Upload
phamdat
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA .
2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang paru-
paru yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan
nekrosis jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari
penderita kepada orang lain (Santa Manurung, 2013).
Tuberkulosis adalah merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tubercolusis dan Mycobacterium bovis
Penyakit ini biasanya mengenai paru, meskipun juga pada sepertiga kasus dapat
mengenai organ lain. Penularanya biasanya melalui udara yaitu dari droplet yang
dihasilkan penderita tuberkulosis paru aktif (Widoyono, 2011).
Penyakit TB paru merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur
hidup. Setelah seseorang terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, hampir
90% penderita secara klinis tidak sakit, hanya didapatkan test tuberkulin positif
dan 10% akan sakit. Penderita yang sakit bila tanpa pengobatan setelah 5 tahun
50% penderita TB paru akan mati, 25% sehat dengan pertahanan tubuh yang baik
dan 25% menjadi kronik dan infeksius (Jusuf, 2010). Namun ODHA (orang
dengan HIV/AIDS) dengan TB paru aktif yang tidak diobati lebih mungkin
meninggal dalam waktu yang lebih singkat (Green, 2006).
6
2.1.2 Patofisiologi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendendalikan oleh cell mediated
immune respons. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit (biasanya sel T)
adalah sel imunoresponsif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan
makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya.
Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitifitas selular (lambat).
Sumber infeksi dapat berupa dahak manusia, urin, dan cairan tubuh
lain yang terinfeksi. Dahak manusia adalah sumber yang paling penting. Batuk,
berbicara, dan meludah memproduksi percikan sangat kecil berisi tuberkulosis
yang melayang-layang di udara. Kuman ini dapat terhirup napas dan
menyebabkan penyakit. Pasien-pasien dengan dahak positif pada hapusan
langsung jauh lebih menular, karena mereka memproduksi lebih banyak bakteri
tuberkulosis dibandingkan dengan mereka yang hanya positif pada pembiakan.
Urin dan cairan tubuh lain yang terinfeksi secara teoritis mengandung resiko,
tetapi jauh kurang penting, karena pada umumnya jumlah basil yang relatif kecil
(price & Wilson,2008).
2.1.3 Cara Penularan dan Resiko penularan
Tuberkulosis dapat ditularkan melalui udara dari penderita
tuberkulosis paru BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin penderita
tuberkulosis paru tersebut menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut
terhirup kedalam pernapasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari
7
paru kebagian tubuh lainya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,
saluran napas atau penyebaran langsung kebagian tubuh lainya. Daya penularan
dari seseorang pasien ditentukan jumlah banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak maka makin
menular pasien tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif atau tidak terlihat
kuman maka pasien tersebut tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi
tuberkulosis paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
Faktor-faktor yang mempengaruhi resiko penularan penyakit
tuberkulosis paru adalah mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang
mempunyai tuberkulosis aktif, individu imunosupresif termasuk lansia, pasien
dengan kanker, mereka yang dalam terapi kortikosteroid atau mereka yang
terinfeksi dengan HIV, penggunaan obat-obat IV dan alkoholik, individu yang
memiliki gangguan medis yang sudah ada sebelumnya, umur dan jenis kelamin,
keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi yang akan
mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit
termasuk tuberkulosis paru, individu yang tinggal di instansi, misalnya fasilitas
perawatan jangka panjang, institusi psikiatrik, penjara, mereka yang tinggal
diperumahan yang padat, kumuh, dan sanitasi yang buruk(Bruner dan Suddart,
2005).
2.1.4 Manifestasi Klinis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu
gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala
8
lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). Gejala
tuberkulosis paru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu
atau lebih, bercampur darah, sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu
makan menurun, berat badan menurun dan badan berkeringat walaupun tanpa
kegiatan. Keluhan yang biasa ditemukan pada pasien dengan tuberkulosis paru
adalah diantaranya demam, keringat pada malam hari, batuk atau dengan tanpa
darah, sesak napas, nyeri dada, malaise.
Demam pada pasien dengan tuberkulosis paru biasanya subfebris tetapi
kadang sampai 40-41 C. Demam ini biasanaya hilang timbul sehingga pasien
merasa tidak pernah bebas dari serangan demam. Keadaan ini berhubungan
dengan daya tahan tubuh pasien serta berat ringanya infeksi kuman tuberkulosis
yang masuk. Gejala batuk pada pasien dengan tuberkulosis paru yang banyak
ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Keterlibatan
bronkus pada setiap penyakit tidak sama, maka mungkin saja batuk baru ada
setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yaitu setelah berminggu-
minggu atau berbulan-bulan peradangan dimulai. Sifat batuk dapat dimulai dari
batuk kering dan setelah timbuk peradangan menjadi batuk produktif yang
menghasilkan seputum. Keadaan lanjut adalah berupa batuk darah karena
terdapatnya pembuluh darah yang pecah. Batuk darah kebanyakan tibul akibat
aktivasi namun dapat pula terjadi ulkus dinding bronkus (perhimpunan Dokter
Paru Indonesia,2006).
Sesak napas pada saat penyakit ringan belum akan dirasakan. Sesak
napas akan ditemukan pada penyakit paru yang sudah lanjut, yang infiltrasi
9
meliputi setengah bagian paru. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah
mencapai pleura sehingga terjadi peluritis. Penyakit Tuberkulosis paru
merupakan penyakit radang yang menahun sehingga gejala malaise sering
ditemukan yang dapat berupa anorexia, berat badan yang menurun, sakit kepala,
meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise semakin lama semakin berat
dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (price & Wilson, 2008).
2.1.5 Penatalaksanaan Tuberkulosis paru
Obat-obat anti tuberkulosis (OAT) standart memiliki keefektivitasan
sekitar sembilan puluh lima persen jika diresepkan dan dipergunakan dengan
tepat untuk beberapa bulan. Efek samping dari obat-obatan tersebut, bagaimana
juga menyebabkan pasien tidak menyelesaikan pengobatan secara tuntas, pasien
juga sering lupa untuk minum obat anti tuberkulosis atau menghentikan
pengobatan secara waktunya ini dapat menjadi sumber penularan tuberkulosis
dan mengakibatkan berkembangnya strain yang menjadi resistensi terhadap satu
atau lebih obat anti tuberkulosis (Jurnal Tuberkulosis Indonesia, 2012).
1. Pengobatan
Pengobatan Tuberkulosis paru bertujuan untuk menyembuhkan
pasien,mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadiya resistensi kuman terhadap obat anti
tuberkulosis (OAT).pengobatan tuberkulosis paru dilakukan dengan perinsip-
prinsip sebagai berikut yaitu OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi
beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-
10
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan, Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung, (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seseorang
pengawas menelan obat (PMO), pengobatan tuberkulosis paru diberikan dalam
dua tahap intensif, pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari
dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekambuhan.
Panduan pengobatan anti tuberkulosis (OAT) yang direkomendasikan
IUATLD (International Union Againts Tuberkulosis and Lung Disease, 2007)
ada 3 kategori antara lain:
a. Kategori 1 pada Tahap intensif terdiri dari Isoniazid, Rimfampisin,
Pirazinamid dan Etambutul. Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2
bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari
Isonoazid dan Rimfampisin, diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan
(4H3R3). Obat ini diberikan untuk penderita baru tuberkulosis paru BTA
positif, penderita tuberkulosis paru BTA positif, penderita tuberkulosis paru
Ekstra paru berat.
b. Kategori 2 pada Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2
bulan dengan Isoniazid, Rimfampisin, Pirazinamid, Etambutol dan suntikan
Streptomisin setiap hari dari unit pelayanan kesehatan (UPK). Dilanjutkan 1
bulan dengan Isoniazid, Rimfampisin, Pirazinamid, dan Etambutol setiap hari.
Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita kambuh
(relaps), penderita dengan pengobatan setelah lalai (after defalut).
11
c. Kategori 3 pada Tahap intensif terdiri dari Isoniazid,Rimfampisin, dan
Pirazinamid diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan
tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan tiga kali seminggu
(4H3R3). Obat ini diberikan untuk penderita untuk penderita baru BTA negatif
dan rongten positif sakit ringan, Penderita ekstra paru ringan yaitu tuberkulosis
kelenjar limfe (limfadenitis), pluritis eksudativa unilateral, tuberkulosis kulit,
tuberkulosis tulang (kecuai tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2. Perencanaan makan/Terapi gizi medis
Suplai protein dan kalori serta konsumsi makana mempengaruhi
kepada morbididtas dan mortalitas tuberkulosis paru. Adanya tambahan protein
terutama protein hewani akan meningkatkan gizi pasien tuberkulosis paru.
Kebutuhan kalori protein perkilogram berat badan adalah 1,2-1,5gr/kgbb atau 15%
energi total asupan harian atau 75-100 gr/hari. Kalori yang dibutuhkan penderita
tuberkulosis meningkat, Kebutuhan kalori yang direkomendasikan 35-40
kkal/kgbb ideal, Kebutuhan mikronutrien seperti vitamin dan mineral juga sangat
diperlukan seperti vitamin E yang kebutuhannya 140 mg dan selenium mg yang
fungsinya menekan oksidasi stress dan meningkatkan antioksidan pada pasien
tuberkulosis paru bersamaan dengan pemberian obat anti tuberkulosis (IUATLD.
tuberkulosis & Nutrition, 2007).
3. Penyuluhan Kesehatan
Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan
dengan cara menyebar pesan, menanamkan keyakinan sehingga masyarakat tidak
12
saja sadar, tahu dan mengerti tetapi juga mau dan melakukan suatu anjuran yang
ada hubuganya dengan kesehatan.
Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan
adalah rangkaian dari kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk
mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau masyarakat secara
keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan
meningkatkan kesehatan.
Penyuluhan tuberkulosis paru perlu banyak berkaitan dengan masalah
pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk
meningkatkan kesadran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam
penanggulangan tuberkulosis paru. Dalam penanggulangan tuberkulosis paru.
Dalam penanggulangan tuberkulosis paru. penyuluhan langsung perorangan dapat
dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan pengawas minum obat.
Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk
dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi
masyarakat tentang tuberkulosis paru sebagai suatu penyakit yang berbahaya tapi
dapat disembuhakan penemuan penderita.
4. Komunikasi terapiutik dan edukasi serta pengawasan pengobatan
Penerapan komunikasi terapeutik dalam pelayanan perawatan
mempunyai peran yang besar terhadap kemajuan kesehatan pasien. Komunikasi
terapeutik meningkatkan hubungan intrapesonal dengan klien sehingga akan
tercipta suasana yang kondusif dimana klien dapat mengungkapkan perasaan dan
harapan-harapannya (Notoatmodjo, 2007).
13
Agar penderita mau minum obat dengan teratur dan patuh perlu adanya
komunikasi, informasi, edukasi yang berkesinambungan oleh petugas ksehatan,
sehingga termotivasi minum obat secara teratur. Komunikasi yang cukup efektif
dalam bentuk edukasi lisan pada pasien maupun pengawas minum obat akan
memuat pasien lebih mengerti, memahami dan menyadari tentang penyakitnya
sehingga patuh mangikuti anjuran petugas kesehatan untuk berobat teratur sampai
selesai. Edukasi dapat dilakukan oleh dokter kita memeriksakan pasien dilanjutkan
oleh petugas kesehatan yang sekaligus memberikan obat sesuai dengan ketentuan
serta sedikasi efek samping obat. Komunikasi yang efektif antara petugas
kesehatan dan pasien akan membentuk persepsi tentang penyakitnya sehingga
timbul keyakinan dan harapan bahwa penyakitnya dapat disembuhkan. Sikap
petugas kesehatan mempengaruhi tingkat pengetahuan dari pasien, dapat
dijelaskan bahwa sikap petugas kesehatan yang kurang baik akan beresiko enam
kali terhadap rendahnya tingkat pengetahuan pasien (Santa Manurung, 2013).
Dalam pengawasan pengobata,petugas kesehatan sebaiknya mengikuti
sertakan keluarga dalam pengawasan pengobatan agar pasien dapat berobat secara
berkesinambungan. Tujuan diadakan pengawasan pengobatan adalah untuk
menjamin ketekunan dan keteraturan pengobatan sesuai dengan jadwal,
menghindari penderita putus berobat sebelum waktunya serta mengurangi
kemungkinan kegagalan pengobatan dan resistensi terhadap obat anti tuberkulosis
(OAT) (Santa Manurung, 2013).
14
2.1.6 Efek samping obat tuberkulosis paru
Sebagian besar pasien tuberkulosis paru dapat menyelesaikan
pangobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek
samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping
sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek sampig yang terjadi dapat
ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat
simptomatis maka pemberian OAT dapat diteruskan. Efek-efek samping OAT
tersebut diantaranya untuk Isoniazid efek samping ringan dapat berupa tanda-
tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot,
efek samping berat yang ditimbulkan dapat berupa hepatitis imbas obat yang
dapat ditimbulkan pada kurang lebih 0,5% pasien. Pada golongan Rimfampisin
efek samping ringan dapat berupa sindrom flu (demam, mengigil, nyeri tulang)
sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah dan kadang-kadang diare, gatal-
gatal kemerahan, Rimfampisin dapat juga menyebabkan warna merah pada air
seni, keringat, air mata dan air liur, warna merah tersebut terjadi karena proses
metabolism obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien
agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir. Sedangkan Pirazinamid efek
samping utama yang ditimbulkan adalah hepatitis imbas obat, nyeri sendi,
demam,mual, kemerahan pada kulit. Etambutol dapat menyebabkan gangguan
penglihatan berupa kurangnya ketajaman, buta warna merah dan hijau.
Streptomisin dapat menimbulkan efek samping berupa kerusakan syaraf
kedelapan yang berkaitan erat dengan keseimbangan dan pendengaran,gejala
15
efek samping yang terlihat adalah telinga mendenging (tinitus), pusing dan
kehilangan keseimbangan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
2.1.7 Pencegahan
Sejauh ini acara pencegahan tuberkulosis paru yang terbaik adalah
dengan melakukan deteksi sedini mungkin dan memberikan pengobatan yang
sesuai sampai dinyatakan sembuh. Strategi lainya adalah dengan penambahan
vaksinasi BCG (Bacille Calmette Guerine) dan pemberian obat profilaksis pada
orang yang beresiko tinggi terkena atau berkembang menjadi tuberkulosis aktif.
Tindakan pencegahan tuberkulosis paru merupakan upaya pencegahan
agar penyakit ini tidak menyebar dan menulari orang lain. Upaya tersebut yaitu
pengobatan tuberkulosis paru dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat
(Notoatmodjo, 2007). Terdapat sepuluh indikator gaya hidup sehat yaitu
membuka jendela pada pagi hari sampai sore hari agar rumah mendapat sinar
matahari dan udara yang cukup, menjemur kasur, bantal, dan guling secara
teratur sekali seminggu, kesesuaian luas lantai dengan jumlah hunian, menjaga
kebersihan diri, rumah, dan lingkungan sekitar rumah, lantai diplester atau
dipasang keramik, bila batuk dan bersin mulut ditutup serta membuang tisu
dengan tepat, mencuci tangan dengan baik, tidak meludah disembarang tempat
tapi menggunakan tempat ksusus, istirahat cukup dan tidak tidur larut malam,
makan makanan bergizi dan seimbang dan hindari polusi udara dalam rumah
seperti asap dapur dan asap rokok.
16
2.2. Faktor Resiko Kejadian Tuberkulosis Paru
Teori John Gordon tahun 1950 yang dikutip oleh Azrul Azwar (1999)
mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor
yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan lingkungan (environment). Beberapa
faktor resiko pada penyakit tuberkulosis paru adalah:
a. Jenis kelamin
WHO (2012) melaporkan bahwa di sebagian besar dunia, lebih banyak laki-
laki daripada wanita didiagnosis tuberkulosis. Hal ini didukung dalam data yaitu
antara tahun 1985-1987 penderita tuberkulosis paru pada laki-laki cenderung
meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan pada wanita menurun 0,7%. tuberkulosis
paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-
laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan
terjangkitnya tuberkulosis paru. Hasil penelitian mengenai resiko jenis kelamin dan
infeksi tuberkulosis masih bervariasi, seperti penelitian Feng et al (2012) yang
menunjukkan bahwa di Taiwan Cina, jenis kelamin pria merupakan faktor resiko
independen untuk terinfeksi tuberkulosis (OR, 1,96, 95% CI, 1,12-3,41) karena
memiliki kebiasaan merokok. Sedangkan penelitian Zhenhua (1996-2000) di
Arkansas Amerika Serikat menunjukkan bahwa perempuan (OR, 1,98, 95% CI,
1,25-3,13), non-Hispanik kulit hitam (OR, 2,38, 95% CI , 1,42-3,97), dan HIV-
positif (OR, 4,93, 95% CI, 1,95-12,46) memiliki resiko lebih tinggi untuk
tuberkulosis paru daripada laki-laki, kulit putih non-Hispanik, dan HIV-negatif.
17
b. Umur
Faktor umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru. Hasil
penelitian Rusnoto dan kawan-kawan tentang faktor-faktor yang Berhubungan
dengan kejadian tuberkulosis paru pada orang dewasa di BP4 Pati tahun 2006, dari
karakteristik responden yang diteliti bahwa proporsi responden yang tuberkulosis
paru BTA positif berusia di atas 45 tahun lebih besar (69,8 %) dari usia antara 15 –
45 tahun (37,7 %).
Menurut Haryani tahun 2007 bahwa tuberkulosis paru pada anak biasanya
bersumber dari orang dewasa yang menderita tuberkulosis aktif, yaitu penderita
dengan bakteri tahan asam (BTA) positif. Frekuensi anak mengalami tuberkulosis
tergantung pada banyaknya jumlah sumber penularan, kedekatan dengan sumber
penularan, lama kontak dengan sumber penularan, dan umur anak. Meskipun risiko
terbesar anak tertular tuberkulosis dari kontak serumah dengan penderita
tuberkulosis, namun tidak tertutup kemungkinan anak mendapatkan infeksi dari
sumber penular yang asalnya di luar rumah.
c. Kondisi sosial ekonomi
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia
menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Menurut badan
pusat statistik republik Indonesia (2012), mengukur kemiskinan menggunakan
konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan
pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidak mampuan dari sisi ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari
sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
18
pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Faktor kemiskinan
walaupun tidak berpengaruh langsung pada kejadian tuberkulosis paru namun dari
beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara pendapatan yang rendah
dan kejadian tuberkulosis paru (Coker, 2003;Ratnasari, 2005; Mahfudin, 2006).
Lebih jauh lagi Coker (2003) dan Leadefoget et al. (2006) menunjukkan bahwa ada
hubungan pengangguran dengan kejadian tuberkulosis.
d. Kekebalan
Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu kekebalan alamiah dan buatan.
Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis
paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan
diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin). Tetapi
bila kekebalan tubuh lemah, kuman tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan
penyakit tuberkulosis paru. Hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian
tuberkulosis menurut Soysal et al. (2005) bahwa anak yang divaksinasi BCG
memiliki risiko 0,6 kali untuk terinfeksi tuberkulosis (95% CI 0,43-0,83, p =
0,003), dibandingkan dengan anak-anak yang belum divaksin. Ditegaskan oleh
Setiarini (2008) bahwa walaupun imunisasi BCG tidak mencegah infeksi
tuberkulosis namun dapat mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti meningitis
tuberkulosa dan tuberkulosis milier.
e. Status gizi
Kekurangan gizi atau malnutrisi bisa disebabkan karena asupan gizi yang
tidak seimbang baik dari kualitas dan kuantitas,bisa juga karena penyakit
infeksi.Gizi kurang atau buruk dapat menyebabkan menurunnya imunitas/kekebalan
19
tubuh. Kekebalan tubuh yang menurun akan menyebabkan seseorang mudah
terkena penyakit infeksi, seperti tuberkulosis. Demikian juga sebaliknya, seseorang
yang menderita penyakit kronis paru, umumnya status gizinya mengalami
penurunan. Menurut Badan Litbang Depkes RI (2012), proporsi tuberkulosis paru
ditemukan sedikit lebih besar pada yang mengkonsumsi buah sayur kurang dari 5
porsi/hari. Proporsi tuberkulosis paru yang besar juga ditemukan pada kondisi
status gizi kurus. Menurut Narasimhan et al. (2012), malnutrisi (baik mikro dan
makro-defisiensi) meningkatkan resiko tuberkulosis karena adanya respon
kekebalan yang terganggu. Penyakit tuberkulosis dapat menyebabkan kekurangan
gizi itu sendiri karena penurunan nafsu makan dan perubahan dalam proses
metabolisme. Hubungan antara malnutrisi dan tuberkulosis telah ditunjukkan
dengan uji vaksin BCG yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1960 dan
memperkirakan bahwa anak-anak kekurangan gizi akan berisiko dua kali untuk
terkena penyakit tuberkulosis daripada anak-anak yang gizinya baik. Menurut
Supariasa (2011) pengukuran status gizi yang sesuai dengan standar antropometri
salah satunya adalah dengan mengukur indeks masa tubuh (IMT). Parameter yang
harus ada dalam mengukur IMT adalah berat badan dan tinggi badan. IMT adalah
perbandingan berat badan dengan kuadrat tinggi badan individu, dan merupakan
alat yang sederhana memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan
dengan kekurangan atau kelebihan berat badan. Kelebihan menggunakan
pengukuran status gizi dengan IMT adalah tidak memerlukan data umur dan dapat
membedakan proporsi badan. Sedangkan kekurangan IMT adalah membutuhkan
dua jenis alat ukur, pengukurannya lebih lama, dan saat prakteknya sulit melakukan
20
pengukuran pada balita. Menurut Fatimah (2008) dan Rusnoto et al (2005), ada
hubungan antara status gizi dan kejadian tuberkulosis paru.
f. Perilaku merokok
Rokok atau tembakau sebutan lainnya merupakan faktor resiko keempat
timbulnya semua jenis penyakit didunia, termasuk penyakit tuberkulosis paru, hal
ini didukung dari penelitian Wijaya (2012), bahwa merokok meningkatkan resiko
infeksi Mycobacterium Tuberculosis, resiko perkembangan penyakit dan penyebab
kematian pada penderita tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas
sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi
penyerta (opportunity), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi
sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian.(Depkes RI, 2008) Menurut
Sajinadiyasa et al. (2010) dalam penelitiannya di Poliklinik Paru Rumah Sakit
Sanglah didapatkan prevalensi pasien yang terpapar rokok masih tinggi dan
sebagian besar pasien adalah bekas perokok. Resiko mendapat penyakit paru
cenderung lebih besar pada pasien yang terpapar rokok. Menurut Priyadi (2001)
bahwa adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan
kejadian tuberkulosis paru dan tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah
rokok yang dihisap, lamanya merokok serta jenis rokok yang dihisap dengan
kejadian tuberkulosis paru.
g. Penyakit Penyerta (Infeksi HIVdan DM)
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menderita tuberkulosis
adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk). Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan faktor
21
resiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi tuberkulosis menjadi sakit Seseorang
yang hidup dengan HIV dan juga terinfeksi tuberkulosis akan lebih cenderung
mengembangkan penyakit tuberkulosis dibandingkan mereka yang HIV negatif.
Pada tahun 1980 hingga tahun 2004, epidemic HIV menyebabkan peningkatan
jumlah kasus tuberkulosis dan kematian akibat tuberkulosis pada banyak negara,
terutama di Afrika Selatan dan AfrikaTimur. Pada tahun 2011, 1,1juta (13%) dari
8,7 juta orang yang mengembangkan tuberkulosis di seluruh dunia adalah HIV
positif, 79% dari kasus tuberkulosis HIV positif berada di Negara Afrika.
Diperkirakan 0,4 juta kematian HIV karena tuberkulosis pada tahun 2011, dengan
angka kira-kira sama antara pria dan wanita. WHO telah menetapkan target angka
kematian akibat tuberkulosis separuh antara orang yang HIV positif pada tahun
2015, dibandingkan dengan tahun 2004 (tahun di mana angka kematian
tuberkulosis pada orang HIV positif diperkirakan telah mencapai puncaknya)
(WHO, 2012). Menurut Widyasari et al (2011) bahwa seseorang dengan riwayat
penyakit diabetes mellitus (DM) memiliki risiko 5 kali lebih besar untuk terinfeksi
tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat penyakit DM.
Hal ini didukung oleh penelitian Nasution (2007), bahwa ada hubungan antara
kadar gula darah (KGD) puasa dengan BTA sputum.
2.3 Faktor Resiko Kondisi Lingkungan Kejadian Tuberkulosis
2.3.1 Kepadatan Penghuni Rumah
Ukuran luas ruangan suatu rumah sangat terkait dengan luas lantai
bangunan rumah, dimana luas lantai bangunan rumah yang sehat harus
cukup untuk penghuni didalamnya. Luas bangunan yang tidak sebanding
22
dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan overcrowded. Hal ini tidak
sehat, sebab disamping meyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, jika salah
satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menularkan
kepada anggota keluarga yang lain. Luas bangunan yang optimum adalah
apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2 untuk setiap orang (tiap anggota
keluarga) (Soekidjo, 2007). Menurut Kepmen Pemukiman dan Prasarana
(2002) bahwa Kebutuhan ruang perorang dihitung berdasarkan aktivitas
dasar manusia di dalam rumah. Aktivitas seseorang tersebut meliputi
aktivitas tidur, makan, kerja, duduk, mandi, kakus, cuci dan masak serta
ruang gerak lainnya. Dari hasil kajian, kebutuhan ruang per orang adalah 9
m2 dengan perhitungan ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2,80 m.
Sedangkan keputusan menteri kesehatan republik Indonesia (Kepmenkes RI)
No.829/Menkes/SK/VII/1999 menyebutkan bahwa syarat perumahan
sederhana sehat minimum 8 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan
minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali
untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Hasil penelitian Rusnoto et
al. (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepadatan rumah
dengan kejadian tuberkulosis paru (OR=5,983).
2.3.2 Kelembaban rumah
Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan
kelembaban udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal. Suhu
udara dan kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan
pencahayaan Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan
23
ruangan terasa pengap atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban tinggi
dalam ruangan. Untuk mengatur suhu udara dan kelembaban suatu ruangan
normal bagi penghuni dalam melakukan kegiatannya, perlu memperhatikan:
keseimbangan penghawaan antara volume udara yang masuk dan keluar,
pencahayaan yang cukup pada ruangan dengan perabotan tidak bergerak dan
menghindari perabotan yang menutupi sebagian besar luas lantai ruangan
(Kepmen Perumahan dan Prasarana Wilayah, 2002). Indikator kelembaban udara
dalam rumah sangat erat dengan kondisi ventilasi dan pencahayaan rumah. Bila
kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada
cepat lelah saat bekerja dan tidak cocok untuk istirahat. Sebaliknya, bila
kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang orang
tertentu dapat menimbulkan alergi. Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban
dalam rumah akan mempermudah berkembang biaknya mikroorganisme antara
lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk
ke dalam tubuh melalui udara, selain itu kelembaban yang tinggi dapat
menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif
dalam menghadang mikroorganisme (Kepmenkes, 1999). Pengukuran
kelembaban secara umum menggunakan alat hygrometer dengan standar
kelembaban ruangan minimal 40%–70%, dan suhu ruangan dengan suhu ideal
antara 180C – 300C. Pengukuran dilakukan pada ruang keluarga yang lebih
banyak digunakan aktivitas dan pada jam 09.00-12.00. Saat pengukuran alat
diletakkan pada permukaan ruangan yang akan diukur kelembabannya pada
posisi horizontal, kemudian tunggu ± 1 menit dan lakukan pembacaan skalanya.
24
Selama pembacaan haruslah diberi aliran udara yang dihembus ke arah alat
tersebut, hal ini dapat dilakukan dengan secarik kertas atau kipas (Depkes RI,
1995). Mengetahui kelembaban ruangan tanpa alat dapat dilakukan dengan
melihat kondisi lantai dan dinding. Lantai dan dinding tidak lembab dapat
dirasakan dengan menyentuh dinding dan lantai, jika lembab akan terasa basah
saat dipegang dan terlihat ditumbuhi jamur (Depkes RI, 1995). Menurut Rusnoto
et al. (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna antara kelembaban dan
kejadian tuberkulosis paru (OR=6,3 ; 95% CI=2,651-14,971).
Hasil penelitian Jelalu (2008) menunjukkan bahwa 73,7% kejadian
tuberkulosis paru pada orang dewasa di Kabupaten Kupang dipengaruhi oleh 4
variabel, salah satunya adalah kelembaban rumah.
2.3.3 Ventilasi
Ventilasi pada rumah memiliki banyak fungsi, selain menjaga agar
aliran udara dalam rumah tetap segar juga membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara
yang terus menerus. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah
selalu dalam kelembaban yang optimum. Ventilasi yang tidak mencukupi akan
menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses
penguapan dan penyerapan cairan dari kulit. Kelembaban ruangan yang tinggi
akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-
bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis (Soekidjo, 2007). Ventilasi yang
baik pada ruang tidur adalah dapat berupa lubang angin yang berseberangan
sehingga pertukaran udara akan berjalan terus dan ruangan menjadi segar, atau
25
jendela yang dapat dibuka sehingga udara segar dan sinar matahari dapat masuk.
Cara praktis untuk memperoleh ventilasi alami adalah jika dengan ventilasi
tetap/lubang angin minimal 5% dari luas lantai, sedangkan jika menggunakan
ventilasi variabel/jendela juga minimal 5% dari luas lantai (Depkes RI, 1995).
Secara umum penilaian ventilasi rumah dengan membandingkan antara luas
ventilasi dengan luas lantai rumah, dengan menggunakan roll meter. Menurut
indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan
adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat
kesehatan adalah < 10%luas lantai rumah. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari
luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya
konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat
racun bagi penghuninya (Kepmenkes, 1999). Hasil penelitian Dahlan (2001)
menunjukkan bahwa untuk ventilasi rumah merupakan variabel yang paling
memberikan kontribusi yang mengatur kualitas suhu kamar untuk kejadian
tuberkulosis paru, secara statistik menunjukkan hubungan yang signifikan p
<0,05 dengan OR= 8,8 (p = 0,000). Menurut Susiloawati (2012), kejadian
tuberkulosis BTA positif berpeluang atau berisiko lebih besar pada orang yang
tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis BTA positif, rumah beratap seng,
luas ventilasi <10% luas lantai dibanding orang yang tidak tinggal serumah
dengan penderita tuberkulosis BTA positif, rumah tidak beratap seng, luas
ventilasi ≥10% luas lantai.
26
2.3.4 Pencahayaan Sinar Matahari
Cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah dalam jumlah cukup
berfungsi untuk memberikan pencahayaan secara alami. Cahaya matahari dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen dalam rumah, termasuk basil tuberkulosis.
Oleh karena itu, rumah yang sehat harus memiliki jalan masuk cahaya yang
cukup yaitu dengan intensitas cahaya minimal 60 lux atau tidak menyilaukan.
Jalan masuk cahaya minimal 15%-20% dari luas lantai yang terdapat dalam
ruangan rumah. Cahaya matahari dimungkinkan masuk ke dalam rumah melalui
jendela rumah ataupun genteng kaca. Cahaya yang masuk juga harus merupakan
sinar matahari pagi yang mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan
kuman, dan memungkinkan lama menyinari lantai bukannya dinding (Soekidjo,
2007). Persyaratan pencahayaan rumah sehat menurut Kemenkes No.
829/Menkes/SK/VII/1999 adalah pencahayaan yang meliputi pencahyaan alami
atau buatan langsung maupun tidak langsung yang dapat menerangi seluruh
ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan
mata. Cahaya efektif dari sinar matahari dapat diperoleh dari jam 08.00 sampai
dengan jam 16.00. Pengukuran dapat dilakukan dengan alat luxmeter, yang
diukur pada tengah-tengah ruangan dan pada tempat setinggi < 84 cm dari lantai
(Nurhidayah et al., 2007). Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-
tahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol, dan
panas api. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita
tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari
(Depkes, 2008). Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa ada hubungan yang
27
bermakna antara pencahayaan rumah dengan kejadian tuberkulosis paru dengan
nilai odds ratio (OR) sebesar 7,926 dengan 95 % Confidence Interval (CI)( 3,129
–20,080). Keadaaan rumah tidak cukup cahaya dan memiliki lantai tanah/semen
retak juga memiliki proporsi tuberkulosis paru yang besar (Badan Litbangkes,
2012).
2.3.5 Lantai rumah
Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air
dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan
jalan, bahan kedap air, untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau
anyaman bambu dan tidak lembab (Ditjen Cipta Karya, 1997). Jenis lantai tanah
memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis paru, melalui kelembaban
dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim
panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya
bagi penghuninya (Azwar, 1996). Hal ini didukung oleh hasil penelitian
Mahfudin (2006) bahwa kondisi rumah yang berlantai tanah memiliki hubungan
bermakna dengan kejadian tuberkulosis paru.
2.3.6 Dinding
Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan
maupun angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta
menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya. Beberapa bahan pembuat dinding
adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata atau batu dan sebagainya. Tetapi
dari beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau
28
tembok (permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah
dibersihkan (Ditjen Cipta Karya, 1997).
2.4 Sanitasi Lingkungan Rumah
Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup
perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan
sebagainya(Notoatmodjo, 2011). Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang
berada di dalam rumah. Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik yaitu
ventilasi, suhu, kelembaban,lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu kepadatan
penghuni. Rumah yang kurang baik merupakan salah satu tempat yang baik dalam
menularkan penyakit seperti penyakit TB paru (Soemirat, 2009). ruangan terlalu
sempit atau terlalu banyak penghuninya akan kekurangan oksigen menyebabkan
menurunnya daya tahan tubuh yang memudahkan terjadinya penyakit sehingga
penularan penyakit saluran pernapasan seperti TB paru akan mudah terjadi di antara
penghuni rumah (Notoatmodjo, 2003).
Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana orang
menggunakannya untuk tempat berlindung. Lingkungan dari struktur tersebut juga
semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk
kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial yang baik untuk keluarga dan
individu, oleh karena itu lingkungan rumah merupakan suatu hal yang sangat penting
bagi kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003). Dan lingkungan rumah yang
kurang baik merupakan salah satu tempat yang baik dalam menularkan penyakit
seperti penyakit TB paru (Soemirat, 2009).
29
2.5. Rumah Sehat dan Persyaratannya
Rumah yang sehat menurut Winslow dan APHA (American Public Health
Assosiation) harus memenuhi beberapa kriteria kesehatan antara lain memenuhi
kebutuhan physiologis, psychologis, mencegah penularan penyakit dan mencegah
terjadinya kecelakaan (Chandra, 2006). Kondisi rumah yang baik penting untuk
mewujudkan masyarakat yang sehat. Menurut Permenkes No. 829/1999 rumah
dikatakan sehat apabila memenuhi persyaratan empat hal pokok berikut:
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis seperti pencahayaan, penghawaan, ruang
gerak yang cukup dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
2. Memenuhi kebutuhan psikologis seperti “privacy” yang cukup dan
komunikasi yang baik antar penghuni rumah.
3. Memenuhi persyaratan pencegahan penyakit menular yang meliputi
penyediaan air bersih, pembuangan tinja dan air limbah rumah tangga,
bebas dari vektor penyakit, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, sinar
matahari yang cukup, makanan dan minuman yang terlindung dari
pencemaran serta pencahayaan dan penghawaan yang cukup.
4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang berasal
dari dalam maupun dari luar rumah.
Berdasarkan standart puskesmas komponen rumah sehat itu meliputi ada
langit-langit bersih dan tidak rawan kecelakaan, dinding permanen (tembok) papan
kedap air, lantai diplester atau kramik, jendela kamar tidur ada, jendela ruang
keluarga ada, ventilasi ada luas ventilasi permenen > 10% dari luas lantai, lubang
asap dapur ada dengan lubang ventilasi >10% dari luas lantai dapur(asap keluar
30
sempurna) atau ada exhaust fan dan peralatan lain yang sejenis, pencahayaan terang
dan tidak silau sehingga dapat dipergunakan untuk membaca dengan normal.
Sarana sanitasi yang memenuhi standar puskesmas yaitu sarana air bersih
(SGL/SPT/PP/KU/PAH) ada memiliki sendiri dan memenihi syarat kesehatan,
jamban (sarana pembuangan kotoran) ada leher angsa septic tank, sarana pembuangan
air limbah ada dan dialirkan ke selokan tertutup (saluran kota) untuk diolah lebih
lanjut, sarana pembuangan sarana (tempat sampah) ada kedap air dan tertutup.
Perilaku penghuni meliputi membuka jendela kamar tidur setiap hari dibuka,
membuka jendela runag keluarga setiap hari dibuka, membersihkan rumah dan
halaman setiap hari, membuang tinja bayi dan balita ke jamban setiap hari dibuang ke
jamban, membuang sampah pada tempat sampah setiap hari dibuang ke tempat
sampah.
Berdasarkan puskesmas penilainan rumah sehat harus memenuhi komponen-
komponen yang dinilai dan dijumlah. Dikatakan rumah sehat apabilah dari jumlah
komponen yang dinilai itu dengan jumlah total 1.068-1200 sedangkan rumah tidak
sehat itu <1.068.
2.6 Pengawas Minum Obat
Kinerja Pengawas Minum Obat (PMO) adalah hasil kerja yang dicapai oleh
PMO melalui aktivitas kerja yang telah ditentukan menurut kriteria yang berlaku bagi
pekerjaan tersebut. Kinerja PMO dipengaruhi beberapa variabel antara lain usia, jenis
kelamin, pendidikan, keluarga, tingkat sosial,pengalaman, kemampuan, dll.
(Sukamto, 2002)
31
Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan
diperlukan seorang PMO.
a. Persyaratan PMO
1) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita.
2) Seseorang yang tinggal dekat penderita.
3) Bersedia membantu penderita dengan sukarela.
4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
penderita.
b. Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan
yang memungkinkan, PMO dapatberasal dari kader kesehatan, guru, anggota
PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. (Depkes, 2000)
c. Tugas seorang PMO
1) Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik.
2) Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat.
3) Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah
ditentukan.
4) Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga
selesai.
32
5) Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau
menelan obat.
6) Merujuk pasien bila efek samping semakin berat.
7) Melakukan kunjungan rumah
8) Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai
gejala-gejala tersangka TB untuk segera memeriksakan diri kepada petugas
kesehatan. (PDPI, 2006).