10
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DISPEPSIA 2.1.1 DEFINISI Dalam konsensus Roma II tahun 2000, disepakati bahwa definisi dispepsia sebagai berikut; Dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the upper abdomen. Formulasi keluhan nyeri atau tidak nyaman, menjadi suatu yang relatif, terlebih lagi bila diekspresikan dalam Bahasa yang berbeda. Jadi disini diperlukan sekali komunikasi yang baik dalam anamnesis sehingga seorang dokter dapat menangkap apa yang dirasakan pasien dan mempunyai persepsi yang relatif sama (Dharmika, 2009). Jadi disini ada batasan waktu yang ditunjukkan untuk meminimalisasikan kemungkinan adanya penyebab organik. Seperti dalam algoritme penanganan dispepsia, bahwa bila ada alarm symptoms seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang prominen, maka merupakan petunjuk awal kemungkinan adanya penyebab organik yang membutuhkan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi dan sebagainya (Dharmika, 2009). Sebelum era konsensus Roma II, ada dispepsia tipe refluks dalam alur penanganan dispepsia. Tapi saat ini kasus dengan keluhan tipikal refluks, seperti adanya heartburn atau regurgitasi, langsung dimasukkan dalam alur/algoritme penyakit gastroesophageal reflux disease. Hal ini disebabkan oleh sensitivitas dan spesivitas keluhan itu yang tinggi untuk adanya proses refluks gastroesofageal (El-Sayed, 2009). Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DISPEPSIA 2.1.1 DEFINISI Dalam

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DISPEPSIA 2.1.1 DEFINISI Dalam

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DISPEPSIA

2.1.1 DEFINISI

Dalam konsensus Roma II tahun 2000, disepakati bahwa definisi dispepsia

sebagai berikut; Dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the upper

abdomen. Formulasi keluhan nyeri atau tidak nyaman, menjadi suatu yang relatif,

terlebih lagi bila diekspresikan dalam Bahasa yang berbeda. Jadi disini diperlukan

sekali komunikasi yang baik dalam anamnesis sehingga seorang dokter dapat

menangkap apa yang dirasakan pasien dan mempunyai persepsi yang relatif sama

(Dharmika, 2009).

Jadi disini ada batasan waktu yang ditunjukkan untuk meminimalisasikan

kemungkinan adanya penyebab organik. Seperti dalam algoritme penanganan

dispepsia, bahwa bila ada alarm symptoms seperti penurunan berat badan,

timbulnya anemia, melena, muntah yang prominen, maka merupakan petunjuk

awal kemungkinan adanya penyebab organik yang membutuhkan pemeriksaan

penunjang untuk menegakkan diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi

dan sebagainya (Dharmika, 2009).

Sebelum era konsensus Roma II, ada dispepsia tipe refluks dalam alur

penanganan dispepsia. Tapi saat ini kasus dengan keluhan tipikal refluks, seperti

adanya heartburn atau regurgitasi, langsung dimasukkan dalam alur/algoritme

penyakit gastroesophageal reflux disease. Hal ini disebabkan oleh sensitivitas dan

spesivitas keluhan itu yang tinggi untuk adanya proses refluks gastroesofageal

(El-Sayed, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DISPEPSIA 2.1.1 DEFINISI Dalam

2.1.2 KLASIFIKASI

Menurut Sujono (2002), sindroma dispepsi ini biasanya diderita sudah

beberapa minggu atau bulan, yang sifatnya hilang timbul atau terus menerus.

Karena banyaknya penyebab yang menimbulkan kumpulan gejala tersebut, maka

sindroma dispepsi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

• Dispepsi organik

• Dispepsi non-organik atau dispepsi fungsional yang masing-masing akan

dibahas lebih lanjut.

1. Dispepsi Organik

Dispepsi organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak

ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun. Istilah dispepsi organik baru dapat

dipakai bila penyebabnya sudah jelas.

Yang dapat digolongkan dispepsi organik, yaitu :

• Dispepsi tukak (ulcer-like dyspepsia)

• Dispepsia bukan tukak

• Refluks gastroesofageal

• Penyakit saluran empedu

• Karsinoma (lambung,kolon,pancreas)

• Pankreatis

• Sindroma malabsorpsi

• Beberapa penyakit metabolism (diabetes melitus, hiper dan hipotiroid,

hiperparatiroid,imbalans elektrolit)

• Penyakit lain misalnya; penyakit jantung iskemik, penyakit vaskuler

kolagen.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DISPEPSIA 2.1.1 DEFINISI Dalam

Dari dispepsia organik tersebut di atas, masing-masing penyebab

mempunyai kekhususan sendiri, yang akan dibahas secara sepintas.

• Dispepsi tukak : Keluhan penderita yang sering diajukan ialah rasa nyeri

di ulu hati. Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya

dengan makanan, pada tengah malam sering terbangun karena nyeri atau

pedih di ulu hati. Hanya dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi

dapat menentukan adanya tukak di lambung atau di duodenum.

• Dispepsi bukan tukak : Mempunyai keluhan yang mirip dengan dispepsi

tukak. Biasa ditemukan pada gastritis, duodenitis, tetapi pada pemeriksaan

endoskopi tidak ditemukan tanda-tanda tukak.

• Refluks gastroesofageal : Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal,

yaitu rasa panas di dada dan regugitasi masam, terutama setelah makan.

Bila seseorang mempunyai keluhan tersebut di atas disertai keluhan

sindroma dispepsi lainnya maka dapat disebut dispepsi refluks

gastroesofageal.

• Penyakit saluran empedu : Sindroma dispepsi ini biasa ditemukan pada

penyakit saluran empedu. Rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas atau di

ulu hati yang mejalar ke punggung dan bahu kanan.

• Karsinoma : Karsinoma dari saluran makan (esofagus, lambung,

pankreas, kolon) sering menimbulkan keluhan sindroma dispepsi. Keluhan

yang sering diajukan yaitu rasa nyeri di perut, keluhan bertambah

berkaitan dengan makanan, anoreksia dan berat badan menurun.

• Pankreatitis : Rasa nyeri timbulnya mendadak, yang menjalar ke

punggung, perut dirasa makin tegang dan kembung. Di samping itu,

keluhan lain dari sindroma dispepsi juga ada.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DISPEPSIA 2.1.1 DEFINISI Dalam

• Dispepsia pada sindroma malabsorpsi : Pada penderita ini di samping

mempunyai keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus,

kembung, keluhan utama lainnya yang mencolok ialah timbulnya diare

profus yang berlendir.

• Dispepsia akibat obat-obatan : Banyak macam obat yang dapat

menimbulkan rasa sakit atau tidak enak di daerah ulu hati tanpa atau

disertai rasa mual, dan muntah, misalnya obat golongan NSAID (non

steroidal anti-inflammatory drugs), teofilin, digitalis, antibiotic oral

terutama ampisilin dan eritromisin, alcohol, dan lain-lain. Oleh karena itu,

perlu ditanyakan macam obat yang dimakan sebelum timbulnya keluhan

dispepsia.

• Gangguan metabolism : Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul

komplikasi pengosongan lambung yang lambat, sehingga timbul keluhan

nausea, vomitus, sedangkan hipotiroid menyebabkan timbulnya

hipomotilitas lambung. Hipertiroid mungkin menimbulkan keluhan rasa

nyeri di perut dan vomitus, sedangkan hipotiroid menyebabkan timbulnya

hipomotilitas lambung. Hiperparatiroid mungkin disertai rasa nyeri di

perut, nausea, vomitus dan anoreksia.

• Penyakit lain : Penyakit jantung iskemik, sering memberi keluhan perut

kembung, perasaan lekas kenyang. Penderita infark miokard dinding

inferior juga sering memberi keluhan rasa sakit perut di atas, mual,

kembung, kadang-kadang penderita angina mempunyai keluhan

menyerupai refluks gastroesofageal. Penyakit vascular kolagen, terutama

pada sklerodema di lambung atau usus halus akan sering memberi keluhan

sindroma dispepsia. Rasa nyeri perut sering ditemukan pada penderita SLE

terutama yang banyak makan kortikosteroid (Sujono, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DISPEPSIA 2.1.1 DEFINISI Dalam

2. Dispepsia fungsional

Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik, merupakan dispepsia

yang tidak ada kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran

makanan yaitu Dispepsia dismotilitas (dysmotility like dyspepsia).

Pada dispepsi dismotilitas umumnya terjadi gangguan motilitas, di

antaranya adalah waktu pengosongan lambung lambat, abnormalitas mioelektrik

lambung, refluks gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia fungsional biasanya

sensitif terhadap produksi asam lambung, yaitu terdapat kenaikan asam lambung

(Sujono, 2002).

Kelainan psikis, stress, dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan

dispepsia fungsional. Hal ini dapat dijelaskan kembali faal saluran cerna pada

proses pencernaan yang ada pengaruhnya dari nervus vagus. Nervus vagus tidak

hanya merangsang sel parietal secara langsung, tetapi memungkinnya efek dari

antral gastrin dan rangsangan lain dari sel parietal. Dengan melihat, mencium bau

atau membayangkan sesuatu makanan sahaja sudah terbentuk asam lambung yang

banyak mengandungi HCl dan pepsin. Hal ini terjadi secara reflektoris oleh

karena pengaruh nervus vagus (Sujono, 2002).

2.1.3 Gejala klinis

Keluhan yang sering diajukan pada sindroma dispepsi adalah :

• Nyeri perut (abdominal discomfort)

• Rasa pedih di ulu hati

• Mual, kadang-kadang sampai muntah

• Nafsu makan berkurang

• Rasa lekas kenyang

• Perut kembung

• Rasa panas di dada dan perut

• Regurgitasi

• Banyak mengeluarkan gas masam dari mulut (ruktus) (Sujono, 2002)

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DISPEPSIA 2.1.1 DEFINISI Dalam

2.1.4 Patofisiologi Dispepsia

Menurut Kenneth (1996), dispepsia mungkin timbul dari sejumlah

gangguan organik intrinsik dan ekstrinsik pada saluran pencernaan luminal.

A. Pengobatan: Sejumlah obat dapat menyebabkan iritasi gastrointestinal dan

tidak boleh diabaikan.

B. Faktor makanan: Terdapat sejumlah makanan yang dilaporakan oleh pasien

yang dapat merangsang dispepsia. Terutamanya tomat, makanan pedas, makanan

berlemak, dan kopi. Mekanisme yang makanan dapat menyebabkan dispepsia

termasuk distensi abdomen, delayed gastric emptying (cholecystokinin-induced),

iritasi mukosa langsung, dan provokasi dari gastroesophageal reflux. Intoleransi

laktosa sangat umum terutama di kelompok etnis dan ras tertentu. Pasien yang

tidak toleran laktosa sering mengeluh hanya ketidaknyamanan perut dengan

asupan laktosa sederhana. Namun, dengan konsumsi laktosa yang besar, bisa

terjadi perut kembung (flatulence), distensi abdominal dan diare.

C. Disfungsi saluran gastrointetsinal luminal : Sejumlah gangguan organik dan

fungsional dari saluran pencernaan bagian atas dapat menyebabkan dispepsia.

1. Penyakit ulkus peptikum

2. Neoplasma lambung

3. Gatroesophageal reflux disease

4. Gangguan usus lain

5. Pancreaticobiliary disorders

6. Kondisi sistemik

7. Non ulkus dispepsia

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DISPEPSIA 2.1.1 DEFINISI Dalam

2.2 Diabetes melitus tipe 2

2.2.1 Definisi

Menurut Stephanie dan Andrew (2010), menurut Asosiasi Diabetes Amerika

(ADA), Diabetes adalah masalah dengan tubuh yang menyebabkan kadar glukosa

darah (gula) meningkat lebih tinggi dari biasanya. Ini juga disebut hiperglikemia.

Diabetes tipe 2 adalah bentuk paling umum dari diabetes. subjek dapat

diklasifikasikan sebagai normal, gangguan dan glukosa puasa, atau diabetes,

berdasarkan nilai-nilai glukosa darah mereka. Untuk diabetes tipe 2, tubuh tidak

menggunakan insulin dengan benar. Hal ini disebut resistensi insulin. Pada

awalnya, pankreas membuat insulin ekstra untuk menanganinya. Tapi, seiring

waktu pancreas tidak mampu mengimbangi dan tidak dapat membuat cukup

insulin untuk menjaga glukosa darah pada tingkat normal. Berdasarkan tahun

2003 pedoman ADA, normal didefinisikan sebagai konsentrasi glukosa puasa

<100mg/dl; IFG atau pradiabetes sebagai 100 sampai 125 mg / dL; dan diabetes

melitus sebagai ≥ 126mg/dL.

2.2.2 Patofisiologi

Diabetes melitus tipe 2 adalah, penyakit progresif yang kompleks.

Pemahaman saat ini menunjukkan bahwa diabetes tipe 2 hasil dari kombinasi

defisiensi pankreas sel-B, resistensi insulin pada jaringan adiposa dan otot rangka,

dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan (Richard dan Michael, 1999).

Diabetes tipe 2 disebabkan oleh kurangnya produksi insulin oleh sel

beta pada keadaan resistensi insulin. Resistensi insulin merupakan

ketidakmampuan sel untuk berespon terhadap kadar insulin normal. Terutamanya

di dalam otot, hati dan jaringan lemak. Di hati, insulin biasanya bertugas menekan

pelepasan glukosa. Namun, pada keadaan resistensi insulin, hati melepaskan

glukosa secara tidak normal ke dalam darah (Richard dan Michael, 1999).

Patofisiologi pada non insulin dependent diabetes melitus (NIDDM)

disebabkan karena dua hal yaitu (1) penurunan respons jaringan perifer terhadap

insulin, peristiwa tersebut dinamakan resistensi insulin, dan (2) penurunan

kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respons terhadap

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DISPEPSIA 2.1.1 DEFINISI Dalam

beban glukosa. Konsentrasi insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor insulin

berupaya melakukan pengaturan sendiri (self regulation) dengan menurunkan

jumlah reseptor atau down regulation. Hal ini membawa dampak pada penurunan

respons reseptornya dan lebih lanjut mengakibatkan terjadinya resistensi insulin.

Di lain pihak, kondisi hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan desensitasi

reseptor insulin pada tahap postreceptor, yaitu penurunan aktivasi kinase reseptor,

translokasi glucose transporter dan aktivasi glycogen synthase. Kejadian ini

mengakibatkan terjadinya resistensi insulin, Pada resistensi insulin, terjadi

peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan glukosa sehingga

mengakibatkan peningkatan kadar gula darah (hiperglikemik). Pada tahap ini, sel

β pankreas mengalami adaptasi diri sehingga responsnya untuk mensekresi insulin

menjadi kurang sensitif, dan pada akhirnya membawa akibat pada defisiensi

insulin (Sahar H, 2008).

2.1.3 Gejala Klinis

Menurut Alvin (2006), pada awalnya, pasien sering kali tidak menyadari

bahwa dirinya mengidap Diabetes Melitus, bahkan sampai bertahun-tahun

kemudian. Namun, harus dicurigai adanya DM jika seseorang mengalami keluhan

klasik DM berupa:

• poliuria (banyak berkemih)

• polidipsia (rasa haus sehingga jadi banyak minum)

• polifagia (banyak makan karena perasaan lapar terus-menerus)

• penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabny

• Jika keluhan di atas dialami oleh seseorang, untuk memperkuat diagnosis

dapat diperiksa keluhan tambahan DM berupa:

• lemas, mudah lelah, kesemutan, gatal

• penglihatan kabur

• penyembuhan luka yang buruk

• disfungsi ereksi pada pasien pria dan gatal pada kelamin pasien wanita

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DISPEPSIA 2.1.1 DEFINISI Dalam

2.1.4 Patofisiologi Gastroparesis Diabetika

Meskipun belum sepenuhnya dimengerti, yang dianggap sebagai faktor

patogenetik terpenting dalam terjadinya gastroparesis diabetika dalah terjadinya

neuropati diabetika yang mengakibatkan rusaknya syaraf-syaraf ekstrinsik

lambung. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa adanya gastroparesis pada

penderita-penderita diabetes melitus sangat berkorelasi dengan keberadaan

autonom dari nervus vagus. Namun demikian, penelitian morfologis terhadap

nervus vagus masih menunjukkan hasil yang bertentangan penampilan dari

neuron dan axonnya (Christian dan Gabriel, 2008).

Menurut Sri (2003), keadaan hiperglikemia merupakan faktor penting

lainnya yang menyebabkan terjadinya gastroparesis. Ternyata bahwa peningkatan

kadar gula darah meskipun masih dalam rentang normal dapat menyebabkan

keterlambatan pengosongan lambung pada orang normal maupun penderita

diabetes. Burgstaller dkk mengatakan bahwa pengosongan lambung melambat

secara bermakna pada keadaan hiperglikemia dibandingkan dengan keadaan

euglikemia pada penderita diabetes (pengosongan lambung ± 1180 menit pada

kadar gula darah 5,5 mmol / 1, dan ± 240 menit pada kadar gula darah 14 mmol /

1). Diduga mekanisme hiperglikemia memperlambat pengosongan lambung

adalah secara tak langsung yang melibatkan perubahan pada aktivitas vagus,

aktivitas listrik lambung, sekresi hormon-hormon gastrointestinal dan mekanisme

miogenik. Fischer dkk menunjukkan bahwa hipergilemia post prandial pada

penderita diabetes menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas mioelektrik

lambung, pengurangan aktivitas motorik antrum dan keterlambatan pengosongan

lambung. Studi oleh Barnett dan Ow yang menunjukkan bahwa motilitas antrum

puasa akan menurun pada kadar gula darah 7,8 mmol/1 sedangkan motilitas

antrum postprandial akan menurun pada kadar gula darah 9,7 mmol/1.

Adanya korelasi antara kadar gula darah yang tinggi dengan keterlambatan

pengosongan lambung dijumpai pada IDDM maupun NIDDM . Tidak jelasnya

kolerasi antara kadar HbA1c dengan keterlambatan pengosongan lambung

menunjukkan bahwa keterlambatan pengosongan lambung lebih merupakan efek

akut hiperglikemia ketimbang efek kronisnya. Peranan hormon – hormon

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DISPEPSIA 2.1.1 DEFINISI Dalam

gastrointestinal dalam mengatur motilitas lambung telah diketahui, namun

kebermaknaan perubahan hormon tersebut terhadap motilitas yang abnormal

masih belum jelas. Tingginya kadar motilin plasma pada penderita gastroperasis

diabetika menunjukkan bahwa kelainan motilitas yang terjadi kelihatannya tidak

berkaitan dengan defisiensi motilin. Pemberian infus cholecystokinin octapeptida

(CCK8) pada penderita baru NIDDM jelas mengakibatkan keterlambatan

pengosongan lambung akan tetapi belum pernah diteliti bagaimana kadar CCK

pada penderita gastroparesis diabetika (Sri, 2003).

Universitas Sumatera Utara