13
1 BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN MEMILIH JUDUL Keberadaan tanah adat dalam hukum positif Indonesia diakui dan pengakuan ini antara lain terdapat dalam pasal 3 dan 5 UUPA. Namun dalam pelaksanaan nya tetap saja terjadi penyimpangan dari undang-undang tersebut. 1 Pengaturan mulai dari UUD, UU bahkan sampai peraturan perundang- undangan lainnya masih mencantumkan pengecualian, batasan serta persyaratan untuk dapat menerapkan hukum adat atau pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Misalnya saja dalam pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang. 2 Dengan demikian hal ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah penghormatan yang diberikan oleh Negara terhadap masyarakat hukum adat, yang diberikan oleh Negara justru pembatasan-pembatasan yang mau tidak mau menjadi sebuah keharusan untuk ditaati oleh warga Negara tak terkecuali masyarakat hukum adat. Dengan adanya pembatasan tersebut pemerintah dalam 1 Vico, 2000, Skripsi, Implementasi Pengakuan Keberadaan Tanah Adat di Kab. Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Fakultas Hukum Univ. Kristen Satya Wacana 2 Ahmad BIky, Disadur dari http://lpmprojustitia.blogspot.com/2010/06/pengakuan-ambivalen- bagi-masyarakat.html . Tanggal akses: 22 juli 2010

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN MEMILIH JUDUL

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. ALASAN MEMILIH JUDUL

Keberadaan tanah adat dalam hukum positif Indonesia diakui dan

pengakuan ini antara lain terdapat dalam pasal 3 dan 5 UUPA. Namun dalam

pelaksanaan nya tetap saja terjadi penyimpangan dari undang-undang tersebut.1

Pengaturan mulai dari UUD, UU bahkan sampai peraturan perundang-

undangan lainnya masih mencantumkan pengecualian, batasan serta persyaratan

untuk dapat menerapkan hukum adat atau pengakuan terhadap masyarakat hukum

adat. Misalnya saja dalam pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: ”Negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta

hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam

Undang-Undang. 2

Dengan demikian hal ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah

penghormatan yang diberikan oleh Negara terhadap masyarakat hukum adat, yang

diberikan oleh Negara justru pembatasan-pembatasan yang mau tidak mau

menjadi sebuah keharusan untuk ditaati oleh warga Negara tak terkecuali

masyarakat hukum adat. Dengan adanya pembatasan tersebut pemerintah dalam

1 Vico, 2000, Skripsi, Implementasi Pengakuan Keberadaan Tanah Adat di Kab. Kotawaringin

Timur, Kalimantan Tengah, Fakultas Hukum Univ. Kristen Satya Wacana

2 Ahmad BIky, Disadur dari http://lpmprojustitia.blogspot.com/2010/06/pengakuan-ambivalen-

bagi-masyarakat.html. Tanggal akses: 22 juli 2010

2

politik hukumnya akan mengarahkan bahwa suatu saat nanti hak-hak adat akan

hilang atau dihilangkan. Bahkan yang lebih ekstrem lagi dengan adanya

pengakuan bersyarat dapat digunakan oleh pemerintah atau investor untuk

merampas tanah masyarakat hukum adat.

Hubungan hukum antara Negara dengan tanah melahirkan hak menguasai

tanah oleh Negara disebut dengan hak menguasai Negara yang berisi seperti

dalam pasal 2 UUPA. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah

ulayatnya melahirkan hak ulayat, dan antara perorangan dengan tanah melahirkan

hak-hak perorangan atas tanah. Idealnya hubungan tersebut (hak menguasai tanah

oleh Negara, hak ulayat dan hak perorangan atas tanah) terjalin secara harmonis

dan seimbang. Artinya, ketiga hak itu sama kedudukan dan kekuatannya, dan

tidak saling merugikan. Namun peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak

jelas batas-batasnya kepada Negara untuk menguasai semua tanah yang ada

diwilayahnya Indonesia.

Beranjak dari persoalan diatas, yang menunjuk pada persoalan yang

dihadapi hukum positif untuk mengatur pengakuan hak atas tanah hukum adat,

mendorong penulis untuk mengkaji isu-isu tersebut dalam penelitian hukum

dengan judul :

“PENGAKUAN NEGARA TERHADAP HAK ATAS TANAH ADAT BAGI

MASYARAKAT ADAT DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA.”

3

Definisi konsep:

Melihat judul tersebut dikemukakan definisi konsep judul sebagai berikut:

1. Pengakuan Negara adalah suatu perbuatan diakuinya sebagai

pengelola, pengguna, dan pemanfaat sumber daya alam nasional.

Pengakuan ini tertuang dalam peraturan-peraturan masyarakat adat.

Jadi pengakuan Negara dalam judul saya ini artinya adalah pengaturan

dalam perundang-undangan.

2. Tanah adat adalah tanah kepunyaan bersama,yang diyakini sebagai

karunia suatu kekuatan gaib / peninggalan Nenek Moyang kepada

kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat, sebagai unsur

pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut

sepanjang masa.3

B. LATAR BELAKANG MASALAH

Tanah adat adalah tanah kepunyaan bersama, yang diyakini sebagai

karunia suatu kekuatan gaib/ peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang

merupakan masyarakat hukum adat, sebagai unsur pendukung utama bagi

kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.4

3 Budi Harsono, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi,& pelaksanaannya, Djambatan, JilidI 2005, hal

181 4 Ibid.hal 181

4

Hak menguasai dari Negara berasal dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945

sebagai pasal yang mengatur tentang hukum Agraria di Indonesia yang mencakup

bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

Bahwa Bumi, air,dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan

pasal 2 ayat(1) UUPA menyatakan bahwa dasar ketentuan pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Dasar dan hal-hal yang dimaksud sebagai pasal1, bumi, air, dan

ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada

tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh

rakyat.5

Kedudukan tanah dalam hukum adat sangatlah penting. Ada dua hal yan

menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum

adat, yaitu;

1. Karena sifatna yaitu satu-satunya benda kekayaan yang meskipun

mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, toh masih bersifat tetap

dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang malahan menjadi lebih

menguntungkan.

2. Karena fakta yaitu merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan

penghidupan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga

persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan, merupakan pula tempat

5 Sri Harini Dwiyatmi,Hukum Agraria,2008, FH,Salatiga, hlm 14

5

tinggal kepada dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur

persekutuan.6

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat adat / komunal sebagai

realitas yang tidak bisa dihilangkan. Oleh karena itu ada baik seperti apa

pengakuan Indonesia merdeka dalam memahami realitas kemasyarakatan yang

bersifat komunal itu atau lebih dikenal dengan sebutan hukum adat dan

masyarakat adat itu sendiri, hal ini terdapat dalam Undang-undang no. 5 Tahun

1960 ( UUP. Agraria):

a. pasal 3 : “Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan pasal 2 pelaksanaan

hak ulayat dan hak hak yang serupa dengan itu dari masyarakat - masyarakat

hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa

sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas

persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang Undang dan

Peraturan Peraturan lain yang lebih tinggi”

b. pasal 5: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah

hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan

negara, yang berdasar atas persatuan bangsa , dengan sosialisme Indonesia serta

dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang dan dengan

peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-

unsur yang bersandar pada hukum agama.”

6 Surojo Wignjodipuro,SH.,Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta.Hlm 197.

6

c. Dalam penjelasan Umum angka III (1) UUPA dinyatakan, bahwa: “Dengan

sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum

rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum

adat, maka hukum Agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-

ketentuan hukum adat sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan

disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan

dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan

sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam

pertumbuhanny tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial

yang kapitalis dan masya-rakat swapraja yang feodal.”

Pasal 3, 5 beserta penjelasannya serta penjelasan umum angka III (1)

tersebut memberi pemahaman bahwa pengakuan terhadap hukum adat tersebut

disertai syarat mengenai kenyataan eksistensi dan mengenai pelaksanaannya.

Dengan demikian pengakuan terhadap hukum adat sejatinya ada pembatasan bagi

keberlakuannya, namun tidak mengurangi pentingnya arti ketentuan pokok yang

diletakan dalam UUPA, bahwa hukum tanah nasional didasarkan pada Hukum

Adat.

Demikian pula harus dipahami bahwa hak ulayat tetap berlangsung

menurut ketentuan hukum adat sesuai dengan masyarakat adatnya masing-masing.

Sekalipun kepentingan masyarakat adat harus menyesuaikan dengan kepentingan

nasional, tidak berarti kepentingan masyarakat adat yang bersangkutan tidak akan

diperhatikan sama sekali, Sebagai contoh dalam pemberian suatu hak atas tanah

untuk keperluan proyek-proyek pembangunan, baik pemerintah maupun swasta

7

dimungkinkan penguasaan dan penggunaan bagian-bagian tanah/hutan ulayat

masyarakat hukum adat maka masyarakat hukum adat tersebut sebelumnya akan

didengar pendapatnya dan akan menerima “recognitie” serta pelepasannya harus

menurut ketentuan hukum adat dan masyarakat adat tersebut yaitu dengan izin

penguasa adat dan masyarakat hukum adat.

Fakta riil tentang hak atas tanah adat yang mendorong untuk

dilakukannnya pengaturan terhadap pengakuan hak atas tanah adat seperti :

- Dalam perkembangnya sekarang ini, banyak tanah adat yang berubah fungsi

menjadi bagian dari perkebunan skala besar, hal ini banyak terjadi di berbagai

daerah di Nusantara ini misalnya di Kalimantan Tengah, di Kotawaringin

Timur untuk kebun kelapa sawit7.

- Masyarakat Tau Taa Wana merupakan masyarakat adat yang bermukim di

hutan Morowali, di Kecamatan Petasia, Sulawesi Tengah8. Keberadaan

masyarakat To Wana diakui secara resmi oleh Pemerintah Indonesia sebagai

salah satu Komunitas Adat Terpencil yang ada di Sulawesi Tengah berdasarkan

Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri Sosial

No. 67 Tahun 2000 tentang Komunitas Adat Terpencil (KAT). Sampai

sekarang, anggota komunitas To Wana masih menganut agama lokal yang

disebut agama halaik.

7 Vico Aprae Ranan, Skripsi, Implementasi Pengakuan Keberadaan Tanah Adat di Kab.

Kotowinangun Timur, Kalimantan Tengah, 2000

8 Konstantin Rongko, 2005, Skripsi, Pemenuhan Hak Masyarakat Adat TO WANA Dalam

Pelaksanaan Social Forstry di Hutan Morowali, Kec. Petasia, Kab. Morowali (Suteng), Fakultas

Hukum, Univ. Kristen Satya Wacana.

8

- Kasus Bulukumba: terjadi antara PT PP Lonsum dengan masyarakat hukum

Adat Kajang. Masuknya PT PP Lonsum ke tanah Kajang telah mengusik

ketenangan penduduk. Para petani dan masyarakat adat dipaksa berganti dari

pemilik tanah menjadi petani penggarap/buruh tani di tanah leluhur mereka

sendiri. Sudah sejak tahun 1982, penduduk Kajang berperkara di Pengadilan

Negeri Bulukumba. Justru saat-saat eksekusi putusan yang memenangkan

gugatan penduduk Kajang, menjadi tidak jelas lagi. Akibat dari kekeliruan

eksekusi oleh Panitera PN yang kemudian justru dimentahkan kembali karena

tidak adanya kesepakatan tentang jumlah lahan dan batas-batas tanahnya9.

- Kasus Meratus ; Tukar guling Hutan Lindung Meratus.

Berdasar Perda No 9 Tahun 2000 Tanggal 21 Desember 2000 tentang RTRWP

Kalimantan Selatan ditetapkan alih fungsi Hutan Produksi seluas 66 ribu ha

yang terdiri dari milik PT Kodeco Timber (seluas 57 ribu ha) dan milik PT

Inhutani II (seluas 9000 ha) yang terletak di Das Sampanahan yang berstatus

hutan lindung dengan luas 46 ribu ha sebagai Hutan Produksi Terbatas. Tukar

guling lahan hutan yang sudah diproduksi oleh PT Kodeco di Das Batulicin

dengan Hutan Lindung di daerah Das Sampanahan seluas 46.270 ha menjadi

hutan Produksi Terbatas tersebut diprotes oleh banyak kalangan seperti LSM:

LPMA, AMAN, dan WALHI10

.

- Masyarakat adat di Provinsi Bengkulu tersingkir dari lahan adat mereka yang

telah dihuni turun-temurun, menyusul masuknya perusahaan swasta besar yang

9 Lies Sugondo dalam Sri Harini Dwiyatmi, ADVANCED TRAINING, Hak-hak Masyarakat

Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia, Masyarakat Hukum

Adat Dalam Kerangka Hukum Nasional, Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007, hal 8 10

Lies Sugondo dalam Sri Harini Dwiyatmi, Ibid.

9

menguasai ribuan hektar lahan untuk usaha. Proses perizinan masuknya

investor oleh pemerintah yang tidak melibatkan masyarakat adat ditengarai

menjadi penyebabnya. Pada umumnya komunitas adat di Bengkulu

menghadapi konflik tanah dengan perusahaan swasta besar yang menanamkan

investasi di Bengkulu. Tanah adat mereka dicaplok oleh perusahaan swasta

yang telah mengantungi izin dari pemerintah. Proses penerbitan izin itu tidak

pernah melibatkan masyarakat adat. Saat ini di Bengkulu terdapat 26

komunitas adat yang tersebar, mulai dari Kabupaten Kaur di selatan Bengkulu

sampai ke Kabupaten Mukomuko di utara Bengkulu. Apabila persoalan tanah

antara perusahaan swasta besar dengan komunitas adat tidak diselesaikan,

maka dikhawatirkan dapat memicu persoalan sosial seperti kerawanan pangan,

pengangguran, bahkan kriminalitas. Karena itu, masyarakat adat selalu

tersingkir padahal selama menguasai wilayah adatnya.11

- Dalam hasil penelitiannya tentang Sistem Sosial Budaya Kampung Kuta,

bahwa masyarakat adat dari sejak munculnya republik ini bahkan sampai

sekarang, masih diwarnai ketidakadilan dan dipandang “sebelah mata” dari

berbagai lini kehidupan. Namun saat ini, berangkat dari pengalaman

penderitaan masyarakat adat, telah menimbulkan kesadaran baru bahwa

kebijakan pembangunan dan hukum yang diproduksi oleh negara selama lebih

dari 30 tahun harus diperbaiki. Sedikitnya ada dua sumber ketidakadilan

hukum dan kebijakan pembangunan terhadap masyarakat adat. Pertama,

kebijakan-kebijakan pembangunan dan produk hukum yang mengawalnya

11

Haitami Sulani, disadur dari https://walhi.crowdmap.com/reports. tanggal akses: 9 februari 2012

10

sudah bias dengan semangat penyeragaman, bias formalitas, dan bias hukum

positif yang secara kultural tidak berakar pada prinsip-prinsip hukum

sebagaimana yang dikenal dalam beragam sistem sosial-budaya masyarakat

adat yang tersebar di seluruh pelosok nusantara. Kedua, berbagai produk

hukum yang mengatur atau berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat

dibuat saling kontradiktif satu sama lain atau dibuat mengambang (tidak jelas),

sehingga tidak memungkinkan adanya kepastian hukum yang bisa memberikan

pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat. Dengan kondisi

ketidakpastian hukum ini, elit kekuasaan dapat melakukan intervensi

kekuasaan terhadap proses-proses hukum apabila proses-proses ini dianggap

mengganggu kepentingan dirinya dan kroni-kroninya. Namun dengan mulai

terbukanya kesadaran elemen-elemen semisal civil society, Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) dan masyarakat adat sendiri ketidakadilan dan subordinasi

bisa diminimalisasi, bahkan mampu mengangkat daya indegenioustitas mereka

untuk bisa bersaing dengan masyarakat lainnya.12

C. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana pengakuan Negara terhadap hak atas tanah adat bagi

masyarakat hukum adat di Indonesia dalam sistem hukum Indonesia?

12

Subhan Agung, disadur dari: http://mega.subhanagung.net/?p=50. Tanggal akses: 10 februari

2012

11

D. TUJUAN PENELITIAN

Mengetahui pengakuan yang ada dalam hak atas tanah adat bagi

masyarakat hukum adat di Indonesia dalam sistem hukum indonesia.

E. Metode Penelitian

1. Metode pendekatan

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan

(statute approach). Pendekatan ini akan memfokuskan pada peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan masalah yang diangkat, dalam hal ini peraturan-

peraturan menyangkut masyarakat adat.13

2. Bahan hukum

a. Bahan hukum primer (primary legal materials) yang berupa bahan-bahan

hukum yang bersifat mengikat (authoritative). Bahan hukum primer yaitu

bahan hukum yang mengikat berupa norma dasar, peraturan dasar,

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang

diteliti. antara lain :

1). Undang – Undang Dasar Negara RI tahun1945,

2). UU no. 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria,

3). Instruksi Presiden No.1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan

Bidang 13

Peter Mahmud Marzuki, Pnelitian Hukum. Kencana, Jakarta, 2005, hal 96.

12

Keagrarian dengan Bidang Kehutanan,

4). UU no.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

5). UU no.41 tahun 1999 tentang Kehutanan,

6). Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

No.5 Tahun

1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat

Hukum

Adat,

7). UU no.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

8). TAP MPR no. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya alam

9). UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,

10). UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

11). UU no.4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral & batubara.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder

seperti kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, surat kabar.

13

F. Unit Analisa

Unit analisa dalam penelitian ini meliputi pengakuan negara terhadap hak atas

tanah adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia dalam sistem hukum

Indonesia.