Upload
michan-hitsu
View
120
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENGERTIAN KLAIM
Kita di Indonesia telah terlanjur mengartikan klaim sebagai tuntutan
atau gugatan sehingga kebanyakan pelaksana konstruksi di indonesia
menganggap klaim konstruksi sebagai sesuatu yang “tabu”.
1.1 Pengertian Klaim Beberapa Kepustakaan Indonesia
- kamus besar bahasa indonesia, wjs Purwodarminta:
klaim (n) adalah tuntutan atas suatu fakta bahwa seorang berhak (untuk
memiliki atau mempunyai) atas sesuatu.
- kamus umum bahasa indonesia, Badudu-Zain .”klaim : tuntutan atas
sesuatu yang dianggap menjadi hak tuntutan atas sesuatu yang dianggap
menyalahi perjanjian atau kontrak”
- kamus bahasa indonesia kontenporer, Peter Salim, Yenny Salim
klaim (n) : tuntutan pengakuan bahwa seseorang berhak memiliki atas
sesuatu.
1.2 Pengertian Klaim Konstruksi
Klaim konstruksi adalah klaim yang timbul dari atau sehubungan
dengan pelaksanaan suatu pekerjaan jasa konstruksi antara pengguna jasa dan
penyedia jasa atau antara penyedia jasa utama dgn sub-penyedia jasa atau
pemasok bahan atau antara pihak luar dan pengguna/ penyedia jasa yang
biasanya mengenai permintaan tambahan waktu, biaya atau kompensasi lain.
klausula klaim dalam kontrak konstruksi
1. di Indonesia
Hampir tidak ada kontrak konstruksi di indonesia (terutama pengguna
jasa: pemerintah) yang memuat klausula mengenai klaim, kecuali kontrak-
kontrak yang mengacu pada sistem kontrak konstruksi international
seperti fidic, jct, sia.
2. di dunia barat
Hampir semua sistem/ standart kontrak international telah mencantumkan
klausula klaim dalam kontrak konstruksi. berarti bahwa baik pengguna
jasa maupun penyedia jasa dari sejak dini telah mengantisipasi
kemungkinan munculnya klaim.
1.3 Sebab-Sebab Timbul Klaim
1. Sebab-sebab umum
a. Komunikasi antara pengguna jasa dan penyedia jasa buruk
b. Administrasi kontrak yang tidak mencukupi
c. Sasaran waktu yang tidak terkendali
d. Kejadian external yang tidak terkendali
e. Kontrak yang artinya mendua
2. Sebab-sebab dari pengguna jasa
a. Informasi tender yang tidak lengkap/ sempurna mengenai desain,
bahan, spesifikasi
b. Penyelidikan site yang tidak sempurna/ perubahan site
c. Reaksi/ tanggapan yang lambat
d. Alokasi resiko yang tidak jelas
e. Kelambatan pembayaran
f. Larangan metode tertentu
3. Sebab-sebab dari penyedia jasa
a. pekerjaan yang cacat/ mutu pekerjaan buruk
b. kelambatan penyelesaian
c. klaim tandingan/ perlawanan klaim
d. pekerjaan tidak sesuai spesifikasi
e. bahan yang dipakai tidak memenuhi syarat garansi
Klaim dapat terjadi karena sebab-sebab yang datangnya baik dari
pengguna jasa (puga) maupun penyedia jasa (peja) atau sebab-sebab lain.
sesungguhnya ini yang menjadi dasar filosofi atau pandangan bahwa klaim
sesungguhnya sesuatu yang wajar terjadi di dunia konstruksi.
1.3 Unsur-Unsur Klaim
Klaim-klaim konstruksi yang biasa muncul dan paling sering terjadi
adalah klaim mengenai waktu dan biaya sebagai perubahan pekerjaan. namun
terkadang peja, disamping mengajukan klaim utntuk perubahan pekerjaan,
juga mengajukan klaim sebagai dampak terhadap pekerjaan yang tidak
berubah untuk menghitung biaya pekerjaan yang tidak diubah adalah tidak
mudah.
Biaya-biaya untuk melaksanakan perubahan pekerjaan yang paling
biasa terjadi :
1. Kenaikan upah tenaga kerja/ tambahan atau upah yang lebih tinggi
2. Tambahan material dan peralatan yang diperlukan
3. Tambahan pengawasan, admistrasi dan overhead
4. Tambahan waktu yang perlu untuk pelaksanaan
5. Membuka/ mengerjakan kembali pekerjaan
6. Penurunan produktivitas atau efisiensi
7. Pengaruh cuaca
8. Catatan mengenai hambatn-hambatan dan kelambatan-kelambatan
9. Demobilisasi dan remobilisasi
10. Penanganan material yang berlebiahan
11. Biaya-biaya lembur dan waktu kerja
12. Lembur yang berlebihan, yang mengarah penurunan produktivitas
13. Salah penempatan peralatan
14. Penumpukan pd tempat kerja
15. De-Efisiensi dari jenis pekerjaan
1.5 Kategori Klaim
Klaim Dapat Dikategorikan 3 :
1. Dari Pengguna Jasa Terhadap Penyedia Jasa
2. Pengurangan Nilai Kontrak
3. Percepatan Waktu Penyelesaian Pekerjaan
4. Kompensasi Atas Kelalaian Peja
1. Dari Penyedia Jasa Terhadap Puja
a. Tambahan Waktu Pelaksanaan Pekerjaan
b. Tambahan Kompensasi
c. Tambahan Konsesi Atas Pengurangan Spesifikasi Teknis Atau Bahan
2. Dari Sub Peja Atau Pemasok Bahan Terhadap Peja Utama
1.6 Jenis-Jenis Klaim
1. Klaim Tambahan Biaya Dan Waktu
Keterlambatan Penyelesaian Pekerjaan à Tambahan Waktu Dan Biaya
2. Klaim Biaya Tak Langsung (Ovrhead)
Keterlambatan Penyelesaian Pekerjaan à Tambahan Waktu Dan Biaya
a. Klaim Tambahan Waktu (Tanpa Tambahan Biaya)
b. Klaim Kompensasi Lain
BAB II
TIMBULNYA SENGKETA DAN PENYELESAIANNYA
2.1 Timbulnya sengketa/perselisihan konstruksi
Apabila klaim yang diajukan baik oleh pengguna jasa maupun
penyedia jasa disetujui maka timbullah perintah kerja baru apabila
menyangkut perubahan pekerjaaan dan apabila klaim tersebut tidak tertangani
dengan baik maka akan menjadi sebuah sengketa atau perselisihan yang harus
diselesaikan melalui jalur hukum yang telah dipilih oleh para pihak dalam
kontrak baik melalui Arbitrase maupun melaui pengadilan.
Selain dari akibat klaim yang tidak tertangani dengan baik sehingga
menimbulkan suatu perselisihan atau sengketa biasanya perselisihan atau
sengketa dapat pula timbul dari hokum lain diluar apa yang ditimbulkan oleh
para pihak baik pengguna maupun penyedia jasa namun menjadi pemicu
adanya sebuah perselisihan, “ misalnya adanya kelalaian dalam pelaksanaan
pekerjaan konstruksi dari penyedia jasa sehingga menimbulkan kecelakaan
bagi masyarakat sekitar proyek pembangunan dan masyarakat yang
mengalami kecelakaan mengajukan gugatan ganti kerugian pada penyedia
jasa, hal ini bisaanya memiliki efek berantai bagi pengguna jasa apabila pihak
penyedia jasa tidak dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dengan baik “
bahkan UU jasa kontruksi No. 18/1999 mengatur secara jelas mengenai
penggantian kerugian masyarakat ini yaitu dalam Bab VII peran masyarakat
bagian pertama hak dan kewajiban pasal 29 huruf b jo pasal 38, 39 dan 40.
Namun menjadi sebuah peringatan bagi para pihak yang akan menyelesaikan
perselisihan baik melalui Arbitrase maupun pengadilan ataupun jalur
alternative penyelesaian lainnya bahwa jasa konstruksi merupakan kegiatan
berkelanjutan dari awal sampai akhir menyelesaikan sebuah permasalahan
baik melalui Arbitrase maupun pengadilan akan berakibat pada berhentinya
pekerjaan untuk jangka waktu yang tidak dapat ditentukan.
Oleh karena itu sebelum menyelesaikan sebuah perselisihan konstruksi
hendaklah dipikirkan terlebih dahulu mengenai pihak pihak yang akan terlibat
dalam penyelesaian perselisihan konstruksi karena berlarut larutnya
penyelesaian sengketa konstruksi sangat berpengaruh pada berbagai hukum
diantaranya itikad baik para pihak, menggunakan penengah yang menguasai
permasalahan, konsultan hukum ataupun pengacara yang tidak tepat.
1.2 Penyelesaian Perselisihan/Sengketa Klaim Konstruksi
Penyelesaian perselisihan/sengketa akibat dari adanya klaim
konstruksi ataupun factor factor pemicu lainnya diluar para pihak dalam suatu
kontrak konstruksi telah diatue secara jelas dalam UU jasa konstruksi No.
18/1999 pada Bab IX penyelesaian sengketa yaitu dalam pasal 36 yang dapat
kami uraikan secara lengkap sebagai berikut :
Pasal 36 Ayat (1) penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh
melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela
para pihak yang bersengketa.
Ayat (2) penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi sebagaimana diatur dalam kitab Undang undang hukum
pidana.
Ayat (3) jika dipilih upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa
Bahwa dari apa yang tertulis dalam pasal 36 ayat 1 UU jasa konstruksi No.
18/1999 diatas dapat dilihat bahwa penyelesaian suatu perselisihan atau
sengketa dapat ditentukan oleh para pihak dalam kontrak yang telah
disepakati dan kontrak tersebut akan menjadi Undang undang (pasal 1338
KUH perdata ayat 1) bagi pihak yang akan bersepakat atau dalam istilah azas
hukum perjanjian adalah azas pacta sunt Servada . Sehingga apabila para
pihak telah memilih penyelesaian sengketa melaui Arbitrase atau pengadilan
maka hakim atau pihak ke tiga ataupun pihak lainnya harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak sebagaimana layaknya Undang
– undang mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak. Namun demikian adapula kesepakatan
penyelesaian yang ditetapkan oleh para pihak setelah ada sengketa
(aktakompromis) misalnya setelah timbul sengketa para pihak sepakat
menyelesaikan sengketa melalui pengadilan negeri maka kesepakatan tersebut
harus dihormati oleh pihak manapun.
Selanjutnya UU jasa konstruksi No.18/1999 dalam pasal 36 ayat 2
telah dengan tegas pula membatasi bahwa yang dapat diselesaikan diluar
pengadilan hanyalah sengketa perdata dan apabila sengketa ataupun
perselisihan dimaksud memiliki implikasi adanya dugaan tindak pidana maka
penyelesaian tersebut haruslah diselesaikan melalui mekanisme sebagaimana
yang tersebut dalam kitab Undang undang Hukum Pidana ;
Bahwa kemudian dalam pasal 36 ayat 3 telah jelas pula bahwa untuk
menghindari adanya keputusan yang berbeda dari dua lembaga pengadilan
misalnya antara Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan pengadilan negeri
untuk menjamin adanya kepastian hukum.
Perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak yang terlibat dalam
kontrak dalam suatu proyek bila tidak diselesaikan akan menimbulkan klaim
dimana hal ini membutuhkan tambahan biaya dan waktu bahkan dapat
mempengaruhi kredibilitas pihak-pihak tersebut. Oleh karena itu klaim sebisa
mungkin dihindari dengan meminimumkan kemungkinan yang terjadi, karena
klaim bukanlah hal yang menguntungkan bagi pihak-pihak yang terlibat
dalam kontrak (ahuja & Walsh, 1983).
Ada beberapa cara yang dilakukan pihak yang terlibat dalam kontrak
untuk mengantisipasi terjadinya klaim.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah : dokumentasi, pengetahuan
tentang kontrak, gambaran yang Jelas tentang perubahan order, rencana dan
penjadwalan, tindakan Proaktif dan presenvation of rights.
Untuk menghindari terjadinya klaim diperlukan pengetahuan dan pengalaman
dalam mempersiapkan suatu dokumentasi. Adanya dokumentasi yang baik,
lengkap dan benar dapat dipakai sebagai alat atau dasar untuk mengetahui
adanya kejadian atau perubahan baik yang berupa kemajuan maupun
keterlambatan dari proyek tersebut.
Dokumentasi juga dapat digunakan sebagai dasar untuk membenarkan
atau menolak tindakan dari salah satu pihak untuk meminta tambahan waktu
dan uang. Dokumen tentang kontrak harus dibaca secara keseluruhan dan
dimengerti sebelum melakukan penawaran untuk menghindari kegagalan
dalam menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu (Jergeas, 1994).
Perubahan order dapat mengakibatkan perubahan pada dokumen
kontrak karena perubahan order dapat menyebabkan perubahan pada harga
yang telah disepakati, perubahan jadwal pembayaran perubahan pada jadwal
penyelesaian pekerjaan dan perubahan pada rencana dan spesifikasi yang telah
ditetapkan dalam kontrak (Fisk, 1997). Perubahan order ini tidak hanya
mengakibatkan adanya tambahan biaya saja tetapi juga akan mengakibatkan
tambahan beban pekerjaan, tambahan biaya administrasi, biaya dari adanya
tambahan waktu dan biaya-biaya (Jergear & Hartman, 1994). Suatu rencana
dimaksudkan untuk mendapatkan suatu metode pelaksanaan proyek yang
sifatnya ekonomis dan hanya membutuhkan sedikit waktu (Deatherage, 1965).
Dengan rencana yang baik, maka sumber daya yang cukup dapat disediakan
pada saat yang tepat, tersedia cukup waktu untuk setiap aktivitas dan setiap
aktivitas dapat dimulai pada saat yang tepat. Rencana juga dapat membantuk
untuk memilih metode konstruksi yang ekonomis, memilih peralatan,
pengiriman material (Antill & Woodhead, 1970) .Semua pihak yang terlibat
dalam suatu kontrak pada dasarnya ingin mendapatkan keuntungan dan
sedapat mungkin mengurangi tanggung jawab terhadap kemungkinan
terjadinya klaim. Manajer proyek harus mempertimbangkan hal-hal di bawah
ini untuk melindungi keuntungan kontraktor dan mengurangi tanggung jawab.
Semua tindakan yang tidak sesuai dengan dokumen kontrak dan dapat
menyebabkan terjadinya klaim harus dicatat dan dilengkapi dengan waktu
kejadiannya, hal-hal seperti melakukan pekerjaan yang berbeda dari gambar
dan spesifikasi, menggunakan cara atau metode yang berbeda atau lebih
mahal, bekerja diluar rencana yang ditetapkan, permintaan untuk berhenti
bekerja merupakan tindakan-tindakan yang harus dihindarkan untuk
menghindari terjadinya klaim (Jergeas, 1994).
Dalam menghadapi masalah konstruksi haruslah diingat bahwa
penyelesaian dengan musyawarah jauh lebih baik dari pada mengajuan klaim.
Tujuan yang hendak dicapai bukanlah untuk membuktikan siapa yang benar
melainkan penyelesaian masalah yang ada. Banyak cara untuk menyelesaikan
perselisihan dalam suatu proyek. Diperlukan sikap terbuka (open minded) dan
keinginan yang kuat dalam menyelesaikan masalah dari pihak terlibat.
Adanya kesadaran bahwa dalam menyelesaikan proyek tepat waku, cost dan
standar mutu dan spesifikasi sesuai dengan perjanjian sebelumnya adalah
tujuan utamanya (Wahyuni, 1996). Bila salah satu pihak tidak memenuhi
syarat yang sudah dipenuhi, maka perselisihan tersebut tidak akan selesai.
Jika klaim konstruksi tidak dapat diselesaikan dengan segera, pihak-pihak
yang terlibat harus dilanjutkan ke forum penyelesaian masalah lebih formal.
Yang termasuk dalam hal ini adalah : Negosiasi, Mediasi, Arbitrasi dan
Litigasi.
a. Negosiasi adalah cara penyelesaian yang hanya melibatkan kedua belah
pihak yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak-pihak yang lain. Hal ini
mirip dengan musyawarah dan mufakat yang ada di Indonesia, dimana
keinginan untuk berkompromi, adanya 10okum10 saling 10okum10 dan
menerima serta kesediaan untuk sedikit menyingkirkan ukuran kuat dan
lemah adalah persyaratan keberhasilan cara ini. Di dalam negosiasi ini
kontraktor dan pemilik memakai arsitek dan insinyur sebagai penengah.
Biasanya kontraktor diminta mengajukan klaim kepada arsitek/insinyur
yang diangkat menjadi negosiator. Arsitek/Insinyur ini akan mengambil
keputusan yang sifatnya tidak mengikat, kecuali keputusan tentang ‘efek
arstistik’ yang konsisten dengan apa yang telah ada dalam dokumen
kontrak.
b. Mediasi merupakan cara penyelesaian masalah di awal perselisihan
berlangsung. Mediasi ini melibatkan pihak ketiga yang tidak memihak dan
dapat diterima kedua belah pihak yang bersengketa. Pihak ketiga ini akan
berusaha menolong pihak-pihak yang berselisih untuk mencapai
persetujuan penyelesaian, meskipun mediator ini tidak mempunyai
kekuatan untuk memutuskan penyelesaian masalah tersebut. Mediasi sama
menguntungkannya dengan arbitrasi. Mediasi dapat menyelesaikan
masalah dengan cepat, murah, tertutup dan ditangani oleh para ahli. Tetapi
yang menjadi masalah adalah keputusan mediasi ini tidak mengikat. Jadi
apabila persetujuan tidak dapat dicapai, seluruh usaha mediasi hanya akan
membuang-buang uang dan waktu.
c. Arbitrasi adalah metode penyelesaian masalah yang dibentuk melalui
kontrak dan melibatkan para ahli dibidang konstruksi. Para ahli tersebut
bergabung dalam badan arbitrase. Badan ini akan mengatur pihak-pihak
yang telah menandatangani kontrak dengan klausul arbitrasi didalamnya
untuk melakukan arbitrasi dan menegakkan keputusan arbitrator. Hal yang
menguntungkan dari cara arbitrasi ini adalah sifat penyelesaiannya yang
cepat dan murah jika dibandingkan dengan litigasi. Selain itu, cara
arbitrasi ini dilakukan secara tertutup serta dilakukan oleh seorang
arbitrator yang dipilih berdasarkan keahlian. Keputusan arbitrasi yang
bersifat final dan mengikat merupakan 11okum11n penting digunakannya
cara ini untuk menyelesaikan masalah. Keputusan pengadilan biasanya
terbuka untuk proses peradilan yang lebih panjang. Hal ini menghasilkan
penundaan yang lama dan memakan biaya dalam penyelesaian masalah.
Sedangkan keputusan dari arbitrasi ini tidak dapat dirubah tanpa semua
pihak setuju untuk membuka kembali kasusnya.
d. Litigasi adalah proses penyelesaian masalah yang melibatkan pengadilan.
Proses ini sebaiknya diambil sebagai jalan akhir bila keseluruhan proses
diatas tidak dapat menghasilkan keputusan yang menguntungkan kedua
belah pihak yang bersengketa. Proses pengadilan ini tentu saja akan
mengakibatkan salah satu pihak menang dan yang lain kalah. Biasanya
perselisihan yang terjadi disidangkan pada system yuridis di daerah mana
masalah tersebut terjadi. Pada suatu wilayah tertentu pengadilan wilayah
tersebut mendapat yuridikasi atas suatu masalah bila salah satu pihak
berkantor di wilayah tersebut atau proyeknya sendiri ada pada daerah itu.
Jika kedua belah pihak yang berselisih berkantor pusat di daerah lain,
maka pihak yang memulai litigasi yang memilih forum dimana litigasi itu
berlangsung. Lama waktu penyelesaian merupakan hal yang patut
diperhitungkan dalam penggunaan cara ini. Tergantung dari yuridiksinya,
suatu perselisihan konstruksi yang kompleks dapat menghabiskan waktu
antara 2 sampai 6 tahun sebelum mencapai pengadilan (Arditi, 1996).
Proses penggalian fakta yang panjang dan detil membuat litigasi ini
menjadi sangat mahal. Untungnya, bila ada kesalahan pengadilan dalam
peryataannya atau dalam penggunaan prinsip-prisip hukum, pihak-pihak
yang melakukan litigasi tentunya dapat naik banding.
1.3 Kelebihan dan Kekurangan Penyelesaian Melalui Arbitrase dan Pengadilan
Sebagaimana yang diutarakan oleh Ir. H. Nazarkhan Yassin dalam
bukunya “ mengenal klaim konstruksi dan penyelesaian sengketa konstruksi “
penerbit PT. Gramedia Utama hal 127 dan 130 bahwa terdapat beberapa
kelebihan dan kekurangan penyelesaian sengketa baik melalui pengadilan
maupun Arbitrase adalah sebagai berikut :
Kelebihan Arbitrase ,yaitu:
1. Bebas dan otonom menentukan rules dan institusi arbitrase
2. Menghindari ketidakpastian (uncertainty) akibat perbedaan sistem hukum
dengan Negara tempat sengketa diperiksa, maupun kemungkinan adanya
keputusan hakim yang unfair dengan maksud apapun, termasuk
melindungi kepentingan domestic yang terlibat sengketa
3. Keleluasaan memilih arbiter professional, pakar (expert) dalam bidang
yang menjadi objek sengketa, independent dalam memerikasa sengketa
4. Waktu prosdur dan biaya arbitrase lebih efisien. Putusan bersifat final dan
binding dan tertututp untuk upaya 13okum banding dan kasasi
5. Persidangan tertutup (non-publicity) dan karenanya memberikan
perlindungan untuk informasi atau data usaha yang bersifat rahasia atau
tidak boleh diketahui umum.
6. Pertimbangan hukum lebih mengutamakan aspek privat dengan win – win
solution
Kelebihan pengadilan
1. Mutlak terikat pada hukum acara yang berlaku (HIR, Rv)
2. Yang berlaku mutlak adalah system hukum dari Negara tempat sengketa
diperiksa
3. Majelis hakim pengadilan ditentukan oleh administrasi pengadilan
4. Putusan pengadilan ditentukan administrasi pengadilan
5. Terbuka untuk umum (kecuali kasus cerai)
6. Pola pertimbangan pengadilan dan putusan hakim adalah win loose
Kelemahan Arbitrase
1. Honorarium arbiter, panitera dan administrasi relative mahal, tolok ukur
jumalah umumnya ditentukan oleh nilai klaim (sengketa). Apabila biaya
ditolak atau dibayar oleh salah satu pihak, pihak yang lain wajib
membayarnya lebih dulu agar sengketa diperiksa oleh arbutrase
2. Relative sulit untuk membentuk majelis arbitrase lembaga Arbitrase Ad
hoc
3. Tidak memiliki juru sita sendiri sehinggga menghambat penetapan
prosedur dan mekanisme apabila Arbitrase secara efektif
4. Putusan arbitrase tidak memiliki daya paksa yang efektif dan sangat
bergantung kepada pengadilan jika putusan tidak dijalankan dengan
sukarela
5. Eksekusi putusan Arbitrase cenderung mudah untuk diintervansi pihak
yang kalah melalui lembaga peradilan (Bantahan, verzet) sehingga waktu
realisasi pembayaran ganti rugi menjadi relative bertambah lama
6. Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengeta untuk
membawanya ke badan Arbitrase tidaklah mudah, kedua pihak harus
sepakat
7. Tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing, saat ini di
banyak Negara masalah pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase
asing masih menjadi persoalan yang sulit
Kelemahan pengadilan
1. Biaya perkara relative murah dan telah ditentukan oleh MARI
2. Tidak adanya hambatan berarti dalam pembentukan majelis hakim yang
memeriksa perkara
3. Memiliki juru sita dan atau sarana pelaksanaan prosedur hukum acara
4. Pelaksanaan putusan dapat dipaksakan secara efektif terhadap pihak yang
kalah dalam perkara
5. Eksekusi putusan yang telah memiliki kekuatan 15okum yang pasti dapat
dilaksanakan meskipun kemudian ada bantahan atau verzet
Sebagaimana yang telah diuraikan diatas dengan demikian kita dapat
mempertimbangkan mengenai pilihan hukum apa yang akan dipilih dalam
menyelesaikan sengketa namun biasanya pemilihan arbitrase lebih banyak
disukai dengan catatan harus ada itikad baik dan semangat fair play dari para
pihak karena apabila salah satu pihak tidak memiliki hal tersebut niscaya pada
akhirnya akan berlanjut pada penyelesaian yang berlarut larut.