28
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Tuberkulosis 2.1.1 Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang paru- paru yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain (Santa Manurung, 2013). Tuberkulosis adalah merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tubercolusis dan Mycobacterium bovis Penyakit ini biasanya mengenai paru, meskipun juga pada sepertiga kasus dapat mengenai organ lain. Penularanya biasanya melalui udara yaitu dari droplet yang dihasilkan penderita tuberkulosis paru aktif (Widoyono, 2011). Penyakit TB paru merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur hidup. Setelah seseorang terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, hampir 90% penderita secara klinis tidak sakit, hanya didapatkan test tuberkulin positif dan 10% akan sakit. Penderita yang sakit bila tanpa pengobatan setelah 5 tahun 50% penderita TB paru akan mati, 25% sehat dengan pertahanan tubuh yang baik dan 25% menjadi kronik dan infeksius (Jusuf, 2010). Namun ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dengan TB paru aktif yang tidak diobati lebih mungkin meninggal dalam waktu yang lebih singkat (Green, 2006).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosiseprints.umm.ac.id/39167/3/Bab 2.pdf · mempunyai tuberkulosis aktif, individu imunosupresif termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka yang

  • Upload
    phamdat

  • View
    227

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA .

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang paru-

paru yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan

nekrosis jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari

penderita kepada orang lain (Santa Manurung, 2013).

Tuberkulosis adalah merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang

disebabkan oleh basil Mycobacterium tubercolusis dan Mycobacterium bovis

Penyakit ini biasanya mengenai paru, meskipun juga pada sepertiga kasus dapat

mengenai organ lain. Penularanya biasanya melalui udara yaitu dari droplet yang

dihasilkan penderita tuberkulosis paru aktif (Widoyono, 2011).

Penyakit TB paru merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur

hidup. Setelah seseorang terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, hampir

90% penderita secara klinis tidak sakit, hanya didapatkan test tuberkulin positif

dan 10% akan sakit. Penderita yang sakit bila tanpa pengobatan setelah 5 tahun

50% penderita TB paru akan mati, 25% sehat dengan pertahanan tubuh yang baik

dan 25% menjadi kronik dan infeksius (Jusuf, 2010). Namun ODHA (orang

dengan HIV/AIDS) dengan TB paru aktif yang tidak diobati lebih mungkin

meninggal dalam waktu yang lebih singkat (Green, 2006).

6

2.1.2 Patofisiologi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendendalikan oleh cell mediated

immune respons. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit (biasanya sel T)

adalah sel imunoresponsif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan

makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya.

Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitifitas selular (lambat).

Sumber infeksi dapat berupa dahak manusia, urin, dan cairan tubuh

lain yang terinfeksi. Dahak manusia adalah sumber yang paling penting. Batuk,

berbicara, dan meludah memproduksi percikan sangat kecil berisi tuberkulosis

yang melayang-layang di udara. Kuman ini dapat terhirup napas dan

menyebabkan penyakit. Pasien-pasien dengan dahak positif pada hapusan

langsung jauh lebih menular, karena mereka memproduksi lebih banyak bakteri

tuberkulosis dibandingkan dengan mereka yang hanya positif pada pembiakan.

Urin dan cairan tubuh lain yang terinfeksi secara teoritis mengandung resiko,

tetapi jauh kurang penting, karena pada umumnya jumlah basil yang relatif kecil

(price & Wilson,2008).

2.1.3 Cara Penularan dan Resiko penularan

Tuberkulosis dapat ditularkan melalui udara dari penderita

tuberkulosis paru BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin penderita

tuberkulosis paru tersebut menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet

(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada

suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut

terhirup kedalam pernapasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari

7

paru kebagian tubuh lainya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,

saluran napas atau penyebaran langsung kebagian tubuh lainya. Daya penularan

dari seseorang pasien ditentukan jumlah banyaknya kuman yang dikeluarkan dari

parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak maka makin

menular pasien tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif atau tidak terlihat

kuman maka pasien tersebut tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi

tuberkulosis paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya

menghirup udara tersebut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

Faktor-faktor yang mempengaruhi resiko penularan penyakit

tuberkulosis paru adalah mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang

mempunyai tuberkulosis aktif, individu imunosupresif termasuk lansia, pasien

dengan kanker, mereka yang dalam terapi kortikosteroid atau mereka yang

terinfeksi dengan HIV, penggunaan obat-obat IV dan alkoholik, individu yang

memiliki gangguan medis yang sudah ada sebelumnya, umur dan jenis kelamin,

keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi yang akan

mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit

termasuk tuberkulosis paru, individu yang tinggal di instansi, misalnya fasilitas

perawatan jangka panjang, institusi psikiatrik, penjara, mereka yang tinggal

diperumahan yang padat, kumuh, dan sanitasi yang buruk(Bruner dan Suddart,

2005).

2.1.4 Manifestasi Klinis

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu

gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala

8

lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). Gejala

tuberkulosis paru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu

atau lebih, bercampur darah, sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu

makan menurun, berat badan menurun dan badan berkeringat walaupun tanpa

kegiatan. Keluhan yang biasa ditemukan pada pasien dengan tuberkulosis paru

adalah diantaranya demam, keringat pada malam hari, batuk atau dengan tanpa

darah, sesak napas, nyeri dada, malaise.

Demam pada pasien dengan tuberkulosis paru biasanya subfebris tetapi

kadang sampai 40-41 C. Demam ini biasanaya hilang timbul sehingga pasien

merasa tidak pernah bebas dari serangan demam. Keadaan ini berhubungan

dengan daya tahan tubuh pasien serta berat ringanya infeksi kuman tuberkulosis

yang masuk. Gejala batuk pada pasien dengan tuberkulosis paru yang banyak

ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Keterlibatan

bronkus pada setiap penyakit tidak sama, maka mungkin saja batuk baru ada

setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yaitu setelah berminggu-

minggu atau berbulan-bulan peradangan dimulai. Sifat batuk dapat dimulai dari

batuk kering dan setelah timbuk peradangan menjadi batuk produktif yang

menghasilkan seputum. Keadaan lanjut adalah berupa batuk darah karena

terdapatnya pembuluh darah yang pecah. Batuk darah kebanyakan tibul akibat

aktivasi namun dapat pula terjadi ulkus dinding bronkus (perhimpunan Dokter

Paru Indonesia,2006).

Sesak napas pada saat penyakit ringan belum akan dirasakan. Sesak

napas akan ditemukan pada penyakit paru yang sudah lanjut, yang infiltrasi

9

meliputi setengah bagian paru. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah

mencapai pleura sehingga terjadi peluritis. Penyakit Tuberkulosis paru

merupakan penyakit radang yang menahun sehingga gejala malaise sering

ditemukan yang dapat berupa anorexia, berat badan yang menurun, sakit kepala,

meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise semakin lama semakin berat

dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (price & Wilson, 2008).

2.1.5 Penatalaksanaan Tuberkulosis paru

Obat-obat anti tuberkulosis (OAT) standart memiliki keefektivitasan

sekitar sembilan puluh lima persen jika diresepkan dan dipergunakan dengan

tepat untuk beberapa bulan. Efek samping dari obat-obatan tersebut, bagaimana

juga menyebabkan pasien tidak menyelesaikan pengobatan secara tuntas, pasien

juga sering lupa untuk minum obat anti tuberkulosis atau menghentikan

pengobatan secara waktunya ini dapat menjadi sumber penularan tuberkulosis

dan mengakibatkan berkembangnya strain yang menjadi resistensi terhadap satu

atau lebih obat anti tuberkulosis (Jurnal Tuberkulosis Indonesia, 2012).

1. Pengobatan

Pengobatan Tuberkulosis paru bertujuan untuk menyembuhkan

pasien,mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai

penularan dan mencegah terjadiya resistensi kuman terhadap obat anti

tuberkulosis (OAT).pengobatan tuberkulosis paru dilakukan dengan perinsip-

prinsip sebagai berikut yaitu OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi

beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-

10

Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat

dianjurkan, Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung, (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seseorang

pengawas menelan obat (PMO), pengobatan tuberkulosis paru diberikan dalam

dua tahap intensif, pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari

dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekambuhan.

Panduan pengobatan anti tuberkulosis (OAT) yang direkomendasikan

IUATLD (International Union Againts Tuberkulosis and Lung Disease, 2007)

ada 3 kategori antara lain:

a. Kategori 1 pada Tahap intensif terdiri dari Isoniazid, Rimfampisin,

Pirazinamid dan Etambutul. Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2

bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari

Isonoazid dan Rimfampisin, diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan

(4H3R3). Obat ini diberikan untuk penderita baru tuberkulosis paru BTA

positif, penderita tuberkulosis paru BTA positif, penderita tuberkulosis paru

Ekstra paru berat.

b. Kategori 2 pada Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2

bulan dengan Isoniazid, Rimfampisin, Pirazinamid, Etambutol dan suntikan

Streptomisin setiap hari dari unit pelayanan kesehatan (UPK). Dilanjutkan 1

bulan dengan Isoniazid, Rimfampisin, Pirazinamid, dan Etambutol setiap hari.

Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang

diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita kambuh

(relaps), penderita dengan pengobatan setelah lalai (after defalut).

11

c. Kategori 3 pada Tahap intensif terdiri dari Isoniazid,Rimfampisin, dan

Pirazinamid diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan

tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan tiga kali seminggu

(4H3R3). Obat ini diberikan untuk penderita untuk penderita baru BTA negatif

dan rongten positif sakit ringan, Penderita ekstra paru ringan yaitu tuberkulosis

kelenjar limfe (limfadenitis), pluritis eksudativa unilateral, tuberkulosis kulit,

tuberkulosis tulang (kecuai tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

2. Perencanaan makan/Terapi gizi medis

Suplai protein dan kalori serta konsumsi makana mempengaruhi

kepada morbididtas dan mortalitas tuberkulosis paru. Adanya tambahan protein

terutama protein hewani akan meningkatkan gizi pasien tuberkulosis paru.

Kebutuhan kalori protein perkilogram berat badan adalah 1,2-1,5gr/kgbb atau 15%

energi total asupan harian atau 75-100 gr/hari. Kalori yang dibutuhkan penderita

tuberkulosis meningkat, Kebutuhan kalori yang direkomendasikan 35-40

kkal/kgbb ideal, Kebutuhan mikronutrien seperti vitamin dan mineral juga sangat

diperlukan seperti vitamin E yang kebutuhannya 140 mg dan selenium mg yang

fungsinya menekan oksidasi stress dan meningkatkan antioksidan pada pasien

tuberkulosis paru bersamaan dengan pemberian obat anti tuberkulosis (IUATLD.

tuberkulosis & Nutrition, 2007).

3. Penyuluhan Kesehatan

Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan

dengan cara menyebar pesan, menanamkan keyakinan sehingga masyarakat tidak

12

saja sadar, tahu dan mengerti tetapi juga mau dan melakukan suatu anjuran yang

ada hubuganya dengan kesehatan.

Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan

adalah rangkaian dari kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk

mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau masyarakat secara

keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan

meningkatkan kesehatan.

Penyuluhan tuberkulosis paru perlu banyak berkaitan dengan masalah

pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk

meningkatkan kesadran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam

penanggulangan tuberkulosis paru. Dalam penanggulangan tuberkulosis paru.

Dalam penanggulangan tuberkulosis paru. penyuluhan langsung perorangan dapat

dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan pengawas minum obat.

Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk

dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi

masyarakat tentang tuberkulosis paru sebagai suatu penyakit yang berbahaya tapi

dapat disembuhakan penemuan penderita.

4. Komunikasi terapiutik dan edukasi serta pengawasan pengobatan

Penerapan komunikasi terapeutik dalam pelayanan perawatan

mempunyai peran yang besar terhadap kemajuan kesehatan pasien. Komunikasi

terapeutik meningkatkan hubungan intrapesonal dengan klien sehingga akan

tercipta suasana yang kondusif dimana klien dapat mengungkapkan perasaan dan

harapan-harapannya (Notoatmodjo, 2007).

13

Agar penderita mau minum obat dengan teratur dan patuh perlu adanya

komunikasi, informasi, edukasi yang berkesinambungan oleh petugas ksehatan,

sehingga termotivasi minum obat secara teratur. Komunikasi yang cukup efektif

dalam bentuk edukasi lisan pada pasien maupun pengawas minum obat akan

memuat pasien lebih mengerti, memahami dan menyadari tentang penyakitnya

sehingga patuh mangikuti anjuran petugas kesehatan untuk berobat teratur sampai

selesai. Edukasi dapat dilakukan oleh dokter kita memeriksakan pasien dilanjutkan

oleh petugas kesehatan yang sekaligus memberikan obat sesuai dengan ketentuan

serta sedikasi efek samping obat. Komunikasi yang efektif antara petugas

kesehatan dan pasien akan membentuk persepsi tentang penyakitnya sehingga

timbul keyakinan dan harapan bahwa penyakitnya dapat disembuhkan. Sikap

petugas kesehatan mempengaruhi tingkat pengetahuan dari pasien, dapat

dijelaskan bahwa sikap petugas kesehatan yang kurang baik akan beresiko enam

kali terhadap rendahnya tingkat pengetahuan pasien (Santa Manurung, 2013).

Dalam pengawasan pengobata,petugas kesehatan sebaiknya mengikuti

sertakan keluarga dalam pengawasan pengobatan agar pasien dapat berobat secara

berkesinambungan. Tujuan diadakan pengawasan pengobatan adalah untuk

menjamin ketekunan dan keteraturan pengobatan sesuai dengan jadwal,

menghindari penderita putus berobat sebelum waktunya serta mengurangi

kemungkinan kegagalan pengobatan dan resistensi terhadap obat anti tuberkulosis

(OAT) (Santa Manurung, 2013).

14

2.1.6 Efek samping obat tuberkulosis paru

Sebagian besar pasien tuberkulosis paru dapat menyelesaikan

pangobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek

samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping

sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek sampig yang terjadi dapat

ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat

simptomatis maka pemberian OAT dapat diteruskan. Efek-efek samping OAT

tersebut diantaranya untuk Isoniazid efek samping ringan dapat berupa tanda-

tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot,

efek samping berat yang ditimbulkan dapat berupa hepatitis imbas obat yang

dapat ditimbulkan pada kurang lebih 0,5% pasien. Pada golongan Rimfampisin

efek samping ringan dapat berupa sindrom flu (demam, mengigil, nyeri tulang)

sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah dan kadang-kadang diare, gatal-

gatal kemerahan, Rimfampisin dapat juga menyebabkan warna merah pada air

seni, keringat, air mata dan air liur, warna merah tersebut terjadi karena proses

metabolism obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien

agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir. Sedangkan Pirazinamid efek

samping utama yang ditimbulkan adalah hepatitis imbas obat, nyeri sendi,

demam,mual, kemerahan pada kulit. Etambutol dapat menyebabkan gangguan

penglihatan berupa kurangnya ketajaman, buta warna merah dan hijau.

Streptomisin dapat menimbulkan efek samping berupa kerusakan syaraf

kedelapan yang berkaitan erat dengan keseimbangan dan pendengaran,gejala

15

efek samping yang terlihat adalah telinga mendenging (tinitus), pusing dan

kehilangan keseimbangan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

2.1.7 Pencegahan

Sejauh ini acara pencegahan tuberkulosis paru yang terbaik adalah

dengan melakukan deteksi sedini mungkin dan memberikan pengobatan yang

sesuai sampai dinyatakan sembuh. Strategi lainya adalah dengan penambahan

vaksinasi BCG (Bacille Calmette Guerine) dan pemberian obat profilaksis pada

orang yang beresiko tinggi terkena atau berkembang menjadi tuberkulosis aktif.

Tindakan pencegahan tuberkulosis paru merupakan upaya pencegahan

agar penyakit ini tidak menyebar dan menulari orang lain. Upaya tersebut yaitu

pengobatan tuberkulosis paru dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat

(Notoatmodjo, 2007). Terdapat sepuluh indikator gaya hidup sehat yaitu

membuka jendela pada pagi hari sampai sore hari agar rumah mendapat sinar

matahari dan udara yang cukup, menjemur kasur, bantal, dan guling secara

teratur sekali seminggu, kesesuaian luas lantai dengan jumlah hunian, menjaga

kebersihan diri, rumah, dan lingkungan sekitar rumah, lantai diplester atau

dipasang keramik, bila batuk dan bersin mulut ditutup serta membuang tisu

dengan tepat, mencuci tangan dengan baik, tidak meludah disembarang tempat

tapi menggunakan tempat ksusus, istirahat cukup dan tidak tidur larut malam,

makan makanan bergizi dan seimbang dan hindari polusi udara dalam rumah

seperti asap dapur dan asap rokok.

16

2.2. Faktor Resiko Kejadian Tuberkulosis Paru

Teori John Gordon tahun 1950 yang dikutip oleh Azrul Azwar (1999)

mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor

yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan lingkungan (environment). Beberapa

faktor resiko pada penyakit tuberkulosis paru adalah:

a. Jenis kelamin

WHO (2012) melaporkan bahwa di sebagian besar dunia, lebih banyak laki-

laki daripada wanita didiagnosis tuberkulosis. Hal ini didukung dalam data yaitu

antara tahun 1985-1987 penderita tuberkulosis paru pada laki-laki cenderung

meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan pada wanita menurun 0,7%. tuberkulosis

paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-

laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan

terjangkitnya tuberkulosis paru. Hasil penelitian mengenai resiko jenis kelamin dan

infeksi tuberkulosis masih bervariasi, seperti penelitian Feng et al (2012) yang

menunjukkan bahwa di Taiwan Cina, jenis kelamin pria merupakan faktor resiko

independen untuk terinfeksi tuberkulosis (OR, 1,96, 95% CI, 1,12-3,41) karena

memiliki kebiasaan merokok. Sedangkan penelitian Zhenhua (1996-2000) di

Arkansas Amerika Serikat menunjukkan bahwa perempuan (OR, 1,98, 95% CI,

1,25-3,13), non-Hispanik kulit hitam (OR, 2,38, 95% CI , 1,42-3,97), dan HIV-

positif (OR, 4,93, 95% CI, 1,95-12,46) memiliki resiko lebih tinggi untuk

tuberkulosis paru daripada laki-laki, kulit putih non-Hispanik, dan HIV-negatif.

17

b. Umur

Faktor umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru. Hasil

penelitian Rusnoto dan kawan-kawan tentang faktor-faktor yang Berhubungan

dengan kejadian tuberkulosis paru pada orang dewasa di BP4 Pati tahun 2006, dari

karakteristik responden yang diteliti bahwa proporsi responden yang tuberkulosis

paru BTA positif berusia di atas 45 tahun lebih besar (69,8 %) dari usia antara 15 –

45 tahun (37,7 %).

Menurut Haryani tahun 2007 bahwa tuberkulosis paru pada anak biasanya

bersumber dari orang dewasa yang menderita tuberkulosis aktif, yaitu penderita

dengan bakteri tahan asam (BTA) positif. Frekuensi anak mengalami tuberkulosis

tergantung pada banyaknya jumlah sumber penularan, kedekatan dengan sumber

penularan, lama kontak dengan sumber penularan, dan umur anak. Meskipun risiko

terbesar anak tertular tuberkulosis dari kontak serumah dengan penderita

tuberkulosis, namun tidak tertutup kemungkinan anak mendapatkan infeksi dari

sumber penular yang asalnya di luar rumah.

c. Kondisi sosial ekonomi

WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia

menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Menurut badan

pusat statistik republik Indonesia (2012), mengukur kemiskinan menggunakan

konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan

pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidak mampuan dari sisi ekonomi

untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari

sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata

18

pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Faktor kemiskinan

walaupun tidak berpengaruh langsung pada kejadian tuberkulosis paru namun dari

beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara pendapatan yang rendah

dan kejadian tuberkulosis paru (Coker, 2003;Ratnasari, 2005; Mahfudin, 2006).

Lebih jauh lagi Coker (2003) dan Leadefoget et al. (2006) menunjukkan bahwa ada

hubungan pengangguran dengan kejadian tuberkulosis.

d. Kekebalan

Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu kekebalan alamiah dan buatan.

Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis

paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan

diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin). Tetapi

bila kekebalan tubuh lemah, kuman tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan

penyakit tuberkulosis paru. Hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian

tuberkulosis menurut Soysal et al. (2005) bahwa anak yang divaksinasi BCG

memiliki risiko 0,6 kali untuk terinfeksi tuberkulosis (95% CI 0,43-0,83, p =

0,003), dibandingkan dengan anak-anak yang belum divaksin. Ditegaskan oleh

Setiarini (2008) bahwa walaupun imunisasi BCG tidak mencegah infeksi

tuberkulosis namun dapat mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti meningitis

tuberkulosa dan tuberkulosis milier.

e. Status gizi

Kekurangan gizi atau malnutrisi bisa disebabkan karena asupan gizi yang

tidak seimbang baik dari kualitas dan kuantitas,bisa juga karena penyakit

infeksi.Gizi kurang atau buruk dapat menyebabkan menurunnya imunitas/kekebalan

19

tubuh. Kekebalan tubuh yang menurun akan menyebabkan seseorang mudah

terkena penyakit infeksi, seperti tuberkulosis. Demikian juga sebaliknya, seseorang

yang menderita penyakit kronis paru, umumnya status gizinya mengalami

penurunan. Menurut Badan Litbang Depkes RI (2012), proporsi tuberkulosis paru

ditemukan sedikit lebih besar pada yang mengkonsumsi buah sayur kurang dari 5

porsi/hari. Proporsi tuberkulosis paru yang besar juga ditemukan pada kondisi

status gizi kurus. Menurut Narasimhan et al. (2012), malnutrisi (baik mikro dan

makro-defisiensi) meningkatkan resiko tuberkulosis karena adanya respon

kekebalan yang terganggu. Penyakit tuberkulosis dapat menyebabkan kekurangan

gizi itu sendiri karena penurunan nafsu makan dan perubahan dalam proses

metabolisme. Hubungan antara malnutrisi dan tuberkulosis telah ditunjukkan

dengan uji vaksin BCG yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1960 dan

memperkirakan bahwa anak-anak kekurangan gizi akan berisiko dua kali untuk

terkena penyakit tuberkulosis daripada anak-anak yang gizinya baik. Menurut

Supariasa (2011) pengukuran status gizi yang sesuai dengan standar antropometri

salah satunya adalah dengan mengukur indeks masa tubuh (IMT). Parameter yang

harus ada dalam mengukur IMT adalah berat badan dan tinggi badan. IMT adalah

perbandingan berat badan dengan kuadrat tinggi badan individu, dan merupakan

alat yang sederhana memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan

dengan kekurangan atau kelebihan berat badan. Kelebihan menggunakan

pengukuran status gizi dengan IMT adalah tidak memerlukan data umur dan dapat

membedakan proporsi badan. Sedangkan kekurangan IMT adalah membutuhkan

dua jenis alat ukur, pengukurannya lebih lama, dan saat prakteknya sulit melakukan

20

pengukuran pada balita. Menurut Fatimah (2008) dan Rusnoto et al (2005), ada

hubungan antara status gizi dan kejadian tuberkulosis paru.

f. Perilaku merokok

Rokok atau tembakau sebutan lainnya merupakan faktor resiko keempat

timbulnya semua jenis penyakit didunia, termasuk penyakit tuberkulosis paru, hal

ini didukung dari penelitian Wijaya (2012), bahwa merokok meningkatkan resiko

infeksi Mycobacterium Tuberculosis, resiko perkembangan penyakit dan penyebab

kematian pada penderita tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas

sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi

penyerta (opportunity), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi

sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian.(Depkes RI, 2008) Menurut

Sajinadiyasa et al. (2010) dalam penelitiannya di Poliklinik Paru Rumah Sakit

Sanglah didapatkan prevalensi pasien yang terpapar rokok masih tinggi dan

sebagian besar pasien adalah bekas perokok. Resiko mendapat penyakit paru

cenderung lebih besar pada pasien yang terpapar rokok. Menurut Priyadi (2001)

bahwa adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan

kejadian tuberkulosis paru dan tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah

rokok yang dihisap, lamanya merokok serta jenis rokok yang dihisap dengan

kejadian tuberkulosis paru.

g. Penyakit Penyerta (Infeksi HIVdan DM)

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menderita tuberkulosis

adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan

malnutrisi (gizi buruk). Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan faktor

21

resiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi tuberkulosis menjadi sakit Seseorang

yang hidup dengan HIV dan juga terinfeksi tuberkulosis akan lebih cenderung

mengembangkan penyakit tuberkulosis dibandingkan mereka yang HIV negatif.

Pada tahun 1980 hingga tahun 2004, epidemic HIV menyebabkan peningkatan

jumlah kasus tuberkulosis dan kematian akibat tuberkulosis pada banyak negara,

terutama di Afrika Selatan dan AfrikaTimur. Pada tahun 2011, 1,1juta (13%) dari

8,7 juta orang yang mengembangkan tuberkulosis di seluruh dunia adalah HIV

positif, 79% dari kasus tuberkulosis HIV positif berada di Negara Afrika.

Diperkirakan 0,4 juta kematian HIV karena tuberkulosis pada tahun 2011, dengan

angka kira-kira sama antara pria dan wanita. WHO telah menetapkan target angka

kematian akibat tuberkulosis separuh antara orang yang HIV positif pada tahun

2015, dibandingkan dengan tahun 2004 (tahun di mana angka kematian

tuberkulosis pada orang HIV positif diperkirakan telah mencapai puncaknya)

(WHO, 2012). Menurut Widyasari et al (2011) bahwa seseorang dengan riwayat

penyakit diabetes mellitus (DM) memiliki risiko 5 kali lebih besar untuk terinfeksi

tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat penyakit DM.

Hal ini didukung oleh penelitian Nasution (2007), bahwa ada hubungan antara

kadar gula darah (KGD) puasa dengan BTA sputum.

2.3 Faktor Resiko Kondisi Lingkungan Kejadian Tuberkulosis

2.3.1 Kepadatan Penghuni Rumah

Ukuran luas ruangan suatu rumah sangat terkait dengan luas lantai

bangunan rumah, dimana luas lantai bangunan rumah yang sehat harus

cukup untuk penghuni didalamnya. Luas bangunan yang tidak sebanding

22

dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan overcrowded. Hal ini tidak

sehat, sebab disamping meyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, jika salah

satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menularkan

kepada anggota keluarga yang lain. Luas bangunan yang optimum adalah

apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2 untuk setiap orang (tiap anggota

keluarga) (Soekidjo, 2007). Menurut Kepmen Pemukiman dan Prasarana

(2002) bahwa Kebutuhan ruang perorang dihitung berdasarkan aktivitas

dasar manusia di dalam rumah. Aktivitas seseorang tersebut meliputi

aktivitas tidur, makan, kerja, duduk, mandi, kakus, cuci dan masak serta

ruang gerak lainnya. Dari hasil kajian, kebutuhan ruang per orang adalah 9

m2 dengan perhitungan ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2,80 m.

Sedangkan keputusan menteri kesehatan republik Indonesia (Kepmenkes RI)

No.829/Menkes/SK/VII/1999 menyebutkan bahwa syarat perumahan

sederhana sehat minimum 8 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan

minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali

untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Hasil penelitian Rusnoto et

al. (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepadatan rumah

dengan kejadian tuberkulosis paru (OR=5,983).

2.3.2 Kelembaban rumah

Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan

kelembaban udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal. Suhu

udara dan kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan

pencahayaan Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan

23

ruangan terasa pengap atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban tinggi

dalam ruangan. Untuk mengatur suhu udara dan kelembaban suatu ruangan

normal bagi penghuni dalam melakukan kegiatannya, perlu memperhatikan:

keseimbangan penghawaan antara volume udara yang masuk dan keluar,

pencahayaan yang cukup pada ruangan dengan perabotan tidak bergerak dan

menghindari perabotan yang menutupi sebagian besar luas lantai ruangan

(Kepmen Perumahan dan Prasarana Wilayah, 2002). Indikator kelembaban udara

dalam rumah sangat erat dengan kondisi ventilasi dan pencahayaan rumah. Bila

kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada

cepat lelah saat bekerja dan tidak cocok untuk istirahat. Sebaliknya, bila

kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang orang

tertentu dapat menimbulkan alergi. Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban

dalam rumah akan mempermudah berkembang biaknya mikroorganisme antara

lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk

ke dalam tubuh melalui udara, selain itu kelembaban yang tinggi dapat

menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif

dalam menghadang mikroorganisme (Kepmenkes, 1999). Pengukuran

kelembaban secara umum menggunakan alat hygrometer dengan standar

kelembaban ruangan minimal 40%–70%, dan suhu ruangan dengan suhu ideal

antara 180C – 300C. Pengukuran dilakukan pada ruang keluarga yang lebih

banyak digunakan aktivitas dan pada jam 09.00-12.00. Saat pengukuran alat

diletakkan pada permukaan ruangan yang akan diukur kelembabannya pada

posisi horizontal, kemudian tunggu ± 1 menit dan lakukan pembacaan skalanya.

24

Selama pembacaan haruslah diberi aliran udara yang dihembus ke arah alat

tersebut, hal ini dapat dilakukan dengan secarik kertas atau kipas (Depkes RI,

1995). Mengetahui kelembaban ruangan tanpa alat dapat dilakukan dengan

melihat kondisi lantai dan dinding. Lantai dan dinding tidak lembab dapat

dirasakan dengan menyentuh dinding dan lantai, jika lembab akan terasa basah

saat dipegang dan terlihat ditumbuhi jamur (Depkes RI, 1995). Menurut Rusnoto

et al. (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna antara kelembaban dan

kejadian tuberkulosis paru (OR=6,3 ; 95% CI=2,651-14,971).

Hasil penelitian Jelalu (2008) menunjukkan bahwa 73,7% kejadian

tuberkulosis paru pada orang dewasa di Kabupaten Kupang dipengaruhi oleh 4

variabel, salah satunya adalah kelembaban rumah.

2.3.3 Ventilasi

Ventilasi pada rumah memiliki banyak fungsi, selain menjaga agar

aliran udara dalam rumah tetap segar juga membebaskan udara ruangan dari

bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara

yang terus menerus. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah

selalu dalam kelembaban yang optimum. Ventilasi yang tidak mencukupi akan

menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses

penguapan dan penyerapan cairan dari kulit. Kelembaban ruangan yang tinggi

akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-

bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis (Soekidjo, 2007). Ventilasi yang

baik pada ruang tidur adalah dapat berupa lubang angin yang berseberangan

sehingga pertukaran udara akan berjalan terus dan ruangan menjadi segar, atau

25

jendela yang dapat dibuka sehingga udara segar dan sinar matahari dapat masuk.

Cara praktis untuk memperoleh ventilasi alami adalah jika dengan ventilasi

tetap/lubang angin minimal 5% dari luas lantai, sedangkan jika menggunakan

ventilasi variabel/jendela juga minimal 5% dari luas lantai (Depkes RI, 1995).

Secara umum penilaian ventilasi rumah dengan membandingkan antara luas

ventilasi dengan luas lantai rumah, dengan menggunakan roll meter. Menurut

indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan

adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat

kesehatan adalah < 10%luas lantai rumah. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari

luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya

konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat

racun bagi penghuninya (Kepmenkes, 1999). Hasil penelitian Dahlan (2001)

menunjukkan bahwa untuk ventilasi rumah merupakan variabel yang paling

memberikan kontribusi yang mengatur kualitas suhu kamar untuk kejadian

tuberkulosis paru, secara statistik menunjukkan hubungan yang signifikan p

<0,05 dengan OR= 8,8 (p = 0,000). Menurut Susiloawati (2012), kejadian

tuberkulosis BTA positif berpeluang atau berisiko lebih besar pada orang yang

tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis BTA positif, rumah beratap seng,

luas ventilasi <10% luas lantai dibanding orang yang tidak tinggal serumah

dengan penderita tuberkulosis BTA positif, rumah tidak beratap seng, luas

ventilasi ≥10% luas lantai.

26

2.3.4 Pencahayaan Sinar Matahari

Cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah dalam jumlah cukup

berfungsi untuk memberikan pencahayaan secara alami. Cahaya matahari dapat

membunuh bakteri-bakteri patogen dalam rumah, termasuk basil tuberkulosis.

Oleh karena itu, rumah yang sehat harus memiliki jalan masuk cahaya yang

cukup yaitu dengan intensitas cahaya minimal 60 lux atau tidak menyilaukan.

Jalan masuk cahaya minimal 15%-20% dari luas lantai yang terdapat dalam

ruangan rumah. Cahaya matahari dimungkinkan masuk ke dalam rumah melalui

jendela rumah ataupun genteng kaca. Cahaya yang masuk juga harus merupakan

sinar matahari pagi yang mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan

kuman, dan memungkinkan lama menyinari lantai bukannya dinding (Soekidjo,

2007). Persyaratan pencahayaan rumah sehat menurut Kemenkes No.

829/Menkes/SK/VII/1999 adalah pencahayaan yang meliputi pencahyaan alami

atau buatan langsung maupun tidak langsung yang dapat menerangi seluruh

ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan

mata. Cahaya efektif dari sinar matahari dapat diperoleh dari jam 08.00 sampai

dengan jam 16.00. Pengukuran dapat dilakukan dengan alat luxmeter, yang

diukur pada tengah-tengah ruangan dan pada tempat setinggi < 84 cm dari lantai

(Nurhidayah et al., 2007). Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-

tahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol, dan

panas api. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita

tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari

(Depkes, 2008). Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa ada hubungan yang

27

bermakna antara pencahayaan rumah dengan kejadian tuberkulosis paru dengan

nilai odds ratio (OR) sebesar 7,926 dengan 95 % Confidence Interval (CI)( 3,129

–20,080). Keadaaan rumah tidak cukup cahaya dan memiliki lantai tanah/semen

retak juga memiliki proporsi tuberkulosis paru yang besar (Badan Litbangkes,

2012).

2.3.5 Lantai rumah

Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air

dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan

jalan, bahan kedap air, untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau

anyaman bambu dan tidak lembab (Ditjen Cipta Karya, 1997). Jenis lantai tanah

memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis paru, melalui kelembaban

dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim

panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya

bagi penghuninya (Azwar, 1996). Hal ini didukung oleh hasil penelitian

Mahfudin (2006) bahwa kondisi rumah yang berlantai tanah memiliki hubungan

bermakna dengan kejadian tuberkulosis paru.

2.3.6 Dinding

Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan

maupun angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta

menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya. Beberapa bahan pembuat dinding

adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata atau batu dan sebagainya. Tetapi

dari beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau

28

tembok (permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah

dibersihkan (Ditjen Cipta Karya, 1997).

2.4 Sanitasi Lingkungan Rumah

Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup

perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan

sebagainya(Notoatmodjo, 2011). Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang

berada di dalam rumah. Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik yaitu

ventilasi, suhu, kelembaban,lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu kepadatan

penghuni. Rumah yang kurang baik merupakan salah satu tempat yang baik dalam

menularkan penyakit seperti penyakit TB paru (Soemirat, 2009). ruangan terlalu

sempit atau terlalu banyak penghuninya akan kekurangan oksigen menyebabkan

menurunnya daya tahan tubuh yang memudahkan terjadinya penyakit sehingga

penularan penyakit saluran pernapasan seperti TB paru akan mudah terjadi di antara

penghuni rumah (Notoatmodjo, 2003).

Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana orang

menggunakannya untuk tempat berlindung. Lingkungan dari struktur tersebut juga

semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk

kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial yang baik untuk keluarga dan

individu, oleh karena itu lingkungan rumah merupakan suatu hal yang sangat penting

bagi kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003). Dan lingkungan rumah yang

kurang baik merupakan salah satu tempat yang baik dalam menularkan penyakit

seperti penyakit TB paru (Soemirat, 2009).

29

2.5. Rumah Sehat dan Persyaratannya

Rumah yang sehat menurut Winslow dan APHA (American Public Health

Assosiation) harus memenuhi beberapa kriteria kesehatan antara lain memenuhi

kebutuhan physiologis, psychologis, mencegah penularan penyakit dan mencegah

terjadinya kecelakaan (Chandra, 2006). Kondisi rumah yang baik penting untuk

mewujudkan masyarakat yang sehat. Menurut Permenkes No. 829/1999 rumah

dikatakan sehat apabila memenuhi persyaratan empat hal pokok berikut:

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis seperti pencahayaan, penghawaan, ruang

gerak yang cukup dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.

2. Memenuhi kebutuhan psikologis seperti “privacy” yang cukup dan

komunikasi yang baik antar penghuni rumah.

3. Memenuhi persyaratan pencegahan penyakit menular yang meliputi

penyediaan air bersih, pembuangan tinja dan air limbah rumah tangga,

bebas dari vektor penyakit, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, sinar

matahari yang cukup, makanan dan minuman yang terlindung dari

pencemaran serta pencahayaan dan penghawaan yang cukup.

4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang berasal

dari dalam maupun dari luar rumah.

Berdasarkan standart puskesmas komponen rumah sehat itu meliputi ada

langit-langit bersih dan tidak rawan kecelakaan, dinding permanen (tembok) papan

kedap air, lantai diplester atau kramik, jendela kamar tidur ada, jendela ruang

keluarga ada, ventilasi ada luas ventilasi permenen > 10% dari luas lantai, lubang

asap dapur ada dengan lubang ventilasi >10% dari luas lantai dapur(asap keluar

30

sempurna) atau ada exhaust fan dan peralatan lain yang sejenis, pencahayaan terang

dan tidak silau sehingga dapat dipergunakan untuk membaca dengan normal.

Sarana sanitasi yang memenuhi standar puskesmas yaitu sarana air bersih

(SGL/SPT/PP/KU/PAH) ada memiliki sendiri dan memenihi syarat kesehatan,

jamban (sarana pembuangan kotoran) ada leher angsa septic tank, sarana pembuangan

air limbah ada dan dialirkan ke selokan tertutup (saluran kota) untuk diolah lebih

lanjut, sarana pembuangan sarana (tempat sampah) ada kedap air dan tertutup.

Perilaku penghuni meliputi membuka jendela kamar tidur setiap hari dibuka,

membuka jendela runag keluarga setiap hari dibuka, membersihkan rumah dan

halaman setiap hari, membuang tinja bayi dan balita ke jamban setiap hari dibuang ke

jamban, membuang sampah pada tempat sampah setiap hari dibuang ke tempat

sampah.

Berdasarkan puskesmas penilainan rumah sehat harus memenuhi komponen-

komponen yang dinilai dan dijumlah. Dikatakan rumah sehat apabilah dari jumlah

komponen yang dinilai itu dengan jumlah total 1.068-1200 sedangkan rumah tidak

sehat itu <1.068.

2.6 Pengawas Minum Obat

Kinerja Pengawas Minum Obat (PMO) adalah hasil kerja yang dicapai oleh

PMO melalui aktivitas kerja yang telah ditentukan menurut kriteria yang berlaku bagi

pekerjaan tersebut. Kinerja PMO dipengaruhi beberapa variabel antara lain usia, jenis

kelamin, pendidikan, keluarga, tingkat sosial,pengalaman, kemampuan, dll.

(Sukamto, 2002)

31

Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka

pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan

diperlukan seorang PMO.

a. Persyaratan PMO

1) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan

maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita.

2) Seseorang yang tinggal dekat penderita.

3) Bersedia membantu penderita dengan sukarela.

4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan

penderita.

b. Siapa yang bisa jadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,

Pekarya, Sanitarian, Juru Imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan

yang memungkinkan, PMO dapatberasal dari kader kesehatan, guru, anggota

PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. (Depkes, 2000)

c. Tugas seorang PMO

1) Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik.

2) Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat.

3) Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah

ditentukan.

4) Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga

selesai.

32

5) Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau

menelan obat.

6) Merujuk pasien bila efek samping semakin berat.

7) Melakukan kunjungan rumah

8) Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai

gejala-gejala tersangka TB untuk segera memeriksakan diri kepada petugas

kesehatan. (PDPI, 2006).