28
BAB I PENDAHULUAN Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah yang dikenal oleh masyarakat usus bu adalah kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah sekum. Organ y diketahui fungsinya inisering menimbulkanmasalahkesehatan. Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan merupakan abdomen ak paling sering. 2 Insiden penyakit ini di negara maju lebih tinggi daripada d berkembang. Tetapi dalam tahun-tahun terakhir ini kejadiannya menurun secara ber karenapenggunaanmakanan berserat dalam makanan sehari-hari. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, namun lebih sering menyerang laki-laki berusia antara sampai 30 tahun. Apabila diagnosis klinis dari apendisitis sudah jelas, maka tin paling tepat dilakukan adalahapendektomi. Dan apabila tindakan pembedahan ini dilakukan penundaan, maka mempunyai kecendrungan menjadi progresif dan mengalami perforasi atau abses. Untuk menjamin tindakan pembedahan (apendektomi) berjalan dengan la maka perlu manajemen operatif yang baik dari berbagai displin yang terlibat. Di anestesi, dikenal dengan istilah kedokteran perioperatif. Kedokteran perioperati langkah awal dari rangkaian tindakan anesthesia yang dilakukan terhadap pasien y direncanakan ataupun darurat untuk menjalani suatu pembedahan. Tindakan ini dila untuk menurunkan terjadinya resiko dalam hal tindakan anesthesia. Juga untuk memberitahu kepada pasien tindakan yang akan dilakukan, kemungkinan efek samping yang akan timbul, kemungkinanyang terjadi selama tindakan anesthesia ataupun pembedahan. Periode perioperatif terdiri dari periode pra anestesia, periode anesthesi dan pasca anesthesia. Dalam pemilihan anestesia-analgesia harus mempertim beberapa faktor, antara lain umur, jenis kelamin, status fisik, jenis operasi, dan fasilitas yang tersedia, serta adanya permintaan pasien sehingga dapat denga memilih teknik anestesi-analgesi yang dilakukan. 1

BAB I

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUANApendiks disebut juga umbai cacing. Istilah yang dikenal oleh masyarakat usus buntu adalah kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah sekum. Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan. Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan merupakan abdomen akut yang paling sering.2 Insiden penyakit ini di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang. Tetapi dalam tahun-tahun terakhir ini kejadiannya menurun secara bermakna, karena penggunaan makanan berserat dalam makanan sehari-hari. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, namun lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun. Apabila diagnosis klinis dari apendisitis sudah jelas, maka tindakan yang paling tepat dilakukan adalah apendektomi. Dan apabila tindakan pembedahan ini dilakukan penundaan, maka mempunyai kecendrungan menjadi progresif dan mengalami perforasi atau abses. Untuk menjamin tindakan pembedahan (apendektomi) berjalan dengan lancar, maka perlu manajemen operatif yang baik dari berbagai displin yang terlibat. Di bidang anestesi, dikenal dengan istilah kedokteran perioperatif. Kedokteran perioperatif adalah langkah awal dari rangkaian tindakan anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan ataupun darurat untuk menjalani suatu pembedahan. Tindakan ini dilakukan untuk menurunkan terjadinya resiko dalam hal tindakan anesthesia. Juga untuk memberitahu kepada pasien tindakan yang akan dilakukan, kemungkinan efek samping yang akan timbul, kemungkinan yang terjadi selama tindakan anesthesia ataupun pembedahan. Periode perioperatif terdiri dari periode pra anestesia, periode anesthesia-analgesia, dan pasca anesthesia. Dalam pemilihan anestesia-analgesia harus mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain umur, jenis kelamin, status fisik, jenis operasi, keterampilan dan fasilitas yang tersedia, serta adanya permintaan pasien sehingga dapat dengan tepat memilih teknik anestesi-analgesi yang dilakukan.

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1 Evaluasi Pra AnestesiaEvaluasi pra anestesia ini merupakan langkah awal dari rangkaian tindakan anestesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan ataupun darurat untuk menjalani suatu pembedahan. Tindakan ini wajib dilakukan oleh dokter ataupun petugas anestesia yang lain. Waktu evaluasi pada kasus yang direncanakan atau elektif dilakukan beberapa hari sebelum tindakan pembedahan. Yang kemudian diulangi sehari sebelum tindakan pembedahan, serta evaluasi ulang pada pagi hari menjelang pasien dikirim ke kamar operasi dan evaluasi terakhir dilakukan di kamar persiapan. Sedangkan pada kasus yang darurat, evaluasi dilakukan pada saat di ruang persiapan operasi karena waktu yang tersedia untuk evaluasi sangat terbatas, sehingga sering informasi mengenai penyakit yang diderita kurang akurat. Evaluasi pra anestesia ini dilakukan dengan tujuan yaitu: 1. Mengetahui status fisik prabedah. 2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi. 3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai 4. Meramalkan penyulit yang mungkin akan terjadi selama operasi dan atau pasca bedah. 5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang diramalkan. Sedangkan langkah-langkah yang dilakukan dalam evaluasi pra anestesia adalah sebagai berikut: 2.1.1 Anamnesis Identitas pasien Anamnesis khusus yang menyangkut dengan penyakit yang akan dilakukan tindakan pembedahan. Anamnesis ini dilakukan terhadap pasien dan keluarganya, yang meliputi

2

Anamnesis tentang riwayat penyakit sebelumnya, penggunaan obat sebelumnya ataupun sedang mengkonsumsi obat saat ini, riwayat operasi atau anestesia, riwayat terhadap alergi obat, dan tentang kebiasaan pasien. 2.1.2 Pemeriksaan Fisik Untuk melihat status presen dan status general, serta khusus. Disamping itu juga untuk mencari kemungkinan-kemungkinan kelainan yang terjadi, yang akan mempengaruhi teknik anestesia. Pemeriksaan status presen meliputi kesadaran, frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, status gizi (TB dan BB), serta derajat nyeri yang dialami. Pemeriksaan general meliputi pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi terhadap sistem oragan tubuh pasien (sistem saraf, respirasi, kardiovakular, gastrointestinal, hepatobilier, genitourinaria, metabolik, hematologi, otot dan tulang). Pemeriksaan khusus dilakukan untuk pemasangan pipa endotrakeal, yang dievaluasi adalah keadaan gigi geligi, kemampuan membuka mulut, ukuran lidah, keadaan leher (apakah leher pendek dan kaku) dan adanya tumor yang mengganggu jalan nafas. Dan apabila melakukan tindakan punksi lumbal, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap adanya infeksi kulit di daerah tempat akan dilakukan punksi, kelainan bentuk tulang vertebra, tanda-tanda tekanan intrakranial meningkat, gangguan pembekuan darah. 2.1.3 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang ini dilakukan untuk membantu dalam menegakkan diagnosis sebelum dilakukan suatu tindakan pembedahan. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium, imaging, dan diagnostik. Pemeriksaan Laboratorium dibagi menjadi pemeriksaan rutin dan khusus. Pemeriksaan rutin ditujukan untuk pasien yang akan menjalani operasi kecil ataupun sedang. Hal-hal yang diperiksa meliputi darah lengkap (Hb, Ht, leukosit, hitung jenis dan laju endap darah, trombosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urin lengkap (pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin). Sedangkan pemeriksaan khusus dilakukan untuk pasien yang akan mengalami operasi besar dan pasien yang menderita penyakit sistemik tertentu dengan indikasi

3

yang tegas, yang diperiksa adalah pemeriksaan laboratorium lengkap (fungsi hati, fungsi ginjal, analisis gas darah, elektrolit, hematologi dan faal hemostatis lengkap yang sesuai indikasi), pemeriksaan imaging (foto toraks, IVP, dan yang lain sesuai dengan indikasi). Pada orang yang usianya diatas 35 tahun dilakukan pemeriksaan EKG (Elektrokardiogram) untuk mengetahui fungsi jantung dan pada penderita PPOM (Penyakit Paru Obstruktif Menahun) dilakukan pemeriksaan spirometri untuk mengetahui fungsi parunya.1 2.1.4 Konsultasi dan Koreksi Terhadap Kelainan Fungsi Organ Vital Konsultasi ini dilakukan apabila terdapat gangguan fungsi organ, baik yang bersifat kronis ataupun akut yang dapat mengganggu kelancaran anestesia dan pembedahaan atau gangguan fungsi tersebut bisa diperberat oleh anestesia dan pembedahaan. Konsultasi bisa dilakukan secara berencana ataupun darurat, yang dilakukan dengan Lab/Staf Medik Fungsional yang terkait. Tindakan pembedahaan dapat ditunda menunggu fungsi organ pasien. Dan apabila dianggap perlu dapat dilakukan koreksi terhadap kelainan fungsi organ yang dijumpai. Koreksi untuk pembedahaan elektif dapat dilakukan secara mandiri oleh staf medis fungsional yang menangani pasien ataupun bersama-sama dengan staf medis lain. Sedangkan untuk pembedahan yang bersifat darurat dilakukan bersama-sama di ruang resusitasi atau di kamar operasi. 2.1.5 Klasifikasi Status Fisik Berdasarkan hasil pemeriksaan pra anestesia tersebut diatas, maka dapat disimpulkan status fisik pasien pra anestesia. American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat klasifikasi sebagai berikut : Tabel 2.1 Klasifikasi Status Fisik Kelas Status fisik I Pasien normal yang sehat II III Pasien dengan penyakit sistemik ringan Pasien dengan penyakit sistemik berat yang tidak melemahkan (incapacitating) Pasien dengan penyakit Contoh Pasien bugar dengan hernia inguinal Hipertensi esensial, diabetes ringan Angina, insufisiensi pulmoner sedang sampai berat Penyakit paru stadium lanjut, gagal

IV

4

V

E

sistemik yang melemahkan jantung dan merupakan ancaman konstan terhadap kehidupan Pasien sekarat yang Ruptur aneurisma aorta, emboli diperkirakan tidak bertahan paru massif selama 24 jam dengan atau tanpa operasi Kasus-kasus emergensi diberi tambahan hurup E ke angka. Di samping itu, resiko pembedahan dan pembiusan tergantung pada faktorfaktor lain yang tidak dipertimbangkan atau dicakup dengan skor diatas, yaitu usia, berat badan, jenis kelamin, dan kehamilan. Grade dokter spesialis bedah dan spesialis anestesi, fasilitas untuk perawatan pasca bedah dan bantuan untuk tim bedah juga tidak diperhitungkan.3 Pada bayi (60 tahun) status fisiknya adalah ASA II.4

2.2 Persiapan Pra AnestesiPersiapan pra anestesia adalah lanjutan dari hasil evaluasi pra anestesia, dimana untuk mempersiapkan pasien, baik psikis ataupun fisik pasien agar siap dan optimal untuk menjalani prosedur anesthesia dan diagnostik atau pembedahan yang akan direncanakan. Persiapan ini juga mencakup surat ijin tindakan, dan persiapan ini dapat dilakukan di poliklinik atau rumah pasien, ruang perawatan, ruang persiapan IBS, dan di kamar operasi. Persiapan psikis dengan cara memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarganya tentang tindakan anestesia dan pembedahan yang direncanakan, dengan harapan pasien dan keluarganya menjadi tenang. Persiapan fisik meliputi menghentikan kebiasaan buruk pasien, seperti merokok dan minum minuman keras, melepaskan segala aksesoris, gigi palsu, tidak menggunakan kosmetik, serta melakukan program puasa untuk pengosongan lambung. Pengosongan lambung ini untuk mencegah aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah. Program puasa dapat dilihat pada tabel 2.2.

5

Tabel 2.2 Program puasa untuk pengosongan lambung Usia 36 bulan Makanan padat/susu formula/ASI 4 jam 6 jam 8 jam Cairan jernih tanpa partikel 2 jam 3 jam 3jam

Selain dilakukan pengosongan lambung, juga dilakukan pengosongan kandung kemih, bila perlu dilakukan kateterisasi untuk mengamati perfusi, fungsi ginjal dan hemodinamik selama proses anestesia. Serta pembersihan saluran nafas dari lendir dengan melakukan suction. Di ruang persiapan instalasi bedah dilakukan evaluasi ulang status presen, penggantian pakaian pasien dengan pakaian khusus, pemberian premedikasi, dan pemasangan infus. Premedikasi merupakan tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan (1-2 jam sebelum induksi anestesia) dalam rangka pelaksanaan anestesia, dengan tujuan diantaranya: 1. Meredakan kecemasan dan ketakutan (menimbulkan suasana nyaman). 2. Memperlancar induksi anestesia. 3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus. 4. Meminimalkan jumlah obat anestetik. 5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah. 6. Menciptakan amnesia. 7. Mengurangi isi cairan lambung. 8. Mengurangi refleks yang membahayakan.4 Pemberian premedikasi dapat diberikan secara intramuskular (diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia) atau secara intravena (diberikan 5-10 menit sebelum induksi anestesia). Adapun obat-obatan yang digunakan untuk premedikasi adalah obat sedatif, obat analgetik opioid, dan obat antikolinergik. Pemasangan infus bertujuan untuk mengganti defisit cairan selama puasa dan mengoreksi defisit cairan prabedah, fasilitas vena terbuka untuk memasukkan obat-obatan selama operasi dan sebagai fasilitas transfusi darah, memberikan cairan pemeliharaan, serta mengkoreksi defisit atau kehilangan cairan selama operasi. Ada beberapa jenis cairan infus yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi dan usia pasien. Pemilihan cairan infus adalah sebagai berikut:

6

1. Neonatus 2. Anak-anak (12 tahun 4. Penderita diabetes melitus

: Dektrosa 5 % dalam NaCl 0,225%. : Dektrosa 5 % dalam NaCl 0,45%. : Tidak ada indikasi pasti (dapat diberikan : Maltose 5 % dalam larutan ringer.1

cairan kristaloid atau campuran dekstrosa 5 % dalam larutan kristaliod). Koreksi cairan pra anestesi ditentukan dari defisit cairan sesuai dengan lamanya puasa. Dengan pilihan jenis cairan yang telah disebutkan diatas. Persiapan di kamar operasi yaitu persiapan meja operasi, mesin anestesia, alat-alat resusitasi, obat anestesia, obat resusitasi, tiang infus, alat pantau kondisi pasien, kartu catatan medik anestesia, serta selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.1

2.3 Pemilihan Anestesia-AnalgesiaPilihan anestesia-analgesia yang akan diberikan kepada pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Umur Pada bayi dan anak-anak dipilih anestesia umum karena pasien kurang kooperatif. Pada orang dewasa bisa diberikan anestesia umum atau analgesia regional tergantung jenis pembedahan yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Pada orang tua cenderung dipilih anestesia regional, kecuali tindakan pembedahan tidak mungkin untuk anestesia regional. 2. Jenis kelamin Pada wanita faktor emosional dan rasa malu lebih dominan, maka lebih dipilih anestesia umum, sedangkan pada laki-laki tidaklah demikian sehingga bisa diberikan anestesia umum ataupun regional. Bila dilakukan anelgesia regional pada pasien wanita, dianjurkan untuk memberikan tambahan obat sedatif. 3. Status Fisik Status fisik pasien sangat penting untuk menentukan tindakan anestesiaanalgesia, karena harus dipertimbangkan pengaruh penyakit yang diderita dan obat-obatan yang diminum terhadap anestesia-analgesia dan sebaliknya. 4. Jenis Operasi

7

Jenis operasi juga mempunyai peranan penting dalam pemilihan anestesiaanalgesia. Dilakukan pertimbangan terhadap lokasi, posisi, manipulasi, dan durasi dari suatu pembedahan. Lokasi operasi pada daerah kepala leher dilakukan anestesia umum dengan intubasi pipa endotrakea untuk mempertahankan jalan nafas, sedangkan bila dilakukan operasi di daerah abdominal bawah, anus dan ekstremitas bawah dilakukan anestesia regional blok spinal. Posisi tengkurap harus dilakukan anestesia umum dengan intubasi pipa endotrakea dan nafas kendali. Manipulasi intraabdominal yang luas pada operasi laparotomi dibutuhkan relaksasi lapangan operasi yang optimal sehingga dilakukan anestesia umum disertai intubasi pipa endotrakea dan nafas kendali, serta diberi pelumpu otot yang cukup. Pada operasi dengan durasi yang lama, misalnya operasi bedah saraf kraniotomi harus dilakukan anestesia umum dengan intubasi pipa endotrakea dan nafas kendali. 5. Keterampilan dan fasilitas yang tersedia Dipertimbangan keterampilan atau kemampuan operator dan pelaksana anestesia serta disesuaikan juga dengan sarana yang tersedia. 6. Permintaan pasien Ada pasien-pasien tertentu menginginkan teknik anestesia tertentu, sehingga pelaksana anestesia harus menyesuaikan dengan permintaan pasien. Dalam prakteknya ada tiga jenis anestesia-analgesia yang diberikan pada pasien yang akan dilakukan tindakan pembedahan, yaitu anestesia umum, analgesia lokal, dan analgesia regional. Jenis analgesia umum adalah anestesia umum intravena, anestesia umum inhalasi, dan anestesia imbang. Jenis analgesia regional yaitu blok saraf, blok fleksus brakialis, blok spinal subarakhnoid, blok spinal epidural, dan blok regional intavena. Jenis analgesia lokal yaitu analgesia topikal, analgesia infiltrasi lokal, dan blok lapangan.1

2.4

Tindakan Anestesia Regional Blok Spinal8

Analgesia dan anestesia regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestetik lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi regio tertentu, yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.1 Pembagian anestesia/analgesia regional adalah: 1. Blok sentral (blok neuroaxial), meliputi blok spinal, epidural, dan caudal. 2. Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakhialis, aksiler, analgesia regional intravena dan lainnya. Blok spinal adalah anestesia regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid melalui tindakan punksi lumbal.1,2 Blok spinal atau subarakhnoid disebut juga analgesia atau blok spinal intraduralatau blok intratekal.1,2 Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan. Anestesia blok spinal ini memblok nerve root yang berada di ruang subarakhnoid, yaitu memblok transmisi (konduksi) neuron pada serat saraf posterior (sensibilitas somatik dan viseral) dan anterior (autonom dan motorik). Ruang subarakhnoid meluas dari foramen magnum sampai S2 pada orang dewasa dan S3 pada anak-anak. Tindakan injeksi blok spinal dilakukan dibawah L1 pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak pada L3 dan akan bertambah naik ke kranial seiring dengan bertambahnya umur.5,6 Medula spinalis normalnya berakhir pada L1, serat saraf yang lebih bawah berjalan secara vertikal kearah kaudal sebelum keluar melalui foramen intervetebralis. Serat saraf yang bawah tersebut membentuk kauda ekuina. Penyuntikan dilakukan pada daerah yang telah disebutkan diatas untuk menghindari terjadinya trauma jarum spinal pada medula spinalis, sedangkan kerusakan kauda ekuina tidak mungkin terjadi karena serat saraf tersebut mengambang didalam sakus duralis di bawah L1 dan cenderung terdorong menjauh oleh jarum spinal. Anestesia blok spinal dipengaruhi oleh jenis obat, dosis, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdominal, lengkungan tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan dan penyebaran obat. Namun faktor-faktor penting yang mempengaruhi blok spinal adalah baritas, dosis obat, posisi pasien selama dan setelah penyuntian.5 Distribusi obat anestesia lokal dipengaruhi gravitasi spesifik (baritas) terhadap CSF (Cerebrospinal Fluid). CSF memiliki baritas 1,003-1,008 pada 37 0C. Jika larutan labih barat dari CSF (barisitas >1) disebut

9

hiperbarik, jika sama dengan CSF (barisitas =1) disebut isobarik, sedangkan jika lebih kecil dari CSF (barisitas