5

Click here to load reader

andianto cipaganti

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: andianto cipaganti

Barisan Entrepreneur MengkilapKamis , 08 Januari 2004

Oleh : Maulana Yudiman

Kegigihan, kejelian melihat peluang, inovasi dan praktik bisnis yang makin modern, mengantarkanpara usahawan peserta Enterprise 50 meraih sukses. Siapa saja mereka? Apa lagi yang merekabutuhkan agar bisa terus berkembang?

Dalam salah satu fragmen hidupnya, Jaya Sukamto pernah mengalami saat-saat ia harus benar-benar banting tulang. Setiap malam -- pukul 19.00-23.00 -- lelaki yang kini pemilik dan Presdir PTBerri Indosari ini mesti memeras jeruk asli Kalimantan guna memenuhi pesanan parapelanggannya. Jeruk perasan harus benar-benar fresh, karena hendak disajikan untukpelanggan Jaya -- yang kebanyakan hotel berbintang -- sebagai minuman pelengkap sarapan.Kerja kerasnya itu kini telah berbuah PT Berri Indosari, salah satu produsen jus terkemuka diTanah Air.

Pahit getir membangun bisnis juga dialami Andianto Setiabudi. Di awal 1980-an, di usia relatifmuda (23 tahun) ia mesti bermotor keliling Bandung mencari mobil-mobil bekas untuk dijualkembali. Bisnis jual-beli mobil bekasnya memang tak berkembang. Toh, dengan kejeliannyamelihat peluang, nasibnya bisa berubah. Andianto putar haluan dari bisnis jual-beli mobil bekaske jasa penyewaan mobil. Hasilnya, ia kini berani mengklaim sebagai raja penyewaan mobil dariBandung. Setidaknya, perusahaannya, Cipaganti Rental Car, telah memiliki 9 cabang tersebar diBandung, Bogor dan Jakarta.

Berri Indosari dan Cipaganti Rental Car hanyalah dua dari sekian banyak perusahaan skala smallmedium enterprise (SME) yang ada di Indonesia. Kebetulan, keduanya adalah peserta Enterprise50 tahun 2003. Keduanya mewakili perusahaan SME yang terus berkembang seiring banyaknyapermintaan pasar terhadap produk dan layanan mereka.

Kondisi perekonomian nasional memang masih carut-marut akibat maraknya praktik KKN, salahurus negara, atau tidak adanya kepastian hukum. Namun, di tengah situasi tak ramah buat bisnisini, beberapa SME masih mampu menunjukkan tajinya.

Dalam konteks inilah, program Enterprise 50 -- yang diselenggarakan Accenture Indonesia danMajalah SWA -- tahun 2003 kembali memilih beberapa perusahaan skala SME terbaik diIndonesia. Penyelenggaraan program yang bertujuan mendorong berkobarnya semangatkewirausahaan kalangan SME di Tanah Air ini telah memasuki tahun keempat.

Belajar dari penyelenggaraan tahun lalu, kali ini panitia memberikan cukup banyak kelonggarankepada calon peserta. Salah satunya, menghapus aturan yang mengharuskan pesertamenyertakan laporan keuangan sebagai salah satu persyaratan administrasi. Konsekuensinya,penyertaan catatan keuangan perusahaan hanya menjadi nilai plus bagi peserta yangmelampirkan.

Menurut Nia Sarinastiti, Manajer Senior Komunikasi Pemasaran Accenture Indonesia, langkah iniditempuh untuk lebih menarik minat perusahaan SME berpartisipasi dalam Enterprise 50. Maklum,tahun lalu, banyak perusahaan terpaksa tak lolos seleksi awal hanya karena tak melampirkancatatan keuangan mereka. Tak heran, adanya perubahan dalam aturan program ini sedikit-banyak meningkatkan animo kalangan SME untuk berpartisipasi.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, seleksi dan pemeringkatan Enterprise 50 diperoleh dari hasilpenilaian -- melalui wawancara mendalam -- terhadap aspek-aspek: filosofi manajemen, inovasiberkelanjutan, manajemen SDM dan budaya organisasi, extended enterprise (kemitraan), marketpresence (kehadiran di pasar), pengelolaan informasi dan pengetahuan, serta transparansi.Wawancara dilakukan baik dengan jajaran manajemen maupun staf perusahaan.

Agar hasil yang diperoleh lebih objektif, wawancara dilakukan oleh dua pewawancara (dariAccenture dan SWA) pada saat bersamaan. Nilai yang diperoleh setiap pewawancaradijumlahkan, ditambah dengan nilai yang diberikan kepada perusahaan yang menyertakancatatan keuangan mereka. Akumulasi nilai wawancara, plus nilai catatan keuangan menjadi hasil

17/11/2011 SWA > Tampilan Cetak

http://202.59.162.82/cetak.php?cid=1… 1/5

Page 2: andianto cipaganti

akhir penilaian setiap peserta. Hasil penilaian para pewawancara ini kemudian dipresentasikan dihadapan panel juri yang terdiri dari Pemimpin Redaksi SWA, Country Managing Partner AccentureIndonesia, Asisten Deputi Kelembagaan Departemen Koperasi dan UKM RI, serta perwakilanpengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia.

Sedikit berbeda dari penyelenggaraan Enterprise 50 tahun 2002, yang memeringkat peserta dariurutan pertama hingga ke-50, tahun ini panitia terlebih dahulu membagi peserta dalam tigakategori. Pertama, perusahaan skala menengah (revenue atau pendapatan di atas Rp 10 miliar).Kedua, perusahaan skala kecil (pendapatan di bawah Rp 10 miliar). Terakhir, perusahaankategori tumbuh dan berkembang (up & rising), yakni perusahaan dengan umur usaha belummencapai empat tahun, tapi perkembangan usahanya dinilai cukup signifikan.

Tahun ini, posisi jawara kategori perusahaan skala menengah diraih perusahaan pengembangsoftware dan penyedia solusi TI PT Realta Chakradarma. Perusahaan yang dipimpin HidayatTjokrodjojo ini mengumpulkan skor akumulatif tertinggi (399). Produsen peralatan rumah sakitasal Yogyakarta PT Mega Andalan Kalasan (MAK) bertengger di posisi kedua dengan nilai 388. Dibawah MAK, menclok Waka Gae Selaras, perusahaan pemilik jaringan hotel di Bali, dengan nilai381.

Di kategori perusahaan skala kecil, perusahaan penyedia tenaga detailer/medrep asal Yogya, PTUnggul Pasopati, menempati posisi pertama dengan nilai akumulatif 377, disusul perusahaanperiklanan PT Voxa Innovative Communication di tempat kedua (364), dan Vidi Group yangmembidangi properti di peringkat ketiga (357).

Adapun di kategori tumbuh dan berkembang, PT Sriagung Cahya Sakti, pemilik dan pengelolajaringan restoran Izzi Pizza menjadi jawara dengan nilai 351. PT Tripilar Medis Jaya, pengelolarumah sakit Happyland Medical Center di Yogya (340) di posisi kedua. Peringkat berikutnya diraihPT Biru Dirama (317), perusahaan perajin tas fashion dan makanan olahan Pia Apple Pie/MacaroniPanggang (313) di peringkat keempat.

Seperti tahun lalu, panitia memberikan pula penghargaan khusus kepada beberapa perusahaanyang meraih nilai tertinggi di setiap kategori penilaian, meliputi: Kebersamaan Visi Terbaik,Perusahaan Paling Inovatif, Manajemen SDM dan Budaya Organisasi Terbaik, Jaringan KerjaSama Usaha Terbaik, Cakupan Pemasaran Terbaik, Pengelolaan Perusahaan Terbaik, danPerusahaan Paling Transparan (selengkapnya, lihat Tabel).

Di samping itu, panel Redaksi SWA juga memilih SME yang dapat dikategorikan sebagaiEntrepreneurs to Watch. Pemilihan ini berdasarkan beberapa faktor: pertumbuhan perusahaan,inovasi dan diferensiasi produk/layanan, seberapa jauh perusahaan memberikan multiplier effectbagi lingkungan bisnis, kesadaran terhadap branding, hingga prospek bisnisnya ke depan(selengkapnya, lihat Tabel.)

Dari komposisi peserta, tidak terdapat perbedaan mencolok dengan tahun lalu. PesertaEnterprise 50 tahun ini umumnya bergerak di sektor jasa (75%), sama dengan mayoritas pesertatahun lalu, dan sisanya perusahaan manufaktur (25%). Sektor jasa yang digeluti pesertaberagam, meliputi jasa boga, pendidikan, keuangan, hiburan, kesanggrahaan (hospitality) danpariwisata, periklanan dan kehumasan, hingga perawatan ban mobil. Sementara itu, bidangmanufaktur meliputi pembuatan sistem dan aplikasi TI, industri peralatan rumah sakit, suplemenkesehatan, smartcard, dan sistem data, hingga fashion dan aksesori kecantikan. Sebagianpeserta Enterprise 50 tahun ini adalah alumni tahun lalu, yang mencoba memperbaiki peringkatsetelah merasa berhasil mendongkrak performa bisnisnya.

Dari bidang bisnis yang digeluti, tak sedikit peserta yang bergelut di bisnis yang lagi tumbuh,semisal Berri Indosari yang memproduksi jus segar. Karenanya, perusahaan ini merasa perluterus mengedukasi pasar tentang pentingnya minum jus buah. Atau, ada juga Izzi Pizza yangberlaga di bisnis jaringan restoran khusus piza. Akan tetapi, tak sedikit pula peserta yangberbisnis di bidang yang sebenarnya bukan hal baru, semisal di properti, pengelolaan hotel danlayanan kesanggrahaan lainnya. Sebut saja Vidi Group di Yogya, Waka Gae Selaras di Bali, danTirtagangga Gitamaya di Bandung. Dalam penilaian Heru Prasetyo, Penasihat AccentureIndonesia, banyak pelaku usaha, khususnya peserta Enterprise 50, yang sebenarnya menggarapbidang bisnis berkategori sunset, tapi karena kondisi lokalnya mendukung, posisi bargainingbisnisnya naik menjadi sunrise.

Yang juga menarik diamati, dari komposisi peserta tahun ini, terdapat beberapa perusahaanyang dipimpin dan dikelola pebisnis wanita, antara lain: Kampung Daun, Pia Apple Pie/MakaroniPanggang, dan Biru Dirama. Ini menunjukkan, peran wanita dalam bisnis SME di Tanah Air jugatak boleh lagi dipandang sebelah mata.

Menurut Country Managing Partner Accenture Indonesia Julianto Sidharta, keragaman komposisipeserta menunjukkan banyaknya sektor usaha yang masih menarik untuk digeluti. Meski secara

17/11/2011 SWA > Tampilan Cetak

http://202.59.162.82/cetak.php?cid=1… 2/5

Page 3: andianto cipaganti

keseluruhan ia melihat trennya cenderung ke arah bisnis jasa. "Ini karena mereka pintar mencariniche market yang tepat dan belum diisi pemain lain, jadi tidak sekadar me-too," paparnya.

Memang, jika dirunut, kiat sukses para peserta Enterprise 50 dalam berbisnis sebenarnya tidakjauh dari keberhasilan mereka memenuhi kriteria penilaian Enterprise 50, yaitu dalam hal filosofimanajemen, inovasi berkelanjutan, manajemen SDM dan budaya organisasi, dan sebagainya."Intinya, benang merah dari sukses yang diraih perusahaan Enterprise 50 adalah penerapanaspek-aspek tadi secara seimbang," tutur Julianto.

Alhasil, perusahaan yang mampu memenuhi aspek-aspek tadi memang terlihat menonjoldibanding perusahaan lain. Soal penerapan filosofi manajemen misalnya, pencapaian PT Indocaresebagai pemasar produk sabun kesehatan, importir sabun transparan impor, serta produsensuplemen Ester-C, patut ditiru. Perusahaan ini merasa perlu merumuskan visi-misi, dalam upayamencapai target pertumbuhan hingga tahun 2005. Untuk mencapai visinya, perusahaanmenerapkan falsafah I Care sebagai pegangan. Maksudnya, apa pun langkah untuk memajukanperusahaan harus didasari kepedulian. Hal ini juga ditunjang misi perusahaan dalammenyediakan produk-produk kesehatan yang mengutamakan faktor aman, murni dan alami.

Terlebih, Indocare juga sudah memiliki pabrik modern yang berlokasi di Kawasan Industri PuloGadung, Jakarta. Dari aspek manajemen, pabriknya yang didukung para profesional dan pasukanriset dan pengembangan, telah menerapkan ISO 9001-2000. Penerapan ISO 9001?2000 inididukung penerapan konsep Balance Scorecard -- metode evaluasi perusahaan -- yang belumtentu diterapkan bahkan oleh perusahaan besar lokal sekalipun.

Contoh bagus lainnya, di sisi inovasi, Voxa Innovative Communication patut menjadi teladan.Bermodal keberanian, Voxa yang dimotori kakak-beradik Marisa dan Esterlita Hidayat, melabrakpakem periklanan konvensional dengan melahirkan inovasi berupa pemasangan iklan di ruang-ruang yang selama ini tak dilirik untuk berpromosi, semacam lift, eskalator dan di toilet. Bisadibilang, merupakan terobosan baru di bidang periklanan di sini. Bahkan, inovasinya ini masukdalam Museum Rekor Indonesia.

Aspek pemasaran, yang selama ini sering disebut sebagai salah satu titik lemah SME, tampaknyakini juga telah digarap kalangan SME peserta secara optimal. Meski mekanisme ?getok tular? taksepenuhnya ditinggalkan, beberapa perusahaan SME tak lagi ragu menggelontorkan dana besaruntuk berpromosi. Misalnya, untuk meningkatkan citra sebagai raja penyewaan mobil di Bandung,Andianto merasa Cipaganti Rental Car perlu memasang baliho besar di beberapa titik strategis diKota Kembang.

Masih dalam hal pemasaran dan promosi produk, langkah John Wiwik Setiawan patut ditiru.Selain kemampuannya memasarkan Studio Foto Malibu, John mengakui, kegiatan promosi bisaberjalan baik karena kedekatannya dengan media. Selain banyak diulas di berbagai media,Malibu aktif pula membuat dan menyebarkan brosur.

Langkah promosi kreatifnya, Malibu melakukan co-branding dengan Majalah Aneka Yess danmenggelar Pemilihan Model Foto Action. Kerja sama dengan media dilakukan pula dalam acaraFoto Mesra bareng Artis, bekerja sama dengan Majalah Film, atau Foto Ceria bareng Artis Cilikberkolaborasi dengan Tabloid Fantasi. Untuk lebih membuka diri terhadap kalangan pers danmedia, Malibu bahkan memiliki Divisi Public Relations sendiri.

Kesadaran pentingnya upaya branding juga diperlihatkan Lal de Silva dalam mengembangkanSeven Grain. Nama Seven Grain dijadikan merek produk, karena lebih menjual dan mudah diingatketimbang PT Antonius Padua Production yang terkesan serius dan mengandung makna religius.Tak hanya mengembangkan merek Seven Grain, tag line perusahaan yang berbunyi Let us makeyour celebration even more memorable pun diusung, untuk menegaskan kedekatan Seven Graindengan aktivitas dan peristiwa-peristiwa berkesan kepunyaan pelanggan.

Lal juga menyadari pentingnya kualitas sebagai kunci sukses bisnis. Nurliah, Manajer ProduksiSeven Grain, ketiban tugas melakukan kontrol kualitas yang ketat terhadap produk kueperusahaan ini. Boleh dikata, saat ini, prosedur standar pembuatan kue telah dibuat secaratertulis, sehingga menjamin produk kue yang dihasilkan Seven Grain memiliki rasa, bentuk dankualitas yang sama meskipun dibuat oleh chef yang berbeda-beda. Menariknya lagi, agar produkSeven Grain bisa sampai ke pelanggan lebih cepat, proses pembuatan kue dipersingkat denganmelakukan penyetokan. Jika di awal bisnisnya, beberapa orang pelanggan harus menunggu 2-3jam sampai pesanannya selesai, sekarang cukup hanya 10-15 menit kue pesanan pelanggansudah bisa disiapkan.

Ke depan, seiring membludaknya permintaan, Seven Grain akan segera membuka cabang dibeberapa kawasan strategis, semisal Pondok Indah, Kelapa Gading dan Pluit. "Semakin banyakcabang, berarti semakin dekat kami dengan pelanggan," tutur Nurliah.

17/11/2011 SWA > Tampilan Cetak

http://202.59.162.82/cetak.php?cid=1… 3/5

Page 4: andianto cipaganti

Sayang, meski telah memiliki jurus-jurus pemasaran dan pengelolaan perusahaan lumayanbagus, pemahaman para peserta SME terhadap perkembangan teknologi informasi (TI) masihrelatif minim. Di luar perusahaan yang berkecimpung di bisnis TI (PT Realta Chakradarma, PTNetdesign Komunika, dan PT Intisar Primula), penerapan TI di perusahaan peserta Enterprise 50belum begitu memadai.

Beberapa di antaranya memang sudah memanfaatkan e-mail dan memiliki situs. Namun, situs inipun kebanyakan tak pernah diperbarui, apalagi digunakan untuk aktivitas e-commerce. Sebagianmereka bahkan merasa cukup puas berkomunikasi via telepon atau faksimile.

Toh, ada salah satu peserta yang merupakan perusahaan non-TI yang sudah memanfaatkan TIdalam pengelolaan operasional perkantoran, yakni PT Gisano Sukses Mandiri yang merancangsendiri aplikasi laporan keuangannya, berbasis sistem aplikasi SAP.

Selain Gisano, Izzi Pizza juga telah merancang aplikasi TI praktis guna memudahkan konsumendalam proses pemesanan antaran. Layanan hotline yang dimilikinya memungkinkan pesanan daripelanggan diarahkan ke lokasi cabang terdekat. Alhasil, pesanan bisa diantarkan lebih cepat.Enaknya lagi, pelanggan tak perlu membayar tunai, karena kartu kredit pun bisa digunakansebagai alat transaksi.

Di samping kelemahan tadi, faktor lain yang mendukung kesuksesan para peserta, sepertikeuletan, kegigihan, ketekunan dan semangat pantang menyerah, nampaknya telah built-indalam keseharian mereka. Kegigihan Jaya memeras jeruk hanya untuk memastikan produknyasampai ke tangan pelanggan dalam keadaan segar, bisa menjadi contoh nyata.

Belum puas? Mari ke Yogya. Di sana, ada Keun Wong Jan alias Abdul Natsir yang punya mimpimendirikan rumah sakit dengan konsep baru. Sebutan gendeng yang ditujukan padanya karenaberniat mendirikan rumah sakit, tak membuatnya mundur. Bahkan mundurnya beberapa mitrayang sebelumnya berencana ikut mendanai, tak menyurutkan langkahnya. Toh, pada akhirnya,dengan kerja kerasnya, Natsir mampu mewujudkan impiannya. Dana besar yang dia perlukanuntuk membangun rumah sakit itu sebagian dari kantong sendiri, dan sebagian lagi diperolehdari pinjaman bank. Jika semua berjalan lancar, Happyland Medical Centre -- rumah sakit yangmemadukan layanan kedokteran modern dengan konsep pengobatan alternatif -- mulaiberoperasi penuh awal 2004.

Walau begitu, tidak semua peserta Enterprise 50 melihat bisnis melulu sebagai sesuatu yangserius. Sebagian mereka menganggap bisnis sebagai kesenangan. Contohnya, Ruth Tamzil deFernandez, yang memulai bisnis dari impiannya menjadikan area piknik di lingkungan rumahnya diVilla Triniti, Cihideung, Bandung sebagai kafe untuk kongko-kongko dengan kerabat dan kolegadekatnya. Kafenya sekarang dikenal dengan nama Kampung Daun.

Tak dinyana, kafe sederhana yang dikelolanya sejak tahun 1999 itu, kini menjelma menjaditempat makan paling populer di Bandung. Sedikitnya 300 tamu datang ke Kampung Daun setiapharinya. Jumlah ini bisa meningkat tiga kali di akhir pekan. Toh, di mata Ruth, apa yangdikerjakannya demi mengembangkan Kampung Daun, bukanlah bisnis. "Itu lebih sebagaikesenangan buat saya," katanya. Tak heran, sejak awal pendirian Kampung Daun, iamengerjakan segala sesuatunya sendirian. Itu pula mengapa bisnis yang ia kelola lebih banyakbersandarkan asas kekeluargaan. Kendati begitu, secara bertahap ia mulai merekrut beberapatenaga profesional.

Tyas Utomo Soekarsono, pengamat SME dari Lembaga Pengembangan Ekonomi MasyarakatUniversitas Indonesia, menilai sukses usahawan SME di tengah kondisi perekonomian yangamburadul disebabkan beberapa hal. Yang pertama, SME biasanya beroperasi dalam bisnis yangberbasis konsumen (consumer based), seperti konveksi, makanan, agrobisnis, konsultan, ritel,kerajinan tangan, dan sebagainya. "Mereka memiliki produk dan layanan yang selalu dibutuhkandan dikonsumsi masyarakat, tak peduli perekonomian nasional dalam kondisi baik atau buruk,"tuturnya.

Selain itu, Ketua Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia ini melihat banyak pengusaha kecil-menengah yang berbisnis tanpa mengandalkan koneksi atau fasilitas. "Jaringan yang merekabangun betul-betul jaringan bisnis," ungkapnya.

Menurut Tyas, mereka umumnya juga enggan berurusan dengan tetek bengek administrasi danaktivitas lobi bisnis, karena dianggap merepotkan. "Kalau kata mereka, ?kita mah dagang saja,tidak pakai lobi segala?" ia bertutur, menirukan komentar para pengusaha SME. Namun dalampandangan Tyas, ketimbang beberapa faktor di atas, faktor keuletan dalam berbisnislah yangsebenarnya menjadi penentu keberhasilan mereka berusaha.

Jahja B. Soenario, Direktur PT Gizita Pangan Sejahtera (Gizitas), salah satu alumni Enterprise 50tahun lalu, menilai manfaat yang diperoleh saat bergabung dengan Enterprise 50 adalah

17/11/2011 SWA > Tampilan Cetak

http://202.59.162.82/cetak.php?cid=1… 4/5

Page 5: andianto cipaganti

banyaknya pengetahuan baru dalam cara pengelolaan perusahaan. Salah satunya, pentingnyafungsi manajemen modern dalam pengelolaan perusahaan, dan pentingnya mengoptimalkancara-cara pemasaran.

Namun, ia menilai program ini masih ada kurangnya, yakni tindak lanjut agar para peserta dapatmenjalin aliansi dan sinergi dengan alumni dan perusahaan lain. Selain itu, Jahja juga tak melihatadanya keseriusan pemerintah dalam mendukung SME. "Janji-janji pemerintah utamanya dalampemberdayaan SME cuma sebatas slogan, realisasinya tak pernah ada," ia menandaskan. "Kalaumau, pemerintah dapat memberi insentif dalam bentuk kemudahaan izin usaha, atau keringananpajak," tambahnya.

Senada dengan Jahja, Tyas juga menyarankan agar pemerintah mengubah cara pandangmengenai SME. "Pemerintah harus melihat pengusaha sebagai investasi jangka panjang, bukansekadar cash cow," katanya. Artinya, pengusaha SME harus betul-betul dibina dan dibesarkan,karena nantinya merekalah yang membayar pajak pendapatan daerah atau negara.

Menanggapi hal ini, Choirul Djamhari, Asisten Deputi Kelembagaan Kementerian Koperasi & SME,mengatakan sebenarnya pemerintah telah mengatur berbagai hal mengenai SME dalam UU No.9/1995, sedangkan Usaha Menengah diatur dalam Inpres No. 10/1999.

Pemerintah, dijelaskan Choirul, sebenarnya memiliki beberapa strategi untuk terus mendukungkeberadaan sektor SME. Pertama, mempermudah terciptanya iklim usaha, di antaranya denganmenyederhanakan prosedur dan perangkat per-UU-an yang mengatur SME. Termasuk,meniadakan peraturan yang tumpang tindih di tingkat pusat dan daerah. Kedua, meningkatkanakses terhadap sumber daya -- dari akses teknologi informasi, sumber daya modal, hinggasumber daya manusia. Ketiga, mendorong tumbuhnya semangat kewirausahaan baru melaluikegiatan pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan pemagangan. "Ketiga strategi ini diwujudkandalam kerangka otonomi daerah, agar tercipta kemandirian SME, sehingga mengurangiketergantungan pada pemerintah," ia memaparkan.

Toh, Choirul menyambut positif pelaksanaan Enterprise 50. "Para usahawan yang sering ikutkompetisi akan mampu dan terbiasa untuk terus tumbuh dan berkembang, karena mendapatkanparamater-parameter baru," ia menegaskan. Parameter ini, lanjutnya, menjadikan parausahawan senantiasa waspada terhadap perkembangan bisnis yang ada. Mereka pun dapatsaling belajar dan melakukan dengan usaha lain yang lebih bagus.

Memang, para pengusaha SME sendiri juga bukan tanpa kelemahan. Salah satunya, soaltransparansi pengelolaan perusahaan. Mengenai banyaknya SME yang belum transparanditanggapi Choirul sebagai kondisi yang wajar, dan merupakan ciri umum SME "Tingkat formalitasmereka memang relatif rendah," ujarnya.

Soal transparansi juga menjadi perhatian Julianto Sidharta. Menurutnya, kesempatanmendapatkan pendanaan dari bank, salah satunya diperoleh jika laporan keuangan yangtransparan tersedia. Transparansi dalam hemat Julianto tak sebatas keuangan saja, tapi jugasoal manajemen. "Saya kira semua orang setuju, transparansi penting bagi bisnis yang tengahberkembang,? ia berujar.

Reportase: Dedi Humaedi, Herning Banirestu, Farida Nawang Nurini, Tantri Ryanthi. Riset: VikaOctavia.

URL : http://202.59 .162 .82/swamajalah/sajian/details .php?c id=1&id=170

Print | Tutup Window

17/11/2011 SWA > Tampilan Cetak

http://202.59.162.82/cetak.php?cid=1… 5/5