Upload
irni-madyartii
View
126
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
BAB 1BAB 2BAB 3BAB 4
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae), istilah kusta
berasal dari bahasa India, yakni kushtha yang berarti kumpulan gejala kulit secara
umum. Kusta sering disebut lepra, lionthiasis, elephanthiasis graecorum, zaraath,
hansenosis, lepra arabum dan morbus hansen. (Kosasih, 2008). Kusta menyerang
saraf tepi, kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis, kecuali susunan saraf pusat.
(James, 2006). Selain menyebabkan kelainan pada kulit dan merusak saraf tepi,
kusta juga menyebabkan kecacatan sehingga menimbulkan masalah secara
ekonomi, psikis dan sosial karena memberikan stigma yang sangat besar pada
pasien dan masyarakat. (Wisnu, 2003).
Data dari World Health Organization (WHO) diperkirakan jumlah pasien
baru kusta di dunia pada tahun 2006 adalah 259.017 orang. Dari jumlah tersebut
paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (174.118) diikuti regional
Amerika (47.612), regional Afrika (27.902), dan sisanya berada di regional lain di
dunia. (Depkes, 2007)
Pertengahan tahun 2000 jumlah pasien kusta di Indonesia sebanyak 20.724
kasus. Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan pasien baru
kusta yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 kasus pada tahun 2002.
Propinsi yang paling sedikit menemukan pasien baru kusta adalah Bengkulu, yaitu
8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002. (Rachmat, 2003)
Propinsi Sumatera Selatan (Sumsel) menduduki peringkat 17 nasional
sebagai propinsi yang memiliki pasien kusta terbanyak di Indonesia. Data Dinas
Kesehatan mencatat, jumlah kusta di Sumsel pada 2009 mencapai 220 kasus, dan
pada 2010 menjadi 225 kasus. Daerah endemik kusta di Sumsel adalah Kota
1
2
Palembang, Kabupaten Banyuasin, Muaraenim, Pagaralam, Musi Banyuasin
(Muba) dan Kota Prabumulih. (Sagita, 2010)
Salah satu masalah pada kusta adalah kecacatan. Kecacatan terjadi akibat
gangguan fungsi saraf. Semakin lama kusta didiagnosis maka semakin besar
risiko kecacatan, oleh karena itu diagnosis dini, perawatan diri dan kepatuhan
pengobatan dapat mencegah kecacatan. Diduga kecacatan kusta dapat terjadi
melalui 2 proses, yaitu: infiltrasi langsung M. leprae ke susunan saraf tepi dan
melalui reaksi kusta. (Depkes, 2007)
Pada reaksi kusta terjadi proses inflamasi akut yang menyebabkan
kerusakan saraf. Apabila penanganan reaksi kusta terlambat atau tidak adekuat,
dapat mengakibatkan kecacatan. (Depkes, 2007). Pada penelitian Liendhardt
(1994), menemukan lebih dari sepertiga kecacatan terjadi karena reaksi tipe I.
Dalam penelitian Gunadi (2000), menyatakan bahwa reaksi kusta merupakan
salah satu faktor risiko kecacatan. Reaksi kusta diharapkan dapat ditangani dengan
cepat dan tepat sehingga dapat menghindari kecacatan.
Salah satu faktor penting untuk mencegah kecacatan kusta adalah
memonitor fungsi saraf. Kerusakan fungsi saraf hanya dapat dideteksi dengan
pemeriksaan fungsi saraf secara berkala karena itu perawatan diri yang baik
sangat diperlukan agar kecacatan tidak bertambah berat. (Estianingsih, 2006) .
Menurut hasil penelitian Kurnianto (2002), pasien kusta yang tidak melakukan
perawatan diri memiliki risiko kecacatan 4 kali lebih tinggi daripada pasien yang
melakukan perawatan diri.
Penelitian Smith (1992) menemukan bahwa terdapat beberapa faktor risiko
yang mempengaruhi kecacatan kusta yaitu: usia, jenis kelamin, tipe kusta, lama
menderita kusta, reaksi kusta, kepatuhan pengobatan, faktor sosial ekonomi,
pendidikan dan pekerjaan. Menurut Brakel dan Kaur (2002), Status pendidikan
dan pengetahuan yang rendah merupakan faktor yang mempengaruhi dalam
kepatuhan pengobatan dan perawatan diri. Menurut Kuniarto (2002), terdapat
beberapa faktor risiko yang mempengaruhi kecacatan pasien kusta, yaitu:
pekerjaan, status ekonomi, lama sakit, kepatuhan pengobatan, reaksi kusta, lokasi
lesi dan perawatan diri.
3
Angka kejadian kecacatan kusta masih tinggi, yaitu sekitar 1.500 kasus
kecacatan tingkat 2 tiap tahun di Indonesia. Secara kumulatif sejak tahun 1990 -
2009, terdapat sekitar 30.000 kasus kecacatan tingkat 2. Oleh karena itu, dengan
melihat besar beban akibat kecacatan kusta, WHO mencanangkan target "Global
Strategy for Further Reducing the Disease Burden Due to Leprosy 2011-2015"
yakni menurunkan 35% angka kecacatan tingkat 2 pada tahun 2015. (Zila, 2010)
Data dan fakta di atas menyebutkan bahwa angka kejadian kusta masih
sangat tinggi. Masalah semakin diperberat dengan peningkatan kecacatan kusta di
Indonesia. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan tentang penanganan yang
cepat dan tepat terhadap reaksi kusta dan perawatan diri.
Berdasarkan latar belakang maka diajukan pertanyaan penelitian sebagai
berikut yaitu: apakah reaksi kusta dan perawatan diri berhubungan terhadap
kecacatan pasien kusta di RSK. Dr Rivai Abdullah Palembang.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka permasalahan yang dapat diangkat
pada penelitian ini adalah :
1. Apakah ada hubungan antara reaksi kusta terhadap kecacatan pasien kusta.
2. Apakah ada hubungan antara perawatan diri terhadap kecacatan pasien
kusta.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan reaksi kusta dan perawatan diri terhadap kecacatan
pasien kusta di RSK Dr. Rivai Abdullah Palembang pada tahun 2012.
1.3.2. Tujuan Khusus
4
1. Menentukan hubungan reaksi kusta terhadap kecacatan pasien kusta di
RSK Dr. Rivai Abdullah Palembang tahun 2012
2. Menentukan hubungan perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta di
RSK Dr. Rivai Abdullah Palembang tahun 2012
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi, pengetahuan,
dan wawasan tentang tingkat kecacatan kusta dan hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai salah satu sumber acuan untuk penelitian lebih lanjut.
1.4.2. Manfaat praktis
Dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan kepedulian terhadap kesehatan
kulit, khususnya dalam hal pencegahan kecacatan kusta yang dapat
dicegah dengan diagnosis dini reaksi kusta dan perawatan diri.
1.5. Keaslian penelitian
Penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian yang dilakukan
Kurnianto (2002), Susanto (2006) dilihat dari tahun penelitian, tempat penelitian,
jumlah populasi dan sampel penelitian. Pada penelitian ini peneliti mengambil
judul hubungan reaksi kusta dan perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta
di RSK Dr.Rivai Abdullah Palembang tahun 2012. pada penelitian ini adalah
desain penelitian potong lintang dengan penelitian survei analitik. Penelitian ini
akan dilaksanakan di RSK Dr.Rivai Abdullah Palembang.
Kurnianto (2002), rancangan penelitian yang digunakan adalah case control
yang berjudul faktor risiko yang berhubungan dengan kecacatan kusta di
kabupaten Tegal dan penulis menyimpulkan bahwa adanya hubungan antara
beberapa faktor risiko karasteristik individu, aspek klinis kusta dan aspek
pengobatan terhadap kecacatan pada Penderita kusta di Kabupaten Tegal
5
Susanto (2006) dalam tesis yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan
dengan tingkat kecacatan penderita kusta dengan memakai rancangan penelitian
potong lintang. Penulis menyimpulkan bahwa antara umur, pendidikan, tipe kusta,
reaksi kusta, pengetahuan, dignosis, dan perawatan diri dengan tingkat kecacatan
didapatkan hubungan yang bermakna pada α = 0,05 sedangkan diantara jenis
kelamin, lama sakit, dan lama kerja dengan tingkat kecacatan tidak mempunyai
hubungan yang bermakna pada α = 0,05.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Sejarah
Kusta sudah tercatat di Kitab Veda kira-kira 1400 SM di India dan Kitab
Hukum Nabi Musa di Timur Tengah. Sementara itu di Eropa kusta sudah terkenal
sejak zaman Hippocrates, dan di Cina sejak sekitar 600 SM (Sjamsuhidayat,
2004)
Danielssen & Boeck memberikan gambaran tentang kusta modern
pertama, dan tahun 1870-an Gerhard Henrik Hansen Armauer melakukan
penelitian mikrobiologi dan epidemiologi dari M. leprae dan pada tahun 1966,
Ridley & Jopling menunjukkan klasifikasi kusta. (James, 2006)
2.1.2. Epidemiologi
A. Distribusi kusta berdasarkan tempat
Kusta tersebar di dunia mulai dari Afrika, Amerika, Asia Tenggara,
Mediterania Timur dan Pasifik Barat. Jumlah pasien kusta di dunia tahun 1997
sebanyak 888.340 orang. Pada tahun 2007 sekitar 296.499 orang. Menurut
regional WHO situasi kusta pada tahun 2007 ditampilkan pada Tabel 2.1.
(Depkes, 2006)\
Tabel 2.1 Keadaan Kusta pada tahun 2007
Regional WHO Prevalensi awal 2007 Kasus baru dilaporkan selama tahun 2007
AfrikaAmerikaAsia TenggaraMediteran TimurPasifik Barat
40.830 (0,56)32.904 (0,39)133.422 (0,81)4.024 (0,09)8.646 (0,05)
42.814 (5,92)41.780 (4,98)201.635 (12,17)3.133 (0,67)7.137 (0,41)
Total 219.826 296.499
Sumber : Depkes, 2006
B. Distribusi kusta berdasarkan usia
Angka kejadian kusta meningkat pada usia 10-20 tahun. Kusta
dapat mengenai semua usia dan terbanyak pada usia 15-29 tahun. Kejadian
7
kusta sering terjadi pada usia pasien saat ditemukan daripada saat
timbulnya kusta (Depkes, 2006).
C. Distribusi kusta berdasarkan jenis kelamin
Kusta dapat mengenai laki laki dan perempuan. Menurut
Louhennpessy dalam Buletin Penelitian Kesehatan bahwa kusta pada laki-
laki 2,3 kali lebih banyak dibandingkan perempuan (Depkes, 2007).
2.1.3. Etiologi
Penyebab kusta adalah M. leprae, yang menular kepada manusia melalui
kontak langsung dengan pasien dan melalui pernapasan dengan masa inkubasi
antara 40 hari sampai 40 tahun, dengan rata-rata 3-5 tahun (Kosasih, 2008)
M.Leprae
Gambar 2.1. Bakteri M. leprae
Sumber : Depkes, 2006
2.1.4. Patogenesis
Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui,
beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering melalui kulit yang
lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh
M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas (Amirudin, 2003).
M. leprae terdapat pada sel magrofag di sekitar pembuluh darah superficial
pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila kuman M. leprae masuk ke
dalam tubuh, maka tubuh akan mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit
darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya. Bila terjadi gangguan
imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat beraktivasi. Akibatnya akan
terjadi kerusakan saraf yang progresif (Amirudin, 2003).
2.1.5. Diagnosis
8
Diagnosis kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal, yaitu :
a) Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa
raba, suhu dan nyeri.
b) Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan
fungsi saraf yang terkena, yaitu :
1. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
2. Gangguan motoris : paresis atau paralisis
3. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema.
c) Ditemukan basil tahan asam (BTA)
Untuk menegakkan diagnosis kusta, paling sedikit ditemukan satu tanda
normal, bila tidak ditemukan perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan
sampai diagnosis dapat ditegakkan (Amirudin, 2003).
2.1.6. Klasifikasi
Tujuan klasifikasi kusta dalam program pemberantasan adalah untuk
menentukan rejimen pengobatan, mengetahui prognosis, perencanaan operasional
serta mengidentifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita kecacatan
(Amirudin, 2003).
Adapun beberapa klasifikasi kusta yang biasa digunakan, antara lain:
A. Klasifikasi Madrid (1953)
9
Klasifikasi Madrid disebut juga klasifikasi Internasional. Pada klasifikasi
ini terbagi menjadi 4, yaitu (Kosasih, 2008):
a) Intermediate (I)
b) Lepromatosa (L)
c) Borderline – Dimorphous (B)
d) Tuberkuloid (T)
B. Klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988)
Klasifikasi WHO (1997) diterapkan dalam program pemberantasan penyakit
kusta di Indonesia. Klasifikasi ini dibagi menjadi 2, yaitu (Kosasih, 2008):
a) Pausibasiler (PB) : kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan
BTA negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T
menurut klasifikasi Madrid.
b) Multibasiler (MB) : kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian kecil BT
menurut kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid
dan semua tipe kusta dengan BTA positif
C. Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)
Berdasarkan gambaran imunologis, Ridley dan Jopling
membagi tipe kusta menjadi 5, yaitu (Tabel 2.2) (Kosasih, 2008):
a) Tuberkoloid (TT)
b) Borderline lepromatosa (BL)
c) Lepromatosa (LL)
d) Borderline tubercoloid (BT)
e) Mid borderline (BB)
a b
c d
e f
10
Gambar 2.2. Manifestasi klinik kusta berdasarkan klasifikasi Ridley dan Jopling. a. Kusta tipe TT,b. Kusta tipe TT, c. Kusta tipe BB, d. Kusta BT e. Kusta tipe BL, f. Kusta tipe LL Sumber: Amirudin, 2003 dan Wolff, 2009
Tabel. 2.2 Perbedaan Tipe Kusta berdasarkan Klasifikasi Ridley-Jopling
Sifat TT BL LL BT BB
LesiBentuk Makula dbatasi
infiltratMakula, plak, papul Makula, infiltrat difus,
papul, nodusMakula dibatasi infiltrat
Plak, lesi berbntuk kubah, lesi punched-out
Jumlah Satu atau beberapa Susah, tapi ada kulit sehat Tidak terhitung, tidak ada kulit sehat
Satu dgn lesi satelit Bisa dihitung kulit sehat (+)
Distribusi Terlokalisasi, asimetris
Hampir simetris Simetris Asimetris Asimetris
Permukaan Kering, skuama Halus dan berkilap Halus dan berkilap Kering, skuama Agak kasar, agak berkilap
Batas Jelas Agak jelas Tidak jelas Jelas Agak jelasAneste sia Jelas Tidak jelas Biasanya tidak jelas Jelas Lebih jelasBTALesi kulit Negatif Banyak Banyak (globi) Negatif atau 1 + Agak banyak
Sekret hidung -- Biasanya tidak ada Banyak (globi) --- Tidak ada
Tes lepromin Positif kuat (3+) Negatif Negatif Positif(2 +) Biasanya negatif, bisa (±)
Sumber: Amirudin, 2003
11