Upload
tranthuy
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Peningkatan suhu akibat pemanasan global menjadi faktor dominan yang
mempengaruhi tingkat kenyamanan termal manusia terhadap ruang (Frick, 2007:
28). Isu pemanasan global yang tidak dapat dipungkiri kedatangannya,
mengharuskan untuk ditemukannya solusi bagaimana fenomena tersebut dapat
diminimalisir pengaruhnya terhadap kenyamanan termal pada sebuah karya
arsitektur. Keprihatinan akan fenomena pemanasan global mendorong timbulnya
pemikiran baru dalam perancangan arsitektur yang kemudian dikenal sebagai
arsitektur hijau (Priatman, 1993). Arsitektur Hijau sebagai bagian dari penerapan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, di mana selama proses
pembangunan, pemanfaatan bangunan, hingga pasca pemanfaatan, direncanakan
dengan cermat sehingga menimbulkan dampak negatif yang seminimal mungkin
terhadap lingkungan (Kusumawanto, 41: 2014). Woolley (2005) mengatakan, ada
beberapa prinsip dalam pengembangan arsitektur hijau, di antaranya: mereduksi
penggunaan energi, meminimalisir polusi eksternal dan kerusakan lingkungan,
mereduksi embodied energy dan penipisan sumber daya energi, serta meminimalisir
polusi internal dan kerusakan kesehatan manusia. Dengan kata lain, arsitektur hijau
sangat identik dengan efisiensi atau penghematan penggunaan energi,
meminimalisir dampak terhadap lingkungan, serta menjaga kenyamanan dan
kesehatan manusia.
2
Dalam penghematan energi, selubung bangunan mempunyai peran penting
karena berfungsi sebagai pengendali kondisi eksternal yang terkait dengan beban
sistem pengkondisian udara dan sistim pencahayaan yang mengkonsumsi sebagian
besar dari total energi listrik, bisa mencapai 90% (Nasution, 2006). Hasil kalkulasi
perambatan panas (OTTV: Overall Thermal Transver Value) dan pemanfaatan
cahaya alami pada gedung-gedung kaca, memberikan gambaran tingkat efisiensi
energi masih rendah (Daryanto, 1989). Meningkatnya konsumsi energi akibat
pesatnya pembangunan gedung bertingkat tinggi suatu saat akan menjadi ancaman
krisis energi yang perlu diwaspadai. Beban internal ditimbulkan oleh lampu,
penghuni dan peralatan lain yang menimbulkan panas, sedangkan beban eksternal,
yaitu beban yang masuk dalam bangunan akibat radiasi matahari dan konduksi
melalui selubung bangunan (ASHRAE, 2004). Dari sinilah terlihat korelasi antara
penggunaan energi pada bangunan terhadap kenyamanan termal yang dihasilkan
untuk manusia.
Sementara itu, kenyamanan termal (Thermal Comfort) menurut ASHRAE
Standar 55–2004 didefinisikan sebagai “kondisi pikiran yang mengungkapkan
kepuasan tertentu terhadap lingkungan termal”. Untuk pengendalian perambatan
panas, selubung bangunan mempunyai peran yang sangat penting. Pengolahan
fasade dan penggunaan material pada selubung bangunan di daerah tropis lembab,
seharusnya dapat memberikan perlindungan yang baik terhadap radiasi matahari,
pengaruh negatif iklim, sehingga hemat energi dan mudah dalam pemeliharaannya.
Pemilihan selubung bangunan yang terencana dengan baik dan dapat
mengendalikan radiasi matahari dapat menurunkan konsumsi energi listrik
3
(Daryanto, 2011). Dalam merancang selubung bangunan diperlukan kepiawaian
dalam mengolah faktor-faktor fisis (performance aspect) dan faktor-faktor estetis
(appearance aspect) untuk menghasilkan karya arsitektur yang tanggap terhadap
iklim dan hemat energi (Priatman, 1993).
Banyak faktor yang mempengaruhi kondisi suhu pada suatu ruangan dalam
bangunan. Seperti yang dikatakan oleh Mangunwijaya (1998), bahwa suhu di dalam
ruangan salah satunya ditentukan oleh kondisi iklim dan radiasi matahari.
Sementara itu, Givoni (1998) mengatakan bahwa perolehan panas eksternal karena
kondisi iklim lingkungan dan radiasi matahari pada bangunan, banyak dipengaruhi
oleh desain dan konstruksi bangunan, terutama pada selubung bangunan. Atap
merupakan salah satu selubung bangunan (building envelope) yang secara langsung
berhubungan dengan lingkungan fisik di luar sekitar bangunan, yang berperan
sebagai sarana pelindung dari panas radiasi matahari, hujan, dan pergerakan angin
kencang (Mangunwijaya, 1998). Oleh sebab itu, besar kemungkinan kenyamanan
termal yang ditentukan oleh kondisi iklim dan radiasi matahari dapat diperoleh dari
penggunaan struktur dan konstruksi atap yang tepat.
Dalam mendesain sebuah arsitektur yang memberi kenyamanan secara
termal, perlu meniru hasil karya arsitektur setempat yang telah berhasil
mewujudkannya. Sebagai wujud arsitektur vernakular, rumah tradisional diyakini
sebagai wujud arsitektur yang telah mengalami percobaan-percobaan (trial and
error) dalam menghadapi perilaku alam (Amos Rapoport, 1969). Arsitektur
tradisional Jawa sebagai salah satu arsitektur tradisional di Indonesia, sangat
memperhatikan aspek lingkungan yang tertuang dalam konsep makro dan mikro
4
kosmosnya, sehingga selaras dan nyaman untuk dihuni (Purwanto dkk, 2006).
Bangunan tradisional Jawa memiliki bentuk atap yang paling banyak dibandingkan
bentuk atap bangunan tradisional lain di Indonesia (Koentjaraningrat, 1984). Oleh
karenanya, keragaman bentuk atap tradisional Jawa tersebut dapat menjadi pilihan
atas kondisi termal yang baik atas ruangan yang dinaunginya.
Konstruksi atap terdiri atas struktur penopang dan material penutupnya
(Iswanto, 2007). Seperti yang dikatakan Frickz (2007: 29), bahwa kesejukan dalam
ruang terkandung pada struktur dan konstruksinya. Oleh karenanya modifikasi
konstruksi atap yang tepat, mulai dari bentuk dasarnya, sudut kemiringannya, serta
luas permukaan atap, dimungkinkan dapat memberi pengaruh yang signifikan
terhadap nilai termal di dalam bangunan. Seperti yang diungkapkan Purwanto dkk
(2006) bahwa atap dengan konstruksi yang dapat menghasilkan pergerakan udara
di dalamnya dapat memberikan suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan atap
yang tidak memberikan pergerakan udara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Purwanto dkk (2006), atap rumah tradisional joglo menghasilkan suhu udara
di dalam ruangan lebih rendah dibanding jenis atap Jawa Tengah yang lainnya,
sehingga dapat dikatakan atap Joglo dapat mengoptimalkan kenyamanan termal
untuk ruangan yang dinaunginya.
Di sisi lain, atap joglo memiliki jenis yang beragam berdasarkan bentuk dan
konstruksinya. Menurut Lestari (2015), atap joglo memiliki 12 jenis dengan bentuk
yang berbeda, meskipun pada dasarnya memiliki bentuk dasar yang sama yaitu
bujur sangkar. Dengan bentuk yang berbeda dari tiap jenis atap joglo, tentunya
mempengaruhi konstruksinya yang meliputi sudut kemiringan atap, serta luas
5
penampang atap. Maka dari itu, penelitian terkait kenyamanan termal yang
dihasilkan atas berbagai jenis variasi konstruksi atap joglo menjadi menarik untuk
dikembangkan secara mendalam.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Bangunan tradisional Jawa memiliki bentuk atap yang paling banyak
dibandingkan bentuk atap bangunan tradisional lain di Indonesia (Koentjaraningrat,
1984). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwanto dkk (2006), atap
Rumah Joglo merupakan jenis atap Rumah Tradisional Jawa yang menghasilkan
nilai termal yang paling baik untuk ruangan yang dinaunginya, dikarenakan atap
Joglo menghasilkan sirkulasi aliran udara yang baik. Namun, dalam perkembangan
bangunan modern, atap joglo kurang diminati dan jarang digunakan untuk rumah
tinggal. Oleh karenanya, mempelajari pola pergerakan udara pada atap Joglo perlu
dilakukan, untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan udara dapat bergerak
secara maksimal di dalam ruangan. Udara sebagai salah satu variabel kenyamanan
termal diduga terpengaruh oleh kondisi fisik atap, seperti adanya celah serta
komponen penunjang atap lainnya, sehingga dilakukanlah simulasi untuk
menemukan bentuk atap yang efektif dalam mengkondisikan pergerakan udara
secara optimal.
1.3. PERTANYAAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang penelitian dan rumusan masalah diatas,
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
6
a. Bagaimana pola pergerakan udara pada rumah dengan atap Joglo Omah
UGM Kota Gede?
b. Bagaimanakah Kondisi Iklim Mikro di Lingkungan rumah Joglo Omah
UGM Kota Gede?
c. Adakah pengaruh yang dihasilkan dari modifikasi atap Joglo Omah
UGM Kota Gede terhadap pola pergerakan udara, dan manakah yang
menghasilkan pergerakan udara yang paling optimal?
1.4. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini ialah mempelajari pengaruh bentuk atap terhadap
perilaku pergerakan udara pada Rumah Joglo Omah UGM, serta mengukur
seberapa jauh kinerja atap Joglo pada rumah tersebut dalam mengkondisikan aliran
udara dalam ruang. Dengan mensimulasikan aliran udara pada rumah dengan atap
joglo Omah UGM, diharapkan dapat menemukan bentuk ideal dari atap untuk
aliran udara yang optimal, sehingga karakter dari bentuk atap yang ideal tersebut
dapat diaplikasikan pada atap bangunan modern.
1.5. MANFAAT PENELITIAN
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat di antaranya:
1. Memperkaya pengetahuan terkait tema kenyamanan termal bangunan,
khususnya pada perilaku pergerakan udara, sehingga dapat menjadi
solusi atas permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini.
7
2. Memberikan rekomendasi modifikasi atap Joglo pada rumah Joglo Omah
UGM yang dapat mengakomodir pergerakan udara yang paling baik,
sehingga lebih optimal dalam memberikan nilai kenyamanan termal
dalam bangunan.
1.6. BATASAN PENELITIAN
Penelitian ini mengkaji keterkaitan antara bentuk atap joglo Omah UGM
terhadap pengkondisian sirkulasi aliran udara dalam ruang, yang berpengaruh pada
kenyamanan termal bangunan. Kenyamanan termal di sini diartikan dengan kondisi
manusia di mana tidak merasakan terlalu dingin atau terlalu panas, atas faktor yang
mempengaruhinya yaitu: temperatur udara, kelembaban, radiasi matahari, serta
pergerakan udara (Lippsmeir, 1997).
Sedangkan untuk objek bangunan yang akan diteliti ialah objek riil dengan
lokasi di daerah Yogyakarta, sebagai daerah yang kental dengan budaya Jawa, dan
masih banyak terdapat bangunan dengan atap joglo. Kondisi bangunan berupa satu
gugusan bangunan Jawa yang terdiri dari satu bangunan utama (omah dalem) dan
pendopo. Analisis pergerakan udara, dilakukan melalui simulasi dengan
menggunakan software berbasis CFD (Computational Fluid Dynamics), dengan
beberapa input data di antaranya: temperatur global, kelembaban global, serta
kecepatan angin global, yang didapatkan dari data iklim setempat. Waktu
dilakukannya simulasi dalam mengukur perolehan kenyamanan termal ialah pada
satu hari di mana kondisi cuaca cerah.
8
Lanjut ke halaman 9
1.7. KEASLIAN PENELITIAN
Beberapa penelitian sejenis terkait performa selubung bangunan terhadap
nilai termal yang dihasilkan, telah dilakukan dan disajikan dalam jurnal ilmiah
maupun tesis. Berikut data dari beberapa penelitian tersebut, sebagai acuan keaslian
penelitian:
Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu yang Sejenis
No Nama /
Tahun Judul Fokus Lokus Metode
1 L.M.F.
Purwanto,
dkk
(2006)
Pengaruh
Bentuk Atap
Bangunan
Tradisional di
Jawa Tengah
untuk
Peningkatan
Kenyamanan
Termal
Bangunan
Bentuk Atap Jawa
Tengah dan
Pengaruhnya
terhadap
Kenyamanan
Termal
Bangunan
Atap Jawa
yang Ada di
Jawa Tengah
Kuantitatif,
Eksperimental
Simulatif
dengan
Pengukuran
Lapangan
Hasil
Dari beberapa jenis penutup atap tradisional Jawa Tengah, atap Joglo
merupakan bentuk atap yang memberikan kenyamanan termal yang paling
baik.
2 FX Teddy
Badai
Samodra
(2008)
Thermal
Performance for
Javanese
Village Houses
Radiasi
Matahari pada
Geometri Atap
5 Model Atap
Rumah
Tradisional
Jawa yang
berlokasi di
Lereng Gunung
Kelud
Kuantitatif,
Eksperimental
simulatif
Hasil Radiasi matahari dipengaruhi oleh luas permukaan geometri atap, sehingga
model atap srotongan ialah model atap yang paling rendah memperoleh
radiasi matahari sedangkan model atap gotong mayit memperoleh radiasi
matahari terbesar.
3 Azwan Aziz
(2009)
Pengaruh
Material Atap
terhadap Nilai
RTTV
RTTV (Roof
Thermal
Transfer
Value) dan
Kenyamanan
Termal
Rumah Tinggal di
Depok
Kuantitatif,
Eksperimental
Simulatif
dengan
Pengukuran
Objek
sebenarnya
9
Lanjut ke halaman 10
Hasil Atap yang memiliki nilai paling baik dalam menghasilkan kenyamanan
termal ialah dengan menggunakan material genteng keramik baik yang
menggunakan insulasi maupun yang tanpa insulasi
4 Hicma
Edwin
Rosadi, dkk
(2011)
Pengaruh Sudut
Kemiringan
Atap Bangunan
dan
Orientasinya
terhadap
Kualitas Termal
Kemiringan atap
dan orientasi
bangunan
terhadap
temperatur
dalam ruang
Hipotetik
dengan kondisi
iklim Jawa
Timur
Kuantitatif,
Eksperimental
simulatif
Hasil Semakin besar sudut kemiringan atap semakin kecil temperatur dalam
ruangan, sedangkan arah hadap utara-selatan menghasilkan temperatur
lebih rendah dibandingkan timur-barat.
5 Ubay, dkk
(2012)
Pengaruh
Penggunaan
Material pada
Masjid terhadap
Termal di
Dalam
Bangunan
Material
Selubung
Bangunan
terhadap
Temperatur
dalam Ruangan
Hipotetik
dengan kondisi
Iklim daerah
Malang
Kuantitatif
Eksperimental
Simulatif
Hasil Penggunaan bata sebagai material selubung bangunan menghasilkan
kenyamanan termal yang paling baik dibandingkan dengan material lain,
dengan prosentasi bukaan seluas 5-15%.
6 Biyanvilage
Sampath Sri
Sameera
Dareeju, dkk
(2013)
Indoor Thermal
Performance of
Green Roof in
Tropical
Climate
Green Roof
sebagai Isolator
Panas
Hipotetik
dengan Kondisi
Iklim Tropis di
Sri Langka
Kuantitatif
Eksperimental
Hasil Green Roof atau atap hijau memiliki performa yang baik sebagai isolator
panas di dalam bangunan, sehingga mengurangi penggunaan energi untuk
pendinginan ruangan.
7 Estuti
Rochimah
(2014)
Kajian Sudut
Kemiringan dan
Orientasi Atap
Bangunan
terhadap Nilai
RTTV
Sudut
Kemiringan
Atap dan
Orientasi
Bangunan
terhadap
RTTV
Objek Hipotetik Kuantitatif,
Ekspermental
Simulatif
dengan objek
hipotetik
Hasil Sudut kemiringan atap tidak berpengaruh secara signifikan dalam
memperoleh nilai RTTV. Orientasi atap bangunan sebaiknya kea rah utara-
selatan, timur laut-barat daya, atau tenggara-barat laut. Nilai RTTV juga
dipengaruhi oleh nilai RTTV parsial dari tiap sisi bidang selubung atap.
8 Rr. Swari
Dewanti
Hamastuti
(2015)
Konstruksi
Penutup Atap
dengan Bambu
sebagai Isolator
Termal
Material Sirap
Bambu
sebagai
Isolator
Termal
Permodelan di
wilayah
Yogyakarta
Kuantitatif,
Eksperimental
10
Hasil Penutup atap dengan bahan bambu memiliki nilai isolasi panas lebih baik
dibandingkan bahan penutup atap konvensional lainnya. Sirap bambu
Apus melalui proses pengawetan dengan perendaman di dalam air, yang
dikonstruksikan dua lapis dan terbuka ke atas, dengan menggunakan sudut
kemiringan 300 merupakan konstruksi sirap bambu yang paling efisien
sebagai isolator termal.
9 Tuhari
(2014)
Pengembangan
Model Sistem
Ventilasi Ruang
Gambar dengan
CFD, Studi
Kasus Ruang
Gambar
Basemen
SMKN 2
Wonosari
Sistem
Ventilasi
Ruang Gambar
SMK N 2
Wonosari
Kuantitatif,
Ekspermental
Simulatif
Hasil Sistem ventilasi yang baik ialah dengan sistem cross ventilation dengan
luas inlet = outlet minimal 15% dari luas lantai.
Sumber: Purwanto (2006), Samodra (2008), Aziz (2009), Rosadi (2011) Ubay (2012),
Dareeju (2013), Rochimah (2014), dan Hamastuti (2015),
Beberapa penelitian tersebut secara keseluruhan mengukur performa bagian
selubung bangunan terhadap nilai termal. Sebagian penelitian mengukur nilai
termal atas dasar RTTV yang telah ditentukan, dan sebagian lagi membandingkan
temperatur ruang, kelembaban, dan pergerakan udara yang dihasilkan sebagai
indikator kenyamanan termal.
Pengukuran, analisis, dan simulasi dilakukan pada atap joglo di Omah UGM
Kota Gede yang mana dalam penelitian yang dilakukan oleh Purwanto dkk (2006)
merupakan jenis atap yang menghasilkan termal ruang paling baik dibanding jenis
atap Jawa yang lain. Dengan memodifikasi fisik atap joglo tersebut, kemudian
disimulasikan dan diukur nilai aliran udara yang dikondisikan, sehingga didapatkan
kebenaran terkait kenyamanan yang dihasilkan dari penggunaan atap joglo tersebut,
serta faktor apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi.