Upload
wae-muk-muk
View
266
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
ASUHAN KEPERAWATAN
CA NASOFARING
Di Susun Oleh :
1. ANDIK CAHYONO2. DWI OKTI M.3. KURNIA HANA LISTIANI4. LISA AFNIDAH5. ROKHIMI
PROGRAM STUDI D3 KEPRAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2010/2011
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur kehadirat Allah YME karena atas rahmat dan hidayah-Nya saya selaku
penulis akhirnya dapat menyelesaikan makalah Perkemihan dengan tema “BPH” sebagai
tugas keleompok dalam semester ini.
Makalah ini disusun dari berbagai sumber reverensi yang relevan, baik buku-buku
diktat kedokteran dan keperawatan, artikel-artikel nasional dan internasional dari internet
dan lain sebagainya. Semoga saja makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri
khususnya maupun bagi para pembaca pada umumnya.
Tentu saja sebagai manusia, penulis tidak dapat terlepas dari kesalahan. Dan penulis
menyadari makalah yang dibuat ini jauh dari sempurna. Karena itu penulis merasa perlu
untuk meminta maaf jika ada sesuatu yang dirasa kurang.
Penulis mengharapkan masukan baik berupa saran maupun kritikan demi perbaikan
yang selalu perlu untuk dilakukan agar kesalahan - kesalahan dapat diperbaiki di masa
yang akan datang.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jombang, 11 Desember 2011
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bila kita merujuk pada data statistik yang dikeluarkan oleh American Cancer Society
dalam Cancer.Net (2008) teercatat bahwa Kasus Karsinoma Nasofaring termasuk jarang
ditemukan di Amerika Serikat, yaitu sekitar 2000 orang yang terdiagnosa setiap tahunnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, dan angka ini telah mengalami penurunan. Karsinoma
nasofaring lebih banyak ditemukan di belahan dunia lain seperti Asia dan Afirika Utara,
misalnya saja China bagian Selatan banyak kasus ditemukan untuk penyakit ini.
Sementara itu, Indonesia sebagai bagian dari Asia mencatat bahwa tumor ganas yang
paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia adalah Karsinoma
nasofaring, dimana jenis tumor yang satu ini termasuk dalam lima besar tumor ganas
dengan frekwensi tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat
pertama (Lutan & Soetjipto dalam Asroel, 2002). Dan dalam Roezin dan Adham (2007)
disebutkan bahwa hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma
nasofaring.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring
dengan predileksi di fossa Rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah
transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa (Efiaty, 2001).
Tumor ganas nasofaring (karsinoma nasofaring) adalah sejenis kanker yang dapat
menyerang dan membahayakan jaringan yang sehat dan bagian-bagian organ di tubuh kita.
Nasofaring mengandung beberapa tipe jaringan, dan setiap jaringan mengandung beberapa
tipe sel. Dan kanker ini dapat berkembang pada tipe sel yang berbeda. Dengan mengetahui
tipe yang sel yang berbeda merupakan hal yang penting karena hal tersebut dapat
menentukan tingkat seriusnya jenis kanker dan tipe terapi yang akan digunakan (American
Cancer Society dalam Cancer.Net, 2008).
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi Ca Nasofaring?
2. Bagaimana anatomi fisiologi Nasofaring?
3. Apa etiologi dari Ca Nasofaring?
4. Bagaimana patofisiologi dari Ca Nasofaring?
5. Bagaimana tanda dan gejala dari Ca Nasofaring?
6. Bagaimana pembagian Ca Nasofaring?
7. Bagaimana perluasan tumor ke jaringan sekitar dari Ca Nasofaring?
8. Bagaimana penentuan stadium dari Ca Nasofaring?
9. Apa komplikasi dari Ca Nasofaring?
10. Bagaimana pemeriksaan penunjang Ca Nasofaring?
11. Bagaimana penatalaksanaan Ca Nasofaring?
12. Bagaimana pencegahan dari Ca Nasofaring?
1.3 TUJUAN
1. Menjelaskan definisi Ca Nasofaring.
2. Menjelaskan anatomi fisiologi Ca Nasofaring.
3.Menyebutkan etiologi dari Ca Nasofaring.
4. Menjelaskan patofisiologi dari Ca Nasofaring.
5. Menyebutkan tanda dan gejala dari Ca Nasofaring.
6. Menyebutkan pembagian Ca Nasofaring.
7. Menjelaskan perluasan tumor ke jaringan sekitar dari Ca Nasofaring.
8. Menjelaskan stadium dari Ca Nasofaring.
9. Menyebutkan komplikasi dari Ca Nasofaring.
10. Menyebutkan pemeriksaan penunjang dari Ca Nasofaring.
11. Menjelaskan penatalaksanaan dari Ca Nasofaring.
12. Menjelaskan pencegahan dari Ca Nasofaring.
1.4 MANFAAT
1. Menambah wawasan pengetahuan mengenai kasus Ca Nasofaring dan penerapan
konsep keperawatan pada kasus Ca Nasofaring.
2. Menambah wawasan pengetahuan mengenai penerapan diagnosa keperawatan pada
kasus Ca Nasofaring.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring
dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia
(Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146).
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring
dengan predileksi di fossa Rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah
transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa (Efiaty, 2001).
Karsinoma nasofaring adalah keganasan pada nasofaring yang berasal dari epitel
mukosa nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring.
Carsinoma Nasofaring merupakan karsinoma yang paling banyak di THT. Sebagian
besar klien datang ke THT dalam keadaan terlambat atau stadium lanjut.
2.2 ANATOMI FISIOLOGI
Nasofaring letaknya tertinggi di antara bagian-bagian lain dari faring, tepatnya di
sebelah dorsal dari cavum nasi dan dihubungkan dengan cavum nasi oleh koane.
Nasofaring tidak bergerak, berfungsi dalam proses pernafasan dan ikut menentukan
kualitas suara yang dihasilkan oleh laring. Nasofaring merupakan rongga yang mempunyai
batas-batas sebagai berikut :
Atas : Basis kranii.
Bawah : Palatum mole
Belakang : Vertebra servikalis
Depan : Koane
Lateral : Ostium tubae Eustachii, torus tubarius, fossa rosenmuler (resesus faringeus).
Pada atap dan dinding belakang Nasofaring terdapat adenoid atau tonsila faringika.
2.3 ETIOLOGI
Kaitan Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama
timbulnya penyakit ini. Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa
menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus
ini dibutuhkan suatu mediator kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus
menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat
mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan Ca Nasofaring. Mediator yang berpengaruh
untuk timbulnya Ca Nasofaring :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.
2. Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan Zat karsinogen ( benzopyrenen, benzoantrance, gas kimia, asap
industri, asap kayu, beberapa ekstrak tumbuhan).
4. Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)
5. Radang kronis nasofaring
6. Profil HLA
2.4 PATOFISIOLOGI
Urutan tertinggi penderita karsinoma nasofaring adalah suku mongoloid yaitu 2500
kasus baru pertahun. Diduga disebabkan karena mereka memakan makanan yang
diawetkan dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin. (Efiaty
& Nurbaiti, 2001 hal 146).
Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan
makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997 hal 460). Selain itu faktor
geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial
ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya
tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus
EEB yang cukup tinggi (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146).
Infeksi virus Epstein Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat
dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita
karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang teerinfeksi oleh EBV akan
menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses poliferasi dan mempertahankan
kelangsungan virus didalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai pertanda
delam mendiagnosa karsinoma nasofaring.
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga
dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini . Pada pasien
karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam
serum plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan
genom virus. Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan
EBNA di dalam sel penderita karsinoma nasofaring.
WOC
Konsumsi ikan asin Riwayat keluarga
Mengaktifkan EBV
Supresi sum-sum tulang
Diferensiasi dan pol ferasi protein laten (EBNA-1)
Pola kromosom abnormal
Terbentuk sel-sel muatanMenstimulasi pembelahan sel
abnormal yg tdk terkontrol
Kerusakan DNA pd sel dimana pola kromosomnya abnormal
Penyubatan muara tuba
Penekanan ps tuba eustachius
Sifat kanker diturunkan pd anak
Pertumbuhan sel kanker pd nasofaring (utama pd fosa rossamuller)
Kromosom ekstra terlalu sedikit translokasi kromosom
Indikasi keoterapi
Kelenjar melekat pd otot dan sulit di gerakkan
Menembus kelenjar dan mengenai otak di bawahnya
Benjolan massa pd leher bagian samping
Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel kanker di kel. getah bening
Metastase sel-sel kanker ke kelenjar getah bening
melalui aliran limfe
Gangguan persepsi sensori (pendengaran)
Nyeri
Gangguan pembuluh sel darah merah
Mual muntah
Anoreksia
Stomatitis
Iritasi mukosa mulut
Perangsangan elektrik zona pencetus kemoreseptor di ventrikel IV otak
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
Resti perubahan membran
mukosa oral
Iritasi traktus GI
Rangsangan
Diare Konstipasi
Eritrosit, leukosi trombosit
Imunosupressi Resti infeksi
Merusak sel-sel epitel kulit
Kerusakan integritas kulit
Gangguan integritas kulit
Kerusakan pd kulit kepala
AlopesiaGangguan harga
diri rendah
2.5 TANDA DAN GEJALA
Simtomatologi ditentukan oleh hubungan anatomic nasofaring terhadap hidung, tuba
Eustachii dan dasar tengkorak.
Gejala hidung :
Epistaksis : rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan.
Sumbatan hidung. Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam rongga
nasofaring dan menutupi koana, gejalanya : pilek kronis, ingus kental, gangguan
penciuman.
Gejala telinga :
Kataralis/ oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula dofosa Rosen Muler,
pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba ( berdengung,
rasa penuh, kadang gangguan pendengaran).
Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran.
Gangguan mata dan saraf :
Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui foramen
laserum yang akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga dijumpai diplopia,
juling, eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan motorik dan sensorik.
Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika
seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral. Prognosis jelek bila sudah
disertai destruksi tulang tengkorak.
Metastasis ke kelenjar leher :
Yaitu dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus sternokleidomastoid yang
akhirnya membentuk massa besar hingga kulit mengkilat. Hal inilah yang
mendorong pasien untuk berobat. Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi
hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti dicina yaitu 3 bentuk yang
mencurigakan pada nasofaring seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa,
pembesaran nodul dan mukositis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila
diikuti bertahun – tahun akan menjadi karsinoma nasofaring.(Efiaty & Nurbaiti,
2001 hal 147 -148).
Tumor pada nasofaring relatif bersifat anaplastikdan banyak terdapat kelenjar limfe,
maka karsinoma nasofaring dapat menyebar ke kelenjar getah bening leher. Melalui
aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai ke kelenjar limfe leher dan
tertahan di sana dan karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama
agar sel-sel kanker tidak langsung ke bagian tubuh yang lebih jauh.
Gejala lanjut :
Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat mencapai
kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh dan berkembang
biak hingga kelenjar membesar dan tampak benjolan dileher bagian samping, lama
kelamaan karena tidak dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot
sehingga sulit digerakkan.
2.6 PEMBAGIAN CA NASOFARING
Menurut Histopatologi :
Well differentiated epidermoid carcinoma.
- Keratinizing
- Non Keratinizing.
Undiffeentiated epidermoid carcinoma = anaplastic carcinoma
- Transitional
- Lymphoepithelioma.
Adenocystic carcinoma
Menurut bentuk dan cara tumbuh :
Ulseratif
Eksofilik : Tumbuh keluar seperti polip.
Endofilik : Tumbuh di bawah mukosa, agar sedikit lebih tinggi dari jaringan sekitar
(creeping tumor)
Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982) :
Tipe WHO 1
- Karsinoma sel skuamosa (KSS)
- Deferensiasi baik sampai sedang.
- Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan).
Tipe WHO 2
- Karsinoma non keratinisasi (KNK).
- Paling banyak pariasinya.
- Menyerupai karsinoma transisional
Tipe WHO 3
- Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).
- Seperti antara lain limfoepitelioma, Karsinoma anaplastik, “Clear Cell Carsinoma”,
varian sel spindel.
- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.
2.7 PERLUASAN TUMOR KE JARINGAN SEKITAR
1. Perluasan ke atas : ke N.II dan N. VI, keluhan diplopia, hipestesi pipi
2. Sindrom petrosfenoid terjadi jika semua saraf grup anterior terkena dengan gejala khas :
Neuralgia trigeminal unilateral
Oftalmoplegia unilateral
Amaurosis
Gejala nyeri kepala hebat akibat penekanan tumor pada duramater
3. Perluasan ke belakang : N.VII-N.XII, trismus, sulit menelan, hiper/hipo/anestesi
palatum,faring dan laring,gangguan respirasi dan salvias, kelumpuhan otot trapezius,
stenokleidomastoideus, hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
4. Manifestasi kelumpuhan :
N IX: kesulitan menelan akibat hemiparese otot konstriktor superior serta gangguan
pengecap pada sepertiga belakang lidah.
N X : Hiper / hipo / anestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai
gangguan respirasi dan salvias.
N XI : kelumpuhan atau atropi otot-otot trapezius, sterno – kleido mastoideus, serta
hemiparese palatum mole.
N XII : hemiparese dan atropi sebelah lidah.
2.8 PENENTUAN STADIUM
TUMOR SIZE (T)T Tumor primerT0 Tidak tampak tumor T1 Tumor terbatas pada satu lokasi sajaT2 Tumor dterdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas
pada rongga nasofaringT3 Tumor telah keluar dari rongga nasofaringT4 Tumor teah keluar dari nasofaring dan telah kmerusak tulang
tengkorak atau saraf-saraf otakTx Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
REGIONAL LIMFE NODES (N)N0 Tidak ada pembesaranN1 Terdapat pembesarantetapi homolateral dan masih bisa digerakkanN2 Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat
digerakkanN3 Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun
bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitarMETASTASE JAUH (M)
M0 Tidak ada metastase jauhM1 Metastase jauh
Stadium I : T1 No dan Mo
Stadium II : T2 No dan Mo
Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 dan Mo atau T3 dan No dan Mo
Stadium IV : T4 dan No/N1 dan Mo atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan Mo atau
T1/T2/T3/t4 dan No/N1/N3/N4 dan M1
2.9 KOMPLIKASI
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini
merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan
metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %,
otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.
Komplikasi lain yang biasa dialami adalah terjadinya pembesaran kelenjar getah
bening pada leher dan kelumpuhan saraf kranial.
2.10 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Nasofaringoskopi
b. Rinoskopi posterior dengan atau tanpa kateter
c. Biopsi multiple
d. Radiologi :Thorak PA, Foto tengkorak, Tomografi, CT Scan, Bone scantigraphy (bila
dicurigai metastase tulang)
e. Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan tumor kejaringan sekitar
yang menyebabkan penekanan atau infiltrasi kesaraf otak, manifestasi tergantung dari
saraf yang dikenai.
f. MRI
g. Sinar X
2.11 PENETALAKSANAAN
Prinsipnya pengobatan untuk karsinoma nasofaring meliputi terapi sbb :7,8
1. Radioterapi
2. Kemoterapi
3. Kombinasi
4. Operasi
5. Imunoterapi
6. Terapi paliatif
A. TERAPI RADIASI PADA KARSINOMA NASOFARING
Definisi Terapi Radiasi
Terapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat menembus
jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma.
Persyaratan Terapi Radiasi
Penyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila hanya menggunakan
terapi radiasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
- Belum didapatkannya sel tumor di luar area radiasi
- Tipe tumor yang radiosensitif
- Besar tumor yang kira-kira radiasi mampu mengatasinya
- Dosis yang optimal.
- Jangka waktu radiasi tepat
- Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek samping radiasi.
Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum kemoterapi
diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba diberikan radiasi sebesar 5000 cGy, < 2 cm
diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila lebih dari 4 cm diberikan
dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5 minggu.
Sifat Terapi Radiasi
Terapi radiasi sendiri sifatnya adalah :
- Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional
- Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa mendestrukasi sel tumor
- Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor.
- Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor.
- Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran tumor
sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya..
- Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari tumornya.
- Walaupun pemberian radiasi bersifat lokal dan regional namun dapat mengakibatkan
defek imun secara general.
Efek Samping Terapi Radiasi :
1. Radiomukositis, stomatitis, hilangnya indra pengecapan, rasa nyeri dan ngilu pada gigi.
2. Xerostomia, trismus, otitis media
3. Pendengaran menurun
4. Pigmentasi kulit seperti fibrosis subkutan atau osteoradionekrosis.
5. Pada terapi kombinasi dengan sitostatika dapat timbul depresi sumsum tulang dan
gangguan gastrointestinal.
6. Lhermitte syndrome karena radiasi myelitis.
7. Hypothyroidism
Pengaruh Terapi Radiasi Terhadap Sistem Imun
Secara luas dilaporkan bahwa segera setelah pemberian radiasi terjadi gangguan
terhadap sel limfosit T, yang akibatnya memudahkan timbulnya berbagai macam infeksi.11
Pasien dengan tumor primer di leher dimana drainase limfatiknya juga di leher , setelah
diberikan radiasi mengakibatkan berkurangnya limfosit darah tepi secara signifikan.
Jumlah limfosit T CD4+ menurun lebih bermakna dibandingkan penurunan jumlah sel
limfosit T CD8+. Gangguan akibat radiasi tidak hanya mempengaruhi jumlah sel limfosit
T namun juga mengakibatkan defek pada fungsi sel T. Adanya gangguan fungsi
dibuktikan dengan sulitnya sel T ini distimulasi pada percobaan invitro. Apakah defek
jumlah dan fungsi limfosit T pada penderita yang diterapi radiasi dapat reversibel?
Penelitian menunjukkan bahwa ada kecenderungan normalisasi sel limfosit T CD4+
setelah 3-4 minggu pasca radiasi.
Jenis Pemberian Terapi Radiasi
Terapi radiasi pada karsinoma nasofaring bisa diberikan sebagai :
- Radiasi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi.
- Radiasi interna ( brachytherapy ) yang bisa berupa permanen implan atau intracavitary
barchytherapy.
Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai :
- pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah bening
- pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening
- Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi
- Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck dissection
Radiasi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk :
- Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari terlalu banyak
jaringan sehat yang terkena radiasi.
- Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor
- Pengobatan kasus kambuh.
B. KEMOTERAPI PADA KARSINOMA NASOFARING
Definisi Kemoterapi
Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat
pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker.
Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active single
agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi
sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat
mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat dikurangi sehingga
efek samping menurun.
Tujuan Kemoterapi
Tujuan kemoterapi adalah untuk menyembuhkan pasien dari penyakit tumor
ganasnya. Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga untuk
mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh. Secara lokal dimana vaskularisasi
jaringan tumor yang masih baik, akan lebih sensitif menerima kemoterapi sebagai
antineoplastik agen. Dan karsinoma sel skuamosa biasanya sangat sensitif terhadap
kemoterapi ini.
Obat-Obat Sitostatika yang direkomendasi FDA untuk Kanker Kepala Leher
Beberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika) untuk
digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu Cisplatin, Carboplatin,
Methotrexate, 5-fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin, Cyclophosphamide,
Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan
penggunaan Gemcitabine untuk keganasan didaerah kepala dan leher.
Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma Nasofaring
Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I dan sebagian
WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma nasofaring WHO-3
memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma nasofaring WHO-1 yang memiliki
prognosis paling buruk.
Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan (division)
antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle) merupakan titik tolak
dari cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika mempengaruhi proses yang
berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam
keadaan membelah pada umumnya lebih sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat.
Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus ( Cell Cycle non
Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel bahkan dalam keadaan
istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu (
Cell Cycle phase spesific ).
Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus sel disebut
cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan sel pada semua
fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle
specific antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang
bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang
tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-
linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2),
Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M).
Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah timbulnya klonus
tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila resiten
terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang diberikan,
dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda.
Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi
Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat, agaknya bekerja
dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial untuk sintesis dan atau fungsi
asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat , zat yang berguna pada tumor
kepala leher dibagi sebagai berikut :
1. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai contoh
MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan untuk sintesis
timidin.
2. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti CTX
( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian menahan replikasi
sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan doxorubicin mengikat dan
menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan demikian
menghambat produksi mRNA.
3. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine, menahan
pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan mitosis.
Cara Pemberian Kemoterapi
Secara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu :
1. Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi.
2. Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi pada
kasus karsinoma stadium lanjut.
3. Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau
radiasi
4. Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan terutama pada
kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi (leukemia dan
limfoma).
Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi dua yaitu
terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis). Terapi utama
dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak dapat mandiri, artinya terapi
adjuvan tersebut harus meyertai terapi utamanya. Tujuannya adalah membantu terapi
utama agar hasilnya lebih sempurna.
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila
setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.
- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan
dan metastasis jauh).
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi
menjadi :
1. neoadjuvant atau induction chemotherapy
2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy
3. post definitive chemotherapy.
Efek Samping Kemoterapi
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro
intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang
memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah
anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan
kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum
tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika.
Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih
lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker.
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap
jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik
fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya
dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah
satu efek samping pemberian kemoterapi.
Untuk menghindari efek samping intolerable, dimana penderita menjadi tambah
sakit sebaiknya dosis obat dihitung secara cermat berdasarkan luas permukaan tubuh (m2)
atau kadang-kadang menggunakan ukuran berat badan (kg). Selain itu faktor yang perlu
diperhatikan adalah keadaan biologik penderita. Untuk menentukan keadaan biologik yang
perlu diperhatikan adalah keadaan umum (kurus sekali, tampak kesakitan, lemah sadar
baik, koma, asites, sesak, dll), status penampilan (skala karnofsky, skala ECOG), status
gizi, status hematologis, faal ginjal, faal hati, kondisi jantung, paru dan lain sebagainya.
Penderita yang tergolong good risk dapat diberikan dosis yang relatif tinggi, pada
poor risk (apabila didapatkan gangguan berat pada faal organ penting) maka dosis obat
harus dikurangi, atau diberikan obat lain yang efek samping terhadap organ tersebut lebih
minimal.
Efek samping kemoterapi dipengaruhi oleh :
1. Masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik terhadap organ tubuh tertentu.
2. Dosis.
3. Jadwal pemberian.
4. Cara pemberian (iv, im, peroral, per drip infus).
5. Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek toksisitas pada organ
tertentu.
Persyaratan Pasien yang Layak diberi Kemoterapi
Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan kelemahan, yang apabila
diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable side effect. Sebelum memberikan
kemoterapi perlu pertimbangan sbb :
1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status
penampilan <= 2
2. Jumlah lekosit >=3000/ml
3. Jumlah trombosit>=120.0000/ul
4. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10
5. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) ( Tes Faal Ginjal )
6. Bilirubin <2 mg/dl. , SGOT dan SGPT dalam batas normal (Tes Faal Hepar).
7. Elektrolit dalam batas normal.
8. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia diatas 70
tahun.
Status Penampilan Penderita Ca ( Performance Status )
Status penampilan ini mengambil indikator kemampuan pasien, dimana penyait
kanker semakin berat pasti akan mempengaruhi penampilan pasien. Hal ini juga menjadi
faktor prognostik dan faktor yang menentukan pilihan terapi yang tepat pada pasien
dengan sesuai status penampilannya.
Skala status penampilan menurut ECOG ( Eastern Cooperative Oncology Group) adalah
sbb :
- Grade 0 : masih sepenuhnya aktif, tanpa hambatan untuk mengerjakan tugas kerja dan
pekerjaan sehari-hari.
- Grade 1 : hambatan pada perkerjaan berat, namun masih mampu bekerja kantor
ataupun pekerjaan rumah yang ringan.
- Grade 2 : hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50 % waktunya untuk tiduran dan
hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri, tidak dapat melakukan pekerjaan lain.
- Grade 3 : Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih dari 50%
waktunya untuk tiduran.
- Grade 4 : Sepenuhnya tidak bisa melakukan aktifitas apapun, betul-betul hanya
di kursi atau tiduran terus.
C. KEMORADIOTERAPI PADA KARSINOMA NASOFARING
Definisi Kemoradioterapi
Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan
radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan
survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.
Begitu banyak variasi agen yang digunakan dalam kemoradioterapi ini sehingga sampai
saat ini belum didapatkan standar kemoradioterapi yang definitif.
Manfaat Kemoradioterapi
Manfaat Kemoradioterapi adalah :
1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil
terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan
radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa
tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia.
2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap
radiasi yang diberikan (radiosensitiser).
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki
manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat
terpapar radiasi.
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum
radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed
tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping
itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik
seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV
dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar
50%. Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat
mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation).
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan
kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat
memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or
concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.
Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi
dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi.
Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah
resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery
DNA pada sel kanker yang sublethal.
Kelemahan Kemoradioterapi
Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,
leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan
sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat
fatal.
Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan
dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak
diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal
pemberian.
Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal
(single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan
sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering
digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.
2.12 PENCEGAHAN
Meskipun beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring tidak dapat dikontrol, ada
beberapa yang dapat dihindari dengan melalkukan perubahan gaya hidup. Menghentikan
penggunaan rokok, karena hal ini adalah hal yang sangat penting untuk mengurangi risiko
karsinoma nasofaring.
Selain itu pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah
dengan risiko tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah risiko tinggi ke tempat
lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan
mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan
berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.
Melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan
karsinoma nasofaring lebih dini.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
Pengumpulan Data
Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :
a. Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat
rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan
pekerjaan pasien.
b. Keluhan Utama
Telinga kiri terasa buntu/hingga peradangan. Timbul benjolan di leher kanan dan kiri sejak
3 bulan yang lalu.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien pernah mengalami stroke atau tidak
d. Riwayat Penyakit Sekarang
Telinga kiri terasa buntu/hingga peradangan. Timbul benjolan di leher kanan dan
kiri sejak 3 bulan yang lalu.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat kesehatan keluarga yang lain tidak ada yang menderita penyakit seperti
yang diderita klien saat ini.
f. Keadaan Kesehatan Lingkungan
Klien mengatakan bahwa Lingkungan rumah tempat tinggal cukup bersih
g. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta
bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
Pola aktivitas sehari-hari
(1) Pola Persepsi Dan Tata Laksana Hidup Sehatan
Pada pasien diabetik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup sehat karena
kurangnya pengetahuan tentang dampak diabetuk sehingga menimbulkan persepsi
yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur
pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang
benar dan mudah dimengerti pasien.
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin maka kadar gula
darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering kencing,
banyak makan, banyak minum, berat badan menurun dan mudah lelah. Keadaan
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang
dapat mempengaruhi status kesehatan penderita.
(3) Pola Eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang menyebabkan
pasien sering kencing (poliuri) dan lancar, Jumlah urine 1200 cc/24 jam, warna urine
kuning. Pada eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan. Klien buang air besar 1
X/hari.
(4) Pola tidur.dan Istirahat
Adanya poliuri dan situasi rumah sakit yang ramai akan mempengaruhi waktu tidur
dan istirahat penderita, sehingga pola tidur dan waktu tidur penderita mengalami
perubahan. Klien kurang tidur baik pada waktu siang maupun malam hari. Klien
tampak terganggu dengan kondisi ruang perawatan yang ramai.
(5) Pola Aktivitas dan latihan
Adanya diabetik dan Ca. nasofaring menyebabkan penderita tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah mengalami
kelelahan. Klien biasanya bekerja diluar rumah, tapi saat ini klien hanya beristirahat
di Rumah Sakit sambil menunggu rencana operasi.
(6) Pola Hubungan dan Peran
Ca nasofaring yang sukar sembuh menyebabkan penderita malu dan menarik diri
dari pergaulan.
(7) Pola Sensori dan Kognitif
Pasien dengan diabetes cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada luka
sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat dan mendengar
dengan baik, klien tidak mengalami disorientasi.
(8) Pola Persepsi Dan Konsep Diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya
perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan
gangguan peran pada keluarga (self esteem). Klien mengalami cemas karena
Kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan
tindakan yang diprogramkan.
(9) Pola Seksual dan Reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga
menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta
memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Selama dirawat di rumah
sakir klien tidak dapat melakukan hubungan seksual seperti biasanya.
(10) Pola mekanisme/Penanggulangan Stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak berdaya
karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan penderita tidak
mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif. Klien merasa
sedikit stress menghadapi tindakan kemoterapi/sitostatika. karena kurangnya
pengetahuan.
(11) Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta ca nasofaring
tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi pola
ibadah penderita.
Personal Higiene
Kebiasaan di rumah klien mandi 2 X/hari, gosok gigi 2 X/hari, dan cuci rambut 1
X/minggu.
Ketergantungan
Klien tidak perokok, tidak minum-minuman yang mengandung alkohol.
Aspek Psikologis
Klien terkesan takut akan penyakitnya, merasa terasing dan sedikit stress
menghadapi tindakan operasi.
Aspek Sosial/Interaksi
Hubungan dengan keluarga, teman kerja maupun masyarakat di sekitar tempat
tinggalnya biasa sangat baik dan akrab. Saat ini klien terputus dengan dunia luar,
kehilangan pencari nafkah (bagi keluarganya), biaya mahal.
Aspek Spiritual
Klien dan keluarganya sejak kecil memeluk agama Kristen, ajaran agama dijalankan
setiap saat. Klien sangat aktif menjalankan ibadah dan aktif mengikuti kegiatan
agama yang diselenggarakan oleh gereja di sekitar rumah tempat tinggalnya maupun
oleh masyarakat setempat.
Saat ini klien merasa tergangguan pemenuhan kebutuhan spiritualnya
Prioritas Keperawatan
1. Dukungan adaptasi dan kemandirian.
2. Meningkatkan kenyamanan.
3. Mempertahankan fungsi fisiologis optimal.
4. Mencegah komplikasi.
5. Memberi informasi tentang proses/kondisi penyakit, prognosis dan kebutuhan
pengobatan.
Tujuan Pemulangan
1. Klien menerima situasi dengan realistis.
2. Nyeri berkurang/terkontrol.
3. Homeostasis dicapai.
4. Komplikasi dicegah/dikurangi
5. Proses/kondisi penyakit, prognosis, pilihan terapeutik dan aturan dipahami.
3.2 PEMERIKSAAN FISIK (Body Systems)
(1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Pernafasan melalui hidung. Frekuensi 20 x/menit, Irama teratur, tidak terlihat
gerakan cuping hidung, tidak terlihat Cyanosis, tidak terlihat keringat pada dahi,
tidak terdengar suara nafas tambahan, dentuk dada simetris.Hasil foto Thorax PA
Cor/pulmo tidak ada kelainan.
(2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Nadi 90 X/menit kuat dan teratur, tekanan darah 140/90 mmHg, Suhu 36,8 0C,
perfusi hangat. Cor S1 S2 tunggal reguler, ekstra sistole/murmur tidak ada
(3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Tingkat kesadaran (GCS) Membuka mata : Spontan (4)
Verbal : Orientasi baik (5)
Motorik : Menurut perintah (6)
Compos Mentis : Pasien sadar
(4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B.4 : Bladder)
Jumlah urine 1200 cc/24 jam, warna urine kuning
(5) Pencernaan-Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Mulut dan tenggorokan normal, Abdomen normal, Peristaltik normal, tidak
kembung, tidak terdapat obstipasi maupun diare, Rectum normal, klien buang air
besar 1 X/hari.
(6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Kemampuan pergerakan sendi bebas/terbatas
Parese ada/tidak, Paralise ada/tidak, Hemiparese ada/tidak, .
Tidak terdapat kontraktur maupun dikubitus
(7) Sistem Endokrin
Terapi hormon
Karakteristik sex sekunder
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan fisik
Hipoglikemia
Polidipsi
Poliphagi
Poliuri
Postural hipotensi
Kelemahan
3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan Laboratorium
- Hb : 15,8 mg/dl (>13,4 mg/dl)
- Leukosit : 11,3
- Albumin : 4,1 gr/dl (3,2 – 3,5 gr/dl)
- SGOT : 10,2 ( kurang 29 )U/L
- SGPT : 13,5 U/L
- Bilirubin Direk : 0,31 (< 0,25)
- Bilirubin Total : 1,01 (< 1,00)
- Alkali Phospatase : 148
- Cholesterol Total : 148,8 (< 200)
- Trigliserida : 81,4 (< 200)
- HDL Cholesterol : 30 (> 35
- LDL Cholesterol : 101 (< 130)
- Ureum/BUN : 13,8 mg/dl (10 – 20)
- Serum Creatinin : 1,16 mg/dl (L : 0,9 – 1,5 P : 0,7 – 1,3)
- Uric Acid : 4,1 (L : 3,4 – 7,0 P : 2,4 – 5,7)
- Glukosa puasa : 300 mg/dl (< 126 mg/dl)
- Glukosa 2 jam pp : 463 mg/dl (< 140 mg/dl)
Hasil pemeriksaan Laboratorium
- Gula darah acak : 178 mg/dl (< 140 mg/dl)
Hasil pemeriksaan Patologi
Mikroskopik
- Jaringan nasofaring hiperplastik, tidak tampak tanda-tanda keganasan
- Jaringan nasofaring dengan infiltrat luas undiff. Epidermoid carcinoma, WHO type 3.
- Kesimpulan : Nasofaring kiri, biopsi undiff. Epidermoid carcinoma, WHO type 3.
Hasil pemeriksaan CT Scan
Terliha gambaran massa daerah nasopharynx mengenai atap serta dinding kanan kiri. Batas
anterior mencapai cavum nasi bagian posterior. Sisi kanan juga terlihat ada cairan dalam
sinus maxillaris kanan suspect merupakan perluasan tumor tersebut. Belum terlihat ada
invasi tumor ke intracranial. Perluasan ke lateral, kanan kiri sampai di musculus
pterygoideus tetapi belum mengadakan infiltrasi pada musculus tsb. Pada infiltrasi
intracranial.
Kesimpulan : Gambaran tumor nasopharynx
Hasil pemeriksaan Radiologi tanggal 9 April 2002
Thorax PA
Cor / pulmo tidak ada kelainan.
TERAPI :
- Infus RL/D5%
- Inj Actrapid 16 UI ¼ jam sebelummakan.
- Copar 6 X 1 Tab/hari
- Inj Xylo Della 2 : 2 Im
- Inj Novoban 1 Amp
- Inj Carbocin 450 mg dalam Inf D5% 100 cc drip habis dalam 6 jam.
- Inj Curasil (5 FU) 1000mg dalam 100 cc D5% drip habis dalam 30 menit.
- Inj Bleocyn 30 mg dalam 100 cc RL drip habis dalam 30 menit.
3.4 ANALISA DATA
NO D A T A ETIOLOGI MASALAH PARAF
1 DS:Klien kurang
tidur baik pada
waktu siang maupun
malam hari.
DO:Klien tampak
terganggu dengan
kondisi ruang
perawatan yang
ramai.
Rasa nyeri pada
kepala.
Ganguan pola
tidur
2 DS:Klien
mengatalakn cemas
karena Kurangnya
pengetahuan tentang
sifat penyakit,
pemeriksaan
diagnostik dan
tujuan tindakan yang
diprogramkan.
Lamanya perawatan,
banyaknya biaya
perawatan dan
pengobatan dan
gangguan peran
pada keluarga (self
esteem).
DO:Klien
mengatakan sedikit
stress menghadapi
tindakan kemoterapi/
sitostatika. karena
kurangnya
pengetahuan.
Kurangnya
pengetahuan
tentang
penyakitnya.
Cemas
3 DS:Klien
mengatakan kurang
Kurangnya Kurangnya
pengetahuan
mengetahui tentang
proses penyakit,
perawatan maupun
pengobatan serta
kurangnya
pengetahuan tentang
dampak diabetuk
dan diet.
DO:px tampak
lemah
informasi. tentang proses
penyakit, diet,
perawatan dan
pengobatan
4 DS:Klien mengalami
muntah 2 X
DO:Klien mengeluh
selalu mual dan
selalu ingin muntah
Intake makanan
yang kurang.
Gangguan
pemenuhan nutrisi
kurang dari
kebutuhan tubuh
3.5 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada kepala.
2. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
3. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
4. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
denganintakemakananyangkurang
3.6 INTERVENSI
NO Diagnosa keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional
1 Gangguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada kepala
Tujuan : Gangguan pola tidur pasien akan teratasi.Kriteria hasil : 1. Pasien mudah tidur dalam
waktu 30 – 40 menit.2. Pasien tenang dan wajah
segar. 3. Pasien mengungkapkan dapat beristirahat dengan cukup.
1Ciptakan lingkungan nyaman dan tenang
2.Kajitentang kebiasaantidurpasien di rumah.
3.Kajiadanyafaktor penyebab gangguapolatidur yanglainseperti cemas, efekobat-obatandan suasana ramai.
4.Anjurkanpasien untuk menggunakan pengantartidur danteknik relaksasi.
5.Kaji tanda-tanda kurangnya pemenuhan kebutuhan tidur pasien
1. Lingkungan yang nyamandapat membantu meningkatkan tidur/istirahat.
2. Mengetahui perubahandari hal-halyang merupakan kebiasaan pasien ketika tidur akan mempengaruhi pola tidur pasien.
3. Mengetahui faktorpenyebab gangguanpola tiduryanglain dialamidan dirasakan pasien.
4. Pengantar tidur akanmemudahkanpasien dalam jatuh dalam tidurteknik relaksasi akan mengurangi ketegangan dan rasa nyeri.
5. Untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tidur pasien akibat gangguan pola tidur sehingga dapat diambil tindakan yang tepat
2 Cemas berhubungan dengan
Tujuan : rasa cemas berkurang/hilang.Kriteria Hasil :
1. Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh
1 Untuk menentukan tingkat
kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya
1. Pasien dapat mengidentifikasikan sebab kecemasan.
2. Emosi stabil., pasien tenang.
3. Istirahat cukup.
pasien.
2. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya.
3. Gunakan komunikasi terapeutik.
4. Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien untuk ikut serta dalam tindakan keperawatan.
5. Berikan keyakinan pada pasien bahwa
6. perawat, dokter, dan tim kesehatan lain selalu berusaha memberikan pertolongan yang terbaik danseoptimal mungkin.
7. Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara bergantian.
8. Ciptakan lingkungan yang aman dan tenang
.
kecemasan yang dialami pasien sehingga perawat bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat.
2 Dapat meringankan beban pikiran pasien.
3 Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-pasien sehingga pasien kooperatif dalam tindakan keperawatan.
4 Informasi yang akurat tentang penyakitnya dan keikutsertaan pasien dalam melakukan tindakan dapat mengurangi beban pikiran pasien.
5 Sikap positif dari timkesehatan akan membantu menurunkan kecemasan yang dirasakan pasien.
6 Pasien akan merasa lebih
tenang bila ada anggota keluarga yang menunggu.
7 Lingkung yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi rasa cemas pasien.
3Kurangnya pengetahuan
Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien/keluarga
1. Untuk memberikan informasi pada
tentang proses penyakit, diet, perawatan, dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Kriteria Hasil :1. Pasien mengetahui tentang
proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.
2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang
diperoleh.
tentang penyakit DM dan Ca. Nasofaring.
2. Kaji latar belakang pendidikan pasien.
3. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan pada pasien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.
4. Jelasakan prosedur yang kan dilakukan, manfaatnya bagi pasien dan libatkan pasien didalamnya.
5. Gunakan gambar-gambar dalam memberikan penjelasan (jika ada / memungkinkan).
pasien/keluarga, perawat perlu mengetahui sejauh mana informasi atau pengetahuan yang diketahui pasien/keluarga.
2. Agar perawat dapat memberikan penjelasan dengan menggunakan kata-kata dan kalimat yang dapat dimengerti pasien sesuai tingkat pendidikan pasien.
3. Agar informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.
4. Dengan penjelasdan yang ada dan ikut secra langsung dalam tindakan yang dilakukan, pasien akan lebih kooperatif dan cemasnya berkurang.
5. Gambar-gambar dapat membantu mengingat penjelasan yang telah diberikan.
4 Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi Kriteria hasil :1. Berat badan dan tinggi
badan ideal.2. Pasien mematuhi dietnya.3. Kadar gula darah dalam
batas normal.
1. Kaji status nutrisi dan kebiasaanmakan.
2. Anjurkan pasienuntuk mematuhi dietyang
1. Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien sehingga dapat diberikan tindakan dan
kurang 4. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.
telahdiprogramkan.Timbang berat badan setiap seminggu sekali.
3. Identifikasi perubahan pola makan.
4. Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian insulin dan diet diabetik.
pengaturan diet yang adekuat.
2. Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya hipoglikemia/hiperglikemia.
3. Mengetahui perkembangan berat badan
4. pasien (berat badan merupakan salah satu indikasi untuk menentukan diet).
5. Mengetahui apakah pasientelah melaksanakan program diet yang ditetapkan.
6. Pemberian insulin akan meningkatkan pemasukanglukosa ke dalam jaringan sehingga gula darah menurun,pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan mencegah komplikasi.
3.7 IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat terhadap
pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan rencana keperawatan
diantaranya :
Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi ;
ketrampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan efisien
pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi serta dokumentasi
intervensi dan respon pasien.
Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana
intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan perawatan yang
muncul pada pasien (Budianna Keliat, 1994,4).
3.8. EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi
adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat
dan anggota tim kesehatan lainnya.
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana
keperawatan tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang (US.
Midar H, dkk, 1989).
Kriteria dalam menentukan tercapainya suatu tujuan, pasien :
a. Mampu mempertahankan fungsi paru secara normal.
b. Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
c. Tidak terjadi gangguan pola tidur dan kebutuhan istirahat terpenuhi.
d. Dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri sehari-hari untuk mengembalikan
aktivitas seperti biasanya.
e. Menunjukkan pengetahuan dan gejala-gejala gangguan pernafasan seperti sesak
nafas, nyeri dada sehingga dapat melaporkan segera ke dokter atau perawat yang
merawatnya.
f. Mampu menerima keadaan sehingga tidak terjadi kecemasan.
g. Menunjukkan pengetahuan tentang tindakan pencegahan yang berhubungan dengan
penatalaksanaan kesehatan, meliputi kebiasaan yang tidak menguntungkan bagi
kesehatan seperti merokok, minum minuman beralkohol dan pasien juga
menunjukkan pengetahuan tentang kondisi penyakitnya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring
dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia.
(Efiaty & Nurbaiti, 2001 ha146).
Urutan tertinggi penderita karsinoma nasofaring adalah suku mongoloid yaitu 2500
kasus baru pertahun. Diduga disebabkan karena mereka memakan makanan yang
diawetkan dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin. (Efiaty
&Nurbaiti, 2001 hal146).
Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan
makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997 hal 460). Selain itu faktor
geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial
ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya
tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus
EEB yang cukup tinggi (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146).
4.2 SARAN
Setelah penulis menjabarkan mengenai kasus Ca Nasofaring, diharapkan memberi
suatu pencerahan dan tambahan ilmu pengetahuan mengenai kasus ini. Namun, dalam
uraiannya, penulis sadar bahwa masih banyak hal yang dirasa kurang dan oleh karenanya
penulis mengharapkan suatu masukan dan saran untuk kebaikan mendatang dalam segala
bidang, terutama kasus Ca Nasofaring ini. Penelusuran lebih jauh dan dalam lagi mengenai
perkembangan kasus Ca Nasofaring ini merupakan jalan terbaik untuk mendapat informasi
yang lebih relevan disamping makalah ini. Semoga makalah yang kami buat dapat
bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah, edisi 8 vol.3.EGC,
Jakarta
Guyton, Arthur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, EGC,Jakarta
Inskandar.N, 1989, Tumor Telinga-Hidung-Tenggorokan, Diagnosa Dan
Penatalaksanaan, Fakultas Kedokteran Umum, Universitas Indonesia, Jakarta
Joanne C.Mc Closkey. 1996. Nursing Intervension Classification (NIC). Mosby Year
Book. St. Louis
Marion Johnon, dkk. 2000. Nursing Outcome Classificasion (NOC). Mosby Year
Book.St. Louis
Marjory Gordon, dkk.2000.Nursing Diagnoses : Definition & Classificasion 2001-
2002.NANDA. Mosby Year Book.St.Louis
File:///G:/askep-ca-nasofaring.html
File:///G:/ASKEP CA NASOFARING_b4hri.html
NANDA International, 2001, Nursing Diagnosis Classification 2005 – 2006, USA
LAMPIRAN