40
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gaya hidup menjadi ciri khas yang tidak dapat terlepaskan dari masyarakat modern. Bagi seorang yang hidup di dalam kebudayaan masyarakat yang serba kompleks seperti sekarang ini, terkadang diperlukan sebuah gaya hidup untuk mendukung semua aktifitas dan eksistensinya. Hal ini merujuk pada kecanggihan teknologi, tren dan mode yang terus berkembang, disertai adanya tuntutan zaman terhadap pandangan profesionalitas seseorang yang nantinya akan mewarnai jenjang kebutuhan, gaya hidup serta karier. Gaya hidup merupakan cerminan dari kepribadian individu secara menyeluruh yang diwujudkan dalam kegiatan, minat dan opini dari individu yang bersangkutan. Pada mulanya konsep gaya hidup 1

BAB I

Embed Size (px)

DESCRIPTION

JASA PENULISAN KREATIF Call/WA: 0812-2752-6557 / Pin BBm: 7E78B6D5Jasa penulisan naskah populer, biografi, outo biografi, karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi, makalah, Penelitian Tindakan Kelas, Buku Pelajaran, Buku penunjang pelajaran.

Citation preview

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gaya hidup menjadi ciri khas yang tidak dapat terlepaskan dari

masyarakat modern. Bagi seorang yang hidup di dalam kebudayaan masyarakat

yang serba kompleks seperti sekarang ini, terkadang diperlukan sebuah gaya

hidup untuk mendukung semua aktifitas dan eksistensinya. Hal ini merujuk pada

kecanggihan teknologi, tren dan mode yang terus berkembang, disertai adanya

tuntutan zaman terhadap pandangan profesionalitas seseorang yang nantinya

akan mewarnai jenjang kebutuhan, gaya hidup serta karier.

Gaya hidup merupakan cerminan dari kepribadian individu secara

menyeluruh yang diwujudkan dalam kegiatan, minat dan opini dari individu yang

bersangkutan. Pada mulanya konsep gaya hidup diperkenalkan oleh adler. Adler

mengatakan bahwa gaya hidup merupakan prinsip-prinsip idiografik yang dapat

digunakan sebagai landasan untuk memahami tingkah laku dan keunikan

individu yang akan melatar belakangi sifat khas yang dimilikinya (Hall dan

Lindsey, 1985). Gaya hidup adalah cara unik individu untuk mencari tujuan

hidup yang disusun dalam perencanaan hidup untuk menemukan dirinya. Adler

menyatakan bahwa gaya hidup adalah hal yang paling berpengaruh pada sikap

1

Page 2: BAB I

dan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan 3 hal utama dalam

kehidupan, yaitu pekerjaan, persahabatan, dan cinta.

Gaya hidup didefinisikan sebagai cara hidup yang dikenali dari

bagaimana orang menggunakan waktu dan melakukan aktivitas mereka yang

berkaitan dengan mereka sendiri dan dunia sekitar mereka (brotoharjoso, dkk,

2005).

Gaya hidup menurut Kotler (2002, p. 192) adalah pola hidup seseorang di

dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup

menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan

lingkungannya. Gaya hidup menggambarkan seluruh pola seseorang dalam

beraksi dan berinteraksi di dunia.

Menurut Susanto (dalam Nugrahani, 2003) gaya hidup adalah perpaduan

antara kebutuhan ekspresi diri dan harapan kelompok terhadap seseorang dalam

bertindak berdasarkan pada norma yang berlaku. Oleh karena itu banyak

diketahui macam gaya hidup yang berkembang di masyarakat sekarang misalnya

gaya hidup hedonis, gaya hidup metropolis, gaya hidup global dan lain

sebagainya.

Menurut Lisnawati (2001) gaya hidup sehat menggambarkan pola

perilaku sehari-hari yang mengarah pada upaya memelihara kondisi fisik, mental

dan social agar selalu berada dalam keadaan positif. Gaya hidup sehat meliputi

kebiasaan tidur, makan, pengendalian berat badan, tidak merokok atau minum-

2

Page 3: BAB I

minuman beralkohol, berolahraga secara teratur dan terampil dalam mengelola

stres yang dialami. Sejalan dengan pendapat Lisnawati, Notoatmojo (2005)

menyebutkan bahwa perilaku sehat (healthy behavior) adalah perilaku-perilaku

atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan

meningkatkan kesehatan. Untuk mencapai gaya hidup yang sehat diperlukan

pertahanan yang baik dengan menghindari kelebihan dan kekurangan yang

menyebabkan ketidakseimbangan yang menurunkan kekebalan dan semua yang

mendatangkan penyakit (Hardinger dan Shryock, 2001).

Sebuah penelitian tentang gaya hidup orang-orang eropa yang dilakukan

oleh Chaney, Bauddrillard (1970), Ibrahim (1997), Featherson (2001) dan Barker

(2000) menjelaskan bahwa abad ini adalah era globalisasi dan modernisasi,

dimana manusia memperlihatkan dan mengutamakan pola perilaku konsumtif

atas produk-produk budaya modern, sehingga membentuk sikap hidup, karakter

dan mentalitas, image yang lebih mengedepankan individualitas, egoisme,

mtrelialistis dan rasionalisasi. Chaney dan feathersone menjelaskan bahwa

indicator gaya hjidup seseorang muncul ketika mengkonsumsi produk-produk

kapitalis dengan industri mcdonald di mall atau supermall, industri kosmetik,

industri sepatu, industri hp seluler dan sebagainya.

Apresiasi konsumsi dan gaya hidup orang Eropa di Barat maupun Asia

non-Barat mengalami rentang waktu yang panjang (Chaney, Braudrillard dan

Subandi) bahwa gaya hidup orang eropa dialami sekitar tahun 1950-an dan orang

3

Page 4: BAB I

Asia, khusus Indonesia mengalami pada tahun 1990an. Adaptasi gaya hidup ini

terjadi dimana melalui arus globalisasi dan berkembang pada seluruh aspek

kehidupan. Disadari atau tidak pola gaya hidup modern ini menuju pada satu

kesimpulan yaitu menarik masyarakat semakin jauh untuk terlibat. Dilihat dari

sisi gendernya, wanita atau perempuanlah yang lebih banyak terbawa arus

modernisasi dimana pada saat ini dizaman emansipasi wanita, perempuan

bergerak ke segala arah menuju kemajuan.

Citra diri adalah bagian yang paling diserang oleh mereka yang

menjajakan gaya hidup tertentu untuk menarik perhatian masyarakat (Chaney,

1996). Semua orang berlomba-lomba mengejar materi, berlomba-lomba

mencapai sesuatu yang lebih dan lebih lagi. Kecenderungan masyarajat menjadi

lebih modern inilah yang menyebabkan adanya pergeseran nilai-nilai yang terjadi

pada wanita modern sekarang. Tuntutan ekonomi ternyata bukan termasuk factor

utama yang menuntut wanita untuk berkarir, namun gaya hidup yang dianut

seorang wanita yang memotivasi mereka untuk mengembangkan aktivitas, minat,

kemampuan, dan opininya dalam sebuah karir yang sesuai dengan bidang

keilmuan dan keahlian yang mereka miliki.

Sarwono (1989) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi

gaya hidup adalah konsep diri. Amstrong (dalam Nugraheni, 2003) menyatakan

bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang ada 2, yaitu

faktor yang berasal dari dalam diri individu (internal) dan faktor yang berasal

4

Page 5: BAB I

dari luar (eksternal). Factor-faktor internal meliputi, sikap, pengalaman dan

pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif, persepsi. Adapun faktor eksternal

dijelaskan oleh Nugraheni (2003) sebagai berikut: Kelompok referensi, keluarga,

kelas sosial dan kebudayaan.

Keputusan seorang wanita untuk berkarir di luar tugas utamanya sebagai

ibu rumah tangga tentu sangat dipengaruhi oleh banyak factor, baik internal

maupun eksternal, misalnya adanya persepsi bahwa dengan berkarier maka

seorang wanita akan mempunyai dunia sosial yang lebih luas sehingga mampu

mengekspresikan dan mengaktualisasikan kemampuan diri di dalamnya dan

menjadi lebih bermanfaat bagi sesama. Selain itu, budaya masyarakat dewasa ini,

menempatkan wanita karier ke dalam kelas sosial yang lebih tinggi dibandingkan

dengan wanita yang hanya mengurus pekerjaan domestic rumahtangga.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1988), Karir

berasal dari kata karier (Belanda) yang berarti pertama, perkembangan dan

kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan dan jabatan. Kedua pekerjaan yang

memberikan harapan untuk maju. Selain itu kata karir selalu dihubungkan

dengan tingkat atau jenis pekerjaan seseorang. Wanita karir berarti wanita yang

berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha dan perusahaan).

Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa “wanita karir” adalah wanita

yang menekuni sesuatu atau beberapa pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian

tertentu yang dimilikinya untuk mencapai suatu kemajuan dalam hidup,

5

Page 6: BAB I

pekerjaan, atau jabatan. Pengertian wanita karir sebagaimana dirumuskan diatas,

nampaknya tidak identik dengan” wanita bekarja”. Berikut beberapa ciri wanita

karir meliputi:

1. Wanita yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai suatu

kemajuan.

2. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu merupakan kegiatan-kegiatan

profesional sesuai dengan bidang yang ditekuninya, baik di bidang politik,

ekonomi, pemerintahan, ilmu pengetahuan, ketentaraan, sosial, budaya

pendidikan, maupun di bidang-bidang lainnya.

3. Bidang pekerjaan yang ditekuni oleh wanita karir adalah pekerjaan yang

sesuai dengan keahliannya dan dapat mendatangkan kemajuan dalam

kehidupan, pekerjaan, atau jabatan

Factor internal lain yang memotivasi wanita untuk berkarier adalah

konsep diri. Wanita karier cenderung mempunyai konsep diri yang positif.

Mereka memandang bahwa dirinya berharga, mempunyai potensi dan

kemampuan yang bisa dikembangkan dan diaktualisasikan, mampu

menghasilkan uang dan materi, dan tentusaja lebih mandiri dalam menentukan

pilihan dan keputusan hidup. Hal ini dikarenakan wanita karier mempunyai

tempat untuk mengaktualisasikan kemampuan dirinya juga menyalurkan

hobinya, mempunyai banyak teman dan relasi kerja.

6

Page 7: BAB I

Menurut Brooks dan Emmart (1976), orang yang memiliki konsep diri

positif menunjukkan karakteristik sebagai berikut: Merasa mampu mengatasi

masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu,

merasa mampu memperbaiki diri. Kemampuan untuk melakukan proses refleksi

diri untuk memperbaiki perilaku yang dianggap kurang.

Sedangkan orang yang memiliki konsep diri yang negatif menunjukkan

karakteristik sebagai berikut: Peka terhadap kritik, bersikap responsif terhadap

pujian, cenderung merasa tidak disukai orang lain, mempunyai sikap hiperkritik.

Suka melakukan kritik negatif secara berlebihan terhadap orang lain, mengalami

hambatan dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya.

Konsep diri kearah positif adalah konsep diri yang banyak dipengaruhi

oleh pengalaman hidup yang menyenangkan yang dapat membuat individu untuk

meningkatkan rasa percaya diri, perasaan kontrol diri, dan mencapai well-being

(Hoelter,1983; Thoits,1991). Sebaliknya penilaian negative terhadap hidup akan

memepengaruhi terbentuknya konsep diri negative pada individu, self esteem,

self critical dan self enhancing. Ini berarti bahwa penilaian yang positif terhadap

diri individu akan meningkatkan well beingnya begitu juga sebaliknya, penilaian

negative diri individu akan menurunkan tingkat well-beingnya.

Konsep diri yang baik khususnya pada wanita karir pada akhirnya akan

menjadikan gaya hidup mereka menjadi lebih baik yang pada akhirnya tentu saja

akan berimbas terhadap bagaimana seorang wanita dalam menyelesaikan

7

Page 8: BAB I

masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang

mengancam atau yang dikenal dengan istilah mekanisme koping.

Koping adalah sebuah mekanisme untuk mengatasi perubahan yang

dihadapi atau beban yang diterima tubuh dan beban tersebut menimbulkan

respon tubuh yang sifatnya nonspesifik yaitu stres. Apabila mekanisme coping

ini berhasil, seseorang akan dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban

tersebut (Ahyar, 2010).

Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam

menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon

terhadap situasi yang mengancam (Keliat, 1999).

Sedangkan menurut Lazarus (1985), koping adalah perubahan kognitif

dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan

atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu.

Berdasarkan kedua definisi di atas, maka yang dimaksud mekanisme

koping adalah cara yang digunakan individu dalam menyelesaikan masalah,

mengatasi perubahan yang terjadi dan situasi yang mengancam baik secara

kognitif maupun perilaku

Individu dapat mengatasi stres dengan menggerakkan sumber koping di

lingkungan. Ada lima sumber koping yaitu: aset ekonomi, kemampuan dan

keterampilan individu, teknik-teknik pertahanan, dukungan sosial dan dorongan

motivasi (Hidayat, 2008).

8

Page 9: BAB I

Dari gaya hidup seorang wanita karir, dia akan memiliki sebuah konsep

diri dan cara menyelesaikan masalah yang tentu saja akan sangat berbeda dengan

mereka yang tidak berkarir. Bahkan pendapat umum yang tumbuh dalam

masyarakat, wanita yang sukses dalam berkarir, sangat sulit atau bahkan tidak

memiliki hubungan yang langgeng dan tetap, apalagi bila pasangannya tersebut

memiliki karir dan penghasilan yang tidak sebagus sang wanita.

Di Indonesia, kita mengenal sebutan perawan tua, yaitu para wanita yang

hingga usia matang belum menikah. Bahkan di China, wanita yang hingga usia

27 tahun belum menikah akan mendapat predikat perempuan sisa. Sebutan ini

resmi dikeluarkan oleh pemerintah China selama beberapa tahun terakhir. Sheng-

nu atau perempuan sisa adalah predikat menyakitkan bagi banyak wanita di

China. Panggilan ini secara resmi digunakan mulai tahun 2007, dilansir BBC

News. Panggilan ini mulai digalakkan secara agresif oleh pemerintah untuk

memberi stigma pada wanita berpendidikan berusia 27 tahun yang belum

menikah. Meskipun pada akhirnya, sebutan ini dicabut setelah mendapat keluhan

dari sejumlah wanita.

Fenomena tentang wanita lajang di Indonesia sudah banyak sekali

dibahas oleh para peneliti-peneliti. Menurut Kartika (dalam Rendy, 2002) bagi

wanita Indonesia menikah adalah hal yang sarat dengan berbagai nilai yang telah

lama ada dikondisikan dalam budaya patriarki. Kondisi budaya, agama dan

lingkungan sekitar menuntut wanita wajib memasuki jenjang dalam lembaga

9

Page 10: BAB I

perkawinan, karena jika tidak maka akan muncul labelling bagi wanita yang

dalam kategori cukup umur dan belum menikah. Salah satu label yang sering

diterima wanita lajang adalah perawan tua.

Menurut Rieka (dalam Rendy, 2008) ada faktor yang melatarbelakangi

wanita lajang yaitu banyak wanita yang masih memiliki pandangan ideal

terhadap pasangan. Sekarang ini semakin banyak wanita yang mandiri, memiliki

karir sukses dan bisa memenuhi kebutuhan finansialnya sendiri. Alhasil menikah

dengan tujuan menggantungkan kebutuhan finansial kepada suami tentu tidak

ada lagi. Kalaupun menikah tidak ada urusannya dengan kebutuhan ekonomi

namun mencari kenyamanan dengan pasangan dan atau memiliki keturunan.

Bagi wanita, bekerja merupakan kesempatan untuk mengaktualisasikan

diri. Bekerja memungkinkan seorang wanita mengekspresikan dirinya sendiri

dengan cara kreatif dan produktif untuk menghasilkan sesuatu yang

mendatangkan kebahagiaan terhadap dirinya sendiri, terutama jika prestasinya

tersebut mendapatkan penghargaan dan umpan balik yang positif. Melalui

bekerja, wanita berusaha menemukan arti dan identitas dirinya, pencapaian

tersebut mendatangkan rasa percaya diri dan kebahagiaan (Hirmaningsih, 2008).

Maslow (dalam Semiun, 2007) berpendapat bahwa apabila kebutuhan-

kebutuhan fisiologis dan rasa aman terpenuhi, maka kebutuhan akan cinta dan

memiliki akan muncul. Kebutuhan akan cinta akan terasa apabila kekasih, istri,

suami, atau anak-anak tidak ada. Namun demikian, kebutuhan akan cinta bisa

10

Page 11: BAB I

terungkap dalam keinginan memiliki teman-teman atau dalam keinginan

menjalin hubungan-hubungan afektif dengan orang lain. Kebutuhan untuk

memiliki akan terlaksana apabila individu menggabungkan diri dengan suatu

kelompok atau perkumpulan, menerima nilai-nilai dan sifat-sifat yang ada di

kelompok tersebut. Beberapa wanita lajang pada umumnya memperoleh

kebutuhan akan cinta atau hubungan afektif dengan sahabat-sahabat mereka.

Kecenderungan melajang ini biasanya lebih sering dijumpai pada

perempuan yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan

mengutamakan karir mereka dibandingkan perempuan-perempuan kebanyakan.

Mereka cenderung memiliki gaya hidup yang lebih mandiri dan kebebasan yang

tidak dimiliki oleh perempuan-perempuan yang sudah menikah pada umumnya.

(Robinson dan Bessell, 2002: 229). Mereka cukup mempunyai pendapatan, siap

konsumsi dan cenderung membelanjakannya untuk mendukung hidup hura-hura,

seperti hiburan, membeli pakaian dan dekorasi rumah (Prasetijo dan Ihalaw,

2003).

Di sudut lain, seiring berjalannya waktu serta banyaknya kesempatan

dalam memperluas aspek-aspek dalam kehidupan, sehingga sekarang ini semakin

banyak orang yang menganggap bahwa wanita dewasa yang belum menikah

justru dianggap sebagai simbol sosok modern. Wanita lajang bergairah dalam

pekerjaan mereka dan memiliki antusias dalam berprestasi. Banyak dari wanita

lajang yang telah membantu orang tua. Mereka membiayai keluarga,

11

Page 12: BAB I

menyerahkan seluruh pendapatannya untuk membiayai pendidikan saudara-

saudara mereka (Diana, 2008).

Dari semua konsep dan realita yang tergambarkan di atas peneliti

mencoba untuk membahas lebih dalam, apakah ada korelasi positif antara gaya

hidup wanita karir yang belum menikah dengan konsep diri dan pola coping

positif mereka terhadap Psychological Well-Being pada setiap pribadi wanita

tersebut.

Ryff (dalam Allan Car, 2008) mendefinisikan psychological well-being

sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan.

Dorongan tersebut dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap

keadaan yang membuat psychological well-being individu menjadi rendah atau

berusaha untuk memperbaiki keadaan hidup yang akan membuat psychological

well-being individu tersebut menjadi tinggi (Ryff & Keyes, 1995).

Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari

potensi individu dimana individu dapat menerima segala kekurangan dan

kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan

orang lain, dapat menguasai lingkungannya dalam arti dapat memodifikasi

lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta

terus mengembangkan pribadinya. Psychological well-being bukan hanya

kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan afek negative, namun

12

Page 13: BAB I

juga melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama

hidup (Keyes, Shmotkin dan Ryff, 2002).

Pada penelitian kali ini, peneliti melihat adanya sebuah pengaruh gaya

hidup wanita karir dengan konsep diri, pola coping positif yang mereka meiliki

terhadap Psychological Well-Being terutama pada wanita lajang yang belum

menikah. Dan pengaruh tersebut terlihat pada pola hidup, pemilihahan

keputusan, penyelesaina masalah dan lain ebagainya.

A. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh gaya

hidup wanita karir, konsep diri, dan pola coping positif terhadap Psychological

Well-Being pada wanita lajang yang belum menikah.

B. Tujuan Penelitian

Menganalisis pengaruh gaya hidup wanita karir, konsep diri, dan pola

coping positif, terhadap Psychological Well-Being pada wanita lajang yang

belum menikah.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

13

Page 14: BAB I

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang

bermanfaat bagi ilmu psikologi, khususnya bagi Psikologi Positif dan

Psikologi Kesehatan Mental. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan

dapat memberikan pemahaman terkait tentang kondisi Psychological Well-

Being pada wanita lajang ditinjau berdasarkan pola coping positif, konsep

diri, dan gaya hidup wanita karir.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mendorong peneliti lain

untuk dapat meneliti lebih lanjut masalah mengenai Psychological Well-

Being pada wanita lajang yang belum menikah. Penelitian ini merupakan

langkah awal untuk memahami bagaimana kondisi subjective well being

pada wanita lajang yang belum menikah dilihat dari konsep diri, gaya

hidup wanita karir dan pola coping positif yang mereka kembangkan.

Harapannya, hasil penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat luas dalam

memahami dan memberikan perlakuan bagi wanita lajang yang belum

menikah dan mempunyai karier.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai gaya hidup sudah banyak dilakukan oleh para

peneliti sebeumnya, baik gaya hidup remaja, wanita berumah tangga, dan lain

sebagainya. Sepanjang pengetahuan penyusun, diantara penelitian tersebut adalah

14

Page 15: BAB I

disertasi yang disusun oleh Hartanto Brotoharsojo dari Universitas Indonesia,

disertasinya meneliti tentang Hubungan antara gaya hidup, konsep-diri, citra

produk dan sistem nilai dengan intensi konsumen wanita untuk membeli

kosmetik lokal, 'patungan' dan/atau impor di wilayah DKI Jakarta dan

sekitarnya..

Kemudian ada juga penelitian yang dilakukan oleh Dyah Kumalasari

tentang single professional women sebagai fenomena gaya hidup baru di

masyarakat Yogyakarta (studi kasus: kabupaten sleman). Selain penelitian di

atas, ada juga penelitian yang dilakukan oleh Pauline Sutantodan Farida Haryoko

tentang Gambaran Konsep Diri pada Wanta Berkarier Sukses yang Belum

Menikah dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang dimuat dalam jurnal

INSAN Vol. 12 No. 01, April 2010.

Pada penelitian lain juga pernah dibahas mengenai Hubungan Antara

Konsep Diri Dengan Perilaku Konsumtif Remaja Putri Dalam Pembelian

Kosmetik Melalui Katalog Di Sma Negeri 1 Semarang yang dilakukan oleh

Sintiche Ariesny Parma dari Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Semarang.

Gambaran kepribadian dan psychological well-being ditinjau berdasarkan

golongan darahnya yang diteliti oleh I Made Yudhistira Dwipayama, M.Psi.

selain itu, ada juga penelitian tentang Hubungan Antara Gaya Hidup Achievers

15

Page 16: BAB I

Dengan Minat Menggunakan Kartu Kredit Pada Pegawai Wanita Sekretariat

Daerah Propinsi Jawa Tengah Skripsi yang disusun oleh Veronika Shinta

Prima Alam pada program studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas

Diponegoro Semarang mei 2006.

Diantara penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti-peneliti

terdahulu, penyusun belum menemukan adanya penelitian yang berkaitan dengan

pengaruh gaya hidup wanita karir konsep diri, dan pola coping positif, terhadap

Psychological Well-Being pada wanita lajang yang belum menikah.

E. Landasan Teori

Ryan dan Deci (2001), mengemukakan dua perspektif mengenai well-

being. Pendekatan hedonic, yang mendefenisikan well-being sebagai kesenangan

atau kebahagiaan dan pendekatan eudaimonic, yang fokus pada realisasi diri,

ekspresi personal dan tingkat dimana individu mampu mengaktualisasikan

kemampuannya. Waterman (1993), menekankan bahwa eudaimonic terdiri dari

pemenuhan atau menyadari siapa dirinya sebenarnya. Beberapa literature dari

para ahli merujuk pada pendefinisian positive psychological functioning.

Diantaranya adalah teori Maslow (1968) tentang konsep aktualisasi diri (self-

actualization), pandangan Roger (1961) tentang individu yang berfungsi secara

16

Page 17: BAB I

penuh (fully functioning system), formulasi teori Jung (1933) tentang individuasi

(individuation), dan konsep kedewasaan (maturity) oleh Allport (1961).

Teori psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun

1989. Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai

aktivitas hidup sehari-hari. Segala aktifitas yang dilakukan oleh individu yang

berlangsung setiap hari dimana dalam proses tersebut kemungkinan mengalami

fluktuasi pikiran dan perasaan yang dimulai dari kondisi mental negatif sampai

pada kondisi mental positif, misalnya dari trauma sampai penerimaan hidup

dinamakan psychological well-being (Bradburn dalam Ryff & Keyes,1995).

Ryff (dalam Allan Car, 2008) mendefinisikan psychological well-being

sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan.

Dorongan tersebut dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap

keadaan yang membuat psychological well-being individu menjadi rendah atau

berusaha untuk memperbaiki keadaan hidup yang akan membuat psychological

well-being individu tersebut menjadi tinggi (Ryff & Keyes, 1995).

Lawton (dalam Keyes, 2003), mendefinisikan psychological well-being

sebagai tingkat evaluasi mengenai kompetensi dan diri seseorang, yang

ditekankan pada hirarki tujuan individu. Menurut Ryff (1989), psychological

well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu

dimana individu dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dirinya,

mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, dapat

17

Page 18: BAB I

menguasai lingkungannya dalam arti dapat memodifikasi lingkungan agar sesuai

dengan keinginannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta terus mengembangkan

pribadinya. Psychological well-being bukan hanya kepuasan hidup dan

keseimbangan antara afek positif dan afek negative, namun juga melibatkan

persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama hidup (Keyes,

Shmotkin dan Ryff, 2002).

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa psychological well-

being adalah kondisi individu yang ditandai dengan perasaan bahagia, adanya

kepuasan hidup dan realisasi diri. Kondisi ini sendiri dipengaruhi oleh

penerimaan diri, pertumbuhan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan,

otonomi dan hubungan positif dengan orang lain.

Konsep psychological well-being memiliki enam dimensi pendukung.

Masing-masing dimensi dalam psychological well-being menjelaskan tantangan-

tantangan yang berbeda yang dihadapi individu untuk dapat berfungsi secara

penuh dan positif (Ryff, 1989a; Ryff & Singer, 2006; Ryff, dalam Keyes &

Haidt, 2003). Dimensi-dimensi tersebut adalah:

1. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Dimensi ini didefinisikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan

mental, aktualisasi diri, berfungsi optimal dan kematangan. Penerimaan diri

berarti sikap yang positif terhadap diri sendiri dan kehidupan di masa lalu,

18

Page 19: BAB I

serta mampu menerima kekurangan dan kelebihan serta batasan-batasan

yang dimiliki dalam aspek diri individu.

2. Pertumbuhan Diri (Personal Growth)

Dimensi ini didefenisikan sebagai kemampuan potensial yang

dimiliki seseorang, perkembangan diri, serta keterbukaan terhadap

pengalaman-pengalaman baru. Individu yang baik dalam dimensi ini

memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai

sesuatu yang terus tumbuh, menyadari potensi-potensi yang dimiliki dan

mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke

waktu, dan ini berlaku sebaliknya.

3. Tujuan Hidup (Purpose in Life)

Dimensi ini menekankan pentingnya memiliki tujuan, pentingnya

keterarahan dalam hidup dan percaya bahwa hidup memiliki tujuan dan

makna. Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik, memiliki target dan

cita-cita serta merasa bahwa baik kehidupan di masa lalu dan sekarang

memiliki makna tertentu.

4. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Dimensi ini ditandai dengan kemampuan individu untuk memilih

atau menciptakan lingkungan yang cocok atau untuk mengatur lingkungan

yang kompleks. Individu yang baik dalam dimensi ini ditandai dengan

kemampuannya untuk memilih dan menciptakan sebuah lingkungan yang

19

Page 20: BAB I

sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pibadinya dan memanfaatkan secara

maksimal sumber-sumber peluang yang ada di lingkungan.

5. Otonomi (Autonomy)

Dimensi ini dideskripsikan dengan individu yang mampu

menampilkan sikap kemandirian, memiliki standard internal dan menolak

tekanan sosial yang tidak sesuai. Individu yang memiliki tingkatan otonomi

yang baik ditunjukkan sebagai pribadi yang mandiri, mampu menolak

tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu,

mampu mengatur tingkah laku diri sendiri dan mengevaluasi diri sendiri

dengan standard pribadi dan hal ini berlaku sebaliknya.

6. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)

Dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat,

memuaskan, saling percaya dengan orang lain serta memungkinkan untuk

timbulnya empati dan intimasi. Individu yang memiliki hubungan positif

yang baik dengan orang lain ditandai dengan memiliki hubungan yang

hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki

perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan rasa empati,

rasa sayang dan keintiman serta memiliki konsep dalam memberi dan

menerima dalam hubungan sesama manusia dan ini juga berlaku sebaliknya.

20

Page 21: BAB I

Psychological well-being pada diri seseorang ini dipengaruhi oleh

beberap faktor, yaitu:

1. Usia

Penelitian Ryff pada tahun 1989, 1991, 1995, dan 1998 menunjukkan

bahwa usia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi psychological

well being. Pada aspek penguasaan lingkungan, otonomi, penerimaan diri,

hubungan positif, menunjukkan peningkatan terhadap usia yang semakin

dewasa. Sedangkan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi menunjukkan

penurunan yang tajam pada setiap periode kehidupan usia dewasa (dalam

Snyder & Lopez, 2002).

2. Tingkat Pendidikan

Ryff, Magee, Kling & Wling (dalam Synder & Lopez, 2002)

menemukan bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh

terhadap psychological well being yang dimiliki individu Individu yang

memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik memiliki psychological well

being yang lebih baik juga.

3. Jenis Kelamin

Wanita menunjukkan psychological well being yang lebih positif jika

dibandingkan dengan pria. Ryff (1989) menunjukkan bahwa pada dimensi

relasi positif, wanita menunjukkan skor yang lebih tinggi dibandingkan pria.

Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki

21

Page 22: BAB I

digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu

perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta

sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia & Feldman, 2001). Inilah yang

menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam

dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik

dengan orang lain.

4. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri,

tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang

memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan

dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih

baik dari dirinya (Ryff, dalam Snyder & Lopez, 2002). Individu dengan

tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial

tinggi akan memiliki psychological well-being yang lebih tinggi.

22

Page 23: BAB I

Daftar Pustaka

Ajzen, I. Attitude, Personality, and Behavior. Open University Press: 2005.

Baudrillard, Jean P. diterjemahkan oleh Wahyunto. Masyarakat Konsumsi. Kreasi

Wacana, Yogayakarta: 2004.

Bauna’i, Wanita Karir dalam Prespektif Hukum Islam “Jurnal Keislaman dan

Keilmuan Karsa, Vol.11(Mei 2001)

Brooks, W.D., Emmert, P. Interpersonal Community.. Brow Company Publisher.

Iowa: 1976

Brotoharsojo, dkk Psikologi Ekonomi dan Konsumen. Psikologi Universitas

Indonesia. Depok: 2005.

C.Utami Munandar, Wanita Karir Tantangan dan Peluang,” Wanita dalam

Masyarakat Indonesia Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan. Sunan

Kalijaga Press, Yogyakarta: 2001)

Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Psikologi Kepribadian 1 Teori-Teori

Psikodinamik (Klinis), Kanisius. Jogjakarta: 1993

Huzaemah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, Almawardi Prima,

Yogyakarta: 2001

23

Page 24: BAB I

Kumpulan Penulis: Editor Idi Subandi Ibrahim. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop

dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. 1997. Bandung: Jalasutra

Martin Kornberger, Brand Society: How Brands Transform Management and

Lifestyle. Cambridge University Press, Melboerne: 2010

Munandar, A.S Psikologi Industri dan Organisasi. Universitas Indonesia Press.

Jakarta: 2001

Nugraheni, P.N.A.. Perbedaan Kecenderungan gaya Hidup Hedonis Pada Remaja

Ditinjau dari Lokasi Tempat Tinggal. Skripsi 2003 (tidak diterbitkan).

Peter James Burke, Advances in Identity Theory and Research, Springer, Cluwer

Academic/Plenum Publisher: Amerika: 2003

Peter Salim dan Yeni Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, English

Press, Jakarta: 1991.

Piliang, Y.A. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.

Jalasutra, Yogyakarta: 2005

Plummer, R. Life Span Development Psychology: Personality and Socialization.

Academic Press. New York 1983

Sakinah. Media Muslim Muda.Elfata. Solo 2002

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi remaja, Rajawali Pers, Jogjakarta: 1989

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial Kelompok dan Terapan, PT Balai

Pustaka, Jakarta: 1999

Sarwono, S.W. Psikologi Remaja. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1989

24

Page 25: BAB I

Subandy,Idi. Ecstasy Gaya Hidup. Mizan. Bandung: 1997

Susanto,A.B. Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis. Penerbit Buku. Jakarta: 2001

http://www.ubishops.ca/baudrillardstudies/vol2_2/norris.htm

http://www.transparencynow.com/advertise.htm

http://www.anneahira.com/gaya-hidup-mewah.htm

http://zonegirl.wordpress.com/2011/11/30/pengertian-korupsi-etika-bisnis-dan-

hubungan-etika-bisnis-dengan-korupsi/

http://tonymisye.blogspot.com/2011/04/nilai-nilai-individu-dan-sikap-kerja.html

http://sosiologibudaya.wordpress.com/2011/05/18/gaya-hidup/

http://gilangjaelani.blogspot.com/2011/10/kepribadian-nilai-dan-gaya-hidup.html

http://e.psikologi.com

http://bebas.vlsm.org/kuliah/seminar-MIS/2006/172-11

 

25