Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS VARIABEL EKONOMI MAKRO YANG
MEMPENGARUHI KURS RUPIAH TERHADAP
MATA UANG NEGARA-NEGARA ASEAN
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Nindhita K. I.
125020400111039
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
Analisis Variabel Ekonomi Makro yang Mempengaruhi Kurs Rupiah
Terhadap Mata Uang Negara-Negara ASEAN Nindhita K. I.
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Email: [email protected]
ABSTRAK
Berkembangnya tingkat globalisasi saat ini mendorong kerjasama antar negara menjadi
semakin luas. ASEAN sebagai wujud dari kerja sama internasional antar negara di Asia Tenggara juga memasuki tahapan baru dalam ekonomi kawasan yang dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) 2015, dimana pada tahapan tersebut terjadi pembebasan arus tenaga kerja
produksi yang terampil dan arus perdagangan intra ASEAN. Perdagangan internasional tidak
terlepas dari kurs mata uang asing. Semakin bebasnya tingkat perdagangan internasional Indonesia dengan negara-negara di ASEAN, maka dengan sistem nilai tukar mengambang bebas, para pelaku
pasar perlu melihat pergerakkan dari kurs rupiah terhadap mata uang negara-negara ASEAN.
Untuk melihat pergerakkan dari nilai tukar mata uang rupiah, perlu diperhatikkan pula kondisi
variabel ekonomi makro di negara tersebut. Terlebih lagi dengan adanya kebijakan pengurangan stimulus yang dilakukan The Fed atau yang disebut kebijakan tapering off turut mempengaruhi
kondisi ekonomi global. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah variabel makro
inflasi, tingkat suku bunga, gross domestic product, neraca pembayaran, jumlah uang beredar dan
kebijakan tapering off mempengaruhi kurs rupiah terhadap mata uang negara-negara ASEAN. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kurs rupiah terhadap mata uang Singapura,
Thailand, Filipina dan Malaysia sebagai variabel dependen selama periode tahun 2008 sampai
tahun 2015. Dengan menggunakan alat uji regresi berganda ditemukan hasil bahwa variabel inflasi
dan neraca pembayaran tidak mempengaruhi kurs rupiah terhadap mata uang negara-negara ASEAN. Sedangkan variabel tingkat suku bunga mempengaruhi kurs rupiah terhadap mata uang
negara-negara ASEAN (kecuali kurs rupiah terhadap ringgit Malaysia). Untuk variabel GDP
hanya mempengaruhi kurs rupiah terhadap dolar Singapura, variabel jumlah uang beredar dapat
mempengaruhi kurs rupiah terhadap mata uang negara-negara ASEAN, dan variabel kebijakan tapering off hanya mempengaruhi kurs rupiah terhadap baht Thailand.
Kata Kunci: Ekonomi Makro, Kurs, ASEAN, Tapering Off.
A. PENDAHULUAN
Satu negara dengan negara lain pastinya akan memiliki ketergantungan dimana setiap negara
akan saling membutuhkan dalam memenuhi kebutuhan negaranya masing-masing. Di situlah
kemudian akan terjadi transaksi internasional atau yang sering disebut dengan perdagangan internasional. Dengan berkembangnya globalisasi saat ini dapat berdampak pada meningkatnya
kerjasama ekonomi yang menjadi semakin luas. Dewasa ini negara Indonesia bersama dengan
anggota ASEAN yang lain telah membentuk suatu kerjasama ekonomi ASEAN yang mengarah
pada pembentukan komunitas ekonomi ASEAN sebagai suatu integrasi ekonomi kawasan ASEAN yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi yang biasa disebut dengan Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC). MEA tersebut bertujuan untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan budaya. Adanya MEA
tersebut maka semakin membuka arus perdagangan antar negara-negara di ASEAN, sehingga arus keluar masuk barang, jasa, investasi dan tenaga kerja juga menjadi tidak terbatas di daerah
kawasan ASEAN. Arus keluar masuk barang, jasa, investasi dan tenaga kerja yang terjadi
meningkatkan transaksi keuangan internasional antar negara-negara ASEAN. Salah satu yang memiliki peran penting dalam perdagangan internasional adalah nilai tukar. Sebab perdagangan
yang dilakukan antar negara tersebut pasti tidak terlepas dari valuta asing.
Sejak diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang bebas (freely floating system) di
Indonesia pada tahun 1997, pasar valuta asing juga ikut berkembang secara pesat. Sehingga aktivitas transaksi pada bursa valuta asing tidak hanya terbatas dalam suatu negara, tetapi juga
dilakukan secara internasional dan melibatkan berbagai macam mata uang kuat dunia. Sistem nilai tukar mengambang bebas mambuat nilai tukar mata uang semakin berfluktuasi. Hal itu disebabkan
karena dalam sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar bergerak sesuai dengan mekanisme
pasar atau bergerak sesuai dengan permintaan dan penawaran pasar valuta asing. Nilai tukar mata
uang dapat mencerminkan keadaan perekonomian suatu negara. Pertumbuhan nilai mata uang yang stabil menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki kondisi ekonomi yang relatif baik atau
stabil (Salvatore, 1997:10). Pentingnya peranan nilai tukar mendorong setiap negara untuk
melakukan upaya agar nilai tukar relatif stabil. Untuk menghasilkan kondisi ekonomi yang stabil
perlu diperhatikan pula kondisi ekonomi makro dari suatu negara. Dimana ekonomi makro merupakan sistem yang mempelajari tentang perubahan kondisi ekonomi yang membawa
pengaruh terhadap masyarakat. Bentuk perubahan kondisi ekonomi meliputi ekonomi moneter dari
negara tersebut, yaitu perubahan dari inflasi, tingkat suku bunga, tingkat gross domestic product,
neraca pembayaran dan tingkat jumlah uang beredarnya. Sehingga adanya perubahan dari ekonomi makro dapat mempengaruhi perubahan dari nilai tukar mata uangnya.
Terjadinya krisis moneter juga dapat berdampak pada perubahan kondisi ekonomi dari suatu
negara. Perubahan kondisi ekonomi yang melemah akibat krisis dapat tercermin pada nilai tukar
mata uang negaranya. Krisis yang melanda dunia dapat berpengaruh terhadap negara Indonesia. Pada saat terjadi krisis, kondisi ekonomi di Indonesia ikut berfluktuasi, akibatnya ketika nilai mata
uang Indonesia melemah dapat menunjukkan pula lemahnya kondisi negara Indonesia untuk
melakukan transaksi luar negeri. Baik untuk kegiatan ekspor impor maupun untuk pembayaran
hutang luar negeri. Melemahnya nilai tukar mata uang menyebabkan perekonomian yang goyah yang diikuti dengan krisis ekonomi dan krisis kepercayaan pada mata uang domestik untuk
bertransaksi.
Seperti krisis yang terjadi pada tahun 1997, yang mengakibatkan krisis kepercayaan di
kawasan Asia Timur. Para investor barat mulai menarik dananya sehingga menimbulkan efek bola salju. Dimulai dengan semakin menurunnya kondisi ekonomi negara Thailand yang tercermin dari
nilai tukar mata uang baht melemah dari harga 25 per dolar AS menjadi 56 per dolar AS di awal
tahun 1998. Begitu juga dengan nilai tukar mata uang negara Filipina dan Malaysia yang terpukul
jatuh di titik terendahnya. Diikuti dengan nilai tukar mata uang rupiah yang terperosok dari angka Rp 2.500 per dolar AS, menjadi Rp 9.530 per dolar AS.
Pada tahun 2008 krisis kembali melanda perekonomian dunia. Krisis tersebut disebabkan oleh
krisis subprime mortage dari Amerika Serikat. Adanya guncangan ekonomi itu kembali memukul
perekonomian Indonesia yang tercermin dari nilai tukar rupiahnya yang berada pada level terendah yaitu Rp 12.211 per dolar AS pada akhir tahun 2008. Untuk mencegah terjadinya krisis yang
semakin besar di Amerika Serikat, The Fed mengeluarkan kebijakan quantitative easing.
Kebijakan quantitative easing tersebut diharapkan dapat merangsang perekonomian Amerika
Serikat dengan cara menambah money supply tanpa meningkatkan tingkat suku bunganya. Kebijakan quantitative easing dilakukan pemerintah dengan membeli surat-surat berharga jangak
panjang ataupun jangka pendek. Ketika kebijakan tersebut dirasa sudah cukup memperbaiki
perekonomiannya, pada akhir tahun 2013 pemerintah Amerika Serikat mengumumkan bahwa akan
memberhentikan stimulus tersebut secara bertahap. Kebijakan untuk mengurangi stimulus secara bertahap tersebut disebut dengan kebijakan tapering off. Adanya kebijakan tapering off
menyebabkan adanya capital outflow di negara-negara emerging market, yang mana sebelumnya
banyak investor menaruh dananya di negara-negara tersebut. Dengan kata lain, Amerika Serikat
mulai menarik kembali jumlah uang beredarnya. Semakin sedikit jumlah uang beredar dolar AS maka akan meningkatkan permintaan akan mata uang dolar AS. Menurut teori permintaan dan
penawaran valuta asing, meningkatnya permintaan valuta asing tersebut akan mendepresiasi nilai
tukar mata uang domestik. Adanya capital outflow akibat kebijakann tapering off di negara-negara
emerging market juga turut dirasakan negara Indonesia sebagai salah satu negara yang termasuk negara emerging market.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melihat apakah variabel-variabel
ekonomi makro beserta kebijakan tapering off dapat mempengaruhi kurs rupiah terhadap mata uang negara-negara ASEAN.
B. KAJIAN PUSTAKA
Kurs/ Nilai Tukar (Exchange Rate)
Nilai tukar adalah harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya atau nilai dari suatu mata
uang terhadap nilai mata uang lainnya (Salvatore 1997:9). Pengertian Nilai Tukar Mata Uang yang
lainnya disebut kurs, menurut Paul R Krugman dan Maurice (1994:73) kurs adalah harga sebuah mata uang dari suatu negara yang diukur atau dinyatakan dalam mata uang lainnya. Menurut
Nopirin (1996:163), kurs adalah pertukaran antara dua mata uang yang berbeda, maka akan
mendapat perbandingan nilai/harga antara kedua mata uang tersebut.
Dapat disimpulkan nilai tukar rupiah adalah suatu perbandingan antara nilai mata uang suatu
negara dengan negara lain. Nilai tukar biasanya berubah-ubah, perubahan kurs dapat berupa
depresiasi dan apresiasi. Kenaikan nilai tukar mata uang dalam negeri disebut apresiasi atas mata uang asing. Penurunan nilai tukar uang dalam negeri disebut depresiasi atas mata uang asing.
Pergerakan volatilitas kurs suatu negara berbeda-beda. Salah satunya untuk menentukan nilai tukar mata uang biasanya dapat dilihat dengan menggunakan Sistem Moneter Internasional. Dan di
setiap negara memikiki sistem nilai tukar mata uang yang berbeda-beda. Berikut adalah jenis-jenis
sistem nilai tukar mata uang (Madura, 2000:156):
1. Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed)
Dalam sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate system), nilai tukar dibuat konstan atau
hanya dibiarkan berfluktuasi dalam batas-batas yang sangat sempit. Jika nilai tukar mulai bergerak
tajam, pemerintah dapat melakukan intervensi untuk mempertahankannya dalam batas-batas yang
dimaksud.
2. Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas (Freely Floating)
Dalam sistem nilai tukar mengambang bebas (freely floating exchange rate system), nilai tukar
valuta asing akan ditentukan oleh kekuatan pasar tanpa intervensi dari pemerintah. Dalam sistem
ini, perusahaan-perusahaan multinasional perlu mencurahkan sumber daya yang substansial untuk mengukur dan mengelola risiko valuta asing.
3. Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali (Managed Float)
Sistem nilai tukar sejumlah valuta asing yang ada sekarang berada diantara sistem nilai tukar
tetap dan sistem nilai tukar mengambang bebas. Sistem tersebut menyerupai sistem mengambang bebas karena nilai tukar dibiarkan berfluktuasi setiap hari dan tidak ada batasan resmi. Tetapi,
kadang-kadang melakukan intervensi untuk mencegah valuta mereka berfluktuasi terlalu tajam ke
satu arah. Tipe sistem ini dikenal dengan nama sistem mengambang terkendali (managed float
exchange rate system)
4. Sistem Nilai Tukar Terpatok (Pegged)
Sejumlah negara menggunakan sistem nilai tukar terpatok (pegged exchange rate system),
dimana valuta mereka dipatokkan (dikaitkan) ke suatu valuta lain atau ke suatu unit perhitungan.
Walaupun nilai valuta lokal tetap dalam hubungannya dengan valuta asing (atau unit perhitungan) yang menjadi patokan, valuta tersebut bergerak mengikuti valuta tersebut relative terhadap valuta-
valuta asing.
Jenis-jenis Kurs
Valuta asing dinyatakan dalam satuan kurs. Valuta asing merupakan komoditas yang
diperjualbelikan dalam pasar valuta asing. Dimana permintaan dan penawaran dari valuta asing sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor. Oleh sebab itu, adapun jenis-jenis kurs yang dilakukan di
pasar valuta asing adalah:
1. Kurs spot
Hampir semua orang pernah melakukan transaksi spot, yaitu membeli komoditas dan segera membawanya pulang setelah membayarnya, seperti pepatah, “Ada uang ada barang.”. Kurs spot
adalah harga dari transaksi jual-beli valuta asing yang penyerahan dananya dilakukan segera
setelah kontrak dibuat atau maksimum dua hari kerja setelah kontrak dibuat (Joesoef, 2008:30).
Kurs spot merupakan jenis kurs yang terbentuk dari transaksi dimana pembelian dan penjualan valas dilakukan bedasarkan nilai tukar yang terjadi pada saat transaksi (spot rate). Penyerahan
transaksi spot antar bank pada umumnya dilakukan dua hari kemudian setelah transaksi (T+2),
sedangkan penyerahan di pasar tunai dilakukan pada hari transaksi tersebut terjadi (same day
settlement). Dua hari kerja ini diperlukan untuk mengakomodasi perbedaan zona waktu antara satu negara dengan negara lain, serta untuk memberikan waktu luang bagi penatausahaan transaksi.
Para pedagang valas secara tetap memonitor kurs ini, yang dengan cepat merefleksikan perubahan
tekanan permintaan dan penawaran yang ditransmisikan ke bursa oleh pedagang valas baik
bertindak atas nama sendiri ataupun bertindak aras nama klien bisnisnya (Jamli, 1998:45). Nilai kurs yang terbentuk pada pasar ini dimanakan sebagai kurs spot.
2. Kurs Forward
Kurs forward yaitu harga dari transaksi jual-beli valuta asing yang penyerahan dananya
dilakukan lebih dari dua hari kerja (misalnya 1 minggu, 30 hari, 90 hari, 180 hari, dan seterusnya) setelah kontrak dibuat. Macam transaksi forward seperti transaksi pesan-memesan komoditas,
dimana harga komoditas ditentukan sekarang tetapi aliran uang dan komoditasnya terjadi di
kemudian hari.
Antara kurs spot dan kurs forward, secara realistas memiliki hubungan yang sangat erat. Kurs spot dan kurs forward yang terbentuk masing-masing pasar, menurut hasil penelitian memiliki
tingkat korelasi yang tinggi (Gartner, 1993:197). Kurs forward sangat kurang dalam merefleksikan
nilai tukar di masa mendatang (future spot rate) (Gartner, 1993:198). Kondisi ini tidak
mengherankan sebab spot rate selalu berubah mengikuti setiap perubahan pada unforessen developments (news) dimana di sisi lain tidak diketahui saat kurs forward ditentukan, sehingga
forward rate tidak dapat secara tepat dan meyakinkan good predictor dari future spot rate (Gartner
1993:198). Meskipun antara kurs spot dan kurs forward memilliki korelasi yang tinggi namun
dalam membentuk ekspektasi dalam bursa valas, para pelaku pasar menggunakan kurs spot dibandingkan dengan kurs forward. Sehingga dapat disimpulkan bahwa spot rate merupakan jenis
nilai tukar yang paling fleksibel terhadap adanya suatu perubahan kondisi makro ekonomi suatu
negara yang disampaikan melalui news.
Para Pelaku Pasar Valuta Asing Interaksi transaksi jual beli dalam perekonomian biasanya terbentuk oleh penjual dan pembeli,
kurs juga ditentukan oleh interaksi antara berbagai rumah tangga, perusahaan dan berbagai
lembaga-lembaga keuangan yang membeli dan menjual valuta asing untuk kepentingan pembayaran internasional.
Para pelaku utama dalam pasar valuta asing adalah:
1. Bank-bank komersial
Perbankan merupakan pelaku pasar valuta asing yang terbesar dan paling aktif. Banyak bank yang menempatkan operasi valuta asing sebagai suatu pusat laba tersendiri. Selain untuk
memenuhi kebutuhan nasabah, bank juga dapat melakukan transaksi valuta asing dengan tujuan
memperbaiki komposisi mata uang yang menjadi aktiva dan pasivanya (assets dan liabilities).
2. Perusahaan Untuk melakukan transaksi perdagangan internasiona, perusahaan-perusahaan yang beroperasi
di banyak negara sering melakukan atau menerima pembayaran dalam mata uang yang bukan mata
uang negara asalnya.
3. Lembaga keuangan non bank Lembaga-lembaga keuangan non bank seperti dana pensiun, perusahaan asuransi menawarkan
jasa-jasa keuangan yang sebagian diantaranya tidak bisa dibedakan dengan jasa-jasa yang
ditawarkan oleh bank. Jasa-jasa yang ada pun juga melibatkan transaksi valuta asing. Selain itu
untuk mencukupi kebutuhan transaksi bisnis, lembaga keuangan non bank memanfaatkan pasar valuta asing untuk mengurangi resiko akibat fluktuasi kurs yang dapat berdampak merugikan.
4. Bank-bank sentral
Bank-bank sentral umumnya terlibat dalam transaksi valas. Keterlibatan mereka itu umumnya lebih banyak untuk tujuan stabilisasi nilai tukar. Walaupun volume transaksi yang dilakukan oleh
suatu bank sentral tidak begitu besar tetapi dampaknya pada pasar uang dapat sangat besar.
Dampak yang besar tersebut terutama disebabkan oleh karena transaksi-transaksi yang dilakukan
oleh bank sentral diamati secara ketat dan dianggap oleh para pelaku pasar valas yang lain sebagai cerminan kebijakan makroekonomi yang akan datang yang dapat memiliki pengaruh yang besar
atas kurs valas.
Faktor-faktor Ekonomi Makro yang Mempengaruhi Kurs
1. Inflasi
Teori yang dapat menjelaskan hubungan antara nilai tukar mata uang dengan inflasi tersebut
adalah teori paritas daya beli (Purchasing Power Parity). Menurut Colander (2006) menyatakan bahwa “Purchasing power parity is a method of calculating exchange rates that attempts to value
currencies at rates such that each currency will buy an equal basket of goods. It is based on idea
that exchange of currencies reflects the exchange of real goods” (Paritas daya beli adalah metode
perhitungan nilai tukar yang mencoba untuk menilai mata uang pada tingkat dimana setiap nilaiakan membeli keranjang barang yang sama. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa
pertukaran mata uang mencerminkan pertukaran barang nyata).
Teori paritas daya beli ini menyatakan bahwa nilai tukar mata uang antar negara harus
mencerminkan perbandingan nilai tukar mata uang satu negara terhadap negara lainnya yang ditentukan oleh daya beli masing-masing negara. Teori paritas daya beli ini menghubungkan kurs
valas dan harga komoditi yang dinyatakan dalam uang lokal pasar internasional (Baillie &
McMohan, 1990:16-19). Dengan kenaikan harga barang, maka kurs valas akan cenderung
terdepresiasi. Teori paritas daya beli memiliki dua bentuk, yaitu paritas daya beli absolute dan paritas daya
beli relatif, yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Teori Paritas Daya Beli Absolute
Teori paritas daya beli absolute pada dasarnya adalah perbandingan nilai satu mata uang terhadap nilai mata uang lainnya yang ditentukan oleh tingkat harga pada masing-masing negara
(Amalia, 2007:84). Teori ini menyatakan bahwa tanpa adanya hambatan internasional,
keseimbangan harga nilai mata uang domestik terhadap nilai mata uang luar negeri merupakan
perbandingan harga absolute domestik dan luar negeri. Hubungan keseimbangan dalam teori paritas daya beli absolute menunjukkan arbitrase (Arbitrase adalah membeli dan menjual mata
uang di pasar yang berbeda dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang pasti dari
perbedaan harga jual dan harga beli) komoditas sempura antar dua negara. Teori ini dapat
dinyatakan:
S =
S sendiri adalah nilai dari kurs, P menunjukkan tingkat harga domestik, dan adalah tingkat
harga luar negeri. Pada prinsipnya teori paritas daya beli absolut menganalisis bagaimana hubungan antara
perubahan dan perbedaan tingkatinflasi dengan fluktuasi kurs valas. Dimana penjelasan dari
teoriparitas daya beli ini didasarkan pada hukum yang menyatakanbahwa harga produk yang
sejenis di dua negara yang berbeda akan sama pula jika dinilai dalam currency atau mata uang yang sama, khususnya produk yang tradeable (Hamdy Hady, 2008).
Namun, dalam kenyataannya sering terbukti bahwa kurs valas atau forex rate yang
diperhitungkan berdasarkan teori paritas daya beli absolut tersebut tidak sesuai dengan kurs valas
yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal demikian telah terjadi over valuation atau under valuation (Hamdy Hady, 2008).
b. Teori Paritas Daya Beli Relatif
Akan tetapi teori paritas daya beli absolute ini tidak realistis karena tidak memperhitungkan
biaya tarif, transport, dan kuota. Oleh karena itu, muncul teori paritas daya beli relatif yang menyatakan bahwa harga suatu produk yang sama akan tetap berbeda karena ketidaksempurnaan
pasar yang disebabkan oleh faktor biaya tarif, transpor, dan kuota. Menurut versi paritas daya beli
relatif, kurs valas atau forex rate akan berubah untuk dapat mempertahankan purchasing power
(Hamdy Hady, 2008). Paritas daya beli versi relatif menyatakan apabila terjadi perubahan harga di kedua negara, maka nilai tukar antar kedua negara tersebut juga harus mengalami perubahan juga
(Amalia, 2007:85). Paritas daya beli relatif mempertimbangkan ketidaksempurnaan pasar, dimana
terdapat biaya-biaya lainnya yang berbeda diantara satu negara dengan negara lain, maka harga
barang komoditi satu negara dengan negara yang lain tidak selalu diukur sama dengan mata uang yang sama. Paritas daya beli versi relatif juga dapat megukur apakah mata uang tersebut overvalue
atau undervalue (Eiteman, dan Moffet, 2010:99). Rumus paritas daya beli relatif dapat dinyatakan
dalam bentuk berikut:
S =
- 1
Dimana S adalah nilai kurs, adalah tingkat perubahan harga domestik, dan adalah tingkat perubahan harga luar negeri. Kurs akan selalu berubah sesuai dengan perubahan tingkat inflasi
yang terjadi di dalam suatu negara. Perubahan dimulai dari suatu kesetimbangan tertentu. Kemudian harga mengalami perubahan selama periode tertentu, bisa satu bulan, satu tahun, atau
lebih lama.
2. Tingkat Suku Bunga
Tingkat suku bunga adalah harga yang harus dibayar oleh peminjam terhadap pemberi pinjaman atas pinjaman yang telah diterima. Dimana tingkat suku bunga tersebut adalah imbal
hasil pagi pemberi pinjaman atas dananya. Pergerakkan tingkat suku bunga mampu mendorong
pergerakkan pengalihan dana dari para investor.
Dalam menjelaskan hubungan antara nilai tukar mata uang dengan tingkat suku bunga, dapat dijelaskan dengan teori sebagai berikut:
a. Teori Paritas Suku Bunga (Interest Rate Parity Theory/ IRP Theory).
Teori paritas suku bunga (Interest Rate Parity Theory/ IRP Theory) adalah teori yang paling
dikenal dalam keuangan internasional dengan menghubungkan pasar valuta asing dengan pasar uang internasional. Teori paritas suku bunga menyatakan bahwa perbedaan tingkat bunga pada
pasar uang internasional akan cenderung sama dengan forward rate. Dengan kata lain berdasarkan
teori paritas suku bunga, akan dapat ditentukan berapa perubahan kurs bila terdapat perbedaan
tingkat bunga antara dua Negara (Hamdy, 2001). Teori paritas suku bunga menekankan pada perbedaan tingkat suku bunga antar dua Negara. Variabel yang digunakan pada paritas suku bunga
adalah premi forward dan perbedaan suku bunga antar dua Negara (Khalwaty, 2000)
Kondisi paritas suku bunga dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana kurs ditentukan.
Hubungan antara kurs dengan tingkat bunga dari pasar uang menurut teori Paritas Suku Bunga dapat ditetukan dengan rumus berikut (Mishkin,2010):
Et =
Dimana Et adalah kurs pada saat ini, adalah kurs pada periode berikutnya, adalah suku
bunga luar negeri dan adalah suku bungadalam negeri. Persamaan di atas menjelaskan jika tingkat suku bunga dalam negeri naik maka kurs dalam negeri akan mengalami apresiasi,
dikarenakan investor berharap mendapatkan imbal hasil yang lebih besar dari tingkat suku bunga
yang tinggi. Adanya capital inflow tersebut meningkatkan permintaan akan mata uang dalam
negeri sehingga mengakibatkan penguatan terhadap mata uang dalam negeri. Dan apabila tingkat suku bunga luar negeri lebih tinggi dari pada tingkat suku bunga dalam negeri maka kurs dalam
negeri akan mengalami depresiasi, yang diakibatkan berkurangnya minat investor karena tingkat
imbal hasil yang lebih rendah. Dimana hal tersebut mempengaruhi permintaan akan mata uang
domestik dan mendepresiasi kurs domestik. b. Teori Efek Fisher Internasional (International Fisher Efect Theory/IFE Theory)
Teori efek fisher internasional memprediksi bahwa kurs spot bergerak mengikuti perbedaan
suku bunga antar Negara. Dengan demikian terdapat hubungan antara teori efek fisher
internasional dengan teori paritas daya beli, karena perbedaan tingkat suku bunga antar dua negara dipengaruhi oleh perbedaan tingkat inflasi antar negara (Khalwaty, 2000). Teori efek fisher
internasional menggunakan variable-variabel dasar persentase perubahan kurs spot dan perubahan
suku bunga antar dua negara. Teori efek fisher berdasar pada teori Irving Fisher yang menyatakan bahwa tingkat bunga nominal di setiap negara akan sama dengan Real Rate Return di tambah
dengan tingkat inflasi yang diharapkan. Sehingga rumusnya adalah sebagai berikut:
i = r + I
Dimana: i = tingkat bunga nominal r = Real Rate Return
I = inflasi
Tingkat suku bunga yang berbeda antar negara dikarenakan adanya perbedaan tingkat inflasi
yang diharapkan. Jadi, perbedaan tingkat suku bunga antar negara menurut teori paritas daya beli dan teori efek fisher antara lain dikarenakan oleh perbedaan tingkat inflasi yang diharapkan. Jika
semua kondisi lain tetap, kenaikan perkiraan tingkat inflasi suatu negara pada akhirnya akan
menimbulkaan kenaikan suku bunga dari simpanan mata uang negara bersangkutan, dan begitu
pula sebaliknya, penurunan perkiraan inflasi (tingkat inflasi di masa mendatang) pada gilirnnya akan mengakibatkan penurunan suku bunga atas simpanan mata uang negara itu. Adanya perkiraan
inflasi yang lebih tinggi di masa mendatang akan mengakibatkan mata uang di suatu negara akan
mengalami depresiasi jika suku bunganya meningkat. Begitu juga sebaliknya ketika adanya
perkiraan inflasi yang lebih rendah di masa mendatang akan menyebabkan mata uang di suatu negara akan mengalami apresiasi ketika suku bunganya menurun.
c. Teori Mundell-Fleming
Selama ini, kita mengasumsikan bahwa tingkat suku bunga dalam perekonomian terbuka kecil
sama dengan tingkat bunga dunia yaitu r = r* (Mankiw, 2007:342). Namun dalam kenyataannya, tingkat suku bunga dari masing-masing negara terdapat perbedaan dikarenakan beberapa alasan.
Alasan yang pertama dikarenakan adanya risiko negara. Ketika investor menginvestasikan
dananya di negara yang maju, mereka akan yakin bahwa investasi yang mereka berikan akan
dikembalikan beserta imbal hasilnya. Namun sebaliknya, ketika investor berinvestasi di negara yang kurang berkembang, ada kekhawatiran bahwa revolusi atau kemelut politik lain akan
mengganggu pengembalian dan pemberian imbal hasil. Sehingga para peminjam di negara yang
kurang berkembang tersebut harus memberikan tingkat imbal hasil yang lebih tinggi untuk
mengkompensasi investor atas risiko tersebut. Alasan kedua, adanya ekspektasi dari perubahan dalam kurs. Ketika investor berekspektasi bahwa nilai tukar mata uang suatu negara akan turun,
maka investasi dalam mata uang negara tersebut akan dikembalikan dengan mata uang yang
nilainya lebih kecil dibandingkan dengan mata uang negara lain. Sehingga untuk mengkompensasi
hal tersebut, tingkat bunga di negara itu harus lebih tinggi daripada tingkat bunga di negara lain. Perbedaan tingkat bunga dalam model Mundell-Fleming dianggap bahwa perbedaan tersebut
dibedakan oleh premi risikonya. Sehingga akan timbul persamaan berikut (Mankiw, 2007:344):
r = r* + dimana: r = tingkat bunga domestik
r* = tingkat bunga dunia
= premi risiko Premi risiko dintentukan oleh risiko politik karena memberi pinjaman di sebuah negara dan
perubahan yang diharapkan dalam kurs riil. Kita bisa mengambil premi risiko sebagai variabel eksogen untuk menentukan bagaimana perubahan-perubahan dalam premi risiko mempengaruhi
perekonomian.
3. Gross Domestic Product
Gross Domestic Product (GDP) merupakan pertumbuhan tingkat pendapatan suatu negara (Hady, 2006:109). GDP seringkali digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan perekonomian
suatu negara. GDP juga dapat diartikan sebagai total produk (barang) dan jasa yang dihasilkan
oleh suatu wilayah negara tertentu dalam jangka waktu tertentu baik dihasilkan oleh warga negara
tersebut ataupun warga negara lain. Pengaruh GDP terhadap pergerakan nilai tukar atau kurs dapat dijelaskan melalui teori
pendekatan moneter terhadap nilai tukar yang merupakan langkah awal dalam mengembangkan
sebuah teori baku tentang pergerakan nilai tukar jangka panjang. Hubungan antara nilai tukar atau
kurs dengan pendapatan riil adalah negatif. Adanya kenaikan pendapatan riil domestik menyebabkan kelebihan pada permintaan uang. Kelebihan dari permintaan uang tersebut dapat
memicu kenaikan tingkat inflasi yang menyebabkan harga-harga domestik menjadi meningkat
sehingga mendorong harga di luar negeri menjadi semakin rendah. Hal tersebut dapat
menyebabkan kenaikan tingkat impor yang akan mendepresiasi nilai tukar mata yang dalam negeri.
Pendekatan moneter terhadap nilai tukar terbentuk dari hubungan antara ekuilibrium yang
tercipta di pasar uang dan teori paritas daya beli. Kondisi ekuilibrium di pasar uang dapat disaj ikan
dalam rumus sebagai berikut: M/P = L(R,Y)
Atau dapat dinyatakan dalam bentuk:
P=M/L(R, Y)
Pasar valuta asing dalam jangka panjang mencapai suatu tingkat dimana PPP bernilai:
=
Persamaan di atas hanya berlaku ketika di dunia yang tidak mengenal kekakuan pasar yang
menghambat kecepatan penyesuaian nilai tukar dan harga-harga, demi terciptanya kondisi full employment. Maka untuk membentuk persamaan dasar pendekatan moneter adalah sebagai
berikut:
= = x [L( /L , )
Dimana:
M = penawaran uang dari suatu Negara
L(R, Y) = permintaan uang riil agregat yang merupakanfungsi menurun dari suku bunga dan meningkat terhadap pendapatan riil.
Persamaan ini menyatakan bahwa nilai tukar yang merupakan harga relatif mata uang
Indonesia dan Amerika, dalam jangka panjang tergantung pada penawaran relatif kedua mata uang
serta permintaan riil relatifnya. Pergeseran tingkat suku bunga dan tingkat output hanya dapat mempengaruhi nilai tukar melalui pengaruhnya terhadap permintaan uang.
Bedasarkan dengan dasar teori Frenkel, dia menyatakan bahwa nilai mata uang atau kurs akan
mencapai keseimbangan bila terdapat stok uang dua negara yang ingin dipegang, karena itu harga
relatif mata uang kedua negara harus dinyatakan dalam bentuk penawaran dan permintaan. Teori Frenkel juga menyatakan bahwa kenaikan x% dari penawaran uang domestik akan menyebabkan
depresiasi kurs sebesar x%. Dengan kata lain, sifat kurs adalah homogen pada derajat satu
terhadap permintaan uang (Llewellyn&Miler, 1979: 79). Sehingga dapat dikemukakan juga bahwa
kenaikan pendapatan nominal domestik relatif terhadap luar negeri akan menimbulkan apresiasi kurs valas, dimana harga-harga dalam negeri akan turun relatif terhadap harga luar negeri atau kurs
spot akan turun.
Berkebalikan dengan teori pendekatan neraca pembayaran terhadap kurs valas yang
menyatakan bahwa hubungan tingkat pendapatan nominal dengan kurs valas adalah positif. Pengaruh tingkat pendapatan dalam keadaan pasar kurs harga fleksibel menekankan pada fungsi
permintaan uang. Kenaikan pendapatan suatu negara akan meningkatkan permintaan uang.
Dengan teori paritas daya beli dimana jumlah uang beredar dalam keadaan cateris paribus, maka
kurs akan mengalami apresiasi untuk menyeimbangkan permintaan uang riil terhadap penawaran uangnya (Frankel, 1976:201).
4. Neraca Pembayaran
Neraca pembayaran atau Balance Of Payment merupakan ringkasan yang disusun secara
sistematis untuk seluruh transaksi ekonomi dari suatu negara dengan negara lainnya selama periode tertentu, biasanya dalam kurun waktu satu tahun. Dalam neraca pembayaran setiap
transaksi yang dicatat sebagai kredit diimbangi dengan transaksi yang dicatat sebagai debit atau
sebaliknya. Dengan memakai sistem pencatatan ganda (double entry-bookkeeping), maka jumlah
antara kredit dan debit akan sama dengan nol. Walaupun dalam kenyataannya neraca pembayaran mungkin tidak sama dengan nol.
Neraca pembayaran dapat mempengaruhi pergerakan naik turunnya dari nilai tukar mata uang
atau kurs domestik terhadap mata uang asing. Kenaikan atau surplus dari neraca perdagangan dan
neraca pembayaran akan diartikan sebagai adanya terjadinya apresiasi mata uang. Dan begitu pula sebaliknya ketika terjadi penurunan atau deficit neraca perdagangan dan neraca pembayaran akan
dapat diindikasikan bahwa ada kemungkinan terjadi depresiasi mata uang.
Dari beberapa komponen utama tersebut maka neraca pembayaran dapat uraikan dengan rumus
sebagai berikut: BOP = (X - M) + (CI - CO) + FB
Dimana: BOP = Neraca Pembayaran
X - M = Neraca transaksi berjalan
CI-CO = Neraca transaksi modal FB = Neraca cadangan resmi negara
Jika dalam keadaan keseimbangan, maka neraca pembayaran sama dengan nol. Jumlah antara
neraca transaksi berjalan dengan neraca modal adalah neraca cadangan resmi negara dengan tanda
yang berlawanan. Neraca cadangan resmi menunjukkan jumlah bersih dari cadangan internasional yang harus bergerak antar pemerintah untuk membiayai transaksi internasionalnya.
Pada keadaan keseimbangan BOP = 0, maka cadangan resmi negara adalah:
0 = (X - M) + (CI - CO) + FB
(X - M) + (CI - CO) = - (FB) Jika jumlah neraca transaksi berjalan dan neraca modal lebih besar daripada nol. Artinya ada
surplus permintaan terhadap mata uang domestik Adanya surplus permintaan terhadap mata uang
domestik berdampak pada apresiasi mata uang domestik dan depresiasi mata uang valuta asing. Ketika neraca pembayaran berada dalam posisi surplus atau defisit (tidak dalam keseimbangan),
maka secara otomatis mata uang asing akan berubah untuk menyesuaian agar neraca pembayaran
menjadi nol. Artinya ketika ada kelebihan penawaran mata uang domestik atau ada kelebihan
permintaan mata uang asing, maka akan dibutuhkan mata uang asing untuk dapat menutupi defisit. Namun pada negara yang menganut sistem kurs mengambang, neraca cadangan devisa resmi
sama dengan nol. Sehingga untuk menutupi defisit neraca pembayaran dapat diselesaikan melalui
mekanisme pasar. Di pasar valuta asing akan terjadi perubahan nilai tukar mata uang domestik menjadi lebih rendah atau mata uang domestik mengalami depresiasi. Perubahan nilai tukar ini
akan membuat BOP berada dalam posisi nol. Sehingga dalam hal ini keseimbangan neraca
pembayaran dapat dicapai akibat mekanisme perubahan kurs di pasar valuta asing.
5. Jumlah Uang yang Beredar Jumlah Uang Beredar (JUB) merupakan penawaran uang (money supply). Jumlah uang beredar
atau yang didefinisikan sebagai M1 dalam arti sempit memiliki pengertian uang dalam bentuk
uang giral atau uang kartal yang dipegang dan digunakan masyarakat sebagai alat transaksi
pembayaran sehari-hari (Boediono, 2000). Dalam perekonomian yang menggunakan uang atas-unjuk, seperti sebagian perekonomian
dewasa ini, pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar: perarturan resmi memberi
pemerintah hak untuk memonopoli percetakan uang. Tingkat pengenaan pajak (taxation) dan
tingkat pembelian pemerintah merupakan instrument kebijakan pemerintah begitu pula jumlah uang beredar (Mankiw, 2003:76).
Jumlah uang yang beredar dalam kaitannya dengan nilai tukar mata uang atau kurs dapat
dijelaskan dengan teori permintaan dan penawaran valuta asing. Pada sistem nilai tukar
mengambang, nilai tukar atau kurs dapat berubah-ubah setiap saat tergantung pada jumlah penawaran dan permintaan valuta asing relatif terhadap mata uang domestik tanpa adanya
intervensi dari pihak manapun. Setiap perubahan dalam permintaan dan penawaran dari suatu mata
uang akan mempengaruhi nilai tukar mata uang yang bersangkutan.
Penawaran dan permintaan suatu mata uang dalam pasar valuta asing pada kenyataannya secara simultan saling berkaitan (Jamli, 1998:29). Sebagai contohnya permintaan negara Indonesia
atas barang, jasa serta asset Amerika akan menciptakan permintaan dolar Amerika Serikat.
Permintaan dolar AS yang mempengaruhi penawaran dari rupiah Indonesia dan penawaran dolar
AS karena konsekuensinya ditentukan oleh permintaan rupiah dapat diekspresikan pada persamaan sebagai berikut (Jamli, 1998:29):
= ( )
= ( )
Dimana: = Jumlah penawaran uang
= Jumlah permintaan uang Dari persamaan di atas, dimana tingkat permintaan valuta asing lebih besar daripada
permintaan mata uang domestik, maka hal tersebut dapat berpengaruh terhadap terdepresiasinya
mata uang domestik. Dan sebaliknya, dimana tingkat permintaan mata uang domestik lebih besar daripada permintaan valuta asing, maka akan mempengaruhi terapresiasinya nilai tukar mata uang
domestik.
Ketika pemerintah melakukan kebijakan untuk menambah jumlah uang beredar, maka
penawaran mata uang domestik yang meningkat akan mempengaruhi tingkat suku bunga. Dimana tingkat suku bunga akan turun dan akhirnya akan menyebabkan capital outflow, hal tersebut
dikarenakan investor yang menarik dananya. Capital outflow tersebut menyebabkan
terdepresiasinya mata uang domestik dan terapresiasinya kurs valas. Dengan meningkatnya
penawaran jumlah uang beredar juga akan menaikkan harga barang yang diukur dengan (term of money) sekaligus akan menaikkan harga valas (apresiasi mata uang valas) yang diukur dengan
mata uang domestik (Herlambang, dkk, 2001)
Tapering Off
Tapering off adalah sebuah kebijakan fiskal yang diambil bank sentral dengan mengurangi
money supply yang beredar di pasar dengan menjual obligasi negara dan memusnahkan uang yang
diperoleh dari penjualan tersebut. Kebalikan Tapering Off secara istilah kerap disebut sebagai Quantitative Easing, teknik yang diambil Bank Sentral jika ingin menambah peredaran uang di
pasar dengan membeli obligasi pemerintah atau mencetak uang lagi, kedua efeknya pun berbeda,
pada Quantitative Easing, beredar lebih banyak di pasar, mata uang lokal yang dikeluarkan oleh Bank Sentral menjadi depresiasi dan di negara lain atau mata uang negara lawannya yang
bertransaksi menjadi apresiasi, lebih ke luar makro lagi harga emas di pasaran dunia melambung
tinggi. Kemudian efek pada Tapering off, yang beredar di pasar berkurang, mata uang lokal menguat dan mata uang negara lain yang bertransaksi dengan mata uang lokal tersebut menjadi
melemah.
Pada akhir tahun 2013 The Fed mengeluarkan isu bahwa akan memberhentikan Quantitative Easing dengan alasan karena semakin membaiknya keadaan ekonomi negara Amerika Serikat.
Pemberhentian stimulus fiskal secara bertahap tersebut disebut dengan kebijakan tapering off. Sehingga hal tersebut menyebabkan gejolak pada perekonomian di dunia. Masyarakat berekpektasi
bahwa dengan berkurangnya stimulus quantitative easing oleh Amerika Serikat menandakan
bahwa akan semakin membuat jumlah uang beredar dollar AS akan semakin berkurang. Dengan
begitu akan memicu meningkatnya permintaan akan dollar AS. Menurut teori permintaan dan penawaran uang, semakin tinggi permintaan mata uang domestik dan menurunnya penawaran
mata uang domestik akan membuat apresiasi mata uang domestik dan depresiasi mata uang valas
yang bertransaksi dengan mata uang lokal tersebut.
Dengan sistem nilai tukar mengambang bebas yang dianut oleh Indonesia, nilai tukar rupiah tergantung dari tingkat penawaran dan permintaan pasar. Kebijakan dari Amerika Serikat tentunya
juga mempengaruhi perubahan tingkat nilai tukar mata uang rupiah. Diberlakukannya kebijakan
tapering off oleh Amerika Serikat tersebut menarik jumlah uang beredarnya dalam masyarakat.
Baik itu didalam negeri ataupun luar negeri. Kebijakan tapering off juga menimbulkan sentimen pasar untuk lebih menyimpan kekayaannya dalam mata uang dolar Amerika Serikat. Sehingga
investor yang telah berinvestasi di negara-negara emerging market akan menarik dananya.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Vikram Rai dan Lena
Sunchanek (2014) tentang bagaimana dampak dari pengumuman kebijakan tapering off yang dilakukan The Fed terhadap negara emerging market. Ditemukan hasil bahwa variabel dummy
dimana pada saat pengumuman kebijakan tapering off tersebut dilakukan berpengaruh negatif
signifikan terhadap nilai tukar mata uang negara emerging market. Menurut Vikram Rai dan Lena
Sunchanek negara emerging market yang memiliki dampak paling besar adalah negara Afrika Selatan dan Indonesia. Dimana pengumuman kebijakan tapering off berpengaruh mendepresiasi
nilai mata uang negara tersebut secara signifikan.
C. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian dan Jenis Data
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif .
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan jenis
penelitian explanatory research yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis. Penelitian ini mencoba menganalisa tentang variabel-variabel
ekonomi makro yang mempengaruhi perubahan kurs rupiah terhadap mata uang negara-negara
ASEAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yaitu data
yang diperoleh peneliti dari berbagai sumber yang telah ada.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi, yaitu
metode pengumpulan data yang dilaksanakan dengan cara mencatat data sekunder. Dimana data
yang diperoleh dan dikumpulkan berasal dari berbagai sumber yang dipilih sesuai dengan kebutuhan penelitian yang dilakukan. Data yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari
data Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, dan Pojok Bursa Efek Indonesia.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2005:55). Penelitian ini dilakukan untuk meneliti apakah variabel
inflasi, suku bunga, gross domestic product, balance of payment, jumlah uang beredar dan
kebijakan tapering off berpengaruh signifikan pada kurs Rupiah terhadap mata uang negara-negara di kawasan ASEAN dengan periode triwulanan pada tahun 2008 sampai tahun 2015. Oleh karena
itu, yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah nilai kurs mata uang Rupiah terhadap mata
uang yang termasuk dalam kawasan ASEAN.
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengambilan sampel
berdasar tujuan (purposive sampling). Teknik purposive sampling ini merupakan pemilihan
anggota sampel yang didasarkan atas tujuan peneliti. Negara dari kawasan ASEAN yang digunakan dalam penelitian ini adalah negara Singapura, Thailand, Filipina dan Malaysia. Alasan
kenapa sampel tersebut yang diambil adalah karena negara Singapura, Thailand, Filipina dan
Malaysia bersama Indonesia merupakan lima negara pelopor terbentuknya ASEAN. Selain itu negara-negara tersebut juga merupakan kompetitor dan mitra dagang terbesar dengan negara
Indonesia. Periode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kuartal I 2008 sampai dengan
Kuartal IV 2015.
Metode Analisis Data
Untuk menguji hipotesis dari penelitian ini, peneliti menggunakan alat uji regresi berganda,
yaitu untuk mengetahui adanya pengaruh oleh beberapa variabel bebas terhadap variabel terikat,
dengan menggunakan aplikasi SPSS. Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
= + + + + + + +
Dimana :
= nilai kurs rupiah terhadap mata uang negara-negara ASEAN
= konstanta
= tingkat inflasi Indonesia
= tingkat suku bunga Indonesia
= tingkat GDPIndonesia
= jumlah uang beredar Indonesia
= surplus/defisit neraca pembayaran Indonesia
= variabel dummy adanya kebijakan tapering off
, , , , = koefisien
= variabel residual
Model regresi yang diperoleh dari metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square) merupakan model regresi yang menghasilkan estimator linear yang tidak bias dan terbaik (Best Linear Unbiased Estimator/BLUE). Untuk mengetahui apakah parameter yang digunakan bersifat
BLUE, artinya koefisien regresi pada persamaan tersebut tidak terjadi penyimpangan-
penyimpangan berarti, maka dilakukan uji asumsi klasik.
1. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas dilakukan untuk menguji ada tidaknya hubungan linear yang sempurna
atau mendekati sempurna diantara semua atau beberapa variabel yang menjelaskan dalam model
regresi, yaitu antara , , , , , dan . Untuk mendeteksi adanya multikolinearitas dapat dgunakan uji VIF.
2. Uji Autokorelasi
Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang
diurutkan menurut waktu (time series) atau ruang/tempat (cross-section). Untuk mendeteksi adanya gejala autokorelasi dapat dilakukan dengan metode Durbin-Watson.
3. Uji Heterokedastisitas
Heterokedastisitas terjadi jika masing-masing kesalahan pengganggu mempunyai varian yang
berlainan yaitu (ui) = untuk 1, 2, 3, …, n. Untuk itu suatu model harus dinyatakan terbebas dari heterokedastisitas atau biasa disebut homokedastisitas. Untuk melihat ada tidaknya gejala
heterokedastisitas dapat dilakukan dengan uji glejser.
4. Uji Normalitas
Asumsi normalitas adalah asumsi residual yang berdistribusi normal. Asumsi ini harus
terpenuhi untuk model regresi linear yang baik. Uji normalitas dilakukan pada nilai residual model
regresi. Uji normalitas dapat dilakukan dengan melakukan pengujian metode formal seperti pengujian normalitas yang dilakukan melalui uji Kolmogorov-Smirnov.
Untuk menguji hipotesis secara statistik dalam analisis regresi berganda dilakukan melalui pendekatan uji signifikan. Uji signifikan secara umum merupakan prosedur untuk mengetahui
seberapa besar signifikansi kebenaran suatu hipotesis nol (Ho), atau untuk menentukan apakah
sampel-sampel yang diamati berbeda secara nyata dari hasil-hasil yang diharapkan. Keputusan
untuk menerima atau menolak hipotesis nol dibuat atas dasar nilai statistik uji yang diperoleh dari
data empiris kemudian dibandingkan dengan nilai tabel. Pengujian hipotesis terhadap parameter dilakukan dengan:
1. Uji F, yaitu pengujian hubungan regresi secara simultan atau serentak antar variabel bebas terhadap variabel terikat. Uji F dimaksudkan untuk menguji tingkat keberartian hubungan
seluruh koefisien regresi variabel bebas terhadap variabel terikat secara bersamaan. Apabila
hasil uji F hitung lebih kecil dari F tabel maka Ho akan diterima. Sebaliknya jika F hitung lebih
besar daripada F tabel maka Ho akan ditolak.
2. Uji t, yaitu pengujian hubungan regresi secara parsial antar variabel terikat dengan variabel
bebas yang dimaksud. Uji ini untuk melihat tingkat keberartian hubungan masing-masing koefisien regresi. Model pengujian koefisien regresi parsial adalah dengan pengujian dua arah
(two-tailed test) sebagai daerah kritis. Untuk pengambilan keputusan dilakukan dengan
membandingkan nilai t hitung dengan t tabel. Bila t hitung terletak antara –t tabel dan t tabel (-t
tabel<t hitung<t tabel) maka keputusannya menerima hipotesis nol (Ho) dan jika t hitung < -t tabel atau t hitung > t tabel maka Ho ditolak.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Asumsi Klasik
Bedasarkan dengan hasil pengujian asumsi klasik terhadap keempat persamaan di atas dengan dependen yang berbeda, maka hasilnya dapat ditunjukkan dalam bentuk tabel seperti di bawah ini:
Tabel Hasil Pengujian Asumsi Klasik
No Dependen Independen Multikolinearitas Autokorelasi Heterokedastisitas Normalitas
1 Singapura x1, x2, x3,
x4, x4, x5,
x6
Bebas
Multikolinearitas
Bebas
Autokorelasi
Bebas
Heterokedastisitas
Normal
2 Thailand x1, x2, x3,
x4, x4, x5,
x6
Bebas
Multikolinearitas
Bebas
Autokorelasi
Bebas
Heterokedastisitas
Normal
3 Filipina x1, x2, x3,
x4, x4, x5,
x6
Bebas
Multikolinearitas
Bebas
Autokorelasi
Bebas
Heterokedastisitas
Normal
4 Malaysia x1, x2, x3,
x4, x4, x5,
x6
Bebas
Multikolinearitas
Bebas
Autokorelasi
Bebas
Heterokedastisitas
Normal
Sumber: Data diolah, 2016
Setelah dilakukan pengujian asumsi klasik dari keempat model yang dipakai oleh peneliti,
dapat diketahui bahwa keempat model tersebut lolos dari uji asumsi klasik. Model yang sudah
lolos uji asumsi klasik dapat dikatakan bahwa parameter yang digunakan pada model regresi tersebut bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator/BLUE). Artinya koefisien regresi pada
persamaan tersebut tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan berarti. Sehingga model regresi
yang diperoleh dari metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square) merupakan model
regresi yang menghasilkan estimator linear yang tidak bias yang terbaik (Best Linear Unbiased Estimator/BLUE).
Uji Regresi Linier Berganda
Hasil uji regresi linier berganda dari keempat persamaan tersebut dapat disajikan dalam tabel
berikut:
Tabel Hasil Uji Regresi Linier Berganda
No. Negara Singapura Thailand Filipina Malaysia
1 R Squared 0,965 0,938 0,916 0,848
2 Adj. R Square 0,957 0,923 0,896 0,811
3 Std. Error of the Estimate 243,36708 10,98564 10,52475 133,2957
4 Coefficient
7714,642 329,328 230,298 3037,293
-102,014 -4,510 -4,882 23,077
437,626 15,744 16,382 66,17
-140,96 -3,857 -4,625 -61,446
15,572 0,156 -1,957 14,293
893,467 25,478 21,044 129,707
301,593 19,544 9,901 219,716
5 Sig. Coefficient
0,000 0,000 0,000 0,000
0,193 0,202 0,151 0,586
0,000 0,000 0,000 0,115
0,027 0,168 0,088 0,074
0,741 0,941 0,342 0,581
0,000 0,000 0,000 0,035
0,153 0,044 0,273 0,061
6 Sig. Regression ,000 ,000 ,000 ,000
Sumber: Data diolah,2016
Bedasarkan dari hasil uji regresi berganda pada keempat model tersebut dengan hasil
perhitungan yang menggunakan =5% dapat diketahui bahwa secara simultan, seluruh variabel
ekonomi makro sebagai variabel bebasnya mampu mempengaruhi kurs rupiah terhadap mata uang negara-negara ASEAN sebagai variabel terikatnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai
significant regression dari masing-masing model yang memiliki angka lebih kecil daripada =5%.
Sedangkan jika dilihat secara parsial, hasil perhitungan yang menggunakan =5% menunjukkan bahwa tidak semua variabel bebas mampu mempengaruhi variabel terikatnya.
Dimana hanya variabel tingkat suku bunga ( ), gross domestic product ( ), jumlah uang beredar ( ) dan tapering off ( ) yang mampu mempengaruhi pergerakkan kurs rupiah terhadap mata
uang negara-negara ASEAN. Sedangkan variabel inflasi ( ) dan variabel neraca pembayaran ( ) tidak dapat mempengaruhi perubahan kurs rupiah terhadap mata uang negara-negara ASEAN secara
signifikan. Variabel tingkat suku bunga ( ) dalam keempat model tersebut mampu mempengaruhi pergerakkan dari kurs rupiah terhadap mata uang negara-negara ASEAN secara positif signifikan kecuali pergerakkan kurs rupiah terhadap mata uang ringgit Malaysia. Dengan nilai koefisien masing-masing sebesar terhadap dolar Singapura=437,626; terhadap baht Thailand=15,755; terhadap peso Filipina=16,382. Variabel
Gross Domestic Product ( ) mampu mempengaruhi pergerakkan kurs rupiah terhadap mata uang dolar Singapura secara negatif signifikan dengan nilai koefisien sebesar 140,960. Variabel jumlah uang beredar
( ) mampu mempengaruhi pergerakkan kurs rupiah terhadap mata uang negara-negara ASEAN secara positif signifikan dengan nilai koefisien masing-masing sebesar terhadap dolar Singapura=893,467; terhadap baht Thailand=25,478; terhadap peso Filipina=21,044; terhadap ringgit Malaysia=129,707. Variabel tapering off mampu mempengaruhi pergerakkan kurs rupiah terhadap baht Thailand secara positif signifikan dengan nilai koefisien sebesar 19,544.
Dilihat dari nilai R-squared pada keempat model di atas menunjukkan angka yang tinggi. Yaitu masing-masing sebesar terhadap dolar Singapura=0,965; terhadap baht Thailand=0,938; terhadap peso Filipina=0,916; dan terhadap ringgit Malaysia=0,848. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel bebas
dalam penelitian ini mampu menjelaskan variabel terikatnya sebesar R-squared masing-masing model dan sisanya dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model.
Pembahasan
Variabel Makro Ekonomi yang Mempengaruhi Kurs Rupiah terhadap Dolar Singapura
Dari hasil analisis mengindikasikan bahwa hanya variabel tingkat suku bunga, gross domestic
product dan jumlah uang beredar yang mampu mempengaruhi kurs rupiah terhadap dolar Singapura. Pergerakan kurs rupiah terhadap dolar Singapura yang dipengaruhi oleh perubahan
tingkat suku bunga sesuai dengan teori Mundell-Flemming. Kenaikan tingkat suku bunga
mendorong kurs rupiah terhadap dolar Singapura semakin terdepresiasi. Sebaliknya penurunan
tingkat suku bunga membuat kurs rupiah terhadap dolar Singapura terapresiasi. Naik turunnya tingkat suku bunga masih berfluktuasi akibat adanya guncangan ekonomi yang terjadi pada
periode tersebut. Kebijakan untuk menaikkan tingkat suku bunga di Indonesia dilakukan sebagai
upaya untuk menjaga stabilitas tingkat inflasi di Indonesia akibat adanya krisis subprime mortage
dari Amerika Serikat. Adanya kenaikan tingkat suku bunga tersebut pada sektor riil akan meningkatkan biaya produksi dari para pelaku usaha. Sehingga harga-harga dalam negeri akan
semakin mahal. Peningkatan harga dalam negeri membuat masyarakat lebih tertarik untuk
melakukan impor. Tingkat impor Indonesia terhadap Singapura mengalami peningkatan US $
9.389,8 pada tahun 2007 menjadi US $ 21,789,5 juta pada tahun 2008. Peningkatan impor tersebut mengakibatkan permintaan akan mata uang dolar Singapura semakin meningkat, sehingga hal
tersebut berdampak kurs rupiah terhadap dolar Singapura juga semakin terdepresiasi.
Dengan meningkatnya gross domestic product yang merupakan pertumbuhan tingkat
pendapatan suatu negara, secara teori akan meningkatkan permintaan akan uang. Seiring dengan meningkatnya permintaan uang maka dalam keadaan cateris paribus kurs akan mengalami
apresiasi untuk menyeimbangkan permintaan uang riil terhadap penawaran uangnya. Dengan
peningkatan pertumbuhan gross domestic product tersebut menimbulkan sentimen positif juga dari
para investor pada perekonomian Indonesia. Sehingga menarik minat dari investor untuk menanamkan modal di Indonesia. Banyaknya modal asing yang masuk tersebut meningkatkan
permintaan akan mata uang rupiah sehingga nilai tukar rupiah juga terapresiasi.
Tingkat jumlah uang beredar Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Faktor
peningkatan jumlah uang beredar tersebut secara makro dipengaruhi oleh aktiva luar negeri bersih, tagihan bersih pemerintah pusat, tagihan pada lembaga dan BUMN, serta tagihan pada swasta dan
perorangan. Naik turunnya tingkat jumlah uang yang beredar tersebut dipengaruhi oleh naik
turunnya penggunaan uang giral dan uang kartal. Konsumsi masyarakat yang meningkat sejalan
dengan meningkatnya tingkat jumlah uang beredar rupiah yang meningkat. Sehingga membuat kurs rupiah terhadap dolar Singapura semakin terdepresiasi.
Tidak berpengaruhnya faktor-faktor bebas lain secara signifikan yang digunakan dalam
penelitian ini karena adanya variabel bebas lain yang mampu mempengaruhi kurs rupiah terhadap
dolar Singapura. Selain faktor-faktor ekonomi makro adapula faktor lain seperti kondisi politik, bencana alam, dan lain-lain yang dapat mempengaruhi keputusan para pelaku pasar valas sehingga
juga mempengaruhi pergerakkan dari kurs rupiah terhadap dolar Singapura.
Variabel Makro Ekonomi yang Mempengaruhi Kurs Rupiah terhadap Baht Thailand Hasil dari uji analisis dalam penelitian ini menunjukkan hanya variabel tingkat suku bunga,
jumlah uang beredar dan tapering off yang mampu mempengaruhi kurs rupiah terhadap baht
Thailand. Dan pada nyatanya dalam penelitian ini variabel inflasi, gross domestic product, dan
neraca pembayaran tidak dapat mempengaruhi kurs rupiah terhadap dolar Singapura secara signifikan. Faktor-faktor lain diluar variabel ekonomi makro dalam penelitian juga turut
berpengaruh pada pergerakan kurs rupiah. Selain itu faktor-faktor non ekonomi seperti politik,
bencana alam, sosial budaya, hankam dan lainnya dapat menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi kurs rupiah terhadap baht Thailand. Namun perubahan dari tingkat suku bunga yang mempengaruhi kurs rupiah terhadap baht
Thailand memiliki pengaruh positif yang signifikan. Itu artinya ketika tingkat suku bunga
Indonesia meningkat, dalam keadaan cateris paribus akan meningkatkan kurs rupiah terhadap baht Thailand atau depresiasi kurs rupiah. Begitu sebaliknya ketika tingkat suku bunga menurun, maka
kurs rupiah terhadap baht Thailand juga akan terapresiasi. Perubahan tingkat suku bunga di
Indonesia masih dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi yang
terguncang akibat adanya krisis subprime mortage Amerika Serikat. Kebijakan penurunan tingkat
suku bunga juga dilakukan untuk mendorong ekonomi domestik. Harapannya ketika tingkat suku bunga diturunkan maka tingkat suku bunga pinjaman akan dapat ikut menurun dan mendorong
konsumsi domestik.
Tingkat jumlah uang beredar dalam negeri mempengaruhi seberapa besar permintaan dan
penawaran mata uang domestik. Dengan semakin meningkatnya permintaan akan mata uang domestik maka akan dapat mengapresiasi mata uang domestic dan begitu pula sebaliknya. Pada
tahun 2013, pertumbuhan uang beredar M1 meningkat rata-rata sebesar 0,48 persen per bulan. Hal
tersebut dikarenakan tekanan harga domestik yang meningkat akibat kenaikan harga BBM dan
terganggunya pasokan sejumlah makanan. Dengan kenaikan harga domestik tersebut menyebabkan tingkat kenaikan jumlah uang beredar sebesar 13,85% lebih besar daripada periode
sebelumnya. Meningkatnya jumlah uang beredar tersebut diiringi dengan terdepresiasinya nilai
tukar rupiah terhadap baht Thailand dari triwulan I 2013 sebesar Rp342 menjadi Rp 384 pada
triwulan IV tahun 2014. Lebih lanjut, dalam penelitian ini juga membuktikan bahwa kebijakan tapering off dapat
mempengaruhi kurs rupiah terhadap baht Thailand secara positif signifikan. Hasil penelitian ini
mendukung penelitian yang dilakukan oleh Vikram Rai dan Lena Suchanek (2014). Dimana
pengaruh dari kebijakan tapering off oleh The Fed melemahkan nilai tukar mata uang rupiah terhadap nilai tukar mata uang asing. Terlebih lagi pada saat munculnya isu kebijakan tapering off
tersebut perekonomian Thailand juga sedang dilanda bencana yang diakibatkan konflik politik
yang berkepanjangan sehingga semakin menurunkan investasi yang ada di Thailand selain
dikarenakan pengurangan stimulus The Fed. Tingkat konsumsi Thailand ikut menurun sebesar 4,5% yoy lebih besar daripada periode sebelumnya yaitu 1,2%. Meningkatnya capital outflow di
negara-negara emerging market mendorong depresiasi nilai tukar rupiah terhadap baht Thailand.
Variabel Makro Ekonomi yang Mempengaruhi Kurs Rupiah terhadap Peso Filipina Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel ekonomi makro tingkat suku bunga dan
jumlah uang beredar mampu mempengaruhi kurs rupiah terhadap peso Filipina. Dimana tingkat
suku bunga di Indonesia masih berfluktiatif dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dunia yang tidak
stabil. Adanya krisis subprime mortage, krisis Eropa dan China juga turut membuat pergerakkan tingkat suku bunga Indonesia masih naik turun mengikuti perkembangan global. Kenaikan tingkat
suku bunga Indonesia memberi dampak terdepresiasinya kurs rupiah terhadap peso Filipina. Dapat
tercermin pada saat terjadi kecenderungan peningkatan suku bunga pada periode 2008 dan 2013.
Peningkatan suku bunga tersebut sesuai dengan teori Mundell-Flemming akan membuat investasi yang masuk akan semakin menurun. Pada tahun 2013 investasi portofolio yang masuk ke
Indonesia terkoreksi menjadi US $ 11,1 miliar lebih kecil dari pada capaian periode sebelumnya
yaitu sebesar US $ 14,7 miliar. Sehingga kurs rupiah terhadap peso Filipina ikut melemah dimana
pada tahun 2013 di triwulan I nilai tukar mata uang rupiah terhadap peso Filipina adalah Rp 238, pada pada periode selanjutnya menjadi sebesar Rp 268 pada triwulan IV tahun 2013.
Selanjutnya peningkatan jumlah uang beredar masih dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan
penawaran dari mata uang rupiah. Permintaan dan penawaran mata uang Indonesia pada periode
tersebut dipengaruhi oleh tingkat ekspor-impor, investasi dan tingkat harga komoditi global. Fluktuasi tersebut dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global yang masih dalam masa pemulihan
krisis global. Dengan adanya peningkatan tingkat jumlah uang yang beredar dapat menyebabkan
menaiknya harga-harga barang/jasa domestik yang diukur dengan term of money sekaligus dapat
mendepresiasi nilai tukar mata uang domestik dan mengapresiasi nilai tukar mata uang valas. Faktor eksternal dan internal dari negara Filipina dapat menjadi salah satu faktor yang
membuat tidak signifikannya variabel lain yang digunakan dalam penelitian ini. Pemicu faktor
eksternal dapat berasal dari guncangan ekonomi global dimana terjadi krisis subprime mortage
Amerika Serikat, hutang Eropa yang meningkat, krisis negara-negara di Asia Timur dan lain sebagainya. Terjadinya bencana alam yang terjadi di Filipina menjadi faktor internal yang
mempengaruhi perekonomian di Filipina.
Variabel Makro Ekonomi yang Mempengaruhi Kurs Rupiah terhadap Ringgit Malaysia
Dari uji analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa variabel bebas ekonomi makro yang
digunakan dalam penelitian ini tidak dapat mempengaruhi kurs rupiah terhadap ringgit Malaysia,
kecuali variabel jumlah uang beredar. Tidak signifikannya variabel lain yang digunakan dalam penelitian ini dalam mempengaruhi kurs rupiah terhadap ringgit Malaysia dapat disebabkan oleh
faktor internal dari negara Malaysia sendiri. Semenjak terjadinya krisis subprime mortage dari
Amerika Serikat dan meningkatnya hutang Eropa membuat perekonomian Malaysia masih mengalami kelesuan. Tingkat konsumsi domestik, ekspor dan impor, dan tingkat investasi dari
negara tersebut masih mengalami kontraksi. Penurunan akumulasi pasar saham selanjutnya ikut
menekan kinerja nilai tukar yang pada periode 2011 juga berada dalam tekanan sehingga rata-rata
mengalami depresiasi 4,34% qoq. Pelemahan kinerja ini sejalan dengan tren CDS yang cenderung naik di tengah aksi flight to quality pelaku pasar ke negara safe haven ditambah meningkatnya
persepsi risiko perekonomian Malaysia seiring proyeksi pelemahan laju pertumbuhan ekonomi
global. Faktor lainnya dapat dikarenakan oleh kondisi global yang masih dalam pemulihan dan
berjalan lambat. Kenaikan tingkat jumlah uang yang beredar pada nilai mata uang rupiah salah satunya adalah
dampak dari kebijakan pelonggaran yang dilakukan oleh otoritas moneter. Dalam kerangka
kebijakan nilai tukar rupiah, Bank Indonesia juga menempuh dua kebijakan intervensi (dual
intervention) di pasar valas dan pasar rupiah melalui Surat Berharga Negara (SBN). Kebijakan intervensi di pasar valas yang dilakukan secara terukur diarahkan untuk meminimalkan volatilitas
rupiah. Selain itu, intervensi di pasar SBN dilakukan untuk menjaga kecukupan likuiditas di sistem
perbankan dan mendukung stabilitas di pasar SBN. Keberhasilan kebijakan intervensi tersebut
mampu menjaga stabilitas nilai tukar sehingga meningkatkan keyakinan pasar untuk berinvestasi di Indonesia dan memitigasi terjadinya pembalikan aliran modal asing pada saat terjadi kejutan
dalam perekonomian. Sehingga hal tersebut merupakan salah satu alasan tingkat jumlah uang
beredar yang mempengaruhi kurs rupiah terhadap ringgit Malaysia. Dengan pembatasan transaksi
rupiah dan pemberian kredit valuta asing mampu meningkatkan permintaan akan mata uang rupiah dimana penawaran akan mata uang rupiah menurun.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel ekonomi makro dapat mempengaruhi kurs rupiah terhadap mata uang negara-negara ASEAN. Dari hasil analisis yang
dilakukan maka dapat diketahui bahwa hanya variabel ekonomi makro tingkat suku bunga, gross domestic product, dan jumlah uang beredar saja yang dapat mempengaruhi kurs rupiah terhadap
mata uang negara-negara ASEAN. Dan bersama dengan itu kebijakan tapering off juga
mempengaruhi kurs rupiah terhadap mata uang negara-negara ASEAN.
Perubahan tingkat suku bunga mampu mempengaruhi kurs rupiah terhadap keempat mata uang
negara-negara ASEAN kecuali terhadap mata uang ringgit Malaysia. Gross domestic product
hanya mempengaruhi kurs rupiah terhadap mata uang dolar Singapura. Sedangkan jumlah uang beredar mampu mempengaruhi kurs rupiah terhadap keempat mata uang negara-negara ASEAN
yang digunakan dalam penelitian. Kebijakan tapering off memiliki pengaruh terhadap pergerakan
kurs rupiah, dimana mempengaruhi kurs rupiah terhadap mata uang baht Thailand.
Adanya faktor lain yang lebih kuat dari segi non ekonomi seperti kestabilan politik, sentimen
para pelaku pasar, kebijakan fiskal, bencana alam, dan faktor-faktor lainnya yang tidak digunakan
dalam penelitian ini juga turut berpengaruh pada pergerakkan nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang negara-negara ASEAN. Maka tanggungg jawab untuk menjaga kestabilan
nilai tukar mata uang tidak hanya bergantung pada pembuat kebijakan moneter saja. Keputusan
dalam mengambil kebijakan oleh pembuat kebijakan moneter dalam menjaga kestabilan nilia tukar
mata uang rupiah dapat dilakukan melalui kebijakan tingkat suku bunga dan jumlah uang beredar. Selain itu sebagai pelaku pasar valas sebaiknya perlu memperhatikan kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam negeri ataupun luar negeri dalam mengatur stabilitas ekonomi negara melalui
ekonomi makro suatu negara. Sehingga perlu bagi pelaku pasar untuk dapat mengikuti berita
terkini tentang ekonomi makro suatu negara agar lebih bijak dalam mengambil keputusan.
F. DAFTAR PUSTAKA
Amalia, L. (2007). Ekonomi Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Akuntansi Dan Keuangan, 4(1), pp. 69–78. http://doi.org/10.9744/jak.4.1.pp. 69-78
Baillie, R., & McMahon, P. (1990). The Foreign Exchange Market: Theory and Economix
Evidence. Cambridge: Cambridge University Press.
Frankel, J. A. (1979). On The Mark: A Theory of Floating Exchange Rate Based on The Real
Interest Rate Differential. American Economic Review, 69(4), 601–622.
Frenkel, J. A. (1976). Monetary Approach to Exchange Rate: Doctrinal Aspect an Empirical
Evidence. The Scandinavian Journal of Economics, 78(2), 200–224.
Gartner, M. (1993). Macroeconomics Under Flexible Exchange Rates. New York: Harvester
Wheatsheaf.
Hady, H. (2004). Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan Internasional (Edisi
Revisi). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hady, H. (2006). Manajemen Keuangan Internasional. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Hady, H. (2001). Teori dan Kebijakan Keuangan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hanafi, M. M. (2003). Manajemen Keuangan Internasional. Yogyakarta: BPFE.
Hidayat, T. (2005). Learn to Earn: Trading Valas via Internet. Yogyakarta: Andy Yogyakarta.
Jamli. (1998). Keuangan Internasional (Edisi Pertama). Yogyakarta: BPFE.
Joesoef, J. R. (2008). Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. Jakarta: Salemba Empat.
Khalwaty, T. (2000). Inflasi dan Solusinya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Krugman, P. R., & Obstfeld, M. (1994). Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan (Edisi Kedua). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Llewellyn, D., & Miller, C. (1979). Current Issues In International Monetary Economics. London:
Macmillan Publisher Ltd.
Madura, J. (2000). Manajemen Keuangan Internasional (Edisi Keempat). Erlangga.
Mankiw, N. G. (2003). Teori Makroekonomi (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.
Mankiw, N. G. (2007). Makroekonomi (Edisi Keenam). Jakarta: Erlangga.
Nopirin. (1996). Ekonomi Moneter (Edisi Kedua). Yogyakarta: BPFE.
Rai, V., & Suchanek, L. (2014). The Effect of the Federal Reserve ’ s Tapering Announcements on Emerging Markets The Effect of the Federal Reserve ’ s Tapering Announcements on
Emerging Markets.