Upload
vuongkiet
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
2
Autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan
kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial (American Psychiatric
Association, 2000). Tager-Flushberg, Paul, dan Lord (2005) menyatakan bahwa
30-40% individu autis tidak berbicara selama hidupnya. Sementara Paul dan
Cohen (1985) menyatakan bahwa 60% penyandang autis dapat berbicara, di mana
sebagian besar di antaranya baru mulai dapat berbicara di usia 6 tahun.
Penyandang autis yang mampu berbicara memiliki kesulitan dalam menginisiasi
dan menjaga komunikasi dengan orang lain (Mancil, 2009).
McGovern dan Sigman (2005) menyatakan bahwa mayoritas penyandang
autisme menunjukkan perkembangan positif dalam komunikasi, interaksi sosial,
pola perilaku terbatas dan repetitif pada akhir masa remaja. Akan tetapi,
penyandang autisme tetap menunjukkan sisa-sisa karakteristik autisme yang khas
dalam berkomunikasi, berinteraksi, maupun berperilaku (Matson dan Horovitz,
2010). Levy dan Perry (2011) menyebutkan bahwa perkembangan penyandang
autisme di masa remaja dan dewasa dipengaruhi oleh tingkat keparahan autisme,
kemampuan kognitif, perkembangan bahasa, ada atau tidaknya komorbid dengan
gangguan psikopatologi lainnya, serta akses terhadap program dan layanan
intervensi.
Secara umum, penyandang autisme mengalami perkembangan kemampuan
bahasa dan komunikasi nonverbal yang terus meningkat sejak kecil, remaja, dan
berlanjut hingga memasuki masa dewasa (Seltzer, et al., 2003). Akan tetapi,
sebagian besar penyandang autisme remaja dan dewasa tetap menunjukkan
abnormalitas dalam berbicara dan berbahasa (Shea dan Mesibov, 2005). Hal ini
3
juga sesuai dengan yang disampaikan oleh Magiati, Tay, dan Howlin (2014)
bahwa penyandang autisme terus menunjukkan perkembangan bahasa pada masa
remaja dan dewasa, namun mereka tetap mengalami keterbatasan terutama dalam
aspek sosial saat berkomunikasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Kobayashi, Murata, dan Yoshinaga (1992)
terhadap 197 penyandang autis remaja dan dewasa menunjukkan bahwa terdapat
16% subjek yang dapat berkomunikasi lancar dengan penggunaan kosakata yang
baik, 31% subjek dapat berkomunikasi dengan bahasa yang terkadang kurang
sesuai dan kurang tepat penggunaannya, 32% subjek memahami bahasa namun
tidak berkomunikasi secara verbal, 9% subjek mengalami echolalia, dan 12%
subjek menunjukkan suara-suara yang tidak bermakna dalam berkomunikasi.
Paul (2008) mendefinisikan komunikasi sebagai kemampuan untuk
mengirim dan menerima pesan. Prizant dan Wetherby (2005) mendefinisikan
komunikasi fungsional sebagai kemahiran dalam menggunakan bahasa verbal dan
nonverbal untuk menyampaikan pesan dalam berbagai konteks sosial kepada
pasangan berkomunikasi yang berbeda-beda. Proses komunikasi membutuhkan
alat komunikasi sebagai perantara. Alat komunikasi tersebut dapat berupa ekspresi
wajah, bahasa tubuh, bahasa isyarat, gambar, kata-kata, atau alat bantu
komunikasi seperti Voice Output Communication Aides/VOCAs.
Paul (2008) menyatakan bahwa keterampilan berkomunikasi merupakan
salah satu indikator penting yang digunakan untuk mengevaluasi perkembangan
penyandang autisme. Namun di sisi lain, penyandang autisme mengalami
kesulitan berkomunikasi seperti tidak merespons saat namanya dipanggil,
4
mengulang-ulang serangkaian kata yang diingat atau didengar (echolalia), tidak
tepat dalam menggunakan kata ganti orang, berbicara dengan kata-kata yang tidak
biasa digunakan, dan berbahasa dengan cara yang sulit dipahami oleh orang-orang
di sekitarnya.
Garfin dan Lord (dalam Prizant dan Wetherby, 2005) menyebutkan bahwa
kompetensi berkomunikasi merupakan faktor utama yang menentukan seberapa
luas penyandang autisme dapat mengembangkan hubungan dengan orang lain dan
berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari di sekolah, di rumah, maupun di
komunitas. Oleh karena itu, kesulitan komunikasi yang dialami oleh penyandang
autisme memberikan dampak yang buruk bagi perkembangan psikososial dan
vokasional penyandang autisme di masa dewasa kelak (Howlin, Alcock, dan
Burkin, 2005).
Kemampuan komunikasi juga memiliki kaitan erat dengan pencegahan dan
pengurangan masalah-masalah perilaku (Reichle dan Wacker, 1993). Memasuki
masa remaja, penyandang autisme memiliki resiko kemunduran perkembangan
dan/atau peningkatan masalah perilaku, seperti tantrum, kesulitan untuk menerima
perubahan, abnormalitas sensoris, kompulsif, abnormalitas perilaku seksual,
hiperaktifitas, agresi, dan/atau membahayakan diri sendiri (Billstedt, Gillberg, dan
Gillberg, 2005).
Gangguan komunikasi yang dialami oleh penyandang autisme sepanjang
hidupnya menunjukkan pentingnya memberikan layanan untuk mengajarkan
kemampuan komunikasi pada mereka (Howlin, 2003). Usaha-usaha yang
dilakukan dalam rangka mengajarkan keterampilan berkomunikasi pada
5
penyandang autisme dapat membantu penyandang autisme untuk berinteraksi
dengan lingkungan di sekitarnya, sekaligus membantu menurunkan masalah
perilaku yang muncul karena ketidakmampuan menyampaikan keinginan,
kebutuhan, maupun perasaannya.
Studi pendahuluan yang peneliti lakukan di sebuah sekolah khusus remaja
autis pada September 2014 menunjukkan bahwa kelima belas siswa memiliki
kemampuan komunikasi yang berbeda-beda. Ada remaja autistik yang dapat
berkomunikasi verbal, ada yang berkomunikasi secara non verbal, dan ada pula
yang pasif dan sangat minim dalam berinteraksi dengan orang lain (OB.1.1-30).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lewis, Woodyatt, dan Murdoch (2008)
bahwa penyandang autisme memiliki kemampuan bahasa yang berbeda-beda.
Observasi yang peneliti lakukan di sekolah menunjukkan bahwa tidak ada
jam khusus untuk pelajaran Komunikasi. Pelajaran Komunikasi diintegrasikan
dengan pelajaran Bahasa Indonesia dan Sosialisasi. Pada pelajaran Bahasa
Indonesia, guru melatih komunikasi siswa metode tanya-jawab, dengan setting
pembelajaran klasikal, yaitu 3-4 siswa dalam satu kelas (OB.2.35-84).
Pembelajaran komunikasi di luar jam pelajaran, yaitu pada saat istirahat,
tampak belum optimal. Dari delapan orang guru, peneliti hanya melihat satu orang
guru yang mengajak siswa berkomunikasi pada jam istirahat (OB.5.154-157).
Kepala sekolah juga menyadari bahwa belum semua guru berkomitmen untuk
melatih komunikasi siswa di luar jam pelajaran:
Ya kadang nggak semua guru telaten. Yang konsisten itu saya lihat Bu I,
mungkin ya karena pegang pelajaran Komunikasi.. Saya lihat ada tiga: Bu
I, Bu A, Pak A, itu yang konsisten, mau menuntun anak.
(Data wawancara W.KS.01. 226-229)
6
Hasil observasi dan wawancara awal menunjukkan bahwa remaja autis
memiliki permasalahan komunikasi yang perlu ditangani. Namun, pembelajaran
komunikasi yang dilakukan di dalam dan di luar kelas masih belum optimal dalam
meningkatkan komunikasi siswa.
Di antara 15 siswa di sekolah lanjutan autis, peneliti melakukan asesmen
lanjutan terhadap dua orang calon subjek, yaitu SD dan AG. Pemilihan kedua
calon subjek tersebut didasarkan pada rekomendasi kepala sekolah yang
mengatakan bahwa kedua siswa tersebut belum memiliki inisiatif komunikasi dan
masih perlu dibantu. Peneliti melakukan wawancara dengan orang tua dan
pengamatan yang lebih mendalam di sekolah untuk mengetahui kemampuan
komunikasi subjek dan permasalahan yang dialami.
1. Subjek 1
Calon subjek pertama bernama AG. AG berusia 16 tahun dan berjenis
kelamin laki-laki. AG didiagnosis mengalami autisme saat berusia 2,5 tahun
(W.IAG.01.44-51). Setelah itu, AG mengikuti terapi perilaku di sekolah khusus
autis. Di saat yang bersamaan, AG juga menjalani terapi biomedis pengurangan
kadar logam berat (W.IAG.01.74-114).
AG mulai dapat berbicara pada usia 4-5 tahun (W.IAG.01.283-284). Kata-
kata pertama yang dapat diucapkan adalah “mama” dan “papa” (W.IAG.01.209-
211). Saat ini AG sebenarnya sudah dapat menyampaikan keinginannya secara
verbal, namun ibu menilai AG agak malas berbicara.
Kalau saya merasa anaknya agak males ya, males untuk ngomong. Jadi
sebenarnya dia bisa tapi males ngomong. Jadi misalnya makan, nanti dia mabil
tangan saya, trus begini..diarahkan ke makanan. Trus saya bilang, “AG bilang
dong.” Baru nanti dia bilang, “AG mau bawang goreng.”
(Data wawancara W.IAG.01.218-223)
7
Perilaku komunikasi subjek pada ibu dapat digambarkan dalam analisis
fungsional. Antecedent (A) dalam situasi ini adalah subjek melihat bawang
goreng. Perilaku yang ditunjukkan subjek adalah menarik tangan ibu dan
mengarahkannya ke piring berisi bawang goreng (B). Ibu merespons dengan
meminta subjek mengatakan apa yang diinginkan (C). Respons ibu menjadi
antecedent (A) baru bagi subjek, yaitu adanya instruksi ibu untuk mengatakan apa
yang subjek inginkan. Subjek berkata, “AG mau bawang goreng” (B). Setelah
subjek berbicara, ibu baru memberikan bawang goreng yang diinginkan subjek
(C).
Di sisi lain, ibu juga mengakui bahwa perilaku komunikasi subjek sangat
tergantung pada pasangan komunikasinya.
Kalau dengan orang lain, selama orang lain mematuhi apayang dia mau, dia akan
selamanya begitu. Jadi dia akan menyesuaikan orangnya siapa.
(Data wawancara W.IAG.01. 226-227, 229-230)
Hal ini menunjukkan bahwa perilaku komunikasi subjek dengan orang
selain ibu di rumah memiliki pola yang berbeda. Jika subjek menginginkan
sesuatu (A), maka subjek mengarahkan tangan orang lain untuk mengambilkan
(B), kemudian subjek mendapatkan apa yang ia inginkan (C).
Antecedent (A) Behavior (B) Concequence (C−)
AG melihat AG menarik tangan ibu Ibu berkata, “AG bilang dong”
bawang goreng
Antecedent (A) Behavior (B) Concequence (C+)
Ibu berkata, AG berkata, Ibu memberikan bawang goreng
“AG bilang dong” “AG mau bawang goreng”
8
Di sini hanya beberapa orang tua saja yang aktif, mbak. Jadinya ya kadang di
sekolah kita sudah kasih yang kayak gini, di rumah nanti didiamkan aja.
Mungkin yang orang tuanya kerjanya full gitu.. Misalnya orang tuanya AG.
Orang tuanya kan kerjanya full kan, mbak. Jadinya di rumah hanya dengan
pembantu. Begitu pulang, langsung dikasih iPad. Ya mungkin karena dia tenang,
hanya duduk, di kamar, diam, udah. Yang penting anak diam, tenang, udah.
(Data wawancara W.BI.01. 183-190)
Dalam wawancara dengan ibu, tidak tampak secara jelas seberapa sering ibu
berinteraksi dengan subjek sehingga respond strength perilaku komunikasi antara
ibu dan subjek tidak dapat diidentifikasi. Akan tetapi, dengan aktivitas ibu yang
bekerja dari pagi hingga sore atau malam, maka ada kemungkinan interaksi subjek
dengan orang lain di rumah lebih tinggi daripada interaksi subjek dengan ibu. Hal
ini menyebabkan subjek lebih banyak berkomunikasi dengan mengarahkan tangan
orang lain daripada menyampaikan keinginan secaraverbal.
Saat berada di sekolah, AG tergolong pasif. Pada saat istirahat, AG terlihat
duduk sendirian dan tidak melakukan apa-apa. Guru-guru juga sedang beristirahat
sehingga tidak ada yang mengajak subjek berkomunikasi (OB.05.143-144).
Dalam situasi istirahat sekolah, yang menjadi antecendent (A) adalah tidak
adanya guru yang mengajak subjek berkomunikasi. Perilaku yang ditunjukkan
subjek selama istirahat adalah duduk sendirian dan diam saja (B). Konsekuensi
positif yang memelihara perilaku tersebut adalah subjek dibiarkan diam saja
selama waktu istirahat (C). Tidak adanya stimulasi menyebabkan tidak adanya
perilaku komunikasi yang ditunjukkan subjek selama jam istirahat.
Antecedent (A) Behavior (B) Concequence (C+)
Tidak ada yang mengajak Subjek diam Subjek dibiarkan
bicara subjek
9
Sikap pasif AG tidak hanya tampak saat istirahat, melainkan juga terlihat
saat pelajaran. Guru menyikapi sikap pasif subjek dengan selalu memberikan
bantuan tanpa subjek meminta.
Guru berkata, “Sekarang kita membuat karya dari kertas kokoru ya. Bentuknya
bebas. Contohnya bisa dilihat di sini.” Kemudian guru membagikan kertas
kokoru kepada para siswa. Masing-masing anak diberi satu lembar. Setelah guru
membagi kertas kokoru, guru duduk di samping AG, lalu membantu AG.
(Data observasi OB.03.96-100)
Pendampingan yang terus-menerus dari guru menyebabkan tertutupnya
kesempatan komunikasi bagi subjek. Subjek tidak memiliki kesempatan untuk
meminta bantuan guru jika menemui kesulitan. Instruksi yang diberikan guru
menjadi antecedent (A) bagi subjek. Subjek merespons dengan diam saja (B), lalu
guru akan mendampingi subjek untuk melaksanakan aktivitas belajar (C).
Pendampingan dari guru menjadi konsekuensi positif bagi perilaku komunikasi
dan kemandirian belajar subjek.
Pada saat pulang sekolah, kepala sekolah berusaha menstimulasi
kemampuan komunikasi AG dengan bertanya, “AG mau apa?” Saat kepala
sekolah bertanya, AG menjawab, “AG mau pulang.” Jika tidak ditanya, maka AG
hanya diam saja dan langsung menuju mobilnya (W.KS.01.309-313).
Antecedent (A) Behavior (B) Concequence (C+)
Kepsek bertanya, AG berkata, Subjek diizinkan pulang
“AG mau apa?” “AG mau pulang”
Antecedent (A) Behavior (B) Concequence (C+)
Kepsek tidak bertanya AG diam saja Subjek diizinkan pulang
Antecedent (A) Behavior (B) Concequence (C+)
Guru memberi instruksi Subjek diam saja Guru mendampingi subjek
10
Dalam situasi menjelang pulang sekolah, terdapat inkonsistensi stimulus
yang menjadi antecendent. Kadang-kadang kepala sekolah bertanya pada subjek,
kadang-kadang juga tidak. Subjek merespons sesuai stimulus yang diterimanya,
yaitu menjawab jika ditanya dan tidak menjawab jika tidak ditanya. Akan tetapi,
apapun antecedent dan behavior yang mendahuluinya, konsekuensi yang diterima
subjek tetap sama, yaitu diperbolehkan pulang. Dalam kasus ini, tidak ada
differential reinforcement yang diterima oleh subjek sehingga perilaku
komunikasi subjek tidak dapat muncul secara konsisten.
Inisiatif AG untuk berkomunikasi pernah terlihat pada saat pelajaran
Sosialisasi ke minimarket. Begitu memasuki minimarket, AG langsung menuju
rak minuman. Ia berjalan bolak-balik di depan rak minuman. AG berkata,
“Teh..teh..” Guru menjawab, “Tidak, kita beli minyak goreng” (sambil mengajak
AG menjauhi rak minuman ringan). AG mengikuti guru (OB.04.127-141).
Dalam situasi tersebut, tampak bahwa berbelanja di supermarket menjadi
antecedent (A) yang menarik bagi subjek. Subjek langsung berjalan menuju rak
minuman (B), lalu guru mengikutinya (C). Antecedent (A) berikutnya adalah
adanya teh kotak di rak minuman minimarket. Saat itu juga subjek menunjukkan
perilaku berkomunikasi dengan mengatakan “Teh..teh..” (B). Sayangnya, perilaku
komunikasi yang telah ditunjukkan subjek tidak dikuatkan oleh guru. Guru
memberikan konsekuensi negatif dengan tidak memenuhi permintaan subjek dan
mengajak subjek menjauhi rak minuman. Konsekuensi negatif yang diterima
subjek menyebabkan peluang munculnya perilaku komunikasi subjek dalam
situasi yang sama menjadi lebih kecil.
11
2. Subjek 2 (SD)
Calon subjek kedua bernama SD. SD berusia 19 tahun dan berjenis kelamin
perempuan. SD didiagnosis mengalami infantile autism pada usia dua tahun
(W.ISD.01.39-40). Pada usia 3 tahun, SD mengikuti terapi wicara secara intensif
di sebuah lembaga terapi wicara di Jakarta. Terapisnya adalah lulusan Akademi
Terapi Wicara (W.ISD.01.84-86). Kata-kata pertama SD muncul pada usia 7-8
tahun, berupa ucapan “mama” dan “papa”. Mulai usia 10 tahun, SD dapat
memahami instruksi dalam kalimat panjang (W.ISD.01.90-94).
Menurut Ibu, kadang-kadang SD menunjukkan perilaku komunikasi di
rumah. Kata- kata yang diucapkan, misalnya: pipi (pipis), nasi, andu (handuk),
odo (odol), sabu (sabun), age (nugget), pempe (pampers pembalut), sepatu
(W.ISD.01.100-103). Subjek berkomunikasi dengan ibu saat membutuhkan
sesuatu.
Kalau misalnya dia mau sekolah, cari sepatu gitu, dia bilang, “Sepatu..sepatu..”
Ya seringnya langsung saya ambilkan. Karena biasanya kan pas dia minta itu
juga kita lagi ngapain gitu. Tapi kadang-kadang juga saya ajari sih, misalnya
saya minta menirukan, “Mana sepatu?” nanti SD menirukan “Mana sepatu?”
(Data wawancara W.ISD.01.119-125)
Antecedent (A) dalam situasi di atas adalah subjek membutuhkan sepatu.
Perilaku yang ditunjukkan subjek adalah mengatakan “Sepatu.. Sepatu..” (B).
Respons yang sering diberikan ibu adalah langsung memberikan sepatu (C).
Sepatu yang langsung diberikan oleh ibu menjadi konsekuensi positif bagi subjek.
Antecedent (A) Behavior (B) Concequence (C−)
Subjek melihat teh kotak Subjek berkata, Guru mengajak subjek
di minimarket “Teh..teh..” menjauhi rak minuman
12
Akan tetapi, ada situasi-situasi di mana ibu tidak langsung memberikan
benda yang diminta subjek. Dalam konteks ini, antecedent (A) berupa adanya
benda yang dibutuhkan subjek namun belum tersedia. Subjek menyebut nama
benda tersebut, misalnya sepatu (B). Ibu merespons dengan meminta subjek
menirukan, “Mana sepatu?” (C).
Menurut ibu, SD tidak suka ditanya-tanyai. Jika ada orang lain yang
bertanya padanya, respons SD biasanya adalah mengatakan “vios vios vios” lalu
pergi menjauh (W.ISD.01.105-108).
Saat di sekolah, SD sering duduk sendiri dan menutup telinganya.
Interaksinya dengan orang lain sangat terbatas. Peneliti hanya satu kali melihat
SD berkomunikasi, yaitu pada saat pelajaran Kriya. Saat itu SD sedang
menggunting kertas warna. Di dekatnya hanya ada gunting dan kertas warna,
sementara lem berada agak jauh dari SD. Sambil melihat lem, SD mengucapkan
“hem (lem)..hem (lem)..” pada siswa lain yang berada di dekat lem. Guru
kemudian mendekatkan lem tersebut ke arah SD, lalu SD melanjutkan aktivitas
menggunting dan menempel (OB.3.107-111).
Antecedent (A) Behavior (B) Concequence (C−)
SD tidak SD berkata, Ibu berkata,
menemukan sepatu “Sepatu..sepatu..” “Bilang: ‘Mana sepatu?’ ”
Antecedent (A) Behavior (B) Concequence (C+)
Ibu berkata, SD berkata, Ibu memberikan sepatu
“Bilang: ‘Mana sepatu?’ ” “Mana sepatu?”
Antecedent (A) Behavior (B) Concequence (C+)
Subjek melihat lem Subjek berkata, Guru langsung
“Hem..hem…” memberikan lem
13
Bentuk komunikasi lain yang terlihat dari SD adalah bahasa idiosinkratik
berupa ucapan “vios vios vios.” Dalam sebuah kesempatan, guru pernah bertanya
pada SD. SD tidak menjawab. Tangannya menutup telinga. Saat guru mengulang
pertanyaan, SD tetap menutup telinga sambil berkata “vios vios vios” (OB.5.154-
157).
Masalah-masalah komunikasi yang dialami oleh penyandang autisme
mendorong para ahli melakukan penelitian dan mengembangkan intervensi untuk
mengatasi permasalahan komunikasi pada penyandang autisme. Rogers dan
Goldstein (dalam Paul dan Sutherland, 2005) menyebutkan bahwa terdapat tiga
pendekatan dalam intervensi komunikasi pada penyandang autisme, yaitu:
1. Pendekatan didaktik (didactic approach)
Pendekatan didactic didasarkan pada teori perilaku dan
memanfaatkan teknik modifikasi perilaku, seperti massed trial, operant
conditioning, shaping, prompting, dan chaining. Reinforcement
digunakan untuk meningkatkan frekuensi perilaku yang diharapkan. Sesi-
sesi pengajaran dengan menggunakan pendekatan didactic ini melibatkan
kontrol yang tinggi dari orang dewasa, periode latihan yang diulang-
ulang, identifikasi anteseden dan konsekuensi yang tepat, dan peran klien
yang cenderung pasif. Orang dewasa yang terlibat dalam intervensi
mengarahkan dan mengontrol seluruh aspek interaksi.
2. Pendekatan naturalistik (naturalistic approach)
Pendekatan naturalistik berusaha menggabungkan prinsip-prinsip
behavioristik dengan lingkungan yang lebih alami. Pendekatan
14
naturalistik menitikberatkan pada intrinsic reinforcer, misalnya klien
merasa puas karena mendapatkan apa yang diinginkan dengan
berkomunikasi. Contoh: klien berkata, “Aku mau jus”, lalu klien
mendapatkan jus. Pendekatan naturalistik bertujuan agar klien memulai
komunikasi, daripada hanya sekedar berperan sebagai pemberi respons
dalam komunikasi.
3. Pendekatan developmental/pragmatik (developmental or pragmatic
approach)
Pendekatan ini memfokuskan pada penekanan komunikasi
fungsional, bukan sekedar berbicara. Pendekatan ini mendorong
perkembangan berbagai aspek komunikasi, seperti penggunaan bahasa
tubuh, tatapan mata, vokalisasi, serta mempertahankan perilaku-perilaku
tersebut sebagai awalan kemampuan berbicara. Aktivitas-aktivitas yang
dilakukan menyediakan kesempatan dan ajakan untuk berkomunikasi, di
mana orang dewasa merespons inisiasi komunikasi yang dilakukan oleh
klien dengan menghadiahkan kegiatan yang disenangi oleh klien.
Kemudian, klien ikut berinteraksi dan memilih topik pembicaraan atau
benda yang dapat menstimulasi terjadinya komunikasi. Orang dewasa di
sekitar klien bekerja keras membentuk lingkungan yang nyaman dengan
mengikuti keinginan klien dan memberikan dukungan pada klien jika ia
menunjukkan perilaku-perilaku yang menunjukkan bentuk-bentuk
komunikasi.
15
Paul dan Sutherland (2005) berpendapat bahwa pendekatan-pendekatan
dalam intervensi komunikasi pada penyandang autis lebih tepat jika dipandang
sebagai sebuah kontinum. Tabel 1. menunjukkan metode-metode intervensi
komunikasi pada penyandang autisme.
Tabel 1. Metode intervensi komunikasi pada penyandang autis
(Paul dan Sutherland, 2005)
Pendekatan
Didaktik
Pendekatan
Naturalistik
Pendekatan
Developmental-Pragmatik
Discrete Trial Instruction
(DRI)
Rapid Motor Imitation
(RMI)
Verbal Behavior
Prompt for Restructuring
Oral Muscular Phonetic
Targets
(PROMPT)
Teach Me Languange
Applied Behavior Analysis
(ABA)
Milieu Teaching
Picture Exchange
Communication Systems
(PECS)
Minimal Speech Approach
(MSA)
Child-Centered Approach
(Son Rise©, More Than
Words)
Relationship Development
Intervention (RDI)
Hanen©
Developmental, Individual-
difference, Relationship-
based (DIR)
Penyandang autisme memiliki kelebihan dalam memproses stimulus visuo-
spasial, namun di saat yang bersamaan memiliki kesulitan dalam mengelola
stimulus auditori (Harris, Handelman, dan Burton, 1990). Berdasarkan kelebihan
dan kekurangan yang dimiliki oleh penyandang autisme, maka pengembangan
strategi komunikasi berbasis visual dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
bahasa reseptif maupun ekspresif para penyandang autisme (Cafiero, 2001).
Menurut Skinner (1957), komunikasi juga adalah sebuah perilaku. Istilah
“berbicara” (speech) dinilai tidak cukup tepat untuk menyebut serangkaian
komunikasi antara individu dengan individu lain di lingkungannya. “Berbicara”
hanya mencakup aspek vokal atau suara, sementara ada aspek komunikasi visual
yang tidak tercakup dalam istilah tersebut.
16
Dalam pandangan Skinner, suatu perilaku baru dapat disebut sebagai
perilaku yang mengandung unsur komunikasi jika terdapat stimulus-kontrol antara
orang yang berbicara (speaker) dengan orang yang mendengarkan (listener) dan
diikuti dengan reinforcement dari pendengar kepada orang yang berbicara.
Skinner juga menambahkan bahwa kemampuan berbicara (speech) bukanlah hal
yang utama dalam verbal behavior. Dalam mendefinisikan verbal behavior, tidak
ada bentuk, cara, atau media spesifik yang ditentukan sebagai perantara
komunikasi. Pergerakan apapun dari individu yang mempengaruhi individu
lainnya dapat disebut sebagai verbal (Bondy, 2012).
Konsep verbal behavior yang dikemukakan Skinner menginspirasi Bondy
dan Frost untuk menyusun protokol intervensi komunikasi bagi anak autis (Bondy
dan Frost, 1994). Permasalahan utama yang dihadapi penyandang autisme adalah
gangguan komunikasi, bukan gangguan berbicara. Bondy dan Frost memandang
bahwa para penyandang autisme memiliki permasalahan dalam verbal behavior.
Seorang penyandang autisme bisa saja memiliki kemampuan berbicara, namun
belum tentu ia sedang melakukan verbal behavior. Hal ini tergantung pada dua
hal. Pertama, ada tidaknya stimulus-kontrol antara penyandang autisme sebagai
speaker dengan individu lain yang berperan sebagai listener. Kedua, ada-tidaknya
reinforcement yang diperantarai oleh orang lain (Bondy, 2012).
Bondy dan Frost (1994) mengembangkan Picture Exchange Communication
Systems (PECS) sebagai sebuah metode intervensi komunikasi pada penyandang
autisme dan gangguan komunikasi lainnnya. PECS dikembangkan agar individu
dapat melakukan komunikasi fungsional. Bondy dan Frost (1994; 2001)
17
mendefinisikan komunikasi fungsional sebagai perilaku yang ditujukan kepada
orang lain yang menyediakan sesuatu yang diharapkan. Komunikasi dengan
menggunakan PECS dilakukan dengan cara memilih gambar, mendekati pasangan
komunikasi, dan memberikan gambar tersebut pada pasangan komunikasi untuk
ditukar dengan benda yang ada dalam gambar (Conklin dan Mayer, 2011).
PECS termasuk augmentative and alternative communication (AAC).
Alternative, berarti PECS dapat menjadi cara lain dalam berkomunikasi, yaitu
dengan bertukar gambar dengan orang yang diajak berkomunikasi. Augmentative,
berarti PECS dapat menjadi metode yang melengkapi kemampuan komunikasi
yang telah dimiliki oleh individu (Bondy, 2001).
Paul (2008) menjelaskan bahwa Picture Exchange Communication Systems
(PECS) diawali dengan mengajarkan kemampuan meminta pada individu, dengan
cara menukarkan satu kartu untuk mendapatkan sebuah benda. Pada fase-fase
berikutnya, individu diajarkan untuk membentuk struktur kalimat sederhana.
PECS melatih individu untuk memiliki inisiatif dalam berkomunikasi dengan cara
meminta individu untuk memulai pertukaran kartu dengan partner komunikasinya
untuk mendapatkan benda yang diinginkan. Partner komunikasi menghindari
verbal prompt, seperti, “Kamu mau apa?” untuk membantu meningkatkan
spontanitas kemampuan meminta. Spontanitas dan generalisasi pertukaran kartu
diharapkan muncul dengan cara menjauhkan jarak antara individu dengan kartu-
kartu komunikasinya secara bertahap, menggunakan sistem PECS dalam beberapa
setting lingkungan yang berbeda, melibatkan banyak orang, dan fokus pada
reinforcer yang berbeda-beda.
18
PECS dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip applied behavior analysis
yang menggunakan strategi prompting, reinforcement, dan error correction secara
jelas dan spesifik pada masing-masing fase pelatihan (Bondy dan Frost, 2001).
Secara rinci, Bondy dan Frost (1994) menjelaskan teknik modifikasi perilaku
yang digunakan pada masing-masing fase PECS sebagaimana dipaparkan dalam
Tabel 2.
Tabel 2. Pelatihan PECS: Keterampilan, Prosedur, dan Penjelasan Tambahan
(Bondy dan Frost, 1994) Fase Keterampilan Prosedur Penjelasan Tambahan
I Menyampaikan permintaan
melalui pertukaran kartu
bergambar
Fading of phisical
prompts with backward
chaining
Repeated discrete trials
Incidental teaching
a) Trainer hanya memberikan isyarat
yang menunjukkan adanya perhatian
b) Melibatkan trainer yang bervariasi
c) Melakukan asesmen reinforcer secara
berkala
II Meningkatkan spontanitas
siswa Shaping
Repeated disrete trials
Incidental teaching
a) Melibatkan trainer yang bervariasi
b) Melakukan asesmen reinforcer secara
berkala
III Membedakan kartu-kartu
bergambar Discrimination training
Anticipatory prompting
Repeated disrete trials
Incidental teaching
a) Menggali keterampilan diskriminasi
sebelum memulai
b) Melakukan cek korespondensi
c) Melakukan asesmen reinforcer secara
berkala
IV Menyampaikan permintaan
dalam bentuk frase Backward chaining
Repeated discrete trials
Incidental teaching
a) Melanjutkan cek korespondensi
b) Melakukan asesmen reinforcer secara
berkala
V Menjawab, “Kamu mau
apa?” Delayed prompting
Repeated discrete trials
Incidental teaching
a) Menyediakan kesempatan untuk
meminta secara spontan
b) Melakukan asesmen reinforcer secara
berkala
VI Memberikan komentar Delayed prompting
Discrimination training
Repeated discrete trials
Incidental teaching
a) Menguatkan permintaan dan
komentar yang muncul secara tepat
b) Melakukan asesmen reinforcer secara
berkala
Awalnya PECS dikembangkan untuk penyandang autisme anak-anak.
Bondy dan Frost (1994) pertama kali menggunakan PECS pada seorang anak
penyandang autisme. Setelah itu, Bondy dan Frost menggunakan PECS dalam
setting sekolah. PECS diberikan pada 85 orang penyandang autisme anak-anak
yang tidak memiliki kemampuan komunikasi fungsional sebelumnya. Pasca
19
intervensi, 95% subjek menunjukkan komunikasi fungsional dengan cara
menukarkan satu hingga dua kartu untuk mendapatkan benda yang diinginkan
(Bondy dan Frost, 2001).
Schwartz, Garfinkle, dan Bauer (1998) mengadakan dua penelitian
mengenai penggunaan PECS pada anak usia dini yang mengalami severe
disabilities. Penelitian pertama melibatkan 31 anak usia dini yang mengalami
severe communication delays and disorders. Ketiga puluh satu anak tersebut
diberikan pelatihan singkat untuk berkomunikasi dengan menggunakan PECS.
Penelitian kedua melibatkan 18 dari 31 anak yang mengikuti penelitian pertama.
Para subjek diberi pelatihan penggunaan PECS selama 12 bulan, dengan setting
yang beragam dan pasangan komunikasi yang berganti-ganti. Hasilnya, 44%
subjek memiliki keterampilan komunikasi non verbal yang spontan dan non-
echoic pasca mengikuti pelatihan PECS tahap dua.
PECS merupakan metode intervensi yang efektif untuk meningkatkan
kemampuan komunikasi pada penyandang autisme (Ganz, Simpson, dan Lund,
2012). Sulzer-Azaroff, Hoffman, Horton, Bondy, dan Frost (2009) melakukan
studi terhadap tiga puluh empat penelitian peer reviewed mengenai PECS yang
dpublikasikan dalam rentang waktu 1994-2008. Kesimpulan yang diperoleh
adalah PECS merupakan metode yang efektif bagi individu yang tidak berbicara
atau memiliki kemampuan berbicara yang terbatas. Efektivitas PECS sebagai
sebuah metode intervensi juga didukung oleh metodologi penelitian yang kuat.
Studi meta-analisis yang dilakukan oleh Hard dan Banda (2010) terhadap 13
penelitian kasus tunggal mengenai efektivitas PECS menunjukkan bahwa PECS
20
terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan komunikasi fungsional
penyandang disabilitas. Pada beberapa kasus, PECS bahkan dapat menurunkan
masalah perilaku dan meningkatkan kemampuan berbicara.
PECS sudah terbukti menjadi metode yang efektif bagi anak-anak yang
memiliki kesulitan dalam berkomunikasi, oleh karena itu PECS juga dapat
digunakan untuk individu remaja dan dewasa yang memiliki karakteristik
kemampuan komunikasi yang sama (Stoner et. al., 2006).
Penelitian mengenai pengaruh PECS pada individu dewasa pernah
dilakukan oleh Stoner et al. (2006). Penelitian bertujuan untuk mengukur
efektivitas PECS dalam meningkatkan keterampilan komunikasi fungsional pada
lima individu dengan retardasi mental berusia 22-31 tahun. Kelima subjek
penelitian yang tadinya tidak memiliki kemampuan komunikasi fungsional
menunjukkan perkembangan yang berbeda-beda pasca intervensi. Tiga orang
subjek dapat menguasai PECS fase I-IV dengan cepat dan mampu menggunakan
PECS untuk berkomunikasi di rumah dan lingkungan sekitar. Sementara dua
subjek lainnya menunjukkan sedikit perkembangan dan hanya mendapatkan
sedikit manfaat dari PECS.
Ziomek dan Rehfeldt (2008) melakukan penelitian untuk membandingkan
efektivitas PECS dan bahasa isyarat pada individu dengan retardasi mental.
Subjek penelitian terdiri dari tiga individu berusia 42-52 tahun. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dua dari tiga orang subjek dapat menguasai PECS fase 1-3
dan bahasa isyarat. Waktu yang diperlukan subjek untuk menguasai PECS lebih
singkat daripada waktu yang dibutuhkan untuk menguasai bahasa isyarat. Subjek
21
pertama menguasai PECS dalam 34 sesi, sementara bahasa isyarat dalam 62 sesi.
Subjek kedua menguasai PECS dalam 15 sesi, sementara bahasa isyarat dalam 20
sesi.
Conklin dan Mayer (2011) juga melakukan penelitian untuk mengetahui
efektivitas PECS pada individu dewasa. Subjek penelitian terdiri dari tiga orang,
yaitu seorang penyandang retardasi mental berat berusia 38 tahun, seorang
penyandang cerebral palsy berusia 51 tahun, dan seorang penyandang down
syndrome berusia 23 tahun. PECS diberikan selama 20 sesi, dengan durasi 15
menit pada setiap sesi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PECS meningkatkan
kemampuan subjek untuk menginisiasi komunikasi. Penelitian juga mengukur
collateral effect berupa adanya penurunan perilaku off task dan tantrum pada
subjek. Salah satu rekomendasi yang dari penelitian ini adalah mengenai waktu
pelaksanaan PECS. Conklin dan Mayer (2011) merekomendasikan pelatihan
PECS dilakukan selama 26 sesi, dengan durasi selama 15 menit pada masing-
masing sesi.
Penelitian mengenai PECS tidak hanya dilakukan di negara-negara maju. Di
Yogyakarta, penelitian mengenai efektivitas PECS pernah dilakukan oleh
Trunoyodho (2009). Penelitian bertujuan untuk mengetahui penggunaan Picture
Exchange Communication System (PECS) fase I-IV dalam meningkatkan level
kemampuan perilaku meminta pada anak autis tipe non verbal. Penelitian
dilakukan terhadap dua orang anak autis usia 4 dan 6 tahun. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kemampuan meminta subjek mengalami peningkatan setelah
mendapatkan intervensi PECS fase I-IV.
22
Efektivitas PECS juga terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Sukinah
(2011). Subjek penelitian terdiri dari empat orang anak autis usia 7-10 tahun. Dua
subjek sudah dapat berkomunikasi verbal, sementara dua subjek lainnya tergolong
anak autis non verbal. Keempat subjek mendapatkan intervensi PECS fase I-VI.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat subjek mengalami peningkatan
kemampuan komunikasi.
Efektivitas PECS dalam meningkatkan kemampuan komunikasi fungsional
telah terbukti dalam berbagai penelitian. Akan tetapi, belum ada penelitian yang
secara spesifik melihat efektivitas PECS bagi penyandang autisme remaja.
McDonald dan Machalicek (2013) menyebutkan bahwa intervensi yang banyak
digunakan untuk menangani remaja autis merupakan intervensi yang tadinya
ditujukan untuk anak-anak, lalu diadaptasi sesuai kebutuhan remaja autis. Tanpa
adanya evaluasi yang terstruktur dan ilmiah, sulit untuk menyimpulkan efektivitas
suatu intervensi terhadap remaja autis.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas PECS dalam
meningkatkan kemampuan komunikasi fungsional pada remaja autis. Hipotesis
dalam penelitian ini adalah metode PECS dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi fungsional remaja autis. Kriteria yang digunakan untuk mengukur
efektivitas PECS dalam penelitian ini adalah:
1. Subjek mampu menguasai PECS fase I-VI, dengan kriteria keberhasilan
sebesar 80% pada masing-masing fase
2. Subjek mampu menggunakan PECS di luar sesi intervensi, dengan pasangan
komunikasi yang berbeda-beda