosial yang paling banyak yaitu mendapatkan sindiran di media sosial dimana 177 siswa menyatakan pernah mengalaminya, mendapatkan pesan gangguan di media sosial pernah dialami sebanyak 49 siswa, mendapatkan kata-kata penuh amarah dan frontal di media sosial sebanyak 44 siswa, mendapatkan hinaan dan caci maki di media sosial 37 siswa, foto-foto yang memalukan disebar di media sosial 35 siswa, mendapatkan perilaku tidak baik di media sosial 34 siswa, mendapatkan pencemaran nama baik di media sosial 26 siswa, rahasianya atau foto-foto pribadi disebarkan di media sosial sebanyak 21 siswa, dan dikeluarkan secara sengaja dari grup online dialami sebanyak 21 siswa. Data

tersebut didapatkan dari angket terbuka yang dibagikan kepada siswa. Peneliti tidak melakukan konfirmasi kepada masing-masing siswa yang bersangkutan, akan tetapi peneliti mengkonfirmasi kepada beberapa siswa kelas X (sebagai subjek penelitian) di lain waktu yang berbeda dari pengisian angket dengan obrolan-obrolan santai. Ani (nama samaran) kelas X menyatakan bahwa dia pernah disindir-sindir di grup line kelas, teman-teman beraninya menyindir, pada saat saya tidak melaksanakan piket kelas “ eh…kalo piket tuh ya..kemaren…, bukan sekarang…kalo sekarang kan kita bisa sakit” terus teman yang lain menjawab “ iya nih...gimana sih.., kalo dandan aja rajin masak kalo piket malas..”, si Ani akhirnya menangis. Selanjutnya ada siswa yang bernama R (nama samaran) pernah di-bully melalui grup line kelas oleh salah satu teman laki-laki di kelasnya “dikirimi gambar “ binatang menjulurkan lidah” pada saat berkomentar pembicaraan di grup, kemudian R marah-marah datang ke ruang bimbingan konseling (Data Anekdot BK bulan September 2016 dan keterangan dari Nasabun, Guru BK ). Wawancara yang lain

Failasufah - DAMPAK CYBER BULLYING

262

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

pada siswi menyatakan bahwa “ di kelas itu lho bu…pada saling membully, kalo ngga’ di group WA sm Line di kelas foto-foto di bikin “meme” (foto yang di modifikasi sehingga bentuknya sudah berubah dengan tujuan untuk bercanda) keadaan tersebut tidak disadari siswa akan menyinggung perasaan temannya. Dari beberapa wawancara dengan siswa dan hasil angket dapat disimpulkan bahwa siswa mengalami cyberbullying dari teman-teman di madrasah dengan berbagai bentuk, namun yang paling banyak dialami berupa sindiran di media sosial.

Cyber bullying merupakan bentuk perilaku bullying, sedangkan yang membedakan yaitu tempat terjadinya tindakan tersebut. Tindakan cyberbullying dilakukan melalui media internet dan teknologi digital sedangkan tindakan bullying dilakukan secara langsung baik verbal maupun nonverbal. Dampak negatif perilaku cyber bullying hasil temuan di lapangan dari sampel siswa yang menyatakan pernah mengalami cyber bullying sebagai korban menunjukkan bahwa siswa menyatakan: 1)

sakit hati 50 %; 2) malu 10 %; 3) cemas 66 %; 4) malas bergaul 20 %; kurang percaya diri 53 %; 5) tidak bisa konsentrasi 33 %; 6) menghindari kontak mata 33 %; 7 menutup diri dari pergaulan 50 %; 8) marah-marah 66 %; 9) membalas melakukan cyberbully 23 %; dan prestasi belajar menurun 30 %.

Sedangkan pelaku cyberbullying menyatakan bahwa 1) setelah melakukan cyberbullying pelaku mencari bahan untuk melakukan cyberbully kembali 53 %; 2) melakukan cyberbullying kepada teman yang memiliki bentuk tubuh yang berbeda (gemuk, kurus, pendek) 30 %. Pelaku cyberbullying juga menyatakan tujuan melakukan cyberbullying 1) untuk membuat suasana akrab bersama teman 33 %; 2) sedang marah 30 %; dan 3) iseng-iseng 30 %.

Cyberbullying biasanya terjadi karena pola hubungan yang tidak setara pada kedua belah pihak seperti orang tua dan anak, majikan dan buruh, laki-laki dan perempuan, dan sebagainya. Dalam hal ini pihak yang memiliki posisi atau kekuasaan yang lebih

263

tinggi akan cenderung melakukan bullying (cyberbullying) pada pihak yang lemah. Data di lapangan menunjukkan bahwa siswa melakukan cyberbullying ditujukan pada siswa lain yang lemah, jika dibully hanya diam menunjukkan 36 % dan melakukan cyberbully pada teman yang memiliki tubuh yang berbeda (pendek, tinggi kurus, gemuk) sejumlah 43 %. Hal ini akan dapat mempengaruhi pembentukan karakter siswa, karakter diskriminasi terhadap kelompok lemah.

Berdasarkan data tersebut di atas dapat diketahui bahwa dampak negatif dari cyberbullying baik bagi pelaku maupun korban sangat bertentangan dengan pembentukan karakter siswa. Salah satu misi dan pembentukan karakter di MAN Yogyakarta III yaitu membentuk karakter siswa minimal tujuh karakter yaitu disiplin, antusias, kerja keras, kompetitif, peduli, santun, dan religius (Muharom, 2016 ). Dengan demikian adanya perilaku cyberbullying di kalangan siswa sangat bertentangan dengan tujuh karakter yang sedang dibangun oleh MAN Yogyakarta III. Jika dampak negatif cyberbullying tidak diselesaikan, dikhawatirkan siswa akan terbiasa menjadi manusia yang tidak memperdulikan perasaan orang lain, menjadi pribadi yang mementingkan dirinya sendiri, dan agresif (menyelesaikan pemasalahan dengan marah-marah, sindiran) tetapi tidak mencoba menyelesaikan permasalahan dengan jalan damai. Selain itu bagi siswa yang mengalami cyberbullying akan merasa rendah diri, malu, cemas, malas bergaul,

kurang percaya diri, tidak bisa konsentrasi, menghindari kontak mata dengan orang lain, menutup diri dari pergaulan, agresif karena sakit hati di bully yang pada akhirnya siswa dapat mengalami underachiever (prestasi rendah).

Dengan maraknya cyberbullying di kalangan siswa, maka perlu dilakukan upaya untuk menyelamatkan siswa-siswi madrasah dari bahaya cyberbullying agar dapat menuntut ilmu di madrasah dengan senang, nyaman, sejahtera (well-being) dan dapat meraih cita-cita serta akan menjadi generasi yang hebat, kuat, berakhlak mulia, mampu melanjutkan perjuangan para pahlawan, sehingga dapat di katakan… “Madrasah lebih baik dan lebih baik Madrasah” !.

SimpulanPerilaku bullying yang berkembang

menjadi cyberbullying akan menjadi pesat perkembangannya di kalangan siswa jika tidak ada upaya untuk menghentikan bahkan memutus mata rantai sehingga siswa di madrasah akan merasa sejahtera (well-being) dan berkembang menjadi generasi-generasi yang cerdas dan calon pemimpin yang besar.

Siswa dan siswi yang mengalami cyberbullying ada sejumlah 66 % dari jumlah sampel. Indikator cyberbullying yang dilakukan siswa yaitu berupa sindiran-sindiran yang diunggah di facebook ada 23 %, instagram 15 %, whatsapp 13 % dan line 13%. Dampak negatif dari cyberbullying bagi korban yaitu siswa mengalami sakit hati, malu, cemas, malas bergaul, kurang percaya diri, tidak bisa konsentrasi, menghindari

Failasufah - DAMPAK CYBER BULLYING

264

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

kontak mata, menutup diri dari pergaulan, marah-marah, dan ingin membalas melakukan cyberbully, serta prestasi belajar menurun. Sedangkan bagi pelaku, setelah melakukan cyberbully pelaku akan mencari bahan untuk melakukan cyberbully kembali, dan seringkali melakukan cyberbully terhadap teman-teman yang memiliki kondisi tubuh yang berbeda dari yang lainnya seperti terlalu gendut, terlalu kurus dan terlalu pendek. Dengan demikian hendaknya madrasah selalu mendampingi siswa siswi dengan kegiatan kegiatan yang positif dan mengarahkan energi positif siswa untuk mengembangkan potensinya sehingga mampu berprestasi dan berkehidupan sosial yang bermartabat.

Daftar Rujukan

Ach. 2011. Cyber Crime: Akar masalah, Solusi dan Penanggulangannya, Yogyakarta: SUKA Press.

Anonim. 2015.“Bullying di Kalangan Anak”, Selaras, IV(47).

Data Anekdot BK. 2016. BK MAN Yogyakarta III.

Dina. 2014. “Kecenderungan Perilaku Cyberbullying Ditinjau dari Type Kepribadian Ektrovert dan Introvert” dalam Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, Vol 02, No. 02, Januari.

Feronika A. 2013. “5 Korban Bunuh Diri Akibat Cyberbullying” dalam Merdeka .com, Jum’at 14 Juni.

Forrest W. 2011. Menjadi Seorang Guru. Jakarta: Indeks.

http://myardilaya.blogspot.co.id/2013/06/review-pemikiran-pierre-bourdieu.html, Diakses tanggal 5 Desember 2015.

http://www.antaranews.com/berita/579799/dampak-negatif-cyberbullying. Diakses tanggal 7 September 2016.

https://id.wikipedia.org/wiki. Diakses 19 Oktober 2016.

Indarti. 2016. Guru MAN Yogyakarta III. Wawancara pada Bulan September 2016.

Margaretta dkk. 2009. Pencegahan Kekerasan terhadap Anak di Lingkungan Pendidika. Jakarta: Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

Muharrom. 2016. Humas MAN Yogyakarta III. Wawancara pada bulan September 2016.

Mutia. 2014. “Regulasi Emosi dan Kelompok Teman Sebaya Pelaku Cyberbullying”, Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, l 41(1), Juni.

Nasabun. 2016. Guru BK MAN Yogyakarta III. Wawancara pada Bulan September 2016.

Rahayu. 2012. “Cyberbullying sebagai Dampak Negatif Penggunaan Teknologi Informas”, Jurnal of Information System Fakultas Teknologi Industri Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Vol. 8, Issue I, April.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2003. Diterjemahkan oleh Alimandan. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D . Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Undang-undang ITE Nomor 11 Tahun 2008. Jakarta: Sinar Grafika.

265

PENANAMAN KARAKTER DAN KETRAMPILAN PROSES SAINS DALAM PEMBELAJARAN

SISTEM EKSKRESI DENGAN METODE ““disgo.pres””

Hewi MurdaningsihSMPN 2 Ngemplak Sleman D.I. Yogyakarta

Email: [email protected]

Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk memaparkan cara pembelajaran IPA di kelas IX tentang Sistem Ekskresi melalui metode “disgo.pres” serta macam karakter dan keterampilan proses sains yang dapat dikembangkan. Karya ini merupakan Best Practice dalam mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi proses/hasil pembelajaran materi Sistem Ekskresi pada semester gasal tahun 2015/2016 di kelas IX SMPN 2 Ngemplak, Sleman, D.I.Y. sebanyak 6 kelas paralel. Karya ini merupakan salah satu alternatif pembelajaran tentang Sistem Ekskresi secara kontekstual dengan model pembelajaran kooperatif. Metode pokok yang digunakan dalam pembelajaran yaitu metode “disgo.pres”. yang meliputi diskusi kelompok (dis), penugasan (googling), dan presentasi (pres). Hasil best practice menunjukkan bahwa pembelajaran Sistem Ekskresi dengan metode “disgo.pres” bahwa 1) didesain dengan pendekatan kontekstual, model cooperative learning Tipe STAD; 2) mampu menumbuhkembangkan empat macam karakter peserta didik (kerjasama, disiplin, kemauan berpendapat dan percaya diri); 3) mampu mengembangkan keterampilan proses peserta didik dalam hal kemampuan melakukan presentasi dan membuat media power point yang digunakannya untuk melakukan presentasi; 4) memberikan rerata ketuntasan belajar total 76%.

Kata Kunci: karakter, keterampilan proses sains, metode “disgo.pres”

Abstract: This article aimed to explain how science teaching in class IX on Excretion system through the method of "disgo.pres" as well as the sort of character and science process skills that can be developed. This work was a best practice in designing, implementing, and evaluating the process / outcomes of learning materials excretion system in first semester of the year 2015/2016 in the class IX SMPN 2 Ngemplak, Sleman, D.I.Y. as many as six parallel classes. This work is an alternative learning about excretion system contextually adapting cooperative learning model. The "disgo.pres" method used as main method in learning which includes discussion group (dis), assignment (googling), and presentation (pres). The best practice showed that learning excretion system using "disgo.pres method " resulted: 1) was designed with a contextual approach, the model type STAD cooperative learning; 2) was able to develop four kinds of characters learners (cooperation, discipline, willingness and confidence of the opinion); 3) was able to develop the skills of the learners in terms of the ability to do a presentation and make media power point that is used to make a presentation; 4) gave the total average learning completeness 76%.

Keywords: character, science process skills, "disgo.pres" methods

PendahuluanPembelajaran IPA Sistem Ekskresi

mencakup pengembangan tiga domain, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik. Oleh karena itu, dalam kegiatannya

menekankan pada pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi peserta didik agar mampu memahami alam sekitar melalui proses “mencari tahu” dan “berbuat”. Sebagai suatu proses, pembelajaran tersebut

266

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

tidak semata-mata berusaha untuk mencapai hasil belajar berupa konsep, akan tetapi bagaimana memperoleh hasil atau proses belajar yang terjadi pada diri peserta didik.

Peserta didik merupakan subjek belajar yang dipandang sebagai organisme yang sedang berkembang dan memiliki potensi. Oleh karena itu pembelajaran Sistem Ekskresi bertugas mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik, dengan cara membangun sendiri kompetensinya. Mengajarkan keterampilan proses kepada peserta didik yaitu memberi mereka kesempatan untuk melakukan, bukan memberitahukan. Peserta didik harus benar-benar melakukan proses-proses mental yang lebih tinggi tingkatannya sebagai manifestasi dari belajar kreatif.

Salah satu pendekatan dalam pembelajaran IPA yaitu pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning/CTL). Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran kontekstual yaitu pembelajaran kooperatif. Dalam model pembelajaran ini peserta didik secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran yang dikaitkan dengan kehidupan nyata atau masalah yang disimulasikan. Peserta didik akan belajar tidak hanya dari objek langsung tetapi juga dari teman melalui kerja kelompok, saling diskusi, saling koreksi, dan sebagainya. Dengan model pembelajaran ini peserta didik akan membangun konsep dan perilakunya atas kesadaran diri bersama-sama dengan teman lain dalam kelompoknya.

Mengacu pada perlunya pembelajaran

IPA yang kontekstual maka diperlukan sumber belajar yang representatif. Salah satu sumber belajar yang representatif yaitu internet. Melalui googling internet, subjek belajar dapat memilih jenis materi apa yang akan dipelajarinya. Pemanfaatan internet secara benar akan memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengkonstruk pengetahuan secara mandiri.

Masalah karakter akhir-akhir ini menjadi sorotan tajam di dunia pendidikan. Karakter peserta didik yang cenderung kurang baik, menjadi bahan pemberitaan yang sering ditayangkan melalui berbagai media. Dari fakta tersebut sudah sepantasnya apabila guru sebagai ujung tombak pendidikan mendesain semua pembelajaran dengan muatan karakter, termasuk dalam pembelajaran Sistem Ekskresi.

Pembelajaran IPA Sistem Ekskresi di kelas IX SMPN 2 Ngemplak, sampai dengan tahun 2014/2015masih cenderung teacher center dan kurang memberikan peluang untuk berkembangnya karakter. Akibat dari pembelajaran yang cenderung berpusat pada guru yaitu sering ada peserta didik yang mengantuk di ruang kelas, tidak bergairah, serta tidak fokus dalam belajar. Contoh bukti bahwa karakter sebagian peserta didik di SMPN 2 Ngemplak belum berkembang yaitu masih sering ada sebagian peserta didik yang datang terlambat, memakai baju seragam tidak sesuai aturan, sulit bekerjasama dengan teman yang lain, sebagian besar peserta didik hanya mau bekerja kelompok dengan teman-teman dekatnya saja. Pada setiap kali pembelajaran, jarang ada peserta didik

267

yang berani mengemukakan pendapat secara sukarela. Sebagian besar peserta didik, saat berada di kelas lebih banyak pasif. Peserta didik cenderung diam, jarang sekali ada yang aktif bertanya pada saat pembelajaran. Kondisi ini berdampak terhadap rendahnya kemampuan peserta didik dalam memahami pembelajaran. Rata-rata ketuntasan klasikal peserta didik pada pembelajaran Sistem Ekskresi tahun-tahun sebelumnya hanya sekitar 65%.

Melihat kondisi peserta didik tersebut, sebagai guru IPA di kelas IX merasa perlu untuk segera mencari alternatif pemecahan masalah, yaitu dengan mendesain pembelajaran yang kontekstual, melibatkan semua peserta didik untuk aktif, serta tidak membosankan. Dengan adanya perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih, saat ini diketahui bahwa hampir semua peserta didik di kelas IX SMPN 2 Ngemplak memiliki HP dengan fasilitas internet. Beberapa peserta didik bahkan memiliki laptop. Ada sebagian peserta didik yang sering ke warnet meskipun hanya sekedar bermain. Berdasarkan fakta-fakta tersebut muncullah keinginan guru untuk mendesain pembelajaran IPA Sistem Ekskresi yang kontekstual, dengan memanfaatkan internet sebagai sumber belajar.

Dengan pemanfaatan internet sebagai sumber belajar, diharapkan semua peserta didik di kelas IX dapat belajar dengan lebih bersemangat, fokus, dan lebih kontekstual. Maka muncullah ide untuk membelajarkan Sistem Ekskresi dengan metode “disgo.pres”. Metode tersebut merupakan gabungan

dari tiga metode belajar yaitu metode diskusi kelompok (dis), penugasan (googling), presentasi (pres).

Dengan demikian rumusan masalah pada tulisan ini yaitu 1) Bagaimanakah pembelajaran Sistem Ekskresi dengan metode “disgo.pres”. dilaksanakan?; 2) Karakter peserta didik apa sajakah yang dapat dikembangkan, dari pembelajaran Sistem Ekskresi dengan menggunakan metode ‘“disgo.pres”’?; 3) Keterampilan proses sains peserta didik apa saja yang dapat dikembangkan, melalui pembelajaran Sistem Ekskresi dengan menggunakan metode ‘“disgo.pres”’?.

Adapun tujuan penulisan tulisan ini yaitu 1) memberikan gambaran pada para pembaca tentang cara pembelajaran sistem ekskresi dengan metode “disgo.pres”., 2) memberikan informasi tentang karakter peserta didik yang dapat dikembangkan, dari pembelajaran sistem ekskresi dengan menggunakan metode “disgo.pres”; 3) memberikan informasi tentang keterampilan proses sains peserta didik yang dapat dikembangka, melalui pembelajaran sistem ekskresi dengan menggunakan metode “disgo.pres”. Manfaat tulisan ini yaitu untuk 1) memfasilitasi peserta didik untuk belajar aktif; 2) memberikan pengkayaan guru tentang alternatif desain pembelajaran Sistem Ekskresi.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,

Hewi Murdaningsih - PENANAMAN KARAKTER DAN KETRAMPILAN

268

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

perkataan, dan perbuatan, berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Menurut Wynne dalam Darmiyati Zuchdi (2011: 10), istilah karakter lebih difokuskan pada bagaimana upaya mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Seseorang disebut sebagai orang yang berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.

Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat (Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas, 2010: 116).

Pendidikan karakter di sekolah dapat diimplementasikan melalui tiga jalur, yaitu terpadu dalam pembelajaran, terpadu dalam kegiatan ekstrakurikuler, dan terpadu dalam manajemen sekolah (Tim Pendidikan Karakter: 2010: 22-24). IPA memiliki tiga elemen pokok yaitu attitudes, processes/methods, dan products (Carin & Sund, 1980:2). Oleh karena itu dalam belajar IPA seharusnya membuahkan hasil berupa proses maupun produk, baik berupa pengetahuan, keterampilan, maupun perubahan sikap/ perilaku.

Proses dalam belajar IPA yaitu berupa keterampilan proses sains/ IPA. Produk

pengetahuan dalam belajar IPA yaitu berupa fakta, konsep atau hukum. Sikap/perilaku merupakan karakter, yang akan muncul sebagai efek nurturan dari proses pembelajaran.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa IPA bukan hanya terdiri dari teori-teori saja, melainkan juga meliputi proses seperti membuat hipotesis, mendesain eksperimen, mengukur, serta sikap seperti kejujuran dan nilai-nilai. Hal ini sesuai dengan pendapat Zuhdan (2008:13) yang menyatakan bahwa ada lima ranah dalam pendidikan IPA yang merupakan perluasan, pengembangan dan pendalaman tiga ranah taksonomi Bloom (kognitif, afektif, dan psikomotor). Kelima ranah taksonomi pendidikan IPA tersebut yaitu 1) knowledge domain, 2) process of science domain, 3) creativity domain, 4) attitudinal domain, 5) application and connection domain.

Untuk mengembangkan konsep-konsep IPA baru, meluaskan pengertian, dan memprediksi tentang masa mendatang diperlukan sumber pengalaman (sumber belajar). Akhmad Sudrajad (2008) menyatakan bahwa sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber (objek) baik berupa data, orang atau benda tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu.

Perkembangan teknologi internet yang sangat pesat saat ini, telah dimanfaatkan di berbagai sektor. Salah satunya yaitu

269

di dunia pendidikan. Kata internet merupakan singkatan dari interconection and networking. Internet merupakan sebuah jaringan informasi global. Dalam dunia pendidikan, internet dapat berperan sebagai sumber belajar (learning resources). Pemanfaatan internet sebagai sumber belajar menurut Rusman (2008) memiliki beberapa kelebihan, diantaranya proses pembelajarannya tidak terbatas oleh waktu, dapat memilih topik belajar sesuai dengan kebutuhan, dan sifat materi pembelajarannya up to date.

Saat ini pembelajaran berbasis teknologi informasi atau media elektronik, merupakan pembelajaran yang banyak digemari. Belajar dengan menggunakan internet merupakan salah satunya. Salah satu alasannya yaitu karena area belajar dengan internet sangat luas dan lebih variatif.

Beberapa penelitian tentang penggunaan internet sebagai sumber belajar telah dilakukan, diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan Malia Ulfa (2013) yang menyatakan bahwa kegiatan pembelajaran IPS di SD dengan menggunakan teknologi internet sebagai sumber belajar akan membuat siswa menjadi lebih aktif dan mandiri. Peneliti lain yang dilakukan Siti Musarofah (2015) penelitiannya menyatakan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara pemanfaatan internet sebagai sumber belajar dengan prestasi belajar otomatisasi perkantoran siswa kelas X SMK Negeri 2 Temanggung.

Metode PenelitianPembelajaran Sistem Eksresi di kelas

IX A, B, C, D, E, F SMPN 2 Ngemplak pada semester gasal tahun 2015/2016, didesain dengan model pembelajaran kooperatif STAD. Metode pokok yang digunakan dalam pembelajaran yaitu diskusi kelompok (dis), penugasan (googling), presentasi (pres). Selanjutnya ketiga metode pokok tersebut dinamakan “disgo.pres”. Metode lain yang digunakan sebagai pelengkap yaitu tanya jawab dan informasi.

Kegiatan pembelajaran Sistem Ekskresi dengan metode “disgo.pres” dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu tahap pendahuluan, tahap inti, dan tahap penutup. Kegiatan diawali dengan pendahuluan dimana guru melakukan apersepsi dan motivasi, dengan cara menanyakan macam cara pengeluaran zat dari dalam tubuh manusia. Langkah berikutnya dilanjutkan dengan penyampaian tujuan pembelajaran, yaitu untuk memahami salah satu cara pengeluaran zat dari tubuh, yaitu ekskresi. Setelah penyampaian tujuan dilanjutkan dengan sosialisasi macam tagihan yang diminta oleh guru.

Selanjutnya pada bagian inti, kegiatan dimulai dengan pengelompokan peserta didik oleh guru menjadi 8 kelompok secara acak. Masing-masing kelompok beranggotakan 3-4 anak. Masing-masing kelompok diberikan tugas membahas satu macam topik berkaitan dengan alat ekskresi dan ciri-cirinya, atau alat ekskresi dan contoh penyakitnya. Berikut ini 8 topik yang menjadi bahan diskusi kelompok di masing-masing

Hewi Murdaningsih - PENANAMAN KARAKTER DAN KETRAMPILAN

270

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

kelas, yaitu 1) Ginjal: ciri-ciri dan macam zat yang diekskresikannya; 2) Hati: ciri-ciri dan macam zat yang diekskresikannya; 3) Kulit: ciri-ciri dan macam zat yang diekskresikannya; 4) Paru-paru: ciri-ciri dan macam zat yang diekskresikannya; 5) Gangguan/ Penyakit pada Alat Ekskresi Ginjal; 6) Gangguan/ Penyakit pada Alat Ekskresi Hati; 7) Gangguan/ Penyakit pada Alat Ekskresi kulit; 8) Gangguan/ Penyakit pada Alat Ekskresi Paru-paru.

Tahap selanjutnya guru meminta peserta didik untuk melakukan diskusi sesuai dengan topik masing-masing kelompok, sekaligus membuat draf paparan power point. Pada saat diskusi berlangsung, tiap kelompok diminta membuat laporan beserta arsipnya. Setelah selesai kegiatan diskusi, masing-masing kelompok mengumpulkan laporannya.

Setelah draf power point selesai, guru memberi tugas pada masing-masing kelompok untuk googling. Pada tahap ini, guru menegaskan pada masing-masing kelompok untuk mencari informasi tambahan baik berupa tulisan/ gambar melalui mesin pencari google,yaitu http://www.google.com atau http://www.google.co.id. Informasi tambahan yang diperoleh peserta didik selanjutnya diramu dengan laporan tertulis yang telah dikumpulkan sebelumnya untuk dijadikan media presentasi power point. Media presentasi tiap kelompok selanjutnya dikumpulkan kepada guru melalui email atau dicopykan ke dalam CD.

Tugas terakhir yang diberikan guru yaitu meminta masing-masing

kelompok untuk mempresentasikan (pres) hasil kerja masing-masing kelompok di depan kelas. Tujuan penggunaan metode ini agar semua kelompok mendapatkan semua informasi materi seputar alat-alat ekskresi, baik berupa ciri-cirinya, macam zat yang diekskresikannya, maupun contoh gangguan/penyakitnya. Presentasi dilakukan oleh masing-masing kelompok dalam waktu 10 menit.

Setelah semua kelompok selesai melakukan presentasi, guru melakukan klarifikasi hasil kegiatan.Tujuan klarifikasi yaitu untuk menyamakan konsep dan persepsi yang didapatkan peserta didik.

Bagian penutup dari kegiatan pembelajaran yaitu pembuatan kesimpulan pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik dengan bimbingan guru, dan pemberian soal kuis untuk dikerjakan oleh semua peserta didik.

Hasil Penelitian dan PembahasanHasil-hasil yang diperoleh peserta

didik melalui proses pembelajaran tentang Sistem Ekskresi dengan metode “disgo.pres” ini antara lain yaitu munculnya karakter/sikap; munculnya keterampilan proses sains; dan didapatkannya ketuntasan pembelajaran.

Pembelajaran Sistem Ekskresi dengan metode “disgo.pres” mampu menumbuhkembangkan empat macam karakter peserta didik. Empat karakter tersebut yaitu kerjasama, disiplin, kemauan berpendapat, dan percaya diri.

Data tentang karakter kerjasama

271

didapatkan oleh guru dengan cara observasi langsung dan dengan penilaian diri yang dilakukan oleh peserta didik, dengan menggunakan lembar penilaian diri. Sedangkan data tentang karakter disiplin, kemauan berpendapat, serta percaya diri, didapatkan secara langsung oleh guru melalui pengamatan dan bantuan lembar observasi.

Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif. Untuk mengetahui kualitas karakter dan keterampilan proses yang berkembang, data yang mula-mula berupa skor diubah menjadi data kualitatif (data interval) dengan skala 5.

Acuan pengubahan skor menjadi skala lima tersebut menurut Sukardjo (2008: 94) dapat dilihat pada Tabel 1.

Rerata nilai karakter kemauan kerjasama, disiplin, dan rekapitulasi munculnya kemauan berpendapat serta percaya diri peserta didik di enam kelas paralel kelas IX SMPN 2 Ngemplak dapat dilihat pada Tabel 2, 3, dan 4.

Dari Tabel 2 tampak bahwa rerata karakter kemauan kerjasama muncul dengan kategori baik. Tabel 3 merupakan rekap hasil penilaian terhadap karakter disiplin masing-masing peserta didik. Karakter disiplin semua peserta didik dapat muncul

Hewi Murdaningsih - PENANAMAN KARAKTER DAN KETRAMPILAN

272

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

dengan predikat sangat baik. Dari Tabel 4 diketahui jika semua

peserta didik pada enam kelas paralel telah berani berpendapat dengan penuh percaya diri, meskipun terkadang pendapatnya kurang benar.

Kemampuan presentasi/mengkomuni-kasikan hasil merupakan bagian dari keterampilan proses sains. Data kemampuan melakukan presentasi peserta didik kelas IX SMPN 2 Ngemplak dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan data pada Tabel 5

273

dapat diketahui jika kemampuan presentasi peserta didik pada saat pembelajaran Sistem Ekskresi dengan metode ‘“disgo.pres”’ di kelas IX A-FSMPN 2 Ngemplak telah berpredikat baik.

Media power point buatan peserta didik kelas IX SMPN 2 Ngemplak merupakan bagian dari keterampilan proses sains yang berupa produk. Peserta didik dapat membuat power point setelah melalui serangkaian proses kegiatan seperti: pencarian dan pengamatan bahan/ observasi, klasifikasi bahan, dan perakitan. Ketiga proses tersebut melibatkan diskusi antar

teman dalam satu kelompok. Sebagian besar media tersebut dikumpulkan kepada guru dengan menggunakan email.

Data tentang keterampilan peserta didik untuk membuat media power point dapat dilihat pada Tabel 6.

Dari data hasil pengamatan terhadap media power point yang terkumpul, diketahui jika peserta didik kelas IX SMPN 2 Ngemplak telah mampu membuat media tersebut dengan kategori baik.

Perbedaan capaian karakter oleh masing-masing kelas tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Hewi Murdaningsih - PENANAMAN KARAKTER DAN KETRAMPILAN

274

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

Ketuntasan Pembelajaran

Data sekunder dari pembelajaran Sistem Ekskresi dengan metode “disgo.pres” merupakan data tentang ketuntasan belajar. Sebesar 76% peserta didik kelas IX telah

mampu menuntaskan belajarnya tentang Sistem Ekskresi. Hal ini membuktikan bahwa metode “disgo.pres” mampu mendongkrak rerata ketuntasan klasikal dari 65 % menjadi 76%. Meskipun belum maksimal, terbukti bahwa pembelajaran dengan metode

275

“disgo.pres” mampu meningkatkan 11% ketuntasan belajar peserta didik. Data persentase ketuntasan klasikal dan rerata nilai yang dicapai oleh masing-masing kelas dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8.

Untuk lebih memperjelas perbandingan ketuntasan belajar dan rerata skor yang dicapai di masing-masing kelas, dapat dilihat Gambar 2.

SimpulanPembelajaran tentang Sistem Ekskresi

dengan metode “disgo.pres” mampu 1) menumbuhkembangkan empat macam karakter peserta didik, yaitu kerjasama, disiplin, kemauan berpendapat dan percaya diri; 2) mengembangkan keterampilan peserta didik dalam hal membuat media power point yang digunakan untuk melakukan presentasi; 3) memberikan rerata ketuntasan total 76%.

Daftar RujukanKun Prasetyo, Zuhdan. 2008.” Kontribusi

Pendidikan IPA dalam Pengembangan Moral Peserta Didik”. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Jurusan Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta.

Marzuki. 2012. Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah. Jurnal Pendidikan Karakter 2(1), Februari 2012. Yogyakarta: Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPPMP) Universitas Negeri Yogyakarta.

Musarofah,Siti. 2015. Korelasi Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar Dengan Prestasi Belajar Otomatisasi Perkantoran Siswa Kelas X SMK Negeri2 Temanggung. Skripsi. http://eprints.uny.ac.id/25374/1/SKRIPSI.pdf, diakses tanggal 19 Oktober 2016.

Rusman. 2008. Pemanfaatan Internet Untuk Pembelajaran. Artikel.http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._KURIKULUM_DAN_TEK._PENDIDIKAN/197205051998021-RUSMAN/Pengantar_TIK/Internet_untuk_Pembelajaran-Rusman.pdf, diakses tanggal 19 Oktober 2016.

Sudjana, Nana & Ahmad Rivai. 1989. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru.

Sukardjo. 2008. “Pengadministrasian Ujian dan Pengolahan Skor”. Bahan Perkuliahan Evaluasi Pendidikan Sains Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Tidak Diterbitkan.

Ulfa, Malia. 2013. Pemanfaatan Internet sebagai Sumber Belajar pada Materi “Keragaman Suku Bangsa dan Budaya Indonesia” Mata Pelajaran IPS dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Kelas V SDN Lidah Wetan II Surabaya. Artikel Jurnal. http://ejournal.unesa.ac.id/article/4220/18/article.pdf. Diakses tanggal 19 Oktober 2016.

Zuchdi, Darmiyati (editor). 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktek. Yogyakarta: UNY Press.

Hewi Murdaningsih - PENANAMAN KARAKTER DAN KETRAMPILAN

276

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

PENINGKATAN MOTIVASI, PARTISIPASI,

DAN PRESTASI BELAJAR IPSDENGAN MENGGUNAKAN MODEL DISCOVERY LEARNING

DALAM KEGIATAN LESSON STUDY

Sri Banowati WahyuningsihSMP Negeri 2 Kalasan, SlemanEmail: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi, partisipasi , hasil belajar IPS siswa kelas VIIIB SMP Negeri 2 Kalasan Sleman Tahun Pelajaran 2015/2016 melalui model discovery learning dalam Kegiatan lesson study. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas, dengan subjek penelitian siswa kelas VIII B SMP Negeri 2 Kalasan Sleman Tahun Pelajaran 2015/ 2016 sebanyak 32 siswa. Pengumpulan data untuk motivasi dan partisipasi dilakukan dengan observasi, dan hasil belajar dengan tes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model discovery learning dalam kegiatan lesson study mampu meningkatkan motivasi belajar, dimana pada kondisi awal motivasi belajar siswa 56%, siklus I motivasi siswa mencapai 75,3 %, siklus II 86,2 %, , termasuk kategori baik. pembelajaran dengan model discovery learning dalam kegiatan lesson study juga mampu meningkatkan partisipasi belajar siswa pada kondisi awal 56% sedangkan pada siklus I mencapai 79,8% dan siklus II mencapai 89,2% termasuk kategori baik, hasil hasil belajar juga mengalami peningkatan dari nilai ulangan sebelum menggunakan model discovery learning dalam kegiatan lesson study dan setelahnya. Setelah siklus I terjadi kenaikan rerata nilai sebesar 3 poin dibandingkan rerata nilai pada pra siklus, dan pada siklus 2 dan naik 10,2, sedangkan pada ketuntasan belajar pada siklus I naik 9,4% dibandingkan pra siklus, dan pada siklus II meningkat sebesar 40,6 %.

Kata kunci: hasil belajar IPS, discovery learning, lesson study

Abtract: This study aimed to increase social science motivation, participation, and learning outcomes through the model of discovery learning in the lesson study activity. This classroom action research subject were 32 students of class VIII B SMPN 2 SlemanKalasan in the academic year 2015/2016. Observation was used to collect motivation and participation data, and test was used to collect learning results data. The results showed that discovery learning model in lesson study activities increased the motivation to learn, where the initial condition student motivation was 56%, student motivation cycle 1 was 75.3% and second cycle was 86.2%, in “good” categories. Discovery learning model in lesson study activities also increase the students’ participation. In the initial conditions of 56%, while in the first cycle was 79.8% and cycle 2 was 89.2% categorized as “good”. The result of learning outcomes also increased from test scores before and after using the discovery learning in the lesson study activities. After the first cycle an increasing in the average score was 3 points compared to the average score of the pre-cycle, and in the cycle 2 and up 10.2, while the mastery learning in cycle 1 up 9.4 % compared to pre-cycle, and the cycle 2 increased by 40.6%.

Keywords: social science learning outcomes, discovery learning, lesson study

277

dan prasarana yang memadai, cenderung memiliki kualitas pembelajaran yang lebih baik dibandingkan dengan sekolah- sekolah di pedesaan dengan sarana dan prasarana yang terbatas dan dukungan orangtua dan masyarakat yang rendah (Wina Sanjaya, 2009 : 4). Pembelajaran IPS berupaya mengembangkan pemahaman siswa tentang bagaimana individu dan kelompoknya hidup bersama dan berinteraksi dengan lingkungannya. Di samping itu, siswa dibimbing untuk mengembangkan rasa bangga terhadap warisan budaya yang positif dan kritis terhadap yang negatif, serta memiliki kepedulian terhadap keadilan sosial, proses demokrasi dan kelanggengan ekologis. Melalui pembelajaran IPS, siswa didorong secara aktif menelaah interaksi antara manusia dan lingkungan, memahami dan membantu peningkatan kualitas kehidupan di lingkungannya, kini dan pada masa yang akan datang, menelaah gejala lokal, pengkajian sosial, untuk mengembangkan pengetahuan yang relevan, dan kelanggengan ekologis untuk menimbang isu-isu moral dan etis bagi pengembangan kepedulian tentang nilai-nilai dan hakikat nilai-nilai masyarakat (Saidiharjo, 2004: 2). Observasi awal yang dilakukan pada tanggal 14 Maret 2016. SMP Negeri 2 Kalasan merupakan salah satu SMP potensial yang terletak di Kabupaten Sleman, yang memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk proses pembelajaran dengan jumlah siswa 571 yang terbagi dalam

Pendahuluan Kualitas pendidikan di sekolah tercermin dari output maupun proses pendidikan yang terjadi di kelas-kelas melalui interaksi guru dan siswa-siswanya. Ukuran dan kualitas pembelajaran tidak terletak pada baiknya guru menerangkan, tetapi pada kualitas dan kuantitas belajar siswa. Peran guru yang pokok yaitu menciptakan situasi, menyediakan kemudahan, merancang kegiatan, dan membimbing siswa agar mereka terlibat dalam proses belajar secara berkesinambungan (Slamet Suwandi, 2005: 41). Hal ini berbeda dengan paradigma sebelumnya bahwa proses pembelajaran lebih berpusat pada guru (teacher centered). Undang-undang Republik Indosesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan manusia belajar suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. (http://qoqoazroqu.blogspot.co.id/2013/01/undang-undang-republik-indonesia-nomor.html, Senin 24 Oktober 2016, pukul 08.30).

Tidak meratanya kualitas pendidikan sering dikaitkan dengan proses pembelajaran yang tidak sama. Misalnya, sekolah-sekolah yang ada di kota dengan dukungan penuh orang tua dan masyarakat, sarana

Sri Banowati Wahyuningsih - PENINGKATAN MOTIVASI, PARTISIPASI,

278

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

18 kelas paralel. Dari hasil observasi awal yang dilakukan menunjukkan kepemilikan sarana dan prasarana pendukung proses pembelajaran sangat memadai, contohnya kepemilikan LCD (Liquid Criystal Display) berjumlah 16 (enam belas), tersedia ruang ICT (information and Communication Tecnology) sebanyak 2 ruang. Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi pembelajaran siswa di kelas, proses pembelajaran masih didominasi oleh guru dengan metode ceramah sebagai metode utama. Proses pembelajaran di kelas terkesan tidak hidup, hanya siswa yang pintar yang mau bertanya terhadap materi yang kurang dipahami, maupun merespon pertanyaan guru. Selama dua kali observasi, yaitu pada tanggal 16 Maret 2016 tercatat 3 dari 32 siswa yang selalu aktif bertanya ataupun menjawab, dan 23 Maret 2016 tercatat hanya 5 dari 32 siswa yang selalu aktif bertanya ataupun menjawab, sebagian besar siswa (24 dari 32 siswa) tergolong tidak aktif. Aktivitas siswa dalam membuat rangkuman/mencatat materi penting menunjukkan kategori sangat kurang, terbukti hanya 11 dari 32 siswa yang memiliki catatan lengkap mata pelajaran IPS, padahal rangkuman merupakan out line, gambaran tentang garis- garis besar pelajaran, yang berguna untuk membantu mengingat pelajaran (Slameto, 2010: 82). Rekapitulasi data hasil observasi tanggal 23 Maret 2016 tentang hasil belajar dari ulangan tengah semester yang dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 29 Februari 2016, ternyata 11 siswa dari 32 siswa yang mencapai standar KKM atau

34,37% siswa tuntas, dan terdapat 21 dari 32 siswa yang berada di bawah KKM untuk mata pelajaran IPS. Kriteria Ketuntasan Minimal yang ditetapkan untuk mata pelajaran IPS di SMP N 2 Kalasan yaitu 75.

Hal ini mengakibatkan penguasaan terhadap pembelajaran IPS hanya sampai pada tingkat verbal. Dengan melihat kondisi proses pembelajaran dan hasil belajar siswa di kelas dalam pelajaran IPS, maka penggunaan metode pembelajaran secara aktif dan efektif semakin penting untuk mengembangkan sikap saling bekerjasama, mempunyai rasa tanggung jawab dan mampu berkompetisi secara sehat. Sifat dan sikap yang demikian akan membawa pribadi yang berhasil dalam menghadapai tantangan yang lebih berat, sehingga dalam pembelajaran IPS perlu dilakukan suatu perbaikan, dari metode pembelajaran teacher centered diubah menjadi metode pembelajaran student centered karena pada dasarnya siswa sudah mempunyai potensi dasar/modal dasar yang harus dikembangkan oleh guru. Oleh sebab itu, perlu dicarikan metode yang dapat membangkitkan semangat dan minat belajar sehingga mampu menggali dan mengembangkan potensi siswa yang pada gilirannya mampu meningkatkan prestasi belajar siswa, kenyataanya sebagian guru di SMP Negeri 2 Kalasan masih mempertahankan metode pembelajaran teacher centered. Metode pembelajaran IPS diharapkan dapat mengembangkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran serta keberanian dalam mengungkapkan ide

279

dan gagasan sehingga siswa berperan aktif dapat menimbulkan sikap belajar positif dan mempunyai kemampuan berpikir dari hal yang abstrak ke hal yang konkrit.

Mengapa memilih discovery learning? Model discovery learning adalah guru melibatkan siswa dalam proses mental melalui tukar pendapat yang berwujud diskusi, seminar, dan sebagainya, salah satu bentuknya disebut guided discovery lesson/pelajaran dengan penemuan terpimpin (Hamdani, 2010:185).

Mengapa memilih lesson study? Lesson study yaitu suatu model pembelajaran profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar (Sumar Hendayana, 2007:10). Lesson study memungkinkan adanya kolaboratif antara guru sehingga dapat saling bekerja sama dalam perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan perbaikan pembelajaran serta dalam melakukan refleksi (tindak lanjut). Lesson study memungkinkan guru untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dalam proses pembelajaran secara kolaboratif kemudian bisa melakukan perbaikan dalam proses pembelajaran selanjutnya. Penilaian proses belajar bisa dilakukan melalui observasi dalam proses pembelajaran berlangsung, sedangkan penilaian hasil belajar bisa diperoleh pada waktu post-test atau ulangan harian, laporan hasil kerja kelompok dan ulangan harian. Harapannya dengan model discovery learning dalam kegiatan

lesson study dapat meningkatkan motivasi belajar serta partisipasi belajar sehingga dengan proses pembelajaran yang PAKEM (pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan).

Oleh karena itu, dipilih melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul “Peningkatkan Motivasi, Partisipasi dan Prestasi Belajar IPS dengan Menggunakan Model Discovery Learning dalam Kegiatan Lesson Study pada Siswa Kelas VIIIB SMP Negeri 2 Kalasan Sleman Tahun Pelajaran 2015/2016.

Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan yaitu penelitian tindakan (action research). Dalam penelitian tindakan ini, dilakukan suatu tindakan, eksperimen, yang secara khusus diamati terus menerus, dilihat kekurangan kelebihannya, kemudian diadakan pengubahan terkontrol sampai pada upaya maksimal dalam bentuk tindakan yang paling tepat (Suharsimi Arikunto, 2002: 8).

Penelitian ini menggunakan model Kemmis dan McTaggart. Model ini menggunakan empat komponen penelitian dalam setiap langkahnya yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Tindakan dan observasi menjadi satu komponen karena kedua kegiatan ini dilakukan secara bersamaan dan simultan seperti pada Gambar 1.

Apabila dicermati model yang dikemukakan oleh Kemmis & McTaggart pada hakikatnya berupa perangkat-perangkat atau untaian-untaian dengan satu perangkat terdiri dari empat komponen,

Sri Banowati Wahyuningsih - PENINGKATAN MOTIVASI, PARTISIPASI,

280

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Keempat komponen yang berupa untaian tersebut dipandang sebagai satu siklus. Oleh karena itu, pengertian siklus pada kesempatan ini yaitu adalah suatu putaran kegiatan yang terdiri dari perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi (Hamzah B.Uno, 2012:87). Subjek penelitian yaitu siswa kelas VIIIB SMP Negeri 2 Kalasan, Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun Pelajaran 2015/2016 sebanyak 32 siswa, terdiri dari 16 siswa putra dan 16 siswa putri. Prosedur penelitian meliputi pengamatan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan tes prestasi belajar.

Hasil Penelitian dan Pembahasan Prasiklus Motivasi dan partisipasi peserta didik yang rendah tercermin dari perilaku dan aktivitas belajar di kelas, seperti perhatian dan antusiasme peserta didik dalam mengikuti pembelajaran di kelas pada mata pelajaran IPS yang disampaikan oleh guru, peserta didik mengantuk, mengobrol dengan temannya, siswa yang aktif merespon guru dalam kegiatan pembelajaran sebanyak 6 siswa atau 18%. Capaian prestasi belajar sebelum dilakukan tindakan dengan menggunakan model Discovery Learning menunjukkan 11 siswa dari 32 siswa yang mencapai standar KKM atau 34,37% siswa tuntas, dan terdapat 21 dari 32 siswa yang berada di bawah KKM untuk mata pelajaran IPS. Persentase motivasi, partisipasi, prestasi dan ketuntasan belajar siswa dapat dilihat pada Tabel 1.

281

Siklus I Hasil capaian motivasi dan partisipasi belajar peserta didik setelah dilakukan tindakan dengan model Discovery Learning menunjukkan motivasi belajar siswa mengalami peningkatan dari kriteria sangat kurang (56% ) pada kondisi awal menjadi cukup pada siklus I yaitu sebesar 75,3% sedangkan partisipasi belajar dari 56% dengan kriteria sangat kurang meningkat menjadi 79,8% sehingga termasuk dalam kriteria cukup. Prestasi belajar pada siklus I menunjukkan peningkatan dari rerata 70,19 menjadi 73,31 .

Siklus IICapaian hasil pelaksanaan siklus II

mengalami peningkatan dari hasil motivasi, partisipasi maupun prestasi, nilai yang dicapai pada motivasi belajar di siklus II sebesar 86,2% sedangkan partisipasi belajar mencapai 89,2% sehingga termasuk dalam kriteria baik. Prestasi belajar pada siklus II menunjukkan rerata nilai sebesar 83,59.

Pembahasan Pada tahap awal penelitian, metode

pembelajaran yang dilakukan yaitu metode ceramah, guru sebagai pusat pembelajaran

Sri Banowati Wahyuningsih - PENINGKATAN MOTIVASI, PARTISIPASI,

282

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

dan pengajaran. Dengan metode ceramah diperoleh hasil belajar siswa yang kurang memuaskan terbukti hasil nilai ulangan secara klasikal tidak tercapai, hanya 11 siswa dari 32 siswa yang mencapai standar tuntas atau 34,4% untuk mata pelajaran IPS. Kriteria Ketuntasan Minimal yang ditetapkan untuk mata pelajaran IPS di SMP N 2 Kalasan yaitu 75 dan dinyatakan tuntas klasikal apabila mencapai 80% dari jumlah peserta ulangan, rerata prestasi ulangan 70,1 sedangkan motivasi dan partisipasi belajar peserta didik kelas VIIIB SMP Negeri 2 Kalasan tahun pelajaran 2015/2016 termasuk kategori sangat kurang (56%), angka tersebut menerangkan bahwa masih banyak siswa yang belum memahami materi IPS dengan metode ceramah. Pelaksanaan pembelajaran dengan model Discovery Learning dalam kegiatan lesson study pada kelas VIIIB SMP Negeri 2 Kalasan Sleman Tahun Ajaran 2015/2016 menunjukkan peningkatan motivasi,

partisipasi, dan prestasi belajar siswa. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa hasil pelaksanaan siklus I diperoleh capaian motivasi belajar 79,8%, partisipasi belajar 75,3% dan prestasi belajar IPS dengan rerata 73,3 dan jumlah peserta didik yang tuntas sebanyak 14 siswa (43,8%), sedangkan pada siklus II mengalami peningkatan motivasi belajar menjadi 86,2%, partisipasi belajar menjadi 89,2%, prestasi belajar meningkat menjadi 83,6 dan ketuntasan belajar secara klasikal dan 84,4% (27 siswa tuntas KKM).

Pencapaian prestasi belajar tersebut berdasarkan pengamatan peneliti tidak terlepas dari penerapan model Discovery Learning dalam kegiatan Lesson Study. Metode tersebut dapat meningkatkan konsentrasi dan partisipasi pesta didik pada proses pembelajaran berlangsung. Selain itu metode tersebut memudahkan guru dalam penyampaian materi pelajaran karena

283

siswa berusaha untuk menemukan sendiri jawaban permasalahan yang disampaikan guru. Berdasarkan Tabel 2 di atas maka perkembangan motivasi, prestasi dan partisipasi belajar siswa dapat digambarkan pada Gambar 1.

Proses Pembelajaran dengan model Discovery Learning dalam kegiatan Lesson Study efektif meningkatkan partisipasi siswa dalam pembelajaran, ditunjukkan dengan meningkatnya interaksi antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru. Persepsi siswa dapat dilihat pada Tabel 3.

Persepsi siswa terhadap pembelajaran dengan discovery learning dalam kegiatan lesson study diperoleh dengan memberikan angket kepada siswa diperoleh hasil bahwa interaksi antar siswa dan interaksi antara siswa dan guru mendapat persentase sangat setuju lebih dari 50%, membuat pelajaran tidak membosankan sangat disetujui siswa dengan persentase 56%, pemahaman siswa terhadap materi pelajaran disetujui oleh 53%, siswa juga sangat setuju untuk bisa meningkatkan kesempatan menggali materi dari berbagai sumber sebesar 81%, Discovery Learning juga memberikan

Keterangan : jumlah responden 32 orang.

Sri Banowati Wahyuningsih - PENINGKATAN MOTIVASI, PARTISIPASI,

284

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

kesempatan kepada siswa untuk berani mengungkapkan pendapat, bertanya dan aktif dalam pembelajaran sangat disetujui oleh lebih dari 50% siswa, 78% siswa juga sangat setuju pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan 50% siswa sangat setuju dengan discovery learning prestasi belajar mudah dicapai. Penggunaan model discovery learning dalam kegiatan lesson study sangat efektif untuk meningkatkan motivasi, partisipasi, dan prestasi belajar peserta didik karena dapat menarik perhatian siswa sehingga siswa dapat belajar fokus. Dengan demikian penggunaan model model discovery learning dalam kegiatan lesson study dapat meningkatkan motivasi, partisipasi dan prestasi belajar peserta didik

Simpulan Pembelajaran IPS dengan menggunakan model discovery learning dalam kegiatan lesson study terhadap siswa kelas VIIIB SMP Negeri 2 Kalasan Sleman Tahun Pelajaran 2015/2016 mampu meningkatkan proses belajar siswa yang mengalami peningkatan dari awal siklus dari kriteria kurang menjadi baik pada siklus I dan II. Keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran yaitu a) motivasi belajar dari kondisi awal 56% meningkat mencapai 79,8%, pada siklus I dan menjadi 89,2% pada siklus II; b) partisipasi belajar kondisi awal 56% meningkat mencapai 75,3%, dan pada siklus II mencapai 86,2%; c) dari rata-rata persentase motivasi dan partisipasi belajar yang diperoleh dari akhir siklus II maka proses pembelajaran telah mencapai

kriteria baik karena telah melampaui 81 yaitu mencapai 83,59. Pembelajaran IPS dengan menggunakan model discovery learning dalam kegiatan lesson study terhadap siswa kelas VIIIB SMP Negeri 2 Kalasan Sleman Tahun Pelajaran 2015/2016 mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan hasil prestasi belajar siswa pada kondisi awal yang diambil dari nilai UTS diperoleh nilai rata-rata 70,19, setelah siklus I nilai ulangan mencapai rata-rata 73,31 dan setelah siklus II mencapai nilai rata-rata 83,59, dari hasil prestasi nilai tersebut berarti kriteria ketuntasan minimal secara individual (≥ 75) bisa terlampaui. Peningkatan hasil belajar siswa kelas VIIIB SMP Negeri 2 Kalasan Sleman Tahun Pelajaran 2015/2016 juga dapat dilihat dari peningkatan persentase ketuntasan berdasarkan nilai UTS pada observasi awal siswa yang tuntas mencapai KKM yaitu 34,4 %, setelah pembelajaran dengan model discovery learning dalam kegiatan lesson study, pada siklus I ketuntasan belajar siswa mencapai 43,8% dan pada siklus II mencapai 84,4%, dari hasil persentase ketuntasan tersebut berarti kriteria ketuntasan minimal secara klasikal (≥ 80) bisa tercapai. Daftar Rujukan

Arikunto, Suharsimi 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Aronson, Julio; Joy Zimmerman; Lisa Carlos. 1998. Improving Student Achievment by Extending School: Is it Just a Matter of Time. WestEd.

285

Dimyati, Mudjiono. 2013. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Fernandez, Clea Makoto. 2004. Lesson Study Lawrence Erlbaum Associates: London; Publisher.

Hall, Gene E., Linda F Quinn, Donna M Gollnick. 2008. Mengajar dengan Senang: Menciptakan Perbedaan dalam Pembelajaran Siswa. Terjemahan. Jakarta: Indeks.

Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia.

Hendayana, Sumar, dkk. 2006. Lesson Study: suatu Strategi untuk Meningkatkan Keprofesional Pendidik (Pengalaman IMSTEP-JICA). Bandung: UPI Press.

Kemendikbud 2014. Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan.

Kemendikbud. 2013. Bahan Pembelajaran Diklat Calon Kepala Sekolah: Pengelolaan Kurikulum. Karanganyar: LPPKS Indonesia.

M.Thobroni. 2015. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Muijs, Daniel & David Reynolds. 2008. Effective Teaching Teori dan Aplikasi. Edisi kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Terjemahan.

Mulyasa, E. 2013. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ronald L.Pardee. 1990. Literature Review Motivation Theories of Maslow, Herzberg, McGregor & McClelland.

Rusman. 2014. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Persada.

Sardiman AM. 2014. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor- faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta

Soewandi, Slamet dkk. 2005. Perspektif Pembelajaran Berbagai Bidang Study: Kumpulan Hasil Penelitian. Yogyakarta: Universitas Sanatadharma.

Sudjana, Nana. 1989. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung:Remaja Rosdakarya

Sunarti. 2014. Penilaian dalam Kurikulum 2013. Yogyakarta: Andi offset.

Sutikno, Sobry. 2013. Belajar dan Pembelajaran. Lombok: Holistica.

Suyatinah. 2011. Upaya Meningkatkan Proses dan Hasil Belajar Geografi dengan Lesson Study pada Siswa Kelas XI IPS 3 SMA NegeriI 1 Banguntapan Bantul Tahun Ajaran 2010/2011. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas PGRI. Tesis

Tim Lesson Study. 2007. Rambu- rambu Pelaksanaan Lesson Study. Yogyakarta : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.

Uno, Hamzah. B., Nina Lamatenggo, Satria MA.Koni. 2012. Menjadi Peneliti PTK yang Profesional. Jakarta: Remaja Rosdakarya.

Sri Banowati Wahyuningsih - ENINGKATAN MOTIVASI, PARTISIPASI,

286

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

Usman, Uzer. 2013. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Widarwati. 2009. Pengembangan Sistem Penilaian. Makalah disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Guru Geografi SMA Jenjang Dasar. Malang: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Yamin, Martinis 2011. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Rosdakarya.

Zaini, Hisyam, Bermawy Munthe, Sekar Ayu Aryani. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: CTSD UIN Sunan Kalijaga.

(http://penelitiantindakankelas.blogspot.co.id/2014/06/model-pembelajaran-discovery-learning-kurikulum-2013.html 08.37)

(http://qoqoazroqu.blogspot.co.id/2013/01/u n d a n g - u n d a n g - r e p u b l i k -indonesia-nomor.html , Senin 24 Oktober 2016. 08.30)

287

PENINGKATAN KOMPETENSI GURU DALAM MENYUSUN RPP MELALUI

SUPERVISI AKADEMIK BERKELANJUTAN DI SEKOLAH DASAR

NgadiyonoSD Negeri Kemiri II Tanjungasi Gunungkidul

Email: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) melalui supervisi akademik secara berkelanjutan. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan sekolah partisipan, dimana peneliti terlibat langsung dalam proses penelitian. Penelitian dimulai dengan planning , acting, observing, reflecting, dalam dua siklus. Teknik analisis data menggunakan analisa deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah melalui sepervisi akademik berkelanjutan sampai pada akhir kegiatan penelitian terjadi perubahan terhadap kemampuan guru dalam penyusunan RPP yaitu menjadi 83,24 %. Peningkatan kemampuan guru dalam mengembangkan RPP, nilai rata-rata siklus I adalah 67,89,dan siklus II adalah 83,24. Supervisi akademik secara berkelanjutan dapat meningkatkan kompetensi guru dalam menyusun RPP.

Kata kunci: Kompetensi guru, , RPP, supervisi akademik berkelanjutan.

Abstract: This study aimed to improve the competence of teachers in preparing a lesson plan through sustainable academic supervision. This research was a school action participant, which researchers directly involved in the research process. The study began with the planning, acting, observing, reflecting, in two cycles. Data were analyzed using descriptive qualitative analysis. The results showed that after sustainable academic supervision there is an improvement of the teachers’ ability in preparing lesson plan into 83.24%. Improving teachers’ ability in developing lesson plans, the average score of the first cycle was 67.89, and the second cycle was 83.24. Sustainable academic supervision improved the competence of teachers in preparing lesson plans.

Keywords: teachers’ competence, lesson plans, sustainable academic supervision.

Pendahuluan

Pendidikan merupakan proses merubah manusia menjadi lebih baik, lebih mahir dan lebih terampil. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya dibutuhkan strategi yang disebut dengan strategi pembelajaran. Dalam strategi pembelajaran terkandung tiga hal pokok perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Perencanaan program berfungsi

untuk memberikan arah pelaksanaan pembelajaran sehingga menjadi terarah dan efisien. Salah satu bagian dari perencanaan pembelajaran yang sangat penting dibuat oleh guru sebagai pengarah pembelajaran yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah instrumen perencanaan yang lebih spesifik dari silabus. Rencana Pelaksanaan

288

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

Pembelajaran ini dibuat untuk memandu guru dalam mengajar agar tidak melebar jauh dari tujuan pembelajaran. Hal ini sesuai yang diamanatkan dalam Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses bahwa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi dan telah dijabarkan dalam silabus. Melihat pentingnya penyusunan perencanaan pembelajaran ini, guru semestinya tidak mengajar tanpa adanya rencana.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 pasal 20 tentang SNP proses pembelajaran bahwa RPP minimal memuat sekurang-kurangnya lima komponen yang meliputi tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Langkah-langkah menyusun RPP yaitu 1) mengisi kolom identitas; 2) menentukan alokasi waktu yang dibutuhkan untuk pertemuan yang telah ditetapkan; 3) menentukan SK, KD, dan indikator yang akan digunakan terdapat pada silabus yang telah disusun; 4) merumuskan tujuan pembelajaran berdasarkan SK, KD dan indikator yang telah ditentukan; 5) mengidentifikasi materi ajar berdasarkan materi pokok/pembelajaran yang terdapat dalam silabus, materi ajar merupakan uraian dari materi pokok/pembelajaran; 6) menentukan metode pembelajaran yang akan digunakan; 7) merumuskan langkah-langkah yang terdiri dari kegiatan awal, inti

dan akhir; 8) menentukan alat/bahan/sumber belajar yang digunakan menyusun kriteria penilaian, lembar pengamatan, contoh soal, teknik penskoran dan kunci jawaban

Supervisi adalah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan secara efektif (Purwanto, 2003:32). Menurut Jones dalam Mulyasa (2003:155), supervisi merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari seluruh proses administrasi pendidikan yang ditujukan terutama untuk mengembangkan efektifitas kinerja personalia sekolah yang berhubungan dengan tugas- tugas utama pendidikan.

Departemen Pendidikan Nasional (2004) merumuskan bahwa supervisi merupakan pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik. Dengan demikian, supervisi ditujukan kepada penciptaan atau pengembangan situasi belajar mengajar yang lebih baik. Oleh karena itu ada dua hal (aspek) yang perlu diperhatikan, yaitu pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dan hal-hal yang menunjang kegiatan belajar mengajar. Aspek utama dalam supervisi yaitu guru, maka layanan dan aktivitas kesupervisian harus lebih diarahkan kepada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar. Sebagai kepala sekolah perlu berusaha untuk memberi bimbingan berkelanjutan pada guru dalam menyusun

289

RPP secara lengkap sesuai dengan tuntutan pada standar proses dan standar penilaian yang merupakan bagian dari standar nasional pendidikan. Berdasarkan data awal yang dilakukan melalui wawancara dan observasi pada tahun pelajaran 2015/2016 di SD Kemiri II, UPT TK dan SD Kecamatan Tanjungsari, masih dijumpai adanya kendala yaitu adanya guru yang belum dapat menyusun RPP dengan baik. RPP belum mengacu pada dasar-dasar rujukan penyusunan RPP secara benar. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran harus dibuat agar kegiatan pembelajaran berjalan sistematis dan mencapai tujuan pembelajaran. Kenyataan tersebut bila terus dibiarkan maka akan menurunnya kinerja guru dan kompetensi guru dalam pembelajaran yang akan berdampak langsung pada menurunnya prestasi siswa dalam belajar. Sehingga secara umum berimbas pada menurunnya mutu pendidikan di SD Kemiri II.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kepala sekolah merencanakan untuk melakukan supervisi akademik berkelanjutan. Metode penelitian ini akan dicobakan selama dua siklus dengan target penelitian semua guru yang berada di lingkungan SD Negeri SD Kemiri II pada tahun pelajaran 2015/2016 semester I. Dengan metode tersebut diharapkan setelah kegiatan, guru dalam menyusun RPP meningkat.

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah pokok dalam

penelitian ini dapat dirumuskan yaitu 1) Apakah melalui supervisi akademik berkelanjutan mampu meningkatkan kompetensi guru dalam menyusun RPP?; 2)Apakah dokumen RPP yang dimiliki guru sudah dibuat berdasarkan langkah-langkah dan prinsip pengembangan RPP?.

Penelitian ini bertujuan mengatasi permasalahan tersebut dengan mengadakan supervisi akademik berkelanjutan dengan harapan terjadi perubahan pada diri guru. Diharapkan dengan tindakan supervisi berkelanjutan guru dapat (1) memahami cara menyusun RPP secara benar; dan (2) terjadinya peningkatan kompetensi guru dalam menyusun RPP akibat supervisi akademik berkelanjutan .

Metode PenelitianPenelitian dilaksanakan pada Bulan

Februari sampai dengan April 2016, di SD Negeri Kemiri II, Tanjungsari, Gunungkidul. Subyek penelitian terdiri guru kelas I sampai VI SDN Kemiri II, terdiri dari 6 guru kelas, 2 guru mata pelajaran, meliputi 6 rombongan belajar (rombel).

Jenis penelitian yang digunakan yaitu tindakan sekolah partisipan. Peneliti terlibat langsung dari awal sampai hasil akhir berupa laporan penelitian. Sedangkan model penelitian terdiri dari dua siklus dengan alur penelitian seperti pada Gambar 1.

Desain penelitian sebagaimana pada Gambar 1 diawali dengan kegiatan KKG mini (sekolah) sosialisasi hasil supervisi oleh kepala sekolah, dan guru, untuk menyamakan persepsi tentang penyususnan rencana pembelajaran.

Ngadiyono - PENINGKATAN KOMPETENSI GURU

290

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

Pada tahap perencanaan (planning) diadakan sosialisasi dengan fokus penyusunan rencana pembelajaran (RPP) yang disusun oleh guru-guru SDN Kemiri II pada KKG Mini di sekolah, kemudian perangkat pembelajaran divalidasi. Peneliti juga menyiapkan lembar validasi rencana pembelajaran.

Pada tahap pelaksanaan/acting penelitian dilakukan dalam 2 (dua) siklus, dengan melakukan pendampingan kepada 6 (enam) guru kelas dan 2 (dua) orang guru mata pelajaran. Pelaksanaan penelitian meliputi penyusunan rencana pembelajaran, dan melakukan proses pendampingan penyususnan RPP.

Pada kegiatan pengamatan (observing), dilakukan observasi proses penyusunan rencana pembelajaran oleh guru, dan divalidasi penulis dengan lembar validasi. Observasi ini menggunakan

lembar observasi proses penyusunan rencana pembelajaran. Selama pelaksanaan pendampingan dilakukan observasi proses pendampingan menggunakan lembar observasi pendampingan. Observer pada kegiatan ini yaitu teman sejawat sebagai kolaborator.

Kegiatan refleksi akan digunakan untuk perbaikan pada siklus berikutnya. Kegiatan refleksi dilaksanakan setelah pelaksanaan pembuatan rencana pembelajaran. Kegiatan refleksi berupa diskusi antara peneliti, guru terdamping, dan kolaborator berdasarkan data observasi.

Instrumen penelitian terdiri dari instrumen pembuatan RPP dan lembar wawancara. Skala penilaian pada masing-masing instrumen yaitu 1-100. Mengacu instrumen penelitian yang telah disebutkan, maka data penelitian terdiri dari data kualitatif hasil pengamatan menggunakan

291

instrumen 1 dan 2. Data hasil observasi di kualifikasikan syaitu 86-100 = amat baik, 71-85 = baik, 51-70 = cukup, dan < 50 = kurang.

Teknik analisa data pada penelitian kualitatif ini menggunakan analisa deskriptif kualitatif. Data hasil observasi diolah melalui tahapan menyeleksi, menyederhanakan, mengklasifikasi, memfokuskan, meng-organisasi (mengaitkan gejala secara sistematis dan logis), membuat abstraksi atas kesimpulan makna hasil analisis. Sesuai model analisis kualitatif dari Miles & Hubberman (1992: 20) yang meliputi reduksi data (memilah data penting, relevan, dan bermakna dari data yang tidak berguna), sajian deskriptif (narasi, visual gambar, tabel) dengan alur sajian yang sistematis dan logis, penyimpulan dari hasil yg disajikan (dampak PTK dan efektivitasnya). Indikator kinerja dalam penelitian ini yaitu penyusunan rencana pembelajaran minimal baik (71- 85).

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Penelitian ini diawali dengan dengan pelaksanaan workshop sosialisasi Penyusunan RPP dalam KKG (Kelompok Kerja Guru) Mini pada tanggal 27 Februari 2016 di SDN Kemiri II. Tujuan sosialisasi ini untuk menyamakan persepsi tentang penyusunan rencana pembelajaran yang sesuai dengan dasar-dasar rujukan penyusunan RPP. Selanjutnya, pada minggu berikutnya dimulai dengan pelaksanaan pendampingan penyusunan rencana pembelajaran.

Siklus I dilakukan mulai minggu pertama sampai dengan kedua bulan Maret 2016, melakukan observasi terhadap guru kelas I sampai dengan VI, guru agama dan guru olahraga. Pada siklus I dilakukan dalam beberapa tahap yaitu, perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi.

Kegiatan yang dilakukan pada tahap perencanaan yaitu mempersiapkan bahan-bahan dasar rujukan yang perlu dikaji sebelum penyusunan RPP yang lengkap dan sitematis yaitu (a) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; (b) Permendiknas Nomor 22, 23 Tahun 2006, Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 dan Nomor 41 Tahun 2007; (c) buku mengenai evaluasi pendidikan; (d) buku-buku materi pelajaran; (e) contoh dan model RPP, membuat lembar wawancara, membuat format/instrumen penilaian RPP, membuat format rekapitulasi hasil penyusunan RPP siklus I.

Pada tahap penelitian dilakukan (1) pengamatan dan penilaian RPP yang telah dibuat oleh guru kelas maupun mata pelajaran; (2) bersama guru kelas maupun guru mata pelajaran berdialog kurang lebih 10 menit mengenai kegiatan penyusunan dan pengembangan RPP yang akan dilakukan pada siklus pertama; (3) guru-guru melaksanakan kegiatan penyusunan RPP yang mengacu pada dasar-dasar rujukan penyusunan RPP.

Berdasarkan hasil observasi terhadap delapan RPP yang dibuat guru (khusus pada siklus I), diperoleh informasi/data bahwa

Ngadiyono - PENINGKATAN KOMPETENSI GURU

292

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

masih ada guru yang tidak melengkapi RPP-nya dengan komponen dan sub-subkomponen RPP tertentu, misalnya komponen indikator dan penilaian hasil belajar (pedoman penskoran dan kunci jawaban). Rumusan kegiatan siswa pada komponen langkah-langkah kegiatan pembelajaran masih kurang tajam, interaktif, inspiratif, menantang, dan sistematis.

Kemampuan guru dalam mengembangkan RPP diperoleh rata-rata nilai 67,89 termasuk tingkat keberhasilan dengan predikat “Cukup”. Dari hasil observasi yang dilakukan dapat dilihat 3 orang dengan nilai kurang, bahwa proses pembelajaran belum berjalan secara optimal sesuai dengan rencana yang telah disusun, banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki pada siklus selanjutnya. Kelemahan guru masih terdapat pada komponen menentukan metode, merumuskan langkah-langkah pembelajaran, memilih alat dan sumber belajar serta melaksanakan penilaian.

Berdasarkan hasil observasi pelaksanaan tindakan pada siklus I, masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, yaitu 1) Guru dalam menyusun dan mengembangkan RPP masih ada yang mengalami kesulitan. Guru kesulitan membagi kegiatan pembelajaran menjadi beberapa pertemuan untuk RPP dari KD yang membutuhkan materi pembelajaran yang luas sehingga cenderung dirancang untuk satu pertemuan. (2) Guru masih kesulitan membedakan antara bentuk evaluasi (penilaian) proses dan hasil belajar dengan format/lembaran butir soal dalam komponen evaluasi (penilaian) proses

dan hasil pembelajaran. (3) Kelemahan guru masih terdapat pada komponen menentukan metode, merumuskan langkah-langkah pembelajaran, memilih alat dan sumber belajar serta melaksankan penilaian.

Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I, masih belum mencapai indikator keberhasilan penelitian tindakan ini, maka diperlukan perbaikan selanjutnya pada siklus II. Penerapan program supervisi akademik pada siklus I ternyata belum mampu meningkatkan kemampuan guru dalam mengembangkan RPP. Hal ini teridentifikasi dari perolehan nilai rata-rata siklus I pada semua aspek masih jauh dari target indikator keberhasilan yang ditetapkan.

Kemampuan guru dalam mengembangkan RPP pada siklus I diperoleh rata-rata nilai 67,89 termasuk tingkat keberhasilan dengan predikat “Cukup”. Dari hasil observasi yang dilakukan dapat terlihat 3 orang dengan nilai kurang, bahwa proses pembelajaran belum berjalan secara optimal sesuai dengan rencana yang telah disusun, banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki pada siklus selanjutnya. Kelemahan guru masih terdapat pada komponen menentukan metode, merumuskan langkah-langkah pembelajaran, memilih alat dan sumber belajar serta melaksanakan penilaian.Oleh sebab itu pada siklus II dipertimbangkan untuk memperbaiki RPP.

Siklus IIKegiatan siklus II dilaksanakan

pada bulan Maret 2016, minggu keempat.

293

Seperti halnya pelaksanaan pada siklus I, pada siklus II dilakukan observasi persiapan kegiatan penyusunan RPP baik kepada guru kelas maupun guru olahraga dan guru pendidikan agama. Hasil refleksi pada siklus I didiskusikan kendala yang dihadapinya, guru-guru meminta agar diadakan kelanjutan supervisi pembimbingan sampai dengan semua guru memahami bahwa RPP dirancang lengkap dan sistematis, komponen dalam RPP tidak saja mengandung komponen RPP minimal, tetapi ditambah komponen lain yang dipandang untuk membuat RPP lengkap dan sistematis sehingga dari lima komponen minimal menjadi sebelas komponen yang lengkap, RPP disusun guru bersama-sama pada kegiatan supervisi dengan diarahkan oleh kepala sekolah. Dalam kegiatan supervisi diawali dengan pemberian penjelasan oleh narasumber mengenai cara menentukan kegiatan eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi

dalam komponen kegiatan pembelajaran inti, komponen-komponen yang bisa ditambah ke dalam komponen RPP minimal, dan evaluasi proses dan hasil pembelajaran. Kemudian guru mulai melakukan kegiatan penyusunan pengembangan dan penyempurnaan bersama-sama dalam kegiatan pembimbingan tersebut.Hasil penilaian kemampuan guru dalam menyusun RPP siklus II, kemampuan guru dalam mengembangkan RPP diperoleh rata-rata nilai 83,24 termasuk tingkat keberhasilan dengan predikat “Baik”. Berdasarkan paparan di atas diketahui bahwa 3 orang guru mendapat nilai amat baik, dan 5 orang guru mendapat nilai baik. Supervisi akademik telah mengalami peningkatan yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai rata-rata yang diperoleh. Hasil observasi melalui format penilaian RPP pada siklus kedua nilainya mencapai nilai 90% atau 7 orang guru memiliki skor

Ngadiyono - PENINGKATAN KOMPETENSI GURU

294

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016

dalam kategori baik, yang berarti sebagian besar guru sudah bisa menyusun RPP secara benar dan telah tercapai indikator keberhasilan penelitian tindakan ini yaitu 75% dari 8 orang guru (responden)

Hasil observasi penilaian kemampuan guru siklus kedua dalam menyusun RPP nilainya mencapai 83,24% atau 8 orang guru memiliki skor dalam kategori baik, yang berarti telah memenuhi indicator keberhasilan penelitian tindakan yaitu lebih besar atau sama dengan 75%. Semua indikator tersebut dirangkum dalam lembar obervasi yang hasil observasi dari siklus I dan II disajikan dalam Tabel 1.

Peningkatan kompetensi guru dalam menyusun rencana pembelajaran pada siklus II mengalami peningkatan. Adapun rata-rata peningkatannya dapat dipaparkan sebagaimana Gambar 1.

Dari Tabel 1 dan Gambar 1 dapat dilihat hasil observasi kompetensi guru dalam menyusun perangkat pembelajaran

yang dilaksanakan pada siklus I dan II menunjukkan peningkatan, dengan skor rata-rata 67,89 dan 83,24. Dari kenaikan skor ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan supervisi secara berkelanjutan Sekolah Dasar Negeri Kemiri II mampu meningkatkan kompetensi guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian tindakan sekolah yang dilakukan dapat disimpulkan, supervisi akademik secara berkelanjutan terbukti secara ilmiah dapat meningkatkan kompetensi guru dalam menyusun RPP. Semua guru kelas maupun guru bidang studi telah dapat melaksanakan kegiatan penyusunan RPP dengan mengacu pada dasar-dasar rujukan penyusunan RPP secara benar. Kesimpulan terlalu singkat.

295

Daftar RujukanArikunto, Suharsimi. 2004. Dasar-Dasar

Supervisi. Jakarta: Rineka Cipta.Arikunto, Suharsimi. 2006. Kumpulan Materi

Pembekalan Pengembangan Profesi Bagi Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Dirjend PMPTK.

Depdiknas. 2010. Supervisi Akademik: Materi Pelatihan Penguatan Kemampuan Kepala Sekolah. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta.

Harahap, Baharuddin. 1983. Supervisi Pendidikan yang Dilaksanakan oleh Guru, Kepala Sekolah, Penilik dan Pengawas Sekolah. Jakarta: Bina Aksara.

Hernawan, Asep Herry. 2004. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.

Majid, Abdul. 2005. Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Sahertian. 2000. Konsep Dasar & Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Supandi. 1996. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Jakarta: Departemen Agama.

Wardhani dkk. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: UniversitasTerbuka.

Winataputra, Udin S. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.

Ngadiyono - PENINGKATAN KOMPETENSI GURU

296

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 03, Desember 2016