4
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging, berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah temporal maupun nasal konjungtiva menuju kornea pada arah intrapalpebra. 1 Asal kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. 2 Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada lokasi geografisnya, 1

BAB I

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bab 1

Citation preview

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Seperti daging, berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah

temporal maupun nasal konjungtiva menuju kornea pada arah intrapalpebra.1 Asal

kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini

mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.

Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan

hialin dan elastik.2

Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet,

daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada

orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar

matahari, berdebu atau berpasir. Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia

sangat bervariasi, tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah

iklim panas dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat

ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan kering. Insiden pterygium di

Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%. Insiden tertinggi pterygium

terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 – 49 tahun. Pasien dibawah umur 15

tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia

muda dibandingkan dengan pasien usia tua.3

Pterygium tersebar luas di dunia tetapi lebih sering terjadi pada daerah dengan

iklim panas dan kering. Prevalensi pada daerah ekuator kira-kira 22% dan kurang 2%

di daerah lintang di atas 400. Sekitar 44% lebih besar pada daerah tropis (kurang dari

1

Page 2: BAB I

2

300) 11 kali lebih banyak pada pekerja yang berhubungan dengan pasir, 9 kali pada

pasien dengan riwayat tanpa memakai kacamata dan 2 kali pada pasien yang tidak

memakai topi.2

Tingginya kejadian berulang dan pertumbuhan progresif pada pterygium

berulang masih merupakan permasalahan klinis yang menantang.2 Selain itu

pterygium juga menimbulkan keluhan secara kosmetik dan berpotensi mengganggu

penglihatan pada stadium lanjut yang memerlukan tindakan operasi untuk rehabilitasi

penglihatan. 2,7 Berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan

antimetabolit atau antineoplasia ataupun tansplantasi dengan konjungtiva.6,7

Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus

diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah

perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi

resiko kekambuhan.2

Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata yang

licin. Indikasi operasi pterygium antara lain, terganggunya penglihatan, kosmetik,

gangguan pergerakan bola mata, inflamasi yang rekuren, gangguan pada pemakaian

lensa kontak, serta jarang, perubahan ke arah neoplasia.3,4,5

I.2. Rumusan Masalah

I.2.1. Apa pengertian pterigium

I.2.2. Bagaimana patofisiologi pterigium

I.2.3. Bagaimana penatalaksanaan pterigium

I.3. Tujuan Penelitian

I.3.1. Untuk mengetahui pengertian pterigium

I.3.2. Untuk mengetahui patofisiologi pterigium

I.3.3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pterigium