17
ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Hukum Humaniter Disusun Oleh : Oktagape Lukas B2A004179 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007

ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

  • Upload
    lukas

  • View
    1.803

  • Download
    14

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONALUntuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Hukum HumaniterDisusun Oleh :Oktagape Lukas B2A004179FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007DAFTAR ISIBAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1 1.1.Latar Belakang...........................................................................................1 1.2.Pokok Permasalahan........................

Citation preview

Page 1: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

ASAS PROPORSIONALITASDALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester

Mata Kuliah Hukum Humaniter

Disusun Oleh :

Oktagape Lukas

B2A004179

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG2007

Page 2: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1

1.1.Latar Belakang...........................................................................................1

1.2.Pokok Permasalahan..................................................................................3

BAB II ASAS PROPORSIONALITAS DAN DISTINCTION PRINCIPLE

DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL………...............................4

2.1.Distinction Principle Sebagai Bagian Dari Hukum Humaniter

Internasional.....................................................................................................4

2.2. Pengertian dan Pembatasan Asas Proporsionalitas..............................8

BAB III PENERAPAN :ASAS PROPORSIONALITAS KEDUDUKAN

FASILITAS SIPIL UNTUK TUJUAN MILITER….…………………………….11

BAB IV PENUTUP....................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

Page 3: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada dasarnya, tujuan utama perang adalah mengalahkan musuh secepatnya

dengan cara seefisien mungkin melalui aksi militer. Namun peperangan tidak boleh

dilakukan secara serampangan oleh para pihak yang terlibat didalamnya. Peperangan

mesti dilakukan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan prinsip-prinsip

kelayakan lain yang berlaku. Inilah yang diatur lewat hukum humaniter. Pada

dasarnya hukum humaniter mengatur mengenai dua hal paling mendasar. Yaitu

pertama tentang tentang Ius ad bellum atau hukum tentang perang dan kedua tentang

ius ad bello atau hukum yang berlaku dalam perang.

Lebih jauh, dalam US Army Field Manual of Law of Landwarfare disebutkan

tujuan utama hukum humaniter yaitu1:

1. Melindungi baik kombatan maupun non-kombatan dari penderitaan yang

tak perlu.

2. Menjamin hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ke tangan musuh.

3. Memungkinkan dikembalikannya perdamaian.

4. Membatasi kekuasaan pihak yang berperang

Untuk melaksanakan tujuannya ini maka salah satu hal paling penting yang mesti

ditentukan adalah mengariskan pembedaan antara kombatan yang aktif dalam

pertempuran dan non-kombatan yang wajib dilindungi. Pembagian ini harus

dilakukan karena dua kelompok besar ini masing-masing memiliki priviliges-duties-

disabilities yang berbeda. Prinsip pembagian ini kemudian disebut sebagai distinction

principle.

Pada prakteknya sendiri, distinction principle tidak dapat diberlakukan secara

mudah. Banyak faktor dalam peperangan yang menyulitkan kita untuk menentukan

secara tepat yang mana yang termasuk dalam kelompok kombatan dan mana yang

termasuk dalam kelompok non-kombatan. Segala sesuatu tidak hitam putih. Selalu

ada wilayah abu-abu dimana batas antara kombatan dan non-kombatan menjadi semu.

Inilah yang kemudian memunculkan asas proporsionalitas yang dalam praktiknya

merupakan satu bagian dengan distinction principle.

1 Prof. KGPH Haryo mataram; Pengantar Hukum Humaniter; Penerbit RajaGrafindo Persada-Jakarta

Page 4: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

Salah satu isu yang hangat berkenaan mengenai hal ini adalah invasi Israel ke

Libanon dan Jalur Gaza pada pada awal 2006.2 Kasus serangan ini diawali oleh

penculikan 2 tentara Israel oleh Milisi Hamas dan Fatah yang bermarkas di Libanon.

Aksi ini kemudian dilanjutkan dengan serangan roket membabi buta oleh Milisi

Hamas yang bermarkas di Libanon Selatan ke wilayah utara Israel. Aksi Militan

palestina ini kemudian dianggap sebagai act of war dan menyebabkan Israel

melakukan ofensif besar-besaran terhadap Milisi Hamas dan Fatah. Namun yang

menjadi masalah, para Milisi Fatah dan Hamas memiliki basis yang berintegrasi

dengan penduduk sipil. Markas komando mereka sering kali ditempatkan di tengah

pemukiman padat, bahkan serangan roket pun dilakukan dari tengah komplek

pemukiman sipil.

Akibatnya serangan Israel terhadap Kelompok Militan Palestina ini sering kali

berdampak pada masyarakat sipil dan non-kombatan yang semestinya dilindungi.

Aksi Israel melakukan pemboman terhadap kompleks perumahan dan pemukiman

padat yang menjadi basis peluncuran roket Hamas memakan banyak korban jiwa tidak

hanya dari milisi hamas sendiri, tapi juga dari penduduk sipil tak berdosa. Selain itu,

tindakan Israel memutus jalur listrik dan air ke pemukiman serta melakukan blockade

dengan menyerang pelabuhan, jembatan dan berbagai fasilitas sipil lainnya untuk

mengisolasi kelompok militant Hamas dan Fatah malah juga berdampak buruk pada

penduduk sipil dan menimbulkan kecaman internasional.

Sekjen PBB Kofi Annan mengutuk serangan Israel itu yang dianggap sebagai

pengunaan kekuatan militer secara serampangan (disproportionate use of force). Aksi

Israel dianggap sebagai penyimpangan terhadap Konvensi Jenewa 1949. Memang

dalam perang wajib dibedakan antara kombatan dan non-kombatan, fasilitas sipil dan

fasilitas militer sesuai distinction principle.

Masalahnya Ofensif Israel pada tahun 2006 ini bukan perang konvensional.

Banyak fasilitas public yang diserang Israel juga digunakan oleh Hamas dan fatah

untuk menyerang Israel. Akibatnya distinction principle menjadi kabur. Israel sendiri

menganggap bahwa tindakannya sebagai suatu bentuk act of self preservation dan

tidak menyalahi asas proporsionalitas. Sebab walaupun target serangan adalah

fasilitas sipil dan menimbulkan korban jiwa sipil, namun fasilitas sipil itu dianggap

2 Lionel Beehner; Israel and the Doctrine of Proportionality

Page 5: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

memiliki nilai militer yang membahayakan bagi Israel, dan korban sipil sulit dihindari

dan dianggap sebagai kerusakan sampingan (collateral damage).

1.2. Pokok Permasalahan

Tulisan ini tidak akan secara khusus membahas tentang Ofensif Israel ke

Libanon pada thaun 2006. Tulisan ini akan membahas secara umum mengenai

distinction principle, dan secara khusus tentang asas proporsionalitas. Kita mesti

menyadari bahwa dua hal ini sulit dipisahkan dalam prakteknya.

Inilah yang akan menjadi topik pembahasan kita. Pokok permasalahan yang

akan dibahas dalam masalah ini meliputi:

1. Apa yang dimaksud dengan asas proporsionalitas?

2. Bagaimana menentukan apakah satu aksi militer merupakan pelanggaran

terhadap asas proporsionalitas atau tidak?

3. Bagaimana kedudukan fasilitas sipil yang digunakan untuk tujuan militer

dalam perang?

Dari pembahasan mengenai pokok permasalahan akan dapat kita tarik kesimpulan dan

saran yang akan berguna sebagai salah satu dasar bagi pembelajaran Hukum

Humaniter.

Page 6: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Distinction Principle Sebagai Bagian Dari Hukum Humaniter Internasional

Dalam praktik memang kita ketahui bahwa Distinction principle secara jelas

membedakan antara kombatan dan non-kombatan. Antara fasilitas yang digunakan

untuk tujuan sipil dan fasilitas yang digunakan untuk tujuan militer. Siapa yang boleh

menjadi obyek kekerasan dan siapa yang wajib dilindungi, sesuai definisi masing

masing yang diatur dalam Konvensi-Konvensi Hukum Humaniter serta Protokol-

Protokol yang menyertainya.

Dalam penjelasan Palang Merah Internasional (ICRC) atas Konvensi Jenewa

1949 Tentang Perlindungan Orang-Orang Sipil Pada Waktu Perang pada pasal 4 ayat

4 menegaskan bahwa:

“[e]very person in enemy hands must have some status under international

law: he is either a prisoner of war and, as such, covered by the Third

Convention, a civilian covered by the Fourth Convention, or again, a member

of the medical personnel of the armed forces who is covered by the First

Convention. There is no intermediate status; nobody in enemy hands can be

outside the law. We feel that this is a satisfactory solution – not only satisfying

to the mind, but also, and above all, satisfactory from the humanitarian point

of view."3

Disini kita ketahui bahwa dalam perang semua pihak harus memiliki status yang jelas.

Dalam penjelasan selanjutnya, Palang Merah Internasional menegaskan bahwa

penduduk sipil yang bukan anggota militer, namun terlibat aktif dalam permusuhan,

maka mereka tidak dapat dianggap sebagai non-kombatan.

Pengertian kombatan sendiri telah diatur pada Pasal 4 Konvensi Jenewa 1949

yang menyebutkan bahwa seseorang sudah dapat dikategorikan sebagai kombatan dan

terikat pada hukum dan kebiasaan perang (lawful combatant) yang terdiri atas4:

3 The relevance of IHL in the context of terrorism official statement by the ICRC 21 July 20054Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War;—

http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/91.htm

Page 7: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

A. Prisoners of war, in the sense of the present Convention, are personsbelonging to one of the following categories, who have fallen into the power ofthe enemy:1. Members of the armed forces of a Party to the conflict as well as membersof militias or volunteer corps forming part of such armed forces.2. Members of other militias and members of other volunteer corps, includingthose of organized resistance movements, belonging to a Party to the conflictand operating in or outside their own territory, even if this territory isoccupied, provided that such militias or volunteer corps, including suchorganized resistance movements, fulfil the following conditions:(a) That of being commanded by a person responsible for his subordinates;(b) That of having a fixed distinctive sign recognizable at a distance;(c) That of carrying arms openly;(d) That of conducting their operations in accordance with the laws andcustoms of war.3. Members of regular armed forces who profess allegiance to a governmentor an authority not recognized by the Detaining Power.4. Persons who accompany the armed forces without actually being membersthereof, such as civilian members of military aircraft crews, warcorrespondents, supply contractors, members of labour units or of servicesresponsible for the welfare of the armed forces, provided that they havereceived authorization from the armed forces which they accompany, whoshall provide them for that purpose with an identity card similar to theannexed model.5. Members of crews, including masters, pilots and apprentices, of themerchant marine and the crews of civil aircraft of the Parties to the conflict,who do not benefit by more favourable treatment under any other provisionsof international law.6. Inhabitants of a non-occupied territory, who on the approach of the enemyspontaneously take up arms to resist the invading forces, without having hadtime to form themselves into regular armed units, provided they carry armsopenly and respect the laws and customs of war.(pasal 4(A) Konvensi Jenewa 1949)Dari sini kita dapat ketahui bahwa kombatan adalah orang yang memnuhi

kriteria sebagai berikut:

1. Anggota angkatan bersenjata regular yang aktif dalam dinas kemiliteran

negara yang terlibat dalam konflik.

2. Anggota milisi, sukarelawan dan gerakan perlawanan yang teroganisir, yang

memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) Dipimpin oleh komandan yang bertanggung jawab pada bawahannya.

b) Memiliki simbol tetap yang dapat dikenali

Page 8: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

c) Secara terbuka mengunakan senjata

d) Beroperasi dan tunduk pada hukum dan kebiasaan perang.

3. Orang sipil yang mendampingi anggota angkatan bersenjata dalam bertugas.

Termasuk didalamnya orang sipil yang bertugas untuk kepentingan militer,

contohnya wartawan perang, kru sipil dalam kapal perang, dsb.

4. Kru dari kapal dan pesawat sipil dari negara yang terlibat dalam konflik,

bilamana tidak ada hukum lain yang melindungi mereka.

5. Massa/penduduk suatu wilayah yang mengangkat senjata untuk membela diri

dari serbuan musuh tanpa sempat membentuk unit militer yang teroganisir.

Dalam praktiknya di lapangan, sangat sulit membedakan antara penduduk sipil

dan milisi. Seringkali dalam konflik bersenjata, karena sifat khusus dari situasi dan

strategi yang digunakan tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 4

Konvensi Jenewa 1949. Contohnya adalah gerilyawan HAMAS yang mengunakan

pakaian sipil dan membaur dengan kerumunan sipil dalam beraksi. Pertanyaannya

apakah mereka dapat digolongkan sebagai kombatan atau mereka tetap digolongkan

sebagai penduduk sipil?

Dalam kasus seperti ini, diatur bahwa selain dalam Pasal 4 Konvensi Jenewa

1949, kriteria kombatan juga diatur dalam Protokol I Konvensi Jenewa 1949 atau

"Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to

the Protection of Victims of International Armed Conflicts", dimana kriteria

Kombatan meliputi5:

44.3. In order to promote the protection of the civilian population from the

effects of hostilities, combatants are obliged to distinguish themselves from the

civilian population while they are engaged in an attack or in a military

operation preparatory to an attack. Recognizing, however, that there are

situations in armed conflicts where, owing to the nature of the hostilities an

armed combatant cannot so distinguish himself, he shall retain his status as a

combatant, provided that, in such situations, he carries his arms openly:

( a ) During each military engagement, and

( b ) During such time as he is visible to the adversary while he is engaged in

a military deployment preceding the launching of an attack in which he is to

participate.

5 Wikipedia; Unlawful combatant— http://en.wikipedia.org/wiki/Unlawful_combatant

Page 9: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

(Pasal 44 Ayat 3 Protokol I Konvensi Jenewa 1949)

Dari sini kita ketahui bahwa seseorang dapat dikategorikan sebagai kombatan apabila

ia secara terang-terangan memegang senjata dalam pertempuran.

Lebih lanjut mengenai kombatan yang tidak jelas statusnya, diatur dalam Pasal

5 Konvensi Jenewa 1949 yang mengariskan6:

...Should any doubt arise as to whether persons, having committed a belligerentact and having fallen into the hands of the enemy, belong to any of thecategories enumerated in Article 4, such persons shall enjoy the protection ofthe present Convention until such time as their status has been determined bya competent tribunal.(Pasal 5 Konvensi Jenewa1949)

Dengan adanya pasal ini, maka digariskan bahwa jika seseorang tidak dapat

dipastikan statusnya sebagai kombatan atau bukan, maka ia wajib diperlakukan

sebagai tawanan perang hingga adanya kejelasan status yang diputuskan lewat

Peradilan yang kompeten.

Maka dari sini dapat kita jabarkan bahwa orang yang dikategorikan sebagai

non-kombatan adalah orang yang tidak termasuk dalam kategori kombatan yang

dijelaskan diatas. Termasuk didalamnya warga sipil yang wajib dilindungi dalam

perang.

Selanjutnya juga diatur mengenai obyek militer yang dapat dijadikan target

serangan. Pengaturannya dapat ditemui dalam Protokol tambahan I Konvensi Jenewa

Pasal 52 ayat 2 yang menyatakan bahwa

“Attacks shall be strictly limited to those objects which by their nature,location, purpose or use make an effective contribution to military action andwhose total or partial destruction, capture or neutralization, in thecircumstances ruling at the time, offers a definite military advantage.”

Disini dinyatakan jelas bahwa obyek militer adalah obyek yang digunakan untuk

kepentingan militer dan memiliki fungsi militer efektif, hingga segala usaha

menghancurkan, menawan atau menetralkannya akan memberi keunggulan militer.

Dari penjelasan tentang distinction principle diatas muncul masalah.

Bagaimana dengan korban jiwa sipil dan non-kombatan yang jatuh dalam serangan

militer. Bagaimana dengan obyek sipil yang hancur. Kita memang tahu bahwa

tindakan itu dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum humaniter. Namun

bagaimana bila hal itu tidak dapat dihindari dalam prakteknya di medan perang?

6 Wikipedia; Unlawful combatant— http://en.wikipedia.org/wiki/Unlawful_combatant

Page 10: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

2.2. Pengertian dan Pembatasan Asas Proporsionalitas

Asas proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan senjata tidak

menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan yang tidak

berkaitan dengan tujuan-tujuan militer (the unnecessary suffering principles).

Terutama dalam hal ini kerusakan-kerusakan fisik yang berlebihan dan tidak perlu

terhadap obyek-obyek non-militer dan non-kombatan.

Untuk menentukan apakah suatu “unnecessary sufferings” muncul atau tidak

dalam suatu perang, terutama dalam hal ini terhadap fasilitas sipil dan non-kombatan,

maka dapat kita kaitkan dengan konsep Military Necessity yang menentukan bahwa

suatu tindakan militer layak dilakukan atau tidak. Militery Necessity meliputi7:

1. Lawful combatants can only use such force as is reasonably necessary to

achieve a military objective.

2. The use of such force cannot be prohibited by LOAC

3. The use of such force must result in the least expenditure of life and

damage to property, as is possible under the prevailing circumstances

4. The force used is regulated by the user.

Dari sini dapat kita ketahui bahwa Military Necessity memberi batas tentang adanya

unnecessary sufferings atau tidak.

Dalam Protokol 1 Konvensi Jenewa Pasal 51 ayat 5 huruf (b) dijelaskan

bahwa dalam konteks perlindungan terhadap non-kombatan, serangan yang dilarang

adalah termasuk segala jenis serangan yang: ”...which may be expected to cause

incidental loss of civilian life ...which would be excessive in relation to the concrete

and direct military advantage anticipated”. Dari sini kita ketahui bahwa military

necessity telah dilanggar dan terjadi unnecessary sufferings yang bertentangan dengan

asas proporsionalitas apa bila keunggulan militer yang dicapai tidak berimbang

(proporsional) dengan korban dan kerusakan yang ditimbulkan, terutama dalam hal ini

terhadap obyek sipil.

Maka asas proporsionalitas dapat didefinisikan sebagai prinsip bahwa

serangan militer dapat yang menimbulkan korban non-kombatan dan non-militer

dapat dilegalkan apabila keunggulan militer yang diperoleh keunggulan militer yang

7 Royal Australian Air Force; Operations Law For RAAF Commanders

Page 11: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

diperoleh lebih besar dan signifikan dibanding kerugian yang timbul. Tidak ada

korban dan kerusakan berlebihan yang melanggar military necessity.

Selanjutnya mengenai asas proporsionalitas dalam prakteknya ditengah

peperangan, ditegaskan kembali dalam Legal Opinion dari Luis Moreno-Ocampo,

Jaksa Penuntut International Criminal Court mengenai kasus sangkaan kejahatan

perang dalam serangan militer Amerika ke Irak pada tahun 2003. Dalam Legal

Opinion-nya, Moreno-Ocampo menyatakan bahwa:

Under international humanitarian law and the Rome Statute, the death ofcivilians during an armed conflict, no matter how grave and regrettable, doesnot in itself constitute a war crime. International humanitarian law and theRome Statute permit belligerents to carry out proportionate attacks againstmilitary objectives,[1] even when it is known that some civilian deaths orinjuries will occur. A crime occurs if there is an intentional attack directedagainst civilians (principle of distinction) (Article 8(2)(b)(i)) or an attack islaunched on a military objective in the knowledge that the incidental civilianinjuries would be clearly excessive in relation to the anticipated militaryadvantage (principle of proportionality) (Article 8(2)(b)(iv).

Article 8(2)(b)(iv) criminalizes:Intentionally launching an attack in the knowledge that such attack will causeincidental loss of life or injury to civilians or damage to civilian objects orwidespread, long-term and severe damage to the natural environment whichwould be clearly excessive in relation to the concrete and direct overallmilitary advantage anticipated;

Article 8(2)(b)(iv) draws on the principles in Article 51(5)(b) of the 1977Additional Protocol I to the 1949 Geneva Conventions, but restricts thecriminal prohibition to cases that are "clearly" excessive. The application ofArticle 8(2)(b)(iv) requires, inter alia, an assessment of:(a) the anticipated civilian damage or injury;(b) the anticipated military advantage;(c) and whether (a) was "clearly excessive" in relation to (b).

– Luis Moreno-Ocampo8

Dari sini kita ketahui bahwa dalam prakteknya, serangan terhadap obyek sipil

dan non-kombatan dapat diijinkan apabila memang tak dapat dihindari. Kejahatan

perang baru terjadi apabila serangan itu secara sengaja diarahkan ke target sipil tanpa

8 Luis Moreno-Ocampo; OTP letter to senders re Iraq 9 February 2006 dapat diperoleh padahttp://www.icc cpi.int/library/organs/otp/OTP_letter_to_senders_re_Iraq_9_February_2006.pdf

Page 12: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

ada keuntungan militer atau serangan itu tetap dilakukan walaupun sebelumnya telah

diketahui akan timbul dampak kerusakan yang berlebihan dan tak perlu.

Menurut studi yang dilakukan oleh ahli dari ICRC, dalam praktek

penerapannya, ada beberapa aturan tak tertulis yang berlaku saat dilakukan serangan

atas obyek sipil. Pelaksanaan aturan ini menjadi barometer apakah serangan itu

bersifat serampangan atau tidak, yang kemudian dapat menjadi patokan apakah asas

proporsionalitas dipatuhi. Aturan itu meliputi antara lain9:

Rule 7. The parties to the conflict must at all times distinguish between civilianobjects and military objectives. Attacks may only be directed against militaryobjectives.Rule 8. Insofar as objects are concerned, military objectives are limited tothose objects which by their nature, location, purpose or use make an effectivecontribution to military action and whose partial or total destruction, captureor neutralisation, in the circumstances ruling at the time, offers a definitemilitary advantage.* * *Rule 11. Indiscriminate attacks are prohibited.Rule 12. Indiscriminate attacks are those [which] . . . are of a nature to strikemilitary objectives and civilians or civilian objects without distinction.Rule 13. Attacks by bombardment by any method or means which treats as asingle military objective a number of clearly separated and distinct militaryobjectives located in a city, town, village or other area containing a similarconcentration of civilians or civilian objects are prohibited.Rule 14. Launching an attack which may be expected to cause incidental lossof civilian life, injury to civilians, damage to civilian objects, or a combinationthereof, which would be excessive in relation to the concrete and directmilitary advantage anticipated, is prohibited.

2.3.Penerapan Asas Proporsionalitas dalam Kedudukan Fasilitas Sipil Untuk

Tujuan Militer

Telah dijelaskan dalam pendahuluan bahwa pada ofensif Israel ke Libanon

pada awal 2006, Militan Hamas dan Fatah mengunakan obyek-obyek sipil sebagai

basis serangan mereka ke Israel. Obyek sipil ini termasuk fasilitas umum seperti

perumahan, rumah sakit, sekolah dan tempat umum lainnya. Padahal dalam

prakteknya berdasar hukum humaniter baik yang tertulis maupun kebiasaan, serangan

9 Jean-Marie Henckaerts & Louise Doswald-Beck, Customary International Humanitarian Law,Vol. 1: Rules (2005).

Page 13: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

terhadap obyek sipil jelas dilarang. Namun hal ini mesti dilakukan sebagai tindakan

untuk mencapai keunggulan militer. Maka bagaimana cara penyelesaiannya?

Dalam kasus seperti ini, maka serangan tersebut dapat dilakukan dengan

tunduk pada asas proporsionalitas. Memang, pada dasarnya bangunan pemukiman dan

fasilitas umum lainnya merupakan obyek sipil. Namun jika kita lihat definisi obyek

militer pada Protokol I Konvensi Jenewa Pasal 52 ayat 2, dijelaskan bahwa segala

bentuk bangunan yang memiliki fungsi militer secara efektif dan digunakan untuk

tujuan militer merupakan obyek militer dan dapat diserang.

Dalam penjelasan palang Merah Internasional atas Protokol I Konvensi

Jenewa ini dijelaskan bahwa: “[M]ost civilian objects can become useful objects to

the armed forces. Thus, for example, a school or a hotel is a civilian object, but if they

are used to accommodate troops or headquarters staff, they become military

objectives.” Namun dalam pasal 52 ayat 3 ada pengecualian bahwa jika suatu

bangunan atau fasilitas diragukan fungsinya apakah ia merupakan obyek sipil atau

digunakan sebagai maka haruslah diasumsikan bahwa bangunan tersebut adalah

obyek sipil dan tidak boleh diserang. Suatu fasilitas sipil hanya boleh diserang apabila

telah jelas dan tegas bahwa fasilitas itu digunakan untuk kepentingan militer hingga

dapat dianggap bukan lagi obyek sipil.

Diluar itu semua, rumah sakit merupakan obyek sipil yang memperoleh

perlindungan khusus berdasar Pasal 18 Ayat 1 Konvensi Jenewa 1949 mengenai

Perlindungan Orang Sipil Pada Masa Perang menyatakan bahwa “[hospital]... may in

no circumstances be the object of attack, but shall at all times be respected and

protected by the Parties to the Conflict.”

Selanjutnya dalam Pasal 19 dijelaskan bahwa Rumah sakit dapat kehilangan

status istimewanya jika mereka “…used to commit, outside their humanitarian duties,

acts harmful to the enemy.” Rumah sakit yang dilindungi adalah rumah sakit yang

berdasar ketentuan Pasal 18 ayat 1 memenuhi syarat tertentu yaitu: “must have the

staff (including the administrative staff) and the equipment required to fulfill its

purpose. It must be organized to give hospital care… The capacity of the

establishment cannot be used as a criterion for deciding whether or not it is a civilian

hospital.”

Berdasar pasal 19, perlindungan istimewa itu musnah setelah:

1. Peringatan langsung untuk menghentikan segala bentuk kekerasan telah

diberikan pada rumah sakit

Page 14: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

2. Tenggat waktu yg diberikan untuk menanggapi peringatan dan menghentikan

serangan telah habis

3. Peringatan tidak ditanggapi.

Apabila serangan terhadap obyek sipil dilakukan maka serangan itu haruslah sesuai

dengan asas proporsionalitas yang mengariskan bahwa serangan itu tidak dilakukan

berlebihan dan serampangan serta berimbang dengan keunggulan militer yang

diperoleh. Apabila serangan itu dianggap melanggar atau dapat melanggar ketentuan

Pasal 51 Protokol I Konvensi Jenewa yang menyatakan bahwa:

“attack which may be expected to cause incidental loss of civilian life, injuryto civilians, damage to civilian objects, or a combination thereof, which wouldbe excessive in relation to the concrete and direct military advantageanticipated.”

Maka serangan itu tidak boleh dilakukan karena dianggap serampangan dan tidak

berimbang dengan hasil yang diperoleh.10

10 Humanitarian Law Research Initiative; What is the status of hospitals, schools or places ofworship if militants or insurgents are operating from within them?

Page 15: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

BAB IV

KESIMPULAN

Dalam prakteknya, memang jatuhnya korban sipil sulit dihindari dalam

peperangan, terutama ketika perang itu bukan lagi melibatkan antara Negara melawan

Negara namun Negara melawan kelompok bukan Negara (Non-State Party) seperti

Israel melawan milisi Hamas dan Fatah pada tahun 2006. Namun bukan pula berarti

jatuhnya korban sipil dibiarkan begitu saja. Disinilah asas proporsionalitas berlaku.

Tujuan utama asas proporsionalitas adalah agar perang atau penggunaan senjata tidak

menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan yang tidak

berkaitan dengan tujuan-tujuan militer (the unnecessary suffering principles).

Terutama dalam hal ini kerusakan-kerusakan fisik yang berlebihan dan tidak perlu

terhadap obyek-obyek non-militer dan non-kombatan.

Asas proporsionalitas didasarkan pada Pasal Pasal 51 Protokol I Konvensi

Jenewa yang menyatakan bahwa:

“attack which may be expected to cause incidental loss of civilian life, injury

to civilians, damage to civilian objects, or a combination thereof, which would

be excessive in relation to the concrete and direct military advantage

anticipated.”

Dari sini asas proporsionalitas dapat didefinisikan sebagai prinsip bahwa serangan

militer dapat yang menimbulkan korban non-kombatan dan non-militer dapat

dilegalkan apabila keunggulan militer yang diperoleh lebih besar dan signifikan

dibanding kerugian yang timbul. Tidak ada korban dan kerusakan berlebihan yang

melanggar military necessity.

Dari pasal tersebut pula dapat kita ketahui bahwa serangan itu tidak boleh

bersifat serampangan serta secara sengaja diarahkan ke target sipil tanpa ada

keuntungan militer dilakukan walaupun sebelumnya telah diketahui akan timbul

dampak kerusakan yang berlebihan dan tak perlu. Dalam pelaksanaannya didasarkan

pada hukum kebiasaan perang tak tertulis dan bergantung pada keputusan komando.

Asas proporsionalitas ini kemudian dapat diterapkan dalam kasus seperti

pengunaan obyek sipil seperti fasilitas umum untuk tujuan militer. Apakah hal itu

dapat dilakukan? Jawabnya hal itu dapat dilakukan sebab apabila kita menilik kembali

pengertian obyek militer yang dapat diserang, maka kita mengacu pada Protokol

tambahan I Konvensi Jenewa Pasal 52 ayat 2 yang menyatakan bahwa:

Page 16: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

“Attacks shall be strictly limited to those objects which by their nature,

location, purpose or use make an effective contribution to military action and

whose total or partial destruction, capture or neutralization, in the

circumstances ruling at the time, offers a definite military advantage.”

Dari situ dapat kita ketahui bahwa obyek sipil yang digunakan untuk tujuan militer

dapat diserang. Namun penyerang terhadap obyek sipil dibatasi, antara lain dengan

mengharuskan bahwa obyek sipil yang akan diserang itu benar-benar secara tegas dan

nyata digunakan untuk kepentingan militer. Apabila ada keraguan mengenai status

obyek sipil itu, maka serangan tidak boleh dilakukan.

Penyerangan itu sendiri harus secara tegas memperhatikan asas

proporsionalitas dengan artian korban dan kerusakan yang ditimbulkan harus

proporsional dengan keunggulan militer yang diperoleh. Proporsional dalam artian

bahwa keunggulan militer lebih signifikan dibanding kerugian yang timbul.

Page 17: ASAS PROPORSIONALITAS DALAM HUKUM HUMANITER

DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. KGPH Haryo mataram; Pengantar Hukum Humaniter--Penerbit

RajaGrafindo Persada-Jakarta

2. Lionel Beehner; Israel and the Doctrine of Proportionality—diambil dari

CFR.org

3. ICRC; The relevance of IHL in the context of terrorism 21 July 2005

4. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War;— dapat

diperoleh dari http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/91.htm

5. Wikipedia; Unlawful combatant— artikel ini dapat diperoleh dari

http://en.wikipedia.org/wiki/Unlawful_combatant

6. Royal Australian Air Force; Operations Law For RAAF Commanders

7. Luis Moreno-Ocampo; OTP letter to senders re Iraq 9 February 2006 -- dapat

diperoleh pada

http://www.icccpi.int/library/organs/otp/OTP_letter_to_senders_re_Iraq_9_Fe

bruary_2006.pdf

8. Jean-Marie Henckaerts & Louise Doswald-Beck, Customary International

Humanitarian Law, Vol. 1: Rules (2005).

9. Humanitarian Law Research Initiative; What is the status of hospitals, schools

or places of worship if militants or insurgents are operating from within them?

--Harvard Program on Humanitarian Policy and Conflict Research

International