Upload
ahmad-fadhiel
View
384
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Tradisi Keilmuan :
studi kasus peninggalan Arkeologi dari peninggalan benda sejarah dan bangunan
Makalah ini di Ajukan Sebagai Tugas Mata kuliah Kapita Selekta Sejarah Islam Asia
Tenggara II
Dosen Pembimbing
Imas Emalia, M.Hum
Disusun Oleh:
AGUS RIDWIYANTO
NIM : 107022001138
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/ 2010 M
melalui jejak yang ditinggalkan para pendahulu, dapat membuka cakrawala tentang
bagaimana sejarah terbangun, berubah, dan bagaimana manusia mengubah “kehidupannya”.
Dari sana kita dapat belajar untuk menyikapi masa kini dengan lebih arif.
Dekade sebelum tahun 1980 Jawa Barat di kalangan purbakala (arkeologi) acapkali dicap
sebagai daerah ”miskin” dengan tinggalan budaya monumental berupa percandian. Cibiran
ini menyesakkan dada pemangku masyarakat Tatar Parahyangan. Ini dimaklumi karena
memang sebelum tahun 1980-an Jawa Barat belum ada temuan monumental arkeologis.
Namun tahun 1984-1985, ketika Tim Survei Arkeologi FIB UI melakukan penelitian di Situs
Cibuaya (± 20 kilometer timur laut Batujaya) mendapat laporan dari masyarakat yang
membantu kegiatan tim. Alhasil ditemukan bangunan historis-arkeologis di sebelas unur
(istilah lokal, gundukan tanah mengandung reruntuhan sisa-sisa bangunan kuno).
Sejak temuan itu perhatian arkeolog nusantara dan internasional diarahkan ke Batujaya.
Tahun 1985 dilakukan penelitian Kawasan Percandian Situs Batujaya secara saksama mulai
penelitian, pemugaran, dan panataan. Melibatkan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan
Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Direktorat Peninggalan Purbakala).1, beberapa lembaga
penelitian dan teknis lain, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menangani secara finansial tahun
2002 dan Pemerintah Kabupaten Karawang mulai tahun 2008.
Pemerintah Pusat juga menetapkan Karawang sebagai Kawasan Konservasi Strategis
Nasional (KSN). Salah satu pertimbanganya karena keberadaan Kawasan Percandian Situs
Batujaya. Hingga sekarang di Situs Batujaya telah teridentifikasi 30 umur dengan luas ± 5
kilometer persegi. Pakar arkeologi Indonesia mengemukakan, Situs Batujaya meski
menggunakan material bata, diduga dibangun pada abad ke-5 Masehi. Ini berdasar analisis
pertanggalan Radiocarbon Dating C-14, salah satu metode dalam studi arkeologi yang
dianggap akurat dan batas waktu relatif pendek.
Selain itu, dalam menganalisis kronologi Situs Batujaya juga melalui pertanggalan relatif atau
analisa bentuk paleografi, dibantu analisis sumber-sumber berita dari Cina dan prasasti-
prasasti lain yang memiliki hubungan dari masa Kerajaan Tarumanagara. Tinggalan historis
arkeolgis Batujaya, diduga sebagai salah satu tinggalan yang erat dengan Kerajaan
Tarumanagara, salah satu kerajaan tua di nusantara (abad ke 5-7 M).
Bangunan yang menggunakan material batu, relatif mudah dibanding bangunan
1 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jurusan Arkeologi FIB UI,
menggunakan bata. Ini terkait kemampuan penguasaan teknologi masyarakat dalam
pembuatan material bata, baik pemilihan jenis tanah, bentuk, ukuran, maupun penguasaan
dalam pembakaran bahan dasar (tanah) untuk menjadi bata sebagai bahan candi.
Tentu bata yang memenuhi syarat yang dapat bertahan lama. Terbukti, bata untuk candi di
Situs Batujaya mempunyai kualitas sangat baik, dan bertahan hingga sekarang.
Tahun 1970-1980 muncul teori arkeologi, bangunan candi bata lebih muda daripada
bangunan candi batu. Dengan penemuan Situs Batujaya, teori itu terbantahkan. Candi yang
menggunakan bata terbukti ilmiah memiliki pertanggalan lebih tua daripada bangunan candi
di nusantara.
Menurut Dr. Hasan Djafar, seorang arkeolog UI yang menggeluti serangkaian penelitian
mulai awal hingga sekarang, menyatakan, percandian Situs Batujaya berasal dari dua tahap.
Pertama dari abad V-VII masehi pada masa Kerajaan Tarumanagara. Kedua dari abad VII-X
masehi dibawah pengaruh Sriwijaya. Penguasaan Sriwijaya atas Tatar Sunda tersebut
tertuang dalam Prasasti Rakryan Juru Penghambat (Prasasti Kebon Kopi II), bahwa Kerajaan
Sunda pernah dikuasai penguasa Sriwijaya, dan pada tahun 932 Masehi kekuasaan
dikembalikan kepada Raja Sunda.
Yang menjadi pertanyaan, dari mana kemampuan masyarakat Batujaya membangun
percandian menggunakan material bata, sedangkan pada masa itu di nusantara, mungkin
untuk sementara belum ada bangunan menggunakan bata. Selain itu diperhatikan, bata-bata
Candi Situs Batujaya, rata-rata berukuran 41 x 22 x 7 sentimeter. Tampak diolah sangat baik,
bersifat keras, menggunakan campuran (temper) pasir, kulit padi (sekam) dan kemungkinan
pembakarannya sempurna.
Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan itu harus memperhatikan bukti-bukti arkeologi
yang ditemukan dan diidentifikasi saksama, baik dari Situs Batujaya, Rengasdengklok dan
sekitarnya. Dari sekian temuan artefaktual, tertuju pada temuan gerabah-gerabah di Batujaya
dan Rengasdengklok, berupa wadah-wadah gerabah dibarengi benda logam dan kerangka
manusia. Diduga merupakan penguburan primer (langsung) disertai bekal kubur berupa
benda-benda milik si tokoh yang meninggal yang diwadahi gerabah, mirip temuan di Situs
Buni Kabupaten Bekasi.
Temuan itu mengindikasikan adanya “Budaya Buni” yang penyebarannya dari Bekasi,
Tangerang, hingga Batujaya dan Rengasdengklok. “Buni” berasal dari nama daerah di
Babelan, Bekasi . Muncul dan terkenalnya istilah ”Buni” diawali kejadian tidak disengaja
tahun 1958 tatkala warga Kampung Buni, Dogol membuat kali kecil (kalenan) yang
menghubungkan kali Bekasi dengan sawahnya.
Tiba-tiba cangkul mengenai benda keras. Ternyata benda itu berupa tulang-belulang dan
tengkorak manusia. Di tubuhnya tertinggal wadah dari gerabah dengan berbagai artefak
dalam kondisi tercerai-berai. Selanjutnya, penelitian menemukan gerabah dari Buni ini
memiliki ciri khusus. Apalagi, temuan gerabah di Buni umumnya disertai tulang manusia.
Selanjutnya, muncul penyebutan “Budaya Buni”, karena temuan tembikar asal Buni itu
memiliki bentuk, teknologi, dan pola hias spesifik.
Buni ternyata bukan hanya sekadar situs kecil, melainkan suatu kompleks kebudayaan luas
dengan cakupan sepanjang pantai utara Jawa Barat, aliran Sungai Cisadane, Ciliwung,
Bekasi, Citarum, dan Cipagare. Lalu dinamakan Kompleks Kebudayaan Buni. Kompleks ini
memiliki tiga wilayah sebaran, yaitu kelompok Tanggerang, Bekasi, dan Rengasdengklok.
Kelompok Tangerang terdiri atas situs Serpong, Curug, dan Mauk. Bekasi terdiri atas Buni,
Kerangkeng, Puloglatik, Pulo Rengas, Kedungringin, Bulaktemu, Rawa Menembe, Batujaya,
dan Tugu. Kelompok Rengasdengklok terdiri atas Babakan Pedes, Tegalkunir, Kampung
Krajan, Pulo Klapa, Cibutek, Kebakkendal, Karangjati, dan Cilogo.
Menurut Soejono, seorang arkeolog prasejarah, menyebutkan, Situs Buni berasal dari masa
perundagian atau setingkat masa bercocok tanam dengan subsistensi antara pertanian dan
menangkap ikan. Akan tetapi dengan temuan tembikar di Situs Batujaya bukan berarti candi-
candi itu berasal dari masa awal bercocok tanam (prasejarah). Ada kesinambungan dari
prasejarah ke masa Klasik (Hindu-Buddha). Batujaya merupakan daerah penting bukan saja
pada masa Klasik (Hindu-Buddha), melainkan sudah menjadi daerah pilihan permukiman dan
peribadatan sejak masa prasejarah karena ditemukan pula batu datar, dolmen, batu bergores,
dan sebagainya.
Patut diduga masyarakat Sunda Kuna pendukung tradisi gerabah Kompleks Buni (tradisi
prasejarah) telah melakukan kontak dengan India. Srilangka dan Bali sejak awal masehi.
Temuan tembikar “Budaya Buni” di Batujaya mempunyai tipe sama seperti Situs Sembiran
Bali. Dengan menggunakan X-ray Dioffraction (XRD), memiliki kesamaan dengan gerabah
di Situs Anuradhapura (Serilangka) dan Arikamedu (India).
Hasil analisis laboratorium, tembikar Arikamedu mendapat pengaruh ”Kebudayaan Buni”.
Bahannya berbeda dengan tembikar di Candi Blandongan, Situs Batujaya, Karawang. Dapat
disimpulkan, tembikar-tembikar di Situs Batujaya dibuat masyarakat Batujaya dengan bahan
dari daerah tersebut. Akan tetapi, kemampuan pembuatan tembikar itu dipengaruhi dari
persebaran ”Budaya Buni”.
Tahun 2010 ini, Pemerintah Karawang dipercaya melakukan penataan Situs Batujaya dengan
pembangunan area parkir, gapura, panggung seni, auditorium, penelitian, serta sarana lainnya
dengan anggaran APBD Provinsi Jawa Barat dan APBD Karawang. Mudah-mudahan
penataan itu memperhatikan populasi dan sebaran arkeologis di Situs Batujaya dengan
berkoordinasi dengan instansi terkait. Jangan sampai terjadi kasus pada Situs Trowulan, situs
bukti Kebesaran Kerajaan Majapahit yang penataannya tidak memperhatikan khazanah
arkeologis. (Eddy Sunarto, anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Jawa Barat dan
Karyawan Disparbud Jawa Barat)2
Chen Zuyi, Perompak Selat Malaka Abad ke-15
Mentawai: Sejarah dan Tradisi Peninggalan Zaman Ne...
Sejarah Nusantara. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church
theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com
Seminar Numismatik: Sejarah Perkembangan Mata Uang Indonesia
Oleh: Puji Harsono
2 http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=140046
Numismatis, tinggal di Bandung
Berbicara tentang perkembangan mata uang yang dulu pernah berlaku di wilayah Nusantara,
maka ditinjau dari kepemilikan mata uang tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua
kelompok :
1. Mata uang atau koin-koin asli buatan lokal, yang dicetak oleh kerajaan-kerajaan atau
daerah-daerah tertentu di wilayah Indonesia.
2. Mata uang yang dimasukkan oleh orang-orang asing, baik pedagang maupun
pemerintahan asing yang bertindak sebagai penjajah atau penguasa wilayah
Nusantara, untuk dipakai sebagai alat tukar yang sah di wilayah Indonesia. Termasuk
juga mata uang yang dicetak di Jawa oleh orang-orang asing tersebut di atas, untuk
diedarkan di wilayah Nusantara.
Berdasarkan zamannya, perkembangan mata uang Indonesia dapat dibagi dalam beberapa
periode :
1. ZAMAN KERAJAAN HINDU-BUDDHA (850-1300)
* Kerajaan Mataram Syailendra
* Kerajaan Daha/Jenggala & Majapahit
2. ZAMAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM
* Kerajaan-kerajaan di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep)
* Kerajaan-kerajaan di Sumatera (Samudra Pasai, Aceh, Palembang, Jambi)
* Kerajaan-kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Maluka)
* Kerajaan-kerajaan di Sulawesi (Gowa, Buton)
3. ZAMAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
* Perdagangan dengan Cina (850-1900)
* Perdagangan dengan VOC (1602-1799)
* Emergency Coins atau koin-koin darurat
4. ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA, PERANCIS, INGGRIS (1800-
1945)
* Pendudukan Hindia Belanda (1800–1942)
* Pendudukan Perancis (1806-1811)
* Pendudukan Inggris (1811-1816)
* British East India Company di Sumatera
* Token-token Perkebunan dan Pertambangan
* Mata uang lainnya
5. ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)
6. ZAMAN PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA (1945 – —)
1. ZAMAN KERAJAAN HINDU BUDDHA (850–1300 Masehi)
A. Kerajaan Mataram Syailendra
Mata uang Indonesia dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860 Masehi, yaitu pada masa
kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah. Koin-koin tersebut dicetak
dalam dua jenis bahan emas dan perak, mempunyai berat yang sama, dan mempunyai
beberapa nominal :
* Masa (Ma), berat 2.40 gram; sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang
* Atak, berat 1.20 gram; sama dengan ½ Masa, atau 2 Kupang
* Kupang (Ku), berat 0.60 gram; sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak
Sebenarnya masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu ½ Kupang (0.30 gram) dan 1 Saga
(0,119 gram).
Koin emas zaman Syailendra berbentuk kecil seperti kotak, dimana koin dengan satuan
terbesar (Masa) berukuran 6 x 6/7 mm saja. Pada bagian depannya terdapat huruf Devanagari
“Ta”. Di belakangnya terdapat incuse (lekukan ke dalam) yang dibagi dalam dua bagian,
masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik, pola ini dinamakan
“Sesame Seed”.
Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak
huruf Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa), dan di bagian belakangnya terdapat incuse
dengan pola “Bunga Cendana”.
Kerajaan Syailendra akhirnya meluaskan wilayahnya hingga ke daerah-daerah Jawa Timur,
dimana pelabuhan-pelabuhannya seperti Tuban, Gresik, dan Surabaya, banyak didatangi para
pedagang dari manca negara. Jawa Timur dengan pelabuhan-pelabuhannya merupakan
daerah maritim, akhirnya semakin maju dibandingkan dengan kerajaan induknya di Jawa
Tengah yang merupakan daerah agraris.
Pada zaman Dinasti Tang di Cina (618-907 Masehi), orang-orang Cina mulai berdatangan ke
tanah Jawa untuk melakukan perdagangan. Mereka membawa dan memperkenalkan mata
uangnya yang disebut Cash atau Caixa, Cassie, Pitje, atau orang Jawa menyebutnya Kepeng
atau Gobok, dengan ciri khas terdapat lubang persegi di tengah. Koin-koin Cina ini lambat
laun dapat diterima oleh penduduk sebagai alat pembayaran.
Pada kira-kira tahun 928 Masehi, Gunung Merapi meletus dahsyat, yang mengakibatkan
rusaknya hampir seluruh sendi-sendi perekonomian kerajaan. Karena alasan itu, di samping
semakin majunya daerah Jawa Timur, maka pada 929 diputuskan untuk memindahkan
ibukota kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Nantinya Raja Mpu Sendok membagi
wilayah Jawa Timur menjadi dua untuk dibagikan kepada dua orang anaknya, menjadi
wilayah Daha dan Jenggala.
B. Kerajaan Daha/Jenggala dan Majapahit
Pada zaman Daha dan Jenggala, uang-uang emas dan perak tetap dicetak dengan berat
standar, walaupun mengalami proses perubahan bentuk dan desainnya. Koin emas yang
semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin peraknya
mempunyai desain berbentuk cembung, dengan diameter antara 13-14 mm.
Pada waktu itu uang kepeng Cina datang begitu besar, sehingga saking banyaknya jumlah
yang beredar, akhirnya dipakai secara “resmi” sebagai alat pembayaran, menggantikan secara
total fungsi dari mata uang lokal emas dan perak.
Adapun alasan-alasan dari penggantian fungsi ini adalah :
* ukuran koin emas dan perak lokal terlalu kecil, sehingga mudah jatuh atau hilang.
Sedangkan uang kepeng Cina mempunyai lubang di tengah, direnteng dengan tali sebanyak
200 keping, sehingga praktis dibawa ke mana-mana dan tidak mudah hilang.
* koin emas dan perak lokal adalah mata uang dalam pecahan besar, sedangkan koin-koin
kepeng berfungsi sebagai uang kecil atau uang receh, yang sangat dibutuhkan dalam
perdagangan. Nilai tukar untuk 1 Masa perak berharga 400 buah Chien. Pada akhir abad ke-9,
dengan 4 Masa perak saja bisa membeli seekor kambing.
Sebenarnya koin-koin emas dan perak yang sudah mengalami perubahan bentuk adalah
produk dari Daha dan Jenggala. Namun karena Kerajaan Majapahit (1293-1528) pada waktu
itu merupakan kerajaan besar di Asia Tenggara, maka biasanya orang menamainya sebagai
uang Majapahit. Padahal sejak akhir abad ke-13, mata uang “resmi” yang dipakai sebagai alat
pembayaran adalah koin-koin kepeng Chien.
Namun pada zaman Majapahit ini dikenal koin-koin yang disebut “Gobog Wayang”, dimana
untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Thomas Raffles, dalam bukunya The History of
Java. Bentuknya bulat dengan lubang tengah karena pengaruh dari koin cash dari Cina,
ataupun koin-koin serupa yang berasal dari Cina atau Jepang. Koin gobog wayang adalah asli
buatan lokal, namun tidak digunakan sebagai alat tukar. Sebenarnya koin-koin ini digunakan
untuk persembahan di kuil-kuil seperti yang dilakukan di Cina ataupun di Jepang sehingga
disebut sebagai koin-koin kuil. Setelah redup dan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa
Timur (1528), Banten di Jawa bagian barat muncul sebagai kota dagang yang semakin ramai.
2. ZAMAN KERAJAAAN-KERAJAAN ISLAM
A. Kerajaan-kerajaan di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep)
Mata-uang dari KESULTANAN BANTEN pertama kali dibuat sekitar 1550-1596 Masehi.
Bentuk koin Banten mengambil pola dari koin cash Cina yaitu dengan lubang di tengah,
dengan ciri khasnya 6 segi pada lubang tengahnya (heksagonal). Inskripsi pada bagian muka
pada mulanya dalam bahasa Jawa: “Pangeran Ratu”. Namun setelah mengakarnya agama
Islam di Banten, inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”. Terdapat
beberapa jenis mata-uang lainnya yang dicetak oleh Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga
ataupun dari timah, seperti yang ditemukan pada akhir-akhir ini.
Mata-uang dari KESULTANAN CIREBON dibuat sekitar 1710/1760, saat berkuasa Sultan
Sepuh. Koin dengan bahan dari timah dengan lubang di tengah itu, pada bagian muka tertulis
inskripsi : “Cheribon”.
Berbeda dengan koin-koin Banten dan Cirebon, KESULTANAN SUMENEP di Pulau
Madura tidak mencetak mata uangnya sendiri. Mata uangnya diambil dari koin-koin asing (di
luar Sumenep), dengan diberi “Countermarked” (cetak tindih). Koin-koin yang digunakan
adalah koin-koin Austria, Belanda, Java Rupee, Mexico (Real Bundar), (Real Batu/Cob), dll.
Sedangkan cetak tindih yang dipakai, ada beberapa jenis seperti “Bintang Madura”, dengan
tulisan Arab “Sumenep”, atau “cap dengan lima kelopak daun”. Koin-koin dengan cetak
tindih ini dibuat pada saat bertakhtanya Sultan Paku Nata Ningrat (1811-1854) di Kesultanan
Sumenep.
B. Kerajaan-kerajaan di Sumatera (Samudra Pasai, Aceh, Palembang, Jambi)
Mata uang emas dari KERAJAAN PASAI untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan
Muhammad yang berkuasa sekitar 1297-1326. Mata uangnya disebut Dirham atau Mas, dan
mempunyai standar berat 0,60 gram (berat standar Kupang). Namun ada juga koin-koin
Dirham Pasai yang sangat kecil dengan berat hanya 0,30 gram (1/2 Kupang atau 3 Saga).
Uang Mas Pasai mempunyai diameter 10–11 mm, sedangkan yang setengah Mas berdiameter
6 mm. Pada hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik az-Zahir” atau
“Malik at-Tahir”.
Setelah Pasai berhasil ditaklukkan oleh KERAJAAN ACEH pada 1524, sultan-sultan Aceh
tetap mengikuti tradisi dari kerajaan Pasai dalam pembuatan mata uangnya. Namun uang
Dirham Aceh berdiameter lebih besar, antara 12–14 mm. Pada bagian belakangnya terdapat
tulisan Arab “as-Sultan al-adil”, yang artinya Sultan yang adil. Aceh juga membuat mata
uang dari timah/timbal, yang disebut “Keueh”, dengan nilai satu Mas sama dengan 400
Keueh.
Kerajaan Aceh pernah memiliki empat Ratu yang memerintah secara berturut selama 60
tahun, dari 1641-1699. Yang pertama adalah Sultanah Safiat ad-Din, anak dari Sultan
Iskandar Thani yang meninggal pada 1641. Karena tidak mempunyai anak laki-laki, maka
diangkatlah anak perempuannya yang berkuasa sampai dengan 1675. Sultanah Nur al-Alam
Naqiat ad-Din Syah Ratu Aceh yang kedua, yang memerintah pada 1675-1678. Penggantinya
adalah Sultanah Inayat Syah Zakiat ad-Din Syah yang memerintah pada 1678-1688. Terakhir
adalah Sultanah Kamalat Syah. Beliau memegang kekuasaan atas wilayah Aceh pada 1688-
1699. Masing-masing ratu tersebut juga mencetak mata uangnya.
Mata uang dari KERAJAAN PALEMBANG dapat dibedakan antara yang mempunyai
lubang di tengah, yang disebut dengan pitis “Picis Tebok” (Tebok dalam dialek Palembang
berarti “Lubang”). Ada juga yang tidak mempunyai lubang yang disebut dengan “Picis
Buntu”.
Picis Palembang dapat dibedakan juga antara yang bertahun dan yang tidak bertahun. Semua
mata uangnya terbuat dari timah, kecuali koin yang bertahun AH 1198 (tahun 1774/75
Masehi), ada terbuat dari tembaga merah dan dari timah (berdasarkan temuan terbaru).
KERAJAAN JAMBI di Sumatera juga membuat mata uang picis dari timah. Salah satu
koinnya ada yang berbentuk Oktagonal (segi 8), dengan tulisan “Sultan Anom Sri Ingalaga”.
Ia mulai memerintah pada 21 Februari 1743.
C. Kerajaan-kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, dan Maluka)
KESULTANAN PONTIANAK mulai didirikan pada 1770, oleh seorang pedagang keturunan
Arab bernama Abdul Rahman Alkadrie. Periode pencetakan koin-koin dari kesultanan di
Kalimantan Barat ini berkisar tahun 1790-1817.
Koin-koin dari KESULTANAN BANJARMASIN pada umumnya merupakan imitasi dari
koin-koin Duit VOC, yang dicetak sewaktu bertakhtanya Sultan Tamjid Illah III (1785-1808).
Koin-koinnya mempunyai lambang VOC dan bertahun AH 1221.
Sebenarnya di Kalimantan masih ada satu kerajaan lagi yang jarang diketahui umum, yaitu
KERAJAAN MALUKA. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang Raja Putih yang bernama
Alexander Hare, seorang petualang bangsa Inggris. Pada mulanya, Hare pada tahun 1812
diberi suatu wilayah kekuasaan oleh Sultan Banjarmasin, dengan kedudukan sebagai Residen.
Namun tak lama memerintah, ia segera memperluas wilayah kekuasaannya, dengan
membentuk koloni sendiri yang bernama Maluka. Hare mencetak mata uangnya sendiri
sebagai mata uang yang sah untuk peredaran di wilayah Maluka, dan juga mendatangkan
banyak tenaga kerja dari Jawa yang bekerja sebagai kuli-kuli di pertambangan batu bara.
Namun masa pemerintahan Hare di Banjarmasin terhitung tidak terlalu lama, yakni dua tahun
saja. Setelah kejatuhan VOC pada tahun 1799, Belanda mulai “mengambil alih” daerah-
daerah kekuasaan VOC di Indonesia. Dan pada tahun 1816, pemerintahan Hindia Belanda
berhasil menghancurkan koloni Maluka, serta mengusir Hare dari wilayah kekuasaannya.
D. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi (Gowa & Buton)
Mata uang dari KERAJAAN GOWA di Sulawesi Selatan disebut dengan “Dinara”, yang
terbuat dari emas. Sultan Alauddin Awwalul Islam yang memerintah Kerajaan Gowa pada
tahun 1593-1639, adalah sultan Gowa pertama yang beralih ke agama Islam. Sultan
Hasanuddin, yang memerintah pada tahun 1653-1669, dengan gelarnya “I Mallombasi
Muhammad Bakir Dg Mattawang Krg. Bontomangape”. Dengan kekalahannya melawan
Belanda, Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bungaya tanggal 18
November 1667. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa wilayah Minahasa, Butung dan
Sumbawa yang tadinya termasuk dalam wilayah Kesultanan Gowa harus diserahkan kepada
VOC. Dan semua pedagang-pedagang Eropa selain dari VOC, dilarang untuk melakukan
perdagangan di wilayah bagian timur tersebut.
KERAJAAN BUTON di Sulawesi Tenggara, mempunyai bentuk mata uang unik yang
terbuat dari kain. Mata uang ini dinamakan “Kampua”. Menurut legendanya, Kampua
diciptakan pertama kali oleh Ratu Buton yang kedua, Bulawambona, yang memerintah
sekitar abad XIV.
Proses pembuatan dan peredaran Kampua, mandat sepenuhnya diserahkan kepada Menteri
Besar atau yang disebut ‘Bonto Ogena’. Dialah yang akan melakukan pengawasan serta
pencatatan atas setiap lembar kain Kampua, baik yang telah selesai ditenun maupun yang
sudah dipotong-potong. Pengawasan oleh ‘Bonto Ogena’ juga diperlukan agar tidak timbul
pemalsuan-pemalsuan, sehingga hampir setiap tahunnya motif dan corak Kampua akan selalu
diubah-ubah.
Adapun standar pemotongan kain Kampua adalah dengan mengukur panjang dan lebar
Kampua, dengan cara: ukuran empat jari untuk lebarnya, dan sepanjang telapak tangan mulai
dari tulang pergelangan tangan sampai ke ujung jari tangan, untuk panjangnya. Sedangkan
tangan yang dipakai sebagai alat ukur adalah tangan sang Menteri Besar atau ‘Bonto Ogena’
itu sendiri.
Pada awal pembuatannya, standar yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu ‘bida’ (lembar)
Kampua adalah sama dengan nilai satu butir telur ayam. Setelah Belanda mulai memasuki
wilayah Buton kira-kira tahun 1851, fungsi Kampua sebagai alat tukar lambat laun mulai
digantikan dengan uang-uang buatan “Kompeni”. Nantinya nilai tukar untuk 40 lembar
Kampua sama dengan 10 sen duit tembaga, atau setiap 4 lembar Kampua hanya mempunyai
nilai sebesar 1 sen saja! Walaupun demikian, Kampua tetap digunakan pada desa-desa
tertentu di Kepulauan Buton sampai 1940.
3. ZAMAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Dalam penggolongan zaman perdagangan internasional ini sebenarnya bukan hanya orang-
orang Cina dan VOC (Belanda) yang berdagang di Jawa, tapi kedua bangsa itulah yang
paling dominan dalam melakukan perdagangan di Jawa. Dan dari mata uang Cash Cina dan
mata-uang “kompeni” inilah yang telah memberikan pengaruh yang sangat besar bagi sejarah
dan perkembangan numismatik di Indonesia.
A. Perdagangan dengan Cina (850-1900)
Pada awalnya, pedagang-pedagang Cina mulai banyak masuk ke tanah Jawa kira-kira pada
zaman dinasti Tang di Cina (618-907 Masehi). Mereka dengan jung-jungnya (kapal Cina),
mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur, seperti Tuban, Gresik dan Surabaya. Pada
waktu itu Jawa Timur terkenal dengan produksi ladanya. Dalam melakukan perdagangannya,
orang-orang Cina memperkenalkan dan menggunakan koin-koin tembaga yang disebut
dengan “Chien” atau “Cash”, yang akhirnya diterima oleh penduduk sebagai alat
pembayaran. Zaman Dinasti Sung di Cina (960-1279) adalah puncak-puncaknya dimana
banyak sekali orang-orang Cina yang datang ke Jawa untuk berdagang, sambil membawa
uang-uang kepengnya dalam jumlah besar.
Ma Huan, seorang Islam sebagai juru tulis Laksamana Cheng Ho, mencatat keadaan pada
tahun 1405. Dalam bukunya “Ying Yai Sheng Lan” yang terbit tahun 1416, dikatakan
bahwa :
“Koin-koin Cina dari berbagai dinasti umum digunakan disini”….. “Dalam melakukan
transaksi, pembayarannya memakai koin-koin cash tembaga Cina dari berbagai dinasti”….
“Orang-orang di sini (Jawa Timur) sangat senang dengan porselin-porselin Cina dengan
motif hijau bunga, kain sutera, manik-manik dll. Mereka membelinya dengan uang-uang
cash”….
Karena uang Chien banyak diekspor ke Jawa, maka pada zaman Dinasti Ming di Cina (1368-
1644), terjadi keguncangan moneter akibat langkanya uang kecil. Akhirnya pemerintah Ming
melakukan larangan ekspor uang Ch’ien ke luar negeri, termasuk ke Jawa. Sebagai gantinya
VOC mengimpor koin-koin kepeng dari negara-negara lain, seperti Jepang, Korea dan
Vietnam. Tahun 1723 Jepang akhirnya menghentikan ekspor uang cash.
Sebagai pengganti uang Chien yang dilarang diekspor oleh Kaisar Ming, pada sekitar 1590
mulai beredar koin-koin picis dari timah atau timbal (lead). Uang picis ini dibuat di Cina,
diangkut bersamaan dengan kedatangan kapal-kapal Jung dengan berat rata-rata 200-300 ton.
Kapal-kapal tersebut sebanyak 15-20 kapal setahunnya, datang pada bulan November atau
Desember, dan akan kembali ke Cina pada bulan Juni tahun berikutnya, dengan membawa
rempah-rempah yang dibelinya dari Banten. Sebanyak 12-13 ribu picis seharga satu dollar
Spanyol, yang dapat membeli merica sebanyak 8 kantong. Di Indonesia, hanya Bali yang
tetap menggunakan koin cash Cina dalam bertransaksi, bahkan masih dipakai sampai dengan
pada tahun 1950.
B. Perdagangan dengan VOC (1602-1799)
Tahun 1595 untuk pertama kalinya kapal-kapal Belanda menginjak daratan Indonesia.
Ekspedisi ini dikepalai oleh dua bersaudara, Cornelis dan Frederick de Houtman, dan
mendarat di pelabuhan Banten. Mereka membawa koin-koin perak untuk dipakai membeli
rempah-rempah, baik yang dinamakan Real Batu ataupun Real Bundar. Namun mereka
kecewa karena uang yang dipakai di Banten adalah picis-picis dari timbal.
Dari ekspedisi awal ini akhirnya dua perusahaan Belanda, yaitu United Amsterdam Company
(1594-1602) dan United Zeeland Company (1597-1602), ikut meramaikan pencarian rempah-
rempah ke wilayah Nusantara. Mereka juga mencetak mata uangnya sendiri guna dipakai
sebagai alat pembayaran, dengan tahun 1601/1602. Perlombaan mencari rempah-rempah ini
akhirnya menimbulkan persaingan usaha, yang pada akhirnya malah merugikan bisnis
mereka sendiri. Pada bulan Maret 1602, kedua perusahaan tersebut dilebur, dan didirikan
sebuah perusahaan dagang baru yang dinamakan VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie).
Karena seringnya terjadi kekosongan mata uang kecil, maka tahun 1726 VOC meminta
kepada induknya di Belanda untuk dibuatkan koin-koin bernilai kecil, yang disebut Dute,
Doit atau Duit. Duit VOC ini dinyatakan tidak berlaku di negeri induknya Belanda, dan
hanya diedarkan untuk daerah-daerah dimana VOC berada. Namun peredaran duit tembaga
ini cukup luas karena diedarkan juga di wilayah-wilayah Coromandel, Cochin, Malaka dan
Ceylon.
Pada tahun 1743, VOC melakukan perjanjian dengan kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada VOC untuk mencetak
mata uangnya sendiri. Uang yang dicetak ini dikenal dengan nama “Derham Djawi” atau
“Java Ducat” atau “Gold Rupee” (untuk koin emas), dan “Silver Java Rupee” (untuk koin
peraknya).
Koin yang pertama kali dibuat VOC di percetakan uang di Batavia adalah Dirham Jawi
dengan tahun 1744. Pada bagian muka terdapat tulisan dalam bahasa Arab: “Ila djazirat
Djawa al-kabir”, sedangkan di bagian belakangnya : “Derham min Kompani Welandawi”.
Yang artinya : “Uang milik perusahaan Belanda untuk Pulau Jawa Besar”.
Pada tahun 1799 VOC akhirnya dinyatakan bangkrut. Semua harta dan kekuasaannya diambil
alih oleh pemerintahan Belanda, dan dimulailah babak baru masa penjajahan Belanda yang
sesungguhnya.
C. Emergency coins atau mata-uang darurat
Mata uang darurat dibuat bila tidak tersedianya uang pecahan kecil dalam jumlah yang
mencukupi. Hal ini terjadi jika tidak adanya kiriman koin-koin Duit dari Belanda, atau belum
datangnya jung-jung Cina yang biasa menyuplai koin-koin picis.
Salah satu bentuk uang darurat adalah yang dinamakan “Bonk”, yang dibuat dengan cara
memotong batangan-batangan tembaga Jepang. Potongan tembaga itu dicap pada kedua
sisinya dengan berat yang standar, dan dicetak dalam beberapa pecahan, seperti ½, 1 atau 2
Stuiver.
Pada tahun 1796 dan 1797 dicetak juga doit-doit darurat yang terbuat dari timah, dan beredar
bersamaan dengan Bonk. Pada bagian sebelah muka terdapat lambang VOC dan huruf “N” di
atasnya (singkatan dari Nederlansche). Di bagian belakangnya tertulis : 1 Duit 1796 atau
1797. Karena doit-doit palsu dari timbal (lead) banyak beredar, maka duit timah itu ditarik
dari peredarannya untuk dilebur kembali, yang mengakibatkan duit-duit timah itu menjadi
langka sekali. Koin-koin darurat dalam pecahan Stuiver juga dicetak pada tahun 1799 dan
1800. Koin-koin ini terbuat dari campuran dua bahan, yaitu perunggu dari leburan meriam-
meriam yang telah rusak, yang dicampur dengan timbal. Pada sisi muka dicetak : JAVA
1799/1800, dan di baliknya dicetak : 1 Stuiver.
4. ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA, PERANCIS, INGGRIS (1800-
1942)
A. Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1942)
Setelah VOC dinyatakan bangkrut pada tahun 1799, maka pemerintahan Belanda mengambil
oper seluruh harta dan kekuasaan VOC. Mulailah zaman pendudukan Belanda di Indonesia
dalam arti yang sebenarnya, dimana Belanda mulai menginvasi daerah-daerah yang dulunya
tidak terjangkau oleh VOC. Tahun 1825-1830 di Jawa (bagian Tengah dan Timur) timbul
perang besar yang dikenal dengan nama “Perang Jawa” atau “Perang Diponegoro”.
Akibat perang yang berkepanjangan ini, kas Belanda menjadi kosong. Untuk memenuhi
pundi-pundinya, maka van den Bosch memperkenalkan apa yang disebut dengan “Cultuur
Stelsel” atau “Tanam Paksa”. Dalam periode ini, dicetak berjuta-juta keping mata uang
dengan pecahan Satu dan Dua Sen.
Koin perak 2.5 Gulden baru dibuat pada tahun 1840 setelah dilakukan standarisasi pada mata
uang pada pemerintahan Raja Willem I. Berbagai macam mata uang baik emas, perak, dan
tembaga juga dibuat pada masa-masa pemerintahan Raja Willem II, Willem III, atau
Wilhelmina.
Pada masa pemerintahan Raja Willem II (1840-1849), percetakan uang di Batavia dan di
Surabaya ditutup untuk selama-lamanya. Batavia ditutup pada bulan Januari 1843, sedangkan
Surabaya pada akhir tahun 1843. Dengan ditutupnya percetakan uang di Jawa, maka sejak
saat itu semua mata uang dikirim langsung dari negeri Belanda.
Pada zaman Raja Willem III (1849-1890), pernah dicetak koin perak dengan nilai 1/20
Gulden (Kelip). Koin ini bentuknya sangat kecil sekali, sehingga tidak diproduksi kembali
setelah cetakan kedua tahun 1855. Koin-koin Sen dari tembaga juga dicetak, dengan pecahan
1 dan 2 ½ Sen. Pada masa-masa inilah koin cash Cina mulai ditinggalkan pemakaiannya.
Koin tembaga 2 ½ sen disebut sebagai uang “Gobang” atau “Benggol”, dan mempunyai
fungsinya yang lain, yaitu sebagai alat “Kerokan”.
Pada waktu bertakhtanya Ratu Wilhelmina (1890-1948), timbul perang dunia kedua, dimana
tahun 1940 Jerman menginvasi serta menduduki Belanda. Keluarga kerajaan termasuk Ratu
Wilhelmina lari ke Inggris dengan memakai kapal kargo. Di tempat pelariannya itu, Ratu
membentuk “pemerintahan dalam pengasingan”. Pada masa perang itu, koin-koin tahun
1941-45 dicetak di Amerika, dengan tambahan huruf kecil pada bagian belakang bawah.
Huruf “D” adalah singkatan dari “Denver” (1943-1945); “P’ adalah “Philadelphia” (1941-
1945); dan “S” untuk “San Francisco” (1944-1945). Pada tahun 1945, setelah kekalahan
Jerman, Ratu kembali ke negerinya Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus 1945 negara
jajahannya di bagian timur telah memproklamasikan kemerdekaannya menjadi Republik
Indonesia.
B. Pendudukan Perancis (1806-1811)
Pada tahun 1806, Perancis menduduki Belanda, yang menyebabkan transfer kekuasaan atas
seluruh wilayah yang diduduki Belanda. Karena pendudukan Perancis dilakukan di negeri
Belanda, maka pengaruh secara langsung terhadap pendudukan Indonesia sangat kecil sekali.
Seluruh kontrol pemerintahan di Indonesia tetap dipegang oleh orang-orang Belanda. Tahun
1806 Napoleon mengangkat saudaranya Louis sebagai raja di Belanda. Pada masa itu koin-
koin Perancis 2 Stuivers (Sols) dan 1 Stuiver (12 Deniers) ditetapkan berlaku di wilayah
Hindia Belanda.
Pada tahun 1808 H.W. Daendels datang untuk menempati posnya sebagai Gubernur Jendral
yang baru di Hindia Belanda. Daendels memerintahkan agar koin-koin dicetak dengan nama
raja L.N. (Louis Napoleon), baik dengan huruf Blok maupun dengan Hiasan (Ornate). Tahun
1809 Daendels memerintahkan untuk membongkar seluruh tembok-tembok yang
mengelilingi Batavia, termasuk puri-purinya, serta menimbun parit-parit yang ada di
sekeliling kota. Daendels juga membuka percetakan mata uang yang baru di Surabaya, yang
mengakibatkan percetakan uang Batavia menjadi mandeg.
Adapun koin pertama yang dicetak di Surabaya adalah duit tembaga dengan tulisan “JAVA
1806” serta lambang VOC di baliknya. Walaupun tertera tahun 1806, namun koin itu sendiri
baru dicetak pada bulan Februari 1807.
Pada tahun 1811 Inggris menginvasi Jawa, dan berhasil mengalahkan Belanda. Mulailah
babak baru pendudukan Inggris terhadap Indonesia selama lima tahun ke depan.
C. Pendudukan Inggris (1811-1816)
Pada tanggal 4 Agustus 1811, kapal-kapal Inggris mendarat di teluk Batavia, yang akhirnya
dapat merebut Jawa, sehingga Belanda harus menyerahkan koloninya kepada Inggris.
Berbeda dengan pendudukan Perancis terhadap Belanda, pendudukan Inggris dilakukan
secara langsung, dimana wilayah Nusantara berada dalam kekuasaan Inggris. Untuk pertama
kalinya diangkat Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal.
Satu seri koin menarik yang dicetak pada masa pendudukan Inggris adalah koin Java Rupee
yang terbuat dari emas dan perak. Pada bagian depannya ditulis dalam bahasa Jawa kuno,
“Kempni Hingglis, jasa hing Sura-pringga. Tahun Ajisaka AS 1741”. Sedangkan di baliknya
tertulis dalam bahasa Arab Melayu : “Hinglish, sikkah kompani, sannah AH 1229 dhuriba,
dar djazirat Djawa”.
Semua koin pada masa pendudukan Inggris dicetak di Surabaya, kecuali koin-koin darurat
Doit Java dari timah murni Bangka dengan tahun 1813 dan 1814, yang dicetak di Batavia.
Setelah kekalahan Napoleon di Eropa, maka berdasarkan perjanjian Wina tahun 1814 Inggris
harus mengembalikan Jawa dan daerah lainnya kepada Belanda. Penyerahan koloni itu
sendiri baru dilaksanakan Inggris pada tanggal 16 Agustus 1816.
D. British East India Company di Sumatera
Inggris mempunyai pusat perdagangannya di Bencoolen (Bengkulu), dengan membangun
benteng dengan nama “FORT YORK”. Karena benteng dibakar oleh penduduk pada sekitar
tahun 1700, maka tahun 1719 Inggris pindah ke benteng barunya yang bernama “FORT
MARLBRO” (atau Fort Marlborough).
Pada tahun 1797 Inggris mencetak mata uangnya dengan nilai ½ Dollar, dengan tulisan
FORT MARLBRO di sisi baliknya. Lalu pada bulan Maret 1818 ditunjuk Sir Stamford
Raffles untuk menduduki posnya yang baru di Bengkulu. Berdasarkan perjanjian tanggal 17
Maret 1824, maka Inggris harus menyerahkan Bengkulu dan semua pendudukannya di pantai
barat Sumatera kepada Belanda. Sedangkan Belanda menyerahkan Malaka ke tangan Inggris,
dan membolehkan Inggris mendirikan koloni di Singapura.
Para pedagang Inggris di Singapura juga membuat mata uangnya sendiri untuk diedarkan di
wilayah Sumatera dan Sulawesi, seperti Keping-keping Minangkabau, Aceh, Tanah Melayu,
Uang Ayam, dan sebagainya.
E. Token-token perkebunan dan pertambangan
Pada zaman pemerintahan Belanda, banyak token yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan
perkebunan dan pertambangan, tidak hanya di Jawa, Sumatera, Bangka, Kalimantan, bahkan
juga di pulau Bacan Ternate. Yang disebut Token adalah mata uang yang biasanya dibuat
oleh pihak swasta, dan hanya mempunyai area peredaran yang sangat terbatas. Token hanya
berlaku pada area dimana token tersebut diedarkan; di luar area tersebut token sama sekali
tidak mempunyai nilai.
F. Mata-uang lainnya
Selain beraneka-ragamnya mata uang yang telah diceritakan di atas, masih banyak mata uang
lainnya yang dulu pernah beredar di bumi Indonesia ini. Sejak zaman VOC, Belanda dan
Inggris, digunakan juga mata uang asing, seperti uang Spanyol dan dari negara-negara
jajahannya seperti Meksiko, Bolivia, Peru, Brasil, dll, juga dari negara-negara India, Persia,
Austria, Amerika, Cina dan Jepang (mata uang perak modern), Hong Kong, Sarawak, Straits
Settlements, dll. Kesemua mata uang di atas sampai sekarang masih dapat ditemukan di
berbagai wilayah di Indonesia.
5. ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)
Pendudukan Jepang di Indonesia hanya berlangsung selama tiga setengah tahun. Jepang
banyak mencetak mata uang kertas, dan hanya satu seri koin yang dicetak, yaitu pecahan 1, 5
dan 10 Sen. Semuanya dicetak dengan tahun Jepang 2603 dan 2604 (1943 dan 1944 Masehi),
yang dituangkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Militer Jepang No. 2 tertanggal 8
Maret 2602 (1942). Koin pecahan 1 dan 5 Sen terbuat dari Aluminium, sedangkan koin
nominal 10 Sen terbuat dari timah. Pada koin-koin nominal 5 dan 10 Sen, di bagian muka
terdapat gambar Wayang, sedangkan nominal 1 Sen terdapat gambar kepala wayang. Di
bagian belakangnya terdapat tulisan Jepang, JAVA, Nominal (Sen), dan tahun Jepang
2603/04.
6. ZAMAN PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA (1945- —)
Pada tahun-tahun awal setelah proklamasi kemerdekaan, banyak dicetak uang kertas seri ORI
(Oeang Repoeblik Indonesa), dan uang-uang darurat yang dicetak oleh daerah-daerah
(URIDA), tanpa satupun dicetak koin-koin sebagai mata uang.
Koin Indonesia dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1951. Koin ini terbuat dari
aluminium dengan pecahan 5 Sen, dengan lubang pada bagian tengahnya. Koin aluminium
pecahan 10 Sen (tanpa lubang) dengan gambar Garuda dicetak pada tahun 1951 juga.
Berikutnya pada tahun 1952 dicetak koin-koin dengan pecahan 1 Sen (yang mempunyai
desain sama dengan pecahan 5 Sen bolong) dan pecahan 25 Sen. Pada tahun yang sama juga
dicetak koin dengan pecahan 50 Sen dengan gambar Dipanegara.
Seri koin-koin dengan gambar Sukarno juga dicetak untuk peredaran khusus di Kepulauan
Riau. Koin-koin dengan tahun 1962 (dicetak tahun 1963) ini terbuat dari aluminium, dan
terdiri dari pecahan 1, 5, 10, 25, dan 50 Sen. Koin-koin ini ditarik dari peredaran dan
dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 30 September 1964. Pada pinggiran semua koin
seri Kepulauan Riau ini, tertera inskripsi “KEPULAUAN RIAU”.
Pada masa pembebasan IRIAN BARAT, juga dicetak koin-koin seri Sukarno yang dicetak
khusus untuk peredaran di Irian Barat, dan semuanya bertahun 1962 (dicetak tahun 1964).
Namun akhirnya dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 31 Desember 1971.
Pada masa pemerintahan Suharto (1967-1998), banyak sekali koin-koin menarik yang
dicetaknya, seperti koin-koin peringatan 25 tahun kemerdekaan, seri-seri binatang, koin-koin
emas, dll.
PATOKAN NILAI TUKAR MATA UANG ZAMAN DULU
* 1 Silver Dukaton = 3 Gulden = 60 Stuiver = 240 Duit
* 1 Gulden = 20 Stuiver = 80 Duit.
* 1 Dirham emas / Dirham Jawi = 16 Silver Rupee (atau = 16 Gulden)
* 1 Stuiver = 4 Duit
ISTILAH-ISTILAH MATA UANG
* 2 ½ Gulden = Ringgit
* 1 Gulden = Rupiah
* ½ Gulden = Ukon
* ¼ Gulden = Talen atau setalen
* 1/10 Gulden = Ketip
* 1/20 Gulden = Kelip
Ditulis dalam Seminar | Tag: sejarah
« Kata Sambutan Seminar Numismatik
Seminar Numismatik: Sejarah Uang Kertas Indonesia »