Upload
duongdieu
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PERBANDINGAN SISTEM PAJAK DI INDONESIA
DENGAN AUSTRALIA DALAM PERSPEKTIF
EKONOMI POLITIK
LIRA WIGIANA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Perbandingan
Sistem Pajak di Indonesia dengan Australia dalam Perspektif Ekonomi Politik
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
Lira Wigiana
NIM H14090058
ABSTRAK
LIRA WIGIANA. Analisis Perbandingan Sistem Pajak di Indonesia dengan
Australia dalam Perspektif Ekonomi Politik. Dibimbing oleh Prof. Dr. H. Didin S.
Damanhuri, S.E, M.S, D.E.A.
Peranan sektor perpajakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) sebagai sumber penerimaan dalam negeri terus mengalami
kenaikan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Namun demikian,
penerimaan pajak Indonesia masih belum optimal bila dilihat dari tax ratio dan
jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan jumlah WPOP di Indonesia
dibandingkan dengan Australia. Selain itu pembahasan lebih diperdalam dengan
menganalisis bagaimana keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rent-
seeking serta pengaruhnya terhadap penerimaan pajak. Data yang digunakan
dalam penelitian ini diantaranya berupa jumlah penerimaan pajak, Indeks
Demokrasi, Rangking Kemudahan Membayar Pajak, dan Indeks International
Country Risk Guide (ICRG) tahun 2008-2011. Metode yang digunakan adalah
analisis data panel pada 15 negara anggota G-20, termasuk Indonesia dan
Australia, sehingga diperoleh model yang terbaik dengan Fixed Effect Model
dengan pembobotan (cross section weights) dan white cross section. Hasil
estimasi menunjukkan bahwa sistem pajak yang baik, demokrasi yang mapan,
serta ketidakadaan rent-seeking berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan
positif terhadap penerimaan pajak.
Kata Kunci: Sistem Pajak, Demokrasi, Rent-Seeking, Data Panel
ABSTRACT
LIRA WIGIANA. Tax System in Indonesia Comparison to Australia in
Political Economics Analysis. Supervised by Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri,
S.E, M.S, D.E.A.
Tax plays an important role as a source to finance the development of the
country, although if the tax ratio and the number of individual taxpayers in
Indonesia are compared with other countries, the tax revenue in Indonesia is not
optimal yet. This research aims to know about factor that can increase the number
of individual taxpayers in Indonesia comparison to Australia. Furthermore the
connection between tax system, democracy, and rent-seeking activity; also the
effect to tax revenue are analysed. The method is Panel Data Analysis in 15
countries of G-20 include Indonesia and Australia. Data used in this research are
tax revenue as percentage of GDP, Democracy Index, Paying Taxes Ranking, and
International Country Risk Guide (ICRG) Index from 2008 until 2011. The best
model is Fixed Effect Model with cross section weights and white cross section.
The estimation shows that a good tax system, full democracies, and the absent of
rent-seeking have a significant and positive effect to tax revenue.
Keywords: Tax system, Democracy, Rent-Seeking, Panel Data
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
ANALISIS PERBANDINGAN SISTEM PAJAK DI INDONESIA
DENGAN AUSTRALIA DALAM PERSPEKTIF
EKONOMI POLITIK
LIRA WIGIANA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi: Analisis Perbandingan Sistem Pajak di Indonesia dengan Australia dalam Perspektif Ekonomi Politik
Nama : Lira Wigiana NIM: : H14090058
Disetujui oleh Dosen Pembirnbing
Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E, M.S, D.E.A. Pembirnbing
23 OCT 2013Tanggal Lulus:
Judul Skripsi : Analisis Perbandingan Sistem Pajak di Indonesia dengan Australia
dalam Perspektif Ekonomi Politik
Nama : Lira Wigiana
NIM : H14090058
Disetujui oleh
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E, M.S, D.E.A.
Pembimbing
Diketahui oleh
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT karena atas rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Analisis Perbandingan
Sistem Pajak di Indonesia dengan Australia dalam Perspektif Ekonomi Politik”.
Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul tersebut karena peranan
penerimaan pajak terhadap APBD begitu besar, namun potensi penerimaan pajak
belum optimal. Oleh karena itu penulis menganalisis sistem pajak melalui
perspektif ekonomi politik dengan perbandingan negara lain yang sudah lebih
maju.
Selesainya skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan banyak pihak.
Untuk itu, setulus hati penulis sampaikan terima kasih atas segala bantuan baik
materi maupun non materi yang telah diberikan. Ucapan terima kasih dari penulis
disampaikan kepada Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E, M.S, D.E.A selaku
pembimbing skripsi, Ibu Lukytawati Anggraeni, Ph.D selaku pembimbing
akademik, serta Dr. Muhammad Findi dan Ibu Ranti Wiliasih, M.Si selaku
penguji siding skripsi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
seluruh keluarga, pendamping, dan teman-teman atas segala doa, kasih sayang,
dan motivasi yang begitu besar.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran bagi kemajuan penulisan
berikutnya. Penulis pun berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
memerlukannya.
Bogor, September 2013
Lira Wigiana
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Perumusan Masalah 6
Tujuan Penelitian 8
Manfaat Penelitian 8
TINJAUAN PUSTAKA 9
Tinjauan Teori-Teori 9
Pengertian dan Konsep Pajak 9
Fungsi Pajak 10
Sistem Pemungutan Pajak 12
Kepatuhan Pajak 14
Reformasi Pajak 15
Pengertian dan Konsep Demokrasi 16
Keterkaitan Pajak dengan Demokrasi 17
Pengertian dan Konsep Rent-Seeking 18
Penelitian Terdahulu 20
Kerangka Pemikiran 21
METODOLOGI PENELITIAN 23
Wilayah Penelitian 23
Jenis dan Sumber Data 23
Metode Analisis Data 24
Analisis Deskriptif Kualitatif 24
Analisis Data Panel 24
Definisi Operasional 25
GAMBARAN UMUM 27
Republik Indonesia 27
Kondisi Geografis 27
Perekonomian 27
Politik dan Pemerintahan 29
Negara Persemakmuran Australia 30
Kondisi Geografis 30
Perekonomian 31
Politik dan Pemerintahan 32
HASIL DAN PEMBAHASAN 34
Faktor-Faktor yang dapat Meningkatkan Jumlah WPOP di Indonesia,
dengan Australia sebagai Reason Learn 34
Kebijakan Registrasi 34
Kedudukan Institusi Pajak 35
Kebijakan Ekstensifikasi Wajib Pajak 37
Keterkaitan antara Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-Seeking
di Indonesia dibandingkan dengan Australia 39
Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-Seeking terhadap
Penerimaan Pajak 47
Tahap Evaluasi Pemilihan Model 47
Pengujian Asumsi Klasik 47
Tahap Pemilihan Model Terbaik 49
KESIMPULAN DAN SARAN 52
Kesimpulan 52
Saran 52
DAFTAR PUSTAKA 54
LAMPIRAN 56
RIWAYAT HIDUP 66
DAFTAR TABEL
1.1 Penerimaan Pajak dalam Negeri Tahun 2009-2012 2
1.2 Tax Ratio berdasarkan OECD (Organisation for Economic Cooperation
and Development) Model Tahun 2010 2
1.3 Tingkat Rasio antara Wajib Pajak Orang Pribadi Terdaftar dengan
Angkatan Kerja Tahun 2005 4
4 Komparasi Kebijakan Pendaftaran Wajib Pajak Orang Pribadi 35
5 Tugas Dirjen Pajak dan ATO 36
6 Institusi Pajak dan Kebijakan Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi 39
7 Indeks ICRG Indonesia dan Australia Tahun 2002-2011 42
8 Indikasi Kerugian Negara Hasil Audit BPK Semester I 2008-
Semester I 2010 44
9 Negara-negara Berkembang dengan Arus Uang Haram Terbesar 45
10 Kerugian akibat Penghindaran Pajak di Indonesia dan Australia 45
11 Nilai Korelasi Antarvariabel Bebas dalam Pengujian Multikolinearitas 48
12 Hasil Pengolahan dengan Weighting Fixed Effect Model untuk Menguji
Heteroskedastisitas 49
13 Hasil Estimasi Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-seeking
terhadap Penerimaan Pajak di 15 Negara G-20 pada Tahun 2008-2011 49
14 Hasil Estimasi Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-seeking
terhadap Penerimaan Pajak di 6 Negara Berkembang G-20 pada
Tahun 2008-2011 50
15 Hasil Estimasi Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-seeking
terhadap Penerimaan Pajak di 7 Negara Maju G-20 pada
Tahun 2008-2011 51
DAFTAR GAMBAR
1 Persentase Penerimaan Pajak terhadap Penerimaan Total APBN
Indonesia Tahun 2005-2010 1
2 Hubungan Pendapatan Naional dengan Konsumsi dan Investasi 12
3 Kerangka Pemikiran 22
4 PDRB per Kapita Provinsi-Provinsi di Indonesia Tahun 2008
atas Dasar Harga Berlaku 28
5 Peta Benua Australia 31
6 Indeks Demokrasi Indonesia 2009 dan 2010 40
7 Tax Ratio Indonesia Tahun 2008-2012 42
8 Penanganan TPK berdasarkan Jenis Perkara 43
9 Kriteria Pengujian Autokorelasi: Durbin Watson 48
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data Negara Anggota G-20 56
2 Data untuk Analisis Data Panel (1) 57
3 Data untuk Analisis Data Panel (2) 58
4 Hasil Estimasi Pooled Least Square 59
5 Hasil Estimasi Fixed Effect Model 60
6 Hasil Estimasi Random Effects Model 61
7 Hasil Chow Test 62
8 Hasil Haussman Test 62
9 Hasil Uji Normalitas Data 63
10 Fixed Effect Model dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan
White Cross Section 64
11 Kerugian akibat Penghindaran Pajak di Indonesia dan Australia 65
PENDAHULUAN
Pemerintah memerlukan sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan
pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik untuk pembiayaan
rutin pemerintah maupun untuk pelaksanaan pembangunan. Salahsatu sumber
pembiayaan tersebut berasal dari sektor pajak. Pemerintah mengalokasikan pajak
diantaranya untuk membiayai pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan
pendidikan. Peranan sektor perpajakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) sebagai sumber penerimaan dalam negeri mengalami kenaikan
yang cukup signifikan dari tahun ke tahun.
Gambar 1 merupakan penerimaan perpajakan dalam negeri sejak tahun 2005
hingga 2010 menunjukkan persentase penerimaan pajak berada pada kisaran
angka sekitar 70 persen. Hal ini menunjukkan bahwa hampir sebagian besar
penerimaan negara diperoleh dari penerimaan dalam negeri yang bersumber dari
pajak, sedangkan sisanya diperoleh dari penerimaan negara yang berasal bukan
dari pajak, seperti penerimaan Sumberdaya Alam, laba BUMN, surplus Bank
Indonesia, dan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) dalam APBN.
Penerimaan pajak dalam negeri dapat diperoleh dari jenis-jenis pajak seperti
Pajak Penghasilan (PPh migas dan PPh nonmigas), Pajak Pertambahan Nilai (PPN
dan PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan pajak lainnya. Berdasarkan jenis-jenis pajak
tersebut, Pajak Penghasilan memiliki porsi terbesar dalam komponen penerimaan
pajak nasional.
Gambar 1 Persentase Penerimaan Pajak terhadap Penerimaan Total APBN
Indonesia Tahun 2005-2010
Sumber: Mukhlis, I., dan Simanjutak, T. H. 2011. Pentingnya Kepatuhan Pajak dalam
Meningkatkan Kesejahteraan Hidup Masyarakat. Proceeding Simposium Nasional Perpajakan III
Road Map Reformasi Perpajakan Indonesia Menuju Good Governance. Hal. 6.
2
Pada Tabel 1 menunjukkan penerimaan pajak terbesar di Indonesia selama
kurun waktu tersebut sebagian besar masih diperoleh dari penerimaan pajak yang
bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh) Nonmigas. Jenis pajak PPh adalah jenis
pajak langsung, sehingga model pengenaannya adalah langsung dipotong dari
penghasilan subjek pajak atau Wajib Pajak. Walau demikian, penerimaan pajak
Indonesia masih belum optimal bila dilihat dari perbandingan tax ratio di
beberapa negara tetangga.
Tax Ratio dalam arti sempit hanya mencakup pajak pemerintah pusat dibagi
Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Tax Ratio dalam arti luas (OECD) mencakup
pajak pusat, pajak daerah, dan penerimaan SDA (bagi hasil) dibagi PDB. Dalam
Tabel 2 merupakan perbandingan tax ratio pada tahun 2010 dimana tax ratio
Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, atau Australia.
Hal ini berarti penerimaan pajak di Indonesia masih tergolong rendah
dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Ketidakmampuan pemerintah mengoptimalkan penerimaan pajak
menyebabkan utang terus berkelanjutan. Jumlah utang baru, hampir selalu lebih
besar dari cicilan utang. Akumulasi utang mencapai Rp 1.937 triliun pada tahun
2012, artinya setiap penduduk Indonesia menanggung utang Rp 8 juta.1
Akumulasi utang dan pendapatan rendah akan membawa Indonesia terjebak
1Prastowo, J dan Budiantoro, S. Maret 2012. Rasio Pajak Rendah, Utang Makin Menumpuk.
Prakarsa Policy Review. No. 2. Hal. 1.
Tabel 2 Tax Ratio berdasarkan OECD (Organisation for Economic Cooperation
and Development) Model Tahun 2010 (dalam persen)
Sumber: Rahmany, F. 17 Oktober 2012. Tax Ratio Indonesia Tinggi, ada Kesalahan
Penghitungan Tax Ratio. http://www.pajak.go.id/node/4292?lang=en.
Negara Tax Ratio
Australia 25.60
Thailand 17.00
Malaysia 15.50
Indonesia 14.64
Filipina 14.64
India 10.90
Tabel 2 Penerimaan Pajak dalam Negeri Tahun 2009-2012 (dalam Triliun
Rupiah)
Sumber: Diunduh dari situs resmi Direktorat Jenderal Pajak.
http://www.pajak.go.id/content/penerimaan-pajak-dalam-negeri-2009-2012.
Uraian 2009 2010 2011 2012
PPh Migas 50,043.70 58,872.70 65,230.70 58,665.80
PPh Nonmigas 267,571.30 298,172.80 366,746.30 454,168.70
PPN dan PPnBM 193,067.50 230,604.90 298,441.40 350,342.20
PBB 24,270.20 28,580.60 29,057.80 35,646.90
BPHTB 6,464.50 8,026.40
Cukai 56,718.50 66,165.90 68,075.30 72,443.10
Pajak Lainnya 3,116.00 3,968.80 4,193.80 5,632.00
Total 601,251.70 694,392.10 831,745.30 976,898.70
3
dalam perangkap utang (debt trap). Penerimaan pajak Indonesia yang belum
optimal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain dapat dilihat dari
sisi teknis sistem pajak maupun sisi ekonomi politik yang mempengaruhi, seperti
kondisi demokrasi dan rent-seeking behaviour di Indonesia.
Dilihat dari sisi sistem pajak di Indonesia, sebagai upaya dalam
meningkatkan peranan pajak, pemerintah Indonesia sejak tahun 1983 telah
melakukan reformasi perpajakan yaitu dengan mengundangkan UU No.6/1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UU No.28/2007 yang mengganti sistem perpajakan
dari official assessment menjadi self assessment. Dengan ketentuan sistem self
assessment, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, menyetor, dan
melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya.
Sebagai perbandingan, salah satu negara tetangga sekaligus sesama anggota
G-20 yaitu Australia pun menerapkan self assessment dalam sistem pemungutan
pajaknya. Pemerintah hanya sekedar mengawasi, namun dikarenakan sistem yang
sudah dibangun secara teratur maka para Wajib Pajak kecil kemungkinannya
untuk tidak membayar pajak. Setiap orang yang tinggal di Australia untuk masa
183 hari atau lebih, orang yang telah memiliki visa permanent
resident/Kewarganegaraan Australia, berumur mulai 18 tahun ke atas, serta
memperoleh pendapatan di Australia wajib memiliki nomor pokok Wajib Pajak
Australia/Australian Tax Number, disebut dengan TFN (Tax File Number) atau
bila di Indonesia NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). TFN tersebut wajib
diisikan ke formulir pengajuan kerja, karena perusahaan akan langsung memotong
pajak dari gaji atau pendapatan pekerja tersebut.2
Kebijakan penerapan sistem perpajakan di Australia ditangani oleh dua
departemen atau terpisah menjadi dua bagian fungsi, yakni untuk fungsi kebijakan
ditangani oleh The Treasury dan fungsi administrasi ditangani oleh Australian Tax
Office (ATO). Kebijakan perpajakan di Australia selalu dipantau dan dievaluasi
setiap tahunnya oleh pemerintah sehingga pemerintah Australia selalu
mengamandemen UU Perpajakan setiap tahun, dengan demikian jika terjadi
permasalahan dalam penerapannya dapat segera diselesaikan dan tidak berlarut-
larut.3
Jenis-jenis pajak di Australia meliputi Individual Income Tax (Pajak
Penghasilan Perorangan), Company Income Tax (Pajak Pendapatan Perusahaan),
Payroll Tax (Pajak Gaji), Property Tax (Land Tax) (Pajak Properti dan
Bangunan), Fringe Benefit Tax (Pajak Pendapatan Tambahan/Bonus), Goods &
Services Tax (GST) (Pajak Barang dan Jasa), Excise (Cukai), Transfer Duty
(Perpindahan Jabatan), dan Other Tax (Pajak Lainnya).4
Pada tahun 2012 di Australia terdapat sekitar 23,9 juta TFN yang terdaftar
dan aktif. Dari jumlah ini sekitar 19,3 juta adalah Wajib Pajak Individu dan 1,8
juta adalah Wajib Pajak Badan. Dari 19,3 juta Wajib Pajak Individu, sebanyak
59,2 persen berasal dari migran permanen dan bukan penduduk asli (non-resident)
dengan visa kerja. Oleh karena itu, Australian Tax Office (ATO) sangat fokus
2Saleh, S. 2011. Sistem Perpajakan di Australia. Sharia Business Solution.
http://sobisy.blogspot.com/2010/07/sistem-perpajakan-di-australia.html. 3Ibid.
4Situs resmi Australian Tax Office. http://www.ato.gov.au.
4
pada perbaikan sistem registrasi pajak demi kemudahan orang-orang asing dari
berbagai negara yang akan tinggal dan bekerja di Australia.5
Tabel 3 merupakan hasil survei OECD pada tahun 2006 dengan
menggunakan tenaga kerja sebagai benchmark, menunjukkan bahwa rasio antara
jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) Terdaftar dengan jumlah angkatan
kerja pada negara-negara maju, termasuk Australia, mencapai lebih dari 40
persen, bahkan banyak yang mencapai rasio lebih dari 100 persen. Apabila
Indonesia mengikuti model perhitungan OECD maka tingkat rasionya hanya
mencapai 2,24 persen (masih sangat jauh tertinggal).
Data di atas menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi penerimaan
pajak yang jauh lebih besar apabila berhasil menjalankan program ekstensifikasi
Wajib Pajak. Ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak merupakan
program perpajakan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk
mengoptimalkan penerimaan pajak. Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan
yang berkaitan dengan menambah jumlah Wajib Pajak Terdaftar, sedangkan
intensifikasi pajak adalah kegiatan mengoptimalkan penerimaan pajak dari Wajib
Pajak yang telah terdaftar.6
Ekstensifikasi Wajib Pajak dapat berhasil apabila masyarakat memiliki
kepatuhan dalam membayar pajak. Kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak
sangat tergantung dari cara pemerintah memberikan pelayanan kepada negara.
Rakyat sebagai warga negara memiliki kewajiban untuk membayar pajak,
sebaliknya negara pun memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan publik
yang baik kepada rakyat. Bila para pemimpin negara benar-benar mengurus
5Commisioner of Taxation. 2012. Annual Report 2011-2012. Australian Tax Office. Hal. 39.
6Tunliu, J. J. A. 2010. Pengaruh Intensifikasi dan Ekstensifikasi terhadap Peningkatan
Pendapatan Asli Daerah Guna Mewujudkan Kemandirian Keuangan Daerah [Tesis]. Universitas
Brawijaya. Malang. Hal. 6.
Tabel 3 Tingkat Rasio antara Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) Terdaftar
dengan Angkatan Kerja Tahun 2005
Sumber: Siswahyudi. Mei 2008. Analisis Komparasi Regulasi Registrasi Wajib Pajak
Orang Pribadi antara Indonesia dengan Australia. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik.
Vol. 12. No. 1. Hal. 43.
1 Selandia Baru 4,1 2,1 5,1 51,22 242,9
2 Yunani 11,1 4,6 10,72 43,24 223,3
3 Spanyol 42,7 20,2 37,6 47,31 286,1
4 Finlandia 5,2 2,6 4,8 50,00 184,2
5 Australia 20,1 10,2 17,04 50,75 167,1
1 Argentina 38,6 15,34 0,9 39,74 42,9
2 Chile 15,1 6,3 1,6 39,1 25,4
220,6 105,80 2,38 47,96 2,24
Angkatan Kerja/
Penduduk
(Persen)
WPOP Terdaftar/
Angkatan Kerja
(Persen)
A. Negara OECD
B. Negara Non OECD
c. Indonesia (2004)
No. Negara
Angkatan
Kerja
(Juta)
WPOP
Terdaftar
(Juta)
Penduduk
(Juta)
5
negara dengan melaksanakan prinsip demokrasi, tentunya rakyat akan mendukung
demi kesejahteraan bersama.
Demokrasi yang berarti kesetaraan dan partisipasi, maka demokrasi
perpajakan dapat dimaknai sebagai terbangunnya sistem perpajakan yang
menggambarkan adanya kesetaraan antara pemerintah dan masyarakat pembayar
pajak, sehingga memungkinkan munculnya partisipasi masyarakat, sejak dari
proses pembuatan kebijakan perpajakan, pengumpulan pajak, dan pemanfaatan
uang pajak. Prinsip dari demokrasi yang paling penting adalah meletakkan
kekuasaan di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa.7
Dalam rangka memperoleh sistem perpajakan yang mencerminkan azas
demokrasi, tentu akan diperlukan perangkat hukum dan penciptaan kondisi
dimana rakyat/Wajib Pajak menyadari kewajiban mereka membayar pajak. Sistem
perpajakan yang baik menurut Adam Smith dalam Irianto (2005),
“…Empat prinsip perpajakan yang harus terpenuhi, yaitu keadilan
(equality), kepastian (certainty), kenyamanan (convinience), dan efisiensi
(efficiency). Hal penting lainnya adalah daerah dituntut untuk melaksanakan
sistem perpajakan secara transparan, akuntabel dan efisien…”8
Indonesia masih harus bekerja keras membangun sistem perpajakan dan
demokrasinya. Saat ini Indonesia masih berada dalam masa transisi demokrasi,
yaitu demokrasi yang belum mapan, belum terkonsolidasi, masih terus mencari
bentuk, dan karenanya demokrasi yang seperti itu menjadi sumber dari labilnya
kehidupan politik. Pemerintah seharusnya lebih banyak belajar dari negara lain
yang telah berhasil menjalankan demokrasi. Salahsatu negara tetangga yang dapat
dijadikan contoh pembelajaran yaitu Australia.9
Australia merupakan salahsatu negara maju dengan tradisi demokrasi yang
lebih mapan. Sistem pemerintahan Australia dibangun di atas tradisi demokrasi
liberal, yakni berdasarkan nilai-nilai toleransi beragama, kebebasan berbicara dan
berserikat, dan supremasi hukum. Lembaga-lembaga Australia dan praktik-praktik
pemerintahannya mencerminkan model Inggris dan Amerika Utara, namun tetap
memiliki ciri khas Australia.10
Demokrasi yang mapan antara lain dicirikan dengan adanya partisipasi
masyarakat yang luas dalam setiap pengambilan kebijakan publik. Kebijakan
publik, terutama yang melibatkan anggaran negara atau kebijakan mengenai
sumberdaya publik/negara harus jelas manfaat dan biayanya. Transparansi publik
dalam hal ini menjadi perhatian utama sekaligus sebagai pencegah timbulnya
kesempatan rent-seeking. Menurut Yustika (2006),
“…Rent-seeking (rent-seeking) dapat didefinisikan sebagai upaya individual
atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan
7Thoha, M. 2003. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Radja Grafindo Persada.
Jakarta. Hal. 63. 8Irianto, E. S. dan Jurdi, S. 2005. Politik Perpajakan: Membangun Demokrasi Negara. UII Press.
Yogyakarta. Hal. 97. 9Sudibyo, B. Agustus 2012. Reformasi Pajak dalam Kerangka Reformasi Ekonomi-Politik di
Indonesia. Jurnal Akuntansi & Manajemen. Vol. 23. No. 2. Hal 16. 10
Situs resmi Kedutaan Besar Australia.
http://www.indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/sistem_pemerintahan.html.
6
regulasi pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan
permintaan sumberdaya yang dimiliki...”11
Hal ini berarti rent-seeking sebagai proses di mana individu memperoleh
pendapatan tanpa secara aktual meningkatkan produktivitas, atau malah
mengurangi produktivitas tersebut. Contohnya ialah adanya kasus penggelapan
pajak di lingkungan institusi pajak maupun perusahaan. Salahsatunya kasus
penggelapan pajak pada awal tahun 2010 yang dilakukan oleh salahsatu pegawai
Direktorat Jendral Pajak yang diduga sebagai makelar kasus pajak, Gayus
Tambunan. Ia terbukti menyalahgunakan uang pajak dalam jumlah yang sangat
besar yang seharusnya dibayarkan kepada pemerintah.12
Selain bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, rent-seeking juga dapat
bertujuan untuk menghindari berkurangnya pendapatan. Seperti contohnya ialah
penghindaran pajak oleh masyarakat. Penghindaran pajak merupakan usaha untuk
mengurangi hutang pajak yang bersifat legal, sedangkan penggelapan pajak
adalah usaha untuk mengurangi hutang pajak yang bersifat tidak legal.13
Jika
dianalogikan pajak dengan karcis tol, jika menggunakan jalan tol namun tidak
membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak. Jika menghindari untuk
membayar karcis tol dengan cara memilih lewat jalan biasa, maka itulah
penghindaran pajak.
Di negara-negara berkembang banyak terjadi kasus penghindaran pajak. Hal
ini dilakukan dengan cara tidak melaporkan, atau melaporkan namun tidak sesuai
dengan keadaan sebenarnya, atas pendapatan yang bisa dikenai pajak.
Penghindaran pajak ini telah membuat basis pajak atas pajak pendapatan menjadi
sempit dan mengakibatkan begitu besarnya kehilangan potensi pajak yang dapat
digunakan untuk mengurangi beban defisit anggaran negara.14
Perumusan Masalah
Dalam APBN 2012, penerimaan pajak Indonesia diproyeksikan mencapai
Rp 1.033 triliun. Meski terlihat besar, penerimaan tersebut sebenarnya masih
rendah ditinjau dari nilai rasio pajak terhadap PDB. Rasio pajak Indonesia masih
berkisar 12 persen terhadap PDB.15
Indonesia kini termasuk dalam kategori
negara pendapatan menengah-bawah dan rata-rata rasio pajak pada negara dalam
kategori tersebut adalah sebesar 19 persen.16
Berdasarkan kategori negara
berpendapatan menengah-bawah, negara ini sebenarnya kehilangan potensi pajak
11
Yustika, A. E. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Bayumedia
Publishing. Jatim. Hal. 147. 12
Puteri, A. Y. 2012. Implikasi Kasus Gayus Tambunan dalam Kesadaran Wajib Pajak [Skripsi].
Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Jatim. Hal. 6. 13
Ibid. Hal. 5. 14
Budiman, J. dan Miharjo, S. 2012. Pengaruh Karakter Eksekutif terhadap Penghindaran Pajak
(Tax Avoidance). S2 Ilmu Akuntansi UGM. Yogyakarta. Hal. 5-6. 15
Prastowo, J. dan Budiantoro, S. Maret 2012. Rasio Pajak Rendah, Utang Makin Menumpuk.
Prakarsa Policy Review. No. 2. Hal. 5. 16
Ibid. Hal. 5.
7
sekitar Rp 512 triliun atau hampir 50 persen.17
Perkiraan konservatif International
Monetary Fund (IMF), potensi pajak yang hilang juga lebih dari 40 persen.18
Kebijakan perpajakan bisa menjadi salahsatu cerminan dari demokratis atau
tidaknya sebuah negara.19
Indonesia saat ini masih dalam masa transisi demokrasi
dimana kondisi politik yang masih labil diperparah oleh belum dewasa dan
matangnya para individu pemeran eksekutif, legislatif, dan yudikatif dari pilar-
pilar kekuasaan negara pada berbagai tingkatan. Hal ini terbukti dengan
terungkapnya kasus-kasus rent-seeking di struktur elite tersebut yang sangat
merugikan masyarakat.
Berdasarkan laporan lembaga Transparency International pada Corruption
Perceptions Index tahun 2010, Indonesia menempati urutan ke-110 dengan nilai
2,8 dari total 178 negara. Semakin tinggi nilai suatu negara (mendekati 10), maka
semakin bersih negara tersebut dari korupsi. Angka 2,8 mencerminkan di
Indonesia masih banyak terdapat tindak korupsi. Jika dikaitkan dengan kasus
penyuapan, menurut survei yang dilakukan oleh lembaga Transparency
International pada tahun 2008, pihak yang paling mudah disuap di Indonesia
adalah pihak-pihak legislatif dengan nilai 4,1, menyusul di bawahnya adalah
politisi dan polisi dengan nilai masing-masing sama yaitu 3,9 (skala nilai adalah
1-5, dengan ketentuan semakin besar nilai maka semakin mudah disuap).
Reformasi perpajakan selama ini telah mencapai hasil yang baik, namun
masih banyak kekurangan yang harus segera diperbaiki. Pencapaian ukuran
keberhasilan pemungutan pajak masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan
negara-negara lain. Oleh karena itu, studi komparatif guna mempelajari prestasi
negara maju sebagaimana tersebut diatas sangat diperlukan. Negara Australia
dipilih dengan alasan: (i) merupakan negara tetangga sekaligus sesama anggota G-
20; (ii) rasio jumlah WPOP Terdaftar dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja
mencapai 167,1 persen (Tabel 3); (iii) sumber data tersedia di internet dalam
bahasa Inggris maupun Indonesia.
Melihat uraian di atas juga merujuk pada latar belakang yang telah dibuat,
maka perumusan masalah dari penelitian ini, yaitu:
1. Faktor-faktor apa sajakah yang dapat meningkatkan jumlah WPOP di
Indonesia, dengan Australia sebagai reason learn?
2. Bagaimana keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rent-
seeking di Indonesia dibandingkan dengan Australia?
3. Bagaimana pengaruh sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking
terhadap penerimaan pajak?
17
Prastowo, J. dan Budiantoro, S. Maret 2012. Rasio Pajak Rendah, Utang Makin Menumpuk.
Prakarsa Policy Review. No. 2. Hal. 5. 18
Website Detikfinance.
http://finance.detik.com/read/2012/03/15/153359/1868373/4/menyakitkan-ri-banyak-ngutang-dan-
korupsi. 19
Irianto, E. S. 2012. Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Pajak di Indonesia. CV. Aswaja
Pressindo. Yogyakarta. Hal. 17.
8
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dibuat, maka
tujuan dari penelitian ini, yaitu:
1. Mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan jumlah WPOP di
Indonesia, dengan Australia sebagai reason learn.
2. Mengetahui keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rent-
seeking di Indonesia dibandingkan dengan Australia.
3. Mengetahui pengaruh sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking
terhadap penerimaan pajak.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan akan diperoleh dari hasil penelitian ini adalah:
1. Sebagai suatu kasus, isu, metodologi maupun temuan-temuan dari
penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi pemerintah
dalam melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam rangka
meningkatkan penerimaan pajak yang efektif.
2. Sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi kecukupan upaya-upaya
untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan menggunakan
instrumen kebijakan ekstensifikasi Wajib Pajak.
3. Bagi masyarakat umum diharapkan menjadi sebuah wacana untuk
melihat keefektifan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah, dalam
hal ini kebijakan sistem pajak, penyelengaraan demokrasi, dan
fenomena rent-seeking.
4. Diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya
dengan topik penelitian yang serupa, yaitu terkait kebijakan fiskal dan
ekonomi politik.
9
TINJAUAN PUSTAKA
Pajak memiliki peranan yang sangat penting sebagai sumber pendapatan
negara untuk membiayai berbagai pengeluaran negara. Penelitian ini lebih
berkonsentrasi pada analisis upaya meningkatkan penerimaan pajak melalui
instrumen ekstensifikasi Wajib Pajak. Kebijakan publik yang dikeluarkan
pemerintah Indonesia terkait dengan sistem pajak akan dibandingkan dengan
Australia sebagai reason learn. Selanjutnya pembahasan akan lebih diperdalam
dengan analisis ekonomi politik mengenai keterkaitan antara sistem pajak,
demokrasi, dan rent-seeking yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat
penerimaan pajak.
Tinjauan Teori-Teori
Pengertian dan Konsep Pajak
Menurut Soemitro dinyatakan bahwa pajak adalah iuran masyarakat
atau rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi)
yang langsung dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.20
Andriani dalam Soemitro juga menyatakan bahwa pajak adalah iuran
kepada negara (yang dapat dipaksakan) terutama oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang
langsung atau tidak langsung dapat ditunjuk, yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara dalam
penyelenggaraan pemerintahan.21
Menurut Kamus Ekonomi, Uang, dan Bank,
pajak adalah iuran wajib kepada negara berdasarkan undang-undang, untuk
membiayai belanja negara dan sebagai alat untuk mengatur kesejahteraan dan
perekonomian.22
Pengenaan pajak ini dilaksanakan sebagai sumber penerimaan negara
terbesar. Target penerimaan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu ekstensifikasi pajak dan intensifikasi pajak.
Ekstensifikasi pajak dilakukan dengan meningkatkan jumlah pembayar pajak
(Wajib Pajak), sedangkan intensifikasi pajak yaitu meningkatkan nilai pajak itu
sendiri.
Sumber penerimaan pajak didapat dari dua jenis pajak yaitu pajak
langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang harus
ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak bisa dilimpahkan kepada Wajib
Pajak lainnya. Contoh, pajak langsung yaitu Pajak Penghasilan dan Pajak
Bumi dan Bangunan. Pajak ini langsung terkait dengan penghasilan Wajib Pajak
atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Wajib Pajak.23
Pajak tidak langsung adalah
pajak yang bisa dialihkan ke pihak lain. Misalnya, Pajak Pertambahan Nilai
20
Soemitro, R. 1993. Pajak Penghasilan. Eresco. Bandung. Hal. 258. 21
Ibid. Hal. 258. 22
Sahrani, A. dan Wijaya, D. 2003. Kamus Ekonomi, Uang, dan Bank. Restu Agung. Jakarta. Hal.
390. 23
Ralona, M. 2006. Kamus Istilah Ekonomi Populer. Niaga Swadaya. Jakarta. Hal. 220.
10
dan Pajak Penjualan Barang. Sasaran pajak tidak langsung sebenarnya
konsumen, sedangkan pengusaha terkena pajak hanya bertindak sebagai
pemungut pajak.24
Penelitian ini akan menganalisis kebijakan ekstensifikasi Wajib
Pajak Orang Pribadi (WPOP). Kemudian fokus pajak akan dipersempit dengan
hanya melihat dari sumber penerimaan pajak langsung, khususnya Pajak
Penghasilan (PPh).
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumberdaya
dari sektor privat ke sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa
adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya
kemampuan individu dalam menguasai sumberdaya untuk kepentingan
penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan daerah
dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Definisi pajak menurut Undang-Undang Perpajakan No.28 tahun 2007 adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Dari berbagai definisi tentang pajak di atas,
terdapat beberapa aspek dasar, yaitu:
a) Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang,
b) Sifatnya dapat dipaksakan,
c) Tidak ada kontraprestasi yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar
pajak,
d) Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik pemerintah pusat
maupun daerah; dan
e) Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat
umum.
Fungsi Pajak
Nurmantu (2005) menyatakan bahwa pajak memiliki dua fungsi, yaitu
fungsi budgeter dan fungsi reguland.25
Pajak berfungsi budgeter, yaitu untuk
mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang
yang berlaku, kemudian pada waktunya akan digunakan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan, dan bila ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan
pemerintah. Fungsi reguland adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut
digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Sebagai sumber pendapatan negara dan juga pendapatan daerah, pajak
berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara maupun daerah.
Untuk menjalankan tugas-tugas rutin dan melaksanakan pembangunan
membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Pemerintah
mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi
mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya
dalam rangka meningkatkan penanaman modal, diberikan berbagai macam
fasilitas keringanan pajak.
24
Ralona, M. 2006. Kamus Istilah Ekonomi Populer. Niaga Swadaya. Jakarta. Hal. 222. 25
Nurmantu, S. 2005. Pengantar Perpajakan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal. 28.
11
Kedua fungsi pajak di atas merupakan satu kesatuan yang saling
melengkapi, dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Misalnya, walaupun pajak
berfungsi sebagai sumber pendapatan negara dan masyarakat, tetapi harus pula
dipertimbangkan berbagai dampaknya pada masyarakat, baik berupa dampak
sosial, ekonomi, budaya, maupun dampak lainnya, sebaliknya juga demikan.
Apabila fungsi mengatur dari pajak akan dipakai untuk mencapai sasaran di
bidang sosial, ekonomi, budaya, maupun bidang-bidang lainnya, maka perlu
dipertimbangkan pengaruhnya terhadap penerimaan negara dari sektor pajak, di
samping perlu analisis terlebih dahulu terhadap efektifitas penggunaan pajak
untuk mencapai sasaran lain.
Di antara kedua fungsi pajak, fungsi yang utama adalah pajak sebagai
pengisi kas negara, sedangkan fungsi mengatur merupakan fungsi tambahan.
Pajak adalah perpindahan uang dari masyarakat ke kas negara untuk membiayai
pengeluaran umum. Fungsi lainnya berkaitan dengan manfaat dari pungutan
tersebut bagi pemerintah, dalam mewujudkan sasaran pembangunan di bidang
sosial, ekonomi, budaya, maupun bidang-bidang lainnya. Contoh fungsi mengatur
adalah pemberian fasilitas pajak berupa tax holiday bagi badan-badan baru yang
menanam modalnya di bidang produksi yang memperoleh prioritas pemerintah
berdasarkan undang-undang.
Meski demikian, dalam pandangan Burton dan Ilyas (2004) terdapat pula
fungsi lain dari pajak yang saat ini mengemuka, yaitu fungsi demokrasi dan fungsi
redistribusi.26
Fungsi demokrasi menyatakan bahwa pajak merupakan salahsatu
penjelmaan atau wujud sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintahan
dan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat. Sebagai implementasinya,
pajak memiliki konsekuensi untuk memberikan hak timbal balik yang meskipun
tidak diterima langsung, tetapi diberikan kepada warga negara pembayar pajak.
Demikian selanjutnya, hingga pajak akan berfungsi redistribusi, yaitu
mengimplementasikan unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Bila
pajak diterapkan dengan baik maka dapat dipastikan terjadi beberapa dampak
pajak terhadap perekonomian dan berbagai aspeknya.
Secara umum, struktur perekonomian (tanpa pajak) terdiri dari Pendapatan
Nasional, Konsumsi, dan Tabungan. Bila seluruh tabungan digunakan untuk
investasi, maka tidak akan pernah terjadi inflasi maupun deflasi. Tetapi, tidak
semua tabungan digunakan untuk investasi sehingga berakibat pada kelesuan
ekonomi, deflasi, dan pengangguran, atau sebaliknya, jumlah tabungan lebih
rendah dari jumlah investasi, yang berakibat pada kegairan ekonomi dan inflasi.
Gambar 2 menunjukkan hubungan antara tingkat Pendapatan Nasional (Y)
dengan tingkat konsumsi (C) dan tingkat Investasi (I). Pada tingkat Pendapatan
Nasional sebesar 0Y (S=I), perekonomian dalam keadaan seimbang, tidak ada
inflasi maupun deflasi. Pada tingkat pendapatan 0Y1 (S<I) terdapat inflationary
gap. Harga cenderung naik sampai tidak ada perbedaan antara Tabungan dengan
Investasi. Instrumen pajak dapat digunakan untuk menurunkan tingkat inflasi,
yaitu dengan menerapkan pajak atas konsumsi, menggeser kurva C+I ke bawah.
Demikian pula sebaliknya saat harga-harga cenderung turun dimana tingkat
pendapatan 0Y2 (S>I), instrumen pajak digunakan untuk mengurangi pengaruh
deflasi dengan menerapkan pajak atas tabungan.
26
Burton, R. dan Ilyas, W. B. 2004. Hukum Pajak. Salemba Empat. Jakarta. Hal. 9
12
Dengan adanya pajak, pemerintah pusat memiliki dana untuk menjalankan
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga dalam jangka
panjang inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan
mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, serta penggunaan
pajak yang efektif dan efisien. Pajak yang sudah dipungut akan digunakan untuk
membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai
pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya
akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi angka
kemiskinan.
Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Norman D. Nowak dalam Nurmantu (2005), sistem perpajakan
suatu negara terdiri dari tiga unsur, yakni Tax Policy, Tax Law, dan Tax
Administration. Tax Administration selanjutnya dirinci menjadi The Institution
(lembaga), The Persons who work there (para pegawai), dan The Procedure
(prosedur perpajakan).27
Kebijakan perpajakan (Tax policy) adalah kebijakan
mengenai perubahan sistem perpajakan yang sesuai dengan perkembangan, tujuan
ekonomi, politik, dan sosial pemerintah. Dengan adanya kebijakan perpajakan ini,
pemerintah mengharapkan terjadi peningkatan penerimaan daerah dari sektor
pajak, dalam rangka untuk mencapai kemandirian pembiayaan dan
pembangunan.28
Tax law atau hukum pajak yaitu suatu kumpulan peraturan-
peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak
dengan rakyat sebagai pembayar pajak. Produk hukum pajak berupa undang-
undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri keuangan,
dan surat edaran Direktorat Jenderal Pajak.
27
Nurmantu, S. 2005. Pengantar Perpajakan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal. 106. 28
Prakosa, K. B. dan Malian, S. 2003. Pajak dan Retribusi Daerah. UII Press. Yogyakarta. Hal.
64.
Gambar 2 Hubungan Pendapatan Nasional dengan Konsumsi dan Investasi
Sumber: Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. Erlangga. Jakarta. Hal. 61
13
Tax administration bertujuan agar sistem perpajakan yang dipilih suatu
negara dapat dilaksanakan sepenuhnya. Administrasi pajak merupakan unsur yang
langsung berkenaan dengan Wajib Pajak. Sistem administrasi pajak menjadi
sorotan utama setelah ditemukannya berbagai penelitian yang menyebutkan
bahwa begitu banyak kelemahan yang terdapat di dalamnya sehingga banyak
praktek-praktek ilegal yang berlangsung di dalam pemungutannya, baik itu oleh
aparatur pajak maupun pemilik kewajiban yaitu Wajib Pajaknya.
Sistem perpajakan dapat disebut sebagai metode atau cara bagaimana
mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dapat mengalir ke kas
negara. Tjahjono dan Husein (1997) mengemukakan bahwa sistem perpajakan
adalah sebagai berikut:29
a) Official Assesment System
Adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada
pemungut pajak (fiskus) untuk menetukan besarnya pajak yang harus
dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang.
b) Self Assessment System
Adalah susatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh
kepada Wajib Pajak untuk menghitung besarnya pajak yang terutang oleh
Wajib Pajak, sehingga dengan sistem ini Wajib Pajak harus aktif dalam
menghitung, menyetor, dan melapor ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
c) Witholding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga untuk memotong/memungut besarnya pajak yang terutang.
Dasar pijakan sistem perpajakan tersebut adalah asas-asas perpajakan,
yaitu equality, revenue productivity, dan ease of administration. 30
Sebagai dasar
berpijak, sudah seharusnya ketiga asas perpajakan itu dipegang teguh dan dijaga
keseimbangannya agar tercapai sistem perpajakan yang baik. Ketiga asas di atas
dapat dijelaskan sebagai berikut. 31
a) Equality
Asas keadilan mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata. Pajak
dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya
untuk membayar pajak tersebut dan juga sesuai manfaat yang diterimanya
dari negara.
b) Revenue Productivity
Revenue productivity principle merupakan asas yang lebih menyangkut
kepentingan pemerintah sehingga asas ini sering dianggap sebagai asas yang
terpenting oleh pemerintah yang bersangkutan. Asas ini menyatakan bahwa
jumlah pajak yang dipungut hendaklah memadai untuk keperluan
menjalankan roda pemerintahan, tetapi hendaknya dalam implementasinya
tetap harus diperhatikan bahwa jumlah pajak yang dipungut jangan sampai
terlalu tinggi sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi.
29
Tjahjono dan Husein. 1997. Perpajakan. Akademika Manajemen Perusahaan YKPN.
Yogyakarta. Hal. 39. 30
Mansury. 1996. Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia Jilid 3. PT Bina Rena
Pariwara. Jakarta. Hal. 56. 31
Rosdiana, H. dan Tarigan, R. 2005. Perpajakan, Teori dan Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta. Hal. 34.
14
c) Certainty Principle (Ease of Administration)
Asas ease of administration meliputi 4 hal, yaitu certainty, efficiency,
convenience of payment, dan simplicity. Asas kepastian antara lain
mencakup kepastian mengenai pihak-pihak yang harus dikenakan pajak,
objek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harus dibayar, dan bagaimana
cara membayar. Asas kenyamanan menyatakan bahwa saat pembayaran
pajak hendaklah dimungkinkan pada saat yang memudahkan bagi pembayar
pajak. Pemungutan pajak dikatakan efisien jika memiliki cost of compliance
yang rendah. Kemudian dalam menyusun suatu undang-undang perpajakan,
harus diperhatikan juga asas kesederhanaan agar masyarakat awam dapat
memahami undang-undang tersebut.
Asas revenue productivity dengan asas equality apabila dilihat dari
kepentingannya berada dalam titik-titik ekstrim yang berbeda. Revenue
productivity merupakan asas yang terkait dengan kepentingan pemerintah,
sementara asas keadilan sangat terkait dengan kepentingan masyarakat. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa suatu pemungutan pajak dikatakan optimal
apabila dalam pemungutannya terpenuhi asas revenue productiviy dengan tetap
menjaga keadilan dalam pemungutannya. Selain itu asas certainty principle (ease
of administration) pun sangat penting karena prosedur pemungutan pajak yang
rumit dapat menyebabkan Wajib Pajak enggan membayar pajak, dan bagi fiskus
akan menyulitkan dalam mengawasi pelaksanaan kewajiban pajak.
Kepatuhan Pajak
Brooks (2001) menyebutkan bahwa terdapat tiga teori yang terkait dengan
tax compliance, yaitu economic theories, psychological theories, dan sociological
theories.32
Secara garis besar, ekonomi dan psikologi melihat masalah tersebut
dengan fokus perhatian pada aspek individual, sementara sosiologi lebih
menekankan pada sistem sosial di mana individu itu berada. Teori ekonomi
melihat adanya prinsip rasionalitas dan oportunistik yakni usaha untuk
memaksimalkan keuntungan dengan biaya serendah mungkin. Maka, tingkat
kepatuhan pajak berhubungan dengan tingkat keuntungan. Penghindaran pajak,
misalnya, bisa diartikan sebagai cara untuk memperoleh keuntungan sebesar-
besarnya. Selain itu ada sejumlah faktor psikologis terkait dengan tingkat
kepatuhan pajak seseorang. Faktor itu adalah sikap, kecenderungan, kepercayaan,
dan nilai-nilai yang ada dalam diri seseorang. Ini juga terkait dengan moral.
Selanjutnya, semua itu akan berpengaruh pada kebiasaan dan kecenderungan
seseorang melakukan sesuatu, termasuk dalam memenuhi kewajibannya dalam
membayar pajak. Sementara itu, pendekatan sosiologis berfokus pada sistem
sosial dimana individu berada.
Ismawan (2001) mengemukakan prinsip administrasi pajak yang diterima
secara luas menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan
sukarela.33
Kepatuhan sukarela merupakan tulang punggung sistem self
assessment di mana Wajib Pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri
32
Brooks, N. 8 September 2001. Key Issues in Income Tax: Challenges of Tax Administration and
Compliance. Asian Development Bank 2001 Tax Conference.
www.adb.org/Documents/Events/2001/Tax_Conference/tax2001. 33
Ismawan, I. 2001. Memahami Reformasi Perpajakan 2000. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
Hal. 37.
15
kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan
melaporkan pajak tersebut. Kepatuhan sebagai fondasi self assessment dapat
dicapai apabila elemen-elemen kunci telah diterapkan secara efektif. Elemen-
elemen kunci menurut Ismawan (2001) adalah sebagai berikut.34
a. Program pelayanan yang baik kepada Wajib Pajak.
b. Prosedur yang sederhana dan memudahkan Wajib Pajak.
c. Program pemantauan kepatuhan dan verifikasi yang efektif.
d. Pemantapan law enforcement secara tegas dan adil.
Kepatuhan perpajakan yang dikemukakan oleh Norman D. Nowak dalam
Sony (2006), sebagai ‘suatu iklim’ kepatuhan dan kesadaran pemenuhan
kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi sebagai berikut.35
a. Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.
d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
Reformasi Pajak
Reformasi Perpajakan di Indonesia telah dilakukan pertama kali pada
tahun 1983 dimana saat itu terjadi reformasi atau perubahan sistem mendasar atas
pengelolaan perpajakan Indonesia dari sistem Official Assessment ke sistem Self
Assessment. Perubahan sistem ini bertujuan untuk mengurangi kontak langsung
antara Aparat Pajak dengan Wajib Pajak yang sebelumnya dikhawatirkan dapat
menimbulkan praktek-praktek ilegal untuk menghindari atau mengurangi
kewajiban perpajakan para Wajib Pajak yang bersangkutan. Reformasi perpajakan
secara komprehensif sebagai satu kesatuan dilakukan terhadap tiga bidang pokok
yang secara langsung menyentuh pilar perpajakan, yaitu:36
a. Bidang Administrasi, yakni melalui reformasi administrasi perpajakan.
Reformasi perpajakan di bidang administrasi dilakukan oleh Dirjen Pajak
dengan melakukan peningkatan pelayanan perpajakan terhadap Wajib Pajak
yang akan memenuhi kewajibannya. Untuk mewujudkannya diperlukan
kerjasama yang baik antara Wajib Pajak dengan Aparat Pajak. Wajib Pajak
diharapkan untuk selalu memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik
sedangkan Aparat Pajak diharapkan untuk selalu bekerja sesuai dengan
moral dan kode etik perpajakan.
b. Bidang Peraturan, dengan melakukan amandemen terhadap Undang-
Undang Perpajakan.
Dari aspek peraturan perpajakan, Dirjen Pajak terus mengupayakan
pengembangan yuridis formal dan materil perpajakan. Langkah yang
dilakukan yakni melalui penyesuaian dan pembaruan atau amandemen
peraturan dan kebijakan perpajakan sejalan dengan perkembangan yang
terjadi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Reformasi
34
Ismawan, I. 2001. Memahami Reformasi Perpajakan 2000. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
Hal. 38. 35
Sony, D. dan Rahayu, S. K. 2006. Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Prenada Media Group.
Jakarta. Hal. 41. 36
Pandiangan, L. 2008. Modernisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan berdasarkan Ketentuan
Terbaru. Penerbit Elex Media Komputindo. Jakarta. Hal. 96.
16
kebijakan perpajakan ini dilakukan untuk mewujudkan pemungutan pajak
yang lebih efektif dan efisien sejalan dengan perkembangan dunia usaha
sehingga lebih kompetitif.
c. Bidang Pengawasan, dengan membangun bank data perpajakan
nasional.
Di bidang pengawasan dibangun Bank Data Perpajakan Nasional (BPDN)
yang berfungsi untuk menyeimbangkan pelaksanaan sistem self assessment
dengan official assessment dalam penghitungan dan penetapan besarnya
pajak yang terutang. Selain itu, pembangunan BPDN juga bertujuan untuk
melakukan kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan yakni
kegiatan untuk menambah jumlah Wajib Pajak yang terdaftar sebagai upaya
dalam peningkatan penerimaan negara.
Reformasi perpajakan merupakan program pemerintah untuk
meningkatkan kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Reformasi perpajakan
dapat berbentuk reformasi kebijakan pajak dan/atau reformasi administrasi
perpajakan. Reformasi perpajakan adalah perubahan mendasar di segala aspek
perpajakan yang memiliki tiga tujuan utama, yaitu tingkat kepatuhan sukarela
yang tinggi, kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi, dan
produktivitas aparat perpajakan yang tinggi.37
Secara lebih lengkap, suatu sistem penerimaan negara yang mengurusi
masalah pajak perlu direformasi dengan sedikitnya empat alasan utama. Pertama,
ketika hukum dan kebijakan pajak menciptakan potensi peningkatan penerimaan
pajak, jumlah aktual pajak yang mengalir ke kas negara tergantung pada efisiensi
dan efektivitas administrasi penerimaan negara. Kedua, kualitas dari administrasi
penerimaan pajak mempengaruhi iklim investasi dan pengembangan sektor swasta.
Ketiga, administrasi perpajakan secara rutin kerap muncul dalam daftar teratas
organisasi dengan kasus korupsi tertinggi. Keempat, reformasi perpajakan
diperlukan untuk memungkinkan sistem perpajakan mengikuti perkembangan
terbaru dalam aktivitas bisnis dan pola penghindaran pajak yang semakin
canggih.38
Pengertian dan Konsep Demokrasi
Secara etimologis demokrasi terdiri dari dua kata Yunani, yaitu demos yang
berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein atau cratos yang berarti
kekuasaan atau kedaulatan. Demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi)
memiliki arti suatu sistem pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Ada satu
pengertian mengenai demokrasi yang dianggap paling populer diantara pengertian
yang ada. Pengertian tersebut dikemukakan pada tahun 1863 oleh Abraham
Lincoln yang mengatakan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the people).39
Pemerintahan dari rakyat berarti pemerintahan negara itu mendapat mandat dari
rakyat untuk menyelenggarakan perintahan. Pemerintahan oleh rakyat berarti
pemerintahan negara itu dijalankan oleh rakyat. Pemerintahan untuk rakyat berarti
37
Abimanyu, A. 2003. Reformasi Perpajakan. Salemba Empat. Jakarta. Hal. 42. 38
Gill, J. B. S. Januari 2003. The Nuts and Bolts of Revenue Administration Reform. Hal. 5. 39
Lihat Ebestein, W. “Democracy” dalam Helsey, W. D. dan Johnston, B. 1998. Collier’s
Encyclopedia. Macmillan Educational Company. New York. 1998. Vol. VIII. Hal. 75.
17
pemerintahan itu menghasilkan dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang di
arahkan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Salahsatu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga
kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) untuk diwujudkan
dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam
peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis
lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.40
Menurut Eko (2003), konsolidasi demokrasi merupakan proses politik
yang terjadi pada level masyarakat.41
Konsolidasi demokrasi, menurut Laurence
Whitehead dalam Eko (2003), mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen
seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi.42
Demokrasi
terkonsolidasi apabila aktor-aktor politik, partai, kelompok kepentingan, dan
lainnya menganggap bahwa tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk
meraih kekuasaan, dan tidak ada aktor atau kelompok yang mempunyai klaim
veto terhadap tindakan pembuat keputusan yang sudah terpilih secara demokratis.
Hal yang lebih penting yaitu konsolidasi demokrasi mencerminkan kuatnya
demokrasi dalam budaya politik masyarakat. Oleh karena itu Robert Putnam
dalam Eko (2003), menyatakan bahwa penguatan budaya politik demokratis
merupakan kunci utama dalam konsolidasi demokrasi.43
Keterkaitan Pajak dengan Demokrasi
Pajak dilihat dari perspektif politik dapat dimaknai sebagai investasi
politik seorang warga negara kepada negara. Investasi dimaksudkan sebagai
tabungan rakyat dalam rangka membantu negara dalam membiayai proyek-proyek
politiknya, sehingga ada preferensi politik bagi warga negara yang bersangkutan
dalam setiap proses politik yang diselenggarakan pemerintah.44
Artinya,
masyarakat pembayar pajak mempunyai hak suara atau dengan kata lain memiliki
semacam 'otoritas’ untuk mengetahui pengalokasian pajak, terutama berkaitan
dengan penentuan kebijakan negara terutama mengenai pengumpulan,
pengadministrasian, dan pemanfaatan pajak.
Pajak merupakan mekanisme transaksi antara negara dan rakyat dalam
penghimpunan dana untuk kepentingan keuangan negara yang didasarkan pada
peraturan perundang-undangan. Menurut Schenepper's dalam Irianto (2005),
secara teoritik perpajakan rawan konflik karena terdapatnya dua kutub
kepentingan yang berlawanan.45
Kutub pertama adalah kepentingan negara yang
menghendaki penerimaan pajak yang sebesar-besamya dan kutub kedua adalah
kepentingan masyarakat pembayar pajak yang menghendaki untuk tidak
membayar pajak atau membayar pajak yang sekecil-kecilnya. Menurut Irianto
(2005),
40
Lihat Ebestein, W. “Democracy” dalam Helsey, W. D. dan Johnston, B. 1998. Collier’s
Encyclopedia. Macmillan Educational Company. New York. 1998. Vol. VIII. Hal. 75. 41
Eko, S.. 2003. Transisi Demokrasi Indonesia. APMD Press. Jakarta. Hal. 30. 42
Ibid. Hal. 31. 43
Ibid. Hal. 31. 44
Irianto, E. S. dan Jurdi, S.. 2005. Politik Perpajakan: Membangun Demokrasi Negara. UII Press.
Yogyakarta. Hal. 18. 45
Ibid. Hal. 20.
18
“…Demokratisasi dalam pengelolaan pajak adalah pertama, terdapatnya
mekanisme perpajakan yang dapat mengatasi konflik kepentingan antara
Wajib Pajak dan pemerintah; kedua, adanya ruang yang memadai bagi
partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan perpajakan;
ketiga, terdapatnya perundang-undangan perpajakan yang mencerminkan
adanya kesetaraan hukum antara Wajib Pajak dan pemerintah; dan
keempat, terdapatnya perubahan pemusatan kekuasaan dari penguasa
kepada rakyat yang ditandai oleh adanya akses masyarakat terhadap
pengawasan pengelolaan uang pajak...”46
Sudah ada beberapa upaya untuk menegakkan demokrasi dalam sistem
perpajakan nasional, seperti misalnya keluamya peraturan tentang pajak dan
desentralisasi fiskal, dimana publik Wajib Pajak memiliki ruang untuk terlibat
dalam proses pemanfaatan pajak. Jika demokrasi benar-benar ditegakkan, pada
dasarnya pengelolaan konflik dilakukan melalui pemberlakuan peraturan secara
adil, artinya peraturan itu diberlakukan kepada siapa saja tanpa diskriminasi.47
Pengertian dan Konsep Rent-seeking
Adanya praktik lobi dalam politik yang tidak transparan memunculkan
kesempatan bagi aktivitas rent-seeking. Hal ini berkaitan dengan kondisi
demokrasi yang belum mapan, dimana masih terdapat adanya dorongan dan
kekuatan politis yang dimiliki para pelakunya untuk meloloskan peraturan yang
dapat meningkatkan kekayaan mereka.48
Hal ini menyebabkan sistem persaingan
yang sehat tidak tercipta karena tatanan untuk membangun sistem bisnis yang
jujur sengaja tidak diciptakan agar rent-seeking economy activity semakin luas.
Sejak tahun 1967, teori mengenai rent-seeking ini dikembangkan oleh
Tullock, dan istilah ‘rent’ disini berbeda dengan yang dimaksudkan oleh Adam
Smith. Adam Smith membagi penghasilan (income) dalam tiga tipe, laba, upah
dan sewa (profits, wages, and rents). Rents (sewa) adalah tipe termudah yang
dapat diperoleh untuk menjadi penghasilan. Motivasi yang disebut sebagai ‘rent-
seeking’ dalam konteks ini adalah hal yang wajar.49
Pada saat itu konsep rent-seeking tidak dinilai secara negatif sebagai
kegiatan ekonomi yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Perilaku
rent-seeking justru dapat dinilai positif karena dapat memacu kegiatan ekonomi
secara simultan, seperti halnya seseorang yang ingin mendapatkan laba maupun
upah. Kegiatan mencari untung dimaknai netral pada saat itu, karena
individu/kelompok memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi legal
(menyewakan tanah, modal, dan sebagainya). Pendapatan individu yang diperoleh
dari penyewaan setara dengan pendapatan karena menanamkan modal maupun
menjual tenaga dan jasa. Di sisi lain dalam literatur ekonomi politik akhir-akhir
ini konsep rent-seeking dianggap sebagai perilaku negatif. Asumsi yang dibangun
dalam teori ekonomi politik yaitu setiap kelompok kepentingan berupaya untuk
46
Irianto, E. S. dan Jurdi, S. 2005. Politik Perpajakan: Membangun Demokrasi Negara. UII Press.
Yogyakarta. Hal. 21. 47
Santoso, B. R. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Refika Aditama. Bandung. Hal. 126. 48
Rachbini, D. J.1999. Diagnosa Ekonomi dan Kebijakan Publik. PT Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta. Hal.7. 49
Yustika, A. E. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Bayu Media
Publishing. Malang. Hal. 140.
19
mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dengan upaya sekecil-
kecilnya namun dengan cara-cara yang melanggar hukum dan bahkan merugikan
kepentingan publik. Pada titik inilah seluruh sumberdaya yang dimiliki, seperti
lobi, akan ditempuh demi mencapai tujuan tersebut.50
Kegiatan seperti lobi inilah yang dapat memicu timbulnya permasalahan.
Jika hasil dari lobi tersebut berupa kebijakan, maka dampak yang muncul bisa
sangat besar. Menurut Olson dalam Yustika (2006), proses lobi tersebut dapat
berdampak besar karena mengakibatkan proses pengambilan keputusan berjalan
sangat lambat dan ekonomi pada akhirnya tidak bisa merespon secara cepat
terhadap perubahan-perubahan dan teknologi baru. Berdasarkan penjelasan
tersebut maka kegiatan rent-seeking dapat didefinisikan sebagai upaya individual
atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi
pemerintah. Prasad dalam Yustika (2006), mendefinisikan rent-seeking sebagai
proses di mana individu memperoleh pendapatan tanpa secara aktual
meningkatkan produktivitas, atau malah mengurangi produktivitas tersebut.51
Menurut Michael Ross dalam Mauro (1997), rent-seeking dapat dibagi
menjadi:52
a) Rent Creation, dimana perusahaan (firms) mencari keuntungan yang
dibuat oleh negara dengan menyuap politisi dan birokrat.
b) Rent Extraction, dimana politisi dan birokrat mencari keuntungan dari
perusahaan dengan mengancam perusahaan dengan peraturan-
peraturan.
c) Rent Seizing, terjadi ketika aktor-aktor negara atau birokrat berusaha
untuk mendapatkan hak mengalokasikan rent yang dihasilkan dari
institusi-institusi negara untuk kepentingan individunya atau
kelompoknya.
Kasus rent-seeking di Indonesia dapat kita telusuri sejak masa
pemerintahan Orde Baru. Pada saat itu, terdapat persekutuan bisnis besar (yang
menikmati fasilitas monopoli maupun lisensi impor) dengan birokrasi pemerintah.
Dengan fasilitas tersebut, pemilik rent ekonomi memperoleh dua kentungan.
Pertama, mendapatkan laba yang berlebih. Kedua, mencegah pesaing masuk
dalam pasar. Dalam pengertian ini, perilaku rent-seeking dapat diartikan sebagai
pengeluaran sumberdaya untuk mengubah kebijakan ekonomi, atau menelikung
kebijakan tersebut agar dapat menguntungkan pihak rent-seeker. Fenomena dari
rent-seeking ini kemudian berkembang dalam hubungannya dengan monopoli.
Selanjutnya, rent-seeking menjadi bermakna suatu proses dimana seseorang atau
sebuah perusahaan mencari keuntungan melalui manipulasi dari situasi ekonomi
(politik, aturan-aturan, regulasi, tarif, dan sebagainya) daripada melalui
perdagangan.
Krueger dalam Perdana (2009), mengidentifikasi bahwa rent-seeking
behaviour merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh badan pemerintah dengan
melakukan berbagai hambatan (restriksi) melalui regulasi sehingga orang per
50
Yustika, A. E. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Bayu Media
Publishing. Malang. Hal. 141. 51
Ibid. Hal. 143. 52
Mauro, P. 1997. Why Worry About Corruption. Economic Issues. International Monetary Fund.
IMF Publication Services. Washington D. C. Vol. 6. Hal. 3.
20
orang harus bersaing untuk mendapatkan rent tersebut.53
Kadang-kadang bentuk
rent-seeking tersebut legal, tetapi juga dapat dalam bentuk-bentuk lainnya, seperti
penyuapan, korupsi, penyelundupan, dan pasar gelap. Perdana (2006) menyatakan
bahwa,
“…Rent-seeking memiliki terminologi yang luas. Ia mencakup berbagai
jenis kegiatan; legal maupun ilegal, berdampak positif, negatif, maupun
netral...”54
Korupsi adalah bentuk rent-seeking yang ilegal, sementara lobbying secara
umum adalah legal (dalam kondisi tertentu). Legal tidaknya sebuah aktifitas rent-
seeking tidak berkaitan dengan apakah kegiatan itu menimbulkan kerugian bagi
ekonomi. Sebagai contoh lobbying dapat menimbulkan kerugian karena ada
sumberdaya yang hilang, yang mungkin bisa digunakan untuk kegiatan lain yang
lebih produktif.55
Penelitian Terdahulu
a) Siswahyudi (2008) meneliti tentang perbandingan regulasi registrasi Wajib
Pajak Orang Pribadi di Indonesia dan Australia. Dalam penelitian ini dilakukan
perbandingan di bidang kepatuhan pajak antara Indonesia dengan Australia.56
b) Sudibyo (2012) melakukan penelitian tentang reformasi pajak dalam kerangka
reformasi ekonomi politik di Indonesia. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
penegakan disiplin hukum perpajakan, penataan ulang tata pamong perpajakan,
reformasi birokrasi pajak, dan penyederhanaan regulasi pajak akan berdampak
pada meningkatnya ketaatan Wajib Pajak terkait dengan menurunnya rent-
seeking oleh fiskus.57
c) Prakosa (2003) melakukan penelitian mengenai analisis pengaruh kebijakan tax
holiday terhadap perkembangan penanaman modal asing di Indonesia (tahun
1970-1999). Dalam penelitian tersebut ditemukan adanya kegiatan-kegiatan
lobbying untuk mempengaruhi para pembuat undang-undang dan peraturan
serta terutama sekali dapat mempengaruhi para birokrat. Insentif pajak, tarif
khusus yang bersifat protektif, pengelakan tarif, dan berbagai jenis premium di
bidang transaksi internasional dan transaksi lainnya merupakan contoh-contoh
obyek kegiatan lobbying sehingga menimbulkan pergeseran pendapatan secara
drastis untuk keuntungan para rent-seekers.58
d) Saidah (2011) melakukan analisis pengaruh belanja pemerintah daerah
terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal. Penelitian ini bertujuan
mengetahui bagaimana karakteristik dan perkembangan kinerja ekonomi 22
53
Perdana, A. A. 2009. Biaya Ekonomi dari Korupsi: Perspektif Teori dan Empiris dalam Korupsi
Mengorupsi Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal. 118. 54
Ibid. Hal. 118. 55
Ibid. Hal. 119. 56
Siswahyudi. 2008. Analisis Komparasi Regulasi Registrasi Wajib Pajak Orang Pribadi antara
Indonesia dengan Australia [Tesis]. Magister Administrasi Publik UGM. Yogyakarta. Hal. 4. 57
Sudibyo, B. Agustus 2012. Reformasi Pajak dalam Kerangka Reformasi Ekonomi Politik di
Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Manajemen. Vol. 23. No. 2. Hal. 87-103. 58
Prakosa, B. K. Juni 2003. Analisis Pengaruh Kebijakan Tax Holiday terhadap Perkembangan
Penanaman Modal Asing di Indonesia (Tahun 1970-1999). Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 8.
No. 1. Hal. 19-37.
21
kabupaten tertinggal di Pulau Sumatra pada tahun 2007-2009. Metode yang
digunakan adalah analisis data panel pada 22 kabupaten tertinggal melalui
tahap pengujian dengan asumsi klasik, kemudian Uji Chow dan Hausman,
sehingga diperoleh model yang terbaik dengan Random Effect Model EGLS
Weight cross-section SUR. Hasil penelitian menunjukkan bukti bahwa variabel
fungsi belanja pelayanan umum dan lainnya, sebagai proksi dari
konsumsi/belanja pemerintah, mempunyai pengaruh negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah.59
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu:
1) Dalam penelitian ini menitikberatkan pada sistem pajak dari sisi ekonomi
politik sehingga menjadi wacana baru dalam ilmu perpajakan yang selama ini
didominasi oleh kajian-kajian ilmu ekonomi, ilmu hukum, dan ilmu
administrasi.
2) Dalam penelitian ini akan menganalisis faktor-faktor yang dapat meningkatkan
jumlah WPOP di Indonesia, dengan Australia sebagai reason learn. Selain itu,
penelitian ini akan menganalisis hubungan antara sistem pajak, demokrasi, dan
rent-seeking serta pengaruhnya terhadap penerimaan pajak.
Kerangka Pemikiran
Indonesia dan Australia harus bekerja keras membangun tradisi dan
kelembagaan demokrasi di negara masing-masing. Indonesia yang masih berada
dalam masa transisi demokrasi seharusnya dapat lebih banyak belajar dari
Australia sebagai negara maju dengan tradisi demokrasi yang lebih mapan.
Konsolidasi demokrasi di Indonesia masih belum berhasil karena proses
penguatan demokrasi masih terpusat pada struktur elite. Selain itu, belum
berhasilnya reformasi birokrasi juga menjadi penghambat bagi pelaksanaan
agenda demokratisasi. Kondisi politik yang tidak stabil ini akhirnya memberikan
kesempatan bagi munculnya aktivitas rent-seeking. Tidak bisa dipungkiri,
birokrasi yang ada di Indonesia menjadi sumber terjadinya kasus korupsi. Dampak
korupsi dari segi ekonomi adalah memperlambat pertumbuhan ekonomi dari
berbagai sektor, antara lain menurunkan penerimaan pajak.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan self assessment dengan
tujuan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. Menurut data, kuantitas Wajib
Pajak di Indonesia masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Wajib Pajak
Australia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mencari faktor-faktor
yang dapat meningkatkan kuantitas Wajib Pajak di Indonesia, dengan Australia
sebagai reason learn. Faktor-faktor tersebut dilihat dari segi perbedaan kebijakan
registrasi, kedudukan institusi pajak, kebijakan ekstensifikasi, dan kepatuhan
Wajib Pajak. Secara keseluruhan dari kerangka pemikiran di bawah ini dapat
dilihat keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking serta
pengaruhnya terhadap penerimaan pajak. Berikut ini adalah gambar kerangka
pemikiran yang mencerminkan garis besar penelitian ini.
59
Saidah, N. 2011. Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Kabupaten Tertinggal [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal. 3.
22
Gambar 3 Kerangka Pemikiran
23
METODOLOGI PENELITIAN
Pada dasarnya penelitian ilmiah merupakan suatu proses belajar yang
terarah. Peneliti harus bersifat objektif dalam mencari jawaban suatu
permasalahan, dan prosedur yang dilakukannya harus jelas, sistematis, dan
terkontrol. Secara umum, metodologi penelitian dapat didefinisikan sebagai suatu
ilmu atau studi mengenai sistem atau tata cara untuk melaksanakan penelitian. Hal
yang dibahas adalah metode-metode ilmiah untuk melaksanakan kegiatan
penelitian.60
Penelitian adalah suatu kegiatan atau proses sistematis untuk
memecahkan masalah yang dilakukan dengan menerapkan metode ilmiah.61
Oleh
karena itu metodologi penelitian adalah ilmu yang membahas tentang suatu
kegiatan yang dilakukan untuk memecahkan masalah ataupun sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode-metode ilmiah.
Wilayah Penelitian
Reformasi perpajakan di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada tahun
1983, lalu reformasi kedua pada tahun 1994, lalu reformasi ketiga pada tahun
2000, dan reformasi keempat pada tahun 2007. Waktu amatan penelitian ini yaitu
dimulai dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 karena tidak didapatnya data
yang lengkap sebelum tahun 2008 dan setelah tahun 2011. Penelitian ini
mengambil studi wilayah pada tingkatan nasional yaitu Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan unit pembanding negara Australia. Negara Australia dipilih
dengan alasan: (i) merupakan negara tetangga sekaligus sesama anggota G-20; (ii)
rasio jumlah WPOP Terdaftar dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja
mencapai 167,1 persen (Tabel 3); (iii) sumber data tersedia di internet dalam
bahasa Inggris maupun Indonesia.
Untuk menggunakan analisis ekonometrika dibutuhkan lebih banyak
jumlah negara yang akan dianalisis, sehingga dipilihlah negara-negara G-20.
Negara-negara G-20 dipilih karena merupakan kelompok 19 negara dengan
perekonomian besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa. Karena faktor
kelengkapan data, maka analisis hanya dilakukan pada 15 negara G-20, yaitu
Afrika Selatan, Amerika Serikat, Australia, Brasil, Britania Raya, India, Indonesia,
Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Perancis, Rusia, dan Turki. Data
mengenai negara-negara G-20 dapat dilihat pada Lampiran 1.
Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini merupakan data sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung baik dari buku
literatur, arsip-arsip, dan dokumen-dokumen yang dimiliki oleh instansi
bersangkutan atau media lain. Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia
sehingga peneliti tinggal mencari dan mengumpulkan data.62
Dalam penelitian ini
60
Juanda, B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB PRESS. Bogor. Hal. 24. 61
Emzir. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Raja Grafindo Persada. Hal. 3. 62
Nariwati, U. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Teori dan Aplikasi. Agung
Media. Bandung. Hal. 14.
24
data yang digunakan diantaranya berupa penerimaan pajak, Indeks Demokrasi,
Rangking Kemudahan Membayar Pajak, dan Indeks International Country Risk
Guide (ICRG) pada tahun 2008 sampai tahun 2011.
Metode Analisis Data
Dalam menganalisis faktor-faktor yang dapat meningkatkan jumlah
WPOP di Indonesia, dengan Australia sebagai reason learn, serta untuk
mengetahui keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking di
Indonesia dibandingkan dengan Australia dilakukan melalui analisis deskriptif
kualitatif. Untuk mengetahui pengaruh sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking
terhadap penerimaan pajak dilakukan melalui analisis ekonometrika yakni analisis
data panel.
Analisis Deskriptif Kualitatif
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif yaitu untuk
mengetahui atau menggambarkan kenyataan dari kejadian yang diteliti sehingga
memudahkan untuk mendapatkan data yang objektif. Tujuan penelitian melalui
pendekatan kualitatif yaitu untuk memahami fenomena apa yang dialami oleh
subjek penelitian, perilaku, motivasi, tindakan, dan lain-lain.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan mengungkapkan suatu masalah atau
keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat mengungkapkan
fakta dan memberikan gambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari
objek yang diteliti. Penelitian ini berusaha menguraikan keadaan sistem pajak
Indonesia dan keterkaitannya dengan kondisi demokrasi saat ini. Selanjutnya
pembahasan diperdalam dengan mengungkapkan rent-seeking di Indonesia dan
Australia.
Analisis Data Panel
Hal yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah pengaruh sistem pajak,
demokrasi, dan rent-seeking terhadap penerimaan pajak di negara-negara G-20,
termasuk di dalamnya Indonesia dan Australia. Pendekatan yang dilakukan untuk
mengestimasi model ini adalah pendekatan ekonometrika dengan metode analisis
data panel (pooled data). Menurut Gujarati (2004), data panel (pooled data) atau
yang disebut juga data longitudinal merupakan gabungan antara data cross section
dan data time series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu
waktu terhadap banyak individu, sedangkan data time series merupakan data yang
dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Metode data panel
merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang
tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time series atau cross
section.63
Estimasi model menggunakan data panel dapat dilakukan dengan tiga
metode, yaitu metode kuadrat terkecil (pooled least square), metode efek tetap
(fixed effect) dan metode efek random (random effect). Untuk menguji kesesuaian
63
Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Sumarno Zai [penerjemah]. Erlangga. Jakarta. Hal. 78-
99.
25
atau kebaikan model dari tiga metode pada teknik estimasi data panel digunakan
Chow Test dan Hausmann Test. Chow Test digunakan untuk menguji kesesuaian
model antara model yang diperoleh dari pooled least square dan model yang
diperoleh dari metode fixed effect. Selanjutnya dilakukan Hausmann Test terhadap
model terbaik yang diperoleh dari hasil Chow Test dengan model yang diperoleh
dari metode random effect. Untuk menghasilkan model yang efisien dan
konsisten, perlu evaluasi berdasarkan kriteria ekonomi apakah hasil estimasi
terhadap model regresi tidak terjadi masalah heteroskedastisitas, multikolinearitas,
dan autokorelasi. Selain itu, juga perlu dilihat seberapa baik model dalam
mengestimasi, berdasarkan nilai koefisien determinasi.64
Perumusan model penelitian hubungan antara variabel sistem pajak,
demokrasi, dan rent-seeking terhadap penerimaan pajak didasarkan pada alur
hubungan yang dijelaskan pada tinjauan pustaka dan tergambar pada Gambar 3.
Berdasarkan penelitian dan kerangka pemikiran sebelumnya, maka analisis data
dibatasi pada empat variabel, yaitu variabel penerimaan pajak (TAXREVit),
sistem pajak (TAXRANKit), demokrasi (DEMOCRit), dan rent-seeking (ICRGit).
Adapun data yang diperoleh pada variabel-variabel tersebut berbeda satuan
sehingga di-logaritmanatural-kan. Secara ekonometrika, hubungan antara variabel
sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking terhadap penerimaan pajak dapat
dianalisis dengan menggunakan persamaan berikut ini:
)()()ln( 321 itititit ICRGDEMOCRTAXRANKTAXREV
Dimana: = intercept
3,2,1 = konstanta masing-masing variabel bebas
= error term/derajat kesalahan model
i = data cross section, yaitu 15 negara anggota G-20
t = tahun penelitian, yaitu dari tahun 2008 sampai 2011
TAXREVit = Penerimaan Pajak (persen)
TAXRANKit = Sistem Pajak (indeks)
DEMOCRit = Demokrasi (persen)
ICRGit = Ketidakadaan Rent-seeking (persen).
Definisi Operasional
a) TAXREVit
Penerimaaan pajak yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil
persentase dengan Produk Domestik Bruto menurut Index of Economic Freedom
yang diterbitkan oleh Heritage Foundation. Hal ini agar data penerimaan pajak
dari berbagai negara dapat dibandingkan dengan setara.
b) TAXRANKit
Sesuai dengan tinjauan pustaka, sistem pajak yang dimaksud di dalam
penelitian ini yaitu sistem pemungutan pajak. Sistem pemungutan pajak tersebut
dalam penelitian ini dilihat dari aspek kebijakan registrasi, kedudukan institusi
pajak, kebijakan ekstensifikasi, dan kepatuhan Wajib Pajak. Sistem pemungutan
pajak ini diukur secara kuantitatif melalui Rangking Kemudahan Membayar Pajak
(Paying Taxes). Ranking ini ditentukan oleh faktor jumlah pembayaran pajak,
64
Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Sumarno Zai [penerjemah]. Erlangga. Jakarta. Hal. 78-
99.
26
waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi kewajiban perpajakan, dan total tarif
pajak. Faktor jumlah pembayaran pajak terdiri dari faktor pembayaran pajak
keuntungan, tenaga kerja, dan lain-lain. Faktor waktu yang dibutuhkan untuk
memenuhi kewajiban perpajakan terdiri dari faktor waktu dari pajak pendapatan
badan, tenaga kerja, dan konsumsi. Faktor tarif pajak terdiri dari faktor total tarif
pajak keuntungan, tenaga kerja, dan lain-lain.65
c) DEMOCRit
Demokrasi diukur secara kuantitatif melalui Indeks Demokrasi. Indeks
Demokrasi diterbitkan oleh The Economist Intelligence Unit ditentukan
berdasarkan lima kategori, yaitu proses pemilihan dan keberagaman, kebebasan
sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik. Negara-negara
tersebut dipisahkan berdasarkan empat tipe rezim yaitu full democracies, flawed
democracies, hybrid regimes, dan authoritarian regimes.66
d) ICRGit
Indeks International Country Risk Guide (ICRG) sering dipakai dalam
berbagai penelitian untuk dapat mendeskripsikan keadaan rent-seeking di berbagai
negara secara kuantitatif.67
Indeks ini ditentukan dengan menggunakan indikator
Suara dan Akuntabilitas, Stabilitas Politik dan Ketidakadaan Kekerasan,
Efektivitas Pemerintahan, Kualitas Peraturan, Peraturan Hukum, dan Kontrol
terhadap Korupsi. Semakin tinggi indeks ICRG maka semakin rendah keberadaan
rent-seeking di negara tersebut.
65
PwC dan The World Bank/IFC. 2013. Paying Taxes 2013: The Global Picture. Hal 161. 66
Economist Intelligence Unit. 2011. Democracy Index 2010: Democracy in Retreat.. Hal 43. 67
Angelopoulos, K. 2008. Fiscal Policy, Rent-seeking, and Growth under Electoral Uncertainty
Theory and Evidence from the OECD. University of Glasgow. United Kingdom. Hal. 21.
27
GAMBARAN UMUM
Penelitian ini membahas keadaan sistem pajak, demokrasi, dan rent-
seeking di Indonesia dan Australia. Sesuai dengan fokus penelitian ini dalam
perspektif ekonomi politik oleh karena itu, berikut ini akan dibahas gambaran
umum mengenai negara Indonesia dan Australia dilihat dari kondisi geografis,
ekonomi, serta politik dan pemerintahan di masing-masing negara.
Republik Indonesia
Republik Indonesia adalah negara yang berada di Asia Tenggara dan juga
dilintasi oleh garis khatulistiwa. Pernyataan secara resmi tentang negara Indonesia
sebagai negara hukum terdapat di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A
mengamanatkan bahwa negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah
negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan
hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Indonesia merupakan negara
demokrasi yang dalam pemerintahannya menganut sistem presidensiil, dan
Pancasila merupakan dasar dari demokrasi tersebut. Dasar negara ini, dinyatakan
oleh Presiden Soekarno (Presiden Indonesia yang pertama) dalam Proklamasi
Kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kondisi Geografis
Indonesia merupakan negara Kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari
17.508 pulau, sehingga Indonesia juga disebut sebagai Nusantara. Indonesia
memiliki luas daratan 1.922.570 km² dan luas perairan 3.257.483 km². Lima pulau
besar yang terdapat di Indonesia yaitu Sumatera dengan luas 473.606 km2, Jawa
dengan luas 132.107 km2, Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia) dengan luas
539.460 km2, Sulawesi dengan luas 189.216 km
2, dan Papua dengan luas 421.981
km2. Selain memiliki populasi padat dan wilayah yang luas, Indonesia memiliki
wilayah alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di
dunia. Semua itu menunjukkan betapa besar potensi Indonesia yang memiliki
kekayaan alam yang luar biasa. Indonesia terletak di garis khatulistiwa
mempunyai iklim tropis.
Perekonomian
Gambar 4 menunjukkan Produk Domestik Regional Bruto per kapita
provinsi-provinsi Indonesia pada tahun 2008 atas dasar harga berlaku. PDRB per
kapita provinsi Kalimantan Timur mencapai Rp 100 juta sedangkan PDRB per
kapita Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur kurang dari Rp 5 juta.
Hal ini mencerminkan adanya ketimpangan pendapatan yang cukup besar di
Indonesia. Pada masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia tidak seutuhnya
mengadaptasi sistem ekonomi kapitalis, namun memadukannya dengan
nasionalisme ekonomi. Pemerintah yang belum berpengalaman, masih ikut
campur tangan ke dalam beberapa kegiatan produksi yang berpengaruh bagi
28
masyarakat banyak. Hal tersebut, ditambah pula kemelut politik, mengakibatkan
terjadinya ketidakstabilan pada ekonomi negara. 68
Pemerintahaan Orde Baru segera menerapkan disiplin ekonomi yang
bertujuan menekan inflasi, menstabilkan mata uang, penjadwalan ulang hutang
luar negeri, dan berusaha menarik bantuan dan investasi asing.69
Pada era tahun
1970-an harga minyak bumi yang meningkat menyebabkan melonjaknya nilai
ekspor, dan memicu tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata yang tinggi sebesar 7
persen antara tahun 1968 sampai 1981.70
Reformasi ekonomi lebih lanjut
menjelang akhir tahun 1980-an, antara lain berupa deregulasi sektor keuangan dan
pelemahan nilai rupiah yang terkendali,71
selanjutnya mengalirkan investasi asing
ke Indonesia khususnya pada industri-industri berorientasi ekspor antara tahun
1989 sampai 1997.72
Ekonomi Indonesia mengalami kemunduran pada akhir
tahun 1990-an akibat krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Asia pada saat
itu,73
yang disertai pula berakhirnya masa Orde Baru dengan pengunduran diri
Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998.
Saat ini ekonomi Indonesia telah cukup stabil. Pertumbuhan PDB Indonesia
tahun 2004 dan 2005 melebihi 5 persen.74
Namun demikian, dampak pertumbuhan
itu belum cukup besar dalam memengaruhi tingkat pengangguran, yaitu sebesar
9,75 persen.75
Tahun 2006, sebanyak 17,8 persen masyarakat hidup di bawah garis
68
Schwarz, A. 1994. A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press. Hal. 52. 69
Ibid. Hal. 53. 70
Ibid. Hal. 55. 71
Ibid. Hal. 57. 72
Indonesia: Country Brief. Indonesia: Key Development Data & Statistics. Hal. 34. 73
Bank Dunia. 2006. Poverty in Indonesia: Always with them. The Economist. Hal. 49. 74
The Economist. 2006. Indonesia: Forecast. Country Briefings. Hal. 13. 75
Badan Pusat Statistik Indonesia. 2008. Beberapa Indikator Penting Mengenai Indonesia (PDF)
(dalam Bahasa Indonesia). Hal. 5.
██ Lebih dari Rp.100 juta
██ Rp.50 juta ++ - Rp.100 juta
██ Rp.40 juta ++ - Rp.50 juta
██ Rp.30 juta ++ - Rp.40 juta
██ Rp.20 juta ++ - Rp.30 juta
██ Rp.10 juta ++ - Rp.20 juta
██ Rp.5 juta ++ - Rp.10 juta
██ Kurang dari Rp.5 juta
Gambar 4 PDRB per Kapita Provinsi-Provinsi di Indonesia Tahun 2008 atas
Dasar Harga Berlaku
Sumber: Badan Pusat Statistik. 2009. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-
Ekonomi Indonesia Oktober 2009. BPS. Jakarta. Hal. 134.
29
kemiskinan, dan terdapat 49,0 persen masyarakat yang hidup dengan penghasilan
kurang dari US$ 2 per hari.76
Indonesia mempunyai sumberdaya alam yang besar di luar Jawa, termasuk
minyak mentah, gas alam, timah, tembaga, dan emas. Indonesia pengekspor gas
alam terbesar kedua di dunia, meski akhir-akhir ini telah mulai menjadi
pengimpor bersih minyak mentah. Hasil pertanian yang utama termasuk beras,
teh, kopi, rempah-rempah, dan karet.77
Sektor jasa adalah penyumbang terbesar
PDB, yang mencapai 45,3 persen untuk PDB 2005. Sektor industri menyumbang
40,7 persen, dan sektor pertanian menyumbang 14,0 persen.78
Meskipun
demikian, sektor pertanian mempekerjakan lebih banyak orang daripada sektor-
sektor lainnya, yaitu 44,3 persen dari 95 juta orang tenaga kerja. Sektor jasa
mempekerjakan 36,9 persen, dan sisanya sektor industri sebesar 18,8 persen.79
Rekan perdagangan terbesar Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat, dan
negara-negara tetangga yaitu Malaysia, Singapura dan Australia.
Politik dan Pemerintahan
Bentuk Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik atau lebih dikenal dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pernyataan ini tertuang di UUD 45 pasal 1. Indonesia sudah beberapa kali
mengalami perubahan bentuk negara yaitu bentuk negara Federal, Kesatuan atau
sistem pemerintahan yang parlementer, Semi-Presidensil, dan Presidensil.
Menurut pidato Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono
pada tanggal 17 Agustus 2007 dikatakan bahwa bentuk negara Indonesia yang
paling tepat adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Empat pilar
utama yang menjadi nilai dan konsensus dasar yang selama ini menopang
tegaknya Republik Indonesia adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Indonesia menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai
yang demokratis. Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik
di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif
dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari dua badan yaitu DPR
yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD yang
anggota-anggotanya mewakili provinsi yang ada di Indonesia. Setiap daerah
diwakili oleh 4 orang yang dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya masing-
masing.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga tertinggi negara.
Setelah amandemen ke-4, MPR bukanlah lembaga tertinggi lagi. Keanggotaan
MPR berubah setelah Amandemen UUD 1945 pada periode 1999-2004. Seluruh
anggota MPR adalah anggota DPR, ditambah dengan anggota DPD (Dewan
Perwakilan Daerah).80
Anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilu dan
76
Bank Dunia. Making the New Indonesia Work for the Poor - Overview (PDF). Hal. 17. 77
Indonesia - The World Factbook. Hal. 46. 78
Economic and Social Commission for Asia & the Pacific. 2004. Official Statistics and its
Development in Indonesia (PDF). Sub Committee on Statistics: First Session. Hal. 19. 79
Bank Dunia. Indonesia at a Glance (PDF). Indonesia Development Indicators and Data. Hal. 30. 80
Portal Nasional RI. Politik dan Pemerintahan. http://www.indonesia.go.id/in/sekilas-
indonesia/politik-dan-pemerintahan
30
dilantik dalam masa jabatan lima tahun. Sejak 2004, MPR adalah sebuah
parlemen bikameral, setelah terciptanya DPD sebagai kamar kedua. Sebelumnya,
anggota MPR adalah seluruh anggota DPR ditambah utusan golongan. MPR saat
ini diketuai oleh Sidarto Danusubroto. Anggota MPR saat terdiri dari 550 anggota
DPR dan 128 anggota DPD. DPR saat ini diketuai oleh Marzuki Alie, sedangkan
DPD saat ini diketuai oleh Irman Gusman.
Lembaga eksekutif berpusat pada presiden, wakil presiden, dan kabinet.
Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensial sehingga para menteri
bertanggung jawab kepada presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di
parlemen. Meskipun demikian, Presiden saat ini yang diusung oleh Partai
Demokrat juga menunjuk sejumlah pemimpin Partai Politik untuk duduk di
kabinetnya. Tujuannya untuk menjaga stabilitas pemerintahan mengingat kuatnya
posisi lembaga legislatif di Indonesia. Pos-pos penting dan strategis umumnya
diisi oleh Menteri tanpa portofolio partai (berasal dari seseorang yang dianggap
ahli dalam bidangnya). Lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya
amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan
Mahkamah Konstitusi, termasuk pengaturan administrasi para hakim. Meskipun
demikian keberadaan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tetap
dipertahankan.
Negara Persemakmuran Australia (Commonwealth of Australia)
Negara Persemakmuran Australia atau Commonwealth of Australia adalah
benua dengan luas 7,74 juta kilometer2, yang terdiri dari satu negara serta
merupakan pulau terbesar dan sekaligus benua terkecil di dunia. Benua Australia
pertama kali ditemukan oleh para pelaut Eropa yang dipimpin oleh James Cook
pada abad ke-18, para pendatang yang mayoritas berasal dari Inggris dan Irlandia
ini membentuk koloni-koloni di tengah penduduk asli Aborigin di benua
Australia. Pada tanggal 1 Januari 1901, koloni-koloni tersebut bersatu dalam
sebuah Federasi, dan terbentuklah Negara Persemakmuran Australia
(Commonwealth of Australia) dengan ibukota Canberra yang terletak di
Australian Capital Territory, sedangkan kota terbesar dan tertua adalah Sydney,
ibukota negara bagian New South Wales.
Selama satu abad sejak Federasi Australia terbentuk, Australia hampir
selalu terperangkap dalam perdebatan panjang tentang jati diri yang bermuara
pada persoalan sejarah dan geografisnya. Pada satu sisi, Australia melihat dirinya
sebagai bangsa keturunan Anglo Saxon yang memiliki keterikatan sejarah, bahasa,
sosial-budaya, ekonomi, dan emosi kepada Inggris dan Amerika Serikat. Di sisi
lain, Australia merupakan sebuah negara benua yang secara geografis terletak di
Asia. Faktor sejarah dan geografis ini pada kenyataan telah mempengaruhi cara
pandang Australia.
Kondisi Geografis
Benua Australia membentang dari garis lintang 10o 41'LS sampai garis
lintang 43o 39'LS dan dari garis bujur 113
o 09'BT sampai 153
o 39'B. Australia
secara garis besar terdiri dari enam negara bagian dan dua wilayah. Keenam
negara bagian tersebut adalah New South Wales, Victoria, Queensland, Australia
31
Barat, Australia Selatan dan Tasmania. Kedua wilayah tersebut adalah wilayah
Australia Utara, dan wilayah ibukota Australia. Australia terletak di belahan bumi
bagian selatan antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Australia juga
memiliki garis pantai sepanjang 36.735 km dan saling berbagi lautan dengan
tetangga-tetangganya yang terdekat, yakni Indonesia dan Papua Nugini. Australia
terletak di sebelah tenggara Indonesia. Pada titik batasnya yang terdekat, Australia
dan Indonesia hanya terpisah beberapa kilometer saja.
Perekonomian
Australia menganut sistem ekonomi pasar dengan PDB per kapita yang
tinggi dan angka kemiskinan yang rendah. Dolar Australia adalah satuan mata
uang negara ini, termasuk pula Pulau Natal, Kepulauan Cocos (Keeling), dan
Pulau Norfolk, juga negara-negara kepulauan Pasifik yang merdeka, yakni
Kiribati, Nauru, dan Tuvalu. Setelah penggabungan Australian Stock Exchange
(Bursa Efek Australia) dan Sydney Futures Exchange pada tahun 2006, kini Bursa
Efek Australia menjadi bursa saham terbesar ke-9 di dunia.81
Menempati peringkat ketiga dalam Indeks Kebebasan Ekonomi pada tahun
2010,82
ekonomi Australia menjadi terbesar ke-13 di dunia dan memiliki PDB per
kapita terbesar ke-9 di dunia, lebih tinggi daripada Britania Raya, Jerman,
Perancis, Kanada, Jepang, dan Amerika Serikat. Negara ini menduduki peringkat
kedua dalam Indeks Pembangunan Manusia PBB Tahun 2010 dan menduduki
peringkat pertama dalam hal Indeks Kemakmuran yang diterbitkan oleh Legatum
pada tahun 2008.83
Penguatan ekspor komoditas, terutama barang-barang manufaktur telah
mendukung kenaikan signifikan rasio perdagangan Australia sejak awal abad ini,
81
Bursa Efek Australia (PDF). Penyusunan Ulang Bursa Saham Internasional dan Tren yang
Berkaitan dalam Pengaturan-Sendiri. Hal. 21. 82
Australia. 2010. Indeks Kebebasan Ekonomi Tahun 2010. Hal.4. 83
Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2010. Laporan Pembangunan Manusia - tabel. Hal. 9.
Gambar 5 Peta Benua Australia
Sumber: Diunduh dari situs resmi Pemerintah Australia.
http://www.dfat.gov.au/aii/publications/pengantar/index.html
32
karena naiknya harga komoditas. Australia memiliki neraca pembayaran yang
negatif lebih dari 7 persen dari PDB, defisit current account ini telah terjadi
selama lebih daripada 50 tahun.84
Rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan
Australia adalah sebesar 3,6 persen selama 15 tahun, pembandingnya adalah rata-
rata tahunan OECD sebesar 2,5 persen.85
Pada 1980-an, Partai Buruh, dipimpin oleh Perdana Menteri Bob Hawke
dan Bendahara Paul Keating, memulai proses modernisasi ekonomi Australia
dengan mengambangkan dolar Australia pada 1983, dan mengatur sistem
keuangan.86
Sejak 1996, pemerintahan Howard telah melanjutkan proses
reformasi ekonomi mikro, termasuk deregulasi sebagian dari pasar tenaga kerja
dan swastanisasi BUMN, terutama industri telekomunikasi. Reformasi dalam
sistem pajak tidak langsung dilakukan pada Juli 2000 dengan diperkenalkannya
pajak barang dan jasa (goods and service tax/GST) sebesar 10 persen yang sedikit
mengurangi ketergantungan terhadap pajak pemasukan orang pribadi dan badan,
yang melambangkan sistem pajak Australia.87
Ekonomi Australia tidak mengalami resesi sejak awal 1990-an. Pada Juli
2005, pengangguran masih dalam kisaran 5 persen. Sektor jasa, termasuk
pariwisata, pendidikan, dan jasa finansial membentuk 69 persen dari PDB.
Pertanian dan sumberdaya alam hanya membentuk 3 persen dan 5 persen dari
PDB, tapi cukup banyak membantu dalam ekspor Australia. Pasar ekspor terbesar
Australia ialah Jepang, Cina, AS, Korea Selatan, dan Selandia Baru. Masalah
yang masih menjadi perhatian para ekonom yaitu adanya defisit anggaran (current
account deficit) dan juga tingkat hutang luar negeri bersih (net foregin debt) yang
tinggi.
Politik dan Pemerintahan
Australia memiliki monarki konstitusional dengan pembagian kekuasaan
federatif. Pemerintah Australia juga menganut sistem parlementer dengan Ratu
Elizabeth II sebagai puncak kepemimpinannya, yakni sebagai Ratu Australia,
suatu peran yang berbeda dengan kedudukannya sebagai ratu bagi Dunia
Persemakmuran lainnya. Ratu menetap di Britania Raya, dan ia diwakili oleh
utusan yang menetap di Australia, (Gubernur Jenderal pada level federal dan oleh
Gubernur pada level negara bagian), yang menurut konvensi bertindak menurut
nasehat menteri-menterinya. Otoritas eksekutif tertinggi berada pada Konstitusi
Australia, tetapi kekuasaan untuk menjalankannya diserahkan (menurut
konstitusi) kepada Gubernur Jenderal.88
Pelaksanaan kekuasaan cadangan
Gubernur Jenderal di luar permintaan Perdana Menteri adalah pembubaran
Pemerintah Whitlam ketika terjadi krisis konstitusional 1975.89
Terdapat tiga cabang pemerintahan di Australia, yaitu legislatur, eksekutif,
dan judisial. Legislatur yaitu Parlemen Australia yang terdiri dari Gubernur-
84
The Economist. Mungkinkah ekonomi Australia berbalik menjadi lebih baik? Hal. 5. 85
Ibid. Hal. 5. 86
Macfarlane, I. J. October 1998. Kebijakan Moneter Australia pada Seperempat Terakhir Abad
ke-20 (PDF). Buletin Bank Sentral Australia. Hal. 18. 87
Parham, D. 1 October 2002. Reformasi ekonomi mikro dan kebangkitan pertumbuhan ekonomi
Australia dalam hal produktivitas dan standar kehidupan (PDF). Conference of Economists
Adelaide. Hal. 17. 88
Gubernur Jenderal Australia. 2008. Peran Gubernur Jenderal. Hal. 29. 89
Downing, S. 1998. Kekuasaan Cadangan Gubernur Jenderal. Parlemen Australia. Hal. 14.
33
Jenderal, Senat, dan Dewan Perwakilan. Eksekutif yaitu Dewan Eksekutif Federal,
praktisnya adalah Gubernur-Jenderal yang dinasehati oleh Perdana Menteri dan
Menteri-Menteri Negara.90
Judisial yaitu Mahkamah Agung Australia dan
pengadilan-pengadilan federal lainnya, yang para hakimnya diangkat oleh
Gubernur-Jenderal berdasarkan nasehat Dewan.
Ada dua kelompok politik utama yang membentuk pemerintahan, di level
federal maupun negara bagian yaitu Partai Buruh Australia, dan Koalisi yang
merupakan pengelompokan resmi Partai Liberal Australia dan mitra kecilnya,
Partai Nasional Australia.91
Anggota-anggota independen dan beberapa partai
kecil, termasuk di antaranya Partai Hijau Australia dan Partai Demokrat Australia,
memiliki wakilnya di parlemen Australia, terutama di majelis tinggi.
90
Central Intelligence Agency. 2009. The World Factbook 2009. Washington D.C. Hal 54. 91
Australian Broadcasting Corporation. Daftar Istilah Pemilihan Umum. Hal. 27.
34
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab sebelumnya telah diuraikan gambaran umum mengenai negara
Indonesia dan Australia dengan fokus pada kondisi geografis, perekonomian, dan
politik dan pemerintahan. Pada bab ini akan mempelajari sistem pajak di Australia
sehingga didapatkan faktor-faktor yang dapat meningkatkan jumlah Wajib Pajak
Orang Pribadi (WPOP) di Indonesia. Setelah itu diperdalam dengan melihat
keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking serta pengaruhnya
terhadap penerimaan pajak.
Faktor-Faktor yang Dapat Meningkatkan Jumlah WPOP di Indonesia,
dengan Australia sebagai Reason Learn
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, faktor-faktor yang dapat
meningkatkan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) di Indonesia dapat
dilihat melalui berbagai macam aspek. Dalam penelitian ini dibatasi menurut tiga
aspek saja, yaitu kebijakan registrasi, kedudukan institusi pajak, dan kebijakan
ekstensifikasi Wajib Pajak. Ketiga aspek tersebut akan dipelajari dari Australia
yang telah memiliki sistem pajak yang baik, sekaligus sebagai bahan
pembelajaran bagi perbaikan sistem pajak di Indonesia.
Kebijakan Registrasi
Perpajakan di Australia berbasis individual-based taxation principle, yaitu
kewajiban perpajakan diberlakukan pada setiap orang. Faktor ini turut
mempengaruhi tingginya jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi Terdaftar di
Australia. Indonesia menganut family-based taxation principle, yaitu kewajiban
pajak orang pribadi dipenuhi oleh kepala keluarga. Pada negara maju anggota
OECD terjadi kecenderungan perubahan sistem perpajakan menjadi berbasis
individu kecuali Perancis.92
Bagi Wajib Pajak di Australia yang tidak bisa menunjukkan TFN miliknya
pada pemberi penghasilan (majikan/lembaga keuangan) akan dipotong
penghasilannya dengan tarif tertinggi (46,5 persen), bukan tarif yang berlaku
normal. Hal ini memaksa penduduk Australia untuk memiliki TFN. Bila dilihat
dari sisi prosedur pendaftaran, NPWP relatif lebih mudah dibandingkan
pendaftaran TFN. Hal ini bisa dilihat bahwa pendaftaran untuk memperoleh
NPWP bagi Wajib Pajak di Indonesia bisa dilakukan secara online melalui
internet, kartu NPWP diselesaikan dalam jangka waktu hari kerja berikutnya, dan
bukti identitas cukup fotokopi saja.
Dari sisi bentuk formulir pendaftaran NPWP, Indonesia menganut konsep
one for all, yaitu formulir KP.PDIP.4.1-00 digunakan untuk pendaftaran semua
jenis Wajib Pajak (baik Orang Pribadi, Badan, maupun Bendaharawan). Informasi
yang ditanyakan kepada Wajib Pajak merupakan informasi yang bersifat umum,
bahkan informasi tersebut sebenarnya bisa diperoleh dengan cara menyalin data
KTP. Tidak ada pertanyaan yang bersifat menggali (eksplorasi) tentang latar
92
Zee, H.H. 2005. Personal Income Tax Reform: Concepts, Issues, and Comparative Country
Development. Hal. 49.
35
belakang Wajib Pajak. Hal ini berbeda dengan bentuk formulir yang digunakn
untuk pendaftaran TFN. Di Australia digunakan bentuk formulir pendaftaran TFN
yang berbeda-beda dengan pertanyaan yang disesuaikan dengan jenis Wajib
Pajaknya (Individual dan Badan). Oleh karena itu, ATO dapat memiliki basis data
tentang Wajib Pajak secara lengkap.
Bukti identitas yang diajukan oleh pemohon NWP cukup fotokopi
KTP/Paspor, sedangkan di Australia pemohon TFN harus melampirkan dokumen
identitas asli (antara lain: akta kelahiran, sertifikat kewarganegaraan, paspor, dll).
Persyaratan permohonan NPWP yang cukup hanya dilampiri dengan fotokopi
KTP menimbulkan masalah karena tidak adanya validasi atas identitas diri dari
pemohon NPWP.
Kedudukan Institusi Pajak
Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya mebentuk institusi-institusi baik
yang bersifat pembuat kebijakan, penegakan hukum, maupun pemberian
pelayanan masyarakat. Dalam Pasal 16 Perpres No.10/2005 sebagaimana diubah
terakhir dengan Perpres No.63/2003 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I
Kementerian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa kedudukan Direktorat
Jenderal Pajak merupakan “Unit Eselon I di Departemen Keuangan” dengan tugas
merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang
perpajakan.
Dalam kurun waktu terakhir ini ada wacana agar Dirjen Pajak ditingkatkan
statusnya menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). Hal ini
merupakan wacana yang tidak berlebihan mengingat tugas berat Dirjen Pajak
untuk mengumpulkan pajak dengan tingkat kontribusi pada APBN melebihi 70
Tabel 4 Komparasi Kebijakan Pendaftaran Wajib Pajak Orang Pribadi
Sumber: Siswahyudi. 2008. Analisis Komparasi Regulasi Registrasi Wajib Pajak Orang
Pribadi antara Indonesia dengan Australia [Tesis]. Magister Administrasi Publik UGM.
Yogyakarta. Hal. 6.
36
persen. Keberadaan LPND diatur dalam Kepres 103/2001 jo Prepres 64/2005.
Pasal 1 Perpres tersebut menyatakan bahwa LPND merupakan lembaga
pemerintah pusat yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu
dari Presiden, berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Bila terjadi peningkatan status ini diharapkan kinerja Dirjen Pajak dapat
melakukan koordinasi dengan instansi lain dengan lebih baik, sehingga tax ratio
Indonesia akan bisa ditingkatkan, disamping itu penerimaan pajak dalam APBN
dapat terealisasikan dengan aman.
Kedudukan ATO di Australia merupakan lembaga yang bersifat unified-
semi autonomous body. Commisioner sebagai pimpinan ATO
mempertanggungjawabkan kinerjanya langsung ke parlemen. Meskipun ATO
termasuk bagian Departemen Kuangan, dan Menteri Keuangan bertanggung
jawab terhadap kebijakan dan administrasi perpajakan dan pendanaan ATO,
Commissiner sebagai pimpinan ATO mempunyai kebebasan penuh dan tidak
tunduk pada arahan Menteri. Ia bertanggung jawab langsung ke parlemen atas
tanggungjawabnya terhadap administrasi umum dari hukum pajak, dan juga
Tabel 5 Tugas Dirjen Pajak dan ATO
Dirjen Pajak
ATO
Sumber: Siswahyudi. 2008. Analisis Komparasi Regulasi Registrasi Wajib Pajak Orang
Pribadi antara Indonesia dengan Australia [Tesis]. Magister Administrasi Publik UGM.
Yogyakarta. Hal. 8.
37
keseluruhan pekerjaan dari ATO. Pemerintah Australia sampai sekarang masih
memiliki pendapat yang kuat bahwa kebebasan Commissioner merupakan hal
yang sangat penting dalam sistem perpajakan Australia.
OECD dalam survey terhadap 30 negara anggotanya dan 14 negara non
anggota menyatakan bahwa institusi pajak di Australia (ATO) merupakan
salahsatu di antara 18 institusi pajak yang berbentuk unified and semi-autonomous
body (badan semi otonom yang bertugas secara khusus di bidang pajak).93
Menurut Gallagher, institusi pajak di negara berkembang saat ini cenderung
bersifat semi-autonomous revenue authority (SARA). SARA umumnya mampu
memberikan gaji dan insentif yang lebih baik terhadap pegawainya di samping
meningkatkan pertanggungjawaban kinerja yang lebih besar.94
Mereka umumnya
berada di luar institusi pemerintah yang biasa dan ada yang mempunyai otoritas
anggaran sendiri yang dikaitkan dengan kinerjanya. Menurut McCarten reformasi
menuju SARA bisa menimbulkan built-conflict dengan Departemen Keuangan
karena menimbulkan akibat berupa berkurangnya anggaran dan pegawainya.95
Namun penerapan SARA ini pada akhirnya menuju otonomi dan birokrasi otoritas
pajak yang bebas dari pengaruh politik.
Apabila Kementrian Keuangan dan Dirjen Pajak dipisah maka akan
terwujud akuntabilitas publik, dalam arti terjadi pemisah fungsi regulator
(pembuat kebijakan, dalam hal ini Kemenkeu) dan fungsi operator (pelaksana
kebijakan yaitu Dirjen Pajak), sebagaimana yang terjadi antara Departemen
Pertahanan dan TNI. Peningkatan status Dirjen Pajak menjadi badan sendiri juga
tidak menyulitkan koordinasi pengelolaan keuangan negara.
Pengamat Ekonomi Faisal Basri menganjurkan sebaiknya Ditjen Pajak
dipisah dari Kementerian Keuangan agar ada kompensasi berbeda untuk
mencegah penyimpangan oleh aparatnya. Faisal menilai sebaiknya Ditjen Pajak
dan Ditjen Bea Cukai dimasukkan dalam lembaga tersendiri yang independen dan
dijauhi dari politisasi dengan gaji yang lebih proporsional. Hal ini bisa dilakukan
bila melihat contoh salahsatunya yaitu lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang hingga saat ini dinilai profesional dan independen, mendapat
kompensasi upah yang memadai bagi aparatnya.Sementara jika tetap bergabung
dengan Kementerian Keuangan maka akan semakin lebar perbedaan gaji antara
satu kementerian dengan kementerian lain jika aparat pajak dinaikkan lagi
gajinya. Menurut Basri (2013),
"…Mereka mengumpulkan dan mengelola dana pajak ratusan triliun tetapi
dengan kompensasi yang relatif rendah. Akan sulit bagi mereka untuk tidak
tergoda…"96
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Aziz mengungkapkan, usulan
tersebut saat ini tidak disetujui oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian
Keuangan (Kemenkeu). Menurut Aziz (2013),
93
OECD. 2007. Improving Taxpayer Service Delivery: Channel Strategy Development. Hal. 29. 94
Gallagher, M. 2004. Assessing Tax Systems using a Benchmarking Methodology. USAID. Hal
17. 95
McCarten. 2006. Hal. 29. 96
Antara. 2 Agustus 2013. Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai Diusulkan Pisah dari Kemenkeu.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/08/02/mqvard-ditjen-pajak-dan-dijen-bea-
cukai-diusulkan-pisah-dari-kemenkeu
38
"…Alasannya itu, kekuasaan dari Menteri Keuangan sebelumnya, yakni Sri
Mulyani, dan Agus DW Martowardojo tidak menyetujui. Padahal kemenkeu
itu complicated sekali…"97
Apabila DJP dibuat badan penerimaan dan dipisah dari Kemenkeu, struktur
DJP akan mempunyai policy penerimaan yang berbeda. Policy penerimaan di
Dirjen Pajak dan Cukai akan ada kepala eksekutif, direktur-direktur penerimaan
pajak dan kemudian kewenangan atau keputusan penuh diambil oleh DJP. Dengan
pemisahan ini, maka oknum atau sindikat pengemplangan pajak akan berkurang,
karena akan diawasi oleh semua pihak dan juga diatur oleh Undang-Undang yang
disahkan DPR.
Kebijakan Ekstensifikasi Wajib Pajak
Kebijakan ekstensifikasi WPOP di Indonesia yang mempunyai pengaruh
lintas batas instansi hanya diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak. Hal ini berbeda
dengan kebijakan registrasi TFN di Australia. Kebijakan registrasi TFN di
Australia berlandaskan hukum setingkat undang-undang (Acts), sehingga
memiliki pengaruh terhadap lingkup pelaksanaan yang lebih luas. Lagipula di
samping TFN berfungsi dalam mengadministrasikan pajak, juga berfungsi untuk
pengadministrasian pemberian fasilitas sosial bagi penduduk Australia. Badan
Pemeriksa Keuangan Australia (ANAO) menyimpulkan bahwa TFN tidak lagi
semata-mata merupakan nomor pokok Wajib Pajak.98
Pada saat ini pemerintah
Australia sudah menggunakan TFN secara luas untuk mengadministrasikan hal-
hal yang berkaitan dengan tugas-tugas tambahan yang dikaitkan dengan ATO.
Di Australia terdapat kurang lebih 24 undang-undang (acts) yang
mengatur maksud dan tujuan penggunaan TFN. Sebanyak 12 undang-undang
mengatur TFN dalam kaitannya dengan administrasi pajak, sedangkan 12 undang-
undang lainnya terkait dengan administrasi pemberian tunjangan/jaminan sosial
bagi warga Australia. Di Indonesia, NPWP diatur dalam UU perpajakan (UU
KUO, UU PPh dan UU PPN) beserta peraturan pelaksanaannya (intra-organisasi)
dan hanya berfungsi untuk mengadministrasikan pajak saja.
Sebagai contoh program Dirjen Pajak dalam melakukan kegiatan
ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi melalui Perdirjen Pajak Nomor: PER-
16/PJ./2006 adalah pemberian NPWP OP kepada orang yang berstatus sebagai
Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik, dan Pegawai melalui Pemberi
Kerja/Bendaharawan Pemerintah. Perusahaan swasta diwajibkan mendaftarkan
pengurus dan karyawan agar ber-NPWP sedangkan Pemda harus mendukung
kebijakan ini. Instansi Pemda akan memperoleh manfaat langsung dengan adanya
bagi hasi PPh Pasal 21 Karyawan dan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi.
Dari Tabel 6 terlihat bahwa di samping tugas pokok memungut pajak
(termasuk cukai), ATO juga melaksanakan tugas yang terkait dengan pemberian
fasilitas sosial bagi masyarakat, melaksanakan fungsi registrasi bagi dunia usaha,
dan juga tugas yang terkait dengan infrastruktur properti/perumahan. Tugas-tugas
yang dilaksanakan oleh ATO ternyata sangat membantu dalam memungut pajak.
Pemberian fasilitas sosial bagi masyarakat dari sisi politik pencitraan memberi
97
Akhir, D. J. 25 September 2013. “Perceraian” Pajak dari Kemenkeu Pernah Ditolak Sri
Mulyani. http://economy.okezone.com/read/2013/09/25/20/871772/perceraian-pajak-dari-
kemenkeu-pernah-ditolak-sri-mulyani 98
ANAO. 1999. The Australian National Audit Office. Hal. 51.
39
image yang baik bagi masyarakat, bahwa institusi pajak ternyata ada sisi baiknya
(generous), tidak hanya menagih uang pajak, tetapi juga memberi pinjaman
kepada mahasiswa perguruan tinggi yang membutuhkan. Pinjaman tersebut akan
dilunasi setelah mahasiswa bersangkutan memperoleh pekerjaan, bersamaan
dengan pembayaran PPh-nya.
Meskipun pajak adalah iuran wajib tanpa imbal balik secara langsung,
namun Australia menggunakan pendekatan ekonomi, yaitu dengan menjadikan
TFN sebagai sarana bagi masyarakat untuk memperoleh manfaat santunan,
ataupun tunjangan sosial dari pemerintah. Pajak yang dibayar di Australia
dikembalikan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan kesehatan
nasional yang sifatnya gratis untuk perawatan kesehatan dan biaya obat yang
disubsidi, pelayanan pendidikan sampai tingkat setara SMU di sekolah pemerintah
yang disubsidi hampir 100 persen oleh pemerintah Australia, dan pelayanan
tunjangan sosial seperti tunjangan pengangguran. Di Indonesia sampai saat ini
pemegang kartu NPWP belum menerima manfaat secara langsung atas
terdaftarnya mereka sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi. Dirjen Pajak dapat
memperluas fungsinya selain memungut pajak juga memberikan pelayanan
fasilitas sosial bagi masyarakat, misalnya di bidang kesehatan dan pendidikan
sebagai penyedia Asuransi Kesehatan maupun beasiswa pendidikan.
Keterkaitan antara Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-Seeking di Indonesia
Dibandingkan dengan Australia
Fungsi pemerintah daerah dapat optimal bila sumber penerimaan daerah
mencukupi. Untuk itulah distribusi kewenangan perpajakan menjadi penting yang
diwujudkan dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, namun terdapat
ketidakseimbangan dalam desentralisasi fiskal tersebut karena masih terfokus
Tabel 6 Institusi Pajak dan Kebijakan Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi
Sumber: Siswahyudi. 2008. Analisis Komparasi Regulasi Registrasi Wajib Pajak Orang
Pribadi antara Indonesia dengan Australia [Tesis]. Magister Administrasi Publik UGM.
Yogyakarta. Hal. 9.
40
pada desentralisasi sisi pembelanjaan yaitu Pemerintah Daerah diberi kewenangan
penuh untuk merencanakan, memprioritaskan, dan melaksanakan agenda
pembangunan sesuai skala prioritas kepentingan rakyat di daerah. Sementara itu
pada sisi penerimaannya masih bersifat sentralistik, terutama pada masih
terdapatnya sejumlah pajak yang secara teoritis dan empiris merupakan pajak
daerah (PBB objek pedesaan, perkotaan dan perkebunan, dan BPHTB),
diterimakan ke pusat. Desentralisasi fiskal ini perlu dibenahi sebagai salahsatu
upaya penguatan otonomi daerah, yang pada akhirnya mendukung demokratisasi
di Indonesia.99
Analisis kebijakan desentralisasi fiskal yang memfokuskan pada
kebijakan perpajakan dapat digunakan sebagai alat untuk melihat prospek
demokrasi dan keberlanjutan demokratisasi.100
Dalam desentralisasi perpajakan
dapat tergambarkan dinamika hubungan antara negara sebagai pengatur dan warga
negara sebagai pembayar pajak.
Pada Gambar 6 disajikan: Pertama, Indeks Demokrasi Nasional yang
merupakan rata-rata dari Indeks Demokrasi pada tingkat provinsi. Kedua, Indeks
Kebebasan Sipil (menggambarkan kondisi Kebebasan Sipil yang mencakup
variabel Kebebasan berkumpul dan berserikat, Indeks Demokrasi 2010
Kebebabasan berpendapat, Kebebasan berkeyakinan, dan Kebebasan dari
diskriminasi). Ketiga, Indeks Hak-hak Politik (menggambarkan kondisi
Pemenuhan hak-hak politik yang meliputi variabel Hak memilih dan dipilih serta
Partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan). Keempat,
Indeks Kelembagaan Demokrasi (menggambarkan kondisi kelembagaan
demokrasi di Indonesia yang meliputi variabel-variabel Pemilu yang Jujur dan
99
Irianto. 2006. Pajak Negara & Demokrasi. CV. Aswaja Pressindo. Yogyakarta. Hal. 7. 100
Ross, R. M. 2003. State and Local Government and Administration. The Ronald Press
Company. New York. Hal. 47.
Gambar 6 Indeks Demokrasi Indonesia 2009 dan 2010
Sumber: United Nations Development Programme, Indonesia. 2012. Menakar Demokrasi
di Indonesia: Indeks Demokrasi Indonesia 2009. Hal. 98.
41
Adil, Peran DPRD, Peran Partai Politik, Peran birokrasi Pemda, serta Peradilan
yang independen.
Pada Gambar 6 nilai Indeks Demokrasi Indonesia yang merupakan agregat
dari kinerja seluruh provinsi di Indonesia adalah 63,17. Nilai ini merupakan angka
komposit 28 indikator dan 11 variabel yang dikelompokkan ke dalam aspek
Kebebasan Sipil, Hak-hak Politik, dan Kelembagaan Demokrasi dari 33 provinsi
di Indonesia. Bila dilihat dari skor keseluruhan ini saja maka tingkat kinerja
demokrasi di Indonesia masih belum memuaskan. Namun, skor keseluruhan ini
disumbang oleh skor 3 aspek demokrasi yang bervariasi, mulai dari kategori
“baik” (Kebebasan Sipil, 82,53), “sedang” (Lembaga Demokrasi 63,11), sampai
dengan kategori “buruk” (Hak-hak Politik, 47.87).
Pada Gambar 6 IDI 2010 dibandingkan dengan IDI 2009 terjadi penurunan
indeks nasional sebesar 4,13 poin. Secara lebih rinci, bila dilihat distribusi indeks
dalam ketiga aspek, Kebebasan Sipil dan Hak-hak Politik mengalami penurunan
berturut-turut 4,45 dan 6,73 poin. Sementara nilai indeks Kelembagaan
Demokrasi mengalami kenaikan sebesar 0,39 poin dari 62,72 menjadi 63,11.
Walaupun terjadi penurunan skor, pola sebaran nilai di atas masih sama dengan
tahun pengukuran sebelumnya, yaitu Kebebasan Sipil secara umum terkategori
“baik”, dan Lembaga Demokrasi “sedang”, sementara aspek Hak-hak Politik
masih “buruk”. Gambar 6 tersebut sekaligus menunjukkan hasil IDI 2010,
perbandingannya dengan IDI 2009, serta pola sebaran nilai IDI pada kedua tahun
pengukuran.
Secara internasional Indeks Demokrasi diterbitkan oleh The Economist
Intelligence Unit ditentukan berdasarkan lima kategori, yaitu proses pemilihan
dan keberagaman, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan
budaya politik. Negara-negara tersebut dipisahkan berdasarkan empat tipe rezim
yaitu full democracies, flawed democracies, hybrid regimes, dan authoritarian
regimes. Menurut indeks tersebut, Indonesia masih berada dalam rezim Flawed
Democracies sedangkan Australia telah berada dalam rezim Full Democracies.101
Pemilihan umum yang bebas dan adil serta kebebasan sipil merupakan hal-
hal dasar untuk menciptkan demokrasi. Hal-hal tersebut belum cukup untuk
membuat demokrasi tersebut terkonsolidasi, jika tidak disertai dengan
pemerintahan yang transparan dan efisien, partisipasi politik yang cukup, dan
budaya politik yang mendukung. Bahkan di negara dengan kondisi demokrasi
yang mapan sekalipun, bila hal-hal tersebut tidak dipelihara dan dijaga, demokrasi
dapat hancur.
Indikator demokrasi tidak hanya diukur dari aspek formal kelembagaan,
tetapi harus menyertakan kebijakan perpajakan sebagai instrumen operasional
demokrasi yang merupakan sarana pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah
dan interaksi antara negara dan rakyat.102
Kebijakan perpajakan mencerminkan
pembagian wewenang/kekuasaan antara negara dengan warganya dan pembagian
kekuasaan antara pusat dan daerah. Menurut Irianto (2006),
“…Kebijakan perpajakan merupakan hasil dan muara dari dua ranah
penting dalam proses demokratisasi, yaitu hubungan negara-masyarakat
dan pusat-daerah…”
101
Economist Intelligence Unit. 2011. Democracy Index 2010: Democracy in Retreat.. Hal 43. 102
Irianto. 2006. Pajak Negara & Demokrasi. CV. Aswaja Pressindo. Yogyakarta. Hal. 15.
42
Menurut Ranking Kemudahan Membayar Pajak pada tahun 2013 Australia
menempati ranking ke-48, sedangkan Indonesia menempati ranking ke-131 dari
185 negara. Ranking ini ditentukan oleh faktor jumlah pembayaran pajak, waktu
yang dibutuhkan untuk memenuhi kewajiban perpajakan, dan total tarif pajak.
Faktor jumlah pembayaran pajak terdiri dari faktor pembayaran pajak keuntungan,
tenaga kerja, dan lain-lain. Faktor waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi
kewajiban perpajakan terdiri dari faktor waktu dari pajak pendapatan badan,
tenaga kerja, dan konsumsi. Faktor tarif pajak terdiri dari faktor total tarif pajak
keuntungan, tenaga kerja, dan lain-lain.103
Gambar 7 tersebut menampilkan perkembangan tax ratio Indonesia dari
tahun 2003 sampai 2011. Grafik tersebut menjelaskan bahwa kemampuan negara
dalam menghimpun pajak masyarakat masih rendah, terlihat dari nilai presentase
tax ratio (rasio pajak) yang berkisar antara 12,5 persen sampai 15 persen. Dari sisi
politik, rendahnya rasio pajak dapat menjadi penanda rendahnya peran serta
masyarakat dalam proses penyelenggaraan negara.104
Partisipasi masyarakat dalam kebijakan perpajakan merupakan indikator
penting bagi sebuah negara yang demokratis. Meskipun bukan satu-satunya
indikator, partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan perpajakan mendorong
demokratisasi di negara-negara modern, karena di dalam proses partisipasi
tersebut terdapat mekanisme tawar-menawar dan konsultasi publik dalam proses
pembuatan kebijakan.105
Partisipasi masyarakat dalam kebijakan perpajakan yang
rendah mencerminkan belum terwujudnya demokratisasi perpajakan.
Substansi demokrasi pada umumnya yaitu pemberian ruang politik bagi
warga, bukan hanya bagi elite politik. Untuk mewujudkan hal ini membutuhkan
proses politik yang terbuka dan transparan, sekaligus demi mencegah perilaku
rent-seeking yang dapat merugikan negara.
Indeks International Country Risk Guide (ICRG) sering dipakai dalam
berbagai penelitian untuk dapat mendeskripsikan keadaan rent-seeking di berbagai
103
PwC dan The World Bank/IFC. 2013. Paying Taxes 2013: The Global Picture. Hal 161. 104
Irianto. 2006. Pajak Negara & Demokrasi. CV. Aswaja Pressindo. Yogyakarta. Hal. 111. 105
Herb, M. 2003. Taxation and Representation, Studies in Comparative International
Development. Hal. 18.
Tabel 7 Indeks ICRG Indonesia dan Australia Tahun 2002-2011 (dalam persen)
Sumber: Political Risk Services. 2012. International Country Risk Guide. Hal. 2.
Year 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002
Australia AUS 0.83 0.83 0.75 0.75 0.75 0.75 0.83 0.83 0.75 0.75
Indonesia IDN 0.50 0.50 0.50 0.67 0.58 0.42 0.17 0.17 0.17 0.17
===== Pendapatan Pajak Nasional
-------- Pendapatan Pajak Nasional + Pendapatan Daerah
Gambar 7 Tax Ratio Indonesia Tahun 2003-2011
Sumber: Hidayat, A. 2013. Analisis Penerimaan Pajak dengan Pendekatan Produk
Domestik Bruto Sektoral. Universitas Indonesia. Hal. 32.
43
negara secara kuantitatif.106
Indeks ini ditentukan dengan menggunakan indikator
Suara dan Akuntabilitas, Stabilitas Politik dan Ketidakadaan Kekerasan,
Efektivitas Pemerintahan, Kualitas Peraturan, Peraturan Hukum, dan Kontrol
terhadap Korupsi. Semakin tinggi indeks ICRG maka semakin rendah keberadaan
rent-seeking di negara tersebut. Pada Tabel 7 menampilkan indeks ICRG
Australia sebesar 83 persen sedangkan Indonesia 50 persen pada tahun 2011. Bila
dilihat dinamika sejak tahun 2002 sampai tahun 2011, Australia cukup stabil pada
kisaran 75-83 persen. Di sisi lain Indonesia terus mengalami perkembangan dari
17-67 persen.
Hasil indeks ICRG ini dapat dikaitkan dengan perkembangan
pemberantasan korupsi di Indonesia yang semakin berhasil, antara lain semenjak
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2003. KPK adalah
komisi di Indonesia yang dibentuk untuk mengatasi, menanggulangi, dan
memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK). Pada Gambar 8 berikut
menunjukkan bahwa per 31 Juli 2013, di tahun 2013 korupsi jenis penyuapan
menempati posisi paling banyak yaitu sebanyak 36 perkara, disusul pengadaan
barang/jasa sebanyak 5 perkara, tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebanyak 3
perkara, dan perijinan sebanyak 3 perkara.
Dilihat dari aspek kerugian keuangan negara, hasil audit Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) memperlihatkan nilai penyimpangan yang terjadi di sejumlah
instansi pemerintah di Indonesia sangat besar dan cenderung meningkat setiap
tahunnya. Hingga tahun 2007, dari laporan audit BPK terdapat 36.009 temuan
pemeriksaan dengan nilai kerugian Rp.3.657,71 triliun.107
Data terakhir
menyebutkan selama semester I 2008 hingga Semester I 2010, BPK menemukan
indikasi kerugian negara senilai Rp 73,55 triliun. 108
106
Angelopoulos, K. 2008. Fiscal Policy, Rent-seeking, and Growth under Electoral Uncertainty
Theory and Evidence from the OECD. University of Glasgow. United Kingdom. Hal. 21. 107
Badan Pemeriksa Keuangan RI. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2007.
Hal. 287. 108
Badan Pemeriksa Keuangan RI. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) 2008-2010. Hal.
254.
Gambar 8 Penanganan TPK berdasarkan Jenis Perkara
Sumber: Komisi Pemberantasan Korupsi. 2012. Laporan Tahunan 2012. Hal. 115.
44
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah beberapa kali menangkap
pegawai pajak yang menerima suap dari Wajib Pajak. Kasus suap menyuap dan
korupsi dalam tubuh Direktorat Jendral Pajak sudah bukan hal baru. Sebelum ini
juga sudah terdapat kasus serupa, sebut saja yang terkenal seperti Gayus
Tambunan atau Dhana Widyatmika. Modus para pelaku menyimpang ini hampir
sama yakni menerima suap dari Wajib Pajak untuk selanjutnya pegawai tersebut
dapat mengurangi beban pajak Wajib Pajak. Direktur Jendral Pajak Fuad
Rahmany mengaku geram dengan tindakan para pegawainya. Menurut Rahmany
(2013),
“…Di pajak ada belasan atau puluhan (pegawai) yang masih nakal, kita
akan pantau terus. Mereka harus dipecat, kalau tidak dipecat mereka tidak
berubah…” 109
Mantan Ketua Tim Independen Mafia Hukum Polri, Mathius Salempang
sempat menguraikan beberapa modus operandi mafia pajak lainnya. Misalnya,
negosiasi dengan pemilik pajak. Bila pajak perusahaan ada 10, dilakukan
negosiasi agar hanya 5 yang dibayarkan pajaknya. Modus lainnya adalah
persekongkolan ketika dilakukan penyelesaian keberatan pada tingkat Direktorat
Keberatan dan Banding. Selain itu, banyak konsultan pajak yang bertindak tidak
sesuai perintah institusi. Ada juga modus menahan surat keterangan pajak oleh
Direktorat Pajak. Surat itu dapat dikeluarkan jika ada kesepakatan tentang
besarnya uang suap. 110
Menurut laporan Global Financial Integrity (GFI) pada akhir 2012,
Indonesia menjadi salahsatu negara berkembang yang paling dirugikan akibat
praktik penghindaran pajak tersebut. Indonesia berada di urutan kesembilan
negara yang paling dirugikan akibat keluarnya uang yang harusnya masuk kas
negara dalam periode 2001-2010 dengan potensi kerugian Rp 1.248 triliun.
Angka tersebut, dimuat dalam laporan, adalah potensi kerugian negara
akibat terjadinya korupsi serta penghindaran pajak penghasilan, pembayaran bea
cukai, hingga penghindaran pajak pertambahan nilai. Sebanyak Rp 748,8 triliun
dari total kerugian tersebut terjadi karena penghindaran pajak. Menurut Direktur
GFI Raymond Baker,
“…Uang haram yang keluar dari suatu negara ini mengurangi pendapatan
negara-negara yang masih cenderung miskin, merampok mereka dari aset
yang seharusnya mereka miliki dan pertumbuhan ekonomi yang
seharusnya dicapai…”
109
Merdeka. 16 Mei 2013. Pegawai Banyak ditangkap KPK, Reformasi Pajak tidak Berjalan Baik.
http://www.merdeka.com/uang/pegawai-banyak-ditangkap-kpk-reformasi-pajak-tak-berjalan-
baik.html 110
Antara News. Mafia Pajak Memaksa Negara Cari Utang.
http://www.antaranews.com/print/250359/
Tabel 8 Indikasi Kerugian Negara Hasil Audit BPK Semester I 2008-Semester I
2010
Sumber: ICW. 2012. Hasil Pemeriksaan BPK 2008-2010. Hal. 10.
Sem I 2008 Sem II 2008 Sem I 2009 Sem II 2009 Sem I 2010
Obyek Pemeriksaan 468 683 491 769 528
Potensi Kerugian Negara
(triliun rupiah)9,5516,2628,4911,847,41
45
Social Policy and Governance Specialist Perkumpulan Prakarsa, Ah
Maftuchan, menyatakan terdapat masih banyak korupsi pajak yang dilakukan oleh
petugas pajak maupun Wajib Pajak di Indonesia. Menurut Maftuchan,111
“…Wajib Pajak Badan masih banyak mengelak membayar pajak dengan
praktik transfer pricing. Kerugian yang ditanggung oleh negara akibat
praktik yang dilakukan oleh korporasi nakal ini, tiap tahunnya berkisar Rp
110 triliun…”
Di Australia pun masih terdapat kasus penghindaran pajak yang
mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak potensial. Australian Tax Office
(ATO) tidak melakukan perhitungan tentang seberapa besar penghindaran pajak
mempengaruhi perekonomian, namun Australian Bureau of Statistics (ABS)
menyebutkan bahwa terdapat penghindaran pajak sebesar Rp 176 triliun.
Sementara itu Australian Council of Trade Unions (ACTU) menyebutkan bahwa
banyak perusahaan besar di Australia yang menghindari pajak. Ini mengakibatkan
kerugian negara sebesar Rp 114 triliun per tahun.112
Tabel 10 menunjukkan bahwa kerugian akibat penghindaran pajak di
Indonesia rata-rata sebesar Rp 94,44 triliun per tahun sedangkan di Australia
sebesar Rp 145 triliun per tahun menurut berbagai sumber. Namun setelah
111
Hukum Online. 19 Agustus 2013. Diusulkan Revisi UU Perpajakan.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5211b8d82f5af/diusulkan-revisi-uu-perpajakan 112
ACTU. 2011. Tax avoidance, evasion, and minimisation is costing Australia $50 billion a year.
ACTU Tax Paper. Hal. 4.
Tabel 10 Kerugian Akibat Penghindaran Pajak di Indonesia dan Australia
Sumber: GFI, Prakarsa, ACTU, ABS (data diolah).
Rp 78,88 triliun 7.37% 0.74% GFI (2012)
Rp 110 triliun 10.82% 1.09% Prakarsa (2013)
Rata-rata Rp 94,44 triliun 9.10% 0.92%
Rp 114 triliun 2.56% 0.65% ACTU (2011)
Rp 176 triliun 3.95% 1.00% ABS (2010)
Rata-rata Rp 145 triliun 3.26% 0.83%
Sumber (Tahun
Penelitian)
Kerugian akibat
Penghindaran Pajak (Rata-
rata per Tahun)
Negara
Australia
Indonesia
Persentase dari
Penerimaan Pajak
Tahun 2012 (%)
Persentase dari PDB
Tahun 2012 (%)
Tabel 9 Negara-negara Berkembang dengan Arus Uang Haram Terbesar
Sumber: Metrotv News. 9 September 2013. Indonesia Rugi 109 Miliar Dolllar As.
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/09/09/2/180398/Indonesia-Rugi-
109-Miliar-Dolar-AS
No. Negara Arus Uang Haram
1 Cina Rp 31,373 triliun
2 Meksiko Rp 5,450 triliun
3 Malaysia Rp 3,263 triliun
4 Arab Saudi Rp 2,404 triliun
5 Rusia Rp 1,740 triliun
6 Filipina Rp 1,580 triliun
7 Nigeria Rp 1,477 triliun
8 India Rp 1,408 triliun
9 Indonesia Rp 1,248 triliun
10 Uni Emirat Arab Rp 1,225 triliun
46
dipersentasekan terhadap penerimaan pajak dan juga Produk Domestik Bruto,
kerugian akibat penghindaran pajak di Indonesia lebih besar bila dibandingkan
dengan Australia. Hal ini karena keberadaan rent-seeking di Indonesia lebih besar
dibandingkan di Australia.
Penghindaran pajak lazim dilakukan perusahaan global dengan cabang di
berbagai negara. Modus pertama, pembayaran biaya manajemen royalti atas
HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) atas logo dan merek kepada perusahaan
induk. Peningkatan royalti akan meningkatkan biaya yang pada akhirnya
mengurangi laba bersih sehingga PPh badan juga turun. Jika tarif tax treaty untuk
pajak royalti hanya 10 persen dan tarif PPh badan adalah 25 persen, maka
Indonesia kehilangan 15 persen PPh. Modus kedua, pembelian bahan baku dari
perusahaan satu grup. Pembelian bahan baku dilakukan dengan harga mahal dari
perusahaan segrup yang berdiri di negara bertarif pajak rendah. Modus ketiga,
berhutang atau menjual obligasi kepada afiliasi perusahaan induk dan membayar
kembali cicilan dengan bunga sangat tinggi. Tingkat suku bunga tinggi ini adalah
dividen terselubung ke perusahaan induk. Modus keempat, menggeser biaya usaha
(termasuk gaji pegawai headquarters) ke negara bertarif pajak tinggi (cost center)
seperti Inggris dan mengalihkan profit ke negara bertarif pajak rendah (profit
center) seperti Bermuda. Dengan demikian keuntungan perusahaan terlihat kecil
dan tidak perlu membayar pajak korporasi. Modus kelima, menarik dividen lebih
besar dengan menyamarkan biaya royalti dan jasa manajemen untuk menghindari
pajak korporasi. Modus terakhir dengan mengecilkan omset penjualan.
Perusahaan menjual rugi barang ke cabang perusahaan di negara bertarif pajak
rendah, sehingga penjualan ekspor terlihat merugi. Kemudian dari cabang
tersebut, barang dijual dengan harga normal ke konsumen akhir.113
Sementara itu modus penghindaran pajak yang dapat dilakukan oleh Wajib
Pajak Orang Pribadi antara lain yaitu tidak melaporkan SPT Tahunan Pajak
Penghasilan sehingga menyebabkan Wajib Pajak terhindar dari pengenaan tarif
PPh Progresif (semakin tinggi penghasilan, semakin tinggi tarif pajaknya). Selain
itu terdapat beberapa kasus penghindaran pajak yang melibatkan pegawai institusi
pajak, antara lain diawali dengan pegawai pajak yang mengetahui informasi
tentang beban pajak yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Bila Wajib Pajak tersebut
enggan membayar beban pajaknya, maka dapat terjadi kasus penyuapan agar
petugas pajak tersebut dapat mengurangi bahkan menghilangkan beban pajak
yang harus dibayar.
Pengelakan pajak sangat memengaruhi persaingan sehat di antara para
pengusaha. Pengusaha melakukan pengelakan pajak dengan cara menekan
biayanya secara tidak wajar. Walaupun dengan usaha dan produktifitas yang
sama, si pengelak pajak mendapat keuntungan yang lebih besar dibandingkan
dengan pengusaha yang jujur. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
berbagai usaha penghindaran pajak merupakan aktivitas rent-seeking di
lingkungan perpajakan, kemudian usaha penyuapan untuk menghindari pajak
tersebut termasuk pada korupsi.
113
Suryana, A. B. 2013. Menisik Pajak Perusahaan Global. Direktorat Jenderal Pajak. Hal. 1.
47
Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-Seeking terhadap Penerimaan
Pajak
Estimasi model menggunakan data panel dapat dilakukan dengan tiga
metode, yaitu metode kuadrat terkecil (pooled least square), metode efek tetap
(fixed effect), dan metode efek random (random effect). Untuk menguji kesesuaian
atau kebaikan model dari tiga metode pada teknik estimasi data panel digunakan
Chow Test dan Hausmann Test. Chow Test digunakan untuk menguji kesesuaian
model antara model yang diperoleh dari pooled least square dan model yang
diperoleh dari metode fixed effect. Selanjutnya dilakukan Hausmann Test terhadap
model terbaik yang diperoleh dari hasil Chow Test dengan model yang diperoleh
dari metode random effect. Untuk menghasilkan model yang efisien dan
konsisten, perlu evaluasi berdasarkan kriteria ekonomi apakah hasil estimasi
terhadap model regresi tidak terjadi masalah heteroskedastisitas, multikolinearitas,
dan autokorelasi. Selain itu, juga perlu dilihat seberapa baik model dalam
mengestimasi berdasarkan nilai koefisien determinasi.
Tahap Evaluasi Pemilihan Model
Estimasi model, untuk mengetahui pengaruh sistem pajak, demokrasi, dan
rent-seeking terhadap penerimaan pajak dengan analisis data panel, dilakukan
melalui 3 pendekatan model estimasi, yaitu Pooled Least Square Model, Fixed
Effect Model, dan Random Effect Model. Melalui ketiga model tersebut, dapat
diketahui besarnya pengaruh sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking di dalam
model terhadap penerimaan pajak di 15 negara anggota G-20, termasuk di
dalamnya Indonesia dan Australia.
Pada pengujian dengan menggunakan Chow dan Uji Hausman pada
Lampiran 7 dan 8, diperoleh bahwa Fixed Effect Model merupakan pendekatan
analisis regresi data panel yang terbaik. Kemudian dilakukan pengujian asumsi
klasik terhadap model estimasi data panel Fixed Effect Model pada Lampiran 9
agar dapat menghasilkan estimator yang memenuhi kriteria BLUE.
Pengujian Asumsi Klasik
A. Uji Multikolinearitas
Hasil penghitungan nilai koefisien korelasi dengan menggunakan EViews
6.0 menghasilkan output seperti pada Tabel 11. Uji multikolinearitas dilakukan
dengan melihat nilai perhitungan koefisien korelasi antar variabel independennya.
Apabila nilai koefisien korelasinya lebih rendah dari 0,80 maka dapat disimpulkan
bahwa tidak terjadi multikolinearitas. Pada Tabel 11 nilai koefisien korelasi
antarvariabel bebas semuanya kurang dari 0,80. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
tidak terjadi multikolinearitas, sehingga kriteria bebas multikolinearitas terpenuhi
dalam model estimasi ini.
48
B. Uji Autokolerasi
Uji autokorelasi dilakukan dengan uji Durbin-Watson. Nilai Tabel Durbin-
Watson diperoleh dengan dL = 0,82 dan dU = 1,75, sehingga diperoleh selang
pengambilan keputusan pada Gambar 9.
Nilai Durbin Watson hasil estimasi sebesar 1.634489 berada pada (dL <
DW < dU) yaitu (0.82 < 1.634489 < 1.75) yang berarti bahwa tidak ada
keputusan. Namun demikian, pendekatan Fixed Effect Model tidak mensyaratkan
hasil estimasi yang bebas dari masalah autokorelasi, sehingga asumsi adanya
autokorelasi dapat diabaikan.
B. Uji Heteroskedatisitas
Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan melakukan cross section
weighting. Hasil cross section weighting menggunakan EViews 6.0 menghasilkan
output seperti pada Tabel 12. Dengan melihat bahwa, nilai Sum squared residual
Weighted Statistics yang lebih kecil dibandingkan nilai Sum squared residual
Unweighted Statistisc dan nilai R-squared Weighted Statistic yang lebih besar
dibandingkan nilai R-squared Unweighted Statistic, maka dapat disimpulkan
bahwa model estimasi mengandung masalah heteroskedastisitas.
Menurut Winarno, heteroskedastisitas dapat menyebabkan estimator tidak
lagi BLUE karena tidak lagi mempunyai varians yang minimum, perhitungan
standar error tidak lagi dapat dipercaya kebenarannya karena estimasi regresi
yang dihasilkan tidak efisien serta uji hipotesis yang didasarkan pada uji F dan t
Gambar 9 Kriteria Pengujian Autokorelasi: Durbin Watson
Sumber: Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Sumarno Zai [penerjemah]. Erlangga.
Jakarta. Hal. 78.
Tabel 11 Nilai Korelasi Antarvariabel Bebas dalam Pengujian Multikolinearitas
Keterangan:
Taxrank = Sistem Pajak (indeks)
Democr = Demokrasi (%)
ICRG = Ketidakadaan Rent-seeking (%)
Sumber: EViews(data diolah).
Korelasi Taxrank Democr ICRG
ln(Taxrank) 1 -0.4483 -0.4535
Democr -0.4483 1 0.6975
ICRG -0.4535 0.6975 1
49
tidak dapat dipercaya. Untuk mengatasi pelanggaran ini maka dilakukan estimasi
cross section weight dengan white heteroscedasticity.114
Tahap Pemilihan Model Terbaik
Setelah dilakukan pengujian asumsi klasik dan memenuhi syarat, maka
model estimasi analisis data panel yang terbaik adalah Fixed Effect Model dengan
pembobotan (cross section weights) dan white cross section.
Nilai R-squared 0.994216 berarti variabel sistem pajak, demokrasi, dan
rent-seeking mampu menjelaskan variasi penerimaan pajak sebesar 99 persen.
Variasi sisanya sebesar 1 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
Penggunaan Fixed Effect Model tersebut menyatakan bahwa terdapat satu di
antara variabel sistem pajak, demokrasi, maupun rent-seeking yang signifikan
memengaruhi penerimaan pajak. Hal tersebut didasarkan dari nilai Prob(F-
statistik) yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0.0000 < a 5 %).
114
Winarno, W.W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews. UPP STIM
YKPM. Yogyakarta. Hal. 48.
Tabel 13 Hasil Estimasi Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-seeking
terhadap Penerimaan Pajak di 15 Negara G-20 pada Tahun 2008-2011
Variabel Koefisien Standar Eror t-Statistic Probabilitas C 10.64933 2.265920 4.699783 0.0000
LOG(TAXRANK) 0.907513 0.240900 3.767173 0.0005
DEMOCR 0.016504 0.024682 0.668688 0.5074
ICRG 0.014456 0.008438 1.713317 0.0940 R-squared 0.994216
Adjusted R-squared 0.991875
Sum squared resid weighted 33.66666
Sum squared resid unweighted 37.08858
Prob(F-statistic) 0.000000
Durbin-Watson stat 2.425999
Sumber: EViews(data diolah).
Tabel 12 Hasil Pengolahan dengan Weighting Fixed Effect Model untuk Menguji
Heteroskedastisitas
Weighted Statistics R-squared 0.993742 Mean dependent var 23.62956
Adjusted R-squared 0.991208 S.D. dependent var 16.19965
S.E. of regression 0.884865 Sum squared resid 32.88545
F-statistic 392.2892 Durbin-Watson stat 2.257003
Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.982262 Mean dependent var 16.56017
Sum squared resid 37.56793 Durbin-Watson stat 2.065669
Sumber: EViews(data diolah).
50
Analisis secara parsial, bahwa variabel sistem pajak dan rent-seeking
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak. Variabel bebas lain yaitu
demokrasi tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak di 15 negara
G-20. Hal ini dapat disebabkan karena bercampurnya negara maju dan negara
berkembang dalam analisis data panel. Oleh karena itu, selanjutnya dilakukan
analisis data panel terhadap kelompok negara berkembang dan negara maju di
negara G-20 untuk melihat perbedaannya. Negara berkembang G-20 yang akan
dianalisis yaitu Afrika Selatan, Brasil, India, Indonesia, Rusia, dan Turki.
Tabel 14 Hasil Estimasi Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-seeking
terhadap Penerimaan Pajak di 6 Negara Berkembang G-20 pada Tahun
2008-2011
Variabel Koefisien Standar Eror t-Statistic Probabilitas C 0.137067 17.92520 0.007647 0.9940
LOG(TAXRANK) 2.308431 1.253176 1.842064 0.0853
DEMOCR 0.021093 0.178617 0.118091 0.9076
ICRG 0.095119 0.026654 3.568649 0.0028
R-squared 0.985027
Adjusted R-squared 0.977042
Sum squared resid weighted 13.22518
Sum squared resid unweighted 13.95503
Prob(F-statistic) 0.000000
Durbin-Watson stat 2.437571
Sumber: EViews(data diolah).
Nilai R-squared 0.985027 berarti variabel sistem pajak, demokrasi, dan
rent-seeking mampu menjelaskan variasi penerimaan pajak sebesar 98 persen.
Variasi sisanya sebesar 2 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
Penggunaan Fixed Effect Model tersebut menyatakan bahwa terdapat satu di
antara variabel sistem pajak, demokrasi, maupun rent-seeking yang signifikan
memengaruhi penerimaan pajak. Hal tersebut didasarkan dari nilai Prob(F-
statistik) yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0.0000 < a 5 %).
Analisis secara parsial, bahwa variabel sistem pajak dan rent-seeking
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak. Variabel bebas lain yaitu
demokrasi tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak di 6 Negara
Berkembang G-20 termasuk Indonesia. Hal ini dapat disebabkan karena negara-
negara berkembang tersebut masih berada pada masa demokrasi yang belum
mapan. Selanjutnya dilakukan analisis data panel terhadap negara maju di negara
G-20. Negara maju G-20 yang akan dianalisis yaitu Amerika Serikat, Australia,
Britania Raya, Jerman, Kanada, Korea Selatan, dan Perancis. Italia dan Jepang
tidak dianalisis karena memiliki data pencilan, sehingga menghasilkan estimasi
yang tidak signifikan.
51
Tabel 15 Hasil Estimasi Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-seeking
terhadap Penerimaan Pajak di 7 Negara Maju G-20 pada Tahun 2008-
2011
Variabel Koefisien Standar Eror t-Statistic Probabilitas C -6.210884 2.701841 -2.298760 0.0337
LOG(TAXRANK) 0.487746 0.256871 1.898799 0.0737
DEMOCR 0.080016 0.021471 3.726691 0.0015
ICRG 0.203650 0.052522 3.877448 0.0011
R-squared 0.988982
Adjusted R-squared 0.983473
Sum squared resid weighted 11.72261
Sum squared resid unweighted 15.62460
Prob(F-statistic) 0.000000
Durbin-Watson stat 2.158764
Sumber: EViews(data diolah).
Nilai R-squared 0.988982 berarti variabel sistem pajak, demokrasi, dan
rent-seeking mampu menjelaskan variasi penerimaan pajak sebesar 99 persen.
Variasi sisanya sebesar 1 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
Penggunaan Fixed Effect Model tersebut menyatakan bahwa terdapat satu di
antara variabel sistem pajak, demokrasi, maupun rent-seeking yang signifikan
memengaruhi penerimaan pajak. Hal tersebut didasarkan dari nilai Prob(F-
statistik) yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0.0000 < a 5 %).
Analisis secara parsial, pada taraf nyata 10 persen variabel sistem pajak,
demokrasi, dan rent-seeking berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak di
7 Negara Maju G-20, termasuk Australia. Variabel sistem pajak memiliki
koefisien sebesar 0.487746 dari hasil analisis regresi. Hal ini berarti kenaikan satu
persen sistem pajak akan mempengaruhi penerimaan pajak sebesar 0,49 persen.
Variabel demokrasi memiliki koefisien sebesar 0.080016 dari hasil analisis
regresi. Hal ini berarti kenaikan satu persen demokrasi akan mempengaruhi
penerimaan pajak sebesar 0,08 persen. Variabel ketidakadaan rent-seeking
memiliki koefisien sebesar 0.203650 dari hasil analisis regresi. Hal ini berarti
kenaikan satu persen ketidakadaan rent-seeking akan mempengaruhi penerimaan
pajak sebesar 0,20 persen, cateris paribus. Hal ini sesuai dengan pembahasan
sebelumnya tentang keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking
yaitu sistem pajak yang baik, demokrasi yang mapan, serta ketidakadaan rent-
seeking berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan positif terhadap
penerimaan pajak.
52
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Melihat dari perumusan masalah, tujuan yang hendak dicapai, serta hasil
dan pembahasan yang telah diperoleh, maka dari penelitian ini dapat diambil
beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) di Australia cukup besar karena
beberapa faktor seperti berikut: berbasis individual-based taxation principle;
tarif pajak pendapatan tertinggi dibebankan kepada Wajib Pajak yang tidak
memiliki TFN (Tax File Number); posisi ATO (Australian Tax Office) yang
independen; dan disamping sebagai administasi pajak, TFN juga berfungsi
untuk memfasilitasi dukungan pendapatan maupun bantuan dari pemerintah.
2. Kebijakan sistem perpajakan di Australia memperhatikan partisipasi
masyarakat dengan menjadikan TFN sebagai sarana untuk memperoleh
manfaat santunan ataupun tunjangan sosial dari pemerintah. Tingginya
partisipasi masyarakat ini mencerminkan keadaan demokrasi yang telah
mapan. Di Indonesia NPWP hanya berlaku sekedar untuk pengadministrasian
pajak. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara Wajib Pajak (rakyat)
dengan pemerintah belum demokratis, dicirikan antara lain oleh kurangnya
partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan transparansi dari pemerintah
terhadap publik yang masih kurang. Australia memiliki penilaian yang baik
melalui Indeks ICRG. Indeks tersebut menunjukan keadaan rent-seeking yang
rendah serta besarnya transparansi pada sistem pemerintahan di Australia.
Indonesia memiliki Indeks ICRG yang masih rendah serta kasus korupsi
dengan jenis penyuapan paling banyak terjadi. Di lingkungan institusi pajak,
penyuapan ini dilakukan untuk menghindari kewajiban membayar pajak. Oleh
karena itu, penghindaran pajak merupakan salahsatu akitivitas rent-seeking di
lingkungan perpajakan. Kerugian negara akibat penghindaran pajak mencapai
748,8 triliun pada periode 2001-2010.
3. Berdasarkan analisis data panel diketahui bahwa sistem pajak yang baik,
demokrasi yang mapan, serta ketidakadaan rent-seeking berpengaruh
signifikan dan memiliki hubungan positif terhadap penerimaan pajak.
Saran
Melihat dari bab pendahuluan hingga kesimpulan yang telah dibuat, maka
beberapa saran yang direkomendasikan, yaitu:
1. Pemerintah hendaknya mengkaji peningkatan status Direktorat Jendral Pajak
dari level Eselon I Departemen Keuangan menjadi institusi Lembaga
Pemerintah Non Departemen. Peningkatan status ini akan mempermudah
koordinasi dengan instansi lain serta menyederhanakan birokasi karena adanya
pemisahan antara fungsi regulator (Kementrian Keuangan) dan operator
(Direktorat Jendral Pajak).
2. Bila peningkatan status tersebut belum dapat disetujui, Direktorat Jendral
Pajak saat ini hendaknya memperluas fungsinya selain sebagai institusi
pemungut pajak namun juga sebagai lembaga penyedia jaminan sosial di
53
bidang kesehatan maupun pendidikan seperti Asuransi Kesehatan maupun
beasiswa pendidikan.
3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Direktorat Jendral Pajak
hendaknya bekerjasama membuat nota kesepahaman (Memorandum of
Understanding/MoU) dalam mencegah dan mengungkap aktivitas rent-
seeking di lingkungan perpajakan.
4. Australian Taxation Office (ATO) hendaknya bekerjasama dengan Direktorat
Jendral Pajak serta institusi-institusi pajak di negara lain untuk mengatasi
penghindaran pajak oleh perusahaan global. Upaya ini dapat dilakukan dengan
melakukan pertukaran informasi pajak antarnegara dan pembuatan aturan
perpajakan secara global.
5. Peneliti lain yang ingin melakukan analisis ekonometrika mengenai pengaruh
ekonomi politik terhadap penerimaan pajak hendaknya menggunakan variabel,
jumlah negara, jumlah tahun, serta indikator yang lebih lengkap sehingga
dapat menghasilkan estimasi yang lebih baik.
54
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, A. 2003. Reformasi Perpajakan. Salemba Empat. Jakarta.
Budiman, J dan Miharjo, S. 2012. Pengaruh Karakter Eksekutif terhadap
Penghindaran Pajak (Tax Avoidance). S2 Ilmu Akuntansi UGM. Yogyakarta.
Burton, R. dan Ilyas, W. B. 2004. Hukum Pajak. Salemba Empat. Jakarta.
Eko, S. 2003. Transisi Demokrasi Indonesia. APMD Press. Jakarta.
Emzir. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Raja Grafindo
Persada.
Juanda, B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB PRESS. Bogor.
Irianto, E. S. dan Jurdi, S. 2005. Politik Perpajakan: Membangun Demokrasi
Negara. UII Press. Yogyakarta.
Irianto, E. S. 2012. Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Pajak di Indonesia. CV.
Aswaja Pressindo. Yogyakarta.
Ismawan, I. 2001. Memahami Reformasi Perpajakan 2000. PT Elex Media
Komputindo. Jakarta.
Kesit, B. P. Juni 2003. Analisis Pengaruh Kebijakan Tax Holiday terhadap
Perkembangan Penanaman Modal Asing di Indonesia (Tahun 1970-1999).
Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 8. No. 1.
Mansury. 1996. Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia Jilid 3. PT
Bina Rena Pariwara. Jakarta.
Nugroho, R. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang. PT Elex
Media Komputindo. Jakarta.
Nariwati, U. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Teori dan
Aplikasi. Agung Media. Bandung.
Nurmantu, S. 2005. Pengantar Perpajakan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Pandiangan, L. 2008. Modernisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan
berdasarkan Ketentuan Terbaru. Penerbit Elex Media komputindo. Jakarta.
Parsons, W. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan.
Kencana. Jakarta.
Perdana, A. A. 2009. Biaya Ekonomi dari Korupsi: Perspektif Teori dan Empiris
dalam Korupsi Mengorupsi Indonesia. Wijayanto dan Ridwan Zachrie. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Prakosa, K. B. dan Malian, S. 2003. Pajak dan Retribusi Daerah. UII Press.
Yogyakarta.
Prastowo, J dan Budiantoro, S. Maret 2012. Rasio Pajak Rendah, Utang Makin
Menumpuk. Prakarsa Policy Review.
Puteri, A. Y.. 2012. Implikasi Kasus Gayus Tambunan dalam Kesadaran Wajib
Pajak [Skripsi]. Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Jatim.
Rachbini, D J. 1999. Diagnosa Ekonomi dan Kebijakan Publik. PT Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta.
Ralona, M. 2006. Kamus Istilah Ekonomi Populer. Niaga Swadaya. Jakarta.
Rosdiana, H dan Tarigan, R. 2005. Perpajakan, Teori dan Aplikasi. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Sahrani, A dan Wijaya, D. 2003. Kamus Ekonomi, Uang, dan Bank. Restu Agung.
Jakarta.
Santoso, B. R. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Refika Aditama. Bandung.
55
Siswahyudi. 2008. Analisis Komparasi Regulasi Registrasi Wajib Pajak Orang
Pribadi antara Indonesia dengan Australia [Tesis]. Magister Administrasi
Publik UGM. Yogyakarta.
Soemitro, R. 1993. Pajak Penghasilan. Eresco. Bandung.
Sony, D. dan Rahayu, S. K. 2006. Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Prenada
Media Group. Jakarta.
Sudibyo, B. Agustus 2012. Reformasi Pajak dalam Kerangka Reformasi
Ekonomi-Politik di Indonesia. Jurnal Akuntansi & Manajemen. Vol. 23. No. 2.
Thoha, M. 2003. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Radja
Grafindo Persada. Jakarta.
Tjahjono dan Husein. 1997. Perpajakan. Akademika Manajemen Perusahaan
YKPN. Yogyakarta.
Tunliu, J. J. A. 2010. Pengaruh Intensifikasi dan Ekstensifikasi terhadap
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Guna Mewujudkan Kemandirian
Keuangan Daerah [Tesis]. Universitas Brawijaya. Malang.
Yustika, A. E. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi.
Bayumedia Publishing. Jatim.
Winarno, B. dan Ismawan, I. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media
Pressindo. Yogyakarta.
56
Lampiran 1 Data Negara Anggota G-20
Sumber: International Monetary Fund, UNDP (data diolah).
PerdaganganNominal
GDPPPP GDP
Nominal
GDPPPP GDP HDI Klasifikasi
juta USD juta USD juta USD per capita per capita (2012)^^ Ekonomi
-2012 (2012)* (2012)** USD USD (IMF)^^^
(2012)*** (2012)^
Afrika Selatan 208,000 384,315 582,391 7,506 11,375 0.629 53,000,000 Berkembang
Amerika
Serikat3,969,000 15,684,750 15,684,750 49,922 49,922 0.937 316,173,000 Maju
Kanada 962,600 1,819,081 1,488,311 52,231 42,734 0.911 34,088,000 Maju
Meksiko 756,800 1,177,116 1,758,896 10,247 15,311 0.775 112,211,789 Berkembang
Brasil 494,800 2,395,968 2,355,586 12,078 11,875 0.73 193,088,765 Berkembang
Argentina 152,690 474,954 743,121 11,576 18,112 0.811 40,117,096 Berkembang
Cina 3,801,000 8,227,037 12,405,670 6,075 9,161 0.699 1,339,724,852 Berkembang
Jepang 1,649,800 5,963,969 4,627,891 46,735 36,265 0.912 127,390,000 Maju
Korea Selatan 1,068,700 1,155,872 1,613,921 23,112 32,272 0.909 50,004,441 Maju
India 809,400 1,824,832 4,684,372 1,491 3,829 0.554 1,210,193,422 Berkembang
Indonesia 384,100 878,198 1,216,738 3,592 4,977 0.629 237,556,363 Berkembang
Rusia 900,600 2,021,960 2,513,299 14,246 17,708 0.788 143,400,000 Berkembang
Turki 370,800 794,468 1,123,380 10,609 15,001 0.722 72,561,312 Berkembang
Uni Eropa 4,567,000 16,414,483 16,073,550 32,708 32,028 0.876 501,259,840 N/A
Jerman 2,768,000 3,400,579 3,197,069 41,512 39,028 0.92 81,757,600 Maju
Perancis 1,226,400 2,608,699 2,254,067 41,140 35,547 0.893 65,447,374 Maju
Inggri 1,127,000 2,440,505 2,336,295 38,588 36,941 0.875 62,041,708 Maju
Itali 953,000 2,014,079 1,832,916 33,115 30,136 0.881 60,325,805 Maju
Saudi Arabia 518,300 727,307 906,806 25,084 31,275 0.782 27,123,977 Berkembang
Australia 522,000 1,541,797 970,764 67,722 42,640 0.938 22,328,632 Maju
Tersedia
Tidak Tersedia
Tersedia
Tersedia
Tersedia
Tidak Tersedia
Tersedia
Tersedia
Tersedia
Tersedia
Tidak Tersedia
Ketersediaan Data
untuk Analisis Data
Panel
Tersedia
Tersedia
Tersedia
Tersedia
Tersedia
Tersedia
Tidak Tersedia
Tidak Tersedia
Tersedia
Negara
AnggotaPopulation
57
Lampiran 2 Data untuk Analisis Data Panel (1)
Sumber: Economist Intelligent Unit, PwC, Worldbank, Political Risk Services (data
diolah).
(Persen) (Satuan) (Persen) (Persen)
Afrika Selatan 2008 28.15 61 79 41.67
Afrika Selatan 2009 25.42 46 79 33.33
Afrika Selatan 2010 25.88 23 78 50.00
Afrika Selatan 2011 26.08 24 78 41.67
Amerika Serikat 2008 10.38 76 82 66.67
Amerika Serikat 2009 8.52 46 82 66.67
Amerika Serikat 2010 9.19 61 82 66.67
Amerika Serikat 2011 10.09 62 81 66.67
Australia 2008 24.30 41 91 75.00
Australia 2009 22.16 48 92 75.00
Australia 2010 20.67 47 92 83.33
Australia 2011 20.52 48 92 83.33
Brasil 2008 15.91 137 74 50.00
Brasil 2009 14.80 145 73 50.00
Brasil 2010 14.63 150 71 50.00
Brasil 2011 15.74 152 71 50.00
Britania Raya 2008 28.77 12 82 66.67
Britania Raya 2009 25.79 16 82 66.67
Britania Raya 2010 26.67 16 82 66.67
Britania Raya 2011 27.41 16 82 66.67
India 2008 10.75 165 78 42.67
India 2009 9.64 169 75 41.67
India 2010 10.09 169 73 42.67
India 2011 10.39 164 73 33.33
Indonesia 2008 13.04 110 63 66.67
Indonesia 2009 11.43 116 64 50.00
Indonesia 2010 10.85 127 65 50.00
Indonesia 2011 11.77 130 65 50.00
Penerimaan PajakIndeks International
Country Risk Guide
Indeks
Demokrasi
Rangking Kemudahan
Membayar PajakNegara Tahun
58
Lampiran 3 Data untuk Analisis Data Panel (2)
Sumber: Economist Intelligent Unit, PwC, Worldbank, Political Risk Services (data
diolah).
(Persen) (Satuan) (Persen) (Persen)
Italia 2008 22.39 122 80 41.67
Italia 2009 22.95 128 79 41.67
Italia 2010 22.66 136 78 41.67
Italia 2011 22.49 128 77 41.67
Jepang 2008 9.28 105 83 50.00
Jepang 2009 8.70 112 82 50.00
Jepang 2010 9.14 123 81 75.00
Jepang 2011 9.77 112 81 75.00
Jerman 2008 11.55 67 88 83.33
Jerman 2009 11.87 80 86 83.33
Jerman 2010 11.39 71 84 83.33
Jerman 2011 11.80 88 83 83.33
Kanada 2008 12.78 25 91 83.33
Kanada 2009 12.50 28 91 83.33
Kanada 2010 12.08 28 91 83.33
Kanada 2011 11.62 10 91 83.33
Korea Selatan 2008 16.30 40 80 50.00
Korea Selatan 2009 15.45 43 81 41.67
Korea Selatan 2010 15.15 49 81 50.00
Korea Selatan 2011 15.58 49 81 50.00
Perancis 2008 21.67 82 81 83.33
Perancis 2009 19.85 66 79 83.33
Perancis 2010 21.34 59 78 75.00
Perancis 2011 21.25 55 78 70.00
Rusia 2008 15.82 130 45 33.33
Rusia 2009 12.96 134 44 50.00
Rusia 2010 13.05 103 43 33.33
Rusia 2011 15.03 105 39 33.33
Turki 2008 18.44 54 57 41.67
Turki 2009 19.26 68 57 41.67
Turki 2010 20.39 75 57 41.67
Turki 2011 20.06 75 57 41.67
Penerimaan PajakIndeks International
Country Risk Guide
Indeks
Demokrasi
Rangking Kemudahan
Membayar PajakNegara Tahun
59
Lampiran 4 Hasil Estimasi Pooled Least Square
Dependent Variable: TAXREV
Method: Panel Least Squares
Date: 10/11/13 Time: 16:34
Sample: 2008 2011
Periods included: 4
Cross-sections included: 15
Total panel (balanced) observations: 60 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 42.34821 7.534714 5.620413 0.0000
LOG(TAXRANK) -5.030581 1.054935 -4.768617 0.0000
DEMOCR 0.049813 0.074847 0.665528 0.5084
ICRG -0.144766 0.054674 -2.647785 0.0105 R-squared 0.317120 Mean dependent var 16.56017
Adjusted R-squared 0.280537 S.D. dependent var 5.991426
S.E. of regression 5.081998 Akaike info criterion 6.153627
Sum squared resid 1446.296 Schwarz criterion 6.293250
Log likelihood -180.6088 Hannan-Quinn criter. 6.208241
F-statistic 8.668530 Durbin-Watson stat 0.143945
Prob(F-statistic) 0.000081
Sumber: EViews (data diolah)
60
Lampiran 5 Hasil Estimasi Fixed Effect Model
Dependent Variable: TAXREV
Method: Panel Least Squares
Date: 10/11/13 Time: 16:34
Sample: 2008 2011
Periods included: 4
Cross-sections included: 15
Total panel (balanced) observations: 60 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 17.99029 8.481838 2.121036 0.0399
LOG(TAXRANK) 0.832187 0.664903 1.251592 0.2176
DEMOCR -0.064120 0.106233 -0.603579 0.5494
ICRG -0.000795 0.028291 -0.028110 0.9777 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.982835 Mean dependent var 16.56017
Adjusted R-squared 0.975888 S.D. dependent var 5.991426
S.E. of regression 0.930360 Akaike info criterion 2.936835
Sum squared resid 36.35393 Schwarz criterion 3.565138
Log likelihood -70.10505 Hannan-Quinn criter. 3.182599
F-statistic 141.4628 Durbin-Watson stat 2.131044
Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: EViews (data diolah)
61
Lampiran 6 Hasil Estimasi Random Effect Model
Dependent Variable: TAXREV
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 10/11/13 Time: 16:35
Sample: 2008 2011
Periods included: 4
Cross-sections included: 15
Total panel (balanced) observations: 60
Swamy and Arora estimator of component variances Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 15.74652 6.671582 2.360237 0.0218
LOG(TAXRANK) 0.309579 0.627669 0.493220 0.6238
DEMOCR -0.005389 0.077230 -0.069773 0.9446
ICRG -0.001309 0.026900 -0.048675 0.9614 Effects Specification
S.D. Rho Cross-section random 5.431903 0.9715
Idiosyncratic random 0.930360 0.0285 Weighted Statistics R-squared 0.004156 Mean dependent var 1.413016
Adjusted R-squared -0.049193 S.D. dependent var 0.947959
S.E. of regression 0.970996 Sum squared resid 52.79863
F-statistic 0.077900 Durbin-Watson stat 1.475654
Prob(F-statistic) 0.971703 Unweighted Statistics R-squared -0.037730 Mean dependent var 16.56017
Sum squared resid 2197.845 Durbin-Watson stat 0.035450
Sumber: EViews (data diolah)
62
Melalui pengujian dengan menggunakan Uji Chow pada taraf nyata 5
persen diperoleh nilai probabilitas (p-value) lebih kecil dari taraf nyata (0.000 < a
5 %) maka tolak H0. Dari hasil Uji Haussman, diperoleh nilai probabilitas (p-
value) lebih kecil dari taraf nyata (0.0460< a 5 %) maka tolak H0. Oleh karena itu ,
disimpulkan bahwa Fixed Effect Model merupakan pendekatan analisis regresi
data panel yang terbaik.
Lampiran 8 Hasil Haussman Test
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: REM
Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 7.998691 3 0.0460
Sumber: EViews (data diolah)
Lampiran 7 Hasil Chow Test
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: FEM
Test cross-section fixed effects Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 116.351231 (14,42) 0.0000
Cross-section Chi-square 221.007503 14 0.0000
Sumber: EViews (data diolah)
63
Berdasarkan uji normalitas, didapatkan nilai probabilitas Jarque Bera yang
lebih besar dari taraf nyata 5 persen (3.561907 > a 5 %). Hal ini berarti error term
terdistribusi dengan normal, sehingga pengujian menggunakan statistik-t telah sah.
Lampiran 9 Hasil Uji Normalitas Data
Sumber: EViews (data diolah)
0
2
4
6
8
10
-1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5
Series: Standardized Residuals
Sample 2008 2011
Observations 60
Mean 1.07e-16
Median -0.022827
Maximum 1.367935
Minimum -1.403588
Std. Dev. 0.755395
Skewness 0.080255
Kurtosis 1.817207
Jarque-Bera 3.561907
Probability 0.168477
64
Lampiran 10 Fixed Effect Model dengan pembobotan (cross section weights) dan
white cross section.
Dependent Variable: TAXREV
Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Date: 10/11/13 Time: 11:03
Sample: 2008 2011
Periods included: 4
Cross-sections included: 15
Total panel (balanced) observations: 60
Linear estimation after one-step weighting matrix
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 10.64933 2.265920 4.699783 0.0000
LOG(TAXRANK) 0.907513 0.240900 3.767173 0.0005
DEMOCR 0.016504 0.024682 0.668688 0.5074
ICRG 0.014456 0.008438 1.713317 0.0940 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.994216 Mean dependent var 24.67671
Adjusted R-squared 0.991875 S.D. dependent var 17.38423
S.E. of regression 0.895314 Sum squared resid 33.66666
F-statistic 424.7044 Durbin-Watson stat 2.425999
Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.982488 Mean dependent var 16.56017
Sum squared resid 37.08858 Durbin-Watson stat 2.114715
Sumber: EViews (data diolah)
65
Lampiran 11 Kerugian Akibat Penghindaran Pajak di Indonesia dan Australia
Sumber: Kurs BCA (1 September 2013) Dirjen Pajak, ATO, IMF (data diolah).
Rp 78,88 triliun 7.37% 0.74% GFI (2012)
Rp 110 triliun 10.82% 1.09% Prakarsa (2013)
Rata-rata Rp 94,44 triliun 9.10% 0.92%
Rp 114 triliun 2.56% 0.65% ACTU (2011)
Rp 176 triliun 3.95% 1.00% ABS (2010)
Rata-rata Rp 145 triliun 3.26% 0.83%
Keterangan: 11,450.00Rp
1,016,237,000,000.00Rp
4,466,267,150,000.00Rp
10,055,367,100,000.00Rp
17,653,575,650,000.00Rp
Sumber (Tahun
Penelitian)
Kerugian akibat
Penghindaran Pajak (Rata-
rata per Tahun)
Negara
Australia
Indonesia
Persentase dari
Penerimaan Pajak
Tahun 2012 (%)
Persentase dari PDB
Tahun 2012 (%)
Kurs Rupiah terhadap Dollar:
PDB Australia Tahun 2012:
PDB IndonesiaTahun 2012:
Penerimaan Pajak Australia Tahun 2012:
Penerimaan Pajak Indonesia Tahun 2012:
66
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Lira Wigiana, lahir pada tanggal 23 Mei 1991 di Kuningan,
Jawa Barat. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan
Sugiatna Sumawikarta dan Euis Wiarsih. Penulis mengawali jenjang
pendidikannya dari taman kanak-kanak pada tahun 1996 di TK Aryandini
Bandung kemudian pada tahun 1997 dilanjutkan ke SD Kartika 11-10 Bandung.
Tahun 2003 penulis melanjutkan studinya ke SMP Negeri 34 Bandung hingga
lulus pada tahun 2006 kemudian dilanjutkan ke SMA Negeri 12 Bandung hingga
lulus pada tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa lembaga intra dan
ekstra kampus. Lembaga intra kampus yang diikuti, yaitu: Himpunan Profesi dan
Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (Hipotesa) FEM IPB sebagai
bendahara divisi Information, Promotion, and Internal Relationship (Intel) (2010-
2011); Community of Art, Sport, and Culture (COAST) Art FEM IPB dalam Klub
Musik Perkusi (2011); Onigiri Japan Club (2010-sekarang); dan sebagai Dewan
Kehormatan di UKM Lingkung Seni Sunda (Lises) Gentra Kaheman (2010-
sekarang). Lembaga ekstra kampus yang diikuti yaitu Gerakan Masyarakat Jawa
Barat (Gema Jabar) sebagai tim kesekretariatan (2011-sekarang). Selain itu
semasa tingkat 1 perkuliahan sempat bergabung dengan UKM Bola Voli, UKM
Bulutangkis, dan Paguyuban Mahasiswa Bandung (Pamaung) di IPB. Penulis pun
aktif di berbagai acara intra dan ekstra kampus, baik sebagai panitia maupun
pengisi acara, seringkali sebagai pemain musik. Disamping kelembagaan dan
kepanitiaan yang diikuti, penulispun giat mencari berbagai pengalaman dan
kemampuan, antara lain dengan bergabung sebagai pekerja paruh waktu di
Animax Action Club (AAC) Indonesia, serta mengikuti les bahasa Inggris dan
Jepang.