Upload
hafid-lho
View
15
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Apakah Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu
Citation preview
Apakah Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu?Kategori: Fiqh dan Muamalah
44 Komentar // 15 April 2010
Permasalahan ini adalah permasalahan yang sering dibingungkan oleh sebagian orang. Dan
kebanyakan kaum muslimin menganggap bahwa menyentuh wanita adalah membatalkan wudhu.
Inilah yang dianut oleh mayoritas kaum muslimin di negeri ini karena kebanyakan mereka menganut
madzhab Syafi’i yang berpendapat seperti ini. Lalu manakah yang tepat? Tentu saja kita mesti
mengembalikan hal ini pada pemahaman yang benar terhadap Al Qur’an dan As Sunnah.[1]
Silang Pendapat
Perlu diketahui, dalam masalah apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu ataukah tidak, para
ulama ada tiga macam pendapat.
Pendapat pertama: menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak. Pendapat ini dipilih oleh
Imam Asy Syafi’i, Ibnu Hazm, juga pendapat dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar.
Pendapat kedua: menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlah. Pendapat ini dipilih
oleh madzhab Abu Hanifah, Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani, Ibnu ‘Abbas, Thowus, Al Hasan Al
Bashri, ‘Atho’, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat ketiga: menyentuh wanita membatalkan wudhu jika dengan syahwat. Pendapat ini adalah
pendapat Imam Malik dan pendapat Imam Ahmad yang masyhur.
Untuk melihat manakah pendapat yang lebih kuat, mari kita lihat beberapa yang digunakan untuk
masing-masing pendapat.
Batalnya Wudhu Karena Menyentuh Wanita Melalui Dalil Al Qur’an?
Sebagian ulama yang menyatakan batal wudhu karena menyentuh wanita, berdalil dengan firman
Allah Ta’ala,
;م9 9ت ;ن ك @ن9 وBإ 9ن@ Bي Bع9ب 9ك ال Bى @ل إ ;م9 Bك ل ج; ر9B وBأ ;م9 ك ء;وس@ @ر; ب ح;وا Bام9سBو اف@ق@ BرB9م ال Bى @ل إ ;م9 Bك 9د@ي Bي وBأ ;م9 و;ج;وهBك ;وا ل فBاغ9س@ ة@ Bالbالص @لBى إ ;م9 ق;م9ت @ذBا إ ;وا BمBن آ Bذ@ينb ال iهBا ي
B أ Bا ي
و9 B أ @ط@ 9غBائ ال Bم@ن ;م9 9ك م@ن mدBحB أ BاءBج و9
B أ oرBف Bس عBلBى و9B أ مBر9ضBى ;م9 9ت ;ن ك @ن9 وBإ وا فBاطbهbر; tا ;ب ن اءB ج; Bسu الن ;م; ت مBس9 Bا الt uب طBي صBع@يدtا Bمbم;وا Bي فBت tاءBم Bج@د;وا ت Bم9 فBل
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu
dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); ...” (QS. Al Ma-idah: 6) Mereka menafsirkan
kalimat “lamastumun nisaa’” dengan menyentuh perempuan. Landasannya adalah perkataan Ibnu
Mas’ud ,
. الج@مBاع@ Bد;و9ن مBا bم9س;، الل
“Al lams (lamastum) bermakna selain jima’”.[2] Perkataan yang serupa juga dikatakan oleh Ibnu
‘Umar.[3] Jadi, menurut keduanya lamastumun nisaa’ bermakna selain berhubungan badan seperti
menyentuh.
Akan tetapi, tafsiran dua ulama sahabat ini bertentangan dengan perkataan sahabat -yang lebih pakar
dalam masalah tafsir- yaitu Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-. Beliau mengatakan,
” ” ” ” ” شاء” بما شاء ما يكني الله ولكن الجماع، ، المباشرة و ، اللمس و المس إن
“Namanya al mass, al lams dan al mubasyaroih bermakna jima’ (berhubungan badan). Akan tetapi
Allah menyebutkan sesuai dengan yang ia suka.”
Dalam perkataan lainnya disebutkan,
. : ” الجماع هو قال ، النساء المستم أو
“Makna ayat: lamastumun nisaa’ adalah jima’ (berhubungan badan).”[4]
Manakah dua tafsiran di atas yang lebih tepat?
Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan ini:
Pertama: Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari bahwa makna “lamastmun
nisaa‘” dalam ayat tersebut adalah jima’ (berhubungan badan) dan bukan dimaknakan dengan makna
lain dari kata al lams. Alasannya, terdapat hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau pernah mencium sebagian istrinya, lalu beliau shalat dan tidak berwudhu lagi.
Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian
istrinya, lalu ia pergi shalat dan tidak berwudhu. Seorang perowi (‘Urwah) berkata pada ‘Aisyah,
“Bukankah yang dicium itu engkau?” Setelah itu ‘Aisyah pun tertawa.[5] Juga terdapat riwayat Ibrahim
At Taimiy, dari ‘Aisyah. Riwayat ini dishahihkan oleh Al Albani.[6]
Kedua: Tafsiran Ibnu ‘Abbas lebih didahulukan dari tafsiran Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar karena beliau
lebih pakar dalam hal ini.[7]
Ketiga: Kita pun bisa melihat pada konteks ayat surat Al Maidah ayat 6,
;وا ل فBاغ9س@ ة@ Bالbالص @لBى إ ;م9 ق;م9ت @ذBا إ ;وا BمBن آ Bذ@ينb ال iهBا يB أ Bا ي
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah”: Dalam
ayat ini disebutkan mengenai thoharoh (bersuci) dengan air dari hadats kecil.
وا فBاطbهbر; tا ;ب ن ج; ;م9 9ت ;ن ك @ن9 وBإ
“dan jika kamu junub maka mandilah”: Sedangkan ayat ini untuk bersuci dari hadats besar.
Lalu setelah itu, Allah menyebut:
Bمbم;وا Bي فBت tاءBم Bج@د;وا ت Bم9 فBل Bاء Bسu الن ;م; ت مBس9 Bال و9B أ @ط@ 9غBائ ال Bم@ن ;م9 9ك م@ن mدBحB أ BاءBج و9
B أ oرBف Bس عBلBى و9B أ مBر9ضBى ;م9 9ت ;ن ك @ن9 وBإ
“dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
lamastumun nisaa’, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah.”
Dalam firman Allah: “maka bertayamumlah”. Ini menunjukkan bahwa tayamum adalah pengganti
untuk dua thoharoh sekaligus jika tidak memungkinkan menggunakan air.
@ط@ 9غBائ ال Bم@ن ;م9 9ك م@ن mدBحB أ BاءBج و9B أ
“atau kembali dari tempat buang air (kakus)”: ini adalah untuk hadats kecil. Jadi tayamum bisa
sebagai pengganti wudhu.
Bاء Bسu الن ;م; ت مBس9 Bال و9B أ
“ atau lamastumun nisaa’”: ini adalah untuk hadats besar. Jadi tayamum bisa mengganti mandi junub.
Sehingga dari sini, lamastumun nisaa’ termasuk hadats besar. Jadi maknanya bukan hanya sekedar
mencium atau menyentuh.
Catatan: Memang kata al lams bisa bermakna menyentuh (meraba) dengan tangan sebagaimana
disebutkan dalam ayat berikut,
9د@يه@م9 يB @أ ب وه; BمBس; فBل oاسBط ق@ر9 ف@ي tا Bاب @ت ك B9ك Bي عBل Bا 9ن ل bزB ن Bو9 وBل
“Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan
tangan mereka sendiri” (QS. Al An’am: 7)
Begitu pula dapat dilihat dalam hadits,
bم9س; الل BاهBا ز@ن Bد; 9ي وBال
“Zinanya tangan adalah dengan meraba.”[8]
Namun sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari, makna “lamastmun nisaa‘” dalam ayat
tersebut adalah jima’ (berhubungan badan) dan bukan dimaknakan dengan makna lain dari kata al
lams.
Dalil Lain Bahwa Menyentuh Wanita Tidak Membatalkan Wudhu
Pertama: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
- د@ - ج@ 9مBس9 ال ف@ى Bه;وBو 9ه@ قBدBمBي Bط9ن@ ب عBلBى Bد@ى ي فBوBقBعBت9 ;ه; ت BمBس9 9ت فBال اش@ B9ف@ر ال Bم@ن tةB 9ل Bي ل وسلم عليه الله صلى bه@ الل Bس;ول Bر فBقBد9ت;
“Suatu malam aku kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau ternyata pergi dari
tempat tidurnya dan ketika itu aku menyentuhnya. Lalu aku menyingkirkan tanganku dari telapak
kakinya (bagian dalam), sedangkan ketika itu beliau sedang (shalat) di masjid …”[9]
Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
;ه;مBا – – . ط9ت BسB ب BامBق @ذBا فBإ ، bىB ر@ج9ل Bض9ت; فBقBب ، @ى ن BزBمBغ BدBج Bس @ذBا فBإ ، @ه@ Bت 9ل ق@ب ف@ى BىB وBر@ج9ال وسلم عليه الله صلى bه@ الل س;ول@ Bر BدBى9 ي B9ن Bي ب Bام; Bن أ 9ت; ;ن ك
@يح; مBصBاب ف@يهBا B9س Bي ل oذ@ Bو9مBئ ي ;وت; ;ي 9ب وBال Bت9 قBال
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku di arah kiblat
beliau. Ketika ia hendak sujud, ia meraba kakiku. Lalu aku memegang kaki tadi. Jika bediri, beliau
membentangkan kakiku lagi.” ‘Aisyah mengatakan, “Rumah Nabi ketika itu tidak ada
penerangan.”[10]
Ketiga: Sudah diketahui bahwa para sahabat pasti selalu menyentuh isti-istrinya. Namun tidak
diketahui kalau ada satu perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berwudhu dan tidak ada
satu riwayat yang menyebutkan bahwa ketika itu para sahabat berwudhu. Padahal seperti ini sudah
sering terjadi ketika itu. Bahkan yang diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium
sebagian istrinya dann tanpa berwudhu lagi. Walaupun memang hadits ini diperselisihkan oleh para
ulama mengenai keshahihannya. Namun tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa beliau berwudhu
karena sebab bersentuhan dengan wanita. [11] -Inilah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang
kami sarikan-
Sedangkan perkataan ulama yang menyatakan bahwa menyentuh wanita dengan syahwat saja yang
membatalkan wudhu, maka ini adalah pendapat yang tidak berdalil. Namun jika sekedar
menganjurkan untuk berwudhu sebagaimana orang yang marah dianjurkan untuk berwudhu, maka ini
baik. Akan tetapi, hal ini bukanlah wajib. Wallahu Ta’ala a’lam.
Perhatian: Hukum Menyentuh Wanita Yang Bukan Mahrom
Jika sudah jelas penjelasan menyentuh wanita di atas berkaitan dengan masalah wudhu. Lalu
bagaimana dengan hukum menyentuh wanita yang bukan mahrom, berdosa ataukah tidak?
Ada hadits yang bisa kita perhatikan, yaitu dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Bب@ ;ت 9ن@ عBلBى ك ;ه; آدBمB اب Bص@يب Bى م@نB ن ن uالز mم;د9ر@ك Bك@ B ذBل BةB ال ال BحBان@ مB 9ن 9عBي Bاه;مBا فBال bظBر; ز@ن Bان@ الن ;ذ;ن Bاه;مBا وBاأل @مBاع; ز@ن ت @س9 ان; اال BسuاللBاه; وB Bم; ز@ن Bال 9ك Bد; ال 9ي وBال
BاهBا Bط9ش; ز@ن 9ب ج9ل; ال uالرBا وBاهB 9خ;طBا ز@ن 9قBل9ب; ال Bه9وBى وBال bى ي BمBن Bت ;صBدuق; وBي @كB وBي ج; ذBل 9فBر9 ;ه; ال Bذuب ;ك وBي
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa
tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan
adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan
melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti
akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[12] Zina tangan adalah dengan menyentuh
lawan jenis yang bukan mahrom dan di sini disebut dengan zina sehingga ini menunjukkan haramnya.
Karena ada kaedah: “Apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram.”[13].Semoga kita bisa memperhatikan hal ini.
Kesimpulan: Menyentuh wanita tidak membatalkan menurut pendapat yang lebih kuat. Namun jika
menyentuh wanita bukan mahrom, ada konsekuensi berdosa berdasarkan penjelasan terakhir di
atas. Wallahu a’lam.
Dari artikel 'Apakah Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu? — Muslim.Or.Id'
“Menurut jumhur (mayoritas) ahli ilmu, tidak boleh bagi seorang muslim menyentuh mushaf(al-
Quran) jika ia tidak berwudhu. Pendapat ini dikuatkan pula oleh imam yang empat dan semisal apa
yang difatwakan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan
hadits Amr bin Hazm bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim surat kepada
penduduk Yaman,
mاه@رBط b @ال ءBانB إ 9ق;ر9 BمBسi ال B ي ال
“Hendaklah seseorang tidak menyentuh Al-Quran kecuali orang yang dalam keadaan suci.”
Derajat hadits ini jayyid (baik) dan memiliki jalan yang saling menguatkan. Oleh karena itu, dalam
hadits ini dapat diketahui bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk menyentuh al-Quran kecuali ia
bersih dari najis besar dan kecil. Demikian pula halnya dengan memindahkan al-Quran, yaitu
seseorang tidak boleh memindahkannya kecuali ia berada dalam keadaan suci.
Akan tetapi, apabila seseorang menyentuh dan memindahkan al-Quran dengan menggunakan
sesuatu, semisal pembungkus dan pembalut, maka tidak mengapa. Adapun menyentuhnya secara
langsung sedang dia tidak suci dari najis, maka itu yang tidak dibolehkan menurut pendapat yang
benar.
Selain itu, tidak mengapa bagi orang yang ber-hadats untuk membaca al-Quran, asalkan ia tidak
menyentuhnya, mungkin dengan cara al-Quran tersebut dipegangkan dan dibukakan oleh orang lain
lalu ia membacanya. Akan tetapi, bagi orang yang ber-hadats besar, yaitu janabah, hendaknya ia
tidak membaca al-Quran, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melarang seseorang
untuk membaca al-Quran kecuali terhadap orang yang junub.
Diriwayatkan dari Imam Ahmad dengan sanad yang jayyid (bagus) dari sahabat Ali. Bahwasanya,
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar dari tempat buang hajat, lalu beliau membaca al-
Quran kemudian beliau bersabda, “Hal ini diperbolehkan bagi orang yang tidak junub. Adapun
orang yang junub, maka hal ini tidak diperbolehkan baginya meskipun hanya satu ayat.”
Maksud hadits ini, bahwasanya orang yang dalam keadaan junub tidak boleh
membaca mushaf,meskipun ia tidak menyentuhnya sampai ia bersuci, yaitu mandi. Adapun orang
yang ber-hadats kecil, tidak junub, maka tidak mengapa bila ia membaca al-Quran, dengan syarat ia
tidak menyentuhnya secara langsung.
Kemudian ada sebuah masalah yang berkaitan dengan ini, yaitu masalah wanita haid dan nifas,
bolehkah mereka membaca al-Quran ataukah tidak? Dalam hal ini ada sedikit silang pendapat di
kalangan para ulama.
Pendapat yang pertama mengatakan, bahwa wanita haid dan nifas tidak boleh membaca al-Quran,
karena mereka digolongkan seperti orang yang junub.
Adapun pendapat yang kedua mengatakan, bahwa wanita haid dan nifas boleh membaca al-Quran,
namun tidak boleh menyentuhnya, sebab masa haid dan nifas itu panjang dan waktunya cukup lama,
tidak seperti orang yang junub, yang mana mereka mampu untuk mandi pada waktu itu juga, lalu
membaca al-Quran. Adapun wanita haid dan nifas tidak mempu melaksanakan hal tersebut setelah
suci. Oleh karena itu, tidak sah jika mereka (wanita haid dan nifas) dikiaskan seperti orang yang
junub.
Pendapat yang kuat dan benar adalah pendapat kedua, bahwa tidak ada yang mencegah wanita haid
atau nifas untuk membaca al-Quran, dengan syarat mereka tidak menyentuhnya secara langsung,
sebab tidak satu pun dalil yang menunjukkan larangan bagi mereka dalam hal ini.
Dalam ash-Shahihain, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diriwayatkan bahwasanya beliau
pernah berkata kepada istri beliau, Aisyah, ketika Aisyah mengalami haid pada waktu berhaji,
Bط9ه;ر@ي9 9ت@ حBتىb ت Bي 9ب @ال Bط;و9ف@ي9 ب b ت Bال 9رB أ 9حBاج; غBي Bف9عBل; ال @ف9عBل@ي9 مBا ي ا
“Lakukanlah apa saja yang dilakukan oleh jama’ah haji lainnya selain tawaf di Ka’bah, hingga
engkau suci.”
Tentunya kita telah maklumi bersama bahwa para jama’ah haji disyariatkan membaca Al-Quran,
padahal membaca Al-Quran merupakan perkara yang sering dilakukan oleh jama’ah haji yang tidak
dikecualikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu menunjukkan bahwa wanita haid boleh
membaca Al-Quran, tetapi tidak boleh menyentuhnya.
Adapun hadits Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau pernah
bersabda, “Janganlah wanita haid dan orang yang junub membaca sedikit pun dari Al-Quran,’ maka
hadits ini
adalah hadits dhaif (lemah). Dalam saandnya terdapat rawi yang bernama Ismail bin Iyasy dari Musa
bin Uqbah.
Para ulama telah mendhaifkan riwayat Ismail bila ia mengambil riwayat tersebut dari penduduk
Hijaz. Mereka (ahli hadits) mengatakan bahwa riwayat Ismail bin Iyasi dinilai baik jika riwayat
tersebut berasal
dari penduduk Syam, tetapi periwayatannya dari penduduk Hijaz dinilai lemah. Sedangkan hadits di
atas merupakan riwayat beliau dari penduduk Hijaz, sehingga haditsnya digolongkan hadits dhaif
(lemah).”
(Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam Majmu’ Fatawa, 4/383-384)
Sumber: Majalah Mawaddah, Edisi 10, Tahun 1, Rabiul Akhir-Jumadil Ula 1429 H (Mei 2008).