Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Permasalahan
Pulau Jawa yang bercorak agraris menempatkan tanah sebagai persoalan
utama dan penting. Sejak masa pemerintahan tradisional kerajaan-kerajaan di Jawa
sampai dengan masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Jawa, persoalan
tanah dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah sangat menonjol. Permasalahan
tanah yang berkaitan dengan kedudukan ekonomi, sosial, dan politik masyarakat
Jawa mulai muncul sejak abad ke-19. Di setiap masa tersebut, banyak pihak sangat
berkepentingan terhadap pemilikan tanah. Dalam catatan sejarah ditemukan adanya
usaha negara untuk mengatur kebijakan-kebijakan tentang pertanahan di wilayah-
wilayah yang dikuasainya. Pada salah satu faktor ini terlihat pola atau bentuk
penguasaan tanah pada masyarakat Jawa dalam tata kelola oleh negara. Karena itu,
penelitian sejarah sosial dan politik kolonial di Jawa terkait persoalan tanah sangat
diperlukan sebab pemerintah kolonial Belanda turut mewariskan pola, struktur, dan
kelembagaan tetap berlaku pada sistem pemerintahan negara sampai sekarang ini.1
1 A.A. Gde Putra Agung, Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 1.
2
Pada bidang politik tata pemerintahan tradisional di pulau Jawa, otoritas
kekuasaan tertinggi ada pada seorang raja atau sultan. Para penguasa tinggi
berikutnya di bawah raja adalah para keturunan dan keluarga raja. Setelah itu, para
penguasa dari kaum bangsawan sampai kepada para pejabat kerajaan di tingkat
desa. Pada tata pemerintahan kolonial Hindia Belanda, kekuasaan negara dipimpin
oleh seorang gubernur jenderal yang berkedudukan di Batavia dan Buitenzorg. Pada
satuan administrasi kolonial Hindia Belanda di tingkat keresidenan (residentie),
pemerintahan kolonial dijalankan oleh seorang residen (resident). Pada satuan
administrasi kolonial di bawah keresidenan dikelola oleh seorang asisten residen
(assistent-resident), dan berikutnya oleh para kontrolir (controleur) di daerah. Pada
periode kolonial, pemerintah kolonial Hindia Belanda berhasil menegakkan tata
pemerintahan baru di wilayah jajahan di pulau Jawa. Pemerintah Hindia Belanda
menjalankan sistem “pemerintahan tidak langsung” (indirect rule) dengan tujuan
memanfaatkan tata pemerintahan negara yang efektif untuk mempertahankan
hegemoni dan tata tenteram masyarakatnya (rust en orde).2 Karena itu, pemerintah
kolonial Hindia Belanda tetap mempertahankan otoritas tradisional, yang telah
ditaklukkan dan dikuasainya itu, untuk memberikan kesempatan kepada para
penguasa lokal tradisional tetap memerintah di daerahnya masing-masing. Dengan
demikian, pemerintah kolonial Hindia Belanda mempertahankan formasi tata kuasa
pemerintahan tetap berada dalam pengawasan dan pengelolaan administrator
birokrasi, yang kedudukannya didominasi oleh golongan aristokrat.3
2 Agung, Peralihan Sistem, 3. 3 Agung, Peralihan Sistem, 185.
3
Tata pemerintahan negara seperti ini kenyataannya membentuk dua pola
pemerintahan, yaitu pemerintahan Bumiputera (Inheemsch-bestuur) dipimpin oleh
seorang raja (didudukkan setara dengan jabatan bupati) dan pemerintahan sipil
kolonial Belanda (Nederlandsch-bestuur) dipimpin oleh seorang gubernur jenderal.
Menurut Onghokham, pemerintahan kolonial Hindia Belanda sangat bergantung
pada peran Binnenlandsch Bestuur atau para ambtenaar (pegawai negeri sipil
kolonial), khususnya yang berkewarganegaraan Eropaa atau Belanda daripada dari
kaum Bumiputera.4 Meskipun demikian, peran pamong praja (ambtenaar) dari
kaum Bumiputera di kemudian hari mendapat posisi dan peranan yang penting juga.
Melalui keberadaan para pamong praja Bumiputera itu, pemerintah Hindia Belanda
beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-
pabrik gula, penggilingan-penggilingan beras, dan industri komoditi dagang swasta
lainnya. Dengan konteks yang demikian, bukan hanya pemerintah Hindia Belanda
yang menerima keuntungan dari pemberlakuan sistem pemerintahan tidak
langsung, melainkan juga para penguasa tradisional, yaitu para pamong praja
Bumiputera. Para pamong praja justru mendapat dukungan kekuatan kolonial baik
untuk supremasi kekuasaan di daerahnya maupun untuk kedudukan dan jabatan
formal dari pemerintah kolonial.
Kwee Hui Kian berargumen bahwa terdapat pola relasi kekuasaan antara
pemerintah kolonial Hindia Belanda (dan di era sebelumnya oleh Verenigde Oost-
Indische Compagnie/VOC) dengan raja-raja Jawa. Sebelum para penjajah yang
adalah “orang asing” itu tiba, raja-raja dan para bangsawan Jawa telah terjebak ke
4 Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 2014), 58-62.
4
dalam politik persaingan kekuasaan atau perang suksesi kepemimpinan. Ketika
para penjajah asing ini tiba di Jawa, mereka menjadi pihak yang dapat diandalkan
untuk menjadi mitra dalam usaha menyingkirkan kekuasaan raja atau bangsawan
lainnya. Bahkan pada suatu masa, “orang-orang asing” ini ingin dijadikan sebagai
“raja” dalam konstelasi politik persaingan kekuasaan di Jawa, yaitu sejak masa
peralihan dari Inggris tahun 1816 dan terus diendapkan pada masa Perang Jawa atau
disebut juga Perang Diponegoro (1825-1830).5 Tabiat seperti itu dipahami dengan
sangat baik oleh pemerintah kolonial Belanda bahwa masyarakat tradisional mudah
bertengkar dan terpecah belah, dan kekerasan sudah menjadi endemik, karena itu
“orang-orang asing” (strangers) sangat diperlukan untuk menengahi perselisihan di
antara penguasa-penguasa Jawa.6 Pada konteks sosial-politik seperti itu, pemerintah
kolonial Belanda menerapkan politik “pemerintahan tidak langsung” untuk
mengontrol kekuasaan raja-raja Jawa, dan mengendalikan stabilitas sosial di tengah
masyarakat Jawa, serta dalam rangka melanggengkan kekuasaan dan monopoli
perkebunan untuk kepentingan ekonomi komersialnya. Meskipun pemberlakuan
tata pemerintahan kolonial di Hindia Belanda diterapkan secara indirect rule di
wilayah-wilayah jajahannya, sesungguhnya pemerintah kolonial Belanda sedang
5 Kwee Hui Kian, "How Strangers Became Kings" dalam Indonesia & the Malay World 36,
no. 105, 2008: 293-307. Academic Search Complete, EBSCOhost (accessed March 13, 2017). Misalkan, dalam suksesi pemerintahan antara Raja Amangkurat III (1703-1708) melawan Pangeran Puger yang didukung oleh VOC, sehingga Raja Amangkurat III menjalani pembuangan, dan Pangeran Puger kemudian menjadi Paku Buwana I (1704-1719). Pertentangan berlanjut antara Pangeran Mangkubumi berlawanan dengan Raja Paku Buwana III yang mendapat dukungan VOC. Kemudian, adapula perjanjian Giyanti dan perjanjian Salatiga yang membuat keterpisahan antara Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Lih. Purwadi dan Endang Waryanti, Perjanjian Giyanti: Strategi Politik Teritorial untuk mewujudkan perdamaian di Kraton Mataram (Yogyakarta: Laras Media Prima, 2015); Purwadi, Sejarah Raja-raja Jawa: Sejarah kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa (Yogyakarta: Media Abadi, 2007), 326.
6 Kian, How Strangers, 326.
5
menerapkan juga kekuasaan yang sentralistik. Dalam hal ini, peran gubernur
jenderal di Hindia Belanda sangatlah sentral dan utama, setidaknya kewenangan
mutlaknya sebelum tahun 1854.
Pada konteks sistem pemerintahan di Hindia Belanda seperti ini, kekuasaan
kolonial Belanda merasuk lebih dalam pada persoalan penguasaan tanah di koloni-
koloni Jawa. Segala sesuatu cepat berubah pada dasawarsa pertama abad ke-19.
Memasuki abad ke-19 pengaruh kolonial di dalam bidang politik, sosial, dan
ekonomi merambah ke pulau Jawa, ketika pemerintah kolonial Belanda mulai
membuka lahan-lahan perkebunan (secara khusus mula-mula perkebunan kopi).7
Pulau Jawa sejak saat itu terlibat dalam konflik segitiga antara Belanda, Inggris,
dan Prancis. Zaman perubahan itu mulai dengan tibanya Herman Willem Daendels
(1808-1811) di Jawa, yang diangkat menjadi gubernur jenderal oleh raja Belanda
Louis Bonaparte, yang sangat dipengaruhi Prancis. Kebijakan Daendels terkait
dengan penguasaan tanah di Jawa adalah menciptakan praktik kerja paksa, atau
lebih tepat jika dapat dikatakan merampas hak raja-raja Jawa untuk kepentingan
pemerintah kolonial, dan yang mewajibkan penduduk Jawa melakukan kerja rodi
untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda.8 Di samping itu, karena ingin secara
cepat merangsang pengembangan koloni-koloni dan upaya menghadapi kesulitan
keuangan negeri Belanda, Daendels juga menjual hak atas tanah-tanah koloni
kepada para pengusaha dari Cina.9
7 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan (Jakarta:
Gramedia, 2008), 74. 8 Kees Zandvliet, The Dutch Encounter With Asia 1600-1950 (Amsterdam: Waanders
Publishers Zwolle, 2002), 87. 9 Lombard, Nusa Jawa, 74.
6
Kemudian, kekuasaan tertinggi di Jawa beralih kepada Kerajaan Inggris
Raya, yang dipimpin oleh Sir Thomas Stamford Raffles sebagai gubernur letnan
sejak tahun 1811-1816. Raffles mempunyai gagasan untuk mengembangkan sistem
sewa tanah (landrent), seperti yang diterapkan di Benggala, India. Karena tanah
dianggap sebagai milik pemerintah, berdasarkan hukum kuno bahwa “semua tanah
adalah milik penguasa (raja)”, setiap petani harus membayar pajak dalam bentuk
pembayaran uang sewa sesuai dengan luas tanah garapan yang disewanya. Raffles
juga mendukung pembentukan tanah-tanah pribadi yang luas dan memberikan hak
kepada koleganya untuk memiliki lahan secara luas.10
Kemudian, setelah merebut kembali kekuasaan dari Inggris, Belanda
mengutus beberapa gubernur jenderal, salah satunya seorang yang berpengaruh,
yaitu Johannes van den Bosch (1830-1833). Kebijakan Bosch adalah menerapkan
sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel). Sistem ini memungkinkan eksploitasi
pedesaan Jawa secara maksimal dan membuktikan bahwa koloni dapat memberikan
hasil lebih bagi negeri Belanda. Setiap desa harus menyisihkan seperlima (1/5) dari
lahan subur untuk pemerintah kolonial dan setiap petani dewasa harus meluangkan
seperlima (1/5) dari waktu kerjanya. Dengan sistem bonus dan insentif yang cerdik,
van den Bosch berhasil mengerahkan para bupati di Jawa untuk mengawasi
penanaman, panen, dan pengangkutannya.11 Bosch hanya memerlukan sejumlah
kecil pegawai negeri kolonial (ambtenaar) Belanda untuk mengawasi kelancaran
seluruh sistem, dan kebijakan ini terus dilanjutkan sampai dengan tahun 1870.
10 Lombard, Nusa Jawa, 75. 11 Lombard, Nusa Jawa, 75.
7
Namun, sejak tahun 1870 terjadi perubahan dalam kebijakan pemerintah
kolonial Belanda. Sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel) mulai ditinggalkan dan
digantikan oleh sistem perkebunan swasta, maka sejak saat itu terbuka lebar
peluang modal swasta dari Eropa di daerah jajahan Hindia Belanda, sekaligus
memberikan jaminan perlindungan kepentingan desa-desa dan pertanian tradisional
yang menjadi sumber kehidupan penduduk Bumiputera. Pada tahun 1877,
perkebunan karet mulai ditanami dan dibudidayakan secara luas di Jawa Barat.
Bukan hanya perkebunan melainkan juga usaha pertambangan telah mulai
dikembangkan lebih dulu untuk mengeksploitasi minyak bumi di wilayah Cirebon
sejak tahun 1868.
Sejak memasuki abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda mulai mewarnai
kebijakan kolonialnya dengan corak “Politik Etis” (Etische Politiek) yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan penduduk pulau Jawa. Pemerintah
kolonial Hindia Belanda mengupayakan peningkatan fasilitas kesehatan,
transportasi, dan pendidikan bagi penduduk Bumiputera di Jawa. Pada masa itu
kemajuan penduduk Bumiputera lebih diutamakan, baik dalam taraf kemakmuran
ekonomi dan kesejahteraan sosial, maupun dalam hak-hak politiknya.12 Hukum
didayagunakan bukan hanya untuk kepentingan perekonomian swasta, melainkan
juga untuk kepentingan penduduk Bumiputera di daerah jajahan. Itulah era baru
kebijakan kolonial dalam konteks penguasaan dan kepemilikan tanah di pulau Jawa
dan wilayah luar pulau Jawa.
12 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional (Jakarta: HuMa-
Jakarta, Van Vollenhoeven Institute, KITLV-Jakarta, Epistema Institute, 2014), 3.
8
2. Identifikasi Masalah
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya beberapa perubahan dalam
dinamika sosial, politik, dan ekonomi dalam kebijakan pemerintah kolonial
Belanda pasca pemberlakuan sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel) sesudah
tahun 1870 adalah: (1) perundang-undangan yang mengatur tata pemerintahan
daerah jajahan, khususnya di Hindia Belanda (Timur), salah satu koloni negeri
Belanda; dan (2) perundang-undangan tentang pertanahan atau agraria di Hindia
Belanda, khususnya di pulau Jawa dan Madura.
Untuk perundang-undangan yang pertama, perubahan ditandai dengan
disahkannya Undang-undang Dasar (Grondwet) baru di negeri Belanda pada tahun
1848 (disebut selanjutnya dengan Grondwet 1848), yang dilengkapi kemudian
dengan perundang-undangan tentang tata pemerintahan di Hindia Belanda, dengan
nama Het Reglement op Het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie pada
tahun 1854 (disebut selanjutnya dengan Regeringsreglement 1854). Baik Grondwet
1848 maupun Regeringsreglement 1854, telah menjadi penanda perubahan bahwa
Hindia Belanda berubah dari “negara kekuasaan” (machtsstaat) menjadi “negara
hukum” (rechtsstaat).13 Perubahan itu dengan maksud untuk membatasi dan
mengontrol kekuasaan eksekutif (dalam hal ini gubernur jenderal) dan para
administrator atau pegawai negeri kolonial, yang sepanjang periode sebelum tahun
1850 peranannya tercatat sangat besar. Dengan kata lain, akan ada pengurangan
petugas pegawai negeri kolonial (ambtenaar) dan digantikan dengan membebaskan
13 Wignjosoebroto, Dari Hukum, 68.
9
peluang swasta untuk menggarap kegiatan ekonominya di tanah jajahan. Undang-
undang dan peraturan pemerintah ini tidak hanya untuk mengontrol para pegawai
negeri kolonial dari kemungkinan penyalahgunaan wewenang, tetapi juga untuk
membuka kemungkinan berkembangnya sektor non-pemerintah di Hindia Belanda.
Pengembangan sektor swasta ini dipercaya akan mendorong berkembangnya
kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi masyarakat Bumiputera, termasuk dalam
pengaturan kehidupan beragama oleh negara.
Untuk perundang-undangan yang kedua, perubahan dimulai dengan
Rancangan Undang-undang tentang Pertanian (cultuurwet). Rancangan undang-
undang ini dimaksudkan untuk mengatur tata guna tanah-tanah pertanian dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan perusahaan perkebunan.
Meskipun pada akhirnya RUU ini ditolak oleh Parlemen di negeri Belanda, akan
tetapi untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi Eropa dan
kepentingan sosial masyarakat Bumiputera, maka disahkan Undang-undang
Agraria (selanjutnya disebut dengan Agrarisch Wet 1870), yang disahkan tanggal 9
April 1870. Perundang-undangan ini menyatakan bahwa untuk tanah-tanah yang
tidak digarap oleh masyarakat Bumiputera, maka tanah-tanah tersebut haruslah
dipandang sebagai bagian kawasan kekuasaan dan kepemilikan negara. Begitupula
dalam Agrarisch Besluit pada tahun 1875 menyatakan bahwa tanah-tanah yang
tidak dapat dibuktikan adanya hak milik (eigendom) tanah itu adalah milik negara.
Meskipun demikian, Agrarisch Wet 1870 membuka kesempatan kepada masyarakat
Bumiputera untuk mengubah hak atas tanahnya dari hak garap atau hak untuk
menempati, serta menguasai (gebruiksrecht atau bezitsrecht) menjadi hak milik
10
(eigendom) menurut hukum Eropa.14 Selain itu, undang-undang ini memberikan
jaminan kepastian untuk penggunaan tanah-tanah untuk perkebunan swasta dengan
prinsip hukum hak guna usaha (erfpacht) dalam jangka waktu tertentu.
Dari kedua faktor berlakunya perundang-undangan tersebut di atas, maka
telah terbuka jalan ke arah penggunaan tanah secara aktif oleh perusahaan-
perusahaan perkebunan maupun pihak swasta lainnya. Pada masa-masa inilah
perkembangan cepat terjadi pada sektor pertanian dan perkebunan swasta, terutama
pada budidaya tanaman tebu dan kopi, yang telah membantu mengembangkan
ekonomi komersial dan implikasi yang menyertainya dalam masyarakat pedesaan.
Namun demikian, hal tersebut nantinya tidak hanya menimbulkan persoalan relasi
antara tuan tanah dan penggarap, tetapi juga menandai munculnya masalah-masalah
penguasaan tanah bukan hanya oleh negara melainkan juga oleh pihak swasta.15
Batasan tahun periode tesis ini ditandai pada tahun 1920-an, dalam rangka
pemberlakuan kebijakan kolonial tentang desentralisasi pemerintahan di Hindia
Belanda sejak tahun 1903 (De Wet Houdende Decentralisatie in Nederlandsch
Indie atau disingkat Decentralisatie Wet 1903), salah satunya dalam perkembangan
berikutnya peran Dewan Kabupaten (regentschapsraad) semakin signifikan dalam
konteks pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Dewan Kabupaten ini kemudian
memiliki peluang besar dalam pengembangan kegiatan di bidang kesehatan, sosial,
dan pendidikan, di samping kegiatan-kegiatan serupa yang telah lebih dahulu
diselenggarakan oleh Zending.
14 Wignjosoebroto, Dari Hukum, 76-77. 15 Hiroyoshi Kano, “Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa di Jawa pada Abad
XIX” dalam Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola penguasaan tanah pertanian di Jawa dari masa ke masa (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 35.
11
Komunitas Kristen di Jawa bagian Barat baru berkembang di abad ke-19.
Komunitas Kristen bertumbuh tidak dalam ruang hampa, tetapi berada dalam situasi
dan kondisi zaman yang berkelindan dengannya sebagai konteks. Karena itu,
konteks sosial, politik, ekonomi yang tersirat dalam kebijakan-kebijakan kolonial
pemerintah Hindia Belanda, tentu memengaruhi juga komunitas Kristen di Jawa
Barat. Dalam hal ini terkait dengan tata hubungan pemerintah Hindia Belanda
dengan Zending terhadap pemberlakuan regulasi tata pemerintahan di Jawa Barat
dan tentang peluang kepemilikan tanah di Jawa Barat. Mengenai tata hubungan
yang terjadi di antara Zending dan pemerintah Hindia Belanda dapat ditelusuri dari
sikap dan pandangan para zendeling terhadap kebijakan pemerintah kolonial,
maupun pada sikap dan reaksi dari para pamong praja Bumiputera yang menjadi
representasi pemerintah kolonial. Meskipun relasi keduanya diwarnai penilaian
baik positif maupun negatif satu terhadap yang lain, tetapi persinggungan keduanya
akan tampak dalam pengimplementasian perundang-undangan yang berlaku di
Hindia Belanda dari perspektif Zending dan para zendeling di Jawa Barat.
Periode 1870-an sampai dengan 1920-an, menjadi periode penting ketika
Zending memfokuskan kegiatan misinya di bidang sosial-ekonomi bagi masyarakat
Bumiputera Kristen. Mulai tahun 1877, Nederlandsche Zendingsvereeninging
(selanjutnya disingkat dengan NZV) membeli petak-petak sawah di berbagai
tempat supaya anggota jemaat bisa bertani.16 Pada tahun 1882 J. Verhoeven
mendirikan desa Cideres di tanah yang telah dibelinya dan menjadi milik bersama
16 Th. van den End, Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat 1858-
1963 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 20.
12
orang Kristen setempat. Kepemilikan tanah ini sangat rumit dan diurus bertahun-
tahun sampai mendapat pengakuan hak milik (eigendom) dari negara. Di tempat
yang berbeda, S. van Eendenburg mendirikan desa dan perkebunan Pangharepan
tahun 1888, dengan konstruksi hukum yang lain, yaitu tanah desa itu diperoleh dari
pemerintah dengan hak guna usaha (erfpacht). Tahun 1902 Zending mendirikan
desa Palalangon yang ditujukan bagi sejumlah keluarga Kristen dari Pangharepan
dan jemaat Cianjur untuk tinggal menetap di tanah yang menjadi hak milik
perseorangan bagi penduduk desa tersebut. Kemudian, desa Kristen terakhir yang
dibangun melalui prakarsa A. Vermeer, NZV memperoleh tanah di dekat
Haurgeulis untuk menjadi desa Rehoboth-Tamiang pada tahun 1912, yang didirikan
di atas tanah pemerintah yang diserahkan kepada Zending di Jawa Barat.
Komunitas Kristen di desa-desa di Jawa Barat tersebut merupakan upaya
NZV untuk mengatasi kehidupan orang-orang Bumiputera Kristen yang terkucilkan
dari masyarakat adatnya (Sunda). Mereka dikumpulkan di desa-desa tersebut untuk
membebaskan diri dari tekanan masyarakat dan kepala-kepala desa tempat asal
mereka. Namun, ketika mereka berada dalam desa-desa Kristen tersebut mereka
memiliki pola hidup bermasyarakat yang baru berdasarkan ketentuan yang berlaku
pada saat itu. Mereka dapat mengatur kehidupan komunitas secara mandiri, terlepas
dari kekuasaan pemimpin-pemimpin desa yang terlalu terikat pada tata adat
kebiasaan dan tata keagamaan yang non-Kristen, yang tidak mentolerir kehadiran
penganut agama lain di desa tersebut.17 Namun demikian, menurut J. Verhoeven,
17 Koernia Atje Soejana, Benih yang Tumbuh II: Suatu survey mengenai Gereja Kristen
Pasundan (Bandung dan Jakarta: GKP dan DGI, 1974), 35.
13
kebijakan untuk membangun desa-desa Kristen bukan sebagai metode pekabaran
Injil, melainkan akibat yang tidak terhindarkan dari kegiatan Zending bagi
masyarakat Bumiputera di Jawa Barat. Orang-orang Sunda yang telah menjadi
Kristen mengalami penolakan dalam interaksi sosialnya dengan masyarakat Sunda
dan dihambat oleh para pamong praja Bumiputera yang berkuasa di desa asalnya.18
3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, penelitian
dalam tesis ini dikonstruksi melalui dua pertanyaan penelitian, yang diajukan untuk
ditelusuri dan ditelisik lebih mendalam bagi kepentingan wacana dan wawasan,
serta pengetahuan akademis. Pertanyaan-pertanyaan penelitian dalam tesis ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pola hubungan pada tata pemerintahan kolonial Hindia
Belanda, yaitu pada sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule)
dan desentralisasi pemerintahan kolonial, yang bersinggungan langsung
dengan keberadaan Komunitas Kristen di desa-desa di wilayah Jawa
Barat, yang direpresentasikan oleh para zendeling?
2. Dengan beberapa kebijakan-kebijakan kolonial Hindia Belanda tentang
tata pemerintahan kolonial (Regeringsreglement 1854), asas
kepemilikan tanah (Agrarisch Wet 1870), dan desentralisasi tata
pemerintahan di Hindia Belanda (Decentralisatie Wet 1903), dan
18 Koernia Atje Soejana, “Pekabaran Injil di Gereja Kristen Pasundan” dalam Koernia Atje
Soejana, Merenda Potensi Mandiri dalam Misi: Buku Kenangan HUT ke-65 GKP (Bandung: GKP, 1999), 79.
14
melalui peranan yang signifikan Dewan Kabupaten (Regentschapsraad)
tahun 1920, apa dampak dan pengaruh kebijakan-kebijakan kolonial
tersebut dalam pengadaan, usaha kepemilikan, dan pengelolaan tanah-
tanah yang dipakai untuk persawahan, perkebunan, dan pembentukan
desa-desa Kristen bagi Komunitas Kristen di Jawa Barat pada periode
tahun 1870-1920?
4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab dua persoalan yang
dirumuskan di atas, yaitu:
1. Mendeskripsikan pola relasi sosial-politik yang berkembang di Jawa
Barat pada periode 1870-1920, baik dari sikap para zendeling maupun
keputusan Zending, dalam menyikapi tata pemerintahan kolonial Hindia
Belanda.
2. Memaparkan arsip-arsip Zending yang menggambarkan persinggungan
langsung dengan kebijakan-kebijakan kolonial Hindia Belanda pada
periode 1870-1920, khususnya dalam penguasan dan kepemilikan tanah
di desa-desa Kristen di Jawa Barat.
5. Signifikansi Penelitian
Dari karya-karya tulis yang ditemukan dan dibaca, peneliti memahami
bahwa kajian mengenai sejarah kolonial di Hindia Belanda, terkait penguasaan dan
pemilikan tanah dalam kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda, sudah
15
banyak diteliti topik tentang Reformasi Agraria (Land Reform) dan pembaruan
hukum nasional pasca dekolonisasi hukum-hukum kolonial. Pada kaitan topik yang
pertama, terbentuknya struktur sosial dan/atau diferensiasi sosial di Jawa telah
dilihat dan dikaji oleh beberapa peneliti sosial dan sejarah dalam konteks
penguasaan sumber daya produksi, dalam hal ini persoalan tanah sebagai
konsekuensi penguasaan tanah di koloni-koloni milik Belanda. Kajian-kajian
seperti ini dapat ditemukan baik dalam buku Dua Abad Penguasaan Tanah oleh
S.M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi,19 Land Reform & Gerakan Agraria
Indonesia oleh Noer Fauzi Rachman,20 maupun dalam buku Hukum Agraria dan
Masyarakat di Indonesia oleh Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono.21 Pada
kaitan topik yang kedua, pembentukan hukum di Indonesia masih terus melakukan
upaya dekolonisasi dan juga dekonstruksi untuk dapat lepas dari pengaruh tata
hukum kolonial dengan tata hukum lokal, sehingga terbangun hukum pemerintahan
yang berkeindonesiaan. Kajian-kajian seperti ini dapat ditemukan baik dalam buku
Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional22 maupun buku Desentralisasi dalam
Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda23, keduanya dituliskan oleh
SoetandyoWignjosoebroto.
19 S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola
penguasaan tanah pertanian di Jawa dari masa ke masa (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008). 20 Noer Fauzi Rachman, Land Reform & Gerakan Agraria Indonesia (Yogyakarta: Insist
Press, 2017). 21 Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono, Hukum Agraria dan Masyarakat di Indoensia
(Jakarta: HuMa-Jakarta, Van Vollenhoeven Institute, KITLV-Jakarta, 2010). 22 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional (Jakarta: HuMa-
Jakarta, Van Vollenhoeven Institute, KITLV-Jakarta, Epistema Institute, 2014). 23 Soetandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia
Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia 1900-1940 (Malang: Bayumedia Publishing, 2005).
16
Karena itu, penelusuran dan penulisan sejarah gereja dan misi Kristen di
Indonesia, khususnya di Jawa Barat, dalam bingkai optik fokus penelitian pada
kepemilikan tanah dan keberadaan komunitas Kristen Bumiputera, serta relasi
sosial-politik yang terbentuk pada konteks saat itu, masih perlu dituliskan sebagai
salah satu bagian dari historiografi Gereja-gereja di Indonesia. Terlebih ada urgensi
dan signifikansi, terutama soal aset-aset tak bergerak (dhi. tanah) yang dilimpahkan
oleh Zending kepada Gereja-gereja di Indonesia. Tanggung jawab pengurusan
sertifikat kepemilikan hak tanah masih terus bersinggungan dengan pemerintahan
di masa kini, dengan pola dan dasar hukum yang tidak begitu berubah pada zaman
kolonial lalu, yaitu penguasa atau pemerintah sipil masih memiliki kewenangan
tinggi dalam pengurusan penguasaan dan pemilikan tanah Gereja-gereja di
Indonesia, khususnya di Jawa Barat (dhi. Gereja Kristen Pasundan disingkat dengan
GKP). Dengan demikian, penelitian dan historiografi ini diajukan dalam ranah
akademis.
6. Metode Penelitian
Penelitian tesis ini adalah sebuah historiografi, yaitu metode untuk
melakukan penelitian sejarah atau metode untuk mengumpulkan dan menganalisis
bukti sejarah.24 Dari segi topiknya, maka penelitian ini merupakan kajian sejarah
sosial-politik dan keagamaan.25 Penelitian sejarah sosial-politik berorientasi bukan
hanya pada objek masalah pemerintahan dan kenegaraan saja, melainkan juga pada
24 W. Lawrence Neuwan, Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif (Jakarta: Indeks, 2016), 526. 25 A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2012), 24.
17
objek sejarah kekuasaan (history of power) pada umumnya, seperti dalam konteks
sejarah konstitusi dan institusi.26 Sedangkan, penelitian sejarah sosial keagamaan
meneliti bukan dari sudut pandang normatifnya, melainkan dari sudut pandang
empirisnya, yaitu pada satu dimensi konsekuensi sosial dari komunitas keagamaan
yang terbentuk.27 Ketika keduanya dijadikan penelitian pada tesis ini, maka yang
hendak dituliskan adalah keterkaitan konteks sosial politik pemerintahan negara
(kolonial) terhadap perkembangan komunitas keagamaan dalam suatu masyarakat
tradisional yang terdampak langsung dari pemberlakuan kebijakan-kebijakan
publik negara, seperti peraturan pemerintah atau perundang-undangan pada periode
tertentu di Hindia Belanda.
Penerapan teori dalam konteks penelitian sejarah seperti ini digunakan
sebagai poin akhir penelitian.28 Dengan kata lain, proses penelitian diterapkan
secara induktif yang berlangsung mulai dari data, lalu ke tema-tema umum,
kemudian menuju poin-poin tertentu. Karena itu, penelitian dimulai dengan
mengumpulkan informasi sebanyak mungkin, lalu membentuk informasi ini
menjadi kategori atau tema tertentu, yang kemudian dikembangkan menjadi pola
atau generalisasi yang dapat diperbandingkan dengan data dan literatur lainnya
yang ditemukan berkesesuaian dengan topik. Hal ini justru akan merepresentasikan
pemikiran atau pandangan baru yang saling berhubungan atau bagian yang
terhubung dengan keseluruhan.29
26 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 176. 27 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, 161. 28 John W. Creswell, Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan
Campuran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), 87. 29 Creswell, Research Design, 87.
18
Dalam penelitian sejarah, pertama-tama dilakukan adalah mencari dan
mengumpulkan data (bentuk jamak; datum-bentuk tunggal)30, informasi, atau bukti
sebagai sumber, melalui kerja bibliografi secara ekstensif.31 Pengumpulan data
dilakukan dengan pencarian pada indeks, katalog, dan karya referensi dari
perpustakaan atau lembaga pengarsipan sejarah menggunakan teknik studi
kepustakaan (library research). Hal ini dilakukan untuk mencari sejumlah sumber
di berbagai perpustakaan, mengunjungi berbagai perpustakaan penelitian khusus,
dan perpustakaan arsip nasional. Semua literatur, baik buku maupun artikel, dibuat
perincian catatan, membuat daftar pustaka dengan kutipan lengkap, menyusun data,
dan mengembangkan berkas sesuai dengan tema dan fokus penelitian. Dalam
konteks penelitian sejarah semua proses ini dinamakan dengan Heuristik atau
mencari dokumen atau sumber.32
Metode pengumpulan datanya dilakukan melalui penelusuran terhadap
arsip-arsip kolonial dan arsip-arsip Zending, serta bahan-bahan pustaka yang
menjadi sumber primer. Kemudian, sumber-sumber primer tersebut diseleksi dan
diverifikasi agar berkesesuaian dan berkaitan langsung dengan substansi penelitian
ini. Dokumen dan arsip yang menjadi sumber primer dalam penelitian ini adalah:
a. Het Reglement op Het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie, Edisi
Kedua, menurut catatan H.J. Bool, Kepala Pengawai Negeri Hindia Belanda
– Zalt-Bommel: Joh. Noman & Zoon tahun terbit 1876.
b. De Koloniale Agrarische Wet - Rotterdam: Nijgh & Van Ditmar tahun 1870.
30 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), 73. 31 Neuwan, Metodologi Penelitian, 523. 32 Daliman, Metode Penelitian, 28. Ch. V. Langlois dan Ch. Seignobos, Introduction to the
Study of History (Yogyakarta: Indoliterasi, 2015), 25-26.
19
c. Th. van den End, Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa
Barat 1858-1963 – Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
d. Th. van den End, De Nederlandse Zendings-Vereniging in West Java 1858-
1963 – Een Bronnenpublicatie, 1991.
e. S. Coolsma, De Zendingseeuw voor Nederlandsch Oost-Indie – Utrecht:
C.H.E. Breijer, 1901.
f. S. Coolsma, Twaalf Voorlezingen over West Java: Het land, de bewoners
en de arbeid der nederlandsche zendingsvereeniging – Rotterdam: D. van
Sij & Zoon, 1879.
g. M. Lindenborn, Onze Zendingsvelden III West Java: Als Zendingsterrein
der Nederlandsche Zendingsvereeniging.
h. H.J. Rooseboom, Na Vijftig Jaren: Gedenkboek van de Nederlandsche
Zendingsvereeniging – Rotterdam: D. van Sijn & Zoon, 1908.
i. Hendrik Kraemer, From Missionfield to Independent Church – The Hague:
Boekencentrum, 1958.
j. Archief van de Raad voor de Zending der NHK (ARvdZ).
k. Orgaan der Nederlandsche Zendingsvereeniging (ONZV).
Tahap terakhir dari metode ini adalah menggabungkan bukti/dokumen, konsep, dan
sintesis untuk menjadi penulisan laporan penelitian. Melalui interpretasi dari
penetapan makna dan keterhubungan data dan fakta yang telah diverifikasi, maka
dilanjutkan pada penyajian sintesis yang disusun dalam penulisan sejarah.33 Dengan
33 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2007), 156.
20
demikian, tesis ini adalah bentuk penulisan sejarah yang komprehensif tentang
catatan historis keberadaan desa-desa Kristen di Jawa Barat dalam merespons
konteks kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial di Hindia Belanda.
7. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, penelitian tesis ini akan dituliskan ke dalam susunan
yang terdiri dari lima bab.
Pada Bab I adalah Pendahuluan yang memaparkan tentang latar belakang
permasalahan topik penelitian, identifikasi masalah secara spesifik, dengan
dilengkapi pertanyaan-pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan terkait dengan penulisan
sejarah kolonial dan sejarah gereja dan misi Kristen di Jawa Barat.
Pada Bab II akan dipaparkan tentang pemberlakuan kebijakan-kebijakan
yang berlangsung di Hindia Belanda, yang memengaruhi dan menjadi konteks
sosial, politik, dan tata pemerintahan pada tahun antara 1850-an sampai dengan
1920-an. Pada bab ini juga akan dipaparkan konstruksi kebijakan pada masa
pemerintahan Hindia Belanda sebelum tahun 1850-an.
Pada Bab III akan dipaparkan tentang pembentukan desa-desa Kristen di
Jawa Barat pada kisaran tahun 1882 sampai dengan 1912. Pada bab ini juga akan
dipaparkan tentang badan Zending sebagai pihak yang bertanggung jawab dan
berkiprah dalam pekabaran Injil yang mula-mula hanya di wilayah Priangan dan
kemudian di seluruh pulau Jawa bagian Barat sejak tahun 1863.
21
Pada Bab IV akan dipaparkan tentang tinjauan terhadap kebijakan kolonial
Hindia Belanda terhadap pemberlakuannya pada komunitas Kristen di Jawa Barat.
Tinjuan ini hendak mengemukakan respons Zending terhadap politik liberalisasi
dan swastanisasi kebijakan kolonial Hindia Belanda terkait kepemilikan tanah, dan
dalam kaitan sikap dan relasi para zendeling NZV dengan para ambtenaar.
Pada Bab V akan menjadi bab penutup dari serangkaian hasil penelitian
dengan kesimpulan dan rekomendasi akademis.