23
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi masih menjadimasalah utama kesehatan di Indonesia termasuk infeksi jamur atau mikosis. !ikosis "aru adalah gangguan "aru #termasuk saluran na"as$ yang dise%a%kan oleh infeksi j atau reaksi hi"ersensitifitas terhada" jamur. &rekuensi mikosis "aru meningkat dalam %e%era"a tahun terakhir seiring dengan meningk jumlah "asien yang mengalami gangguan sistem imun misalnya " keganasan trans"lantasi organinfeksi HI'( AID) "enyakit kronik sistemik mau"un terda"atnya faktor resiko misalnya "enggunaan ja "anjang anti%iotik dan kortikosteroid. !ikosis "aru yang "ali dila"orkan adalah Pneumo*ystis Pneumonia #P+P$. # Anna ,o-aliyani dkk /11$ Pneumo*ystis "neumonia #P+P$ dise%a%kan oleh organisme yang dise%ut Pneumo*ystis jiro0e*i. Penyakit ini meru"akan salah satu "eny kematian"enderita immuno*om"romised antaralain "ada A* uired Immunodefi *ien*y )yndrome #AID)$. Pneumo*ystis "ertama kali dikemukakanoleh +hagas "ada tahun 12/2 dan digolongkan se%agai "roto-oa. Analisis DNA tahun1233 menjelaskan %ah4a Pneumo*ystis adalah jamur. 5erda"at "er%edaan DNA antara P.jiro0e*i #deri0at manus dan P. *arinii #deri0ate tikus "er*o%aan$ sehingga untuk manusia dina menjadi P. jiro0e*ii "ada tahun // . #Lee )A. //6$ #!iller , Huang //7.$ )elama dekade 123/8an di Amerika )erikat di"erkirakan 9:; "enderita Human Immunodefi*ien*y 'irus #HI'$ akan menderita P+P selama hidu"nya. A4al e"idemik insidens P+P ham"ir / kasus "er 1// 1

Bab 1, 2, & 3new

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sdds

Citation preview

22

BAB 1

PENDAHULUAN1.1 Latar BelakangPenyakit infeksi masih menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia, termasuk infeksi jamur atau mikosis. Mikosis paru adalah gangguan paru (termasuk saluran napas) yang disebabkan oleh infeksi jamur atau reaksi hipersensitifitas terhadap jamur. Frekuensi mikosis paru semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya jumlah pasien yang mengalami gangguan sistem imun misalnya pasien keganasan, transplantasi organ, infeksi HIV/ AIDS, penyakit kronik sistemik, maupun terdapatnya faktor resiko misalnya penggunaan jangka panjang antibiotik dan kortikosteroid. Mikosis paru yang paling sering dilaporkan adalah Pneumocystis Pneumonia (PCP). ( Anna Rozaliyani, dkk 2011)Pneumocystis pneumonia (PCP) disebabkan oleh organisme yang disebut Pneumocystis jiroveci. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab kematian penderita immunocompromised, antara lain pada Acquired Immunodefi ciency Syndrome (AIDS). Pneumocystis pertama kali dikemukakan oleh Chagas pada tahun 1909 dan digolongkan sebagai protozoa. Analisis DNA tahun 1988 menjelaskan bahwa Pneumocystis adalah jamur. Terdapat perbedaan DNA antara P.jiroveci (derivat manusia) dan P. carinii (derivate tikus percobaan) sehingga untuk manusia dinamakan menjadi P. jirovecii pada tahun 2002. (Lee SA. 2006) (Miller R, Huang L. 2004.)Selama dekade 1980-an di Amerika Serikat diperkirakan 75% penderita Human Immunodeficiency Virus (HIV) akan menderita PCP selama hidupnya. Awal epidemik, insidens PCP hampir 20 kasus per 100 penderita HIV dengan Cluster of differentiation (CD)4 kurang dari 200 sel/mm3. Profi laksis PCP yang dikenalkan pertama kali tahun 1989 dan penggunaan kombinasi terapi Anti Retroviral (ARV) tahun 1996 menurunkan insidens PCP. Centre for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan bahwa PCP menurun 3,4 % selama periode 1992-1995 dan turun 21,5% selama 1996-1998. Studi EuroSIDA mendapatkan insidens PCP turun dari 4.9 kasus sebelum Maret 1995 menjadi 0,3 kasus per 100 penderita setelah Maret 1998.2 Pneumocystis pneumonia merupakan infeksi oportunistik serius penderita HIV walaupun dilaporkan insidensnya menurun. Pneumocystis pneumonia meningkat di negara dengan pendapatan kapita yang rendah sampai sedang. Sejumlah 38.6% dari 83 penderita HIV di Uganda yang dirawat di RS dengan pneumonia dan pada pemeriksaan sputum Batang Tahan Asam (BTA) negatif didiagnosis PCP dengan pemeriksaan Bronchoalveolar lavage (BAL).1.2 Tujuan PenulisanPenulisan referat ini bertujuan untuk memahami definisi & etiologi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis , diagnosis, terapi serta prognosis pasien dengan Pneumocystis pneumonia.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1 Anatomi Paru-ParuParu-paru merupakan organ yang lunak, spongious dan elastis, berbentuk kerucut atau konus, terletak dalam rongga toraks dan di atas diafragma, diselubungi oleh membran pleura. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) yang tumpul di kranial dan basis (dasar) yang melekuk mengikuti lengkung diphragma di kaudal. Pembuluh darah paru, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus.( Price SA, Wilson LM. 2005)

Paru-paru kanan mempunyai 3 lobus sedangkan paru-paru kiri 2 lobus. Lobus pada paru-paru kanan adalah lobus superius, lobus medius, dan lobus inferius. Lobus medius/lobus inferius dibatasi fissura horizontalis; lobus inferius dan medius dipisahkan fissura oblique. Lobus pada paru-paru kiri adalah lobus superius dan lobus inferius yg dipisahkan oleh fissura oblique. Pada paru-paru kiri ada bagian yang menonjol seperti lidah yang disebut lingula. Jumlah segmen pada paru-paru sesuai dengan jumlah bronchus segmentalis, biasanya 10 di kiri dan 8-9 yang kanan. Sejalan dgn percabangan bronchi segmentales menjadi cabang-cabang yg lebih kecil, segmenta paru dibagi lagi menjadi subsegmen-subsegmen.( Price SA, Wilson LM. 2005)

2.2 Definisi & Etiologi Pneumocystis pneumonia selanjutnya disebut PCP merupakan penyakit oportunistik pada infeksi HIV (human immunodefi ciency virus) yang disebabkan oleh Pneumocystis jiroveci. Infeksi Pneumocystis pneumonia terjadi bila kadar CD4 penderita kurang dari 200 sel/mm3. (Fajar YM ,2013) Organisme ini pertama kali diidentifikasi oleh Carlos Chagas pada tahun 1909 dari paru guinea pig di Sao Paulo, Brazil dan Antonio Carinii dari paru tikus yang terinfeksi. Chagas menemukan bentuk kista pneumocystis dari bagian siklus hidup yang dahulu diduga suatu Tripanosoma (trypanosoma cruzi) dari jenis protozoa. Pada tahun 1988 melalui analisis DNA ditemukan bahwa Pneumocystis merupakan golongan jamur tanpa komponen ergosterol dalam dinding selnya.( Han K, Mra R, Saw H, Naing W,2003)

Kemudian pada tahun 1999 dilakukan pengelompokan yang lebih spesifik secara taksonomi berdasarkan analisis DNA. (Thomas CF, Limper AH, 2007). Pneumocystis pneumonia pada manusia disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii yang berbeda dengan Pneumocystis carinii. Dari dua spesies pneumocystis, pneumocystis carinii hanya ditemukan pada hewan tikus dan mamalia sedangkan pneumocystis jirovecii hanya ditemukan pada manusia. Pneumocystis jirovecii adalah jamur yang bersifat patogen karena kasusnya yang sering ditemukan sebagai penyebab pneumonia pada pasien immunodeficiency. Contoh orang-orang yang berisiko meliputi pasien dengan pengobatan anti neoplastik, malnutrisi protein, penggunaan obat-obat immunosuppressive dan glukokortikoid, orang-orang dengan penyakit keganasan hematologi (leukemia, limfoma, multiple myeloma) serta orang-orang dengan infeksi HIV. (Viegas C, MacGregor RR, Collman RG,1997)2.3 Epidemiologi

Distribusinya luas di seluruh dunia, dapat menginfeksi manusia dan hewan. Pada manusia, PCP lebih sering terjadi secara sporadik, jarang menimbulkan epidemic (Johnson et al, 1970; Peneralet al, 1970) dan terjadi pada semua golongan umur (Singer et al, 1975). PCP biasanya terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh yang menurun, seperti pada penderita AIDS, serta bayi dan balita yang premature dan mengalami malnutrisi (kurang gizi). Sebelum adanya epidemic AIDS pada awal 1980-an, PCP jarang terjadi dan biasanya diderita oleh pasien dengan malnutrisi protein atau penderita ALL (Acute Lymphocytic Leukemia), atau pada pasien pasien yang mendapat terapi kortikosteroid. Sekarang infeksi oportunistik ini umumnya sering dihubungkan dengan dengan infeksi HIV lanjut. Di negara berkembang insidennya tidak diketahui dengan pasti karena data belum tersedia. Sebelum penggunaan obat-obat profilaksis, hampir 80% kasus AIDS menderita PCP ( Bellamy R,2005). Pada saat awal epidemi HIV, kejadian PCP pada anak HIV adalah 1,3 kasus per 100 anak-tahun dari bayi sampai remaja dan meningkat menjadi 9,3 kasus per 100 anak-tahun pada tahun pertama kehidupan. Namun terjadi penurunan insiden PCP dari tahun 1992-1997.2.4 PatogenesisPenularan Pneumocystis pneumonia terjadi melalui respiratory droplet infection, terhirup atau kontak langsung dengan penderita dalam bentuk infektifnya yaitu kista. Dilaporkan pula bahwa transmisi dapat terjadi secara in utero dari ibu ke bayi yang dikandungnya namun dengan trofozoid sebagai bentuk infektifnya. Dalam bentuk kista Pneumocystis jirovecii terhirup oleh manusia dan sampai ke alveoli dan melekat pada permukaan sel alveolar tipe I. Perlekatan itu diperantarai oleh major surface glycoprotein (MSG) yaitu suatu antigen yang paling banyak ditemukan pada permukaan sel pneumocystis dan berperan penting dalam interaksinya dengan pejamu serta menimbulkan suatu respon imun. Individu dengan sistem imun intak akan mengontrol infeksi primer itu dan mikroorganisme tersebut tetap berada di dalam paru secara laten. Penyakit akan muncul bila suatu ketika terjadi gangguan atau defisiensi sistem imun. (Sepkowitz A,2002) ( Onishi A, Sugiyama D, Kogata Y, Saegusa J, et.al, 2011)Pada proses infeksi lebih lanjut di alveoli pneumocystis jirovecii akan berkembang biak di paru dan menstimulasi pembentukan eksudat yang eosinofilik yang mengisi ruang alveoli. Eksudat mengandung histiosit, limfosit dan sel plasma yang menyebabkan kerusakan alveoli paru sehingga menurunkan fungsi difusi sebagai bagian dari proses oksigenasi. Pada keadaan lanjut interstisium paru menebal (edema interstitial) dan menjadi fibrosis. Pada akhirnya dapat terjadi kegagalan proses difusi di paru dikarenakan blokade alveoli hingga ke bronchial oleh massa jamur yang berproliferasi.( Thomas CF, Limper AH,2007) ( Onishi A, Sugiyama D, Kogata Y, Saegusa J, et.al, 2011)Dinding alveoli yang menebal dan alveoli sendiri yang berisi eksudat eosinofilik, yang mengandung histiosit, limfosit sel plasma dan mikroorganisme itu sendiri memberi gambaran seperti sarang lebah (honeycomb appearance). Reaksi inflamasi di paru lebih berpotensi menimbulkan kerusakan paru dibandingkan efek virulensi Pneumocystis jirovecii itu sendiri. Penelitian selanjutnya memperlihatkan kondisi pemulihan kekebalan pada tikus yang terinfeksi menunjukkan terjadi peningkatan sitokin proinflamasi dan kemokin di paru sebagai tanda bahwa sistem imun mulai bekerja. ) ( Onishi A, Sugiyama D, Kogata Y, Saegusa J, et.al, 2011)

Pada penelitian Limper dkk, ditemukan bahwa jumlah P. jirovecii pada pasien dengan AIDS adalah lebih tinggi dibandingkan pasien PCP lainnya dan memiliki jumlah netrofil lebih sedikit di dalam sampel cairan BAL. Maka diambil suatu hipotesis bahwa inflamasi paru berkontribusi terhadap kerusakan paru pada pasien PCP ( Sepkowitz A,2002)2.5 Manifestasi KlinisGejala klinis Pneumocystis pneumonia meliputi demam yang tidak terlalu tinggi, batuk yang non produktif dan sesak napas yang terjadi secara subakut 2 minggu atau lebih. Gambaran penyakitnya akan berbeda pada pasien AIDS dan pasien tanpa sindroma AIDS. Pada pasien bukan AIDS onsetnya tidak jelas dengan masa inkubasi sampai 2 bulan. Batuk nonproduktif merupakan gejala yang tipikal dan dapat berlanjut hingga kapasitas ventilasinya menurun. Meski gangguan pernapasannya menjadi berat, tanda-tanda kliniknya tidak begitu jauh dari normal. Pasien mungkin afebris, jumlah sel darah putih normal atau meningkat sedikit, dan mungkin terdapat eosinophilia. Pada bayi di bawah 3 bulan dapat timbul batuk-batuk, takipnea, dengan episode apnea. Pada pemeriksaan fisik biasanya terdapat ronki yang difus.(Monnet X, Vidal E, Osman D, et.al,2008)Pada pasien dengan AIDS, masa inkubasinya lebih lama, rata-rata sekitar 40 hari tetapi dapat sampai setahun dengan berat badan menurun, malaise, diare, batuk nonproduktif, dispnea progresif dan demam ringan. Pada pemeriksaan dada, ronki dapat ada atau tidak ada. Laporan-laporan menunjukkan bahwa sebanyak 28% dari pasien terindikasi P. jirovecii foto toraksnya normal serta kelainan fisik di dadanya tidak ada atau tidak jelas. Klinisi diharapkan waspada akan kemungkinan infeksi pneumocystis bila ditemukan bintik seperti kapas di fundus mata, terutama bila tidak ada diabetes atau hipertensi. Meskipun P. jirovecii telah ditemukan pada berbagai jaringan seperti kelenjar limfe, limpa, hati, darah perifer, lambung, usus kecil, sumsum tulang, miokardium, kelenjar adrenal dan tiroid, penyebaran yang berasal dari paru-paru sangat jarang. Dapat ditemukan juga cairan serosa dan sel-sel lain di rongga interstisial dan alveoli paru-paru. (Gripaldo R, 2012)Tabel 1. Derajat Tingkat Keparahan Pneumocystis Pneumonia

DerajatKriteria klinis

Ringan Sesak napas saat beraktivitas ringan, batuk, berkeringat.

PaO2 > 80 mmHg, SaO2 > 96%

Gambaran foto toraks dapat normal atau terdapat infiltrat di perihiler yang minimal

Sedang

Sedang Sesak napas saat beraktivitas sedang, demam dengan atau tanpa berkeringat.

PaO2 60-80 mmHg, SaO2 91-96%

Gambaran foto toraks terdapat infiltrat interstitial bersifat difus.

Berat

Berat Sesak napas saat beristirahat, demam dan batuk yang persisten. PaO2 < 60 mmHg, SaO2 < 91% Gambaran foto toraks terdapat infiltrat yang ekstensif dengan atau tanpa infiltrat alveolar

(Adler MW, Miller R ,2001)2.6 Diagnosis

Pneumocystis sulit didiagnosis karena gejala dan tanda yang tidak spesifik. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Bahan pemeriksaan antara lain berasal dari sputum, bronchoalveolar lavage (BAL), jaringan paru. Pneumocystis tidak dapat dikultur. Induksi sputum menggunakan larutan hypertonic saline menghasilkan diagnosis 50 sampai 90% dan merupakan prosedur diagnosis utama. Jika pemeriksaan tersebut negatif, pemeriksaan dengan BAL dapat dilakukan.( Thomas CF, Limper AH,2007)

Pemeriksaan BAL memiliki sensitivitas lebih dari 90%. Terdapat dua bentuk PCP, yaitu tropik dan kistik. Bentuk tropik dapat dilihat dengan pewarnaan modifikasi Papaniculaou, Wright-Giemsa, atau Gram-Weigert. Bentuk kista dilihat dengan pewarnaan Gomori methenamin silver ,cresyl each violet, toluidin blue O, atau calcofl uor white. Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi asam nukleat pneumocystis memiliki sensitivitas serta spesifi sitas tinggi (88% dan 85%) dari bahan yang diambil dari induksi sputum dan BAL. Diagnosis definitive ditegakkan jika pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan kista Pneumocystis jirovecii.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kista atau trofozoit pneumocystis dalam sediaan bahan sample pasien misal dari bilasan bronkus, biopsy atau sputum.( Thomas CF, Limper AH,2007) Pewarnaan konvensional yang paling sering digunakan adalah Gomori Methenamine Silver (GMS) untuk mendeteksi dinding kista, serta giemsa dengan modifikasi untuk mendeteksi semua stadium pneumocystis. (Beck JM, Cushion MT,2009)

Bila sediaan dipulas dengan Giemsa, kista tampak sebagai daerah yang terang berisi sampai 8 titik, yang merupakan inti dari sporozoit dalam dinding kista. Pada bentuk trofozoit lebih sulit ditemukan dan diidentifikasi daripada bentuk kista. Organisme juga dapat terlihat dengan pewarnaan Gram, tetapi teknik ini tidak sepeka teknik lainnya (Felegie dkk, 1984). Sedangkan apabila menggunakan pewarnaan GMS sensitivitasnya dalam mendeteksi pneumocystis dari sediaan bilasan bronkus mencapai 70-92%, bila dikombinasikan dengan pemeriksaan sediaan biopsi transbronkial sensitivitasnya dapat mencapai 100% (Gambar 3). Induksi sputum merupakan prosedur pemeriksaan yang lebih sederhana serta noninvasif dibandingkan bilasan bronkus atau biopsi transbronkial, tetapi sensitivitasnya menggunakan pewarnaan konvensional hanya 35-78%. Pengembangan teknik pewarnaan imunositokimia dilaporkan meningkatkan sensitivitas pemeriksaan induksi sputum hingga 97%. (Beck JM, Cushion MT,2009)

Gambar 1. Kista Pneumocystic jirovecii dengan pewarnaan Giemsa

(Beck JM, Cushion MT,2009)

Gambar 2. Kista Pneumocystic jirovecii dengan pewarnaan Gomori Methenamine Silver ( Beck JM, Cushion MT,2009)

Teknik Pemeriksaan Pneumocystis jirovecii

No Teknik pemeriksaan Hasil Komplikasi Keterangan

1Sputum rutin Kurang Jarang Dibutuhkan kultur

2Induksi sputum 30-75% Jarang Pilihan utama, sesuai

pada pasien AIDS

3Aspirasi transtrakeal Sedang (dengan

pengalaman) Perdarahan, emfisema

subkutan. Angka keberhasilan

Masih jarang.

4Gallium scan Tidak spesifik Risiko jarum suntik pasien yang terinfeksi. Angka keberhasilan untuk positif > 95%

5Bronchoalveolar

lavage (BAL) >50% (>95% pada

penderita AIDS) Perdarahan,

bronkospasme. Merupakan pilihan

terakhir

6Brushing (BAL) sda sda -

7Transbronchial biopsi >90% Pneumotoraks -

8Biopsi paru terbuka >95% (pada semua

pasien) Efek anestesia,

Luka infeksi. Bahan sample lebih

besar.

9Aspirasi jarum

(Needle aspirate)