ardi2

Embed Size (px)

Citation preview

SETTING-SETTING DIGLOSIA DAN STRATEGI MENGHADAPINYAOleh pusatbahasaalazhar

0 artikel dalam buku Menyelamatkan Bahasa Ibu Sebagai Kekayaan Budaya Nasional . ISBN 9789799-462787, Published incorporation between Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print, 2010 Iqbal Nurul Azhar A. PENDAHULUAN Madura dengan empat kabupatennya yaitu Bangkalan, Sampang Pamekasan dan Sumenep tidak hanya didiami orang Madura saja, tapi daerah ini didiami juga oleh orang Jawa, Sunda, Sumatera, Cina, dan Arab. Namun, meskipun struktur masyarakatnya terdiri dari berbagai etnis, mayoritas dari populasi pulau ini adalah penutur asli bahasa Madura yaitu orang Madura dan bahasa komunikasi merekapun bahasa Madura. Pemerintah menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional yang wajib digunakan oleh segenap suku bangsa di Indonesia, sehingga Madura, sebagai bagian dari suku bangsa di Indonesia juga menggunakan bahasa tersebut. Akibatnya orang Madura menjadi bilingual, yaitu mereka mampu menguasai dua bahasa dengan baik. Bahkan ada sebagian daerah yang penduduknya multilingual karena mereka tidak hanya mahir bahasa Madura dan bahasa Indonesia, mereka juga mahir bahasa Jawa atau bahkan bahasa Kalimantan. Selain memiliki kemampuan bilingual atau multilingual, orang-orang Madura sangat familiar dengan setting diglosia (Fishman, 1967/2000: 89-106, menyebutnya sebagai domain). Hal ini tidaklah aneh mengingat bahasa Madura yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari memiliki variasi tingkat tutur (speech level) atau tingkatan bahasa yang dalam bahasa Madura disebut Ondhagan Bhasa. Sukardi (2001) mendefinisikan Ondhagan Bhasa sebagai perihal yang berhubungan dengan tinggi rendahnya bahasa yang digunakan masyarakat dalam berbicara. Sukardi juga menambahkan bahwa dalam berbicara, orang Madura perlu melihat lawan bicara, apakah berbicara dengan orang yang derajatnya sama, lebih rendah ataukah lebih tinggi. Pemilihan tingkat tutur ini ditentukan oleh beberapa faktor antara lain: (1) situasi pembicaraan, yaitu tingkat keformalan pembicaraan yang sedang berlangsung, (2) status sosial pembicara, yaitu apakah pembicara adalah orang penting dan dipentingkan dalam pembicaraan, (3) hubungan personal antar pembicara, yaitu tingkat keakraban hubungan antar penutur dengan lawan tutur, (4) faktor usia, yaitu tingkat perbedaan usia antara penutur dengan lawan tutur. (Sukardi, 2001) Secara umum, tingkat tutur yang terdapat dalam bahasa Madura dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu: (1) tingkat Enja-Iyah, (2) tingkat Enggi-Enten, dan (3) tingkat Enggi Bunten. Tingkat bahasa Madura Enja- Iyah adalah tingkat tutur yang biasa dipakai oleh dua orang atau lebih yang memiliki derajat sama baik itu usia, status sosial dan berada dalam status hubungan yang sangatlah akrab. Tingkat bahasa Madura Enggi-Enten adalah tingkat tutur yang digunakan

kepada kawan dalam pergaulan yang kurang akrab, kepada orang yang asing yang baru saja dikenal, atau kepada orang tua yang jarak sosialnya yang tidak terlalu jauh. Tingkat bahasa Madura Enggi-Bunten adalah kelas tutur yang digunakan oleh orang dalam situasi pergaulan yang resmi, ditujukan kepada orang yang sangat dihormati atau terpandang dan dimaksudkan untuk menghormati lawan bicara Berdasarkan kemampuan mereka yang bilingual, multilingual, dan multilevel ini, kita mungkin dapat bertanya, kira-kira apa yang terjadi andaikata masyarakat ini berada dalam sebuah setting diglosia, sebuah situasi yang memaksa mereka memilih salah satu ragam bahasa untuk memenuhi tuntutan kesopanan dalam hubungan sosial? Bahasa atau tingkat bahasa apakah yang akan mereka pakai dalam konteks ini padahal mereka memiliki kemampuan untuk memilih tingkatan bahasa maupun mengalihkan bahasa mereka ke bahasa lain? Apakah mereka akan memilih salah satu dari tiga tingkat bahasa Madura tersebut ataukah mereka akan menggunakan bahasa yang lain selain bahasa Madura? Situasi kebahasaan masyarakat Madura yang unik ini sangat menarik untuk diamati. Melalui pendekatan sosiolinguistik dengan parameter seperti bilingualisme, multilingualisme, multilevel dalam monobahasa dan diglosia, setidak-tidaknya ada dua pertanyaan yang menjadi ruh dari penelitian ini. Dua pertanyaan tersebut adalah (1) Setting-setting diglosia apa sajakah yang dapat ditemukan dalam interaksi orang Madura sehari-hari. (2) Strategi apa sajakah yang dilakukan orang Madura dalam menghadapi setting-setting diglosia tersebut? B. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Dua pertanyaan di atas adalah rumusan masalah dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini pada hakikatnya untuk mencari jawaban dari permasalahan yang dikemukakan di atas dan mendapatkan gambaran secara jelas dari dua pertanyaan tersebut. Berdasarkan rumusan masalah ini, maka tujuan penelitian ini adalah : (1) untuk mengetahui setting-setting diglosia apa sajakah yang dapat ditemukan dalam interaksi orang Madura sehari-hari, (2) untuk mendapatkan informasi tentang strategi apa sajakah yang dilakukan orang Madura dalam menghadapi settingsetting diglosia tersebut. Penelitian ini memiliki manfaat besar terhadap perkembangan sosiolinguistik dan etnolinguistik. Adapun manfaat yang didapatkan dari penelitian ini adalah: (1) memberikan tambahan informasi kepada sosiolinguis tentang fenomena-fenomena diglosia yang terjadi pada masyarakat lokal, dan (2) menjawab pertanyaan etnolinguis utamanya etnolinguis Madura apakah bahasa Madura masih tetap dipertahankan ataukah telah ditinggalkan pemakaiannya dalam kehidupan sehari-hari C. METODE DAN LIMITASI PENELITIAN Dengan menggunakan metode diskriptif kuantitatif, peneliti mengadakan penelitian di Kabupaten Bangkalan tepatnya di Universitas Negeri Trunojoyo. Universitas Negeri Trunojoyo dipilih sebagai lokasi penelitian didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu (1) Universitas Negeri Trunojoyo adalah satu-satunya Universitas Negeri di Madura yang menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari empat kabupaten di Madura, (2) akses yang dimiliki peneliti sangat luas di universitas ini karena peneliti bekerja sebagai staf pengajar di universitas ini.

Data didapat dari angket yang disebarkan kepada 100 mahasiswa yang berasal dari jurusan yang berbeda. Seluruh responden adalah mahasiswa kelahiran Madura dan dapat berbahasa Madura. D. BEBERAPA TEORI TENTANG BILINGUALISME, MULTILINGUALISME DAN DIGLOSIA D.1. Bilingualisme dan Multilingualisme Istilah bilingualisme adalah istilah yang pengertiannya bersifat relatif. Kerelatifitasan ini muncul disebabkan batasan seseorang disebut multilingual bersifat arbitrer dan hampir tidak dapat ditentukan secara pasti. Mula-mula bilingualisme diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa sama baiknya oleh seorang penutur, namun pendapat ini makin lama makin tidak populer karena kriteria untuk menentukan sejauh mana seorang penutur dapat menggunakan bahasa sama baiknya tidak ada dasarnya sehingga sukar diukur dan hampirhampir tidak dapat dilakukan (Suwito, 1983:40) Perluasan pengertian kedwibahasaan diberikan oleh Mackey (dalam Suwito, 1983) yang menggambarkan adanya tingkat-tingkat kedwibahasaan yang dimaksudkan untuk membedakan tingkat kemampuan seseorang dalam menguasai bahasa kedua. Tingkat-tingkat kemampuan ini dapat dilihat dari penguasaannya dalam hal grammatikal, leksikal, semantik, dan style yang tercermin dalam empat ketrampilan dasar yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Makin banyak unsur-unsur tersebut dikuasai seseorang, makin tinggi tingkat kedwibahasaan orang tersebut. Makin sedikit penguasaan terhadap unsur-unsur tersebut, makin rendah kemampuan kedwibahasaannya. Haugen (1968:10) sejalan dengan pengertian di atas menjelaskan kedwibahasan sebagai knowledge of two languages (tahu dua bahasa). Pengertian ini secara singkatnya digambarkan bahwa seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa. Cukuplah apabila ia mengetahui secara pasif dua bahasa. Oksaar (1972:478) berbeda pendapat dengan Haugen. Ia berpendapat tidak cukup membatasi kedwibahasaan hanya sebagai milik indiovidu. Kedwibahasaan harus diperlakukan sebagai milik kelompok, sebab bahasa itu sendiri tidak terbatas sebagai alat penghubung antar individu, tetapi juga alat komunikasi antar kelompok Istilah bilingualisme (kedwibahasaan) sering dianggap sama dengan istilah multilingualisme (kemultibahasaan), yaitu istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan penggunaan lebih dari satu bahasa oleh individu, kelompok, atau masyarakat (regional, nasional, bangsa, dan negara). Teori tentang bilingualisme dan multilingualisme ini disampaikan oleh Beardsmore (1982), dan Baker (1996) D.2. Diglosia Istilah diglosia mula-mula dikemukakan oleh Charles A. Ferguson dalam tulisannya yang berjudul Diglosia (1959: 325-340; Diterbitkan kembali pada Wei, Ed., 2000: 65-80) untuk mengacu pada situasi kebahasaan yang mencerminkan penggunaan dua variasi bahasa secara berdampingan yang masing-masing mempunyai peranan dan fungsi sendiri-sendiri dalam masyarakat tempat bahasa tersebut dituturkan. Variasi bahasa yang satu biasanya lebih standar dan diberi label Variasi Tinggi (Variasi H/High), sedangkan variasi yang lain biasanya kurang begitu bergengsi dan diberi label Variasi Rendah (Variasi L/Low)

Menurut Ferguson, diglosia mempunyai ciri-ciri menonjol yang dapat ditunjukkan melalui sembilan sudut pandang yaitu (a) fungsi, (b) prestise, (c) tradisi sastra, (d) pemerolehan bahasa, (e) standarisasi, (f) stabilitas, (g) tata bahasa, (h) leksikon, dan (i) fonologi (Ferguson, 1959/2000)

Secara umum memahami pengertian analisis kontrastif dapat ditelusuri melaui makna kedua kata tersebut. Analisis diartikan sebagai semacam pembahasan atau uraian. Yang dimaksud dengan pembahasan adalah proses atau cara membahas yang bertujuan untuk mengetahui sesuatu dan memungkmkan dapat menemukan inti permasalahannya. Permasalahan yang ditemukan itu kemudian dikupas, dikritik. diulas, dan akhirnya disimpulkan untuk dipahami Moeliono (1988:32) menjelaskan bahwa analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Sedangkan kontrastif diartikan sebagai perbedaan atau pertentangan an connect a dua ha I. Perbedaan inilah yang menarik untuk dibicarakan, diteliti. dan dipahami. Moeliono menjelaskan bahwa kontrastif diartikan sebagai bersifat membandingkan perbedaan. Secara khusus analisis kesalahan kontrastif atau lebih populer disingkat anakon adalah kegiatan memperbandingkan struktur bahasa ibu atau bahasa pertama (Bl) dengan bahasa yang diperoleh atau dipelajari sesudah bahasa ibu yang lebih dikenal dengan bahasa kedua (B2) untuk mengidentifikasi perbedaan kedua bahasa tersebut. Istilah kontrastif lebih dikenal dalam ranah kebahasaan (linguistik). Sehubungan dengan ini kemudian muncul istilah linguistik kontrastif yang merupakan cabang ilmu bahasa. Linguistik kontrastif membandingkan dua bahasa dari segala komponennya secara sinkronik sehingga ditemukan perbedaan-perbedaan dan kemiripan-kemiripan yang ada. Dari hasil temuan itu, dapat diduga adanya penyimpangan-penyimpangan,pelanggaran-pelanggaran,atau kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan para dwibahasawan. Dwibahasawan adalah orang yang mampu menggunakan dua bahasa secara baik. Sedangkan kedwibahasaan adalah suatu alternatif menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seorang individu. Penguasaan bahasa seorang dwibahasawan ini biasa dibedakan atas penguasaan bahasa pertama (Bl) dan penguasaan bahasa kedua (B2). Bl yaitu bahasa yang pertama kali dikenal dipahami, dan digunakan oleh seseorang. Bl sering juga disebut bahasa ibu. B2 diartikan sebagai bahasa yang diperoleh atau dipelajari seseorang sesudah menguasai bahasa pertama. Ada beberapa jenis kedwibahasaan, yaitu (1) kedwibahasaan terpadu, (2) kedwibahasaan seimbang, (3) kedwibahasaan minoritas, (4) kedwibahasaan koordinatif, dan (5) kedwibahasaan tambahan (Tarigan, 1990:10). Kedwibahasaan terpadu dan koordinatif didasarkan pada kaitan antara Bl dan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan Bl dan B2. Kedwibahasaan minoritas dihubungkan dengan situasi yang dihadapi Bl, sedangkan kedwibahasaan tambahan dikaitkan dengan gengsi atau wibawa dwibahasawan. Dwibahasawan terpadu adalah orang yang dapat mendudukkan kedua sistem bahasa yang dikuasainya. Sering terjadi dwibahasawan jenis ini menggunakan sistem B2 di saat seseorang menggunakan Bl. Hal ini disebabkan oleh pengajaran bahasa yang tidak menggunakan metode langsung. Peristiwa ini akan terjadi karena pengajaran bahasa yang diterimanya menggunakan metode terjemahan. Setiap dwibahasawan jenis ini berbicara menggunakan B2, pola pikirnya selalu diterjemahkan dulu ke dalam Bl. Dwibahasawan koordinatif merupakan kebalikan dari dwibahasawan terpadu. Kedua bahasa dikuasai dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri. Orang ini tidak dapat memadukan kedua sistem bahasa yang dikuasainya. Karena itu, orang yang demikian merupakan penerjemah yang jelek. Dwibahasawan seimbang adalah pembicara yang sama mahirnya dalam dua bahasa. Dwibahasawan semacam ini bila menjadi penerjemah sangat bagus. Lain halnya dengan

dwibahasawan minoritas dan dwibahasawan tambahan. Dwibahasawan minoritas merupakan sekelompok masyarakat kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar dan kuat sehingga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan Bl-nya. Dwibahasawan tambahan adalah pembicara yang dapat menggunakan dua bahasa yang bergengsi dan bermanfaat. Kedua macam bahasa yang dikuasai itu saling melengkapi. saling memperkaya. Seperti telah Anda ketahui dalam uraian sebelumnya bahwa kemampuan seseorang menguasai lebih dari satu bahasa disebut dwibahasawan. Dalam diri seorang dwibahasawan dapat terjadi perbandingan antara bahasa yang satu dengan lainnya. Peristiwa semacam ini dapat juga terjadi bila seseorang mempelajari B2. la akan selalu membandingkannya dengan Bl. Dengan membandingkan antara dua bahasa itu akan ditemukan faktor persamaan, kemiripan, dan perbedaan. Tindakan semacam inilah pada hakikatnya yang disebut tindak analisis. Metode membandingkan bahasa yang sedang dipelajari seseorang (B2) dengan bahasa yang telah dimiliki lebih dahulu (Bl) dikenal dengan metode linguistik kontrastif. Dasar utama analisis kontrastif adalah teori belajar ilmu jiwa tingkah laku. Oleh sebab itu terlebih dahulu perlu dipahami teori bahasa yang berdasarkan tingkah laku (behaviorisme) ini. Ada dua butir yang merupakan inti teori belajar ilmu jiwa tingkah laku, yaitu (1) kebiasaan dan (2) kesalahan. Yang dimaksud dengan kebiasaan dan kesalahan adalah kebiasaan berbahasa dan kesalahan berbahasa. Aliran psikologi tingkah laku menjelaskan pengertian tingkah laku melalui aksi dan reaksi, atau rangsangan yang menghasikan tanggapan (respon). Rangsangan yang berbeda menghasilkan tanggapan yang berbeda pula. Hubungan antara rangsangan tertentu dengan tanggapan tertentu menghasilkan kebiasaan. Kebiasaan ini dapat terjadi dengan cara peniruan dan penguatan. Ada dua karakteristik kebiasaan. Pertama kebiasaan yang dapat diamati. Kebiasaan ini berupa kegiatan atau aktivitas yang dapat dilihat atau diraba. Kedua, kebiasaan yang bersifat mekanis atau otomatis. Kebiasaan ini terjadi secara spontan, tanpa disadari dan sukar dihilangkan. Di dalam pemerolehan Bl, anak-anak menguasai bahasa ibunya melalui peniruan. Peniruan ini biasanya diikuti oleh pujian atau perbaikan. Melalui kegiatan menirukan, anak-anak mengembangkan pengetahuannya mengenai struktur dan pola bahasa ibunya. Peristiwa semacam ini terjadi pula dalam pemerolehan B2. Melalui peniruan dan penguatan para siswa mengidentifikasi hubungan antara rangsangan dan tanggapan yang merupakan kebiasaan dalam ber-B2. Berdasarkan teori belajar ilmu jiwa tingkah laku yang mendominasi analisis kontrastif, kesalahan berbahasa terjadi adanya send negatif. Istilah send negatif diartikan dengan penggunaan sistem Bl dalam ber-B2, padahal sistem itu berbeda dalam B2. Kesalahan semacam inilah yang menyebabkan proses belajar B2 gagal. Oleh sebab itu, kesalahan konsep semacam ini harus dihilangkan agar proses belajar berbahasa sesuai dengan yang dikehendaki dan pengajaran B2 berhasil. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab kesalahan berbahasa bersumber pada send negatif. Transfer negatif ini sendiri terjadi sebagai akibat penggunaan sistem yang berbeda antara Bl dan B2. Perbedaan sistem bahasa itu dapat diidentifikasi melalui Bl dengan B2. Kesalahan berbahasa dapat dihilangkan dengan berbagai cara, antara lain menanamkan kebiasaan ber-B2 melalui latihan, pengulangan, dan penguatan. Dengan demikian, analisis kontrastif dapat diartikan sebagai prosedur kerja. la merupakan aktivitas atau kegiatan yang mencoba membandingkan struktur Bl dengan struktur B2 untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan di antara kedua bahasa Hipotesis Analisis Kontrastif

Setelah Anda memahami apa sebenarnya analisis kontrastif, Anda akan memasuki pembicaraan hipotesis analisis kontrastif. Hipotesis diartikan sebagai dugaan atau jawaban sementara terhadap suatu persoalan. Nah, persoalan yang kita hadapi sekarang adalah persoalan analisis kontrastif. Agar kita mendapatkan gambaran apa dan bagaimana hipotesis analisis kontrastif, marilah kita perhatikan uraian di bawah ini. Perbandmgan antara struktur Bl dengan 82 yang akan dipelajan oleh para siswa menghasilkan identifikasi perbedaan antara kedua bahasa tersebut. Perbedaan itu merupakan dasar untuk memperkirakan butir-butir yang menimbulkan kesulitan belajar bahasa dan kesalahan berbahasa yang dihadapi oleh para siswa. Berpijak dari timbulnya kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa inilah muncul bipotesis analisis kontrastif. Ada dua jenis hipotesis analisis kontrastif. Pertama, hipotesis bentuk lemah. Hipotesis ini menyatakan bahwa analisis kontrastif hanyalah bersifat diagnostik Karena itu analisis kontrastif dan analisis kesalahan harus sating melengkapi. Analisis kontrastif menetapkan kesalahan mana termasuk ke dalam kategori yang disebabkan oleh perbedaan Bl dan B2. Analisis kesalahan berbahasa mengidentifikasi kesalahan di dalam korpus bahasa siswa. Kedua, hipotesis bentuk kuat. Hipotesis ini menyatakan bahwa semua kesalahan dalam B2 dapat diramalkan dengan mengidentifikasi perbedaan antara Bl dengan B2 yang dipelajan oleh siswa. Hipotesis ini didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut. (1) Penyebab utama kesulitan belajar dan kesalahan dalam pengajaran B2 adalah interferensi Bl (bahasa ibu). (2) Kesulitan belajar itu sebagian atau seluruhnya disebabkan oleh perbedaan antara Bl dan B2. (3) Semakm besar perbedaan antara Bl dengan 62 semakin besar kesulitan belajar yang timbul. (4) Hasil perbandingan antara Bl dan B2 diperlukan untuk meramalkan kesulitan dan kesalahan yang akan terjadi dalam belajar B2. (5) Unsur-unsur yang serupa antara Bl dan B2 akan menimbulkan kesukaran bagi siswa. (6) Bahan pengajaran dapat disusun secara tepat dengan membandingkan kedua bahasa itu, sehingga apa yang harus dipelajan siswa merupakan sejumlah perbedaan yang disusun berdasarkan analisis kontrastif. Ada tiga sumber yang digunakan sebagai penguat hipotesis analisis kontrastif, yakni (1) pengalaman guru B2, (2) telaah kontak bahasa di dalam situasi kedwibahasaan, (3) dan teori belajar. Pengalaman Guru B2 Setiap guru B2 yang sudah berpengalaman pasti mengetahui bahwa kesalahan yang cukup besar dan selalu berulang dapat dipulangkan kembali pada Bl siswa. Kesalahan-kesalahan tersebut dapat berupa pelafalan, susunan kata, pembentukan kata, susunan kalimat. dan sebagainya. Sebagai contbh anak Jawa (Bl bahasa Jawa) berbahasa Indonesia (B2). Kesalahan-kesalahan itu akan tampak dengan jelas pada contoh kalimat di bawah ini. Lha, ini sing marahi. (Na, inilah penyebabnya). Kari sebentar wae Iho, Pak?! (Sebentar lagi, Pak!). Ini rumahnya siapa? (Ini rumah siapa?) Ali duduk di kursi muka sendiri. (Ali duduk di kursi pale depan). Telaah Kontak Bahasa di dalam Situasi Kedwibahasaan Dwibahasawan yang mengenal dua bahasa atau lebih merupakan wadah tempat terjadinya

kontak bahasa. Semakin besar kuantitas dwibahasawan semakin intensif pula kontak antara dua bahasa atau lebih itu. Kontak bahasa mengakibatkan timbulnya fenomena saling mempengaruhi. Bila seorang dwibahasawan lebih menguasai Bl, maka Bl itulah yang banyak mempengaruhi B2. Demikian pula sebaliknya. Teori Belajar Teori belajar terutama teori send sangat mendukung hipotesis analisis kontrastif. Transfer adalah suatu proses yang melukiskan penggunaan tingkah laku yang telah dipelajari secara otomatis dan spontan dalam usaha memberikan balikan baru. Transfer dapat bersifat negatif dan dapat pula bersifat positif. Transfer negatif terjadi jika tingkah laku yang telah dipelajari berbeda dengan tingkah laku yang sedang dipelajari. Sebaliknya, send positif terjadi apabila pengalaman masa lalu sesuai dengan tingkah laku yang sedang dipelajari. Jika pengertian kedua macam send itu dikaitkan dengan pengajaran bahasa, send negatif terjadi kalau sistem Bl yang telah dikuasai digunakan di dalam B2. Padahal sistem kedua bahasa itu berbeda. Sebaliknya, jika sistem itu sama maka terjadi send positif. Transfer negatif dalam pemerolehan bahasa kedua (B2) disebut interferensi. Interferensi menimbulkan penyimpangan. Penyimpangan menimbulkan kesalahan berbahasa. Manfaat Analisis Konstrastif Apakah analisis kontrastif dapat menyelesaikan masalah-masalah kesulitan belajar siswa dalam hal belajar bahasa? Jawaban yang pale mudah adalah belum tentu. Sebagai suatu ilmu analisis kontrastif mempunyai kelemahan-kelemahan di samping kelebihannya. Bertolak dari kelebihannya, bagaimanapun analisis kontrastif tetap memiliki manfaat. Manfaat yang dimaksud sebagai berikut. (1) Analisis kontrastif dapat membantu mengatasi kesulitan siswa dalam proes belajar B2. (2) Dengan metode analisis kontrastif akan ditemukan butir-butir kesulitan belajar siswa. Pembuktian kesulitan akan diperoleh melalui kegiatan belajar secara teratur di kelas Sumber Buku Analisis Kesalahan Bahasa Karya Leo Idra Ardiana dan Yonohudiyono