Upload
dimas-jatu-widiatmaja
View
388
Download
55
Embed Size (px)
Citation preview
MATA KULIAH TEORI AKUNTANSI
PENALARAN (REASONING)
Albar Wajid Fayardi / 03 / 134060018255 Dimas Jatu Widiatmaja / 10 / 134060018269 Indayanita Susia Situmeang / 16 / 134060018279 Moch. Fauzul Iman / 21 / 134060018286
KELAS 9A D IV KURIKULUM KHUSUS BPKP
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
2014
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akuntansi adalah pengukuran, penjabaran, atau pemberian kepastian mengenai informasi
yang akan membantu manajer, investor, otoritas pajak dan pembuat keputusan lain untuk
membuat alokasi sumber daya keputusan di dalam perusahaan, organisasi, dan lembaga
pemerintah. Akuntansi adalah seni dalam mengukur, berkomunikasi dan
menginterpretasikan aktivitas keuangan.
Teori akuntansi merupakan suatu pengetahuan yang menjelaskan mengapa praktik
akuntansi berjalan seperti yang ada sekarang. Teori akuntansi berkepentingan untuk
menghasilkan pernyataan-pernyataan umum (yang bermula dari hipotesis) sebagai
penjelasan praktik akuntansi. Penjelasan praktik akuntansi tersebut hanya bisa diperoleh
melalui penalaran yang baik, sehingga diperoleh keyakinan bahwa suatu pernyataan atau
argumen layak untuk diterima atau ditolak.
Pada makalah ini kami mencoba untuk menyajikan pembahasan mengenai penalaran
(reasoning), dimana penalaran merupakan pengetahuan tentang prinsip-prinsip berpikir
logis yang menjadi basis dalam diskusi ilmiah.
B. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah antara lain:
1. Memahami definisi, unsur, dan struktur penalaran;
2. Memperoleh pemahaman mengenai peranan asersi, keyakinan, dan argumen dalam
mempelajari teori akuntansi;
3. Memperoleh pengetahuan mengenai kecohan-kecohan yang dapat mengganggu
penalaran dan mengetahui aspek-aspek manusia yang mempengaruhi penalaran
tersebut.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Reasoning (Penalaran)
Menurut Suwardjono, penalaran merupakan pengetahuan tentang prinsip-prinsip berpikir
logis yang menjadi basis dalam diskusi ilmiah. Penalaran juga merupakan suatu ciri
sikap (attitude) ilmiah yang sangat menuntut kesungguhan (commitment) dalam
menemukan kebenaran ilmiah.
Terdapat beberapa definisi mengenai penalaran (reasoning) di antaranya yaitu:
Reasoning encompasses many of the processes we use to form and evaluate beliefs-
beliefs about the world, about people, about the truth or falsity of claims we
encounter or make. It involves the production and evaluation of arguments, the
making of inferences and the drawing of conclusions, the generation and testing of
hypotheses. It requires both deduction and induction, both analysis and synthesis,
and both criticality and creativity (Nickerson, 1986)
(Penalaran meliputi banyak proses yang digunakan untuk membentuk dan
mengevaluasi keyakinan mengenai dunia, orang, maupun kebenaran ataupun
kesalahan atas claim yang kita temui atau kita buat. Hal ini melibatkan pembuatan
dan evaluasi argumen, pembuatan dugaan serta penyusunan kesimpulan,pembuatan
dan pengujian hipotesis. Hal ini juga membutuhkan deduksi dan induksi, analisis
dan sintesis, serta sikap kritis dan kreativitas)
Dari pengertian penalaran oleh Nickerson, Suwardjono menyimpulkan definisi
penalaran sebagai proses berpikir logis dan sistematis untuk membentuk dan
mengevaluasi suatu keyakinan (belief) terhadap suatu pernyataan atau asersi
(assertion).
Dalam buku Dictionary of Philosophy, Peter A. Angeles (1981) mendefinisikan
reasoning dalam tiga cara yaitu:
1. The process of inferring conclusions from statements. (Proses pengambilan
kesimpulan dari pernyataan)
2. The application of logic and/or abstract thought patterns in the solution of
problems or the act of planning. (Aplikasi logika dan/atau pola pikir abstrak
dalam solusi masalah atau kegiatan perencanaan)
3. The ability to know some thingswithout recourse directly to sense perceptions or
immediate experience. (Kemampuan untuk mengetahui sesuatu tanpa
merasakan dengan panca indera secara langsung ataupun dari pengalaman
langsung)
Suwardjono mengatakan bahwa penalaran melibatkan inferensi (inference), yaitu proses
penurunan konsekuensi logis dan melibatkan pula proses penarikan simpulan dari
serangkaian pernyataan atau asersi, proses ini dapat bersifat deduktif maupun induktif.
Kita sering mendengar istilah teori, apakah yang membedakan penalaran dengan teori?
Menurut Suwardjono teori merupakan sarana untuk menyatakan suatu keyakinan
sedangkan penalaran merupakan proses untuk mendukung keyakinan tersebut.
3
Selain itu terdapat juga istilah argumen, apakah yang membedakan argumen dengan
penalaran?
Trudy Govier (1989) dalam jurnalnya yang berjudul “Critical Thinking as Argument
Analysis” menyatakan bahwa “An argument is a publicly expressed tool of persuasion.
Typically it takesthinking to construct an argument. Reasoning is distinguished
fromarguing along these lines: reasoning is what you may do before youargue, and your
argument expresses some of your (best) reasoning. Butmuch reasoning is done before
and outside the context of argument”.
(Suatu argumen secara umum merupakan alat persuasi. Secara khusus, diperlukan
pemikiran untuk membangun suatu argumen. Yang membedakan penalaran dengan
argumentasi dalam hal ini yaitu: penalaran adalah apa yang dilakukan sebelum
berargumen, dan argumen mengekspresikan sebagian dari penalaran (yang terbaik).
Namun demikian banyak penalaran yang dilakukan sebelum dan diluar konteks dari
suatu argumentasi).
B. Unsur dan Struktur Penalaran
Struktur dan proses penalaran terdiri dari tiga konsep penting yaitu:
1. Asersi
Merupakan suatu pernyataan yang menegaskan bahwa sesuatu adalah benar.
2. Keyakinan
Merupakan tingkat kebersediaan (willingness) untuk menerima bahwa suatu
pernyataan atau teori (penjelasan) mengenai suatu fenomena atau gejala (alam atau
sosial) adalah benar.
3. Argumen
Merupakan serangkaian asersi beserta keterkaitan (artikulasi) dan inferensi atau
penyimpulan yang digunakan untuk mendukung suatu keyakinan. Argumen menjadi
unsur penting dalam penalaran karena digunakan untuk membentuk, memelihara,
atau mengubah suatu keyakinan.
Struktur penalaran menggambarkan hubungan antara ketiga konsep tersebut dalam
menghasilkan daya dukung atau bukti rasional terhadap keyakinan tentang suatu
pernyataan.
4
Bagan proses atau struktur penalaran dapat digambarkan dengan alur sebagai berikut:
Argumen dalam proses penalaran merupakan salah satu bentuk bukti yang oleh Mautz
dan Sharaf (1984) disebut sebagai argumentasi rasional. Selain itu terdapat dua jenis
bukti lain yaitu:
- Bukti Natural (Natural evidence)
- Bukti Ciptaan (Created evidence)
Namun demikian dalam teori akuntansi yang akan banyak diperlukan adalah bentuk
argumentasi rasional karena pembahasannya mengenai masalah konseptual, terutama
apabila akuntansi dipandang sebagai teknologi dan teori akuntansi dianggap sebagai
penalaran logis.
Bukti sendiri merupakan sesuatu yang memberi dasar rasional dalam pertimbangan untuk
menetapkan kebenaran suatu pernyataan.
C. Asersi
1. Pengertian Asersi
Asersi (pernyataan) memuat penegasan tentang sesuatu atau realitas. Pada umumnya
asersi dinyatakan dalam bentuk kalimat.
Beberapa contoh asersi, antara lain :
Manusia adalah makhluk sosial.
Beberapa obat batuk menyebabkan kantuk.
Statemen aliran kas bermanfaat bagi investor dan kreditor.
Perusahaan besar akan memilih metoda MPKP.
Dalam sektor publik, anggaran merupakan alat pengendalian dan
pengawasan yang paling andal.
Beberapa asersi mengandung pengkuantifikasi yaitu semua (all), tidak ada (no), dan
beberapa (some). Asersi yang memuat pengkuantifikasi semua dan tidak ada
5
merupakan asersi universal sedangkan yang memuat penguantifikasi beberapa
merupakan asersi spesifik. Pengkuantifikasi diperlukan untuk menentukan
ketermasukan (inclusiveness) atau keuniversalan asersi.
Dalam penullisan, asersi ada yang dinyatakan secara makna (meaning). Asersi yang
disajikan secara makna biasanya cenderung akan salah diinterpretasikan dalam
kondisi keterbatasan bahasa dan sudut pandang. Oleh karena itu, asersi yang
disajikan secara makna akan mengganggu evaluasi argumen. Maka biasanya asersi
dinyatakan dalam bentuk struktur atau bentuk (form). Contoh penyajian struktur
umum asersi:
Semua A adalah B.
Tidak ada satupun A adalah B.
Beberapa A adalah B.
Dengan cara penyajian struktur umum asersi seperti diatas, asersi lebih dapat dinilai
dengan valid dalam mengevaluasi argumen, karena tidak akan terpengaruh dari segi
makna dan realitas sebenarnya.
Asersi juga dapat ditampilkan dalam bentuk diagram. Dengan menampilkannya
dalam bentuk diagram maka akan dapat terlihat jelas hubungan ketermasukan dari
asersi tersebut.
Berikut adalah contoh hubungan asersi yang digambarkan dalam diagram
a. Hubungan Inklusi
Semua A adalah B
Tidak semua B adalah A
b. Hubungan Eksklusi
Tidak satupun A adalah B
Tidak satupun B adalah A
c. Hubungan Saling Isi (Overlaping)
Beberapa B adalah A
Beberapa A adalah B
6
2. Asersi untuk Interpretasi Istilah
Penyajian asersi dalam bentuk diagram dapat digunakan untuk mengevaluasi
ketepatan makna dari suatu istilah. Seperti contohnya frase “Meja biru bundar”
tidak akan sama dengan “Meja Bundar Biru”. Dalam kenyataannya penggunaan
istilah “Bersertifikat Akuntan Publik” atau BAP dinilai tidak tepat dengan kaidah
bahasa Indonesia yang menggunakan DM yaitu diterangkan-menerangkan.
Penyimpangan makna dari suatu asersi mengindikasikan suatu argumen atau
penalaran dalam mengartikan suatu istilah asing terkadang tidak valid atau berbeda-
beda.
3. Jenis Asersi
Asersi dapat diklasifikasikan menjadi asumsi (assumption), hipotesis (hypothesis),
dan pernyataan fakta (statement of fact). Asumsi adalah asersi yang diyakini benar
meskipun orang tidak dapat mengajukan atau menunjukkan bukti tentang
kebenarannya secara meyakinkan atau asersi yang orang bersedia untuk menerima
sebagai benar untuk keperluan diskusi atau debat. Hipotesis adalah asersi yang
kebenarannya belum atau tidak diketahui tetapi diyakini bahwa asersi tersebut dapat
diuji kebenarannya. Pernyataan fakta adalah asersi yang bukti tentang kebenarannya
diyakini sangat kuat atau bahkan tidak dapat dibantah.
4. Fungsi Asersi
Asersi memegang fungsi yang sangat penting dalam pembentukan argumen, yaitu
dapat berfungsi sebagai premis dan konklusi. Premis adalah asersi yang digunakan
untuk mendukung konklusi. Konklusi adalah asersi yang diturunkan dari
serangkaian asersi. Konklusi dari suatu argumen dapat menjadi premis dalam
argumen yang lainnya.
Prinsip yang dipakai adalah suatu kredibilitas konklusi tidak dapat melebihi
kredibilitas terendah premis-premis yang digunakan untuk menurunkan konklusi.
Artinya, kalau konklusi diturunkan dari serangkaian premis yang salah satu
merupakan pernyataan fakta dan yang lain asumsi, konklusi tidak dapat dipandang
sebagai pernyataan fakta. Dengan kata lain, keyakinan terhadap konklusi dibatasi
oleh keyakinan terhadap premis.
D. Keyakinan
1. Pengertian Keyakinan
Keyakinan terhadap asersi adalah tingkat kebersediaan untuk menerima bahwa
asersi tersebut benar. Keyakinan diperoleh karena kepercayaan (confidence) tentang
kebenaran yang dilekatkan pada suatu asersi. Suatu asersi dapat dipercaya karena
adanya bukti yang kuat untuk menerimanya sebagai hal yang benar.
Orang dikatakan yakin terhadap suatu asersi bila dia menunjukkan perbuatan, sikap,
dan pandangan seolah-olah asersi tersebut benar karena dia percaya bahwa asersi
tersebut benar. Kepercayaan diberikan kepada suatu asersi biasanya setelah
7
dilakukan evaluasi terhadap asersi atas dasar argumen yang digunakan untuk
menurunkan asersi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keyakinan merupakan
produk, hasil, atau tujuan suatu penalaran. Berbagai faktor mempengaruhi tingkat
keyakinan seseorang atas suatu asersi. Karakteristik (sifat) asersi menentukan
mudah-tidaknya keyakinan seseorang dapat diubah melalui penalaran.
2. Properitas Keyakinan
Semua penalaran bertujuan untuk menghasilkan keyakinan terhadap asersi yang
menjadi konklusi penalaran. Pemahaman terhadap beberapa properitas (sifat)
keyakinan sangat penting dalam mencapai keberhasilan berargumen. Argumen
dianggap berhasil kalau argumen tersebut dapat mengubah keyakinan. Berikut ini
dibahas properitas keyakinan yang perlu disadari dalam berargumen :
a. Keadabenaran (Plausibility)
Sebagai produk penalaran, untuk dapat menimbulkan keyakinan, suatu
asersi harus ada benarnya (plausible). Keadabenaran atau plaisibilitas
(plausibility) suatu asersi bergantung pada apa yang diketahui tentang isi asersi
atau pengetahuan yang mendasari (the uderlying knowledge) dan pada sumber
asersi (the source). Pengetahuan yang mendasari (termasuk pengalaman)
biasanya menjamin kebenaran asersi. Oleh karena itu, konsistensi suatu asersi
dengan pengetahuan yang mendasari akan menentukan plausibilitas asersi.
b. Bukan Pendapat
Keyakinan adalah sesuatu yang harus dapat ditunjukkan atau dibuktikan secara
objektif apakah tia salah atau benar dan sesuatu yang diharapkan menghasilkan
kesepakatan (agreement) oleh setiap orang yang mengevaluasinya atas dasar
fakta objektif. Pendapat atau opini adalah asersi yang tidak dapat ditentukan
benar atau salah karena berkaitan dengan kesukaan (preferensi) atau selera.
Berbeda dengan keyakinan, plausibilitas pendapat tidak dapat ditentukan.
Artinya, apa yang benar bagi seseorang dapat salah bagi yang lain. Walaupun
dalam kenyataannya kedua konsep tersebut tidak dibedakan secara tegas,
penalaran logis yang dibahas di sini lebih ditujukan pada keyakinan daripada
pendapat.
c. Bertingkat
Keyakinan yang didapat dari suatu asersi tidak bersifat mutlak tetapi bergradasi
mulai dari sangat maragukan sampai sangat meyakinkan (convincing). Tingkat
keyakinan ditentukan oleh kuantitas dan kualitas bukti untuk mendukung asersi.
Orang yang objektif dan berpikir logis tentunya akan bersedia untuk mengubah
tingkat keyakinannya manakala bukti baru mengenai plausibilitas suatu asersi
diperoleh.
d. Berbias
Selain kekuatan bukti objektif yang ada, keyakinan dipengaruhi oleh preferensi,
keinginan, dan kepentingan pribadi yang karena sesuatu hal perlu
dipertahankan. Idealnya, dalam menilai plausibilitas suatu asersi orang harus
bersikap objektif dengan pikiran terbuka (open mind). Pada umumnya, bila
8
orang mempunyai kepentingan, sangat sulit baginya untuk bersikap objektif.
Dengan bukti objektif yang sama, suatu asersi akan dianggap sangat
meyakinkan oleh orang yang mempunyai kepentingan pribadi yang besar dan
hanya dianggap agak atau kurang meyakinkan oleh orang yang netral. Demikian
pula sebaliknya.
e. Bermuatan Nilai
Orang melekatkan nilai (value) terhadap suatu keyakinan. Nilai keyakinan
adalah tingkat penting-tidaknya suatu keyakinan perlu dipegang atau
dipertahankan seseorang. Nilai keyakinan bagi seseorang akan tinggi apabila
perubahan keyakinan mempunyai implikasi serius terhadap filosofi, sistem nilai,
martabat, pendapatan potensial, dan perilaku orang tersebut.
f. Berkekuatan
Kekuatan keyakinan adalah tingkat kepercayaan yang dilekatkan seseorang pada
kebenaran suatu asersi. Orang yang nyatanya tidak mengerjakan apa yang
terkandung dalam asersi menandakan bahwa keyakinannya terhadap
kebenaran asersi lemah. Dapat dikatakan bahwa semua properitas keyakinan
merupakan faktor yang menentukan tingkat kekuatan keyakinan seseorang.
g. Veridikal (Veridicality)
Veridikalitas (veridicality) adalah tingkat kesesuaian keyakinan dengan realitas.
Realitas yang dimaksud di sini adalah apa yang sungguh-sungguh benar tentang
asersi yang diyakini. Dengan kata lain, veridikalitas adalah mudah tidaknya
fakta ditemukan dan ditunjukkan untuk mendukung keyakinan.
h. Berketertempaan (Malleability)
Ketertempaan (malleability) atau kelentukan keyakinan berkaitan dengan
mudah tidaknya keyakinan tersebut diubah dengan adanya informasi yang
relevan. Berbeda dengan veridikalitas, ketertempaan tidak memasalahkan
apakah suatu asersi sesuai atau tidak dengan realitas tetapi lebih memasalahkan
apakah keyakinan terhadap suatu asersi dapat diubah oleh bukti.
E. Argumen
1. Pengertian Argumen
Pengertian argumen menurut Nickerson (1986):
An argumen is an effort to convince someone to believe or to do something. An
argumen is a set of assertion, one of which is a conclusion or key assertion, and the
rest of which are intended to support that conclusion or key assertion.
Dalam arti positif, argumen dapat disamakan dengan penalaran logis untuk
menjelaskan atau mengajukan bukti rasional tentang suatu asersi.
2. Anatomi Argumen
Argumen terdiri atas serangkaian asersi. Asersi dapat berfungsi sebagai premis atau
konklusi (atau asersi kunci) yang merupakan komponen argumen. Berikut ini adalah
beberapa contoh argumen:
9
Merokok adalah penyebab kanker karena kebanyakan penderita kanker adalah
perokok.
Jika suatu binatang menyusui, maka binatang tersebut mempunyai paru-paru
karena semua binatang menyusui mempunyai paru-paru.
Kreditor adalah pihak yang dituju oleh pelaporan keuangan sehingga statemen
keuangan harus memuat informasi tentang kemampuan membayar utang.
Karena akuntansi menekankan substansi daripada bentuk, statemen keuangan
beberapa perusahaan yang secara yuridis terpisah tetapi secara ekonomik
merupakan satu perusahaan harus dikonsolidasi.
Karena akuntansi menganut kesatuan usaha ekonomik, beberapa perusahaan
yang secara yuridis terpisah harus dianggap sebagai satu kesatuan ekonomik
kalau perusahaan-perusahaan tersebut ada di bawah satu kendali. Oleh karena
itu, laporan konsolidasian harus disusun oleh perusahaan pengendali.
Sebagai suatu argumen, asersi yang satu harus mendukung asersi yang lain yang
menjadi konklusi. Kata-kata dengan huruf miring di atas merupakan kata indikator
argumen yang dapat digunakan untuk menunjuk mana premis dan mana
konklusi.
Dalam banyak hal, argumen tidak menunjukkan secara eksplisit kata-kata indikator
sehingga tidak dapat segera diidentifikasi mana premis dan mana konklusi.
Akibatnya, sulit untuk menentukan mana asersi yang mendukung dan mana
asersi yang didukung sehingga dapat timbul berbagai interpretasi terhadap argumen.
Bila hal ini terjadi, premis dan konklusi dapat diidentifikasi dengan principle of
charitable interpretation (prinsip interpretasi terdukung). Prinsip ini
menyatakan bahwa bila terdapat lebih dari satu interpretasi terhadap suatu
argumen, argumen harus diinterpretasi sehingga premis-premis yang terbentuk
memberi dukungan yang paling kuat terhadap konklusi yang dihasilkan. Dengan
kata lain, argumen yang dipilih adalah argumen yang plausibilitasnya paling tinggi
atau yang paling masuk akal (valid) dalam konteks yang dibahas.
3. Jenis Argumen
a) Argumen Deduktif
Argumen atau penalaran deduktif adalah proses penyimpulan yang berawal dari
suatu pernyataan umum yang disepakati (premis) ke pernyataan khusus
sebagai simpulan (konklusi). Argumen deduktif disebut juga argumen logis
karena kalau premis-premisnya benar konklusinya harus benar (valid).
Kebenaran konklusi tidak selalu berarti bahwa konklusi merefleksi realitas
(truth). Hal inilah yang membedakan argumen sebagai bukti rasional dan bukti
fisis/langsung/empiris berupa fakta. Salah satu bentuk penalaran deduktif adalah
suatu penalaran yang disebut silogisma. Silogisma terdiri atas tiga
komponen yaitu premis major (major premise), premis minor (minor premise),
dan konklusi (conclusion). Dalam silogisma, konklusi diturunkan dari premis
yang diajukan seperti contoh berikut:
Premis major : Semua binatang menyusui mempunyai paru-paru.
10
Premis minor : Kucing binatang menyusui.
Konklusi : Kucing mempunyai paru-paru.
“Semua binatang menyusui” dalam contoh di atas disebut anteseden
(antecedent) sedangkan “mempunyai paru-paru” merupakan konsekuen
(consequent). Dalam silogisma, konklusi akan benar bila kedua premis benar
dan premis minor menegaskan anteseden (disebut pola modus ponens) atau
premis minor menyangkal konsekuen (disebut pola modus tollens). Konklusi di
atas benar karena “kucing binatang menyusui” menegaskan “semua binatang
menyusui” sebagai anteseden. Jadi, konklusi mengikuti kedua premis secara
logis.
Penalaran deduktif berlangsung dalam tiga tahap yaitu: (1) penentuan
pernyataan umum (premis major) yang menjadi basis penalaran, (2) penerapan
konsep umum ke dalam situasi khusus yang dihadapi (proses deduksi), (3)
penarikan simpulan secara logis yang berlaku untuk situasi khusus tersebut.
Penalaran deduktif dalam akuntansi digunakan untuk memberi keyakinan
tentang simpulan-simpulan yang diturunkan dari premis yang dianut. Dalam
teori akuntansi, premis major sering disebut sebagai postulat (postulate).
Sebagai penalaran logis, argumen-argumen yang dihasilkan dengan pendekatan
deduktif dalam akuntansi akan membentuk teori akuntansi.
Evaluasi Penalaran Deduktif
Tujuan utama mengevaluasi argumen adalah untuk menentukan apakah
konklusi argumen benar dan meyakinkan. Untuk menilai suatu argumen
deduktif (logis), Nickerson (1986) mengajukan empat pertanyaan yang harus
dijawab, yaitu:
(1) Apakah argumen lengkap?
(2) Apakah artinya jelas?
(3) Apakah argumen valid? (Apakah konklusi mengikuti premis?)
(4) Apakah premis dapat dipercaya (diterima)?
Keempat pertanyaan di atas merupakan kriteria evaluasi yang terdiri atas
kelengkapan, kejelasan, kesahihan, dan kepercayaian. Apabila jawaban
untuk keempat pertanyaan di atas adalah positif, maka konklusi memberi
keyakinan tentang kebenarannya.
Kelengkapan: validitas konklusi menjadi kurang meyakinkan bila premis-
premis yang diajukan tidak lengkap.
Kejelasan: keyakinan merupakan fungsi kejelasan makna. Kejelasan tidak
hanya diterapkan untuk makna premis tetapi juga untuk hubungan antarpremis
(inferensi dan penyimpulan). Keterbatasan bahasa, kesalahan bahasa, dan
keterbatasan pengetahuan tentang topik yang dibahas merupakan faktor yang
menentukan kejelasan dan bahkan pemahaman argumen.
Kesahihan (validitas) merupakan kriteria utama untuk menilai penalaran
logis. Perlu dibedakan di sini antara validitas dan kebenaran (truth). Validitas
adalah sifat yang melekat pada argumen sedangkan kebenaran adalah sifat
11
yang melekat pada asersi. Secara struktural, validitas argumen tidak
bergantung pada kebenaran asersi. Artinya, argumen dikatakan valid kalau
konklusi diturunkan secara logis dari premis tanpa memperhatikan apakah
premis itu sendiri benar atau salah.
Hubungan Kebenaran Premis dan Kebenaran Logis Konklusi
dalam Penalaran Deduktif
Keterpercayaian melengkapi ketiga kriteria sebelumnya agar konklusi
meyakinkan sehingga orang bersedia menerima. Orang bersedia menerima suatu
asersi kalau dia percaya pada asersi tersebut. Orang dapat percaya pada suatu
asersi kalau asersi tersebut ada benarnya (plausible).
b) Argumen Induktif
Penalaran ini berawal dari suatu pernyataan atau keadaan yang khusus dan
berakhir dengan pernyataan umum yang merupakan generalisasi dari keadaan
khusus tersebut. Dalam argumen ada benarnya (plausible), konklusi merupakan
generalisasi dari premis sehingga tujuan argumen adalah untuk meyakinkan
bahwa probabilitas atau kebolehjadian (likelihood) kebenaran konklusi
cukup tinggi atau sebaliknya, ketakbenaran konklusi cukup rendah
kebolehjadiannya (unlikely). Karena konklusi (generalisasi) didasarkan pada
pengamatan atau pengalaman yang nyatanya terjadi, penalaran induktif disebut
pula generalisasi empiris (empirical generalization).
Dalam penalaran induktif, kebenaran premis tidak selalu menjamin
sepenuhnya kebenaran konklusi. Kebenaran konklusi hanya dijamin dengan
tingkat keyakinan (probabilitas) tertentu. Artinya, jika premis benar, konklusi
tidak selalu benar (not necessarily true).
c) Argumen dengan Analogi
Penalaran dengan analogi adalah penalaran yang menurunkan konklusi atas
dasar kesamaan atau kemiripan (likeness) karakteristik, pola, fungsi, atau
hubungan unsur (sistem) suatu objek yang disebutkan dalam suatu asersi.
Analogi bukan merupakan suatu bentuk pembuktian tetapi merupakan
suatu sarana untuk meyakinkan bahwa asersi konklusi mempunyai
12
kebolehjadian untuk benar. Walaupun analogi banyak digunakan dalam
argumen, argumen semacam ini banyak mengandung kelemahan. Perbedaan-
perbedaan penting yang mempengaruhi (melemahkan) konklusi sering
tersembunyi atau disembunyikan. Perbedaan sering lebih dominan daripada
kemiripan. Dalam analogi nahkoda misalnya, warga dalam kapal jumlahnya
lebih kecil dan tidak terdapat lembaga perwakilan seperti dalam negara.
Karena bukan merupakan pembuktian, analogi sering disalahgunakan untuk
pembuktian sebagai cara untuk mengecoh orang.
d) Argumen Sebab-Akibat
Menyatakan konklusi sebagai akibat dari asersi tertentu disebut juga dengan
argumen dengan penyebaban (argument by causation) atau generalisasi kausal
(causal generalization). Untuk dapat menyatakan adanya hubungan kausal
perlu diadakan pengujian tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kaidah untuk
menguji adanya hubungan kausal adalah apa yang disebut kaidah kecocokan
(method of agreement), kaidah kecocokan negatif (negative canon of
agreement) dan kaidah perbedaan (method of difference) yang dikemukakan
oleh John Stuart Mill (sehingga seluruh kaidah disebut dengan kaidah Mill).
Kaidah kecocokan menyatakan bahwa jika dua kasus (atau lebih) dalam suatu
fenomena mempunyai satu dan hanya satu kondisi atau faktor yang sama (C),
maka kondisi tersebut dapat menjadi penyebab timbulnya gejala (Z).
Kaidah kecocokan negatif menyatakan bahwa jika tiadanya suatu faktor (C)
berkaitan dengan tiadanya gejala (Z), maka ada bukti bahwa hubungan faktor
dan gejala tersebut bersifat kausal.
Kaidah perbedaan menyatakan bahwa jika terdapat dua kasus atau lebih
dalam suatu fenomena, dan dalam salah satu kasus suatu gejala (Z)
muncul sementara dalam kasus lainnya gejala tersebut (Z) tidak muncul; dan
jika faktor tertentu (C) terjadi ketika gejala tersebut (Z) muncul, dan faktor
tersebut (C) tidak terjadi ketika gejala tersebut (Z) tidak muncul; maka dapat
dikatakan bahwa terdapat hubungan kausal antara faktor (C) dan gejala (Z)
tersebut.
4. Kriteria Penyebaban
Kaidah perbedaan Mill sebenarnya merupakan suatu rancangan untuk menguji
secara ekperimental apakah memang terdapat hubungan kausal. Untuk menguji
dan menyatakan bahwa suatu faktor atau variabel (C) menyebabkan suatu gejala
atau variabel lain (Z) terjadi, tiga kriteria berikut harus dipenuhi:
(1) C dan Z bervariasi bersama. Bila C berubah, Z juga berubah.
(2) Perubahan C terjadi sebelum atau mendahului perubahan Z terjadi.
(3) Tidak ada faktor lain selain C yang mempengaruhi perubahan Z.
13
Kriteria (1) harus dipenuhi karena hubungan sebab-akibat hanya terjadi jika ada
perubahan baik faktor sebab maupun faktor akibat. Perubahan di sini harus diartikan
secara luas sebagai perbedaan keadaan (status/klasifikasi/gejala) atau nilai
(skor/peringkat). Kriteria (2) harus dipenuhi karena penyebaban menuntut adanya
pengaruh satu faktor terhadap faktor yang lain dalam selang waktu tertentu. Oleh
karena itu, perubahan faktor sebab harus terjadi dahulu sebelum perubahan faktor
akibat terjadi. Dengan kata lain, harus ada semacam ketergantungan atau dependensi
faktor akibat pada faktor sebab. Selang waktu tersebut dapat sekejap atau lama
bergantung pada masalah yang dibahas.
Untuk meyakinkan bahwa faktor sebab benar-benar menyebabkan faktor akibat,
kriteria (3) harus dipenuhi. Tidak adanya faktor-faktor lain selain faktor sebab
yang diteorikan harus diartikan bahwa faktor-faktor lain tersebut memang tidak ada
atau kalau ada, pengaruh faktor-faktor lain tersebut dapat dikendalikan, diukur, atau
diisolasi sehingga diperoleh keyakinan yang tinggi bahwa perubahan faktor sebab
benar-benar menyebabkan perubahaan faktor akibat. Misalnya, untuk meyakinkan
apakah kegaduhan (noise) menyebabkan turunnya produktivitas ayam petelur, faktor
lain yang diduga juga merupakan penyebab seperti penyinaran, temperatur, dan jenis
makanan harus dikendalikan atau dijaga konstan.
5. Penalaran Induktif dalam Akuntansi
Penalaran induktif dalam akuntansi pada umumnya digunakan untuk menghasilkan
pernyataan umum yang menjadi penjelasan (teori) terhadap gejala akuntansi tertentu.
Pernyataan-pernyataan umum tersebut biasanya berasal dari hipotesis yang diajukan
dan diuji dalam suatu penelitian empiris. Hipotesis merupakan generalisasi yang
14
dituju oleh penelitian akuntansi. Bila bukti empiris konsisten dengan (mendukung)
generalisasi tersebut maka generalisasi tersebut menjadi teori yang valid dan
mempunyai daya prediksi yang tinggi.
Dalam praktiknya, penalaran induktif tidak dapat dilaksanakan terpisah dengan
penalaran deduktif atau sebaliknya. Kedua penalaran tersebut saling berkaitan.
Premis dalam penalaran deduktif, misalnya, dapat merupakan hasil dari suatu
penalaran induktif. Demikian juga, proposisi-proposisi akuntansi yang diajukan
dalam penelitian biasanya diturunkan dengan penalaran deduktif. Bila dikaitkan
dengan perspektif teori yang lain, teori akuntansi normatif biasanya berbasis
penalaran deduktif sedangkan teori akuntansi positif biasanya berbasis penalaran
induktif. Secara umum dapat dikatakan bahwa teori akuntansi sebagai penalaran
logis bersifat normatif, sintaktik, semantik, dan deduktif sementara teori
akuntansi sebagai sains bersifat positif, pragmatik, dan induktif.
F. Kecohan (Fallacy)
1. Pengertian Kecohan
Apabila terdapat suatu asersi yang nyatanya membujuk dan dianut oleh banyak
orang padahal tidak karena argumen yang diajukan mengandung cacat (faulty)
apapun faktornya, maka dapat dipastikan terjadi kesalahan yang disebut kecohan
atau salah nalar (fallacy). Menurut Cederblom dan Paulsen (1986), kecohan
mempunyai definis sebagai berikut:
15
A fallacy is a kind of argument or appeal that tends to persuade us, even though it is
faulty. ... Fallacies are arguments that tend to persuade but should not persuade (hlm.
102).
Orang dapat terkecoh oleh dirinya sendiri sehingga dia berpikir bahwa
dia mengajukan argumen yang valid padahal sebenarnya tidak valid. Sebaliknya,
orang dapat mengecoh orang lain dengan sengaja semata-mata karena ingin
memaksakan kehendak atau ingin menangnya sendiri sehingga dia akan
menggunakan segala taktik untuk meyakinkan orang lain tentang keyakinan atau
pendapatnya dengan menyampingkan masalah pokok atau menyembunyikan
argumen yang valid. Oleh karena itu, perlu dibedakan kecohan lantaran taktik
atau akal bulus (yang oleh Nickerson disebut dengan stratagem) dan kecohan lantaran
salah logika atau nalar dalam argumen (reasoning fallacy). Ciri yang membedakan
keduanya adalah maksud atau niat (intention) untuk berargumen.
2. Stratagem
Stratagem adalah pendekatan atau cara-cara untuk mempengaruhi keyakinan
orang dengan cara selain mengajukan argumen yang valid atau masuk akal
(reasonable argument). Stratagem merupakan salah satu bentuk argumen karena
merupakan upaya untuk menyakinkan seseorang agar dia percaya atau bersedia
mengerjakan sesuatu. Berbeda dengan argumen yang valid, stratagem biasanya
digunakan untuk membela pendapat yang sebenarnya keliru atau lemah dan tidak
dapat dipertahankan secara logis. Karenanya, stratagem dapat mengandung
kebohongan (deceit) dan muslihat (trick). Ada beberapa klasifikasi dari stratagem itu
sendiri, yaitu sebagai berikut:
a. Persuasi Tak Langsung
Persuasi tak langsung merupakan stratagem untuk menyakinkan seseorang akan
kebenaran suatu pernyataan bukan langsung melalui argumen atau penalaran
melainkan melalui cara-cara yang sama sekali tidak berkaitan dengan validitas
argumen. Contohnya seringkali kita jumpai dalam periklanan (advertising), untuk
membujuk agar orang mau membeli produk, orang tidak disuguhi argumen
tentang mengapa produk tersebut berkualitas melainkan dengan menonjolkan
suatu pandangan bahwa seorang selebritis menggunakan produk tersebut.
Harapannya adalah orang yang tidak menggunakan produk akan merasa bahwa dia
tidak termasuk dalam golongan yang bergaya hidup selebritis.
b. Membidik Orangnya
Stratagem ini digunakan untuk melemahkan atau menjatuhkan suatu posisi atau
pernyataan dengan cara menghubungan pernyataan atau argumen yang diajukan
seseorang dengan pribadi orang tersebut. Dengan cara ini diharapkan bahwa daya
bujuk argumen akan menjadi turun atau jatuh. Taktik ini sering disebut
argumentum ad hominem. Contoh cari stratagem ini adalah misalkan:
“Dia tidak mungkin menjadi pemimpin yang andal karena dia bekas militer (atau
tahanan politik yang pernah dihukum”
16
Berkaitan dengan stratagem ini, orang sering menggunakan taktik ungkapan
merendahkan (put-downs) untuk menyanggah/menghindari argumen dengan
ungkapan-ungkapan berikut (diucapkan dengan nada meninggi):
“Yang anda katakan itu adalah lelucon baru yang belum pernah saya
dengar!”
c. Menyampingkan Masalah
Stratagem ini dilakukan dengan cara mengajukan argumen yang tidak bertumpu
pada masalah pokok atau dengan cara mengalihkan masalah ke masalah yang lain
yang tidak bertautan. Hal ini sering dilakukan bila seseorang (karena sesuatu hal)
tidak bersedia menerima argumen yang dia tahu lebih valid dari argumen yang
dipegangnya. Pendekatan ini juga merupakan salah satu contoh salah nalar karena
penyampingan dilakukan dengan memberi penjelasan yang tidak menjawab
masalah, contohnya adalah:
“Gerakan antikorupsi tidak perlu digalakkan lagi karena nyatanya
banyak orang yang melakukan korupsi tidak mendapatkan sanksi
hukum.”
Stratagem penyampingan masalah (avoiding the issue) sering digunakan oleh
politikus untuk menghidari pertanyaan yang dapat memalukannya dalam suatu
jumpa pers dengan cara menyalahartikan pertanyaan dan menjawab pertanyaan
yang disalahartikan tersebut. Penyampingan masalah pokok sering disebut dengan
taktik red herring, karena sering digunakan dalam perdebatan politik untuk
menutupi atau menghindari kekalahan dalam argumen.
d. Misrepresentasi
Stratagem ini biasa digunakan untuk menyanggah atau menjatuhkan posisi
lawan dengan cara memutarbalikkan atau menyembunyikan fakta baik secara
halus maupun terang-terangan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara misalnya:
mengekstremkan posisi lawan, menyalahartikan maksud baik posisi lawan, atau
menonjolkan kelemahan dan menyembunyikan keunggulan argumen lawan.
Sebagai contoh, seorang anggota DPR dari Partai A mengajukan argumen untuk
mendukung agar pemerintah mengurangi anggaran untuk pertahanan dan
menambah anggaran untuk pendidikan. Anggota dari Partai B, sebagai
penyanggah, menuduh anggota dari Partai A ingin menghancurkan militer dan
menempatkan negara pada kondisi kurang aman. Ini merupakan misrepresentasi
dengan mengekstremkan posisi lawan.
e. Imbauan Cacah
Stratagem ini biasanya digunakan untuk mendukung suatu posisi dengan
menunjukkan bahwa banyak orang melakukan apa yang dikandung posisi
tersebut.
Sebagai contoh, suatu kelompok memegang posisi untuk membolehkan penaikan
harga (mark-up) kontrak atau tender karena banyak rekanan melakukan hal
tersebut. Dalam promosi produk, pengiklan membuat klaim “Sembilan dari
sepuluh bintang film menggunakan sabun merek X” untuk membujuk konsumer
agar membeli sabun tersebut. Imbauan cacah (appeal to number) didasarkan
17
pada asumsi bahwa majoritas orang melakukan suatu hal atau popularitas suatu
hal menunjukkan bahwa hal tersebut adalah benar atau tidak dapat salah.
Mengajukan asumsi ini untuk mendukung posisi tidak sama dengan mengajukan
argumen tetapi lebih merupakan stratagem.
f. Imbauan Autoritas
Stratagem ini hampir sama dengan imbauan cacah kecuali bahwa banyaknya orang
atau popularitas diganti dengan autoritas. Dengan imbauan autoritas,
orang berusaha meningkatkan daya bujuk suatu posisi dengan menunjukkan bahwa
posisi tersebut dipegang oleh orang yang mempunyai autoritas dalam masalah
bersangkutan tanpa menunjukkan bagaimana autoritas bernalar. Apakah stratagem
ini dapat dianggap sebagai kecohan bergantung pada situasi nyata yang
melatarbelakangi karena kalau autoritas dan penalarannya memang layak orang
akan terbujuk ke arah yang benar. Akan tetapi, kalau autoritas semata-mata
dijadikan alat untuk membujuk maka kecohanlah yang terjadi.
Sebagai contoh, seorang akademisi ditanya mengapa dia memakai istilah
beban bukan biaya untuk padan kata expense. Akademisi tersebut dapat
mengajukan stratagem bahwa dia menggunakan istilah beban karena autoritas
(Ikatan Akuntan Indonesia) menggunakan istilah tersebut tanpa mempersoalkan
apakah istilah tersebut layak atau tidak.
Berkaitan dengan stratagem ini adalah imbauan autoritas yang tidak tepat
(appeal to inappropriate authority). Dengan taktik ini, penalar berusaha untuk
meningkatkan kredibilitas dan daya bujuk suatu posisi dengan menunjukkan bahwa
posisi tersebut juga dipegang oleh orang yang diakui sebagai ahli di bidang yang
tidak berpautan dengan masalah yang dibahas.
g. Imbauan Tradisi
Stratagem ini didasarkan pada sesuatu hal yang telah lama diyakini dan dilakukan
oleh banyak orang karena semata-mata memang begitulah cara yang telah lama
dilakukan orang. Namun, kenyataan bahwa sesuatu telah lama dikerjakan dengan
cara tertentu di masa lampau tidak dengan sendirinya menjadi argumen untuk
meneruskan cara tersebut khususnya kalau terdapat cara lain yang terbukti lebih
valid atau baik (secara rasional dan praktis). Misalnya seorang dosen berargumen
bahwa skripsi mahasiswa harus ditulis dengan mesin ketik (bukan komputer)
karena tradisi penulisan jaman dulu.
Hal yang perlu dicatat dalam kaitannya dengan argumen ini adalah bahwa maksud
baik tradisi tidak merupakan alasan yang kuat untuk mempertahankannya atau
untuk menolak mempertimbangkan bukti baru kalau memang terdapat bukti kuat
baru bahwa maksud tersebut tidak lagi valid. Prinsip ini sering disebut the purpose
defeats the law.
h. Dilema Semu
Dilema semu (false dilemma) adalah taktik seseorang untuk mengaburkan
argumen dengan cara menyajikan gagasannya dan satu alternatif lain
kemudian mengkarakterisasi alternatif lain sangat jelek, merugikan, atau
mengerikan sehingga tidak ada cara lain kecuali menerima apa yang diusulkan
penggagas.
18
Misalnya, dalam suatu perdebatan tentang amandemen udang-undang dasar,
seorang anggota fraksi mengatakan (untuk meyakinkan anggota dewan yang lain):
“Kita harus menyetujui amandemen ini atau negara kita akan hancur.”
Kecohan terjadi karena pengargumen mengklaim bahwa hanya ada dua alternatif
dan yang satu jelas tidak diinginkan sehingga hanya alternatif yang
diusulkannya yang harus diterima. Akan tetapi, dia mengecoh seakan-akan hanya
ada dua alternatif padahal kenyataannya ada beberapa alternatif lain yang lebih
valid. Dalam banyak hal, masih sering dijumpai banyak orang yang tidak cukup
kritis untuk menanyakan apakah ada alternatif lain yang lebih masuk akal.
i. Imbauan Emosi
Daya bujuk argumen sering dicapai dengan cara membaurkan emosi dengan
nalar. Dengan kata lain, daya nalar orang dimatikan dengan cara menggugah
emosinya. Membidik orangnya (argumen ad hominem) atau imbauan autoritas
sebenarnya merupakan salah satu bentuk imbauan emosi.
Dengan menggugah emosi, pengargumen sebenarnya berusaha menggeser
dukungan nalar (support) validitas argumennya dengan motif (motive). Dengan
taktik ini, emosi orang yang dituju diagitasi sehingga dia merasa tidak enak untuk
tidak menerima alasan yang diajukan. Dua stratagem yang dapat digunakan
untuk mencapai hal ini adalah imbauan belas kasih (appeal to pity) dan imbauan
tekanan/kekuasaan (appeal to force).
Contoh yang digunakan dalam imbauan belas kasih misalnya, seorang mahasiswa
yang telah dikeluarkan dari universitas (memang secara akademik tidak mampu
menyelesaikan kuliahnya dalam waktu yang ditentukan) datang ke rektor.
Mahasiswa tersebut mengajukan pencabutan keputusan dan mengajukan
argumen bahwa keputusan pengeluarannya akan menyebabkan dia dalam
kesulitan dan penderitaan.
3. Salah Nalar (Reasoning Fallacy)
Berbeda dengan stratagem yang lebih merupakan taktik atau pendekatan
yang sengaja digunakan untuk meyakinkan kebenaran suatu asersi, salah nalar
merupakan suatu bentuk kesalahan penyimpulan lantaran penalarannya mengan-
dung cacat sehingga simpulan tidak valid atau tidak dapat diterima. Demikian
juga, salah nalar biasanya bukan kesengajaan (intentional) dan tidak dimaksud-
kan untuk mengecoh atau mengelabuhi (to deceive). Berikut ini adalah beberapa
salah nalar yang banyak dijumpai dalam suatu diskusi ilmiah:
1) Menegaskan Konsekuan
Sebagaimana kita ketahui pada bab sebelumnya bahwa agar argumen valid maka tia
harus mengikuti kaidah menegaskan anteseden (affirming the antecedent atau
modus ponens). Bila simpulan diambil dengan pola premis yang menegaskan
konsekuen, akan terjadi salah nalar. Berikut struktur dan contoh argumen yang valid
dan salah nalar.
19
Valid: Tak valid:
Menegaskan anteseden (modus ponens) Menegaskan konsekuen Premis (1): Jika saya di Semarang, maka
saya di Jawa Tengah
Premis (1): Jika saya di Semarang, maka saya di Jawa Tengah
Premis (2): Saya di Semarang Premis (2): Saya di Jawa Tengah
Konklusi: Saya di Jawa Tengah Konklusi: Saya di Semarang
2) Menyangkal Anteseden
Kebalikan dari salah nalar menegaskan konsekuen adalah menyangkal anteseden.
Suatu argumen yang mengandung penyangkalan akan valid apabila konklusi
ditarik mengikuti kaidah menyangkal konsekuen (denying the consequent atau
modus tollens). Bila simpulan diambil dengan struktur premis yang menyangkal
anteseden, simpulan akan menjadi tidak valid. Berikut struktur dan contoh
argumen yang valid dan salah nalar. Valid: Takvalid:
Menyangkal konsekuen (modus tollens) Menyangkal anteseden Premis (1): Jika saya di Semarang, maka
saya di Jawa Tengah
Premis (1): Jika saya di Semarang, maka saya di Jawa Tengah
Premis (2): Saya tidak di Jawa Tengah Premis (2): Saya tidak di Semarang Konklusi: Saya tidak di Semarang Konklusi: Saya tidak di Jawa Tengah
3) Pentaksaan (Equivocation)
Salah nalar dapat terjadi apabila ungkapan dalam premis yang satu mempunyai
makna yang berbeda dengan makna ungkapan yang sama dalam premis lainnya.
Salah nalar dapat juga terjadi karena konteks premis yang satu berbeda dengan
konteks premis lainnya. Argumen dalam bahasa Inggris berikut memberi ilustrasi
salah nalar ini (Nickerson, 1986, hlm. 4).
Premis Major: Nothing is better than eternal happiness Premis Minor: A spicy chicken is better than nothing
Konklusi: A spicy chicken is better than eternal happines
Secara struktural, argumen di atas menjadi salah nalar karena kata nothing dalam
premis major berbeda maknanya dengan kata nothing dalam premis minor. Dalam
premis major, nothing bermakna tidak ada satupun dari himpunan objek yang
memenuhi syarat sehingga kebahagiaan abadi adalah satu-satunya yang terbaik.
Sementara itu, nothing dalam premis minor bermakna tidak tersedianya anggota
lain dalam himpunan yang di dalamnya spicy chicken merupakan salah satu anggota
sehingga spicy chicken bukan satu-satunya yang terbaik.
4) Perampatan-lebih (Overgeneralization)
Salah nalar ini adalah dengan cara melekatkan (mengimputasi) karakteristik
sebagian kecil anggota ke seluruh anggota himpunan, kelas, atau kelompok
secara berlebihan. Bila seseorang menyimpulkan bahwa warga Kampung X
adalah pencuri karena dia mendapati bahwa dua pencuri yang baru saja ditangkap
berasal dari Kampung X maka dia telah melakukan salah nalar.
Salah nalar yang bartalian dengan perampatan lebih adalah apa yang dikenal
dengan istilah penstereotipaan (stereotyping). Salah nalar ini terjadi bila penalar
20
mengkategori seseorang sebagai anggota suatu kelompok kemudian melekatkan
semua sifat atau kualitas kelompok kepada orang tersebut.
5) Parsialitas (Partiality)
Penalar kadang-kadang terkecoh karena dia menarik konklusi hanya atas dasar
sebagian dari bukti yang tersedia yang kebetulan mendukung konklusi. Hal ini
mirip dengan perampatan lebih lantaran sampel kecil atau ketakrepresentatifan
bukti. Kadang-kadang kita sengaja memilih dan melekatkan bobot yang tinggi
pada bukti (argumen) yang cenderung mendukung konklusi atau keyakinan yang
kita sukai dengan mengabaikan bukti yang menentang konklusi tersebut.
Kesalahan semacam ini tidak harus merupakan suatu stratagem karena penalar
tidak bermaksud mengecoh atau menjatuhkan lawan tetapi karena semata-mata
dia tidak objektif (bias) dalam penggunaan atau pengumpulan bukti.
Dalam penelitian, peneliti sering bias dalam pengumpulan data dengan membuat
pertanyaan yang mengarahkan responden (disebut leading questions). Bila
peneliti berupaya untuk mendukung teori yang disukainya dengan mengarahkan
bukti secara bias, hal tersebut disebut membangun kasus (building the case).
6) Pembuktian dengan Analogi
Analogi lebih merupakan suatu sarana untuk meyakinkan bahwa asersi konklusi
mempunyai kebolehjadian (likelihood) untuk benar. Dengan kata lain, bila premis
benar, konklusi atas dasar analogi belum tentu benar. Jadi, analogi dapat
menghasilkan salah nalar.
Premis 1: Komputer mempunyai CPU yang bekerja seperti otak Premis 2: Otak berpikir
Konklusi: Komputer berpikir
Dalam pengembangan istilah, analogi sering diartikan sebagai mengikuti
kaidah atau struktur ungkapan yang sama. Dengan makna ini, menggunakan
analogi untuk menurunkan istilah bukan merupakan salah nalar tetapi merupakan
sarana untuk mengaplikasi kaidah secara taat asas. Salah nalar justru akan terjadi
kalau kaidah tidak diikuti.
7) Merancukan Urutan Kejadian dengan Penyebaban
Kesalahan yang sering dilakukan orang adalah merancukan urutan kejadian
(temporal succession) dengan penyebaban (causation). Bila kejadian B selalu
mengikuti kejadian A, orang cenderung menyimpulkan bahwa B disebabkan
oleh A. Karena malam selalu mengikuti siang, tidak berarti bahwa siang
menyebabkan malam. Salah nalar terjadi bila urutan kejadian disimpulkan
sebagai penyebaban. Kesalahan ini sering disebut dalam bahasa Latin post hoc
ergo propter hoc (setelah ini, maka karena ini).
Dalam penelitian ekperimental yang bertujuan untuk menguji hubungan
penyebaban, konklusi dapat salah atau meragukan karena terdapat faktor
penyebab selain yang diteliti yang ternyata juga mempengaruhi faktor akibat. Bila
hal ini terjadi, maka dikatakan bahwa penelitian tersebut mempunyai validitas
internal (internal validity) yang rendah.
21
8) Menarik Simpulan Pasangan
Kemampuan seseorang untuk menyajikan argumen sering menjadikan argumen
yang valid atau benar menjadi kurang meyakinkan. Akibatnya, orang sering lalu
menyimpulkan bahwa konklusinya tidak benar atau valid. Hal penting yang perlu
diingat adalah bahwa kemampuan seseorang untuk menyajikan argumen yang
mendukung atau menyangkal suatu posisi tidak menentukan kebenaran (truth)
atau ketakbenaran (falsity) konklusi (posisi). Kebenaran konklusi atau posisi
memang harus didukung oleh argumen yang meyakinkan.
Salah nalar terjadi kalau orang menyimpulkan bahwa suatu konklusi salah
lantaran argumen tidak disajikan dengan meyakinkan (tidak konklusif) sehingga
dia lalu menyimpulkan bahwa konklusi atau posisi pasanganlah yang benar.
Kecohan ini mirip dengan bentuk salah nalar menyangkal anteseden yang telah
dibahas sebelumnya.
G. Aspek Manusia Dalam Penalaran
Aspek manusia merupakan salah satu bagian terpenting dalam penalaran, karena suatu
proses untuk mengubah keyakinan melalui argumen bergantung kepada dua hal yaitu:
Manusia yang meyakini
Asersi yang menjadi objek keyakinan
Kendala yang ada ialah manusia tidak selalu rasional dan tidak semua asersi dapat
ditentukan kebenarannya secara objektif dan tuntas. Beberapa aspek manusia yang dapat
menjadi penghalang dalam penalaran serta pengembangan ilmu dijelaskan sebagai
berikut:
1. Penjelasan Sederhana
Kebutuhan akan penjelasan merupakan fondasi berkembangnya ilmu pengetahuan.
Namun seringkali keinginan yang kuat untuk memperoleh penjelasan menjadikan
orang cepat puas dengan penjelasan sederhana yang pertama didapatkannya
sehingga tidak lagi berupaya untuk mengevaluasi kelayakannya ataupun
mengkomparasinya dengan penjelasan lain, atau dengan kata lain orang menjadi
tidak kritis.
2. Kepentingan Mengalahkan Nalar
Kepentingan seringkali memaksa seseorang untuk memihak kepada suatu posisi
meskipun posisi tersebut lemah dari sisi argumen. Hal ini umum terjadi pada
kalangan yang mendapat julukan pakar atau ilmuwan apalagi yang memiliki
kekuasaan politis. Oleh karena itu suatu proses pengembangan pengetahuan dan
profesi harus didukung kebebasan akademik yang menjadi ciri penting lingkungan
akademik kondusif. Kebebasan akademik sendiri diartikan sebagai kebebasan untuk
berbeda pendapat secara akademik dalam suatu forum yang memungkinkan
akademisi berargumen secara terbuka.
Suatu kasus nyata yang menunjukkan adanya kepentingan yang mengalahkan nalar
dalam pengembangan pengetahuan adalah sikap kolega Galileo yang menolak untuk
mempertimbangkan bukti yang diajukan oleh Galileo mengenai bulan atau satelitnya
planet Jupiter, padahal mereka merupakan pakar dan ilmuwan yang juga sekaligus
22
pemuka masyarakat dan penguasa. Keadaan yang dibentuk dari sikap tersebut
menjadikan perbedaan pandangan tidak akan terbuka untuk diskusi dan kebenaran
ilmiah tidak akan tercapai.
3. Sindroma Tes Klinis
Merupakan suatu sindrom ketakutan seseorang atas munculnya gagasan baru yang
dapat mematahkan gagasan lama yang dibuatnya ataupun diyakini sebelumnya.
Sindrom ini awalnya berasal dari gambaran seseorang yang meyakini dirinya
mengidap suatu penyakit namun tidak berani untuk memeriksakan diri karena takut
dugaannya tersebut benar.
4. Mentalitas Djoko Tingkir
Merupakan sikap yang menunjukkan mental orang/sekelompok orang yang berada
dibawah kekuasaan/tekanan ataupun memuja/mengagumi/meninggikan/
menghormati kolega, senior, ataupun atasannya sehingga memihak dan mengajarkan
sesuatu yang sebenarnya salah dan menyembunyikan apa yang sebenarnya valid
semata-mata untuk menghormati/menyenangkan kolega, senior, ataupun atasan
maupun untuk melindungi diri dari tekanan.
5. Merasionalkan daripada Menalar
Seringkali orang yang sudah memihak kepada suatu posisi yang ternyata lemah atau
salah, dalam diskusi dia tidak lagi bertujuan untuk mencari kebenaran atau validitas
melainkan untuk membela diri atau menutupi rasa malu. Apabila hal ini yang terjadi,
maka orang tersebut tidak lagi menalar (to reason) melainkan merasionalkan (to
rationalize). Selain itu hal ini dapat juga terjadi apabila seseorang memiliki
pengetahuan terbatas atas topik yang didiskusikan namun yang bersangkutan tidak
mau mengakuinya.
Apabila hal ini terjadi maka tujuan diskusi bukan lagi untuk menemukan solusi
melainkan untuk mencari kemenangan.
6. Persistensi
Persistensi adalah kekuatan/keteguhan keyakinan seseorang terhadap suatu
keyakinan, terkadang karena suatu kepentingan orang sering bersikap persisten
terhadap keyakinannya meski terdapat argumen lain yang kuat bahwa keyakinan
orang tersebut adalah salah dan seharusnya melepas keyakinannya.
Sebenarnya, sampai tingkatan tertentu sikap ini diperlukan dan penting agar orang
tidak dengan mudahnya pindah keyakinan atau paradigma seperti orang plin-plan.
Selain itu juga persistensi memiliki tujuan agar dapat diperoleh argumen atau bukti
kuat yang menunjukkan bahwa suatu keyakinan itu salah.
Namun demikian, manusia tidak selalu dapat bersikap objektif dan tidak memihak,
apabila terdapat kepentingan yang dirasa perlu dipertahankan, maka persistensi yang
berlebihan terhadap suatu keyakinan seringkali terjadi bahkan oleh ilmuwan maupun
pakar, hal ini menyebabkan konversi keyakinan sulit terjadi.
23
BAB III
SIMPULAN
Penalaran merupakan pengetahuan tentang prinsip-prinsip berpikir logis yang menjadi basis
dalam diskusi ilmiah. Penalaran juga merupakan suatu ciri sikap (attitude) ilmiah yang sangat
menuntut kesungguhan (commitment) dalam menemukan kebenaran ilmiah. Penalaran
melibatkan proses penurunan konsekuensi logis (inferensi) dan proses penarikan simpulan
dari serangkaian pernyataan atau asersi. Proses tersebut dapat bersifat deduktif maupun
induktif. Struktur dan proses penalaran terdiri dari tiga konsep penting, yaitu asersi,
keyakinan, dan argumen.
Asersi merupakan suatu pernyataan yang menegaskan bahwa sesuatu adalah benar. Asersi
berperan penting dalam pembentukan argumen, yaitu dapat berfungsi sebagai premis dan
konklusi. Premis adalah asersi yang digunakan untuk mendukung konklusi. Konklusi adalah
asersi yang diturunkan dari serangkaian asersi.
Asersi dapat diklasifikasikan menjadi asumsi, hipotesis, dan pernyataan fakta. Asumsi adalah
asersi yang diyakini benar meskipun orang tidak dapat mengajukan atau menunjukkan bukti
tentang kebenarannya secara meyakinkan atau asersi yang orang bersedia untuk menerima
sebagai benar untuk keperluan diskusi atau debat. Hipotesis adalah asersi yang kebenarannya
belum atau tidak diketahui tetapi diyakini bahwa asersi tersebut dapat diuji kebenarannya.
Pernyataan fakta adalah asersi yang bukti tentang kebenarannya diyakini sangat kuat atau
bahkan tidak dapat dibantah.
Keyakinan merupakan tingkat kebersediaan untuk menerima bahwa suatu pernyataan atau
teori mengenai suatu fenomena atau gejala adalah benar. Keyakinan terhadap asersi adalah
tingkat kebersediaan untuk menerima bahwa asersi tersebut benar. Keyakinan diperoleh
karena kepercayaan (confidence) tentang kebenaran yang dilekatkan pada suatu asersi. Suatu
asersi dapat dipercaya karena adanya bukti yang kuat untuk menerimanya sebagai hal
yang benar.
Argumen merupakan serangkaian asersi beserta keterkaitan (artikulasi) dan inferensi atau
penyimpulan yang digunakan untuk mendukung suatu keyakinan. Argumen menjadi unsur
penting dalam penalaran karena digunakan untuk membentuk, memelihara, atau mengubah
suatu keyakinan. Argumen dapat disamakan dengan penalaran logis untuk menjelaskan atau
mengajukan bukti rasional tentang suatu asersi. Apabila terdapat lebih dari satu
interpretasi terhadap suatu argumen, argumen harus diinterpretasi sehingga premis-premis
yang terbentuk memberi dukungan yang paling kuat terhadap konklusi yang dihasilkan.
Apabila terdapat suatu asersi yang nyatanya membujuk dan dianut oleh banyak orang padahal
tidak karena argumen yang diajukan mengandung cacat (faulty) apapun faktornya, maka
dapat dipastikan terjadi kesalahan yang disebut kecohan atau salah nalar (fallacy). Ada
perbedaan antara kecohan lantaran taktik atau akal bulus (stratagem) dan kecohan lantaran
salah logika atau nalar dalam argumen (reasoning fallacy). Ciri yang membedakan keduanya
adalah maksud atau niat (intention) untuk berargumen.
Aspek manusia merupakan salah satu bagian terpenting dalam penalaran, karena suatu proses
untuk mengubah keyakinan melalui argumen bergantung pada manusia yang meyakini dan
asersi yang menjadi objek keyakinan. Kendala yang jamak terjadi adalah manusia tidak selalu
rasional dan tidak semua asersi dapat ditentukan kebenarannya secara objektif dan tuntas.
24
DAFTAR PUSTAKA
Suwardjono, 2005. Teori Akuntansi : Perekayasaan Pelaporan Keuangan (Edisi III).
Yogyakarta: BPFE.
Cohen, Ted. The Journal of Philosophy, Vol. 87, No. 12 (Dec., 1990), pp. 702-708
http://id.wikipedia.org/wiki/Akuntansi
http://www.slideshare.net/xyrces/ringkasan-teori-akuntansi-suwardjono